Pencarian

Bangkitnya Malaikat Petir 2

Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir Bagian 2


bergerak menghampiri
"Ada yang bisa kubantu, Nisanak...?" tanya petani berusia
sekitar empat puluh tahun, sambil melepaskan caping yang
menyembunyikan wajahnya dari terik matahari.
Gadis cantik berusia kira-kira delapan belas tahun itu
tersenyum seraya menganggukkan kepala. Kelihatannya
hatinya merasa senang mendapat sambutan yang ramah dari
petani itu. "Maaf, aku telah mengganggu pekerjaan Paman. Aku hanya
ingin bertanya sedikit...," kata gadis cantik itu lagi dengan nada
lembut dan enak didengar.
"Silakan, Nisanak. Kalau memang kami bisa membantu,
tentu saja kami senang sekali...," sahut petani itu seraya
tersenyum ramah.
"Mmm.... Aku ingin pergi ke Gunung Bakang. Bisakah Paman
menunjukkan jalannya...?" tanya gadis cantik itu dengan
sepasang mata penuh harap.
"Gunung Bakang...?" desis petani itu seraya mengerutkan
keningnya. Jelas, ia merasa heran de ngan pertanyaan gadis
itu. "Benar, Paman. Mengapa..." Nampaknya Paman agak
terkejut dengan pertanyaanku" Ada apa...?" tanya gadis cantik
itu. Dia jadi heran melihat sikap petani itu.
"Tidak apa-apa, Nisanak. Tapi..., banyak orang yang keliru
dan menyalahtafsirkan dua tempat yang memiliki nama sama.
Itu yang membuat aku bingung untuk menjawabnya," jelas
petani itu lagi, menerang kan perihal keheranannya.
"Maksud, Paman...?" darah cantik itu meminta ketegasan.
"Mmm.... Kalau boleh kutahu, sebenarnya yang Nisanak cari
Gunung Bakang, atau Perguruan Gunung Bakang" Padahal,
kedua tempat itu letaknya agak berjauhan. Kami sendiri pun
tidak mengerti tentang kedua tempat itu...," jelas petani itu
lagi, sehingga membuat dara cantik itu mengangguk-
anggukkan kepala.
"Kalau begitu. Perguruan Gunung Bakanglah yang menjadi
tujuanku. Bisakah Paman menunjukkannya...?" tegas dara
cantik itu pasti.
Petani itu tersenyum ketika mendengar pernyataan dara
cantik penunggang kuda itu. Kemudian, dijelaskannya jalan-
jalan yang bakal dilalui gadis itu. Sementara yang dijelaskan
mengangguk-angguk gembira.
'Terima kasih atas petunjuk Paman. Sekarang, aku harus
pergi...,"pamit gadis itu.
Setelah mengucapkan terima kasih, segera saja kuda
tunggangannya dipacu cepat Sedangkan petani Itu hanya
memandang dengan wajah berseri, karena merasa gembira
telah dapat membantu gadis penunggang kuda itu.
(Oo-dwkz-oO) Dua orang lelaki gagah penjaga pintu gerbang Perguruan
Gunung Bakang bergerak merapat, menghadang seorang gadis
penunggang kuda. Sikap mereka jelas tidak menginginkan
gadis itu memasuki bangunan perguruan.
Sementara, gadis bertubuh ramping dan berwajah cantik itu
terpaksa menarik tali kekang kudanya, tepat berhenti di depan
kedua orang lelaki gagah ini.
"Maaf! Hendak ke manakah, Nisanak" Harap kau turun dari
punggung kudamu...," sapa salah satu dari kedua lelaki gagah
itu. "Aku bernama Murni. Datang dari Desa Kalang. Katakan
kepada Uwak Kerta Pangat, aku datang membawa suatu kabar
yang sangat penting...," sahut gadis Itu. Dan ternyata, jawaban
gadis ini membuat penjaga itu terkejut
"Maksud, Nisanak. Kau.... Kau putri Ki Darpa Sungga...?"
kedua pengawal itu menegasi dengan nada takut-takut
Rupanya, mereka telah mengenali orangtua gadis itu dengan
baik. "Benar. Cepatlah bukakan pintu gerbang. Aku rus segera
menemui uwak...," ujar gadis bernama Murni itu lagi, sambil
memberi isyarat dengan gerai kepala, agar pintu gerbang
segera dibuka. Setelah mengetahui jati diri gadis cantik ini, tentu saja kedua
penjaga itu tidak berani bertindak macam-macam. Cepat
mereka berlari ke arah pintu gerbang, dan bergegas
membukanya. Belum lagi pintu gerbang terbuka separuhnya, Murni
langsung melesat masuk ke dalam. Sedangkan kedua orang
penjaga itu hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala melihat
ketidaksabaran gadis bernama Murni. Tapi mereka tidak bisa
berbuat apa-apa, karena Murni mempunyai hubungan erat
dengan ketua mereka.
Setelah menambatkan kudanya pada sebatang pohon, Murni
langsung menuju bangunan utama. Para murid perguruan yang
kebetulan berpapasan dengannya, hanya bisa memandang
bingung. Tapi, tidak si pun yang berani mencegah. Kini, gadis
itu telah tiba di sebuah ruangan yang cukup lebar. Di sana,
duduk seorang lelaki berusia enam puluh tahun lebih. Murni
langsung saja menjatuhkan lututnya, bersimpuh di depan orang
tua itu "Uwak...," panggil Murni dengan sepasang mata telah
digenangi air. Sehingga, kepalanya tertunduk seperti berusaha
menyembunyikan perasaannya.
"Kau.... Benarkah kau Murni, putri Adi Darpa Sungga...?"
tanya orang tua itu seraya melangkah dan mengulurkan
tangannya yang berkeriput ke kepala Murni.
"Benar, Uwak...," sahut Murni. Gadis itu hampir tidak bisa
menahan tangisnya ketika merasakan jemari tangan kakek itu
membelai lembut rambut kepalanya. Jelas, orang tua itu masih
mengenali dan menyayanginya.
"Bangkitlah, Anakku. Angkat wajahmu. Ah... betapa lama
sekali aku tidak melihatmu. Kukira kau sudah melupakan orang
tua yang tidak berguna ini...," ujar lelaki tua yang tak lain Ki
Kerta Pangat, Ketua Perguruan Gunung Bakang. Pendekar
gagah yang hidup menyendiri tanpa menikah itu tampak sangat
menyayangi putri adiknya.
Murni terpaksa mengangkat wajahnya yang kini telah basah
bersimbah air mata. Memang, selain berita yang dibawanya
telah mendatangkan kesedihan, suara penuh rindu Ki Kerta
Pangat juga terdengar sangat menyentuh perasaannya.
Sehingga, orang tua itu sendiri agak kaget melihat wajah cantik
itu telah bersimbah air mata.
"Apa yang telah terjadi dengan keluargamu, A nakku" Jangan
katakan kalau kedatanganmu membawa kabar buruk...," tanya
Ki Kerta Pangat
Tubuh Murni segera dipeluk, dan dibelainya penuh kasih
sayang. Kelihatan sekali kalau orang tua itu sangat menyayangi
putri adiknya itu. Maka tanpa dapat dibendung lagi, tangis
Murni pun meledak. Tentu saja hal itu membuat Ki Kerta
Pangat bingung, karena Murni sama sekali tidak bercerita
separah kata pun tentang apa yang telah menimpa keluarga
adiknya. Cukup lama Murni tenggelam dalam kesedihannya. Selama
itu pula, Ki Kerta Pangat membiarkan keponakannya menangis
di atas dadanya. Setelah puas menumpahkan segala
kesedihannya, Murni menceritakan kejadian yang menimpa
ayah dan desanya.
Ki Kerta Pangat sama sekali tidak memotong cerita Murni,
dan hanya mendengarkan penuh kesabaran serta perhatian.
Hanya kepalanya sesekali mengangguk, selama Murni bercerita.
"Hm.... Manusia gila dari mana yang berani mengacau
desamu. Bahkan berniat membunuh ayahmu! Hm.... Bisa
kuduga, mungkin sekarang ayahmu telah tewas di tangannya.
Apakah kau bisa mengenalinya" Atau mungkin kau mendengar
ayahmu menyebutkan nama manusia sesat itu...?" tanya Ki
Kerta Pangat setelah Murni menyelesaikan ceritanya. Terlihat
wajah orang tua itu menyimpan kegeraman dalam suaranya.
Sementara, Murni juga sudah yakin kalau ayahnya telah
tewas. Namun dia sudah menguatkan hati. Pesan ayahnyalah
yang membuat hatinya tabah. Yang jelas, Murni sudah
menunjukkan bakti terhadap orangtuanya.
"Hm.... Aku ingat. Sebelum ayah menyuruhku pergi untuk
meminta perlindungan Uwak," sahut Murni setengah berseru.
"Siapa..." Sebutkanlah! Mungkin aku bisa mengenalnya...?"
tanya Ki Kerta Pangat agak bernafsu ingin cepat mengetahui.
"Kalau tidak salah, kakek itu berjuluk Malaikat Petir. Usianya
sudah sangat tua, sekitar delapan puluh tahun...," sahut Murni.
Namun, wajah Murni yang semula berseri karena berhasil
mengingat nama orang yang membunuh ayahnya, berubah
tegang. Sebab, dilihatnya wajah Ki Kerta Pangat tampak pucat
ketika mendengar ia menyebut nama Malaikat Petir.
"Tidak mungkin. Murni. Kau mungkin salah dengar, atau
mungkin juga ayahmu keliru mengenali orang...," desah Ki
Kerta Pangat Tentu saja Ketua Perguruan Gunung Bakang itu tidak
percaya dengan keterangan Murni. Apalagi ia mengenal baik,
siapa Malaikat Petir itu.
"Mengapa, Uwak..." Mengapa tidak mungkin...?" tanya
Murni, meminta ketegasan kakek itu.
"Kau tahu, Malaikat Petir adalah tokoh golongan atas yang
sangat dihormati kaum persilatan. Meskipun orang-orang
sekarang jarang yang mengenalnya, tapi para tokoh tua seperti
aku dan ayahmu tentu saja pernah mendengar sepak
terjangnya sebagai pendekar pembela kebenaran. Tapi biar
bagaimanapun, aku akan menyelidikinya.
Sebaiknya, beristirahatlah Besok kita sama-sama berangkat untuk melihat
Malaikat Petir yang kuduga palsu...," ujar Ki Kerta Pangat
Langsung dibimbingnya putri adiknya itu ke ruangan dalam
bangunan. (Oo-dwkz-oO) 6 Keesokan paginya, ditemani Ki Kerta Pangat, sepuluh orang
murid Perguruan Gunung Bakang, dua orang murid utama, dan
Murni kembali ke Desa Kalang. Saat ini matahari baru saja
muncul dengan sinarnya yang lembut dan hangat Bahkan kabut
pagi masih tampak menyelimuti beberapa tempat yang tertutup
pepohonan lebat.
