Pencarian

Budak Nafsu Terkutuk 1

Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk Bagian 1


BUDAK NAFSU TERKUTUK
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : A Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Budak Nafsu Terkutuk
128 hal.; 12x18 cm
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Adnan Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
1 "Haiiit... Heaaah...!"
Suara bentakan keras menggetarkan terdengar
dari dalam sebuah bangunan besar yang sekelilingnya dipagari kayu bulat setinggi
satu setengah tombak. Sosok tubuh bertelanjang dada, tampak tengah bergerak ke
kiri dan kanan dengan kuda-kuda yang kokoh bagaikan batu karang. Geseran-geseran
tubuhnya disertai dengan lontaran pukulan tangan yang menerbitkan angin menderu.
Rupanya dari sosok yang tengah berlatih silat inilah suara-suara bentakan keras tadi
terdengar. Sosok bertelanjang dada ini memang telah cukup
lama berlatih ilmu tangan kosong. Dan ia meng-
akhirinya dengan sebuah bentakan yang disusul
lompatan ke belakang, sejauh hampir dua tombak.
Entah kapan tangannya bergerak, tahu-tahu di
tangan kanannya telah tergenggam sebatang golok.
Kemudian ia mulai berlatih kembali. Kali ini dengan menggunakan goloknya yang
setiap kali bergerak,
mendatangkan suara angin berkesiutan.
"Hyaaat..!"
Beberapa jurus kemudian, sosok bertelanjang
dada ini kembali mengeluarkan bentakan yang me-
lengking tinggi. Disusul dengan lentingan tubuhnya sambil melakukan babatan yang
cepat bukan main!
Baru kemudian meluncur turun dengan ringannya.
Sedang golok di tangannya tampak telah tersimpan di pinggangnya. Caranya
menyimpan senjata, yang
cepat dan nyaris tak terlihat, menandakan kalau sosok bertubuh kekar ini seorang
yang cukup ahli
dalam ilmu golok.
Tepat pada saat sosok bertelanjang dada ini
mengakhiri permainannya, terdengar suara tepukan tangan yang membuatnya menoleh.
Terlihat sesosok perempuan
berwajah manis tengah tersenyum kepadanya. Perempuan inilah yang bertepuk tangan seraya melontarkan kata-kata
pujian. "Permainan golokmu sudah pesat sekali kema-
juannya, Kakang Sujiwa. Aku benar-benar kagum
melihatnya. Tampaknya ketekunanmu selama ini
tidak sia-sia...," ujar perempuan muda itu seraya mengayunkan langkah
menghampiri lelaki berdada
bidang yang dipanggil Sujiwa.
"Ah.... Kunrini, hasil yang sekarang kucapai ini masih jauh dari sempurna. Belum
sepertiga dari kepandaian Guru..."
Sujiwa, pemuda bermata tajam dengan raut
wajah mencerminkan kejantanan ini berkata meren-
dah. Dia pun mengayunkan langkah menyambut
kedatangan gadis bernama Kuntini.
Kuntini hanya tersenyum, tidak menimpali ucapan Sujiwa. Tanpa berbicara sepatah kata pun, ia segera mengeluarkan sehelai
sapu tangan yang
terbuat dari kain kasar berwarna putih. Kemudian disusutnya peluh yang membasahi
wajah Sujiwa sambil menatap penuh kemesraan. Pemuda itu ter-
senyum bahagia. Ditangkapnya kedua pergelangan
tangan Kuntini. Ditariknya perlahan, hingga tubuh gadis itu jatuh ke dalam
pelukannya. "Jangan, Kakang, nanti dilihat orang...!" cegah Kuntini ketika Sujiwa hendak
mengecup bibirnya.
Gadis ini merundukkan kepala, hingga bau harum
Limburnya tercium oleh Sujiwa. Membuat getaran
dalam dada pemuda itu semakin menyentak.
"Tidak ada orang lain di tempat ini, Kuntini...,"
bisik Sujiwa setelah memperhatikan sekeliling taman belakang bangunan tempat ia biasa melatih
ilmu-ilmunya. Dikecupnya rambut kepala Kuntini
dengan segenap perasaan kasihnya.
"Ahhh...," Kuntini mendesah dengan dada berdebar. Namun ia tidak berusaha
mengelak ketika
Sujiwa mengecup pipinya yang menjadi kemerahan.
"Sudah, Kakang...."
Sujiwa menunda keinginannya untuk mengecup
bibir ranum Kuntini ketika gadis itu memalingkan wajahnya menghindar. Sujiwa
malah tersenyum ketika Kunrini mendorong tubuhnya, hingga pelukan-
nya terlepas. "Keringat Kakang berbau kecut..," goda Kuntini sambil memijit hidungnya.
Kemudian bergerak mundur seolah tubuh Sujiwa memang berbau kecut.
'Tapi kau suka, kan" Buktinya kau tak menolak
kupeluk...," balas Sujiwa mencoba mengejar dan menangkap tubuh Kuntini. Gadis
itu terus berlari dan menghilang di balik daun pintu. Hanya tawa
manjanya yang masih terdengar menggelitik telinga Sujiwa.
"Awas kau nanti...," desis Sujiwa tersenyum dengan sinar mata berkilat, ketika
wajah Kuntini kembali menyembul dari balik pintu untuk kemudian lenyap. Sujiwa
hanya tertawa gemas melihat
kemanjaan kekasihnya.
*** Selesai membersihkan tubuh di air pancuran,
Sujiwa bergegas menghadap Ki Dawung, guru yang
selama belasan tahun telah mendidiknya. Sujiwa
merupakan murid terkasih, yang telah mewarisi lebih dari sepertiga kepandaian
gurunya. Namun se-
mua itu sama sekali tidak membuatnya besar kepa-
la. Terhadap saudara-saudara seperguruan ia tetap berlaku sopan dan hormat.
Sehingga sangat disukai baik oleh saudara-saudara seperguruan maupun
para sesepuh perguruan. Bahkan ketika menjalin
cinta dengan Kuntini, putri tunggal gurunya, dia malah mendapat restu.
Sujiwa merasa dirinya benar-benar beruntung.
Karena selain berwajah cantik dan manis, Kuntini pun memiliki ilmu kepandaian
yang tidak berselisih jauh dengannya. Dirinya juga sadar bahwa gadis
seperti putri Ki Dawung tentu menjadi idaman se-
tiap pemuda. Siapa sangka kalau justru dirinyalah yang beruntung dapat memikat
hati Kuntini. Agak heran juga hati Sujiwa ketika melihat mu-
rid-murid perguruan telah berbaris rapi di depan bangunan utama. Dia sendiri
tinggal di salah satu bangunan kecil yang banyak mengelilingi bangunan utama
perguruan, tempat tinggal Ki Dawung dan
keluarganya. Melihat semua itu, hati Sujiwa berdebar. Tidak biasanya diadakan
persiapan yang demikian rapi, seolah gurunya tengah menantikan kedatangan tamu
terhormat. "Guru...," Sujiwa menghormat seraya merang-kapkan telapak tangannya di depan
wajah yang tertunduk. Kemudian ia langsung mengambil tempat di antara para
sesepuh perguruan, setelah mendapat
perkenan dari Ki Dawung.
"Saudara-saudara-ku sekalian...." Ki Dawung, Ketua Perguruan Tapak Jalak,
membuka pertemuan
dengan suara beratnya. Sepasang matanya yang
tajam laksana mata elang, beredar memperhatikan
wajah-wajah yang menghadiri pertemuan ini.
"Sebuah peristiwa besar yang sekaligus merupakan kehormatan bagi perguruan ini,
akan segera kita alami Salah seorang murid telah melaporkan, bahwa desa tempat
perguruan kita berada telah
disinggahi oleh Gusti Pangeran. Sebenarnya beliau sedang dalam perjalanan pulang
sehabis berburu.
Ketika melewati desa ini, tiba-tiba beliau memutuskan untuk singgah melepaskan
lelah...."
Sampai di sini Ki Dawung menghentikan ucap-
annya. Senyumnya mengembang ketika melihat
wajah-wajah yang hadir dalam pertemuan itu me-
nunjukkan tanda tanya besar. Karena apa yang di-
ceritakan Ki Dawung memang belum terlihat adanya hubungan dengan Perguruan Tapak
Jalak. Setelah kembali mengedarkan pandangannya
kepada semua yang hadir, Ki Dawung kembali me-
lanjutkan ucapannya.
"Sepanjang yang aku ketahui, Gusti Pangeran Sokapanca sangatlah gemar akan ilmu
silat. Hal inilah yang membuat aku memerintahkan agar kalian
semua bersiap. Sebab, bukan tidak mungkin kalau
beliau akan datang mengunjungi perguruan kita"
Mendengar kelanjutan ucapan Ki Dawung, baru-
lah semua yang hadir mengerti duduk perkaranya.
