Pencarian

Bencana Dari Alam Kubur 2

Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur Bagian 2


dalam minuman arak ga-
dis itu memang termasuk jenis yang amat keras. Se-
hingga, setelah rangsangan iblisnya terlampiaskan
bersama Samanggala, gadis cantik itu pingsan kehabisan tenaga. Maka kesempatan
baik itu dipergunakan
Tiga Setan Kali Brantas dalam melaksanakan nafsu be-jatnya. "Ohhh...."
Beberapa lama kemudian, terdengar keluhan li-
rih dari mulut Wurati. Dengan mata masih terpejam,
gadis itu mengerang merasakan nyeri dan linu pada
seluruh tubuhnya.
"Aaahhh...!"
Bagaikan disengat kalajengking, Wurati menje-
rit-jerit bagai orang kemasukan setan. Ketika melihat keadaannya yang tidak
karuan, ia langsung sadar
akan apa yang terjadi dengan dirinya. Meskipun demikian, Wurati tidak mampu
untuk bangkit dari atas balai-balai bambu itu. Seluruh tubuhnya terasa sakit,
dan tulang-tulangnya terasa hancur akibat kebiadaban Samanggala dan Tiga Setan
Kali Brantas yang mem-perkosanya secara bergilir.
"Aaa...!"
Lengkingan panjang memilukan terdengar me-
mecah kesunyian wilayah Hutan Mentawak. Wurati
meraung menyesali nasib buruk yang dialaminya itu.
Akibat pukulan batin yang amat berat, membuat gadis itu pingsan untuk yang kedua
kalinya. Lama sekali gadis cantik bernasib malang itu
tidak sadarkan diri. Hingga keesokan harinya, barulah ia siuman. Tertatih-tatih
gadis itu bangkit dari balai-balai bambu. Air mata tak henti mengalir membasahi
wajahnya yang pucat dan kusut itu.
"Keparat kau, Samanggala. Sampai ke ujung
dunia pun, aku akan mencarimu! Akan ku cabik-cabik
tubuhmu, dan akan kuhirup darahmu!" kutuk Wurati dengan sinar mata liar, di
antara isak tangisnya yang memilukan.
Dengan langkah tidak tetap, Wurati berjalan
menuju ke luar pondok setelah terlebih dahulu men-
genakan pakaiannya. Sambil melangkah perlahan, di-
cobanya untuk mengingat kejadiannya. Dari saat ditolong Samanggala, sampai
pemuda itu bisa memba-
wanya ke pembaringan dan menodainya.
"Manusia licik...!" desis Wurati yang segera teringat arak harum yang disuguhkan
pemuda tampan itu. Wurati yakin kalau minuman itulah yang telah
membuat kesadarannya lenyap. Ia tidak ingat lagi, apa yang dilakukannya setelah
meneguk arak itu. Yang di-ketahuinya kini, dirinya telah ternoda. Hal itu
diketahuinya dari rasa sakit dan darah yang mengalir di sela-sela pahanya.
Kalau menuruti perasaannya yang hancur, Wu-
rati rasanya ingin menghabisi saja nyawanya. Ia mera-sa tidak pantas hidup
dengan menanggung aib yang
memalukan. Ada beberapa hal yang membuatnya tetap
ingin bertahan hidup. Mencari pembunuh gurunya,
dan mencuci nodanya dengan darah Samanggala!
4 Musnahnya Perguruan Macan Liwung, men-
gundang berbagai pendapat tokoh kalangan rimba per-
silatan. Tak seorang pun yang tahu pasti, apa penyebabnya, dan siapa pula
pelakunya" Apalagi tidak seorang pun murid-murid perguruan itu yang tersisa.
Semuanya tewas dalam pembantaian keji itu.
Banyak sudah sahabat Ketua Perguruan Macan
Liwung yang mencoba menyelidiki penyebab peristiwa
berdarah itu. Namun, tak seorang pun yang berhasil
menemukan jawabannya. Hal itu menimbulkan rasa
penasaran di hati tiga orang sahabat dekat Pendekar Macan Putih, yang sekaligus
Ketua Perguruan Macan
Liwung. "Aku benar-benar tak habis pikir, Kakang," kata seorang lelaki gagah
yang kumis dan jenggotnya dicu-kur pendek. "Apa yang mendorong pembunuh biadab
itu, hingga tak satu pun anggota Perguruan Macan Liwung yang dibiarkannya lolos.
Ini merupakan satu
tanda tanya besar yang mengganggu pikiranku."
Laki-laki gagah itu, dalam dunia persilatan di-
kenal berjuluk Pendekar Tongkat Maut. Sepak terjangnya memang cukup mengiriskan.
"Hm.... Meskipun kita bertiga belum menemu-
kan jawabannya, tapi sudah menjadi kewajiban untuk
terus mengusutnya. Aku yakin, kalau kita terus melakukan penyelidikan, suatu
hari nanti akan dapat me-
nemukan jawabannya dan sekaligus menemukan ma-
nusia keji itu!" sahut lelaki setengah baya yang memiliki kening lebar. Nada
suaranya terdengar geram, dan tanpa keluhan.
Jelas kalau orang itu memiliki tekad yang keras
dan tidak pantang menyerah. Itu tergambar dari ben-
tuk rahangnya yang kokoh, dan sinar matanya yang
menyala memancarkan semangat tinggi.
"Yah! Aku pun tidak akan berhenti sebelum
pembunuh Kakang Jalasena dapat diringkus! Ini men-
jadi tanggung jawab kita semua sebagai orang-orang yang paling dekat dengannya.
Aku akan menemanimu
untuk mencari tahu orang itu, Kakang Wanggala,"
sambut lelaki berusia empat puluh tahun, sambil
menggenggam telapak tangan lelaki setengah baya
berkening lebar, yang bernama Wanggala.
Orang yang dipanggil Wanggala itu tersenyum
dan menggenggam erat telapak tangan sahabatnya.
"Bukan hanya aku dan kau saja, Adi Jabrang.
Tapi, kita bertigalah yang harus melaksanakan tugas berat ini. Bukankah begitu,
Adi Legawa?" tegas Ki Wanggala seraya menolehkan kepalanya ke arah Pendekar
Tongkat Maut "Tentu, Kakang. Memang sudah seharusnya hal
itu kita lakukan," sahut Pendekar Tongkat Maut yang bernama asli Legawa itu. Ia
pun segera mengulurkan
tangannya, dan menggenggam telapak tangan kedua
orang sahabatnya.
Tanpa setahu ketiga orang tokoh persilatan itu,
tampak seorang pemuda tampan berjubah putih ikut
mendengarkan pembicaraan mereka.
Lelaki muda berwajah tampan yang duduk
agak ke sudut itu rupanya merasa tertarik dengan
pembicaraan mereka. Meskipun terlihat tengah me-
nunduk menikmati hidangannya, namun pendengaran
tajam pemuda itu dapat menangkap jelas pembicaraan
Ki Wanggala, Ki Legawa, dan Ki Jabrang.
Pemuda tampan itu mengangkat wajah ketika
pendengarannya tidak lagi menangkap pembicaraan
yang menarik hatinya itu. Sepasang matanya menatap
ke arah Ki Wanggala dan kawan-kawannya yang terpi-
sah beberapa meja dari tempat duduknya. Kedai yang
saat itu cukup ramai, membuatnya leluasa untuk me-
neliti dan menilai ketiga orang itu.
"Ada apa, Kakang...?" tanya seorang gadis jelita berpakaian serba hijau yang
duduk bersama pemuda
itu. Gadis itu melayangkan pandangan, mengikuti
arah tatapan pemuda tampan yang duduk di seberang
mejanya. "Tidak ada apa-apa, Kenanga. Habiskanlah ma-
kananmu, nanti keburu dingin," sahut pemuda tampan itu. Dia sudah pasti adalah
Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Suara pendekar muda ini terdengar
rendah, karena tidak ingin terdengar ketiga
orang yang diduga memiliki kepandaian tinggi itu.
Kenanga yang sudah hafal tindak-tanduk keka-
sihnya, segera meneruskan makannya. Hatinya sama
sekali tidak tersinggung atas ketidakterusterangan
pemuda itu. Namun ia tahu betul, kekasihnya pasti
menyimpan sesuatu yang tidak mungkin dikatakan di
tempat itu. Dan itu bisa dimengerti olehnya.
