Pencarian

Bayang Bayang Maut 2

Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut Bagian 2


Panji dan Kenanga tak bisa menahan senyumnya ketika
mendengar serentetan pertanyaan Kakek Peramal Sinting.
Secara singkat, Panji menjelaskan pengalamannya, juga niatnya untuk menyelidiki
perkumpulan sesat itu, sampai berjumpa
dengan seorang lelaki bertopeng merah dan memperingatkannya dengan keras.
"Mungkin karena mendengar nyanyian Kakek, maka ia
buru-buru pergi meninggalkan kami. Tampaknya lelaki
bertopeng raksasa itu merasa gentar terhadap Kakek," ujar Panji mengakhiri
ceritanya. "Bukan. . bukan. Kalian salah menduga kalau begitu."
Kakek Peramal Sinting menggoyang-goyangkan telapak
tangannya sambil menggelengkan kepala. "Dugaanmu menunjukkan bahwa kalian sama sekali belum mengenal apa
itu Perkumpulan Tengkorak Hitam dan bagaimana sifat yang
dimiliki tokoh-tokohnya!"
Panji dan Kenanga saling bertukar pandang dengan wajah
heran. Karena mereka merasakan adanya nada segan dalam
kata-kata Kakek Peramal Sinting. Seolah kakek itu merasa
gentar terhadap Perkumpulan Tengkorak Hitam.
"Kelihatannya Kakek merasa segan berurusan dengan
Perkumpulan Tengkorak Hitam itu, benarkah dugaan kami"!"
Kenanga tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Haihhh. . kalian tidak tahu. . kalian tidak tahu. .!"' Kakek Peramal Sinting
mengibaskan tangannya disertai helaan napas berat. Lalu melangkah dan
menghempaskan pantatnya, duduk
di atas rumput di bawah sebatang pohon berdaun lebat.
"Apa maksud Kakek" Tolong jelaskan kepada kami!
Karena kami memang sama sekali belum mengetahui tentang
perkumpulan itu?" desak Panji yang segera mengikuti Kakek Peramal Sinting dan
duduk di sebelahnya.
Kenanga, yang juga merasa penasaran dengan sikap kakek
cebol itu, ikut duduk di sebelah kanannya. Diam-diam dada
pasangan pendekar muda itu jadi berdebar juga. Meskipun
belum mengetahui secara jelas, tapi mereka maklum akan
ketinggian ilmu Kakek Peramal Sinting. Bahkan Panji sendiri merasa ragu akan
dapat menandingi kepandaian kakek cebol
itu. Dan, kalau sekarang Kakek Peramal Sinting sampai
menunjukkan rasa segannya terhadap Perkumpulan Tengkorak
Hitam, sukar mereka membayangkan, seperti apa hebatnya
kesaktian tokoh-tokoh perkumpulan itu"
"Sebenarnya aku malu untuk menceritakan hal ini kepada kalian," desah Kakek
Peramal Sinting sambil menghela napas berat.
"Tapi, agar kalian tidak merasa penasaran, baiklah akan kuceritakan peristiwa
memalukan yang terjadi sekitar tiga
puluh lima tahun silam itu. ."
Pendekar Naga Putih dan Kenanga kembali saling
bertukar pandang sejenak. Lalu mendengarkan dengan penuh
perhatian sewaktu Kakek Peramal Sinting memulai kisahnya.
"Waktu itu aku berusia sekitar empat puluh tahun," Kakek Peramal Sinting membuka
lembaran masa mudanya, yang
selama ini menjadi rahasia baginya.
"Pada masa itu ada sepasang suami istri golongan sesat yang memiliki kepandaian
sangat tinggi. Mereka kuanggap
kurang waras, karena memiliki sifat sangat kejam dan jahat!
Mereka gemar melakukan kejahatan, meski tanpa alasan yang
jelas. Bahkan tidak jarang mereka menyiksa dan membunuh
walau tanpa alasan sedikit pun! Tindakan mereka yang tidak berperikemanusiaan
itu, tentu saja mengundang kemarahan
tokoh-tokoh golongan putih. Tapi, dengan kepandaiannya
yang luar biasa, sepasang suami istri itu dapat merobohkan setiap penentangnya,
yang kemudian disiksa sampai tewas.
Dan sepasang suami istri gila itu semakin merajalela dengan segala kekejaman dan
kebuasannya."
Dengan sabar, Panji dan Kenanga menunggu kelanjutan
kisah Kakek Peramal Sinting, yang tengah menarik napas
beberapa kali. "Pendekar Naga Putih." Tiba-tiba Kakek Peramal Sinting menoleh kepada Panji "Kau
tentunya kenal dengan Raja Obat, bukan?"
Meskipun tidak mengerti apa hubungannya pertanyaan
itu dengan cerita yang baru sebagian didengarnya, Panji
mengangguk juga.
"Sudah kuduga. .," desah Kakek Peramal Sinting sambil mengangguk-angguk
melepaskan pandangannya menerawang
jauh tanpa batas. Mulutnya tampak mengulas senyum tipis.
"Sudah puluhan tahun aku tidak pernah berjumpa dengannya.
Tapi. .," ucapannya terhenti sejenak. Lalu, dipejamkan matanya dengan kepala
tertunduk "Mungkin tidak lama lagi aku akan berjumpa dengannya.. ."
"Dengan Eyang Raja Obat. .?" tanya Panji menyela.
Kakek Peramal Sinting tersenyum sambil menganggukkan
kepala beberapa kali. Kelihatannya ia sangat gembira
membayangkan akan berjumpa dengan sahabat lamanya itu.
Melihat sikap dan ucapannya, Panji segera dapat menduga
kalau antara Kakek Peramal Sinting dan Raja Obat terdapat
jalinan persahabatan yang erat di masa lalu.
"Heh heh heh.. , dasar pikun, mengapa aku jadi melantur begini. Sampai di mana
ceritaku tadi. .?" Kakek Peramal Sinting tersentak, seperti baru teringat bahwa
ia tadi sedang bercerita.
"Kemenangan demi kemenangan telah membuat sepasang
suami istri itu semakin buas dan sombong. Bahkan lalu
mendatangi partai-partai besar dan menghancurkannya. Tapi, semua itu sepertinya
belum membuat mereka puas. Keduanya
ingin mendapat pengakuan sebagai raja diraja bagi seluruh
kaum rimba persilatan. Untuk itu, mereka bermaksud
mengadakan pertemuan dengan mengundang seluruh tokoh
persilatan, baik dari golongan putih maupun hitam. Meng-
ancam kepada tokoh atau partai yang tidak bersedia hadir.
Tentu saja niat sepasang suami istri gila itu membuat tokoh-tokoh golongan putih
menjadi resah. Dalam pertemuan itu,
juga diadakan panggung terbuka. Siapa saja yang merasa tidak setuju boleh naik
ke panggung untuk bertarung dengan
sepasang suami istri itu. Cukup banyak yang tampil ke atas panggung meskipun
mereka akhirnya roboh dan tewas di
tangan sepasang suami istri durjana itu."
Kakek Peramal Sinting menghela napas sesaat. Ingatan
tentang peristiwa itu membuat wajahnya tampak berselimut
mendung. Kelihatan sekali kalau peristiwa lama itu menggurat dalam di hatinya.
"Aku datang terlambat, tepat pada saat sepasang suami istri itu baru akan
mengumumkan diri mereka sebagai
penguasa rimba persilatan." Sepasang mata Kakek Peramal Sinting tampak mencorong
tajam ketika ceritanya sampai pada bagian itu. Berkali-kali ia menarik napas
panjang sebelum
kembali melanjutkan.
"Tapi. ., aku hanya sanggup bertahan tidak lebih dari tiga puluh jurus! Demikian
pula dengan Raja Obat, yang rupanya
baru saja tiba di tempat itu, setelah aku dapat dirobohkan dan dipermalukan di
hadapan orang banyak. Celakanya sepasang
suami istri gila itu tidak membunuh kami berdua. Kami berdua ditendang dari atas
panggung, diusir seperti anjing geladak!
Lalu, dengan liciknya, sepasang suami istri itu berkata dengan lantang, bahwa
kami berdua tidak boleh lagi mengganggu
mereka dan menunjukkan diri di kalangan persilatan.
