Pencarian

Budak Nafsu Terkutuk 3

Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk Bagian 3


mengingat kekalahannya
yang menyakitkan hu.
"Berarti orang yang membunuh muridmu adalah seorang pembesar di kotaraja?" Panji
bertanya lagi karena mulai merasa tertarik dengan cerita Nenek Muka Setan.
"Bukan cuma pembesar, tapi seorang pangeran yang bernama Sokapanca!" jawab Nenek
Muka Setan yang kelihatan geram ketika menyebut nama
pembunuh muridnya.
"Pangeran Sokapanca..."!" ulang Panji dengan kening berkerut Ia menyembunyikan
kekagetannya dan ingin mendengar kelanjutan cerita nenek itu.
"Benar! Mungkin kau pun pernah mendengar
nama pangeran keparat itu. Karena ia pun kadang
suka berpetualang untuk menambah pengalaman-
nya dalam ilmu silat. Sayangnya ia memiliki sifat yang sangat buruk. Pihak
kerajaan sepertinya menutup mata terhadap sikap putra mahkota yang su-
ka mengumbar nafsu bejatnya. Tak peduli meskipun perempuan yang disukainya sudah
bersuami!" jelas Nenek Muka Setan bernada geram. Nenek ini sama
sekali tidak sadar betapa diam-diam Panji tertawa geli dalam hatinya. Sebab,
nenek itu sendiri merupakan seorang gembong kaum sesat. Namun ia
seperti tidak sadar akan dirinya sendiri. Dan
mengutuk perbuatan orang lain yang sama jahatnya dengan dirinya.
"Muridku adalah seorang gadis yang sangat cantik dan menawan. Pendeknya siapa
pun akan tergiur melihatnya. Apalagi masih ditambah dengan kepandaiannya yang
tinggi." Tanpa diminta, Nenek Muka Setan mulai ber-
cerita tentang murid perempuannya.
"Suatu hari, muridku kembali dari pengem-
baraannya yang memang kuberi waktu dua tahun
guna meluaskan pengalamannya. Sayang, kami ti-
dak sempat bertemu. Karena aku mendapat un-
dangan dari salah seorang sahabat yang hendak
meresmikan tempat perguruannya. Kepergianku
memang lama, kurang lebih lima hari. Cukup jauh
memang tempat kediaman sahabatku itu. Dan
kedatangannya kuduga tepat pada hari aku berang-
kat memenuhi undangan Kau tahu apa yang ku-
dapati sepulang dari tempat sahabatku, Panji?"
"Muridmu dibunuh setelah diperkosa..," jawab Panji yang tentu saja sudah dapat
menebak. Karena Nenek Muka Setan telah menjelaskan siapa pembunuh yang
dicarinya. "Itulah yang menyambut kepulanganku. Dan keadaannya benar-benar mengenaskan!
Tubuh murid satu-satunya yang telah kuanggap sebagai anakku
sendiri itu, kudapati terbujur kaku di atas pem-
baringan dan tanpa selembar benang pun yang
melekat di tubuhnya! Pada beberapa bagian tubuh-
nya terdapat luka bekas cakaran dan gigitan. Pada wajahnya terdapat luka memar
bekas tamparan da
pukulan. Selain itu, aku menemukan adanya bau
sejenis racun yang kuketahui kemudian sebagai
pembangkit birahi!" sampai di sini Nenek Muka Setan tak sanggup menahan linangan
air mata. Ke- mudian terdengar isaknya yang berusaha ditahan,
tapi akhirnya meledak menjadi tangis memilukan.
Panji menarik napas dalam-dalam. Kedua mata-
nya menjadi nanar melihat betapa Nenek Muka
Setan menangis sampai sedemikian pilunya. Panji
mengerti betapa hancur hati perempuan tua itu. la tidak berusaha, menghentikan
tangis Nenek Muka
Setan, karena ia tahu hal itu dapat membuat dada Nenek Muka Setan menjadi lega.
"Betapa malangnya nasib muridku itu...," Nenek Muka Setan kembali melanjutkan
ceritanya dengan
suara parau, "Setidaknya ia dipermainkan selama tiga hari oleh jahanam laknat
Pangeran Sokapanca Selama itu muridku terus dijejali racun perangsang!
Setelah merasa puas mempermainkan, manusia
jahanam itu menikam jantung muridku dengan
pedang milikku yang telah kuhadiahkan kepada
muridku itu. Untungnya jahanam itu tidak sadar
betapa pada saat menikamkan pedang, muridku
sempat mencengkeram pakaiannya hingga koyak.
Dari pakaian serta kancing yang terbawa pada so-
bekan itu, aku tahu kalau yang melakukan per-
buatan terkutuk itu seorang pembesar tinggi kerajaan. Setelah kuselidiki,
kancing itu hanya dimiliki keluarga raja. Dan dari nama yang ditulis muridku di
atas pembaringan dengan menggunakan darah-nya, aku bisa menebak bahwa pelaku
dari perbua- tan terkutuk itu Pangeran Sokapanca. Meskipun
yang ditulis muridku hanya nama depannya.
Penjagaan di istana sangat ketat dan banyak orang-orang pandai yang mengabdikan
diri di sana. Aku
tak ingin mati konyol dengan menurutkan nafsu
marah. Kutunggu dengan sabar kesempatan yang
aku yakin bakal datang itu. Sayang kesempatan itu pun tidak membawa hasil karena
salahku sendiri.
Aku ingin agar pangeran laknat itu mati dengan
perlahan-lahan. Siapa sangka kalau Gada Penghan-
cur Tulang yang dalam masa tuanya ingin men-
dapatkan kedudukan terhormat, tiba-tiba muncul
dan mengalahkan aku," Nenek Muka Setan mengakhiri ceritanya dengan tarikan napas
panjang. Kemudian melemparkan pandangannya, jauh menera-
wang ke angkasa raya.