Mereka sama menganggukkan kepala dari saling
berbisik satu sama lain. Sehingga untuk beberapa saat suasana di dalam ruangan
dipenuhi gaung yang mirip suara sekumpulan lebah. Suasana baru
kembali tenang setelah Ki Dawung memberikan
isyarat dengan tepukan tangan perlahan dan ber-
irama. Ki Dawung yang semula hendak memberikan
beberapa pesan ataupun petunjuk, segera menun-
danya. Karena saat itu seorang murid melaporkan
bahwa orang yang tengah dibicarakan sudah hampir tiba dengan diiringi selusin
prajurit. Langsung saja Ketua Perguruan Tapak Jalak itu memerintahkan
agar pintu gerbang dibuka lebar-lebar. Dia sendiri segera melangkah ke luar
ruangan diikuti yang
lainnya. Saat itu, seorang lelaki berusia muda berpakaian pemburu, duduk di atas punggung
kuda yang melangkah perlahan memasuki pintu gerbang. Sikap-
nya sangat anggun dan berwibawa. Kepalanya
diangkat tegak dengan tatapan lurus ke depan. Namun tarikan bibirnya tampak
mencerminkan watak
yang angkuh dan memandang rendah orang lain.
Dan ia tetap berada di atas punggung kudanya,
kendati telah tiba di hadapan Ki Dawung.
Ki Dawung sendiri tidak berani berlama-lama
menatap pandang mata pemuda tampan berpakaian
pemburu di hadapannya. Karena dia dapat menduga
bahwa pemuda itu pastilah Pangeran Sokapanca.
Lelaki tua itu segera menjatuhkan diri dengan sebelah kaki menekuk. Sikap ini
diikuti seluruh murid maupun para sesepuh Perguruan Tapak Jalak yang
berada di belakang Ki Dawung.
"Hamba Ki Dawung, menghaturkan sembah
kepada Gusti Pangeran, dan mengucapkan selamat
datang di tempat yang buruk ini. Karena kedatang-an Paduka terlalu mendadak,
kami tidak sempat
mempersiapkan sambutan yang semestinya. Harap
Paduka sudi memaafkan kami...," ucap Ki Dawung tetap dengan kepala tertunduk
"Hm..., aku maklum. Bangkitlah, Ki Dawung!"
ujar Pangeran Sokapanca yang kemudian turun dari punggung kudanya. Perbuatannya
ini segera diikuti oleh dua belas orang pengawal yang mengenakan
seragam keprajuritan.
"Silakan Gusti Pangeran...!" ujar Ki Dawung seraya bergeser memberi jalan kepada
Pangeran Sokapanca untuk memasuki bangunan utama.
Namun Pangeran Sokapanca sudah tidak mem-
perhatikan atau mendengarkan ucapan Ki Dawung.
Sepasang matanya telah melekat erat pada seraut
wajah cantik manis, yang berdiri tak jauh belakang Ki Dawung. Tatapan tajam dan
mengandung hasrat
dari mata Pangeran Sokapanca membuat si pemilik
wajah cantik manis menundukkan kepala.
"Menurut kabar yang sampai ke telingaku, perguruan ini banyak menghasilkan orang
pandai. Nah, maksud kunjunganku ke sini untuk menyaksikan
dan membuktikannya. Tentu saja kalau kau tidak
keberatan, Ki Dawung...," ujar Pangeran Sokapanca sambil melangkah di samping Ki
Dawung. Nada suaranya terdengar sinis dan terkesan memandang
rendah. "Kabar itu terlalu dilebih-lebihkan, Gusti. Lagi pula, mana mungkin kami dapat
disejajarkan dengan kepandaian jago-jago istana?" sahut Ki Dawung merendah.
Karena dia memang tidak pernah
menggembar-gemborkan kepandaian atau perguru-
annya. Namun bukan berarti bahwa hatinya tidak
merasa tersinggung mendengar ucapan sinis itu. Kalau saja yang mengucapkannya
bukan seorang pa-
ngeran, sudah pasti dia tidak bisa terima begitu saja.
"Meskipun memang benar begitu, tapi aku tetap ingin menyaksikan ilmu silat
perguruanmu, Ki Dawung. Kuminta kau tak keberatan untuk memper-
lihatkannya," ujar Pangeran Sokapanca yang menghentikan langkahnya dan menoleh
ke arah Ki Dawung. Permintaan seorang pangeran sama artinya dengan sebuah perintah yang tidak bisa ditolak. Ki Dawung tahu itu. Maka segera
diantarkannya Pangeran Sokapanca menuju halaman samping ba-
ngunan, yang merupakan arena berlatih silat. Ki Dawung segera memerintahkan


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

murid-muridnya untuk
menyiapkan kursi bagi Pangeran Sokapanca.
Karena segala sesuatunya memang selalu sudah
dipersiapkan, maka perintah Ki Dawung segera tersedia hanya dalam beberapa
menit. Pangeran Soka-
panca duduk di samping Ki Dawung. Sedang dua
orang perwira yang selalu berada di dekat sang
Pangeran, duduk tepat di belakang junjungannya.
Arena laga sendiri berada di sebelah bawah mereka.
Ki Dawung memanggil dua orang sesepuh per-
guruan. Mereka adalah Barnaba dan Sanggaling.
Keduanya berusia sekitar lima puluh tahun. Namun wajah mereka terlihat sehat dan
segar. Mereka langsung saling berhadapan setelah memberi hormat
kepada Pangeran Sokapanca dan Ki Dawung.
Barnaba dan Sanggaling telah bergerak mundur
mempersiapkan kuda-kuda untuk berlaga. Kemu-
dian sama bergerak ke arah yang berlawanan.
"Sambutlah
seranganku. Adi Sanggaling. Hyyaatt!" Barnaba membuka serangan lebih dulu. Tubuh-
nya melesat ke depan dengan gerakan ringan. Dan
langsung mengirimkan cengkeraman lurus meng-
arah ke kepala dengan tangan kanannya. Sedang
tangan kiri bergerak dari bawah ke atas, mengan-
cam lambung lawan. Lelaki berpakaian putih itu
mengirimkan dua serangan sekaligus dalam gebra-
kan pertama. Melihat dua buah serangan hebat itu, Sanggaling
segera menggeser langkah ke belakang. Dia tahu
bahwa dua serangan itu sangat sulit untuk di-
bendung. Selain gerakannya sangat cepat, juga mengandung gerak tipu yang
perubahannya tak ter-
duga. Karena tidak ingin mendapat celaka pada gerakan pertama, lelaki,
berpakaian kuning itu me-
mutuskan untuk menghindar.
Barnaba yang maklum akan kecerdikan adik
seperguruannya, segera merubah serangan. Kali ini dia melakukan lompatan panjang
dengan kedua tangan terulur mengancam bahu Sanggaling. Jari-jari tangannya yang
terisi tenaga dalam tampak bergetar. Serangan ini jauh lebih berbahaya, karena
jari-jari Barnaba sangat kuat dan sanggup meremukkan
batu karang! Apalagi hanya tubuh manusia.
Sanggaling tidak membiarkan kedua bahunya
begitu saja dicengkeram. Anehnya kali ini ia tidak bergerak mundur. Hanya
menggeser kaki belakangnya ke depan. Seolah ia nekat hendak menye-
rahkan tubuhnya untuk dicengkeram lawan. Sam-
pai-sampai Barnaba sendiri sempat dibuat kaget
oleh perbuatan adik seperguruannya yang dianggap menantang maut. Namun ia tidak
bisa menarik kembali serangannya, karena jarak sudah terlam-
pau dekat. Whuuuttt...! Sepasang cengkraman Bamaba lewat di sebelah
atas tubuh Sanggaling Karena saat cengkeraman
maut itu nyaris mengenai sasaran, mendadak Sang-
galing memdoyongkan tubuh ke belakang, sekaligus mengirimkan sebuah tendangan
lurus ke perut Sanggaling. "Aaah..."!"
Barnaba memekik tertahan ketika melihat se-
rangan balasan Sanggaling. Untuk menghindarinya
jelas sudah tertambat Jalan satu-satunya harus menyalurkan tenaga dalam ke
sasaran tendangan itu.
Sehingga, kalaupun tidak bisa mengelak, tubuhnya telah terlindungi tenaga dalam.
Itu memungkinkan dirinya tidak mengalami luka dalam.
Buk...! Saat tendangan itu menyentuh perutnya, Bar-
naba masih berusaha mengurangi luka yang bakal
dialami dengan jalan mengikuti tenaga tendangan
lawan. Sehingga, begitu terkena tendangan, tubuhnya langsung terlempar deras.