Dikatakannya pula bahwa hal itu telah diucapkan setelah tidak ada lagi tokoh
yang naik ke atas panggung. Karena aku dan
Raja Obat datang belakangan, kami pun tak tahu-menahu
dengan persyaratan itu. Dan, janji itu pula yang membuat kami tidak muncul
sewaktu Perkumpulan Tengkorak Hitam
mengganas pada belasan tahun silam. Karena yang mengepalai perkumpulan sesat itu
adalah sepasang suami istri yang dulu pernah mengalahkan kami. Aku dan Raja Obat
hanya bisa berharap suatu saat akan ada orang lain yang dapat menumpas dan menghentikan
kejahatan mereka."
"Apakah Perkumpulan Tengkorak Hitam yang sekarang
masih juga dikepalai mereka, Kek?" tanya Panji setelah terdiam agak lama, dan
Kakek Peramal Sinting tidak lagi melanjutkan ceritanya.
"Kemungkinan besar memang begitu. Karena menurut
kabar yang kudengar, sebagian besar tokoh-tokoh utama
Perkumpulan Tengkorak Hitam, berhasil meloloskan diri
sewaktu markasnya digempur tentara kerajaan pada belasan
tahun silam. Itulah ganjaran bagi manusia yang tak pernah
merasa puas dengan apa yang telah dicapainya. Mereka
hendak memberontak terhadap penguasa yang sah. Sayang
gerakan mereka keburu tercium oleh pihak kerajaan, yang
segera mengirimkan ribuan balatentaranya. Akibatnya,
Perkumpulan Tengkorak Hitam hancur. Tokoh-tokoh yang
berhasil menyelamatkan diri, seolah lenyap bagai ditelan bumi.
Tak ada kabar lagi tentang mereka. Tapi, meskipun begitu, aku merasa yakin kalau
suatu saat mereka akan bangkit kembali.
Dan, ramalanku tidak meleset. Sekarang mereka bangkit
kembali untuk menyusun kekuatan."
"Tapi, peristiwa pahit yang membuat malu Kakek itu,
sudah lama sekali terjadinya. Kalau pada belasan tahun lalu saat Perkumpulan
Tengkorak Hitam muncul, aku bisa maklum
jika Kakek masih merasa terikat dengan janji licik sepasang suami istri itu.
Tapi sekarang, setelah tiga puluh lima tahun berlalu, rasanya tidak ada lagi
alasan bagi Kakek untuk terus memegang teguh janji yang menurut penilaianku
tidak sah itu!"
"Mengapa kau bisa berkata begitu, Kenanga" Ucapan
sepasang suami istri itu didengar oleh seluruh kaum rimba
persilatan yang hadir. Dan, meskipun aku dan Raja Obat tidak mendengarnya, tapi
persyaratan itu memang telah sah!" bantah Kakek Peramal Sinting sambil menoleh
kepada Kenanga.
"Tapi mengapa mereka tidak mengatakannya kepada
Kakek ataupun Eyang Raja Obat, sewaktu kalian berdua
muncul dan naik ke atas panggung menantang mereka?"
Kenanga mengingatkan Kakek Peramal Sinting terhadap
kelicikan sepasang suami istri jahat itu.
Kali ini Kakek Peramal Sinting tidak bisa membantah.
Terdengar helaan napasnya yang panjang dan berat. Karena
apa yang dikatakan Kenanga, memang terasa kebenarannya.
"Itulah liciknya mereka. . " Hanya itu yang bisa dikatakan Kakek Peramal
Sinting. "Nah, bukankah hal itu merupakan alasan yang sangat
kuat! Mereka telah menggunakan siasat busuk untuk mengikat Kakek dan Eyang Raja
Obat. Lalu, mengapa siasat tidak kita lawan dengan siasat" Bisa saja Kakek
berdalih bahwa sejak
menerima kekalahan itu, Kakek telah berjanji pada diri sendiri untuk tidak
memperdalam ilmu, dan kelak kembali
mengajukan tantangan kepada mereka. Dan, sekarang saat itu telah tiba!" desak
Kenanga, yang tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membangkitkan semangat Kakek
Peramal Sinting, la melihat bahwa kakek cebol itu sudah agak termakan oleh perkataannya
tadi. "Ah, benar. . benar sekali. .! Kau sungguh cerdik sekali, Kenanga! Haiii. .,
mengapa sejak dulu hal itu tak pernah
terpikirkan olehku. .?" Kakek Peramal Sinting langsung saja melompat bangkit dan
menari-nari sambil tertawa terkekeh-kekeh. Sepasang matanya tampak berbinar-
binar. Tampaknya
ucapan Kenanga sanggup membangkitkan semangatnya yang
telah lama pudar.
Namun, kegembiraan Kakek Peramal Sinting cuma
berlangsung beberapa saat saja. Tak berapa lama kemudian,
kakek itu menghentikan tariannya. Lalu kembali menghempaskan tubuhnya di tanah berumput. Wajahnya
kembali muram, membuat Kenanga dan Panji saling bertukar
pandang keheranan.
"Mengapa, Kek?" Panji menghampiri Kakek Peramal
Sinting. Lalu duduk di dekatnya.
"Aku sudah terlalu tua, Pendekar Naga Putih," keluh Kakek Peramal Sinting, "Aku
khawatir tulang-tulangku sudah tidak kuat untuk menghadapi mereka. "
"Kek." Kenanga ikut duduk di sebelah Kakek Peramal Sinting. "Kakek memang sudah
sangat tua. Gigi pun sudah hampir tak punya. Tapi, apakah Kakek tidak ingin
berbuat kebaikan sebelum nyawa Kakek meninggalkan badan" Apakah
di dalam kubur nanti Kakek dapat tenang sementara manusia-
manusia jahat itu masih berkeliaran?"
"Hei, siapa yang bicara soal kematian" Apa kau memang ingin aku cepat-cepat
mati, hah" Seenaknya saja kalau bicara!"
Ucapan Kenanga malah membuat kakek cebol itu mengomel.
Dengan wajah masam, Kakek Peramal Sinting bergerak
bangkit. Dipandangnya wajah Kenanga dan Panji berganti-
ganti. Lalu melangkah tanpa mempedulikan pasangan
pendekar muda itu yang memandang heran.
"Kau mau ke mana, Kek.. "!" Panji tak dapat menahan keinginannya untuk bertanya.
"Ya ke depan, apa kau pernah lihat orang yang jalan ke belakang?" sahut Kakek
Peramal Sinting sekenanya tanpa menolehkan kepala.
"Maksudku, bagaimana dengan Perkumpulan Tengkorak
Hitam" Apakah Kakek benar-benar ingin lepas tangan, dan
membiarkan mereka semakin merajalela?" tanya Panji yang tersenyum kecut demi
mendengar jawaban Kakek Peramal
Sinting tadi. "Menggempur mereka secara langsung sama saja dengan
menggali kuburan sendiri. Sudah, jangan banyak tanya lagi!
Ayo, kalian ikut aku! Kita pikirkan cara yang paling baik untuk menghadapi
mereka," jawab Kakek Peramal Sinting, tetap tidak menoleh dan terus mengayun
langkahnya. "Tunggu dulu, Kek!" Kenanga berseru mencegah. Sekali berkelebat, dara jelita itu
telah berdiri menghadang jalan Kakek Peramal Sinting.
"Apa lagi?" Kakek Peramal Sinting mengerutkan
keningnya. "Apa Kakek tidak ingat dengan cerita kami tadi?"
Kenanga balik bertanya.
"Aku ingat," sahut Kakek Peramal Sinting setelah berpikir sesaat.
"Menurut cerita Kakek tadi, Perkumpulan Tengkorak
Hitam tidak akan membiarkan musuh-musuhnya lolos, bukan"


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nah, lalu bagaimana dengan lelaki yang kami ceritakan itu"
Karena ia berhasil meloloskan diri selagi pertempuran antara Kakang Panji dengan
salah seorang tokoh mereka. .,"
"Hm.. aku pun pernah berjumpa dengan seorang lelaki
gagah yang menganggapku sebagi salah seorang tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam itu.. !" Kakek Peramal Sinting memotong ucapan
Kenanga, ketika mendadak teringat dengan
peristiwa yang dialaminya. Lalu mengisahkan secara singkat tentang pertemuannya
dengan orang yang tak lain Kanuraga.
"Kasihan sekali orang itu, ia begitu ketakutan.. ," kenangnya sambil menggeleng
perlahan. "Itu yang kumaksudkan, Kek," tukas Kenanga. "Mereka, orang yang Kakek temui, dan
yang kami temui, pasti sangat
membutuhkan pertolongan. Apa tidak sebaiknya kita cari dan tolong mereka" Baru
setelah itu kita pikirkan bagaimana cara untuk menumpas Perkumpulan Tengkorak
Hitam itu."
