Pencarian

Bangkitnya Malaikat Petir 1

Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir Bagian 1


Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 47:
Bangkitnya Malaikat Petir
oleh T. Hidayat
128 hal. ; 12 x 18 cm
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcppy atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ & Raynold
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Kokok ayam hutan terdengar bersahut-sahutan, menyambut
sang fajar. Suasana masih terselimut kegelapan, sehingga
nyanyian jangkrik masih terdengar menyemarak. Butir-butir
embun masih melekat di pucuk-pucuk dedaunan, bagaikan
taburan permata gemerlapan. Udara juga masih dipenuhi
kabut, terasa dingin menusuk tulang.
Dan ketika sinar matahari mulai merambah permukaan bumi,
suara jangkrik yang saling bersahutan pun lenyap. Lapisan
kabut yang menebarkan udara dingin perlahan-lahan hilang
tersaput cahaya sang raja siang. Butir-butir embun di pucuk-
pucuk dedaunan mulai menguap tanpa meninggalkan bekas
sedikit pun. Tanda kehidupan dimulai kembali.
Kicau burung yang bercanda di ranting-ranting pohon,
menyambut dua sosok tubuh yang baru saja bangun dari
tidurnya. Rupanya, bias cahaya keemasan yang menerobos
dedaunan telah menimpa wajah, sehingga membuat mereka
terjaga. "Uuuh...."
Sosok pemuda tampan bertubuh sedang yang terbungkus
jubah berwarna putih, menggeliatkan tubuhnya. Dan dengan
gerakan lincah, dia bergerak bangkit.
Setelah menggerak-gerakkan anggota tubuhnya untuk
melemaskan otot-otot yang kaku, pemuda tampan itu
melangkah. Langsung dibukanya gerakan jurus-jurus silat
perlahan-lahan. Meskipun kelihatan perlahan dan sembarangan,
namun desir angin yang ditimbulkannya ternyata cukup hebat
Jelas, pemuda berjubah putih itu bukanlah orang sembarangan.
Pemuda berjubah putih itu terus bergerak kian kemari
dengan perlahan. Sepertinya, dia sama sekali tidak tahu kalau
ada sosok ramping berpakaian hijau tengah duduk memperhatikan sambil memeluk lututnya. Meski jelas-jelas
kelihatan kalau baru saja bangun tidur, namun raut wajah gadis
itu benar-benar membuat jantung setiap pria berdegup keras.
Wajahnya demikian cantik dan memancarkan pesona luar
biasa. Kalau saja keberadaannya tidak ditemani pemuda
tampan itu, mungkin orang akan mengira dia seorang bidadari
yang turun ke bumi.
Cukup lama juga gadis cantik itu memperhatikan gerak-gerik
pemuda di depannya. Meskipun sama sekali tidak menoleh, tapi
pemuda itu sadar kalau tengah diperhatikan.
"Hm...."
Tiba-tiba gadis jelita itu tersenyum seorang diri sambil
bergerak bangkit dengan perlahan. Menilik dari senyum yang
terkembang di bibirnya, jelas kalau gadis itu hendak usil
Benar saja. Tepat pada saat tubuh pemuda berjubah putih
itu tengah membelakanginya, tiba-tiba gadis Itu melesat.
Kecepatannya benar-benar sukar dipercaya. Tubuh ramping
yang kelihatannya lemah lembut Itu ternyata dapat bergerak
hampir secepat kilat!
Whuttt! Whuttt...!
Terdengar sambaran angin menderu-deru ketika gadis jelita
itu memutar kedua tangannya, siap untuk menyerang. Dan
begitu tiba dekat, sisi miring telapak tangan kanannya langsung
meluncur menebas ke batang leher belakang pemuda berjubah
putih itu. Bahkan tangan kirinya juga masih menyusuli dengan
dorongan ke arah kepala. Sebuah serangan yang bisa
mendatangkan kematian, apabila pemuda itu tidak bisa
menghindarinya.
Whesss...! Gerakan pemuda berjubah putih itu ternyata jauh lebih
mengejutkan lagi. Pada saat sisi telapak tangan gadis itu hanya
tinggal seperempat jengkal, tahu-tahu saja kepala pemuda
berjubah putih itu mengegos dengan kecepatan sukar
ditangkap mata. Masih dengan gerakan menakjubkan,
tubuhnya bergeser ke belakang. Sehingga, tubuh dara
berpakaian hijau itu kini berada di depannya.
"Hiaaah...!"
Sebelum dara jelita itu sempat menoleh, pemuda tampan itu
membentak sambil mengulurkan kedua tangannya. Tujuannya,
untuk mencengkeram bahu gadis jelita yang menyerang secara
gelap. Namun....
"Haiiit.!"
Gadis jelita itu ternyata cepat tanggap. Maka tanpa
membalikkan tubuh, dia berseru nyaring seraya berjumpalitan
ke belakang. Sehingga, cengkeraman pemuda itu hanya
mengenai tempat kosong.
Jleg! Dengan sebuah putaran indah, tubuh dara jelita itu meluncur
turun dan mendarat ringan di atas rerumputan tebal. Begitu
kedua kakinya menginjaki tanah, senyumnya kembali
mengembang. Demikian manis dan mempesona.
"Kemajuanmu
semakin bertambah, Kenanga. Dalam beberapa tahun lagi, mungkin aku akan kesulitan! menundukkanmu. Bisa-bisa, akulah yang justru akan tunduk
padamu...," puji pemuda tampan berjubah putih yang ternyata
memang Panji. Dalam rimba persilatan, dia berjuluk Pendekar
Naga Putih. Sedangkan gadis cantik itu memang Kenanga yang
selalu mendampingi pengembaraan Pendekar Naga Putih.
"Ah! Kau bisa saja, Kakang. Mana mungkin aku bisa
menundukkan Pendekar Naga Putih. Meskipun berlatih selama
puluhan tahun, belum tentu aku bisa mengimbangimu. A palagi
mengalahkanmu. Kau terlalu berlebihan, Kakang...," tukas gadis
itu sambil melangkah menghampiri kekasihnya.
Tapi, apa kau berniat mengalahkan aku...?" tanya Pendekar
Naga Putih seraya memeluk tubuh ramping kekasihnya.
Sepasang mata pemuda itu menghunjam tepat di kedua bola
mata Kenanga. "Hi hi hi... Tentu saja tidak, Kakang. Lagi pula. untuk
mengalahkanmu, ke mana aku harus belajar...?" sahut
Kenanga, sambil membalas tatapan kekasihnya tidak kalah
tajam. Bahkan sepasang matanya tampak berbinar bagaikan
kerlip bintang kejora.
"Hm...."
Panji hanya bergumam tanpa kata. Lalu, mereka beranjak
menuju ke sebuah aliran sungai yang letaknya tak jauh dari
situ. Sepasang pendekar itu memang sengaja memilih tempat
bermalam yang dekat aliran sungai. Selain mudah untuk
membersihkan diri, untuk minum pun tidak akan kesulitan.
"Hm.... Lega rasanya sekarang...," desah Pendekar Naga
Putih usai menghabiskan seekor ayam hutan yang telah
dibakarnya. "Sekarang, perjalanan bisa dilanjutkan...."
Sedangkan Kenanga cepat bergerak bangkit dari duduknya.
Dia juga telah menyelesaikan makannya. Sehingga tanpa
banyak cakap lagi, kakinya melangkah di samping kekasihnya.
"Berapa lama kita akan tinggal di puncak Bukit Gua Harimau,
Kakang...?" tanya Kenanga sambil menatap wajah kekasihnya
dari samping lekat-lekat. Kelihatan sekali kalau pertanyaannya
bukan sekadar untuk melenyapkan kesunyian di antara mereka.
"Hm..., entahlah. A ku tidak bisa memastikannya. Kau sendiri,
bagaimana" Berapa lama kira-kira kita harus tinggal di sana...?"
Pendekar Naga Putih mala balik bertanya.
Sementara, Kenanga memalingkan wajahnya, dan melepaskan pandangan jauh ke depan.
"Mengapa kau diam. Kenanga" Apa kau tidak menyukai
tempat tinggal guruku...?" tanya Panji ketika gadis itu belum
menjawab pertanyaannya. Malah, pemuda itu sampai-sampai
menolehkan kepala dengan kening berkerut.
'Mm... Kalau aku mau selamanya, bagaimana..." Apa Kakang
bersedia menemaniku...?" jawab Kenanga tanpa berani
memalingkan wajahnya ke arah Panji. Rona merah tampak
menghias wajahnya sehingga pesonanya tampak semakin
nyata. "Tentu saja aku mau," sahut Panji cepat tanpa berpikir dua
kali. Tentu saja jawaban itu membuat Kenanga hampir terlonjak.
Tapi, dia masih menahan diri, karena belum yakin akan
jawaban kekasihnya.
"Betul...?" desak Kenanga. Kali ini sepasang matanya
menatap wajah kekasihnya tanpa malu-malu lagi.
"O, tentu! Hanya lelaki berotak miring saja yang menolak
untuk menemani seorang bidadari," kata Panji sambil
menggenggam jemari lentik kekasihnya
"Oh..., Kakang...," desah Kenanga seraya menghentikan
langkahnya, dan merebahkan tubuhnya ke dalam pelukan Panji.
Kelihatan sekali pancaran kebahagiaan pada mata dan raut
wajahnya. Sehingga, Panji menjadi terharu karenanya.
"Nah, apa lagi yang mesti ditunggu" A yolah kita cepat-cepat
mengunjungi makam eyang...," ajak Panji setelah beberapa
saat saling berpelukan.
"Ayolah..., "sambut Kenanga. Wajahnya nyata sekali
menyorotkan rasa bahagianya. Tampak semakin berseri-seri,
dan bertambah jelita.
Dengan kepandaian yang dimiliki, tentu saja waktu yang
diperlukan jadi terlalu singkat. Apalagi mereka memang telah
berada tidak jauh dari Hutan Randu Apus. Sehingga ketika hari
menjelang sore, sepasang pendekar itu telah menaiki lereng
Bukit Gua Harimau.
"Mari kita langsung ke makam eyang...," bisik Panji setelah
beberapa saat lamanya mengedarkan pandangan ke sekeliling
puncak Bukit Gua Harimau. Tampak tidak terlihat adanya
perubahan yang berarti, kecuali pohon-pohon yang semakin
banyak tumbuh di atas puncak bukit itu.
Dengan berlari-lari kecil, pasangan pendekar itu bergerak
menuju makam Eyang Tirta Yasa, guru dari Pendekar Naga
Putih. Wajah keduanya tampak berseri bahagia. Sambil
berpegangan tangan saling melempar senyum, mereka
menyibak rerumputan liar dengan kaki-kaki yang terus
melangkah. Dan ketika tiba di makam Malaikat Petir, wajah sepasang
pendekar itu memucat. Ternyata makam yang semula hendak
diziarahi itu telah tidak ada lagi Pendekar Naga Putih kontan
berjongkok dan menyeruakkan kepalanya untuk melihat ke
dalam lubang kuburan.
"Kurang ajar...! Manusia laknat dari mana yang telah berani
mati membongkar makam eyang...! Apa yang diinginkan
manusia keji itu dengan melakukan perbuatan ini...?" tutuk
Panji, sambil memukulkan tinjunya ke tanah.