Ki Kerta Pangat yang bertubuh kurus itu menjalankan
kudanya di depan. Sedangkan Murni berada di sampingnya.
Lelaki berusia enam puluh tahun lebih itu mengatakan akan
mengambil jalan terdekat, agar bisa lebih cepat tiba di desa
kelahiran Murni.
Murni hampir tidak percaya ketika matahari sudah semakin
condong ke Barat, ternyata mereka telah tiba tidak jauh dari
perbatasan Desa Kalang. Hanya saja, jalan yang dilalui terlalu
sulit ditempuh, meskipun mempersingkat waktu. Padahal
sewaktu Murni menuju Perguruan Gunung Bakang, memerlukan
waktu sehari semalam.
"Uwak! Apakah kita tidak menyelidiki dulu keadaan Desa
Kalang" Siapa tahu saja, keadaan sudah berubah. Aku
khawatir, kakek iblis itu masih bercokol di dalam desa...," kata
Murni, terdengar penuh ketegangan dan kecemasan. Bahkan
wajahnya pun terlihat agak pucat
"Hm.... Tenanglah, Anakku. Tentu saja kita tidak langsung
masuk begitu saja. Tentu saja kita harus bersikap hati-hati.
Apalagi, saat ini kita sama sekal belum tahu bagaimana
keadaan yang sebenarnya...,* sahut Ki Kerta Pangat sambil
menatap wajah putri adiknya itu dengan senyum menghibur.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?" tanya Murni seperti
merasa bodoh dan tidak tahu apa-apa.
"Hm.... Aku akan menugaskan dua orang muridku untuk
menyelidiki keadaan orangtuamu, dan penduduk Desa Kalang.
Kalau ternyata kakek iblis itu sudah tidak di tempat, baru kita
segera memasuki desa, dan melihat sendiri keadaan yang
sebenarnya...,"jawab Ki Kerta Pangat.
Ketua Perguruan Gunung Bakang itu melompat turun dari
atas punggung kudanya. Setelah menambatkan kudanya di
sebatang pohon di pinggir jalan, orang tua itu pun menjatuhkan
pantatnya di atas sebongkah batu.
Murni dan para murid Perguruan Gunung Bakang juga ikut
duduk tak jauh dari situ. Mereka mengambil tempat agak ke
dalam, untuk menghindari dari pandangan orang yang
kebetulan lewat
"Badur, Sogar. Kalian pergilah ke Desa Kalang. Berpura-
puralah sebagai pengembara yang kebetulan lewat Tapi, ingat.
Jangan hilangkan kewaspadaan. Kalau terjadi sesuatu,
gebahlah kuda kalian untuk kembali ke tempat ini...," perintah
Ki Kerta Pangat kepada kedua orang murid utamanya, ketika
baru saja melepaskan lelah.
"Baik, KI Kami akan berusaha semampu mungkin...," sahut
salah seorang yang bernama Badur.
Lelaki bertubuh pendek kekar itu membungkukkan tubuhnya
memberi hormat Demikian pula halnya Sogar. Lelaki tinggi
kurus itu pun membungkuk, sebelum melaksanakan tugas yang
diberikan gurunya.
"Aku ikut..!"
Tiba-tiba saja terdengar ucapan nyaring yang berasal dari
mulut Murni. Gadis itu melompat bangkit dan bergegas
mendekati Ki Kerta Pangat
"Untuk sementara ini, kau tidak kuperbolehkan ikut serta,
Murni. Biar kedua kakangmu saja yang melakukan penyelidikan.
Setelah mereka kembali, baru kita bersama-sama memasuki
desa," ujar Ki Kerta Pangat
Ki Kerta Pangat tentu saja tidak setuju kalau Murni ikut
dalam tugas yang cukup berbahaya. Dengan lembut, orang tua
itu membelai punggung Murni. Dicobanya untuk memberi
pengertian kepadanya.
"Tapi..., aku harus mengetahui keadaan ayah. Siapa tahu
saja, ayah belum tewas seperti yang kuduga. Untuk itu, aku
harus ikut bersama Kakang Badur dan Kakang Sogar, Uwak,"
Murni tetap bersikeras dengan keinginannya.
Melihat dari pancaran matanya, jelas kalau hati gadis itu
telah mantap untuk ikut menyelidiki keadaan Desa Kalang.
Sedangkan Ki Kerta Pangat hanya menghela napas mendengar
bantahan gadis cantik itu. I Tapi biar bagaimanapun, orang tua
itu tetap tidak menyetujui keinginan Murni yang jelas-jelas
hendak menentang bahaya.


Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau harus sabar dan tabah, Anakku. Juga kaul harus tahu,
kapan harus berbuat nekat, dan kapan harus menggunakan
akal sehat serta perhitungan mantap. Untuk kali ini, kau harus
dapat menggunakan akal serta perhitungan. Kuharap, kau bisa
mengerti keada-an ini, Anakku...," bujuk Ki Kerta Pangat lagi.
Kali ini, dia merangkul dan membawa gadis cantik I itu
melangkah, seraya mengedipkan matanya memberi isyarat
kepada Badur dan Sogar. Kedua orang lelaki gagah itu pun
sama-sama menganggukkan kepala.
Sesaat setelah kepergian Ki Kerta Pangat dan Murni. Badur
serta Sogar segera beranjak untuk menunaikan tugasnya.
Mereka menuntun kuda hinggi cukup jauh dari tempat
beristirahat, setelah itu baru melompat naik ke atas punggung
kuda. Langsung disentakkan tali kekang binatang itu, hingga
berlari membelah jalan lebar di depannya.
(Oo-dwkz-oO) Kedua orang penunggang kuda itu memperlambat lari
kudanya ketika mulut Desa Kalang terlihat hanya tinggal dua
tombak lagi di depan. Kemudian, mereka melompat turun
setelah tiba di mulut desa ketika sebuah palang kayu
menghalangi jalan masuk ke dalam desa itu.
Kedua lelaki gagah itu bergerak maju ke arah empat orang
penjaga yang berdiri bertolak pinggang namun agak sedikit
membungkuk Dan dari tatapan, bisa ditebak sambutan tidak
ramah empat orang penjaga itu.
"Hei"! Siapa kalian..."! Mau apa datang ke Desa Kalang
mi...?" bentak salah seorang penjaga yang berhidung besar dan
berwajah kasar.
Melihat penampilan serta sikapnya, rasanya lelaki itu lebih
pantas menjadi seorang perampok ketimbang keamanan desa.
Namun, kedua orang lelaki gagah yang tak lain Badur dan
Sogar sama sekali tidak terpancing amarahnya. Mereka tetap
menunjukkan sikap hormat dan sopan, sebagaimana seorang
pendatang di suatu tempat asing.
"Kisanak! Kami berdua adalah perantau yang kebetulan
lewat di desa ini. Karena cukup lama melakukan perjalanan,
maka sekadar untuk beristirahat dan melepaskan dahaga, kami
berdua berniat singgah di desa ini. Tapi, tentu saja kalau tidak
mengganggu...,"
jawab Badur dengan kepala sedikit membungkuk. Sikap lelaki pendek kekar itu benar-benar menunjukkan sikap
seorang pengembara tulen. Sehingga, keempat orang
keamanan desa itu sepertinya tidak merasa curiga sedikit pun.
"Hm...."
Penjaga berhidung besar yang wajahnya seram itu
mengangkat palang kayu yang menghalangi jalan, lalu
melangkah menghampiri kedua pengembara itu bersama
seorang temannya. Mereka berhenti beberapa tindak di depan
Badur dan Sogar sambil memasang wajah sombong.
"Sebagai seorang tamu, kalian tentu harus tahu dan patuh
pada peraturan desa ini. Yang pertama, kalian harus membayar
pajak. Kedua, apabila ada keributan di dalam desa, maka
kesalahan jatuh kepada kalian, tanpa peduli siapa pun yang
salah. Nah! Untuk saat ini, hanya kedua persyaratan itu yang
harus dipenuhi. Lain halnya apabila kalian bermaksud
bermalam di desa kami...," jelas lelaki berhidung besar itu
dengan kata-kata yang memperlihatkan kesombongan serta
kekuasaannya. "Satu hal lagi!" lelaki kurus di belakang penjaga, hidung
besar itu menyelak cepat, "Apabila kedatangan kalian
menyebabkan keributan, maka semua yang kalian miliki akan
disita!" Terdengar helaan napas berulang-ulang dari kedua orang
lelaki gagah itu. Jelas kelihatan kalau mereka merasa keberatan
atas persyaratan yang diajukan penjaga-penjaga tadi. Untuk
beberapa saat, Badur dan Sogar hanya bisa saling
berpandangan untuk bertukar pendapat
"Bagaimana, Kisanak" Cepatlah! Kami tidak punya banyak
waktu untuk meladeni kalian berdua...," selak telaki berhidung
besar, tak sabar. Sepasang matanya tampak berkilat tak
senang melihat kedua tang tamunya terdiam.
"Sebentar, Kisanak. Kami berdua tentu saja harus
mempertimbangkannya
baik-baik. Dan terus terang, sebelumnya tak pernah kami mendapat perlakuan seperti ini.
Tapi mungkin di desa Tuan ini tengah terjadi sesuatu, sehingga
peraturannya demikian berat," sahut Badur sambil tetap
menahan amarahnya yang siap meledak.
Memang, baik sikap maupun raut wajah penjaga-penjaga itu,
benar-benar membuatnya ingin meludahi mereka. Tapi semua
itu berusaha ditahan, demi keberhasilan tugas mereka.
"Hm.... Pertanyaanmu merupakan pelanggaran yang harus
dibayar denda. Dan salah satu dari peraturan yang belum kami
sebut adalah, tidak boleh beritanya macam-macam tentang
keadaan desa ini. Tapi karena kalian belum mengetahuinya,
biarlah hal itu kami maafkan. Sekarang, cepatlah beri
keputusan sebelum kesabaran kami hilang!" ujar lelaki
berhidung besar itu dengan sikap lebih kasar dari semula.
Sepertinya para penjaga itu sudah tidak sabar melihat
lambatnya jawaban kedua orang pendatang itu.
"Maaf, kisanak. Karena persyaratan itu teramat berat, maka
kami berdua mengambil keputusan untuk melanjutkan
perjalanan. Mungkin lain kali jika keadaan desa ini telah
membaik, kami baru akan datang berkunjung. Sekali lagi, kami
mohon maaf karena telah mengganggu kalian semua..."
