Pencarian

Bayang Bayang Maut 3

Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut Bagian 3


terbakar api kemarahan. Tubuhnya kembali berputar
menghadapi Kanuraga. Ditekannya rasa ngeri ketika melihat
raut wajah berlumur darah dan sorot mata yang tinggal sebelah itu. Hatinya
sempat bergidik menyaksikan mata kanan
Kanuraga yang cuma berupa rongga meneteskan darah itu.
Lalu ia mendengus keras-keras seperti hendak mengusir rasa gentar dan ngeri yang
membuat dadanya berdebar.
Wrett! Sambil berteriak keras, tokoh berwajah brewok itu
menerjang Kanuraga dengan sambaran pedangnya. Namun
bukan main kaget hatinya sewaktu pedang itu kembari
terpental balik. Padahal Kanuraga sama sekali belum bergerak.
Dan pedangnya pun belum sempat menyentuh sasaran.
Hatinya semakin penasaran bukan main. Lalu kembali
membabat tubuh Kanuraga berkali-kali. Tapi, serangannya
bukan saja tidak berhasil, bahkan tubuhnya tiba-tiba terpental deras tanpa
diketahui penyebabnya.
"Iblis busuk, tunjukkan rupamu. .!" Dalam kekalapan dan hati mulai dicekam rasa
ngeri, tokoh brewok itu berteriak dan mengutuk sejadi-jadinya. Baru saja
ucapannya selesai, tahu-tahu saja ia merasakan tubuhnya mendadak kaku. Dia
berusaha mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk
melepaskan diri dari belenggu yang tak tampak itu. Tapi sia-sia! Semakin keras
ia berusaha memberontak, semakin keras
pula kekuatan tenaga aneh yang mengunci dirinya. Merasakan hal yang tak masuk di
akal itu, tokoh brewok tak bisa lagi menahan
perasaan ngeri dan takut yang seketika mencengkeram hatinya. Apalagi ketika melihat Kanuraga
melangkah kaku ke arahnya. Bukan main takut dan ngerinya
hati tokoh berwajah brewok itu.
"Nah, sekarang kau rasakanlah, bagaimana perasaan
korban-korbanmu yang telah kau siksa sebelum kau bunuh
itu. .!" Suara tanpa wujud itu kembali menggema. Kali ini tokoh
berwajah brewok itu tidak bisa menjawab lagi. Rasa ngeri dan takut, yang selama
ini dirasakan korban-korbannya, kini benar-benar dialaminya. Tokoh brewok itu
merasa takut bukan main.
Padahal biasanya ia justru menertawakan korban-korbannya
yang ketakutan dan merintih-rintih minta ampun.
Sementara itu, Kanuraga yang sudah semakin dekat,
menghentikan langkahnya dalam jarak kurang dari sejangkauan tangan. Tanpa peduli betapa tokoh brewok itu
berteriak merintih dan mengiba, tangan Kanuraga dengan jari-jari terbuka
langsung menusuk dada lawan. Darah segar
berhamburan diiringi jeritan panjang yang menggiriskan hati.
Ketika Kanuraga mencabut tangannya yang terbenam hingga
mencapai pergelangan, tokoh berwajah brewok itu langsung
melorot jatuh. Tubuhnya menggelepar dengan mata terbelalak.
Sebentar kemudian, tokoh itu pun tewas dengan mata tetap
membelalak lebar.
* * * 7 Setelah selesai menghabisi ketiga orang lawannya, tiba-
tiba saja tubuh Kanuraga melorot jatuh terduduk. Kanuraga
heran bukan main ketika merasakan kekuatan gaib yang
membantunya lenyap begitu saja. Tubuhnya kembali terasa
lemas tak bertenaga. Meskipun demikian, Kanuraga merasa
sangat bersyukur. Karena, dengan bantuan tenaga aneh yang
tidak diketahui dari mana datangnya itu, ia telah dapat
membunuh ketiga orang tokoh Perkumpulan Tengkorak
Hitam. Ingatan tentang siksa yang dilakukan ketiga orang itu,
membuat Kanuraga baru sadar dan kembali merasakan sakit
pada mata kanannya yang kini telah bolong. Lelaki muda
bertubuh gagah itu mengeluh sambil meraba mata kanannya,
yang terasa ngilu dan nyeri ketika hembusan angin
menerpanya. "Heh heh heh. .! Sebaiknya matamu itu segera diobati. . "
Suara yang mengejutkan dan terdengar dekat di samping
telinganya itu, membuat Kanuraga terjingkat saking kagetnya.
Kanuraga segera memutar tubuhnya.
"Aaah.. !"
Kanuraga menjerit tertahan. Tubuhnya mencelat ke
belakang sampai satu tombak lebih! Wajahnya berubah pucat
seperti kertas, ketika melihat sosok seorang kakek cebol, yang entah kapan
datangnya, tahu-tahu sudah berada di samping
Kanuraga. "Jangan takut! Aku bukan orang Perkumpulan Tengkorak
Hitam." Kakek cebol yang tak lain Kakek Peramal Sinting, berusaha menenangkan
Kanuraga. "Behar, Sahabat. Malah Kakek Peramal Sinting inilah yang tadi menolongmu."
Kanuraga berpaling kepada pemilik suara itu. Dan, baru ia
sadar kalau kakek cebol itu tidak datang sendirian. Ditatapnya sosok pemuda
tampan berpakaian serba putih itu. Lalu, melirik ke sosok seorang dara jelita
berpakaian serba hijau. Melihat sepasang orang muda itu, Kanuraga langsung
mengenalinya. Karena mereka pernah dia lihat sewaktu menolongnya di
tempat kediaman Prajayasa. Pasangan orang muda yang
datang bersama Kakek Peramal Sinting memang Pendekar
Naga Putih dan Kenanga.
"Mengapa. ., mengapa kalian menolongku.. "!" tanya Kanuraga, yang membuat Kakek
Peramal Sinting tertawa
mengekeh. Bagi orang lain pertanyaan itu memang terdengar
aneh dan tolol. Namun tidak bagi Kanuraga. Karena
belakangan ini dirinya telah mengalami berbagai peristiwa
hebat, yang membuat jiwa tergoncang dan nyaris gila.
Penduduk beberapa desa mengusir dan menuduh dirinya
sebagai pembunuh bahkan ada yang mengeroyok hendak
membunuh. Sahabat-sahabatnya tidak bersedia membantu, dan
malah menganggap dirinya sebagai pembawa malapetaka.
Semua peristiwa itulah, yang membuat Kanuraga belum bisa
menerima kebenaran ucapan Pendekar Naga Putih.
"Mengapa kami menolongmu?" Kakek Peramal Sinting mengulangi petanyaan itu sambil
terkekeh. "Tentu saja karena kau membutuhkan pertolongan," lanjutnya sambil
menoleh kepada Panji dan Kenanga. Kepalanya terangguk-angguk,
seperti hendak meminta dukungan pasangan pendekar muda
itu Dan, kakek cebol itu terkekeh puas ketika Kenanga dan
Panji buru-buru mengangguk.
"Tapi. . "
"Haihhh, sudahlah. .!" Kakek Peramal Sinting menepiskan lengannya di udara.
"Wajahmu sudah banyak menceritakan tentang apa saja yang telah kau alami. Aku
sudah tahu.. aku sudah tahu. .," lanjutnya. Kakek Peramal Sinting memang tidak
berkata dusta. Karena hanya dengan melihat raut wajah
seseorang, kakek cebol ini sudah bisa menebak apa yang
terpikir dan peristiwa apa saja yang tertanam dalam pikiran orang itu.
"Kau lupa kalau yang menolongmu berjuluk Kakek
Peramal Sinting?" ujar Panji mengingatkan Kanuraga.
"Peramal Sinting.. !?" desis Kanuraga sambil menatap sosok kakek cebol itu
dengan mata terbelalak lebar. Tadi ia memang tidak begitu memperhatikan, sewaktu
Panji menyebut julukan kakek itu.