"Lalu, apa rencanamu sekarang, Nek?" tanya Panji memecah keheningan yang
berlangsung cukup
lama di antara mereka.
"Aku akan bersabar untuk menunggu kesem-
patan berikut Mudah-mudahan saja masih ada...!"
jawab Nenek Muka Setan dengan helaan napas pan-
jang. Tampaknya ia tidak begitu yakin kalau kesempatan masih ada. Nenek Muka
Setan sadar kalau
Pangeran Sokapanca tentu tidak berani mening-
galkan istana tanpa pengawalan kuat.
"Mungkin kesempatan itu akan datang, Nek...,"
ujar Panji yang tentu saja bukan sekadar meng-
hibur. Sebab, jika Pangeran Sokapanca menaruh
dendam terhadap Ki Dawung dan murid-muridnya,
ada kemungkinan akan meninggalkan istana untuk
membatas sakit hati dan kekalahannya.
"Apa alasanmu berkata demikian, Panji" Apakah kau hanya sekadar ingin
menghiburku?" tanya Nenek Muka Setan menatap tajam wajah Panji.
Merasa tidak perlu lagi menyembunyikan apa
yang hendak dikerjakannya, Panji pun menceritakan tentang perbuatan Pangeran
Sokapanca terhadap
Perguruan Tapak Jalak. Semua dipaparkan dengan
jelas, berikut dugaan-dugaannya tentang sikap yang kemungkinan dilakukan
Pangeran Sokapanca.
Nenek Muka Setan berseri wajahnya setelah men-
dengar cerita Panji. Karena harapan yang semula
dirasakan sangat kecil, terbuka lebar.
"Lalu, apa rencanamu, Panji?"
"Aku berniat hendak menyelidiki ke kotaraja untuk mencari berita," jawab Panji
berterus terang.
"Hhh..., pemuda tampan dan menarik sepertimu tentu malu melakukan perjalanan
bersama seorang
perempuan peot yang berwajah menakutkan seperti
aku...," desah Nenek Muka Setan sambil mer buang pandangannya menatapi sawah-
sawah yang meng-hampar.
"Ha ha ha...! Kau sengaja hendak memojokkan-ku! Perkataanmu jelas sangat sulit
untuk kujawab,"
tukas Panji tertawa, lepas. Karena ia mengerti ke mana maksud tujuan ucapan
Nenek Muka Setan
itu. "Jangan khawatir, Nek! Aku tak takut walaupun gadis-gadis cantik tak sudi
menoleh kepadaku.
Karena aku sudah mempunyai seorang bidadari
yang bagiku tidak ada bandingannya di dunia ini,"
lanjutnya, membuat Nenek Muka Setan mengikik.
"Kalau begitu, tak ada halangan bagiku untuk menyertaimu ke kotaraja...!" seru
Nenek Muka Setan gembira.
"Tentu saja tidak..," sahut Panji cepat Kemudian bergerak meninggalkan dangau.
Mendengar ucapan Panji, Nenek Muka Setan
langsung saja melompat keluar dari dangau. Kendati kesehatannya belum sepenuhnya
pulih, nenek ini
sudah merasa sanggup menempuh perjalanan ke
kotaraja. Adanya Panji yang ternyata Pendekar Naga Putih, membuatnya yakin
dendam akan terbalas-kan. Walaupun Panji tidak berkata sesuatu, namun Nenek Muka
Setan percaya kalau Panji akan membantunya. Nenek Muka Setan merasa langkahnya
ringan saat mengikuti Panji ke kotaraja.
* * * 7 Sepasang muda-mudi melangkah agak cepat
menerobos semak-semak belukar hutan. Mereka
adalah Sujiwa dan Kuntini, yang pergi meninggalkan Perguruan Tapak Jalak atas
perintah Ki Dawung.
Semula keduanya tidak setuju, terutama Sujiwa.
Semenjak kecil ia telah menerima budi Ki Dawung, gurunya. Dan kini, saat
menghadapi ancaman bahaya, Ki Dawung justru menyuruhnya untuk pergi
menyelamatkan diri bersama Kuntini. Baik Sujiwa
maupun Kuntini tidak bisa membantah. Karena
keputusan Ki Dawung tidak bisa dirubah lagi.
Pemuda itu hanya bisa berjanji untuk menjaga Kuntini, putri tunggal gurunya
dengan taruhan nyawa.
"Kuntini, kelihatannya kau sangat lelah, sebaiknya kita beristirahat dulu...,"
ujar Sujiwa kepada kekasihnya. Dia merasa terharu melihat betapa wajah Kuntini
yang biasanya berseri-seri, kini tampak pucat Bahkan gadis itu telah kehilangan
sifat periangnya. Selama di perjalanan tak terdengar suaranya. Hal ini membuat
Sujiwa merasa berdosa dan paling bersalah.
Kuntini tidak menjawab dengan kata-kata, hanya
mengangguk lemah. Kemudian duduk menyandar-
kan tubuhnya di batang pohon beralaskan dedau-
nan kering, Kuntini memang merasa lelah. Lelah
lahir batin. Sudah hampir tujuh hari ia menempuh perjalanan bersama kekasihnya,
guna menghindarkan diri dari pengejaran Pangeran Sokapanca. Dan selama ini
mereka jarang sekali istirahat. Terlebih pada hari-hari pertama sejak
meninggalkan rumah
perguruannya. Jangankan pagi atau siang hari,
malam pun mereka tetap melanjutkan perjalanan.
Hal itu mereka lakukan karena pesan ayahnya Kun-
tini, untuk pergi secepat dan sejauh-jauhnya dari jangkauan Pangeran Sokapanca.
"Kuntini...," Sujiwa memanggil nama kekasihnya dengan suara bergetar, "Aku
menyesal sekali telah membuatmu menderita seperti ini. Seharusnya hal
ini tak perlu kita lakukan. Karena aku sudah...."
