Pencarian

Budak Nafsu Terkutuk 2

Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk Bagian 2


"Ada apa lagi, Nek?" tanya perwira berkumis lebat. Jago istana ini mengerutkan
kening dengar hati curiga.
"Dengar, Perwira Berotak Udang! Aku memper-
bolehkan kalian meninggalkan tempat ini. Tapi tidak dengan pangeran itu! Aku
punya urusan dengan--
nya!" bentak nenek buruk itu sembari mengangkat tongkatnya yang berupa tulang
kaki manusia. Tongkat itu ditudingkan ke wajah Pangeran Soka-
panca. "Nenek keparat! Rupanya kau ingin cepat-cepat masuk lubang kubur!"
Pangeran Sokapanca yang selamanya dihormati
orang itu, tentu saja tersinggung wajahnya dituding-tuding dengan tongkat.
Rahangnya mengembung
dengan wajah merah padam. Tinjunya terkepal erat, siap menghajar nenek buruk
itu. Dua orang perwira yang tugasnya menjaga ke-
selamatan Pangeran Sokapanca, terlihat gusar. Mereka bergerak maju mendahului
junjungannya. Dan
menghadapi nenek buruk itu dengan wajah garang.
"Tua bangka, kau jangan main-main dengan
kami! Kalau tadi kami mengalah, itu karena kasihan melihat dirimu yang sudah tua
dan bau tanah! Padahal sikap dan ucapanmu sudah cukup untuk
mengikatkan tali gantungan di lehermu! Sebaiknya tinggalkan tempat ini sebelum
kami hilang kesabaran!" ujar perwira berkumis lebat dengan sikap tegas.
Ucapan perwira berkumis lebat itu mendapat
jawaban yang mengejutkan. Karena begitu ucapan-
nya selesai, telinganya menangkap suara angin
menderu menuju kepalanya. Dan tahu-tahu ujung
tongkat putih nenek buruk itu sudah tinggal satu jengkal lagi di depan wajahnya.
Cepat ia menarik mundur tubuhnya untuk menghindar. Namun
ujung lombak itu seperti bertambah panjang dan
terus mengejarnya. Sehingga....
Bletakkk! "Aaakh..."!"
Perwira berkumis lebat itu memekik kesakitan.
Tongkat nenek buruk itu tahu-tahu telah menghajar kepalanya. Kendati tidak
terlalu keras, namun di kepalanya yang terpukul tumbuh telur ayam. Dan
rasanya sakit bukan main.
"Nenek gila, rupanya kau sengaja cari perkara...!"
Perwira kedua membentak marah. Tangannya,
langsung mencabut pedang setelah memerintahkan
para prajurit untuk mengepung nenek buruk rupa
itu. Kemudian menerjang maju dengan kelebatan
pedangnya yang berkesiutan.
Nenek buruk rupa itu hanya memperdengarkan
kekehnya yang seperti kaleng rombeng. Dan sekali tongkat di tangannya bergerak,
terdengar jerit kematian yang disusul terpentalnya dua orang prajurit dengan
kepala remuk! Tongkat itu terus meluncur
memakan satu korban lagi. Tentu saja keganasan
nenek buruk rupa itu membuat lawan-lawannya ter-
kejut, termasuk Pangeran Sokapanca.
"Gila! Tidak kusangka kalau nenek yang wajahnya seperti setan itu ternyata
memiliki kepandaian yang menggiriskan! Entah apa yang membuat ia
kelihatan begitu membenciku...?" gumam Pangeran Sokapanca yang diam-diam merasa
gentar terhadap
nenek buruk rupa itu. Namun rasa penasaran da-
lam hatinya jauh lebih besar. Dan ia merasa kalau lawannya kali ini merupakan
ujian yang sangat baik bagi keampuhan ilmu 'Tapak Neraka' yang dimiliki-nya.
Maka... "Hyaaattt...!"
Dengan menggunakan ilmu andalannya, Pa-
ngeran Sokapanca meluncur ke tengah arena. Ge-
lombang angin panas terdengar menderu menyertai
lontaran pukulannya.
Nenek buruk rupa itu sempat kaget ketika me-
rasakan adanya sambaran angin panas yang sangat
kuat. Namun ia sama sekali tidak berusaha meng-
hindari serangan Pangeran Sokapanca. Malah meng-
ayunkan tongkat menyambut datangnya serangan.
Plak! Benturan keras telapak tangan dengan tongkat
itu menimbulkan suara memekakkan telinga. Tubuh
nenek berpakaian hitam itu terjajar mundur dua
langkah. Sedangkan Pangeran Sokapanca lebih pa-
rah. Tubuhnya terlempar balik dan jatuh berguling-an di tanah berdebu.
Pangeran Sokapanca berusaha bangkit, meski
dadanya dirasakan sakit seperti tertusuk ratusan jarum halus. Benturan tadi
telah mengakibatkan
luka di sebelah dalam tubuhnya. Pemuda itu sama
sekali tidak menyangka kalau tenaga dalam nenek
buruk rupa itu juga berhawa panas, dan jauh lebih kuat dari tenaganya. Kenyataan
pahit ini membuat hati Pangeran Sokapanca semakin bertambah ngeri.
Maka, tanpa mempedulikan para pengawalnya yang
masih bertempur dengan nenek buruk rupa itu.
Pangeran Sokapanca segera melompat ke punggung
kuda yang berada di dekatnya dan terus meng-
gebah. "Kurang ajar, mau lari ke mana kau, Pangeran Sundal!" bentak nenek berwajah
buruk itu yang kaget melihat Pangeran Sokapanca melarikan diri.
Tongkat di tangannya diputar bagaikan kitiran,
membuat para pengeroyoknya terpelanting dan
berpentalan. Ketika dua orang perwira mencoba
untuk mencegahnya, langsung saja tongkatnya ber-
bicara. Prak! Krakh! Dua kali tongkat nenek berwajah buruk itu
berkelebat, kedua orang perwira pun roboh dengan kepala pecah! Dapat
dibayangkan, betapa hebatnya kepandaian nenek buruk rupa ini. Padahal kedua
orang perwira merupakan jagoan-jagoan istana.
Tanpa mempedulikan korban-korban yang ber-
gelimpangan nenek buruk rupa ini melesat mengejar Pangeran Sokapanca. Gerakannya
pun cepat bukan
main. Sebentar saja bayangannya sudah lenyap di
kejauhan. *** 4 Pangeran Sokapanca terus melarikan diri seperti
setan. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang,
khawatir kalau-kalau nenek buruk rupa itu yang
membuat hatinya ketakutan melakukan pengejaran.
Meskipun belum tahu apa kesalahannya, pangeran
sadar kalau nenek itu menginginkan kematiannya.
"Hih hih hih...! Mau lari ke mana kau, Pangeran Sundal" Sampai ke ujung dunia
pun aku akan tetap mengejarmu...!"
Deg! Bukan main kagetnya hati Pangeran Sokapanca
ketika mendengar suara yang ditakutinya itu. Hampir saja tubuhnya terpelanting
dari punggung kuda.
Meskipun suara itu belum kelihatan wujudnya,
namun Pangeran Sokapanca merasa bulu tengkuk-
nya mengkirik. Rasa takutnya kian hebat. Saking
kalapnya, ia mencambuk binatang tunggangannya
berkali-kali dengan sekuat tenaga. Maksudnya tentu saja menginginkan agar
kudanya berlari lebih cepat Tapi, yang terjadi justru di luar dugaan.
"Hieeehhh...!"
Karena cambukan Pangeran Sokapanca tanpa
sadar telah menggunakan tenaga dalam, kuda ber-
bulu coklat itu meringkik kesakitan. Dan terguling ke tanah, tak sanggup menahan
lecutan cambuk yang terlalu kuat.
Pangeran Sokapanca terpekik kaget dengan tu-
buh terlempar ke depan dengan kudanya. Karena
kejadian itu begitu tiba-tiba datangnya, dan dia sendiri sedang dalam keadaan
ketakutan, membuatnya
gugup dan tak sempat menyelamatkan diri. Tubuh-
nya terbanting keras ke tanah.
Untung saja tubuh Pangeran Sokapanca telah
terlatih dengan baik. Bantingan keras itu tidak
membuatnya menderita luka berat, kecuali rasa
sakit dan lecet-lecet di kulit. Sedang pada bagian bahu dan lengan, pakaiannya
tempak terkoyak. Dan ada noda darah dari lecet-lecet yang dideritanya.
Pangeran Sokapanca meringis sambil berusaha
bangkit berdiri, la mengutuk dan menyumpah-
nyumpah. "Nenek setan, Bangsat keparat! Tua bangka bau tanah! Kelak kau harus membayar
mahal akibat perbuatanmu ini!" maki Pangeran Sokapanca penuh dendam kesumat.