"Haiii. ., untuk apa menggembar-gemborkan nama
julukan kosong itu, Pendekar Naga Putih?" Kakek Peramal Sinting kembali
menepiskan lengannya di udara. Dan, ia
memang sengaja hendak membalas, karena ia tahu bahwa
julukan Panji sangat terkenal dan merasa yakin kalau Kanuraga pernah
mendengarnya. "Kau. . benarkah kau. . Pendekar Naga Putih. ."!"
"Hei, kau tidak percaya denganku?" Kakek Peramal Sinting agak jengkel ketika
mendengar Kanuraga masih minta penegasan dari Panji.
"Benar, Sahabat. Aku memang dijuluki sebagai Pendekar Naga Putih," ujar Panji
sambil tersenyum dan mengangguk kepada
Kanuraga, yang masih terbengong-bengong.
Nampaknya Kanuraga tak menyangka kalau di tempat itu ia
akan berjumpa dengan tokoh-tokoh yang nama besarnya telah
terkenal di kalangan persilatan. Terutama Pendekar Naga
Putih, yang didengarnya telah banyak menaklukkan tokoh-
tokoh sakti golongan hitam. Nama Kakek Peramal Sinting
sendiri didengar dari,cerita gurunya. Sedangkan mengenai
sepak tenang kakek cebol itu, Kanuraga belum pernah
mendengarnya. Hal itu tidak aneh, karena Kakek Peramal
Sinting boleh dibilang hampir tidak pernah muncul di kalangan persilatan.
Kalaupun pernah, itu cuma sekelebatan saja.
Hingga, kecuali tokoh-tokoh tua, jarang ada yang mengenal
nama Kakek Peramal Sinting
"Sudah. . sudah, kalau mau berbicara nanti saja! Sekarang yang paling penting
harus segera mengobati matamu." Ucapan Kakek Peramal Sinting membuat Kanuraga
menelan kembali
kata-kata yang siap terlontar dari mulutnya. Teringat akan luka pada mata
kanannya, Kanuraga kembali meringis sambil
menutupnya dengan telapak tangan, menghindari terpaan
angin yang masuk ke rongga mata itu.
Kanuraga tidak menolak ketika Kakek Peramal Sinting
menyeret lengannya dan mendudukkannya di atas rerumputan
di bawah sebatang pohon. Panji dan Kenanga ikut duduk tak
jauh dari kedua orang itu. Dan, ketika Kakek Peramal Sinting memintanya untuk
segera mengobati luka Kanuraga, tanpa
banyak cakap lagi Panji segera melakukannya.
* * * Di tengah sebuah belantara yang ditumbuhi pohon-pohon
raksasa, berdiri sebuah bangunan besar yang kokoh mirip
sebuah benteng. Di kiri-kanan bangunan besar itu, terdapat sepuluh buah rumah
berbentuk sederhana. Meskipun cuma
terbuat dari kayu, rumah-rumah itu tampak kokoh dan kuat
Rumah-rumah sederhana itu adalah tempat tinggal anggota-
anggota Perkumpulan Tengkorak Hitam. Sedangkan bangunan
besar yang meskipun sudah tua namun terlihat masih sangat
kokoh itu, ditempati pimpinan-pimpinan perkumpulan itu.
Saat itu, di dalam sebuah ruangan cukup luas yang
biasanya menjadi tempat pertemuan, teriihat seorang lelaki yang mengenakan
topeng tengkorak berwarna hitam, duduk di
atas kursi berkaki gading. Sorot mata di balik topeng tengkorak itu tajam
menggiriskan, dan tertuju kepada sosok yang tengah berdiri di depannya. Sosok
tinggi itu mengenakan topeng
wajah raksasa bengis berwarna merah.
Di sebelah kiri lelaki bertopeng tengkorak hitam, duduk
sosok lain, yang juga mengenakan topeng serupa. Bedanya,
sosok tubuh ini berperawakan ramping. Rambutnya yang
panjang tampak mengkilap seperti diminyaki. Sosok kedua itu jelas seorang
perempuan yang sudah cukup umur. Karena
dialah istri dari Raja Tengkorak Hitam, yang usianya telah mencapai sekitar enam
puluh lima tahun. Seperti halnya Raja Tengkorak Hitam, perempuan itu pun tampak
tengah menatap lurus ke depan dengan sinar mata yang tidak kalah tajam
dengan suaminya.
"Hm.. , apakah kau tidak salah, Topeng Merah?"
Terdengar suara Raja Tengkorak Hitam meminta kepastian dari lelaki yang berjuluk
Topeng Merah itu. Nada suaranya
demikian halus dan lembut. Sama sekali tidak mencerminkan
watak licik dan kejam. Bahkan kedengarannya seperti orang
tua yahg berhati bijaksana. Namun, justru di balik tutur
katanya yang lembut itulah tersembunyi watak jahat dan
kejam. "Aku bukan cuma melihatnya, Ketua. Tapi, juga
mendengar Pendekar Naga Putih menyebut namanya." Topeng Merah memberi kepastian
dengan suara mantap.
"Hm.. , kalau si Cebol itu sudah berani menampakkan
dirinya lagi, berarti ada kemungkinan tokoh-tokoh tua lainnya pun akan
bermunculan pula. .," gumam Raja Tengkorak Hitam sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Untuk apa kau merisaukan semua itu, Suamiku" Kalau
memang Peramal Sinting ataupun Raja Obat berani muncul
lagi, kita beresi saja mereka. Habis perkara!" Istri Raja Tengkorak Hitam, yang
berjuluk Ratu Tengkorak Hitam,
menyahuti dengan nada dingin dan sombong.
"Hm.. , dengarlah, Istriku! Aku sama sekali tidak khawatir meskipun umpamanya,
kedua kunyuk itu mendatangi markas
kita dan mengajukan tantangan kepada kita. Aku hanya tidak ingin kalau kedua
kunyuk itu menyatukan golongan putih
untuk menggempur kita. Bukannya aku takut. Tapi, alangkah
baiknya kalau kita mengadakan pencegahan lebih cepat.
Sehingga, apabila pertemuan dengan seluruh golongan hitam
yang kita rencanakan terjadi, tidak akan ada gangguan."
"Hm.. , rasanya aku sudah tidak sabar untuk segera
menghajar Peramal Sinting itu.. !" desis perempuan tua itu ketika ucapan
suaminya selesai. Tangannya dikepalkan hingga memperdengarkan
suara buku-buku jarinya yang berkerotokan. "Istriku," suara Raja Tengkorak Hitam tetap tidak berubah.
Sabar dan lembut. "Rencana yang kita susun sangat
memerlukan penanganan yang sungguh-sungguh. Dan, aku
tidak ingin gagal lagi, seperti yang pernah terjadi pada belasan tahun lalu.
Untuk dapat mewujudkan cita-cita itu, kita harus selalu hati-hati dalam
melakukan tindakan. Anggota-anggota kita, sengaja kusebar di berbagai desa.
Kuperintahkan mereka untuk menaklukkan penduduk-penduduk desa. Terserah
bagaimana cara mereka melakukannya. Yang jelas, mereka
harus membuat penduduk takut dan menurut kepada mereka.
Dengan begitu, apabila kita bergerak nanti, maka kita telah memiliki pasukan
dalam jumlah yang besar. Dan, setelah
semuanya siap, baru kita menggempur kotaraja. Lalu, kita
berdua akan menguasai negeri ini."
"Lalu kapan kau akan mengadakan pertemuan dengan
seluruh tokoh-tokoh golongan hitam di negeri ini?" tanya istrinya setelah
mengangguk-angguk membenarkan ucapan itu.


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak lama lagi, " jawab Raja Tengkorak Hitam mantap.
"Tapi, kita harus membereskan Peramal Sinting dan Pendekar Naga Putih lebih
dulu." Setelah berkata demikian, Raja Tengkorak Hitam
mengedarkan pandangannya, menyapu empat orang yang
duduk di kiri kanan Topeng Merah. Keempat orang itu juga
mengenakan topeng yang berbeda-beda pada wajahnya.