Hati Pendekar Naga Putih sangat terpukul melihat keadaan
makam gurunya yang telah terbongkar. Tentu saja hal itu
membuatnya merasa bersalah, karena tidak bisa menjaga
makam orang tua yang sangat dihormatinya.
Kenanga duduk bersimpuh di sisi Panji. Sinar kebahagiaan
yang semula berpendar di wajahnya lenyap seketika. Jelas
sekali Kenanga juga sangat terpukul melihat kenyataan yang
ada. Bukan hanya kegagalan untuk tinggal di tempat itu saja
yang membuatnya berduka. Tapi, lenyapnya mayat Eyang Tirta
Yasa yang tanpa diketahui penyebabnya itu, membuatnya ikut
merasakan kesedihan kekasihnya.
"Kenanga...," panggil Panji setelah beberapa saat lamanya
terbenam dalam kedukaan. "Maafkan a'ku. Kuharap kau suka
tinggal di sini, sementara aku pergi untuk memecahkan
persoalan ini. Rencana itu terpaksa ditunda. Entah untuk
berapa lama, tidak bisa kupastikan. Dan kuharap, kau mau
mengerti...."
Pendekar Naga Putih sadar, apa yang dikatakannya mungkin
akan membuat jiwa gadis jelita itu terluka atau sedih. Makanya
suaranya terdengar pelan, seperti mengharapkan pengertian
gadis itu. "Aku mengerti, Kakang. Kita memang harus menyelidiki
kejadian ini. Tapi terus terang, aku tidak bisa menunggu
sendirian di tempat ini. Bawalah aku serta, Kakang. Berilah
kesempatan padaku untuk menunjukkan baktiku pada
gurumu...," sahut Kenanga sambil menatap wajah kekasihnya,
penuh harap. Mau tak mau Panji menjadi tidak tega
melihatnya. "Baiklah. Sekarang, kita periksa dulu sekitar puncak bukit ini.
Kalau memang tidak menemukan petunjuk, terpaksa kita harus
mengembara kembali untuk mencari petunjuk-petunjuk lain
yang bisa dijadikan pegangan...," ujar Panji, seraya bangkit dari
jongkoknya. Sepasang matanya tampak berputar liar meneliti
tanah di sekitarnya.
"Hm...."


Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa, Kakang..." Kau menemukan sesuatu...?" tanya
Kenanga ketika mendengar kekasihnya bergumam lirih. Cepat
kakinya melangkah mendekati Panji.
"Lihatlah...," ujar Panji sambil menunjuk rerumputan yang
seperti baru terpijak kaki manusia. "Berarti ada orang lain yang
datang ke tempat ini..,."
"Tapi..., mengapa jejaknya hanya satu orang" Bahkan
seperti tidak membawa beban. Apakah tidak mungkin kalau
eyang..," Kenanga tidak melanjutkan kalimatnya. Hanya
sepasang matanya saja yang menatap ragu-ragu wajah Panji.
"Ah! Kau terlalu mengada-ada, Kenanga. Mana mungkin
orang yang sudah mati dapat bangkit kembali. Lain halnya
kalau ada pengaruh ilmu hitam yang menggerakkannya...,"
bantah Panji yang seperti dapat membaca pikiran kekasihnya.
"Itu yang kumaksudkan, Kakang. Siapa tahu jasad Eyang
Gurumu dibangkitkan untuk maksud-maksud jahat," duga
Kenanga lagi, seperti masih berusaha mempertahankan
dugaannya. "Tapi...," Panji menahan ucapannya.
Seketika, Pendekar Naga Putih mengerahkan indera
pendengarannya, begitu samar-samar seperti mendengar
sesuatu yang mencurigakan. Kenanga segera diberinya isyarat,
untuk terus berbicara agar sikap mereka tidak begitu
mencurigakan. Kenanga yang langsung paham maksud kekasihnya, segera
melanjutkan bantahannya tadi. Dan ketika baru beberapa kata
terucap dari mulut gadis itu, tiba-tiba tubuh Panji telah
melenting ke belakang dengan kecepatan kilat. Pendekar Naga
Putih terus berjumpalitan dan meluncur ke samping kanan,
kira-kira sejarak lima sampai enam tombak Sasarannya adalah
gerumbulan semak yang sangat lebat. Jelas, Panji menduga
ada sesuatu yang mencurigakan dibalik semak itu.
Krosakkk...! "Heiii..."!
Berbarengan suara gemerisik ribut, tubuh Pendekar Naga
Putih lenyap tertelan gerombolan semak belukar.
Sesaat sesudah tubuhnya lenyap, terdengar seruan terkejut
yang disusul melesatnya sesosok tubuh tinggi kurus dari dalam
semak-semak. Tak lama kemudian, Panji muncul dan langsung
mengejar sosok bayangan tinggi kurus tadi.
"Berhenti...! Mau lari ke mana kau..."!" bentak Panji sambil
berlompatan dan mengerahkan ilmu meringankan tubuh.
Namun ketika jarak di antara mereka sudah tinggal empat
tombak, tiba-tiba saja Panji terkejut setengah mati. Betapa
tidak" Meskipun sosok itu membelakanginya, tapi Panji tidak
akan pernah lupa terhadap sosok tinggi kurus itu. Pendekar
Naga Putih kenal betul dengan orang itu!
"Eyang..."!" desis Panji dengan wajah berubah tegang.
Memang Pendekar Naga Putih yakin dan tidak salah lihat.
Jadi, tidak mungkin kalau sampai keliru mengenali orang. Sosok
tinggi kurus itu menurut Panji adalah Eyang Tirta Yasa atau
yang berjuluk si Malaikat Petir. Hanya yang sulit dimengerti,
mengapa gurunya bisa bangkit lagi" Padahal, ia sendiri yang
menguburkan mayat orang tua itu.
Panji terpaku dengan wajah sebentar pucat, se bentar
tegang, la benar-benar tidak habis pikir untuk, beberapa saat
lamanya, sehingga sama sekali tidak berusaha melanjutkan
pengejarannya. Lain halnya Kenanga. Gadis jelita itu memang belum pernah
berjumpa dengan Eyang Tirta Yasa. Jadi wajar saja jika tidak
mengenali sosok orang tua itu. Dan ketika melihat kekasihnya
berhenti mengejar, tentu saja Kenanga jadi heran. Merasa ikut
bertanggung jawab terhadap lenyapnya mayat Malaikat Petir,
Kenanga tidak bisa berpangku tangan saja. Maka begitu
melihat sosok tinggi kurus berjubah putih itu melesat
meninggalkan puncak bukit, maka tanpa berpikir dua kali dia
langsung saja melesat mengejar.
"Berhenti...!" seru Kenanga sambil melontarkan sebuah
pukulan lurus ke tubuh tinggi kurus itu.
Karena jaraknya memang tidak terlalu jauh, maka sosok
tinggi kurus itu pun tentu saja tidak sudi tubuhnya dijadikan
sasaran pukulan.
Bettt...! Kepalan mungil yang diiringi sambaran angin keras luput
tidak mengenai sasaran, begitu sosok tinggi kurus itu telah
lebih dahulu merunduk dengan
rubuh doyong ke belakang.
Dan begitu kepalan Kenanga
lewat di atas kepala, cakar
kanannya cepat bergerak hendak mencengkeram pergelangan tangan gadis itu.
"Haiiit...!"
Kenanga juga tahu maksud
serangan sosok tinggi kurus itu.
Maka langsung saja kepalannya
ditarik pulang,
dan disusulinya dengan sebuah tendangan kilat ke iga lawan yang terbuka.
Sementara, sosok tinggi kurus itu ternyata sangat lihai dan
gesit gerakannya. Begitu melihat tendangan dara itu
mengancam iga, tangannya cepat bergerak turun untuk
memapak Maka, benturan keras pun tak terhindarkan lagi
Dukkk! Ugh..."l Kenanga terkejut bukan main ketika merasakan sebuah
kekuatan hebat bagaikan menekan tenaga saktinya. Sehingga,
tubuhnya kontan terhuyung dan hampir jatuh! Sama sekali
tidak pernah dibayangkan kalau tenaga sosok tinggi kurus itu
ternyata sangat dahsyat
Jtarrr! Darrr...!
Tiba-tiba terdengar ledakan keras disertai kilatan cahaya
yang mengejutkan. Mata Kenanga sampek terbelalak lebar
menyaksikan telapak tangan sosok tinggi kurus yang ternyata
seorang kakek berusia! delapan puluh tahun, dapat
mengeluarkan sinar berkilat, disertai ledakan dahsyat seperti
petir. "Telapak Tangan Petir..."!" desis gadis itu.
Kenanga tentu saja tahu ilmu dahsyat, karena Panji memang
sering menceritakannya. Kini melihat gerak tangan serta akibat
yang ditimbulkannya, Kenanga segera saja dapat menebak
tepat ilmu itu.
"Kenanga...!"
Untungnya sebelum sosok tinggi kurus itu melontarkan
pukulan, Panji telah datang menghampiri kekasihnya. Rupanya
ledakan keras tadi telah mengembalikan kesadarannya. Sayang,
saat Panji datang mendekat, sosok tinggi kurus itu segera saja
melesat meninggalkan Kenanga yang masih terpaku tegang.
'Eyang..., tungguuu...!" Panji berseru mencegah. Tapi, sosok
kakek kurus itu telah meluncur turun dengan pesatnya.
Sementara, Panji yang juga mengkhawatirkan nasib Kenanga,
terpaksa tidak melakukan pengejaran.
(Oo-dwkz-oO) 2 Kenanga tentu saja tidak mengerti sikap kekasihnya. Dara
jelita itu sempat termenung mendengar Panji yang memanggil
sosok kakek lawannya barusan, dengan benak masih dipenuhi
berbagai macam pertanyaan, Kenanga melangkah menghampiri
Panji. "Kau tidak apa-apa, Kenanga...?" tanya Panji menyambut
kekasihnya yang wajahnya terlihat masih agak pucat itu.
Pendekar Naga Putih memeluk dara jelita itu hingga
beberapa saat lamanya. Sepertinya ingin dihilangkan keresahan
hatinya setelah menyaksikan dengan mata kepala sendiri sosok
gurunya. Kejadian itu tentu saja membuat hatinya tidak karuan.
"Aku tidak apa-apa. Tadi hanya sedikit terkejut saja.
Siapakah kakek itu, Kakang" Kulihat, ia memiliki ilmu 'Telapak
Tangan Petir'. Padahal menurutmu, ilmu itu hanya dimiliki
Eyang Tirta Yasa. Lalu, mengapa kakek itu juga menguasainya"
Bahkan sudah sempurna tingkatannya! Apakah kau kenal
dengan kakek itu Kakang...?" tanya Kenanga mengungkapkan
perasaan herannya.
Rupanya, gadis jelita itu juga merasakan keresahan hati
kekasihnya. Dan memang, tidak biasanya Panji bersikap
demikian terhadapnya. Apalagi, sampai memeluknya berlama-
lama tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kelihatannya Panji
hendak menghindar, dan tidak ingin Kenanga melihat wajahnya
yang mungkin tampak tidak tenang.
"Aku..., aku.... Ahhh...! Sulit sekali untuk menerangkannya,
Kenanga. Aku sendiri belum percaya betul dengan apa yang
kulihat barusan. Rasanya, aku seperti sedang bermimpi buruk,
yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya...," desah Panji,
tetap masih menyembunyikan wajahnya di belakang kepala
gadis Jelita itu. Sepertinya, pemuda itu merasa malu untuk
mengatakan hal yang sebenarnya kepada Kenanga.