Dan itu memang di-
sengaja oleh Barnaba, yang berusaha menjaga ke-
seimbangan tubuhnya. Akhirnya dia dapat menda-
rat dengan selamat tanpa mengalami cidera, ken-
dati wajahnya tetap kelihatan pucat
Wajah Ki Dawung berseri demi melihat kecer-
dikan Barnaba. Hatinya merasa bangga karena ke-
dua orang murid utamanya dapat menyuguhkan
pertarungan dengan baik dan penuh kesungguhan
hati. Lelaki tua itu tersenyum tipis penuh kepuasan.
Tidak demikian halnya dengan Pangeran Soka-
panca. Terlihat ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Ini dilakukan bukan karena merasa kagum dengan
jalannya pertarungan yang seru dan menenangkan,
melainkan karena merasa tidak puas. Dia mengang-
gap pertunjukan itu tidak mendatangkan keuntu-
ngan baginya. "Sudahi pertempuran kedua orang jagomu itu, Ki Dawung! Mereka terlalu lambat dan
kelihatan masih enggan untuk mengeluarkan jurus-jurus andalan
masing-masing. Jalannya pertarungan kelihatan
tidak menarik!" ujar Pangeran Sokapanca yang tentu saja membuat wajah Ki Dawung
berubah agak kelam. Ki Dawung menekan rasa jengkelnya. Ucapan
Pangeran Sokapanca jelas merupakan penghinaan
baginya. Dia tahu betul kalau kedua orang murid
andalannya bertarung dengan sungguh-sungguh,
dan telah menggunakan ilmu andalan masing-ma-
sing. Namun dia tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian mengeluarkan perintah agar
Barnaba dan Sanggaling menghentikan pertarungan.
Meskipun merasa heran, Bamaba dan Sanggaling
tidak membantah perintah sang Guru. Keduanya
bergegas keluar dari arena tanpa berkata apa-apa.
"Ki Dawung...."
Panggilan Pangeran Sokapanca membuat Ki Da-
wung menunda maksudnya menampilkan Sujiwa.
Dia menoleh dengan sikap yang tetap penuh hormat
"Apakah murid perempuan itu berada di bawah tingkat kedua orang tadi...?" tanya
Pangeran Sokapanca menyembunyikan rasa tertariknya kepada
gadis muda yang sejak semula telah menarik perhatiannya.
"Maaf, Gusti! Gadis itu adalah putri tunggal hamba...," sahut Ki Dawung dengan
suara rendah. Dia berusaha menyembunyikan rasa kagetnya meli-
hat betapa Pangeran Sokapanca menaruh perhatian
terhadap putri tunggalnya. Meskipun pangeran itu berusaha menyembunyikan
perasaannya, tapi sebagai orang yang berpengalaman, Ki Dawung menge-
tahui. "Ahhh...!" dengan pandainya Pangeran Sokapanca berpura-pura kaget. Padahal sejak
semula ia sudah merasa curiga dan menduga bahwa-gadis yang
menarik perhatiannya itu pastilah mempunyai hu-
bungan erat dengan Ki Dawung. Karena dari sekian banyaknya murid Perguruan Tapak
Jalak, cuma satu yang wanita. Dan jawaban Ki Dawung mem-
buat Pangeran Sokapanca manggut-manggut.
"Hm..., jika demikian... eh, apakah putrimu sudah menikah, Ki Dawung?"
"Belum, Gusti Pangeran...," sahut Ki Dawung mulai dapat meraba apa yang bakal
dikatakan pange-
ran itu selanjutnya.
"Hm... sudahi saja pertunjukan ini, Ki Dawung.
Dan langsung saja kusampaikan bahwa aku merasa
tertarik dengan putri tunggalmu itu. Terlebih ia melupakan keturunan seorang
pendekar. Hm... kalau
kau tidak berkeberatan, aku ingin mengambilnya
sebagai selir. Bagaimana" Aku ingin dengar jawab-annu?" ujar Pangeran Sokapanca
yang nada suaranya berubah agak ramah. Tentu saja karena mem-
punyai maksud terhadap putri Ketua Perguruan
Tapak Jalak "Hm... sangat menyesal, Gusti. Kuntini sudah hamba jodohkan dengan murid hamba
sendiri...,"
karena permintaan Pangeran Sokapanca terlalu
tiba-tiba, dan Ki Dawung tidak ingin putri tunggalnya dijadikan selir, alasan
itu terpaksa dikemukakan. tentu saja dengan harapan agar Pangeran
Sokapanca membatalkan niatnya
"Ha ha ha...! Itu tidak jadi masalah, Ki Dawung.
Ingat aku adalah seorang pangeran. Apabila lamaranku kau terima, perguruan ini
akan kuperbesar
hingga menjadi terkenal di kalangan persilatan. Dan kau pun akan kaya mendadak,
Ki Dawung!" tukas Pangeran Sokapanca yang ternyata tidak peduli
meskipun gadis yang diincarnya telah dijodohkan
dengan orang lain.
'Tapi...," Ki Dawung masih berusaha menolak secara halus.
"Tidak ada kata tetapi, Ki Dawung! Kau lihat, lamaran ini kuajukan dengan
disaksikan kedua
orang pengawal pribadiku! Tentunya kau tak ingin dianggap sebagai pemberontak,
bukan" Nah, kuberi kau waktu dua hari! Jika tidak..., kau akan menyesal seumur
hidup!" Setelah berkata demikian, Pangeran Sokapanca
bangkit dari duduknya. "Mari, kita pergi..!" ujarnya kepada dua orang perwira
yang ada di belakangnya.
Tanpa menoleh lagi, Pangeran Sokapa langsung
meninggalkan bangunan Perguruan Tapak Jalak!
Diiringi dua belas orang pengawal yang merupakan prajurit-prajurit pilihan itu.
Tinggallah Ki Dawung yang masih duduk ter-
mangu di kursinya. Wajah lelaki tua yang kelihatan masih segar dan sehat ini
mendadak layu dan murung. Karena mendadak dirinya dihadapkan pada
pilihan yang sulit Jika menolak, ia akan dianggap pemberontak! Sedang untuk
menerima jelas tidak
mungkin. Dirinya telanjur sudah merestui hubu-
ngan Kuntini dengan Sujiwa, murid utama termuda
dan terlihai di antara murid-murid lainnya. Ki
Dawung tak mungkin menghancurkan hati putrinya
dan juga murid tersayangnya.
"Celaka...!" desis Ki Dawung seraya melemparkan pandangan ke hamparan langit
biru. Keningnya
tampak berkerut dalam, menandakan betapa hati
lelaki tua itu tengah dilanda keresahan dan kecemasan yang hebat.
Murid-murid Perguruan Tapak Jalak sendiri men-
jadi keheranan ketika Pangeran Sokapanca tiba-tiba meninggalkan tempat itu
bersama rombongannya.
Namun mereka tentu saja tidak berani untuk ber-
tanya, kecuali saling berbisik satu sama lain,
menyatakan keheranannya.
Rasa heran juga merasuki hati Sujiwa, Kuntini,
Banaba, dan Sanggaling. Mereka saling bertukar
pandang satu sama lain, yang pada akhirnya sama
mengangkat bahu tanda tak mengerti. Terlebih
ketika melihat betapa sepeninggal Pangeran Soka-
panca bersama rombongannya wajah Ki Dawung
tampak murung dan menyiratkan kecemasan.
Ketika melihat Ki Dawung bergerak bangkit dan
melangkah menuju ruang utama, keempatnya sa-
ling memberi isyarat untuk mengikuti.
"Ayah...!" Kuntini mendahului yang lainnya menghampiri Ki Dawung yang berdiri di
muka jendela, dan tengah memandang keluar.
"Guru...!"
Sujiwa, Barnaba, dan Sanggaling langsung ber-
lutut di dekat sang Ketua. Mereka tidak berani untuk langsung bertanya, hanya
menunggu penjelasan dari Ki Dawung.
Ki Dawung yang tahu kalau putri dan murid-
murid utamanya menyusul ke dalam, bergerak me-
ninggalkan jendela. Kemudian menghempaskan tubuhnya di kursi yang terdapat di tengah ruangan utama itu. Setelah menarik
napas berat beberapa
saat, Ki Dawung pun menjelaskan apa yang menjadi beban pikirannya.
Bukan main terkejutnya hati Kuntini maupun
ketiga orang murid utama Ki Dawung. Terlebih Su-
jiwa yang mempunyai kaitan langsung dengan per-
soalan ini. Wajah pemuda itu sebentar merah se-
bentar pucat. la tidak tahu perasaan apa yang tengah berkecamuk di dalam
hatinya. Hingga, untuk
beberapa saat lamanya ruangan ini menjadi hening.