"Topeng Merah, dan kalian berempat, carilah si Peramal Sinting itu. Tangkap dan
seret ke tempat ini!" perintah Raja Tengkorak Hitam.
"Bagaimana dengan Pendekar Naga Putih, Ketua?" tanya Topeng Merah mengingatkan
ketuanya. "Ringkus dan juga seret ke tempat ini! Aku ingin melihat seperti apa rupa
pendekar muda yang kabarnya memiliki ilmu-ilmu mukjizat itu!"
"Baik, Ketua!" sahut Topeng Merah. Kemudian minta diri bersama keempat orang
rekannya, yang juga merupakan
tokoh-tokoh utama perkumpulan itu.
* * * "Haiii. ., kalau benar mereka telah muncul kembali, berarti negeri ini tengah
berada dalam ancaman bahaya. Dan itu
berarti alamat tulang-tulang tuaku yang rapuh harus bekerja keras. Hm. , akankah
aku mampu mengatasi keganasan
mereka. .?"
Kakek itu berjalan sambil tak henti-hentinya berbicara
seorang diri. Kepalanya menggeleng-geleng disertai helaan
napas berat sesekali. Tampaknya hati kakek itu sedang dilanda kerisauan.
Namun, kemuraman dan kegelisahan hati kakek itu, sama
sekali tidak bisa menyembunyikan kesegaran wajahnya. Kedua belah sisi pipinya
tampak kemerahan, menandakan kalau
kakek itu orang yang selalu menjaga dan memperhatikan
kesehatannya. Sehingga, meskipun telah berusia lebih dari
tujuh puluh tahun, tubuhnya masih terlihat sehat dan segar.
Sepasang mata yang sudah agak pudar wama hitamnya itu,
tampak menyorotkan sinar lembut dan penuh kasih. Gambaran
seorang yang bijaksana dan penyabar.
Sebenarnya, kakek berjubah putih itu bukanlah orang
sembarangan. Bagi tokoh-tokoh tua nama besar itu tetap
terngiang, kendati ia jarang sekali menampakkan dirinya di dunia ramal. Hidupnya
selalu diwarnai pengembaraan. Meski
sudah banyak memberi pertolongan pada setiap tempat yang
disinggahi, namun ia tidak pernah menyebutkan nama
maupun julukan dan selalu lenyap sebelum orang-orang yang
ditolongnya sempat mengucapkan terima kasih. Sehingga,
orang-orang yang pernah mendapat pertolongannya, menyebut
kakek itu sebagai orang tua budiman, yang menolong tanpa
pamrih. Bagi tokoh-tokoh persilatan tingkat menengah ke bawah,
terutama tokoh-tokoh muda, nama kakek itu sama sekati tidak dikenal. Kecuali
orang-orang yang mendapat didikan tokoh-tokoh sakti. Nama besar kakek itu pasti
akan disebut-sebut dalam setiap memberikan wejangan. Meskipun begitu, sedikit
sekali murid tokoh-tokoh sakti berkesempatan jumpa dengan
kakek yang selalu memilih tempat-tempat sunyi dalam
melakukan pengembaraan. Dan, kalau sekarang kakek itu
menampakkan dirinya, sudah pasti ada sesuatu peristiwa hebat yang telah menarik
langkahnya untuk mengetahui keadaan
secara lebih jelas. Kakek inilah yang berjuluk Raja Obat
Setelah melewati hutan lebat, kini Raja Obat melenggang
ringan, melintasi jalan lebar dan berbatu. Namun baru saja berjalan kira-kira
tiga tombak, mendadak Raja Obat menunda langkahnya sesaat Keningnya berkerut
seperti merasakan
sesuatu yang membuat hatinya agak gelisah. Belum lagi kakek itu sempat
memikirkan keanehan yang dirasakannya, tiba-tiba muncul gumpalan asap tebal
berwarna putih, menghalangi
pandangannya. Berbagai pengalaman yang telah ditemuinya,
membuat Raja Obat dapat menduga akan adanya ancaman
bahaya. Bergegas kakek itu melompat mundur sambil tetap
mengawasi gumpalan asap di depannya.
"Hua ha ha. !"
Bersamaan dengan lenyapnya gumpalan asap tebal itu,
terdengarlah suara gelak tawa yang sangat keras. Raja Obat mengerahkan tenaga
dalam guna melindungi telinga dan
dadanya yang berdebar keras. Suara gelak tawa itu
mengandung serangan tenaga dalam yang hebat!
Dua sosok tubuh yang muncul bersamaan dengan
lenyapnya gumpalan asap tebal itu, segera menghentikan gelak tawa mereka. Karena
mereka melihat kakek yang diserangnya
sama sekali tidak bergeming. Bahkan kini tengah tersenyum
sambil menatap mereka dengan sinar mata yang tetap lembut.
"Aihhh.. , kalian ini membuat aku si Orang Tua merasa terkejut dan hampir jatuh
pingsan," tegur Raja Obat sambil memperdengarkan tawanya yang lembut.
"Apakah kalian berdua tukang-tukang sulap yang hendak menakut-nakuti aku"
Topeng-topeng yang kalian kenakan
memang cukup menyeramkan dan bisa membuat anak-anak
lari ketakutan. Sayang, aku sudah terlalu tua dan tidak kuat berlari-lari.
Selain itu, aku pun bukan lagi anak kecil. Jadi, maaf saja kalau aku telah
membuat kalian kecewa."
"Heh heh heh...!" Salah satu dari kedua sosok yang mengenakan topeng berbentuk
kepala tikus, lengkap dengan
moncong dan taringnya, memperdengarkan suara tawa lirih.
Sorot mata di balik topeng itu tampak menyorot tajam,
merayapi wajah Raja Obat. Lalu terdengar suaranya yang mirip dengan suara
cericit seekor tikus. "Di hadapan kami, kau tidak perlu bersandiwara, Raja Obat!
Kami tahu siapa dirimu. Dan, kami datang untuk menjemputmu!"
"Menjemputku"!" tanya Raja Obat tetap dengan tersenyum lembut. "Ke mana" Dan apa
perlunya?"
"Kau tidak perlu banyak tanya! Suka atau tidak, kami
akan tetap membawamu!" Sosok kedua, yang mengenakan
topeng kepala kerbau menukas tajam. Suaranya besar dan
sengau, hampir tak beda dengan lenguh seekor kerbau.
"Wah.. ! Sebenarnya kalian berdua ini binatang ataukah manusia" Mengapa suara
kalian mirip sekali dengan binatang-binatang yang topengnya kalian kenakan itu"
Dan, mengapa kalian hendak memaksakan kehendak kepada orang tua
sepertiku.. " Tidakkah kalian bisa bersikap sedikit lebih sopan dan hormat"
Karena, tanpa dipaksa pun sebenarnya aku tentu akan suka mengikuti ajakan
kalian. Tapi. ., karena kalian sudah menunjukkan sikap kasar dan tidak sopan,
jadi maaf saja. Aku tidak bisa diperintah orang kasar! Lebih-lebih oleh manusia
setengah hewan seperti kalian. Ya. ., lain kali sajalah," ujar Raja Obat tanpa
mempedulikan betapa mata kedua orang aneh itu
menyorot tajam, menyiratkan ancaman maut
"Tidak ada lain kali, Raja Obat!" Sosok yang mengenakan topeng kepala tikus
membentak bengis.
"Benar! Dan, mau atau tidak, kami akan tetap
membawamu!" lanjut sosok bertopeng kepala kerbau dengan suara lenguhan yang
tidak kalah bengisnya. Baru saja ia selesai berucap, tubuhnya langsung melesat
ke arah Raja Obat dengan kecepatan yang sulit diikuti mata. Tahu-tahu, tangan
kanannya sudah terjulur melancarkan totokan di tiga jalan darah pada tubuh Raja
Obat. Raja Obat memiringkan tubuhnya sewaktu jari-jari tangan
yang memperdengarkan
suara bercericitan, datang mengancamnya. Dan, ketika tangan kiri lawan menyusuli
dengan sebuah tamparan keras ke arah pelipisnya, Raja Obat segera mengangkat
tangannya memapaki.
