Pencarian

Bencana Dari Alam Kubur 3

Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur Bagian 3


pedang yang sempat menggores permukaan kulit dada
gadis cantik itu.
"Akh...!"
Gadis cantik itu memekik tertahan ketika tan-
gannya terasa lumpuh sebatas bahu. Sedangkan pe-
dangnya sendiri terpental sejauh dua batang tombak
dari tempatnya berdiri. Dapat dibayangkan, betapa hebatnya tenaga dalam orang
yang menggagalkan niat-
nya. Padahal, benda yang dipergunakan hanya sebuah
batu kerikil sebesar ibu jari tangan!
Sesosok bayangan putih berkelebat bagai kilat
dan tahu-tahu telah berdiri di samping Wurati.
"Bunuh diri adalah perbuatan sesat, Ni sanak.
Dan setiap persoalan dapat dicari jalan keluarnya,"
sergah sosok berjubah putih yang ternyata adalah seorang pemuda tampan dan
terlihat bijaksana.
"Keparat keji! Berani kau datang lagi setelah
menodai diriku! Mengapa tidak kau bunuh saja aku
sekalian, Manusia Iblis!" maki Wurati begitu melihat kedatangan sosok pemuda
berjubah putih itu.
Begitu ucapannya selesai, gadis cantik itu lang-
sung melancarkan serangan bertubi-tubi. Pukulan dan tendangannya meluncur deras,
meskipun tidak beraturan. Karena saat itu jiwanya memang tengah menga-
lami guncangan yang sangat parah.
"Eh, eh! Tunggu dulu, Ni sanak. Aku sama se-
kali tidak mengerti maksudmu itu!" cegah pemuda berjubah putih itu sambil
berusaha mengelak dari serangan Wurati.
Sadar kalau serangan gadis itu tidak mungkin
dapat dicegah dengan kata-kata, maka pemuda tam-
pan yang tak lain Panji itu pun bergerak cepat menotok lumpuh tubuh Wurati.
Tukkk! "Uhhh...!"
Wurati mengeluh pendek ketika totokan Panji
tepat mengenai sasarannya. Tubuh gadis cantik bernasib malang itu pun langsung
roboh, tanpa mampu ber-
gerak lagi. "Bunuh saja aku! Bunuh saja aku...!" Wurati berteriak-teriak ketika seluruh
tubuhnya terasa lumpuh. "Ni sanak, lihat baik-baik. Apakah memang aku orang yang
kau maksudkan itu!" tanya Panji sambil mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga,
suaranya terdengar jelas dan mengandung pengaruh kuat
Pada saat itu, terlihat empat sosok tubuh berla-
rian mendatangi. Mereka adalah Kenanga, Ki Wangga-
la, Legawa, dan Jabrang. Mereka memang tertinggal
oleh Panji, yang melesat bagai anak panah ketika pendengarannya yang tajam
mendengar rintihan Wurati
dari kejauhan. Itulah sebabnya, mengapa pemuda itu
tiba lebih awal daripada yang lainnya.
"Mengapa dia, Kakang...?" tanya Kenanga sambil memandang iba pada Wurati.
Sekali pandang saja, Kenanga tahu kalau gadis
cantik yang tertotok lumpuh itu tengah mengalami
penderitaan batin yang sangat berat. Itu terlihat dari raut wajah dan sinar
matanya yang membayangkan
keputusasaan. Wurati menjadi sadar ketika mendengar ucapan
Panji yang mengandung perbawa dahsyat. Dipandan-
ginya wajah pemuda tampan di depannya itu lekat-
lekat. Ia pun segera tahu kalau pemuda di hadapannya itu bukanlah Samanggala,
meskipun bentuk tubuh
keduanya hampir sama. Demikian pula warna pakaian
yang dikenakan. Dan secara sekilas, rasanya kedua
pemuda itu hampir mirip. Hanya saja, wajah Panji lebih tenang dan penuh senyum.
Sedangkan Samangga-
la, meskipun penuh senyum, tapi wajahnya agak ke-
ras. "Tidak..., kau bukan dia.... Kau bukan dia...,"
Setelah berkata demikian, Wurati menutup matanya
rapat-rapat. Butiran air bening kembali mengalir
membasahi wajahnya.
"Hm... Biar kutangani gadis ini, Kakang. Ra-
sanya aku dapat menduga, apa yang telah menyebab-
kannya jadi begini," pinta Kenanga.
Kemudian gadis itu meminta agar membiar-
kannya berdua saja dengan Wurati. Karena, ia yakin
kalau gadis itu akan lebih terbuka kepadanya. Sebagai
wanita seperti halnya Wurati, tentu mereka memiliki perasaan yang sama. Hal
itulah yang membuatnya merasa yakin.
Saat itu, Panji dan ketiga orang lainnya tengah
sibuk menutupi mayat tiga orang gadis yang tanpa benang sehelai pun menempel di
tubuh mereka. Hati
keempat orang pendekar itu merasa geram melihat
mayat ketiga orang wanita desa yang malang itu. Me-
reka pun dapat menduga, apa yang telah menimpa
wanita-wanita ini sebelum kematiannya.
"Benar-benar manusia keji! Tega benar orang
yang melakukan perbuatan biadab ini!" kutuk Ki Wanggala sambil mengepal
tangannya kuat-kuat
"Entah siapa yang sampai hati melakukan ke-
kejaman seperti ini" Yang jelas, ia pasti manusia berhati binatang!"
Jabrang yang berwatak berangasan, mengger-
takkan giginya kuat-kuat. Rasanya batok kepala pem-
bunuh keji itu ingin dihancurkannya.
Sedangkan Panji dan Legawa tidak memberikan
sambutan. Pemuda berjubah putih itu malah melang-
kah, meneliti keadaan sekitarnya. Ia menghela napas berat sambil menyandarkan
tubuhnya di sebatang pohon.
*** 7 Matahari sudah semakin tinggi ketika Kenanga
selesai mengorek keterangan dari Wurati. Sikap dan
tutur kata lembut gadis jelita itu ternyata berhasil me-lunakkan hati Wurati
yang semula tertutup itu. Se-
hingga, gadis cantik bernasib malang itu tidak ragu-ragu lagi menumpahkan segala
penderitaan yang di-
alaminya kepada Kenanga.
"Aku tidak tahu lagi harus berbuat apa, Kenan-
ga. Rasanya, aku sudah tidak pantas lagi hidup di dunia ini. Diriku sudah kotor
dan tidak berharga lagi.
Pemuda biadab itu telah menghancurkan hidupku...,"
Wurati menutupi wajahnya dengan kedua telapak tan-
gan. Totokan yang tadi dilakukan Panji memang sudah dibebaskan Kenanga, sehingga
Wurati dapat bergerak
leluasa seperti semula.
"Menangislah, jika hal itu memang bisa mele-
gakan rasa sesak yang menggumpal dalam dadamu,"
bisik Kenanga sambil mengembangkan tangannya
memeluk tubuh Wurati yang tangisnya semakin teri-
sak. Setelah tangis Wurati benar-benar reda, Kenan-ga lalu mengajaknya
menghampiri Panji dan yang
lainnya. Diperkenalkan nya Wurati kepada keempat
orang itu. Wajah pucat itu pun terlihat agak cerah, karena Kenanga telah
berjanji untuk membantunya
membalaskan dendam kesumatnya kepada Samangga-
la. Juga, mencari pembunuh gurunya.
Tanpa menyinggung persoalan Wurati, Kenanga
lalu menceritakan penyebab kematian tiga orang wani-ta itu. Dan orang-orang yang
telah melakukannya.
"Hm..., Tiga Setan Kali Brantas.... Rasanya julukan itu pernah kudengar. Tapi,
mengapa mereka membawa ketiga wanita desa itu ke tempat ini" Bu-
kankah tempat tinggal mereka di tepi Kali Brantas!"
gumam Panji sambil memutar otak mencari jawaban
dari pertanyaannya.