"Hm.... Kau ternyata masih belum menaruh kepercayaan
sepenuhnya kepadaku, Kakang. Kau masih saja suka
menyimpan rahasia. Kalau begitu, baiklah. Kalau memang
Kakang tidak ingin membicarakannya, aku pun tidak
memaksa...," desah Kenanga, segera melepaskan pelukan
kekasihnya, dan melangkah menuju pondok.
"Kenanga...," panggil Panji, seraya menangkap tangan
kekasihnya. Sehingga, langkah dara jelita itu tertahan.
Pendekar Naga Putih memegang bahu gadis Itu dengan
lembut. Ditatapnya wajah Kenanga lekat-lekat.
Kenanga membalas tatapan kekasihnya. Hatinya sedikit
bergetar saat melihat sorot mata Panji yang tampak bagaikan
menyimpan luka dan sesal. Disadari kalau semua itu bukan
disebabkan sikapnya barusan. Tapi, sosok kakek tinggi kurus
itulah yang telah membuat Pendekar Naga Putih terlihat
bingung, tidak seperti biasanya yang selalu tenang dan penuh
senyum "Kenanga. Bukan aku tidak ingin menceritakan nya
kepadamu. Tapi, aku sendiri belum yakin dan belum percaya
dengan apa yang, baru saja terjadi. Ketahuilah, Kenanga.
Kakek yang tadi sepertinya adalah! Eyang Tirta Yasa, guruku.
Sosoknya demikian sempurna, tidak seperti sosok mayat hidup.
Dan juga, tidak menebarkan bau busuk. Bukankah itu sangat
aneh"! Padahal, kedua tanganku sendiri yang menurunkan
tubuh orang tua itu ke liang lahat. Kini, mengapa tahu-tahu
muncul dalam keadaan hidup..." Tidak mungkin kalau orang
sudah mati dapat hidup kembali...," jelas Panji. Semua itu
diceritakannya karena tidak ingin dianggap masih belum
percaya sepenuhnya terhadap dara jelita itu.
"Jadi..., kakek tadi Malaikat Petir..." Begitu maksudmu?"
tanya Kenanga, meminta ketegasan.
Meskipun sudah dapat menduga kalau Panji mempunyai
hubungan dengan kakek tadi, tapi sama sekali tidak disangka
kalau hubungan itu demikian dekatnya. Kakek yang
menggebrak beberapa jurus terhadapnya tadi, ternyata guru
kekasihnya! "Benar! Aku yakin, tidak salah lihat...," jawab Panji dengan
suara mantap tanpa keraguan sedikit pun. Dan memang,
Pendekar Naga Putih telah melihat dan menegasinya beberapa
kali. "Tapi, mengapa dia tidak mengenalmu, Kakang" bahkan
seperti tidak peduli...," tanya Kenanga lagi.
Tentu saja Kenanga jadi ikut-ikutan bingung, karena selama
ini diketahuinya Malaikat Petir sudah tewas beberapa waktu
yang lalu. Bahkan Panji sendiri yang menceritakan semuanya.
Lalu, mengapa tahu-tahu kini tokoh sakti itu muncul"
Mungkinkah yang tadi itu hanya rohnya"
"Itulah yang membuatku bingung, Kenanga. Ada beberapa
kemungkinan yang berhubungan dengan kejadian aneh itu.
Pertama, mungkin saja sosok yang dulu kukuburkan bukan
Eyang Tirta Yasa. Meskipun, aku yakin saat itu kalau beliaulah
yang kumakamkan. Dan kedua, mungkin saja ada orang yang
sengaja membangkitkan mayat eyang untuk tujuan-tujuan
tertentu, dan sudah jelas bukan tujuan kebaikan. Tapi kalau
kemungkinan kedua lebih tepat, bukankah mayat eyang
menurut perhitungan sudah tinggal tulang-belulang saja" Mana
ada mayat yang ditanam dalam tanah bisa tetap utuh...?" jelas
Panji yang belum juga mendapatkan jawaban tepat bagi
kejadian aneh yang dialaminya.
"Bagaimana
kalau kemungkinan pertama, Kakang. Katakanlah, mayat yang kau kubur dulu bukan gurumu,
meskipun mungkin sosok dan pakaiannya serupa.
Kalau memang benar begitu, berarti sosok yang barusan
muncul pastilah gurumu yang asli. Mungkin beliau baru keluar
dari tempat bertapa." Kenanga mengungkapkan pendapatnya.
Sehingga Panji jadi termenung untuk beberapa saat.
"Hm.... Meskipun kemungkinan itu sangat kecil tapi
anggaplah kemungkinan itu ada. Nah! Sekarang bagaimana
pendapatmu dengan usia yang tidak bertambah. Padahal
kematian eyang sudah cukup lama Tapi wajahnya tadi, justru
sama sekali tidak berubah Mengapa ia tidak bertambah tua?"
kata Panji. Sejak pertama, Pendekar Naga Putih memang sudah
merasa heran melihat wajah yang diduga gurunya yang sama
sekali tidak berubah, tetap seperti dua tahun yang lalu.
Kenanga terdiam setelah mendengar bantahan Panji.
Meskipun dalam hati belum bisa menerima bantahan itu, tapi
kepalanya tetap mengangguk, tanda setuju.
"Sebaiknya, tadi kita mengejarnya, Kakang. Dengan
demikian, kita baru bisa menyingkap rahasia yang membingungkan ini...," ujar Kenanga setelah cukup lama


Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keduanya terdiam dalam pikiran masing-masing.
"Hhh.... Saat itu, terus terang aku tidak bisa melakukannya,
Kenanga. Hatiku begitu terkejut melihat orang yang selama ini
kusangka telah tewas, tahu-tahu muncul begitu saja di
depanku. Jadi aku tidak bisa berpikir lain, kecuali keanehan itu.
Tapi kalau dia memang benar Eyang Tirta Yasa, pasti kita akan
menemukannya. Lain halnya, kalau sosok kurus tadi adalah
makhluk halus...," desah Panji yang mau tak mau berpikiran ke
situ, karena semua jalan pemikirannya benar-benar buntu.
'Tidak mungkin, Kakang. Kakek itu jelas-jelas manusia. Aku
berani sumpah!" tegas Kenanga.
"Bagaimana kau bisa seyakin itu...?" tanya Panji. Diam-diam
Pendekar Naga Putih menjadi kagum akan ketegasan dan
pendirian kekasihnya. Kenanga tidak hanya mengiyakan
perkataannya, tapi juga bisa memberi pandangan, dan tidak
segan-segan membantah apabila pendapat pemuda itu salah.
"Tentu saja aku sangat yakin, Kakang. Karena, aku
mempunyai sebuah alasan yang sangat kuat..," jawab Kenanga
tersenyum, seperti berusaha memancing rasa penasaran Panji.
"Apa alasanmu...?" desak Panji. Diam-diam Pendekar Naga
Putih menjadi gemas melihat sikap Kenanga yang seperti
sengaja hendak menggoda. Tapi, pemuda itu berusaha
menahan diri karena ingin mendengar alasan kekasihnya yang
begitu yakin kalau sosok kakek tinggi kurus tadi adalah manusia
biasa, dan bukan makhluk halus.
"Karena, aku sempat berbenturan dan beradu tenaga
dengannya tadi. Dan tentu saja dapat kurasakan adanya arus
gelombang tenaga sakti yang amat kuat. Rasanya, tenaga
kakek itu tidak kalah dengan tenaga saktimu, Kakang...," jawab
Kenanga, agak khawatir ketika mengucapkan kalimat
terakhirnya. "Hm.... Kalau memang manusia biasa, siapa benarnya orang
itu" Apakah dia benar-benar Eyang Tirta Yasa" Kalau bukan,
mengapa memiliki 'Ilmu Telapak Tangan Petir'" Padahal,
menurut eyang, ilmu Itu tidak pernah diajarkan dan diturunkan
kepada siapa pun. Juga kepadaku, meskipun memiliki dasar-
dasarnya. Herannya, 'Ilmu Telapak Tangan Petir' sekarang
kelihatan sempurna," gumam Panji.
"Sebaiknya, kita cari di sekitar puncak Bukit Gua Harimau
dan Hutan Randu Apus. Apabila tidak ditemukan di sini, kita
cari saja di tempat lain. Kalau dia memang bukan Eyang Tirta
Yasa, tentu ada maksud jelek dengan penampilannya yang
sengaja menyamar. Mudah-mudahan saja kita belum terlambat
untuk mencegahnya...," usul Kenanga yang sepertinya merasa
sangat penasaran atas keanehan-keanehan itu.
"Hm.... Untuk saat ini, rasanya memang usul itulah yang
paling baik. Ayolah kita mulai mencarinya...," ajak Panji yang
semangatnya timbul kembali,
(Oo-dwkz-oO) Sosok tinggi kurus tampak melangkah ringan, menyusuri
jalan lebar yang menghubungkannya dengan Desa Kalang. Saat
itu, matahari sudah berada di atas kepala. Sinarnya memancar
terik, bagai hendak memanggang bumi di bawahnya. Tapi,
semua itu sama sekali tidak membuat sosok tinggi kurus itu
terganggu Kakinya tetap terayun dengan irama tetap.
Ketika tengah melewati jalan yang di kiri dan kanannya
membentang persawahan, sosok tinggi kurus yang ternyata
seorang kakek-kakek itu terdengar menggumam tak jelas.
Sorot mata tuanya tampak berkilat tak senang, karena di
depannya seorang gembala tengah sibuk mengatur puluhan
ekor kambing yang memadati jalan. Rupanya pemandangan itu
yang membuatnya tak senang.
"Hei, Bocah Edan! Suruh binatang-binatang keparat itu
menyingkir! Kalau tidak, terpaksa akan kusingkirkan sendiri!"
bentak kakek itu galak. Padahal raut wajahnya terlihat lembut
dan penuh kesabaran. Sungguh tak sepadan antara suara
dengan wajahnya.
"Maaf, Kek. Aku sibuk mengurus kambing-kambing di
sebelah sini. Kalau Kakek mau lewat, silakan singkirkan
sendiri...," sahut bocah berusia sekitar tiga belas tahun itu. Dia
hanya menoleh sekilas, kemudian kembali sibuk mengurus
ternaknya. "Husy..., husy...!"
Mendengar jawaban acuh tak acuh itu, si kakek bergumam
lirih. Kemudian, kakinya melangkah seenaknya melewati
kambing-kambing yang berdesak-desakan memadati jalan lebar
itu. "Mbeeek..., eeekh...!"
Tiba-tiba terdengar embik kesakitan dari beberapa ekor
kambing. Sementara, kakek itu terus melangkah sambil
memukul dan melemparkan binatang-binatang itu seenaknya.
Tentu saja perbuatan itu mengejut? si bocah penggembala.
"Hei, Kakek Gila! Kau appp...!"
Bocah penggembala itu tidak sempat menyelesakan
kalimatnya, karena tahu-tahu saja salah seekor kambing
menimpa wajahnya. Seekor kambing yang dilemparkan oleh
kakek berwajah arif, namun berwatak telengas.
Bukkk! Karuan saja, bocah itu jatuh terjungkal di atas tanah. Belum
lagi sempat kata-kata makian terlontar kembali dari mulutnya,
tiba-tiba.... "Ahhh...?"