Dukkk! Kakek berjubah putih itu terpekik saking kagetnya.
Tangkisan itu telah membuat kuda-kudanya tergempur.
Tubuhnya terdorong beberapa langkah ke belakang Sedangkan
saat itu, lawannya sudah kembali menerjang disertai
serangkaian pukulan dan tendangan yang keras dan sangat
cepat. Raja Obat terpaksa berlompatan untuk menyelamatkan
dirinya. "Haiiit. !"
Setelah lewat dari tiga jurus lawannya menyerang, Raja
Obat membentak sambil melenting ke udara. Dari atas kedua
telapak tangan bergerak cepat sekali menyambar kepala lawan.
Namun, belum sempat serangannya sampai sasaran, telinga
Raja Obat mendengar suara berdesing tajam. Tampak empat
cahaya putih yang mengancam jalan darah di tubuhnya.
Terpaksa lelaki tua berjubah putih itu mengurungkan
serangannya. Kedua tangannya berputar menyambar keempat
cahaya putih itu.
Tap! Tap! Tap! Keempat cahaya putih itu berhasil ditangkapnya. Raja
Obat berjungkir balik beberapa kali dan mendarat di tempat yang aman. Diam-diam
hatinya mengeluh demi merasakan
kehebatan kedua orang manusia bertopeng itu. Karena, empat cahaya putih yang
ternyata senjata rahasia berupa taring-taring tikus itu, sempat membuat telapak
tangannya bergetar sewaktu menangkap. Hal itu menandakan bahwa si Penyerang
memiliki tenaga dalam yang benar-benar kuat.
Kedua manusia bertopeng itu tampaknya tak ingin
memberi kesempatan kepada Raja Obat untuk berpikir lebih
lama. Mereka langsung menerjang bersamaan. Keduanya saling menyerang dan
melindungi dengan kompak. Raja Obat
kembali terkejut karena jurus-jurus yang kali ini digunakan kedua lawan
mengingatkannya akan sepasang suami istri jahat, yang pernah mengalahkannya pada
puluhan tahun silam.
"Celaka! Kalau begitu mereka pastilah tokoh-tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam! Rupanya kabar angin yang
sampai ke telingaku itu benar. .," desis Raja Obat yang segera menghindarkan
diri dari serbuan kedua orang lawannya.
Kemudian menyiapkan jurus-jurusnya. Lalu kakek itu pun
mulai melancarkan serangan balasan.
"Heaaa. .!"
Raja Obat membentak sambil melompat berputar. Dari
atas, tangan kanannya mengibas mengancam leher sosok
bertopeng kepala kerbau yang berjuluk Siluman Kerbau. Begitu serangan pertamanya
luput, tangan kirinya menyusul dengan
sebuah tusukan kilat.
Jrabbb! Tusukan telak Raja Obat membuat Siluman Kerbau
mengeluh. Tubuhnya terpental mundur. Namun Raja Obat
sendiri tidak luput dari bahaya. Bersamaan dengan tusukan
tadi, serangan Siluman Tikus mengenai tubuhnya. Meskipun
Raja Obat sudah memiringkan tubuh untuk menghindar, tetap
saja tamparan itu sempat mendarat pada sasaran. Tidak terlalu telak memang, tapi
cukup membuat tubuh tua itu terhuyung.
Sementara Siluman Tikus sendiri sudah melesat mengejar
dengan serangkaian pukulan dahsyatnya.
Plak! Plak! Plak!
Kendati dalam kedudukan yang tidak menguntungkan
seperti itu, Raja Obat masih sempat juga mematahkan tiga buah pukulan yang
tertuju ke dada, kening dan lambungnya.
Tangkisan itu membuat tubuhnya mencelat ke belakang. Hal
itu memang disengaja oleh Raja Obat yang meminjam tenaga
pukulan lawan untuk mengambil jarak. Kemudian, Raja Obat
langsung menyiapkan ilmu 'Memindahkan Tenaga Sakti'.
Sebuah ilmu aneh dan dahsyat yang jarang sekali
digunakannya. Saat itu, Siluman Kerbau sudah menerjang maju dengan
sebuah pukulan dahsyat yang mengarah dada. Ketika pukulan
itu hampir mengenai dadanya, Raja Obat menarik tubuh
mengikuti arus pukulan itu. Gerakan Raja Obat demikian
lemah. Seolah sebelum pukulan itu mendarat pada sasaran,
tubuhnya telah terdorong oleh sambaran anginnya. Namun,
pada saat Siluman Kerbau hampir bergelak melihat
serangannya berhasil, tiba-tiba saja tubuh Raja Obat menyentak ke depan dengan
kekuatan dua kali lipat lebih besar.
Breshhh. .! Siluman Kerbau menjerit keras setinggi langit. Dorongan
kedua tangan Raja Obat yang bertenaga dahsyat itu, membuat tubuhnya terpental
deras, melayang di udara laksana layang-layang putus. Kemudian terbanting dengan
keras dan tewas
seketika! Hantaman itu ternyata telah meremukkan bagian
dalam tubuhnya.
Kejadian yang sebelumnya tak pernah terbayangkan itu,
membuat Siluman Tikus terpaku bagai patung. Ia benar-benar tidak mengerti, apa
yang telah terjadi terhadap kawannya itu.
Padahal tadi ia melihat dengan jelas betapa pukulan kawannya mengenai dada Raja
Obat Heran bukan main hatinya ketika
melihat Raja Obat seperti tidak merasakan serangan Siluman Kerbau. Bahkan masih
dapat membalas dan membuat
kawannya tewas!
"Tua Bangka! Ilmu siluman apa yang telah kau gunakan
untuk membunuh kawanku"!" geram Siluman Tikus penasaran.
"Heh heh heh. .! Sungguh lucu sekali! Manusia siluman menuduh orang lain
menggunakan ilmu siluman! Dunia benar-benar sudah terbalik!" sahut Raja Obat
sambil tertawa mengejek.
"Keparat sombong! Kau kira aku takut dengan ilmu
siluman itu! Nah, sambutlah seranganku!"
Belum lagi gema suaranya lenyap, Siluman Tikus sudah
menerjang Raja Obat dengan serangkaian serangan maut. Raja Obat mengelak ke kiri
dan ke kanan sambil menunggu saat
yang tepat untuk mempergunakan ilmu mukjizatnya. Dan, ia
tidak perlu menunggu terlalu lama. Siluman Tikus yang tengah dilanda kemarahan
itu tampaknya benar-benar kalap.
Serangan-serangannya
terus berkelanjutan bagaikan gelombang laut.
Whuuut. .! Dalam kemarahannya, Siluman Tikus telah melupakan
perintah pimpinannya, yang tidak memperbolehkan membunuh Raja Obat. Sehingga, tamparan itu dilakukan
dengan sepenuh tenaga. Siluman Tikus seperti tak peduli lagi, meskipun pukulan
itu dapat menewaskan lawan.
Namun, untuk membunuh Raja Obat bukanlah suatu
pekenaan yang mudah. Ketika tamparan maut itu datang, Raja Obat kembali
menggunakan ilmu dahsyatnya. Tubuhnya
bergeser mengikuti arus tenaga tamparan itu. Begitu tamparan Siluman Tikus
hampir mengenai kepalanya, Raja Obat
langsung mendahului dengan tamparan tangan kanan ke


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepala lawan. Prakkk! Siluman Tikus terpelanting dan langsung tewas dengan
kepala pecah! "Haihhh. ., semoga Tuhan mengampuni dosa-dosaku. .!"
desah Raja Obat sambil menggeleng disertai helaan napas
panjang. Setelah memandangi mayat lawan-lawannya sejenak,
Raja Obat mengayun langkah melanjutkan perjalanannya.
* * * 8 "Heh heh heh.. ! Wajahmu masih kelihatan segar saja,
Tukang Obat. .!"
