Pencarian

Bayang Bayang Maut 1

Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut Bagian 1


T. Hidayat BAYANG BAYANG MAUT
CINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
BAYANG-BAYANG MAUT
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Bayang-Bayang Maut
128 hal. ; 12 x 18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Kucinglistrik
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 Seorang lelaki gagah melangkah tegap di bawah cahaya
matahari siang yang terik. Sayang wajah yang sebenarnya
gagah dan memiliki perbawa ini tampak muram dan agak
pucat. Sinar matanya pun tampak sayu dan kosong. Tidak
terlihat cahaya kehidupan sedikit pun, baik pada raut wajah maupun sinar
matanya. Semua itu jelas merupakan betapa
hatinya tengah menanggung beban batin yang sangat berat.
Tak lama kemudian, setelah melewati mulut sebuah desa,
langkah kosong tanpa perasaan itu, terhenti di depan sebuah kedai. Tanpa
memperhatikan sekelilingnya, lelaki gagah itu melangkah masuk. Sambil
menghembuskan napas berat,
dihempaskan pantatnya di atas sebuah kursi. Namun ketika ia menoleh bermaksud
memanggil pelayan kedai, tiba-tiba
keningnya berkerut. Sebuah pemandangan yang tidak
menyenangkan sempat membuat mata redupnya berkilat.
Terdengar suara dengusan keluar dari hidungnya.
Brrakk! Sambil mendengus, tiba-tiba lelaki gagah ini, menggebrak
meja di depannya. Meja kayu itu hancur berantakan dengan
memperdengarkan suara berderak keras. Karuan saja
perbuatan itu membuat para pengunjung tertuju kepadanya.
Dua orang lelaki bertampang kasar yang tadi tertawa-
tawa sambil menghujani ciuman ke wajah dan tubuh
perempuan muda, tersentak kaget. Keduanya memandang
lelaki gagah itu dengan sorot mata mengandung kemarahan.
Mata mereka bentrok dengan sepasang mata berkilat milik
lelaki gagah itu. Rupanya perbuatan kedua orang lelaki
bertampang kasar itulah yang telah membangkitkan kemarahannya. Beberapa saat lamanya tiga pasang mata saling tentang,
membuat para pengunjung kedai lain buru-buru menyingkir.
Tampaknya mereka tidak ingin terbawa-bawa. Bahkan
beberapa di antara pengunjung, ada yang langsung
meninggalkan kedai. Namun semua itu tidak dipedulikan, baik oleh kedua lelaki
bertampang kasar maupun si Lelaki Gagah.
"Hm.. !" Salah seorang dari kedua lelaki bertampang kasar terdengar menggeram.
Lalu, melangkah lebar menghampiri
lelaki gagah itu dengan membusungkan dada. Sorot matanya
tajam menikam, menyiratkan kemarahan yang siap ditumpahkan. "Tuan sebaiknya menyingkir, jangan cari penyakit. .!"
Salah seorang pengunjung berbisik memperingatkan lelaki
gagah itu, ketika berlalu di sampingnya untuk meninggalkan kedai.
Namun, nasihat itu sama sekali tidak digubris. Malah
lelaki gagah itu sudah mengayun langkah, sengaja menyongsong kedatangan calon lawannya. Dalam sesaat saja,
keduanya telah berdiri berhadapan.
"Aku paling tidak suka melihat laki-laki memaksakan
kehendaknya kepada perempuan!" Tajam dan pedas sekali kata-kata lelaki gagah itu
sambil tetap menatap lelaki
bertampang kasar di depannya.
"Hmh, lancang sekali mulutmu! Perempuan-perempuan
itu sendiri tidak menolak perbuatan kami. Bahkan mereka
merasa senang dengan perlakuan kami. Nah, kalau mereka saja tidak ribut, mengapa
kau yang tak ada sangkut-pautnya
kalang-kabut seperti nenek-nenek kehilangan sirih" Atau kau merasa iri dan ingin
ikut menikmati tubuh-tubuh molek
berkulit halus itu?" ujar lelaki bertampang kasar dengan bibir menyunggingkan
senyum penuh ejekan.
"Kalau mereka suka dengan perlakuan kalian, tentu akan lain persoalannya. Tapi
karena mereka tidak suka dengan
perlakuan kalian yang tidak sopan itu, maka aku tidak bisa berpangku tangan
saja. Air mata perempuan-perempuan
malang yang tak berdaya itulah, yang membuat aku tergerak
untuk menolong. Entah mengapa kalian begitu bebas berbuat
di tempat umum seperti ini" Aku benar-benar tidak mengerti."
Lelaki gagah ini menggeleng-gelengkan kepalanya,
menyesali para pengunjung kedai yang seperti tidak mau tahu dengan perbuatan
kedua orang lelaki bertampang kasar itu.
"Coba kau lihat!" lanjut lelaki gagah itu sambil menggerakkan kepalanya ke arah
dua orang perempuan yang
wajahnya tampak basah oleh air mata. "Tidakkah kau
merasakan bahwa hati mereka sesungguhnya menjerit pilu,
mengharap belas kasihan dari kalian" Apa mata dan hati kalian telah buta?"
"Pandai sekali kau bicara! Hendak kulihat apakah kau pun memiliki kepandaian
sehebat suaramu itu!" Begitu kata-katanya selesai diucapkan, lelaki bertampang
kasar itu langsung melancarkan sebuah tamparan keras ke kepala si
Lelaki Gagah. Whuuut! Tamparan itu luput, karena sasarannya telah lenyap dari
hadapan. Lelaki bertampang kasar ini kebingungan mencari-
cari sosok lawannya, yang tahu-tahu lenyap seperti setan.
Tengah ia mencari-cari sosok lawannya, tiba-tiba dirasakan bahunya disentuh
orang dari belakang. Tanpa banyak cakap
lagi, langsung saja ia berbalik lalu melepaskan tamparan dan pukulan berturut-
turut. Plak! Plak! Dengan sigapnya lelaki gagah, yang memang telah berada
di belakang lawan, mengangkat lengannya dua kali
menyambut serangan itu. Namun, dia kaget bukan main ketika merasakan lengannya
bergetar, meskipun tangkisan itu telah membuat tubuh lawan terjajar beberapa
langkah. Kenyataan itu sekaligus membuatnya sadar bahwa lawan yang dihadapi
ternyata memiliki tenaga dalam sangat kuat.
Akan tetapi lelaki gagah itu tidak sempat berpikir terlalu lama, karena lawannya
sudah menerjang dengan ganas.
Bahkan kali ini dengan menggunakan senjata. Dari suara
sambaran anginnya menunjukkan bahwa tenaga yang
dikerahkan lawan benar-benar tidak bisa dipandang remeh.
Bergegas lelaki gagah ini berlompatan menghindari sambaran senjata lawan.
Kemudian, karena merasa terdesak, akhirnya ia menjebol dinding kayu dan terus
berjumpalitan keluar.
"Jangan lari kau, Pengecut. .!" seru laki kasar berkumis tebal, yang segera
melesat mengejar lawannya ke luar kedai. Di belakang tampak kawannya pun
menyusul. "Aku, Kanuraga, pantang lari dari pertempuran!" sahut lelaki gagah yang sudah
berdiri tegak menanti kedatangan
lawannya di luar kedai. Di tangan kanannya telah tergenggam sebilah pedang.
"Bagus!" ejek si Kumis Tebal yang mendarat ringan di hadapan Kanuraga. Lalu,
memberikan isyarat kepada
kawannya yang juga telah mendarat di sebelahnya, untuk
segera mengepung lelaki gagah bernama Kanuraga. Tanpa
banyak cakap lagi, kedua lelaki kasar ini langsung saja
menggempur Kanuraga dengan serangan-serangan yang kuat
dan ganas. Semakin kaget dan heran hati Kanuraga ketika mendapat
kenyataan bahwa kedua lawannya ternyata sangat tangguh.
Untuk menghadapi keroyokan mereka, Kanuraga dipaksa
bekerja keras, dengan mengerahkan ilmu-ilmu andalannya.
Namun, itu pun ternyata tidak terlalu banyak menolong. Sebab, kedua orang
lawannya masih terus sanggup mematahkan
setiap serangannya. Bahkan setelah mendesak selama lima
jurus, Kanuraga terpaksa harus mengendurkan gempuran-
gempurannya. Karena jurus pertahanan kedua orang lawannya
itu ternyata sangat tangguh dan sulit untuk ditembus dengan pedangnya. Kanuraga
tentu saja tidak ingin kehabisan tenaga, hingga akhirnya dapat dirobohkan lawan
dengan mudah. Dia
segera mengubah cara bertempurnya. Sekarang tampak lebih
banyak menggunakan kelincahannya untuk menghadapi
lawan-lawan tangguh itu. Tubuhnya meloncat dan terus
mengelak untuk kemudian mengirim serangan balasan dengan
cepat dan tak terduga.
