Pencarian

Petualangan Di Alam Roh 2

Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh Bagian 2


mereka tengah berjumpalitan di udara. Jadi, untuk menghindari diri dari pukulan
jarak jauh itu jelas suatu perbuatan mustahil!
Sadar kalau nyawa sudah tidak mungkin dapat selamat dari pukulan maut lawan,
mereka pun berbuat nekat! Dibarengi bentakan keras, mereka langsung melemparkan
senjata masing-masing ke arah Setan Tenaga Gajah. Jelas, maksudnya untuk mengadu
nyawa. Tapi, pada saat yang sangat menentukan bagi keselamatan nyawa kedua orang murid
Ki Jasminta, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring yang semakin lama semakin
meninggi. Dan sebelum orang-orang itu sempat mengetahui apa dan dari mana suara
aneh itu berasal, tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat
langsung memapak pukulan jarak jauh Setan Tenaga Gajah! Akibatnya...,
Blaaarrr...! Hebat luar biasa akibat pertemuan dua gelombang tenaga dahsyat itu! Sinar putih
keperakan berpendar seiring suara benturan yang memekakkan telinga dan
mengguncangkan isi dada.
"Gila..."!"
Setan Tenaga Gajah sendiri sampai terkejut dan mengeluarkan suara geram, begitu
merasakan tubuhnya bergetar akibat tangkisan yang dilakukan sosok bayangan putih
tadi. Sedangkan bayangan putih yang telah menyelamatkan Wira Yudha dan Waluja,
berjumpalitan beberapa kali di udara sebelum mendaratkan kaki di tanah.
5 "Pendekar Naga Putih..."!"
Wira Yudha dan Waluja serentak berseru terkejut, sekaligus lega. Munculnya
pemuda sakti itu tentu saja membuat harapan mereka untuk selamat bangkit
seketika. Panji tersenyum, lalu mendatangi kedua lelaki gagah itu.
Langsung disalami Wira Yudha dan Waluja. Pendekar Naga Putih kelihatan sangat
gembira atas pertemuan itu. Bahkan, Ki Damang beserta kedua orang muridnya telah
pula meninggalkan lawan-lawannya begitu mendengar kedatangan Pendekar Naga
Putih. Orang tua itu segera saja menyalami Panji dengan wajah berseri.
Tapi, suasana gembira itu tiba-tiba saja dikejutkan teriakan keras yang
mengejutkan! "Heaaattt..!"
Bersamaan pekikan keras, sesosok tubuh melesat disertai ancaman pedangnya.
Langsung digempurnya para pengemis berbaju kembang-kembang. Serangan mendadak
itu tentu saja membuat Benggala dan Wungga memerintahkan kawan-kawannya untuk
mundur. Sedangkan kedua orang pimpinan pengemis itu sudah melesat menyambut
serangan sosok bayangan gemuk yang ternyata Gala Campa.
"Haaaiiittt..!"
Dibarengi teriakan yang tidak kalah kerasnya, Benggala dan Wungga melesat seraya
menyodokkan ujung tongkat ke tubuh Gala Campa. Dan....
Traaakkk! Duuukkk!
"Aaakhhh...!"
Gala Campa kontan memekik kesakitan! Tongkat di tangan Wungga memang berhasil
ditangkis pedangnya. Tapi, tongkat di tangan Benggala luput dari pengawasannya.
Akibatnya, langsung menyodok ke lambung kirinya.
Akibatnya, sosok bayangan gemuk itu terlempar balik dan terbanting jatuh
berdebuk keras di atas tanah!
Benggala maupun Wungga rupanya tidak sudi menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Maka selagi tubuh lawan belum sempat bangkit mereka segera menyabetkan tongkat
dengan pengerahan tenaga dalam. Sepertinya, tubuh sosok gemuk itu hendak
dihancur lumatkan dengan sekali hajar!
Beuuuttt! Whuuukkk! Dua batang tongkat hitam itu terus meluncur deras ke arah kepala dan dada lawan
yang tengah terbaring di tanah!
Sedangkan Gala Campa hanya bisa terpaku tanpa berusaha menghindari hantaman
kedua batang tongkat lawan.
Tapi pada saat yang gawat bagi keselamatan nyawanya tiba-tiba terdengar pekikan
nyaring yang menggetarkan jantung!
Berbarengan dengan itu, tampaklah sesosok bayangan hijau meluruk ke arah
Benggala dan Wungga. Gulungan sinar putih keperakan yang menyilaukan mata tampak
menyertai lesatannya. Sehingga...,
Traaakkk! Craaasss! Breeetttt..!
"Arrrkhhh..."!"
"Aaa...!"
Hebat sekali gerakan pedang sosok bayangan hijau yang ternyata Kenanga. Sinar
putih keperakan yang berasal dari pedang di tangannya, langsung berputaran
mengibas dengan
kecepatan sangat mengagumkan! Sehingga, bukan saja kedua batang tongkat itu
dapat dihalaunya. Bahkan si pemegang tongkat pun ikut pula termakan senjata
Kenanga. Tanpa ampun lagi, kedua orang pengemis pengikut Setan Tenaga Gajah itu tertolak
balik ke belakang! Darah segar kontan menyembur keluar dari luka di tubuh
mereka. Meskipun tidak terlalu dalam dan tidak bisa mengakibatkan kematian,
namun merupakan suatu bukti kalau kepandaian mereka masih di bawah Kenanga.
"Hmh...!"
Kenanga mendengus ke arah Benggala dan Wungga.
Kemudian, tubuhnya berbalik menatap ke arah Gala Campa.
Gala Campa yang jelas-jelas sangat mendendam terhadap komplotan pengemis berbaju
kembang-kembang, kembali menyilangkan senjata di depan dada. Lelaki bertubuh
gemuk yang murid Ki Raksa Mala nampaknya telah siap bertarung kembali.
"Gala Campa, sabarlah.... Jangan terlalu bernafsu.
Percayalah. Hari ini persoalan akan segera selesai. Kau lihat gembong biang
kerok itu sudah menampakkan diri di tempat ini..," cegah Kenanga memegang lengan
lelaki gemuk itu, berusaha untuk menahan amarah dan dendamnya. Meskipun
pikirannya agak terganggu, rupanya Gala Campa masih bisa menangkap pembicaraan
orang. Maka, begitu mendengar disebutnya biang kerok, langsung diikutinya
pandangan mata gadis jelita itu.
"Bangsat..! Orang hutan itukah yang telah menghancurkan dan juga mengadu domba
kita..." Kalau begitu, ia harus menerima akibat perbuatannya...!" desis Gala
Campa sambil menggeram bagaikan singa luka.
Tanpa memperdulikan teriakan Kenanga, lelaki gemuk itu bergerak maju mendekati
sosok Setan Tenaga Gajah yang hanya tertawa gelak melihat kemarahan Gala Campa.
"Gala Campa, tahan...!" cegah Panji. Jelas Pendekar Naga Putih tidak ingin Gala
Campa mendapatkan celaka lagi. Maka, langsung dicengkeramnya pergelangan tangan
lelaki gemuk itu.
Mau tidak mau, Gala Campa menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Panji
dengan sepasang mata menuntut jawaban. "Sabarlah. Kita semua berkumpul untuk
menyelesaikan masalah ini. Kau akan rugi apabila bertindak tanpa perhitungan,
Gala Campa...," bujuk Panji dengan suara tegas dan mengandung perbawa kuat. Hal
itu memang diperlukan untuk melumerkan amarah dan dendam Gala Campa yang telah
bergolak dalam hati dan kepalanya.
"Benar, Gala Campa," timpal Wira Yudha. "Sebaiknya kita serahkan saja persoalan
ini pada Pendekar Naga Putih. Kita sendiri pun tentu tidak tinggal diam, dan
siap mempertaruhkan nyawa demi membalaskan dendam guru-guru kita...."
Gala Campa menoleh ke arah Wira Yudha. Bagaikan orang yang baru sadar kalau
tengah berada di antara teman-temannya, lelaki gemuk itu menggoyang-goyangkan
kepala seperti hendak menghilangkan pikiran-pikiran yang menyumbat batok kepala.
"Kalian pun sudah berada di sini rupanya...?" sapa Gala Campa yang membuat Wira
Yudha serta yang lain tersenyum.
Memang, pertanyaan itu tentu saja merupakan pertanyaan bodoh.
"Tentu saja. Bukankah tempat ini merupakan pusat Perguruan Ular Emas. Jadi,
tempat ini juga merupakan rumah kami..," jawab Waluja sambil menepuk-nepuk bahu
lelaki gemuk itu. Sehingga, Gala Campa hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala seperti
burung pelatuk.
Perbincangan sesama sahabat itu rupanya membuat Setan Tenaga Gajah menjadi
tersinggung. Tampak lelaki tinggi besar bercambang bauk dengan lengan-lengan
besar dan berbulu itu, menggeram keras. Tentu saja erangan yang mengandung
kekuatan tenaga dalam tinggi, membuat para tokoh golongan putih berlompatan
mundur. Cepat mereka mengerahkan hawa murni untuk menenangkan isi dada yang
terguncang. Kecuali Panji, hanya Kenanga seorang yang kelihatan hanya perlu memejamkan mata
sekejap untuk melawan pengaruh geraman dahsyat barusan. Kemudian, kembali
matanya dibuka.
Bahkan kini nampak menyiratkan sinar berkilat tajam. Jelas, dara jelita itu
telah mempersiapkan tenaga saktinya untuk menghadapi serangan mendadak, seperti
geraman barusan.
"Pendekar Naga Putih...!" Apakah kedatanganmu ke tempat ini hanya untuk
berbincang dengan teman-temanmu" Atau sengaja memancing kemarahanku, agar aku
mencopot kepalamu...?"
Bentakan menggelegar seketika membuat daerah di sekitar tempat itu bagaikan
digoncang gempa kecil.
"Gila...!" umpat Kl Damang takjub.
Hati laki-laki tua itu benar-benar dilanda ketegangan kali ini, melihat
kesaktian tokoh sesat berjuluk Setan Tenaga Gajah yang luar biasa sekali.
Seketika timbul keraguan dalam hatinya akan kehebatan Pendekar Naga Putih.
Apalagi, sosok pemuda itu terlihat demikian lemah bila dibanding sosok Setan
Tenaga Gajah yang tampak gagah dan menakutkan.
Rupanya bukan hanya Ki Damang saja yang meragukan kepandaian Panji. Bahkan,
Kenanga yang sudah lebih sering
menyaksikan keperkasaan kekasihnya, terlihat agak khawatir.
Diakui, dia sendiri merasakan betapa dahsyatnya kekuatan tenaga sakti tokoh yang
berjuluk Setan Tenaga Gajah itu.
Meskipun perasaannya berusaha ditenangkan. Tetap saja merasa khawatir dan cemas.