Raja Obat menghentikan langkahnya. Setelah mengerutkan kening sebentar, meledaklah suara tawanya yang terdengar penuh
kegembiraan. Meskipun suara itu belum
menampakkan rupa pemiliknya, tapi Raja Obat langsung bisa
menebak. "Selama hidup, hanya satu manusia yang menyebutku
sebagai Tukang Obat! Siapa lagi kalau bukan si Kerdil Sinting tukang ramal
murahan!" Terdengar suara tawa terkekeh-kekeh panjang. Kemudian
tampak berkelebat sesosok bayangan. Raja Obat tertawa
terbahak-bahak ketika sosok bayangan bertubuh cebol itu
berdiri di hadapannya. Sambil tetap tertawa-tawa, disergapnya sosok kakek cebol
yang tak lain Kakek Peramal Sinting.
Keduanya berpelukan erat sambil tertawa-tawa.
Saat itu, tiga sosok bayangan lainnya muncul. Mereka
adalah Panji, Kenanga, dan Kanuraga, yang memang datang
bersama Kakek Peramal Sinting.
"Eyang...!" Panji langsung bersimpuh di hadapan Raja Obat, ketika kedua orang
kakek itu sudah melepaskan
pelukannya masing-masing.
"Heh heh heh. . kau baik-baik saja, Cucuku?" sapa Raja Obat sambil mengelus
rambut kepala Pendekar Naga Putih dan juga Kenanga, yang sudah ikut bersimpuh di
hadapan kakek berilmu tinggi itu.
Pendekar Naga Putih tidak bisa menjawab dengan kata-
kata. Hatinya diliputi rasa haru dapat berjumpa lagi dengan Raja Obat, yang
telah membimbingnya dalam hal ilmu
pengobatan. Dia hanya mengangguk sebagai jawaban atas
pertanyaan kakek itu. Raja Obat pun mengangguk-angguk
dengan wajah puas.
"Hei, Tukang Obat!" Kakek Peramal Sinting yang paling tidak suka dengan suasana
penuh keharuan seperti itu, berkata lantang. "Melihat dari garis-garis wajahmu,
tampaknya kau baru saja mengalami sebuah pertarungan hebat. Bisa kubaca
sisa-sisa kemenangan di wajah tuamu itu!"
"Dasar kerdil tukang ramal!" umpat Raja Obat sambil tersenyum. "Makin tua
ramalanmu makin hebat saja," pujinya yang sekaligus membenarkan tebakan Kakek
Peramal Sinting.
Lalu, Raja Obat pun menceritakannya secara singkat.
"Wah, kalau begitu, tampaknya sepasang suami istri gila itu sudah mulai
bergerak," ujar Kakek Peramal Sinting setelah mendengar penuturan Raja Obat
"Kami pun tadi pagi baru saja menyelesaikan sebuah
pertempuran yang benar-benar sangat melelahkan. Tiga orang pimpinan Perkumpulan
Tengkorak Hitam menghadang
perjalanan kami dan memaksa untuk ikut bersama mereka.
Untunglah ada Pendekar Naga Putih bersamaku. Sehingga,
mereka dapat kami kirim ke neraka. Kalau tidak, aku pasti
sudah diseret oleh Topeng Merah dan dua orang kawannya itu.
Haihhh. ., rupanya Tuhan belum menghendaki kematianku. .,"
desahnya diakhir cerita.
"Kalau begitu, kita harus segera mencari markas mereka!"
Raja Obat mengusulkan.
"Hm.. , tapi terlalu berbahaya. Kita harus mengatur siasat sebelum bertindak.
Karena pasangan suami istri gila itu pasti mempunyai anggota yang cukup banyak,"
ujar Kakek Peramal Sinting sambil membelai-belai jenggotnya.
"Ya. Dan kemungkinan besar Perkumpulan Tengkorak
Hitam akan melakukan pemberontakan lagi, seperti yang
pernah kudengar pada belasan tahun silam," timpal Raja Obat sambil
mengangguk-anggukkan kepala
dengan kening berkerut. "Ah, aku ada akal!" sentak Kakek Peramal Sinting sambil menjentikkan jarinya.
Lalu, menatap Pendekar Naga Putih.
"Kalian bertiga kuberi tugas untuk pergi ke kotaraja. Minta untuk menghadap
Senapati Jalatunda. Laporkan bahwa
Perkumpulan Tengkorak Hitam tengah menyusun kekuatan
untuk melakukan pemberontakan! Kau sudah kuberitahu letak
markas perkumpulan itu, bukan?" tanyanya kepada Panji.
Pendekar Naga Putih mengangguk pasti, la masih ingat
letak markas Perkumpulan Tengkorak Hitam, yang didapat
Kakek Peramal Sinting hanya dengan membawa raut wajah
Topeng Merah, yang telah tewas di tangannya.
"Nah, pergilah! Sampaikan salamku kepada Senapati
Jalatunda! Beliau pasti akan menerima kalian dengan baik. Aku dan Tukang Obat
ini akan menunggu di sana," lanjut Kakek Peramal Sinting sambil mengibaskan
tangannya, menyuruh
mereka bergegas.
"Tapi. ., bagaimana denganku, Kek" Aku pernah di. ."
"Aaah.. , sudah. . sudah!" potong Kakek Peramal Sinting.
"Aku sudah tahu apa saja yang telah kau lakukan di kotaraja, Kanuraga. Tapi
percayalah, mereka sudah melupakanmu,"
lanjutnya ketika melihat Kanuraga kebingungan.
Ucapan Kakek Peramal Sinting membuat Kanuraga
merasa lega. la percaya pada ucapan kakek cebol itu. Tanpa banyak cakap lagi, ia
pun segera mengikuti Pendekar Naga
Putih dan Kenanga untuk melaksanakan perintah Kakek
Peramal Sinting.
* * * Agak-Jieran juga hati Senapati Jalatunda ketika mendapat
laporan bahwa seorang pemuda yang mengaku sebagai
Pendekar Naga Putih, minta untuk dapat menghadapnya.
Meskipun belum pernah bertemu langsung, namun nama itu
sudah sering didengarnya. Dan, yang lebih membuat hatinya
penasaran, prajurit yang melapor kepadanya, mengatakan
bahwa Pendekar Naga Putih hendak menyampaikan sebuah
berita sangat penting, menyangkut keamanan negeri. Maka,
Senapati Jalatunda segera memerintahkan agar membawa
pendekar muda itu kepadanya.
Dengan dikawal dua orang prajurit, Pendekar Naga Putih,
Kenanga, dan Kanuraga dibawa menghadap Senapati
Jalatunda. Untuk beberapa saat lamanya, panglima bertubuh
tinggi besar dan gagah itu, mengawasi ketiga tamunya.
"Katakanlah, berita penting apa yang hendak kau
sampaikan kepadaku, Pendekar Naga Putih?" pinta Senapati Jalatunda sambil tetap
duduk di kursinya.
Setelah kembali menghaturkan sembah, segera saja Panji
menyampaikan perintah Kakek Peramal Sinting. Wajah
Senapati Jalatunda agak berubah ketika mendengar disebutnya nama itu. Sikapnya
pun jadi lebih ramah, tidak lagi kaku
seperti tadi. Tampaknya panglima gagah itu memang telah
mengenal baik dan menaruh hormat kepada Kakek Peramal
Sinting Dan cerita Panji pun disimaknya dengan sungguh-
sungguh. "Hm.. , kalau saja kau tidak mengatakan bahwa kalian
diperintah oleh Kakek Peramal Sinting, rasanya aku belum
tentu mempercayai ceritamu, Pendekar Naga Putih," ujar Senapati Jalatunda
setelah Panji menyelesaikan ceritanya. Lalu, panglima gagah itu segera
memerintahkan perwira-perwira
bawahannya untuk menyiapkan sejumlah pasukan.
Panji menekan kedongkolan hatinya. Tidak dihiraukannya
ucapan Senapati Jalatunda yang terdengar agak kasar itu.
Ditekannya telapak tangan Kenanga yang bersimpuh di
sampingnya. Karena sewaktu ia melirik, dilihatnya wajah gadis itu agak memerah.
Persiapan yang dilakukan Senapati Jalatunda tidak
memakan waktu lama. Diam-diam Panji merasa kagum juga
melihat kesigapan dan kegesitan abdi-abdi kerajaan itu.