Setelah berkata demikian, badur melompat ke atas
punggung kudanya, diikuti Sogar. Namun ketika kedua orang
murid Ki Kerta Pangat itu hendak membalikkan kudannya, lelaki
berhidung besar itu memerintahkan kawan-kawannya untuk
mengepung. "Jangan biarkan mereka pergi...!" seru laki-laki berhidung
besar itu seraya melompat menghadang jalan dengan senjata
terhunus. Sikap itu tentu saja membuat Badur dan Sogar mengerutkan
kening dengan wajah merah/
"Apa-apaan ini...?" mengapa kalian menghadang perjalanan
kami"! Bukankah kami sudah mengatakan tidak jadi
singgah..."! apakah karena jawaban itu hingga kalian
menghadang kami..."!"
Sogar yang sejak tadi memang telah menyimpan kegusaran
dan kemarahan, langsung saja membentak tak senang.
Sepintas saja sudah dapat diduga kalau para penjaga mulut
Desa Kalang itu memang tidak menghendaki kepergian mereka.
"Jangan banyak bacot! Setelah tahu segala persyaratan
untuk singgah di desa ini, maka mau tak mau kalian harus
masuk ke dalamnya! Kecuali, jika kalian berdua memang sudah
bosan hidup...!" balas lelaki berhidung besar itu, tidak mau
kalah gertak sambil mengacungkan senjatanya.
"Bangsat! Mana ada peraturan seperti yang kalian buat itu
di desa lain. Aku yakin, desa kalian ini tidak akan pernah
disinggahi orang. Kecuali, jika peraturan keparat itu dirubah
atau ditiadakan! Dan apa pun yang akan terjadi, kami tetap
memutuskan untuk pergi meninggalkan desa yang dipenuhi
orang serakah berjiwa kotor seperti kalian!" timpal Badur.
Rupanya, Badur juga memendam kemarahan sejak pertama
kali melihat sikap para penjaga itu. Tidak heran kalau
perkataannya tak kalah garangnya. Bahkan lelaki pendek kekar
itu sudah menggenggam erat pedang di pinggangnya, siap
untuk bertarung!
"Keparat! Kalian rupanya lebih memilih kematian! Nah,
mampuslah!"
Seiring makian itu, tubuh lelaki berhidung besar yang
sepertinya merupakan kepala jaga segera melesat disertai
tusukan pedangnya. Langsung diincarnya dada kiri Badur.
Whutt...! "Hait...!"
Badur tentu saja tidak sudi membiarkan tubuhnya dijadikan
sasaran ujung pedang lawan. Maka begitu senjata lawan
datang semakin dekat, dia berseru nyaring. dan. Dan tubuhnya
langsung melenting ke udara. Begitu sudah di atas, pedang
yang sudah tergenggam di tangannya langsung ditusukkan ke
punggung lawan yang kini berada di bawah.
Namun, lelaki berhidung besar itu ternyata tidak kalah sigap
dan gesit Dengan sebuah putaran manis senjata di tangannya
bergerak ke belakang melindungi punggungnya dari ancaman
Badur. Dan.... Trang...! Bunga api langsung berpijar, seiring bentur; nyaring yang
memekakkan telinga. Sedangkan tubi kedua orang lelaki gagah
itu sama-sama melenting di berputar di udara, untuk kemudian
mendarat di a tanah dengan kuda-kuda kokoh.
Badur dan lawannya saling berpandangan dalami jarak satu
setengah tombak. Mereka kembali bergerak maju dengan
langkah-langkah kokoh, dan siap salin, terjang kembali.
Sementara itu, Sogar sudah pula melesat turun dari atas
punggung kudanya. Entah kapan dilakukan tahu-tahu saja
sebatang pedang telanjang telah tergenggam erat di
tangannya. Sepasang matanya tampak bergerak liar menyapu
ketiga orang lawan yang mengepung.
"Hm.... Kalian lebih pantas menjadi perampok-perampok
tengik ketimbang keamanan desa. Sikap kalian benar-benar
tidak sesuai dengan jabatan yang dipegang...," desis Sogar.
Lelaki tinggi agak kurus itu segera melintangkan senjatanya
di atas kepala dengan sebuah liukan indah. Hal itu dilakukan
ketika melihat ketiga orang pengepungnya sudah mulai
merapat. "Heaaat..!"
"Haaat..!"
Dibarengi teriakan susul-menyusul, ketiga orang Keamanan
Desa Kalang itu pun saling berebutan menerjang Sogar. Pedang
di tangan mereka berkelebatan dengan kilatan-kilatan
menyilaukan mata.
Tapi sebagai seorang murid tokoh sakti yang telah terlatih
baik, Sogar tentu saja tidak gugup melihat serangan itu.
Dengan tenang, tubuhnya bergerak menghindari sambaran
ketiga batang pedang lawan. Sesekali, senjatanya bergerak
memapak apabila sudah tidak bisa lagi menghindar. Semua itu
dilakukan hingga pertempuran melewati jurus yang kedelapan.
Setelah itu, barulah Sogar mulai membangun serangan-
serangannya. "Heaaa...!"
Gempuran pedang Sogar benar-benar mengejutkan ketiga
orang pengeroyoknya. Ternyata, sejak tadi lelaki tinggi agak
kurus itu memang sengaja bertahan untuk meneliti permainan
dan serangan pengeroyoknya. Dan setelah mengetahui titik
kelemahannya, barulah dipastikan untuk menggempur habis-
habisan. Whukkk! Brettt! "Aaargh...!"
Seorang pengeroyok yang lengah, menjadi s saran empuk
pedang di tangan Sogar. Orang yang bernasib sial itu langsung
tersungkur berlumur darat Pada dadanya tampak luka
memanjang yang cukup dalam, hingga sukmanya terbang ke
akhirat! "Bangsat..!"
Melihat seorang kawannya terkapar, kedua orang pengeroyok lain ternyata tak gentar. Bahkan terlihat semakin
beringas! Maka sambil mengeluarkan makian dan sumpah
serapah, mereka kembali menggempur Sogar. Bahkan kali ini
serangan-serangannya demikian maut dan mengerikan. Jelas,
kedua orang pengeroyoknya telah bertekad melenyapkan
Sogar, tanpa mempedulikan keselamatan diri lagi.
Meskipun begitu, Sogar sama sekali tidak terpancing. Lelaki
murid kedua Ki Kerta Pangat itu tetap tenang dalam
memainkan jurus-jurusnya. Memang menurutnya, ketenangan
dalam menghadapi pertempuran akan membawa keuntungan
baginya. Rupanya, pandangan Sogar tidak meleset Setelah menahan
gempuran kedua orang pengeroyoknya selama sepuluh jurus,
kembali didapatkan peluang baik untuk menghabisi nyawa
lawan-lawannya.
Saat kedua pengeroyoknya mengepung dari kiri dan kanan
dengan pedang berkelebatan mengancam leher dan lambung,
Sogar menarik mundur kaki kanannya. Kemudian dengan
merendahkan tubuh hampir jongkok, pedangnya diayunkan
membabat perut kedua lawannya dengan gerakan mendatar.
Brettt! Brettt!
"Aaargh...!"
Seketika terdengar jerit kematian hampir berbarengan.
Darah segar menyembur keluar membasahi tanah dan juga
pakaian Sogar. Sementara tubuh kedua orang lawannya terjajar
beberapa langkah ke belakang, sebelum akhirnya ambruk
dengan nyawa lepas.
Sogar berdiri tegak dengan napas agak memburu.
Dilayapinya mayat ketiga orang lawan, seperti khawatir kalau
masih hidup. Kemudian pandangannya dialihkan ke arah
pertarungan kakak seperguruannya yang melawan lelaki
berhidung besar.
"Hm.... Nampaknya mereka bukan keamanan-keamanan
desa seperti sewajarnya. Hal itu dapat kulihat dari kepandaian
mereka yang rata-rata cukup tinggi. Seperti halnya lelaki
berhidung besar itu Meskipun ia seorang kepala jaga, tapi
seharusnya tidak dapat menandingi kepandaian Kakang Badur.
Jangankan hanya seorang kepala jaga atau kepala keamanan
desa. Kepala desa yang bernama Ki Darpa Sungga pun belum
tentu mampu bertarung sampai sedemikian lama melawan


Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kakang Badur. Benar-benar aneh sekali...?" kata Sogar dalam
hati. Jelas, Sogar merasa curiga melihat dan merasakan kelihaian
para penjaga mulut desa itu. Buktinya, kepandaian keempat
orang itu, terutama sekali kepala jaganya, benar-benar di luar
sewajarnya. Tentu saja hal itu menimbulkan tanda tanya besar
dalam benaknya.
Namun lamunan Sogar rupanya tidak berumur panjang.
Lelaki tinggi agak kurus itu tiba-tiba tersadar dari lamunannya
begitu pendengarannya yang tajam samar-samar mendengar
suara orang berlarian dari dalam desa. Langsung bisa ditebak
kalau yang datang itu pasti bantuan dari pihak lawan.
Sadar kalau ada bantuan tentu mereka tak akan bisa
selamat, maka tanpa pikir panjang lagi, Sogar langsung
meluncur memasuki arena pertempuran. Meskipun saat itu
Badur tampak tengah mendesak lawan, tapi sogar tetap saja
cemas. Ia khawatir, bantuan lawan akan tiba sebelum lawan
kakak seperguruannya berhasil ditundukkan.
Tapi, rupanya Sogar tidak perlu terlalu bersusah payah. Baru
saja kedua kakinya mendarat di tengah arena, Badur telah
lebihdulu menghunjamkan pedangnya di tubuh lawan.
Cappp! "Hugkh...!"
Lelaki berhidung besar itu kontan merintih seraya menekap
perutnya yang tertembus pedang lawan. Pedangnya sendiri
yang semula siap membabat leher lawan, jatuh akibat
tendangan telak dari Badur yang mengenai pergelangan
tangan. Badur membentak keras sambil menarik keluar pedangnya
dari perut lawan. Seketika itu juga, darah segar mancur dari
tubuh lawan yang langsung membasahi tanah. Sedangkan laki-
laki berhidung besar itu sendiri masih terpaku sambil
memegangi perutnya.
Hal itu rupanya membuat Badur kesal. Langsung saja
dikirimkan tendangan keras ke arah lawan yang masih tegak
dengan wajah berkerut-kerut menahan sakit.
Desss...! Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki berhidung besar itu
terjengkang, langsung membentur sebatang pohon di tepi
jalan. Dan tanpa mempedulikan lawan yang tewas dengan
tubuh remuk, Badur dan Sogar segera melesat ke atas
punggung kuda. Rupanya, Badur pun mendengar derap
langkah yang menuju ke arah pertempuran. Kini mereka
langsung menggebah kuda masing-masing, segera pergi dari
tempat itu. (Oo-dwkz-oO) 7 Badur dan Sogar yang melarikan diri, rupanya sempat dilihat
beberapa orang yang baru saja datang.