Setelah merubah cara bertempur, barulah Kanuraga
menemukan kelemahan kedua orang lawannya. Kelincahan
mereka ternyata tidak sehebat tenaganya. Menyadari
kenyataan itu, Kanuraga terus saja menggunakan kelebihan itu.
Dengan lesatan-lesatan tubuh yang bagi kedua lawannya
terlihat sangat cepat dan membuat kepala mereka pening itu, Kanuraga terus
melakukan desakan sehingga tampak dirinya
mulai berada di atas angin. Kenyataan itu membuat dirinya
semakin bersemangat. Gempuran-gempuran yang dilancarkan
semakin cepat dan gencar. Hal itu membuat kedua orang
lawannya tak sanggup lagi untuk membangun serangan.
Mereka dibuat sibuk untuk melindungi diri dari ancaman
senjata Kanuraga, yang seolah datang dari setiap penjuru.
Bret! Bret! Pada jurus yang keempat puluh tiga, pedang di tangan
Kanuraga sempat merobek tubuh salah seorang lawannya.
Terdengar suara jerit kematian yang melengking tinggi ke
angkasa. Disusul dengan terlemparnya tubuh salah seorang
lawan dari arena, disertai percikan darah.
Dengan semangat yang semakin meluap, Kanuraga
membentak keras. Tubuhnya melesat ke samping, menghindari
tusukan pedang lawan, yang langsung dibalasnya dengan
sebuah tebasan kilat
Crakhh! Lawan terakhir Kanuraga meraung keras. Darah segar
tertumpah membasahi tanah, sewaktu tubuh dengan luka
menganga pada lambungnya itu terbanting roboh. Lelaki kasar berkumis lebat itu
menggelepar bagai ayam disembelih. Lalu meregang dan tewas!
Kanuraga berdiri tegak memandang mayat dua orang
lawannya. Meski terasa agak telah dan keringat masih
membanjir membasahi wajah dan tubuh, hatinya merasa puas.
Karena berhasil melenyapkan kedua orang itu.
Namun kelegaan yang baru beberapa saat dirasakannya
itu, mendadak berubah menjadi tanda tanya besar. Sesaat
Kanuraga tertegun dengan wajah penuh keheranan. Kanuraga
menjadi tidak mengerti ketika ia memutar tubuh, dilihatnya kedai yang
disinggahinya telah ditutup. Pemilik kedai itu
tengah sibuk mengemasi semua barang-barang dan memasukkannya ke sebuah pedati, yang telah siap di samping kedai.Kanuraga
semakin tertegun di tempatnya, ketika
menyadari bahwa kedai itu bukan cuma ditutup untuk
sementara waktu saja, tapi untuk seterusnya. Ia baru
menyadari hal itu ketika pedati mulai bergerak, membawa
semua barang-barang dan juga pemiliknya sekeluarga,
termasuk seorang pelayannya.
"Tertawalah sepuasmu, Pembawa Celaka!" damprat
pemilik kedai sewaktu lewat di dekat Kanuraga, yang segera menyingkir memberi
jalan. "Dan silakan kau tunggu datangnya malaikat maut yang akan segera mencabut
nyawamu!" Sumpah-serapah pemilik kedai itu membuat kening
Kanuraga berkerut semakin dalam. Berbagai pertanyaan dan
ketidakmengertian, membuat Kanuraga tidak tahu harus
bagaimana menanggapinya. Terlebih ketika ia melihat betapa para penduduk yang
tadi menonton perkelahian, tampak
berlari tergesa-gesa menuju rumah masing-masing.
"Gila, ada apa ini sebenarnya.. !?" desis Kanuraga yang akhirnya menjadi jengkel
ketika menyadari bahwa para
penduduk desa itu ternyata hendak pergi mengungsi. Mereka
berbondong-bondong lewat di hadapannya sambil mendengus,
menyumpah-nyumpah,
mengutuk tindakannya. Sampai akhirnya Kanuraga tak bisa lagi menahan diri. Dengan wajah bengis, disambarnya
salah seorang penduduk yang lewat.
"Jelaskan kepadaku, apa yang sudah terjadi di desa ini"
Mengapa mendadak kalian semua hendak pergi mengungsi"
Apa kematian dua orang bangsat itu penyebabnya?" Saking marahnya, Kanuraga
menghardik sambil mencengkeram
lengan orang itu kuat-kuat, hingga menjerit kesakitan. Sadar kalau cekatannya


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlalu kuat, Kanuraga mengendurkannya
sambil mendengus kasar.
"Aku. . aku tidak tahu, Tuan. .. Yang Jelas, dua orang yang Tuan bunuh itu
sangat berbahaya dan jahat. Begitu. . yang
dikatakan kepala desa kami kepada semua penduduk. .," jelas orang itu terbata-
bata dengan wajah pucat dan tubuh gemetar.
Ngeri hatinya menyaksikan wajah bengis Kanuraga.
Lagi-lagi Kanuraga mendengus. Dia tahu orang itu
berkata jujur, maka dilepaskan cekatannya. Lalu didorongnya tubuh lelaki
setengah tua itu hingga terjerunuk dan terguling ke tanah. Namun Kanuraga tidak
peduli, karena saat itu
perhatiannya sudah tercurah kepada seorang lelaki setengah baya, yang tengah
melangkah tergesa-gesa mendatanginya.
"Biarkanlah mereka pergi mencari selamat, Tuan! Mereka tidak bersalah dan tidak
tahu apa-apa," ujar lelaki setengah baya itu ketika sudah berhadapan dengan
Kanuraga. "Kau siapakah, Orang Tua?" tegur Kanuraga yang sudah tak bisa bersikap ramah
lagi. Ditatapnya sosok lelaki setengah baya itu dengan sorot mata tajam. "Dan
apakah ucapanmu juga berarti sebuah tuduhan untuk diriku, menganggapku bersalah
karena telah membunuh kedua orang bajingan pengganggu
wanita itu?"
"Tindakan Tuan tentu saja sudah sangat benar," jawab lelaki setengah baya itu,
setelah menggeleng perlahan.
Terdengar helaan napasnya yang berat dan berkepanjangan,
sebelum ia melanjutkan ucapannya. "Tapi. ., kalau saja Tuan tahu siapa
sebenarnya kedua orang bajingan tengik itu, kurasa Tuan akan berpikir seribu
kali sebelum bertindak."
"Jelaskan maksudmu. Orang Tua" Atau jangan-jangan
justru kaulah yang menjadi biang keladinya. .!" geram Kanuraga yang jadi menaruh
curiga ketika mendengar ucapan
lelaki setengah baya, yang ternyata kepala desa itu. "Sebaiknya kau tidak
berteka-teki kepadaku, Orang Tua!" lanjut Kanuraga sinis dan menyiratkan
ancaman. "Sebentar lagi, desa ini pasti akan dibumihanguskan. Dan penyebabnya adalah
kematian dua orang bajingan yang kau
bunuh itu, Tuan," ujar lelaki setengah baya itu setelah menghela napas beberapa
saat lamanya "Dan kalau kau ingin tahu, sesungguhnya mereka adalah anggota-
anggota dari sebuah perkumpulan yang sangat ditakuti oleh setiap tokoh
persilatan di seluruh penjuru negeri, bahkan mungkin di
seluruh daratan ini."
Kanuraga tertegun beberapa saat ketika mendengar
penjelasan lelaki setengah baya itu. Keningnya berkerut tajam, mengingat-ingat
perkumpulan apa yang mempunyai pengaruh
sedemikian besar, hingga para anggotanya begitu tangguh dan ditakuti. Bahkan
mereka bebas melakukan apa saja tanpa ada yang berani mencegahnya.
"Orang Tua," ujar Kanuraga setelah terdiam beberapa saat lamanya. "Aku cukup
banyak mengetahui perkumpulan-perkumpulan yang ada di kalangan persilatan. Dan,
setahuku, perkumpulan seperti yang kau sebutkan itu, tidak atau belum pernah
kudengar. Kecuali. .,"
Kanuraga menghentikan ucapannya. Wajahnya tiba-tiba berubah tegang. Sorot matanya memancarkan keraguan
dan kegelisahan.