Pendekar Naga Putih tersenyum melihat sikap
yang ditunjukkan kekasihnya itu. Hatinya merasa lega melihat wajah jelita itu
sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Diam-diam, ia merasa bersyu-
kur memiliki gadis jelita yang penuh pengertian. Di-pandanginya wajah Kenanga
yang tengah menunduk
itu dengan rasa cinta mendalam.
Kenanga yang merasakan tatapan mata penuh
kasih itu, perlahan mengangkat wajahnya. Ada rasa
hangat yang seketika menjalari permukaan wajahnya
saat melihat tatapan kekasihnya yang jelas-jelas memancarkan kasih kepadanya.
Darah di tubuh gadis jelita itu berdesir nikmat
ketika jemari tangannya digenggam lembut telapak
tangan Panji. Kenanga terpaksa menundukkan wajah-
nya yang dijalari rona merah.
"Makin lama, semakin bertambah saja perasaan
cintaku kepadamu, Kenanga," kata Panji perlahan, sambil meremas-remas jemari
lentik gadis jelita itu.
"Kakang, ini bukan di hutan! Ini kedai makan.
Malu kan, kalau dilihat orang," Kenanga mengingatkan sambil menarik jemari
tangannya dengan gerakan perlahan. Genggaman telapak tangan Panji mengendur.
Bukan teguran gadis itu yang menyebabkannya, me-
lainkan karena pandangan Pendekar Naga Putih tertu-
ju kepada ketiga orang tokoh persilatan yang saat itu sudah bersiap hendak
meninggalkan kedai makan.
Begitu Ki Wanggala dan dua orang kawannya
lenyap di balik pintu sebelah luar kedai, Panji cepat mengulapkan tangan
kanannya memanggil pelayan
dan membayar harga makanan.
"Mengapa terburu-buru, Kakang" Bukankah ki-
ta akan bermalam di Desa Lawatan ini?" tegur Kenanga yang merasa heran atas
sikap Panji. "Nantilah..., sambil jalan kuceritakan," sahut Panji perlahan
Kemudian, Pendekar Naga Putih bergegas men-
gajak kekasihnya meninggalkan kedai makan itu. Ke-
nanga pun mengikutinya tanpa membantah lagi.
Panji mengajak Kenanga menuju perbatasan
Desa Lawatan, karena ketiga orang tokoh persilatan itu tampak tengah bergegas
meninggalkan desa. Sambil
berjalan, pemuda itu mulai menceritakan apa yang te-
lah didengarnya dari pembicaraan Ki Wanggala dan
teman-temannya tadi.
Kenanga mendengarkan penuturan Panji tanpa
sedikit pun memotong.
"Hm.... Jadi itu yang menyebabkan Kakang
berniat menguntit perjalanan mereka. Apa Kakang ya-
kin, kalau ketiga orang itu akan dapat menemukan jejak pembunuh keji itu?" tanya
Kenanga setelah Panji menyelesaikan ceritanya.
"Menurut apa yang kudengar tadi, aku menarik
kesimpulan kalau Ki Wanggala dan kedua orang te-
mannya adalah sahabat dekat Pendekar Macan Putih.
Meskipun saat ini mereka belum mengetahui penyebab
musnahnya Perguruan Macan Liwung, tapi lama-
kelamaan pasti akan dapat mengetahuinya. Sebab, se-
bagai sahabat dekat Pendekar Macan Putih, ada ke-
mungkinan mereka pun tahu musuh-musuh Ki Jala-
sena itu. Jadi untuk memudahkan penyelidikan, tidak ada salahnya kalau mereka
kita ikuti," jawab Panji panjang lebar.
"Apakah tidak sebaiknya kalau kita memperke-
nalkan diri kepada mereka, Kakang" Aku yakin, mere-
ka akan menerima dengan senang hati. Lebih-lebih kalau kau memperkenalkan
julukanmu. Pasti mereka
akan menyambut gembira," usul Kenanga yang rupanya lebih suka bersikap terbuka.
Panji tidak segera menjawab usul yang diaju-
kan kekasihnya. Sambil terus melangkah, pemuda
tampan berjubah putih itu mempertimbangkan juga
anjuran Kenanga.
"Untuk sementara, biarlah kita melakukannya
secara sembunyi, Kenanga. Aku khawatir, kalau mem-
perkenalkan diri kepada mereka, belum tentu akan diterima dengan hati terbuka.
Bukan maksudku untuk
berprasangka buruk. Tapi, tidak semua tokoh persilatan dapat menerima kelebihan
orang lain. Bukankah
para tokoh persilatan adalah juga manusia biasa, yang memiliki perasaan sama
dengan yang lainnya" Kalau
aku memperkenalkan diri sebagai Pendekar Naga Pu-
tih, ada dua kemungkinan yang akan kuterima. Per-
tama, mereka mungkin menerima secara wajar dan bi-
sa juga menyambut gembira kedatangan kita."
Sebentar Panji terdiam. Sementara Kenanga se-
perti terkesan oleh alasan kekasihnya itu. Gadis itu masih terdiam, seperti
berharap agar Pendekar Naga
Putih meneruskan penjelasannya.
"Tapi, bagaimana kalau perkenalan kita diang-
gap sebagai suatu kesombongan" Apalagi, aku harus
memperkenalkan julukan! Bukankah hal itu akan me-
nimbulkan rasa iri, dan mungkin saja mereka akan
menguji kepandaianku" Kemungkinan kedua inilah
yang tidak kuinginkan," lanjut Panji.
"Yah, mudah saja. Beri pelajaran agar mereka
sadar kalau di atas gunung masih ada langit. Kan,
beres," sambut Kenanga ringan.
Ucapan itu dikeluarkan tanpa rasa ragu sedikit
pun. Dan memang, sudah menjadi sifat Kenanga yang
tidak ingin dipandang remeh orang lain. Meski, orang itu dari golongan putih
sekalipun. "Ha ha ha...! Kau ini aneh, Kenanga. Kalau kau selalu menuruti perasaanmu, bisa-
bisa akan mempunyai banyak musuh. Dan tentu saja hal itu akan me-
rugikanmu sendiri," Panji tertawa bergelak mendengar ucapan kekasihnya.
Pendekar Naga Putih tahu betul, Kenanga me-
mang memiliki sifat keras. Berbeda dengan dirinya
yang berusaha mengalah, dan sebisa mungkin me-
nyembunyikan julukannya. Karena ia yakin hal itu bi-
sa menimbulkan berbagai pendapat dan pandangan
bagi tokoh-tokoh persilatan.
"Aku tidak takut..!" sahut Kenanga sungguh-sungguh. "Tokoh persilatan yang
mempunyai sifat jelek seperti itu, matanya harus dibuka. Mereka harus tahu,
bahwa di dunia ini tidak ada orang yang paling digdaya. Apakah pendapatku salah,
Kakang?" bantah Kenanga mempertahankan pendapatnya.
"Tidak...," sahut Panji seraya tersenyum.
"Nah...," seru Kenanga dengan wajah berseri.
"Ya, tidak betul...!" sambung Panji lagi seraya tertawa bergelak.
"Aaa...," rengek Kenanga manja. Bergegas dike-jarnya Panji, ketika pemuda itu
melarikan diri menghindari cubitannya.
*** "Tolooong...!"
Di bawah siraman garangnya cahaya matahari,


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sesosok tubuh penuh luka berlari terpincang-pincang menerobos dedaunan. Tangan kanannya yang menggenggam sebilah
pedang dikibaskan ke kanan dan ke
kiri untuk memapas ranting yang menghalangi jalan-
nya. "Aaah...."
Sosok tubuh lelaki itu terguling ketika kaki ka-
nannya tersangkut akar pohon yang menyembul di
atas permukaan tanah. Sambil mengaduh menahan
sakit, bergegas dia bangkit meskipun gerakannya su-
sah payah. Wajahnya yang pucat nampak berkerinyut me-
nahan rasa sakit pada dada yang ditekap telapak tangan kiri. Dari sudut
bibirnya, tampak mengalir cairan
merah. Demikian juga dari kedua lubang telinganya.
Jelas, kalau lelaki itu mengalami luka yang tidak ringan. Namun daya tahan
tubuhnya yang cukup kuat,
menandakan kalau lelaki itu memiliki kepandaian cu-
kup tinggi. Itu terlihat dari kemampuannya untuk bertahan, meski dengan luka
yang bisa menewaskan
orang berkepandaian rendah.