"Kejar mereka...! Jangan biarkan pengacau-pengacau itu
lolos!" Seorang lelaki bertampang kasar yang wajahnya ditumbuhi
bulu-bulu halus, langsung saja berteriak-teriak memerintah.
Suaranya terdengar parau. Dan ia sendiri langsung membedal
binatang tunggangannya, mengejar Badur dan Sogar.
Karena yang menunggang kuda hanya lima orang, maka
yang tidak menunggang kuda segera berlompatan ke atas
punggung kuda kawan-kawannya. Sehingga, seekor kuda bisa
ditunggangi tiga orang pengejar. Tapi, semua itu tidak lagi
dipikirkan. Binatang tunggangan mereka langsung saja dibedal
membelah jalan.
"Keparat! Rupanya mereka benar-benar tidak kenal
menyerah...!" umpat Sogar ketika mendengar derap kaki kuda
dari belakangnya.
Hati lelaki tinggi agak kurus itu semakin geram sewaktu
samar-samar melihat ada seorang penunggang kuda yang
terpisah hanya beberapa tombak di belakangnya.
"Adi,jangan pedulikan mereka!"
Badur rupanya sempat melihat gelagat tidak baik dari Sogar.
Maka cepat ia berteriak mencegah dan memerintahkan Sogar
untuk tetap memacu kudanya.
Meskipun hatinya merasa penasaran, Sogar sama sekali tidak
berani membantah. Dan kekesalannya ditumpahkan dengan
membedal kudanya secepat mungkin.
"Heya...! Heya...!"
Jtar! Jtar...! Kuda yang ditunggangi Sogar langsung melejit melewati
kuda Badur. Lari kuda itu semakin dipercepat begitu tersengat
cambukan keras dari majikannya. Sehingga sebentar saja,
Badur tertinggal satu setengah tombak di belakang adik
seperguruannya.
Lelaki gagah bertubuh pendek kekar itu hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Sogar. Bisa
dimakluminya perasaan adik seperguruannya. Sebagai orang-
orang gagah, tentu saja mereka pantang melarikan diri dan
dikejar-kejar musuh seperti pengecut. Kalau saja tidak karena
perintah gurunya, rasanya Badur pun lebih suka mati
ketimbang melarikan diri seperti sekarang ini.
Ctarrr...! Jtarrr...!
Badur semula merasa agak tenang. Dikiranya, lawan yang
mengejar hanya sebangsa keroco. Tapi hatinya menjadi
terkejut setengah mati, begitu tahu-tahu terdengar suara
meledak-ledak di atas kepalanya.
Dan segera disadari kalau ledakan itu berasal dari sebuah
cambuk. Jelas, yang memainkannya pasti miliki kepandaian
tinggi. "Heyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Badur langsung saja
melecutkan tali kekang ke punggung kuda disertai teriakan
nyaring. Sehingga, binatang tunggangannya langsung melejit
pesat ke depan. Apalagi cambukan Badur disertai pengerahan
tenaga dalam, sehingga binatang itu berlari bagai dikejar setan!
Untung tindakan yang dilakukan Badur sangat tepat
waktunya. Ledakan cambuk yang semula siap meremukkan
batok kepalanya, terpaksa harus membelah udara kosong.
Karena sasarannya telah lebih dahulu melesat ke depan.
"Bangsat...!"
Lelaki bercambang bauk yang telinga kirinya memakai
anting-anting itu menggeram gusar. Meskipun cara menghindar
lawan tadi seperti tidak disengaja, tetap saja hal itu
membuatnya gusar. Dan sebagai penggantinya, punggung
binatang tunggangannyalah yang menjadi sasaran.
Akibatnya, tentu saja hebat sekali. Lecutan cambuk yang
mengandung kekuatan tenaga dalam itu langsung membuat
kuda yang ditungganginya melejit disertai ringkik kesakitan.
Dan tanpa dicegah lagi, kuda lelaki brewok itu dapat menyusul
dua orang buruannya. Dan tentu saja, membuat Sogar dan
Badur kaget. Tapi lelaki brewok itu pun tidak kalah terkejutnya, ternyata
kuda yang ditungganginya terus saja melaju, meskipun telah
menyusul orang-orang yang dikejarnya.
"Binatang laknat! Berhenti kau! Atau, kupecahkan palamu
dengan cambukku...!" maki lelaki brewok kalang kabut.
Tapi, meskipun berusaha untuk menahan, binatang yang
masih kesakitan itu terus saja berlari bagaikan kesetanan.
Pemandangan yang lucu itu tentu saja membuat Badur dan
Sogar tidak bisa membendung tawanya. Mereka tergelak
menyaksikan pengejarnya tampak mati-matian menahan laju
lari kudanya. "Rasakan kau, Manusia Tolol...!" umpat Sogar.
Seketika itu juga, Sogar merasa hatinya lapang. Rupanya
kekesalannya sempat terobati oleh pemandangan lucu yang
dilihatnya kini.
Tapi tawa Badur dan Sogar terhenti seketika, begitu tahu-
tahu satu setengah tombak di depan telah berdiri lelaki brewok
tadi sambil mempermainkan cambuknya. Di sebelah kanannya,
tampak mayat kuda yang telah pecah kepalanya. Rupanya dia
lebih suka membunuh kudanya ketimbang kehilangan buruan.
"Hm.... Sekarang kalian boleh tertawa lebih keras lagi...!"
seru lelaki brewok itu sambil melecut-lecutkan cambuknya yang
langsung meledak-ledak disertai percikan bunga api.
"Hieeeh...!"
Sogar dan Badur segera menarik tali kekang kudanya.
Biantang-binatang itu kontan berhenti dan meringkik, seraya
mengangkat kedua kaki depannya. Sogar dan Badur memang
memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Sehingga
ketika kuda-kuda itu berhenti secara mendadak, mereka
langsung melenting dan berputaran beberapa kali di udara,
sebelum mendarat.
"Heaaaah...!"
Tanpa banyak bicara lagi, lelaki berewok itu langsung
melecutkan cambuknya ke arah Badur dan Sogar. Sama sekali
tidak diperdulikannya keadaan lawan yang belum siap siaga.
Begitu licik dan telengas sifatnya.
Jdaaarr...! Jtarrr!
"Haiiit...!"
Terdengar ledakan keras diiringi berhamburannya tanah dan
rerumputan! Untung Sogar dan Badur telah lebih dulu
membuang diri ke kiri dan kanan. Setelah bergulingan beberapa
kali, mereka bangkit berdiri. Dan begitu mereka melihat tanah
tempat berpijak tadi, ternyata telah menjadi lubang akibat
ledakan cambuk maut lawan!
Sring...! Sadar kalau lawan kali ini bukan orang sembarangan, Badur
dan Sogar segera saja mencabut senjata masing-masing. Kini
mereka siap menggempur lawan dari dua arah.
"He he he...! Jangan harap dapat lepas dari Cam-luk
Setan...," ujar lelaki brewok yang ternyata berjuluk Cambuk
Setan, sambil menggedikkan kepalanya dengan sikap sombong
sekali. Ucapan yang sekaligus bermaksud memperkenalkan diri itu,
tentu saja membuat Sogar dan Badur tersentak kaget. Julukan
Cambuk Setan bukan baru kali ini terdengar. Bahkan
merupakan momok bagi kaum golongan putih, seperti
perguruannya. Sama sekali tidak disangka kalau hari ini mereka
dapat berjumpa tokoh sesat yang kabarnya sangat hebat
permainan cambuknya. Jadi memang tidak berlebihan apabila
kaum persilatan memberikan julukan Cambuk Setan kepadanya. Sogar dan Badur telah membuktikan sendiri
kehebatan permaianan cambuk lawan tadi.
"Kita harus hati-hati, Adi Sogar. Dia bukan orang
sembarangan. Sebaiknya kita bermain mundur dan memancing
ke tempat guru dan yang lainnya. Aku khawatir, kawan-kawan
cambuk Setan akan berdatangan ke tempat ini..." bisik Badur.
Badur langsung saja menyusun siasat begitu lawan
memperkenalkan dirinya. Meskipun keduanya belum tentu
kalah melawan cambuk setan, namun untuk dapat menang
juga bukan sesuatu yang mudah.
"Pikiran yang bagus, Kakang. Menurutku, tempat ini tidak
seberapa jauh dari tempat guru dan saudara-saudara
seperguruan kita menunggu. Ada baiknya kedua kuda itu
dikirim pulang. Dengan begitu, guru dan yang lain mungkin
akan segera datang kemari..! sambut Sogar dengan sebuah
usul. "Ah...! Kau benar, Adi. Itulah satu-satunya jalan terbaik yang
bisa kita lakukan saat ini...."
Dengan nada gembira, Badur langsung saja menyetujui usul
adik seperguruannya. Maka tanpa membuang-buang waktu
lagi, Badur segera bersiul. Tentu saja, hanya dapat dimengerti
binatang tunggangannya.
Sogar juga tidak mau ketinggalan. Cepat ia bersiul panjang
dengan irama aneh. Sebentar kemudian kedua binatang yang
semula kelihatan kebingungan, segera berlari meninggalkan
majikannya masing-masing. Melihat hal itu, Badur dan Sogar
jadi gembira. Untuk beberapa saat lamanya, mereka
mengawasi kuda-kudanya, sebelum menghilang di balik sebuah
anak bukit (Oo-dwkz-oO) Si Cambuk Setan rupanya bukan tidak tahu maksud kedua
orang buruannya. Tokoh sesat itu memang terlalu sombong,
dan memandang rendah orang lain. Kemenangan demi
kemenangan yang selama iri diraihnya, membuat kepala lelaki
brewok itu semakin bertambah besar. Apalagi, selama ini belum
pernah ada seorang pun yang sanggup menandingi 'Ilmu
Cambuk Setan'nya. Maka tentu saja kesombongannya semakin
menjadi-jadi. Tampak senyum meremehkan terkembang di
bibirnya. Sementara itu, Badur dan Sogar tidak ingin membuang-
buang waktu lagi. Mereka segera bergerak sambil memainkan
pedangnya, sehingga menimbulkan angin menderu-deru.
"Hmh...!"
Si Cambuk Setan menggeram sambil menatap tajam gerakan
yang dilakukan kedua orang lawannya. Kening tokoh sesat itu
agak berkerut saat melihat jarak antara mereka tampak
semakin bertambah jauh. Kini sadarlah lelaki brewok itu kalau
lawannya hendak melarikan diri.
"Ha ha ha...!"
Seketika itu juga, meledaklah tawa si Cambuk Setan.
Rupanya baru disadari kalau kedua orang lawannya sebenarnya
tidak ingin bertempur. Itu terbukti dari gerakan Badur dan
Sogar yang semakin menjauh, seperti orang yang sengaja
menghindari perkelahian. Tentu saja si Cambuk Setan tidak
mau menerima hal itu.