"Aku setuju dengan pendapat Kenanga, Kek!" Panji langsung saja mendukung
kekasihnya. "Hm.. ,.baiklah. Tapi, kita harus melakukannya dengan sembunyi-sembunyi."
"Mengapa, Kek"!" Kenanga merasa heran, ia kurang setuju. Menurutnya, sikap
seperti itu hanya pantas dilakukan oleh orang-orang pengecut.
"Karena tidak semua persoalan dapat diatasi dengan ilmu silat. Kadang otak pun
harus kita gunakan! Ingat itu! Ayo, kita cari dan tolong orang-orang malang
itu!" Dengan diikuti Kenanga dan Panji, Kakek Peramal Sinting
melangkah meninggalkan tempat itu. Baik Kakek Peramal
Sinting, Panji, maupun Kenanga, sama sekali tidak menduga
kalau orang yang mereka maksud adalah satu. Kanuraga!
* * * 5 Kanuraga berlari terpincang-pincang karena jemari kaki
kanannya yang mulai membusuk, dirasakan sakit bukan
kepalang. Kalau semula rasa takutnya terhadap Perkumpulan
Tengkorak Hitam cuma karena cerita gurunya dan kabar yang
didengarnya selama dalam pengembaraan, kini semua itu telah terbukti dan
dirasakannya sendiri. Sedangkan siksa yang
dirasakannya itu baru tahap peringatan saja. Entah bagaimana siksaan yang bakal
dialami selanjutnya. Tentu akan lebih
mengerikan lagi. Bergidik hati lelaki gagah itu jika teringat akan kekejaman
perlakuan yang diterima gurunya. Ngeri
hatinya jika membayangkan hal itu akan menimpa dirinya.
Rasa takut yang terus membayangi dirinya, membuat
Kanuraga seperti tidak mengenal lelah, la tidak peduli lagi dengan keadaan
tubuhnya yang tak ubahnya dengan seorang
jembel itu. Yang terpenting baginya saat itu adalah menghindar sejauh-jauhnya
dari jangkauan orang-orang Perkumpulan
Tengkorak Hitam. Dan berusaha mencari bantuan dari teman-
teman segolongan. Rasa putus asa mulai merambati hatinya
ketika tak satu pun tokoh yang mau menolongnya. Bahkan
beberapa di antara tokoh yang didatangi dan diminta
pertolongan, justru mengusir dan menuduhnya sebagai
pembawa bencana. Hal itu memang tidak bisa dipungkiri,
karena pada beberapa desa yang disinggahinya, selalu saja ada korban, sebelum ia
sampai. Dan, begitu ia memasuki desa, para penduduk mengusirnya seperu anjing
kudisan. Bahkan ada
yang mengeroyok dan hendak membunuhnya. Pengalaman-
pengalaman pahit itu membuat dirinya merasa semakin
terpojok. Tak seorang pun yang bersedia menerima
kehadirannya lagi Kanuraga tahu siapa lagi penyebab semua
itu kalau bukan orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam!
"Benar-benar keji sekali iblis-iblis Tengkorak Hitam itu Mereka tidak segan-
segan membunuhi orang hanya untuk
memfitnahku. Mereka benar-benar hendak menyiksaku lahir-
batin. Dan, mereka memang telah berhasil melakukannya," ujar Kanuraga berbicara
seorang diri sambil melangkah terseok-seok. Luka di kakinya memang belum sembuh
betul. Karena tidak terawat dengan baik.
Setelah merasa tidak ada lagi tempat baginya untuk
berlindung, Kanuraga mengayun langkahnya menuju kotaraja.
Ketika tiba di kota dan melihat prajurit-prajurit kerajaan, sebuah pikiran gila
tiba-tiba melintas dalam benak Kanuraga.
"Yah, satu-satunya tempat yang paling baik dan aman
bagiku hanyalah di dalam penjara!"
Berpikir demikian, Kanuraga segera saja mencari perkara,
la sengaja membuat keributan, yang membuat beberapa orang
prajurit berdatangan hendak menangkapnya. Melihat ada enam orang prajurit
mengepungnya, Kanuraga pun mengamuk. Dan,
karena ia memang ingin tinggal di dalam penjara selama
mungkin, maka salah satu dari enam prajurit itu dipukulnya hingga tewas.
Kejadian itu membuat para prajurit lainnya
berdatangan. Namun Kanuraga tidak melakukan perlawanan
lagi. la menyerah dan dijebloskan ke dalam rumah tahanan,
yang terletak di sebelah selatan kota raja.
Meskipun di dalam rumah tahanan ia harus berkumpul
dengan orang-orang kasar bertampang bengis, yang kebanyakan terdiri dari tokoh-tokoh sesat, Kanuraga sama
sekali tidak merasa gentar. Karena kepandaiannya yang tinggi, dengan mudah ia
dapat merobohkan setiap narapidana yang
hendak mencelakainya. Sampai akhirnya tak satu pun dari
mereka yang berani bertingkah terhadap dirinya. Dalam
beberapa hari saja, namanya telah dikenal oleh hampir seluruh penghuni penjara.
Kehidupan di dalam rumah tahanan
dirasakannya jauh lebih baik ketimbang di luar. Bahkan
Kanuraga merasa dirinya tak ubahnya seorang raja kecil. Segala keperluannya
dilayani oleh teman-teman sekamar yang telah
ditaklukkannya, la mendapat tempat tidur yang lebih baik dan jatah makanan lebih
banyak Karena, teman-teman sekamarnya
tidak ada yang berani membantah apabila Kanuraga
memintanya "Kanuraga, kau diminta untuk segera menghadap kepala
penjara!" Seorang penjaga membuka pintu kamar tempat
Kanuraga ditahan.
"Ada apa beliau memanggilku?" tanya Kanuraga agak heran sambil melangkah ke
luar. "Simpan saja pertanyaanmu untuk beliau!" sahut penjaga itu dengan nada galak.
Setelah menutup pintu kamar tahanan, penjaga itu segera
membawa Kanuraga, melewati lorong yang berbelok-belok dan
pintu yang berlapis-lapis.
"Duduk!" perintah seorang lelaki bertubuh gendut yang separuh kepalanya botak,
setelah penjaga yang membawa
Kanuraga meninggalkan ruangan itu.
Kanuraga tidak mempedulikan suara dingin dan sikap
angkuh kepala penjara itu. Dengan tangannya yang masih
terbelenggu ditariknya kursi di depan meja kepala penjara.
"Mulai hari ini kau telah dibebaskan, Kanuraga," ujar Kepala Penjara setelah
Kanuraga duduk menghadapinya.
Narapidana lain tentu akan menyambut gembira berita
itu, tapi Kanuraga justru sangat terkejut Ia terlompat bangkit dari duduknya.
Wajahnya menjadi pucat!
"Mengapa, Tuan"!" Bukankah aku telah melakukan suatu kesalahan yang cukup besar"
Sedangkan hukuman yang
kujalani belum sampai satu bulan" Apa aku tidak salah dengar"
Atau mungkin Tuan yang keliru?" Kanuraga meminta agar kepala penjara itu
memeriksa catatannya kembali.
"Kau yang bernama Kanuraga, bukan?" tanya Kepala Penjara sambil tersenyum
misterius. "Betul, Tuan." Kanuraga mengangguk.
"Dan kau ditahan karena membunuh seorang prajurit,
bukan?" Kanuraga kembali mengangguk.
"Tapi, mengapa aku sudah dibebaskan" Begitu ringankah hukuman bagi seorang
pembunuh abdi kerajaan?" Kanuraga masih juga merasa tidak puas.
"Kau ini benar-benar aneh, Kanuraga. Narapidana lain
tentu tidak akan banyak tanya lagi, walaupun seandainya itu sebuah kekeliruan.
Tapi, kau malah sebaliknya. Apa kau
memang bermaksud untuk tinggal di dalam penjara seumur
hidup?" tanya kepala penjara sambil menatap wajah Kanuraga.
"Tentu saja tidak, Tuan. Tapi. . "
"Aaah.. , sudahlah!" potong kepala penjara sambil menepiskan tangannya.
"Sebaiknya kau segera berkemas untuk meninggalkan tempat ini."
"Tidak! Aku tidak mau!" sentak Kanuraga dengan nada tinggi sambil menggebrak
meja di depannya. "Kau pasti telah keliru!" ditudingnya wajah kepala penjara
sambil menatap dengan sorot mata bengis.
"Orang gila! Rupanya kau lebih suka kutendang keluar
seperti anjing buduk!" kepala penjara menghardik, tangannya terulur hendak
merenggut leher baju Kanuraga untuk
dilemparnya keluar.