Lelaki setengah baya itu tidak menjawab dengan kata-
kata. Dengan sebuah tarikan napas panjang dan berat, ia
mengangguk perlahan. Senyum getir dan penuh sesal tampak
menghias wajah pucatnya.
"Tidak mungkin!" Kanuraga membantah dengan suara keras. Kali ini ia terlihat
benar-benar tegang dan gelisah.
Bahkan wajah tegangnya sudah berubah pucat. Sepasang
matanya bergerak-gerak liar, khawatir dengan apa yang ada
dalam pikirannya. "Perkumpulan itu.. perkumpulan itu telah lama lenyap, sudah
belasan tahun! Dan. ., aku.. aku tidak
pernah mendengarnya lagi. .," desisnya dengan suara yang bergetar dan lemah.
"Itulah sebabnya mengapa selama ini kami tidak berani mencegah tindakan dua
orang bajingan itu, Tuan," ujar Kepala Desa itu, memastikan dugaan Kanuraga itu.
"Dan mulai
sekarang, kuharap Tuan berhati-hati. Karena, dengan tewasnya dua orang bajingan
itu, nyawa Tuan akan selalu dibayang-bayangi maut. ."
Setelah berkata demikian, lelaki setengah baya itu
memutar tubuhnya, meninggalkan Kanuraga yang terpaku
dengan tubuh gemetar dan wajah pucat. Seperti orang yang
kehilangan kesadarannya, Kanuraga masih terus berdiri
mematung, sementara seluruh penduduk telah semakin jauh
meninggalkannya.
Entah sudah terapa lama Kanuraga berdiri mematung di
tempat itu, sampai akhirnya tersadar, dan mendapati dirinya terkurung dalam
kesunyian dan keheningan. Helaan napasnya
yang panjang dan berat terdengar saat Kanuraga mengedarkan pandangannya,
mendapati jalan utama desa yang lengang.
Rumah-rumah tampak sepi ditinggalkan penghuninya.
Perlahan pemuda gagah itu mengangkat kedua tangan
menghapus peluh yang membasahi sekujur wajahnya.
"Ya, Tuhan.. ," keluh Kanuraga perlahan dengan suara bergetar lirih. "Benarkah
perkumpulan yang mengerikan dan sangat ditakuti itu kini telah muncul
kembali. ?"
Teringat akan hal itu, Kanuraga mengayun langkahnya
perlahan, menghampiri mayat kedua lawannya yang masih
tergeletak di depan kedai, ia pernah mendengar tentang ciri-ciri dari anggota
perkumpulan yang pada belasan tahun lalu
menjadi momok bagi kaum rimba persilatan. Maka, untuk
memastikan bahwa keduanya memang anggota perkumpulan
yang diduganya, Kanuraga mengoyak pakaian pada bagian
dada salah satu mayat itu. Dan. ., pucatlah wajah Kanuraga seketika! Sebuah
rajahan bergambar kepala tengkorak, terlihat nyata pada dada sebelah kiri mayat
itu. Tangannya yang masih memegang mayat pakaian itu, disentakkan cepat-cepat.
Seolah yang baru dipegangnya bukan lagi kain, melainkan bara api
panas, membuat sekujur tubuhnya seketika menjadi gemetar
dilanda rasa takut yang hebat! Peluh sebesar biji-biji kedelai, bersembulan
membanjiri wajah dan sekujur tubuhnya.
"Tengkorak Hitam. .!" Suara Kanuraga terdengar kering, berupa bisikan lirih yang
nyaris tak terdengar. Dadanya terasa bergelombang cepat, laksana ombak lautan.
Deru napasnya demikian boros, mengalir cepat, dan sulit untuk dikuasainya.
Bayangan kematian yang mengerikan, yang bakal didapatnya,
menari-nari di depan mata.
Seperti disengat kalajengking, Kanuraga tersentak bangkit
Sepasang matanya bergerak liar mengawasi sekitar. Dan,
meskipun yang didapatinya cuma sebuah kesunyian yang mati, tapi, justru hal itu
membuatnya semakin takut dan gelisah.
Sedikit suara gemerisik dedaunan yang dipermainkan angin,
sudah cukup membuat Kanuraga terlompat sambil menghunus
senjatanya. Bayangan-bayangan maut kembali menari-nari di
depan matanya. Gambaran-gambaran serta kabar tentang
kebengisan dan keganasan Perkumpulan Tengkorak Hitam
yang pernah didengar dari gurunya maupun dari tokoh-tokoh
persilatan, membuat rasa takut yang melandanya semakin
memuncak! Dengan sepasang mata liar, dan wajah pucat, serta
keringat yang bagai tak pernah henti mengalir, Kanuraga
bergerak mundur. Pedangnya digenggam erat-erat, khawatir
akan terlepas. Dengan langkah satu-satu, dan sepasang mata tak berhenti bergerak
menyapu sekitar, Kanuraga terus
mundur. Kemudian lari sekencang-kencangnya meninggalkan
desa itu. * * * 2 Kanuraga terus berlari bagaikan orang kesetanan. Ia sudah
tidak peduli, berapa lama dan berapa jauh, waktu dan jarak yang telah
ditempuhnya. Bayangan tentang keganasan,
kebuasan, dan kekejaman Perkumpulan Tengkorak Hitam, tak
pernah lekang dari benaknya. Semua itu sudah banyak
didengarnya, baik dari orang-orang awam, maupun tokoh-
tokoh tingkat tinggi dunia persilatan. Dari gurunya sendiri ia pernah mendengar
penuturan tentang perkumpulan sesat itu.
Bahkan dirinya dipesan agar jangan sekali-kali membuat
masalah dengan orang-orang perkumpulan itu.
"Mereka mempunyai cara-cara tersendiri untuk membantai musuh atau orang-orang yang menentangnya.
Cara-cara mereka sangat mengerikan. Itu sebabnya, mengapa
perkumpulan itu sangat ditakuti. Bukan saja oleh orang-orang awam. Bahkan tokoh-
tokoh terkenal yang memiliki kepandaian tinggi pun lebih memilih untuk
menghindar daripada harus
berurusan dengan Perkumpulan Tengkorak Hitam!"
Wejangan gurunya itu kembali terngiang di telinga
Kanuraga. Kata-kata itulah yang dulu membuat hatinya sangat penasaran.
"Mengapa tidak ada orang yang berani menentang
mereka, Guru" Sebagai orang-orang yang selalu menjunjung
tinggi kebenaran, kita harus menentang dan menumpas
mereka. Lalu, apa gunanya kita mempelajari ilmu silat kalau bukan untuk
menentang kejahatan dan membela orang-orang
lemah yang tertindas?" Waktu itu Kanuraga tak dapat menahan rasa penasarannya.
Semua itu langsung diutarakan kepada
gurunya. Karena apa yang dikatakan gurunya itu sangat
bertentangan dengan pelajaran-pelajaran tentang kependekaran dan kegagahan yang
ia terima. "Kanuraga." Gurunya menghela napas berat dan panjang, sewaktu Kanuraga
membantahnya. "Kegagahan, kejujuran, keadilan, dan kebenaran memang menjadi
pegangan utama bagi setiap tokoh golongan putih seperti kita. Tapi, kita adalah manusia biasa,
yang tentu saja memiliki banyak kekurangan, Muridku Kita mesti tahu kapan
pegangan itu harus
dilaksanakan, dan kapan bisa ditinggalkan! Perkumpulan
Tengkorak Hitam sangatlah kuat. Mereka dikepalai tokoh-
tokoh mengerikan yang perangai serta kepandaiannya melebihi iblis-iblis neraka!
Menentang mereka, sama saja dengan orang gila yang membenturkan kepalanya ke
batu cadas!"
"Jadi, Guru takut menghadapi mereka. ."!" tanya Kanuraga yang masih belum bisa
menerima ucapan gurunya. Hatinya
penasaran dan tak bisa mengerti terhadap sikap sang Guru
Padahal gurunya bukanlah tokoh sembarangan. Dalam
kalangan persilatan, tokoh yang sejajar dengan gurunya dapat dihitung dengan
jari! Tentu saja Kanuraga merasa penasaran bukan main, sewaktu merasakan adanya
nada kegentaran serta kengerian dalam suara maupun sorot mata orang tua yang
telah mendidiknya itu.
Pertanyaan Kanuraga lagi-lagi membuat gurunya menarik
napas berat. Lalu, mengisahkan pengalamannya, yang pada
belasan tahun silam bertekad untuk menumpas Perkumpulan
Tengkorak Hitam. Bersama lima orang sahabatnya yang rata-
rata berkepandaian tinggi, kakek itu mendatangi markas
Perkumpulan Tengkorak Hitam dan mengajukan tantangan
kepada tokoh-tokohnya.