"Mereka bersekongkol dengan pemuda yang
bernama Samanggala. Adanya ketiga tokoh sesat itu di
sini, mungkin karena Samanggala tinggal di sekitar
tempat ini," Wurati yang memang lebih tahu, segera menyahuti pertanyaan Panji.
"Seingatku, wilayah Hutan Tiga Iblis ini termasuk kekuasaan Hantu Kematian. Dia
juga menguasai Bukit Tiga Iblis, yang sekaligus tempat tinggalnya. Dan tokoh iblis yang sakti
itu tidak pernah suka terhadap orang lain yang tinggal di sekitar daerah
kekuasaan-nya. Jadi, ada kemungkinan juga kalau pemuda ber-
nama Samanggala itu memiliki hubungan dengan Han-
tu Kematian. Kalau tidak demikian, tokoh iblis itu pasti sudah mengusirnya jauh-
jauh," timpal Ki Wanggala yang tidak asing dengan tempat itu
Pendekar Tongkat Maut dan Harimau Cakar
Besi mengangguk-anggukkan kepala menyetujui uca-
pan Ki Wanggala. Memang, setahun yang lalu, kedua-
nya ikut membantu melenyapkan Hantu Kematian di
Bukit Tiga Iblis. Mereka datang kembali, karena menurut keterangan salah seorang
murid Utama Perguruan
Tangan Putih yang telah tewas, Hantu Kematian lah
penyebab musnahnya Perguruan Macan Liwung dan
Perguruan Tangan Putih. Dan ketiga pendekar itu in-
gin menyelidiki kebenarannya, sehingga meminta ban-
tuan Panji. Tentu saja setelah terlebih dahulu menceritakan duduk persoalannya
kepada pemuda sakti itu.
Panji pun menyanggupi permintaan ketiga
orang tokoh persilatan itu. Dan sebenarnya, ia me-
mang ingin menyelidiki tentang pembunuhan yang ra-
mai dibicarakan orang.
"Sebaiknya kita berangkat sekarang ke Bukit
Tiga Iblis, sebelum hari gelap. Kalau Hantu Kematian benar-benar bangkit dari
kubur, sudah pasti ia akan tetap tinggal di tempatnya yang lama. Apalagi ia
merupakan seorang tokoh sesat yang berkemampuan tinggi,
tentu saja tidak sudi untuk pindah tempat, karena tidak ingin dituduh pengecut,"
usul Panji setelah semuanya terdiam mengikuti arus pikiran masing-masing.
"Yah, memang sebaiknya begitu. Ayolah kita be-
rangkat," ajak Ki Wanggala.
Orang tua itu kemudian melangkahkan kakinya me-
ninggalkan tempat itu. Panji dan yang lainnya bergegas mengikuti dari belakang.
Tinggallah tiga buah gundukan tanah basah
tempat ketiga orang gadis malang itu dikuburkan.
Sepeninggal keenam orang itu, Hutan Tiga Iblis
kembali dicekam kesunyian.
*** Bukit Tiga Iblis berdiri angker dengan jejeran
pohon besar yang berdiri kokoh bagaikan penjaga-
penjaganya. Pohon-pohon itu tampak tua sekali, se-
hingga beberapa di antaranya telah mengelupas kulit luarnya. Akar-akarnya
bersembulan di atas permukaan tanah, membuat tempat itu semakin sulit dilewa-ti.
Lerengnya yang terjal dan hampir tegak lurus,
membuat Bukit Tiga Iblis hampir tidak pernah dida-
tangi orang. Siapa pula yang sudi menjejakkan ka-
kinya di atas batu-batu berlumut itu" Rasanya me-
mang tepat kalau bukit itu dinamakan Bukit Tiga Iblis.
Sebab dari kejauhan, bukit itu terlihat terpecah menjadi tiga bentuk kepala yang
berwarna pekat dan me-
nyeramkan. Belum lagi penghuninya, yang tidak kalah seram dengan nama dan
suasana bukit itu sendiri.
Lengkaplah sudah keangkeran bukit yang tidak sebe-
rapa besar itu.
Enam orang pendekar yang berniat mendatangi
bukit itu menghentikan langkah di kaki bukit. Mereka berdiri tegak menatap ke
atas puncak yang ditumbuhi pepohonan besar.
Ki Wanggala menarik napas panjang untuk
menekan debaran keras yang memukul dadanya. Ha-
tinya menjadi tegang mengingat peristiwa setahun
yang lalu. Masih terbayang di benaknya, bagaimana
waktu itu dia harus membantu kawan-kawannya un-
tuk melenyapkan Hantu Kematian. Seorang tokoh se-
sat yang selain berkepandaian tinggi, juga terkenal sebagai pembunuh berdarah
dingin. Ki Wanggala harus kehilangan tiga orang ka-
wannya sebelum berhasil menamatkan riwayat Hantu
Kematian. Ciut juga hatinya membayangkan, kalau to-
koh sesat yang mengiriskan itu memang benar telah
bangkit kembali dari kuburnya. Dan terus terang ha-
tinya menjadi ragu, apakah dapat menumpas manusia
iblis itu sekarang ini. Apalagi, tokoh sesat itu telah melakukan pembantaian-
pembantaian tokoh silat berke-
pandaian tinggi beberapa hari belakangan ini. Sukar dibayangkan, sampai di mana
kesaktian Hantu Kematian sekarang ini. Ki Wanggala mengusap wajahnya
yang berpeluh karena memikirkan hal itu.
Bukan hanya Ki Wanggala saja yang mengalami
ketegangan itu. Harimau Cakar Besi dan Pendekar
Tongkat Maut pun mengalami hal serupa. Mereka yang
dulu pernah ikut mengeroyok Hantu Kematian, menja-
di ragu. Sebab, bukan tidak mungkin kalau kedatan-
gan mereka justru hanya untuk mengantarkan nyawa
saja. Kekhawatiran itu timbul akibat dugaan, kalau
Hantu Kematian telah bangkit dari kuburnya! Hal itu bisa saja terjadi, mengingat
tokoh sesat yang menyeramkan itu memang banyak memiliki ilmu tinggi yang
aneh dan sangat dahsyat. Maka wajah keduanya pun
agak memucat memikirkan hal itu.
"Apakah tidak sebaiknya kita segera mendaki
Bukit Tiga Iblis ini, Ki?" tanya Panji, memecah kehe-ningan sesaat itu.
Pendekar Naga Putih sebenarnya merasa heran
melihat Ki Wanggala dan dua orang lainnya hanya
berdiri termenung memandangi puncak bukit itu. Tapi ketika melihat perubahan
pada wajah ketiga orang tokoh persilatan itu, Panji sadar kalau hati mereka
tengah diliputi ketegangan. Hal itu dapat dimakluminya, karena Ki Wanggala
pernah bercerita tentang pertarungannya dengan Hantu Kematian. Bahkan orang tua
itu harus berjuang keras, sehingga harus kehilangan tiga orang kawannya sebelum
menghabisi Hantu Kematian. Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang, tersentak dari
lamunan ketika mendengar teguran Panji. Wajah
mereka pun berseri ketika teringat ada Pendekar Naga Putih, yang kesaktiannya
tidak diragukan lagi.
"Hm... Marilah kita segera berangkat!" ajak Ki Wanggala setelah agak lama
terdiam menenangkan ha-ti agar kegelisahan dan ketegangannya tidak terlihat
Panji. Lalu, orang tua itu pun melangkahkan kakinya siap mendaki Bukit Tiga
Iblis. Panji tersenyum, namun pura-pura tidak men-
getahui apa yang tengah dirasakan ketiga orang pen-
dekar itu. Langkahnya pun terayun, mengikuti Ki
Wanggala yang dianggapnya sebagai pimpinan. Kare-
na, dialah orang yang paling tua di antara mereka. Sedangkan Panji yang tidak
suka menonjolkan kepan-
daiannya, memilih sebagai pengikut Dan itu lebih dis-ukainya.