"Sudalah, Kakang. Jangan bicarakan hal itu la-gi..," Kuntini langsung memotong
ucapan kekasihnya. "Aku lebih suka begini daripada harus menjadi istri Pangeran
Sokapanca yang sama sekali tidak
kucintai...."
"Tapi aku tak tega melihat kau selalu murung dan jarang berbicara. Aku... merasa
berdosa, Kuntini!" tukas Sujiwa menatap wajah kekasihnya dengan penuh iba.
"Kakang, sampai saat ini aku masih tetap men-cintaimu. Maaf kalau sikapku selama
ini telah membuat kau salah mengerti. Benar aku merasa lelah
lahir batin. Tapi itu bukan berarti aku menyalahkanmu. Aku... aku selalu
memikirkan Ayah. Demi-
kian besar pengorbanan beliau hanya karena ingin agar anaknya berbahagia. Itu
yang membuatku selalu termenung dan hampir tidak pernah ber-
bicara, Kakang. Harap kau mengerti. Aku masih
memerlukan waktu untuk melenyapkan semua
pikiran dan perasaan ini..,," jelas Kuntini yang tentu saja tidak menyangka
kalau kekasihnya merasa
tersiksa oleh sikapnya.
Sujiwa tersenyum penuh kasih. Dipegangnya
wajah gadis itu dengan kedua tangan. Penjelasan
Kuntini telah membuat dadanya terasa lapang.
Kendati masih ada perasaan bersalah terselip di hatinya, tapi tidak lagi terasa
berat. "Aku mendengar suara gemericik air. Mungki ada sungai tidak jauh dari tempat
ini. Rasanya aku ingin membersihkan
dan menyegarkan tubuh," ujar Kuntini tiba-tiba. Kemudian bergerak bangkit. Ditelengkan kepalanya seperti
hendak memastikan dari arah mana suara gemericik itu berasal.
"Kau tunggu saja di dini, Kakang! Sumber suara gemericik itu datang dari arah
selatan." Sebelum Sujiwa sempat mengatakan apa-apa,
tubuh Kuntini sudah melesat ke selatan, la tidak berusaha mencegah. Karena
sumber air itu memang
tidak jauh. Telinganya juga mendengar dengan jelas.
Dan menurut perhitungannya paling jauh sekitar
sepuluh tombak lebih. Maka ia memutuskan untuk
menunggu Kuntini di tempat itu.
Setengah berlari, Kuntini bergerak menuju sumber air dengan maksud untuk membersihkan
tubuhnya. Suara gemericik itu ternyata berasal dari sebatang aliran sungai
berair jernih. Kuntini turun, karena aliran sungai itu berada di dataran yang
lebih rendah. Namun, ketika baru saja tiba di tepian sungai tiba-tiba terdengar
suara orang berteriak!
"Hei...!"
Kaget dan tak menyangka kalau di sekitar tempat
itu ada orang lain, Kuntini tersentak menoleh. Dan, apa yang disaksikannya
membuat paras Kuntini
menjadi merah bagai terbakar.
"Ihhh...!"
Kuntini berseru tertahan dan langsung mema-
lingkan wajah. Karena sewaktu menoleh, ia melihat ada seorang kakek cebol tengah
berdiri di atas se-bongkah batu, kurang lebih dua tombak dari tem-
patnya berdiri. Tentu saja Kuntini menjadi jengah.
Karena kakek itu berdiri tanpa selembar pakaian
pun yang melekat di tubuhnya. Kakek itu telanjang bulat!
"Bocah edan! Sudah tahu aku telanjang, eh, malah sengaja menoleh. Dasar
perempuan genit! Awas, kubalas kau!" kakek bertubuh cebol itu memaki.
Bergegas ia menyambar pakaian dan mengenakan-
nya terburu-buru.
Namun Kuntini sudah tidak mendengarkan ma-
kian kakek itu. Keinginannya untuk mandi lenyap


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seketika. Ia langsung melompat naik meninggalkan tempat itu. Tapi...
"Heh heh heh...! Mau lari ke mana kau, Perempuan Genit!"
Kuntini terpekik kaget, karena tahu-tahu kakek
cebol yang tadi sudah berdiri menghadang di hadapannya. Kakek itu menyeringai
memperlihatkan beberapa buah giginya yang tanggal.
"Maaf, Kek! Aku tak tahu kalau kau ada di tempat ini," ujar Kuntini yang
menghentikan langkahnya. Kemudian meminta agar kekek itu membiar-
kannya pergi. "Enak saja! Kau sudah melihat seluruh tubuhku tanpa pakaian! Untuk itu kau tidak
boleh pergi sebelum aku membalas perbuatanmu itu!" bentak kakek cebol ini
berkacak pinggang, kemudian kembali menyeringai.
Mendengar kakek itu tidak mempedulikan per-
mintaan maafnya, malah hendak membalas, Kun-
tini menjadi marah. Ditentangnya pandang mata
kakek itu tanpa rasa takut sedikit pun.
"Jadi apa yang kau inginkan dariku sebagai
penebus kesalahan yang tidak kusengaja tadi?"
tantang Kuntini saking jengkelnya.
"Hm... mudah saja. Karena kau sudah melihatku dalam keadaan telanjang, maka aku
pun harus melihatmu berdiri di depanku tanpa pakaian. De-
ngan begitu baru aku merasa puas. Hayo, sekarang buka pakaianmu!"
"Permintaan gila! Otakmu pasti sudah tidak
waras! Aku tak sudi!" maki Kuntini yang tentu saja menjadi marah bukan main.
Wajahnya semakin
merah saking marahnya. Tentu saja ia tidak sudi
menuruti permintaan gila itu.
"Eh, jadi kau tidak mau" Kalau begitu, aku akan memaksamu!" bentak kakek cebol
yang berkeras hendak membalas apa yang dilakukan Kuntini.