"Guru...," akhirnya suara parau Sujiwa meme-cahkan keheningan. Kelihatan sekali
betapa Sujiwa berusaha keras menekan rasa sedih, marah, serta
benci yang berkecamuk di dalam hatinya. Wajahnya berkerut-kerut seperti orang
tengah menahan rasa sakit yang luar biasa. Ki Dawung, Barnaba, dan
Sanggaling tampak merasa kasihan. Mereka tahu
kalau berita itu merupakan sebuah pukulan batin
yang sangat berat bagi Sujiwa.
"Guru..., sudah terlalu besar budi baik yang kau limpahkan kepadaku. Belasan
tahu aku dididik
hingga menjadi seperti sekarang ini. Dan rasanya ini adalah saat yang tepat
bagiku untuk membalas
segala kebaikan yang selama ini kau berikan kepadaku. Aku... aku bersedia
memutuskan hubungan-
ku dengan Kuntini demi keselamatan Guru seke-
luarga serta perguruan ini. Yang selama ini aku dapatkan pun sudah terlalu
besar. Dan aku tidak berani mengharapkan lebih...."
Setelah berkata demikian, Sujiwa menundukkan
wajahnya yang menjadi pucat. Sebab, meskipun ia
benar-benar rela melepaskan Kuntini, namun pera-
saannya tidak bisa dibohongi. Sujiwa terlalu men-cintai gadis itu. Membayangkan
betapa sang Keka-
sih akan dijadikan selir Pangeran Sokapanca yang menurut penglihatannya sangat
sombong itu, hatinya bagaikan disayat-sayat. Namun ditekannya
segala perasaan itu. Menurutnya yang dilakukan sekarang, sama sekali belum dapat
menebus budi baik sang Guru, yang telah merawat dan mendidiknya
selama belasan tahun.
Namun ucapan Sujiwa yang setulus hati itu ba-
gaikan sebuah mata tombak yang menghujam jan-
tung Kuntini. Sehingga, gadis yang biasanya selalu riang ini, menjadi pucat
seketika. Kalau Ki Dawung, Bamaba, dan Sanggaling memuji tindakan Sujiwa
yang mereka anggap merupakan sebuah pengorba-
nan tidak kecil, Kuntini justru menganggap bahwa ucapan kekasihnya merupakan


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah penghinaan!
Dan Kuntini menjadi sangat marah terhadap Sujiwa.
"Sujiwa!" bentak Kuntini yang saking marahnya tidak lagi menyebut Sujiwa dengan
panggilan "ka-kang". Dan ia sudah melangkah maju sembari
menudingkan jarinya ke wajah Sujiwa. "Kau kira aku ini apa! Seenaknya saja kau
hendak menyerahkan aku kepada pangeran sombong yang mata ke-
lanjang itu! Aku bukan barang yang bisa kau lem-
par-lemparkan. Enak saja kau bersikap seperti itu.
Aku manusia yang mempunyai perasaan sama se-
pertimu! Kalau kau memang sudah tidak suka kepa-
daku, katakan saja terus terang! Tidak perlu menggunakan dalih dengan menyatakan
kerelaanmu me- lepasku untuk pangeran bejad itu! Kau benar-benar tak punya harga diri...!"
Menggigil tubuh Sujiwa mendapat kecaman dari
orang yang sangat disayanginya itu. Wajahnya se-
makin pucat. Butiran peluh mulai membasahi ke-
ningnya. Kerutan pada wajahnya semakin nyata,
betapa pedih hatinya mendapat tuduhan yang sama
sekali tidak pernah terlintas dalam pikirannya.
Kepalanya semakin menunduk dalam-dalam. Ken-
dati ia mendengar betapa Kuntini berian mening-
galkan ruangan itu disertai isak tangisnya. Hati Sujiwa seperti diremas-remas
merasakan kesedihan
yang dialami kekasihnya Hu.
"Biarkan!" cegah Ki Dawung ketika melihat Sujiwa hendak mengejar Kuntini. "Ia
hanya salah paham. Biar aku yang menjelaskannya. Aku tetap
akan menolak keinginan Pangeran Sokapanca, apa
pun yang bakal terjadi! Selain itu, perguruan ini akan kububarkan. Aku tidak
ingin murid-muridku
terlibat dalam persoalan ini, yang bisa menda-
tangkan celaka bagi mereka. Biar aku sendiri yang akan menghadapi Pangeran
Sokapanca! Ini sudah
menjadi keputusanku, dan tidak bisa dirubah!"
Setelah berkata demikian, Ki Dawung bergerak
meninggalkan ruangan itu tanpa menoleh. Tinggal-
lah Sujiwa, Bamaba, dan Sanggaling yang masih
duduk terpaku bagai patung. Sungguh mereka tidak menyangka kalau kedatangan tamu
agung barusan akan membawa malapetaka dan kehancuran bagi
perguruan mereka.
"Si keparat...!" umpat Bamaba mengepal tinjunya erat-erat dengan sorot mata
berapi. Hatinya benar-benar marah kepada Pangeran Sokapanca yang
menjadi penyebab malapetaka itu.
"Daripada menunggu datangnya kehancuran,
lebih baik aku mengadu nyawa dengan pangeran
bangsat itu...!" geram Sanggaling yang bergerak bangkit dan siap untuk
melaksanakan ucapannya.
"Tidak! Akulah yang bertanggung jawab atas
semua ini! Biar aku saja yang datang menemui pa-
ngeran mata keranjang itu!" cegah Sujiwa yang merasa paling bersalah dalam hal
itu. Karena menurutnya gara-gara ia menjalin cinta dengan Kuntini,
keruwetan ini timbul. Kalau tidak, mungkin akan
lain ceritanya. Demikian pikiran yang terlintas dalam benak Sujiwa Dia sudah
bangkit ingin segera
menemui Pangeran Sokapanca, yang belum me-
ninggalkan desa tempat Perguruan Tapak Jalak berada.
"Berhenti!"
Tiba-tiba terdengar bentakan menggelegar, yang
membuat ketiga orang itu terlonjak saking ter-
kejutnya. Muncullah Ki Dawung dengan sinar mata
berkilat penuh kemarahan!
"Guru...!" ketiganya segera menjatuhkan diri ber-lurut, ketika melihat Ki
Dawung. Tak seorang pun yang berani mengangkat
wajah melihat sinar kemarahan di mata orang tua itu.
"Jika kalian bertiga atau salah satu dari kalian hendak bertindak menurutkan
kata hati sendiri, silakan langkahi dulu mayatku!" ujar Ki Dawung dengan suara
menggeleng, kemudian ketiga muridnya menjadi terkejut dan pucat seketika!
"Guru...!"
Sujiwa, Barnaba, Dan Sanggaling sama-sama
mengeluarkan suara lirih. Mereka tentu saja tidak berani untuk melanjutkan niat
mereka semula, karena Ki Dawung kelihatan tidak main-main. Padahal apa yang
dilakukan Ki Dawung demi keselamatan
murid-muridnya. Dia tidak Ingin ketiga orang murid utamanya itu menjadi korban
persoalan pribadinya.
Setelah beberapa saat berdiri menantang, tak
satu pun dari ketiga murid utamanya yang bangkit, Ki Dawung mendengus. Kemudian
bergerak meninggalkan tempat itu.
Sujiwa, Barnaba, dan Sanggaling tetap belum
bergerak kendati ketiganya tahu bahwa guru mereka sudah tidak lagi berada di
ruangan itu. Mereka
masih belum mengerti mengapa guru mereka sam-
pai bersikap demikian" Padahal mereka semua siap mempertaruhkan nyawa demi guru
dan perguruannya yang mereka cintai. Namun keputusan sudah
dibuat. Dan mereka tidak bisa mengubahnya lagi,
kecuali kalau ingin berhadapan sebagai musuh de-
ngan guru yang selama ini mendidik mereka.
Setelah lama tertunduk ketiganya pun bangkit.
Setelah mereka saling bertukar pandang. Kemudian beranjak meninggalkan ruangan
itu, hendak menyampaikan kepada semua murid Perguruan Tapak
Jalak atas keputusan Ki dawung untuk mambu-
barkan perguruan.
* * * 2 Waktu yang ditetapkan Pangeran Sokapanca tiba.
Ki Dawung sudah duduk menunggu dengan sikap
yang tenang. Orang tua ini sudah mengambil ke-
putusan bulat untuk mengorbankan dirinya demi
putr? tunggalnya yang tercinta.