"Hih hih hih...! Rasakan olehmu, Pangeran
Sialan! Itu baru permulaan. Aku akan terus mem-
permainkanmu sampai puas! Setelah itu, jantung-
mu akan kucabut untuk santapan anjing buduk!
Rohmu sendiri akan dipanggang di api neraka! Hih hih hih...!"
"Iblisss...!" desis Pangeran Sokapanca antara marah dan ngeri. Kepalanya
berputar dengan mata
jelalatan mencari-cari nenek buruk rupa itu. Namun sia-sia! Padahal suara itu
dirasakannya sangat
dekat di telinganya.
Nenek buruk rupa itu sengaja menyiksa perasaan
Pangeran Sokapanca, seperti apa yang barusan
diucapkannya. Pangeran Sokapanca terus mencari-cari. Ketika
sosok nenek buruk rupa itu tidak juga dapat dite mukan, ia menjadi jengkel.
Saking ngeri dan takutnya, Pangeran Sokapanca menjadi nekat!
"Nenek biang setan jelek, tunjukkan rupa bu-rukmu yang bau tanah itu! Ayo,
hadapi aku terang-terangan! Akan kuhajar kau sampai terberak
mencret!" teriak Pangeran Sokapanca menantang dengan suara menggelegar, la tidak
peduli kendati untuk itu bagian dalam dadanya terasa sakti seperti ditusuki
ujung-ujung jarum. Luka dalamnya kembali kambuh. Karena untuk berteriak la harus
mengerahkan tenaga dalamnya.
Pangeran Sokapanca menunggu beberapa saat
Sepasang matanya berputar liar memperhatikan ke
sekeliling. Harinya tegang bukan main menanti-kan kemunculan nenek buruk rupa
itu. Tiba-tiba....
"Hih hih hih...!"
Karena hatinya telah dilanda ketegangan, suara
tawa mengikik yang begitu tiba-tiba dan terdengar dekat di belakang tubuhnya,
membuat Pangeran
Sokapanca terlonjak kaget. Wajah pangeran muda
itu menjadi pucat, untuk kemudian berubah merah.
Ketika ia berbalik, sosok nenek buruk itu tidak ditemuinya. Kecuali sambaran
angin yang sempat
membuat pakaiannya berkibar. Tahulah ia kalau
nenek itu telah lenyap mendahului kecepatan matanya.
"Pengecut kau, Nenek Gila! Rupanya kau takut menghadapku! Hua ha ha...!"
Pangeran Sokapanca semakin gusar dan marah
bercampur kecut. Permainan nenek buruk itu mem-
buat jiwanya agak terguncang. Ia berteriak-teriak menncaci maki persis orang
hilang ingatan. Tubuhnya mencak-mencak sambil memperdengarkan tawa
bergelak. "Hei!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja ne-
nek buruk rupa itu muncul di hadapan Pangeran
Sokapanca. Bentakannya yang keras menggelegar
membuat pangeran muda itu terjengkang ke bela-
kang! Wajah Pangeran Sokapanca seketika berubah
pucat pasi dengan sekujur tubuh bergemetar. Kalau saja pangeran ini tidak
memiliki kepandaian, Pastilah ia akan tewas dengan dada pecah!
"Apa katamu, Pangeran Sundal" Aku takut ke-
padamu" Hih hih hih...! Jangankan dirimu yang tak becus apa-apa. Biar gurumu, si
Tapak Neraka sekalipun, akan kupuntir batang lehernya jika perlu!
Nah, sekarang bangkitlah! Bukankah kau menan-
tangku?" ujar nenek buruk rupa itu, berdiri tegak di depan Pangeran Sokapanca
dengan sikap garang
dan pandangan mata tajam menusuk
Pangeran Sokapanca pun berani menentang pan-
dangan nenek buruk rupa itu. Sehingga matanya
dirasakan perih dan panas. Kendari demikian,
tubuhnya segera melompat bangkit, siap meng-
hadapi nenek buruk rupa itu mati-matian!
"Hih hih hih...! Bagus... bagus...! Tak kusangka nyalimu benar-benar besar,
Pangeran Sialan! Apakah kau sudah siap?" ujar nenek buruk rupa itu yang terus
mengunyah sirihnya.
"Aku siap!" sahut Pangeran Sokapanca yang telah memasang kuda-kuda. Baru saja
ucapan keluar, tubuh nenek buruk rupa itu sudah menyerang
disertai suara angin menderu.
Bweeettt! "Heh..."!"
Pangeran Sokapanca terpekik ketika tahu-tahu
ujung tongkat nenek itu sudah tinggal satu jengkal dari batok kepalanya. Dengan cepat ia menekuk
kedua lutut merendahkan tubuhnya. Terus dilanjutkan dengan gerakan berputar
disertai kibasan ta-
ngan kirinya mengancam lambung lawan. Tapi...
Plak! "Aaakh...!"
Dengan kecepatan yang sukar dilihat, nenek
buruk rupa itu mengayunkan lengan kirinya mema-
paki kibasan tangan lawan. Akibatnya, Pangeran
Sokapanca menjerit kesakitan. Lengannya bagaikan berbenturan dengan batang besi
panas, membuatnya terlempar ke samping.
"Tamat riwayatmu...!"
Tanpa memberi kesempatan lagi, nenek buruk
rupa itu melompat disertai ayunan tongkatnya dari atas ke bawah. Siap meremukkan
batok kepala. Pangeran Sokapanca yang masih tengah mera-
sakan nyeri pada bagian dalam dada dan sakit di
lengannya yang melepuh, tidak berdaya lagi untuk mengelak. Dia hanya bisa
memandang dengan mata
terbeliak saat tongkat tulang kaki manusia itu
meluncur turun disertai suara menderu.
Namun tongkat itu mendadak terhenti saat ham-
pir mengenai batok kepala Pangeran Sokapanca.
Dan nenek buruk rupa itu tertawa mengikik.
Ternyata la hanya bermaksud menakut-nakuti
pangeran yang dibencinya itu.


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pangeran Sokapanca hampir tidak percaya ketika
melihat lawan tidak meneruskan hantaman tongkat-
nya. Ia menelan air liur yang terasa kering. Wajahnya pucat dan dibanjiri peluh.
Kematian ternyata belum sampai waktunya. Kendati merasa heran dan
agak sedikit lega, pangeran ini belum herani bergerak, padahal si nenek buruk
rupa itu lelah menarik pulang tongkatnya.
"Aku tak akan membunuhmu sedemikian enak,
Pangeran Sialan! Kau harus merasakan penderitaan yang panjang dan menyakitkan
sampai akhirnya
kematian datang menjemputmu. Dan sebagai per-
mulaan, kakimu akan kubuat cacad!" nenek berwajah menyeramkan itu menghentikan
ucapannya dan mengeluarkan sebilah pisau kecil berwarna
hitam pekat. "Pisau ini mengandung racun jahat yang tak ada obatnya. Luka
goresannya akan mem-busuk sampai akhirnya hancur sedikit demi sedikit."
Selesai berkata demikian, pisau di tangannya
terulur ke kaki kanan Pangeran Sokapanca. Nenek
ini sengaja melambatkan gerakannya sambil terke-
keh menatap wajah sang Pangeran yang tampak
pucat dan basah oleh keringat.
"Apa... apa sebenarnya yang membuatmu ingin membunuhku?" dengan susah payah
karena ke-rongkongannya terasa kering, akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari
mulut Pangeran Sokapanca.
Nenek berwajah keriput dan menyeramkan itu
tertawa mengikik Puas harinya melihat berapa wa-
jah orang yang sangat dibencinya menggambarkan
perasaan ngeri yang sangat hebat! Memang itu yang diharapkannya.
Mendadak suara tawa si Nenek terhenti. Wajah
yang semula penuh rasa puas, tampak berkerut.
Kepalanya ditelengkan seperti hendak memperta-
jam pendengarannya.
Saat Pangeran Sokapanca keheranan melihat
perubahan sikap yang mendadak dari nenek ber-
wajah buruk, tiba-tiba terdengar suara gelak tawa menggelegar laksana guntur.
Disusul kemudian dengan gelombang angin keras menerbangkan deda-
unan kering. "Aku mendengar kau menyebut-nyebut tentang
pangeran, benarkah itu, Nenek Muka Setan...?"
Suara besar dan berat itu terdengar seiring
dengan tiupan gelombang angin keras. Disusul ke-
mudian dengan berkelebatnya sesosok bayangan
dengan kecepatan yang sukar ditangkap mata. Dan
tahu-tahu di dekat mereka telah berdiri sesosok tubuh tanpa baju.