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** "Berhenti! Hendak ke mana kalian..."!" terdengar bentakan yang disusul
berloncatannya tiga sosok tubuh menghadang perjalanan Ki Wanggala dan kawan-
kawan. Ternyata mereka adalah Tiga Setan Kali Bran-
tas yang saat itu hendak meninggalkan Bukit Tiga Iblis. Hingga berpapasan dengan
rombongan yang hen-
dak mendaki lereng bukit itu.
Tiga Setan Kali Brantas berdiri tegak sambil
menatap wajah-wajah di depannya. Mereka tampak
terkejut ketika mengenali Wurati dan tiga orang tokoh persilatan itu. Dan
memang, Ki Wanggala dan dua
orang temannya tidaklah asing bagi mereka. Hal itu
wajar, karena ketiga orang itu merupakan pendekar
digdaya dalam dunia persilatan. Tentu saja Tiga Setan Kali Brantas dapat cepat
mengenalinya. "Oh! Kiranya kau, Ki Wanggala, Pendekar Tong-
kat Maut, dan Harimau Cakar Besi! Apakah kalian
sengaja datang untuk mengantarkan dewi cantik itu
kepadaku" Atau si dara jelita yang sangat molek itu?"
ejek Setan Kepalan Besi yang menatap Kenanga dari
ujung kaki hingga ke ujung rambut.
"Bangsat keji! Manusia kotor! Kini aku harus
membalas kekalahanku waktu itu! Bersiaplah.
Heaaat...!"
"Tahan, Wurati!" Wurati yang melihat kemunculan Tiga Setan Kali Brantas langsung
kalap. Dia bersiap menyerang, namun pergelangan tangannya lang-
sung dicekal Pendekar Naga Putih. Gadis itu hanya bi-sa memendam perasaannya,
lalu memeluk Kenanga.
"Sabarlah, Wurati. Biar Ki Wanggala dan yang
lainnya menghadapi Tiga Setan Kali Brantas itu. Bu-
kankah kami sudah berjanji untuk membantumu?"
bujuk Kenanga sambil merangkul erat gadis itu. Nada suaranya lembut, sehingga
membuat kemarahan di
hati Wurati lenyap seketika.
Sementara Tiga Setan Kali Brantas hanya ter-
senyum memuakkan. Apalagi Setan Kepalan Besi. La-
ki-laki gemuk bercambang bauk lebat itu seperti lupa kepada yang lainnya. Ia
benar-benar terpesona dengan kecantikan dan kejelitaan Kenanga. Hingga tanpa
sadar, mulutnya sampai ternganga dan hampir mene-
teskan air liur. Untung saja keburu disadarinya.
"Setan Kepalan Besi! Kedatanganku kemari
memang berniat hendak mengantarkan," sahut Ki
Wanggala tenang. "Dan nyawamu lah yang akan kuantarkan ke akhirat! Rupanya kau
sudah tahu akan hal
itu. Dan kelihatannya memang sudah siap!"
"Keparat sombong! Besar sekali mulutmu, Ki
Wanggala! Justru sebaliknya aku yang akan mengirim
nyawamu ke neraka!" bentak Setan Kepalan Besi mur-ka. Sepasang tangannya tampak
terkepal erat hingga
menimbulkan bunyi berkerotokan nyaring.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sama se-
kali tidak menunjukkan tanggapan apa-apa. Sebab se-
kali lihat saja, pemuda itu sudah dapat menilai kepandaian Tiga Setan Kali
Brantas. Ia tahu kalau Ki Wanggala dan kawan-kawannya mampu mengatasi tiga to-
koh sesat itu, meskipun harus dengan susah payah.
Sementara itu, enam orang tokoh dari dua ali-
ran yang berbeda sudah berdiri saling berhadapan! Ki Wanggala yang memang
memiliki keistimewaan dalam
ilmu silat tangan kosong, berhadapan dengan Setan
Kepalan Besi yang juga lebih menyukai tangan kosong.
Kedua orang tokoh itu sudah menyiapkan ju-
rus-jurus untuk saling menyerang. Nampaknya perta-
rungan sudah tidak bisa dihindari lagi. Terlihat kedu-
anya sudah melangkah saling mendekat dengan lang-
kah-langkah yang kokoh dan kuat.
"Hiyaaat..!"
Setan Kepalan Besi yang sudah tidak sabar
menunggu itu berteriak keras membuka serangan. Se-
pasang kakinya bergerak maju membentuk kuda-kuda
kokoh. Sedangkan sepasang tangannya bergerak cepat
menimbulkan deru angin tajam. Jelas kalau lelaki gemuk itu telah mengerahkan
seluruh tenaga, karena
sadar kalau lawan kali ini bukanlah tokoh sembaran-
gan. "Yeaaat..!"
Ki Wanggala pun tidak mau menunggu datang-
nya serangan lawan. Orang tua itu sudah melompat
menyambut terjangan dahsyat Setan Kepalan Besi. Da-
lam waktu singkat, keduanya segera terlibat pertarungan seru dan menegangkan.
Wuttt! Wukkk...!
Pukulan-pukulan yang dilancarkan Setan Ke-
palan Besi mengaung, menimbulkan deru angin keras.
Sepertinya, tokoh sesat bertubuh gemuk itu ingin segera menundukkan lawannya.
Hal itu terlihat jelas dari serangannya yang menggunakan jurus-jurus pilihan.
Namun yang dihadapi Setan Kepalan Besi kali
ini bukanlah tokoh sembarangan. Meskipun serangan-
serangan yang dilancarkannya sangat cepat dan ganas, ternyata Ki Wanggala mampu
mengimbanginya. Bahkan orang tua itu pun dapat balas menyerang tidak
kalah berbahayanya. Sehingga, pertarungan kedua
orang tokoh itu pun semakin seru dan menegangkan.
Pada saat yang hampir bersamaan, dua per-
tempuran lain pun sudah pula berlangsung. Pendekar
Tongkat Maut yang berhadapan dengan Setan Muka
Putih sudah menggunakan senjata andalannya untuk
menghalau pukulan-pukulan beracun yang dilancar-
kan lawan. Wuttt! Wuttt..!
Kain yang berada di ujung tongkat milik Legawa
berkibaran membuyarkan serangan-serangan lawan-
nya. Pukulan dan tendangan yang tersembunyi di balik kibaran senjatanya, membuat
Setan Muka Putih tidak
berani bertindak ceroboh. Sebab dari sambaran angin pukulan itu dapat diduga
kalau serangan-serangan itu tidak bisa dianggap enteng.
"Haiiit..!"
Sambil berseru nyaring, Setan Muka Putih me-
lompat tinggi menghindari sambaran ujung senjata lawan. Dibarengi gerakan itu,
tangan kanannya meng-
hantam ke depan dengan jari-jari terbuka.
Wusss! Serangkum angin dingin yang menebarkan bau
amis meluncur mengancam dada Legawa yang terbu-
ka. Pendekar itu cepat memutar senjata dengan kedua tangan membentuk setengah
lingkaran. Blub! Terdengar suara begitu dua gelombang tenaga
yang saling berlawanan berbenturan. Kedua orang to-
koh itu berseru tertahan, dan bergetar mundur bebe-
rapa langkah ke belakang. Dilihat sepintas, jelas kalau kekuatan mereka
berimbang. Untuk beberapa saat lamanya, keduanya hanya
berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Mereka persis seperti dua ekor ayam jago
yang tengah berlaga.
"Yeaaat..!"
"Haaat..!"
Beberapa saat kemudian, keduanya kembali
saling menerjang hebat. Masing-masing mengeluarkan
ilmu-ilmu pilihan untuk mendesak lawannya.
