Hilangnya Pusaka Kerajaan 1
Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan Bagian 1
HILANGNYA PUSAKA KERAJAAN Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode Hilangnya Pusaka Kerajaan
128 hal. ; 12 x 18 cm.
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Malam sudah semakin larut. Bulan sepo-
tong nampak menggantung di langit pekat. Ca-
hayanya redup, sehingga tak mampu menerobos
kekelaman malam.
Di bawah siraman cahaya rembulan yang
temaram itu, tampak sesosok bayangan hitam
tengah berlari cepat. Gerakannya tak ubahnya ba-
gai bayangan hantu yang berkeliaran mencari
mangsa. Menilik dari gerakannya yang ringan dan
gesit, jelas kalau kepandaiannya sangat tinggi.
Tak berapa lama kemudian, sosok bayan-
gan itu telah tiba di bawah sebuah tembok tinggi dan kokoh. Sambil merapatkan
tubuh ke tembok,
sepasang matanya tampak merayapi sekeliling
dengan pandangan penuh curiga. Dari tarikan na-
pasnya yang berat, jelas kalau sosok tubuh berpakaian serba hitam itu tengah
diliputi ketegangan Setelah merasa yakin kalau keadaan di sekitarnya aman, kedua
kakinya segera dijejakkan
ke tanah. Seketika itu juga, tubuhnya yang tinggi besar melambung melewati
tembok belakang Istana Kerajaan Cadas Putih.
Sepasang kaki sosok tubuh itu hinggap di
sebuah taman belakang tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Tubuhnya langsung merunduk di ba-
lik semak-semak ketika dua orang penjaga lewat
beberapa langkah di depannya.
Sepeninggal kedua orang penjaga itu, tu-
buhnya kembali melesat bagai anak panah menu-
ju gudang penyimpanan senjata pusaka Kerajaan
Cadas Putih. Sosok tubuh itu kini harus menghadapi
orang yang tengah berbincang-bincang di pos jaga, di depan tempat penyimpanan
senjata pusaka ke-
rajaan. Dengan gerakan ringan tanpa suara sedikit pun, orang itu melesat cepat
ke arah pos jaga. Kedua tangannya bergerak cepat ke arah para penja-
ga. Empat orang penjaga yang berada di pos
jaga itu kontan roboh tak berkutik, hanya sekali totokan saja. Cepat bagai
kilat, tubuhnya kemudian langsung menyelinap di balik pintu tempat
penyimpanan pusaka kerajaan.
Belum juga sosok bayangan hitam itu me-
neliti pusaka-pusaka yang berada di dalam gu-
dang, terdengar seruan-seruan terkejut dari luar gudang ini. Sepertinya, empat
penjaga yang dirobohkannya tadi telah diketemukan para penjaga
lainnya. "Pasti ada orang gila yang nekat menyeli-
nap ke tempat ini. Kalian berdua, cepat beri tahu yang lain. Aku dan yang
lainnya, akan memeriksa
setiap sudut tempat ini!" terdengar perintah yang keluar dari mulut seorang
perwira berusia sekitar empat puluh tahun.
Setelah berkata demikian, golok besar yang
tergantung di pinggangnya segera dicabut. Kemu-
dian, perwira itu melangkah memasuki gudang
penyimpanan senjata pusaka Kerajaan Cadas Pu-
tih, ditemani dua orang bawahannya.
Sementara itu, wajah di balik kain hitam
yang berada di dalam gudang terlihat menegang.
Keringat tampak telah membasahi bajunya.
"Hei"! Mengapa pintu gudang ini tidak di-
kunci?" tanya perwira itu seraya menolehkan kepalanya kepada dua orang pengawal
di belakang- nya. la sama sekali tidak menduga kalau ada
orang tak dikenal telah masuk ke gudang penyim-
panan pusaka. Apalagi kunci pintu gudang itu
sama sekali tidak rusak.
Sementara, dua orang penjaga yang men-
dapat pertanyaan itu hanya bisa saling berpan-
dangan mengangkat bahu.
Baru saja kaki perwira itu melangkah ma-
suk sejauh dua tindak, serangkum angin keras
menerpa tubuhnya. Cepat-cepat dikerahkannya
tenaga dalam untuk menahan dorongan yang
amat kuat itu. Bukkk! "Aaakh...!"
Tahu-tahu saja, sebuah tendangan keras
telah membuat perwira itu terpental ke luar! Terdengar jerit kesakitan dari
mulutnya. Darah segar seketika menyembur dari mulutnya. Jelas kalau
dia menderita luka dalam yang cukup parah.
'Tangkap orang itu...!" teriak si perwira,
marah. Dia mencoba bergerak bangkit, namun ra-
sa nyeri di dadanya menghambat gerakannya.
Perwira itu hanya bisa menekap dadanya yang
terhajar tendangan tadi. Mulutnya menyeringai
menahan sakit. Sementara dua orang penjaga yang semula
berada di belakangnya langsung tersadar begitu
mendengar teriakan Cepat mereka menodongkan
ujung tombak ke arah sosok tubuh tinggi besar
yang berdiri tegak dengan sinar mata mencorong
tajam. "Hmh...!"
Sosok bayangan hitam itu mendengus
mengejek ketika dua batang tombak meluncur
mengancam tubuhnya.
Trakkk! Trakkk!
Bukan main terkejutnya hati kedua orang
penjaga itu ketika tombak di tangan mereka lang-
sung patah begitu dihunjamkan ke tubuh bayan-
gan hitam itu. Belum lagi rasa terkejut mereka hilang,
orang berpakaian serba hitam itu sudah men-
gayunkan tangannya menampar dua kali berturut-
turut Prakkk! Prakkk!
Tanpa sempat menjerit lagi, kedua orang
pengawal itu kontan roboh dengan kepala pecah.
Sebentar mereka menggelepar, sesaat kemudian
diam tak berkutik lagi.
"Keparat kau, Maling Hina! Kau akan dihu-
kum gantung akibat perbuatanmu ini!" bentak perwira berusia empat puluh tahun
itu, geram. Walaupun dadanya terasa masih sakit, ia berusa-
ha menghadang dengan golok besar melintang di
depan dadanya. Sedangkan tangan kirinya masih
menekap dada yang terasa nyeri.
Sosok tinggi besar berpakaian serba hitam
itu sama sekali tidak menyahut Seketika itu juga, tubuhnya meluruk melakukan
tamparan dengan
telapak tangan kanan. Sungguh hebat serangan
itu, karena ditandai oleh suara mencicit tajam.
Sementara di tangan kirinya nampak tergenggam
sebatang tongkat yang terbuat dari batu pualam.
Pada bagian ujungnya bertahtakan permata. Ru-
panya barang yang dicarinya itu sudah dida-
patkan. Perwira yang bernama Maharya itu melom-
pat mundur menghindari tamparan maut lawan-
nya. Namun, betapa terkejutnya dia ketika samba-
ran angin tamparan orang itu membuat tubuhnya
limbung. Padahal, Maharya sudah melompat se-
jauh hampir dua batang tombak.
"Gila! Kepandaian pencuri ini hebat sekali!
Siapakah dia sebenarnya" Dan apa maksudnya
mencuri pusaka kebesaran Kerajaan Cadas Putih"
Mungkinkah ia orang sewaan?" gumam Maharya sibuk menduga-duga, siapa orang
berpakaian hitam itu. Maharya tidak sempat lagi berpikir terlalu jauh. Dan
memang saat itu lawannya kembali menerjang dengan serangan-serangan yang lebih
dahsyat. Kini Maharya harus sibuk menghalau se-
rangan yang datang bagaikan gelombang lautan
Dalam lima jurus saja, perwira itu sudah terdesak hebat. Bahkan tidak mampu lagi
melakukan serangan balasan. Diam-diam harinya mengeluh,
karena bantuan yang diharapkannya belum juga
muncul. Bukkk! Desss! "Aaargh...!"
Raung kematian terdengar dari mulut Ma-
harya ketika dua buah hantaman telapak tangan
dan tendangan pencuri itu telak menghantam da-
da dan lambungnya.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh perwira
gemuk Itu langsung jatuh berdebuk keras. Darah
segar langsung mengalir dari mulut dan hidung-
nya. Maharya tewas seketika di tangan pencuri
yang rupanya berkemampuan tinggi.
Bersamaan dengan jatuhnya tubuh Ma-
harya, terdengar derap langkah banyak orang
mendatangi tempat itu.
"Hei! Jangan lari...!"
"Tangkap orang itu...!"
"Jangan biarkan lolos...!"
Terdengar teriakan-teriakan marah dari
beberapa orang pengawal yang mengejar bayangan
hitam itu. Namun sayang, kepandaian pencuri itu
masih lebih tinggi daripada pengejarnya. Sehingga
dalam beberapa kali lompatan saja, para pengawal itu sudah jauh tertinggal di
belakang. "Hm.... Mau lari ke mana kau, Maling Bu-
suk!" bentak seorang senapati muda yang telah berdiri tegak menghadang di depan
sosok bayangan hitam itu.
Tiga orang perwira dan delapan pengawal
yang berada di belakang senapati muda bernama
Palareja, langsung bergerak mengepung si pencuri.
Sepasang mata yang tersembunyi di balik kain hi-
tam penutup wajah tampak bergerak liar. Seper-
tinya, ia tengah mencari jalan untuk lolos dari ke-pungan. Dari gerakan dadanya
yang bergelom- bang, jelas kalau pencuri itu merasa tegang dan
cemas. Dia benar-benar sadar kalau harus cepat
meloloskan diri sebelum tokoh-tokoh kerajaan
yang lainnya berdatangan. Apa bila hal itu terjadi, maka jangan harap kalau bisa
selamat. Apalagi
tempat itu banyak dipenuhi tokoh sakti yang men-
gabdikan dirinya pada Kerajaan Cadas Putih.
"Kisanak! Lebih baik menyerah saja secara
baik-baik. Dengan begitu, mungkin hukuman
yang dijatuhkan untukmu menjadi lebih ringan,"
ujar senapati muda bernama Palareja itu dengan
sikap tenang dan penuh percaya diri. Sikap seo-
rang panglima muda tulen.
"Persetan dengan ocehanmu itu...!" geram sosok tinggi besar berpakaian serba
hitam itu, parau. Setelah berkata demikian, tubuhnya mele-
sat kesebelah kiri, tempat dua orang pengawal
yang mengepungnya berdiri.
Melihat tubuh pencuri itu meluruk ke arah
mereka, langsung saja kedua orang pengawal itu
menusukkan ujung tombaknya untuk menyambut
serangan. Dan ternyata luncuran dua batang tombak
tidak membuat pencuri itu menghentikan seran-
gan. Tangan kanannya langsung bergerak cepat
menimbulkan deru angin dahsyat.
Seketika terdengarlah teriakan ngeri yang
disusul terlemparnya tubuh kedua orang pengawal
itu dalam keadaan tak bernyawa.
"Keparat...!"
Palareja memaki gusar melihat kejadian
yang tak disangka itu. Senapati muda yang sudah
siap melancarkan serangan itu, menahan lang-
kahnya ketika melihat dua orang perwira yang tadi mengejar datang menghampiri.
"Tuanku.... Pencuri itu juga sudah mem-
bunuh Kakang Maharya," lapor perwira tinggi kurus dengan napas memburu.
"Keparat! Kalau begitu, ia harus menerima
hukuman yang seberat-beratnya! Cepat, kepung
dia! Jangan beri kesempatan untuk lolos!" perintah Palareja dengan suara
menggelegar penuh
kemarahan. Seusai mengeluarkan perintah, tubuh se-
napati muda itu langsung melesat ke arah si pen-
curi yang tengah mengamuk, dikeroyok dua belas
orang prajurit dan lima orang perwira.
Wuttt! Sambaran angin pukulan Palareja mem-
buat pencuri itu melempar tubuhnya ke belakang.
Sebab, dari sambaran angin pukulan yang mende-
ru itu, disadari betul kalau penyerangnya kali ini bukanlah orang sembarangan
dan tidak bisa dipandang rendah.
Begitu lolos dari pukulan Palareja, tubuh
pencuri itu kembali melenting ke kanan. Seketika dirobohkannya empat orang
prajurit sekaligus.
Tentu saja hal itu membuat Palareja terkejut.
"Gila! Orang ini benar-benar bukan tokoh
sembarangan! Entah apa maksudnya mencuri pu-
Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saka lambang Kerajaan Cadas Putih?" gumam Palareja tak habis mengerti.
Sadar betapa berartinya benda yang dicuri
sosok tinggi besar itu, Palareja pun melesat dan mengerahkan seluruh kemampuan
untuk menangkap si pencuri, hidup atau mati!
"Jangan mimpi untuk dapat lolos dari tem-
pat ini, Maling Hina!" bentak Palareja. Kembali di-lancarkannya serangan-
serangan maut dengan ti-
dak kepalang tanggung.
"Hmh...!"
Lelaki bertubuh tinggi besar berpakaian
serba hitam itu mendengus penuh ejekan. Tubuh-
nya bergerak berputar sambil melakukan serang-
kaian tendangan ke arah para prajurit yang melu-
ruk ke arahnya. Hal itu dilakukan untuk sekaligus menghindari terjangan
Palareja. Sebuah gerakan
yang hebat, dan menunjukkan kecerdikan sosok
tubuh itu. Palareja gusar bukan main. Bukan saja se-
rangannya dapat dielakkan orang itu. Bahkan so-
sok tubuh itu mampu sekaligus menewaskan tiga
orang prajuritnya. Dapat dibayangkan, betapa
murkanya hati senapati muda itu. Maka cepat-
cepat tubuhnya melompat mengejar pencuri yang
berlari menuju halaman belakang gudang penyim-
panan pusaka kerajaan
Kembali hati senapati muda itu dilanda ra-
sa penasaran. Meskipun, seluruh kemampuan il-
mu meringankan tubuhnya telah dikerahkan, ter-
nyata ia masih belum bisa mengimbangi ilmu lari
yang dimiliki pencuri Itu.
"Bangsat, berhenti...!" teriak Palareja se-
makin gusar. Rasa penasaran dan kemarahan di hati se-
napati muda itu hampir-hampir memecahkan da-
danya. Betapa tidak" la yang dalam Kerajaan Ca-
das Putih berpangkat senapati muda, ternyata ti-
dak mampu menangkap seorang pencuri. Sungguh
hal yang sangat memalukan! Padahal sebagai seo-
rang senapati muda, tentu saja kepandaian yang
dimiliki Palareja sudah sangat tinggi. Dan hanya ada beberapa orang saja di
kerajaan itu yang
mampu menandingi kepandaiannya. Tapi, seka-
rang ia terpaksa harus menelan kekecewaan, ka-
rena telah dipecundangi seorang pencuri yang sa-
ma sekali tidak dikenalnya. Hal itu benar-benar
menyakitkan bagi Palareja.
Saat itu, si pencuri sudah memasuki ta-
man belakang bangunan besar Kerajaan Cadas
Putih. Namun Palareja berusaha untuk terus
mengejar. Senapati muda itu baru menyerah ka-
lah, ketika tubuh pencuri itu melambung melewati tembok setinggi tiga batang
tombak lebih. Hal
yang tidak mungkin dapat dilakukan Palareja.
Palareja hanya berdiri terlongong sambil
memandangi arah kepergian pencuri itu. Sambil
mendengus kesal, tubuhnya disandarkan di ba-
wah tembok. Wajah-nya menampakkan kekece-
waan dan rasa penasaran.
"Apa kata Gusti Prabu apabila mendengar
kegagalanku ini...," desah senapati muda itu lesu.
Dengan langkah lunglai, Palareja mening-
galkan taman untuk melaporkan peristiwa yang
baru saja terjadi
Malam semakin bertambah larut. Suara
binatang-binatang malam yang menyemarak, se-
makin membuat gundah hati Palareja.
"Malam sial!" desah hatinya kecewa.
*** 2 "Apa! Tongkat Pualam Putih lenyap dicuri
orang" " tanya Prabu Aria Winata, menggelegar.
Raja Agung Cadas Putih itu tersentak
bangkit dari singgasananya dengan wajah merah
padam. Sedangkan seluruh pembesar kerajaan
yang hadir di ruangan itu menundukkan kepala
dengan wajah pucat Tak seorang pun yang berani
mengangkat wajahnya melihat kemurkaan Prabu
Aria Winata. Demikian pula halnya dengan Palareja
yang melaporkan kejadian itu. Wajah senapati
muda itu tampak pucat pias. Titik-titik keringat mengalir turun, membasahi
lehernya. "Ampun, Gusti Prabu. Hamba menerima
salah, dan rela menerima hukuman atas kebodo-
han hamba Ini," ucap Palareja dengan suara bergetar. Kepalanya tetap tertunduk
tanpa berani memandang rajanya.