"Hmh...," si Cambuk Setan menggeram sambil melecut-
lecutkan cambuknya ke udara.
Jtarrr...! Jdarrr...!
Ledakan-ledakan
memekakkan telinga pun kembali terdengar susul-menyusul. Percikan-percikan bunga api
semakin ramai menghiasi setiap ledakan yang timbul. Tentu
saja perbuatan si Cambuk Setan membuat Sogar dan Badur
semakin siaga.

Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Heaaa...!"Jtarrr...!
Dibarengi pekikan keras, cambuk di tangan lelaki brewok itu
meluncur deras dan menghantam tempat Badur berpijak.
Seketika serpihan tanah berumput, berhamburan seiring
ledakan keras tadi. Untunglah Badur telah lebih dulu melenting
ke udara, sehingga tidak menjadi sasaran cambuk lawan. Badur
berputaran beberapa kali, lalu mendarat dengan manis di
udara. "Yeaaat..!" "Haaat..!"
Dibarengi sebuah pekikan melengking, Badur dan Sogar
sama-sama melesat dengan putaran pedang yang menimbulkan
angin mendera tajam. Sebentar saja, ketiga orang itu telah
terlibat dalam sebuah pertarungan sengit
Namun, kesaktian si Cambuk Setan sepertinya memang
bukan kabar bohong. Terbukti setelah bertarung selama tiga
puluh jurus, Badur dan Sogar mulai tertekan oleh sambaran
cambuk lawan. Bahkan ledakan-ledakan cambuk itu telah
membuat gerakan mereka semakin kacau.
Jtarrr...! "Aaakh...!"
Sogar yang tampak sangat tersiksa oleh ledakan cambuk
lawan, tampak terhuyung sewaktu lecutan itu kembali
menggelegar. Kesempatan itu tentu saja tidak disia-siakan
lawan yang langsung saja menyusuli lecutan cambuknya untuk
mengancam kepala Sogar.
Syuuut...! Ujung cambuk lelaki brewok itu meluncur deras, siap
meremukkan batok kepala Sogar. Sementara, Sogar sendiri
hanya bisa memandang terbelalak, karena saat itu tengah
berusaha menahan tubuhnya agar tidak sampai terjatuh.
"Heaaat.!"
Mendadak, pada saat yang sangat berbahaya bagi
keselamatan Sogar, tahu-tahu sesosok bayangan putih
berkelebat memapak sambaran ujung cambuk yang siap
merenggut nyawa.
Prattt..! "Akhhh...!?"
Si Cambuk Setan menjerit kesakitan ketika ujung senjatanya
membentur suatu kekuatan yang tidak pernah dibayangkan
sebelumnya. Kontan saja tubuhnya terjengkang deras ke
belakang Brug...! Tanpa ampun lagi, tubuh laki-laki brewok itu terbanting jatuh
ke tanah. Sedangkan cambuk di tangannya telah pula terlepas
dari pegangan. Tentu saja, kenyataan itu seperti mimpi buruk
bagi si Cambuk Setan.
"Hmrrrh...!"
Si Cambuk Setan bangkit sambil mengerahkan tenaga
saktinya untuk mengusir hawa dingin yang merasuk ke dalam
tubuh. Sepasang matanya menatap liar ke arah sosok tubuh
berjubah putih yang tampak berdiri tegak di tengah arena.
"Siapa kau..."!" hardik si Cambuk Setan setelah dapat
melenyapkan pengaruh hawa dingin yang terasa membekukan
tubuhnya. Ditatapnya sosok pemuda tampan itu dengan kening
berkerut. Tampaknya, si Cambuk Setan mencoba untuk
mengingkari dugaannya. Semua itu terlihat jelas dari wajahnya
yang pucat dan penuh kecemasan. Dan si Cambuk Setan
memang dapat menduga, siapa sosok pemuda tampan
berjubah putih itu.
"Hm.... Perlukah aku menjelaskannya lagi padamu, Cambuk
Setan?" tanya pemuda tampan berjubah putih itu seraya
tersenyum tenang.
Sepertinya pemuda ini bisa mengetahui kalau lelaki brewok
itu sudah bisa menebak dirinya.
"Hm.... Jadi, kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?"
tegas si Cambuk Setan, menyebutkan nama pendekar besar itu
dengan nada hampir tidak terdengar. Kering, seperti orang
yang kerongkongannya tercekik
"Tidak salah! Lalu, apa yang akan kau perbuat setelah
mengetahui diriku, Cambuk Setan...?" tanya sosok pemuda
tampan yang tak lain dari Panji atau berjuluk Pendekar Naga
Putih. Beberapa langkah di sebelah kanan pemuda itu tampak
seorang gadis cantik berpakaian hijau. Dan dia hanya
menonton perdebatan itu.
Sebelum si Cambuk Setan menjawab pertanyaan pemuda
tampan itu, tiba-tiba terdengar gemuruh derap kaki kuda. Tak
berapa lama kemudian, tampaklah empat ekor kuda yang
ditunggangi sepuluh orang laki-laki. Mereka tak lain adalah
kawanan si Cambuk Setan yang juga melakukan pengejaran
terhadap Sogar dan Badur.
Melihat kawan-kawannya berdatangan, si Cambuk Setan
segera bergerak mendekat. Setelah bergabung dengan kawan-
kawannya, tatapannya dilepaskan ke arah sosok Pendekar Naga
Putih yang tetap tenang sambil tersenyum.
"Pendekar Naga Putih! Selama ini aku hanya mendengar
nama dan kehebatanmu tanpa menyaksikannya. Sekarang,
kalau kau benar-benar seorang pendekar sejati, mari kita
bertarung secara jujur!" tantang si Cambuk Setan. Tentu saja
dengan siasat liciknya. Rupanya lelaki brewok itu sempat cemas
mendengar kepandaian Pendekar Naga Putih yang kesohor itu.
Panji sendiri hanya tertawa mendengar tantangan si Cambuk
Setan. Yang ditertawakannya adalah kelicikan tokoh sesat itu.
"Kuterima tantanganmu. Bersiaplah...," sambut Panji seraya
melangkah maju beberapa tindak mendekati lawannya.
"Tunggu...!" seru si Cambuk Setan sambil mengangkat
telapak tangannya. Dari raut wajahnya, kelihatan sekali kalau
tokoh sesat itu merasa khawatir Panji berbuat curang.
Pikiran itu tentu saja terbaca oleh Pendekar Naga Putih.
"Jangan khawatir, Cambuk Setan. Kaum golongan putih
jangan disamakan dengan golongan hitam yang selalu
menggunakan kelicikan dan kecurangan dalam menghadapi
lawan. Bagi kami, justru kejujuran dan kegagahanlah yang
menjadi pegangan utama. Jadi, jangan khawatir kalau aku akan
berbuat curang...," sahut Panji, enteng,
Mendengar sahutan itu telinga si Cambuk Setan kontan
merah. Ia merasa, pemuda itu telah mengetahui isi hatinya.
"Hm.... Jangan dikira hanya golongan putih saja yang tidak
menggunakan kelicikan dan kecurangan. Aku pun tidak pernah
berbuat curang. Kalau aku menggunakan sedikit tipuan dalam
mencari kemenangan, rasanya wajar saja. Dan itu menandakan
kalau otakku lebih baik dibandingkan lawan-lawan yang berhasil
kukelabui," elak si Cambuk Setan, tak mau kalah.
"Hm.... Kau ingin mengajak bertarung, atau aku disuruh
mendengarkan ceramahmu...?" ledek Panji lagi, sehingga
membuat wajah si Cambuk Setan kembali gelap.
"Bangsat!" maki si Cambuk Setan dengan suara mengguntur.
"Sambutlah seranganku...!"
Seketika itu juga, tubuh si Cambuk Setan langsung meluruk
ke arah Pendekar Naga Putih.
(Oo-dwkz-oO) 8 Jtarrr...! Jdarrr...!
Cambuk di tangan lelaki brewok itu meledak-ledak hebat,
mengancam kepala Pendekar Naga Putih. Namun, dengan
gerakan indah Panji selalu saja bisa meloloskan diri dari
kepungan ujung cambuk yang bagaikan puluhan banyaknya.
Tentu saja hal itu membuat si Cambuk Setan menjadi
penasaran. "Bangsat...! Mengapa kau tidak membalas seranganku,
Pendekar Sombong..."! Ayo, balaslah! Jangan bisanya hanya
mengelak seperti seorang pengecut...!" maki si Cambuk Setan.
Wajar saja kalau si Cambuk Setan memaki seperti itu, karena
lawannya selama sepuluh jurus terus saja menghindar, tanpa
sekali pun membalas. Sebenarnya hal itu menguntungkan, tapi
karena serangannya tidak juga mengenai sasaran, si Cambuk
Setan hanya maki-maki untuk melepas kejengkelan hatinya.
"Hm... Kau ingin agar aku membalas seranganmu" Baiklah.
Sekarang bersiaplah...," jawab Pendekar Naga Putih, tetap
tenang tanpa berbau amarah.
Usai berkata demikian, Panji benar-benar membuktikan
ucapannya. Pemuda tampan itu mulai melangkah dengan kuda-
kuda kokoh dan gesit. Sepasang tangannya yang terkadang
membentuk cakar, dan terkadang seperti paruh ular, bergerak
cepat menuju ke arah si Cambuk Setan.
Bettt! Wuuut..."
"Uts!?"
Si Cambuk Setan mengeluh ketika jari-jari tangan Pendekar
Naga Putih yang berbentuk paruh ular meliuk dan nyaris
menghajar lambung kirinya. Untunglah tubuhnya masih sempat
dilempar dan bergulingan, sehingga sambaran jari-jari tangan
pemuda itu hanya mengenai angin kosong.
Tapi, hal itu bukan berarti kalau si Cambuk Setan telah lolos
dari celaka. Meskipun berusaha menghalau serangan Pendekar
Naga Putih dengan lecutan cambuknya, tapi tetap saja si
Cambuk Setan harus bermain mundur. Memang, serangan
pemuda tampan itu bagaikan tidak pernah berhenti. Selalu saja
datang susul-menyusul, bagaikan gelombang di lautan.
"Jaga seranganku kali ini, Cambuk Setan...!" seru Panji
ketika pertarungan sudah menginjak jurus kedua puluh.
Begitu ucapannya selesai, tubuh Pendekar Naga Putih
berkelebat dengan totokan jari tangannya yang bercuitan.
Wuettt! Wuertt...!
Jari-jari tangan Pendekar Naga Putih yang berbentuk paruh
ular meliuk dan meluncur dengan kecepatan sulit ditangkap
mata biasa. Sementara itu, si Cambuk Setan tidak tinggal diam.
Langsung segenap kemampuannya dikerahkan untuk menghalau serangan lawan. Ujung cambuknya meledak-ledak
menggetarkan. Bunga api tampak memercik memeriahkan
pertempuran yang tengah berlangsung.