Bagaikan disengat kalajengking, tubuh bocah tanggung itu
tersentak bangkit ketika merasakan suatu cairan hangat
membasahi wajah dan pakaiannya. Wajahnya langsung
memucat begitu mengenali cairan apa yang mengotori wajah
dan pakaiannya.
"Darah...!?" desis bibir bocah tanggung itu gemetar.
Dan ketika bocah itu memeriksa kambing yang jatuh
menimpanya, ternyata kepalanya telah pecah. Rupanya, dari
situlah darah berasal. Tentu saja, ia menjadi
ketakutan setengah mati. Apalagi ketika melihat bukan hanya
kambing itu saja yang mati, tapi masih banyak lagi yang
bergeletakan bersimbah darah segar.
"Celaka...! Ada kakek gila ngamuuuk...! tolong...! Ada kakek
gila ngamuuuk...!"
Setelah sadar akan apa yang telah menimpa binatang
ternaknya, bocah itu pun langsung kabur sambil berteriak-teriak
ketakutan. Tentu saja pembantaian ternak itu baginya
merupakan suatu pemandangan yang mengerikan.
"He he he...! Dasar bocah gendeng...," umpat kakek itu
sambil terus melemparkan kambing-kambing ke sana kemari.
Meskipun jalan baginya telah terbuka lebar, namun kakek itu
tetap saja memukul, dan melemparkan binatang-binatang tak
berdosa itu ke segala arah.
Sedangkan penggembala itu terus saja berlari menuju desa
sambil berteriak teriak minta tolong. Beberapa orang petani
yang melihat dan mendengar teriakan bocah itu, segera saja
berdatangan, dan langsung menghampiri.
"Hei, ada apa..." Mengapa kau berlari-lari seperti orang
dikejar setan..." Kau bisa kena marah juraganmu kalau ternak-
ternak itu ditinggalkan begitu saja...," kata salah seorang petani
berkulit hitam yang tubuhnya tampak kokoh. Rupanya, dia
cukup mengenal bocah Itu.
"Hhh..., hhh.... Ada..., ada kakek gila mengamuk dan
membunuhi ternak-ternakku...."
Akhirnya, meski dengan suara patah-patah dan napas tidak
beraturan, bocah itu bisa juga menyampaikan apa yang Ingin
dikatakannya. "Hah"! Ada kakek gila mengamuk, membunuh kambing-
kambingmu" Kakek gila dari mana " Siapa dia...?" tanya petani
lain yang bertubuh tinggi sambi menepuk pipi bocah
penggembala itu.
Rupanya, ia tidak percaya dengan laporan anak kecil itu.
Karena menurutnya, mana ada seorang kakek-kakek yang
sanggup membunuh puluhan ekor kambing. Jadi, sebenarnya
hanya sekadar basa-basi saja. Bahkan cenderung mencemooh.
"Betul, Kakang! Aku tidak bohong. Ini! Lihat saja wajah dan
pakaianku! Ini adalah darah salah seekor kambing yang
dibunuhnya, kemudian dilemparkan ke wajahku...," jelas bocah
itu ketika para petani tidak mempercayai laporannya.
"Kalau begitu, kita harus hentikan perbuatan kakek gila itu!
Ayo, tunjukkan kepada kami tempat nya...!" ujar petani
bertubuh kokoh yang kulitnya hitam dengan suara lantang.
Jelas, ia ingin menunjukkan keberaniannya kepada kawan-
kawannya. Tanpa banyak cakap lagi, bocah penggembala ini langsung
mengajak sepuluh orang petani untuk mendatangi tempat
semula. Belum sampai beberapa langkah mereka berjalan, tiba-
tiba semuanya serentak memandang ke atas. Karena entah
kapan datangnya tahu-tahu saja dari atas kepala mereka
terdengar suara benda melayang, menimbulkan desir angin
mengejutkan."
"Awaaas...!
Petani muda bertubuh kokoh yang wajahnya agak kehitaman
sepertinya merupakan orang yang paling berani di antara yang
lain. Dan peringatan itu pun datang dari dia juga.
Bukkk! Bukkk! "Aaakh,..!"
"Hugkh...!"
Sayang, dua orang petani tidak sempat menghindari
jatuhnya benda berbulu coklat. Kekuatan daya dorongnya
ternyata sangat luar biasa. Sehingga, tubuh kedua orang petani
malang itu terjerembab hingga mengalirkan darah pada sudut
bibirnya. Dan ketika tubuh mereka terbanting jatuh ke
sawahnya sendiri, karuan saja lumpur-lumpur membedaki
sekujur tubuh dan pakaian mereka.
"Gila...! Kakek itu benar-benar tak waras...!" desis salah
seorang yang merasa takut setelah melihat kejadian di depan
matanya. "Eh"! Apa yang telah terjadi dengan mereka" Mengapa
kedua orang kawan kita belum juga muncul-muncul..?" tanya
seorang petani bermuka pucat.
Sepertinya, dia mulai ciut melihat siapa gerangan orang yang
datang. Namun, ketika melihat tubuh kedua orang temannya
tetap terbenam di dalam lumpur, sadarlah para petani itu.
Ternyata kakek gila itu bukan orang sembarangan.
"Keparat kau, Kakek Gila! Datang-datang membantai ternak
orang! Dan kini muncul lagi menyusahkan orang lain.
Bedebah...!" maki si petani muda bea tubuh kokoh dan berkulit
hitam. Jelas sekali kalau dia merasa marah bukan main. Hanya yang
tidak dimengerti, bagaimana kedua kawannya tidak bisa
bangun lagi. Padahal, mereka hanya tertimpa tubuh kambing.
Dengan wajah merah padam, petani muda yang terlihat
sangat kuat itu mengayunkan cangkulnya dengan maksud
untuk menakut-nakuti. Tapi ketika melihat kakek itu malah
mengejek, maka cangkulnya segera diayunkan ke arah kepala.
Kakek bertubuh tinggi kurus berjubah putih itu nampak sama
sekali tidak gentar. Dengan tenang, langkahnya dilanjutkan
menghampiri petani-petani itu. Sama sekali tidak dipedulikannya sambaran mata cangkul yang siap membelah
batok kepalanya.
Wukkk".! Trakkk! "Aaa...!"
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat! para
petani itu melotot dengan perasaan ngeri. Kenyataannya,
bukan kepala kakek itu yang terbelah, melainkan mata cangkul
itulah yang patah. Bahkan petani muda yang menyerang tadi
tampak terjengkang dari merintih kesakitan sambil memegangi
tangannya yang bengkak hingga sebatas sikut.
(Oo-dwkz-oO) 3 Kejadian itu tentu saja membuat para petani terbelalak tak
percaya. Mereka sama-sama berdiri terpaku dengan wajah
pucat. Benar-benar sukar diterima akal! Mana mungkin tubuh
kakek yang hanya terdiri dari kulit dan daging itu mampu
menahan mata pacul yang terbuat dari besi" Tentu saja para
petani yang sama sekali tak paham ilmu silat, belum bisa
mempercayainya.
Tapi, kakek tinggi kurus berpakaian putih itu sama sekali
tidak peduli. Dengan langkah tenang, dihampainya petani yang
barusan menghantamkan cangkul ke tubuhnya. Tanpa berkata
sepatah pun, tangannya menjulur untuk mencekal batang leher
petani muda bertubuh kekar itu. Dan....
"Eeekhhh...!"
Terdengar teriakan yang tersumbat saat tubuh petani muda
itu terangkat dari atas tanah. Benar-benar sukar dipercaya!
Lengan kakek kurus itu ternyata mampu mengangkat tubuh
petani yang besar dan kokoh. Bahkan, sepertinya sama sekali
tidak mengerahkan tenaga sedikit pun!
"Hmh...!"
Seiring geraman yang keluar dari mulutnya, kakek itu
mengetatkan cengkeraman jemari tangannya pada leher
sasarannya. Dan....
Krrrkhg...! Bagaikan meremas segumpal tanah kering yang gembur,
tangan kakek itu melumatkan batang leher si petani Seketika,
terdengarlah suara tulang berpatahan, seiring tetesan darah
segar yang mengalir melalui jari-jari tangannya yang terbenam
di daging si petani
"Hihhh...!"
Tanpa merasa menyesal atau berdosa sedikit pun, kakek itu
melemparkan tubuh petani muda yang nyawanya telah
melayang ke akhirat, ke arah kawan-kawannya.
"Aaah...!"
Para petani yang semula sama sekali tidak menyadari
luncuran tubuh kawannya, kontan terkejut setengah mati.
Sayang, kesadaran mereka telah terlambat. Kenyataannya,
tubuh yang sudah tidak bernyawa lagi itu hanya tinggal
beberapa jengkal dari mereka. Dan....
Bruggg! Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dari para petani.


Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rupanya lemparan yang kelihatan perlahan itu berakibat sangat
hebat. Begitu membentur sasaran, ternyata tenaga dorongnya
lebih kuat daripada tenaga gajah! Tentu saja hal itu sama sekali
tidak pernah disangka. Kesadaran itu baru didapat saat tubuh
mereka terlempar hingga sejauh satu tombak lebih.
"Hm "
"Hm.. Kakek tinggi kurus itu hanya bergumam perlahan, kemudian
kembali beranjak meninggalkan tempat itu. la sama sekali tidak
ingat kepada bocah gembala yang sejak tadi telah lari ke desa.
Namun baru beberapa tindak melangkah, tiba-tiba kakek itu
berhenti mendadak. Pendengarannya yang tajam mendengar
adanya suara berdesing halus yang berasal dari belakangnya.
Segera saja rubuhnya berbalik, meskipun desingan itu sama
sekali tidak berbahaya. Memang, dari suaranya dapat diketahui
kalau si pelempar sama sekali tidak mempunyai ilmu silat
Buktinya, lemparan lima buah batu itu tidak dengan
pengerahan tenaga dalam.
"Hm...."
Sambil bergumam perlahan, kakek itu mengulur tangannya
dengan sembarangan saja. Maka beberapa batu sebesar
kepalan tangan telah tergenggam di tangannya. Anehnya, batu-
batu yang tidak mungkin bisa digenggam itu saling lekat satu
sama lain. Sehingga, kelima batu itu dapat dipegang sekaligus!
"Hm.... Kalian sendiri yang cari mampus...," desis kakek itu
dengan nada dingin dan datar.
Usai berkata demikian, tangan yang memegang batu-batu itu
dikibaskan. Perlahan saja kelihatannya, namun akibatnya....
Whuttt...! Benar-benar mengejutkan! Diiringi suara mendesing yang
menyakitkan telinga, kelima buah batu itu meluncur ke arah
para petani yang melemparkannya. Dan sebelum para petani
itu tahu apa yang sebenarnya yang menimbulkan suara
sedemikian menyakitkan, tahu-tahu saja tubuh mereka
terjengkang satu persatu ke atas tanah.
"Aaakh...!" "Aaa...!"
Hampir bersamaan, tubuh kelima orang petani malang itu
ambruk ke tanah dengan tubuh bersimbah darah segar. Batu-
batu yang dikembalikan kepada mereka, tepat mengenai pelipis
masing-masing. Maka saat itu juga, mereka tewas dengan
kepala retak! Setelah semua petani itu tewas, kakek kurus itu melangkah
tenang ke arah desa. Sedikit pun tidak terbersit rasa
penyesalan di wajahnya. Seolah-olah nyawa manusia tidak lebih
berharga daripada seekor lalat. Benar-benar keji hati kakek
tinggi kurus itu.