"Gada Penghancur Tulang..."!" desis nenek buruk yang ternyata berjuluk Nenek
Muka Setan mengerutkan kening.
Pangeran Sokapanca memandang sosok berte-
lanjang dada itu dengan penuh selidik. Sekarang
hatinya benar-benar ciut. Karena kedua julukan itu pernah didengarnya. Bukan
cuma julukannya saja.
Bahkan sepak terjang mereka yang ganas dan tak
kenal ampun, telah sampai pula ke telinganya. Baru menghadapi Nenek Muka Setan
saja ia sudah dipermainkan habis-habisan. Dan sekarang masih di-
tambah dengan kedatangan Gada Penghancur Tu-
lang, yang membuatnya mengeluh putus asa. Kare-
na Gada Penghancur Tulang sepertinya juga tengah memburu dirinya. Padahal baru
kali ini ia berjumpa dengan kedua tokoh golongan hitam itu. Sialnya lagi dia tak
tahu apa kesalahannya terhadap kedua
tokoh itu. Sejak tiba di tempat itu Gada Penghancur Tulang
terus menatap wajah Pangeran Sokapanca dengan
penuh selidik. Tampaknya ia ingin memastikan apakah wajah pemuda itu pantas
sebagai seorang
pangeran. "Hm.... Gada Pengancur Tulang! Di antara kita tak pernah ada perselisihan. Nah,
sekarang kuminta kau tinggalkan tempat ini dan jangan campuri urusanku!"
Nenek Muka Setan yang semenjak kemunculan
tokoh bertubuh kekar tanpa baju itu memang sudah memasang wajah angker, kini
berkata dengan sorot mata mengancam. Rasa tak senangnya semakin
menjadi-jadi ketika menyaksikan sikap Gada Peng-
hancur Tulang, yang sejak datang terus saja menatapi wajah Pangeran Sokapanca.
Gada Penghancur Tulang sama sekali tidak
menggubris pertanyaan Nenek Muka Setan.
"Hei, Anak Muda. Benarkah kau seorang pa-
ngeran...?" tanya Gada Penghancur Tulang yang tampak penasaran.
Pangeran Sokapanca yang merasa kematiannya
sudah di ambang pintu, balas menatap wajah Gada
Penghancur Tulang, la sudah benar-benar putus asa dan hanya bisa pasrah dengan
apa yang bakal menimpa dirinya.
"Orang tua, kalau kedatanganmu juga dengan
maksud untuk membunuhku, lakukanlah! Karena
aku memang seorang pangeran. Namaku Sokapan-
ca!" ujar Pangeran Sokapanca lantang. Dirinya sudah tidak takut lagi menghadapi
kematian, karena sadar bahwa tidak mungkin dapat melawan kedua
orang tokoh sesat itu.
"Hua ha ha...! Jadi benar kau seorang pangeran"
Kalau begitu, aku benar-benar beruntung hari ini,"
ujar Gada Penghancur Tulang yang tampak sangat
gembira sekali ketika mendengar jawaban Pangeran Sokapanca.
Sikap Gada Penghancur Tulang tentu saja meng-
herankan hati Pangeran Sokapanca.
"Nah, Gusti Pangeran. Kulihat kau tengah mengalami kesulitan besar. Katakanlah
apa yang bisa kulakukan untukmu?" Gada Penghancur Tulang
melanjutkan kata-katanya yang membuat Pangeran
Sokapanca semakin bertambah keheranannya.
"Apa maksudmu, Orang Tua...?" karena belum mengerti ke mana arah pembicaraan
Gada Penghancur Tulang, Pangeran Sokapanca bertanya ingin tahu.
Namun, sebelum Pangeran Sokapanca menerima
jawaban dari Gada Penghancur Tulang, terdengar
suara Nenek Muka Setan membentak marah.
"Keparat kau, Gada Panghancur Tulang! Rupanya kau hendak menggunakan kesempatan
ini untuk mencari jasa! Dasar penjilat busuk!" sambil melontarkan kata-kata makian, Nenek Muka Setan
mengayunkan tongkatnya dengan kecepatan tinggi.
Whuuuttt...! Tongkat tulang kering kaki manusia itu melun-
cur pesat mengancam batok kepala Gada Penghan-
cur Tulang dari samping. Tampaknya Nenek Muka
Setan hendak meremukkan kepala botak itu deng-
an sekali pukul. Karena dari sambaran angin pu-
kulannya, jelas menandakan kalau Nenek Muka Se-
tan telah mengerahkan tenaga dalam yang kuat.
Gada Penghancur Tulang tidak begitu mudah
dirobohkan. Hanya dengan menarik tubuhnya ke
belakang, hantaman tongkat itu pun luput. Bahkan sempat pula melepaskan
tendangan lurus ke perut
nenek Muka Setan.
Nenek Muka Setan tidak berusaha mengelak, se-
pintas saja ia tahu kalau tendangan itu merupakan serangan tipuan. Dan
penglihatannya ternyata benar. Karena Gada Penghancur Tulang telah menarik
tendangannya, mengganti dengan hantaman senjata
yang selalu tergenggam di tangan kanannya. Senjata itu berupa sebuah gada yang
terbuat dari besi putih dan dilapisi emas pada bagian luarnya.
Wwettt..! Gada yang besar dan berat itu menyambar ba-
tang leher Nenek Muka Setan. Dan dapat dipastikan kalau lawannya akan remuk
apabila sampai terkena. Namun tentu saja Nenek Muka Setan tidak sudi membiarkan
lehernya hancur oleh senjata lawan.
Dengan gerakan yang cepat diputar tongkatnya un-
tuk memapaki gada lawan.
Jlang...! Benturan keras yang memekakkan telinga pun
tak terhindarkan lagi. Membuat tanah tempat mere-ka berpijak bergetar, karena
hebatnya pertemuan
kedua senjata yang sama-sama digerakkan oleh
tenaga raksasa itu.
Pangeran Sokapanca-lah yang menderita akibat
benturan keras itu Tubuhnya tampak tergetar
dengan mata terpejam. Kedua tangannya menekan
telinga kuat-kuat, karena suara benturan itu membuat kepalanya sakit!
Nenek Muka Setan dan Gada Penghancur Tulang
sama-sama melompat mundur beberapa langkah.
Keduanya saling tatap dengan sorot mata tajam.
Bedanya, sorot mata Nenek Muka Setan me-
nunjukkan kemarahan dan ancaman maut. Sedang-
kan Gada Penghancur Tulang mengandung ejekan
dan keangkuhan.
"Apa sebenarnya maumu, Gada Penghancur
Tulang?" tanya Nenek Muka Setan yang kelihatan sangat penasaran terhadap
perbuatan rekan sego-longannya itu.
"Heh heh heh...! Tidak sulit untuk menerkanya, Nenek Muka Setan! Aku ingin
menghabisi sisa
umurku sebagai orang terhormat. Dan Pangeran
Sokapanca-lah yang bisa memberikannya," sahut Gada Penghancur Tulang dengan
suara lantang. Kemudian menoleh ke arah Pangeran Sokapanca
yang berdiri tak jauh di sampingnya. "Aku akan menyelamatkanmu dari nenek jelek
ini, Pangeran. Dan sebagai imbalannya, aku minta diberikan ke-
dudukan yang terhormat Bagaimana" Apakah kau
mau berjanji. Pangeran?"
Berdebar dada Pangeran Sokapanca demi men-
dengar perkataan Gada Penghancur Tulang itu.
Karena ia sama sekali tidak menduganya. Semula
dirinya merasa sudah tidak punya harapan lagi
untuk hidup. Dan sekarang kakek gundul yang
sepertinya sangat miskin karena tidak mengenakan baju itu, menawarkan jasa ingin
membantunya. Tentu saja Pangeran Sokapanca gembira bukan
main! "Jangan khawatir, Gada Penghancur Tulang. Jika kau dapat menyelamatkan aku dari
Nenek Muka Setan, dan mengawalku sampai ke istana, aku
berjanji akan memberikan jabatan terhormat atas
Jasamu," ujar Pangeran Sokapanca yang kini sudah bisa tersenyum. Karena ia sudah
menyaksikan sendiri kesaktian Gada Penghancur Tulang, yang tam-
paknya berada di atas tingkat kepandaian nenek
buruk rupa itu.
Seraut wajah Gada Penghancur Tulang berseri-
seri mendengar janji Pangeran Sokapanca. Kembali ia berpaling ke arah Nenek Muka
Setan yang kelihatan sangat geram melihat tingkah kakek gundul itu.
"Keparat..!" makinya sambil menerjang maju dengan sambaran tongkatnya yang
mengaung bagai ratusan lebah marah!