Sambil mendengus, Kanuraga menarik tubuhnya ke
belakang sedikit. Lalu melepaskan sebuah tamparan ke arah
pelipis kepala penjara itu. Namun lelaki bertubuh gendut itu ternyata cukup
gesit. Tangannya yang gagal menjambret leher baju langsung ditekuk menangkis
tamparan Kanuraga.
Dukkk! Si Kepala Penjara terpekik kaget. Tubuhnya terdorong dan
menabrak kursi, lalu jatuh terjengkang berikut kursinya.
Tamparan itu memang sangat kuat. Karena saking marahnya,
Kanuraga tadi mengerahkan seluruh tenaganya.
"Bangsat! Rupanya kau memang orang gila yang sengaja
mau mencari mati!" Kepala penjara itu bangkit sambil
menyumpah-nyumpah, dan memaki Kanuraga yang memang
tidak melanjutkan serangannya. Karena sebenarnya cuma
sekadar ingin menunjukkan bahwa dirinya bukanlah orang
lemah yang bisa dipermainkan.
"Aku minta penjelasan!" desis Kanuraga penuh tuntutan dan ancaman. "Katakan,
mengapa kau hendak membebaskan aku" Apa yang mendorongmu hendak melakukan hal
itu?" "Persetan dengan pertanyaanmu, Orang Gila!"
Pertanyaan Kanuraga tidak dilayani. Malah kepala penjara
itu mendorong meja di depannya kuat-kuat. Lalu menyusulinya dengan sebuah tendangan yang dilakukan
sambil melompat.
Dugh! Tubuh Kanuraga terjengkang sampai ke dinding.
Serangan licik itu tak dapat dielakkan hingga bersarang telak ke arah dadanya.
Kanuraga bersandar sesaat di dinding sambil mengatur jalan napasnya yang terasa
sesak. Namun kesempatan untuk itu hanya ada sekejap mata. Si Kepala
Penjara sudah melanjutkan serangannya dengan tebasan sisi
telapak tangan miring, mengancam leher. Kanuraga segera
melempar tubuhnya bergulingan di lantai. Dan, sewaktu kepala penjara itu kembali
menyusuli serangannya, Kanuraga
melenting dan berputar sambil melepaskan tendangan dengan
kaki kirinya. Tendangan telak itu membuat tubuh kepala penjara
terpelanting jatuh, mencium lantai Dan sebelum lelaki
berbadan gemuk itu sempat bangkit, Kanuraga, yang baru
mendaratkan kakinya di lantai, kembali mengirimkan
tendangannya. Kepala penjara menjerit keras. Tubuhnya
terangkat dari lantai, terpental berputar, dan membentur
dinding Kanuraga sudah siap untuk menghabisi nyawa lawannya.
Namun, gerakannya tertunda ketika para penjaga yang
mendengar keributan itu sudah berdatangan, menerobos
masuk. Kanuraga melompat mundur menghindari ujung
tombak empat orang penjaga yang begitu masuk langsung
menyerangnya. Sedang para penjaga yang lain bergegas
menolong pimpinannya dan membawa pergi dari ruangan itu
"Keparat! Rupanya kau hendak memberontak, hah!
Dengan melukai pimpinan kami, berarti hukumanmu akan
semakin berat! Bukan mustahil kalau kau akan dihukum
gantung!" Seorang lelaki berkumis lebat dan bertubuh tinggi besar yang
mengenakan pakaian perwira, menghardik
Kanuraga. Perwira
itu terlihat sangat geram ketika
menyaksikan pimpinannya digotong dalam keadaan terluka
parah. Segera saja ia menyeruak maju menghadapi Kanuraga,
yang berdiri dengan kedua kaki terpentang.
Kanuraga memperhatikan perwira yang kini telah berdiri
di hadapannya itu. Meneliti sosoknya sesaat, lalu dengan
kepala tegak, ditentangnya pandang mata perwira itu.
"Silakan tangkap aku, Tuan Perwira! Aku tidak akan
melawan," ujar Kanuraga tersenyum tipis sambil menyodorkan kedua lengannya yang
masih dibelenggu.
Perwira itu tampak meragu sesaat. Namun ketika
dilihatnya sorot kesungguhan pada mata Kanuraga, diperintahkannya dua orang penjaga untuk maju. Sementara ia sendiri sudah
bersiap-siap untuk menyerang apabila Kanuraga melakukan perlawanan. Ketegangan
di wajahnya langsung
sirna begitu ia melihat Kanuraga pasrah dan menyerah.
"Bawa bedebah itu ke ruangan tempat para pembunuh!"
perintah perwira itu kepada dua orang penjaga yarig segera melaksanakannya.
Dengan dikawal selusin prajurit, Kanuraga dibawa
menuju ruangan tempat para pembunuh disekap. Kanuraga
sendiri tidak memusingkan hal itu Di mana pun ia
ditempatkan, asal masih berada di lingkungan penjara, baginya sama saja. Karena
penjara adalah satu-satunya tempat yang
dianggap aman dan tidak dapat dijangkau orang-orang
Perkumpulan Tengkorak Hitam.
Namun keliru besar kalau Kanuraga mempunyai pikiran
demikian. Karena, orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam
tidak akan melepaskan musuhnya begitu saja. Sekalipun
musuh itu berada dalam lingkungan istana dan dalam
pengawalan ketat, mereka akan tetap berusaha dengan
berbagai cara. Mereka tidak akan pernah berhenti sebelum


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil membunuh musuhnya, yang sebelumnya mereka siksa
dengan cara-cara yang sangat kejam!
* * * Cringgg! Lelaki yang tengah terlelap di atas pembaringannya itu
terlonjak bangkit. Dengan sigap ia melompat dan menyambar
pedangnya yang tergeletak di atas meja dekat pembaringannya.
Namun tak ditemukan adanya orang lain di dalam kamar itu,
kecuali sebuah kantung uang yang tergeletak di atas lantai.
Kantung itulah yang telah membuyarkan impiannya.
"Tunjukkan rupamu sebelum aku kehilangan kesabaran!"
bentak lelaki kekar itu yang tentu saja tidak percaya kalau kantung uang itu
jatuh begitu saja dari langit-langit kamarnya.
Suaranya ditekan agar tidak terlalu keras. Karena ia tidak ingin membuat orang
lain terbangun dari tidurnya.
Belum lagi lelaki kekar itu menutup mulutnya, tiga sosok
bayangan berkelebat masuk melalui jendela. Dan, tahu-tahu di hadapannya telah
berdiri tiga sosok tubuh yang mengenakan
pakaian serba hitam. Bagaimana mungkin daun jendela yang
telah dikuncinya sebelum tidur itu dapat dibuka orang tanpa sepengetahuannya,
"Siapa kalian" Dan ada keperluan apa datang menemuiku malam-malam begini?" tegur
lelaki kekar itu setelah
menepiskan keheranannya.
"Kami orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam. . "
Salah satu dari ketiga sosok berpakaian serba hitam itu
menyahuti. Suaranya dingin dan datar tanpa tekanan.
"Perkumpulan. . Tengkorak.. Hitam. .!?" desis lelaki kekar itu, yang menjadi
pucat seketika. Sepasang matanya
membelalak lebar menyorotkan kegentaran dan kengerian.
Lelaki kekar itu sebenarnya bukanlah seorang pengecut.
Dia seorang perwira yang cukup disegani dan memiliki
kepandaian tinggi. Dan, selama mengabdi kepada kerajaan,
sudah seringkali ia bergelut dengan maut, tanpa rasa gentar sedikit pun. Akan
tetapi untuk nama yang satu itu, dirinya tak dapat menahan rasa takut dan ngeri
yang seketika timbul dan menguasai hatinya. Nama itu sudah sangat dikenalnya.
Baik kekejaman, kebuasan, maupun kesaktian tokoh-tokohnya. Pada belasan tahun silam,
ia ikut ambil bagian sewaktu pihak
kerajaan menyerang markas perkumpulan itu. Dan, ia tahu
kalau tokoh-tokoh puncak Perkumpulan Tengkorak Hitam
banyak yang meloloskah diri. Kini, tahu-tahu tiga orang tokoh perkumpulan sesat
itu telah berada di dalam kamarnya, dan
berdiri di hadapannya dengan menampakkan wajah yang
bengis. Apalagi keinginan mereka kalau bukan hendak
menuntut balas!
Ketika pikiran itu melintas tubuhnya menjadi gemetar dan
mandi keringat. Kedua kakinya terasa berat, sulit untuk
digerakkan. Bayangan-bayangan siksa mengerikan yang dulu
pemah didengarnya, menari-nari dalam benaknya, membuat
rasa takut kian hebat mencengkeram dirinya.