Maka, sewaktu Kuntini melompat pergi tidak mau
melakukan apa yang dimintanya, kakek cebol itu
pun mengejar mencegah Kuntini pergi. Bahkan
sudah mengulur kedua tangannya hendak melepas
pakaian gadis itu secara paksa.
"Kurang ajar, mau apa kau, Kakek Sinting!"
bentak Kuntini kaget melihat kecepatan gerak kakek cebol itu. Cepat ia
mengibaskan tangannya mencegah perbuatan kakek yang memaksa hendak
menelanjanginya.
Bukan main kagetnya hati Kuntini ketika melihat
kecepatan gerak kakek itu. Kibasan tangannya
mengenai angin kosong. Karena tangan kakek itu
tahu-tahu meliuk dan menjambret pakaiannya di
bagian leher. Daa...
Breeettt! "Aaauuuwww...!"
Kuntini memekik dengan wajah semakin merah.
Kali ini bukan cuma karena marah, tapi juga malu dan terhina. Karena tangan
kakek itu telah membuat bagian dada kirinya terbuka. Cepat Kuntini
melipat tangan kirinya, menyembunyikan dada kiri yang terbuka.
"Kakek sinting, tidak tahu malu! Kubunuh
kau...!" sambil membentak marah, Kuntini mencabut pedang di pinggangnya.
Kemudian langsung di-
sabetkan ke tubuh kakek cebol itu.
Bweeettt! Sambaran pedang Kuntini hanya membeset
angin. Kakek cebol itu sudah berkelit untuk kemudian kembali hendak merobek sisa
pakaiannya. Gerakannya yang demikian cepat laksana sambaran
kilat, membuat Kuntini tak bisa lagi mengelak.
Tangan kakek itu kembali menjambret sisa pakaiannya.
"Heh heh heh...! Tubuhmu ternyata lebih halus daripada badan kerbau! Wah, tentu
akan jauh lebih menarik kalau sudah kelihatan seluruhnya...," kakek cebol ftu
terkekeh sambil menjilat-jilat bibirnya hingga menimbulkan suara berkecipak.
Kakinya melangkah menghampiri Kuntini, yang kali ini su-
dah tidak berdaya lagi Karena kedua tangannya
digunakan untuk menutupi dada yang sudah tidak
tertutup pakaian lagi. Ia lari hendak bersembunyi ke balik pepohonan.
"Kakang Sujiwa, tolooong...!" saking ngeri dan paniknya, Kuntini berteriak minta
tolong kepada kekasihnya. Belum lagi gema teriakan Kuntini lenyap, sesosok tubuh berkelebat dan langsung
menghadang kakek
cebol yang tengah menghampiri Kuntini.
"Tahan...!" bentak pemuda yang tak lain Sujiwa.
Pemuda ini langsung meninggalkan tempatnya
ketika telinganya menangkap suara orang ber-
tengkar. Terkejut bukan main Sujiwa ketika melihat kekasihnya berlari dengan
tubuh bagian atas terbuka dan tengah dikejar seorang kakek cebol. Tanpa berpikir
dua kali, langsung saja ia melompat menghadang.
"Minggir kau, Bocah! Aku tak punya urusan
denganmu," melihat seorang pemuda menghadangnya, kakek cebol itu langsung
mengibaskan tangannya.
Terkejut bukan main Sujiwa ketika tahu-tahu
telapak tangan kakek cebol sudah berada dekat
dadanya. Sadar kalau yang dihadapinya bukan ka-
kek sembarangan, cepat ia sabetkan tangan kanan
menangkis dorongan telapak tangan kakek cebol itu.
Namun untuk kedua kalinya Sujiwa dibuat kaget
Dengan sebuah liukan aneh, tangan kakek itu ber-
putar menghindari tangkisan Sujiwa. Tenis melun-
cur cepat dengan sebuah tamparan ke punggung
pemuda itu. Buk! "Hugh!"
Sujiwa terjerunuk dan nyaris terjatuh dengan
wajah lebih dulu. Namun pemuda itu dapat me-
nguasai keseimbangan tubuhnya dengan gerak ber-
putar melingkar. Kendati agak terhuyung beberapa langkah, Sujiwa selamat dan
tidak sampai terbanting,
"Keparat...!"
Sujiwa mendesis ketika melihat kakek cebol itu
terus menghampiri Kuntini. Cepat ia melesat untuk mencegahnya.
"Hyaaattt...!"
Dengan disertai lengkingan keras, Sujiwa mele-
paskan pukulannya ke tubuh belakang lawan. Te-
tapi dengan mudah kakek cebol itu menghindarinya.
Sehingga pukulan Sujiwa tidak mengenai sasaran.
Sujiwa sudah memperhitungkan kemungkinan
itu. Maka ketika serangan pertamanya luput, ia
langsung menyusuli dengan serangkaian pukulan
dan tendangan. Sujiwa mengerahkan seluruh keku-
atan tenaga dalamnya, membuat pukulan dan ten-
dangannya mendatangkan angin berkesiutan. Na-
mun, untuk kesekian kalinya ia dibuat kaget juga kagum melihat kemampuan lawan
mengatasi serangannya yang bertubi-tubi. Kakek cebol melom-
pat-lompat tidak beraturan, mirip cacing kepanasan.
Anehnya gerakannya membuat serangan-serangan
Sujiwa selalu menemui kegagalan. Bahkan ketika
kakek itu mulai membalas dengan tetap melompat-
lompat, Sujiwa-lah yang kelabakan. Sehingga....
Plak! Buk! "Aaakh...!"
Dua buah tamparan keras membuat tubuh Su-
jiwa terpelanting tanpa ampun. Meskipun tidak
sampai membuatnya tewas, tulang-tulang tubuhnya
dirasakan seperti remuk. Jalan napasnya pun terasa tersumbat, membuat Sujiwa
terengah dengan wajah
pucat Sujiwa sudah putus asa dan merasa tak berdaya
untuk membela kekasihnya. Mendadak, saja ia
mendapatkan sebuah pikiran untuk mencegah ka-
kek cebol itu mencelakai Kuntini.