Lain halnya Panji. Pendekar Naga Putih bukannya tidak tahu akan kesaktian Setan
Tenaga Gajah. Dari beberapa kali tokoh sesat itu menunjukkan kekuatan
dahsyatnya, sudah bisa diukur kalau kepandaiannya sangat tinggi. Tapi, memang
sulit dipastikan apakah tenaga saktinya masih lebih kuat daripada tenaga lawan.
Kenyataan itu membuatnya senantiasa siaga.
Dikhawatirkan, kalau-kalau Setan Tenaga Gajah akan melakukan kelicikan, dan
menyerang secara tiba-tiba.
"Setan Tenaga Gajah...," tegur Panji dengan wajah dan nada suara tetap tenang.
Sama sekali tidak diduga kalau sebenarnya Panji sendiri merasa tegang berhadapan
dengan tokoh yang menggiriskan itu. "Kau telah melakukan beberapa kejahatan yang
benar-benar sangat keterlaluan. Pertama, kau mengadu domba Perguruan Ular Emas
dan Perguruan Cakar Besi dengan Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Dan kedua, kau
membantai habis seluruh murid Perguruan Cakar Besi. Apa sebenarnya tujuanmu
hingga sampai tega berlaku sekeji itu..?"
Panji menatap tajam wajah Setan Tenaga Gajah yang brewokan itu.
"Hua ha ha...!"
Bukannya berpikir untuk menjawab pertanyaan Panji, sebaliknya Setan Tenaga Gajah
malah tertawa berkakakan.
Hanya saja, Panji tetap menahan sabar menanti jawaban yang bakal keluar dari
mulut yang tersembunyi di balik brewok itu.
"Pendekar Naga Putih, dan sekalian tokoh perguruan-perguruan yang pernah
kurugikan! Dengarlah! Seharusnya
kalian tidak mendendam kepadaku. Tapi, kepada Ki Parewang-lah kalian harus
meminta pertanggungjawaban. Karena, orang tua itulah yang yang telah membuatku
melakukan kejahatan.
Tapi, rupanya kalian ternyata merasa takut kepadanya, lalu mencariku untuk
meminta pertanggungjawaban itu. Ha ha ha...! Lucu...!" kata Setan Tenaga Gajah,
yang diakhiri dengan tawa bergema panjang.
"Hm..., Setan Tenaga Gajah! Apapun urusanmu dengan Ki Parewang, kami tidak ingin
ikut campur. Kalian berdualah yang harus menyelesaikannya. Sekarang, aku minta
pertanggungjawabanmu atas segala kejahatan yang telah dilakukan selama ini,"
tegas Panji. "Heeemmm.... Kalau begitu, apa yang kau inginkan sekarang" Nyawaku, atau nyawa
pengikut-pengikutku" Silakan kau memilih, dan cabutlah sendiri jika sanggup...,"
sahut Setan Tenaga Gajah bersikap menantang. Kali ini jelas-jelas tokoh sesat
itu hendak bertarung melawan Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Tidak perlu sampai begitu jika kau benar-benar sadar akan perbuatanmu.
Cukup aku membawamu dan mengadili di depan orang-orang yang telah kau rugikan.
Apapun yang menjadi keputusan mereka, kau tidak berhak
membantahnya...," ujar Panji lagi, tetap mengawasi sosok tokoh brewok itu dengan
tatapan tajam. Memang Pendekar Naga Putih tidak percaya kalau seorang tokoh sesat seperti Setan
Tenaga Gajah akan sudi menyerahkan diri untuk diadili. Kalau pun tokoh sesat itu
tadi menawarkan, itu hanya sekedar memancing tanggapan lawaa Panji sadar
sepenuhnya akan hal itu.
"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi" Ayo, tangkaplah aku.
Mengapa masih ragu-ragu...?" sahut Setan Tenaga Gajah tetap
mengejek. Tentu saja Panji tidak ingin begitu saja mengabulkan permintaan lawan.
"Setan Tenaga Gajah!"
Wira Yudha yang merasa dongkol melihat lagak tokoh sesat itu, melangkah maju
sambil menudingkan telunjuknya.
"Kau tidak perlu lagi diadili! Sebaiknya, manusia jahat sepertimu langsung saja
dikirim ke neraka jahanam!" bentak lelaki gagah itu dengan lengan bergetar
karena marah. Meskipun begitu, Wira Yudha tidak berani bertindak. Disadari kalau kepandaian
lawan sangat tinggi, dan jauh berada di atasnya. Menyerang tokoh itu sama saja
mengantarkan nyawa.
"Apa yang dikatakan Wira Yudha memang benar, Panji...,"
timpal Ki Damang. "Manusia sesat seperti Setan Tenaga Gajah sudah tidak mungkin
lagi disadarkan. Sebaiknya, kita lenyapkannya saja untuk selamanya...."
Panji sendiri mengangguk-angguk ketika yang lainnya sama-sama menyetujui usul Ki
Damang. "Nah! Kau dengar sendiri, Setan Tenaga Gajah. Mereka telah memutuskan untuk
melenyapkanmu. Untuk itu, bersiap-siaplah.
Karena melawan atau tidak, aku akan menjalankan permintaan sahabat-sahabatku
ini...," tegas Panji seraya melangkah maju beberapa tindak, siap melepaskan
pukulan maut yang mema-tikan.
Melihat sikap Panji yang jelas tidak main-main lagi, Setan Tenaga Gajah
menggeram gusar. Lelaki tinggi besar berpenampilan menyeramkan itu bergerak ke
kanan, seolah oleh ingin mengintip celah kelemahan lawan.
Kini, baik Pendekar Naga Putih maupun Setan Tenaga Gajah telah saling berhadapan
dalam jarak dua tombak. Mereka saling
menatap tajam bagaikan hendak menjenguk isi kepala masing-masing. Sedangkan
Kenanga, Ki Damang, beserta yang lain segera saja bergerak menjauh. Sepertinya,
mereka sadar kalau pertarungan yang bakal terjadi pastilah sangat mengerikan dan
berbahaya. Demikian pula halnya Benggala, Wungga, dan pengemis berbaju kembang-kembang
lainnya. Mereka sepertinya juga menyadari adanya bahaya. Maka bagai diperintah,
para pengemis berbaju kembang-kembang bergerak menjauh, dan bersembunyi di balik
pepohonan. Angin bertiup keras menerbangkan daun-daun kering.
Sepertinya, alam pun ikut menjadi saksi dari pertarungan terdahsyat yang bakal
terjadi.... *** "Heaaattt..!"
"Yeaaattt..!"
Dibarengi pekikan dahsyat yang bagaikan hendak mengguncang jagat, tubuh kedua
tokoh maha dahsyat itu sama-sama melenting ke udara. Kemudian, secara bersamaan
mereka mendarat setelah berjumpalitan beberapa kali di udara.
Bweeettt...! Begitu mereka saling mendarat dalam jarak yang cukup dekat, Setan Tenaga Gajah
langsung melontarkan pukulan tangan kanan. Terdengarlah suara angin berdesing
dan bercuitan. Dari sini bisa terlihat kalau tenaga yang terkandung di dalam
kepalan sebesar kepala bayi itu sangat hebat.
Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu akan kedahsyatan pukulan lawan. Maka dengan
gerak cepat, tubuhnya berkelit sambil melepaskan tusukan jari-jari tangan kiri
yang membentuk paruh ular. Rupanya, pada jurus-jurus awal ini Pendekar Naga
Putih masih belum ingin mempergunakan ilmu andalan.
Syuuuttt..! Lontaran tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih mencicit tajam merobek
udara! Untunglah sasarannya yang diarahkan ke pelipis, lawan cepat memutar
kepala dengan gerakan jurus 'Harimau Keluar Goa'. Sehingga, serangan itu luput


Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari sasaran. Gerakan Setan Tenaga Gajah rupanya tidak berhenti sampai di situ saja. Terbukti,
tubuh gemuk itu masih terus meliuk seperti tubuh seekor ular yang tengah menari-
nari. Itu pun masih dibarengi sebuah tebasan yang menusuk dari bawah ke atas.
Rupanya, tokoh sesat itu hendak menjepit dan menggunting batang leher lawan
dengan sepasang tangannya yang kekar berbulu.
"Haiiittt..!"
Panji yang sadar akan bahaya maut itu, cepat bertindak tepat. Dengan teriakan
nyaring, cepat-cepat kaki kanannya bergeser ke belakang dengan tubuh doyong.
Pada saat yang sama, sepasang telapak tangannya mendorong ke depan memapak
serangan lawan. Dan....
Plaaaggghhh...!
Akibatnya, kedua pasang telapak tangan itu kontan saling berbenturan! Ledakan
dahsyat yang memekakkan telinga pun menggelegar keras! Bumi di sekitar tempat
itu bergetar, membuat pepohonan berderak ribut!
"Haiiittt..!"
"Yeaaahhh...!"
Dengan gerak cepat, tubuh Pendekar Naga Putih berkelit sambil melepaskan tusukan
jari-jari uang membentuk paruh ular.
Syuuuttt...! Lontaran tusukan jari-
jari tangan Pendekar Naga
Putih mencicit tajam
merobek udara mengancam pelipis Setan
Tenaga Gajah. Kedua tokoh sakti itu
membentak keras. Seketika
itu juga, tubuh mereka
melambung dan berjumpalitan ke belakang
hingga lima kali putaran.
Kemudian, sama-sama
menjejakkan kaki di tanah dalam waktu yang hampir bersamaan.
"Hm.... Nama Pendekar Naga Putih ternyata bukan hanya bualan kosong belaka. Aku
harus lebih berhati-hati untuk menghadapi serangan-serangan berikut...," gumam
Setan Tenaga Gajah. Rupanya, matanya baru terbuka setelah merasakan kekuatan
serta kehebatan pemuda tampan yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
Demikian pula halnya Panji. Pendekar perkasa yang telah banyak menghadapi lawan
berat itu kini kembali harus
mengerahkan seluruh kesaktian untuk menundukkan Setan Tenaga Gajah. Disadari,
kesaktian tokoh sesat itu benar-benar luar biasa. Jarang ditemui lawan sehebat
dan sedahsyat Setan Tenaga Gajah!
Kini mereka kembali saling berhadapan dalam jarak tiga tombak lebih. Masing-
masing melangkah perlahan sambil mengintip celah-celah kelemahan lawan. Keduanya
terus bergerak mendekat sambil memainkan jurusnya yang menimbulkan angin
menderu-deru. 6 "Yeaaattt..!"
"Haaattt...!"
Untuk kesekian kalinya, kedua tokoh maha dahsyat itu kembali saling gempur. Kali
ini ilmu-ilmu silat tingkat tinggi mulai digunakan. Sehingga dapat dibayangkan
betapa dahsyat dan mengerikannya pertarungan yang terjadi kali ini.
Pendekar Naga Putih yang sudah menggunakan 'Ilmu Silat Naga Sakti' berkelebatan
bagaikan seekor naga raksasa.