"Kau dengar teriakan itu?" tanya Ki Wanggala seraya menolehkan kepalanya kepada
Jabrang dan Legawa yang saat itu juga tengah memandang ke arah-
nya. Tanpa berpikir dua kali, Legawa dan Jabrang
langsung mengangguk. Memang, teriakan itu pun
sempat tertangkap pendengaran mereka yang telah ter-latih baik.
Begitu melihat anggukan kepala kedua orang
temannya, Ki Wanggala bergegas melesat menuju asal
teriakan tadi. Kedua orang temannya pun langsung sa-ja menyusul tanpa banyak
cakap lagi. Tidak berapa lama kemudian, Ki Wanggala yang
berlari paling depan melihat sesosok tubuh yang tengah berusaha bangkit berdiri.
Sekali lompatan saja, orang tua itu telah berdiri tegak di depan sosok tubuh
yang tengah menderita luka itu.
"Ada apa, Kisanak...?" tanya Ki Wanggala. Dia segera berjongkok, memeriksa luka-
luka yang diderita orang itu.
"Hantu.... Hantu.... Kematian..., aaakh...!"
Setelah berkata demikian, orang itu langsung
terguling dengan mata mendelik. Dari mulut, telinga, dan hidungnya mengalir
darah segar. Orang itu tewas di pangkuan Ki Wanggala karena luka-lukanya yang
diderita. "Hei..."! Rasanya aku kenal orang ini. Kalau ti-
dak salah, ia adalah salah seorang murid utama Ki
Jemparang yang menjadi Ketua Perguruan Tangan Pu-
tih. Apa yang terjadi dengannya, Ki?" seru Legawa atau yang lebih dikenal dengan
julukan Pendekar Tongkat
Maut. "Ki Jemparang.... Di mana pusat perguruan itu, Adi Legawa?" tanya Ki
Wanggala, tanpa mempedulikan pertanyaan sahabatnya.
Sepasang mata orang tua itu menatap tajam
menuntut jawaban secepatnya. Memang, dalam hal
mengenal tokoh-tokoh persilatan, Pendekar Tongkat
Maut lebih banyak tahu daripadanya. Itu dapat dimaklumi, sebab Pendekar Tongkat
Maut adalah pendekar
pengembara. Dia selalu mengadakan perjalanan, un-
tuk meluaskan pengalaman.
Berbeda dengan Ki Wanggala maupun Jabrang
yang lebih banyak tinggal untuk mengurus perguruan
masing-masing. Itulah sebabnya, mengapa Ki Wangga-
la dan Jabrang tidak mengenali lelaki yang tewas di pangkuan Ki Wanggala itu.
"Perguruan Tangan Putih berpusat di dekat
Sungai Legong. Letaknya tidak terlalu jauh dari tempat ini," sahut Legawa yang
segera dapat menduga, apa yang telah menimpa perguruan sahabatnya itu.
"Ikut aku...!" ajak Ki Wanggala yang segera melesat meninggalkan mayat lelaki
malang itu. Gerakan orang tua itu demikian cepat, sehingga
dalam beberapa kali lompatan saja sudah jauh me-
ninggalkan kedua orang sahabatnya.
Sadar kalau harus secepatnya untuk tiba di
Perguruan Tangan Putih, maka Legawa dan Jabrang
pun segera mengerahkan seluruh kekuatan ilmu lari
cepat yang dimiliki. Sesaat saja, tubuh mereka sudah berkelebat bagaikan
bayangan hantu yang sating ber-
kejaran berebut mangsa.
*** Ki Wanggala tiba lebih dulu daripada kedua te-
mannya, di depan pintu gerbang Perguruan Tangan
Putih. Darah di tubuh orang tua itu mendidih ketika di depannya terhampar suatu
pemandangan mengerikan.
Belasan sosok mayat tampak bergelimpangan tumpang
tindih dalam keadaan hampir tidak bisa dikenali.
"Biadab...!" desis Ki Wanggala.
Kemarahan laki-laki tua itu seketika menggele-
gak. Wajahnya merah padam terbakar api kemarahan
yang hampir meledakkan dadanya.
Setelah memperhatikan mayat-mayat itu seje-
nak, Ki Wanggala menggenjot tubuhnya melewati pintu gerbang yang telah hancur
berkeping-keping. Ia langsung melesat, menuju balai utama perguruan itu.
Pemandangan serupa kembali membuat tu-
buhnya terpaku di halaman depan bangunan pergu-
ruan. Di tempat ini pun, puluhan sosok tubuh berge-
limpangan bermandikan darah yang menggenangi seki-
tarnya. Cepat orang tua itu melesat ke dalam bangu-
nan besar yang beberapa tiang penyangganya sudah
patah. Sepasang kaki orang tua bertubuh tegap itu
berlompatan di antara mayat-mayat yang rebah tak beraturan. Keningnya berkerut,
dan giginya bergemere-
tak melihat sosok-sosok tubuh wanita telanjang ber-
mandikan darahnya sendiri. Bahkan seorang di anta-
ranya yang memiliki wajah cantik dan berkulit halus, tergeletak dalam keadaan
sangat menyedihkan.
Tubuh wanita yang usianya kira-kira sekitar ti-
ga puluh tahun itu sama sekali tidak tertutup pakaian.
Dia tewas dengan tengkorak kepala retak. Ki Wanggala dapat menduga kalau wanita
itu telah diperkosa, sebelum dibunuh oleh manusia biadab yang melakukan
pembantaian di perguruan ini.
"Keparat! Keji...!" kutuk Ki Wanggala mendesis geram. Laki-laki tua itu tak
sampai hati melihat pemandangan di sekitarnya. Ia lalu melepaskan jubah
luarnya untuk menutupi tubuh mulus yang tanpa se-
helai benang pun menutupinya.
Lama tokoh setengah baya itu terpaku dengan
wajah muram. Tak lama kemudian, tubuhnya pun
kembali berkelebat untuk memeriksa sekitar pergu-
ruan itu. "Bagaimana, Kakang...?" sebuah suara mengejutkan Ki Wanggala yang saat itu
tengah berdiri tegak, menatapi empat sosok mayat di halaman samping kanan
Perguruan Tangan Putih.
Pendekar Tongkat Maut dan Jabrang yang ber-
juluk Harimau Cakar Besi, melangkah mendekati
orang tua yang tengah termenung dengan wajah mu-
ram. "Sepertinya kita terlambat...," desah Ki Wanggala dengan suara hampir tidak
terdengar. Setelah berkata demikian, orang tua itu melangkah perlahan sambil
menengadahkan kepalanya menatap langit. Terdengar
helaan napas berat yang berkepanjangan dari mulut
dan hidungnya. "Benar! Orang tua ini adalah Ki Jemparang
yang menjadi Ketua Perguruan Tangan Putih. Heran,
bagaimana orang tua sakti ini sampai dapat tewas demikian cepat" Padahal, ia
masih dibantu tiga orang
murid utamanya" Entah seberapa tingginya kepan-
daian manusia keji yang melakukan pembantaian ini?"
kata Pendekar Tongkat Maut, seperti untuk dirinya
sendiri. Laki-laki bernama Legawa itu penasaran melihat tewasnya Ki Jemparang.
Karena, ia tahu betul kepandaian Ketua Perguruan Tangan Putih itu. Patut diakui,
dirinya sendiri pun pernah dikalahkan Ki Jemparang dalam waktu kurang dari lima
puluh jurus. Be-
nar-benar tidak bisa diukur, sampai berapa hebat kepandaian musuh Ki Jemparang
itu. Hal lain yang
membuatnya tidak habis mengerti adalah, tidak dite-
mukannya mayat lawan di antara mayat murid-murid
Perguruan Tangan Putih. Legawa benar-benar pusing
dibuatnya. "Kau masih ingat tokoh sesat berjuluk Hantu
Kematian yang telah kita bunuh kurang lebih setahun yang lewat?" tanya Ki
Wanggala tiba-tiba, dan sangat mengejutkan Legawa.
"Maksud, Kakang...?" tanya Legawa dan Ja-
brang hampir bersamaan.
"Menurut keterangan laki-laki yang kita temu-
kan dekat mulut hutan tadi, pelakunya adalah Hantu
Kematian," jelas Ki Wanggala lirih.
"Mana mungkin, Kakang! Aku yakin betul kalau
iblis itu telah tewas setahun yang lalu. Mungkin saja ada tokoh lain yang
mencoba menakut-nakuti, dengan
menyamar sebagai Hantu Kematian," bantah Harimau Cakar Besi, tak percaya.