"Tunggu, jangan ganggu gadis itu! Ia calon istri seorang pangeran yang bernama
Sokapanca...!"
merasa tidak ada jalan lain untuk dapat menye-
lamatkan Kuntini, Sujiwa terpaksa menggunakan
kata-kata itu. Sujiwa sedikit lega ketika melihat langkah kakek cebol itu terhenti, la tahu
ucapannya mendapat
tanggapan. Dan bertambah yakin ketika kakek cebol itu berbalik menatapnya lekat-
lekat "Calon istri seorang pangeran kau bilang"! Kalau begitu ia bakal menjadi mantu
raja?" tanya kakek cebol tampak belum percaya betul.
"Benar. Dan kalau kau berani mengganggunya, berarti kau siap untuk menjadi
buronan kerajaan!"
tandas Sujiwa meneruskan sandiwaranya menakut-
nakuti kakek itu.
"Tapi... mengapa ia bisa berada di tempat ini"
Dan kau ada hubungan apa dengan gadis itu?"
"Aku seorang abdi istana berpangkat perwira menengah yang ditugaskan untuk
menjemput calon
istri junjunganku. Tapi di tengah perjalanan kami dihadang perampok. Pengawal-
pengawalku tewas.
Lalu kami melarikan diri tanpa mempedulikan arah, hingga sampai ke hutan ini,"
jawab Sujiwa, semakin mempertajam siasatnya, karena kakek cebol itu
sangat tertarik hingga lupa akan niatnya semula.
Mendengar penjelasan Sujiwa yang panjang lebar,
kakek cebol manggut-manggut seperti burung kun-
tul. Keningnya berkerut, seakan tengah berpikir
keras. "Hm..., kalau begitu...," ujar kakek cebol itu sambil tetap berpikir, "Aku akan
mengawal kalian sampai ke kotaraja. Tentunya Pangeran Sokapanca
akan gembira sekali, dan memberi hadiah besar kepadaku...."
"Celaka...!" desis Sujiwa dalam hati. Wajahnya berubah, karena merasa siasatnya
malah berbalik dan bisa mencelakakan dirinya serta Kuntini. Sujiwa memutar otak mencari
jawabannya. "Hei, mengapa kau diam saja" Kau takut ya,
kalau hadiahmu akan berkurang?" bentak si Kakek tak sabar melihat Sujiwa
bungkam. "Bukan begitu, Kek. Tapi..."
"Aaah, sudahlah! Ini kesempatan bagus buatku.
Siapa tahu Pangeran Sokapanca berkenan meng-
angkatku untuk menjadi pengawal pribadinya. Ayo, kita berangkat!" ujar kakek
cebol itu memotong ucapan Sujiwa.
"Tidak, biar aku sendiri yang akan mengan-
tarkannya!" karena tidak melihat jalan lain, akhirnya Sujiwa nekat, la melompat
bangkit dan men-
cabut pedangnya.
Si Kakek Cebol tidak peduli, disambarnya bun-
talan pakaian Sujiwa yang tergeletak di tanah.
Kemudian melesat ke arah Kuntini, dan melempar-
kan buntalan pakaian itu.
"Cepat kenakan pakaian, Calon Pengantin! Aku akan mengantarmu ke kotaraja!" seru
kakek cebol, kemudian berbalik menghadapi Sujiwa yang berusaha mengejarnya.
"Kau tak berhak melakukan hal itu, Kakek Sinting!" bentak Sujiwa yang sudah
memutar pedangnya sekuat tenaga. Kemudian menerjang dengan
ganasnya. "Bocah serakah!" geram kakek cebol yang segera menghindar, dan balas melakukan
sebuah tamparan dengan gerak cepat. ]
Whuttt...! Sujiwa berhasil mengelak kendati tubuhnya agak
terhuyung karena kedudukannya memang tidak
bagus. Kemudian melesat ke depan dengan sam-
baran pedangnya yang bertubi-tubi. Namun semua
itu dapat dihindarkan lawan. Bahkan setelah lewat lima jurus kemudian, Sujiwa
tak mampu lagi menyelamatkan diri. Sebuah tamparan keras membuat
tubuhnya terpelanting!
Tanpa mempedulikan lawannya, kakek cebol itu
berbalik dan menghampiri tempat Kuntini berada.
Gadis itu sendiri baru saja selesai berpakaian, dan melangkah keluar dengan
wajah pucat. Kuntini
cemas bukan main melihat kekasihnya terbanting
keras, dan tidak mampu untuk bangkit
"Kakek jahat, kau harus merima balasannya...!"
Kuntini yang tak dapat menahan kemarahan
melihat kekasihnya terluka, segera menerjang kakek cebol itu dengan jurus-jurus
tangan kosong. "Wah, kau pun sama bandel dengan bocah laki-laki itu...," ujar kakek cebol yang
langsung menyambut serangan Kuntini. Dengan kedua telapak ta-
ngannya, dia menepiskan setiap pukulan dan tendangan Kuntini. Sehingga gadis itu
terdesak. Karena setiap kali pukulan ataupun tendangannya kena
tangkis lawan, tubuhnya terhuyung mundur dengan
wajah menyeringai menahan sakit. Dalam waktu
kurang dari sepuluh jurus, tubuh Kuntini terkena sebuah totokan yang membuatnya
lumpuh. Tubuh Kuntini tidak sampai roboh ke tanah, karena langsung disambar lawannya dan
dibawa pergi menuju
kotaraja. Sujiwa sudah bergerak bangkit dan sempat
melihat ketika Kuntini dibawa pergi kakek cebol itu.
Namun dirinya tak mampu berbuat apa-apa. Tulang
iganya patah akibat tamparan keras tadi. Meskipun begitu. Sujiwa bertekad untuk
menyusul ke kotaraja. Dia rela mengorbankan nyawa demi menolong
kekasihnya. Terlebih gurunya telah mempercayakan keselamatan Kuntini kepadanya.