Kali ini Gada Penghancur Tulang sudah siap
untuk menghadapi gempuran lawan. Janji Pangeran
Sokapanca membuat hatinya mantap untuk merobohkan Nenek Muka Setan di hadapan pange-
ran muda itu. Maka, ketika serangan lawan tiba, ia langsung menyambut dengan
menggunakan jurus-jurus andalannya.
"Hyaaattt...!"
Gada berlapis emas yang berat itu menderu-deru
ketika bergerak menyambut serangan Nenek Muka
Setan Sebentar saja kedua tokoh tua itu sudah
terlibat dalam sebuah pertarungan mati-matian!
Pangeran Sokapanca menjauhi arena. Perta-
rungan maut itu membuat hatinya tegang! Karena
kedua orang tokoh sakti itu sama-sama menge-
luarkan ilmu-ilmu andalannya untuk saling mero-
bohkan. Sadar bahwa angin pukulan mereka sangat
berbahaya, maka ia pun bergerak menyingkir. Dan
menyaksikannya dari tempat yang cukup jauh.
Pertarungan berlangsung semakin sengit. Empat
puluh jurus telah lewat. Sejauh itu belum kelihatan tanda-tanda siapa yang bakal
menang. Keduanya
sama-sama cepat dan tangguh. Hanya sinar senjata mereka yang membedakan mana
Nenek Muka Setan
dan mana Gada Penghancur Tulang.
Nenek Muka Setan mencoba untuk membongkar
pertahanan lawan yang sangat kuat itu. Tongkatnya diputar sedemikian rupa
membentuk gulungan
sinar putih yang bergerak turun naik bagaikan
seekor naga yang tengah bermain-main di angkasa.
Serangan-serangannya demikian gencar, seolah tak ingin memberikan kesempatan
kepada lawan untuk
membangun serangan balasan. Tampak Gada Peng-
hancur Tulang mulai terdesak mundur, terkurung
ujung-ujung tongkat lawan yang mengarah jalan-
jalan darah penting di tubuhnya. Kendati demikian, pertahanannya tetap tidak
bisa ditembus lawan.
Dan setiap kali tongkat Nenek Muka Setan datang
mengancam, selalu dapat dipukul balik, membuat
nenek buruk itu semakin penasaran.
Sebenarnya Gada Penghancur Tulang sama sekali
tidak terdesak seperti yang tampak. Kakek Gundul ini berlaku cerdik. Sadar bahwa
tingkat kepandaian mereka tidak berselisih banyak, maka Ia pun menggunakan
siasat dengan membuat dirinya seolah terdesak. Dengan demikian, lawan akan
semakin ber- nafsu dan mempergencar serangan-serangannya.
Rasa penasaran karena setiap gempurannya selalu
nyaris mengenai sasaran, akan membuat Nenek
Muka Setan melupakan pertahanan dirinya. Saat
lengah itulah yang ditunggu Gada Penghancur Tu-
lang. Dan apa yang dinantikannya itu pun datang.
"Heaaa...!"
Diiringi sebuah bentakan keras yang mengejut-
kan, Gada Penghancur Tulang melakukan lompatan


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke samping, saat tongkat lawan menusuk lurus ke
arah dada kirinya. Sambi! melompat, diayunkan
senjatanya dengan sepenuh tenaga!
Whuuukkk! Gada yang besar dan mengkilat itu meluncur
deras mengancam lambung kiri Nenek Muka Setan,
yang menjadi kaget bukan main! Senjata yang su-
dah terlalu dekat tidak mungkin dapat dielakkan-
nya. Terpaksa ia menerima hantaman itu, setelah
menyalurkan tenaga dalamnya untuk melindungi
lambungnya. Bukkk! "Aaakh...!"
Kendati lambungnya sudah terlindungi tenaga
dalam, tetap saja Nenek Muka Setan menjerit saat gada lawan menghajarnya.
Tubuhnya terpental
deras dan memuntahkan darah segar. Kendati de-
mikian, ia masih dapat menguasai keseimbangan
tubuhnya. Hingga tidak sampai terbanting jatuh
hanya terhuyung-huyung dua tombak jauhnya.
Melihat lawan belum roboh, Gada Penghancur
Tulang menggeleng kagum. Cepat tubuhnya melesat
dengan hantaman gada untuk untuk menamatkan
nenek buruk itu.
"Kali ini kau tak akan dapat selamat lagi, Nenek Muka Setan!" bentaknya di
antara deru senjatanya.
Nenek Muka Setan tentu saja maklum akan
bahaya yang datang mengancamnya itu. Maka,
ketika jarak mereka tinggal setengah tombak, ibu jarinya menekan bendul yang
terdapat di dekat ga-
gang tongkatnya. Dan...
Srat! Srat! Unjung tongkat itu terbuka dan memuntahkan
puluhan bahkan, ratusan jarum halus. Tentu saja
Gada Penghancur Tulang kaget bukan main. Untuk
menarik kembali serangannya jelas tidak mungkin.
Satu-satunya jalan, hanya dengan melepaskan pu-
kulan jarak jauh dengan tangan kirinya.
Sebagian jarum-jarum halus itu terpental dan
runtuh ke tanah akibat angin pukulan yang dilepaskan Gada Penghancur Tulang.
Tapi, sebagian lain-
nya tak dapat dibendung.
"Aaakh...!"
Gada penghancur tulang memekik ketika belasan
jarum yang tak dapat dibendungnya mengenai bebe-
rapa bagian tubuhnya. Meskipun demikian tubuh-
nya terus meluncur ke depan. Namun hantaman
gadanya hanya mengenai tanah, karena Nenek
Muka Setan sudah melempar tubuhnya bergulingan.
Serangan Gada Penghancur Tulang gagal. Hal itu
juga karena sebagian tenaganya telah dipindahkan untuk memukul runtuh jarum-
jarum halus yang
dilepaskan secara licik oleh Nenek Muka Setan.
Nenek berwajah buruk dan berambut kumal Itu
sendiri langsung melompat dan melarikan diri,
setelah berhasil menyelamatkan dirinya dari keima-nan, la tidak berhasrat lagi
untuk melanjutkan perkelahian. Selain telah menderita luka dalam yang cukup
parah, Nenek Muka Setan pun tahu kalau
jarum-jarum beracunnya tidak bisa berbuat banyak terhadap lawan. Sebab, Gada
Penghancur Tulang
memang memiliki kekebalan terhadap racun.
"Bedebah, Licik! Jika kelak kita bertemu lagi, jangan harap kau dapat lolos
seperti sekarang...!"
seru Gada Penghancur Tulang sambil mencabuti
jarum yang menancap di tubuhnya. Sosoknya ter-
lihat menyeramkan, karena hampir di sekujur tu-
buhnya dipenuhi titik-titik darah. Meskipun tidak mengalami cidera, Gada
Penghancur Tulang merasa
penasaran dan menaruh dendam terhadap Nenek
Muka Setan. Pangeran Sokapanca bertepuk tangan me- nyambut kemenangan Gada Penghancur Tulang.
Pangeran muda itu mengayun langkah mengham-
piri. Semula hatinya sempat merasa cemas melihat kakek gundul itu terkena
senjata rahasia lawan,
yang ia duga mengandung racun ganas. Namun
ketika melihat betapa dengan enaknya Gada Peng-
hancur Tulang mencabuti jarum-jarum yang me-
nancap di tubuh, ia mengerti. Lelaki tua bertubuh kekar itu sama sekali tidak
terpengaruh sedikit pun racun dalam jarum-jarum halus yang berwarna ke-hitaman
itu. "Kau benar-benar tidak mengecewakan hatiku, Gada Penghancur Tulang. Aku merasa
sangat tertarik dengan kekebalanmu terhadap racun," ujar Pangeran Sokapanca
memuji kehebatan kakek
gundul itu. "Terima kasih, Pangeran! Jika Pangeran ber-
hasrat, hamba tidak keberatan untuk mengajarkan
caranya," tukas Gada Penghancur Tulang dengan wajah berseri. Kemudian
dibungkukkan tubuhnya
sebagai tanda hormat kepada pangeran muda itu
"Benarkah kau sungguh-sungguh hendak meng-
ajarkan ilmu yang hebat itu kepadaku?" tanya Pangeran Sokapanca yang tentu saja
sangat ingin memiliki tubuh yang kebal terhadap racun.
"Tentu, Pangeran. Akan hamba ajarkan caranya setelah Pangeran menepati janji,"
jawab Gada Penghancur Tulang mengingatkan Pangeran Sokapanca
tentang janji untuk memberikan jabatan terhormat kepadanya.
"Sudah pasti aku akan menepatinya. Gada Penghancur Tulang," sahut Pangeran
Sokapanca menyembunyikan senyum liciknya.