(Oo-dwkz-oO) Matahari sudah semakin condong ke Barat, saat kakek tinggi
kurus itu tiba di mulut Desa Kalang. Dan keningnya yang
memang sudah berkeriput oleh garis-garis ketuaan, tampak
kelihatan semakin nyata. Terdengar suara menggeram jengkel
dari kerongkongannya.
"Itu dia, kakek gila yang telah membunuh ternak-ternakku
dan para petani yang hendak menolongku tadi"
Terdengar suara bening yang berasal dari seorang bocah
laki-laki. Ia tak lain dari si bocah penggembala. Rupanya, dia
telah melaporkan kepada pihak keamanan desa. Buktinya
begitu kakek itu tiba di mulut desa, 'puluhan keamanan desa
telah siap dengan senjata di tangan. Memang, kakek itulah
yang tengah ditunggu.
Seorang lelaki gagah berkumis tipis tampak menatap ke arah
kakek tinggi kurus itu dengan kening berkerut. Sepertinya, dia
kurang percaya kalau lelaki tua bertubuh kurus yang
terbungkus pakaian berwarna putih itu dapat mencelakai orang.
"Kau yakin, dia yang telah membunuh ternak-ternakmu dan
melukai beberapa orang petani?" tanya lelaki gagah itu
meminta ketegasan bocah penggembala.
"Bukan yakin lagi, Ki. Kelihatannya kakek itu memang seperti
orang lemah, tapi sangat kuat Hati-hatilah, Ki. Tampaknya para
petani yang menolongku sudah dicelakai olehnya...," jawab
bocah penggembala Itu tanpa ragu sedikit pun, sehingga
membuat lelaki gagah itu mengangguk-anggukkan kepala.
Tidak ada pilihan lain baginya, kecuali mempercayai keterangan
bocah itu. "Kalian semua tetap di tempat. Siapkan anak-anak panah.
Siapa tahu, kita memerlukannya. Jalud, Bontang! Ikut aku...!"
perintah lelaki gagah itu, kemudian segera melangkah
menghampiri kakek tinggi kurus berpakaian putih.
"Baik, Ki...."
Kedua orang lelaki yang dipanggil Jalud dan Bontang
bergegas mengikuti langkah kaki lelaki yang nama Ki Balwa
Ranta. Dia memang menjadi Kepala Keamanan Desa Kalang,
dan juga tangan kanan Kepala desa.
"Orang tua...! Harap berhenti sebentar,..! Ada beberapa
pertanyaan yang hendak kami ajukan kepadamu...!"
Terdengar suara Ki Balwa Ranta yang berhenti dalam jarak
dua tombak dari sosok kakek tinggi kurus itu. Tampaknya,
Kepala Keamanan Desa Kalang itu merupakan seorang yang
selalu berhati-hati dalam mengambil tindakan.
Mendengar teguran lelaki gagah itu, si kaki menghentikan
langkahnya. Namun tak berapa lam?. kemudian, kakinya
kembali melangkah maju, seolah-olah sama sekali tidak
mengerti apa yang diucapkan Ki Balwa Ranta barusan.
"Orang tua! Kuharap kau tidak membandel dengan
membantah perintahku...!" seru Ki Balwa Ranta kembali
memperingatkan.
Setelah berseru demikian, tangannya meraba gagang
pedang di balik pakaian hitamnya. Dan ternyata kakek tinggi
kurus itu benar-benar tidak peduli. Langkahnya terus
dilanjutkan bagaikan orang tuli. Tetu saja hai itu membuat Ki
Balwa Ranta menjadi bingung
Pikirnya, siapa tahu kakek itu memang tuli, sehingga tidak
mematuhi perintahnya.
Ki Balwa Ranta menjadi serba salah. Jika pengikutnya
diperintahkan untuk melepaskan anak panah, khawatir kakek
itu akan terluka. Tapi jika tidak bertindak, dia takut kalau-kalau
apa yang dikatakan bocah penggembala itu benar.
Setelah agak lama bergulat dengan pikirannya sendiri, Ki
Balwa Ranta cepat mengambil keputusan. Diraihnya busur dan
anak panah dari salah seorang anak buahnya, kemudian
dibidikkan ke tubuh kakek yang tengah melangkah itu. Dan....
Twang...! Begitu busur dilepaskan, maka anak panah pun meluncur
deras mengancam tubuh kakek tinggi kurus itu. Namun wajah
Ki Balwa Ranta menjadi tegang, begitu melihat kakek itu seperti
tidak peduli. Bahkan terus melangkah dengan tenangnya.
Capppl Anak panah yang dilepaskan Ki Balwa Ranta rupanya hanya
sekadar untuk peringatan saja. Buktinya, hanya menancap
beberapa langkah di depan sasarannya. Sehingga, kakek tinggi
kurus itu menghentikan langkahnya dan langsung menatap Ki
Balwa Ranta. "Hhh...."
Ki Balwa Ranta terdengar menarik napas lega, ketika kakek
itu tidak menunjukkan kalau mengerti ilmu silat. Melihat hal ini,
Ki Balwa Ranta jadi tidak mempercayai keterangan si bocah
penggembala. Saat langkah kakek itu semakin dekat Ki Balwa
Ranta sama sekali tidak bertindak apa-apa.
Tinggallah si bocah penggembala yang merasa ketakutan
setengah mati. Apalagi, hanya ia seorang yang tahu betapa
kejamnya sifat kakek itu. Tapi bocah itu tidak bisa berbuat
sesuatu, sebab baik KI Balwa Ranta maupun para Keamanan
Desa Kalang seperti telah menerima kedatangan kakek itu.
Senjata-senjata mereka pun telah diturunkan, dan disimpan di
tempatnya semula. Sehingga, bocah gembala itu hanya bisa
menatap dengan wajah pucat dan keringat membanjiri sekujur
tubuh. (Oo-dwkz-oO) "He he he...!"
Terdengar suara kekeh kakek tinggi kurus itu, saati
langkahnya sudah semakin mendekati mulut desa. Kali ini
matanya tampak merayapi orang-orang di depannya, yang
berjarak kurang dari dua batang tombak.
Ki Balwa Ranta, Kepala Keamanan Desa Kalang, melangkah
mendekat. Sepertinya dia hendak menyambut kedatangan
kakek tinggi kurus itu. Dua orang pembantu lelaki gagah itu
ikut pula menyertai, mengapit di kiri dan kanan.
Untuk kesekian kalinya, kakek tinggi kurus itu terkekeh
berkepanjangan. Sepasang matanya tampak memancarkan
sinar berkilat mengerikan. Untunglah Ki Balwa Ranta lebih
dahulu waspada. Maka begitu melihat adanya percikan darah di
pakaian kakek itu pada beberapa bagian Ki Balwa Ranta segera
bergerak mundur dengan kecurigaan langsung timbul. Sikap
mendadak itu tentu saja membuat tenaga saktinya bergolak
seketika, dan menyebar melindungi sekujur tubuhnya.
Tindakan yang dilakukan Ki Balwa Ranta ternyata sangat
tepat. Karena pada saat yang bersamaan, telapak tangan kakek
tinggi kurus itu terulur dengan jari-jari membentuk
cengkeraman. Dari sambaran angin yang ditimbulkannya, jelas
kalau cengkeraman itu tidak main-main.
Wuttt...! Gerakan cengkeraman itu sepertinya memang sengaja
diperlambat. Kalau tidak, tentu takkan mungkin sempat
dielakkan Ki Balwa Ranta.
"Awas, Ki...!"
Salah seorang dari dua lelaki gagah yang mengapit Ki Balwa
Ranta rupanya selalu memasang sikap waspada. Dan ketika
lengan kakek itu terulur mencengkeram, mereka langsung
bergerak dari kiri dan kanan. Senjata mereka langsung
diayunkan, hendak membabat putus lengan kakek itu.
Bettt! Bettt! Sayang, pemilik lengan itu tidak tinggal diam. Lengan kakek
itu bergerak cepat seperti lenyap, sewaktu serangan pedang
dua orang pembantu Ki Balwa Ranta hampir menyentuhnya.
Dan sebelum kedua keduanya sempat mencari-cari ke mana
lengan itu pergi, tahu-tahu saja mereka merasakan sesuatu
yang dingin menyentuh kuduk.
"Ahhh..."l"
Kedua orang laki-laki gagah itu terbeliak dengan wajah
pucat, begitu tahu-tahu saja tubuh mereka terangkat dari atas
tanah. Keruan saja, mereka menjerit ketakutan.
"He he he...!"
Kakek tinggi kurus itu sepertinya malah senang mendengar
jeritan kedua lawannya. Kedua lengannya yang mencengkeram
batang leher, terus membawa tubuh kedua lelaki gagah itu ke
atas hingga setinggi satu tombak.
"Hei, lepaskan...!" sentak Ki Balwa Ranta.
Lelaki gagah itu tentu saja terkejut melihat kejadian yang
menimpa kedua orang pembantunya. Maka cepat senjatanya
dihunus, dan langsung menyerbu.
"He he he.... Kalau hanya minta agar mereka dilepaskan,
mengapa harus segalak itu" Nah, terimalah. kawan-kawanmu
ini...," kata kakek tinggi kurus itu sambil terkekeh parau.
Kemudian, dilemparkan tubuh kedua orang telaki gagah itu ke
arah Ki Balwa Ranta.
Perbuatan kakek itu tentu saja membuat Ki Balwa Ranta
menjadi bingung. Cepat senjatanya disimpan, dan kedua
tangannya diulurkan untuk menyambut tubuh kawan-
kawannya. Tapi..
Bruggg...! "Ahhh..."!"
Bukan main terkejutnya hati Ki Balwa Ranta, ketika
mendapatkan dua sosok tubuh yang disambutnya ternyata
sangat berat. Sehingga tanpa dapat dicegah lagi, tubuh lelaki
gagah itu terjajar mundur dan hampir terjungkal ke belakang.
Untunglah, Ki Balwa Ranta sempat memantekkan kedua
kakinya di tanah, sehingga sanggup menahan dorongan yang
mengandung kekuatan tenaga dalam yang sepenuhnya itu.
"Gila..."! tenaga dalam kakek itu ternyata hebat sekali,"
gumam Ki Balwa Ranta, hampir tak percaya dengan apa yang
barusan dialaminya.
Sementara, kedua sosok tubuh yang dilemparkan kakek
tinggi kurus itu tampak tidak bergerak sama sekali. Hal ini
membuat keningnya berkerut. Segera saja kakinya melangkah
mendekati kedua sosok kawannya itu. Dan....
"Biadab...!" desis Ki Balwa Ranta geram.
Kedua sosok tubuh kawannya ternyata sudah tidak bernyawa
lagi. Tewas dengan tulang leher remuk.
"Iblisss...!"
Untuk kesekian kalinya, Ki Balwa Ranta kembali mengutuk
kakek tinggi kurus itu. Sama sekali tidak diketahuinya, kapan
kedua orang kawannya itu terbunuh. Padahal, mereka tidak
terlalu lama berada dalam cengkeraman tangan kakek itu.
Tentu saja kenyataan ini merupakan satu bukti kehebatan
kakek tinggi kurus itu.