Maka, dengan tertatih-tatih, Sujiwa meninggalkan hutan itu untuk menyusul ke kotaraja.
* * * Perjalanan Panji dan Nenek Muka Setan ternyata
tidak selancar yang mereka perhitungkan. Prajurit-prajurit kerajaan telah
menyebar ke berbagai desa.
Keduanya terpaksa menjauhi jalan-jalan umum
ataupun pedesaan, karena di beberapa desa yang
hendak mereka lalui, terdapat prajurit kerajaan
berjaga-jaga. Mereka menahan serta menanyai se-
tiap pendatang, yang bukan warga desa setempat
Hal ini dikarenakan laporan palsu Pangeran Soka-
panca, yang menuduh Ki Dawung bersama murid-
muridnya sebagai pemberontak. Akibatnya di desa
diadakan pembersihan. Orang-orang yang dicurigai langsung ditangkap, dan baru
dilepaskan setelah
terbukti benar-benar tidak bersalah.
"Tidak kusangka kalau keadaan bisa berkembang sedemikian gawat! Dalam suasana
seperti ini, sudah pasti sangat sulit untuk bisa masuk kotaraja," ujar Panji
yang saat itu tengah berjalan menelusuri
sebuah hutan karet yang luas.
"Lalu, apakah kau akan membatalkan niatmu?"


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanya. Nenek Muka Setan menimpali sambil tetap
melangkah di sampingnya.
"Menurutmu sendiri bagaimana, Nek" Tujuan
kita ke kotaraja adalah untuk menyelidiki Pangeran Sokapanca. Sedangkan saat ini
ia tidak berada di istana karena sedang mencari Ki Dawung dan murid-muridnya,"
tanya Panji yang mulai ragu. Ia memang ingin tahu apakah kekejaman serta
kebiadab- an pangeran itu tidak diketahui pihak istana. Hal inilah yang membuat Panji
ragu. Sebab tujuan utamanya memang Pangeran Sokapanca.
"Menurutku, sebaiknya pangeran laknat itu yang kita urus lebih dulu. Aku
khawatir ia dan pasukannya dapat menemukan orang-orang Perguruan
Tapak Jalak. Mereka pasti akan dibantai habis jika sampai ditemukan," Nenek Muka
Setan mengutara-kan pendapatnya.
"Yah, aku pun mencemaskan nasib mereka, ujar Panji yang akhirnya mengikuti
pendapat Nen Muka
Setan. Segera saja keduanya memutar untuk me-
nunda kepergian ke kotaraja.
Kali ini keduanya melakukan perjalanan dengan
menggunakan ilmu lari cepat, karena khawatir
keduluan pihak kerajaan.
"Nek, apakah kau mendengar ada suara-suara
orang bertempur?" tanya Panji seraya memperlambat larinya. Saat itu mereka
tengah melintasi
sebuah hutan kecil.
"Aku tak mendengar apa-apa, Panji. Tapi aku percaya dengan ketajaman telingamu.
Sebaiknya kau cari sumber suara pertempuran itu!" sahut Nenek Muka Setan dengan suara agak
keras. Tanpa membuang waktu lagi, Panji seg mencari
sumber suara yang didengarnya, la me mutar arah
larinya dan bergerak menuju ke sebel timur hutan kecil itu. Nenek Muka Setan
tetap mengikuti di
sampingnya. Suara-suara orang bertempur yang semakin jelas
terdengar oleh Panji dan mulai tertangkap telinga Nenek Muka Setan, membuat
keduanya menambah
kecepatan. Sampai akhirnya mereka menemukan
adanya dua orang yang sedang bertarung sengit.
"Kenanga..."!" desis Panji agak heran ketika melihat salah satu dari kedua orang
yang tengah bertarung itu. Langsung saja ia melesat dengan kecepatan penuh.
Karena Kenanga kelihatannya tengah
terdesak. "Hentikan pertempuran...!" seru Panji langsung melayang ke tengah arena. Sambil
meluncur turun ia mengibaskan tangannya untuk menghentikan
gempuran orang yang menjadi lawan kekasihnya.
Bressshhh...! Kibasan tangan Panji yang mengandung hawa
dingin menggigit itu, membentuk sebuah gelombang tenaga sakti yang kuat. Tubuh
Panji kembali melenting ke udara. Baru kemudian meluncur turun di
dekat Kenanga yang juga melompat mundur.
Sedangkan orang yang menjadi lawan Kenanga
terjajar mundur. Di wajahnya jelas terbayang rasa kaget. Karena benturan itu
sempat membuat tubuhnya menggigil untuk sesaat.
"Kakang!" seru Kenanga menarik napas lega,
"Kakek itu sangat mencurigakan Tubuh perempuan muda yang dipondongnya kurasa ada
dalam pengaruh totokan. Dan ketika aku tanya baik-baik ia
malah marah-marah. Lalu mengancam agar aku tak
mencampuri urusannya sambil mendorongkan tela-
pak tangannya yang merupakan pukulan jarak jauh.
Aku semakin curiga dan meminta untuk menye-
rahkan gadis itu kepadaku. Tap? ia malah menye-
rangku. Hingga kami bertarung," lanjutnya menjelaskan tanpa diminta.
"Heh..., dia Setan Cebol Sinting, yang merupakan salah satu gembong golongan
sesat!" Nenek Muka Setan menerangkan sebelum Panji membuka suara.
"Haa..., kiranya kau, Nenek Muka Setan!" geram Setan Cebol Sinting, yang memang
bertubuh cebol dan berusia lanjut. Perempuan dalam pondongan-
nya adalah Kuntini, yang hendak dibawanya ke
kotaraja. Seperti halnya Panji dan Nenek Muka
Setan, kakek cebol itu pun rupanya menjauhi jalan-jalan umum. Karena ia tidak
ingin membuat ke-
ributan dengan prajurit-prajurit kerajaan yang terdapat hampir di setiap desa.