"Sudahlah. Hal itu dipikirkan nanti. Sekarang, marilah kita kuburkan semua mayat
ini," ajak Ki Wanggala yang segera bergegas melakukan penggalian.
*** 5 "Ihhh...."
Kenanga menahan jeritannya ketika melihat
hamparan mayat yang bertebaran memenuhi halaman
depart Perguruan Tangan Putih. Tentu saja jerit tertahan yang keluar dari
pendekar wanita itu bukanlah jerit ketakutan. Tapi, ia hanya terkejut melihat
hamparan mayat yang keadaannya sangat mengerikan.
"Gila...! Bagaimana seorang manusia sampai
tega melakukan kekejaman seperti ini" Orang seperti itu tidak lagi pantas
disebut manusia. Tapi, lebih pantas sebagai iblis berwujud manusia! Kebiadaban
seper-ti ini tidak bisa didiamkan begitu saja," Panji yang ikut melihat hamparan
mayat murid Perguruan Tangan Putih menggeram penuh kemarahan.
Kedua pendekar muda itu menoleh bersamaan
ke arah kanan. Saat itu, terlihat tiga orang yang mereka ikuti kini mendatangi.
Rupanya, Ki Wanggala dan
dua orang kawannya sempat mendengar jeritan Ke-
nanga. Maka mereka pun menunda pekerjaan, lalu
berlari mendatangi asal jeritan tertahan tadi.
Ki Wanggala, Legawa, dan Jabrang menatapi
kedua orang di depannya dengan sinar mata, penuh
selidik. Kerut di kening mereka semakin dalam ketika tidak mengenali Kenanga dan
Panji. "Siapa kalian berdua...?" tegur Ki Wanggala mewakili dua orang temannya.
Sikap orang tua itu tampak hati-hati sekali.
Memang, sebagai seorang tokoh tua yang masa hidup-
nya dihabiskan untuk menggali ilmu silat, dapat didu-ga kalau pemuda tampan
berjubah putih dan gadis je-
lita itu memiliki kepandaian tinggi. Hal itu dapat diduga dari langkah kaki
maupun sinar mata mereka.
"Maafkan kelancanganku, Ki. Seperti halnya
kalian, kedatanganku ke tempat ini juga bertujuan
sama. Dan maaf kalau jeritan kawanku ini telah mengganggu kalian," Panji
mendahului Kenanga menjawab pertanyaan Ki Wanggala.
Pemuda itu sengaja tidak menyebutkan nama
Ki Wanggala, meskipun telah mengetahuinya. Karena,
ia tidak ingin urusannya akan semakin panjang apabi-la menyebut nama orang tua
itu. "Hm.... Ki Wanggala belum menanyakan keper-
luan kalian. Yang ingin kami ketahui, siapa dan dari mana kalian berdua?" selak
Harimau Cakar Besi yang berwatak berangasan, tak sabar.
Melihat sinar mata yang mengandung anca-
man, Panji tersenyum sabar dan membungkuk hor-
mat. Ia sadar kalau dalam keadaan seperti itu, apalagi wajah ketiga orang itu
nampak menyiratkan dendam,
Panji harus menjawab hati-hati. Sebab, ia tidak ingin kalau di antara mereka
terjadi bentrokan hanya karena salah paham.
"Namaku Panji, dan ini Kenanga. Kami berdua
adalah perantau yang tidak terikat partai manapun.
Kami sampai ke tempat ini juga karena tertarik berita tentang musnahnya
Perguruan Macan Liwung pada
beberapa hari yang lalu. Sayang, di sini pun kami terlambat," jelas Panji yang
memang sesungguhnya sangat menyesali keterlambatannya itu.
"Anak muda! Kalau kau seorang ksatria, se-
butkan julukanmu," pinta Pendekar Tongkat Maut Mata pendekar itu menatap tajam,
bagaikan hendak menjenguk isi hati pemuda tampan di hada-
pannya. Sepertinya, Legawa mulai dapat menduga sia-
pa adanya pemuda tampan itu.
Sepasang mata lelaki gagah yang kumis dan
jenggotnya terawat rapi itu mengeluarkan cahaya, ketika matanya tertumbuk pada
sebuah gagang pedang
yang menyembul dari balik punggung Pendekar Naga
Putih. "Aku hanyalah orang bodoh. Orang menjuluki diriku sebagai Pendekar Naga
Putih," sahut Panji, kembali membungkuk hormat kepada ketiga orang lelaki gagah
itu. Pendekar Tongkat Maut dan Ki Wanggala terse-
nyum gembira ketika mendengar disebutnya julukan
yang telah lama menimbulkan rasa kagum di hati. Me-
reka langsung percaya terhadap pengakuan pemuda
berjubah putih itu. Sebab, dari sikap maupun sua-
ranya, pemuda itu sama sekali tidak bermaksud mem-
banggakan julukannya yang tersohor itu.
Tapi sebelum kedua orang tokoh itu menyam-
but tokoh muda yang dikaguminya, mendadak Hari-
mau Cakar Besi melompat disertai suaranya yang be-
rat dan dalam. "Hm.... Aku tidak semudah itu mempercayai
pengakuanmu, Anak Muda. Buktikanlah, kalau kau
memang benar-benar Pendekar Naga Putih! Bersiap-
lah!" tantang Jabrang yang sudah mempersiapkan jurus andalan. Itu dilakukan
untuk membuktikan kebe-
naran ucapan Panji.
Melihat hal itu, Ki Wanggala maupun Legawa
sama sekali tidak berusaha mencegah perbuatan Ja-
brang. Mereka juga ingin mengetahui, sampai di mana kelihaian pendekar muda yang
telah mengguncangkan
dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat
itu. Kedua tokoh itu melangkah ke tepi, sengaja memberikan kesempatan kepada
kawannya untuk menguji
kepandaian Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Biar aku yang melayaninya, Kakang,"
pinta Kenanga. Gadis itu merasa dongkol bukan main melihat
kekasaran sikap orang di depannya. Namun, langkah-
nya tertahan ketika telapak tangan Panji menepuk bahunya sebagai isyarat untuk
mundur.

Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, Kenanga. Orang ini tidak akan puas ka-
lau belum menjajal kemampuanku. Jadi, percuma saja
kau menghadapinya," bisik Panji lirih, hingga tidak sampai terdengar yang
lainnya. "Aku sudah siap, Paman...," sahut Panji setelah Kenanga melangkah ke tepi.
Pendekar muda itu berdiri tegak, siap menyam-
but serangan lawan.
"Bagus...! Nah, sambutlah seranganku...!"
Begitu ucapannya selesai, tubuh Jabrang su-
dah maju. Langkah kakinya menggeser hingga menim-
bulkan goresan-goresan dalam di atas permukaan ta-
nah. Wuttt! Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya, hingga doyong ke
belakang menghindari serangan cakar lawan yang su-
sul-menyusul. Sambaran angin kuat yang ditimbulkan
membuat pemuda itu berhati-hati dalam menghadapi
setiap serangan yang mengincar bagian-bagian tubuh-
nya yang terlemah.
Plak! "Uhhh...!"
Memasuki jurus ke sepuluh, Panji mengangkat
tangan kirinya ke alas untuk menangkis serangan la-
wan yang mengancam pelipis. 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' yang dikerahkan pemuda itu membuat tubuh
Jabrang terdorong dan hampir terpelanting dibuatnya.
Untunglah Harimau Cakar Besi bertindak ce-
pat. Tubuhnya dilempar ke belakang, dan langsung
melakukan salto beberapa kali di udara. Dengan ma-
nis, kedua kakinya mendarat ringan di atas permu-
kaan tanah. "Hebat..!" puji Harimau Cakar Besi tulus.
Setelah berkata demikian, ia menarik napas
berkali-kali sambil menggerak-gerakkan kedua tangan untuk mengusir hawa dingin
yang merasuk ke tubuhnya. Sebab, tangkisan tangan Pendekar Naga Putih ta-di
sempat membuat tubuhnya menggigil bagai orang
terserang demam.
Beberapa saat kemudian, Jabrang menatap
Panji yang saat itu tubuhnya telah terlapisi kabut bersinar putih keperakan.
Pemuda tampan itu masih ber-
diri, menatap tajam ke arahnya.