Senapati Jalatunda sendiri sudah siap dengan pakaian perang dan pedang
kebesarannya. "Mari, kita segera berangkat. .!" ajak Senapati Jalatunda kepada Panji, Kenanga,
dan Kanuraga. "Kuda untuk kalian telah disiapkan," lanjutnya lagi sambil
melangkah. Pendekar Naga Putih, Kenanga, dan Kanuraga mengangguk. Lalu berjalan mengikuti panglima gagah itu.
Bersama dengan Senapati Jalatunda yang membawa seribu
orang pasukannya, mereka pun berangkat meninggalkan
kotaraja, menuju ke utara.
* * * "Kapan kita bergerak, Tukang Ramal" Apa harus
menunggu hari menjadi gelap?" Raja Obat berpaling menatap Kakek Peramal Sinting
yang berada di sebelahnya. Saat itu hari sudah sore. Mereka berdua bersembunyi
di atas sebatang
pohon, yang berada di luar pagar bangunan markas
Perkumpulan Tengkorak Hitam.
Kakek Peramal Sinting tidak segera menjawab. Dia hanya
menarik napas panjang sambil menengadahkan kepalanya
menatap langit, yang mulai redup. Dipandanginya awan-awan
yang berarak Seolah ia hendak mencari jawabannya di atas
sana. "Hm.. , pasukan yang dipimpin Senapati Jalatunda sudah bergerak. Menurut
perhitunganku, mereka akan tiba pada saat menjelang tengah malam nanti,"
jawabnya meramalkan. Seolah ia benar-benar menemukan jawabannya dari awan-awan
yang berarak itu. Raja Obat mengangguk-anggukkan kepalanya, ia percaya
akan kepandaian sahabatnya dalam hal meramalkan sesuatu.
Lalu keduanya diam sambil kembali mengawasi markas
perkumpulan sesat itu.
Malam sudah merangkak perlahan. Bulan yang menggantung di langit kelam, tidak bundar. Cahaya temaram
terpendar menghias cakrawala.
"Hei, Tukang Obat! Apa kau tertidur?" tegur Kakek Peramal Sinting memecah
keheningan. "Sudah waktunya kita bergerak Pasukan Senapati Jalatunda akan segera
tiba. Ayo, kita kacaukan penghuni bangunan itu!"
Sejak tadi Raja Obat memang memejamkan matanya.
Namun ia tidak tidur. Maka, ketika Kakek Peramal Sinting
mengajaknya untuk mulai bergerak, langsung saja Raja Obat
meluncur turun mengikuti sahabatnya. Mereka berdua
melompati pagar lalu memasuki bangunan besar itu. Keduanya mencabut obor-obor
yang tertancap di dinding. Lalu
melemparkannya ke atap-atap rumah, yang berada di kiri
kanan bangunan utama. Karuan saja perbuatan kedua orang
kakek itu membuat seluruh penghuni bangunan terkejut dan
kalang kabut. Di saat mereka tengah sibuk memadamkan api
yang semakin berkobar, Peramal Sinting dan Raja Obat sudah melesat menuju
bangunan utama. Berbarengan dengan
lenyapnya kedua orang kakek sakti itu ke dalam bangunan,
terdengar suara terompet dan genderang perang, disusul sorak sorai dari pasukan
yang dipimpin Senapati Jalatunda. Begitu tiba, pasukan kerajaan itu langsung
mendobrak pintu gerbang, lalu menyerbu masuk dengan senjata di tangan
Dapat dibayangkan, betapa terkejutnya hati tokoh-tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam itu. Kobaran api yang belum
padam terpaksa mereka tinggalkan untuk menyambut serbuan
tentara kerajaan. Sebentar saja perang telah berkobar. Para penghuni bangunan
yang berjumlah sekitar seratus lima puluh orang itu, melakukan perlawanan
sengit. Dan korban di kedua belah pihak pun mulai berjatuhan.
Pendekar Naga Putih segera meninggalkan medan
pertempuran dan melesat menuju bangunan utama. Ditinggalkannya Kenanga dan Kanuraga yang tengah
bertarung, membantu pasukan pemerintah untuk menumpas
tokoh-tokoh perkumpulan sesat itu. Panji merasa pasti bahwa pimpinan Perkumpulan
Tengkorak Hitam tinggal di dalam
bangunan utama. Dirinya juga menduga kalau Kakek Peramal
Sinting dan Raja Obat telah berada di sana.
* * * Setelah membuat kekacauan, Kakek Peramal Sinting dan
Raja Obat berlari menuju bangunan utama. Lalu melesat naik dan bersembunyi di
atas wuwungan, menghindari tokoh-tokoh
Perkumpulan Tengkorak Hitam yang berlarian keluar dari
dalam gedung. Setelah keadaan dirasa aman, kedua kakek itu pun melayang turun
dan bergegas menyelinap ke dalam.
Empat orang penjaga bagian dalam bangunan, langsung
berteriak dan berlari menyerbu, ketika melihat dua orang kakek menyelinap masuk.
Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Keduanya langsung
menyambut serangan keempat penjaga itu. Namun, untuk
merobohkan keempat orang penjaga itu ternyata tidak
semudah apa yang dibayangkan Raja Obat dan Kakek Peramal
Sinting. Keempat orang penjaga itu ternyata sangat tangguh.
Sehingga, setelah bertempur selama kurang lebih sepuluh
jurus, barulah mereka dapat dirobohkan. Kedua kakek itu terus bergerak untuk
mencari sepasang suami istri Tengkorak Hitam, yang menjadi musuh utama mereka.
"Hm.. , sudah kuduga bahwa kalianlah yang telah
membuat kekacauan di tempat kediamanku ini.. !"
Tiba-tiba terdengar sebuah teguran halus, yang membuat
Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting menahan langkah dan
menoleh ke tempat asal suara. Agak kaget juga hati mereka
ketika melihat dua sosok tubuh yang sama-sama mengenakan
topeng tengkorak.
"Sepasang Tengkorak Hitam. .!"
Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting sama berdesis.


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun telah memantapkan hati untuk menjumpai sepasang
suami istri itu, tak urung hati mereka berdebar juga. Dan itu tak dapat mereka
tahan! Padahal di kalangan persilatan kedua
orang tokoh itu merupakan manusia-manusia sakti yang
kepandaiannya nyaris tak tertandingi Namun berhadapan
dengan Sepasang Tengkorak Hitam, musuh lama mereka yang
pernah membuat keduanya menjadi pecundang, hingga harus
selalu menghindari keramaian, tetap saja hati kedua kakek
sakti itu bergetar. Apalagi karena mereka menyadari bahwa
kepandaian Sepasang Tengkorak Hitam tidak dapat disamakan
dengan di masa lalu. Terbukti, baik Raja Obat maupun Kakek Peramal Sinting tak
mengetahui kapan sepasang suami istri itu datang. Padahal pendengaran mereka
sudah sangat tinggi
bahkan jarang ada duanya. Dari sini saja sudah dapat mereka duga kalau Sepasang
Tengkorak Hitam telah mendapatkan
kemajuan yang sangat pesat.
"Hm..., sudah kuduga bahwa kalianlah yang telah membuat kekacauan
di tempat kediamanku ini...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah teguran
halus, yang membuat Raja Obat dan
Kakek Peramal Sinting menahan langkah
dan menoleh ke tempat asal suara. Agak
kaget juga hati mereka ketika melihat dua
sosok tubuh yang sama-sama mengenakan
topeng tengkorak.
"Selamat bertemu lagi, Raja Obat, Peramal Sinting!
Sungguh gembira hatiku melihat kalian masih sehat dan
berumur panjang," sapa Raja Tengkorak Hitam dengan nada halus, bagaikan menyapa
seorang sahabat lamanya.
"Suamiku," Ratu Tengkorak Hitam menegur suaminya.
"Untuk apa membuang-buang waktu lagi! Sebaiknya kita
segera ke ruang latihan. Aku sudah tidak sabar untuk
menghajar mereka sampai mampus!"