Jtarrr...! Jdarrr...!
"Heaaah...!
Pendekar Naga Putih meliukkan tubuhnya menghindari
cambuk yang mengincar kepala. Cepat bagaikan kilat, tangan
kanannya bergerak mematuk. Maka tanpa dapat dicegah lagi,
ujung cambuk lawan langsung tergenggam erat di tangannya.
"Heaaah...!"
Si Cambuk Setan membentak keras disertai pengerahan
tenaga dalam untuk menarik lepas cambuknya dari jepitan
jemari tangan Pendekar Naga Putih. Tapi meskipun wajahnya
telah memerah, tetap saja ujung cambuknya tidak tergoyahkan.
Padahal, Panji hanya menggunakan ibu jari dan telunjuk untuk
menjepit. Tentu saja si Cambuk Setan merasa geram sekali
"Lepasss...!"
Untuk kesekian kalinya, si Cambuk Setan mengeluarkan
bentakan menggelegar. Seiring dengan itu, cambuknya dibetot
dengan sekuat tenaga. Tapi Panji yang mengetahui hal itu,
sudah lebih dulu melepaskan jepitannya. Maka akibatnya....
"Akh..."!"
Si Cambuk Setan berteriak kaget ketika sewaktu membetot
ternyata sama sekali tidak menemui hambatan. Sehingga,
tubuhnya kontan terjengkang ke belakang hingga sejauh dua
tombak lebih. Gusrakkk! Tanpa dapat ditahan lagi, tubuh lelaki brewok itu terus
masuk ke dalam semak-semak di tepi jalan. Terdengar suara
makian panjang pendek dari dalam semak-semak. Tak berapa
lama kemudian, muncullah tubuh si Cambuk Setan dengan
wajah hitam. Lelaki brewok itu merasa malu sekali, karena
telah dipermainkan Pendekar Naga Putih. Dan ia merasa
memang bukan tandingan pemuda sakti itu.
"Pendekar Naga Putih...! Kali ini aku mengaku kalah! Tapi
lain kali, semua penghinaan ini akan kubalas sekaligus dengan
bunganya...!"
Suara penuh dendam itu terdengar bergetar, karena si
Cambuk Setan benar-benar tak bisa menahan amarahnya.
Namun disadari kalau bukanlah tandingan Pendekar Naga
Putih, sehingga membuatnya terpaksa harus menelan semua
kejengkelan dan sakit hatinya.
"Cambuk Setan.... Rupanya kau masih belum suka bertobat
juga. Tapi, baiklah. Itu memang urusanmu. Sekarang jawab
pertanyaanku! Pernahkah kau mendengar tentang seorang
tokoh yang berjuluk Malaikat Petir" Jawablah dengan jujur
kalau tak ingin kehilangan nyawamu sekarang juga...," ujar
Pendekar Naga Putih, dengan sorot mata tajam, tepat di
sepasang bola mata si Cambuk Setan.
Mendengar ancaman itu, si Cambuk Setan tergagap. Apalagi
saat melihat kilatan mata pemuda itu yang menandakan kalau
ancaman itu tidak main-main. Dan hal ini membuat harinya
terguncang. "Mmm..., Malaikat Petir adalah majikanku. Aku adalah orang
taklukannya yang kini mengabdi padanya. Kalau ingin bertemu
dengannya, datanglah ke Desa Kalang. Dia kini menjadi
penguasa di sana...,'' jawab si Cambuk Setan setelah berulang
kali menarik napas untuk menenteramkan hatinya yang
bergetar. "Hm...," gumam Panji.
Panji tahu, si Cambuk Setan tidak berdusta. Maka, dia tidak
mencegah sewaktu si Cambuk Setan dan kawan-kawannya
bergerak meninggalkan tempat itu. Sepertinya, lawan-lawannya
memang sengaja dibebaskan.
"Kakang! Mengapa mereka tidak dibunuh saja" Kelak kalau
kita yang dicundangi, belum tentu mereka akan membebaskan
kita...," tanya Kenanga bernada tak puas. Kelihatannya ia tidak
menyetujui tindakan kekasihnya.
"Hhh.... Mereka sudah mengaku kalah, Kenanga. Tidak ada
yang bisa dilakukan terhadap orang yang sudah tidak berdaya.
Biarkanlah hari ini mereka pergi Mungkin suatu hari nanti, di
antara mereka ada yang menyadari kesalahannya. Kesadaran
itu jauh lebih baik daripada kematian sia-sia...," kilah Panji
dengan senyum tenang. Jawaban ini membuat Kenanga hanya
bisa menghela napas panjang.
Sogar dan Badur yang mengetahui penolongnya adalah
Pendekar Naga Putih, langsung saja menyalami disertai ucapan
terima kasih tak henti-hentinya. Saat mereka saling bertukar


Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sapa, tiba-tiba terdengar derap kala kuda mendatangi tempat
itu. Tak lama kemudian, muncullah rombongan Ki Kerta Pangat,
Murni, dan murid-murid Perguruan Gunung Bakang.
"Guru...!"
Badur dan Sogar segera saja bergerak menyambut
kedatangan Ki Kerta Pangat dan saudara-saudara
seperguruannya. Meskipun kedatangan orang tua itu agak
terlambat, namun Badur dan Sogar tetap gembira menyambutnya. "Apa yang terjadi...?" tanya Ki Kerta Pangat. Ketua
Perguruan Gunung Bakang itu langsung saja meneliti keadaan
sekitarnya. Keningnya tampak agak berkerut ketika melihat
bekas-bekas pertempuran di tempat itu.
"Guru.... Pemuda ini adalah Pendekar Naga Putih. Dialah
yang telah menyelamatkanku dari Kematian Kalau tidak,
mungkin saat ini Guru hanya menemukan mayat kami saja...,"
lapor Sogar, langsung memperkenalkan Panji kepada Ki Kerta
Pangat. Tentu saja disebutnya nama pendekar besar itu
membuat Ketua Perguruan Gunung Bakang terkejut.
Tatapan mata yang semula penuh selidik dari orang tua itu,
kini berubah menyiratkan kekaguman yang tidak tersembunyikan. Bahkan Ki Kerta Pangat langsung melompat
turun dari atas punggung kuda, dan langsung menyalami Panji.
"Ah..., Pendekar Naga Putih. Benar-benar suatu kebahagiaan
bisa berjumpa denganmu. Selama ini, hanya sepak terjangmu
saja yang membuatku terkagum-kagum. Siapa sangka hari ini
aku bisa berjumpa pendekar muda yang telah mendatangkan
kekaguman banyak orang...," kata Ki Kerta Pangat tanpa
melepaskan genggamannya. Jelas sekali kalau orang tua itu
benar-benar gembira berjumpa Panji.
"Ah! Kau terlalu memuji, Orang Tua. Rasanya hari ini
kepalaku menjadi bertambah besar. Kalau tidak kutahan-tahan,
mungkin bisa jatuh pingsan akibat pujianmu yang memabukkan
itu...," sahut Panji sedikit berkelakar. Dan ucapan pemuda itu
langsung disambut tawa oleh yang lain.
"Murni...," panggil Ki Kerta Pangat setelah menyalami
Kenanga. "Marilah kuperkenalkan dengan seorang pemuda
perkasa yang jarang tandingannya. Apakah ayahmu tidak
pernah bercerita tentang Pendekar Naga Putih...?"
Ketua Perguruan Gunung Bakang itu membawa gadis cantik
keponakannya ke hadapan Panji.
"Pendekar Naga Putih, perkenalkanlah. Ini Murni, putri
adikku. Rasanya, dia cukup pantas untuk berkenalan
denganmu...," kata Ki Kerta Pangat sambil tersenyum.
Panji menganggukkan kepala dan tersenyum kepada gadis
muda yang cantik itu. Sedangkan Murni sendiri hanya menatap
kagum akan ketampanan Panji. Padahal, nama besar pemuda
itu sendiri sama sekali belum pernah didengarnya. Memang,
ayahnya belum pernah bercerita tentang pendekar muda yang
menggemparkan itu.
"Kakang! Benarkah yang kudengar dari uwak kalau
kepandaianmu belum ada tandingannya sampai saat ini...?"
tanya Murni sebelum melepaskan tangannya.
"Kau ini ada-ada saja, Murni. Ketahuilah. Di atas gunung,
masih ada langit. Dan di atas langit, masih ada lapisan langit
lagi. Jadi, kita tidak boleh takabur...," jawab Panji, merendah.
"Tapi, bukankah selama ini Kakang belum pernah
terkalahkan" Dan aku yakin, Uwak Kerta Pangat tidak mungkin
akan menyanjungmu kalau Kakang sudah pernah dikalahkan
orang...," desak Murni, penasaran.
"Yah.... Sampai saat ini memang belum. Tapi, beberapa kali
aku nyaris dikalahkan lawan...," sahut Panji untuk memuaskan
hati gadis cantik itu.
"Kalau begitu, Kakang harus menolongku dan warga Desa
Kalang, tempat aku tinggal. Kedatangan uwakku pun karena
ingin membantuku dalam menghadapi seorang kakek gila yang
mengaku berjuluk Malaikat Petir...," jelas Murni tanpa diminta.
"Malaikat Petir..."! Lalu, di mana tokoh itu sekarang?" tanya
Panji. Pendekar Naga Putih tentu saja menjadi terkejut sehingga
tanpa sadar telah memegang kedua bahu Murni agak kuat.
Pemuda itu baru tersadar saat Murni mengerang lirih. Seketika
dilepaskannya pegangan itu.
"Malaikat Petir sekarang berada di Desa Kalang! Saat ini desa
itu telah dikuasainya. Dan sebaiknya, kita menuju desa itu
secepatnya. Mungkin sekarang ini si Cambuk Setan telah
melaporkan keberadaanmu, Pendekar Naga Putih...," kali ini
Badur yang menjawab pertanyaan Panji. Memang, dia sempat
mendengar pembicaraan Panji dengan si Cambuk Setan tadi.
"Kalau begitu, tunggu apa lagi..." Aku memang mempunyai
sedikit urusan dengan tokoh aneh itu..." Usai berkata demikian,
Panji bersama Kenanga langsung saja bergerak mengikuti
rombongan Ki Kerta Pangat. Hadirnya Pendekar Naga
Putih di antara mereka, membuat Ki Kerta Pangat mengambil
keputusan untuk mendatangi Desa Kalang secara terang-
terangan. (Oo-dwkz-oO) Rombongan Ki Kerta Pangat tiba di Desa Kalang pada saat
matahari sudah semakin condong ke arah barat. Ketua
Pergurun Gunung Bakang itu langsung menghentikan laju
kudanya saat tiba di mulut desa. Di tempat itu, memang
terjaga ketat oleh puluhan kawanan kaum sesat yang menjadi
sekutu Malaikat Petir.