Tubuhnya meliuk-liuk lincah. Lapisan kabut putih keperakan yang menyelimuti
seluruh tubuhnya, dan berpendar hingga sejauh tiga jengkal dari tubuhnya, benar-
benar menampilkan sosok yang mengagumkan sekaligus menggetarkan! Belum lagi
sambaran cakarnya yang menebarkan hawa dingin luar biasa.
Dalam jarak lima tombak pun, hawa dingin itu masih sanggup menewaskan seorang
tokoh tingkat rendah. Dari sini saja sudah dapat dibayangkan, betapa
mengerikannya pertarungan itu.
Setan Tenaga Gajah pun tidak kalah mengerikan. Tubuh lelaki tinggi besar berusia
sekitar lima puluh lima tahun itu bergerak gesit dengan kuda-kuda kokoh. Jejakan
kakinya yang sanggup menggetarkan bumi, melangkah berganti-ganti diselingi suara
mencicit tajam dari kepalan-kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi.
Bueeettt! Whuuukkk...!
Sambaran kepalan yang mengerikan itu membuat dedaunan terpaksa harus rela
meninggalkan ranting pohonnya, akibat sambaran angin pukulan Setan Tenaga Gajah.
Bahkan beberapa batang pohon yang tumbuh dekat dengan tokoh tinggi besar itu
tampak sudah rebah ke tanah. Kibasan
lengannya yang berbulu bagaikan golok besar yang mampu menumbangkan batang pohon
sebesar dua pelukan orang dewasa. Benar-benar dahsyat kekuatan yang dimiliki
lelaki tinggi besar itu. Dia memang patut dijuluki Setan Tenaga Gajah!
"Haaaiiittt..!"
Ketika pertarungan yang mengerikan telah berlangsung selama seratus jurus, tiba-
tiba saja Pendekar Naga Putih memekik nyaring. Saat itu juga, tubuhnya langsung
melenting ke udara menghindari kepalan lawan yang menuju dada kirinya.
Kemudian dengan kecepatan mengagumkan, tubuh pemuda tampan itu menukik sambil
menjulurkan cakar-cakar mautnya ke ubun-ubun lawan!
Whuuusss...! Angin dingin menusuk tulang berhembus keras, meniup rambut kepala Setan Tenaga
Gajah. Sepertinya, Panji hendak meremas hancur batok kapala lawan.
Tapi, Setan Tenaga Gajah tentu saja tidak sudi batok kepalanya diremas begitu
saja oleh Pendekar Naga Putih. Maka ketika jari-jari tangan berbentuk cakar naga
itu siap meremukkan kepalanya, Setan Tenaga Gajah cepat merendahkan tubuhnya.
Kemudian, kaki kanannya digeser ke kanan. Berbarengan dengan itu, tangan
kanannya mengibas sepenuh tenaga!
Bweeettt...! Sergapan Panji ternyata masih bisa ditarik pulang. Terbukti, ketika pemuda itu
melihat lawan sengaja hendak mengadu tenaga, cepat kedua lengannya dikembangkan
ke kiri dan kanan. Kemudian, kedua tangan itu kembali disatukan dengan kecepatan
dan kekuatan sangat hebat!
Baaaannnggg...!
"Aaahhh...!"
Bukan main terkejutnya hati Setan Tenaga Gajah merasakan getaran yang memekakkan
telinganya. Kedua telapak tangan Panji yang ditepukkan menggunakan tenaga dalam,
sempat membuat tubuh tokoh sesat itu terhuyung hingga beberapa langkah dari
tempat semula. Pendekar Naga Putih tentu saja tidak sudi menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
Cepat bagai kilat, tubuhnya kembali menukik dengan kedua tangan didorongkan ke
depan. "Whuuusss...!"
"Aaahhh...!"
Setan Tenaga Gajah memekik kaget! Sama sekali tidak disangka, kalau lawan akan
nekat melanjutkan serangannya.
Karena tidak mempunyai waktu menghindar, maka tokoh sesat itu bergegas memantek
kuda-kudanya. Sepasang tangannya didorong ke depan, menyambut dorongan sepasang
telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Blaaarrr...! Benar-benar mengerikan akibat benturan dua gelombang tenaga sakti yang maha
dahsyat itu! Debu mengepul tinggi seiring ledakan seperti letusan gunung berapi!
Beberapa batang pohon berjarak dua tombak dari tempat terjadinya benturan,
berderak-derak ribut bagaikan hendak roboh. Arena pertarungan pun gelap
seketika, karena kepulan debu masih menghalangi pandangan mata.
Sementara itu Pendekar Naga Putih terpental balik dengan derasnya. Bahkan masih
terus meluncur deras, meskipun telah menumbangkan dua batang pohon besar!
Kemudian, tubuhnya
terus amblas ke dalam sebongkah batu sebesar rumah hingga beberapa jengkal
dalamnya. Melihat adanya cairan merah yang meleleh di sudut bibirnya, bisa
ditebak kalau Pendekar Naga Putih mengalami luka dalam yang sangat parah!
Sedangkan Setan Tenaga Gajah lebih hebat lagi. Tubuh tokoh sesat yang tinggi
besar itu tertolak ke belakang. Tubuh yang beratnya sama dengan seekor sapi muda
itu meluncur deras tanpa dapat dicegah lagi.
Deeerrr...! Sebongkah batu sebesar perut kerbau bunting, langsung pecah-pecah akibat
terlanggar tubuh tokoh raksasa itu.
Akibat benturan dahsyat itu ternyata juga dirasakan oleh para pengemis berbaju
kembang-kembang dan juga murid-murid Ular Emas tingkat rendahan. Mereka yang
belum begitu kuat tenaga dalamnya, langsung terpental hingga satu tombak lebih
jauhnya. Wajah mereka tampak pucat dan tidak mampu buru-buru bangkit. Bahkan
beberapa di antara mereka ada yang langsung tewas setelah memuntahkan darah
segar! Benar-benar mengerikan akibat benturan dahsyat tadi.
"Gila...!" desis Ki Damang yang tingkat kepandaiannya di bawah Kenanga.
Orang tua itu tampak agak pucat wajahnya. Deru napasnya pun terlihat masih
memburu. Jelas, Ki Damang telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi
bagian dalam tubuhnya dari pengaruh getaran benturan dahsyat tadi.
Sedangkan yang lain tampak terengah-engah bagaikan orang yang habis berlari
jauh. Keringat dingin pun tampak membasahi wajah dan sebagian tubuh mereka.
Hanya Kenanga saja yang tampak tidak terlalu menderita oleh akibat benturan maha
dahsyat tadi. Dara jelita berpakaian
serba hijau itu tampak menghela napasnya panjang-panjang secara perlahan.
Meskipun demikian, wajahnya tampak agak pucat. Rupanya, isi dadanya sempat
terguncang oleh suara menggelegar tadi.
Semua apa yang dirasakan dan dialamai para tokoh persilatan dari dua golongan
itu, rasanya masih belum apa-apa bila dibandingkan Pendekar Naga Putih dan Setan
Tenaga Gajah. Kedua orang sakti yang berhubungan langsung dengan benturan
mengerikan tadi, lebih parah lagi keadaannya.
"Ketua...!"
Benggala, Wungga dan empat orang pengemis berbaju kembang-kembang langsung
berlarian ke arah tubuh Setan Tenaga Gajah yang sudah tak bergerak-gerak lagi.
Tanpa banyak cakap lagi, pria pengemis itu langsung membersihkan serpihan batu
dari tubuh ketuanya.
"Ooohhh...," Benggala menghela napas sedih ketika melihat batok kepala Setan
Tenaga Gajah telah retak akibat menghantam batu sebesar kerbau bunting itu.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Wungga yang berada di belakang pengemis jangkung
kurus itu. Jelas, sudah bisa diduga, apa yang telah menimpa ketuanya.
"Ketua telah tewas, Wungga...," desah Benggala.
Nada suara laki-laki itu lebih mirip keluhan ketimbang sebuah jawaban. Kemudian,
diusapnya darah yang membasahi kening serta belakang kepala Setan Tenaga Gajah.
"Mari kita tinggalkan tempat ini...," ajak Benggala.
Diakui semangat laki-laki itu, seperti patah atas kematian ketuanya. Kemudian,
sambil membawa mayat Setan Tenaga
Gajah, para pengemis berbaju kembang-kembang itu bergerak meninggalkan Perguruan
Ular Emas. *** Akhir dari pertempuran itu rupanya membuat mereka sibuk dengan urusan masing-
masing. Kenanga yang dibantu Ki Damang serta kawan-kawan lain, saat ini tengah
berusaha mengeluarkan tubuh Pendekar Naga Putih dari dalam batu besar itu. Tak
seorang pun yang memperdulikan kepergian para pengemis berbaju kembang-kembang
yang membawa mayat Setan Tenaga Gajah. Padahal, sebelumnya mereka saling
bernafsu untuk membunuh.
Gadis berpakaian serba hijau itu tampak menitikkan air mata melihat keadaan
kekasihnya yang sudah tak ubahnya orang mati. Satu keuntungan yang dimiliki
Pendekar Naga Putih, hanya karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang melindungi
sekujur tubuhnya. Sehingga meskipun berbenturan dengan beberapa batang pohon
hingga akhirnya melesak ke dalam batu besar, tapi sama sekali tidak menderita
luka. Hanya saja, wajah Panji terlihat pucat. Bahkan detak jantung serta aliran
napasnya seperti terhenti.
"Kakang...."
Kenanga menjatuhkan kepalanya di atas dada pemuda kekasihnya. Dara jelita itu
sudah tidak bisa lagi membedung kesedihannya. Sama sekali gadis itu tidak peduli
meskipun saat ini ada orang lain yang menyaksikan tingkah lakunya.
"Kami yang salah, Nisanak...," terdengar suara kering dan mengandung penyesalan
yang sangat dalam. Kata-kata itu terucap dari bibir Wira Yudha, Waluja, dan Gala
Campa. Rupanya ketiga orang lelaki gagah itu merasa bertanggung jawab atas kematian
Panji. "Yaaahhh.... Tidak seharusnya kami menyerahkan persoalan perguruan ke tangan
orang lain, meskipun orang itu memang membantu dengan tulus...," sambung Wira
Yudha. Nadanya, terdengar penuh penyesalan.
Sepertinya, mereka merasa tersentuh mendengar isak tangis Kenanga yang demikian
memilukan. Sehingga, mereka merasa kalau akibat ulah merekalah Kenanga jadi
sengsara. Mendengar kata-kata tadi. Kenanga menoleh ke arah ketiga orang lelaki gagah itu.
Dara jelita yang wajahnya tampak dibasahi air mata menggelengkan kepala
perlahan. 'Tidak. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa-siapa dalam masalah ini.
Jadi..., kuharap kalian jangan merasa bersalah.
Kakang Panji belum mati. Aku yakin, ia akan bangkit lagi setelah sembuh dari
luka-lukanya...," sahut Kenanga.
Gadis itu memang merasa yakin kalau kekasihnya belum tewas. Telah diperiksanya
kalau tubuh pemuda itu masih terasa hangat. Menurutnya, itu suatu bukti kalau
Panji belum mati.