"Hm.... Coba ceritakan kejadian semalam
itu seluruhnya, Palareja," titah Prabu Aria Winata sambil menghenyakkan
bokongnya di atas kursi
kebesaran yang berlapiskan emas murni.
"Ampun, Gusti Prabu...," sembah Palareja sebelum memulai ceritanya.
Setelah menarik napas sejenak untuk me-
nenangkan diri, Palareja pun menceritakan keja-
dian yang diketahuinya.
"Sama sekali tidak diduga kalau kepan-
daian pencuri itu demikian tinggi, hingga berhasil lolos dari tangan hamba. Dan
hamba siap menerima hukuman atas kebodohan ini," Palareja me-
nutup ceritanya dengan kepala tetap tertunduk.
"Lalu, ke mana perginya Ki Sempana" Bu-
kankah ia yang bertugas menjaga pusaka itu"
Mengapa ia tidak kelihatan sekarang?" tanya Prabu Aria Winata lagi, sambil
mengedarkan pandan-
gan ke sekitar ruangan ini.
"Ampunkan hamba, Gusti. Sudah sejak
semalam hamba tidak melihat Ki Sempana. Dan
hamba tidak tahu, di mana dia sekarang. Orang
tua itu seperti lenyap ditelan bumi," sahut Palareja lagi. "Hm.... Apakah kau
sudah mencarinya?"
kening Prabu Aria Winata berkerut dalam men-
dengar jawaban senapati mudanya itu.
"Sudah, Gusti Prabu. Tapi, hamba tidak
berhasil menemukannya," jawab Palareja. Benak senapati muda itu dipenuhi tanda
tanya. Ia pun mulai menduga-duga tentang lenyapnya Ki Sem-
pana yang bertepatan dengan pencurian itu.
Raja Agung Cadas Putih termenung men-
dengar keterangan Palareja. Perlahan-lahan ia
bangkit dari singgasananya, kemudian berjalan hilir-mudik tanpa sepatah kata pun
terlompat dari mulutnya. Tentu saja sikap Prabu Aria Winata itu
membuat para pembesar istana menjadi tegang.
Tak seorang pun yang berani mengeluarkan suara.
Semuanya bungkam dengan wajah menunduk
menekuri lantai.
Setelah agak lama ruangan itu dicekam ke-
sunyian, terdengar helaan napas berat berkepan-
jangan yang keluar dari mulut Prabu Aria Winata.
Dia kini kembali duduk di singgasananya.
"Bagaimana menurutmu, Paman Patih"
Apakah lenyapnya Ki Sempana berkaitan dengan
pencurian pusaka itu" Dan tindakan apa yang ha-
rus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?"
tanya Prabu Aria Winata seraya menolehkan kepa-
la kepada seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang duduk di sebelah
kanannya. Patih Kerajaan Cadas Putih itu tidak segera
menjawab pertanyaan rajanya. Orang tua yang ter-
lihat bijaksana itu melepaskan pandangannya
yang menerawang jauh. Tangan kanannya menge-
lus-elus jenggot panjang dan berwarna putih itu.
"Ampun, Gusti Prabu...," ucap orang tua itu kemudian. "Kejadian ini memang
sangat aneh dan menimbulkan berbagai dugaan di hati kita
semua. Tapi sebelum Ki Sempana dapat ditemu-
kan, rasanya sulit sekali bagi hamba untuk men-
gambil kesimpulan. Jadi, menurut hemat hamba,
sebaiknya dikesampingkan saja dulu lenyapnya Ki
Sempana itu."
"Maksud Paman Patih, bagaimana...?" selak Prabu Aria Winata tak sabar ketika
melihat orang tua itu menghentikan ucapannya.
"Ampun, Gusti Prabu.... Menurut hamba,
lebih baik bereskan dulu masalah hilangnya Pusa-
ka Tongkat Pualam Putih yang menjadi lambang
kebesaran Kerajaan Cadas Putih. Sebab, apabila
hilangnya pusaka itu sampai terdengar kerajaan
lain, bukan mustahil mereka akan mempere-
butkan pusaka itu. Kalau sampai pusaka
itu jatuh ke tangan raja negeri lain, maka lenyaplah nama Kerajaan Cadas Putih
yang kita cintai
ini. Sudah menjadi peraturan tertulis, siapa pun yang memegang Tongkat Pualam
Putih, maka ia mempunyai peluang menjadi penguasa negeri ini,"
jawab patih itu lagi dengan wajah sedih.
Prabu Aria Winata memang masih sangat
muda dan belum lama menduduki tahta ayahnya
yang mangkat setengah tahun lewat. Itulah se-
babnya, mengapa ia belum begitu banyak menge-
tahui masalah-masalah yang berkaitan dengan ke-
rajaan. "Tapi, Paman Patih. Bukankah kita masih memiliki balatentara tangguh
untuk mempertahankan negeri ini" Dan rasanya, tidak mudah bagi kerajaan-kerajaan
lain untuk menaklukkan Kerajaan Cadas Putih!" sergah Prabu Aria Winata dengan
suara mantap. "Ampun, Gusti Prabu. Menurut sepengeta-
huan hamba, dengan lenyapnya tongkat pusaka
itu berarti kehancuran bagi negeri kita. Menurut cerita ayah hamba almarhum,
pada beberapa puluh tahun yang lalu hal ini pun sudah pernah terjadi. Dan
seperti yang hamba katakan tadi, negeri yang dahulunya bernama Kerajaan Muara
Bumi mengalami kehancuran. Tapi, hal itu masih dapat
dihindari bila secepatnya mencari pusaka itu.
Hamba rasa, pusaka itu akan dapat ditemukan
dengan mengerahkan ketiga pasukan inti Kerajaan
Cadas Putih," usul patih itu, menutup ceritanya.
"Maksud, Paman Patih..., Pasukan Garuda
Hitam, Garuda Perak, dan Garuda Emas?" tanya Prabu Aria Winata menegasi.
"Benar, Gusti Prabu. Hamba rasa, hanya
ketiga pasukan itulah yang akan dapat menunai-
kan tugas berat ini dengan baik."
"Baiklah, Paman Patih. Akan segera kupe-
rintahkan ketiga pasukan itu untuk menyebar ke
seluruh pelosok negeri."
Setelah berkata demikian, Prabu Aria Wi-
nata membubarkan pertemuan pagi hari itu.
*** Siang ini matahari memancarkan sinarnya
yang begitu terik. Sinarnya yang kuning keemasan terasa lianas menyengat
permukaan kulit. Hembusan angin pun, terasa hangat menerpa wajah.
Saat itu, pintu gerbang Kerajaan Cadas Pu-
tih terbuka lebar. Puluhan kelompok penunggang
kuda tampak bergerak berpencaran ke segala pen-
juru. Mereka tak lain adalah, Pasukan Tiga Garu-
da yang menjadi tulang punggung kekuatan Kera-
jaan Cadas Putih. Dan kini mereka diberi tugas
untuk mencari pusaka Tongkat Pualam Putih yang
merupakan tongkat kebesaran sekaligus keramat
bagi kerajaan itu.
Ketiga pasukan inti yang beranggotakan
hampir mencapai dua ratus orang segera menye-
bar. Agar pencarian benda pusaka yang hilang Itu tidak menyolok, para anggota
pasukan menyamar
sebagai kaum rimba persilatan. Hal itu dilakukan agar mereka bisa leluasa
bergerak. Apalagi, pusaka itu memang diperebutkan oleh kerajaan lain.
Bukan tidak mungkin, bila hilangnya pusaka itu
terdengar oleh kerajaan lain akan lebih memperke-ruh suasana.
Pasukan Garuda Hitam yang memiliki ang-
gota enam puluh orang dan rata-rata berusia sekitar tiga puluh tahun, memecah
menjadi tiga ke-
lompok. Tiap kelompok dipimpin seorang perwira
berusia empat puluh tahun. Mereka bergerak me-
nuju ke tiga penjuru.
Kelompok pertama yang dipimpin seorang
perwira bernama Jaya Prana bergerak menuju ke
arah Barat. Derap kaki kuda dua puluh orang itu
terdengar bergemuruh, dan meninggalkan kepulan
debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
Jaya Prana memimpin kedua puluh orang
anggotanya menuju Desa Gedangan yang letaknya
cukup jauh dari kotaraja. Sikap perwira berusia
empat puluh tahun itu terlihat gagah dan penuh
percaya diri. Sebaris kumis tebal yang melintang, membuat wajahnya semakin
angker dan berwiba-wa. Menilik dari gerak-geriknya, jelas kalau Jaya Prana
memiliki kepandaian tinggi. Hal itu memang pa tut diakui, karena ia termasuk
salah seorang pemimpin Pasukan Garuda Hitam yang sangat
terkenal kegagahannya.
Dan kini puluhan penunggang kuda itu
pun mulai menginjak perbatasan Desa Gedangan.
Itu bisa diketahui dari adanya sebuah tiang batu setinggi orang dewasa yang
terpancang di tepi kanan jalan.
Sebelum memasuki perbatasan, perwira
gagah itu mengangkat tangan kanannya tinggi-
tinggi sebagai isyarat kepada yang lainnya untuk berhenti.
"Ingat! Tidak ada seorang pan yang bisa
bertindak seenaknya tanpa seizinku. Usahakan
untuk menghindari keributan. Mengerti"!" tegas Jaya Prana seraya mengedarkan
pandangan ke sekeliling dengan sinar mata tajam.
"Mengerti, Kakang," sahut kedua puluh
Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang anggota itu sambil menganggukkan kepala.
Satu keistimewaan ataupun ciri dari ketiga pasukan inti Kerajaan Cadas Putih,
adalah bebasnya
panggilan antar mereka. Dalam Pasukan Garuda
Hitam, Garuda Perak, maupun Garuda Emas tidak
ada perbedaan jabatan. Karena, para anggota keti-ga pasukan inti itu rata-rata
setingkat dengan
pangkat seorang perwira menengah kerajaan. Se-
hingga, mereka memanggil pimpinan cukup den-
gan kakang saja. Sedangkan di antara para anggo-
ta sendiri, biasanya memanggil nama saja.
Setelah dirasakan cukup memberi nasihat-
nasihat lainnya, rombongan itu pun kembali ber-
gerak memasuki mulut Desa Gedangan. Lari kuda
mereka diperlambat agar tidak terlalu menarik
perhatian penduduk.
Jaya Prana menghentikan kudanya di de-
pan sebuah kedai makan yang cukup besar dan
terlihat sepi pengunjung. Hanya ada empat orang
yang terlihat tengah menikmati hidangan.
Setelah menambatkan kuda pada sebuah
tiang kayu yang terdapat di depan kedai, Jaya
Prana melangkah masuk mendahului yang lain-
nya. Lalu, dipesannya maka nan dan minuman
kepada pelayan setengah tua yang tergopoh-gopoh
datang menyambutnya.
Sedangkan kedua puluh orang lainnya su-
dah mengambil tempat masing-masing. Perjalanan
yang cukup jauh dan melelahkan itu membuat pe-
rut mereka terasa lapar. Dan ketika makanan su-
dah dihidangkan pelayan, mereka santap dengan
lahapnya. Tengah para anggotanya sibuk dengan hi-
dangan masing-masing, Jaya Prana melangkahkan
kakinya mendekati pemilik kedai. Tampak lelaki
gagah itu berbisik-bisik sambil menggerak-
gerakkan kedua tangannya. Sepertinya, ia tengah
menanyakan sesuatu. Namun si pemilik kedai ter-
lihat menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah
ketololan. Karena tidak mendapat keterangan seba-
gaimana yang diinginkan, Jaya Prana bergegas
kembali ke mejanya. Setelah semua anggota pasu-
kannya menyelesaikan hidangan, lelaki gagah itu
pun segera mengajak mereka untuk melanjutkan
perjalanan. Rombongan berkuda itu pun kembali ber-
gerak melintasi jalan utama Desa Gedangan. Begi-
tu tiba di luar desa, kuda-kuda tunggangan itu se-
gera dipacu tepat Kepulan debu membumbung
tinggi mengiringi kepergian mereka.
*** 3 Pagi baru saja menyapa bumi. Kicau bu-
rung saling bersahutan menyemarakkan suasana
yang cerah itu. Hembusan angin yang bersilir lembut, terasa segar menerpa tubuh.
Di bawah siraman hangatnya sinar mata-
hari pagi, tampak serombongan penunggang kuda
bergerak lambat menyusuri jalan berbatu. Seorang lelaki gagah bertubuh gemuk dan
bercambang bauk duduk dengan punggung lurus di atas ku-
danya yang berada paling depan. Sikapnya terlihat angkuh, menunjukkan sikap
seorang pemimpin.
Jelas kalau lelaki itu merupakan pemimpin rom-
bongan berkuda itu.
Rombongan itu terus bergerak maju perla-
han menuju sebuah bangunan yang sekelilingnya
dibentengi dinding kayu bulat dan kokoh. Di atas sebuah pintu gerbang, terdapat
papan kayu yang
cukup lebar. "Perguruan Tinju Selatan...," bibir tebal lelaki gemuk bercambang bauk itu
bergerak-gerak membaca papan nama yang tergantung di atas
pintu gerbang. "Hoiii..., Kisanak! Siapa kalian..." Apa
maksudmu mendatangi perguruan kami"!" teriak seorang lelaki berkumis tipis dari
atas tempat ja-ganya. Sementara itu penjaga yang lainnya hanya
memandang dengan kening berkerut Sepertinya, ia
merasa heran melihat kedatangan rombongan pe-
nunggang kuda itu.
"Aku adalah salah seorang sahabat Tinju
Sakti dari Selatan! Bukalah pintu gerbang ini, dan antarkan kami menemui
beliau!" teriak lelaki gemuk bercambang bauk lebat itu menyahuti.
"Sebutkan nama dan julukanmu...!" pinta penjaga itu lagi, sebelum meluluskan
permintaan kepala rombongan berkuda itu.
"Aku Juraga! Gurumu lebih mengenal julu-
kanku sebagai Harimau Bukit Munjul. Sudahlah!
Cepat laporkan dan jangan banyak tanya lagi!" jawab Harimau Bukit Munjul mulai
kesal atas per-
tanyaan penjaga itu yang dianggapnya bertele-tele.
Tak berapa lama kemudian, terdengar sua-
ra berderak keras ketika pintu gerbang Perguruan Tinju Selatan dibuka dari
dalam. Sedangkan salah seorang murid perguruan itu sudah berlari untuk
melaporkan kedatangan rombongan itu kepada
gurunya. Juraga atau lebih dikenal berjuluk Hari-
mau Bukit Munjul, membawa rombongannya me-
masuki halaman perguruan itu. Mereka terus ber-
gerak menuju balai utama perguruan dengan di-
antar oleh salah seorang penjaga pintu gerbang
perguruan. Begitu seluruh rombongan penunggang
kuda itu memasuki halaman depan perguruan,
mendadak saja lelaki yang berjuluk Harimau Bukit Munjul itu melompat turun dari
punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, tangan kanan-
nya bergerak menampar ke arah kepala murid
Perguruan Tinju Selatan yang mengantarkannya.
Rupanya orang yang diserang Juraga itu
cukup tangkas. Begitu merasakan ada sambaran
angin kuat dari belakang, lelaki berkumis tipis itu menoleh. Melihat datangnya
tamparan yang men-
gandung tenaga dalam kuat itu, cepat-cepat ka-
kinya melangkah dua tindak ke samping dengan
mendoyongkan tubuhnya membentuk kuda-kuda
rendah. "Hei! Apa-apaan ini..." Mengapa..."
Ugkh...!" Belum lagi laki-laki berkumis tipis itu me-
nyelesaikan pertanyaannya, sebuah hantaman
mendarat telak pada batang lehernya. Akibatnya
orang itu terpelanting dan menjerit keras.
Dari suara berderak keras yang ditimbul-
kan pukulan sisi telapak tangan miring Juraga, jelas kalau tulang leher orang
itu langsung patah
seketika itu juga. Melihat dari darah segar yang mengalir lewat mulutnya dan
sepasang matanya
yang mendelik lebar, sudah dapat dipastikan ka-
lau orang itu telah tewas akibat pukulan Harimau Bukit Munjul.
"Hei"! Apa maksudmu..." Mengapa kau
membunuh kawan kami..?" teriak salah seorang murid sambil berlari ke arah tempat
itu bersama belasan orang murid lainnya.
Dan dalam sekejap saja, seluruh anggota
rombongan berkuda itu telah terkepung puluhan
murid Perguruan Tinju Selatan yang memandang
marah. "Ha ha ha...! Dengarlah, Tikus-tikus Bu-suk! Hari ini, Pasukan Garuda
Emas akan menya-
pu bersih Perguruan Tinju Selatan!" ancam Juraga sambil tertawa terbahak-bahak.