"Kau tahu, apa yang selanjutnya kami alami, Muridku?"
tanya kakek itu menghentikan ceritanya sejenak. Kanuraga
menggeleng tanpa kata. "Kami semua dapat dirobohkan hanya dalam lima jurus!
Bayangkan, lima jurus! Kami semua ditawan dan disiksa sampai setengah mati!"
lanjut kakek itu dengan suara parau dan bergetar. Ingatan tentang kejadian itu,
membuat hatinya terlihat agak guncang. Kakek itu
menundukkan wajah dalam-dalam. Terdengar tarikan napasnya yang berusaha menenteramkan perasaannya.
Sehingga, Kanuraga ikut terseret demi melihat kedukaan di
wajah gurunya. "Kelima orang sahabatku tewas setelah melalui berbagai siksaan yang sebelumnya
tidak pernah terbayang dalam
pikiranku!" Masih dengan suara bergetar dan parau, kakek itu melanjutkan
ceritanya. "Tapi, rupanya Tuhan belum menghendaki kematianku.
Saat dalam keadaan antara sadar dan tidak, lapat-lapat aku mendengar adanya
suara terompet dan tambur yang
bersahutan, disusul dengan teriakan-teriakan dan beradunya senjata. Setelah itu
aku tidak ingat apa-apa lagi. Ketika sadar, kudapati diriku berada di atas
sebuah pembaringan, di dalam sebuah kamar yang bagus dan bersih. Kemudian
kuketahui tempat itu milik sahabatku, yang menjabat sebagai panglima kerajaan. Darinya aku
mendapat keterangan bahwa markas
Perkumpulan Tengkorak Hitam telah dihancurkan oleh tentara kerajaan. Sayangnya
cukup banyak yang berhasil menyelamatkan diri, termasuk tokoh-tokoh utamanya.
Aku mengucap syukur, meskipun sadar bahwa suatu saat kelak
mereka pasti akan muncul kembali."
Kanuraga mengerutkan keningnya dengan wajah heran
ketika gurunya menghentikan ceritanya. Orang tua itu lalu
menyuruhnya mengambil sebuah peti kayu dari dalam gubuk.
Meskipun tak mengerti, Kanuraga segera melaksanakan
perintah gurunya. Lalu, diletakkannya peti kayu itu di hadapan sang Guru.
"Lihatlah, Kanuraga. .!" ucap gurunya, memperlihatkan dua tulang belulang kaki
manusia sebatas lutut "Ini adalah kakiku. Kulit dan dagingnya hancur akibat
direndam dalam timah panas! Ini baru salah satunya," jelas kakek itu. Kemudian ia membuka kulit
binatang yang digunakan untuk menutup
mata kanannya. Kanuraga menahan pekiknya ketika melihat mata kanan
gurunya, ternyata cuma berupa rongga hitam yang mengerikan
"Masih ada lagi, Kanuraga. . "
"Aaah.. !" Kanuraga tak bisa lagi menahan jeritannya.
Tubuhnya terasa lemas bagaikan tidak bertulang. Matanya
terbelalak menatap sekujur tubuh gurunya, yang dipenuhi
bekas-bekas luka yang mengerikan.
"Mereka merejam tubuhku dengan besi yang membara,"
jelas kakek itu sambil memandangi bekas luka yang tak pernah hilang, menampakkan
bilur-bilur bertonjolan, dan bersilangan tak beraturan.
"Tabib-tabib istanalah yang telah merawat dan mengobati semua luka-lukaku.
Mereka terpaksa memotong kedua kakiku
yang separuhnya cuma tinggal tulang belulang saja. Setelah sembuh, aku pun
berpamit kepada sahabatku Memilih tempat
terpencil ini untuk menjalani sisa-sisa hidupku. Nah, itulah sebabnya, mengapa
aku menasihatimu agar berhati-hati dan
jangan sampai berurusan dengan Perkumpulan Tengkorak
Hitam!" Kanuraga terpaksa menghentikan larinya. Napasnya


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersengal-sengal. Dadanya terasa sesak dan panas. Sekujur
wajah dan tubuhnya telah basah oleh peluh yang menganak-
sungai. Pemuda gagah itu terduduk lemas dengan bertelekan
kedua lututnya. Menyapu wajahnya dengan kedua tangan
gemetar. "Aku tidak sengaja melakukannya, Guru.. ," rintih Kanuraga sambil merebahkan
tubuhnya, tengkurap di atas
rerumputan. Kanuraga merasa lelah. Lelah lahir-batin. Sampai akhirnya, tanpa
sadar ia pun tertidur.
* * * "Aaah. .!"
Bagai tersengat kalajengking, Kanuraga melompat ke belakang. Sepasang
matanya terbelalak lebar. Keringat dingin
merembes keluar, membasahi selebar wajahnya. Ia berdiri gemetar, memandang
tiga benda bulat di depannya. Benda itu
adalah. . tiga buah tengkorak kepala manusia
berwarna hitam!
Cahaya matahari pagi, yang menerobos dedaunan pohon,
membangunkan Kanuraga dari tidurnya. Sekujur tubuhnya
terasa pegal dan nyeri sewaktu ia menggeliat hendak bangkit.
Pakaiannya terkoyak di beberapa tempat, yang juga
menampakkan luka di kulit dan dagingnya. Goresan-goresan
ranting pohon sewaktu ia menerobos semak-belukar itu,
membangkitkan kesadaran Kanuraga tentang apa yang telah di alaminya. Seketika
itu juga, Kanuraga terlompat bangkit, tak peduli dengan rasa sakit pada sekujur
tubuhnya Dengan
senjata di tangan, Kanuraga mengawasi sekitar tempat itu.
"Aaah.. !"
Bagai tersengat kalajengking, Kanuraga melompat ke
belakang. Wajahnya pucat pasi! Sepasang matanya terbelalak lebar, seperti hendak
terlompat dari rongganya. Keringat
dingin merembes keluar, membasahi selebar wajahnya. Ia
berdiri gemetar, memandang tiga buah benda bulat di
depannya. Benda itu adalah. . tiga buah tengkorak kepala
manusia berwarna hitam!
Tanpa pikir panjang lagi, Kanuraga langsung membalikkan tubuh, lari sekencang-kencangnya meninggalkan
tempat itu. Rasa lelah dan sakit pada sekujur tubuhnya tak lagi terasa. Yang ada
dalam pikirannya adalah lari secepat-cepatnya dan sejauh-jauhnya dari tempat
itu. Apalagi dari belakangnya lapat-lapat terdengar suara gelak tawa yang
mendirikan bulu roma! Kanuraga semakin kalap dan mempercepat larinya. Tak
peduli meski napasnya terasa hampir putus!.
"Aaa. .!"
Kanuraga memekik kaget ketika kaki kanannya terasa
menginjak benda lunak, yang membuat tubuhnya seketika
tersentak, terbang meluncur di udara. Kejadian itu terlalu mendadak dan sama
sekali tak terduga. Sehingga, Kanuraga
tak sempat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dia terbanting jatuh ke dalam semak-
semak di tepi jalan.
"Kadal busuk! Sapi bunting! Monyet buta!" Makian itu meluncur dari mulut seorang
kakek, yang seperti telah
menghafalnya dengan baik. Seraya bergegas bangkit sambil
mengebut-ngebutkan pakaiannya yang disertai serangkaian
sumpah-serapahnya bagai tak berkesudahan. Sejenak sepasang matanya menyapu ke
sekitar itu. Laki diayunkan langkahnya
mendatangi Kanuraga, yang saat itu baru saja ke luar dari
dalam semak-semak.
Melihat ada seorang kakek cebol melangkah ke arahnya,
Kanuraga langsung saja menghunus senjata. Dan, dengan
menggertakkan giginya, dia bergerak maju menyambut
kedatangan kakek cebol itu.
"Hm.. , rupanya tua bangka cebol inilah yang menakut-
nakuti aku! Awas, akan kuhajar dia sampai menyembah-
nyembah minta ampun. .!" geram Kanuraga dalam hati sambil terus melangkah maju.
"Jadi kau yang tadi menginjakku, ya" Apa matamu sudah buta, tidak melihat ada
orang sedang tidur" Atau kau memang sengaja
ingin membunuhku?"
Tanpa menghentikan langkahnya, kakek cebol itu memaki sambil menunjuk-nunjuk
wajah Kanuraga dengan ujung tongkatnya, yang diangkat
tinggi-tinggi. Sebab, tubuh kakek ini cuma setinggi pinggang Kanuraga.