Dan kalau pemuda itu benar sudah tewas, tubuhnya tentu dingin dan kaku
sebagaimana mayat layaknya.
Tapi, ucapan Kenanga tadi tentu saja dianggap sebagai ucapan dari orang yang
terguncang hatinya. Mereka tentu saja memastikan kalau Panji telah tewas. Selain
detak jantung pemuda itu sudah tidak terdengar lagi, aliran napasnya pun sudah
berhenti. Itu sebabnya, mengapa Ki Damang dan yang lain menganggap Pendekar Naga
Putih telah tewas, sebagaimana halnya Setan Tenaga Gajah.
Karena Kenanga tetap bersikeras kalau kekasihnya belum tewas, akhirnya Ki Damang
membujuk agar tubuh pemuda itu dibawa ke dalam bangunan perguruan.
"Di sana lebih aman dan lebih enak tempatnya...," bujuk Ki Damang, meminta izin
untuk mengangkat tubuh Panji.
Kenanga akhirnya mengangguk, kemudian ikut bersama yang lain menuju bangunan
utama Perguruan Ular Emas.
*** "Kakang...,"
Dara Jelita itu tidak henti-hentinya merintih, memanggil-manggil pemuda yang
tengah rebah di atas pembaringan bambu. Dara jelita yang tak lain Kenanga itu
berkeras melarang tubuh Panji yang dianggap mati oleh Ki Damang serta yang lain
di makamkan. Dia tetap yakin, kekasihnya masih hidup.
"Kenanga...," panggil Ki Damang dengan suara lebih mirip desahan, "Saudara Panji
mungkin memang tidak mati di hatimu. Tapi menurut hukum alam, ia telah mati.
Detak jantung maupun aliran napasnya sudah tidak ada lagi. Dalam keyakinan kita,
hal seperti itu disebut mati. Retakanlah kepergiannya, agar arwahnya dapat
tenang dan tidak terhalang isak tangismu...,"
bujuk Ki Damang, agar Kenanga sudi menyerahkan tubuh Panji untuk segera
dimakamkan. "Tidak, Ki. Kalian salah. Pegang dan rasakanlah. Tubuh Kakang Panji masih tetap
hangat seperti pertama kali kita temukan. Jika dia telah mati, bukankah tubuhnya
sedingin es"
Tapi ini tidak...," bantah Kenanga, tetap bertahan pada pendiriannya.
Dara jelita itu tetap berkeyakinan kalau kekasihnya masih hidup. Sehingga, baik
Ki Damang maupun yang lain hanya bisa menghela napas tanpa berani memaksakan
keinginannya. Dengan penuh kesabaran. Kenanga menunggui tubuh Pendekar Naga Putih. Entah sudah
berapa banyak air matanya yang tertumpah. Sehingga, baju yang dikenakan Panji
sampai basah oleh air mata dara yang sangat dicintainya. Bahkan meskipun kedua
matanya telah bengkak, tangisnya tetap tak berhenti.
Diam-diam, baik Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, serta yang lain
merasa iri dengan keberuntungan Pendekar Naga Putih. Memang, selain jelita
parasnya, hati dan kesetiaan Kenanga juga jarang dimiliki gadis kebanyakan.
"Hhh.... Sayang, ia harus tewas dalam usia yang masih sedemikian muda. Entah apa
jadinya dunia persilatan apabila golongan hitam sampai mendengar berita ini.
Yang pasti, mereka akan berpesta pora menyambut kematian Pendekar Naga
Putih...," desah Ki Damang, yang mau-tidak mau merasa menyesal juga atas
kepergian pemuda sakti itu.


Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Yahhh.... Meskipun ia mati dalam usia sangat muda, tapi baktinya sudah jauh
lebih banyak daripada aku yang dua kali lebih tua," timpal Wira Yudha dengan
kepala menengadah. Saat itu, mereka tengah duduk di ruangan tengah, mengitari
sebuah meja bulat.
"Hm.... Sebaiknya kita jaga agar kematian Pendekar Naga Putih tidak sampai
tersiar. Bukankah para pengemis berbaju kembang-kembang itu tidak mengetahui
kematiannya...?"
sambung Waluja. Lelaki bertubuh tegap itu memandangi wajah yang lain seperti
tengah meminta tanggapan.
"Bisa jadi mereka juga menduga kalau Pendekar Naga Putih ikut tewas dalam
benturan dahsyat itu. Buktinya, kulihat Setan
Tenaga Gajah telah tewas dengan tengkorak kepala retak.
Hm..., sebaiknya kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan naluri Kenanga tidak
meleset, dan juga bukan sekedar orang yang kehilangan pikiran..," cetus Laung,
murid tertua Ki Damang, disertai desahan penuh harap.
"Kelihatannya, gadis itu memang tidak kehilangan akal sehatnya. Hm.... Ada
baiknya kita ikut berdoa agar Pendekar Naga Putih tidak mati sungguh-sungguh,"
ujar Ki Damang juga, penuh harap.
"Maksud Ki Damang, pemuda itu tengah antara hidup dan mati...?" tanya Wira Yudha
meminta ketegasan. Dan dia baru terdiam ketika melihat orang tua itu mengangguk
pelan. Sebentar kemudian, suasana hening. Masing-masing terbawa alam pikiran menerawang
jauh entah ke mana.
7 Pendekar Naga Putih merasakan tubuhnya terlempar, dan melayang di angkasa. Satu
hal yang membuatnya heran, tubuhnya terasa seperti segumpal kapas yang tengah
diombang-ambingkan angin. Anehnya, Panji sendiri sama sekali tidak merasakan
adanya hembusan angin. Bahkan pada saat terlempar, jubahnya sama sekali tidak
berkibar. "Ouuughhh...!" keluh Panji lirih ketika merasakan tubuhnya bagai terjeblos ke
dalam sebuah lubang yang asing dan gelap.
Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya, untuk dapat membiasakan melihat di
tempat itu. "Hai.... Di manakah aku...?" desis Panji.
Saat itu Pendekar Naga Putih melihat keadaan di sekelilingnya. Suasananya
demikian lengang dan hening.
Lapisan-lapisan kabut menghalangi pandang matanya.
Sepertinya, hal itu memang sudah menjadi bagian dari tempat Panji sekarang
berada. Panji melangkah perlahan sambil tetap mengawasi sekeliling.
Ia tidak tahu, perasaan apa yang saat itu tengah berkecamuk dalam hatinya. Yang
jelas, ia merasa sangat asing dan juga ngeri. Bahkan lebih ngeri ketimbang
menghadapi lawan-lawan berat yang pernah dirasakan. Hanya saja, semua perasaan
itu kini seperti menjadi satu, hingga sukar sekali dikatakan.
"Aneh..." Mengapa di tempat ini aku tidak melihat matahari"
Lalu, dari mana asalnya cahaya yang remang-remang ini..."
Apakah lapisan-lapisan kabut itu yang memantulkan cahaya...?"
benak Panji terus mencari jawaban dari semua keanehan yang saat itu disaksikan
dan dirasakan. Dengan kepala dipenuhi berbagai macam tanda tanya, Pendekar Naga Putih terus
melangkah perlahan. Sama sekali tidak dimengerti, kenapa dirinya sampai bisa
berada di tempat asing yang menyeramkan itu
Hati Pendekar Naga Putih semakin bergetar ketika sepanjang matanya memandang,
yang terlihat hanyalah tanah lapang luas, tanpa pohon atau pebukitan. Seolah-
olah, dirinya seperti berada di tengah-tengah padang pasir yang bagaikan tidak
bertepian. "Gila...! Apakah aku sudah gila..." Di mana sebenarnya aku"
Mengapa tidak nampak tanda-tanda kehidupan di tempat ini...?" desis Panji dengan
wajah gelisah. Bagaikan orang yang kehilangan akal sehat, tiba-tiba saja Panji menghentakkan
kakinya. Lalu, dia berlari cepat menembus lapisan-lapisan kabut yang bagaikan
tidak pernah lenyap.
Namun, meskipun telah merasakan cukup jauh berlari, tetap saja keadaan tempat
itu tidak berubah. Bahkan yang membuat Pendekar Naga Putih semakin ketakutan
adalah, tidak dirasakan adanya hembusan angin sejak tadi. Padahal, ia baru saja
berlari sekuat tenaga.
"Ouuuhhh...!"
Pemuda tampan berjuluk Pendekar Naga Putih yang biasanya selalu tenang dalam
menghadapi segala sesuatu, kini menjatuhkan lututnya di atas tanah berpasir
lembut itu. Rambutnya diremas-remas kuat-kuat. Suara erangan lirih sesekali terdengar dari
kerongkongannya. Jelas, pemuda itu merasa ngeri dengan segala apa yang
dilihatnya di tempat itu.
Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada cahaya matahari, hembusan
angin, apalagi sosok manusia yang memang sangat diharapkannya. Semua itu tentu
saja bisa membuat gila seseorang yang bagaimanapun tabah dan kuat hatinya.
"Hhh.... Ke mana perginya Kenanga dan para tokoh lain"
Mengapa mereka begitu tega meninggalkan aku sendirian di tempat asing dan aneh
seperti ini...?" desah Panji sambil menghela napas berulang-ulang dan memijat-
mijat keningnya.
Seolah-olah dia berharap kalau semua apa yang dialaminya hanyalah sebuah mimpi
buruk. Dan Panji tentu saja ingin agar mimpi itu segera berakhir.
"Hua ha ha...!"
Tiba-tiba, saat Panji tengah kebingungan, terdengar tawa panjang menggema,
bagaikan datang dari segala penjuru.
Suara yang semestinya menakutkan itu, justru disambut Panji dengan senyum
senang. Dengan adanya tawa itu, merupakan tanda adanya kehidupan di tempat ini.
"Aaahhh...."
Cepat bagai kilat, pemuda itu bergerak bangkit dan mengawasi sekitarnya. Pada
wajahnya tergambar kegembiraan yang amat sangat. Tingkahnya saat itu tak ubahnya
seorang pengelana yang tersesat dan kehabisan bekal air di tengah lautan padang
pasir. Tapi sirat gembira di wajah pemuda itu lenyap seketika, dan berganti keheranan
besar. Di depannya, dalam jarak beberapa langkah, tahu-tahu saja muncul sesosok
tubuh yang raut wajahnya sudah dikenalnya. Yang membuat Panji terbeliak mundur,
ternyata kemunculan sosok itu begitu mengejutkan!
Seolah-olah dia langsung muncul dari dalam lapisan kabut tipis yang mewarnai
daerah sekiiar tempat itu.
"Raja Iblis Utara..."!" desis Pendekar Naga Putih, seperti sebuah bisikan
kering. Panji kenal betul sosok tinggi besar bercambang bauk itu.
Memang, Raja Iblis Utara adalah salah seorang tokoh sesat yang pernah dibunuhnya
beberapa waktu yang lalu. Tentu saja kemunculan datuk sesat itu membuat kepala
Panji semakin pening memikirkannya.