"Apa kesalahan kami, Kisanak" Mengapa
kau sedemikian tega menjatuhkan tangan kejam
kepada salah seorang murid kami" Bukankah ka-
lau ada persoalan bisa dibicarakan baik-baik?" tegur seorang lelaki bertubuh
tegap dan memiliki
wajah gagah. "Sudahlah, Kakang. Mengapa mesti ber-
tanya lagi" Jelas orang-orang ini hendak mencari perkara. Lebih baik beri mereka
pelajaran agar lain kali tidak memandang rendah Perguruan Tin-
ju Selatan. Kalau tidak begitu, aku yakin mereka akan semakin kurang ajar
terhadap kita," selak seorang murid tak senang.
Kemarahan hati murid itu masih dapat di-
tahan, karena adanya lelaki tegap yang merupa-
kan salah seorang tokoh perguruan itu.
"Betul, Kakang. Tunggu apa lagi...?"
"Kekejaman si brewok itu sudah melewati
batas!" Ucapan murid-murid berhasil juga memancing amarah lelaki gagah itu.
Wajahnya yang semula tenang, terlihat agak menggelap. Sepasang matanya yang semula menyiratkan
kewibawaan, berubah berkilat menyimpan api kemarahan.
"Cepat katakan! Apa alasanmu membunuh
murid kami?" geram lelaki gagah itu sambil mengepal jari-jari tangannya hingga
memperdengarkan bunyi gemeretak nyaring.
"Kalian orang rimba persilatan telah mem-
buat kami susah! Salah seorang tokoh rimba per-
silatan telah mencuri sebuah pusaka berharga da-
ri gudang istana. Dan akibat perbuatan tokoh itu, kami tidak boleh kembali ke
istana sebelum menemukan benda pusaka keramat itu. Kalian tahu,
apa hukumannya kalau tugas kami gagal" Huku-
man pancung yang akan diterima apabila berani
kembali dengan tangan hampa. Akibat kejadian
ini, aku jadi benci terhadap orang-orang rimba
persilatan! Kalian tentu tahu, betapa beratnya tugas yang harus kami pikul ini"
Nah, sebelum me-
nerima hukuman pancung itu, akan ku basmi se-
luruh kaum rimba persilatan yang kutemui. Je-
las"!" bentak Juraga dengan wajah bengis.
"Kisanak! Sadarkah kalau perbuatanmu ini
adalah tindakan bodoh" Kalau perbuatanmu ini
diteruskan, maka kemarahan seluruh kaum rimba
persilatan yang ada di muka bumi ini akan ter-
bangkit! Dan akibatnya, akan kau rasakan sendiri kelak!" sahut lelaki bertubuh
tegap itu semakin geram mendengar keterangan Juraga.
Sadar kalau ucapan Harimau Bukit Munjul
itu bukan sekadar gertakan kosong belaka, senja-
tanya segera diloloskan, siap menghadapi ke-
mungkinan yang akar terjadi.
Saat itu, para penunggang kuda yang men-
gaku dari anggota Pasukan Garuda Emas sudah
berlompatan turun. Masing-masing juga sudah
melolos senjata, siap menghadapi pertarungan.
Namun sebelum peristiwa berdarah itu ter-
jadi, terdengar bentakan nyaring yang menggun-
tur. Kemudian, disusul berkelebatnya sesosok tu-
buh tinggi kurus yang mendaratkan kakinya di
tengah arena itu
"Tahan...!"
Hebat sekali akibat bentakan yang dido-
rong tenaga dalam tinggi itu. Kedua belah pihak yang semula siap membunuh,
bergerak mundur
sambil menahan napas melindungi guncangan pa-
da bagian dalam dada mereka. Beberapa orang
murid yang belum kuat tenaganya, terhuyung ke
belakang dengan wajah pucat pasi.
"Guru...!"
Puluhan orang murid Perguruan Tinju Se-
latan langsung menjatuhkan dirinya berlutut
Dan memang, orang tinggi kurus yang baru
tiba Itu tak lain adalah Tinju Sakti dari Selatan yang menjadi Ketua Perguruan
Tinju Selatan. Lelaki tua berusia sekitar enam puluh ta-
hun itu mengerutkan keningnya ketika melihat sa-
lah seorang muridnya sudah tergeletak tanpa
nyawa. Tenang sekali kakek itu membungkuk,
memeriksa luka yang menyebabkan kematian mu-
ridnya itu. "Pukulan keji...! Siapa yang melakukan
perbuatan Ini?" tanya orang tua itu. Dia kemudian bergerak bangkit sambil
melepaskan pandangan
ke arah Juraga dan rombongannya.
Sepasang mata tua yang berkilat mengge-
tarkan itu berhenti di wajah bercambang bauk le-
bat milik Juraga.
"Kaukah yang telah membunuh muridku,
Kisanak" Siapakah kau sebenarnya?" tanya Tinju Sakti dari Selatan.
Kening laki-laki tua itu tampak berkerut
Dari nada pertanyaannya, jelas kalau dia sama
sekali tidak mengenal Harimau Bukit Munjul.
"Tunggu apa lagi" Ayo, kita musnahkan
perguruan ini!" Tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan Ketua Perguruan Tinju
Selatan, Juraga
memerintahkan anggotanya untuk maju menye-
rang. la sendiri juga sudah melompat menyerang
orang tua itu dengan ditemani salah seorang ang-
gotanya. "Hei, tunggu...!" cegah Tinju Sakti dari Selatan sambil melompat mengelakkan
serangan ke- dua orang lawannya. Tangan orang tua itu berge-
rak mengibaskan dua buah senjata yang menyam-
bar ke arah tubuhnya.
Takkk! Takkk! Juraga dan kawannya terdorong mundur
akibat tangkisan ujung baju lawannya. Bagaikan
seekor ular hidup, ujung lengan baju Tinju Sakti dari Selatan terus bergerak
meliuk dan mematuk
pergelangan kedua orang lawan yang memegang
senjata. Bettt! Bettt!
Namun, kedua lawan Ketua Perguruan Tin-
ju Selatan itu pun ternyata bukan orang semba-
rangan. Serangan yang dilakukan orang tua itu
Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mudah dapat dielakkan. Bahkan langsung
melancarkan serangan balasan yang tidak kalah
ganas dan berbahayanya.
Tak pelak lagi, pertarungan pun berlang-
sung sengit. Tubuh ketiga orang itu bergerak cepat melancarkan serangan ganas
dan mengandung tenaga dalam kuat Sebentar saja, kedua belah pihak sudah
mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. Anggota rombongan Juraga mengamuk he-
bat menghadapi keroyokan puluhan orang murid
Perguruan Tinju Selatan. Sembilan belas orang lelaki muda yang mengaku dari
Pasukan Garuda Emas itu memang rata-rata memiliki kepandaian
sangat tinggi. Sehingga dalam beberapa jurus saja, delapan orang murid
Perguruan Tinju Selatan telah menggeletak
roboh mandi darah.
Tentu saja kejadian itu membuat empat
orang murid utama Tinju Sakti dari Selatan men-
jadi penasaran. Terutama orang yang tertua. Dia
adalah laki-laki tegap berwajah gagah. Namanya
Samala. Dengan kemarahan yang menggelegak,
Samala mengayun senjatanya yang berputar me-
nimbulkan deru angin keras.
Trang! Trang! Dua kali ayunan senjata Samala berhasil
dipukul mundur salah seorang lawan. Lelaki tegap itu terkejut bukan main ketika
telapak tangannya terasa kesemutan akibat tangkisan lawan. Hal itu
menyadarkannya untuk bertindak lebih hati-hati
dalam melancarkan serangan-serangan berikut
"Haiiit..!"
Dibarengi teriakan nyaring melengking,
Samala kembali menerjang lawan yang berkumis
seperti tikus itu. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga membentuk
gulungan sinar yang membungkus tubuhnya.
Wrrr! Wrrr! "Hmh...!"
Terdengar. dengusan mengejek dari orang
berkumis seperti tikus itu Jelas sekali kalau dia sangat memandang rendah
Samala. Begitu tusukan ujung pedang Samala meluncur mengancam
lambungnya, orang itu menggeser kaki kanan ke
depan seperti hendak menyambut serangan itu.
Samala terbelalak heran, dan juga girang
melihat gerakan lawannya. Biasanya, orang akan
bergerak mundur dan menjauhi senjatanya untuk
mengelak. Tapi, orang itu justru melakukan hal
kebalikannya. Tentu saja hal itu terasa aneh dan asing bagi lelaki bertubuh
tegap itu. Wuttt! Pada saat ujung pedang Samala hampir
menghunjam di lambung lawan, mendadak saja
tubuh lelaki berkumis seperti tikus itu berputar bagai gangsing. Gerakannya
dibarengi pula oleh
sambaran pedang yang bergerak dari bawah ke
atas. Wuttt! Brettt!
"Aaakh...!"
Gerakan lawan yang cepat dan tak terduga
itu, membuat Samala tak sempat lagi menghindar.
Tubuh lelaki tegap itu melintir tersambar pedang lawan. Luka memanjang dari
lambung ke dada seketika tercipta, dan tampak cukup dalam. Darah
segar pun mengalir membasahi celana dan pa-
kaiannya. Belum lagi Samala dapat memperbaiki si-
kapnya, pedang di tangan lawan kembali melun-
cur lurus menuju jantung.
Cappp! "Aaargh...!"
Terdengar jerit kematian yang melengking
merobek angkasa, disusul robohnya tubuh Samala
yang bermandikan darah segar. Tokoh utama Per-
guruan Tinju Selatan itu tewas seketika.
"Keparat, kubunuh kau...!"
Salah seorang murid utama lainnya yang
melihat kejadian itu nampak begitu murka. Saat
itu juga tubuhnya meluruk disertai putaran pe-
dang yang mengaung dahsyat.
"Hmh...."
Melihat datangnya serangan lawan, lelaki
berkumis seperti tikus itu hanya bergumam lirih.
Seperti halnya ketika menghadapi serangan Sama-
la, tubuh orang itu kembali meluncur maju seperti hendak menyambut serangan
lawan dengan tubuhnya.
Gerakan yang dilakukan si kumis tikus itu,
tentu saja membuat lawannya menjadi girang.
Maka kekuatannya segera ditambah. Maksudnya
agar dapat membunuh lelaki berkumis seperti ti-
kus itu dengan sekali tusuk.
Bibir laki-laki berkumis seperti tikus itu
tersenyum mengejek. Dia merasa telah berhasil
menipu lawannya yang jelas-jelas telah kehilangan pertahanan diri itu. Maka
ketika ujung pedang lawan hampir menyentuh kulit tubuhnya, tahu-tahu
saja laki-laki berkumis seperti tikus itu menjatuhkan tubuh ke tanah. Gerakan
yang tak terduga itu masih dibarengi tusukan ujung pedang ke tenggo-rokan lawan.
Cappp! "Eeegkh...!"
Ujung pedang yang menancap sedalam se-
jengkal Itu cepat ditarik kembali. Berbarengan
dengan gerakan menarik itu, tubuh laki-laki berkumis seperti tikus itu melenting
ke udara disertai babatan pedang dari atas ke bawah.
Crakkk! Kembali terdengar raung kematian yang
menyayat, disusul suara berdebuk tubuh terbant-
ing di atas tanah. Adik seperguruan Samala pun
tewas berlumuran darah di tangan laki-laki ber-
kumis seperti tikus yang memiliki kepandaian
tinggi dan aneh itu.
Saat itu, pertarungan yang berlangsung an-
tara Tinju Sakti dari Selatan melawan Juraga dan seorang anggotanya masih
berlangsung sengit Tokoh sakti berusia enam puluh tahun itu menga-
muk hebat Sepasang tangannya bergerak cepat
menghamburkan serangan ganas dan mematikan.
"Adi Lambit, awas...!" tiba-tiba saja Juraga berseru keras memperingatkan
kawannya. Tapi sayang, peringatan Juraga terlambat!
Pukulan maut yang dilancarkan Ketua Perguruan
Tinju Selatan itu telah mendarat di tubuh Lambit.
Bukkk! Desss! Lelaki bertubuh sedang yang dipanggil
Lambit itu terlempar akibat dua buah pukulan ke-
ras yang bersarang di dada dan perutnya.
Darah segar mengucur deras dari telinga
dan mulut, mengiringi kematian Lambit Dua pu-
kulan keras Tinju Sakti dari Selatan, telah men-
gantarkan laki-laki bertubuh sedang itu ke nera-ka.
*** "Adi Lambit..!"
Juraga berteriak parau ketika melihat tu-
buh kawannya diam tak bergerak. Bagaikan orang
linglung, laki-laki bercambang bauk itu melangkah mendekati mayat kawannya. Tak
dihiraukannya lagi Tinju Sakti dari Selatan yang menatap heran.
Untuk beberapa saat lamanya, Ketua Perguruan
Tinju Selatan itu hanya berdiri memandangi ting-
kah Juraga yang menurutnya aneh.
"Ada hubungan apa sebenarnya antara Ju-
raga dengan orang bernama Lambit itu" Mengapa
ia nampak demikian terpukul atas kematian ka-
wannya?" pikir Tinju Sakti dari Selatan tak habis mengerti.
Tapi orang tua itu tidak bisa lama-lama
memikirkannya. Karena saat itu, Juraga sudah
bangkit dengan wajah gelap. Dari sorot matanya,
nampak jelas gumpalan api dendam yang terasa
akan membakar tubuh Ketua Perguruan Tinju Se-
latan. "Bangsat kau, Orang Tua! Kematian adik seperguruanku ini hanya dapat
ditebus dengan darahmu!" desis Juraga penuh dendam.
Kematian Lambit yang ternyata adalah adik
seperguruannya itu, jelas membuatnya demikian
mendendam. Sepertinya, Juraga sangat me-
nyayangi adik seperguruannya yang tewas di tan-
gan Tinju Sakti dari Selatan.
"Jangan timpakan kesalahan itu kepadaku,
Kisanak. Bukankah kau sendiri yang mencari pe-
nyakit" Dan kalau kau mau berpikir sedikit, sebenarnya kematian adik
seperguruanmu itu adalah
karena ulahmu sendiri. Nah! Makilah dirimu sen-
diri! Atau kalau ingin membuat arwah adik seper-
guruanmu itu tenteram, bunuhlah dirimu sendiri.
Temani arwahnya biar tidak kesepian!" sahut Tinju
Sakti dari Selatan dengan tidak kalah geramnya.
Dan memang, ia pun sudah terbangkit amarahnya
melihat mayat-mayat muridnya bergelimpangan
bermandikan darah.
Ucapan orang tua itu bagai api yang sema-
kin mengobarkan kemurkaan Harimau Bukit
Munjul. Wajah lelaki gemuk bercambang bauk itu
berkerut-kerut menahan hawa marah yang terasa
akan meledakkan dadanya.
"Hm.... Dikira aku tidak bisa membunuh-
mu seorang diri, Orang Tua! Rupanya kau belum
kenal Harimau Bukit Munjul! Bersiaplah! Rasa-
kan, betapa kerasnya cakaranku!" ancam Juraga seraya melempar senjatanya ke
tanah begitu saja.
"Hmh...!"
Disertai geramannya yang terasa mengge-
tarkan isi dada, Harimau Bukit Munjul mendo-
rongkan kedua tangannya yang telah membentuk
cakar ke atas kepala. Terdengar helaan napas be-
rat dan panjang yang keluar dari hidung dan mu-
lutnya. Jari-jari tangan yang berbentuk cakar harimau itu tampak bergetar,
menandakan betapa
kuatnya tenaga yang terhimpun di dalamnya.
"Heaaah...!"
Sambil membentak keras, Harimau Bukit
Munjul menurunkan kedua tangan sehingga bersi-
langan di depan dada. Kemudian tangannya dibu-
ka sambil menarik kaki kanan ke belakang dengan
kuda-kuda rendah namun kokoh. Sikap Juraga
tak ubahnya se-ekor harimau yang siap menerkam
mangsa. Orang tua berusia enam puluh tahun itu
memandang gerakan lawannya dengan kening
berkerut dalam. Meskipun ia memang tidak men-
genal orang yang berjuluk Harimau Bukit Munjul
itu, namun menilik dari gerakannya, jelas kalau lelaki gemuk itu tidak
bersungguh-sungguh ketika melawannya tadi.
"Haaah...!" Tinju Sakti dari Selatan membentak keras menggelegar.
Bentakan yang dikeluarkan lewat pengera-
han tenaga dalam tinggi itu sempat membuat dada
Juraga bergetar untuk sesaat Apalagi ketika Ketua Perguruan Tinju Selatan itu
memutar kedua tangannya dengan kecepatan tinggi.