Sedangkan ia sendiri hendak menemui seorang pangeran. Untuk itu ia
harus menghindari bentrokan dengan pihak kera-
jaan. "Rupanya kesintinganmu makin bertambah saja, Setan Cebol Sinting. Bahkan masih
juga sanggup menggauli gadis muda seperti yang tengah kau
pondong itu. Apakah ia sudah kau gauli" Lalu hendak kau bawa ke mana sekarang?"
ejek Nenek Muka Setan yang tentu saja membuat wajah kakek cebol
memerah. "Jangan sembarangan bicara kau, nenek peot
jelek muka setan! Gadis yang kubawa ini bukan
gadis sembarangan. la akan membawa keberun-
tungan buatku. Karena ia calon istri Pangeran Sokapanca! Kau tentu kaget
mendengarnya, bukan?"
tukas Setan Cebol Sinting sraya memperdengarkan
tawanya. Bukan cuma Nenek Muka Setan yang menjadi
kaget. Panji dan Kenanga pun terperanjat mende-
ngar ucapan kakek cebol itu. Pasangan pendekar
muda ini saling berpandangan beberapa saat. Mere-ka sama-sama teringat cerita Ki
Dawung, yang mempunyai putri tunggal dan telah diungsikan ka-
rena lamaran Pangeran Sokapanca. Namun karena
keduanya belum mengenal rupa putri tunggal Ki
Dawung, mereka tidak bisa memastikan.
Panji maju mendekat untuk bertanya. Namun
niatnya sudah didahului Nenek Muka Setan yang
menerjang Setan Cebol Sinting dengan tongkatnya.
Si Kakek Cebol menyambut serangan lawan dengan
tidak kalah ganasnya. Hingga, sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah
perkelahian sengit!
8 "Hyaaattt..!"
Nenek Muka Setan terus merangsek maju.
Tongkatnya menyambar-nyambar ganas. Namun
semua serangan itu dapat ditepiskan dengan mudah oleh Setan Cebol Sinting.
Kendati hanya menggunakan sebelah tangan, kakek cebol itu ternyata tak merasa
kerepotan. Bahkan sempat membuat lawan
kewalahan dengan serangan balasan yang cepat dan mengandung kekuatan hebat.
]"Rasakan akibat keusilanmu...!"
Saat pertempuran memasuki jurus kelima belas,
Setan Cebol Sinting membentak sambil melepaskan
sebuah pukulan maut Nenek Muka Setan yang
memang agak kewalahan, kaget bukan main! Cepat
ia melempar tubuhnya ke belakang untuk meng-
hindari pukulan maut lawan. Kemudian berputaran
beberapa kali sebelum meluncur turun.
Sebelum Setan Cebol Sinting dan Nenek Muka
Setan melanjutkan pertarungan, Panji segera me-
lesat ke arena. Kemudian berseru agar keduanya
menunda pertempuran.
"Tahan...!"
Seruan yang mengandung getaran kuat itu, mem-
buat Setan Cebol Sinting mengurungkan serangan
susulannya. Ditatapnya wajah Panji lekat-lekat
"Siapa kau, Bocah Ingusan..." Menyingkirlah, dan jangan campuri urusanku!" tegur
Setan Cebol Sinting dengan sikap mengancam.
Ancaman itu sama sekali tak membuat Panji
gentar. Dia tersenyum dan melangkah maju empat
tindak, membuat jarak di antara mereka semakin
dekat Tapi, sewaktu Setan Cebol Sinting bertempur dengan Nenek Muka Setan, ia
sudah memikirkan
cara terbaik untuk menghadapinya. Ia sudah mene-
mukan jalan yang tidak akan membahayakan gadis
dalam pondongan Setan Cebol Sinting. Sebab, un-
tuk menggunakan kekerasan, ia khawatir kakek itu akan menggunakan tawanannya
sebagai tameng.
Maka, Panji pun mulai dengan siasatnya.
"Setan Cebol Sinting, aku sama sekali tak bermaksud mencampuri urusanmu Tapi aku
merasa tertarik setelah mengetahui siapa kau adanya.
Kesaktianmu sudah lama kudengar. Tapi, kurasa
kau tak akan mampu melawanku. Nah, apa jawab-
anmu kalau aku sekarang menantangmu untuk ber-
tarung?" ujar Panji sengaja menyunggingkan senyum penuh ejekan.
Mendengar tantangan pemuda tampan berjubah
putih itu, Setan Cebol Sinting tampak keheranan.
Sepasang matanya berputar liar, seolah hendak
mencari jawaban maksud tersembunyi dari tan-
tangan itu. Bahkan ia sempat melirik ke arah Ke-
nanga dan Nenek Muka Setan. Kemudian kembali
menatap Panji. "Kau boleh menjawab tantanganku, Kek" Apa kau takut kalah olehku di hadapan
mereka?" desak Panji dengan nada menghina sambil menujuk Kenanga
dan Nenek Muka Setan.
"Hih hih hih...! Ketahuilah, Panji. Pada dasarnya Setan Cebol Sinting adalah
seorang kakek pengecut!
Jelas ia tak akan berani menerima tantanganmu!"
Nenek Muka Setan rupanya mulai paham mak-
sud ucapan-ucapan Panji, maka ia pun ikut mema-
nasi Setan Cebol Sinting dengan kata-kata hinaan.
"Keparat! Aku tahu kalian bertiga hendak menge-royokku! Heh heh heh...., jangan
kalian kira aku bodoh! Tidak bisa...!" tukas Setan Cebol Sinting menggoyang-
goyangkan telapak tangannya dengan
bibir dimonyongkan.