Dugaan Panji yang mengira lawannya puas,
ternyata salah. Sebagai seorang ahli silat yang haus ilmu, Jabrang tentu saja
menjadi girang ketika melihat kelihaian pemuda tampan itu. Ia bagaikan bocah
yang baru saja dibelikan mainan. Dan akibatnya bisa dite-bak. Jabrang ternyata
tidak ingin berhenti sampai di situ saja. Ia pun kembali menantang Panji.
"He he he...! Jangan bertindak kepalang tang-
gung, Pendekar Naga Putih. Mari kita lanjutkan pertarungan menyenangkan ini!"
tantang Harimau Cakar Besi seraya terkekeh gembira. Lupa sudah ia akan jan-jinya
semula, yang hanya ingin menguji kepandaian
Pendekar Naga Putih.
"Benar, Pendekar Naga Putih! Janganlah terlalu pelit memberi pelajaran pada
kawanku ini. Sedikit banyak, tentu kami akan dapat memetik pelajaran dari
pertarungan ini," desak Ki Wanggala yang juga merasa tertarik terhadap
kepandaian pemuda itu.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Tong-
kat Maut. Lelaki gagah berusia empat puluh tahun ini pun mengajukan alasan yang
sama. Dia meminta kepada Pendekar Naga Putin agar bersedia melanjutkan
pertarungan, yang baginya memang sangat menarik
dan berarti itu.
Pendekar Naga Putih hanya mengangkat ba-
hunya, tanda pasrah. Ia tidak sampai hati menolak
permintaan itu. Apalagi, sikap yang ditunjukkan Harimau Cakar Besi bukanlah
sikap permusuhan. Melain-
kan sikap seperti seorang sahabat yang meminta pe-
tunjuk darinya. Akhirnya, Panji pun menerima tantangan itu. "Baiklah, Paman. Dan
kuharap Paman suka bersikap lunak kepadaku," kata Panji merendah.
Agar tidak dituduh memandang rendah lawan,
Pendekar Naga Putih memasang kuda-kuda dap
menghadapi gempuran Harimau Cakar Besi.
"Hm.... Anak ini benar-benar memiliki jiwa pendekar sejati. Ia tetap saja
merendah, meskipun tahu kalau kepandaiannya masih jauh lebih tinggi dariku.
Hebat..!" gumam Harimau Cakar Besi dalam hati kecil-nya. "Haiiit..!"
Jabrang atau yang lebih dikenal berjuluk Hari-
mau Cakar Besi kembali melompat menerjang lawan.
Sepasang tangannya yang membentuk cakar harimau
menyambar-nyambar bagian tubuh lawan yang terle-
mah, disertai angin berkesiutan.
Wuttt! Wuttt..!
Panji menggeser tubuhnya ke belakang disertai
langkah-langkah kakinya yang beraturan dan terlihat kokoh. Terkadang, kedua
tangannya bergerak menangkis.
Tubuh Harimau Cakar Besi beberapa kali ber-
getar mundur apabila serangannya tertangkis lengan
pemuda itu. Jelas sekali kalau dalam hal tenaga da-
lam, Jabrang masih jauh berada di bawah kekuatan
lawannya yang masih muda itu. Dan ia pun bukan ti-
dak tahu kalau Panji tidak menggunakan tenaga dalam sepenuhnya. Namun, itu saja
sudah membuatnya kalang kabut
Setelah pertarungan itu lewat dari empat puluh
jurus, terlihat Panji mulai menguasai pertarungan.
Pemuda itu mendesak dan memaksa lawannya
untuk bermain mundur. Dan rasanya, Jabrang tidak
akan mampu bertahan lebih dari lima jurus lagi.
Melihat keadaan Harimau Cakar Besi yang su-
dah tidak mampu lagi untuk membalas serangan la-
wan. Maka Ki Wanggala dan Legawa tampak saling
bertukar pandang sejenak. Kemudian....
"Yeaaat..!"
Bagaikan telah sepakat, Ki Wanggala dan Pen-
dekar Tongkat Maut melesat memasuki arena perta-
rungan Begitu tiba, mereka langsung mengirim seran-
gan dahsyat ke arah Panji.
Ki Wanggala melancarkan pukulan-pukulan
maut, sehingga menimbulkan angin berkesiutan tajam.
Kadang-kadang tangannya meliuk dengan jari-jari terbuka, dan mematuk-matuk
bagaikan dua ekor ular hi-
dup. Jemari tangannya yang sanggup menghancurkan
batu karang itu langsung mengancam leher dan lam-
bung Pendekar Naga Putih.
Sedangkan Legawa sudah memutar tongkat
mautnya, sehingga kain lebar yang semula melibat batang tongkat itu pun berkibar
menghalangi pandangan mata lawan
Wukkk! Wrrr! Angin keras menderu ketika Legawa mengibar-
kan tongkat mautnya untuk menyerang Pendekar Naga
Putih. Serangan itu tentu saja tidak bisa dipandang ringan. Karena di balik
kibaran tongkat mautnya, ternyata tersembunyi tendangan dan pukulan yang dapat
meremukkan tubuh lawan. Itulah sebabnya, mengapa
Legawa dijuluki Pendekar Tongkat Maut
Dengan masuknya kedua orang tokoh yang ti-
dak kalah lihai dengan Harimau Cakar Besi, tentu saja sempat membuat Panji
kewalahan. Bahkan Panji terlihat terdesak menghadapi keroyokan mereka.
"Haiiit..!"
Pada suatu kesempatan, Pendekar Naga Putih
melempar tubuhnya hingga sejauh empat batang tom-
bak ke belakang. Begitu kedua kakinya hinggap di atas tanah, tubuhnya kembali
melesat menerjang lawan-lawannya. Kali ini tiga perempat bagian tenaganya
dikerahkan untuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh
sakti itu. Bahkan Panji pun telah memainkan 'Silat
Naga Sakti' yang menjadi jurus andalannya.
Pertarungan pun berlangsung semakin seru
dan menegangkan. Jurus 'Silat Naga Sakti' yang di-
mainkan Panji benar-benar membuat ketiga orang la-
wannya menjadi ciut nyalinya. Sepasang tangan yang
berbentuk cakar naga, menyambar-nyambar dahsyat.
Apalagi setiap sambaran tangan Pendekar Naga Putih
juga menebarkan hawa dingin menusuk. Tentu saja
hal itu membuat ketiga tokoh itu semakin terkejut.
"Heaaah...!"
Ki Wanggala membentak keras sambil membu-
ka kedua tangannya ke samping, untuk membuyarkan
hawa dingin yang terasa membekukan seluruh jalan
darah di tubuhnya. Namun sama sekali tidak disang-
ka, ternyata perbuatan itu justru membahayakan di-
rinya. Karena dengan berbuat demikian, berarti perta-hanan dirinya dibiarkan
kosong. Kesempatan itu tidak disia-siakan Panji yang
memiliki pandangan tajam. Saat itu juga, tubuhnya
meliuk mendekati Ki Wanggala. Dan sebelum lawan
sempat menyadarinya, tahu-tahu saja tubuh pemuda
itu muncul di depan orang tua itu. Langsung dikirimkannya hantaman ke dada Ki
Wanggala dengan tela-
pak tangan terbuka.
Desss! "Hugkh...!"
Tubuh Ki Wanggala yang kuda-kudanya ter-
gempur itu langsung terjajar mundur sejauh lima ba-
tang tombak. Dari sudut bibirnya tampak cairan me-
rah mengalir. Padahal, Panji telah menekan tenaganya sekecil mungkin agar tidak
melukai orang tua itu.
Pada saat yang hampir bersamaan, sambaran
Harimau Cakar Besi datang dari sebelah kanannya.
Sepertinya, sambaran itu hendak mengancam lam-
bung! Pendekar Tongkat Maut pun tidak ingin keting-galan. Saat itu juga, tongkat
maut di tangannya menderu mengancam leher Pendekar Naga Putih. Bahkan
masih disusulinya dengan sebuah tendangan miring ke arah dada pemuda itu. Benar-
benar gawat sekali keadaan Panji saat itu.
Namun, Panji yang sekarang tentu saja berbeda
dengan Panji yang dulu. Semenjak sembuh dari pe-
nyakit yang diderita, tenaga sakti pemuda itu telah meningkat jauh (Untuk
jelasnya, baca serial Pendekar Naga Putih dalam episode "Bunga Abadi di Gunung
Kembaran"). Apalagi, ia memang tidak pernah lupa melatih ilmu-ilmu di setiap
kesempatan. Maka kepan-
daian yang dimilikinya pun semakin sukar diukur.