Tinju Sakti dari Selatan memang tidak
memusingkan, apakah mengenal orang itu atau
tidak. Sekarang ini yang terpenting adalah, me-
nundukkan orang Itu secepatnya sebelum murid-
muridnya habis dibantai teman-teman lelaki ge-
muk itu. Juraga benar-benar terkejut melihat sepa-
sang tangan lawan bagaikan menjadi banyak. Be-
lum lagi, sambaran angin yang ditimbulkannya te-
rasa demikian kuat menerpa tubuhnya. Jelas, ju-
lukan Tinju Sakti dari Selatan yang disandangnya bukan sekadar julukan kosong
belaka. Namun Juraga tidak mau menunjukkan kekagumannya, ka-
rena hal itu akan membuat dirinya dipandang re-
meh lawan. 'Tunjukkan 'Tinju Sakti'mu, Orang Tua...!"
bentak Juraga keras, sambil meluruk ke arah la-
wan dengan kecepatan tinggi.
Wuttt! Wuttt! Sambaran angin yang ditimbulkan gerakan
kedua tangan Harimau Bukit Munjul menderu-
deru dahsyat Sepasang cakar yang mengandung
kekuatan hebat itu bergerak cepat, ganas, dan
mematikan. Tinju Sakti dari Selatan mendoyongkan tu-
buhnya ke kanan sambil melepaskan sebuah pu-
kulan ya menderu tajam. Hebat dan tak terduga
serangan yang dilakukan orang tua itu. Akibatnya, Juraga yang tubuhnya tengah
doyong ke depan
karena serangannya berhasil dielakkan lawan, terpaksa membanting tubuhnya ke
kanan. Kemu- dian, langsung dilepaskannya sebuah tendangan
kilat yang menyambar lambung Ketua Perguruan
Tinju Selatan. Bettt! Rupanya gerakan Juraga telah diperhi-
tungkan lawannya. Buktinya orang tua itu mena-
rik mundur kaki kanannya yang dibarengi tepisan
telapak tangan kirinya disertai pengerahan tenaga sepenuhnya. Hal itu
dimaksudkan, sekaligus untuk meremukkan tulang telapak kaki Juraga.
Plak! "Akh...!"
Tubuh Juraga yang memang dalam kea-
daan kurang memungkinkan itu, terlempar sejauh
dua batang tombak. Untunglah tenaga dalamnya
yang sudah cukup tinggi itu dikerahkan ketika
melakukan tendangan tadi Kalau tidak, tentu tu-
lang telapak kakinya telah patah akibat tangkisan yang amat kuat itu.
Meskipun tidak sampai mengalami patah
tulang, namun jelas Juraga cukup menderita aki-
bat tangkisan lawannya tadi Ia berusaha untuk
berdiri walaupun kakinya terpincang-pincang. Wa-
Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jahnya terlihat menyeringai menahan sakit.
Di pihak lain, Tinju Sakti dari Selatan pun
bukan tidak merasakan kekuatan tenaga lawan.
Buktinya telapak tangannya terasa nyeri. Tentu
saja orang tua itu diam-diam merasa terkejut dengan kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki Harimau
Bukit Munjul. Bahkan, kuda-kudanya pun sempat
tergempur. Padahal, saat menangkis tadi, sikap
kuda-kudanya sudah sangat kokoh. Tapi, ternyata
ia masih juga terdorong mundur sampai sejauh
enam langkah. Saat itu, empat orang pengikut Harimau
Bukit Munjul menghambur ke arah pimpinannya.
Wajah mereka terlihat cemas melihat langkah Ju-
raga yang terpincang-pincang.
"Kakang, kau tidak apa-apa...?" tanya salah seorang yang bertubuh kurus namun
terlihat tegap. "Mengapa kau tinggalkan kawan-kawanmu yang lain" Apakah
pekerjaan kalian sudah selesai?" tegur Juraga.
Sepertinya, dia merasa tidak senang meli-
hat kedatangan empat orang pengikutnya itu. Ta-
pi, wajah yang gelap itu mendadak terang begitu
mendengar jawaban lelaki kurus tegap itu.
"Sudah hampir selesai, Kakang. Hanya
tinggal beberapa orang saja. Dan kepandaiannya
pun tidak seberapa," sahut lelaki kurus itu seraya menarik napas lega melihat
wajah pimpinannya
yang nampak senang setelah mendengar laporan-
nya. "Kalau memang begitu, mari kita habisi tua bangka keparat itu," ajak
Juraga. Kemudian, laki-laki bercambang bauk itu
melangkah terpincang-pincang mendekati Tinju
Sakti dari Selatan. Sementara itu, wajah laki-Laki tua Ketua Perguruan Tinju
Selatan itu terlihat pucat menyaksikan murid-muridnya yang tinggal be-
berapa orang saja. Dan itu pun terlihat tidak dapat bertahan lama.
"Kepung dia...! Gunakan tali...!" perintah Harimau Bukit Munjul.
Seketika, keempat orang pengikutnya sege-
ra bergerak mengepung Ketua Perguruan Tinju Se-
latan. Sedangkan lelaki gemuk itu sendiri sudah
melompat kembali menerjang Tinju Sakti dari Se-
latan. Ketua Perguruan Tinju Selatan kembali
menggeser kakinya menghindari serangan Hari-
mau Bukit Munjul Pukulannya menderu, mengan-
cam tubuh lawannya. Pertarungan pun kembali
berlangsung sengit.
Meskipun gerakannya terpincang-pincang,
ternyata kelihaian Harimau Bukit Munjul tidak
berkurang. Serangan-serangannya masih tetap
ganas dan berbahaya. Bahkan masih dapat mem-
buat repot lawan
Namun memasuki jurus yang kelima belas,
terlihat Tinju Sakti dari Selatan mulai dapat menguasai lawan. Perlahan-lahan
Harimau Bukit Munjul mulai terdesak oleh serangan-serangan
lawan yang menderu-deru. Maka, lelaki bercam-
bang bauk itu hanya dapat bertahan tanpa mam-
pu membalas. Wuttt! Pada saat Harimau Bukit Munjul benar-
benar dalam keadaan terjepit, sebuah pukulan la-
wan meluncur bagai kilat menuju bagian dada se-
belah kiri. Melihat sikap lelaki gemuk itu yang
nampak gugup, sudah dapat dipastikan kalau pu-
kulan Tinju Sakti dari Selatan akan dapat menca-
pai sasaran. Namun keempat orang pengikut lelaki ge-
muk itu rupanya tidak tinggal diam. Melihat pe-
mimpinnya dalam keadaan berbahaya, tali-tali
yang semula hanya diputar di atas kepala lang-
sung dilepaskan secara serempak.
Rrrt.. rrrt..! Tubuh Ketua Perguruan Tinju Selatan yang
tengah melancarkan serangan maut itu mendadak
tertahan di udara. Empat utas tali yang dilemparkan ke arahnya, tepat melibat
kedua tangan dan
kaki orang tua itu. Akibatnya kepalan tangannya
yang hampir mengenal dada lawan, berhenti da-
lam jarak tiga jari.
Sepasang mata Harimau Bukit Munjul
yang sempat melihat gerakan keempat orang pen-
gikutnya, tentu saja tidak menyia-nyiakan kesem-
patan emas itu. Sepasang tangannya bergerak ce-
pat melakukan dorongan dengan kekuatan sepe-
nuhnya menuju dada lawan.
Wusss! Blaggg! "Aaakh...!"
Hantaman sepasang tangan yang mengan-
dung kekuatan hebat, telak sekali menghantam
dada Tinju Sakti dari Selatan. Tubuh orang tua itu tersentak kuat ke belakang.
Darah segar menyembur dari mulut pendekar tua itu dan membasahi
tanah di bawahnya. Kemudian, tubuhnya ambruk
ke tanah. Namun, tubuh itu kembali tersentak balik
oleh tali-tali yang menjerat kuat lengan dan ka-
kinya. Selagi orang tua itu mengerang menahan
sakit, Harimau Bukit Munjul menusukkan sebilah
pedang yang dipungut dari tanah. Dan....
Bret! Bret! Crap!
Pedang di tangan lelaki gemuk itu berkali-
kali merobek tubuh Tinju Sakti dari Selatan. Da-
rah yang memercik dari luka-luka di tubuh orang
tua itu rupanya makin membuat Harimau Bukit
Munjul kesetanan. Tanpa rasa perikemanusiaan
sedikit pun, pedangnya terus berkelebat bagai
hendak mencincang hancur tubuh Ketua Pergu-
ruan Tinju Selatan itu.
"Mampus kau, Tua Bangka! Pergilah ke ne-
raka...!" sambil membacokkan pedangnya beru-
lang-ulang, mulut Harimau Bukit Munjul tak hen-
ti-hentinya memaki
Lelaki gemuk itu baru menghentikan gera-
kannya setelah merasa puas melihat keadaan mu-
suhnya. Dilemparkannya pedang di tangan, ke-
mudian berbalik meninggalkan tubuh Tinju Sakti
dari Selatan yang sudah tak bernyawa lagi.
Para pengikut Harimau Bukit Munjul yang
telah berkumpul dan menyaksikan penyiksaan itu,
hanya tertawa berderai. Sepertinya, mereka pun
ikut merasa puas atas perbuatan pemimpinnya
itu. Mereka yang telah membantai habis seluruh
murid Perguruan Tinju Selatan, melemparkan tu-
buh orang tua itu begitu saja tanpa perasaan.
"Ha ha ha...! Biarpun harus kehilangan
adik seperguruan yang sangat kusayangi, tapi aku puas! Mari kita tinggalkan
tempat ini...," perintah Juraga sambil melangkah ke arah binatang tung-gangannya
yang meringkik seperti ikut merasa
gembira atas keberhasilan majikannya.
Harimau Bukit Munjul yang sudah bersiap
meninggalkan tempat itu, mendadak menghenti-
kan langkahnya. Tiba-tiba saja, tubuh lelaki ge-
muk itu melesat ke arah samping balai utama per-
guruan itu. Memang, dia sempat melihat dua
orang berpakaian kuning yang berkelebat hendak meninggalkan tempat itu.
"Berhenti...!" bentak Harimau Bukit Munjul dengan suara menggelegar mengejutkan.
Dua orang berpakaian kuning yang ru-
panya sisa murid Perguruan Tinju Selatan itu me-
rasakan lutut mereka jadi lemas. Keduanya jatuh
dengan bertopang pada lutut, tak ubahnya seperti orang hendak menyembah.
"Ampunkan kami, Tuan.... Jangan bunuh
kami," ratap keduanya, ketakutan.
Harimau Bukit Munjul yang sekali melom-
pat sudah berada di depan kedua orang murid
Perguruan Tinju Selatan itu, mengangkat tangan
kanannya, siap menghancurkan batok kepala me-
reka. Namun tangan yang semula siap memukul
itu, perlahan turun. Di wajah lelaki gemuk itu ter-bayang senyum licik.
Sepertinya, ia mendapat sebuah gagasan baik dengan adanya kedua orang
murid musuhnya yang selamat itu.
"Hm.... Kalau kuberi kebebasan, apa yang
akan kalian perbuat sebagai balasannya?" tanya Harimau Bukit Munjul sambil
menatap tajam wajah kedua orang Itu yang mengangkat kepalanya.
Mendapat pertanyaan yang tak disangka-
sangka Itu, tentu saja membuat kedua orang itu
seperti melihat setitik harapan untuk dapat hidup lebih lama. Dengan penuh
harap, mereka mengangkat wajah untuk menatap Juraga.
"Kami..., kami akan bersedia melaksana-
kan segala perintah Tuan, asalkan tidak dibunuh,"
sahut salah seorang dari mereka yang berwajah
kehitaman. "Betul, begitu..." Ingat! Kalau kalian berbo-hong, aku tidak segan-segan
meremukkan batok
kepala kalian!" tegas Juraga dengan suara berat penuh ancaman maut.
"Betul, Tuan.... Betul! Kami berjanji dengan taruhan nyawa," sahut orang itu
lagi Kawannya ikut pula menguatkan janji lelaki berwajah hitam itu.
"Baik!" ujar Juraga.
Setelah memberikan perintah, ia pun berla-
lu bersama para pengikutnya meninggalkan tem-
pat itu. *** 4 "Heya... heya...!"
Serombongan penunggang kuda berpacu
cepat melewati padang rumput luas yang hijau
terbentang. Derap langkah kaki kuda seperti hen-
dak meruntuhkan bumi. Tampak tubuh-tubuh
penunggang kuda itu berguncang-guncang mengi-
kuti irama lari binatang itu.
Ketika kaki-kaki kuda itu melintasi jalan
besar yang di kiri kanannya terbentang persawahan luas, seorang penunggang kuda
yang berada di tengah, memacu kudanya ke arah depan.
Penunggang kuda berusia sekitar tiga pu-
luh tahun itu memperlambat lari kudanya, di se-
belah lelaki tegap berkumis lebat yang merupakan pimpinan rombongan itu.
"Kakang, tempat ini tidak jauh dari kedia-
man guruku. Bagaimana kalau kita singgah se-
bentar" Siapa tahu guruku bisa memberi sedikit
petunjuk kepada kita," usul lelaki berbahu lebar itu kepada pemimpinnya.
Lelaki tegap berkumis lebat yang tak lain
dari Jaya Prana itu, termangu sejenak. la berpikir, menimbang-nimbang sebelum
menjawab usul salah seorang anggota pasukannya itu.
"Betul, Kakang. Apa yang diusulkan Banja
rasanya cukup baik. Aku pun sudah lama tidak
mengunjungi guruku. Selagi kita berada tidak
jauh dari tempat kediaman guruku, tidak ada sa-
lahnya kalau singgah sebentar."
Yang mendukung saran lelaki bernama
Banja itu adalah seorang lelaki bertubuh kecil
namun padat berisi. Menilik dari ucapannya, jelas kalau orang itu adalah saudara
seperguruan Banja.
"Baiklah. Tapi, ingat! Tidak boleh ada seo-
rang pun yang membicarakan tugas kita, sebelum
aku memulainya. Bagaimana, setuju?" tanya Jaya Prana. "Baik, Kakang. Kami akan
ingat kata-katamu itu," janji Banja dan lelaki bertubuh kecil padat yang bernama
Gandira. Wajah mereka tampak berseri ketika mendengar jawaban yang mele-
gakan hati itu.
"Ayo, kalian berdua di depan sebagai pe-
nunjuk jalan," ajak Jaya Prana lagi kepada Banja dan Gandira.
"Baik," jawab mereka serempak.
Banja dan Gandira memacu kudanya ke
depan dan membelokkannya ke kanan ketika me-
lintasi jalan bercabang tiga.
Jalan yang dilewati kali ini terlihat rata dan
mulus. Tidak seperti jalan semula yang dipenuhi
batu kerikil. Sehingga, perjalanan pun semakin
mudah dan cepat. Dan kini, tampaklah sebuah
bangunan besar yang dikelilingi kayu-kayu bulat
dan kokoh. Bangunan itu menyerupai sebuah per-
guruan silat. Dengan hati berdebar penuh kegembiraan
karena hendak bertemu dengan saudara-saudara
seperguruan dan gurunya, kedua orang lelaki ga-
gah itu memacu kudanya agar lebih cepat lagi.
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terdapat sebuah papan nama bertuliskan
'Perguruan Tinju
Selatan", Banja dan Gandira tampak saling ber-pandangan bingung.
"Kau tidak merasa aneh dengan kesunyian
ini, Banja...?" tanya Gandira memandang saudara seperguruannya dengan wajah
cemas. Sepertinya,
lelaki bertubuh kecil padat itu merasa kan sesuatu yang ganjil.
'Ya. Seingatku, pos penjagaan di atas itu
tidak pernah ditinggalkan. Tapi, mengapa kali ini tidak terlihat seorang pun"
Aneh!" gumam Banja seraya mengerutkan keningnya dengan wajah heran. "Ada apa,
Banja, Gandira..." Mengapa kalian tidak lekas memberitahukan kedatangan ka-
lian?" tegur .Jaya Prana ketika melihat kedua orang itu nampak bingung dan ragu.
"Entahlah, Kakang. Sepertinya perasaanku
tidak enak. Sebab, tidak biasanya perguruan terlihat sunyi. Tidak ada sebuah
suara pun yang ter-
dengar. Padahal, sore hari begini biasanya murid-murid berlatih di halaman
depan," sahut Banja tak bersemangat.
"Ah! Kalian ini ada-ada saja. Siapa tahu di dalam sedang ada kesibukan, sehingga
semua murid berkumpul di dalam balai utama pergu-
Naga Pembunuh 6 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Setan Harpa 9
HILANGNYA PUSAKA KERAJAAN Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh Isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode Hilangnya Pusaka Kerajaan
128 hal. ; 12 x 18 cm.
http://duniaabukeisel.blogspot.com
1 Malam sudah semakin larut. Bulan sepo-
tong nampak menggantung di langit pekat. Ca-
hayanya redup, sehingga tak mampu menerobos
kekelaman malam.