"Kami datang bukan untuk mencabut nyawamu, Tuan
Perwira," ujar sosok pertama, yang wajahnya agak pucat dengan kedua tulang pipi
menonjol Suaranya tanpa tekanan,
dingin, dan datar.
"Kami menginginkan agar salah seorang tawanan yang
bernama Kanuraga engkau bebaskan. Orang itu adalah musuh
kami." Sosok kedua menimpali. Suaranya berat dan bernada bengis, menunjukkan
bahwa dirinya seorang yang bersifat
kasar dan pemberang.
"Kau harus bisa mengeluarkannya dari tempat ini! Jangan berlaku gegabah seperti
rekanmu kemarin. Kepala penjara tolol itu terlalu sombong dan meremehkan
Kanuraga. Kami sudah
memperingatkannya. Tapi, si Kerbau Tolol itu cuma bisa
manggut-manggut Kau sebagai pengganti kepala penjara tolol itu, harus
melanjutkan tugasnya! Besok Kanuraga harus sudah meninggalkan rumah tahanan
ini!" lanjut sosok ketiga, yang berusia paling tua. Tubuhnya agak bongkok.
Kendati demikian, sosok ketiga ini tampak memiliki perbawa yang amat kuat,
membuat sosoknya jauh lebih mengerikan ketimbang kedua
orang kawannya.
"Ttt. . tapi. . bagaimana caranya. .?" tanya perwira, yang ternyata telah
ditunjuk sebagai kepala penjara menggantikan rekannya. Meskipun hatinya telah
lebih tenang, namun ia
masih saja merasa gugup.
Ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam itu terlihat
agak jengkel. Mereka sama mendengus kasar, membuat kepala
penjara yang baru itu tersurut mundur. Ketiga tokoh
perkumpulan sesat yang mengerikan itu, tidak mempedulikan.
Mereka saling bertukar pandang beberapa saat lamanya.
"Buatlah agar Kanuraga tidak tenang tinggal di tempat ini!
Suruh tawanan-tawanan lain mengganggunya! Ingat, pilih
tawanan-tawanan yang kira-kira cukup tangguh! Mereka pasti akan menurut apabila
kau janjikan kebebasan untuk mereka.
Nah, kukira petunjuk itu sudah cukup. Terserah kau
bagaimana mengembangkannya," ujar tokoh yang bertubuh bongkok.
"Ingat, kami tidak suka dengan kegagalan!" Tokoh kedua menekankan, kemudian
melangkah pergi, setelah mengambil
kantung uang yang tadi mereka gunakan untuk membangunkan kepala penjara itu.
Perwira bertubuh kekar itu masih saja mengangguk-
angguk, kendati ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam
sudah melesat melalui jendela yang terbuka. Kesadarannya
baru bangkit ketika terpaan angin malam yang masuk melalui jendela, membuat
tubuhnya menggigil kedinginan. Setelah
menutup rapat daun jendela dan menguncinya, ia pun kembali merebahkan tubuh yang
tiba-tiba saja terasa lelah sekali.
* * * Duk! Kanuraga terhuyung, nyaris jatuh mencium lantai kalau
saja ia tidak buru-buru menguasai keseimbangan tubuhnya.
Terdengar gelak tawa belasan orang tawanan yang membuat
ruang makan penjara itu menjadi riuh seketika. Kanuraga
memutar tubuhnya, mencari-cari orang yang tengah menjegal
kakinya dari belakang. Dengan sorot mata tajam, dipandangi satu persatu para
tahanan yang mondar-mandir di tempat itu.
Bibir Kanuraga menyunggingkan senyum tipis, sewaktu ia
sempat menangkap gerakan sudut mata salah seorang tawanan
yang tengah antri mengambil jatah makan.
Dengan kedua kaki terpentang, Kanuraga berdiri tegak
menunggu orang yang dicurigainya itu lewat. Ketika orang itu meninggalkan
antrian sambil membawa makanan dan hendak
melewatinya, Kanuraga memalangkan lengan, mencegah orang
itu lewat. Tanpa banyak cakap lagi, langsung dirampasnya
makanan yang dibawa orang itu. Demikian cepat gerakan
Kanuraga, sehingga orang itu sampai tak tahu kalau
makanannya telah diambil Kanuraga. Sedang Kanuraga sudah
melangkah menuju meja kosong. Demikian tenang sikapnya,
seolah ia tak pernah berbuat apa-apa.
Orang itu baru tersadar ketika Kanuraga sudah beberapa
langkah meninggalkannya. Untuk beberapa saat, dia tampak
kebingungan, tak tahu ke mana perginya makanan yang
dibawanya tadi. Dia menoleh ke kanan dan kiri dengan wajah ketololan sambil
mengusap-usap kepalanya yang gundul
pelontos, mencari-cari jatah makannya yang mendadak lenyap tanpa diketahuinya.
Ketika ia tengah kebingungan, salah satu dari dua belas orang tawanan, yang tadi
menertawakan Kanuraga, memberikan isyarat dengan gerakan kepalanya.
Karuan saja lelaki gundul itu menjadi berang.
"Hei, kembalikan makananku. .!" teriaknya sambil berlari mengejar Kanuraga.
Kemudian langsung melepaskan sebuah
tamparan ke kepala Kanuraga, yang kelihatannya tidak tahu
akan ancaman bahaya itu, dan masih terus melangkah mencari meja kosong.
Namun, sebelum tamparan itu mengenai kepalanya,
Kanuraga membalikkan tubuh dengan gerakan yang sangat
cepat. Dia terus menubruk dan membenturkan kepalanya ke
kepala lelaki gundul pelontos itu.
Jdug! Lelaki gundul itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental,
dan jatuh berdebuk ke lantai. Keningnya tampak memar dan
membiru membuahkan benjolan sebesat telur ayam. Lelaki
gundul itu bergegas bangkit. Mulutnya tak henti-hentinya
mengerang sambil tangannya sibuk mengelus-elus telur ayam
di keningnya. "Keparat kau. Manusia Rakus! Sudah merampas jatah
makanku, malah berani memukulku! Hmhh. ., rupanya kau
suda bosan hidup, hingga berani mencari perkara dengan
Jarangka! Awas, kuremukkan tulang-tulang tubuhmu!" Lelaki gundul yang kepalanya
kini terhias telur ayam itu mencak-mencak seperti hendak menelan bulat-bulat
tubuh Kanuraga.
"Siapa yang merampas makanmu, Kerangka?" sahut
Kanuraga sengaja merobah nama lelaki gundul itu. Karena
tubuh lelaki itu memang sangat kurus. Sehingga, Kanuraga
menyebutnya sebagai kerangka.
Jarangka menggereng dengan sepasang mata memerah.
Giginya bergemeretak menahan amarah yang meledak-ledak.
Namun ketika ia hendak menyerang, Kanuraga mencegahnya.
"Tunggu, Kerangka!" seru Kanuraga sambil mengulurkan tangannya. "Tubuhmu sudah
sedemikian kurus, cuma tinggal tulang dan kentut begitu. Sebaiknya cepat kau
jilati jatah makanmu yang berceceran di lantai itu, biar kau cepat gemuk!"
lanjutnya sambil menunjuk makanan yang berceceran di lantai.
"Setan Keparaaat. .!" Jarangka tidak bisa menahan ledakan amarahnya lebih lama
lagi Sambil melontarkan sumpah
serapah, ia menerjang Kanuraga dengan serangkaian pukulan
yang mendatangkan angin menderu.
"Aiii, ternyata kau bisa juga memukul, Kerangka!?"
meskipun mulut Kanuraga masih tetap mengeluarkan ejekan,
diam-diam hatinya kaget juga. Sama sekali tidak disangkanya kalau tubuh kurus
itu ternyata menyimpan tenaga dalam yang kuat. Dengan cepat Kanuraga berlompatan
menghindari hujan
pukulan itu. Selama lima jurus, Kanuraga masih belum membalas
serangan lawannya. Tubuhnya masih berlompatan menghindar
sambil sesekali menangkis, bila sudah tidak sempat lagi
mengelak. Dan, setiap tangkisannya membuat tubuh Jarangka
terdorong mundur. Hal itu menunjukkan bahwa tenaga dalam
Kanuraga masih jauh lebih kuat daripada lawannya.
"Haaa. .!"