Saat itu hari masih pagi Sinar matahari belum
merata di permukaan tanah. Siliran angin pun ma-
sih terasa sejuk. Suasana masih terasa hening, sampai akhirnya sayup-sayup
terdengar suara derap
kaki kuda menuju ke Perguruan Tapak Jalak. Dan
suara itu sudah sampai ke telinga Ki Dawung, yang memang sudah menunggu sejak
tadi. Suasana perguruan sepi. Tak seorang murid pun
yang terlihat. Pintu gerbang perguruan sengaja
dibuka lebar-lebar. Kini Ki Dawung berdiri tegak menghadap ke pintu. Lelaki tua
yang masih kekar
ini sudah mengenakan pakaian ringkas, la memang
tudah siap untuk menghadapi segala kemungkinan
yang bakal terjadi
Ketika suara derap kaki kuda terdengar semakin
bergemuruh, Ki Dawung mengayun langkahnya
menuju pintu gerbang Tiba di ambang pintu, dia
memutar tubuhnya seraya mengedarkan pandangan
menatapi seluruh bagian bangunan perguruan. Ki
Dawung sadar bahwa mungkin malapetaka bagi
dirinya tak bisa dihindarkan lagi. Semua sudah di-pikirkannya masak-masak. Namun
dia tidak ingin
rumah perguruannya ikut hancur bersama dirinya.
Maka diputuskan untuk menunggu rombongan Pa-
ngeran Sokapanca di luar bangunan.
Tidak berapa lama kemudian, rombongan Pa-
ngeran Sokapanca pun tiba. Pangeran yang masih
muda dan tampan itu terlihat mengerutkan keningM
melihat Ki Dawung telah menunggunya di luar ba-
ngunan seorang diri. Tidak terlihat seorang murid pun yang mendampinginya.
Pangeran Sokapanca
bertanya-tanya dalam hari. Lalu karena merasa tidak sabar, ia langsung melompat
turun dari pung-
gung kuda, begitu tiba di depan Ki Dawung.
"Hm..., tampaknya sikapmu menunjukkan per-
tanda tidak baiknya jawaban yang bakal kuterima.
Betulkan dugaanku, Ki Dawung?" tegur Pangeran Sokapanca sambil menatap penuh
selidik wajah Ki
Dawung, yang tampak agak pucat itu.
"Maaf, Gusti Pangeran! Memang demikianlah
keputusan yang sudah hamba pikirkan masak-ma-
sak," jawab Ki Dawung tegas tanpa menghindarkan pandang matanya dari wajah
Pangeran Sokapanca,
yang terlihat berubah kelam demi mendengar ja-
wabannya. "Mengapa, Ki Dawung" Katakanlah, apa yang kau inginkan sebagai mas kawin atas
pinanganku terhadap putrimu" Aku akan menyediakannya!" ujar Pangeran Sokapanca yang merasa
tidak mengerti,
mengapa ada orang menolak kesenangan yang
ditawarkannya. Padahal tidak sedikit orang tua yang akan merelakan anak gadisnya
untuk diambil selir oleh Pangeran Sokapanca Namun hal itu ternyata
tidak berlaku bagi Ki Dawung!
"Hamba tidak mengharapkan apa-apa, Gusti Pangeran. Kecuali melihat putri tunggal
hamba hidup bahagia dengan pemuda pilihannya. Harap Gusti
Pangeran mengerti dan menerima hal ini dengan
lapang dada."
"Keparat! Jadi kau benar-benar menolak pinanganku, Ki Dawung" Dan itu berarti
bahwa kau sudah siap mati sebagai pemberontak! Itukah yang kau inginkan?" bentak Pangeran
Sokapanca yang menjadi marah bukan main! Bagaimana mungkin
ada orang yang menolak pinangan seorang pangeran seperti dirinya" Hampir dia
tidak percaya dengan jawaban yang didengarnya dari Ki Dawung.
Ki Dawung merasa tidak perlu menjawab. Orang
tua ini hanya menatap Pangeran Sokapanca dengan
penuh ketenangan. Namun tentu saja seluruh ke-
kuatan tenaga yang dimiliki telah menyebar ke seluruh tubuh. Siap menghadapi
segala kemungkinan
yang bakal terjadi.
"Kurang ajar! Tangkap manusia tak tahu di
untung ini!"
Sikap diam Ki Dawung, semakin membakar
kemarahan di dada Pangeran Sokapanca. Langsung
saja ia perintahkan sepuluh orang pengawalnya
untuk menangkap Ki Dawung.
Serta merta sepuluh orang prajurit pilihan yang
rata-rata bertubuh kekar itu, bergerak mengepung Ki Dawung. Namun sebelum mereka
sempat mendekati orang tua itu, mendadak terdengar suara
teriakan-teriakan gegap gempita. Bersamaan dengan itu tampak berloncatan belasan
sosok tubuh dari
rimbunan pepohonan di depan bangunan Perguruan
Tapak Jalak. Mereka ternyata murid-murid Ki Dawung yang
dipimpin oleh Barnaba dan Sanggaling. Rupanya
meskipun telah mendapat pesan dari Ki Dawung,
murid-murid Perguruan Tapak Jalak tetap berkeras untuk mempertaruhkan nyawa guna
membela perguruan. Mereka memang pergi meninggalkan rumah
perguruan, ketika dibubarkan oleh Ki Dawung, dan diperintahkan agar pulang ke
kampung halaman
masing-masing. Namun kepergian mereka ternyata
bukan untuk meninggalkan perguruan yang tengah
terancam petaka. Rasa cinta dan bakti terhadap
gurunya, membuat para murid diam-diam bersem-
bunyi untuk kemudian muncul kembali di saat sang Guru tengah menghadapi Pangeran
Sokapanca dan pasukannya. Dengan cara begitu Ki Dawung tidak
mungkin lagi mencegah keinginan mereka. Dan itu
sudah direncanakan oleh Barnaba dan Sanggaling.
"Pangeran keparat! Tidak tahu malu! Jangan kira kau dapat menyentuh rumah
perguruan serta Guru
kami, sebelum melangkahi mayat kami!" yang mengeluarkan makian ini adalah
Barnaba. Dia sudah
menerjang Pangeran Sokapanca dengan sebilah
golok besar. "Hmh!"
Pangeran Sokapanca mendengus penuh ejekan
melihat datangnya sambaran mata golok Barnaba.
Rupanya dia memang bukan cuma bisa sombong
dengan mengandalkan prajurit-prajuritnya. Samba-
ran golok Barnaba dielakkan hanya dengan menarik mundur kala depannya. Kemudian
terus melompat dan bersalto dengan tendangan kilat mengancam
tengkuk lawan. Barnaba sempat terkejut, karena
sama sekali tidak menyangka kalau Pangeran Soka-
panca dapat bergerak secepat itu.
Wuutt! Tendangan berbahaya itu lewat di atas kepala
Banaba yang sempat membungkuk sambil mene-
kuk kedua lututnya. Namun Pangeran Sokapanca
ternyata sudah dapat membaca gerak lawannya.
Begitu tendangan pertama lewat, lututnya langsung menekuk. Kemudian kembali
menyambar saat Barnaba kembali tegak. Sehingga, tendangan susulan
ini menghantam telak dada Barnaba.
Buk! "Hukhhh...!"
Barnaba terbatuk dan tubuhnya terjengkang ke
tanah. Untuk sesaat Barnaba merasa dadanya sesak dan sulit bernapas. Sungguh
dirinya tak menyangka kalau pangeran berwajah tampan itu memiliki kemampuan
tinggi. Lelehan darah mengalir dari sela-sela bibirnya.
"Hmh! Dengan kepandaian seperti itu kau mau jual lagak di hadapanku" Itu sama
artinya dengan cari mati, tahu!" ejek Pangeran Sokapanca yang sudah menyiapkan
serangan mautnya untuk mengakhiri hidup Barnaba.
Barnaba terbelalak ketika melihat jari-jari tangan Pangeran Sokapanca berubah
merah seperti besi
yang membara. Cepat dia menggulingkan tubuhnya
sebelum serangan maut sampai
"Larilah sebisamu, Kunyuk! Tapi jangan harap dapat lolos dari kematian!" ujar
Pangeran Sokapanca seraya melompat mengejar dan langsung me-
nusukkan jari-jari tangannya yang mengeluarkan
hawa panas membakar!
Barnaba berusaha mati-matian untuk menye-
lamatkan diri dari jemari tangan yang mengerikan itu. Untunglah pada saat yang
sangat gawat itu,
Sanggaling datang membantu. Sehingga, untuk se-
saat Barnaba dapat bernapas lega. Kemudian me-
lompat bangkit dan membantu Sanggaling yang ke-
walahan menghadapi serangan Pangeran Sokapan-
ca, yang ternyata memiliki kepandaian tinggi dan menggiriskan itu.