Di bawah siraman cahaya rembulan yang
temaram itu, tampak sesosok bayangan hitam
tengah berlari cepat. Gerakannya tak ubahnya ba-
gai bayangan hantu yang berkeliaran mencari
mangsa. Menilik dari gerakannya yang ringan dan
gesit, jelas kalau kepandaiannya sangat tinggi.
Tak berapa lama kemudian, sosok bayan-
gan itu telah tiba di bawah sebuah tembok tinggi dan kokoh. Sambil merapatkan
tubuh ke tembok,
sepasang matanya tampak merayapi sekeliling
dengan pandangan penuh curiga. Dari tarikan na-
pasnya yang berat, jelas kalau sosok tubuh berpakaian serba hitam itu tengah
diliputi ketegangan Setelah merasa yakin kalau keadaan di sekitarnya aman, kedua
kakinya segera dijejakkan
ke tanah. Seketika itu juga, tubuhnya yang tinggi besar melambung melewati
tembok belakang Istana Kerajaan Cadas Putih.
Sepasang kaki sosok tubuh itu hinggap di
sebuah taman belakang tanpa menimbulkan suara
sedikit pun. Tubuhnya langsung merunduk di ba-
lik semak-semak ketika dua orang penjaga lewat
beberapa langkah di depannya.
Sepeninggal kedua orang penjaga itu, tu-
buhnya kembali melesat bagai anak panah menu-
ju gudang penyimpanan senjata pusaka Kerajaan
Cadas Putih. Sosok tubuh itu kini harus menghadapi
orang yang tengah berbincang-bincang di pos jaga, di depan tempat penyimpanan
senjata pusaka ke-
rajaan. Dengan gerakan ringan tanpa suara sedikit pun, orang itu melesat cepat
ke arah pos jaga. Kedua tangannya bergerak cepat ke arah para penja-
ga. Empat orang penjaga yang berada di pos
jaga itu kontan roboh tak berkutik, hanya sekali totokan saja. Cepat bagai
kilat, tubuhnya kemudian langsung menyelinap di balik pintu tempat
penyimpanan pusaka kerajaan.
Belum juga sosok bayangan hitam itu me-
neliti pusaka-pusaka yang berada di dalam gu-
dang, terdengar seruan-seruan terkejut dari luar gudang ini. Sepertinya, empat
penjaga yang dirobohkannya tadi telah diketemukan para penjaga
lainnya. "Pasti ada orang gila yang nekat menyeli-
nap ke tempat ini. Kalian berdua, cepat beri tahu yang lain. Aku dan yang
lainnya, akan memeriksa
setiap sudut tempat ini!" terdengar perintah yang keluar dari mulut seorang
perwira berusia sekitar empat puluh tahun.
Setelah berkata demikian, golok besar yang
tergantung di pinggangnya segera dicabut. Kemu-
dian, perwira itu melangkah memasuki gudang
penyimpanan senjata pusaka Kerajaan Cadas Pu-
tih, ditemani dua orang bawahannya.
Sementara itu, wajah di balik kain hitam
yang berada di dalam gudang terlihat menegang.
Keringat tampak telah membasahi bajunya.
"Hei"! Mengapa pintu gudang ini tidak di-
kunci?" tanya perwira itu seraya menolehkan kepalanya kepada dua orang pengawal
di belakang- nya. la sama sekali tidak menduga kalau ada
orang tak dikenal telah masuk ke gudang penyim-
panan pusaka. Apalagi kunci pintu gudang itu
sama sekali tidak rusak.
Sementara, dua orang penjaga yang men-
dapat pertanyaan itu hanya bisa saling berpan-
dangan mengangkat bahu.
Baru saja kaki perwira itu melangkah ma-
suk sejauh dua tindak, serangkum angin keras
menerpa tubuhnya. Cepat-cepat dikerahkannya
tenaga dalam untuk menahan dorongan yang
amat kuat itu. Bukkk! "Aaakh...!"
Tahu-tahu saja, sebuah tendangan keras
telah membuat perwira itu terpental ke luar! Terdengar jerit kesakitan dari
mulutnya. Darah segar seketika menyembur dari mulutnya. Jelas kalau
dia menderita luka dalam yang cukup parah.
'Tangkap orang itu...!" teriak si perwira,
marah. Dia mencoba bergerak bangkit, namun ra-
sa nyeri di dadanya menghambat gerakannya.
Perwira itu hanya bisa menekap dadanya yang
terhajar tendangan tadi. Mulutnya menyeringai
menahan sakit. Sementara dua orang penjaga yang semula
berada di belakangnya langsung tersadar begitu
mendengar teriakan Cepat mereka menodongkan
ujung tombak ke arah sosok tubuh tinggi besar
yang berdiri tegak dengan sinar mata mencorong
tajam. "Hmh...!"
Sosok bayangan hitam itu mendengus
mengejek ketika dua batang tombak meluncur
mengancam tubuhnya.
Trakkk! Trakkk!
Bukan main terkejutnya hati kedua orang
penjaga itu ketika tombak di tangan mereka lang-
sung patah begitu dihunjamkan ke tubuh bayan-
gan hitam itu. Belum lagi rasa terkejut mereka hilang,
orang berpakaian serba hitam itu sudah men-
gayunkan tangannya menampar dua kali berturut-
turut Prakkk! Prakkk!
Tanpa sempat menjerit lagi, kedua orang
pengawal itu kontan roboh dengan kepala pecah.
Sebentar mereka menggelepar, sesaat kemudian
diam tak berkutik lagi.
"Keparat kau, Maling Hina! Kau akan dihu-
kum gantung akibat perbuatanmu ini!" bentak perwira berusia empat puluh tahun
itu, geram. Walaupun dadanya terasa masih sakit, ia berusa-
ha menghadang dengan golok besar melintang di
depan dadanya. Sedangkan tangan kirinya masih
menekap dada yang terasa nyeri.
Sosok tinggi besar berpakaian serba hitam
itu sama sekali tidak menyahut Seketika itu juga, tubuhnya meluruk melakukan
tamparan dengan
telapak tangan kanan. Sungguh hebat serangan
itu, karena ditandai oleh suara mencicit tajam.
Sementara di tangan kirinya nampak tergenggam
sebatang tongkat yang terbuat dari batu pualam.
Pada bagian ujungnya bertahtakan permata. Ru-
panya barang yang dicarinya itu sudah dida-
patkan. Perwira yang bernama Maharya itu melom-
pat mundur menghindari tamparan maut lawan-
nya. Namun, betapa terkejutnya dia ketika samba-
ran angin tamparan orang itu membuat tubuhnya
limbung. Padahal, Maharya sudah melompat se-
jauh hampir dua batang tombak.
"Gila! Kepandaian pencuri ini hebat sekali!
Siapakah dia sebenarnya" Dan apa maksudnya
mencuri pusaka kebesaran Kerajaan Cadas Putih"
Mungkinkah ia orang sewaan?" gumam Maharya sibuk menduga-duga, siapa orang
berpakaian hitam itu. Maharya tidak sempat lagi berpikir terlalu jauh. Dan
memang saat itu lawannya kembali menerjang dengan serangan-serangan yang lebih
dahsyat. Kini Maharya harus sibuk menghalau se-
rangan yang datang bagaikan gelombang lautan
Dalam lima jurus saja, perwira itu sudah terdesak hebat. Bahkan tidak mampu lagi
melakukan serangan balasan. Diam-diam harinya mengeluh,
karena bantuan yang diharapkannya belum juga
muncul. Bukkk! Desss! "Aaargh...!"
Raung kematian terdengar dari mulut Ma-
harya ketika dua buah hantaman telapak tangan
dan tendangan pencuri itu telak menghantam da-
da dan lambungnya.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh perwira
gemuk Itu langsung jatuh berdebuk keras. Darah
segar langsung mengalir dari mulut dan hidung-
nya. Maharya tewas seketika di tangan pencuri
yang rupanya berkemampuan tinggi.
Bersamaan dengan jatuhnya tubuh Ma-
harya, terdengar derap langkah banyak orang
mendatangi tempat itu.
"Hei! Jangan lari...!"
"Tangkap orang itu...!"
"Jangan biarkan lolos...!"
Terdengar teriakan-teriakan marah dari
beberapa orang pengawal yang mengejar bayangan
hitam itu. Namun sayang, kepandaian pencuri itu
masih lebih tinggi daripada pengejarnya. Sehingga
dalam beberapa kali lompatan saja, para pengawal itu sudah jauh tertinggal di
belakang. "Hm.... Mau lari ke mana kau, Maling Bu-
suk!" bentak seorang senapati muda yang telah berdiri tegak menghadang di depan
sosok bayangan hitam itu.
Tiga orang perwira dan delapan pengawal
yang berada di belakang senapati muda bernama
Palareja, langsung bergerak mengepung si pencuri.
Sepasang mata yang tersembunyi di balik kain hi-
tam penutup wajah tampak bergerak liar. Seper-
tinya, ia tengah mencari jalan untuk lolos dari ke-pungan. Dari gerakan dadanya
yang bergelom- bang, jelas kalau pencuri itu merasa tegang dan
cemas. Dia benar-benar sadar kalau harus cepat
meloloskan diri sebelum tokoh-tokoh kerajaan
yang lainnya berdatangan. Apa bila hal itu terjadi, maka jangan harap kalau bisa
selamat. Apalagi
tempat itu banyak dipenuhi tokoh sakti yang men-
gabdikan dirinya pada Kerajaan Cadas Putih.
"Kisanak! Lebih baik menyerah saja secara
baik-baik. Dengan begitu, mungkin hukuman
yang dijatuhkan untukmu menjadi lebih ringan,"
ujar senapati muda bernama Palareja itu dengan
sikap tenang dan penuh percaya diri. Sikap seo-
rang panglima muda tulen.
"Persetan dengan ocehanmu itu...!" geram sosok tinggi besar berpakaian serba
hitam itu, parau. Setelah berkata demikian, tubuhnya mele-
sat kesebelah kiri, tempat dua orang pengawal
yang mengepungnya berdiri.
Melihat tubuh pencuri itu meluruk ke arah
mereka, langsung saja kedua orang pengawal itu
menusukkan ujung tombaknya untuk menyambut
serangan. Dan ternyata luncuran dua batang tombak
tidak membuat pencuri itu menghentikan seran-
gan. Tangan kanannya langsung bergerak cepat
menimbulkan deru angin dahsyat.
Seketika terdengarlah teriakan ngeri yang
disusul terlemparnya tubuh kedua orang pengawal
itu dalam keadaan tak bernyawa.
"Keparat...!"
Palareja memaki gusar melihat kejadian
yang tak disangka itu. Senapati muda yang sudah
siap melancarkan serangan itu, menahan lang-
kahnya ketika melihat dua orang perwira yang tadi mengejar datang menghampiri.
"Tuanku.... Pencuri itu juga sudah mem-
bunuh Kakang Maharya," lapor perwira tinggi kurus dengan napas memburu.
"Keparat! Kalau begitu, ia harus menerima
hukuman yang seberat-beratnya! Cepat, kepung
dia! Jangan beri kesempatan untuk lolos!" perintah Palareja dengan suara
menggelegar penuh
kemarahan. Seusai mengeluarkan perintah, tubuh se-
napati muda itu langsung melesat ke arah si pen-
curi yang tengah mengamuk, dikeroyok dua belas
orang prajurit dan lima orang perwira.
Wuttt! Sambaran angin pukulan Palareja mem-
buat pencuri itu melempar tubuhnya ke belakang.
Sebab, dari sambaran angin pukulan yang mende-
ru itu, disadari betul kalau penyerangnya kali ini bukanlah orang sembarangan
dan tidak bisa dipandang rendah.
Begitu lolos dari pukulan Palareja, tubuh
pencuri itu kembali melenting ke kanan. Seketika dirobohkannya empat orang
prajurit sekaligus.
Tentu saja hal itu membuat Palareja terkejut.
"Gila! Orang ini benar-benar bukan tokoh
sembarangan! Entah apa maksudnya mencuri pu-
Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
saka lambang Kerajaan Cadas Putih?" gumam Palareja tak habis mengerti.
Sadar betapa berartinya benda yang dicuri
sosok tinggi besar itu, Palareja pun melesat dan mengerahkan seluruh kemampuan
untuk menangkap si pencuri, hidup atau mati!
"Jangan mimpi untuk dapat lolos dari tem-
pat ini, Maling Hina!" bentak Palareja. Kembali di-lancarkannya serangan-
serangan maut dengan ti-
dak kepalang tanggung.
"Hmh...!"
Lelaki bertubuh tinggi besar berpakaian
serba hitam itu mendengus penuh ejekan. Tubuh-
nya bergerak berputar sambil melakukan serang-
kaian tendangan ke arah para prajurit yang melu-
ruk ke arahnya. Hal itu dilakukan untuk sekaligus menghindari terjangan
Palareja. Sebuah gerakan
yang hebat, dan menunjukkan kecerdikan sosok
tubuh itu. Palareja gusar bukan main. Bukan saja se-
rangannya dapat dielakkan orang itu. Bahkan so-
sok tubuh itu mampu sekaligus menewaskan tiga
orang prajuritnya. Dapat dibayangkan, betapa
murkanya hati senapati muda itu. Maka cepat-
cepat tubuhnya melompat mengejar pencuri yang
berlari menuju halaman belakang gudang penyim-
panan pusaka kerajaan
Kembali hati senapati muda itu dilanda ra-
sa penasaran. Meskipun, seluruh kemampuan il-
mu meringankan tubuhnya telah dikerahkan, ter-
nyata ia masih belum bisa mengimbangi ilmu lari
yang dimiliki pencuri Itu.
"Bangsat, berhenti...!" teriak Palareja se-
makin gusar. Rasa penasaran dan kemarahan di hati se-
napati muda itu hampir-hampir memecahkan da-
danya. Betapa tidak" la yang dalam Kerajaan Ca-
das Putih berpangkat senapati muda, ternyata ti-
dak mampu menangkap seorang pencuri. Sungguh
hal yang sangat memalukan! Padahal sebagai seo-
rang senapati muda, tentu saja kepandaian yang
dimiliki Palareja sudah sangat tinggi. Dan hanya ada beberapa orang saja di
kerajaan itu yang
mampu menandingi kepandaiannya. Tapi, seka-
rang ia terpaksa harus menelan kekecewaan, ka-
rena telah dipecundangi seorang pencuri yang sa-
ma sekali tidak dikenalnya. Hal itu benar-benar
menyakitkan bagi Palareja.
Saat itu, si pencuri sudah memasuki ta-
man belakang bangunan besar Kerajaan Cadas
Putih. Namun Palareja berusaha untuk terus
mengejar. Senapati muda itu baru menyerah ka-
lah, ketika tubuh pencuri itu melambung melewati tembok setinggi tiga batang
tombak lebih. Hal
yang tidak mungkin dapat dilakukan Palareja.
Palareja hanya berdiri terlongong sambil
memandangi arah kepergian pencuri itu. Sambil
mendengus kesal, tubuhnya disandarkan di ba-
wah tembok. Wajah-nya menampakkan kekece-
waan dan rasa penasaran.
"Apa kata Gusti Prabu apabila mendengar
kegagalanku ini...," desah senapati muda itu lesu.
Dengan langkah lunglai, Palareja mening-
galkan taman untuk melaporkan peristiwa yang
baru saja terjadi
Malam semakin bertambah larut. Suara
binatang-binatang malam yang menyemarak, se-
makin membuat gundah hati Palareja.
"Malam sial!" desah hatinya kecewa.
*** 2 "Apa! Tongkat Pualam Putih lenyap dicuri
orang" " tanya Prabu Aria Winata, menggelegar.
Raja Agung Cadas Putih itu tersentak
bangkit dari singgasananya dengan wajah merah
padam. Sedangkan seluruh pembesar kerajaan
yang hadir di ruangan itu menundukkan kepala
dengan wajah pucat Tak seorang pun yang berani
mengangkat wajahnya melihat kemurkaan Prabu
Aria Winata. Demikian pula halnya dengan Palareja
yang melaporkan kejadian itu. Wajah senapati
muda itu tampak pucat pias. Titik-titik keringat mengalir turun, membasahi
lehernya. "Ampun, Gusti Prabu. Hamba menerima
salah, dan rela menerima hukuman atas kebodo-
han hamba Ini," ucap Palareja dengan suara bergetar. Kepalanya tetap tertunduk
tanpa berani memandang rajanya.
"Hm.... Coba ceritakan kejadian semalam
itu seluruhnya, Palareja," titah Prabu Aria Winata sambil menghenyakkan
bokongnya di atas kursi
kebesaran yang berlapiskan emas murni.