Kematian kedua orang pembantunya itu, tentu saja
membuat amarah Ki Balwa Ranta sampai ke ubun-ubun. Cepat
dia bergerak mundur menjauhi kakek itu. Dengan pedang di
tangan, segera diperintahkan anak buahnya untuk menyiapkan
anak panah. "Habisi kakek gila itu..!" perintah Ki Balwa Ranta sambil
mengayunkan pedang di tangannya ke depan. Maka seketika
itu juga, terdengarlah suara berdesingan yang susul menyusul.
"He he he.... Bagus..., bagus.... Sambutan kalian ternyata
sangat meriah...," ejek kakek tinggi kurus itu sambil terus
melangkah mendekati batas desa. Sepertinya, sama sekali tidak
dipedulikan datangnya puluhan batang anak panah yang
berdesingan mengancam tubuhnya.
Ki Balwa Ranta menarik napas ketika melihat kakek tinggi
kurus itu terus melangkah maju, seperti orang yang tidak tahu
bahaya. Tentu saja, lelaki gagah itu menjadi tegang. Ingin
diketahuinya, apa yang akan dilakukan kakek itu untuk
menyelamatkan diri.
Apa yang selanjutnya disaksikan Ki Balwa Ranta dan anak
buahnya, ternyata, benar-benar membuat mereka terbelalak
pucat. Ternyata dari sekian banyak anak panah yang


Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilepaskan, tak satu batang pun yang menempel di tubuh tinggi
kurus itu. Semuanya runtuh ke atas tanah dalam keadaan
patah! "Gilai...!" desis beberapa orang Keamanan Desa Kalang yang
hampir tidak percaya melihat kenyataan itu.
"Ilmu iblis...!"
Lagi-lagi Ki Balwa Ranta mengutuk menyaksikan kesaktian
kakek tinggi kurus itu. Kejutan-kejutan yang dibuat kakek itu
dalam beberapa gebrakan, membuatnya merasa cemas
terhadap keselamatan Desa Kalang. Ki Balwa Ranta sudah
dapat mengukur kalau mereka tidak mungkin mampu
menghalangi kakek tinggi kurus itu untuk masuk ke Desa
Kalang. Tapi, Ki Balwa Ranta dan para Keamanan Desa Kalang
rupanya bukan orang-orang pengecut. Dengan gagahnya,
Kepala Keamanan Desa Kalang ini mengajak anak buahnya
untuk bergerak maju mengepung kakek tinggi kurus itu.
"Maju...! Jangan biarkan ia masuk ke dalam desa kita...!"
Sambil berseru demikian, Ki Balwa Ranta sudah bergerak
maju dengan pedang terhunus. Dihadapinya kakek tinggi kurus
yang masih terkekeh itu dengan ketabahan luar biasa.
Memang, sebagai kepala keamanan desa, tentu saja tanggung
jawabnya sangat besar.
"Hm...."
Terdengar gumaman lirih dari kerongkongan kakek tinggi
kurus itu. Sedangkan bibirnya sama sekali tidak bergerak,
dengan sepasang mata berkilat-kilat mengawasi sekeliling.
"He he he...."
Kembali terdengar suara tawa terkekeh, melihat para
pengepungnya sudah semakin dekat, siap merencah hancur
tubuhnya. (Oo-dwkz-oO) 4 "Serbuuu...!"
Seiring perintah Ki Balwa Ranta, maka meluncurlah puluhan
sosok tubuh bersenjata terhunus ke arah kakek tinggi kurus itu.
Ki Balwa Ranta sendiri menerjang pating dulu. Kelebatan sinar
pedangnya menyambar-nyambar, disertai desiran angin tajam.
Bettt! Bettt! "Hait...! Bagus..., bagus...!"
Berkali-kali kakek tinggi kurus itu berseru memuji permainan
pedang Ki Balwa Ranta. Meskipun begitu, belum sekali pun
ujung pedang lelaki gagah itu menemui sasaran. Sehingga, Ki
Balwa Ranta menjadi penasaran dibuatnya.
"Heaaah...!"
Saat melihat serbuan beberapa batang pedang dari sebelah
kiri, kakek tinggi kurus Ku mengeluarkan bentakan mengejutkan Seiring bentakan itu, tangan kanannya bergerak
menyapu ke arah para penyerang. Terdengarlah suara mencicit
tajam yang membeset udara.
"Aaagh...!"
"Aaah...!"
Terdengar pekik kematian yang susul-menyusul. Dalam
segebrakan saja, belasan Keamanan Desa Kalang terjerembab
dengan kepala bersimbah darah. Rupanya, mereka menjadi
korban pukulan jarak jauh yang dilontarkan kakek itu. Dan
akibatnya, nyawa mereka pun langsung melayang ke akhirat.
"Iblis keji...!"
Ki Balwa Ranta tentu saja menjadi geram buka. main
menyaksikan kematian kawan-kawannya Dengan wajah bagai
terbakar, dia meluruk ke arah lawannya. Pedang di tangannya
menyambar-nyambar dengan kecepatan yang mengagumkan.
Kilatan-kilatan sinar pedangnya berkeredep, mengincar bagian-
bagian terlemah di tubuh lawan.
Cwittt...! Cwittt...!
"Bagus...!"
Kembali terdengar pujian dari mulut kakek itu! sambil
bergerak ke belakang setengah tindak. Ini dilakukan untuk
menghindari tusukan ujung pedang Ki Balwa Ranta yang
mengincar salah satu jalan darah besar di tubuhnya. Memang,
meskipun tubuh kakek itu kebal, tapi belum tentu dapat
menahan tusukan pedang di jalan darah besarnya. Itulah
sebabnya, sambaran ujung pedang Ki Balwa Ranta harus
dielakkan. Ki Balwa Ranta pun bukan tidak tahu keterkejutan lawan.
Meskipun hanya sekilas, tapi sempat tertangkap kalau sepasang
mata kakek itu tampak agak terkejut. Melihat hal itu, Ki Balwa
Ranta yang cukup berpengalaman dalam ilmu silat, segera
mengetahui kalau kekebalan tubuh lawan dikarenakan
kekuatan tenaga dalamnya yang memang sudah tinggi.
Kenyataan itu membuat hatinya besar. Kenyataan, ilmu-ilmu
kekebalan yang menggunakan tenaga dalam memang sangat
terbatas, dan tidak bisa digunakan terus-menerus. Mendapat
pemikiran seperti ini, Ki Balwa Ranta semakin mempergencar
serangannya. "Haiiit...!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh lelaki gagah itu kembali
melesat ke arah lawan. Pedang di tangannya berkelebat
semakin cepat, karena semangat Ki Balwa Ranta pun seperti
terpompa oleh harapan untuk dapat segera menundukkan
lawan. Tapi, harapan Ki Balwa Ranta segera saja dikandaskan oleh
kenyataan yang dialami sekarang. Tusukan pedangnya yang
diayunkan dari atas ke bawah, hendak membelah bagian
tengah tubuh lawan, ternyata dapat dilumpuhkan kakek itu
dengan mudah, Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja
badan pedangnya telah dapat dijepit telapak tangan lawan.
Tentu saja Ki Balwa Ranta tidak tinggal diam begitu saja. Cepat
dibetotnya pedang yang dijepit lawan, menggunakan gerakan
mundur dalam keadaan tubuh rendah.
"Heaaah...!"
Seiring bentakannya yang menggelegar, lelaki gagah itu
menarik senjatanya dari jepitan telapak tangan lawan. Tapi,
meskipun Ki Balwa Ranta telah mengerahkan seluruh
kemampuannya, tetap saja jepitan tangan lawar tidak
tergoyahkan! Para pengikut Ki Balwa Ranta yang melihat pimpinannya
dalam bahaya, segera saja meluruk dengan tusukan dan
bacokan senjata ke tubuh kakek tinggi kurus itu Mereka
berharap apabila senjata mereka menghunjam ke tubuh kakek
itu, pedang di tangan Balwa Ranta dapat terlepas dari jepitan.
"Yeaaat...!"
Trak! Crak...! Namun, usaha para keamanan desa itu ternyata juga sia-sia.
Sepertinya senjata-senjata keamanan di itu sama sekali tidak
berarti apa-apa. Jangankan menjerit kesakitan atau melepaskan
jepitannya pada! pedang Ki Balwa Ranta. Bahkan untuk
menoleh ke arah pembokongnya pun tidak dilakukan oleh
kakek itu. Sehingga, para Keamanan Desa Kalang seperti putus
asa dalam menghadap lawan berpakaian serba putih ini.
"He he he...! Sekarang naiklah, Orang Gagah," kata kakek itu
sambil terkekeh.
Rupanya, kata-kata itu membuat Ki Balwa Ranta tertegun.
Dan setelah ucapan itu selesai, ternyata kedua tangannya tidak
bisa dilepaskan dari gagang pedangnya. Tentu saja kenyataan
itu membuat wajahnya berubah pucat.
"Heiii...!" seru Ki Balwa Ranta kaget.
Ternyata dengan perlahan-lahan tubuhnya terangkat naik,
bersamaan dengan tangan kakek itu yang juga terangkat.
Anehnya, kakek itu sama sekali tidak kelihatan mengerahkan
tenaga dalam. Padahal berat tubuh Ki Balwa Ranta cukup
lumayan, dan tak mungkin dapat diangkat begitu saja oleh
orang yang bertenaga sekuat apa pun. Apalagi, Ki Balwa Ranta
bukan orang lemah. Tapi sayangnya, semua itu seperti tidak
ada artinya. "He he he...! Bagus.... Kau ternyata sangat penurut, Orang
Gagah...," ledek kakek tinggi kurus itu seperti merasa
kesenangan melihat lawannya ketakutan.
"Bangsat...! Siapa yang berani mati mengacau Desa
Kalang..."!"
Tiba-tiba di saat semua orang merasa tegang menyaksikan
tubuh Ki Balwa Ranta yang diangkat semakin tinggi, terdengar
seruan yang mengandung tenaga dalam kuat.
Tapi, kakek tinggi kurus itu sendiri sama sekali tidak peduli.
Bagaikan orang yang tidak tahu apa-apa, ia terus saja terkekeh
sambil menatap wajah Ki Balwa Ranta yang sudah dibanjiri
keringat sebesar biji jagung. Dan kini keadaan kepala Ki Balwa
Ranta jadi di bawah, sementara kedua kakinya tegak lurus ke
atas. Entah apa yang dilakukan kakek itu terhadap tubuhnya
sehingga dapat menjadi sedemikian rupa.
Dan rupanya Ki Balwa Ranta sepertinya masih bernasib baik.
Saat itu juga di tengah arena, muncul sesosok tubuh
terbungkus pakaian coklat tua. Wajahnya tidak bisa lagi disebut
muda. Dari jenggot dan kumisnya yang berwarna dua, dapat
dikira-kira kalau usia sosok itu tidak kurang dari enam puluh
tahun Meskipun demikian, tubuhnya tampak masih segar di
penuh pancaran semangat di matanya. Kelihatannya kesehatan
tubuhnya sangat terjaga.
"Ki Darpa Sungga...!" Ki Bakva Ranta yang melihat kehadiran
lelaki tua yang masih gagah itu berseru memanggil.
Tentu saja Ki Balwa Ranta merasa lega untuk sesaat
Memang, lelaki tua itu tak lain dari Kepala Desa Kalang.