Sementara itu, murid-murid Ki Dawung yang
berjumlah sekitar tiga puluh orang, tengah bertempur sengit melawan sepuluh


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang prajurit yang ditambah dua orang perwira. Ki Dawung yang tidak
bisa berbuat apa-apa lagi untuk mencegah para
muridnya, terpaksa terjun ke arena. Karena ia melihat dua orang perwira yang
menjadi orang kepercayaan Pangeran Sokapanca, ternyata memiliki ke-
pandaian yang hebat. Sehingga, meskipun murid-
muridnya berjumlah lebih banyak, dapat diimbangi dengan adanya dua orang
perwira. Sebentar saja,
sudah empat orang murid Ki Dawung menggelepar
tewas di ujung pedang kedua orang perwira itu.
"Hyaaat...!"
Ki Dawung berteriak nyaring sebagai isyarat pe-
nyerangannya. Tubuhnya melayang bagaikan see-
kor burung elang menyambar mangsa. Dan dengan
cepat dilontarkan pukulan jarak jauh,
ketika melihat dua orang muridnya tengah terancam ujung pedang kedua orang perwira itu.
Tras! Tras! "Heh..."!"
Dua orang perwira itu mengeluh tertahan ketika
sambaran pedang mereka terpental balik. Dan le-
ngan mereka dirasakan bergetar hingga sebatas si-ku. Namun keduanya hanya
terdorong mundur tiga
langkah. Dan sudah siap untuk menghadapi penye-
rangnya, yang tak lain dari Ki Dawung.
"Mampuslah kau, Pemberontak Hina...!" teriak perwira yang satu sambil menerjang
maju dengan sambaran pedangnya yang cepat dan membawa
angin menderu. Sasaran serangan pedangnya selalu terarah mulai dari pinggang ke
atas. "Hyaaat...!"
Perwira kedua tidak mau ketinggalkan. Pedang di
tangannya berputar bagai baling-baling. Kemudian meluncur ke arah Ki Dawung,
mengancam bagian
kaki. Melihat gaya penyerangan kedua lawannya,
tahulah Ki Dawung bahwa kedua perwira itu biasa
bekerja sama dalam menghadapi lawan. Dan harus
diakui bahwa ilmu pedang kedua lawannya memang
hebat. Membuat dirinya sempat terdesak dalam
jurus-jurus awal.
"Hiahhh...!"
Ketika pertarungan menginjak pada jurus kedua
puluh, Ki Dawung mengeluarkan bentakan nyaring
yang menggetarkan jantung. Disusul dengan lompa-
tan panjang ke belakang, menghindari tebasan dua bilah pedang lawan yang
mengancam lutut dan dada kirinya. Serangan lawan luput. Dan begitu kedua
kakinya menginjak tanah, Ki Dawung langsung
menghentakkan kedua telapak tangannya ke depan
dengan menggunakan jurus 'Tapak Dewa Gugurkan
Bukit'. Whuuusss...! Lontaran pukulan jarak jauh yang menderu tajam
membuat kedua orang lawannya terperangah. Namun mereka masih sempat menyelamatkan diri
dengan melempar tubuh berpencar. Dan terus mem-
buat gerakan berputar yang kemudian disusul de-
ngan kelebatan pedang dengan gerakan cepat sekali.
Kehebatan dan kecepatan gerak kedua orang per-
wira ini sempat membuat Ki Dawung kagum. Cepat
ditundukkan tubuhnya saat sambaran ke arah le-
hernya datang dari sebelah kiri. Sedangkan babatan dari kanan yang hendak
memapas lututnya, dihindarkan dengan mengangkat sebelah kakinya. Gera-
kan ini langsung disusul dengan tamparan dan tendangan. Tapi, sungguh tak
diduganya bahwa kedua
pedang itu kembali berputar dengan kecepatan
tinggi Hingga....
"Heaaa...!"
Buk! Cras! Srat! Bersamaan dengan tamparan dan tendangan Ki
Dawung yang mengenai sasaran, pedang kedua jaga
istana itu pun sempat menyerempet bahu dan paha-
nya. Membuat ketiganya terpekik, dan sama ter-
huyung beberapa langkah.
Ki Dawung meringis sambil terpincang-pincang.
Dari bahu kirinya yang tergores ujung pedang, tampak mengalir darah segar.
Demikian juga dari pa-
hanya yang terkena tusukan pedang lawan. Kendati tidak terlalu parah, namun
membuat gerakannya
terganggu, dan kecepatannya berkurang.
Yang dialami kedua orang lawannya pun tidak
berbeda jauh dengan Ki Dawung. Tendangan serta
hantaman telapak tangannya, membuat mereka ter-
huyung-huyung beberapa langkah dengan wajah
tampak pucat. Dan bibir keduanya terlihat adanya cairan merah yang merembes
turun. Membuktikan
bahwa kedudukan mereka seimbang.
Luka-luka yang diderita dan membuat kecepatan-
nya berkurang itu, membuat Ki Dawung berpikir
lain. Apalagi ketika dilihatnya betapa Barnaba dan Sanggaling tengah berusaha
mati-matian mempertahankan diri dari gempuran Pangeran Sokapanca,
hanya keadaan murid-muridnya yang kelihatan da-
pat menguasai pertarungan. Karena jumlah mereka
memang tiga kali lipat dari jumlah prajurit Pangeran Sokapanca.
Sadar bahwa kedudukan di pihaknya sangat ti-
dak menguntungkan. Apalagi jika Barnaba dan
Sanggaling roboh di tangan Pangeran Sokapanca
yang ternyata sangat tangguh itu. Akhirnya Ki Dawung mengambil keputusan untuk
mengajak murid-
muridnya menyudahi pertempuran dan pergi me-
nyelamatkan diri.
Ki Dawung melesat meninggalkan kedua orang
perwira yang menjadi lawan-lawannya. Ia melayang ke arah pertempuran kedua orang
murid utamanya yang tidak akan dapat bertahan lebih dari sepuluh jurus.
"Bamaba, Sanggaling! Bawa saudara-saudaramu meninggalkan tempat ini. Aku akan
menyusul kalian...!" seru Ki Dawung kepada kedua orang murid utamanya yang sudah
mandi keringat dan terlihat
sangat lelah itu. Sambil berseru demikian, Ki
Dawung melepaskan pukulan 'Tapak Dewa Gu-
gurkan Bukit' dengan mengerahkan tenaganya yang
masih tersisa. Pangeran Sokapanca yang sudah hampir mero-
bohkan kedua orang lawannya, cepat menunda se-
rangan. Kemudian melemparkan tubuh ke samping
ketika telinganya menangkap serangkum gelombang
angin kuat yang menderu tajam.
Ki Dawung tidak memberi kesempatan kepada
Pangeran Sokapanca untuk membangun serangan
balasan. Dirinya terus mencecar dengan pukulan
andalan itu. Sehingga, Pangeran Sokapanca terpak-sa harus melompat ke sana
kemari menghidarkan
diri. Dan merelakan kedua orang lawannya yang
nyaris tewas, percj meninggalkan tempat itu.
Namun usaha Ki Dawung tampaknya sia-sia.
Karena kedua orang perwira bergerak mencegah
kepergian Bamaba dan Sanggaling. Sehingga, me-
reka hanya saling bertukar lawan. Ki Dawung
menghadang, sedangkan Bamaba dan Sanggaling
bertempur menghadapi dua orang pengawal pribadi
pangeran. Ki Dawung diam-diam mengeluh. Ia sama
sekali tidak memikirkan keselamatan dirinya. Tapi, nasib murid-muridnyalah yang
dicemaskan. Dan
kecemasan itu mulai terbukti ketika ia mendengar jerit kematian Barnaba.
Barnaba yang memang sudah habis-habisan se-
waktu mempertahankan diri menghadapi gempuran
Pangeran Sokapanca, terpaksa harus menerima
kematian di tangan salah seorang perwira. Tubuh-
nya menggelepar mandi darah, yang mengalir deras di tenggorokannya. Sebentar
kemudian, Barnaba
menghembuskan napasnya yang terakhir.
Kematian Bamaba membuat Ki Dawung lengah.
Sehingga, sebuah tendangan keras lawannya telah
menghajar perutnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
kakek tua itu terbanting ke tanah. Belum lagi ia sempat bangkit tegak, Pangeran
Sokapanca sudah
menyerbu dengan tusukan jari-jari tangannya yang berwarna merah membara dan
menerbitkan hawa
panas menyengat!
Crasss! "Uhhh...!"