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras yang ternyata berasal dari tokoh
yang berjuluk si Cambuk Setan. Rupanya tokoh sesat itu sudah
menemukan kembali kepercayaan diri, sehingga berani
menatap Panji penuh dendam. Sedangkan pemuda itu sama
sekali tidak memedulikannya.
"Cambuk Setan! Mana pimpinanmu yang mengaku berjuluk
Malaikat Petir" Suruh ia keluar. Jangan bisanya hanya
bersembunyi seperti perawan pingitan...!" seru Panji.
Rupanya Pendekar Naga Putih sudah tidak sabar untuk
segera berjumpa dengan tokoh itu. Ingin segera diketahuinya,
apakah tokoh itu benar-benar gurunya, atau orang yang
sengaja menyamar demi untuk merusak nama baik Eyang Tirta
Yasa. "He he he.... Kau mencari aku. Cucuku...?" Tiba-tiba
terdengar suara yang tidak asing lagi bagi telinga Panji. Dan
kemunculan sosok kakek tinggi kurus berpakaian putih itu
langsung membuat hati Pendekar Naga Putih berdebar tegang.
Nyatanya, kakek itu tak lain dari Eyang Tirta Yasa yang berjuluk
Malaikat Petir. Kakek itulah yang telah mendidiknya hingga
menjadi pemuda perkasa seperti sekarang ini.
"Eyang..."!" desis Panji yang mendadak jadi gemetar sekujur
tubuhnya. "Kau benar-benar Eyang Tirta Yasa... Tapi, bagai
mana mungkin Eyang bisa bangkit dari kematian?"
Panji jadi seperti orang bodoh. Sehingga, kenanga merasa
harus mendampingi kekasihnya. Dia memaklumi perasaan
pemuda yang dicintainya itu.
"kakang! Ia belum tentu gurumu. Kalau memang benar
kakek itu Eyang Tirta Yasa, mengapa tindakannya sesat" Dia
telah membunuh orang tak berdosa, memerintah dengan
semena-mena, dan masih suka perempuan muda. Aku bisa
merasakannya saat menatapku dan menatap murni. Kakek ini
pasti menyamar sebagai gurumu, kakang. Meskipun penyamarannya sangat sempurna, tapi kau harus mengungkapkannya, Kakang! Harus...!" tandas Kenanga.
Gadis itu menekankan kata-kata terakhirnya. Dia memang
sangat khawatir terhadap keadaan pemuda yang dicintainya.
Sudah dirasakannya sendiri kehebatan kakek yang mengaku
sebagai Malaikat Petir itu. Dan gadis ini juga sadar kalau hanya
kekasihnyalah yang dapat menandingi kesaktian kakek itu.
"Hm... jangan dengarkan wanita bermulut busuk itu, cucuku.
Ia sengaja memperalatmu untuk melawanku! Lebih baik, dia
kulenyapkan saja dulu, agar tidak bisa mempengaruhimu
lagi...," kata Malaikat Petir Gusar.
Usai berkata demikian, kakek itu mengulurkan telapak
tangannya, hendak mencengkeram leher kenanga. Namun Panji
yang tentu saja sangat menyayangi kekasihnya tidak sudi
membiarkan gadis jelita itu terancam bahaya. Maka, cepat
tangannya terulur memapaki cengkeraman kakek itu. Dan...
Plakk...! Terdengar ledakan bagai gemuruh petir, saat lengan mereka
saling berbenturan di udara. Sedangkan Panji dan Malaikat Petir
sama-sama terkejut, merasakan kekuatan tenaga sakti masing-
masing. "Hmh...!"
Malaikat Petir yang merasakan adanya aliran hawa dingin
yang meresap melalui tangan Panji, langsung mengerahkan
hawa murni untuk mengusirnya. Perbuatan kakek itu sempat
dilihat Panji, meskipun hanya sekilas. Hal ini membuatnya
berpikir untuk mencari kejelasan kalau kakek itu benar-benar
gurunya. "Hm... Orang tua! Kalau kau benar-benar Eyang guruku,
tunjukkan jurus terakhir dari ilmu 'Naga Sakti' yang kau
turunkan kepadaku...?" tanya Panji.
Rupanya Pendekar Naga Putih sudah menemukan jalan
keluar untuk mengetahui, apakah kakek itu benar-benar Eyang
Tirta Yasa atau bukan.
Kakek yang mengaku berjuluk Malaikat Petir sejenak
bungkam dengan wajah berubah tegang. Jelas hatinya
kelihatan gelisah menerima pertanyaan pemuda itu. Sehingga,
Pendekar Naga Putih mulai merasa yakin kalau orang tua itu
bukan gurunya. Hanya yang membuatnya penasaran, siapa
orang di balik sosok Malaikat Petir itu" Dan, mengapa
menyamar menjadi gurunya"
Tapi pertanyaan-pertanyaan itu
tidak segera dapat
ditemukan jawabannya. Apalagi, malaikat petir saat itu sudah
langsung menerjang dengan tamparan-tamparan maut.
Sehingga Pendekar Naga Puth terpaksa harus melayaninya
sungguh-sungguh.
"Haaat...!"
Jletarrr...! Darrr...!
Diiringi ledakan menggelegar dan kilatan cahaya putih yang
menyilaukan mata. Malaikat Petir menerjang Pendekar Naga
Putih. Sedikit pun pemuda itu tidak diberi kesempatan untuk
membalas serangannya. Sehingga dalam jurus-jurus awal, Panji
nampak terdesak. Bahkan hanya bisa menghindar tanpa
sempat membalas. Meskipun demikian, karena ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai tingkat tinggi,
serangan-serangan maut yang dilontarkan lawan masih mampu
diatasi. "Yeaaah...!"
Untuk kesekian kali, kembali terdengar bentakan Malaikat
Petir yang menggelegar. Seiring dengan itu, seberkas sinar kilat
langsung menyambar ke arah tubuh Pendekar Naga Putih.
Jdarrr...! "Haiiit.!"
Panji berseru keras seraya menjejakkan kakinya ke tanah
kuat-kuat. Saat itu juga, tubuh pemuda itu langsung melenting
setanggi dua tombak, kemudian mendarat ringan dalam jarak
yang cukup jauh, setelah berputaran beberapa kali di udara.
"Hm... siapa sebenarnya kakek gila ini..." 'Ilmu Telapak
Tangan Petir'nya benar-benar hebat sekali. Bahkan jauh lebih
sempurna daripada yang dimiliki eyang dulu...," desis Panji.
Pendekar Naga Putih menjadi tidak mengerti, dari mana
kakek itu bisa mendapatkan ilmu langka yang hanya dimiliki
gurunya. Namun panji tidak bisa berpikir lama-lama. Buktinya,
Malaikat Petir benar-benar tidak sudi memberi peluang.
Dibarengi sebuah pekikan nyaring, Malaikat Petir kembali
meluncur ke arah Pendekar Naga Putih. Sementara, Panji
sendiri mulai mengimbangi permainan lawannya. Serangan-
serangan yang tidak kalah kuat dan berbahaya, membuat
pertarungan menjadi hidup dan semakin menarik. Mereka
saling mendesak dengan ilmu andalannya masing-masing.
Sampai sejauh ini, belum bisa dipastikan yang bakal keluar
sebagai pemenang.
(Oo-dwkz-oO) Di lain tempat, Ki Kerta Pangat sudah memimpin murid-
muridnya untuk menghadapi si Cambuk Setan dan rekan-
rekannya. Kenanga pun tidak tinggal diam begitu saja. Gadis
jelita itu langsung turun ke arena, menghadapi si Cambuk
Setan. Tentu saja gempuran yang semula ditertawakan itu
membuat si Cambuk Setan kelabakan. Apalagi serangan-
serangan yang dilontarkannya tidak tanggung-tanggung lagi.
Dalam Jua puluh jurus saja, si Cambuk Setan sudah dibuat mati
kutu.

Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bahkan tidak bisa mengembangkan permainan cambuknya. "Bedebah! Kuntilanak busuk... !" Si Cambuk Setan terpaksa
memaki-maki sebisanya. Tokoh sesat itu memang tidak bisa
melakukan perbuatan lain, kecuali memaki gadis jelita itu untuk
memuaskan kejengkelannya.
Kenanga sendiri sama sekali tidak mempedulikan segala
makian yang dilontarkan lawan. Pikirannya tetap dipusatkan
untuk melenyapkan lawan secepatnya.
"Haiiit.!"
Ketika pertarungan telah menginjak jurus yang ketiga puluh
dua, tiba-tiba Kenanga berseru nyaring mengguncangkan dada
lawan. Seiring dengan itu, tubuhnya melesat disertai putaran
pedangnya yang menyilaukan mata.
Whukkk! Whukkk...!
Pendaran sinar putih keperakan yang bergulung-gulung,
tentu saja membuat si Cambuk Setan sulit melihat ujung
pedang lawan. Akhirnya diputuskannya untuk melompat
mundur dan melarikan diri dari pertarungan.
Tapi, perbuatan tokoh sesat itu tentu saja tidak dibiarkan
begitu saja oleh Kenanga. Begitu melihat tubuh lawan melesat
seperti hendak kabur, gadis jelita kembali memekik nyaring!
Seketika itu juga tubuhnya langsung meluncur lurus bagaikan
sebatang bambu yang dilontarkan!
Blessss...! "Aaaargh...!"
Si Cambuk Setan menjerit ngeri sewaktu ujung pedang
lawan tembus dari tubuh bagian belakang hingga ke depan.
Darah segar pun langsung menyembur saat Kenanga mencabut
pedangnya. Kemudian, masih sempat pula dikirimkannya
sebuah tendangan keras. Akibatnya, tubuh tokoh sesat itu
terpental sejauh satu tombak lebih, untuk kemudian ambruk
mencium tanah dengan napas putus.
Setelah menyelesaikan lawannya. Kenanga segera menggabungkan diri dengan Ki Kerta Pangat dan murid-
muridnya. Bersama mereka, Kenanga gempur kawanan
pengikut Malaikat Petir yang kebanyakan terdiri dari golongan
sesat. Masuknya Kenanga ke dalam gelanggang pertarungan,
tentu saja membuat keadaan lawan semakin berantakan. Setiap
kali pedangnya yang bersinar keperakan itu menyambar, selalu
saja terdengar jerit kematian yang disusul robohnya tubuh
lawan. Akibatnya, sebentar saja para pengikut Malaikat Petir
terpaksa melepaskan senjata, langsung menyerah tanpa syarat.