Memasuki jurus keenam, mendadak Kanuraga membentak keras, membuat Jarangka terlompat mundur
saking kagetnya. Sedangkan Kanuraga sudah mengirimkan
tendangan kilat ke dada lelaki tinggi kurus itu. Namun dengan tangkas Jarangka
membungkuk sambil berputar menyabetkan
kakinya, menyapu kaki kiri lawan. Kanuraga cuma
mendengus. Dan sebelum kakinya terbabat sapuan lawan, kaki kanannya yang gagal
menendang itu langsung menekuk ke
bawah. Dengan ujung tumitnya, digedornya punggung
Jarangka. Dugk! "Huakkh. .!"
Gedoran itu membuat Jarangka muntah darah, dan
terjerembab di tempat itu juga. Langsung pingsan seketika!
Hampir semua tawanan yang berdiri mengelilingi arena
pertarungan itu, bertepuk tangan menyambut kemenangan
Kanuraga. Kecuali, sebelas orang kawan Jarangka, bahkan
kesebelas orang itu langsung berlompatan mengurung
Kanuraga. Wajah mereka tampak demikian bengis, seolah
hendak mencabik-cabik tubuh Kanuraga.
Kanuraga cuma mengeluarkan suara mendengus. Sambil
tersenyum mengejek, dirayapinya wajah-wajah tawanan yang
tadi telah menertawakannya. Otaknya langsung saja bisa
menebak kalau perbuatan Jarangka yang menjegalnya tadi,
tampaknya memang telah direncanakan bersama sebelas orang
itu. Namun Kanuraga tidak menjadi gentar. Walaupun dari
cara kesebelas orang itu bergerak, ia dapat menilai kalau
mereka rata-rata memiliki kepandaian yang tidak rendah.
* * * 6 "Hiaaat. !"
Dua orang yang berada di depan Kanuraga mulai
menerjang. Satu menyerang bagian atas tubuhnya, sedang yang lain mengancam dari
sebelah bawah. Sempat kaget juga hati
Kanuraga ketika melihat cara menyerang yang tampaknya
telah terlatih dengan baik itu. Akan tetapi sebagai seorang tokoh yang telah
memiliki banyak pengalaman, sepintas saja ia telah dapat melihat titik kelemahan
dari serangan itu. Dan, ketika serangan itu tiba, Kanuraga langsung melompat
sambil melepaskan tendangan berputar untuk mematahkan serangan
yang mengancam kepalanya.
Plak! Duk! Tubuh lawan terpental balik. Kanuraga sendiri sudah
meluncur turun dengan kepala di bawah. Kedua tangannya
berputar cepat memapaki pukulan dan tendangan lawan.
Seiring dengan suara benturan keras, tubuh Kanuraga kembali melenting ke udara
dengan meminjam tenaga lawannya. Di
udara, Kanuraga berjumpalitan sebelum meluncur turun tepat kira-kira setengah
tombak di belakang lawan yang juga sudah berbalik dan menyambutnya dengan
dorongan kedua telapak
tangan. Kanuraga berkelit dengan langkah berputar, dan tiba di samping lawannya.
Lalu, digedornya iga dan lambung lawan,
yang kontan terpental memuntahkan darah segar. Dua buah
pukulan yang kuat bukan main itu, membuat nyawa lawannya
melayang seketika.
Terdengar teriakan-teriakan marah para pengepungnya
yang segera berlompatan mengeroyok Kanuraga. Namun,
meskipun menghadapi keroyokan sepuluh orang lawan
tangguh, Kanuraga tidak tampak gugup. Tubuhnya bergerak
lincah menghindari setiap ancaman serangan yang datang.
Bahkan ketika Kanuraga mulai melepaskan serangan-serangan
balasannya, justru para pengeroyoknya yang menjadi
kelabakan. Setiap kali mereka menangkis pukulan ataupun
tendangan Kanuraga, selalu terdorong mundur dengan lengan
terasa nyeri. Dan, dalam waktu kurang dari lima belas jurus, dua orang


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengeroyok terpelanting roboh, terkena hantaman
Kanuraga. "Heaaah. .!"
Blakkk! Satu korban lagi jatuh. Keprukan sepasang telapak tangan
Kanuraga membuat lawannya jatuh terjerembab seperti orang
mabuk. Dari kedua lubang telinganya mengalir darah segar.
Orang itu menggelepar sesaat sebelum akhirnya tewas.
Amukan Kanuraga membuat para penjaga yang ikut
berdiri menonton, saling bertukar pandang satu sama lain. Di sudut lain, tampak
kepala penjara ikut menyaksikan
perkelahian yang memang telah diaturnya itu. Setelah
memperhatikan pertarungan yang masih berlanjut, perwira ini langsung saja bisa
menilai bahwa Kanuraga memang benar-benar berbahaya. Maka, segera saja ia
memberikan isyarat
kepada para penjaganya untuk menghentikan perkelahian itu.
"Hentikan perkelahian. .!"
Kanuraga menahan gerakannya. Begitu juga dengan
pengeroyoknya yang tinggal tujuh orang. Empat lainnya sudah bergeletakan di
lantai. Dua tewas, sedang dua lainnya telah terkapar pingsan.
"Kanuraga!" terdengar suara bentakan menggelegar, membuat semua orang menoleh.
Kanuraga memutar tubuhnya menghadapi perwira tinggi
kekar, yang tengah melangkah mendekatinya.
"Rupanya kau suka sekali membuat keonaran, Kanuraga!
Untuk kali ini, rasanya kau tidak bisa diberi ampun lagi. Tiga nyawa telah kau
hilangkan. Kau semakin buas dan ganas,
Kanuraga. Sebaiknya kau dibuang ke pulau. Di sanalah tempat bagi penjahat-
penjahat besar sepertimu!" ujar perwira kepala penjara itu yang menghentikan
langkahnya kira-kira setengah tombak dari tempat Kanuraga berdiri. Empat penjaga
siaga di kiri-kanannya, siap melindungi pimpinannya jika Kanuraga
mengamuk. "Keributan ini bukan salahku, Tuan." Kanuraga mencoba membantah. "Merekalah yang
sengaja mencari perkara.
Terpaksalah aku hanya berusaha membela diri. Jadi, kalaupun ada yang terbunuh,
itu salah mereka sendiri, Tuan."
"Kau tidak perlu berdalih, Kanuraga. Dan, aku ti dak ingin berdebat dengan
manusia rendah sepertimu!" tegas perwira kepala penjara itu dengan nada
menyakitkan. Lalu memberi
perintah kepada belasan orang penjaga untuk menangkap
Kanuraga. "Gunakan jaring.. !" teriaknya memberi petunjuk.
Menghadapi keroyokan para pengawal itu, Kanuraga
benar-benar dibuat kewalahan. Ia mengamuk bagaikan
kerasukan setan! Pedang yang dirampasnya dari salah seorang penjaga, digerakkan
sedemikian rupa, membuat para
pengeroyoknya menjadi gentar. Saat dilihatnya kepungan
mulai merenggang, Kanuraga menerjang dengan seluruh
kekuatannya. Terus melesat pergi setelah melukai empat orang penjaga.
Kanuraga sama sekali tidak merasa curiga ketika melihat
pintu-pintu pada setiap lorong yang dilaluinya tampak terbuka lebar. Ia terus
berlari secepat-cepatnya meninggalkan kotaraja, melintasi hutan-hutan lebat
tanpa mengenal lelah, kendati
dirasakan napasnya sudah hampir putus. Bayang-bayang maut
yang menari-nari di dalam benaknya, membuat Kanuraga tak
peduli dengan rasa lapar dan haus yang menyiksanya. Bahkan ia tidak lagi
memperhatikan ketika malam mulai jatuh,
membungkus bumi dengan kegelapan. Kanuraga baru berhenti
berlari, setelah merasa tenaganya terkuras habis. Tubuhnya terkulai lemas
seperti pingsan di tengah sebuah hutan lebat.
* * * Ketika siuman Kanuraga menemukan dirinya berada di
tengah sebuah hutan lebat. Kanuraga menggoyang-goyangkan
kepalanya yang masih terasa pening. Setelah mengucak-ngucak mata diedarkan
pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Inikah pulau tempat pembuangan penjahat-penjahat
besar seperti apa yang dikatakan perwira kepala penjara itu. ."!"
gumam Kanuraga seperti orang mengigau. Lalu, mengayun
langkahnya perlahan. Namun dia tidak perlu berpikir lebih
lama lagi, karena pertanyaan itu segera menemukan
jawabnya. . "Hua ha ha. .!"
Sebuah suara tawa yag mengejutkan membuat Kanuraga
terlompat saking kagetnya. Diedarkan pandangannya mencari-
cari pemilik suara tawa itu. Wajah Kanuraga mulai menegang.