Untunglah dalam saat-saat terakhir Ki Dawung
masih sempat menggulingkan tubuhnya. Sehingga,
yang terkena sasaran tanah berumput yang lang-
sung terbakar hangus, ketika jari-jari tangan meme-lari bara itu terbenam hingga
sebatas pergelangan.
ki Dawung sampai menggeleng-gelengkan kepala
membayangkan seandainya jari-jari tangan itu me-
nembus tubuhnya.
"Hm... kali ini kau tak akan lolos dari kematian, Kl Dawung...!" ujar Pangeran
Sokapanca yang langsung melesat diiringi tusukan jari-jari tangannya.
Mati-matian Ki Dawung menghindari incaran
tangan maut itu. la terus bergulingan di atas tanah untuk menyelamatkan
nyawanya. Namun ke mana
pun ia menghindar, jari-jari tangan membara itu selalu mengikutinya. Tak ubahnya
bayangan dirinya
sendiri. Akhirnya Ki Dawung hanya bisa memejam-
kan mata saat jari-jari tangan itu kembali meluncur datang. Napasnya yang sudah
hampir putus, membuatnya tak sempat lagi untuk menghindar, Ki
Dawung pun pasrah menunggu ajal.
Syuttt! Disertai suara berkesiutan, jari-jari tangan se-
merah bara itu meluncur. Dan....
Tasss! Terdengar pekik kaget dari mulut Pangeran So-
kapanca. Karena pada saat jari-jari tangannya siap terhujam ke tubuh Ki Dawung,
mendadak sebuah
benda hitam meluncur dan langsung menghantam
tepat pergelangan tangannya. Lengannya terasa
nyeri dan kuda-kudanya tergempur mundur.
Tasss! "Aaakh...!"
Terdengar pekik kaget dari mulut Pangeran So-
kapanca. Karena pada saat jari-jari tangannya siap terhujam ke tubuh Ki Dawung,
mendadak sebuah
benda hitam meluncur dan langsung menghantam
tepat pergelangan tangan. Lengannya terpental dan kuda-kudanya tergempur mundur.
Terkejut bukan main hari Pangeran Sokapanca merasakan tangan-
nya lumpuh untuk beberapa saat. Sedangkan di
depan Ki Dawung tahu-tahu telah berdiri dengan
gagahnya seorang pemuda tampan berjubah putih,
tahulah Pangeran Sokapanca bahwa pemuda itulah
yang telah menggagalkan serangannya dengan me-
lemparkan sebuah batu kerikil.
Kegagalan serangan dan kemunculan pemuda
tampan berjubah putih itu sebetulnya tidak terlalu mengejutkan Pangeran
Sokapanca, kalau saja ia
tidak mendengar jeritan dua orang pengawal pribadinya. Jeritan itu membuatnya
menoleh. Kaget bu-
kan main hatinya ketika melihat dua orang penga-
wal pribadinya yang merupakan jagoan istana itu, dibuat jatuh bangun hanya oleh
seorang gadis muda berpakaian serba hijau. Melihat kemunculan orang sakti yang
masih muda itu, tahulah Pangeran Sokapanca kalau kedudukannya tidak
menguntungkan. "Hm..., untuk kali ini biarlah aku mengampuni nyawa kalian! Tapi, ingatlah baik-
baik! Bahwa mulai hari ini kalian telah menjadi buronan pemerintah!"
ujar Pangeran Sokapanca setelah memerintahkan
pasukannya untuk mundur.
Dari ucapan itu jelas menunjukkan betapa dalam
kedudukan lemah, dan kehilangan empat orang pra-
jurit, Pangeran Sokapanca tetap tidak mau menga-
lah. Dia memilih kata-kata 'mengampuni nyawa ka-
lian'. Padahal kalau pertempuran dilanjutkan, jelas pihaknyalah yang kalah.
Pemuda tampan berjubah putih yang menye-
lamatkan Ki Dawung dari kematian, berdiri menatap kepergian Pangeran Sokapanca
dan pasukannya.
Kemudian membalikkan tubuh dan membantu Ki
Dawung bangkit.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Anak Muda..,"
ucap Ki Dawung yang tidak menolak ketika tubuh-
nya dipapah pemuda itu.
"Luka-lukamu harus segera mendapat perawatan, Ki," ujar pemuda tampan berjubah
putih itu, saat melihat wajah Ki Dawung yang pucat. Ki Dawung
hanya mengangguk tanpa kata.
Gadis muda berparas jelita dan berpakaian serba
hijau yang juga ikut berjasa mengusir pasukan Pangeran Sokapanca, menggabungkan
diri dengan Ki Dawung dan pemuda itu. Mereka bergerak mema-
suki bangunan perguruan, diikuti murid-murid Ki
Dawung. *** "Hhh... aku tak menyangka kalau akhirnya akan
terjadi juga apa yang kucemaskan...," desah Ki Dawung sambil melangkah menuju
sebuah kursi. Dihempaskan tubuhnya di atas kursi disertai helaan napas panjang, "Sebenarnya
aku sudah menyuruh semua muridku pergi agar tidak sampai terlibat dalam urusan
ini. Tapi..., rasa kesetiaan dan bakti yang tinggi, membuat mereka merencanakan
untuk membantu tanpa aku ketahui," lanjutnya dengan suara perlahan, seperti tengah
berbicara kepada
dirinya sendiri.
"Persoalan apa yang membuat perguruan ini sampai bentrok dengan orang-orang
berseragam prajurit itu, Ki?"
Pemuda tampan berjubah putih yang menye-
lamatkan Ki Dawung dari kematian, bertanya hati-


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hati. Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Panji atau Pendekar Naga Putih. Ia duduk
di kursi yang berada di sebelah kanan Ki Dawung. Sedang di sebelah
kirinya, tampak seorang gadis jelita berpakaian baju hijau, yang sudah pasti
Kenanga adanya. Mereka
berdua telah memperkenalkan diri kepada Ki Da-
wung. Sedang nama Ketua Perguruan Tapak Jalak
mereka ketahui dari Sanggaling, salah seorang
kepercayaan Ki Dawung.
"Mereka memang prajurit istana. Tepatnya pegawai-pegawai Pangeran Sokapanca. Si
keparat itu lebih pantas disebut iblis daripada seorang pangeran yang terhormat!" jawaban
itu sekaligus merupakan tumpahan rasa kekesalan dan benci yang kini
ada dalam hati Ki Dawung. Sepasang matanya tam-
pak berkilat penuh dendam saat menyebut nama
Pangeran Sokapanca. Dengan perlahan namun jelas
Ki Dawung menceritakan duduk persoalannya.
"Benar-benar tidak tahu diri pangeran itu!" Kenanga mengumpat penuh penasaran,
setelah mende- ngar penjelasan Ki Dawung, "Mengandalkan kekua-saan untuk memperoleh segala
kehendaknya, jelas
menunjukkan bahwa pangeran yang bernama Soka-
panca itu bukanlah orang baik-baik! Dan tidak
mustahil kalau perbuatan ini bukan yang pertama
kalinya! Benar-benar membuat hati penasaran!"
Bukan cuma Kenanga yang merasa tidak senang
terhadap Pangeran Sokapanca. Panji pun merasa-
kan hal serupa. Bedanya ia tidak langsung meng-
utarakan rasa ketidaksenangannya itu. Malah tam-
pak termenung, seperti memikirkan sesuatu.
"Jika demikian, perguruan ini tengah menghadapi persoalan yang sangat gawat! Dan
bukan tak mungkin Pangeran Sokapanca mengadukannya ke istana.
Bahkan menuduh perguruan ini sebagai sarang
pemberontak. Ini benar-benar berbahaya!" ujar Panji membuka suara. Rupanya ia
termenung karena
memikirkan buntut dari kejadian hari ini.
"Ya, hal itu sudah ada dalam pikiranku. Tepatnya, mulai hari ini orang-orang
Perguruan Tapak
Jalak telah menjadi buronan pemerintah," tegas Ki Dawung dengan nada penuh rasa
penasaran. Tidak pernah terbersit dalam pikiran Ki Dawung
bahwa suatu saat dirinya akan menjadi orang bu-
ronan! Jangankan berpikir ke arah itu, sedang
dalam tidur pun ia tidak pernah memimpikannya.
"Jika demikian, kita harus secepatnya menyingkir dari tempat ini. Aku khawatir
kalau Pangeran Sokapanca akan datang lagi dengan membawa
pasukan yang lebih besar jumlahnya."
"Kau benar, Panji Bangunan perguruan ini memang harus dikosongkan secepatnya
Haiiih... sungguh tak kusangka kalau jerih payahku selama ber-
tahun-tahun akan hancur dalam waktu singkat...,"
sesal Ki Dawung dengan pandangan menerawang
jauh. Pikirannya terbayang kehidupan selanjutnya.