Sementara itu, Jabrang atau yang lebih dikenal
berjuluk Harimau Cakar Besi bertarung seru melawan
Setan Kelabang Hijau. Di arena ini pun tercium bau
amis yang memualkan perut. Sebab sesuai julukannya
pukulan-pukulan Setan Kelabang Hijau juga mengan-
dung racun ganas. Sekali saja orang terkena pukulan
'Kelabang Hijau'nya, sudah pasti tidak akan berumur panjang.
Itulah sebabnya, mengapa pertarungan yang
berlangsung di arena itu terlihat agak lamban. Harimau Cakar Besi bertindak
sangat hati-hati, dan penuh perhitungan. Sebab disadari, betapa berbahayanya
pukulan beracun yang dilancarkan lawan. Sehingga,
pendekar itu lebih banyak menghindar daripada mela-
kukan serangan. Akibatnya, pertarungan itu kelihatan tidak menarik dan terkesan
membosankan. "He he he...! Mana ilmu yang kau bangga-
banggakan itu, Harimau Cakar Buntung" Hayo, kelua-
rkan! Atau, kau memang bisanya hanya berlari-lari seperti maling?" ejek Setan
Kelabang Hijau terkekeh ketika melihat lawannya hanya banyak menghindar dari-
pada melakukan serangan balasan.
Namun, Harimau Cakar Besi sama sekali tidak
meladeni ejekan lawannya. Perhatiannya tetap terpusat kepada serangan-serangan
lawan. Sebab sekali saja
lengah, bukan tidak mungkin pukulan beracun lawan
akan mengenai tubuhnya. Tentu saja hal itu sama se-
kali tidak diinginkannya.
"Haaat..!"
Apa yang diduga Jabrang, terbukti. Selesai me-
lontarkan kata-kata ejekan, tubuh Setan Kelabang Hijau melompat dengan dorongan
sepasang telapak tan-
gannya. Bau amis menebar, membuat Harimau Cakar
Besi melompat mundur. Cepat-cepat ia menahan na-
pas, agar hawa beracun yang menyertai serangan la-
wan tidak sampai tercium. Sambil melompat, sepasang telapak tangannya
didorongkan ke depan untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya.
Wusss! Serangkum angin kuat menghantam buyar ha-
wa beracun yang dilontarkan Setan Kelabang Hijau.
Tubuh Setan Kelabang Hijau yang baru me-
nyentuh tanah dengan ujung kakinya, kembali melent-
ing mengejar Harimau Cakar Besi. Sepasang tangan-
nya bergerak bersilangan, dan berputar mengaburkan
pandangan lawan.
Bukan main terkejutnya hati Jabrang melihat
kecepatan gerak lawan yang sama sekali tidak diduga itu. Cepat-cepat tubuhnya
bergulingan ke kiri menghindari sepasang tangan lawan yang susul-menyusul
mengincar tubuhnya.
Sayang, gerakan Harimau Cakar Besi kalah ce-
pat dengan lawannya. Pada saat tubuhnya hendak me-
lenting bangkit, tahu-tahu saja kaki kanan lawan sudah tiba mengancam perutnya.
Bukkk! "Hugh...!"
Tak ayal lagi, tubuh Jabrang terhempas keras
ke belakang ketika telapak kaki lawan tepat menghantam perut pendekar itu.
Harimau Cakar Besi jatuh terguling-guling se-
jauh dua batang tombak. Sebelum dapat bangkit te-
gak, serangan lawan kembali meluncur mengincar da-
danya. Wuttt! Dorongan telapak tangan yang menebarkan bau
amis itu meluncur dengan kecepatan tinggi. Rasanya
serangan itu tidak mungkin lagi dapat dihindari Hari-
mau Cakar Besi. Tokoh berwatak berangasan itu
hanya dapat pasrah menanti datangnya maut
Pada saat yang gawat itu, sesosok bayangan
putih berkelebat bagai kilat menuju ke tengah arena.
Langsung telapak tangan kanannya dihantamkan ke
arah Setan Kelabang Hijau.
Plakkk! "Ugkh...!"
Terdengar benturan keras dan jerit tertahan
yang keluar dari mulut Setan Kelabang Hijau, kemu-
dian disusul terlemparnya tubuh tokoh sesat itu. Sua-ra berdebuk keras
mengiringi jatuhnya Setan Kelabang Hijau ke tanah.
Setan Kelabang Hijau mengerang tertahan. Tu-
buhnya tampak menggigil hebat. Dari mulutnya keluar gumpalan darah segar akibat
luka dalam yang dideritanya. Kemudian perlahan wajahnya berubah kehi-
jauan. Tangkisan yang dilakukan sosok bayangan pu-
tih itu ternyata demikian kuat. Dan akibatnya, tenaga beracun yang dikerahkan
Setan Kelabang Hijau berbalik, hingga melukai dirinya sendiri. Dapat
dibayangkan, betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki sosok bayangan putih
itu. Ia bukan saja mampu menolak racun yang dikerahkan tokoh sesat itu, bahkan
mampu membuat tenaga lawan berbalik dan melukai pemilik-
nya. Sosok berjubah putih yang tak lain Pendekar
Naga Putih itu sama sekali tidak memperhatikan Setan Kelabang Hijau yang telah
menghembuskan napas te-rakhirnya. Tokoh sesat bertubuh sedang itu mengejang
kaku, dengan sekujur tubuh berwarna kehijauan. Lu-ka dalam yang dideritanya
telah membuat dia tewas
seketika itu juga.
Pendekar Naga Putih kemudian menghampiri
Harimau Cakar Besi yang masih mengerang memegan-
gi perutnya. "Bagaimana lukamu, Paman...?" tanya Panji dengan nada khawatir.
"Tidak terlalu mengkhawatirkan. Rasanya, aku
bisa mengatasinya sendiri. Terima kasih atas pertolonganmu, Pendekar Naga
Putih," ucap Harimau Cakar Besi yang wajahnya masih agak pucat
Bukan hanya Panji dan Jabrang saja yang tidak
mengetahui kematian Setan Kelabang Hijau. Keempat
tokoh lainnya pun juga tidak menyadari hal itu. Mere-ka terlalu sibuk dengan
lawan masing-masing.
*** 8 Tubuh Setan Kelabang Hijau yang diam tak
bergerak itu menarik perhatian Kenanga dan Wurati.
Kedua orang gadis yang semenjak tadi hanya berdiri
menonton itu melangkahkan kaki dengan benak dipe-
nuhi pertanyaan. Matikah tokoh sesat yang berbahaya itu" Atau cuma pingsan"
"Ingat, Wurati. Jangan bertindak ceroboh...!"
bisik Kenanga ketika melihat Wurati tengah melolos
pedangnya dengan sorot mata penuh dendam.
Wurati yang semula hendak membantah, ter-
paksa menurut ketika melihat sepasang mata Kenanga
yang menatapnya lembut. Apalagi ketika lengan dara
jelita itu menggenggam hangat telapak tangannya. Seketika luluhlah kekerasan
hatinya. Pedang yang semula terhunus itu perlahan di-
masukkan ke sarungnya. Setelah itu dikutinya lang-
kah Kenanga yang menuju mayat Setan Kelabang Hi-
jau yang terbaring menelungkup.
"Jangan kau sentuh tubuhnya...." Kenanga
mengingatkan sahabatnya, ketika melihat Wurati hen-
dak menyentuh tubuh kehijauan yang menelungkup.
"Tubuh orang ini sudah dicemari racun ganas. Sedikit saja kau sentuh, mungkin
aku tidak akan sanggup


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkan nyawamu."
Kenanga melangkah maju sejauh dua langkah.
Setelah beberapa saat memperhatikan, tahulah
dara jelita itu kalau Setan Kelabang Hijau telah tewas.
Melihat keadaan mayatnya, gadis itu sadar kalau
orang itu telah termakan ilmunya sendiri. Meskipun
belum diketahui secara pasti, namun dapat diterka kalau kematian orang itu
disebabkan tangkisan kekasihnya tadi.