"Hmh, kau tidak perlu bersandiwara lagi, Tua Bangka
Cebol!" dengus Kanuraga setelah menghentikan langkahnya dalam jarak satu tombak
dari kakek cebol yang masih saja
bergerak mendekatinya.
"Kalau saja aku tahu bahwa cuma tua bangka sepertimu
yang mereka utus untuk menyiksa dan membunuhku, tentu
aku tidak perlu lari-lari seperti kemarin!"
"Kadal busuk! Kurang ajar kau, Muda Bangka! Sudah
menginjak tubuh orang seenak perut, eh, malah menuduhku
yang bukan-bukan! Kau memang perlu diberi pelajaran!"
Bukkk! Kanuraga menjerit kesakitan. Tubuhnya terpental akibat
hantaman tongkat kakek cebol itu, yang tahu-tahu saja sudah mendarat di tubuhnya
Kaget bukan kepalang hati Kanuraga
karena tidak melihat kapan kakek cebol itu menggerakkan
tongkatnya Selain itu, jarak mereka pun masih terpisah satu tombak. Benar-benar
tidak bisa ia mengerti, bagaimana kakek cebol itu dapat memukulnya.
"Perkumpulan Tengkorak Hitam dikepalai tokoh-tokoh
mengerikan yang perangai serta kepandaiannya melebihi iblis-iblis neraka!"
Perkataan gurunya kembali terngiang di telinga Kanuraga,
membuat wajahnya pucat pasi! Gambaran-gambaran
kekejaman serta keganasan orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam, kembali bermain-main di benaknya.
Sehingga, keberanian yang baru diperolehnya lenyap, berganti dengan rasa takut
yang hebat. Terlebih ketika teringat
perbuatan kakek cebol itu, yang entah dengan cara bagaimana telah memukul
tubuhnya "Ilmu setan. .!" desis Kanuraga dengan suara bergetar perlahan.
"Apa"!" Kakek cebol itu melotot marah. "Kau bilang aku setan" Dasar anak ingusan
kurang ajar! Rupanya kau masih
juga belum kapok, hah?"
Bukkk! Lagi-lagi tubuh Kanuraga terpelanting, kena hantaman
tongkat kakek cebol itu. Kali ini bahkan jauh lebih keras, membuat Kanuraga
merasa pinggangnya bagaikan patah!
Sambil merintih kesakitan ia menggeliat bangkit dan memijat-mijat pinggangnya
yang terasa panas dan sakit bukan main.
"Heh heh heh.. ! Itu baru permulaan, Muda Bangka!"
Kakek cebol itu terkekeh memperlihatkan mulutnya yang
sudah tak bergigi. Lalu, kembali mengayun langkah
menghampiri Kanuraga sambil memanggul tongkatnya di atas
bahu.Kali ini Kanuraga benar-benar takut bukan kepalang. Dan, puncak dari rasa
takut itu membuat dirinya bertindak nekat.
Karena ia sadar, melawan atau tidak, pada akhirnya kakek
cebol itu pasti akan membunuhnya juga. Dan, daripada mati
setelah mengalami siksaan-siksaan yang mengerikan, Kanuraga memilih mati dalam
bertarung semampunya.
"Majulah kau, Iblis Tengkorak Hitam! Tongkat bututmu
itu tidak akan bisa membunuhku sampai kapan pun! Justru
tubuhmulah yang akan kucincang sampai hancur dengan
pedangku ini!" Kanuraga berteriak-teriak keras seperti orang gila. Ia sengaja
memancing agar kakek cebol itu marah dan
langsung membunuhnya dengan sekali pukul.
"Sapi bunting! Kadal tengik! Kau benar-benar gendeng, Bocah! Tadi kau maki aku
sebagai setan, lalu sekarang
tengkorak! Dan entah makian apa lagi di kepalamu yang
kudisan itu" Tapi, jangan harap aku akan membunuhmu! Aku
akan menyiksamu sampai kau menjerit-jerit minta ampun! He
he heh.. ya, aku, Iblis Tengkorak Hitam akan memberimu
pelajaran, agar lain kali lebih bisa menghargai dan tahu
bagaimana harus bersikap terhadap orang tua!"
Berdebar dada Kanuraga demi mendengar ucapan kakek
cebol itu. Diam-diam ia mengeluh, karena tantangannya tadi ternyata tidak
berhasil memancing kemarahan kakek cebol itu, yang malah sepertinya telah dapat
mengetahui jalan
pikirannya. "Iblisss. .! Haaat. !"
Deraan rasa ngeri membuat Kanuraga putus asa dan
nekat. Maka, diterjangnya kakek cebol itu dengan pedang di tangannya. Karena, ia
tidak bisa berpikir lagi untuk memilih jurus-jurus andalannya. Yang ada dalam
pikirannya saat itu hanyalah menerjang dengan membabi buta dan ganas agar
kakek cebol itu lupa diri, lalu memukulnya hingga tewas.
Plak! Plak! Dug! Namun, sambil terkekeh memperlihatkan mulutnya yang
tanpa gigi, si Kakek Cebol menggerakkan tongkat secara
sembarangan. Meskipun demikian, serangan pedang Kanuraga
dapat dipatahkannya dengan baik. Bahkan sempat pula
menghadiahi satu hantaman keras di pangkal lengan kanan
Kanuraga, membuat pedang di tangan lelaki gagah itu
terpental lepas dari genggaman. Sedang tubuh Kanuraga
sendiri terlempar, lalu jatuh terguling-guling sejauh dua
tombak lebih. Kanuraga menyeringai menahan sakit. Hantaman tongkat
kakek cebol itu telah membuat lengan kanannya lumpuh tak
bisa digerakkan lagi. Bergegas ia merangkak bangkit. Sepasang matanya mendadak
meliar ketika ia melihat kakek cebol itu
masih tertawa-tawa dengan kepala menengadah. Jarak di
antara mereka cukup jauh, kurang lebih tiga tombak. Maka,
tanpa pikir panjang, Kanuraga langsung memutar tubuhnya,
lari tunggang-langgang menyelamatkan diri.
"Heh heh heh. .. Husya. . husya. .! Pegang! Pegang!" Kakek cebol itu tidak
berusaha mengejar. Bahkan tertawa dan
berteriak-teriak menakut-nakuti Kanuraga, yang lintang-
pukang tanpa memikirkan arah.
* * * Kanuraga menghempaskan tubuh lelahnya ke tanah,
bersandar pada sebuah batu besar di kaki sebuah bukit. Hal itu dilakukannya
setelah berlari cukup jauh, dan merasa yakin
kalau kakek cebol tidak mengejarnya. Di depan dan kiri-
kanannya terhampar padang rumput yang cukup luas. Dan,
sejauh mata memandang tak tampak sepotong pun manusia.
Kenyataan itu membuat hatinya sedikit lega. Dipejamkan
matanya sesaat disertai tarikan napas panjang guna
memperlambat detak jantungnya.
"Tidak ada jalan lain. Aku harus meminta pertolongan
dari sahabat-sahabatku. Mudah-mudahan mereka bersedia
membantuku.. ," desah Kanuraga yang merasa putus asa dan tak tahu lagi harus
bagaimana untuk menghindari orang-orang Perkumpulan Tengkorak Hitam.
Semula terlintas juga pikiran untuk menemui sang Guru
guna menceritakan semua kejadian yang dialaminya itu.
Namun niat itu terpaksa diurungkan, mengingat keadaan
gurunya yang selain cacat, juga sudah terlalu tua. Tidak!
Bantah Kanuraga. Ia tidak akan melibatkan gurunya dalam
masalah ini. Gurunya sudah cukup menderita akibat
perlakuan-perlakuan tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam. Kanuraga tidak ingin keadaan gurunya menjadi lebih
parah lagi. Apalagi dirinya saat itu selalu dihantui rasa takut terhadap tokoh-
tokoh perkumpulan itu. Baru kakek cebol itu saja, ia sudah dibuat tidak berdaya.
Padahal menurut
pikirannya, kakek cebol itu pasti tidak sendirian. Kanuraga yakin akan hal itu.
Karena suara gelak tawa yang lapat-lapat didengarnya, sewaktu melarikan diri
dari tiga buah tengkorak kepala manusia yang merupakan peringatan pertama
untuknya tadi, paling sedikit keluar dari mulut tiga orang. Dan, ia yakin pendengarannya
masih cukup baik.