Kehidupan seorang buronan pemerintah kerajaan.
"Nasib memang sulit untuk diramalkan, Ki Dawung. Hari ini kita mendapat musibah,
tapi siapa tahu hari esok kita mendapat anugerah. Semua itu rahasia Tuhan yang
tidak pernah bisa diduga oleh siapa pun," ujar Panji mengingatkan Ki Dawung.
Ki Dawung menganggukkan kepalanya. Ditatap-
nya wajah pemuda penolongnya itu lekat-lekat.
"Kau baik sekali, Panji," ujar Ki Dawung terharu atas perhatian penolongnya yang
begitu besar. Panji tersenyum tulus. Kemudian mengingatkan
Ki Dawung untuk berkemas.
Ki Dawung menganggukkan kepala. Segera saja
ia perintahkan sebagian muridnya untuk mengubur
mayat-mayat itu. Sedang sebagian lagi diperintahkan untuk mengemasi barang-
barang sebagai bekal
perjalanan mereka.
Setelah segalanya siap, rombongan Ki Dawung
bergerak meninggalkan tempat dengan menggu-
nakan empat pedati dan tiga ekor kuda.
Panji berdiri di depan pintu gerbang perguruan
memandang kepergian rombongan Ki Dawung. Ia
tidak ikut bersama rombongan, karena hendak me-
nyelidiki Pangeran Sokapanca, yang menjadi biang keladi dari semua itu. Untuk
keselamatan rombongan dipercayakan kepada Kenanga. Karena Ki Da-
wung belum pulih kesehatannya. Sehingga, mereka
berdua berpisah untuk melakukan tugas masing-
masing. *** 3 "Hei, minggir... minggir...!" Penunggang kuda yang dari raut wajahnya terlihat
sedang mengalami ketakutan itu, berteriak memperingatkan orang
yang berada di depannya. Dan ia sama sekali tidak berusaha mengurangi ke cepatan
lari binatang tunggangannya. Namun orang yang berada di tengah
jalan terus saja mengayun langkah seakan tidak
mendengar suara bentakan itu. Tentu saja sikap
yang dianggap menantang itu membangkitkan kemarahan si penunggang kuda.
"Keparat tua, mampuslah...!" penunggang kuda yang masih muda itu membentak
seraya meng-gebah lari kudanya. Pemuda itu seperti menemukan tempat untuk
menumpahkan kegusaran hatinya.
Tidak peduli meskipun orang itu bakal tewas atau setidaknya terluka parah
terlanggar binatang tunggangannya.
Tapi, apa yang terjadi selanjutnya benar-benar di luar dugaan. Sebelum orang di
depan itu terlanggar, kuda itu meringkik keras dan terlempar ke tepi jalan
beserta penunggangnya. Sedangkan sosok itu terus saja mengayunkan langkahnya.
Seolah tidak pernah terjadi sesuatu.
Penunggang kuda yang ternyata Pangeran So-
kapanca itu tentu saja merasa terkejut bukan main.
Untunglah ia dapat bertindak cepat dengan melem-
par tubuhnya ke udara, saat binatang tunggangan-
nya terbanting. Kalau saja dirinya tidak memiliki ke-lalaian, niscaya tulang-
tulang tubuhnya patah ter-timpa badan kuda.
"Bangsat! Berani kau menjual lagak di hadapan Pangeran Sokapanca...!" bentak
pangeran muda itu yang kemarahannya telah memuncak ke ubun-ubun. Tubuhnya segera
melesat ke depan dengan
kedua tangan terkepal, siap untuk melumat tubuh
orang itu. Mendadak, Pangeran Sokapanca yang baru saja
menjejakkan kakinya ke tanah merasakan adanya
gelombang angin kuat yang menerpa tubuhnya.
Seketika tubuh pangeran muda itu terhuyung
mundur. Sedangkan orang yang sedang berjalan
sudah membalikkan tubuh dengan kecepatan luar
biasa. Ternyata seorang perempuan tua renta ber-
wajah buruk. Sorot matanya yang tajam mencorong
menyeramkan. Bagai mata pedang, seolah meng-
hujam ke mata sang Pangeran.
"Tidak salahkah pendengaranku" Benarkah kau pangeran yang bernama Sokapanca?"
nenek buruk rupa itu bertanya dengan suaranya yang mirip
bunyi kaleng rombeng. Parau, keras, dan tak sedap didengar.
Pangeran Sokapanca menelengkan kepala seolah
ingin menghindari suara yang menyakitkan telinganya itu.
Sementara itu, para pengawal Pangeran Soka-
panca sudah berlompatan turun dari punggung ku-
da masing-masing. Tadi mereka sempat cemas ke-
tika melihat kuda junjungannya terbanting tanpa
sebab. Kecemasan itu lenyap begitu menyaksikan
tubuh Pangeran Sokapanca melenting ke udara dan
dapat meluncur turun dengan selamat. Kini mereka berlarian mendatangi
junjungannya yang tengah
berhadapan dengan seorang nenek.
Pangeran Sokapanca sempat merasa kaget me-
lihat wajah buruk manusia di hadapannya. Terlebih ketika beradu pandang dengan
sepasang mata yang
seperti menyimpan kemarahan terhadapnya. Dada
sang Pangeran berdebar. Ada rasa nyeri terbersit di hatinya melihat tatapan yang
demikian menusuk
dari mata nenek buruk rupa itu.
"Siapakah kau, Nenek Buruk" Mengapa sengaja menghalangi jalanku?" tanya Pangeran
Sokapanca tetap tidak meninggalkan keangkuhannya. Ia berusaha menutupi rasa
ngerinya dengan keyakinan
bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang nenek
berwajah buruk, tak ubahnya gelandangan.
Nenek buruk rupa itu tampak gusar. Kilatan pada
sepasang matanya semakin tajam. Terdengar suara
bentakannya yang menyakitkan telinga.
"Jawab pertanyaanku dulu, Kunyuk!"
Sambil membentak demikian, nenek buruk itu
mengayun tongkat berwarna putih di tangannya.
Terdengar suara menderu saat sambaran tongkat
itu meluncur ke arah kepala Pangeran Sokapanca.
Whuuuttt...! "Aiiih..."!"
Meskipun dapat menghindari hantaman tongkat
itu, tak urung tubuh Pangeran Sokapanca ter-
huyung beberapa langkah. Padahal ia cuma terkena terpaan angin pukulannya. Tentu
saja hati pangeran muda ini tersentak kaget! Kenyataannya itu membuatnya sadar
bahwa perempuan tua yang tengah di hadapinya ternyata bukan orang sembarangan.
"Bagus, rupanya kau memiliki kepandaian...,"
ujar nenek buruk itu dengan mulut yang tak henti-hentinya mengunyah. Dari warna
bibirnya yang merah dan basah, dapat diketahui kalau mulut ne-
nek itu sibuk mengunyah sirih. "Kutanya sekali lagi, henarkah kau Pangeran
Sokapanca?" lanjutnya masih meminta kepastian.
Melihat sikap nenek buruk itu penuh ancaman,
dua orang perwira yang merupakan jagoan istana,
melangkah maju menghampirinya
"Nenek, junjungan kami memang bernama Pa-
ngeran Sokapanca. Nah, sekarang menyingkirlah
dan biarkan kami lewat!" ujar salah seorang perwira dengan suara sedikit hormat.
Karena ia sudah menyaksikan betapa hebatnya hantaman tongkat yang
barusan dilakukan nenek buruk itu.
"Hih hih hih...! Aku tak menghalangi jalan kalian.
Kalau mau pergi, pergilah, aku tidak akan meng-
ganggu...!" ujar nenek buruk itu memperdengarkan suara tawa yang mendirikan bulu
roma. "Terima kasih atas kebaikanmu, Nek...," tukas perwira itu merasa lega. Karena
diam-diam hatinya merasa bergidik terhadap nenek buruk itu. Terlebih mendengar
suara tawanya yang mirip kuntilanak.
Kalau saja bertemu di malam hari, sudah pasti
membuatnya lari tunggang langgang.
"Mari, Gusti Pangeran...!" perwira kedua segera menyerahkan kuda tunggangannya
kepada Pangeran Sokapanca. Karena kuda sang Pangeran
patah tulang kakinya.
"Tunggu...!"
Saat kedua orang perwira itu mengapit junjung-
annya dan hendak melanjutkan perjalanan, terde-
ngar nenek buruk itu berseru mencegah.
Pahlawan Dan Kaisar 22 Kisah Sang Budha Dan Para Muridnya Karya Tak Diketahui Makam Bunga Mawar 21
^