Dalam menghadapi serangan berbahaya dari
dua arah yang berlawanan itu pun, Panji tidak menjadi gugup. Maka kaki kanannya
segera digeser jauh ke
samping, disertai liukan tubuhnya yang membentuk
setengah lingkaran. Dengan demikian, Pendekar Naga
Putih bukan saja berhasil menghindari serangan Ha-
rimau Cakar Besi. Bahkan telah menghindari serangan Legawa sekaligus.
Gerakan Panji tidak hanya berhenti sampai di
situ saja. Tubuhnya yang meliuk itu tiba-tiba saja telah berada di samping kiri
Jabrang. Maka langsung dikirimkannya hantaman sikut ke arah iga Harimau Ca-
kar Besi. Bukkk! "Ugkh...!"
Setelah itu, tubuh Pendekar Naga Putih kemba-
li berputar dan mengirimkan tendangan lewat jurus
'Sabetan Ekor Naga'nya yang mendarat telak di dada
Pendekar Tongkat Maut
Desss! "Akh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua orang
pendekar itu terlempar hingga satu setengah tombak
jauhnya. Tubuh mereka langsung terbanting di atas
tanah. Dari sela-sela bibir tampak mengalir darah segar.
"Maafkan aku, Sahabat. Aku sama sekali tidak
bermaksud melukai kalian," ucap Panji sambil membungkuk hormat kepada ketiga
orang tokoh itu.
Sementara itu, ketiga pendekar itu sudah
bangkit dan melangkah ke arah Pendekar Naga Putih.
Bergegas Panji menyerahkan kepada mereka masing-
masing, sebutir obat pulung berwarna putih salju.
"Mengapa harus meminta maaf, Pendekar Naga
Putih" Justru seharusnya kami berterima kasih kare-
na kau sudi memberi pelajaran tambahan kepada kami
bertiga," sahut Ki Wanggala sambil mengulur tangan menerima obat pulung
pemberian Panji.
"Kau benar-benar hebat, Panji. Aku yakin, kau
belum seluruhnya mengeluarkan kepandaianmu ketika
menghadapi keroyokan kami tadi. Aku benar-benar
kagum kepadamu. Dalam usia semuda ini, kau ternya-
ta telah memiliki ilmu kesaktian yang sukar sekali dicari bandingannya," puji
Harimau Cakar Besi dengan wajah berseri gembira.
"Sudahlah, Paman. Bisa-bisa kepalaku semakin
bertambah besar nanti. Kalau begitu, bukankah aku
sendiri yang kerepotan" Bagaimana aku harus mem-
bawanya?" gurau Panji yang membuat ketiga orang tokoh persilatan itu tergelak.
Kenanga yang sudah berada di antara mereka,
ikut terkekeh ketika mendengar ucapan Panji yang terasa menggelitik perutnya.
"Lebih baik, kalian beristirahat dulu untuk
memulihkan kesehatan," usul Panji kepada ketiga orang tokoh persilatan yang
masing-masing telah menelan obat pemberiannya.
"Kau sendiri hendak ke mana, Pendekar Naga
Putih?" tanya Ki Wanggala.
Tampaknya orang tua itu begitu gembira kare-
na kehadiran pendekar muda itu telah membawa seti-
tik harapan. Dan orang tua itu merasa yakin, Pendekar Naga Putih pasti akan
dapat menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapinya. Maka ia pun berniat
mengajak Panji melakukan penyelidikan terhadap pembunuh
keji yang saat ini tengah berkeliaran menebarkan bencana. "Aku dan Kenanga akan
menunggu kalian da-
lam memulihkan kesehatan. Setelah itu, kita atur rencana untuk menjebak iblis
keji pembantai manusia
itu," sahut Panji, sehingga membuat ketiga orang tokoh persilatan itu menarik
napas lega. Ketiga orang tokoh persilatan itu pun bergegas
melakukan semadi untuk memulihkan tenaga mereka.
Sementara Panji bersama Kenanga duduk menanti di
bawah pohon, tidak jauh dari mereka.
*** 6 Seorang gadis cantik mengenakan pakaian
berwarna kuning cerah tengah duduk termenung di
tepi sungai berair jernih. Wajahnya tampak pucat, dan tatapan matanya sedingin
es. Tubuh yang sebenarnya
indah itu terlihat kurus, seperti orang yang tengah mengalami penderitaan batin
yang sangat berat. Siapa lagi gadis cantik itu kalau bukan Wurati" Seorang gadis
yang telah menjadi korban kebuasan nafsu bina-


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tang Samanggala dan Tiga Setan Kali Brantas. Namun, Wurati memang belum tahu
kalau Tiga Setan Kali
Brantas juga ikut mencicipi dirinya. Karena waktu itu dia dalam keadaan pingsan.
Selama beberapa hari setelah kejadian terkutuk
yang menimpa dirinya, Wurati telah menjelajahi seluruh wilayah hutan dan Bukit
Mentawak. Tapi, orang
yang dicarinya ternyata lenyap tanpa jejak bagai ditelan bumi. Dalam keadaan
putus asa, gadis itu duduk
termenung di tepi sungai, tempat pertama kali berjum-pa Samanggala.
Butir-butir air bening mengalir menuruni pi-
pinya yang pucat Hatinya merintih pilu mengingat dirinya yang kini sudah tidak
berharga lagi. Masa de-
pannya hancur direnggut manusia iblis yang tidak
berperi-kemanusiaan itu.
"Ohhh...," Wurati mengeluh putus asa.
Suasana pagi yang indah ini, tidak lagi dapat
dinikmati gadis itu. Semuanya kini terlihat buruk dalam pandangan matanya.
Karena, hatinya telah mati
dan jiwanya telah kosong semenjak tahu kalau dirinya telah ternoda. Semangat
yang mendorongnya untuk tetap hidup, adalah melakukan pembalasan atas kebia-
daban Samanggala yang kini menjadi musuh besarnya
dalam dunia ini. Dan juga membalaskan kematian gu-
runya. Ketika matahari semakin naik tinggi, Wurati be-ranjak bangkit dari
duduknya. Ia tidak tahu lagi, ke mana harus pergi untuk mencari manusia yang
telah merusak hidupnya. Asal-usul pemuda itu sama sekali
tidak diketahui. Dan bukan tidak mungkin kalau nama pemuda itu pun nama samaran
yang sengaja digunakan sewaktu menjebak dirinya. Jadi sebenarnya, sega-la
sesuatu mengenai musuh besarnya itu masih gelap.
"Tidak! Aku tidak boleh berputus asa! Aku ha-
rus mencarinya biar sampai ke ujung langit sekalipun!
Aku harus menemukan Samanggala dan mencincang
tubuhnya sampai halus. Dan lagi, aku harus memba-
laskan kematian guru!" tekad Wurati dengan tubuh menggigil menahan kemarahan
yang meluap-luap.
Sepasang mata yang semula indah dan mempe-
sona itu kini menjadi menyeramkan. Terkadang, kedua bola mata gadis cantik itu
berputar liar bagai orang kurang waras. Hal itu dapat dimaklumi, karena jiwa
Wurati memang mengalami tekanan sangat berat. Ma-
sih bagus ia tidak menjadi gila. Untunglah gadis itu tidak tahu, kalau selagi
dirinya pingsan, tubuhnya di-permainkan Tiga Setan Kali Brantas. Kalau saja
tidak dalam keadaan pingsan, mungkin perbuatan ketiga la-ki-laki itu bisa
membuatnya gila!
Setelah mengambil keputusan demikian, Wurati
bangkit dari duduknya dan melangkah meninggalkan
tempat itu. *** Wurati tidak tahu, ke mana harus mencari ma-
nusia keji yang telah menghancurkan hidupnya itu. Ia pun tidak peduli ketika
sepasang kakinya melangkah
menuju wilayah Selatan.
Hembusan angin sejuk yang biasanya selalu
dinikmati, kini tidak lagi membuat hatinya damai. Gadis cantik yang tengah
mengalami tekanan batin itu terus saja melangkahkan kakinya dengan tatapan lurus
ke depan. Sedikit pun hatinya tidak tertarik untuk
menikmati pemandangan indah di sekitarnya. Bahkan
ketika memasuki wilayah Hutan Tiga Iblis, sama sekali tidak merasa gentar.