Sebagai orang-orang yang menjunjung kewibawaan, Ki Kerta
Pangat beserta murid-muridnya tentu saja tidak ingin
mencelakai lawan yang sudah menyerah kalah. Akhirnya,
mereka membebaskan siapa saja yang bersedia kembali ke
jalan yang benar. Bahkan ketua Perguruan Gunung Bakang
berniat menyediakan tempat tinggal dan lahan bagi pengikut
Malaikat Petir yang ini menjadi petani.
(Oo-dwkz-oO) Kini tinggallah pertarungan antara Panji dan Malaikat Petir
yang masih berlangsung sengit. Puluhan jurus telah dilalui,
namun sejauh itu mereka masih terlihat sama-sama kuat.
Belum nampak tanda-tanda ada yang kelelahan.
Pendekar Naga Putih diam-diam mengagumi kekuatan dan
daya tahan lawannya. Meskipun sudah sangat tua, ternyata
Malaikat Petir mampu mengimbangi permainannya. Padahal
sudah dicoba untuk mengandalkan kecepatan untuk menghabiskan tenaga lawannya. Dan nyatanya kakek itu
sangat kuat, sehingga Panji terpaksa harus merubah kembali
cara bertempurnya.
"Heaaah...!"
Sewaktu pertarungan menginjak jurus yang ke seratus
sepuluh Panji membentak keras menggetarkan jantung. Kali ini
semangatnya dikempos disertai pengerahan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' hingga ke puncaknya. Akibatnya, menyebarlah
hawa dingin menggigit tulang hingga sejauh dua tombak. Bagi
orang yang memiliki tenaga dalam tanggung, sudah dapat
dipastikan akan tewas. Terutama apabila masuk dalam
lingkaran pengaruh hawa dingin yang timbul dari tubuh
permuda perkasa itu.
Malaikat Petir pun bukannya tidak terkejut dengan apa yang
ditunjukkan Panji. Kakek itu sendiri sempat ciut nyalinya, dan
mundur merasakan pengaruh hawa dingin yang ditimbul dari
kekuatan sakti pendekar Naga Putih. Padahal ia sendiri memiliki
inti kekuatan hawa panas. Tapi, ternyata masih juga merasakan
pengaruh hawa dingin itu. Melihat kenyataan ini membuat
Malaikat Petir berdecak kagum dalam hatinya.
"Benar-benar luar biasa pemuda satu ini. Rasanya memang
pantas kalau bisa menjagoi rimba persilatan pada masa
sekarang...," gumam Malaikat Petir, penuh kekaguman.
Sementara Pendekar Naga Putih tidak memberi peluang
kepada lawan untuk berpikir macam-macam Saat itu juga,
tubuhnya langsung melesat cepat bagal kilat ke arah lawan.
Jurus 'Naga Sakti' yang dimainkannya kali ini, tentu saja sudah
bukan kepalang hebatnya.
Bettt! Bettt...!
Sambatan hawa dingin yang luar biasa menebar, seiring
terlontarnya cakar serta tendangan pemuda itu. Hebatnya,
sanggup membuat Malaikat Petir langsung mundur menghindari
serangan maut itu.
"Yeaaaah...!"
Dengan mengandalkan 'Ilmu Telapak Tangan Petir', Malaikat
Petir masih mencoba membendung serangan lawan. Sayang,
ilmu andalannya hampir tidak ada gunanya lagi kali ini. setiap
kali sinar kilat yang mengandung hawa panas itu datang
menyambar, selalu saja kandas dan musnah tertelan hawa
dingin yang luar biasa dari setiap pukulan dan tendangan
Pendekar Naga Putih. Sehingga dalam sepuluh jurus kemudian,
Malaikat Petir sudah tidak bisa lagi mengembangkan
permainannya. Malah, mulai dirasakannya tekanan berat
dari setiap serangan lawan. Daya tahan tubuhnya pun tampak
semakin melemah, akibat gempuran hawa dingin yang
bagaikan mengurung dan membungkus seluruh tubuhnya.
Akibatnya, Malaikat Petir semakin terdesak hebat.
"Yeaaat...!"
Di jurus keseratus tiga puluh, Pendekar Naga Putih kembali
memekik keras. Dalam waktu yang bersamaan, telapak
tangannya menyambar susul-menyusul dengan kecepatan yang
sukar ditangkap mata biasa. Sehingga....
Blaggg! Brettt!
"Aaargh...!"
Kakek tinggi kurus yang mengaku berjuluk Malaikat Petir itu
meraung begitu hantaman telapak tangan dan sambaran cakar
naga Pendekar Naga Putih mulai bersarang telak di tubuhnya.
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi kurus itu terlempar disertai
semburan darah segar dari mulutnya Kemudian, rubuhnya
terbanting jatuh dalam jarak tidak kurang dari tiga tombak.
"Huaaakkkh... !"
Sesaat setelah tubuhnya terbanting di atas tanah Malaikat
Petir tersentak bangkit, langsung muntah darah kental yang
berwarna merah tua. Jelas orang tua itu telah mengalami luka
dalam yang sangat parah.
Pendekar Naga Putih segera mendekatinya ketika melihat
tubuh kakek itu sudah tidak bergerak lagi. Begitu tiba, langsung
tangannya terulur meraba wajah kakek itu. Benar saja.
Rupanya orang tua itu menggunakan topeng karet yang sangat
tipis, sehingga bagaikan menyatu dengan wajahnya.
Kenanga dan yang lain hanya menghela napas menyaksikan
hal itu. Wajah Ki Kerta Pangat dan Kenanga tampak agak
cerah, karena hanya mereka berdualah yang tahu, siapa itu
Malaikat Petir. Malaikat Petir yang asli merupakan seorang
tokoh golongan putih. Nama serta kebersihan harinya sudah
tidak bisa diragukan lagi.
"Ki Jawardana..."!"
Tiba-tiba Panji berbisik ketika melihat wajah asli dari orang
yang menyamar sebagai eyang gurunya. Sejenak wajahnya
ditengadahkan, menatap langit yang agak gelap.
"Siapa dia, Kakang" Apakah kau mengenalnya...?" tanya
Kenanga. . Gadis itu merasa agak heran melihat wajah kekasihnya
tampak seperti orang terkejut. Tapi Panji sama sekali tidak
menyahut, dan malah menghela napas panjang. Kemudian,
diangkatnya mayat kakek itu ke pundaknya.
"Sahabat sekalian! Karena persoalan ini sudah selesai, kami
berdua minta diri untuk menguburkan mayat ini, dan
melanjutkan perjalanan...," pamit Panji.
Dan tanpa memberi kesempatan kepada yang kesempatan
kepada yang lain untuk menjawabnya, tubuh Panji sudah
melesat bersama kenangan.
(Oo-dwkz-oO) "Mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku tadi, Kakang...?"
Setelah agak jauh, dan sudah tidak terlihat lagi oleh Ki Kerta
Pangat dan murid-muridnya,
Pendekar Naga Putih menghentikan larinya. Kepalanya menoleh sekilas ketika
mendengar pertanyaan kekasihnya.
"Kenanga! Orang tua ini adalah Ki Jawardana, adik
seperguruan Eyang Tirta Yasa. Dua tahun, yang lalu sebelum
aku turun gunung, orang tua ini datang meminta ampun
kepada guruku. la sebelumnya telah menyimpang dari
kebenaran. Kemudian, dia meminta agar Eyang Tirta Yasa
menerimanya untuk menyepi di puncak Bukit Gua Harimau.
Sikap itu tentu membuat eyang menjadi luluh dan gembira,"
jelas Panji sambil melangkah lambat-lambat.
Kenanga tidak berusaha memotong, dan tetap sabar
menunggu kelanjutan cerita kekasihnya.
"Sayang, sikap itu ternyata hanya tipuan belaka. Setelah
cukup lama menyepi di salah satu gua di atas puncak bukit,
tiba-tiba saja Ki Jawardana lenyap dengan membawa Kitab
Ilmu Pukulan Telapak Tangan Petir. Rupanya, ia berpura-pura
sadar agar bisa mengelabui eyang dan mengambil kitab ilmu
langka itu...," Panji menutup ceritanya dengan helaan napas
panjang, tanda kelegaan hatinya.
"Selama ini, Kakang tidak pernah cerita kalau tengah
mencarinya?" tanya Kenanga setengah menuntut.
"Aku tidak ingin menyebarluaskan berita yang' memalukan
itu, Kenanga. Menurut pikiranku, Ki Jawardana suatu saat pasti
akan muncul dengan sendirinya. Tapi sungguh tak kusangka
kalau kemunculannya menyamar sebagai Eyang Tirta Yasa.
Memang, sejak dulu ia merasa dendam dan sakit hati terhadap
Eyang Tirta Yasa yang menjadi kakak seperguruannya.
Rupanya, rasa sakit hati itu tidak juga hilang meskipun eyang
telah tiada. Sampai-sampai ia tega melakukan kejahatan atas
nama eyang. Mungkin maksudnya agar nama Malaikat Petir
cemar dan menjadi bahan cemooh kaum persilatan. Hhh....
Untunglah persoalan Ini telah selesai sebelum terlalu jauh...,"
desah Pendekar Naga Putih, menghembuskan napas panjang-
panjang. "O ya, Kakang. Bagaimana dengan jasad Eyang Tirta Yasa
yang jelas telah dicuri Ki Jawardana?" tanya Kenanga.
"Mayatnya telah ditemukan seorang perambah hutan, yang
kemudian menguburkannya di pemakaman, tak jauh dari Bukit
Gua Harimau," jelas Panji singkat
"Lho" Kok aku tidak tahu?"
"Aku pun waktu itu tidak sengaja, Kenanga. Ketika malam
telah larut, dan kau sudah tidur, aku iseng-iseng jalan-jalan ke
desa terdekat dari Bukit Gua Harimau. Dan ketika di suatu
kedai, aku mendengar pembicaraan seseorang yang habis dari
hutan. Dia bercerita kalau telah menemukan sesosok mayat,
yang ciri-cirinya persis jasad Eyang Tirta Yasa. Lalu, mayat itu
kemudian dikuburkan di pemakaman umum, tak jauh dari Bukit
Gua Harimau."
"Mungkin mayat itu benar Eyang Tirta Yasa, Kakang," tegas
Kenanga. "Mungkin. Tapi, biarlah. Biarkan Eyang Tirta Yasa istirahat
dengan tenang dulu. Suatu saat nanti, mayatnya bisa kita
pindahkan ke puncak Bukit Gua Harimau kembali," ujar Panji.
Kenanga langsung merasa iega. Hanya saja, gadis itu tidak
berhasrat lagi untuk pergi ke puncak Bukit Gua Harimau.
Kejadian itu membuatnya merasa tak enak. Dan kenanga tidak
membantah ketika Panji mengajaknya untuk melanjutkan
petualangan. Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert & edit : Dewi KZ & Raynold
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ atau http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Nyai Tandak Kembang 3 Pendekar Bloon 6 Undangan Maut Penghianat Budiman 2
^