"Ayah.... Siapakah kakek itu..." Dan, mengapa kita tidak
segera menolong Paman Balwa...?"
Terdengar suara berang dan renyah memecah keheningan
yang hanya sekejap. Seorang gadis cantik berusia delapan
belas tahun, tampak mengacungkan telunjuknya ke arah Ki
Balwa Ranta. Rupanya, gadis cantik itulah yang barusan
mengeluarkan suara.
"Tenanglah, Murni..," bisik Ki Darpa Sungga, seperti telah
bisa menilai keadaan yang terjadi "Sepertinya, kakek
berpakaian putih itu bukan orang sembarangan. Entah apa
maksudnya mengacau desa kita ini..."
Kemudian, Ki Darpa Sungga melangkah mendekati tempat
kakek tinggi kurus itu berdiri.
Gadis cantik berkepang dua yang bernama Murni itu
kelihatan seperti tidak setuju dengan ucapan ayahnya. Namun,
ia sama sekali tidak membantah. Begitu pun ketika Ki Darpa
Sungga menyuruhnya tetap di tempat, dan jangan bergerak
tanpa seizinnya.
"Sahabat...," panggil Ki Darpa Sungga ketika jarak di antara
mereka hanya tinggal satu setengah tombak lagi.
Namun, yang dipanggil seperti tidak mendengar. Padahal,
suara Ki Darpa Sungga cukup keras. Mustahil kalau tidak
terdengar. Ki Darpa Sungga mengulangi panggilannya beberapa kali,
sampai akhirnya kakek itu menoleh, meskipun dengan enggan.
Tapi, hal itu sudah membuat hati Kepala Desa Kalang kembali
tenang. Dan sebenarnya, kalau saja panggilan terakhirnya tidak
juga mendapat sambutan, Ki Darpa Sungga sudah mengambil
keputusan untuk menerjang kakek itu.
"Kuminta dengan sangat, lepaskan orang itu. Apa pun
kesalahannya, itu menjadi tanggung jawabku...," pinta Ki Darpa
Sungga langsung, saat kakek itu menolehkan kepala ke
arahnya. Mendengar permintaan itu, wajah si kakek tampak berkerut
seperti berpikir keras.
"He he he.... Kau siapa..." Dan, mengapa perbuatan orang
gagah ini menjadi tanggung jawabmu" Apa kau bersedia mati
demi untuk membelanya...?" tanya kakek tinggi kurus itu
sambil meneliti raut wajah lawan bicaranya.
"Aku adalah Kepala Desa Kalang. Sedangkan orang itu
merupakan pembantuku. Itu sebabnya, segala perbuatannya
kukatakan sebagai tanggung jawab ku...," sahut Ki Darpa
Sungga. Jelas, Kepala Desa Kalang itu mengambil sikal mengalah
sambil mengamati setiap jengkal tubuh dari wajah kakek itu.
Dari kerut-kerut di wajahnya, jelas kalau Ki Darpa Sungga
seperti lupa-lupa ingat terhadap kakek itu.
"Hm..., begitu" Tapi sayang, aku tidak bisa menurunkannya.
Kalau kau memang sangat memerlukannya, coba turunkan
sendiri," jawab kakek tinggi kurus itu acuh tak acuh. Sehingga,
Ki Darpa Sungga sempat jengkel dibuatnya.
"Orang tua! Kalau aku bertanya dan bersikap baik-baik
kepadamu, itu bukan berarti takut Tapi, rupanya kau termasuk
orang yang sombong. Baiklah. Sekarang, kau boleh pilih!
Melepaskan pembantuku kemudian pergi tanpa diganggu, atau
ingin dihukum gantung karena telah menewaskan banyak
Keamanan Desa Kalang!" tandas Ki Darpa Sungga. Dia memang
sudah kehilangan kesabaran akibat sikap kakek itu yang seperti
memandang rendah kepadanya.
"He he he.... Terserah apa maumu, Kisanak. Aku tidak ingin
memilih yang kau sebutkan itu. Kalaupun Ingin memilih, aku
lebih suka memilih tinggal di sini dan menjadi penguasa. Bukan
begitu, Gadis Cantik..?" kata kakek itu sambil mengalihkan
pandangannya ke sosok gadis bernama Murni. Dan tentu saja,
gadis itu hanya dapat melotot mendengarnya.
Rupanya sosok Murni merupakan sesuatu yang jauh lebih
menarik ketimbang Ki Balwa Ranta maupun Ki Darpa Sungga.
Buktinya, kakek itu langsung melepaskan pedang Ki Balwa
Ranta yang sejak tadi masih dipegangnya. Karuan saja, pedang
beserta tubuh lelaki gagah itu meluncur deras ke tanah.
Sedangkan kakek Itu sendiri telah melangkah ke tempat Murni
berada. Dari sepasang matanya yang berkilat-kilat, jelas kalau
kakek itu sangat tertarik pada gadis yang hanya satu-satunya di
antara semua lelaki yang berada di mulut Desa Kalang itu
Untunglah, Ki Darpa Sungga bertindak cepat. Diselamatkannya tubuh bawahannya yang nyaris tewas
terancam pedangnya sendiri dengan sebuah sergapan tangan.


Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan kini, Ki Balwa Ranta bisa menghela napas panjang
berulang-ulang setelah dirinya baru saja lolos dari kematian.
"Terima kasih, Ki...," ucap Ki Balwa Ranta sambil menyusut
peluh sebesar biji-biji jagung yang menghias wajahnya. Lelaki
gagah itu terduduk lemas, seolah-olah tenaganya ikut terserap
rasa tegang dalam menghadapi kematian tadi.
Tapi, Ki Darpa Sungga sendiri sudah tidak mendengar lagi
ucapan terima kasih bawahannya. Saat itu juga, tubuh lelaki
tua yang masih tampak gagah ini langsung melesat ke tempat
putrinya berada.
"Iblis keji...!"
Ki Darpa Sungga mengutuk murka melihat kakek itu tengah
membantai keamanan desanya yang menghalangi jalan menuju
ke arah Murni. Meskipun jelas bukan tandingan, namun dengan
keberanian yang luar biasa, para keamanan desa berani
berkorban nyawa demi menjaga keselamatan putri kepala
desanya. Terharu bukan main hati Ki Darpa Sungga
menyaksikan hal itu. Maka tanpa banyak cakap lagi, tubuh
orang tua itu langsung melesat disertai putaran sepasang
tangannya yang menimbulkan angin berkesiutan.
Ki Darpa Sungga ternyata bukan orang sembarangan.
Melihat angin pukulan yang ditimbulkan sepasang tangannya,
jelas kalau tenaga maupun kepandaiannya masih di atas Ki
Balwa Ranta. Tidak heran kalau serangannya tampak jauh lebih
berbahaya. "Yeaaah...!"
Wuttt! Whukkk! Begitu tiba, sepasang telapak tangan Ki Darpa Sungga
langsung menghujani tubuh lawan dengan serangkaian
serangan maut. Akibatnya, kakek tinggi kurus yang merasakan
sambaran angin tajam di sekeliling tubuhnya, langsung saja
bergeser menghindar.
"Ah.,.! Bagus! Rupanya kepandaianmu cukup hebat Pantas
saja kalau mereka mengangkatmu sebagai penguasa desa...,"
kata kakek tinggi kurus itu begitu mengenali penyerangnya.
"Jangan banyak bacot kau, Manusia Keji...! Manusia
sepertimu tidak patut dibiarkan hidup! Kau hanya pantas
bergaul dengan iblis dan setan-setan kuburan...!" maki Ki Darpa
Sungga. Kepala Desa Kalang itu benar-benar marah saat melihat
belasan keamanan desanya telah bergeletakan dengan tubuh
bermandikan darah.
Tapi, kakek tinggi kurus itu sepertinya tidak begitu peduli, la
masih saja mengelak dengan gerakan yang lincah dan sukar
diikuti mata. Dan setiap serangan Ki Darpa Sungga selalu saja
menemui sasaran kosong. Meskipun kecepatan dan kekuatannya telah ditambah, namun tetap saja tubuh lawan
tidak bisa disentuh. A kibatnya, Ki Darpa Sungga jadi penasaran.
"Yeaaat...!"
Setelah selama sembilan jurus menyerang tanpa hasil,
rupanya Ki Darpa Sungga menjadi jengkel. Maka pada jurus
yang kesepuluh, langsung dikeluarkannya bentakan nyaring
sambil mendorongkan kedua telapak tangan disertai pengerahan seluruh tenaga dalamnya.
Whusss...! Serangkum angin kuat langsung saja menyerbu tubuh kakek
tinggi kurus itu. Melihat dari raut wajahnya, jelas serangan
lawan kali ini tidak bisa dipandang rendah.
"Hmh...!"
Terdengar geraman lirih dari mulut kakek tinggi kurus yang
langsung menggeser kedua kakinya ke kiri dan kanan. Kedua
telapak tangannya dipertemukan di atas kepala. Begitu kuda-
kudanya merendah, sepasang telapak tangannya pun meluncur
turun dan berhenti di depan dada. Kemudian, langsung
ditariknya ke sisi pinggang dengan kecepatan kilat. Maka....
Dibarengi langkah kaki kanan ke depan, kakek tinggi kurus
itu menghantamkan kedua telapak tangannya satu sama lain.
Jdarrr...! Jdarrr...!
Hebat sekali akibat yang ditimbulkannya. Cercahan sinar
putih yang mirip kilatan halilintar, langsung melesat untuk
menyambut datangnya serbuan angin pukulan jarak jauh Ki
Darpa Sungga. Akibatnya....
Bresssh...!"
Dua gelombang tenaga sakti yang saling berbenturan kontan
saja menimbulkan ledakan yang memekakkan telinga. Namun,
kilatan petir yang berasal dari tangan kakek tinggi kurus itu
berhasil mendorong mundur serbuan gelombang tenaga sakti Ki
Darpa Sungga. "Uuukh...!"
Kepala Desa Kalang itu terjajar mundur sambil menekap
dadanya yang terasa nyeri akibat benturan keras tadi. Dari
sudut bibirnya tampak lelehan darah segar. Tampaknya, Ki
Darpa Sungga mengalami luka dalam yang parah.
"Ayaaah...!" Murni segera saja menghambur ke arah Ki
Darpa Sungga yang tampak tengah berdiri limbung. Jelas,
orang tua itu mencoba untuk tetap bertahan. "Murni...."
Ki Darpa Sungga meraih tubuh putrinya ke dalam pelukan.
Sedangkan sepasang matanya tetap mengawasi lawan yang
berdiri dalam jarak dua tombak.
"Murni, larilah. Orang tua itu sangat sakti. Ayah tidak akan
menang melawannya. Kakek itu mengincarmu, Anakku.
Sebaiknya, beritahukan hal ini kepada uwakmu. Mintalah
perlindungan darinya," bisik Ki Darpa Sungga yang merasa
kalau kematian sudah pasti tidak akan lama lagi bakal
menjemputnya. "Tapi, Ayah...," Murni masih mencoba membantah Memang
gadis itu tidak mungkin membiarkan ayahnya tewas di tangan
kakek itu. "Tidak ada waktu lagi, Anakku. Aku tahu, kau pasti ingin
berbakti kepada ayahmu, bukan" Nah! Tunjukkanlah baktimu
dengan menurut' perintahku. Ini merupakan satu-satunya jalan
terbaik untukmu. Anakku," ujar Ki Darpa Sungga dengan
tekanan nada yang tidak ingin dibantah.