Gada Penghancur Tulang terlihat mengangguk-
angguk puaa Senyumnya mengembang, memba-
yangkan impian hari tuanya yang akan segera ter-
wujud. "Mari, kita berangkat ke kotaraja...!" ujar Pangeran Sokapanca bernada sedikit
memerintah. "Baik, Pangeran..," sahut Gada Penghancur tulang yang segera mengayun langkahnya
di samping Pangeran Sokapanca. Saat itu matahari sudah bergeser ke barat.
60 Setelah menempuh perjalanan selama dua hari
satu malam, saat menjelang senja, Pangeran Soka-
panca dan Gada Penghancur Tulang tiba di gerbang kotaraja. Keduanya menunggang
kuda, diperoleh
dari desa yang mereka lalui.
Prajurit penjaga gerbang sempat kaget melihat
Pangeran Sokapanca kembali tanpa pasukan pe-
ngawal. Terlebih melihat adanya seorang kakek
gundul tanpa mengenakan baju, hingga memper-
lihatkan bulu-bulu lebat di sekitar dada dan perut.
Namun mereka tidak berani bertanya. Para prajurit membungkukkan tubuh dalam-
dalam saat sang Pangeran melewati gerbang bersama kakek gundul
bertampang bengis itu.
Becjtu masuk ke kotaraja, Pangeran Sokapanca
langsung menuju istana kerajaaa Kemudian melapor kepada penjaga istana bahwa ia
hendak menghadap
ayahnya. "Sampaikan kepada Ayahanda Prabu bahwa aku
membawa berita yang sangat penting dan men-
desak!" ujar Pangeran Sokapanca ketika melihat pengawal yang bertugas agak ragu.
Bukan karena penjaga itu tidak menaruh hormat
terhadap putra junjungannya. Untuk dapat meng-
hadap raja memang tidak bisa dilakukan sem-
barang waktu terlebih begitu mendadak, meski se-
orang pangeran sekalipun. Namun, ketika Pangeran Sokapanca mengatakan sangat
penting dan mende-sak, kepala jaga istana meminta agar pangeran itu menunggu.
Tidak berapa lama kemudian, kepala jaga itu
kembali muncul dan langsung mempersilakan Pa-
ngeran Sokapanca masuk dan menunggu.
"Mohon beribu ampun kalau kedatangan hamba
telah mengejutkan Ayahanda Prabu...."
Pangeran Sokapanca langsung menghaturkan
sembah begitu sang Prabu datang menemuinya.
Gada Penghancur Tulang pun mengikuti perbuatan
Pangeran Sokapanca tanpa berani membuka suara.
Hari kakek sakti yang biasanya kejam dan tak kenal takut ini, sempat tergetar
melihat wajah yang agung dan penuh perbawa itu.
Sang Prabu hanya mengangguk tipis disertai
gumam tak jelas. Kemudian duduk di atas singgasa-nanya. Dua orang jagoan istana
yang merupakan pengawal-pengawal pribadi dan bertanggung jawab
penuh atas keselamatan raja, berdiri di kiri dan kanan kursi. Meski hanya
sebentar, kedua jagoan
ini sempat mengerutkan kening melihat kakek gun-
dul yang datang bersama putra mahkota itu.
Setelah mendapat perkenan dari sang Prabu,
Pangeran Sokapanca segera menceritakan peristiwa yang dialaminya. Tentu saja ia
tidak menceritakan tentang putri tunggal Ki Dawung, yang menjadi
penyebab semua itu. Juga tidak menyinggung ten-
tang Nenek Muka Setan yang membuat sisa pasu-
kan pengawalnya tewas Yang dilaporkan Pangeran
Sokapanca adalan tentang penyerangan sekelompok
pemberontak di bawah pimpinan Ki Dawung, Ketua
Perguruan Tapak Jalak. Dan memohon agar sang
Prabu memperkenalkan la membawa sejumlah pa-
sukan pilihan untuk menghancurkan para pembe-
rontak itu. "Menurut hamba mereka sangat berbahaya se-
kali, Ayahanda Prabu. Tampaknya Ki Dawung telah
mengundang tokoh-tokoh persilatan. Karena saat
pertempuran pecah, tiba-tiba muncul sepasang pendekar muda yang memiliki
kepandaian hebat. Un-
tung sewaktu hamba nyaris tertangkap, kakek ini
datang menolong dan menyelamatkan aku dari ke-
ganasan para pemberontak itu...," ujar Pangeran Sokapanca yang dalam akhir
ceritanya baru menyinggung tentang Gada Penghancur Tulang yang
sejak tadi hanya diam mendengarkan.
Merasa dirinya diberi kesempatan, Gada Peng-
hancur Tulang menghaturkan sembah dan berkata
merendah. "Ampun, Gusti Prabu yang mulia! Apa yang
hamba lakukan sama sekali tidak patut untuk di-
banggakan. Karena sudah menjadi kewajiban ham-
ba sebagai kawula negeri untuk menunjukkan bak-
ti...," ujar Gada Penghancur Tulang, yang dalam hal bermain sandiwara tidak
kalah bagusnya dengan
Pangeran Sokapanca, membuat pangeran muda itu
tersenyum tipis.
Sang Prabu cuma bergumam pelan. Sepasang
matanya menyipit memperhatikan sosok kakek
gundul yang tanpa mengenakan baju dan membawa
sebuah gada berlapis emas. Sebenarnya dandanan
Gada Penghancur Tulang sudah merupakan kesala-
han bagi seseorang yang menghadap raja di istana.
Namun karena tahu kalau kakek gundul itu
merupakan tokoh persilatan yang kebanyakan ber-
tingkah laku aneh, sang Prabu memakluminya. Be-
liau mengangguk-angguk beberapa kali sambil
mengelus jenggotnya yang sudah berwarna dua.
"Ada hal yang ingin kusampaikan khusus kepadamu, Sokapanca. Untuk itu biarlah
penolongmu Ini menunggu di luar sebentar...," ujar sang Prabu yang mengalihkan
pandang kepada putranya.
Gada Penghancur Tulang tahu diri. Bergegas ia
menghaturkan sembah dan bergerak meninggalkan
ruangan itu. Kakek gundul ini menepiskan perasaan tidak enak yang tiba-tiba
menyelinap ke dalam
hatinya. Untuk menenangkan perasaan yang tak
diketahui sebabnya itu, Gada Penghancur Tulang
beijalan-jalan di taman depan istana.
Sepeninggal Gada Penghancur Tulang, sang
Prabu segera memerintahkan salah seorang penga-
wal pribadinya untuk berbicara. Karena ia memang sebenarnya tidak mempunyai
kepentingan khusus
dengan putranya. Keinginan itu disampaikannya
setelah mendapat bisikan dari salah seorang pengawal pribadinya, dengan
menggunakan ilmu 'Mengi-
rim Suara dari Jauh' Sehingga tak seorang pun yang mengetahui kecuali sang Prabu
dan jago istana itu sendiri.
Jago istana yang merupakan seorang lelaki gagah
berusia lima puluh tahunan itu segera menjelaskan kepada Pangeran Sokapanca.
Tokoh istana ini tahu betul siapa adanya kakek gundul berjuluk Gada
Penghancur Tulang itu. Dia mengingatkan bahwa
kakek gundul itu adalah seorang tokoh dunia hitam yang berkepandaian tinggi,
berhati kejam, serta
sangat licik. "Manusia seperti Gada Penghancur Tulang jelas tidak akan sudi menolong secara
cuma-cuma. Ia pasti meminta imbalan atas jasanya itu. Apakah
dugaanku keliru, Pangeran?" tanya tokoh istana bernada curiga.
"Benar, Paman. Hanya karena ia memiliki ke-
pandaian tinggi dan aku memerlukan pengawal
untuk tiba di istana, maka aku berjanji untuk memberikan apa yang diinginkan.
Dan ia menginginkan jabatan atas jasanya itu," jelas Pangeran Sokapanca yang
pada dasarnya memang tidak menyukai Gada
Penghancur Tulang. Ia sudah cukup banyak men-
dengar tentang sifat tokoh-tokoh golongan hitam
yang rata-rata Dcik dan sulit ditebak.