"Ampun, Gusti Prabu...," sembah Palareja sebelum memulai ceritanya.
Setelah menarik napas sejenak untuk me-
nenangkan diri, Palareja pun menceritakan keja-
dian yang diketahuinya.
"Sama sekali tidak diduga kalau kepan-
daian pencuri itu demikian tinggi, hingga berhasil lolos dari tangan hamba. Dan
hamba siap menerima hukuman atas kebodohan ini," Palareja me-
nutup ceritanya dengan kepala tetap tertunduk.
"Lalu, ke mana perginya Ki Sempana" Bu-
kankah ia yang bertugas menjaga pusaka itu"
Mengapa ia tidak kelihatan sekarang?" tanya Prabu Aria Winata lagi, sambil
mengedarkan pandan-
gan ke sekitar ruangan ini.
"Ampunkan hamba, Gusti. Sudah sejak
semalam hamba tidak melihat Ki Sempana. Dan
hamba tidak tahu, di mana dia sekarang. Orang
tua itu seperti lenyap ditelan bumi," sahut Palareja lagi. "Hm.... Apakah kau
sudah mencarinya?"
kening Prabu Aria Winata berkerut dalam men-
dengar jawaban senapati mudanya itu.
"Sudah, Gusti Prabu. Tapi, hamba tidak
berhasil menemukannya," jawab Palareja. Benak senapati muda itu dipenuhi tanda
tanya. Ia pun mulai menduga-duga tentang lenyapnya Ki Sem-
pana yang bertepatan dengan pencurian itu.
Raja Agung Cadas Putih termenung men-
dengar keterangan Palareja. Perlahan-lahan ia
bangkit dari singgasananya, kemudian berjalan hilir-mudik tanpa sepatah kata pun
terlompat dari mulutnya. Tentu saja sikap Prabu Aria Winata itu
membuat para pembesar istana menjadi tegang.
Tak seorang pun yang berani mengeluarkan suara.
Semuanya bungkam dengan wajah menunduk
menekuri lantai.
Setelah agak lama ruangan itu dicekam ke-
sunyian, terdengar helaan napas berat berkepan-
jangan yang keluar dari mulut Prabu Aria Winata.
Dia kini kembali duduk di singgasananya.
"Bagaimana menurutmu, Paman Patih"
Apakah lenyapnya Ki Sempana berkaitan dengan
pencurian pusaka itu" Dan tindakan apa yang ha-
rus kita lakukan untuk mengatasi masalah ini?"
tanya Prabu Aria Winata seraya menolehkan kepa-
la kepada seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang duduk di sebelah
kanannya. Patih Kerajaan Cadas Putih itu tidak segera
menjawab pertanyaan rajanya. Orang tua yang ter-
lihat bijaksana itu melepaskan pandangannya
yang menerawang jauh. Tangan kanannya menge-
lus-elus jenggot panjang dan berwarna putih itu.
"Ampun, Gusti Prabu...," ucap orang tua itu kemudian. "Kejadian ini memang
sangat aneh dan menimbulkan berbagai dugaan di hati kita
semua. Tapi sebelum Ki Sempana dapat ditemu-
kan, rasanya sulit sekali bagi hamba untuk men-
gambil kesimpulan. Jadi, menurut hemat hamba,
sebaiknya dikesampingkan saja dulu lenyapnya Ki
Sempana itu."
"Maksud Paman Patih, bagaimana...?" selak Prabu Aria Winata tak sabar ketika
melihat orang tua itu menghentikan ucapannya.
"Ampun, Gusti Prabu.... Menurut hamba,
lebih baik bereskan dulu masalah hilangnya Pusa-
ka Tongkat Pualam Putih yang menjadi lambang
kebesaran Kerajaan Cadas Putih. Sebab, apabila
hilangnya pusaka itu sampai terdengar kerajaan
lain, bukan mustahil mereka akan mempere-
butkan pusaka itu. Kalau sampai pusaka
itu jatuh ke tangan raja negeri lain, maka lenyaplah nama Kerajaan Cadas Putih
yang kita cintai
ini. Sudah menjadi peraturan tertulis, siapa pun yang memegang Tongkat Pualam
Putih, maka ia mempunyai peluang menjadi penguasa negeri ini,"
jawab patih itu lagi dengan wajah sedih.
Prabu Aria Winata memang masih sangat
muda dan belum lama menduduki tahta ayahnya
yang mangkat setengah tahun lewat. Itulah se-
babnya, mengapa ia belum begitu banyak menge-
tahui masalah-masalah yang berkaitan dengan ke-
rajaan. "Tapi, Paman Patih. Bukankah kita masih memiliki balatentara tangguh
untuk mempertahankan negeri ini" Dan rasanya, tidak mudah bagi kerajaan-kerajaan
lain untuk menaklukkan Kerajaan Cadas Putih!" sergah Prabu Aria Winata dengan
suara mantap. "Ampun, Gusti Prabu. Menurut sepengeta-
huan hamba, dengan lenyapnya tongkat pusaka
itu berarti kehancuran bagi negeri kita. Menurut cerita ayah hamba almarhum,
pada beberapa puluh tahun yang lalu hal ini pun sudah pernah terjadi. Dan
seperti yang hamba katakan tadi, negeri yang dahulunya bernama Kerajaan Muara
Bumi mengalami kehancuran. Tapi, hal itu masih dapat
dihindari bila secepatnya mencari pusaka itu.
Hamba rasa, pusaka itu akan dapat ditemukan
dengan mengerahkan ketiga pasukan inti Kerajaan
Cadas Putih," usul patih itu, menutup ceritanya.
"Maksud, Paman Patih..., Pasukan Garuda
Hitam, Garuda Perak, dan Garuda Emas?" tanya Prabu Aria Winata menegasi.
"Benar, Gusti Prabu. Hamba rasa, hanya
ketiga pasukan itulah yang akan dapat menunai-
kan tugas berat ini dengan baik."
"Baiklah, Paman Patih. Akan segera kupe-
rintahkan ketiga pasukan itu untuk menyebar ke
seluruh pelosok negeri."
Setelah berkata demikian, Prabu Aria Wi-
nata membubarkan pertemuan pagi hari itu.
*** Siang ini matahari memancarkan sinarnya
yang begitu terik. Sinarnya yang kuning keemasan terasa lianas menyengat
permukaan kulit. Hembusan angin pun, terasa hangat menerpa wajah.
Saat itu, pintu gerbang Kerajaan Cadas Pu-
tih terbuka lebar. Puluhan kelompok penunggang
kuda tampak bergerak berpencaran ke segala pen-
juru. Mereka tak lain adalah, Pasukan Tiga Garu-
da yang menjadi tulang punggung kekuatan Kera-
jaan Cadas Putih. Dan kini mereka diberi tugas
untuk mencari pusaka Tongkat Pualam Putih yang
merupakan tongkat kebesaran sekaligus keramat
bagi kerajaan itu.
Ketiga pasukan inti yang beranggotakan
hampir mencapai dua ratus orang segera menye-
bar. Agar pencarian benda pusaka yang hilang Itu tidak menyolok, para anggota
pasukan menyamar
sebagai kaum rimba persilatan. Hal itu dilakukan agar mereka bisa leluasa
bergerak. Apalagi, pusaka itu memang diperebutkan oleh kerajaan lain.
Bukan tidak mungkin, bila hilangnya pusaka itu
terdengar oleh kerajaan lain akan lebih memperke-ruh suasana.
Pasukan Garuda Hitam yang memiliki ang-
gota enam puluh orang dan rata-rata berusia sekitar tiga puluh tahun, memecah
menjadi tiga ke-
lompok. Tiap kelompok dipimpin seorang perwira
berusia empat puluh tahun. Mereka bergerak me-
nuju ke tiga penjuru.
Kelompok pertama yang dipimpin seorang
perwira bernama Jaya Prana bergerak menuju ke
arah Barat. Derap kaki kuda dua puluh orang itu
terdengar bergemuruh, dan meninggalkan kepulan
debu yang membumbung tinggi ke angkasa.
Jaya Prana memimpin kedua puluh orang
anggotanya menuju Desa Gedangan yang letaknya
cukup jauh dari kotaraja. Sikap perwira berusia
empat puluh tahun itu terlihat gagah dan penuh
percaya diri. Sebaris kumis tebal yang melintang, membuat wajahnya semakin
angker dan berwiba-wa. Menilik dari gerak-geriknya, jelas kalau Jaya Prana
memiliki kepandaian tinggi. Hal itu memang pa tut diakui, karena ia termasuk
salah seorang pemimpin Pasukan Garuda Hitam yang sangat
terkenal kegagahannya.
Dan kini puluhan penunggang kuda itu
pun mulai menginjak perbatasan Desa Gedangan.
Itu bisa diketahui dari adanya sebuah tiang batu setinggi orang dewasa yang
terpancang di tepi kanan jalan.
Sebelum memasuki perbatasan, perwira
gagah itu mengangkat tangan kanannya tinggi-
tinggi sebagai isyarat kepada yang lainnya untuk berhenti.
"Ingat! Tidak ada seorang pan yang bisa
bertindak seenaknya tanpa seizinku. Usahakan
untuk menghindari keributan. Mengerti"!" tegas Jaya Prana seraya mengedarkan
pandangan ke sekeliling dengan sinar mata tajam.
"Mengerti, Kakang," sahut kedua puluh
Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang anggota itu sambil menganggukkan kepala.
Satu keistimewaan ataupun ciri dari ketiga pasukan inti Kerajaan Cadas Putih,
adalah bebasnya
panggilan antar mereka. Dalam Pasukan Garuda
Hitam, Garuda Perak, maupun Garuda Emas tidak
ada perbedaan jabatan. Karena, para anggota keti-ga pasukan inti itu rata-rata
setingkat dengan
pangkat seorang perwira menengah kerajaan. Se-
hingga, mereka memanggil pimpinan cukup den-
gan kakang saja. Sedangkan di antara para anggo-
ta sendiri, biasanya memanggil nama saja.
Setelah dirasakan cukup memberi nasihat-
nasihat lainnya, rombongan itu pun kembali ber-
gerak memasuki mulut Desa Gedangan. Lari kuda
mereka diperlambat agar tidak terlalu menarik
perhatian penduduk.
Jaya Prana menghentikan kudanya di de-
pan sebuah kedai makan yang cukup besar dan
terlihat sepi pengunjung. Hanya ada empat orang
yang terlihat tengah menikmati hidangan.
Setelah menambatkan kuda pada sebuah
tiang kayu yang terdapat di depan kedai, Jaya
Prana melangkah masuk mendahului yang lain-
nya. Lalu, dipesannya maka nan dan minuman
kepada pelayan setengah tua yang tergopoh-gopoh
datang menyambutnya.
Sedangkan kedua puluh orang lainnya su-
dah mengambil tempat masing-masing. Perjalanan
yang cukup jauh dan melelahkan itu membuat pe-
rut mereka terasa lapar. Dan ketika makanan su-
dah dihidangkan pelayan, mereka santap dengan
lahapnya. Tengah para anggotanya sibuk dengan hi-
dangan masing-masing, Jaya Prana melangkahkan
kakinya mendekati pemilik kedai. Tampak lelaki
gagah itu berbisik-bisik sambil menggerak-
gerakkan kedua tangannya. Sepertinya, ia tengah
menanyakan sesuatu. Namun si pemilik kedai ter-
lihat menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah
ketololan. Karena tidak mendapat keterangan seba-
gaimana yang diinginkan, Jaya Prana bergegas
kembali ke mejanya. Setelah semua anggota pasu-
kannya menyelesaikan hidangan, lelaki gagah itu
pun segera mengajak mereka untuk melanjutkan
perjalanan. Rombongan berkuda itu pun kembali ber-
gerak melintasi jalan utama Desa Gedangan. Begi-
tu tiba di luar desa, kuda-kuda tunggangan itu se-
gera dipacu tepat Kepulan debu membumbung
tinggi mengiringi kepergian mereka.
*** 3 Pagi baru saja menyapa bumi. Kicau bu-
rung saling bersahutan menyemarakkan suasana
yang cerah itu. Hembusan angin yang bersilir lembut, terasa segar menerpa tubuh.
Di bawah siraman hangatnya sinar mata-
hari pagi, tampak serombongan penunggang kuda
bergerak lambat menyusuri jalan berbatu. Seorang lelaki gagah bertubuh gemuk dan
bercambang bauk duduk dengan punggung lurus di atas ku-
danya yang berada paling depan. Sikapnya terlihat angkuh, menunjukkan sikap
seorang pemimpin.
Jelas kalau lelaki itu merupakan pemimpin rom-
bongan berkuda itu.
Rombongan itu terus bergerak maju perla-
han menuju sebuah bangunan yang sekelilingnya
dibentengi dinding kayu bulat dan kokoh. Di atas sebuah pintu gerbang, terdapat
papan kayu yang
cukup lebar. "Perguruan Tinju Selatan...," bibir tebal lelaki gemuk bercambang bauk itu
bergerak-gerak membaca papan nama yang tergantung di atas
pintu gerbang. "Hoiii..., Kisanak! Siapa kalian..." Apa
maksudmu mendatangi perguruan kami"!" teriak seorang lelaki berkumis tipis dari
atas tempat ja-ganya. Sementara itu penjaga yang lainnya hanya
memandang dengan kening berkerut Sepertinya, ia
merasa heran melihat kedatangan rombongan pe-
nunggang kuda itu.
"Aku adalah salah seorang sahabat Tinju
Sakti dari Selatan! Bukalah pintu gerbang ini, dan antarkan kami menemui
beliau!" teriak lelaki gemuk bercambang bauk lebat itu menyahuti.
"Sebutkan nama dan julukanmu...!" pinta penjaga itu lagi, sebelum meluluskan
permintaan kepala rombongan berkuda itu.
"Aku Juraga! Gurumu lebih mengenal julu-
kanku sebagai Harimau Bukit Munjul. Sudahlah!
Cepat laporkan dan jangan banyak tanya lagi!" jawab Harimau Bukit Munjul mulai
kesal atas per-
tanyaan penjaga itu yang dianggapnya bertele-tele.
Tak berapa lama kemudian, terdengar sua-
ra berderak keras ketika pintu gerbang Perguruan Tinju Selatan dibuka dari
dalam. Sedangkan salah seorang murid perguruan itu sudah berlari untuk
melaporkan kedatangan rombongan itu kepada
gurunya. Juraga atau lebih dikenal berjuluk Hari-
mau Bukit Munjul, membawa rombongannya me-
masuki halaman perguruan itu. Mereka terus ber-
gerak menuju balai utama perguruan dengan di-
antar oleh salah seorang penjaga pintu gerbang
perguruan. Begitu seluruh rombongan penunggang
kuda itu memasuki halaman depan perguruan,
mendadak saja lelaki yang berjuluk Harimau Bukit Munjul itu melompat turun dari
punggung kudanya. Tanpa berkata apa-apa lagi, tangan kanan-
nya bergerak menampar ke arah kepala murid
Perguruan Tinju Selatan yang mengantarkannya.
Rupanya orang yang diserang Juraga itu
cukup tangkas. Begitu merasakan ada sambaran
angin kuat dari belakang, lelaki berkumis tipis itu menoleh. Melihat datangnya
tamparan yang men-
gandung tenaga dalam kuat itu, cepat-cepat ka-
kinya melangkah dua tindak ke samping dengan
mendoyongkan tubuhnya membentuk kuda-kuda
rendah. "Hei! Apa-apaan ini..." Mengapa..."
Ugkh...!" Belum lagi laki-laki berkumis tipis itu me-
nyelesaikan pertanyaannya, sebuah hantaman
mendarat telak pada batang lehernya. Akibatnya
orang itu terpelanting dan menjerit keras.
Dari suara berderak keras yang ditimbul-
kan pukulan sisi telapak tangan miring Juraga, jelas kalau tulang leher orang
itu langsung patah
seketika itu juga. Melihat dari darah segar yang mengalir lewat mulutnya dan
sepasang matanya
yang mendelik lebar, sudah dapat dipastikan ka-
lau orang itu telah tewas akibat pukulan Harimau Bukit Munjul.
"Hei"! Apa maksudmu..." Mengapa kau
membunuh kawan kami..?" teriak salah seorang murid sambil berlari ke arah tempat
itu bersama belasan orang murid lainnya.
Dan dalam sekejap saja, seluruh anggota
rombongan berkuda itu telah terkepung puluhan
murid Perguruan Tinju Selatan yang memandang
marah. "Ha ha ha...! Dengarlah, Tikus-tikus Bu-suk! Hari ini, Pasukan Garuda
Emas akan menya-
pu bersih Perguruan Tinju Selatan!" ancam Juraga sambil tertawa terbahak-bahak.