Dadanya berdebar keras. Di benaknya terbayang wajah-wajah
bengis para tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam. Entah
mengapa, Kanuraga sendiri tidak mengerti. Bayangan itu
muncul begitu saja tanpa terpikir lebih dulu.
"Kita bertemu lagi, Kanuraga. .!"
Kanuraga cepat memutar tubuhnya ke arah asal teguran
itu. Dan. . kini wajahnya benar-benar pucat bagai mayat!
Gambaran siksa mengerikan langsung menari-nari di
benaknya. Langkah kakinya tersurut mundur, gemetar, seperti sangat berat sekali,
dan sukar untuk digerakkan. Karena,
pemilik suara itu seorang lelaki bongkok berpakaian serba
hitam. Salah saru dari ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam yang mengejarnya!
Rasa- ngeri dan takut yang menyiksa, membuat Kanuraga
memutar tubuhnya, berusaha melarikan diri dari tempat itu.
Namun, usaha itu sia-sia! Dari arah depannya, muncul tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam lainnya. Tokoh itu melangkah
disertai sorot mata bengisnya, membuat Kanuraga semakin
ketakutan. Terlebih ketika sosok ketiga menyusul muncul dari sebelah kanannya.
Bergerak maju dengan langkah sengaja
dilambatkan, membuat Kanuraga merasakan lemas di sekujur
tubuhnya. Seolah tiap ayunan langkah tokoh-tokoh mengerikan itu, membuat tulang-
tulang tubuhnya dilolosi. Hingga,
akhirnya lelaki bertubuh gagah itu jatuh terduduk lemas di tanah.
Ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam memperdengarkan tawa iblisnya yang mendirikan bulu roma.
Kini langkah mereka terhenti tepat di dekat Kanuraga, yang sekujur tubuh dan
wajahnya telah dibanjiri keringat.
"Ampunkan aku. .! Aku. . aku tidak tahu kalau yang
kubunuh itu adalah anggota partai kalian. ." Kanuraga.
merintih mengiba.
Entah mengapa, ia sendiri tidak mengerti. Mengapa nama
perkumpulan itu demikian besar perbawanya. Bahkan
penampilan tokoh-tokohnya membawa kesan mengerikan dan
mempunyai pengaruh yang sangat hebat Hingga seorang lelaki gagah berkepandaian
tinggi yang sebelumnya tidak mengenal
takut, kini meratap minta belas kasihan. Memang sukar sekali untuk dapat
dipercaya. Jangankan orang lain. Kanuraga sendiri tak mengerti dengan apa yang
dirasakannya. Yang jelas,
jangankan berhadapan dengan tokoh-tokoh perkumpulan sesat
itu, baru mendengar atau membayangkannya saja, jantung
Kanuraga sudah berdebar terselimut rasa takut dan ngeri.
"Kanuraga," ujar tokoh bertubuh bongkok, tanpa
mempedulikan rintihan Kanuraga. Suaranya dingin dan datar, tanpa tekanan,
membuat bulu kuduk Kanuraga meremang.
"Kau perlu tahu. Sebelum musuh kami menggeletak tanpa nyawa, kami, orang-orang
Perkumpulan Tengkorak Hitam tak
akan melepaskannya."
"Sekali kau menanam bibit permusuhan, maka selama
hidup maut akan selalu membayangimu!" tegas orang kedua yang baik wajah maupun
suaranya memancarkan kebengisan
dan kekejaman. "Dan sudah saatnya kami memberimu ganjaran lagi!"
sambung tokoh lainnya yang kemudian mengulur tangannya
mencengkeram leher pakaian sebelah belakang Kanuraga.
Gerakannya terlihat perlahan sewaktu ia menyentakkan
tangan. Namun, akibatnya tubuh Kanuraga tersentak
melambung ke udara.
Kanuraga berteriak kaget dan ketakutan. Namun, karena
ilmu silat yang dimilikinya telah mendarah daging, maka
begitu tubuhnya melayang, tanpa diperintah oleh otaknya, dia langsung berputar
tiga kali. Sayangnya, ketika meluncur turun kedua kaki yang masih gemetar tak
sanggup menahan berat
tubuhnya. Dan, untuk kedua kalinya, Kanuraga kembali
melorot jatuh. "Bangun, Kanuraga!"
Tokoh bertubuh bongkok memerintah, tetap dengan suara datar tanpa tekanan. Sekali bergerak, tahu-tahu
tokoh itu telah berdiri di depan Kanuraga.
Padahal jarak di antara mereka cukup jauh, kira-kira sekitar dua tombak.
Kanuraga hanya bisa menelan ludah mendengar perintah
itu. Merasa sudah tidak mempunyai daya lagi, Kanuraga pun
pasrah. Sekujur tubuhnya dirasakan sangat lemas. Seolah
tenaganya benar-benar sudah lenyap dari dalam tubuh.
Kanuraga cuma bisa membelalakkan mata kaget, ketika tokoh
bertubuh bongkok itu menyentakkan tubuhnya, memaksanya
berdiri. "Bunuhlah aku. . bunuhlah.. !"
Tokoh bertubuh bongkok itu hanya tertawa dingin.
Hatinya sama sekali tidak tergerak, meskipun wajah dan
rintihan Kanuraga menggambarkan rasa putus asa dan
permohonan. "Tidak, Kanuraga! Pesta belum dimulai. Kami tidak akan membunuhmu sekarang.
Tapi, justru akan memberikan sebuah
tanda mata yang tidak akan kau lupakan seumur hidup.
Karena tanda mata kami tidak akan bisa hilang, dan akan
terbawa sampai ke liang kuburmu."
Begitu ucapannya selesai, tokoh bertubuh bongkok itu
menggerakkan dua jari tangannya mencolok mata kanan
Kanuraga. Crokkk! Kanuraga menjerit setinggi langit. Tubuhnya gemetar
hebat. Keringat sebesar biji-biji kedelai kembali merembes keluar, membasahi
sekujur wajah dan tubuhnya. Anehnya,
pemuda bertubuh gagah itu bagaikan telah terpengaruh oleh
kekuatan aneh dari ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam. Sedikit pun tak ada usaha untuk menghindar atau
menangkis upaya penyiksaan yang dilakukan tokoh bengis itu.
Darah segar mengalir turun dan membasahi lengan tokoh
bertubuh bongkok yang jari-jari tangannya masih terbenam di mata Kanuraga. Jari-
jari tangan itu bergerak-gerak hendak
mengorek keluar biji mata Kanuraga. Perbuatan itu dilakukan dengan tenang dan
perlahan, membuat Kanuraga melolong-lolong, merasakan deraan rasa sakit yang
hebat luar biasa.
"Aaa. .!"
Kanuraga meraung parau ketika biji matanya dicabut
keluar. Tubuhnya yang dilepaskan, terhuyung limbung.
Mulutnya masih terus melolong-lolong sambil menekan mata
kanan yang telah buta dengan telapak tangannya. Hingga,
darah yang merembes keluar membasahi lengan dan
pakaiannya. Dalam cengkeraman rasa sakit yang lebih hebat
daripada kematian itu, tiba-tiba terlintas bayangan istrinya yang telah tiada.
Kematian perempuan yang sangat dicintainya itu, membuat jiwanya sempat
tergoncang, hingga hidupnya
terasa hampa dan tidak berarti lagi. Peristiwa itu terjadi tiga tahun yang lalu,
saat desa tempat mereka menetap dilanda
wabah penyakit menular. Sejak itulah Kanuraga menjadi dingin dan selalu muram.
Hingga akhirnya ia memutuskan untuk
pergi mengembara guna melupakan kedukaannya
Kini, saat siksa itu mendera dirinya, bayangan istrinya
seolah muncul dan melambaikan tangan kepadanya. Dilihat
wajah sang Istri sangat pucat, meski dengan sorot mata penuh cinta kasih. Hingga
tanpa sadar, Kanuraga menggapaikan
tangannya, sementara mulutnya masih tak henti melolong.
Tiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam kembali
memperdengarkan suara tawa iblisnya. Penderitaan yang
dirasakan Kanuraga tampaknya merupakan suatu yang
menggembirakan bagi mereka. Memang begitulah sifat-sifat
yang dimiliki kaum golongan sesat. Jika lawan menderita,
semakin puaslah hari mereka. Sayang Kanuraga tidak
mengetahui akan hal itu. Andai saja Kanuraga tahu, ia pasti akan berusaha untuk
bersikap tabah dan tidak merasa gentar, kendati harus menjalani siksaan sehebat
apa pun. Sikap seperti itu sudah pasti akan membuat tokoh-tokoh Perkumpulan
Tengkorak Hitam merasa tidak puas dan marah. Dan, akhirnya mereka akan langsung
membunuh Kanuraga.