Setelah mengecup kening putrinya, orang tua itu melepaskan
pelukannya. Kini dia bersiap menghadapi lawannya kembali.
(Oo-dwkz-oO) 5 "Ayah...!"
Murni berdiri dengan wajah pucat bersimbah air mata.
Hatinya masih merasa berat, karena ia tahu kalau hari ini
mungkin merupakan hari terakhir per jumpaannya dengan
ayahnya Dan Murni masih belum bisa meninggalkan tempat itu.
"Murni, pergilah...," desis Ki Darpa Sungga
Kepala Desa Kalang itu menoleh sejenak ke belakangnya. Di
situ putrinya tampak menatap dengan mata basah dan isak
memilukan. Dengan menguatkan hati. orang tua itu kembali
mengalihkan perhatiannya ke arah lawan.
"He he he...! Jangan harap bisa menyelamatkan putrimu
yang cantik itu. Kepala Desa Tolo! Sebaiknya, serahkan saja
putrimu itu untukku. Dan kujamin, kau serta seluruh warga
desamu akan selamat," kata kakek tinggi kurus itu, bernada
memuakkan Itu menunjukkan kalau ia menginginkan Murni.
"Kakek renta! Rasanya aku tahu, siapa kau adanya. Tapi
terus terang, aku merasa ragu kalau tokoh itu kau orangnya.
Karena tokoh yang terkenal memiliki 'Ilmu Telapak Tangan
Petir' adalah seorang tua yang gagah dan selalu membela
kebenaran. Aku ragu, kalau kau orang yang berjuluk Malaikat
Petir...," kata Ki Darpa Sungga.
Rupanya, kepala desa itu mulai dapat menebak siapa
lawannya, setelah melihat ledakan-ledakan petir yang berasal
dari telapak tangan lawan. Hanya saja hatinya merasa ragu
ketika melihat kekejamannya. Ternyata, kabar tentang Malaikat
Petir tidak seperti yang pernah didengarnya selama ini.
"He he he...! Baguslah kalau kau sudah tahu siapa aku,
Manusia Tolol! Nah! Sekarang setelah kau tahu aku adalah
Malaikat Petir, apakah kau masih ingin mempertahankan
putrimu yang cantik menarik itu...?" kata kakek tinggi kurus
yang ternyata mengaku sebagai Eyang Tirta Yasa atau yang
berjuluk Malaikat Petir.
"Tidak! Meskipun kau Malaikat Petir, tapi aku tetap tidak sudi
menyerahkan putriku di tangan manusia bejat sepertimu, Iblis
Tua!" tegas Ki Darpa Sungga tanpa rasa gentar sedikit pun.
Sementara itu, dengan menguatkan hati, Murni melesat
cepat meninggalkan ayahnya. Gadis itu menuju rumahnya
sendiri. Dan sebentar saja, tubuhnya telah hilang dari
pandangan. Sedangkan ayahnya saat itu sedang berpikir keras, mengapa
Malaikat Petir yang selama ini terdengar sebagai tokoh atas
kaum pendekar, kini malah berbalik dengan berbuat kejahatan"
Tapi, Ki Darpa Sungga tidak sempat berpikir lama-lama, karena
saat itu juga Malaikat Petir telah melesat. Hantaman telapak
tangannya diarahkan ke dada dan kepala penguasa desa ini.
"Mampus kau, Manusia Keparat!" maki Eyang Tirta Yasa
yang sepertinya ingin segera menyelesaikan pertarungan itu.
Whuuuk! Whuuuk!
Serangkum angin pukulan berkesiutan dan susul-menyusul
mengincar tubuh Ki Darpa Sungga Kali ini, kelihatannya tokoh
tua itu tidak lagi bertindak main-main. Hal itu terlihat jelas dari
serangan-serangannya yang ganas dan cepat.
Sebentar saja, Ki Darpa Sungga dibuat kelabakan untuk
menyelamatkan diri dari incaran telapak tangan yang
menimbulkan hawa panas menyengat itu. Untunglah, pada saat
hampir tidak bisa menyelamatkan dirinya lagi, Ki Balwa Ranta
datang membantu. Dia memang tidak sudi melihat orang yang
paling dihormatinya direncah serangan lawan.
"Yeaaat...!"
Wuttt! Cwiiit! Begitu tiba, Ki Balwa Ranta langsung mengibaskan; senjata
untuk menyelamatkan atasannya yang nampak sudah sangat
terdesak. Meskipun tidak terlalu bera namun kehadiran Ki
Balwa Ranta dalam kancah pertarungan telah membuat Ki
Darpa Sungga bisa menarik napas lega sesaat.
Gempuran kakek yang mengaku sebagai si Malaikat Petir itu
memang sangat hebat! Meskipun Ki Darpa Sungga telah
dibantu Ki Balwa Ranta dan belasan orang keamanan desa
yang masih hidup, tetap saja dia tidak merasa kerepotan.
Malah, sudah beberapa kali pukulannya membuat Keamanan
Desa Kalang terjungkal dengan kulit hangus pada bagian yang
terkena hantaman. Tentu saja melihat kematian orang-
orangnya, membuat Ki Darpa Sungga semakin bertambah
marah dan sedih.
"Hiaaat..!"
Dalam kemarahannya kali ini, Ki Darpa Sungga segera
merebut sebatang pedang dari salah seorang anak buahnya.
Kemudian diiringi sebuah pekikan nyaring, tubuhnya melesat
disertai putaran senjata yang bergulung-gulung membungkus
sekujur tubuhnya.
"Hmh...!"
Malaikat Petir sendiri hanya mendengus kasar melihat
serbuan Ki Darpa Sungga. Bahkan masih tidak memandang
sebelah mata sewaktu melihat Ki Balwa Ranta datang
membantu, menyusuli serbuan orang tua yang menjadi kepala
desanya. "Yeaaah...!"
Begitu kedua orang itu sudah semakin dekat, Malaikat Petir
tiba-tiba berseru mengejutkan! Seiring dengan itu, telapak
tangannya dipukulkan satu sama lain.
Jdarrr...! Jdarrr...!
Terdengarlah suara menggelegar, tak ubahnya ledakan petir
di angkasa. Bahkan sinar kilat yang menyilaukan mata,
langsung melesat menyambar Ki Darpa Sungga dan Ki Balwa
Ranta. Jdarrr...! Jdarrr...!
Ledakan petir kembali terdengar merobek udara Tanpa
dapat dicegah lagi, tubuh Ki Datpa Sungga dai Ki Balwa Ranta
tertahan sesaat kenka sinar kilat itu menyambar susul-
menyusul. "Aaa...!"
Seiring jeritan panjang yang menyayat dari mulul mereka,
tubuh Ki Darpa Sungga dan Ki Balwa Ranta tersentak ke
belakang, untuk kemudian ambruk kc atas tanah dalam
keadaan tubuh hangus dan tidak dapat dikenali. Sungguh
mengerikan akibat pukulan dari 'Ilmu Telapak Tangan Petir" itu.
Roboh dan tewasnya kedua orang tetua Desa Kalang, tentu
saja membuat para keamanan desa menjadi pucat' Bagaikan
anak ayam kehilangan induk, mereka berlarian ke segala arah.
Masing-masing tak peduli terhadap yang lain. Yang penting,
saat ini adalah bagaimana caranya menyelamatkan diri dari
kematian, Itu saja.
"Ha ha ha...!"
Tinggallah Eyang Tirta Yasa berdiri dengan kaki terpentang
lebar, memperdengarkan tawa berkepanjangan. Benar-benar
puas nampaknya kakek itu.
Sebenarnya sangat sulit sekali dimengerti, mengapa Eyang
Tirta Yasa yang selama ini dikenal sebagai tokoh golongan
putih sampai tega bertindak demikian keji Memang, kadang
kala sifat manusia selalu berubah-ubah. Seseorang uang
selama ini terkenal sebagai golongan putih yang berjuluk
Malaikat Petir, ternyata sampai hati juga berbuat kejahatan
dalam usia tuanya.
Dengan langkah ringan, Malaikat Petir melangkah memasuki
mulut Desa Kalang. Tidak dipedulikannya lagi para penduduk
yang berlarian kian kemari. Kakek itu terus
melanjutkan langkahnya menuju tempat kediaman kepala desa.
(Oo-dwkz-oO) Sosok tubuh ramping berambut panjang memacu kudanya
bagai dikejar setan. Melihat dari penampilannya, tampaknya dia
adalah seorang gadis yang berwatak keras. Debu mengepul
tinggi seiring derap kaki kuda yang menggilas bebatuan di
bawahnya. Meskipun jalan yang dilalui tidak rata, namun gadis


Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu sama sekali tidak memperlambat lari binatang tunggangannya. "Heya..., heyaaa...!"
Sambil mengeluarkan bentakan nyaring sesekali, tangannya
tak henti-henti mencambuk punggung kuda dengan tali kekang.
Binatang itu pun kembali melesat setiap kali rubuhnya
tersengat tali kekang yang digunakan untuk mencambuki
punggungnya. Tidak berapa lama kemudian, jalan berbatu yang tidak rata
pun telah dilewatinya. Kini ia mulai memasuki daerah yang
bertanah merah. Di kiri kanan jalan itu terhampar perkebunan
jagung yang mulai berbuah.
"Hieeeh...!"
Kuda berbulu coklat itu meringkik sambil mengangkat kaki
depannya, begitu gadis di atasnya menarik tali kekang agak
mendadak. Seketika, kuda itu berhenti tepat di pertigaan jalan.
Untuk beberapa saat lamanya, gadis itu mengedarkan
pandangannya ke arah jalan di kiri dan kanannya. Kelihatan
sekali kalau sosok ramping itu merasa ragu untuk menentukan
pilihan jalan yang akan dilaluinya.
"Hm.... Kalau tidak salah, seingatku ayah pernah
memberitahukan tentang pertigaan jalan di daera perkebunan
jagung. Menurutnya, aku harus mengam bil jalan ke arah kanan
yang berupa sebuah hutan kecil. Tapi, mengapa jalan sebelah
kanan yang kulihat sekarang hanya perkebunan jagung..."
Hm.... Bisa jadi sudah berubah. Atau mungkin juga, memang
aku yang salah jalan..." Ahhh...! Sebaiknya, kucoba saja dulu
Siapa tahu, jalan ini memang telah berubah...," desah sosok
tubuh ramping terbungkus pakaian coklat tua itu.
Setelah mengambil keputusan, dia membelokkan kudanya ke
jalan yang sebelah kanan. Kemudian di pacunya binatang itu
perlahan, sambil memperhatikan sekelilingnya. Tampaknya, ia
takut mengambil jalan yang salah. Wajah yang tampak
bingung, baru agak berseri ketika melihat adanya tiga orang
petani yang tengah memetik jagung.
"Maaf, Kisanak...," sapa gadis berpakaian coklat tua itu, yang
sudah turun dari atas punggung kudanya.
Suara maupun wajahnya tampak demikian ramah dan halus.
Sehingga membuat petani yang tengah memetik jagung itu
menoleh bersamaan. Salah seorang di antaranya segera
Senopati Pamungkas 6 Dewa Linglung 21 Tangan Darah Bentrok Rimba Persilatan 7
^