"Jabatan apa yang diminta kakek gundul itu
kepadamu, Sokapanca?" sang Prabu yang ikut mendengarkan,
bertanya dengan kening berkerut. Kerutan itu tanda ketidaksenangan hatinya atas sikap putranya yang begitu mudah
untuk mengucap-
kan janji. "Ia tidak

Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjelaskannya,
Ayahanda Prabu. Mohon ampun, hamba telah begitu lancang berjanji untuk memenuhi permintaannya,"
jawab Pangeran Sokapanca agak cemas melihat kerutan pada wajah
ayahnya. "Hm..., kalau begitu, beri saja hadiah yang kira-kira cukup pantas atas jasanya
yang telah meno-
longmu!" titah sang Prabu, yang merupakan sebuah keputusan mutlak. Tidak bisa
dibantah lagi. Dua orang tokoh istana dan juga Pangeran So-
kapanca langsung menyetujui. Sang Prabu segera
memerintahkan pengawal agar meminta sekantung
uang emas dari pejabat keuangan istana. Setelah
uang tersedia, beliau memerintahkan putranya un-
tuk menyerahkan hadiah itu kepada Gada Peng-
hancur Tulang, dengan ditemani kedua pengawal
istana. *** Gada Penghancur Tulang bergegas menghampiri
Pangeran Sokapanca yang dilihatnya keluar dari
istana. Ditekannya kegelisahan yang kembali mun-
cul ketika melihat adanya dua orang tokoh istana yang menemani sang Pangeran.
Gada Penghancur
Tulang berusaha menyembunyikan perasaannya
dengan bersikap tenang. Namun, tiba-tiba dikerahkan tenaga dalamnya, siap
menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
"Bagaimana, Pangeran" Apakah Gusti Prabu
sudah memilihkan jabatan untukku?" Gada Penghancur Tulang langsung menanyakan
apa yang su- dah mereka sepakati.
"Maaf, Gada Penghancur Tulang," ujar Pangeran Sokapanca yang siap menghindar
apabila kakek gundul itu marah dan menyerangnya. "Ayahanda Prabu tidak mengabulkan
permohonanku. Beliau
memerintahkan agar aku memberikan hadiah sekantung uang emas ini sebagai imbalan atas
pertolonganmu kepadaku."
'Tapi..., bukankah kau sudah berjanji kepadaku,
Pangeran?" rona wajah Gada Penghancur Tulang berubah. Sepasang matanya tampak
berkilat menunjukkan kemarahan. Dirinya merasa telah ditipu mentah-mentah oleh
Pangeran Sokapanca.
"Terima saja hadiah yang diberikan junjungan kami, Gada Penghancur Tulang!"
Tokoh istana berwajah kelimis berkata menim-
pali. Sikap dan sorot matanya jelas menandakan
bahwa ia telah siap menghadapi apa yang bakal dilakukan kakek gundul itu.
"Hadiah ini sudah merupakan yang terbaik untuk orang sepertimu. Kare-na
seharusnya kau malah kami jebloskan ke dalam
tahanan. Kami tahu siapa kau adanya. Dan bagai-
mana sepak terjangmu di luaran."
Gada Penghancur Tulang menghela napas dalam-
dalam dan melepaskannya dengan berat. Seolah
ingin melepaskan kekecewaan hatinya. Ia sadar
bahwa dirinya berada di dalam sarang harimau.
Ketika akal liciknya muncul, kakek gundul itu
tersenyum tipis.
"Kalau memang kau menganggap hadiah itu su-
dah lebih dari cukup, aku terima. Anggap saja
pertolonganku kepada junjunganmu ini sebagai
baktiku kepada negeri...!" ujar Gada Penghancur Tulang tersenyum kecut seraya
memindahkan senjatanya ke tangan kiri. Diterimanya kantung uang dengan tangan
kanan. Kelihatannya kakek gundul
ini sudah pasrah dan tidak mau bertindak macam-
macam. Pangeran Sokapanca sudah menarik napas lega
ketika Gada Penghancur Tulang menerima kantung
uang yang diberikan oleh salah seorang pengawal
istana. Gada Penghancur Tulang membuka ikatan
kantung uang untuk melihat isinya. Kepalanya
menggeleng-geleng sambil mengeluarkan telapak
tangannya setelah meraup kepingan uang emas di
dalam kantung. Kemudian....
"Makan olehmu uang emas ini. Pangeran Lak-
nat...!" Secara tiba-tiba, Gada Penghancur Tulang me-
ngeluarkan bentakan keras yang mengejutkan. Ber-
samaan dengan itu berdesingan kepingan uang
emas yang meluncur dengan kecepatan tinggi meng-
ancam sekujur tubuh Pangeran Sokapanca! Jelas
kakek gundul ini ingin menghabisi nyawa orang
yang telah menipunya mentah-mentah.
Perbuatan Gada Penghancur Tulang yang sama
sekali tidak terduga, membuat kedua orang tokoh
istana kaget bukan main. Namun, karena mereka
sudah memperhitungkan kejadian seperti itu, maka keduanya segera melesat
berbarengan. Yang seorang mencabut pedang dan berusaha menyelamatkan
Pangeran Sokapanca. Sedangkan satunya lagi men-
celat ke arah Gada Penghancur Tulang dengan
disertai lontaran pukulan mautnya.
Serangan tokoh istana itu dapat diatasi dengan
mudah oleh lawannya. Bahkan langsung mengirim-
kan serangan balasan dengan ayunan gadanya yang
menderu-deru. Demikian gencar serangan balasan
yang dilontarkan Gada Penghancur Tulang, mem-
buat lawannya terdesak dan terus berlompatan
mundur. Sementara itu, tokoh istana yang berusaha me-
nyelamatkan Pangeran Sokapanca telah memutar
pedangnya membentuk gulungan sinar putih laksa-
na sebuah perisai raksasa.
Trang! Tring! Trak!
Terdengar suara gemerincing nyaring ketika
belasan kepingan uang emas itu membentur ling-
karan sinar pedang. Beberapa di antaranya runtuh terbelah dua. Namun sebagian
kecil luput dan terus meluncur deras ke arah Pangeran Sokapanca!
Pangeran Sokapanca sendiri bukanlah orang
lemah. Dia berusaha menyelamatkan diri dari ke-
pingan-kepingan uang emas itu. Namun tak urung
empat di antaranya berhasil melukai kaki, tangan, dan satu menyerempet bahunya,
membuat pangeran muda itu terjajar mundur dengan pakaian
ternoda darah. "Keparat...!" maki Pangeran Sokapanca yang berusaha bangkit berdiri. Kemudian
berteriak memerintah untuk menangkap kakek gundul yang te-
ngah bertarung sengit dengan salah satu jagoan istana.
Sebentar saja belasan orang prajurit telah ber-
larian dan mengepung pertarungan. Mereka mem-
buat lingkaran dengan senjata di tangan. Sehingga, hampir mustahil kalau Gada
Penghancur Tulang
akan dapat pergi dengan selamat meninggalkan
tempat itu. Gada Penghancur Tulang bukan tidak menyadari
keadaannya. Ia pun maklum bahwa dirinya akan
menemui kematian di tempat itu. Kenyatan itu
membuat ia semakin bertambah nekat. Serang-
annya semakin ganas dan bagaikan tak pernah pu-
tus. Tokoh istana yang menghadapinya tampak ke-
walahan, dan tak mampu mengimbangi amukan
Gada Penghancur Tulang.
"Hyaaattt..!"
Melihat rekannya terdesak dan sulit membebas-
kan diri dari kurungan gada lawan, jago istana yang satunya lagi segera melesat
memasuki arena. Pedang di tangannya mengaung tajam, menandakan
betapa kuat tenaga yang terkandung di dalam se-
rangan itu. Siiing...! Suara berdesing yang menusuk telinga membuat
Gada Penghancur Tulang sadar bahwa ada serangan
yang datang dari belakangnya. Dan apa yang dilakukan kakek gundul ini benar-
benar membuat kedua
orang lawannya berdecak kagum bukan main. Ka-
rena tanpa menghentikan gerakannya, rubuh lelaki tua itu berputar melingkar.
Gada di tangannya bergerak dengan kecepatan tinggi memapaki datangnya ancaman
pedang. Brreeettt...! Gada Penghancur Tulang kaget ketika hantaman
senjatanya mengenai tempat kosong. Pedang yang
semula menusuk, ternyata telah meliuk berputar
dengan cepatnya. Terus berkelebat membeset dada-
nya Brettt! "Aaakh...!"
Sambaran pedang yang mendatar itu langsung
membuat garis panjang melintang di dada Gada
Penghancur Tulang. Darah segar mengalir, menim-
bulkan rasa pedih. Tubuh bertelanjang dada itu tergetar mundur. Dan lawan di
belakangnya sudah
menyambut dengan gedoran telapak tangan yang
mendatangkan sambaran angin kuat!
Blaggg! "Hukh!"