Wurati yang belum mengetahui kalau orang itu
telah tewas, timbul niatnya untuk membalas dendam
atas perlakuan orang itu terhadapnya.
"Inilah kesempatan baik bagiku," kata hati gadis yang dipenuhi dendam kesumat
itu. Tanpa setahu Kenanga, gadis cantik berwajah
pucat itu melolos pedangnya tanpa menimbulkan sua-
ra. "Terimalah pembalasanku, Manusia Jaha-
nam...!" sambil membentak nyaring, Wurati men-
gayunkan pedangnya ke leher Setan Kelabang Hijau
yang telah menjadi mayat
"Wurati, jangan,..!" cegah Kenanga yang sama sekali tidak menduga gerakan gadis
itu. Terlambat! Wurati yang bagaikan orang kema-
sukan setan telah mencincang seluruh tubuh Setan
Kelabang Hijau. Terlebih dulu, dipenggalnya leher
mayat itu. "Mampus kau, Biadab! Pergilah ke neraka...!"
Wurati berteriak-teriak di antara isak tangisnya. Pedang dl tangannya berkali-
kali menghunjam tubuh
yang telah kaku.
"Dia memang telah tewas sebelumnya, Wura-
ti...," seru Kenanga di antara teriakan-teriakan gadis itu.
Setelah berseru demikian, tangannya bergerak
menangkap pergelangan tangan gadis cantik yang ke-
setanan itu. "Lepaskan aku...! Lepaskan! Biar kucincang
hancur tubuh jahanam keparat itu...!" Wurati berteriak-teriak sambil berusaha
melepaskan tubuhnya dari pelukan Kenanga.
Tangan kiri Kenanga melingkar semakin erat
menjepit pinggang gadis cantik itu. Sedangkan tangan kanannya menjepit
pergelangan Wurati yang meme-gang pedang.
Panji yang mendengar teriakan-teriakan kedua
orang wanita itu, membalikkan tubuhnya. Pendekar
Naga Putih langsung melesat ke arah Kenanga dan
Wurati yang masih memberontak.
"Ada apa, Kenanga...?" tegur Panji demi melihat keadaan itu.
Pemuda itu baru mengerti ketika melihat tubuh
Setan Kelabang Hijau yang tergeletak dalam keadaan
tidak utuh. Pantas saja Kenanga tidak mau mele-
paskan pelukannya pada tubuh Wurati. Rupanya gadis
jelita itu hendak mencegah perbuatan Wurati.
"Lepaskan aku...! Lepaskan...," teriak Wurati kian melemah.
Tak lama kemudian, kepala gadis cantik itu
pun terkulai. Wurati kini pingsan dalam pelukan Ke-
nanga. Belum lagi Kenanga dan Panji dapat menarik
napas lega, tiba-tiba terdengar tawa menggema berkepanjangan. Hebatnya, suara
tawa itu seolah-olah da-
tang dari berbagai penjuru. Sehingga, Panji sendiri sulit untuk menentukan arah
suara tawa itu berasal.
Saking hebatnya tenaga dalam yang terkan-
dung di dalam suara tawa itu, sampai-sampai keempat orang tokoh yang tengah
bertarung sengit sama-sama
melompat ke belakang. Mereka cepat mengerahkan
hawa mumi untuk melawan pengaruh tawa yang sem-
pat mengguncangkan isi dada.
Untunglah saat itu Wurati dalam keadaan ping-
san. Kalau tidak, gadis yang memiliki kepandaian paling rendah di antara yang
lain, pasti tidak akan kuat menahan pengaruh tenaga dalam yang dikerahkan me-
lalui tawa itu.
Panji yang memiliki kepandaian paling tinggi di
antara mereka, tidak membiarkan keadaan itu ber-
langsung terus. Bukan tidak mungkin kalau kawan-
kawannya akan mendapat luka dalam yang cukup pa-
rah. Cepat-cepat ditariknya napas dalam-dalam sambil mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'nya yang
dahsyat itu Sinar putih keperakan mulai berpendar menye-
limuti seluruh tubuh Pendekar Naga Putih. Sesaat kemudian, terdengar lengkingan
dari kerongkongannya.
Lengkingan itu berusaha menindih suara tawa yang
masih menggema berkepanjangan.
Bukan main terkejutnya hati Pendekar Naga
Putih ketika mendapat kenyataan yang sungguh di
luar dugaannya. Sebab setelah seluruh tenaga sak-
tinya dikerahkan, barulah ia dapat menindih suara ta-
wa yang benar-benar luar biasa itu. Kenyataan itu
sempat membuat jantungnya berdebar-debar. Karena,
lawan yang mungkin bakal dihadapinya sudah jelas
memiliki kepandaian tinggi dan sukar diukur.
Berbarengan dengan lenyapnya lengkingan
Panji, angin dingin bertiup keras yang disusul berkele-batnya sesosok tubuh
tinggi kurus. Sebelum sepasang kaki sosok tinggi kurus itu
menyentuh permukaan bumi, sosok bayangan lainnya
datang menyusul.
"Kekh, kekh, kekh...! Tidak kusangka! Rupanya
tempatku ini mendapat kehormatan dikunjungi seo-
rang tokoh muda yang telah mengguncangkan rimba
persilatan! Selamat datang, Pendekar Naga Putih,"
ucap sosok tinggi kurus.
Dia ternyata seorang kakek, berusia kira-kira
tujuh puluh tahun lebih. Suaranya terdengar serak
dan parau. Meskipun kata-katanya memuji, namun ta-
rikan bibirnya jelas membuktikan kalau meremehkan
Pendekar Naga Putih.
Sedangkan pemuda tampan berbaju putih di
sebelah kiri kakek itu memandang sinis kepada Panji.
Sepasang matanya yang penuh ejekan itu berubah liar, begitu menangkap seraut
wajah jelita yang penuh pesona. Senyum sinis di bibirnya berganti dengan se-
nyum kelicikan.
"Hm.... Gadis seperti inilah yang patut jadi is-triku," gumam pemuda tampan yang
tak lain dari Samanggala. Matanya terus saja menjilati sekujur wajah dan tubuh
Kenanga tanpa malu-malu.
Panji sama sekali tidak mempedulikan Sa-
manggala. Memang, kakek tinggi kurus itu lebih menarik perhatiannya daripada
pemuda cabul itu. Dugaan-
nya pun tertuju kepada kakek itu, yang pasti orang
yang mengeluarkan suara tawa tadi.
"Terima kasih atas pujianmu itu, Ki. Sayang
aku tidak seperti yang kau bayangkan. Kuharap kau
tidak kecewa, karena pendekar yang diagung-
agungkan orang hanyalah seorang pemuda dusun
yang bodoh," ujar Panji.
Suara dan wajah Pendekar Naga Putih tetap te-
nang, meskipun di dalam hatinya merasa tegang. Ka-
rena, kakek itu jelas seorang yang memiliki kepan-
daian sangat tinggi. Sehingga, hatinya pun merasa ra-gu-ragu, apakah dapat
menandingi kesaktian kakek
itu. "Berhati-hatilah, Pendekar Naga Putih. Ternyata kabar yang semula kukira hanya
isapan jempol, benar adanya. Dialah yang berjuluk Hantu Kematian. Entah
bagaimana caranya hingga sampai dapat bangkit dari
kuburnya. Pada setahun lewat, ia telah kami bunuh.
Padahal kami yakin, saat itu ia telah tewas," bisik Ki Wanggala yang saat itu
telah berada di samping kanan Pendekar Naga Putih. Wajah orang tua itu terlihat
agak pucat dan tegang.