"Hua ha ha...! Tidak salah! Akulah Raja Iblis Utara, Pendekar Naga Putih!
Kuucapkan selamat datang kepadamu di Alam Roh...!" ucap sosok tinggi besar
bercambung bauk itu memperdengarkan suara tawanya yang menggema dan panjang.
"Alam Roh..."! Apa maksudmu, Raja Iblis Utara..." Dan, bagaimana kau bisa
bangkit dari kematianmu...?" tanya Panji bagai orang linglung. Karena, ia memang
masih belum mengerti dengan keadaan yang kini dialaminya.
"Ha ha ha...! Aku bukan bangkit dari kematian, Pendekar Naga Putih. Tapi, justru
kaulah yang datang ke alam kematian.
Tapi, menurutku kau belum mati sempurna. Dan aku masih mencium adanya hawa
kehidupan dalam tubuhmu," jawab Raja Iblis Utara kembali menertawakan sikap
ketololan lawannya.
Tapi, sepasang mata iblis itu tampak menyiratkan dendam kesumat yang sangat
dalam. Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika mendengar jawaban yang sama
sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya. Kini baru dimengerti, mengapa
tempat itu terasa asing dan menyeramkan. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sepera
yang biasa ditemuinya.
"Kalau aku memang benar sudah mati, lalu ke mana jasadku" Mengapa aku tidak
melihatnya" Apa pula maksud Raja Iblis Utara yang mengatakan kalau kematianku
belum sempurna" Juga, apa maksudnya dengan bau kehidupan di tubuhku" Hhh...,
benar-benar sebuah pengalaman yang aneh
sekaligus mengerikan...," desis Pendekar Naga Putih. Dan mau tidak mau, Panji
jadi bergidik ngeri, mengingat keberadaannya sekarang.
"Sekarang..," kata Raja Iblis Utara lagi sambil melangkah maju mendekati Panji.
"Aku akan menyempurnakan kematianmu. Sehingga, kau tidak bisa lagi kembali ke
alam nyata. Nah, bersiaplah...,"
Pendekar Naga Putih melangkah surut ke belakang, mendengar ucapan Raja Iblis
Utara yang jelas-jelas menyiratkan dendam.
"Hm...," gumam Panji lirih.
Kini Pendekar Naga Putih menghadapi serangan datuk sesat itu. Mengingat
kepandaiannya yang sudah meningkat jauh Panji pun tidak menjadi gentar.
Diyakini, dirinya akan bisa mengalahkan lawannya seperti semasa Raja Iblis Utara
masih hidup di alam nyata.
Raja Iblis Utara tergelak ketika melihat Panji siap melakukan perlawanan.
Menyakitkan sekali tawa yang bernada penuh ejekan itu.
"Pendekar Naga Putih! Percuma saja mengadakan perlawanan. Di alamku yang
sekarang, tak ada lagi kematian, dan tidak ada lagi darah. Alam roh itu kekal
selama-lamanya.
Tapi, sebaliknya aku bisa menyakitimu. Ingatlah! Kau belum mati sempurna. Rohmu
masih memiliki hubungan erat dengan jasadmu di dunia. Dan setiap rasa sakit
ataupun luka, jelas akan terasa seperti halnya kau berada di dunia nyata. Hua ha
ha...!" Raja Iblis Utara tergelak di akhir ucapannya.
Jelas sekali kalau datuk sesat itu sangat senang, karena sebentar lagi akan
dapat melenyapkan musuh besar yang tidak pernah dibayangkan akan berjumpa lagi
dengannya di sini.
"Aaahhh..."!" Panji tersentak kaget mendengar ucapan lawannya itu.
Sadarlah Pendekar Naga Putih kalau saat ini benar-benar dalam cengkeraman
bahaya. Apa yang dialami dalam pertarungan itu, akan berakibat pada jasadnya di
alam nyata sana. Tentu saja, pikiran itu membuatnya tegang. Apalagi, lawannya
tidak mungkin bisa dilukai atau dibunuh, karena hanya roh belaka.
"Hua ha ha...!"
Raja Iblis Utara semakin tergelak saat melihat Pendekar Naga Putih nampak
kebingungan. Dengan langkah ringan, datuk sesat itu bergerak maju menghampiri.
Karena tidak ada melihat jalan lain, Pendekar Naga Putih segera bersiap
menghadapinya. "Yeaaahhh...!"
Dengan sebuah seman nyaring, Raja Iblis Utara melompat dengan kedua lengan
terkembang, siap mencekik lehar lawan.
Tentu saja Panji yang tidak ingin jasadnya tersiksa segera melompat menghindar
ke belakang. Sebuah tendangan kilat dilontarkan, mengiringi lompatan mundurnya.
Bukkk! Tendangan Pendekar Naga Putih memang sangat tepat.
Entah karena Raja Iblis Utara sengaja tidak mengelak, atau memang tendangan
pemuda itu terlalu cepat datangnya. Tapi yang jelas, tubuh tinggi besar itu
terlempar deras ke belakang.
Meskipun demikian, separah pun tak ada pekik kesakitan yang terlontar dari mulut
Raja Iblis Utara. Bahkan sosok itu kembali meluncur ke arah Panji. Seolah-olah
tendangan yang dilakukan pemuda itu hanya mengenai segumpal kapas.
"Gila...!" desis Pendekar Naga Putih.
Panji merasakan betapa telapak kakinya barusan bagaikan menghantam segumpal
benda lunak yang membuat kakinya seperti amblas. Jelas, hal itu merupakan bukti
dari apa yang diucapkan Raja Iblis Utara sebelum bertarung.
"Sudah kukatakan, di alam ini kepandaian yang kau miliki sama sekali tidak
berguna. Lain halnya jika kau telah mati sempurna. Maka, aku dan musuh-musuhmu
yang lain, tidak akan mengganggu. Tapi karena hawa kehidupan di dalam rohmu ini,
maka aku pun berniat menyempurnakan kematianmu. Dan setelah itu, kau juga akan
menjadi penghuni tetap alam kematian yang kekal ini. Hua ha ha...!" sebuah tawa
panjang dan bergema kembali menutup ucapan Raja Iblis Utara.
Semua ucapan tokoh itu tidak lagi sempat dikaji Pendekar Naga Putih. Memang saat
itu juga Raja Iblis Utara menggempurnya dengan serangan-serangan hebat dan
berbahaya. Rupanya, dalam alam kematian pun tokoh itu masih tetap memiliki
kepandaian dahsyat. Semua itu dapat dirasakan Pendekar Naga Putih melalui
sambaran angin pukulan yang bersliweran di sekitar tubuhnya.
Deeesss...! "Aaakhhh...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih terjengkang ke belakang akibat hantaman telapak tangan
lawan yang singgah di dada kirinya.
Pemuda itu kontan meringis menahan rasa sakit pada bagian dalam tubuhnya. Bahkan
napasnya terasa seperti tersumbat akibat pukulan telak lawan. Meskipun begitu,
karena tidak ada jalan lain, terpaksa Panji kembali menghadapi lawan. Meskipun,
ia tahu hal itu tidak ada gunanya. Dan kini, pertarungan kembali berlangsung.
*** "Huaaakhhh...!"
Darah mengental berwarna kebiruan, menyembur keluar dari mulut pemuda tampan
yang tengah terbaring di atas dipan bambu itu. Tubuh yang tersentak bangkit
untuk memuntahkan gumpalan darah itu, kembali rebah dengan wajah semakin pucat!
"Kakang...!"
Kenanga, yang masih setia menjaga tubuh kekasihnya yang dianggap belum mati itu
menjerit tertahan. Air matanya kembali mengalir menuruni pipinya yang putih dan
halus. Sepasang mata sembab yang semula sudah tidak bisa mengeluarkan air mata lagi,
kembali menerawang dan meneteskan butir-butir air bening.
"Ada apa...?"
Sesosok tubuh sedang dari seorang lelaki berusia lima puluh tahun, tahu-tahu
saja melompat ke dalam ruangan diiringi suara yang menandakan keterkejutan dan
juga kecemasan.
Lelaki tua yang tak lain dari Ki Damang itu melangkah ketika tidak mendengar
jawaban Kenanga. Mata tua itu terbeliak, bagai tidak memepercayai penglihatannya
sendiri. "Dari mana darah kental kebiruan itu, Kenanga...?" tanya Ki Damang begitu
melihat Kenanga tengah membersihkan darah di atas perut Panji yang terbaring di
balai bambu. Pertanyaan itu terlontar, karena Ki Damang melihat darah itu masih sangat baru.
Selain itu, ia juga mendengar ada suara orang muntah barusan. Itu sebabnya, ia
kontan melompat masuk.
"Kalau Ki Damang percaya, darah ini baru saja termuntah dari mulut Kakang Panji.
Entah apa yang tengah dirasakannya saat ini. Dan, apa pula yang menyebabkan
darah itu termuntah dari mulutnya...," sahut Kenanga dengan suara bergetar.
Hati dara jelita itu tentu saja merasa pedih bukan main, karena tidak tahu apa
yang dirasakan kekasihnya saat ini. Yang jelas, Kenanga hanya ikut merasakan
penderitaan yang tengah dialami Pendekar Naga Putih, apapun bentuknya.
Jawaban Kenanga bukan saja membuat Ki Damang terbelalak. Bahkan Wira Yudha,
Waluja, Gala Campa, serta dua orang murid Ki Damang, sama-sama tertegun
mendengar jawaban yang sepertinya tidak masuk akal. Betapa tidak" Mana ada
sesosok mayat yang sudah cukup lama terbaring, bisa memuntahkan darah. Tentu
saja hal itu sangat mustahil!
Tapi, baik Ki Damang maupun tokoh lain sama-sama terdiam sambil menundukkan
kepala. Suara dara jelita itu jelas-jelas sangat yakin. Dan sepasang matanya
yang masih bening, sama sekali tidak menunjukkan gejala hilang ingatan.
"Aneh..." bagaimana hal ini bisa terjadi" Apa sebenarnya yang terjadi terhadap
Pendekar Naga Putih..." Mengapa tubuhnya yang dianggap tewas dan telah terbaring
cukup lama masih bisa memuntahkan darah dari mulutnya?" gumam Ki Damang seorang
diri sambil melangkah hilir-mudik di dalam ruangan yang cukup lebar itu.
"Mungkin Pendekar Naga Putih memang belum tewas, Ki.
Akupun mulai meragukan hal itu. Coba saja Ki Damang bayangkan. Bagaimana mungkin
orang yang sudah mati hampir seharian, jasadnya tetap hangat. Padahal,
seharusnya sebentar lagi tubuhnya sudah berbau. Tapi kalau melihat raut
wajahnya, Pendekar Naga Putih tak ubahnya seperti orang yang tertidur
lelap...," sambar Wira Yudha yang mendengar ucapan Ki Damang.
Rupanya lelaki gagah itu tidak tahan juga sewaktu mendengar Ki Damang berkata-
kata seorang diri.