Hantaman telapak tangan pada punggung ketika
tubuhnya terjajar mundur, membuat kekuatan
pukulan menjadi berlipat ganda. Hingga tubuh Gada Penghancur Tulang terpental
deras disertai mun-tahan darah segar. Belum lagi tubuhnya sempat
jatuh ke tanah, lawan yang di depan menyambul
dengan sambaran pedangnya. Terdengar suara se-
perti orang tercekik, ketika mata pedang itu membeset tenggorokannya.
Darah segar menyembur dari luka menganga di
leher Gada Penghancur Tulang. Napasnya pun
putus seketika sebelum tubuhnya terbanting ke tanah. Sungguh mengenaskan
kematian yang harus
diterima Gada Penghancur Tulang, la yang dalam
kehidupannya selalu menggunakan kelicikan, kini, tewas termakan kelicikan
Pangeran Sokapanca.
Pangeran Sokapanca sendiri harus menerima
hadiah atas perbuatannya terhadap kakek gundul
itu. Kendati tidak sampai tewas, namun luka-luka yang dideritanya membuat
Pangeran Sokapanca
harus beristirahat beberapa hari. Setelah merasa kesehatannya pulih, ia segera
menghadap ayahnya
dan minta restu untuk membawa pasukan guna
memberantas Ki Dawung dan murid-muridnya yang
dilaporkan sebagai pemberontak. Maka berangkat-
lah Pangeran Sokapanca dengan membawa dua
lusin prajurit pilihan, dua orang perwira menengah, dan seorang senapati muda.
Selain itu, terdapat dua orang tokoh istana menyertai rombongan.
* * * 6 Panji melakukan perjalanan dengan setengah
berlari. Tujuannya adalah kotaraja, untuk menye-
lidiki Pangeran Sokapanca. Sekaligus mencari tahu apakah pangeran muda itu masih
mendendam dan akan membawa bala bantuan untuk membalas ke-
kalahannya. Karena tengah memikirkan apa yang
pertama-tama akan dilakukannya setelah sampai di kotaraja, ia tidak begitu
memperhatikan ketika melewati jalan yang membelok. Selain itu, jalanan ber-belok
di depannya terhalang dataran yang lebih
tinggi. Kesadarannya baru bangkit ketika saat membelok, dari arah depan meluncur
sosok tubuh lain yang langkah larinya seperti orang mabok. Tentu
saja Panji sempat dibuat kaget!
"Hei..."!"
Panji melempar tubuhnya ke tepi jalan hingga
membentur dinding tanah keras. Karena sosok tu-
buh yang berlari cepat dan sempoyongan itu, nyaris menabraknya. Untung ia cepat
bergerak menghindar. Jika tidak, tubuh keduanya pasti akan saling bertumbukan.
Seruan terkejut Panji rupanya membuat sosok
tubuh yang berlari seperti orang mabok itu tidak senang. Larinya dihentikan
dengan mendadak.
Masih dengan gerak tubuh sempoyongan, sosok itu
berbalik menghampiri Panji, yang masih berdiri
memperhatikan orang yang nyaris membentur tu-
buhnya itu. "Bocah kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu
hingga berani membentakku seperti itu" Apa kau
sudah bosan hidup, hah?" begitu tiba di dekat Panji, langsung saja sosok yang
berlari seperti orang
mabok itu melontarkan makian.
Pendekar Naga Putih tertegun keheranan. Dita-
tapnya sosok tubuh kurus, bongkok dan berwajah
sangat buruk itu. Sosok itu ternyata seorang perempuan berusia lanjut yang
tengah menderita luka.
Hal itu diketahui Panji dari adanya lelehan darah di sudut bibir nenek itu.
"Bocah setan! Rupanya kau bukan cuma kurang ajar, tapi juga budek! Hmh...
sebaiknya kukirim saja kau ke neraka daripada hidup tidak mempunyai
guna!" Sikap diam Panji yang karena kaget dan heran
melihat sosok nenek itu, membuat dirinya dikira tu-li. Kemarahan si Nenek
semakin menjadi-jadi. Sambil memaki-maki, dipukulkan tongkatnya yang be-
rupa tulang kering kaki manusia ke kepala Panji.
"Hei, Nek, tahan...!"
Karena kaget dan tak menyangka, kalau nenek
buruk itu sedemikian galak, Panji berseru mence-
gah. Ketika melihat hantaman tongkat itu tidak berhenti, Panji pun bergerak
mundur menghindar. Se-
hingga pukulan tongkat si Nenek Buruk mengenai
angin kosong! "Bagus, rupanya kau memiliki sedikit kepan-
daian! Pantas saja berani membentak-bentak orang!
Sekarang coba kau jaga serangan ini...!" ujar nenek buruk itu seraya menarik
sudut kiri bibirnya membentuk senyum sinis. Kemudian kembali menerjang
maju dengan tongkatnya.
"Nek, tunggu, jangan salah paham! Aku sama
sekali tidak membentak, hanya berseru karena
kaget, hampir tertumbuk tubuhmu. Justru sebenar-
nya kaulah yang salah, berlari seperti orang mabok!"
Panji berteriak-teriak menjelaskan, sambil ber-


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lompatan menghindari serangan tongkat nenek bu-
ruk yang tak lain Nenek Muka Setan. Pendekar
muda itu masih bersikap mengalah, karena ketika
melihat pukulan tongkat si Nenek tidaklah terlalu kuat.
Dari apa yang dilihatnya pertama kali tadi, Panji tahu kalau nenek buruk itu
cuma sekadar hendak
memberi pelajaran kepadanya, yang dianggapnya
sebagai anak kurang ajar. Namun, serangan selan-
jutnya ternyata dirasakan sangat ganas dan bisa
mematikan. Kendati merasa kaget dan penasaran,
Pendekar Naga Putih masih berusaha mengingatkan
bahwa kejadian di antara mereka cuma karena
salah paham. "Anak setan! Sudah berani membentak, berpura-pura budek, sekarang malah
menuduhku pemabok!
Benar-benar kau tidak boleh diberi hati!"
Nenek Muka Setan kembali salah mengerti
maksud ucapan Pendekar Naga Putih. Kembali ia
memaki dan memperhebat serangannya, membuat
Panji kerepotan menyelamatkan diri dari incaran
tongkat nenek itu.
Sikap Nenek Muka Setan memang tidak meng-
herankan. Selain ia bukan orang baik-baik, saat itu hatinya sedang marah dan
jengkel. Luka dalam dan sikap menghina yang diterimanya dari Gada Penghancur
Tulang, sekarang seperti menemukan tem-
pat untuk menumpahkannya. Karena setelah mela-
rikan diri dari Gada Penghancur Tulang, baru Panji yang ditemuinya. Maka Panji-
Iah yang sial menjadi tumpahan segala rasa marah dan jenkel Nenek
Muka Setan. Namun kesabaran Pendekar Naga Putih tentu ada
batasnya. Ketika seruan-seruannya tidak mendapat tanggapan yang baik, bahkan
nenek itu semakin
ganas mencecarnya, Panji tidak lagi cuma sekadar mengelak. Saat tongkat berupa
tulang kering kaki manusia itu kembali meluncur, telapak tangan
kirinya bergerak menepis dengan pengerahan tenaga yang sudah diperkirakannya.
Plak! Tepisan tangan Panji yang hanya menggunakan
sebagian tenaga dalamnya, ternyata berakibat cukup hebat! Bukan cuma ujung tongkat yang ter-
pental menyeleweng. Bahkan tubuh Nenek Muka
Setan tampak terjajar limbung dengan wajah me-
nyeringai menahan sakit. Sementara tangan kirinya sibuk menekan dada. Dan....
"Huakhhh...!"
Sebelum roboh tak sadarkan diri, Nenek Muka
Setan memuntahkan darah kental berwarna kehi-
taman. Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget bukan main! Cepat ia berlari
menghampiri. Panji berjongkok hendak memeriksa ketika melihat Nenek Muka Setan tak sadarkan diri. Sekali lihat saja ia tahu kalau
lawannya mengalami luka dalam yang parah. Dan tangkisannya yang menggunakan
sebagian tenaga dalam tadi, semakin me-
nambah parah luka nenek buruk itu. Mengertilah
Panji kalau nenek itu memaksakan diri sewaktu menyerangnya. Padahal pengerahan
tenaga selagi terluka dalam, bisa mengakibatkan kematian. Tidak
aneh kalau Nenek Muka Setan langsung muntah
darah dan jatuh pingsan, kendati tangkisan Panji tidak terlalu kuat.
Walaupun menduga bahwa nenek buruk rupa itu
bukan orang baik-baik, Panji tetap hendak me-
nolongnya. Dipondongnya tubuh kurus yang tak
sadarkan diri itu. Kemudian melangkah untuk men-
cari tempat yang cukup baik guna mengobati luka
yang diderita Nenek Muka Setan.