"Apa kesalahan kami, Kisanak" Mengapa
kau sedemikian tega menjatuhkan tangan kejam
kepada salah seorang murid kami" Bukankah ka-
lau ada persoalan bisa dibicarakan baik-baik?" tegur seorang lelaki bertubuh
tegap dan memiliki
wajah gagah. "Sudahlah, Kakang. Mengapa mesti ber-
tanya lagi" Jelas orang-orang ini hendak mencari perkara. Lebih baik beri mereka
pelajaran agar lain kali tidak memandang rendah Perguruan Tin-
ju Selatan. Kalau tidak begitu, aku yakin mereka akan semakin kurang ajar
terhadap kita," selak seorang murid tak senang.
Kemarahan hati murid itu masih dapat di-
tahan, karena adanya lelaki tegap yang merupa-
kan salah seorang tokoh perguruan itu.
"Betul, Kakang. Tunggu apa lagi...?"
"Kekejaman si brewok itu sudah melewati
batas!" Ucapan murid-murid berhasil juga memancing amarah lelaki gagah itu.
Wajahnya yang semula tenang, terlihat agak menggelap. Sepasang matanya yang semula menyiratkan
kewibawaan, berubah berkilat menyimpan api kemarahan.
"Cepat katakan! Apa alasanmu membunuh
murid kami?" geram lelaki gagah itu sambil mengepal jari-jari tangannya hingga
memperdengarkan bunyi gemeretak nyaring.
"Kalian orang rimba persilatan telah mem-
buat kami susah! Salah seorang tokoh rimba per-
silatan telah mencuri sebuah pusaka berharga da-
ri gudang istana. Dan akibat perbuatan tokoh itu, kami tidak boleh kembali ke
istana sebelum menemukan benda pusaka keramat itu. Kalian tahu,
apa hukumannya kalau tugas kami gagal" Huku-
man pancung yang akan diterima apabila berani
kembali dengan tangan hampa. Akibat kejadian
ini, aku jadi benci terhadap orang-orang rimba
persilatan! Kalian tentu tahu, betapa beratnya tugas yang harus kami pikul ini"
Nah, sebelum me-
nerima hukuman pancung itu, akan ku basmi se-
luruh kaum rimba persilatan yang kutemui. Je-
las"!" bentak Juraga dengan wajah bengis.
"Kisanak! Sadarkah kalau perbuatanmu ini
adalah tindakan bodoh" Kalau perbuatanmu ini
diteruskan, maka kemarahan seluruh kaum rimba
persilatan yang ada di muka bumi ini akan ter-
bangkit! Dan akibatnya, akan kau rasakan sendiri kelak!" sahut lelaki bertubuh
tegap itu semakin geram mendengar keterangan Juraga.
Sadar kalau ucapan Harimau Bukit Munjul
itu bukan sekadar gertakan kosong belaka, senja-
tanya segera diloloskan, siap menghadapi ke-
mungkinan yang akar terjadi.
Saat itu, para penunggang kuda yang men-
gaku dari anggota Pasukan Garuda Emas sudah
berlompatan turun. Masing-masing juga sudah
melolos senjata, siap menghadapi pertarungan.
Namun sebelum peristiwa berdarah itu ter-
jadi, terdengar bentakan nyaring yang menggun-
tur. Kemudian, disusul berkelebatnya sesosok tu-
buh tinggi kurus yang mendaratkan kakinya di
tengah arena itu
"Tahan...!"
Hebat sekali akibat bentakan yang dido-
rong tenaga dalam tinggi itu. Kedua belah pihak yang semula siap membunuh,
bergerak mundur
sambil menahan napas melindungi guncangan pa-
da bagian dalam dada mereka. Beberapa orang
murid yang belum kuat tenaganya, terhuyung ke
belakang dengan wajah pucat pasi.
"Guru...!"
Puluhan orang murid Perguruan Tinju Se-
latan langsung menjatuhkan dirinya berlutut
Dan memang, orang tinggi kurus yang baru
tiba Itu tak lain adalah Tinju Sakti dari Selatan yang menjadi Ketua Perguruan
Tinju Selatan. Lelaki tua berusia sekitar enam puluh ta-
hun itu mengerutkan keningnya ketika melihat sa-
lah seorang muridnya sudah tergeletak tanpa
nyawa. Tenang sekali kakek itu membungkuk,
memeriksa luka yang menyebabkan kematian mu-
ridnya itu. "Pukulan keji...! Siapa yang melakukan
perbuatan Ini?" tanya orang tua itu. Dia kemudian bergerak bangkit sambil
melepaskan pandangan
ke arah Juraga dan rombongannya.
Sepasang mata tua yang berkilat mengge-
tarkan itu berhenti di wajah bercambang bauk le-
bat milik Juraga.
"Kaukah yang telah membunuh muridku,
Kisanak" Siapakah kau sebenarnya?" tanya Tinju Sakti dari Selatan.
Kening laki-laki tua itu tampak berkerut
Dari nada pertanyaannya, jelas kalau dia sama
sekali tidak mengenal Harimau Bukit Munjul.
"Tunggu apa lagi" Ayo, kita musnahkan
perguruan ini!" Tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan Ketua Perguruan Tinju
Selatan, Juraga
memerintahkan anggotanya untuk maju menye-
rang. la sendiri juga sudah melompat menyerang
orang tua itu dengan ditemani salah seorang ang-
gotanya. "Hei, tunggu...!" cegah Tinju Sakti dari Selatan sambil melompat mengelakkan
serangan ke- dua orang lawannya. Tangan orang tua itu berge-
rak mengibaskan dua buah senjata yang menyam-
bar ke arah tubuhnya.
Takkk! Takkk! Juraga dan kawannya terdorong mundur
akibat tangkisan ujung baju lawannya. Bagaikan
seekor ular hidup, ujung lengan baju Tinju Sakti dari Selatan terus bergerak
meliuk dan mematuk
pergelangan kedua orang lawan yang memegang
senjata. Bettt! Bettt!
Namun, kedua lawan Ketua Perguruan Tin-
ju Selatan itu pun ternyata bukan orang semba-
rangan. Serangan yang dilakukan orang tua itu
Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mudah dapat dielakkan. Bahkan langsung
melancarkan serangan balasan yang tidak kalah
ganas dan berbahayanya.
Tak pelak lagi, pertarungan pun berlang-
sung sengit. Tubuh ketiga orang itu bergerak cepat melancarkan serangan ganas
dan mengandung tenaga dalam kuat Sebentar saja, kedua belah pihak sudah
mengeluarkan ilmu andalan masing-masing. Anggota rombongan Juraga mengamuk he-
bat menghadapi keroyokan puluhan orang murid
Perguruan Tinju Selatan. Sembilan belas orang lelaki muda yang mengaku dari
Pasukan Garuda Emas itu memang rata-rata memiliki kepandaian
sangat tinggi. Sehingga dalam beberapa jurus saja, delapan orang murid
Perguruan Tinju Selatan telah menggeletak
roboh mandi darah.
Tentu saja kejadian itu membuat empat
orang murid utama Tinju Sakti dari Selatan men-
jadi penasaran. Terutama orang yang tertua. Dia
adalah laki-laki tegap berwajah gagah. Namanya
Samala. Dengan kemarahan yang menggelegak,
Samala mengayun senjatanya yang berputar me-
nimbulkan deru angin keras.
Trang! Trang! Dua kali ayunan senjata Samala berhasil
dipukul mundur salah seorang lawan. Lelaki tegap itu terkejut bukan main ketika
telapak tangannya terasa kesemutan akibat tangkisan lawan. Hal itu
menyadarkannya untuk bertindak lebih hati-hati
dalam melancarkan serangan-serangan berikut
"Haiiit..!"
Dibarengi teriakan nyaring melengking,
Samala kembali menerjang lawan yang berkumis
seperti tikus itu. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga membentuk
gulungan sinar yang membungkus tubuhnya.
Wrrr! Wrrr! "Hmh...!"
Terdengar. dengusan mengejek dari orang
berkumis seperti tikus itu Jelas sekali kalau dia sangat memandang rendah
Samala. Begitu tusukan ujung pedang Samala meluncur mengancam
lambungnya, orang itu menggeser kaki kanan ke
depan seperti hendak menyambut serangan itu.
Samala terbelalak heran, dan juga girang
melihat gerakan lawannya. Biasanya, orang akan
bergerak mundur dan menjauhi senjatanya untuk
mengelak. Tapi, orang itu justru melakukan hal
kebalikannya. Tentu saja hal itu terasa aneh dan asing bagi lelaki bertubuh
tegap itu. Wuttt! Pada saat ujung pedang Samala hampir
menghunjam di lambung lawan, mendadak saja
tubuh lelaki berkumis seperti tikus itu berputar bagai gangsing. Gerakannya
dibarengi pula oleh
sambaran pedang yang bergerak dari bawah ke
atas. Wuttt! Brettt!
"Aaakh...!"
Gerakan lawan yang cepat dan tak terduga
itu, membuat Samala tak sempat lagi menghindar.
Tubuh lelaki tegap itu melintir tersambar pedang lawan. Luka memanjang dari
lambung ke dada seketika tercipta, dan tampak cukup dalam. Darah
segar pun mengalir membasahi celana dan pa-
kaiannya. Belum lagi Samala dapat memperbaiki si-
kapnya, pedang di tangan lawan kembali melun-
cur lurus menuju jantung.
Cappp! "Aaargh...!"
Terdengar jerit kematian yang melengking
merobek angkasa, disusul robohnya tubuh Samala
yang bermandikan darah segar. Tokoh utama Per-
guruan Tinju Selatan itu tewas seketika.
"Keparat, kubunuh kau...!"
Salah seorang murid utama lainnya yang
melihat kejadian itu nampak begitu murka. Saat
itu juga tubuhnya meluruk disertai putaran pe-
dang yang mengaung dahsyat.
"Hmh...."
Melihat datangnya serangan lawan, lelaki
berkumis seperti tikus itu hanya bergumam lirih.
Seperti halnya ketika menghadapi serangan Sama-
la, tubuh orang itu kembali meluncur maju seperti hendak menyambut serangan
lawan dengan tubuhnya.
Gerakan yang dilakukan si kumis tikus itu,
tentu saja membuat lawannya menjadi girang.
Maka kekuatannya segera ditambah. Maksudnya
agar dapat membunuh lelaki berkumis seperti ti-
kus itu dengan sekali tusuk.
Bibir laki-laki berkumis seperti tikus itu
tersenyum mengejek. Dia merasa telah berhasil
menipu lawannya yang jelas-jelas telah kehilangan pertahanan diri itu. Maka
ketika ujung pedang lawan hampir menyentuh kulit tubuhnya, tahu-tahu
saja laki-laki berkumis seperti tikus itu menjatuhkan tubuh ke tanah. Gerakan
yang tak terduga itu masih dibarengi tusukan ujung pedang ke tenggo-rokan lawan.
Cappp! "Eeegkh...!"
Ujung pedang yang menancap sedalam se-
jengkal Itu cepat ditarik kembali. Berbarengan
dengan gerakan menarik itu, tubuh laki-laki berkumis seperti tikus itu melenting
ke udara disertai babatan pedang dari atas ke bawah.
Crakkk! Kembali terdengar raung kematian yang
menyayat, disusul suara berdebuk tubuh terbant-
ing di atas tanah. Adik seperguruan Samala pun
tewas berlumuran darah di tangan laki-laki ber-
kumis seperti tikus yang memiliki kepandaian
tinggi dan aneh itu.
Saat itu, pertarungan yang berlangsung an-
tara Tinju Sakti dari Selatan melawan Juraga dan seorang anggotanya masih
berlangsung sengit Tokoh sakti berusia enam puluh tahun itu menga-
muk hebat Sepasang tangannya bergerak cepat
menghamburkan serangan ganas dan mematikan.
"Adi Lambit, awas...!" tiba-tiba saja Juraga berseru keras memperingatkan
kawannya. Tapi sayang, peringatan Juraga terlambat!
Pukulan maut yang dilancarkan Ketua Perguruan
Tinju Selatan itu telah mendarat di tubuh Lambit.
Bukkk! Desss! Lelaki bertubuh sedang yang dipanggil
Lambit itu terlempar akibat dua buah pukulan ke-
ras yang bersarang di dada dan perutnya.
Darah segar mengucur deras dari telinga
dan mulut, mengiringi kematian Lambit Dua pu-
kulan keras Tinju Sakti dari Selatan, telah men-
gantarkan laki-laki bertubuh sedang itu ke nera-ka.
*** "Adi Lambit..!"
Juraga berteriak parau ketika melihat tu-
buh kawannya diam tak bergerak. Bagaikan orang
linglung, laki-laki bercambang bauk itu melangkah mendekati mayat kawannya. Tak
dihiraukannya lagi Tinju Sakti dari Selatan yang menatap heran.
Untuk beberapa saat lamanya, Ketua Perguruan
Tinju Selatan itu hanya berdiri memandangi ting-
kah Juraga yang menurutnya aneh.
"Ada hubungan apa sebenarnya antara Ju-
raga dengan orang bernama Lambit itu" Mengapa
ia nampak demikian terpukul atas kematian ka-
wannya?" pikir Tinju Sakti dari Selatan tak habis mengerti.
Tapi orang tua itu tidak bisa lama-lama
memikirkannya. Karena saat itu, Juraga sudah
bangkit dengan wajah gelap. Dari sorot matanya,
nampak jelas gumpalan api dendam yang terasa
akan membakar tubuh Ketua Perguruan Tinju Se-
latan. "Bangsat kau, Orang Tua! Kematian adik seperguruanku ini hanya dapat
ditebus dengan darahmu!" desis Juraga penuh dendam.
Kematian Lambit yang ternyata adalah adik
seperguruannya itu, jelas membuatnya demikian
mendendam. Sepertinya, Juraga sangat me-
nyayangi adik seperguruannya yang tewas di tan-
gan Tinju Sakti dari Selatan.
"Jangan timpakan kesalahan itu kepadaku,
Kisanak. Bukankah kau sendiri yang mencari pe-
nyakit" Dan kalau kau mau berpikir sedikit, sebenarnya kematian adik
seperguruanmu itu adalah
karena ulahmu sendiri. Nah! Makilah dirimu sen-
diri! Atau kalau ingin membuat arwah adik seper-
guruanmu itu tenteram, bunuhlah dirimu sendiri.
Temani arwahnya biar tidak kesepian!" sahut Tinju
Sakti dari Selatan dengan tidak kalah geramnya.
Dan memang, ia pun sudah terbangkit amarahnya
melihat mayat-mayat muridnya bergelimpangan
bermandikan darah.
Ucapan orang tua itu bagai api yang sema-
kin mengobarkan kemurkaan Harimau Bukit
Munjul. Wajah lelaki gemuk bercambang bauk itu
berkerut-kerut menahan hawa marah yang terasa
akan meledakkan dadanya.
"Hm.... Dikira aku tidak bisa membunuh-
mu seorang diri, Orang Tua! Rupanya kau belum
kenal Harimau Bukit Munjul! Bersiaplah! Rasa-
kan, betapa kerasnya cakaranku!" ancam Juraga seraya melempar senjatanya ke
tanah begitu saja.
"Hmh...!"
Disertai geramannya yang terasa mengge-
tarkan isi dada, Harimau Bukit Munjul mendo-
rongkan kedua tangannya yang telah membentuk
cakar ke atas kepala. Terdengar helaan napas be-
rat dan panjang yang keluar dari hidung dan mu-
lutnya. Jari-jari tangan yang berbentuk cakar harimau itu tampak bergetar,
menandakan betapa
kuatnya tenaga yang terhimpun di dalamnya.
"Heaaah...!"
Sambil membentak keras, Harimau Bukit
Munjul menurunkan kedua tangan sehingga bersi-
langan di depan dada. Kemudian tangannya dibu-
ka sambil menarik kaki kanan ke belakang dengan
kuda-kuda rendah namun kokoh. Sikap Juraga
tak ubahnya se-ekor harimau yang siap menerkam
mangsa. Orang tua berusia enam puluh tahun itu
memandang gerakan lawannya dengan kening
berkerut dalam. Meskipun ia memang tidak men-
genal orang yang berjuluk Harimau Bukit Munjul
itu, namun menilik dari gerakannya, jelas kalau lelaki gemuk itu tidak
bersungguh-sungguh ketika melawannya tadi.
"Haaah...!" Tinju Sakti dari Selatan membentak keras menggelegar.
Bentakan yang dikeluarkan lewat pengera-
han tenaga dalam tinggi itu sempat membuat dada
Juraga bergetar untuk sesaat Apalagi ketika Ketua Perguruan Tinju Selatan itu
memutar kedua tangannya dengan kecepatan tinggi.