"Heh heh heh. .!" Kakek Peramal Sinting yang sudah dapat menguasai debaran dalam
dadanya, tertawa mengekeh. "Mati hidup urusan Tuhan. Kita tidak berhak
menentukannya. Tapi, rasanya Tuhan belum hendak mencabut nyawaku ataupun
sahabatku si Tukang Obat ini. Sedangkan pada wajah kalian
yang tersembunyi di balik topeng tengkorak itu, aku bisa
melihat adanya warna-warna kematian. Dan, kalian memang
pantas untuk segera dikuburkan. Bukankah kalian sangat suka dengan hal-hal yang
berhubungan dengan kematian"
Contohnya, selamanya kalian suka sekali mengenakan topeng
tengkorak manusia, bukan?"
"Ha ha ha. .! Aku tidak ingin berdebat, Peramal Sinting!
Terlalu memusingkan. Lebih baik kita turuti saran istriku. Nah, marilah kita ke
ruangan tempat kami berlatih. .!" ajak Raja Tengkorak Hitam, yang kemudian
memutar tubuh dan diikuti
istrinya, menuju ruangan berlatih silat. Ringan saja
kelihatannya langkah sepasang suami istri itu. Namun,
sekelebatan saja sosoknya telah lenyap dari hadapan Raja Obat dan Kakek Peramal
Sinting. Kakek Peramal Sinting hanya tertawa terkekeh. Kemudian, bersama Raja Obat, mereka mengikuti Sepasang
Tengkorak Hitam. Tiba di ruangan yang dimaksud, sepasang
suami istri sesat itu telah berdiri menunggu kedatangan
mereka. Melihat sikap Sepasang Tengkorak Hitam, Raja Obat
dan Kakek Peramal Sinting langsung saja menyiapkan
jurusnya. "Mari kita mulai. .!"
Baru saja seruan halus itu selesai diucapkannya, tahu-tahu tubuh Raja Tengkorak
Hitam sudah menerjang Raja Obat dan
Kakek Peramal Sinting! Gerakan tokoh menggiriskan itu
demikian hebat, seolah pandai menghilang. Sebelum Raja Obat maupun Kakek Peramal
Sinting menyadarinya, tahu-tahu
sepasang lengan berbentuk cakar, telah mengancam tubuh
keduanya. Meskipun agak terkejut, kedua orang kakek itu sama
sekali tidak gugup. Keduanya cepat mengangkat tangan
menyambut datangnya serangan yang kelihatannya ringan dan
tak bertenaga itu.
Dukkk! Plakkk! Kakek Peramal Sinting dan Raja Obat sama menahan
jeritnya, ketika merasakan betapa dahsyat tenaga yang
terkandung di dalam serangan itu. Lengan yang mereka
gunakan untuk menangkis terasa sakit bukan main. Seolah
benturan itu telah mematahkan tulang lengan mereka. Bahkan tubuh keduanya sampai
terpental sejauh satu tombak lebih!
"Edan. .!" umpat Kakek Peramal Sinting yang segera menyedot
napas dalam-dalam guna menenteramkan guncangan pada bagian dalam dadanya. "Tidak kusangka
kalau tenga dalamnya sampai sedemikian tinggi!"
Raja Obat cuma bergumam tak jelas. Ia tidak menimpali
ucapan sahabatnya. Karena saat itu ia sudah menyiapkan ilmu andalannya yang
sangat ampuh. 'Ilmu Memindahkan Tenaga
Sakti'. Diiringi teriakan-teriakan keras Sepasang Tengkorak
Hitam menerjang bersamaan. Gerakan keduanya demikian
cepat hingga nyaris tak terlihat oleh mata lawan-lawannya.
Meskipun demikian, dari sambaran angin pukulan mereka,
kedua kakek itu dapat mengira-ngira tibanya serangan
Sepasang Tengkorak Hitam.
"Heahhh!"
Raja Obat membentak halus sambil melompat menyilang,
memotong di depan Kakek Peramal Sinting. Sehingga, ia
langsung berhadapan dengan serangan Raja Tengkorak Hitam.
Saat cengkeraman yang disertai gelombang angin dahsyat dari Raja Tengkorak Hitam
hampir menyambar kepalanya, Raja
Obat bergegas menarik miring kepalanya. Kemudian, dengan
meminjam tenaga serangan lawan, Raja Obat mendahului
cengkeraman itu dengan sebuah tamparan ke pelipis lawannya.
Namun, bukan main kagetnya hati Raja Obat ketika di
tengah jalan, tenaga serangannya yang semula berlipat ganda itu, tiba-tiba
dirasakan lenyap. Karena Raja Tengkorak Hitam dengan cepat menarik pulang
cengkeramannya. Sebagai
gantinya, tangan kirinya bergerak cepat menggedor dada Raja Obat, yang masih
terkejut itu. Blakkk! Bagai sebuah layang-layang putus, tubuh kakek berjubah
putih terlempar melayang deras di udara, disertai muntahan darah segar dari
mulutnya. Tubuh Raja Obat terhempas
membentur dinding. Lalu melorot jatuh ke lantai. Kenyataan itu membuat Raja Obat
sadar bahwa lawan telah mengetahui
kunci kelemahan ilmunya. Bahkan tampaknya sangat paham
dengan keistimewaan ilmu dahsyatnya itu. Tahulah Raja Obat bahwa penggunaan
'Ilmu Memindahkan Tenaga Sakti', tak bisa berbuat
banyak bagi lawannya. Malah justru bisa membahayakan dirinya sendiri.
Sementara itu, pada saat yang hampir bersamaan dengan
nasib naasnya Raja Obat, Kakek Peramal Sinting tampak tengah berjuang keras
menghadapi Ratu Tengkorak Hitam. Tongkat di tangannya melancarkan serangan maut
berkali-kali Namun,
yang berhasil dipukulnya cuma bayangan lawan. Setiap kali
tongkatnya menyambar, tubuh lawannya sudah berkelebat
lebih dulu. Sehingga, serangan Kakek Peramal Sinting sia-sia saja. Bahkan kakek
cebol itulah yang menjadi kelabakan ketika Ratu Tengkorak Hitam membalasnya
dengan serangan gencar
dan mengandung hawa maut Setiap kali serangan wanita itu
datang, selalu saja disertai dengan tebaran asap tipis, yang membuat pandangan
Kakek Peramal Sinting terganggu.
"Yeaaah. .!"
Merasa penasaran karena tak mampu melepaskan diri dari
belenggu lingkaran serangan lawan, Kakek Peramal Sinting
membentak, nekat memapaki cengkeraman tangan kanan
lawan yang mengancam dadanya.
Krakkk! Tongkat Kakek Peramal Sinting langsung patah ketika
membentur lengan Ratu Tengkorak Hitam. Sebelum sempat
menyadarinya, tiba-tiba kakek cebol itu merasakan suatu
sentakan kuat pada dadanya, membuat tubuhnya terpental
deras. Kendati demikian, Kakek Peramal Sinting tidak sampai terbanting jatuh. Ia
masih sempat menjatuhkan rubuh
bergulingan di lantai, lalu bergegas bangkit walaupun dadanya dirasakan panas
dan sesak. Di sela bibirnya tampak darah segar mengalir turun perlahan. Hal itu
menandakan bahwa pukulan
lawan telah menimbulkan luka dalam di tubuhnya.
"Habislah kau sekarang, Tukang Ramal. !" desis penuh kebengisan dari mulut Ratu
Tengkorak Hitam, langsung
dibarengi dengan lesatan tubuhnya. Sepasang tangannya
membentuk cengkeraman, siap meremukkan batok kepala
lawan. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba sesosok bayangan
putih berkelebat disertai teriakan mengguntur. Lalu, memapaki serangan Ratu
Tengkorak Hitam, dengan dorongan kedua
tangannya yang diirirgi hawa panas dan dingin!
Bresssh.. ! Atap bangunan berderak ketika benturan dahsyat itu
terjadi, bahkan dinding-dindingnya bergetar laksana akan
roboh. Sosok bayangan putih itu sendiri terpental deras,
melayang dan terhempas ke dinding. Sedang Ratu Tengkorak
Hitam cuma terdorong mundur beberapa langkah.
Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting terkejut bukan
main! Terlebih ketika mereka melihat bahwa sosok bayangan
itu ternyata Pendekar Naga Putih. Kedua kakek itu cepat
bergerak memburunya.
"Aku. . aku tidak apa-apa," ujar Panji menenangkan kedua orang kakek itu.
"Bagaimana dengan kalian. ?"
Raja Obat dan Kakek Peramal Sinting buru-buru
mengangguk sambil menarik bangkit tubuh Pendekar Naga
Putih. Kesempatan itu digunakan Raja Obat, yang segera
membisikkan suatu rencana kepada Pendekar Naga Putih dan
Kakek Peramal Sinting. Kedua orang itu tampak mengangguk
setuju. Lalu, ketiganya berdiri berjajar sambil berpegangan tangan satu sama
lain. "Hei, apa yang hendak kalian lakukan"! Apakah kalian
hendak main ular-ularan. .?" seru Raja Tengkorak Hitam.
Matanya membelalak keheranan ketika melihat sikap aneh
yang ditunjukkan ketiga orang lawannya itu.
"Mungkin mereka sudah gila karena merasa tak bakal
menang, Suamiku. .," sahut Ratu Tengkorak Hitam, yang juga tak mengerti mengapa
ketiga orang itu bersikap demikian
aneh.Namun, baik Raja Obat, Kakek Peramal Sinting maupun
Pendekar Naga Putih, tidak menyahuti. Malah mereka semakin bertingkah aneh,
mengayun langkah bersamaan seperti tengah memperagakan sebuah tarian sambil
tertawa-tawa. Ketiganya
benar-benar seperti orang yang kehilangan akal sehat. Kaki mereka terus bergerak
maju mendekati Sepasang Tengkorak
Hitam yang menjadi panas hatinya karena merasa jengkel.
Raja Tengkorak Hitam dan istrinya saling bertukar
pandang sesaat, lalu sama menganggukkan kepala. Kemudian,
dengan disertai teriakan mengguntur yang membuat atap
rumah berderak bagai hendak runtuh, sepasang suami istri itu menerjang
bersamaan. Serangan Sepasang Tengkorak Hitam datang dari kiri-
kanan. Namun pada waktu serangan itu hampir tiba, Raja Obat melakukan sebuah
gerakan yang aneh dan tidak masuk akal.
Karena Raja Obat yang berada di tengah-tengah, diapit
Pendekar Naga Putih dan Kakek Peramal Sinting, tiba-tiba
melangkah maju seperti sengaja menyongsong datangnya
maut. Pendekar Naga Putih dan Kakek Peramal Sinting
mengikuti gerakan Raja Obat. Mereka bergerak maju dengan
gerakan meliuk-liuk bagaikan seekor ular. Lalu, tiba-tiba Raja Obat bergerak
mundur. Kedua orang di kiri-kanannya pun
mengikuti gerakan kakek itu. Kemudian, kedua tangan Raja
Obat yang bergenggaman dengan tangan Pendekar Naga Putih
dan Kakek Peramal Sinting, memukul ke depan, mendahului
serangan dari kiri-kanannya itu.
Bukkk! Desss! Sepasang Tengkorak Hitam kaget bukan kepalang. Dari
kedua pukulan Raja Obat, menyambar gelombang angin
pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Karena serangan itu,
selain merupakan kekuatan gabungan dari Raja Obat, Pendekar Naga Putih, dan
Kakek Peramal Sinting, masih ditambah lagi dengan kekuatan tenaga serangan
mereka berdua. Akibatnya
tentu saja sangat hebat dan mengerikan! Tubuh Sepasang
Tengkorak Hitam tersentak dan melayang deras di udara.
Semburan darah segar yang termuntah dari mulut mereka
berceceran membasahi lantai. Terdengar suara berderak keras ketika tubuh
sepasang suami istri itu membentur dinding
dengan kerasnya. Darah segar memercik, membasahi dinding
dan lantai, bersamaan dengan melorotnya tubuh Sepasang
Tengkorak Hitam. Keduanya tewas dengan mata mendelik.
Benturan keras pada dinding telah meremukkan tulang-tulang tubuh mereka.
"Haihhh. ., untung kau mendapatkan akal yang sangat
baik, Tukang Obat! Kalau tidak, mungkin tubuh kita bertigalah yang akan remuk,"
ujar Kakek Peramal Sinting sambil
menghempaskan napas lega.
"Yah, untunglah Pendekar Naga Putih datang pada waktu yang tepat Kalau saja cuma
kita berdua yang melakukannya,
pasti tidak akan berhasil. Malah mungkin kita berdua yang
tewas di tangan Sepasang Tengkorarak Hitam itu. Tenaga
dalam mereka luar biasa kuatnya, hingga, ketika aku
menggunakan 'Ilmu Memindahkan Tenaga Sakti', Raja
Tengkorak Hitam dapat mematahkannya. Ketika melihat Panji, aku langsung mendapat


Pendekar Naga Putih 88 Bayang Bayang Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pikiran untuk mencoba menggunakan
ilmu itu lagi. Karena aku tahu bahwa tenaga dalam Panji tidak kalah dengan
tenaga dalam kita. Dan, jika tenaga kita bertiga digabungkan, kupikir mereka
pasti tidak akan dapat
mematahkan keampuhan ilmuku lagi. Dan, nyatanya terbukti!"
tutur Raja Obat dengan wajah penuh kelegaan. "Sudahlah!
Yang penting Sepasang Tengkorak Hitam telah dapat kita
tumpas. Sekarang, mari kita lihat perkelahian di luar. Mungkin sudah usai juga.
Karena aku tidak mendengar adanya suara-suara orang bertempur?"
Namun, sebelum ketiga orang tokoh itu melangkah ke
luar, tiba-tiba Kenanga dan Kanuraga muncul. Di belakang
mereka terlihat Senapati Jalatunda dan beberapa orang perwira bawahannya.
Kenanga dan Kanuraga merasa lega melihat
ketiga orang tokoh itu masih selamat, kendati tampak wajah mereka sedikit pucat
"Kalian semua harus ikut kami ke istana!" Tiba-tiba terdengar suara Senapati
Jalatunda yang keras dan galak.
"Eh, ada apa lagi"! Apa salah kami?" tanya Panji yang menjadi heran melihat
sikap tak bersahabat dari panglima
gagah itu. Kenanga, Raja Obat, dan Kanuraga saling bertukar
pandang dengan wajah tak puas. Mereka benar-benar
penasaran dan mulai menaruh curiga dengan Senapati
Jalatunda. Senapati Jalatunda menatap wajah di hadapannya satu
persatu dengan sorot mata tajam dan tanpa senyum sedikit
pun. Lalu, terdengar kata-katanya, lantang.
"Aku akan menghadap Gusti Prabu, agar memberi
hukuman kepada kalian semua!"
"Hukuman"!" Panji, Kenanga, Raja Obat, dan Kanuraga nyaris tak dapat menahan
kemarahannya. "Benar!" tandas Senapati Jalatunda.
"Hukuman apa. .?"
"Hukuman untuk menghadiri jamuan makan yang akan
diadakan di istana!"
Senapati Jalatunda tertawa bergelak sampai tubuhnya
berguncang. Demikian pula dengan Kakek Peramal Sinting.
Malah suara tawanya lebih keras dari panglima gagah itu. Sejak tadi, Kakek
Peramal Sinting memang diam saja. Karena ia
sudah tahu pikiran Senapati Jalatunda, yang sengaja hendak menggoda.
Akhirnya, Pendekar Naga Putih, Raja Obat, Kenanga, dan
Kanuraga, ikut tertawa. Begitu pula para perwira yang berada di belakang
Senapati Jalatunda. Sehingga di ruangan itu
terdengar riuh gelak tawa mereka.
S E L E S A I Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Kucinglistrik
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Si Pemanah Gadis 7 Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Pendekar Tanpa Bayangan 2
^