Bukan hanya Ki Wanggala seorang yang merasa
tegang. Pendekar Tongkat Maut dan Harimau Cakar
Besi yang berada di sebelah kiri Panji pun mengalami hal serupa. Wajah mereka
nampak gelisah dan agak
pucat Lain halnya Kenanga. Setelah terbebas dari
pengaruh suara tawa yang menggetarkan hati tadi, gadis jelita itu langsung sibuk
mengurus Wurati yang
tengah pingsan. Sama sekali tidak dipedulikan yang
lainnya. Dan memang, dara jelita itu menaruh keper-
cayaan penuh pada kekasihnya. Dia yakin, Pendekar
Naga Putih akan dapat mengatasi semuanya.
Meskipun Panji tidak menyahuti, namun bukan
berarti tidak memperhatikan ucapan Ki Wanggala. Dan dugaannya ternyata tidak
meleset Kakek itu memang
Hantu Kematian seperti dugaannya. Hal itu membuat-
nya semakin berhati-hati. Apalagi menurut Ki Wangga-la, Hantu Kematian telah
tewas terbunuh pada seta-
hun lewat. Hal itu telah membuktikan kalau kakek kurus itu sudah tentu memiliki
kepandaian jauh lebih
tinggi dari sebelumnya. Dan ini sudah dibuktikannya ketika melawan pengaruh
suara tawa kakek berwajah
pucat bagai mayat itu.
"Apakah kau pernah mendengar sebuah ilmu
yang dapat membangkitkan orang mati, Pendekar Naga
Putih?" tanya Pendekar Tongkat Maut, berbisik lirih ke telinga Panji.
"Ilmu seperti itu memang pernah kudengar,
Paman. Tapi, yang satu ini rasanya lain. Ia tidak seperti kebanyakan mayat hidup
yang pernah kudengar, se-
bab dapat berbicara dan bertindak menurut kemaua-
nnya sendiri. Bukan atas perintah orang lain," sahut Panji dengan suara rendah,
tanpa menoleh. Mendengar penjelasan Pendekar Naga Putih,
Pendekar Tongkat Maut hanya mengangguk-
anggukkan kepala saja. Patut diakui kalau pengeta-
huannya tidak sampai sejauh itu.
"Hm.... Guruku pernah bercerita tentang suatu
ilmu yang hanya dapat disempurnakan saat orang itu
mengalami sekarat. Cara menyempurnakannya pun
harus dengan mengubur diri selama beberapa bulan.
Kalau tidak salah, ilmu itu bernama 'Ilmu Memecah
Sukma'. Tapi menurut guruku, ilmu itu telah lama lenyap dari dunia persilatan.
Apakah mungkin, kakek
itu sekarang memilikinya," gumam Panji setengah tak percaya.
Pembicaraan mereka terhenti ketika kakek
tinggi kurus itu melangkah sejauh enam tindak, men-
dekati Panji dan kawan-kawannya.
"Kekh, kekh, kekh...! Bagus! Rupanya kalian
bertiga pun telah datang untuk mengantarkan nyawa!
Bersiaplah menyusul kedua orang kawan kalian yang
telah lebih dulu kuantarkan ke neraka," ancam Hantu Kematian kepada Ki Wanggala,
Pendekar Tongkat
Maut, dan Harimau Cakar Besi yang merupakan mu-
suh lamanya. Begitu ucapannya selesai, Hantu Kematian
langsung melompat menerjang Ki Wanggala yang bera-
da di sebelah kanan Panji. Gerakannya demikian ce-
pat, sehingga Panji dan kawan-kawannya hampir tidak menduga.
Sadar akan bahaya yang mengancam Ki Wang-
gala, Panji menggenjot tubuhnya memapak serangan
Hantu Kematian. Selapis kabut bersinar putih keperakan berpendar menyelimuti
tubuhnya. Rupanya, pe-
muda itu langsung mengerahkan hampir seluruh tena-
ga dalam untuk memapak serangan Hantu Kematian
yang memiliki kepandaian tinggi.
Wusss! Hawa dingin yang sanggup membekukan tu-
buh, berhembus keras mengiringi tamparan telapak
tangan Pendekar Naga Putih. Tamparan itu dimaksud-
kan untuk menggagalkan serangan Hantu Kematian
yang mengancam pelipis Ki Wanggala.
Hantu Kematian rupanya sudah memperhi-
tungkan, apa yang bakal dilakukan Panji. Tangan yang semula berniat melakukan
totokan kepada Ki Wanggala, berputar setengah lingkaran. Tangan itu kemudian
langsung bergerak mencengkeram lengan Panji. Gerakannya demikian cepat dan tak
terduga, sehingga
sempat membuat Panji terkejut
Namun Pendekar Naga Putih bukanlah orang
yang mudah gugup oleh perubahan gerak tipu lawan.
Telapak tangan yang semula menampar, kini sudah
membentuk cakar naga. Setelah bergerak melingkar
secara mengejutkan, cakar naga Panji langsung me-
nyambar lambung kanan Hantu Kematian.
Wuttt! "Bagus...!" puji Hantu Kematian sambil melompat mundur menghindari cakaran yang
mengandung hawa dingin kuat itu.
Diam-diam Pendekar Naga Putih memuji kehe-
batan ilmu meringankan tubuh lawannya yang me-
mang hebat luar biasa itu. Tubuh kakek itu terlihat demikian ringan, hingga tak
ubahnya sehelai kapas
yang terbang tertiup angin. Benar-benar sebuah per-
tunjukan ilmu meringankan tubuh yang tidak ada du-
anya "Hm.... Aku tidak mempunyai urusan dengan-mu, Pendekar Naga Putih! Tapi
kalau memang ingin
mengadu kepandaian denganku, tunggulah sampai ke-
tiga musuh lamaku itu kubereskan!" geram Hantu Kematian yang rupanya tidak suka
melihat campur tan-
gan Pendekar Naga Putih.
"Memang benar aku tidak mempunyai persoa-
lan denganmu secara pribadi, Hantu Kematian. Tapi
perbuatanmu yang telah membantai dua partai persilatan, membuatku tidak bisa
berpangku tangan saja.
Sudah menjadi kewajibanku untuk menumpas segala
kejahatan di muka bumi ini," sahut Panji berwibawa.
Saat itu keduanya berdiri dalam jarak tidak lebih dari dua batang tombak
jauhnya. "Hm.... Kalau kau memang sudah ingin meng-
hadapi Malaikat Maut, baiklah! Aku bersedia memban-
tumu! Sambutlah...!" ancam Hantu Kematian dengan suara parau dan sember.
Panji menggeser kakinya ke belakang, siap
menghadapi serangan Hantu Kematian kembali. Sadar
kalau yang dihadapinya bukanlah tokoh sembarangan,
maka pemuda itu pun sudah mengeluarkan jurus


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

'Naga Sakti'nya.
Terdengar suara mendengus kasar dari mulut
Hantu Kematian. Kakek kurus itu berdiri tegak dengan sepasang mata menyorot
menyeramkan. Perlahan-lahan, sepasang tangannya bergerak naik ke atas ke-
pala. "Rebah...!" bentak Hantu Kematian dengan suara mengguntur, dibarengi
tepukan tangannya di atas
kepala. Pengaruh gerakan sederhana itu hebat bukan
main! Tubuh Pendekar Naga Putih bergetar hebat ba-
gaikan orang terserang demam! Sedangkan Ki Wangga-
la dan dua orang kawannya, termasuk juga Kenanga,
terhuyung mundur dengan wajah pucat dan napas
memburu. Dari sudut bibir mereka, nampak cairan
merah mengalir turun. Untunglah mereka memiliki te-
naga dalam kuat, sehingga tidak sampai terjatuh kare-na serangan 'Ilmu Memecah
Sukma' yang dikerahkan
Hantu Kematian untuk menundukkan Panji.
Sadar akan kedahsyatan pertarungan yang ten-
gah berlangsung itu, mereka pun bergegas menjauh.
Samanggala, Setan Kepalan Besi, dan Setan
Muka Putih pun tidak ingin mengalami celaka. Keti-
ganya segera berlari menjauhi arena pertarungan yang mengerikan itu.