Tiba-tiba perutnya berkeruyuk keras, dan terasa sakit
seperti diremas-remas. Karena sejak kemarin pagi ia memang belum makan apa-apa.
"Dasar perut tidak tahu diri!" Kanuraga memaki jengkel sambil menekan perutnya
Tapi, rasa lapar itu justru semakin kuat, membuatnya merasa tersiksa. Kanuraga
kembali mengutuk. Lalu mengambil sebuah batu sebesar kepalan
tangannya. "Nah, kau makanlah batu ini!" desisnya sambil menyelipkan batu itu ke
dalam lipatan sabuknya di bagian
depan. Rasa lapar itu baru agak sedikit berkurang setelah
perutnya diganjal dengan batu.
Beberapa saat kemudian, Kanuraga bergerak bangkit
sambil tetap mengawasi sekitar untuk mengenali daerah itu.
Lalu memutar tubuh memperhatikan bukit yang berdiri
menjulang di belakangnya. Diamatinya bukit itu sampai
beberapa saat lamanya
"Hra. ., kalau tidak salah, ini Bukit Tinjil.. ," gumam Kanuraga, yang kemudian
kembali memutar tubuhnya,
melemparkan pandangan ke arah selatan. "Seingatku ada beberapa orang sahabatku
yang tinggalnya tak jauh dari bulat ini," lanjutnya sambil mengangguk-anggukkan
kepala beberapa kali. Setelah memastikan arah yang bakal ditempuh, Kanuraga
memperhatikan sekelilingnya sejenak dengan wajah cemas.
Rasa lega membayang di wajahnya ketika tak terlihat adanya tanda-tanda yang
mencurigakan. Sesaat kemudian, Kanuraga melesat meninggalkan tempat
itu. Dia berlari dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.
Sepanjang perjalanan, berkali-kali ia berpaling ke belakang dengan wajah cemas.
Takut kalau-kalau para tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam akan membayanginya. Agak
heran juga Kanuraga ketika tidak ada perasaan takut dan was-was yang
mengganggunya saat itu. Padahal perasaan itu terus menghantuinya sejak ia
meninggalkan mayat dua orang tokoh


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perkumpulan Tengkorak Hitam yang dibunuhnya kemarin.
"Mungkinkah mereka telah kehilangan jejakku" Mengapa
sekarang aku tidak merasakan keberadaan mereka?" Pertanyaan-pertanyaan itu bergema di hatinya sambil terus
berlari. Kanuraga semakin jauh meninggalkan Bukit Tinjil,
yang masih tetap berdiri diam tak peduli dengan apa yang
dialami anak manusia itu.
* * * 3 Kanuraga berdiri termangu di depan sebuah bangunan
besar dan kokoh, yang dikelilingi tembok batu setinggi satu tombak. Hatinya
merasa ragu untuk memasuki bangunan itu.
Meskipun dia tahu pasti rumah besar itu dihuni sepasang
suami istri yang merupakan sahabat-sahabatnya. Keraguan
terus menggayut di hatinya, karena beberapa tempat yang
didatangi semua menolak kehadirannya. Jangankan untuk
minta pertolongan, melihat kedatangannya saja sudah
membuat sahabat-sahabatnya itu hampir mati ketakutan.
Bahkan mereka langsung berkemas untuk meninggalkan
rumahnya. Sedang yang memiliki perguruan, langsung
membubarkan murid-murid, menutup rumah perguruannya,
lalu pergi mengungsi. Sikap sahabat-sahabatnya itu, membuat Kanuraga sangat
terpukul. Dirinya sekarang merasa tak
ubahnya dengan wabah penyakit, yang membuat semua
sahabat menjauhinya, takut tertular. Itulah sebabnya, mengapa kali ini Kanuraga
merasa ragu untuk masuk menemui suami
istri sahabatnya itu. Padahal ini merupakan tempat terakhir yang , didatanginya
di daerah itu. "Haruskah aku mengusik ketenangan dan kebahagiaan
mereka. ?" gumam Kanuraga sambil menghela napas berat, seolah hendak membuang
semua tekanan yang menghimpit
batinnya. Mata sayunya memandangi pintu gerbang yang
masih tertutup rapat itu. Cukup lama ia berdiri seperti patung.
Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya. Sampai
akhirnya ia mengambil sebuah keputusan.
Dengan langkah gontai, Kanuraga menghampiri pintu
gerbang. Setelah berdiri termangu beberapa saat dia mengetuk pintu itu. Berkali-
kali diketuknya, lalu berdiri menunggu.
Setelah cukup lama menunggu tapi tak juga ada tanda-tanda
pintu gerbang itu akan dibuka, Kanuraga kembali mengetuk.
Kali ini jauh lebih keras, membuat pintu gerbang itu bergoyang dan berderit
terbuka. Rupanya pintu itu memang tidak
terkunci. Kendati agak ragu, didorongnya pintu itu perlahan.
Namun baru saja terbuka separuh, sesosok tubuh melayang
dari atas, menuju ke arahnya. Secepat kilat Kanuraga
menghantamkan telapak tangannya ke sosok tubuh itu.
Dieg! Sosok tubuh itu terpental deras akibat pukulan telak
Kanuraga. Namun bukan main kaget hati lelaki gagah itu
ketika orang yang dipukul itu kembali melayang ke arahnya, padahal belum sampai
jatuh te tanah. Bergegas Kanuraga
menarik mundur tubuh ke belakang dengan tangan sudah
dikepal kuat-kuat, siap melancarkan pukulan maut.
"Eh"!"
Kanuraga tersentak kaget. Wajahnya tampak tegang
dengan kening berkerut. Sesuatu yang hangat dan basah terasa di telapak
tangannya sewaktu ia mengepal Dan. ., betapa
terkejutnya Kanuraga ketika ia membuka telapak tangan,
tampak cairan merah di selebar telapak tangannya. Darah!
Masih dengan kepala dipenuhi berbagai pertanyaan,
Kanuraga menoleh ke arah tubuh yang tengah melayang itu.
Dan, baru ia sadar ketika sosok tubuh itu terayun-ayun dengan seutas tali yang
melibat lehernya, dan diikatkan ke kayu palang di atas pintu gerbang. Kanuraga
menahan tubuh itu hingga
terhenti. "Orang ini belum lama tewas. Entah siapa yang telah
sedemikian kejam menggantung mayatnya seperti ini?" gumam Kanuraga ketika
melihat adanya tetesan darah berjatuhan ke tanah mengalir dari luka tusukan
senjata tajam di dada orang itu. Dari luka itulah darah di telapak tangan
Kanuraga berasal.
Dan, Kanuraga baru dapat mengira-ngira bahwa mayat itu
sengaja digunakan untuk menyambut kedatangannya. Pemuda
itu mengetahuinya setelah memeriksa tali pengikat leher mayat yang dihubungkan
ke pintu gerbang. Mayat itu akan jatuh dan menimpa siapa saja yang hendak masuk
lewat pintu gerbang.
"Mungkinkah mereka yang melakukannya.. ?" Kanuraga teringat akan tokoh-tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam.
Dugaan itu membuat wajahnya memucat. Dia cepat bergerak
masuk karena teringat akan suami-istri sahabatnya. Hatinya semakin gelisah
ketika di pekarangan sebelah dalam bangunan itu, didapatinya enam sosok lainnya
bergeletakan telah menjadi mayat!
"Prajayasa. .!" sambil berteriak-teriak memanggil nama sahabatnya, Kanuraga
melompat masuk ke dalam bangunan.
Langkahnya mendadak terhenti di sebuah ruangan. Sepasang
matanya terbelalak lebar, menyaksikan pemandangan yang
membuat ia terpaku dengan tubuh gemetar.
"Ya, Tuhan. .!"
Dengan langkah berat dan gontai, Kanuraga menghampiri
dua sosok mayat yang terkapar di lantai, bersimbah darah yang masih basah.
"Akukah yang menjadi penyebab semua ini.. ?" desis Kanuraga sambil bersimpuh
memeriksa mayat Prajayasa dan
istrinya. Sepasang suami-istri itu tewas dengan kepala pecah.
Kanuraga menarik napas panjang dengan kedua mata
terpejam. Kepalanya menggeleng perlahan seperti hendak
membantah dugaannya sendiri.
Beberapa saat kemudian, Kanuraga bergerak bangkit
dengan sekujur tubuh terasa lemas. Ketika berdiri, pandangannya membentur coretan-coretan di dinding yang
ditulis dengan darah.
Malaikat maut akan selalu membayangimu!
Kau akan segera menyusul mereka!