Padahal, suasana hutan itu sangat sunyi dan menyeramkan.
Pohon-pohon yang akar-akarnya bersembulan
di atas permukaan tanah dan telah berumur hampir
mencapai seratus tahun, tidak lagi menimbulkan rasa takut sedikit pun di hati
gadis itu. Wurati tetap saja melangkah, dengan sorot mata dingin lurus ke depan.
Tiba-tiba saja, Wurati menghentikan langkah-
nya. Gadis itu memiringkan kepalanya untuk mena-
jamkan pendengaran. Secara samar-samar tadi, telin-
ganya menangkap jeritan minta tolong dari kejauhan.
Rasa penasaran membuat langkah kakinya semakin
dipercepat, sehingga semakin jauh ke dalam hutan.
"Hhh.... Mungkin yang kudengar tadi hanya de-
sau angin," desah Wurati kecewa, karena jeritan samar-samar tadi tidak lagi
terdengar. Baru saja ia memutuskan untuk tidak memi-
kirkan jeritan samar-samar tadi, tiba-tiba saja jeritan itu kembali terdengar.
Dan kali ini lebih jelas.
"Ohhh.... Jangaan..! Tolooong...!"
Jeritan wanita bernada ketakutan itu membuat
Wurati tidak berpikir dua kali lagi. Tubuhnya yang
agak kurus langsung melesat menuju asal jeritan tadi.
Apa yang disaksikan gadis cantik berwajah pu-
cat itu membuat darahnya mendidih. Untuk beberapa
saat lamanya, ia hanya berdiri mematung teringat
akan keadaan dirinya.
Beberapa tombak di hadapan Wurati, terben-
tang sebuah pemandangan yang membuat sepasang
matanya jadi basah.
"Begitukah Samanggala memperlakukan
aku...?" gumam Wurati.
Gadis itu melihat tiga orang wanita setengah te-
lanjang tengah meronta-ronta dalam pelukan tiga
orang lelaki kasar, Dan dia mengenali betul ketiga orang lelaki itu. Mereka
adalah orang-orang yang pernah mengganggunya ketika mandi di sungai dekat Hu-
tan Mentawak. "He he he...! Merontalah terus, Manis. Itu akan membuatku semakin bersemangat!"
kata lelaki bercambang bauk, sambil terus menciumi wajah manis
dalam dekapannya yang meronta liar.
"Jangan, Tuan. Kasihanilah aku...," rintih gadis berwajah bulat telur dan
berkulit kuning langsat itu memohon. Sedang tubuhnya masih terus meronta,
berusaha melepaskan pelukan orang yang tak lain ada-
lah Setan Kepalan Besi.
Rintihan gadis manis itu, membuat Wurati ter-
sadar dari keterpakuannya.
"Bangsat keji! Lepaskan gadis-gadis itu...!" bentak Wurati.
Seketika gadis itu melolos pedang yang tergan-
tung di pinggangnya. Tubuhnya langsung melesat ke
dekat tempat itu.
"Eh"!"
Tiga Setan Kali Brantas terkejut begitu men-
dengar bentakan. Mereka sama sekali tidak menduga
kalau di dalam hutan yang sunyi dan menyeramkan
masih ada orang yang memergoki perbuatan mereka.
Bergegas mereka melepaskan ketiga orang wanita mu-
da itu, lalu menoleh ke arah datangnya bentakan tadi.
"Ah! Kiranya kau yang datang, Dewi Cantik!
Rupanya kau rindu kepada kami, sehingga ingin men-
gulangi kemesraan kita," tegur Setan Kepalan Besi sambil terkekeh memuakkan.
"Keparat! Apa maksud ucapanmu itu..."!" bentak Wurati sambil menudingkan ujung
pedangnya ke wajah penuh cambang bauk itu. Hatinya berdebar te-
gang, mendengar ucapan Setan Kepalan Besi yang me-
nimbulkan berbagai dugaan.
"Ah! Kau berpura-pura lupa kepadaku, Ni sa-
nak. Bukankah kita pernah bercumbu di dalam pon-
dok dekat Hutan Mentawak beberapa waktu yang lalu"
Malah, kedua temanku ini pun ikut pula menikmati
tubuhmu," sahut Setan Kepalan Besi.
Laki-laki itu tanpa sadar memang telah mem-
buka persekongkolan nya yang diatur bersama Sa-
manggala. Apalagi, dia memang terlalu sombong, se-
hingga menganggap rendah kepandaian Wurati. Jadi,
dia pun tidak takut kalau-kalau gadis cantik yang wa-
jahnya sudah semakin pucat itu akan membalas den-
dam. Setan Muka Putih dan Setan Kelabang Hijau
terkekeh seperti membenarkan ucapan Setan Kepalan
Besi. Kedatangan Wurati membuat mereka lupa terha-
dap ketiga orang wanita yang hampir juga menjadi
korban nafsu bejat Tiga Setan Kali Brantas. Memang, Wurati jauh lebih cantik dan
lebih menarik ketimbang ketiga orang gadis yang mereka culik dari desa sekitar
daerah itu. "Apa..., apa yang kalian maksudkan...?" desis Wurati dengan jantung hampir
copot. Tubuh gadis itu menggigil, takut dengan bayangan buruk yang melintas di
benaknya. "He he he...! Mungkin ia tidak ingat, Kakang.
Sebab waktu itu dia masih pingsan. Tapi kalau seka-
rang ingin mengulanginya, tentu akan lebih nikmat
bagi kita," ujar Setan Muka Putih yang wajahnya putih bagaikan kapur.
Wajah putihnya itu disebabkan menjalani lati-
han ilmu keji yang mengandung racun ganas. Dan se-
telah ilmu itu berhasil diselesaikan, maka wajahnya pun berubah putih bagaikan
kapur. Selain itu, kepandaiannya juga meningkat jauh.
"Jadi..., jadi kalian...! Oh, tidaaak...!" Wurati menjerit sambil menutupi
wajahnya yang kini dibasahi air mata. Pengakuan Tiga Setan Kali Brantas itu
benar-benar telah memukul dan membuat luka hatinya kem-
bali berdarah. Wurati jatuh ke atas tanah, bertopang pada lu-
tutnya. Tubuhnya tiba-tiba terasa sangat lemah bagaikan tak bertenaga. Alam di
sekitarnya terasa berputar, seperti menertawakan dirinya. Hingga, ia hanya bisa
menangis sesenggukan menyesali nasibnya. Sebab biar
bagaimanapun, ia lebih memilih Samanggala saja yang telah menodai dirinya. Bukan
ketiga orang kasar yang menyeramkan itu. Membayangkan saja, telah cukup
untuk membuatnya jijik. Selain wajah mereka yang
kasar dan menyeramkan, tubuh mereka pun terlihat
kotor tidak terurus.
"He he he...! Tidak perlu menangis, Dewi Can-
tik. Kalau kau memang ingin mengulanginya lagi, ten-tu aku akan bersedia
melakukannya dengan senang
hati. Bukan begitu, Kawan-kawan?" ledek Setan Kepala Besi yang merupakan orang
tertua dari Tiga Setan Kali Brantas.
Ketiga tokoh terkenal itu memang beraliran se-
sat, dan sangat ditakuti karena kepandaian dan keke-jamannya. Akibatnya, mereka
pun semakin merajalela
menebarkan kejahatan. Satu hal yang paling mereka
sukai, menculik gadis-gadis sebagai pemuas nafsu setan mereka.
Ketika mendengar kata-kata Setan Kepalan Be-
si, Wurati seperti diingatkan akan tujuannya semula.
Cepat gadis itu bangkit dan menghapus air matanya.
Disambarnya pedang yang tergeletak di sam-
pingnya. Kemudian, ia berdiri tegak dengan tatapan tajam. "Hm... dengarlah
manusia-manusia terkutuk!
Aku memang sengaja mencari kalian dan juga pemuda
iblis yang bernama Samanggala. Dan tujuanku adalah
untuk mencabut nyawa manusia-manusia biadab
penghancur hidup wanita macam kalian! Sekarang,
bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut!" geram Wurati sambil menggerakkan
pedangnya menyilang di
depan dada. "Heaaat..!"
Tanpa menunggu jawaban dari Tiga Setan Kali
Brantas, gadis itu langsung melompat disertai ayunan senjatanya.
Wuttt! Wuttt...!