Agak lama Pendekar Naga Putih berjalan, sampai
akhirnya ia melihat daerah persawahan. Sepasang
matanya memandang berkeliling. Ketika menemu-
kan sebuah dangau, dia segera menghampiri.
Diletakkannya tubuh Nenek Muka Setan.
Setelah menotok dan memijat di beberapa tem-
pat, Nenek Muka Setan mulai siuman. Langsung
saja Panji membuka mulut nenek itu secara paksa
dan menjejalkan sebutir pil berwarna putih salju.
Obat luka dalam yang dapat mempercepat pulihnya
tenaga. Hal itu terpaksa dilakukan, khawatir kalau Nenek Muka Setan akan marah
lagi dan menyerang,
apabila telah sadar sepenuhnya. Panji memaksa pil masuk ke dalam tubuh nenek itu
dengan memijat hidung si Nenek Nenek Muka Setan gelagapan, dan
pil itu pun tertelan masuk
"Maaf, Nek Aku terpaksa melakukannya...!" ujar Panji ketika melihat sepasang
mata yang sinarnya mulai pudar karena usia tua membuka perlahan.
Ada kilatan terkejut dalam bola mata Nenek Muka
Setan, melihat pemuda tampan berjubah putih yang diserangnya tadi, tengah duduk
di sampingnya. Semula Nenek Muka Setan sudah akan melon-
tarkan makian kepada Panji. Namun wajah yang
menggambarkan kemarahan itu berubah kaget! Di
dalam tubuhnya dirasakan ada hawa hangat yang
menyebar, membuat Nenek Muka Setan meme-
jamkan matanya keenakan. Sebagai orang yang
memiliki kepandaian tinggi dan pengalaman luas,
tahulah ia bahwa luka dalamnya telah disembuhkan orang. Untuk memastikan, segera
ia mengerahkan tenaga dalamnya. Girang bukan main hati Nenek
Muka Setan ketika tidak lagi merasakan ada rasa
nyeri yang menusuk-nusuk bagian dalam dadanya.
Luka dalamnya benar-benar telah sembuh, kendati
tenaganya belum pulih.
"Mengapa kau menolongku, Anak Muda...?" tanya Nenek Muka Setan dengan suara
serak dan lemah.
Wajahnya membayangkan keheranan besar. Sebab,
ia tidak percaya kalau ada orang yang mau ber-
susah payah menolong orang yang tidak dikenal.
"Mengapa aku menolongmu...?"
tukas Panji mengulang pertanyaan Nenek Muka Setan dengan
bibir tersenyum. "Pertanyaanmu aneh, Nek," lanjutnya, merasa tidak perlu
memberikan jawaban.
Karena ia memang sudah biasa melakukannya, ter-
hadap siapa pun yang membutuhkan.
"Jawab saja pertanyaanku, Anak Muda!" desak Nenek Muka Setan dengan nada agak
tinggi. Jelas ia menginginkan jawaban dari mulut Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum semakin lebar.
Kepalanya menggeleng perlahan melihat betapa
nenek itu masih tetap galak, meskipun dalam ke-
adaan tubuh masih lemah.
"Aku menolongmu karena kau terluka dan perlu segera mendapat pengobatan. Nah,
apakah kau puas dengan jawabanku, Nek?"
"Bodoh! Kau tahu bukan itu jawaban yang ku-
inginkan! Hayo jawab, mengapa kau menolongku?"
Nenek Muka Setan kembali mengajukan per-
tanyaannya dengan mata melotot.
"Ya, karena kau membutuhkan pertolongan. Dan aku kebetulan memiliki sedikit
pengetahuan tentang ilmu pengobatan. Tidak ada salahnya aku mencoba
untuk menolongmu kendati kita belum saling kenal, dan mungkin kau menganggapku
sebagai musuh."
Jawaban agak panjang itu tampaknya yang
diinginkan Nenek Muda Setan. Wajahnya kembali
dijalari keheranan besar. Dan ia menatap wajah
Panji lekat-lekat
"Anak muda, kau tahu siapa sebenarnya aku"
Aku adalah seorang dedengkot golongan hitam yang kejam dan ganas. Aku dijuluki
sebagai Nenek Muka Setan! Entah sudah berapa ratus nyawa yang kukirim ke neraka.
Dan setelan kesehatanku pulih,
aku kembali akan membunuh orang. Nah, bukan-
kah itu berarti bahwa kau ikut terkena dosanya"
Karena kalau kau tidak mengobati aku, pasti se-
karang aku sudah tidak bernyawa lagi. Dengan
membuat aku sehat kembali, sama saja dengan
memberikan kesempatan kepadaku untuk mengu-
lang segala kejahatanku. Bahkan mungkin aku se-
makin bertambah ganas. Dan kau akan menyesal
karena telah menolongku. Karena kau pun akan
kubunuh!" ujar Nenek Muka Setan yang sempat membuat Panji kaget, karena nama
tokoh ini sudah pernah didengarnya.
"Tidak, aku sama sekali tidak menyesal dengan apa yang telah kulakukan. Tidak
peduli orang itu baik atau jahat. Jika aku mampu, aku akan berusaha memberikan
pertolongan Memberikan perto-
longan kepada sesama umat manusia adalah
kewajiban."
Nenek Muka Setan terdiam setelah mendengar
jawaban Panji. Ditariknya napas dalam-dalam. Se-
pasang matanya yang mulai pudar karena usia tua
itu, tampak membasah. Kemudian terdengar suara
paraunya yang mengandung keharuan atas apa
yang diucapkan dan dilakukan Pendekar Naga Pu-
tih. "Dari semenjak aku lahir hingga menjadi nenek-nenek seperti sekarang, baru kali
ini aku bertemu dengan orang berhati mulia dan berpandangan luas sepertimu, Anak
Muda. Dan, aku berjanji tidak akan membuat kau kecewa telah menolongku. Karena
mulai saat ini aku akan meninggalkan perbuatan-
perbuatan jahatku. Hhh..., aku ingin tahu siapa
nama orang yang telah membuat mata batinku
terbuka." "Namaku Panji, Nek Aku ikut senang mendengar tekad yang telah kau ambil," sahut
Panji memperkenalkan namanya.
"Julukanmu, Panji. Melihat tingkat kepandaianmu, Kau...?" tiba-tiba saja Nenek
Muka Setan menghentikan ucapannya yang belum selesai. Karena
ketika tanpa sadar memperhatikan Panji dia teringat dalam pertarungan tadi
pemuda itu dapat meng-imbanginya. Nenek Muka Setan dapat menduga
siapa sesungguhnya pemuda tampan yang ada di
hadapannya itu.
"Kaukah yang dijuluki Pendekar Naga Putih?"
tanya Nenek Muka Setan hendak memastikan
dugaannya. "Kira-kira begitulah, Nek," jawab Panji dengan suara perlahan.
Tiba-tiba saja meledaklah tawa Nenek Muka
Setan. Terus berkepanjangan sampai air matanya
keluar. "Hih hih hih...! Siapa sangka kalau orang yang telah membuka mata batinku adalah
seorang pendekar besar yang namanya menggetarkan jagad!"
ujar Nenek Muka Setan yang tampaknya semakin
bertambah gembira setelah tahu bahwa yang me-
nolong dan membuatnya sadar dari kesesatan ter-
nyata Pendekar Naga Putih.
Setelah puas tertawa sebagai pelampiasan ke-
gembiraannya, Nenek Muka Setan bangkit dan du-
duk berhadapan dengan Panji. Ditatapnya wajah
Panji lekat-lekat dengan sorot kekaguman yang
tidak disembunyikan, membuat yang ditatap men-
jadi agak risih.
"Hhh...! Sungguh sayang, muridku satu-satunya telah tewas. Kalau tidak, aku akan
menjodohkannya denganmu, Panji. Dan aku sudah bersumpah untuk
mencari dan membunuh orang yang telah me-
newaskannya...!" ujar Nenek Muka Setan dengan suara bergetar, sedih teringat
akan kematian murid tunggalnya.
"Celakanya
usahaku yang hampir berhasil itu digagalkan orang. Bahkan aku sendiri nyaris tewas di tangannya...."
"Jadi kau terluka dalam oleh orang yang membunuh muridmu?" tanya Panji
menegaskan, kendati ia mendengar ucapan nenek itu dengan jelas.
"Bukan. Yang melukaiku adalah Gada Peng-
hancur Tulang. Manusia licik itu muncul dan menawarkan bantuan dengan
mengharapkan imbalan
mendapat jabatan di kotaraja," jawab Nenek Muka Setan yang merasa geram
Pedang Pembunuh Naga 4 Jaka Sembung 8 Menumpas Gerombolan Lalawa Hideung Pendekar Sakti Suling Pualam 3
^