"Hhh ... Kejadian ini memang sangat aneh. Atau mungkin hangatnya tubuh pemuda
itu karena memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi. Apalagi aku pernah
mendengar cerita tentang seorang tokoh sakti yang telah tewas bertahun-tahun,
tapi jasadnya tetap utuh dan tidak berbau busuk. Siapa tahu saja hal itu terjadi


Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pula dengan Pendekar Naga Putih. Bukankah ia juga memiliki kesaktian yang sukar
dijajagi...?" sanggah Ki Damang.
Rupanya laki-laki tua itu masih ingin berpikiran wajar dalam menanggapi.
Semuanya tentu saja dimaksudkan untuk tujuan baik. Ki Damang tidak ingin kalau
Kenanga kelak hanya akan mendapatkan kekecewaan dalam penantiannya. Kalau Panji
tidak bangkit lagi seperti yang diharapkan, bukan tidak mungkin gadis itu akan
terguncang dan terganggu pikirannya. Itu sebabnya, orang tua itu masih juga
membantah keyakinan Kenanga.
"Tidak..., tidak... Aku yakin Kakang Panji masih hidup. Hanya saja, aku tidak
tahu apa yang saat ini tengah terjadi dengannya. Ah, andai saja aku bisa
berjumpa dengan...," kata-kata gadis itu terputus ketika tiba-tiba saja ada
seorang murid Perguruan Ular Emas datang tergopoh-gopoh melapor kepada Wira
Yudha. "Ada apa...?" tanya Wira Yudha, singkat kepada lelaki bertubuh tegap yang duduk
beralaskan kedua lututnya.
"Maaf, Kakang. Di luar ada seorang kakek tua yang katanya ingin menemui Pendekar
Naga Putih. Aku terpaksa tidak berani menjawabnya, karena sesuai pesan Kakang,
keadaan Pendekar
Naga Putih harus disembunyikan dan jangan sampai tersiar keluar...," jawab
lelaki muda bertubuh tegap itu.
"Bagaimana...,bagaimana ciri-cirinya...?"
Sebelum Wira Yudha sempat memberikan keputusan, Kenanga yang sejak tadi menatap
dengan wajah tegang dan penuh harap langsung saja melesat dan mencengkeram bahu
murid Perguruan Ular Emas itu.
"Kenanga, sabarlah! Lihatlah, cengkeramanmu membuatnya kesakitan,"
Wira Yudha bertindak cepat menyadarkan dara jelita itu.
Kalau tidak mungkin lelaki tegap itu tulang pangkal lengannya bisa patah akibat
cengkeraman Kenanga.
"Aaahhh..., maafkan aku...," desah Kenanga, segera sadar atas kesalahannya.
Cepat cekalan tangannya dikendurkan, kemudian dilepaskannya dari bahu lelaki
tegap itu. Setelah meringis beberapa saat sambil memijat-mijat kedua bahunya, lelaki tegap
itu segera menceritakan tentang ciri-ciri kakek yang menanyakan tentang
kekasihnya. "Aaahhh.... Ia membawa-bawa sebatang tongkat Dan..., usianya sudah hampir
delapan puluh tahun. Tidak salah lagi...!"
Bagaikan kemasukan setan, Kenanga berbicara terburu-buru penuh ketegangan.
Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia langsung saja melesat ke luar.
Tentu saja tindakan aneh Kenanga membuat yang lain terkejut. Untuk beberapa saat
lamanya, mereka saling bertukar pandang, baru kemudian bergerak mengejar. Ada
pancaran rasa kasihan dalam raut wajah tokoh-tokoh itu. Mereka menduga, Kenanga
mulai terguncang pikirannya karena terlalu memikirkan Panji.
Kenanga sendiri sama sekali tidak peduli. Ia terus saja berlari ke luar bangunan
ulama, hingga ke pintu gerbang depan.
"Eyang...!" teriak Kenanga dengan ledakan kegembiraan saat melihat sesosok tubuh
kurus dan sangat tua tengah duduk di atas sebuah batu sambil menggenggam tongkat
kayu di tangan. Sepertinya, kakek itu tengah sabar menunggu keputusan dari
dalam. Mendengar jeritan yang jelas-jelas mengandung berbagai macam, perasaan, segera
saja kakek tinggi kurus itu bangkit berdiri. Lalu tangannya dikembangkan saat
melihat Kenanga meluncur cepat dengan tangan terkembang. Butir-butir air mata
kembali berjatuhan seiring langkah kaki dara jelita yang tampak agak goyah.
"Eyang...!"
Begitu terjatuh ke dalam pelukan kakek tinggi kurus yang tak lain dari Raja
Obat, tubuh Kenanga langsung lemas. Gadis itu jatuh pingsan dalam pelukan Raja
Obat yang juga jadi terharu.
Dengan penuh kelembutan, diangkatnya tubuh Kenanga, dan dibawanya masuk.
"Ahhh...! Kasihan sekali kau, Cucuku. Apa gerangan yang membuatmu demikian lemah
dan menderita...?" desah Raja Obat sambil melangkah memasuki bangunan Perguruan
Ular Emas. "Berhenti...! Lepaskan gadis itu, atau kami terpaksa akan mengambil dengan jalan
kekerasan...!"
Langkah laki-laki tua segera terhenti ketika mendengar bentakan keras yang
disusul bermunculannya enam orang lelaki gagah dengan raut wajah mengancam.
Bentakan itu keluar dari mulut Wira Yudha yang tentu saja merasa cemas sewaktu
tiba di luar. Mereka saat itu memang
melihat Kenanga telah berada di atas bahu seorang kakek tinggi kurus. Dan
tampaknya, Kenanga dalam keadaan tak sadarkan diri. Tentu saja hal itu
mendatangkan kecurigaan di hati mereka.
"Hhh.... Jangan salah sangka dulu, sahabat-sahabat yang gagah. Aku adalah guru
dari Pendekar Naga Putih, dan Kenanga. Jadi, kita masih segolongan...."
Raja Obat terpaksa mengakui sebagai guru Panji dan Kenanga, meskipun hal itu ada
benarnya. Semua itu dilakukan untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin saja
menimbulkan perkelahian. Sedangkan orang yang menjadi saksi tengah pingsan di
atas bahu kanannya.
"Hm.... Bisa saja kau mengaku demikian. Tapi kalau kau memang bermaksud baik,
coba serahkan gadis itu kepada kami. Setelah itu, mungkin kami dapat
mempertimbangkannya...," timpal Ki Damang, seraya maju beberapa tindak. Jelas,
mereka masih belum mempercayai kakek itu.
"Sikap kalian memang sangat baik. Sayang, cucuku ini sedang tidak sadarkan diri.
Selain itu, sepertinya ia tengah mengalami guncangan dalam jiwanya. Untungnya,
ia seorang wanita kuat. Kalau orang lain, mungkin telah menjadi gila.
Mmm.... Kalau boleh kutahu, ke manakah Pendekar Naga Putih" Mengapa aku tidak
melihatnya" Apakah dia yang membuat cucuku ini menderita...?" tanya Raja Obat
dengan kening berkerut, ketika tidak melihat Panji di tempat itu.
"Dari mana kau tahu kalau Pendekar Naga Putih ada di tempat ini...?" tanya Ki
Damang lagi. Sikap laki-laki tua itu tetap waspada. Hal itu karena melihat Kenanga telah
jatuh pingsan di tangan kakek di depannya.
Sedangkan, kepandaiannya sendiri masih berada di bawah Kenanga. Maka, wajar saja
kalau Ki Damang bersikap waspada.
"Hm.... Itu karena kebetulan saja. Ketika aku tengah menyusuri sebuah jalan di
dekat hutan karet, lewat enam orang pengemis berbaju kembang-kembang yang tengah
membawa sesosok mayat lelaki brewok. Pembicaraan mereka kudengar.
Mereka telah seperti menyebut-nyebut Pendekar Naga Putih dan Perguruan Ular
Emas. Karena sudah cukup lama tidak berjumpa kedua orang cucuku ini, maka
kusampaikan diri untuk singgah di tempat ini...,"
Setelah berkata demikian, Raja Obat menurunkan tubuh Kenanga dari atas bahunya.
Kemudian, langsung dioleskannya cairan berbau harum ke hidung dara jelita itu.
Ki Damang serta yang lain hanya bisa memandang dengan sikap cemas. Mereka tidak
sempat mencegah perbuatan kakek tinggi kurus itu. Tapi sebentar kemudian, wajah
mereka tampak lega, karena Kenanga telah siuman dari pingsannya.
"Eyang...."
Kenanga kembali meledak tangisnya. Dara jelita itu berlutut di dekat Raja Obat
yang tengah duduk bersila. Sementara, Raja Obat mengelus rambut kepala dara
jelita itu penuh kasih sayang.
"Tumpahkanlah semua kesedihanmu, Cucuku. Biar dadamu lapang," ujar Raja Obat
dengan suara lembut.
Sementara itu Ki Damang serta yang lainnya hanya bisa bertukar pandang melihat
pemandangan di depannya.
8 Cukup lama Kenanga menumpahkan kesedihannya dalam belaian lembut Raja Obat.
Gadis itu tidak merasa malu untuk menangis di hadapan orang tua itu, karena
telah dianggap sebagai kakeknya sendiri.
"Eyang..., Kakang Panji...," desah dara jelita itu di antara isaknya yang masih
terdengar sesekali. Wajah yang basah oleh air mata itu tengadah, membuat hati
Raja Obat tersentuh.
"Mengapa dengan Kakang Panji mu, Cucuku..." Kalau ia terluka, rasanya kau pun
pasti sanggup mengobatinya. Apalagi, Pedang Naga Langit tidak pernah terpisah
dari tangannya. Jadi, apa sebenarnya yang membuatmu demikian sedih...?" tanya
Raja Obat sambil mengelus rambut dara jelita itu penuh kasih sayang.
"Kakang Panji jauh lebih parah dari luka biasa, Eyang...,"
lapor Kenanga yang kembali terisak mengingat keadaan Panji.
"Jauh lebih parah dari luka biasa" Apa maksudmu, Cucuku"
Sampai demikian parahkah luka-lukanya, sehingga kau hampir putus asa...?" desak
Raja Obat yang masih menduga-duga, karena Kenanga belum juga menjelaskan.
Kenanga yang merasa sulit berkata-kata, segera saja bangkit berdiri. Langsung
dibawanya Raja Obat ke tempat Panji dibaringkan. Sepertinya, dara jelita itu
tidak tega mengatakan kalau kekasihnya telah tewas. Sebaliknya untuk mengatakan
masih hidup pun, tidak berani. Karena, ia sendiri tidak tahu keadaan kekasihnya
yang sebenarnya.
Raja Obat sama sekali tidak membantah. Diturutinya saja ketika Kenanga menarik
lengannya. Kening kakek itu berkerut, begitu masuk ke ruangan tempat Pendekar
Naga Putih dibaringkan, tampak Panji tengah terbaring dengan wajah pucat.