Di bagian bawah dua baris kalimat itu tertera lambang
Perkumpulan Tengkorak Hitam. Keringat dingin kembali
membanjir keluar, membasahi wajah dan tubuh Kanuraga.
Terdengar keluhan penyesalannya, karena merasa dialah yang menyebabkan kematian
sepasang suami-istri sahabatnya.
"Mengapa tidak aku saja yang kalian bunuuuh. .! Hei,
Iblis-Iblis Tengkorak Hitam! Tangkaplah aku, mereka tidak
tahu apa-apa! Akulah musuh kalian! Hayo, tunjukkanlah
wajah-wajah iblis kalian. .!"
Kanuraga berteriak-teriak kesetanan, seperti orang gila.
Menantang, memaki, dan menyumpah-nyumpah dengan suara
yang semakin parau, karena teriakan itu dikeluarkan dengan sekuat tenaga. Sampai
akhirnya ia terduduk lemas, lalu
menangis tanpa suara ataupun air mata. Dengan kedua telapak tangan dia mengusap
wajah sambil menyibakkan rambutnya
yang panjang. Tubuhnya berguncang-guncang menahan
luapan berbagai perasaan yang menyiksa. Marah, sedih,
dendam, ngeri, dan juga rasa takut yang tak terkira.
"Hm.. !"
Bagai mendengar ledakan halilintar, Kanuraga terjingkat
kaget, sampai terpelanting jatuh! Matanya membelalak lebar, memandang tiga sosok
rubuh yang tahu-tahu telah berada di
ruangan itu. "Siapa kalian. ." Apa yang kalian cari di tempat ini. ?"
Pertanyaan bodoh itu terlontar begitu saja dari mulut
Kanuraga. Kemunculan ketiga sosok tubuh yang begitu tiba-
tiba, tanpa diketahui kapan dan dari mana datangnya itu,
membuatnya gugup. Otaknya serasa beku dan tidak bisa diajak berpikir.
"Bukankah kau yang menyuruh kami datang?" Salah satu dari ketiga sosok tubuh itu
menyahuti sambil menatap
Kanuraga dengan sorot mata bengis. Suaranya berat dan
dalam, bergema memenuhi ruangan itu
"Kalian. . kalian...!"
"Benar!" Sosok kedua langsung memotong. Suaranya tidak berbeda dengan yang
pertama. Sorot matanya yang dingin,
membuat tubuh Kanuraga seketika menggigil.
"Rupanya kau sudah tidak sabar untuk menerima
ganjaran atas perbuatanmu yang telah menewaskan dua orang
anggota kami itu!" Sosok ketiga menimpali. Suaranya tenang dan
datar, tanpa tekanan sama sekali Bibirnya menyunggingkan senyuman yang aneh.
Namun, justru sikap sosok ketiga itulah yang membuat
Kanuraga merasa ngeri. Karena, semakin tenang dan dingin
sikap yang ditunjukkan tokoh-tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam, semakin ganas dan kejam tindakannya. Itu merupakan
ciri mereka, yang didengar Kanuraga dari gurunya
"Haaa. !"
Cengkaraman rasa ngeri dan takut yang kian memuncak,
membuat Kanuraga menjadi kalap. Bagai orang gila,
diterjangnya ketiga sosok tubuh itu dengan nekat. Pedang di tangannya
berkelebatan ke sana kemari tak beraturan.
Pengaruh menggiriskan yang ditimbulkan ketiga sosok itu,
membuat Kanuraga tidak bisa berpikir dengan baik. Sehingga meskipun ia menyerang
dengan sekuat tenaga, gerakannya
sangat kacau dan tak tentu arah.
Wrettt! Blukkk! Dengan kecepatan luar biasa sosok ketiga bergerak
menyelinap di antara kelebatan pedang Kanuraga. Lalu
mengirimkan sebuah hantaman telak, yang membuat Kanuraga
terlempar deras membentur dinding tembok di belakangnya.
Meskipun dadanya dirasakan sesak dan tulang-tulang
tubuhnya seperti remuk, Kanuraga berusaha bangkit. Akan
tetapi sebelum ia sempat berdiri tegak, tahu-tahu saja jemari tangan lawan telah
mencengkeram kedua pergelangan kakinya.
Kanuraga berteriak-teriak sewaktu merasa tubuhnya terangkat dan diputar seperti
baling-baling. Lalu terhempas kembali ke dinding
Kanuraga mengerang dengan menyeringai menahan sakit
Pandangannya terasa berputar sewaktu ia mencoba untuk
bangkit dan berdiri. Digelengkan kepalanya beberapa kali guna memperbaiki
pandangannya. Samar-samar, dilihatnya ketiga
tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam telah berdiri berjajar di hadapannya
'Terimalah ganjaran pertama kami. .!"
Belum lagi gema suara tenang dan datar itu lenyap,
Kanuraga merasa sekujur tubuhnya mendadak lemas. Totokan
kilat yang dilancarkan tokoh ketiga itu, membuat tubuhnya
melorot ke lantai. Kanuraga menjerit ketika jari-jari tangan sekuat japitan baja
itu mencengkram pergelangan kakinya.
Lalu, dengan menggunakan jari-jari tangan kanannya, lelaki berwajah dingin itu
mencabut kuku-kuku jari kaki kanan
Kanuraga. Karuan saja pemuda gagah itu meraung dan
melolong setinggi langit. Air matanya mengucur deras
merasakan penderitaan yang seumur hidup tidak pernah
terbayangkan itu.
Setelah melepaskan totokannya, tokoh ketiga itu bergegas
bangkit. Terdengar tawa iblis mereka, yang tampaknya sangat puas melihat tubuh
Kanuraga bergulingan dan berkelojotan
bagai ayam disembelih. Darah segar mengalir dari jari-jari kaki kanannya.
Tiba-tiba ketiga tokoh iblis itu menghentikan gelak
tawanya. Mereka bertukar pandang sesaat, lalu serentak
berpaling ke arah pintu. Telinga mereka mendadak menangkap adanya suara langkah
kaki mendatangi ruangan itu.
Tidak lama kemudian, yang dinanti pun datang. Seorang
pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian
serba hijau menyeruak masuk ke ruangan itu. Sepasang orang muda itu tampak
terkejut demi menyaksikan pemandangan di
hadapannya. Mereka menyapu sekeliling ruangan sampai
akhirnya terhenti ketika membentur tiga sosok tubuh yang
berdiri tegak dengan wajah bengis dan sorot mata dingin.
"Pergilah, jangan campuri urusan kami. .!" Salah satu dari ketiga tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam memperingatkan.
Sejenak pasangan muda itu tampak meragu. Keduanya
bertukar pandang sebentar, lalu kembali berpaling menatap
wajah-wajah bengis itu
"Kami datang karena mendengar suara jeritan orang yang kesakitan." Pemuda tampan
berjubah putih berkata sambil memandang Kanuraga, yang tengah duduk bersandar
pada dinding sambil memijat-mijat kaki kanannya.
"Apa sebenarnya yang sudah terjadi" Dan mengapa kalian sampai berlaku sedemikian
kejam membunuhi penghuni
ruangan ini" Kesalahan apa yang telah mereka perbuat?"
"Anak Muda," ujar tokoh kedua. Suaranya dalam dan berat. "Apakah kau masih
sayang dengan nyawamu, juga
bidadari jelitamu itu?"
"Bagaimana dengan kalian. .?" Pemuda tampan berjubah putih itu balik bertanya,
karena merasa pertanyaannya sendiri tidak mereka pedulikan. Selain itu,
tampaknya dia sudah dapat membaca gelagat Dia merasa yakin bahwa ketiga lelaki,
yang usianya ditaksir rata-rata empat puluh tahunan itu, bukanlah orang baik-
baik Maka pemuda berambut panjang yang ternyata Panji itu tak segan-segan untuk
mengambil sikap.
"Kau mencari penyakit, Anak Muda!" tukas tokoh ketiga datar sambil mengayun
langkahnya menghampiri Panji.
Tanpa banyak bicara lagi, ia langsung melayangkan
sebuah tamparan ke mulut Panji.
Plak! Tokoh ketiga itu tak bisa menyembunyikan kekagetannya,
sewaktu tangkisan Panji membuatnya terjajar tiga langkah!
Kenyataan itu membuat wajahnya tampak memerah. Sorot
matanya yang dingin berubah berkilat, menandakan kalau
kemarahannya mulai terbangkit. Lalu, dengan sebuah bentakan keras, tubuhnya
kembali melesat dengan serangan-serangan
yang ganas dan mematikan! Namun, serangan itu sama sekali
tidak membawa hasil. Panji yang menggunakan kelincahan


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya, selalu dapat menghindar dan mematahkan dengan
tangisan. Bahkan setelah lewat dari lima jurus, Panji mulai melepaskan serangan-
serangan balasannya.