Namun, tiba-tiba saja tawa ketiga tokoh kejam itu lenyap
seketika. Gambaran kepuasan yang semula terpancar jelas di wajah mereka,
mendadak berganti dengan keheranan. Karena,
Kanuraga yang semula melolong-lolong sambil menekap
sebelah matanya itu, mendadak terhenti. Rintihannya lenyap.
Telapak tangannya kini diturunkan perlahan-lahan. Tubuhnya tampak menegang
sesaat. Lalu, mata di wajah pucat itu
menatap kosong ke depan. Kakinya melangkali kaku
menghampiri ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam,
yang hanya terdiam heran melihat sikap Kanuraga yang seperti mayat hidup itu.
"Apa.. apa yang terjadi dengan dirinya. ."!" Tokoh tertua yang bertubuh bongkok
bertanya gagap. Wajahnya tampak
menegang. Dadanya berdebar. Rasa ngeri mulai menyelimuti
hatinya. "Mungkin. . ia. . ia kerasukan setan. .!" desis tokoh yang kedua tulang pipinya
menonjol. Tak beda dengan rekannya,
hati tokoh ini pun merasa ngeri melihat keadaan Kanuraga.
"Hentikan semua omong kosong dan pikiran gila itu!"
Tokoh yang lainnya menghardik jengkel, la memang
mengalami perasaan serupa dengan kedua lawannya. Namun
perasaan itu dibantahnya kuat-kuat. "Menurutku, ia pasti sudah putus asa, dan
minta agar kita segera membunuhnya,"
lanjutnya berusaha meyakinkan kedua orang kawannya.
Sebenarnya, apa yang dirasakan ketiga orang tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam itu tidaklah mengherankan.
Sebab pada dasarnya setiap manusia mempunyai perasaan
takut, tanpa terkecuali. Demikian pula halnya dengan ketiga orang tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam yang bengis dan
kejam itu. Mereka pun memiliki perasaan takut, yang
terselubung di balik kekejamannya. Mereka takut dan tunduk terhadap perintah
pimpinan-pimpinannya ataupun terhadap
ketuanya. Dan, meskipun tidak terlalu kuat, namun perasaan takut itu kini muncul
demi melihat sikap dan tingkah Kanuraga yang tiba-tiba aneh dan menyeramkan.
Sementara

Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, Kanuraga terus melangkah kaku menghampiri ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam. Sorot wajah dan tingkah Kanuraga yang janggal itu,
membuat mereka merasa seram dan agak gentar. Dan, selagi
salah seorang dari ketiga tokoh itu berusaha meyakinkan
kawannya untuk tidak merasa takut, tiba-tiba saja tubuh
Kanuraga mencelat ke depan. Masih dengan gerakan yang
kaku, sepasang tangannya mengibas ke kiri dan ke kanan
dengan kuat Tokoh pemberang berwajah penuh brewok yang menjadi
sasaran serangan Kanuraga, terkejut bukan kepalang. Dari
kibasan kedua lengan itu menyambar serangkum angin yang
sangat kuat. Namun, demi untuk meyakinkan kedua
kawannya, bahwa Kanuraga tidak kerasukan setan, maka
serangan itu langsung disambut dengan dorongan kedua
tangannya. Breshhh. .! Apa yang terjadi dari benturan kedua tangan mengandung tenaga dalam itu sempat membuat kedua tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam terkejut bukan kepalang.
Tubuh tokoh berwajah brewok itu terpental diiringi jeritan panjang tanda
kengerian hatinya. Dorongan tangannya
dirasakan bagai membentur sebuah dinding karet yang sangat kuat, membuat tenaga
dorongannya membalik dan memukul
dirinya. Sehingga, ketika tokoh itu terbanting jauh, darah segar langsung
termuntah dari mulutnya.
Sedangkan dua orang tokoh lainnya, tampak ternganga
takjub ketika melihat tubuh Kanuraga yang saat itu masih
mengambang di udara. Tubuh itu seperti tergantung oleh
sesuatu yang tak tampak. Bergoyang-goyang bagaikan
selembar benda ringan yang dipermainkan angin. Ketika kedua tokoh itu terpaku
bagai tak mempercayai penglihatannya, tiba-tiba tubuh Kanuraga meluncur turun ke
arah mereka. Tak
terdengar teriakan sedikit pun dari mulut Kanuraga, meski ia meluncur turun
sambil melancarkan serangan maut
Seolah Kanuraga memang merupakan sosok mayat hidup
yang baru saja bangkit dari kubur untuk melampiaskan
dendam yang belum terbalaskan. "Iblis. .!"
Kedua orang tokoh yang sangat ditakuti lawan dan
dijuluki iblis itu malah memaki Kanuraga sebagai iblis. Hati mereka merasa ngeri
melihat kejadian yang sangat mustahil itu.
Sehingga, keduanya baru sadar akan ancaman bahaya itu,
sewaktu serangan Kanuraga sudah tinggal sejengkal lagi dari tubuh mereka.
Bukkk! Plakkk! Pukulan dan tamparan keras itu langsung singgah di
tubuh sasarannya. Demikian kuatnya tenaga pukulan dan
tamparan itu, hingga tubuh kedua orang tokoh Perkumpulan
Tengkorak Hitam terpental seraya memuntahkan darah segar.
Tubuh mereka jatuh bergulingan sampai hampir tiga tombak
jauhnya. Namun, keduanya buru-buru bergerak bangkit,
karena penasaran dan tak percaya dengan apa yang telah
mereka alami. "Ini benar-benar gila. .!" Tokoh yang kedua tulang pipinya menonjol, mengutuk
dengan suara terputus-putus. Kemudian
kembali terbatuk dan muntah darah.
"Dia pasti telah dibantu oleh iblis-iblis penghuni hutan ini. .!" timpal tokoh
tertua sambil mengatur napas guna meredakan guncangan di dalam dadanya, yang
terkena gedoran telapak tangan Kanuraga.
Kanuraga, yang baru meluncur turun, langsung
menjejakkan kakinya ke tanah. Kemudian kembari melambung
ke udara. Setelah berjungkir-balik beberapa kali, tubuhnya yang tepat berada di
atas kedua tokoh itu, langsung meluncur turun dengan cepat. Kedua kakinya
terpentang lebar, siap
meremukkan tubuh kedua orang tokoh itu.
Lengking kematian yang panjang, bergema, dan menyayat
hati saat kedua telapak kaki Kanuraga menjejak tubuh kedua orang tokoh itu.
Terdengar suara berderak keras seperti tulang-tulang tubuh yang berpatahan.
Kedua orang tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam yang mengerikan itu
menggelepar sebelum menghembuskan napas penghabisan.
"Keparat. .! Akan kucincang tubuhmu, Bedebah. .!" Tokoh berwajah brewok
menggeram ketika menyaksikan kematian
kawan-kawannya. Dengan senjata di tangan, ia menyiapkan
untuk menggempur Kanuraga, yang saat itu tengah berdiri
kaku menatap lawannya dengan sinar mata kosong.
Namun, sebelum tokoh itu menerjang Kanuraga, tiba-tiba
terdengar suara tawa terkekeh-kekeh yang menggema
memenuhi sekitar tempat itu.
"Heh heh heh. .! Rupanya manusia kejam sepertimu masih juga bisa memaki orang
lain! Jangan dikira cuma kalian saja yang bisa membunuh orang! Orang lain pun
sanggup melakukan hal serupa. Nah, sekarang terimalah kematianmu
dengan gembira.. !"
"Bedebah. .!" maki tokoh berwajah brewok sambil
menghentikan gerakannya. Lalu memutar tubuh hendak
mencari pemilik suara tanpa wujud itu. Namun yang
dilihatnya cuma dedaunan pohon bergemerisik dipermainkan
angin. "Hei, Iblis-Iblis Penunggu Hutan! Tunjukkan rupamu!"
Karena jengkel tak bisa menemukan si Pemilik Suara tanpa
wujud, tokoh brewok itu berteriak menantang-nantang seperti orang gila.
"Hei, Brewok Jelek! Tidak usah sesumbar seperti itu!
Hadapi saja orang yang baru saja kalian siksa itu. .!" Kembali suara tanpa wujud
itu terdengar, diakhiri suara tawa mengekeh berkepanjangan, membuat tokoh
berwajah brewok itu kian
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 11 Makam Asmara Lanjutan Persekutuan Tusuk Konde Kumala Karya Wo Lung Shen Golok Maut 5
^