Tanpa banyak cakap lagi, Raja Obat langsung saja memeriksa tubuh Pendekar Naga
Putih. Cukup lama dia memijat serta menotok di beberapa bagian tubuh Panji.
Sejauh itu, sedikit pun belum nampak terlihat adanya perubahan.
Tentu saja Kenanga yang ikut menyaksikannya menjadi bertambah cemas.
"Hhh...."
Tidak berapa lama kemudian. Raja Obat bangkit dari tepi pembaringan. Dengan
helaan napas beratnya, kakinya melangkah menuju luar ruangan.
Ki Damang serta para tokoh lain sama-sama melemparkan pandangan ke pintu, saat
tubuh Raja Obat muncul. Mata para tokoh itu tampak menyiratkan pertanyaan yang
sama. Hanya saja, tak seorang pun yang berani mengutarakannya.
Setelah sesaat lamanya berdiri di ambang pintu, Raja Obat kembali melangkah
masuk, dan duduk di tepi pembaringan tempat Panji tengah tak berdaya. Sepasang
mata tuanya menatap Kenanga dengan sorot sukar dilukiskan.
"Bagaimana, Eyang" Parahkan luka Kakang Panji..." Apakah masih ada harapan
sembuh...?" Kenanga langsung saja memberondong Raja Obat dengan pertanyaan yang
semenjak tadi siap meluncur.
"Hm.... Panji tengah dalam keadaan gawat, Kenanga.
Sebagai seorang pendekar, kau harus memiliki ketabahan melebihi ukuran orang-
orang biasa. Dia memang tidak bisa dibilang mati, juga tidak bisa dikatakan
hidup. Semua itu tergantung dari apa yang dialaminya dalam alam roh...," jawab
Raja Obat, sehingga membuat kening dara jelita itu berkerut.
"Alam Roh..." Apa maksud Eyang...?" tanya Kenanga meminta penjelasan lebih
lanjut. "Hm.... Ketahuilah, Cucuku. Saat ini, Kakangmu tengah bertualang di alam yang
penuh rahasia. Dia bisa saja mati atau menemui kembali kehidupannya, setelah
berpetualang di alam itu. Apa yang dialaminya di sana, kita sama sekali tidak
tahu. Berdoalah, semoga Kakang Panji-mu bisa kembali ke alam nyata dengan selamat. Aku
sendiri tidak bisa menjabarkan tentang alam roh, karena belum pernah pergi ke
sana...," jelas Raja Obat mencoba berkelakar untuk menghilangkan ketegangan yang
jelas-jelas terpancar di wajah, Kenanga.
"Jadi..., Berdoalah, Cucuku...," potong Raja Obat.
Kakek itu kemudian segera menurunkan tubuh Panji dari atas balai-balai, kemudian
membaringkannya di lantai beralaskan tikar pandan. Lalu, dia duduk bersila di
samping tubuh Panji. Demikian pula halnya Kenanga yang ikut duduk bersila di
samping Raja Obat. Mereka duduk menunggu akhir dari petualangan Pendekar Naga
Pulih di alam roh.
*** Sementara itu, Panji yang saat ini tengah bertarung melawan Raja Iblis Utara
tengah terdesak hebat. Meskipun pukulan serta tendangan pemuda itu lebih banyak
singgah di tubuh lawan, tapi semua itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi
Raja Iblis Utara. Sedangkan apabila pukulan lawan yang mengenai tubuhnya, pasti
Panji yang akan terjungkal dan merasakan sakit.
"Ha ha ha...! Kali ini kau benar-benar tidak berdaya, Pendekar Naga Putih.
Sekarang, terimalah kematianmu yang
sebenarnya!" Raja Iblis Utara langsung melesat cepat sambil melontarkan
serangkaian pukulan berbau maut!
Bweeettt! Wueeettt!
"Haiiittt...!"
Dalam keadaan yang hampir-hampir mematahkan semangat itu, Panji segera mengambil
keputusan untuk menyelamatkan diri. Memang ia merasa percuma bertarung dengan
lawan yang sama sekali tidak bisa dibunuh.
Dibarengi teriakan nyaring, Pendekar Naga Putih melenting ke udara menghindari
pukulan maut lawan. Begitu kakinya mendarat setelah berjumpalitan sebanyak empat
kali, langsung saja tubuhnya melesat meninggalkan Raja Iblis Utara.
Panji mengerahkan seluruh kekuatan ilmu lari cepatnya agar bisa menghindar
sejauh mungkin dari lawan. Kali ini, hatinya semakin ditumbuhi rasa waswas.
Sebab setelah kemunculan Raja Iblis Utara, bukan tidak mungkin ada tokoh-tokoh
sesat lain yang pernah tewas di tangannya yang akan bermunculan mengeroyoknya.
Ngeri juga hati Panji ketika membayangkan hal itu.
Tapi, apa yang diduga memang sama sekali tidak meleset.
Memang benar Raja Iblis Utara tidak berusaha mengejarnya.
Sepertinya, roh datuk sesat itu merasa pasti akan menemukan ke manapun pemuda
itu pergi. Itu sebabnya, mengapa Raja Iblis Utara hanya tertawa gelak waktu
melihat Panji melarikan diri.
"Aaahhh...!?"
Pendekar Naga Putih kaget bukan kepalang. Belum lagi merasa bebas dari ancaman
Raja Iblis Utara, tiba-tiba saja tokoh-tokoh sesat lain bermunculan satu
persatu. Roh mereka bagaikan keluar dari balik gumpalan kabut tipis di
sekitarnya. Dan memang seolah-olah gumpalan kabut tipis itu merupakan pintu keluar bagi
mereka. Dengan wajah tegang, Pendekar Naga Putih bergerak mundur menjauhi roh tokoh-tokoh sesat itu. Pemuda itu merasa harapannya sangat
tipis untuk dapat lolos, begitu melihat adanya roh Malaikat Gerbang Neraka,
Hantu Kematian, Penggembala Mayat, dan masih banyak lagi roh tokoh sesat yang
kini mengepungnya dari delapan penjuru.
"Hua ha ha...! Hari ini adalah hari baik untuk kematianmu, Pendekar Naga Putih!
Siapa sangka kau datang menemui kami di alam roh. Sepertinya, iblis-iblis
penghuni alam ini sengaja mendatangkanmu untuk kami..,''
Terdengar gaung suara yang diketahui Panji datang dari roh Malaikat Gerbang
Neraka. Melihat mereka semakin mendekat, Panji memejamkan mata menghimpun seluruh
kekuatan yang dimilikinya. Kemudian, kembali matanya dibuka dan siap bertarung
mati matian! "Haaattt..!"
"Yeaaattt..!"
Dibarengi seruan nyaring, roh para tokoh sesat itu bergerak menyerbu Pendekar
Naga Putih. Keadaan Panji saat itu benar-benar gawat, dan tak ubahnya makanan
yang siap disantap orang-orang lapar!
Beeettt..! Wuuueeettt...! Tamparan yang menimbulkan angin berkesiutan datang mengancam kepala Pendekar
Naga Putih. Seiring dengan itu, sebuah tendangan yang siap menghantam dadanya
datang tiba-tiba. Tentu saja menghadapi serbuan itu, Panji menjadi
kalang kabut! Dengan merendahkan kuda-kuda sambil menggeser langkahnya, Panji
mencoba lolos dari serangan yang datangnya bagaikan air bah itu. Kemudian,
tubuhnya terus melenting ke udara dan berjumpalitan beberapa kali.
Maksudnya, jelas untuk keluar dari kepungan.
"Heaaattt..!"
Sambil meluncur turun, Panji yang sempat melihat salah seorang pengeroyok yang
tengah melontarkan serangan, segera saja memutar kakinya. Langsung dilepaskannya
tendangan dengan kedua kakinya. Kemudian, digunakannya tubuh lawan sebagai batu
loncatan untuk menjauh.
Deeesss...! Meskipun serangannya sama sekali tidak mengakibatkan luka di tubuh lawan, namun
Pendekar Naga Putih dapat meloloskan diri dari dalam kepungan. Lawan yang
terkena tendangan itu terpental, bagaikan selembar daun kering yang tertiup
angin. Namun walau bagaimana pun kerasnya usaha Panji untuk dapat melepaskan diri dari
kepungan, tetap saja sia-sia.
Terbukti setelah dapat menendang salah seorang lawan.
Pendekar Naga Putih kembali masuk dalam lingkaran para pengepung. Sebagai roh
tokoh-tokoh sakti, tentu saja mereka dapat bergerak secepat angin. Sehingga, ke
mana pun Panji bergerak, tetap saja tidak bisa lolos dari kepungan.
Pertempuran yang jelas-jelas tidak seimbang itu terus berlangsung. Pendekar Naga


Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Putih sebisa mungkin menggunakan 'Ilmu Silat Naga Sakti'-nya. Namun tetap saja
dia terdesak hebat. Beberapa kali pukulan lawan singgah di tubuh maupun
wajahnya. Meskipun begitu, dia berusaha mati-matian untuk mempertahankan diri.
"Yaaattt..!"
Buuuggg! "Aaakhhh...!"
Pendekar Naga Putih kembali memekik kesakitan ketika untuk yang kesekian kalinya
terkena hantaman telapak tangan lawan pada bagian dada. Tanpa dapat dicegah
lagi, tubuhnya langsung terpental diiringi jerit kesakitannya.
"Tibalah saat kematianmu yang sebenarnya. Pendekar Naga Putih!"
Terdengar sebuah bentakan yang disusul berkelebatnya tiga sosok tubuh yang
masing-masing siap melepaskan pukulan maut.
Meskipun dalam keadaan bergulingan, Pendekar Naga Putih seperti masih belum sudi
menyerah begitu saja. Nyatanya, ia masih saja berusaha menyelamatkan diri dari
sergapan roh tokoh-tokoh sesat itu.
Tapi, daya tahan pemuda itu tentu saja sangat terbatas.
Pada suatu ketika, Pendekar Naga Putih tidak sempat lagi menghindar. Tubuhnya
yang rebah telentang, kini siap menerima hantaman beberapa roh yang
mengeroyoknya! Blaaarrr...! Serangan Malaikat Gerbang Neraka, Hantu Kematian, Penggembala Mayat, tiba secara
bersamaan. Terdengarlah ledakan keras yang bagaikan mengguncangkan alam roh!
Anehnya, Panji sendiri berhasil selamat dari bencana, begitu tahu-tahu saja ada
yang menarik tubuhnya ke belakang.
Padahal, serangan roh-roh itu hampir pasti akan merajam dirinya. Merasakan
pegangan pada kedua bahunya, Panji segera menoleh ingin memastikan pertolongan
itu. "Eyang..."!"
Tiba-tiba saja Panji merasakan hatinya lapang sekali. Sebab, orang yang menarik
tubuhnya itu tak lain gurunya sendiri, yaitu Eyang Tirta Yasa si Malaikat Petir.
Tentu saja hati Panji menjadi gembira.