Sambaran pedang yang menimbulkan suara
berdesing itu membuat Setan Kepalan Besi dan kawan-
kawannya melompat mundur.
"Kalian jaga tiga orang wanita itu! Biar aku saja yang menghadapi gadis liar
ini!" perintah Setan Kepalan Besi.
Setelah berkata demikian, Setan Kepalan Besi
pun melompat memapak serangan Wurati yang saat
itu tengah melompat
"Mampus kau, Iblis Keparat...!" maki Wurati seraya menyabetkan senjatanya
berkali-kali hingga
membuat Setan Kepalan Besi sesaat menjadi kerepo-
tan. Swiiit! Setan Kepalan Besi merendahkan tubuhnya ke
kanan dengan kepala terdongak. Sambaran ujung pe-
dang itu lewat satu jari di atas kulit lehernya. Secepat kilat, tubuh lelaki
gemuk itu berputar melingkar disertai ayunan kaki kiri. Maksudnya untuk menyapu
kaki depan lawannya.
Wuttt! Meskipun dalam keadaan jiwa terguncang, na-
mun Wurati ternyata bermata awas. Sambil menarik
tubuh ke belakang, gadis itu mengangkat kaki depan-
nya dengan lutut tertekuk. Secepat kakinya ditarik, secepat itu pula dilancarkan
tendangan lurus mengan-
cam pelipis kiri lawan dengan totokan ujung jari kakinya. Sebuah serangan
balasan yang sangat berba-
haya. Sudah dapat dipastikan kalau tubuh gemuk itu
akan menggelepar apabila terkena totokan ujung jari kaki yang mengandung tenaga
dalam tinggi. Sayang perhitungan Wurati meleset! Totokan
ujung jari kakinya hanya mengenai angin kosong. Ka-
rena, tubuh Setan Kepalan Besi tiba-tiba saja bergerak meliuk disertai geseran
kakinya. Sebelum Wurati sempat menyadarinya, tahu-tahu saja perutnya terasa
bagaikan dihantam palu godam.
Bukkk! "Hugkh...!"
Hantaman telapak tangan Setan Kepalan Besi
yang hinggap di perut, membuat tubuh Wurati terlem-
par sejauh dua batang tombak ke belakang. Kemudian, dia terbanting keras di atas
tanah berumput "Ohhh...," Wurati mengerang menahan rasa sakit yang mengaduk-aduk isi perutnya.
Gadis cantik bernasib malang itu mencoba
bangkit sambil menghapus cairan merah di sudut bi-
birnya. Sepasang matanya berputar, mencari-cari pe-
dangnya yang terlempar entah ke mana.
"He he he...! Gadis binal! Kali ini kau akan merasakan cumbuanku dalam keadaan
sadar. Tidak usah
malu-malu untuk mengulangi kemesraan kita," ujar Setan Kepalan Besi seraya
terkekeh. Laki-laki gemuk itu menyeringai buas menatap
Wurati yang tidak mampu bangkit. Memang, rasa sakti pada perutnya masih terasa
menyiksa. Namun sebelum Setan Kepalan Besi sempat
menjamah tubuh gadis cantik itu, sebuah bayangan
putih melesat disertai bentakan menggelegar.
"Tunggu, Setan Kepalan Besi! Gadis itu bagian-
ku...!" seru sosok tubuh berpakaian putih yang sudah berdiri tegak menghadang di
depan lelaki gemuk bercambang bauk lebat itu.
"Oh! Kiranya Tuan Muda Samanggala yang da-
tang. Kuserahkan betina liar itu kepadamu, Tuan Mu-


Pendekar Naga Putih 20 Bencana Dari Alam Kubur di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

da. Aku masih mempunyai satu lagi."
Setelah membungkuk hormat, Setan Kepalan
Besi meninggalkan sosok pemuda tampan yang tak
lain adalah Samanggala.
"Silakan kalian bersenang-senang dengan wani-
ta-wanita itu," ucap Samanggala kepada Tiga Setan Kali Brantas.
Sementara, ia sendiri sudah memondong tubuh
Wurati. Tentu saja setelah terlebih dahulu menotok
lumpuh tubuh gadis itu. Kemudian, dijejalkannya se-
butir obat ke mulut Wurati yang tak kuasa menolak-
nya. Samanggala melemparkan tubuh gadis cantik
itu di atas rerumputan tebal di balik semak-semak. Diterkamnya tubuh Wurati yang
saat itu sudah menge-
rang dan merintih akibat pengaruh obat yang dijejalkan pemuda itu. Kejadian
terkutuk itu pun kembali te-rulang menimpa Wurati.
Di tempat lain, Tiga Setan Kali Brantas pun
tengah terkekeh menikmati tubuh korban-korbannya.
Tiga orang gadis desa yang lemah itu hanya bisa me-
nangis, menerima nasib buruk yang menimpa.
Suasana Hutan Tiga Iblis yang semula riuh oleh
hembusan angin, kini mendadak sunyi. Sepertinya,
alam ikut berduka atas nasib malang yang menimpa
keempat orang wanita itu. Hutan Tiga Iblis menjadi
sunyi dan mencekam tanpa seekor binatang pun yang
menyemarakkannya. Hanya suara kekeh dan desah
napas manusia-manusia bejat itu yang terdengar sal-
ing bersahutan.
*** Wurati tersadar dari pingsannya ketika cahaya
matahari siang menerobos rimbunan dedaunan, lalu
menimpa wajahnya. Gadis cantik bernasib malang itu
menangis pilu, dengan hati hancur luluh. Dikenakan-
nya pakaian yang berserakan di sekitar tubuhnya. Air matanya mengalir, hingga
seluruh wajahnya yang pucat menjadi basah.
"Ohhh.... Apa lagi artinya hidup bagiku" Men-
gapa manusia-manusia iblis itu tidak membunuhku
saja sekalian" Mengapa mereka membiarkan aku hi-
dup" Oh, Tuhan! Dosa apa yang telah hamba lakukan,
sehingga sedemikian buruk nasib yang harus hamba
terima?" rintih Wurati sambil melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu.
Kini, tidak ada lagi niatan di hatinya untuk tetap hidup di dalam dunia yang
menurutnya sangat kejam. Segala tekadnya pun hancur.
"Oh, Guru.... Maafkan muridmu ini. Rasanya
aku tak mampu membalaskan dendammu. Aku telah
hancur sebelum bertarung, Guru. Rasanya, hidupku
tak ada gunanya lagi di dunia ini. Maafkan aku,
Guru...," rintih Wurati.
Sepasang mata sayu itu terlihat semakin redup
ketika menemukan mayat tiga orang gadis yang berlu-
muran darah. Rupanya tiga orang gadis desa yang ma-
lang itu dibunuh, setelah Tiga Setan Kali Brantas puas menodai mereka.
"Nasib kalian masih lebih baik dariku. Kalian
tidak lagi merasakan derita yang berkepanjangan, seperti yang kualami. Rasanya,
kematian memang meru-
pakan jalan satu-satunya yang paling baik. Daripada hidup hanya untuk menanggung
derita dan cemoohan
orang banyak," gumam Wurati, pilu.
Dengan tangan gemetar, Wurati mengeluarkan
pedang yang tadi diselipkan di pinggangnya.
Sret! Sinar pedang yang berwarna kebiruan, berke-
redep ketika gadis itu mengeluarkan dari sarungnya.
Sambil menahan isak, Wurati mengangkat pedangnya
tinggi-tinggi. Ujung pedang tajam berkilat itu ditempel-kan di belahan dadanya.
Gadis cantik yang sarat penderitaan itu memutuskan untuk menghabisi nya-
wanya. Dia benar-benar sudah melupakan tekadnya.
Membalaskan kematian gurunya, dan membunuh Sa-
manggala. Wurati memejamkan mata, sehingga air ma-
tanya pun kembali mengalir menuruni pipinya yang
cekung dan pucat. Ditariknya napas dalam-dalam. Se-
pasang tangannya tampak bergetar, siap menghun-
jamkan ujung pedang ke dadanya.
Tak lama kemudian, Wurati menggerakkan pe-
dang yang segera meluncur turun menuju dadanya.
Sebelum ujung pedang menembus kulit da-
danya, seberkas sinar putih meluncur dengan bagai kilat!
Wuttt! Trang! Seberkas sinar itu langsung membentur ujung
Pedang Keadilan 26 Naga Sasra Dan Sabuk Inten Karya S H Mintardja Makam Bunga Mawar 3
^