Tinju Sakti dari Selatan memang tidak
memusingkan, apakah mengenal orang itu atau
tidak. Sekarang ini yang terpenting adalah, me-
nundukkan orang Itu secepatnya sebelum murid-
muridnya habis dibantai teman-teman lelaki ge-
muk itu. Juraga benar-benar terkejut melihat sepa-
sang tangan lawan bagaikan menjadi banyak. Be-
lum lagi, sambaran angin yang ditimbulkannya te-
rasa demikian kuat menerpa tubuhnya. Jelas, ju-
lukan Tinju Sakti dari Selatan yang disandangnya bukan sekadar julukan kosong
belaka. Namun Juraga tidak mau menunjukkan kekagumannya, ka-
rena hal itu akan membuat dirinya dipandang re-
meh lawan. 'Tunjukkan 'Tinju Sakti'mu, Orang Tua...!"
bentak Juraga keras, sambil meluruk ke arah la-
wan dengan kecepatan tinggi.
Wuttt! Wuttt! Sambaran angin yang ditimbulkan gerakan
kedua tangan Harimau Bukit Munjul menderu-
deru dahsyat Sepasang cakar yang mengandung
kekuatan hebat itu bergerak cepat, ganas, dan
mematikan. Tinju Sakti dari Selatan mendoyongkan tu-
buhnya ke kanan sambil melepaskan sebuah pu-
kulan ya menderu tajam. Hebat dan tak terduga
serangan yang dilakukan orang tua itu. Akibatnya, Juraga yang tubuhnya tengah
doyong ke depan
karena serangannya berhasil dielakkan lawan, terpaksa membanting tubuhnya ke
kanan. Kemu- dian, langsung dilepaskannya sebuah tendangan
kilat yang menyambar lambung Ketua Perguruan
Tinju Selatan. Bettt! Rupanya gerakan Juraga telah diperhi-
tungkan lawannya. Buktinya orang tua itu mena-
rik mundur kaki kanannya yang dibarengi tepisan
telapak tangan kirinya disertai pengerahan tenaga sepenuhnya. Hal itu
dimaksudkan, sekaligus untuk meremukkan tulang telapak kaki Juraga.
Plak! "Akh...!"
Tubuh Juraga yang memang dalam kea-
daan kurang memungkinkan itu, terlempar sejauh
dua batang tombak. Untunglah tenaga dalamnya
yang sudah cukup tinggi itu dikerahkan ketika
melakukan tendangan tadi Kalau tidak, tentu tu-
lang telapak kakinya telah patah akibat tangkisan yang amat kuat itu.
Meskipun tidak sampai mengalami patah
tulang, namun jelas Juraga cukup menderita aki-
bat tangkisan lawannya tadi Ia berusaha untuk
berdiri walaupun kakinya terpincang-pincang. Wa-
Pendekar Naga Putih 21 Hilangnya Pusaka Kerajaan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jahnya terlihat menyeringai menahan sakit.
Di pihak lain, Tinju Sakti dari Selatan pun
bukan tidak merasakan kekuatan tenaga lawan.
Buktinya telapak tangannya terasa nyeri. Tentu
saja orang tua itu diam-diam merasa terkejut dengan kekuatan tenaga dalam yang
dimiliki Harimau
Bukit Munjul. Bahkan, kuda-kudanya pun sempat
tergempur. Padahal, saat menangkis tadi, sikap
kuda-kudanya sudah sangat kokoh. Tapi, ternyata
ia masih juga terdorong mundur sampai sejauh
enam langkah. Saat itu, empat orang pengikut Harimau
Bukit Munjul menghambur ke arah pimpinannya.
Wajah mereka terlihat cemas melihat langkah Ju-
raga yang terpincang-pincang.
"Kakang, kau tidak apa-apa...?" tanya salah seorang yang bertubuh kurus namun
terlihat tegap. "Mengapa kau tinggalkan kawan-kawanmu yang lain" Apakah
pekerjaan kalian sudah selesai?" tegur Juraga.
Sepertinya, dia merasa tidak senang meli-
hat kedatangan empat orang pengikutnya itu. Ta-
pi, wajah yang gelap itu mendadak terang begitu
mendengar jawaban lelaki kurus tegap itu.
"Sudah hampir selesai, Kakang. Hanya
tinggal beberapa orang saja. Dan kepandaiannya
pun tidak seberapa," sahut lelaki kurus itu seraya menarik napas lega melihat
wajah pimpinannya
yang nampak senang setelah mendengar laporan-
nya. "Kalau memang begitu, mari kita habisi tua bangka keparat itu," ajak
Juraga. Kemudian, laki-laki bercambang bauk itu
melangkah terpincang-pincang mendekati Tinju
Sakti dari Selatan. Sementara itu, wajah laki-Laki tua Ketua Perguruan Tinju
Selatan itu terlihat pucat menyaksikan murid-muridnya yang tinggal be-
berapa orang saja. Dan itu pun terlihat tidak dapat bertahan lama.
"Kepung dia...! Gunakan tali...!" perintah Harimau Bukit Munjul.
Seketika, keempat orang pengikutnya sege-
ra bergerak mengepung Ketua Perguruan Tinju Se-
latan. Sedangkan lelaki gemuk itu sendiri sudah
melompat kembali menerjang Tinju Sakti dari Se-
latan. Ketua Perguruan Tinju Selatan kembali
menggeser kakinya menghindari serangan Hari-
mau Bukit Munjul Pukulannya menderu, mengan-
cam tubuh lawannya. Pertarungan pun kembali
berlangsung sengit.
Meskipun gerakannya terpincang-pincang,
ternyata kelihaian Harimau Bukit Munjul tidak
berkurang. Serangan-serangannya masih tetap
ganas dan berbahaya. Bahkan masih dapat mem-
buat repot lawan
Namun memasuki jurus yang kelima belas,
terlihat Tinju Sakti dari Selatan mulai dapat menguasai lawan. Perlahan-lahan
Harimau Bukit Munjul mulai terdesak oleh serangan-serangan
lawan yang menderu-deru. Maka, lelaki bercam-
bang bauk itu hanya dapat bertahan tanpa mam-
pu membalas. Wuttt! Pada saat Harimau Bukit Munjul benar-
benar dalam keadaan terjepit, sebuah pukulan la-
wan meluncur bagai kilat menuju bagian dada se-
belah kiri. Melihat sikap lelaki gemuk itu yang
nampak gugup, sudah dapat dipastikan kalau pu-
kulan Tinju Sakti dari Selatan akan dapat menca-
pai sasaran. Namun keempat orang pengikut lelaki ge-
muk itu rupanya tidak tinggal diam. Melihat pe-
mimpinnya dalam keadaan berbahaya, tali-tali
yang semula hanya diputar di atas kepala lang-
sung dilepaskan secara serempak.
Rrrt.. rrrt..! Tubuh Ketua Perguruan Tinju Selatan yang
tengah melancarkan serangan maut itu mendadak
tertahan di udara. Empat utas tali yang dilemparkan ke arahnya, tepat melibat
kedua tangan dan
kaki orang tua itu. Akibatnya kepalan tangannya
yang hampir mengenal dada lawan, berhenti da-
lam jarak tiga jari.
Sepasang mata Harimau Bukit Munjul
yang sempat melihat gerakan keempat orang pen-
gikutnya, tentu saja tidak menyia-nyiakan kesem-
patan emas itu. Sepasang tangannya bergerak ce-
pat melakukan dorongan dengan kekuatan sepe-
nuhnya menuju dada lawan.
Wusss! Blaggg! "Aaakh...!"
Hantaman sepasang tangan yang mengan-
dung kekuatan hebat, telak sekali menghantam
dada Tinju Sakti dari Selatan. Tubuh orang tua itu tersentak kuat ke belakang.
Darah segar menyembur dari mulut pendekar tua itu dan membasahi
tanah di bawahnya. Kemudian, tubuhnya ambruk
ke tanah. Namun, tubuh itu kembali tersentak balik
oleh tali-tali yang menjerat kuat lengan dan ka-
kinya. Selagi orang tua itu mengerang menahan
sakit, Harimau Bukit Munjul menusukkan sebilah
pedang yang dipungut dari tanah. Dan....
Bret! Bret! Crap!
Pedang di tangan lelaki gemuk itu berkali-
kali merobek tubuh Tinju Sakti dari Selatan. Da-
rah yang memercik dari luka-luka di tubuh orang
tua itu rupanya makin membuat Harimau Bukit
Munjul kesetanan. Tanpa rasa perikemanusiaan
sedikit pun, pedangnya terus berkelebat bagai
hendak mencincang hancur tubuh Ketua Pergu-
ruan Tinju Selatan itu.
"Mampus kau, Tua Bangka! Pergilah ke ne-
raka...!" sambil membacokkan pedangnya beru-
lang-ulang, mulut Harimau Bukit Munjul tak hen-
ti-hentinya memaki
Lelaki gemuk itu baru menghentikan gera-
kannya setelah merasa puas melihat keadaan mu-
suhnya. Dilemparkannya pedang di tangan, ke-
mudian berbalik meninggalkan tubuh Tinju Sakti
dari Selatan yang sudah tak bernyawa lagi.
Para pengikut Harimau Bukit Munjul yang
telah berkumpul dan menyaksikan penyiksaan itu,
hanya tertawa berderai. Sepertinya, mereka pun
ikut merasa puas atas perbuatan pemimpinnya
itu. Mereka yang telah membantai habis seluruh
murid Perguruan Tinju Selatan, melemparkan tu-
buh orang tua itu begitu saja tanpa perasaan.
"Ha ha ha...! Biarpun harus kehilangan
adik seperguruan yang sangat kusayangi, tapi aku puas! Mari kita tinggalkan
tempat ini...," perintah Juraga sambil melangkah ke arah binatang tung-gangannya
yang meringkik seperti ikut merasa
gembira atas keberhasilan majikannya.
Harimau Bukit Munjul yang sudah bersiap
meninggalkan tempat itu, mendadak menghenti-
kan langkahnya. Tiba-tiba saja, tubuh lelaki ge-
muk itu melesat ke arah samping balai utama per-
guruan itu. Memang, dia sempat melihat dua
orang berpakaian kuning yang berkelebat hendak meninggalkan tempat itu.
"Berhenti...!" bentak Harimau Bukit Munjul dengan suara menggelegar mengejutkan.
Dua orang berpakaian kuning yang ru-
panya sisa murid Perguruan Tinju Selatan itu me-
rasakan lutut mereka jadi lemas. Keduanya jatuh
dengan bertopang pada lutut, tak ubahnya seperti orang hendak menyembah.
"Ampunkan kami, Tuan.... Jangan bunuh
kami," ratap keduanya, ketakutan.
Harimau Bukit Munjul yang sekali melom-
pat sudah berada di depan kedua orang murid
Perguruan Tinju Selatan itu, mengangkat tangan
kanannya, siap menghancurkan batok kepala me-
reka. Namun tangan yang semula siap memukul
itu, perlahan turun. Di wajah lelaki gemuk itu ter-bayang senyum licik.
Sepertinya, ia mendapat sebuah gagasan baik dengan adanya kedua orang
murid musuhnya yang selamat itu.
"Hm.... Kalau kuberi kebebasan, apa yang
akan kalian perbuat sebagai balasannya?" tanya Harimau Bukit Munjul sambil
menatap tajam wajah kedua orang Itu yang mengangkat kepalanya.
Mendapat pertanyaan yang tak disangka-
sangka Itu, tentu saja membuat kedua orang itu
seperti melihat setitik harapan untuk dapat hidup lebih lama. Dengan penuh
harap, mereka mengangkat wajah untuk menatap Juraga.
"Kami..., kami akan bersedia melaksana-
kan segala perintah Tuan, asalkan tidak dibunuh,"
sahut salah seorang dari mereka yang berwajah
kehitaman. "Betul, begitu..." Ingat! Kalau kalian berbo-hong, aku tidak segan-segan
meremukkan batok
kepala kalian!" tegas Juraga dengan suara berat penuh ancaman maut.
"Betul, Tuan.... Betul! Kami berjanji dengan taruhan nyawa," sahut orang itu
lagi Kawannya ikut pula menguatkan janji lelaki berwajah hitam itu.
"Baik!" ujar Juraga.
Setelah memberikan perintah, ia pun berla-
lu bersama para pengikutnya meninggalkan tem-
pat itu. *** 4 "Heya... heya...!"
Serombongan penunggang kuda berpacu
cepat melewati padang rumput luas yang hijau
terbentang. Derap langkah kaki kuda seperti hen-
dak meruntuhkan bumi. Tampak tubuh-tubuh
penunggang kuda itu berguncang-guncang mengi-
kuti irama lari binatang itu.
Ketika kaki-kaki kuda itu melintasi jalan
besar yang di kiri kanannya terbentang persawahan luas, seorang penunggang kuda
yang berada di tengah, memacu kudanya ke arah depan.
Penunggang kuda berusia sekitar tiga pu-
luh tahun itu memperlambat lari kudanya, di se-
belah lelaki tegap berkumis lebat yang merupakan pimpinan rombongan itu.
"Kakang, tempat ini tidak jauh dari kedia-
man guruku. Bagaimana kalau kita singgah se-
bentar" Siapa tahu guruku bisa memberi sedikit
petunjuk kepada kita," usul lelaki berbahu lebar itu kepada pemimpinnya.
Lelaki tegap berkumis lebat yang tak lain
dari Jaya Prana itu, termangu sejenak. la berpikir, menimbang-nimbang sebelum
menjawab usul salah seorang anggota pasukannya itu.
"Betul, Kakang. Apa yang diusulkan Banja
rasanya cukup baik. Aku pun sudah lama tidak
mengunjungi guruku. Selagi kita berada tidak
jauh dari tempat kediaman guruku, tidak ada sa-
lahnya kalau singgah sebentar."
Yang mendukung saran lelaki bernama
Banja itu adalah seorang lelaki bertubuh kecil
namun padat berisi. Menilik dari ucapannya, jelas kalau orang itu adalah saudara
seperguruan Banja.
"Baiklah. Tapi, ingat! Tidak boleh ada seo-
rang pun yang membicarakan tugas kita, sebelum
aku memulainya. Bagaimana, setuju?" tanya Jaya Prana. "Baik, Kakang. Kami akan
ingat kata-katamu itu," janji Banja dan lelaki bertubuh kecil padat yang bernama
Gandira. Wajah mereka tampak berseri ketika mendengar jawaban yang mele-
gakan hati itu.
"Ayo, kalian berdua di depan sebagai pe-
nunjuk jalan," ajak Jaya Prana lagi kepada Banja dan Gandira.
"Baik," jawab mereka serempak.
Banja dan Gandira memacu kudanya ke
depan dan membelokkannya ke kanan ketika me-
lintasi jalan bercabang tiga.
Jalan yang dilewati kali ini terlihat rata dan
mulus. Tidak seperti jalan semula yang dipenuhi
batu kerikil. Sehingga, perjalanan pun semakin
mudah dan cepat. Dan kini, tampaklah sebuah
bangunan besar yang dikelilingi kayu-kayu bulat
dan kokoh. Bangunan itu menyerupai sebuah per-
guruan silat. Dengan hati berdebar penuh kegembiraan
karena hendak bertemu dengan saudara-saudara
seperguruan dan gurunya, kedua orang lelaki ga-
gah itu memacu kudanya agar lebih cepat lagi.
Begitu tiba di depan pintu gerbang yang terdapat sebuah papan nama bertuliskan
'Perguruan Tinju
Selatan", Banja dan Gandira tampak saling ber-pandangan bingung.
"Kau tidak merasa aneh dengan kesunyian
ini, Banja...?" tanya Gandira memandang saudara seperguruannya dengan wajah
cemas. Sepertinya,
lelaki bertubuh kecil padat itu merasa kan sesuatu yang ganjil.
'Ya. Seingatku, pos penjagaan di atas itu
tidak pernah ditinggalkan. Tapi, mengapa kali ini tidak terlihat seorang pun"
Aneh!" gumam Banja seraya mengerutkan keningnya dengan wajah heran. "Ada apa,
Banja, Gandira..." Mengapa kalian tidak lekas memberitahukan kedatangan ka-
lian?" tegur .Jaya Prana ketika melihat kedua orang itu nampak bingung dan ragu.
"Entahlah, Kakang. Sepertinya perasaanku
tidak enak. Sebab, tidak biasanya perguruan terlihat sunyi. Tidak ada sebuah
suara pun yang ter-
dengar. Padahal, sore hari begini biasanya murid-murid berlatih di halaman
depan," sahut Banja tak bersemangat.
"Ah! Kalian ini ada-ada saja. Siapa tahu di dalam sedang ada kesibukan, sehingga
semua murid berkumpul di dalam balai utama pergu-
Naga Pembunuh 6 Golok Maut Tjan Tjie Leng Karya O P A Setan Harpa 9