Kedua kelompok yang sama-sama menjauh,
akhirnya bertemu. Samanggala yang memang sejak ta-
di mengincar Kenanga, langsung menerkam gadis jelita
itu. Kenanga yang tengah memondong tubuh Wura-
ti, bergegas meletakkan tubuh gadis itu. Ia yang sejak semula memang sudah marah
oleh cara Samanggala
menatapnya, langsung saja menyambut dengan seran-
gan yang tidak kalah ganas. Dalam waktu yang sing-
kat, keduanya sudah terlibat dalam sebuah pertarun-
gan sengit. Demikian pula halnya Ki Wanggala dan Pende-
kar Tongkat Maut Keduanya melompat menyambut Se-
tan Kepalan Besi dan Setan Muka Putih yang saat itu juga sudah menerjang.
Keempat orang tokoh dari aliran berbeda itu segera terlibat dalam pertarungan
ma-ti-matian. Mereka saling menyerang ganas untuk men-
jatuhkan lawan secepat mungkin.
Tinggallah Harimau Cakar Besi berdiri menon-
ton. Sebagai seorang berjiwa ksatria, tentu saja ia
tidak sudi melakukan pengeroyokan. Karena, ia yakin kalau kawan-kawannya pasti
akan dapat menguasai
lawan masing-masing. Tokoh berwatak berangasan itu
berdiri tegak menyaksikan pertarungan yang berlang-
sung antara Panji dan Hantu Kematian. Dan memang,
perkelahian kedua orang tokoh sakti itu lebih menarik perhatiannya.
*** "Heaaa...!"
Hantu Kematian berteriak nyaring sambil me-
mutar kedua tangan secara bersilangan. Serangkum
angin kuat menderu mengiringi pukulan dan tampa-
rannya, Plok, plok, plok!
Sambil merangsek maju, kakek kurus itu ka-
dang-kadang menepukkan kedua tangannya berkali-
kali. Bagi orang yang tidak mengetahui kehebatan tepukan itu, tentu saja
terlihat lucu dan menggelikan.
Sebab, mana ada orang yang berkelahi sambil berte-
puk tangan"
Lain halnya Panji, yang berhadapan langsung
dengan kakek itu. Pengaruh tepukan itu ternyata sangat merugikannya. Sebab,
setiap kali suara tepukan
terdengar, tubuhnya bagai dijalari pengaruh aneh
hingga membuatnya bergetar. Bukan hanya itu yang
dirasakannya. Jurus-jurus yang digunakannya pun
menjadi kacau, dan tidak beraturan seperti biasanya.
Karena jurus-jurusnya berantakan dan tidak
terarah, maka Hantu Kematian mulai dapat mendesak
Pendekar Naga Putih. Bahkan beberapa kali pukulan
maupun tendangannya hampir mencelakai pendekar
muda itu. "Gila! Mengapa bisa begini...!?" desis Panji tak habis mengerti.
Otak Pendekar Naga Putih seperti tidak bekerja
dengan baik. Gerakan-gerakannya semakin kacau dan
terlihat ragu-ragu, apabila balas menyerang. Panji benar-benar tidak mengerti,
apa yang telah membuatnya demikian bodoh.
Wuttt! Wuttt! Memasuki jurus yang kelima puluh, sebuah
tendangan keras membuat tubuh Panji terjungkal ke-
ras ke belakang. Cepat-cepat pemuda itu bergulingan menghindari serangan susulan
lawan. "Ugkh...!"
Panji mengerang lirih menahan rasa sakit yang
melilit perutnya. Tendangan yang keras dari lawannya bagaikan mengaduk-aduk
seluruh isi perut, dan mem-
buatnya mual. Sebelum Panji sempat menekan rasa sakit den-
gan pengerahan hawa murni, serangan lawan sudah
meluncur datang.
Bettt! Bettt! Dua buah pukulan yang mengincar dada dan
pelipis dapat dielakkan Panji dengan memutar tubuh
sambil merendah. Kemudian, ia melompat mundur
sambil menepiskan tendangan yang mengancam ulu
hati. Plakkk! Panji mengeluh ketika merasakan telapak tan-
gannya bagai bertemu sebatang baja yang amat kuat.
Sehingga, telapak tangannya yang digunakan untuk
menepis tendangan lawan terasa nyeri bukan main
Tepukan tangan yang menimbulkan pengaruh
aneh kembali terdengar. Akibatnya kepala Pendekar
Naga Putih bagaikan terbentur dinding baja. Tubuh
pemuda itu tampak limbung ke belakang. Otaknya pun
terasa buntu, dan tidak dapat berpikir jernih.
Hantu Kematian tentu saja tidak menyia-
nyiakan kesempatan baik itu. Sepasang tangannya
mendorong ke depan dengan pengerahan seluruh te-
naga. Wusss! Blaggg!
"Hugkh...!"
Sepasang telapak tangan mengandung kekua-
tan dahsyat itu telak menghantam dada Pendekar Na-
ga Putih. Tubuh pemuda tampan itu terlempar deras,
dibarengi jeritnya yang melengking. Darah segar langsung menyembur dari
mulutnya. Tubuh Panji terbanting keras di atas tanah be-
rumput Pendekar Naga Putih berusaha bangkit,
meskipun tulang-tulang dadanya terasa hancur. Kem-
bali ia terbatuk-batuk hebat mengeluarkan darah se-
gar yang agak kental.
"Hm.... Selamat tinggal, Pendekar Naga Pu-
tih...," ejek Hantu Kematian seraya mengangkat tangannya, siap dihantamkan ke
tubuh Panji yang tengah berusaha bangkit
Wukkk! Bummm! Debu, tanah, dan rumput beterbangan ketika
telapak tangan Hantu Kematian menghantam tanah
tempat tubuh Panji semula tergeletak.
Untunglah dengan seluruh sisa-sisa tenaganya,
Panji masih sempat menggulingkan tubuhnya untuk
menghindari hantaman maut itu. Kalau saja terkena,
sudah pasti dia akan tewas tanpa bentuk!
"Kakek ini benar-benar luar biasa! Mungkin pe-
tualanganku tamat sampai di sini...," gumam Panji yang sudah merasa tidak mampu
untuk melawan Hantu Kematian yang jelas-jelas memiliki kepandaian sangat tinggi.
"Hm.... Kali ini kau tidak akan lolos, Pendekar Naga Putih!" ancam Hantu
Kematian, seraya melangkah mendekati Panji.
Yakin kalau lawannya sudah benar-benar tidak
berdaya, kakek itu sengaja memperlambat langkahnya
untuk menakut-nakuti lawan.
Pada saat-saat gawat itu, Panji teringat akan
pedang pusakanya yang tergantung di punggung. Tan-
pa membuang-buang waktu lagi, Pedang Naga Langit
dicabut dari sarungnya.
Sring! Cahaya kekuningan berpendar menyilaukan
mata ketika pedang yang tidak ada duanya itu tercabut keluar.
"Pedang Naga Langit,..!" seat Hantu Kematian antara perasaan kagum dan terkejut
bercampur menjadi satu melihat perbawa pedang itu.
Sebagai seorang tokoh tua yang berpengala-
man, tentu saja ia pun mengetahui tentang senjata pusaka yang tergenggam di
tangan lawannya.
"Yeaaat..!"
Bagai memperoleh sebuah kekuatan baru, Panji
berseru nyaring dan menyabetkan pedangnya dengan
jurus 'Ilmu Pedang Naga Sakti'nya.
Wuttt! Wukkk! Angin pedang mengaung tajam menimbulkan
getaran aneh di dalam hati Hantu Kematian. Kakek itu semakin terkejut ketika
melihat lawannya sama sekali tidak terpengaruh oleh tepukannya. Dan tentu saja
hal itu membuatnya menjadi heran.