"Cucuku. Kau memang belum saatnya menjadi penghuni alam roh. Maka, kau harus
kembali ke dunia nyata. Di sana, masih banyak tugas yang harus dijalankan. Eyang
tidak tahu, apa yang membuatmu tersesat hingga ke alam roh. Yang jelas, selama
kau masih bisa kembali, kembalilah. Mereka akan lenyap dengan sendirinya setelah
kau memasuki jasadmu...,"
ujar Eyang Tirta Yasa sambil mengelus kepala muridnya.
Panji bergerak bangkit perlahan. Hatinya sempat merasa heran sewaktu melihat
roh-roh tokoh sesat itu sama sekali tidak berani mengganggunya. Kelihatannya,
mereka merasa gentar terhadap Malaikat Petir yang memang siap melindungi
muridnya. "Mengapa mereka tidak berani menyerang kita, Eyang...?"
rasa penasaran membuat Pendekar Naga Putih tak kuasa menahan keingintahuannya.
"Jelas, mereka tidak berani, Cucuku. Tapi, bukan aku yang ditakuti. Justru kita
berdualah yang membuat mereka tidak berani menyerang," jelas Eyang Tirta Yasa,
tersenyum lembut.
"Mengapa kita berdua yang mereka takuti" Apa sebabnya, Eyang?" desak Panji lagi,
penasaran. "Mereka adalah roh halus. Demikian pula aku," jawab Eyang Tirta Yasa, "Tapi,
apabila roh halus bergabung dengan jasad, meskipun hanya berupa bayang-bayang
semu seperti halnya denganmu, maka mereka tidak akan bisa mendekat. Apalagi
menyakiti. Sebab setiap kali mereka menyentuh salah satu dari kita, itu sama
dengan manusia yang memasukkan tangannya ke kobaran api."
"Lalu, bagaimana caranya aku kembali ke jasadku, Eyang"
Sedangkan aku sama sekali tidak tahu, di mana saat ini jasadku berada" Apakah
sudah dikuburkan atau belum, aku juga sama sekali tidak tahu...?" tanya Panji
lagi, ketika teringat kalau gurunya menyuruhnya untuk kembali ke alam nyata.
"Hal itu tidak sulit bagi roh-roh tanpa jasad seperti aku misalnya. Bagi kami,
tidak ada pembatas baik ruangan maupun waktu. Semuanya dapat dicapai dalam waktu
yang sangat singkat. Dan biar di dalan tanah pun, aku dapat melihat apa yang
disembunyikan manusia di alam nyata sana. Kau tentu saja tidak bisa menemukan
jasadmu, karena rohmu masih berbau kehidupan. Bukan roh yang memang datang dari
jasad mati. Nah, sekarang marilah kira menjumpai jasadmu," ajak Eyang Tirta Yasa
seraya memegang tangan muridnya.
Apa yang kini dirasakan Pendekar Naga Putih sama sekali tidak berbeda dengan
saat pertama terlempar ke alam roh itu.
Tubuhnya mengapung tanpa beban. Hal itu berlangsung hanya sekejap mata, meskipun
bagi Panji merasa agak lama.
"Sekarang bukalah matamu...," perintah Eyang Tirta Yasa.
Tanpa banyak cakap lagi, segera saja Pendekar Naga Putih membuka kelopak
matanya. "Aaahhh...."
Pendekar Naga Putih terbelalak ketika di hadapannya terlihat jasadnya yang
terbaring di lantai. Dia juga melihat Raja Obat beserta Kenanga kekasihnya yang
matanya telah sembab karena terlalu banyak menangis.
"Percuma, mereka tidak akan mendengarmu," kata Eyang Tirta Yasa seperti tahu
akan isi hati muridnya. "Sebaiknya, masuklah kembali ke dalam jasadmu. Setelah
kau tersadar sedikit saja, maka tenaga ciptaan Pedang Naga Langit akan segera
bekerja untuk menyembuhkan luka-lukamu "
Tentu saja Panji terkejut mendengar gurunya mengetahui tentang Pedang Naga
Langit. Padahal, pedang mukjizat itu didapatkan saat gurunya sudah meninggal.
"Jangan heran. Sudah kukatakan, bagi penghuni alam roh tidak ada batas ruang dan
waktu...," jelas Eyang Tirta Yasa, sebelum Panji sempat bertanya.
"Laki, bagaimana dengan Eyang" Roh-roh tokoh sesat itu apakah tidak akan
mengeroyok Eyang...?" tanya Panji agak cemas, mengingat roh para tokoh sesat itu
masih mengikutinya. Dan sepertinya, mereka tengah mencari kesempatan untuk
melenyapkan Pendekar Naga Putih.
"Tidak perlu khawatir, muridku. Di alam roh, tidak pernah ada perkelahian. Jadi,
tenangkanlah hatimu...," sahut Eyang Tirta Yasa tersenyum lembut.
Kini tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Naga Putih segera merasuk kembali ke dalam
jasadnya. Begitu rohnya kembali menyatu, tidak ditemukannya lagi guru serta roh
para tokoh sesat yang diketahuinya masih berada di dekatnya. Sesaat setelah
rohnya bersatu dengan jasad, "Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' pun bangkit. Bahkan
langsung membakar seluruh luka dalam yang ada di tubuh Pendekar Naga Putih.
"Aaahhh..."!"
Kenanga tersentak bangkit ketika tahu-tahu saja tubuh kekasihnya terkurung
kobaran api yang panasnya terasa menyengat kulit.
'Tenanglah, Cucuku. Itu suatu pertanda, kekasihmu mulai tersadar. Dan kini ia
telah kembali dari alam roh. Kobaran api itu adalah kekuatan yang berasal dari
Pedang Naga Langit.
Gunanya, tentu saja untuk membakar semua luka dalam yang dideritanya," jelas
Raja Obat sambil menepuk bahu Kenanga.
Seketika, gadis itu menjadi tenang, dan kembali duduk memandangi sosok Pendekar
Naga Putih. Tidak berapa lama kemudian, kobaran api itu pun padam.
Wajah Pendekar Naga Putih yang semula pucat, terlihat mulai dijalari warna
merah. Jelas, kesehatannya telah pulih seperti sedia kala.
"Kakang...!"
Begitu mendengar Pendekar Naga Putih mengeluh, Kenanga langsung memeluk dan
menghujani wajah kekasihnya dengan ciuman kebahagiaan. Sedang Raja Obat hanya
tersenyum-senyum melihat kejadian itu.
"Kenanga...," panggil Panji membalas pelukan dara jelita itu dengan eratnya.
"Aaah...! Maafkan aku. Kenanga. Kau telah susah karena ulahku."
Panji tampak terharu melihat wajah kekasihnya nampak demikian letih dan terlihat
agak kurus. Jelas, dara jelita itu selalu memikirkannya.
"Saudara Panji, selamat..."
Satu persatu mulai dari Ki Damang, menyalami Pendekar Naga Putih dengan wajah
penuh rasa syukur. Para tokoh itu benar-benar gembira melihat Panji telah
bangkit dari kematian semunya.
Suasana suka cita itu mendadak hening seketika. Seorang murid Perguruan Ular
Emas datang membawa gulungan surat yang menurutnya datang dari Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam.
"Hmmm...," gumam Panji ketika teringat tantangan Ki Parewang yang hendak
bertarung mati-matian dengannya.
Cepat Pendekar Naga Putih membuka gulungan surat itu Namun, wajahnya segera
terhias senyum seusai membaca habis isi surat Ki Parewang, Ketua Perkumpulan
Pengemis Baju Hitam.
"Ki Parewang telah menangkap dan menghukum pancung para pengemis berbaju
kembang-kembang. Orang tua itu sempat berpapasan dengan mereka yang tengah
membawa mayat Setan Tenaga Gajah, adik seperguruannya. Berarti, tugas kita semua
telah diselesaikan oleh Ki Parewang. Satu hal yang menggembirakanku, ia menarik
kembali tantangannya.
Bahkan menyatakan takluk, sebab Setan Tenaga Gajah merupakan satu-satunya
pewaris yang paling berbakat. Sedangkan kepandaian Ki Parewang sendiri masih di
bawah Setan Tenaga Gajah...," jelas Panji sewaktu melihat semua mata tertuju ke
arahnya, seperti memohon agar menerangkan isi surat.
Terdengar helaan napas lega di sana-sini. Wira Yudha sebagai tuan rumah, segera
mengajak untuk merayakan kesembuhan dan kemenangan Pendekar Naga Putih.
Bukan hanya Panji dan Kenanga saja yang menyambut gembira ajakan itu. Bahkan
Raja Obat sendiri pun langsung bangkit dengan wajah gembira.
"Ah, dasar nasibku sedang mujur. Sudah sejak kemarin perutku belum diisi. Kini,
siapa sangka sekarang ada orang berbaik hati hendak mengundangku makan...," kata
Raja Obat, sehingga para tokoh itu tergelak mendengarnya.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. TIGA IBUS GUNUNG TANDUR
24. MACAN TUTUL L. DARU
2. DEDEMIT BUKIT IBLIS 25. MALAIKAT GERBANG NERAKA
3. ALGOJO GUNUNG SUTRA 26. RAHASIA PEDANG N. LANGIT
4. PARTAI RIMBA HITAM 27. SENGKETA JAGO J. PEDANG
5. JARI MAUT P. NYAWA
28. LABA-LABA HITAM
6. PENGHUNI R. GERANTANG
29. TERSESAT DI L. KEMATIAN 7. RAJA IBUS DARI UTARA
30. DENDAM PENDEKAR CACAT
8. PENJAGAL ALAM AKHERAT
31. TERDAMPAR DIPULAU ASING 9. MENCARI JEJAK PEMBUNUH
32. KUMBANG MERAH 10 BUNGA ABADI DI GUNUNG K
33. BIDADARI IBLIS 11. MEMBURU HARTA KARUN
34. MUSTIKA NAGA HIJAU 12. KELABANG HITAM 35. PENDEKAR GILA 13. PENGGEMBALA MAYAT 36. MISTERI DESA SILUMAN
14. PUSAKA BERNODA DARAH
37. KETURUNAN D. PERSILATAN 15. PENDEKAR MURTAD
38. TEWASNYA R. RACUN MERAH 16. KECAPI PERAK D. SELATAN
39. PUTRA HARIMAU 17. SERIGALA SILUMAN 40. SEPASANG M. L MAUT 18. DEWI BAJU MERAH 41. HANTU LAUT PAJANG 19. ASMARA DI UJUNG PEDANG
42. TERJEBAK DI PERUT BUMI
20. BENCANA DARI ALAM KUBUR
43. DARAH PERAWAN SUCI
21. HILANGNYA P. KERAJAAN
44. PENGEMBAN DOSA TURUNAN
22. TRAGEDI G. LANGKENG
45. BADAI RIMBA PERSILATAN
23. DEWA TANGAN API 46. PETUALANGAN DI ALAM ROH
Misteri Lukisan Tengkorak 3 Candika Dewi Penyebar Maut V I I I Keris Peminum Darah 3
^