"Hei. .!?"
Lelaki berwajah dingin itu terpekik ketika merasakan
sambaran angin dingin yang sangat kuat mengiringi serangan balasan Panji. Cepat
ia melompat mundur dengan wajah
berubah tegang.
"Anak Muda, kaukah yang berjuluk Pendekar Naga
Putih?" tanyanya sambil meneliti sosok Panji.
"Benar," jawab Panji singkat dan tanpa tekanan.
"Hm.. , kau telah melibatkan dirimu dalam sebuah
persoalan besar, Pendekar Naga Putih!" Lelaki berwajah dingin itu mendengus.
Lalu memberikan isyarat dengan gerakan
tangan kepada kedua kawannya, yang langsung saja
berlompatan maju.
Melihat ketiga orang berpakaian serba hitam itu
bermaksud mengeroyok Panji, Kenanga langsung melompat
maju dan berdiri di samping kekasihnya
"Hm.. !" Lagi-lagi si Lelaki berwajah dingin mendengus.
Tampaknya ia agak ragu ketika melihat Kenanga ikut maju.
Sejenak ketiganya saling bertukar pandang, seolah hendak
minta pendapat masing-masing.
"Kami akan memberi waktu kepadamu untuk berpikir,
Pendekar Naga Putih. Satu hal yang perlu kau ingat, bahwa
mulai saat ini kau telah berurusan dengan orang-orang
Tengkorak Hitam!" Setelah berkata demikian, lelaki berwajah dingin itu
berkelebat pergi diikuti kedua lawannya.
"Hei, tunggu.. !"
Panji melompat untuk mencegah kepergian ketiga orang
itu. Namun terpaksa dibatalkan niatnya dan kembali melompat mundur. Sebab, salah
seorang dari ketiga tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam itu telah melemparkan
sebuah benda yang
menimbulkan gumpalan asap tebal berwarna putih. Dan, ketika gumpalan asap putih
itu pudar, ketiga orang itu telah lenyap dari situ.
"Perkumpulan Tengkorak Hitam.. "!"
Pendekar Naga Putih termenung sambil bergumam
mengulang nama perkumpulan sesat itu. Lalu, menoleh kepada Kenanga, karena ia
belum pemah mendengar tentang nama
perkumpulan itu. Namun Kenanga cuma mengangkat bahu.
"Eh, ke mana perginya lelaki yang tadi bersandar di
dinding itu.. ?" Ketika pandangannya membentur dinding di depannya, Kenanga baru
teringat dengan pemuda yang tadi
dilihatnya duduk bersandar di dinding
"Hm.. , mungkin ia telah pergi sewaktu aku berkelahi. .,"
duga Panji yang jadi tak begitu peduli dengan Kanuraga,
karena tadi masih sibuk memikirkan Perkumpulan Tengkorak
Hitam. Dugaan Panji memang tidak keliru. Ketika melihat
perhatian ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam
terpusat kepada pasangan muda yang menerobos masuk ke
dalam ruangan itu, Kanuraga menyeret tubuhnya sedikit demi sedikit. Dan, sewaktu
pertarungan antara Panji dengan salah seorang tokoh Perkumpulan Tengkorak Hitam
berlangsung, Kanuraga bergegas menyelinap keluar dari ruangan itu. Tak
seorang pun yang menyadarinya. Karena saat itu perhatian
Kenanga maupun dua orang tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam lainnya tengah terpusat ke arena perkelahian.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?" tanya Kenanga, menyadarkan Panji
dari lamunannya.
Setelah terdiam sesaat, Panji mengajak Kenanga untuk
segera mengurus mayat-mayat yang berada di tempat itu.
Kemudian mengutarakan keinginannya untuk menyelidiki
Perkumpulan Tengkorak Hitam.
* * * Pendekar Naga Putih dan Kenanga sama menahan
langkah ketika melihat adanya sesosok tubuh yang berdiri
menghadang perjalanan mereka. Saat itu mereka tengah
melintasi sebuah hutan. Merasa curiga melihat sikap sosok
tubuh yang berdiri membelakangi mereka itu, keduanya
menjadi waspada. Lalu, dengan langkah perlahan keduanya
bergerak maju. "Kalau kalian bermaksud untuk menyelidiki Perkumpulan Tengkorak Hitam, sebaiknya
batalkan saja niat itu!"
Terdengar suara bernada aneh dan sengau. Panji dan
Kenanga sama-sama menunda langkah, lalu saling bertukar
pandang sejenak. Mata keduanya terus menatap sosok tubuh
yang membelakangi mereka.
"Mengapa?" tanya Panji penasaran.
"Jangan banyak tanya! Turuti saja perintahku! Atau kalian akan menyesal seumur
hidup!" Kali ini sosok berperawakan tinggi besar, yang
menggenggam sebuah tombak bulan sabit itu terdengar aneh
dan sengau. Rupanya orang itu mengenakan sebuah topeng
berwarna merah darah. Topeng itu mengingatkan Panji akan
cerita-cerita rakyat tentang wajah-wajah raksasa, bengis dan menyeramkan. "Jika
kami menolak.. ."
Baru saja ucapan Panji selesai, tahu-tahu sosok tubuh yang mengenakan topeng
raksasa itu menerjangnya dengan cepat
dan ganas. Whuuuk. .! Panji menggeser langkahnya dan membungkuk menghindari sambaran tongkat bulan sabit itu. Terus
berlompatan ke belakang karena serangan itu masih terus
berkelanjutan. Agak kewalahan juga Panji menghindari
serangan cepat dan ganas itu. Sepertinya tidak memberikan
kesempatan baginya untuk membalas.
Bug! Pada jurus ketiga, ketika baru saja Panji melompat ke
samping menghindari tusukan tembak bulan sabit itu, sebuah tendangan kilat
singgah di punggungnya. Tubuh Panji
terlempar jatuh bergulingan di tanah berumput.
"Haiiit. .!"
Ketika lelaki bertopeng raksasa itu hendak menyusuli
serangannya, Kenanga membentak keras sambil melompat dan
membabatkan pedangnya. Lelaki itu bergegas mengangkat
tombak bulan sabitnya, menapaki sambaran pedang Kenanga.
Trang! Kaget bukan kepalang hati Kenanga ketika tangkisan itu
membuat tubuhnya terpental balik. Jemari tangannya terasa
sakit bukan main, seperti patah dan nyaris tak kuat
mempertahankan pedangnya.
Lelaki bertopeng raksasa tampak ragu untuk melanjutkan
serangannya, la berdiri termangu dengan kepala terangguk-
angguk. "Ini sebagai peringatan pertama!" desisnya sebelum berkelebat pergi meninggalkan
tempat itu Sebentar saja
sosoknya telah lenyap ditelan kelebatan pohon.
Tak berapa lama setelah kepergian lelaki bertopeng
raksasa itu, Panji dan Kenanga mendengar suara orang
bernyanyi yang diselingi ketukan di tanah. Sejenak keduanya saling berpandangan.
* * * 4 "Kakek Peramal Sinting. .!?"
Panji dan Kenanga sama mengucapkan nama julukan itu.
Meskipun saat itu keduanya belum melihat, tapi dari suara dan ketukan pada
tanah, mereka sudah dapat menebak, siapa
adanya orang itu.
"Kakek Peramal Sintingkah yang menyebabkan orang itu
pergi. .?" gumam Panji teringat akan tokoh bertopeng raksasa yang tiba-tiba saja
memutuskan untuk pergi.
"Rasanya memang demikian, Kakang," sahut Kenanga yang mempunyai pikiran serupa
dengan kekasihnya.
Pikiran Panji dan Kenanga memang tidak meleset. Tak
berapa lama kemudian, muncullah seorang kakek cebol
menghampiri mereka sambil terkekeh-kekeh, memperlihatkan
giginya yang nyaris tak bergigi lagi. Melihat kakek cebol itu, Panji dan Kenanga
bergegas menyambutnya.
"Hm.. , rasanya aku seperti mencium adanya bau salah
satu tokoh puncak Perkumpulan Tengkorak Hitam" Benarkah
ia baru saja berlalu dari sini" Apakah kalian bentrok dengan perkumpulan itu"
Bagaimana hal itu sampai bisa terjadi?"
Pedang Keadilan 35 Kampung Setan Karya Khulung Peristiwa Burung Kenari 4
^