Sebenarnya hal itu tidaklah aneh. Sebab, pe-
dang yang kini berada di tangan Panji memiliki keistimewaan melumpuhkan semua
pengaruh ilmu hitam.
Sedangkan 'Ilmu Memecah Sukma' yang dikuasai Han-
tu Kematian, adalah gabungan dari ilmu hitam. Maka
dengan demikian, ilmu yang telah membuat Panji tidak berdaya itu tidak lagi
berguna. Pertarungan sengit itu sepertinya tidak akan
berlangsung lama. Serangan Panji yang menderu-deru
membuat Hantu Kematian kelabakan menyelamatkan
diri dari sambaran ujung pedang. Apalagi ilmunya sudah tidak dapat digunakan
lagi. Akibatnya kakek itu pun semakin terdesak hebat
"Haiiit..!"
Memasuki jurus yang keempat puluh satu,
Panji berseru nyaring. Tubuhnya mendadak meluncur
disertai putaran pedangnya yang membentuk bulatan.
Dari bulatan sinar kekuningan itu terkadang menyem-
bul ujung-ujung pedang secara tak terduga. Itulah jurus 'Naga Sakti Meluruk ke
Dalam Bumi', yang meru-
pakan salah satu jurus terdahsyat dari rangkaian 'Ilmu Silat Naga Sakti'.
Terkejut bukan main hati Hantu Kematian me-
lihat dahsyatnya serangan lawan. Sepasang tangannya bergerak mendorong, dengan
maksud untuk menghalau.
Wungngng! Wungngng!
Crakkk! Jresss!
"Aaa...!"
Hantu Kematian meraung merobek angkasa ke-
tika sepasang tangannya terpapas buntung sebatas si-ku. Dan selagi tubuhnya
terhuyung ke belakang, Pe-
dang Naga Langit kembali menyambar batang leher-
nya. Crakkk! Darah segar langsung menyembur membasahi
permukaan tanah berumput. Seketika kepala tokoh
sesat yang mengiriskan itu menggelinding, terpisah da-ri tubuhnya. Hantu
Kematian akhirnya tewas di tangan Panji dengan kepala terpisah!
Tindakan Pendekar Naga Putih yang secara ti-
dak sengaja itu memang tepat sekali. Sebab, seorang yang telah berhasil
merampungkan 'Ilmu Memecah
Sukma', tidak akan bisa mati kecuali dengan cara seperti yang dilakukan Panji.
Dengan kepala terpisah da-ri badan, barulah ia akan tewas tanpa dapat bangkit
lagi. "Kakang...!"
Kenanga yang sejak tadi telah menyelesaikan
pertarungannya, berlari menghambur ke arah Panji
yang tengah terduduk dengan wajah agak pucat
"Kau.... Kau tidak apa-apa, Kakang,..?" tanya
gadis jelita itu, cemas
"Tidak ada yang perlu dicemaskan.... Aku su-
dah menelan obat luka dalam. Jadi..., hanya tinggal memulihkan tenaga saja,"
sahut Panji terputus-putus, karena napasnya masih memburu.
"Oh, syukurlah kalau begitu," desah Kenanga, lega. "Hei" Ke mana Wurati"
Bukankah dia tadi bersamamu?" tanya Panji ketika tidak melihat gadis itu bersama
kekasihnya. "Gadis malang itu telah tewas setelah berhasil melampiaskan dendamnya kepada
Samanggala," jawab Kenanga dengan wajah penuh sesal.
"Bagaimana hal itu bisa terjadi, Kenanga?"
tanya Panji, heran. Karena Pendekar Naga Putih tahu kalau Kenanga bisa
melumpuhkan Samanggala sekaligus melindungi Wurati.
"Saat itu aku telah berhasil melumpuhkan Sa-
manggala. Leher pemuda itu ku todongkan dengan pe-
dangku. Lalu, aku mengorek keterangan darinya, ten-
tang pembunuh Ki Bala Dewa, guru Wurati. Ternyata,
Samanggala mengakui kalau telah membunuh Ki Bala
Dewa. Itu dilakukannya, karena dia tidak diterima
menjadi murid, sebelum Wurati menjadi murid Pergu-
ruan Cakar Naga. Dan ketika aku sedang mendengar
pengakuan Samanggala, ternyata Wurati telah siuman
dan mendengar juga penuturan pemuda bejat itu.
Amarah Wurati pun tak tertahankan. Maka Wurati
langsung menubruk dan menusukkan pedangnya
hingga menembus punggung Samanggala. Tapi,
sayangnya, Samanggala pun sempat menghunjamkan
pisau yang tersembunyi ke tubuh Wurati di saat te-
rakhirnya," jelas Kenanga panjang lebar, tapi disertai rasa menyesal karena
tidak dapat menjaga Wurati.
"Mungkin itu memang jalan yang paling baik
menurutnya. Andaikata selamat, belum tentu ia sang-
gup menjalani kehidupan yang menurutnya sudah tak
berarti itu," desah Panji sambil mengelus rambut kepala kekasihnya yang hitam
pekat Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang yang juga telah berhasil membasmi musuh-
musuhnya, tengah berdiri tegak di dekat kedua
orang muda itu.
"Syukurlah kalian selamat...," ujar Panji yang baru menyadari kehadiran ketiga
orang tokoh itu.
"Tanpa pertolonganmu, rasanya kami tidak
mungkin masih bisa selamat, Pendekar Naga Putih.
Sekali lagi, kami bertiga mengucapkan terima kasih
kepadamu, dan juga kepada Kenanga. Sekarang kami
mohon diri. Mudah-mudahan kita dapat berjumpa lagi
kelak," pamit Ki Wanggala dan yang lainnya.
Memang mereka sadar kalau saat itu Panji dan


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenanga mungkin tidak ingin diganggu oleh kehadiran mereka.
Setelah berpamitan, ketiga orang tokoh persila-
tan golongan putih itu pun meninggalkan kaki Bukit
Tiga Iblis. "Kita pun harus segera pergi dari tempat ini,
Kenanga. Tapi, sebelumnya lebih baik kuburkan dulu
mayat-mayat mereka, termasuk juga mayat Wurati,"
ajak Panji sambil bergegas bangkit
"Tidak perlu repot-repot, Kakang. Mayat Wurati dan yang lainnya sudah kami
kuburkan bersama-sama
tadi. Jadi, yang tinggal hanya mayat Hantu Kematian saja. Kau istirahat lah
dulu, Kakang. Biar aku saja yang mengerjakannya," ujar Kenanga sambil melepaskan
pelukannya pada tubuh Panji.
"Terserah kau sajalah...," sahut Panji sambil memandangi punggung kekasihnya
yang tengah me-
langkah ke arah mayat Hantu Kematian.
Selesai menguburkan mayat tokoh sesat itu,
sepasang pendekar itu pun meninggalkan kaki Bukit
Tiga Iblis. "Sampai kapan kita akan terus melakukan pe-
tualangan ini, Kakang?" tanya Kenanga sambil melangkah di sisi kekasihnya.
Jemari tangan gadis itu menggenggam erat te-
lapak tangan Panji. Sepertinya, gadis itu tidak ingin melepaskan lengannya dari
genggaman kekasihnya.
"Hm.... Sampai aku sudah tidak tahan...," Panji menggantung kata-katanya dan
tersenyum penuh arti.
"Tidak tahan...?" sambut Kenanga heran. "Tidak tahan untuk apa, Kakang?"
tanyanya penasaran.
"Ya..., tidak tahan untuk segera mengawini-
mu...." Selesai berkata demikian, Panji memeluk tubuh kekasihnya erat-erat
"Ihhh...! Kakang nakal!"
"Aduh...!" Panji memekik ketika cubitan Kenanga hinggap di pinggangnya.
Terdengar tawa berderai penuh kebahagiaan
mewarnai langkah keduanya.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
Petualang Asmara 22 Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Misteri Tirai Setanggi 2
^