"Hm..., aku bukan pengecut, Kek. Aku tak akan melawanmu dengan mengandalkan
keroyokan! Nah,
apa jawabanmu" Kalau kau takut, serahkan saja gadis itu, dan pergi dari sini!"
ujar Panji menyanggah dugaan kakek itu.
"Ahaaa... aku tahu sekarang! Kalian bertiga pasti telah mengatur rencana licik.
Mereka berdua pasti akan mengambil gadis ini selagi aku bertempur
denganmu, bukan?" Setan Cebol Sinting kembali mengajukan dugaannya.
"Kami tak serendah itu, Kek. Aku menantangmu bertarung tanpa campur tangan
mereka. Atau kalau kau khawatir, biarlah kita bertarung untuk memperebutkan
gadis tawananmu itu. Kalau aku kalah
kau boleh bunuh aku dan tinggalkan tempat ini.
Sebaiknya kalau aku yang menang, kau harus pergi dan menyerahkan gadis itu
kepadaku. Bagaimana,
apakah kau berani bertarung melawanku untuk
memperebutkan gadis itu?"
"Kau dan kawan-kawanmu tak akan berbuat
curang...?" Setan Cebol Sinting masih ragu-ragu dan minta ketegasan Panji.
"Aku tak akan menjilat ludahku sendiri!" tegas Panji merasa gembira melihat
usahanya menunjukkan hasil.
Nenek Muka Setan dan Kenanga juga mengu-
capkan janjinya ketika Setan Cebol Sinting menoleh ke arah mereka berdua.
"Baik! Kuterima tantanganmu, Bocah...."
Setan Cebol Sinting segera melangkah ke arah
sebatang pohon besar. Kemudian meletakkan tubuh
Kuntini di atas rerumputan Lalu kembali menemui
Panji. Panji segera menggeser langkah ke kanan. Setan
Cebol Sinting juga bergerak dengan arah ber-
lawanan. Kemudian....
"Hyaaat..!"
Dibarengi sebuah lengkingan panjang memekak-
kan telinga, Setan Cebol Sinting melompat maju
disertai serangan-serangan mautnya. Tangan ka-
nannya meluncur dengan gerakan mencengkeram
ke arah renggorokan lawan. Sedang tangan kirinya menusuk dengan jari-jari
terbuka ke arah lambung.
Suara angin berkesiutan mengiringi datangnya ke-
dua serangan maut itu.
Panji maklum akan kedahsyatan serangan itu.
Dia cepat menggeser tubuhnya dua langkah ke sam-
ping. Satu tendangan lurus dilepaskan mengarah ke lambung lawan yang kini berada
di depannya. Namun Setan Cebol Sinting tak tampak gugup.
Tusukan jari-jari tangannya yang gagal, meliuk
cepat memapas tendangan Panji. Plak!
Benturan keras itu membuat tubuh Setan Cebol
Sinting terdorong mundur beberapa langkah. Panji sendiri sempat tergetar mundur.
Setelah saling tatap sejenak,
mengagumi kehebatan masing-masing, keduanya kembali melanjutkan pertarungan
Pertarungan kali ini jauh lebih hebat dari semula.
Keduanya telah menggunakan ilmu andalan masing-
masing. Demikian cepat gerakan tubuh mereka
hingga terlihat hanya merupakan dua sosok baya-
ngan yang saling desak satu sama lain.
Buk! Plak! Berturut-turut kedua pasang lengan itu saling
bertemu. Kali ini tubuh Setan Cebol Sinting terlempar sampai satu setengah
tombak. Sedangkan Panji hanya merasakan tubuhnya bergetar akibat benturan itu.
Hal ini bukan karena tenaga dalam Panji lebih tinggi dari lawannya, tapi
posisinya memang lebih menguntungkan. Sedang soal kekuatan, Panji harus mengakui
bahwa mereka boleh dibilang ber-imbang.
"Haiiit..!"
Sadar akan kehebatan lawan, Panji segera
menggunakan jurus pamungkas dari rangkaian ilmu
'Silat Naga Sakti'nya. Tubuhnya melesat dengan
kecepatan tinggi. Sepasang tangannya menyambar
disertai hawa dingin luar biasa, yang membuat
arena pertarungan bagai dilanda badai salju.
"Gila, tak kusangka kalau bocah ini ternyata memiliki kepandaian yang hebat!
Rasanya aku tahu siapa dia sebenarnya! Pantas ia berani menantang-ku
bertarung...!"
Setan Cebol Sinting mendesis geram. Ia kerahkan
seluruh kekuatan tenaga dalamnya guna melawan
hawa dingin yang mempengaruhi gerakannya itu.
Kakek cebol ini berusaha keras menyelamatkan diri dari serangan lawan, dan
sesekali membalas dengan sangat bernafsu.
Dua puluh jurus telah berlalu. Setan Cebol Sin-
ting tampak kewalahan dan mulai terdesak. Rasa
geram dan penasaran, membuat kakek cebol ber-


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

buat nekat! Saat Panji kembali menyerang dengan
dorongan kedua tangannya, langsung saja disambut dengan pengerahan seluruh
tenaganya. "Heaaa...!"
Setan Cebol Sinting membentak laksana ledakan
petir, sambil menghentakkan kedua tangan dengan
telapak terbuka.
Glarrr! "Aaakh...!"
Setan Cebol Sinting terpekik. Tubuhnya terlem-
par deras, kemudian terbanting jatuh ke tanah.
Kakek ini terduduk dengan napas terengah-engah.
Wajahnya pucat bagai mayat. Dari mulut dan hi-
dungnya tampak darah mengalir perlahan. Setan
Cebol Sinting menderita luka dalam yang parah
akibat benturan dahsyat itu.
Sedangkan tubuh Panji yang juga terpental balik, langsung berputar tiga kali di
udara, kemudian
meluncur turun dengan selamat Meski agak terhu-
yung, Panji tidak menderita luka. Hanya bagian dalam dadanya dirasakan masih
berdebar keras. Ha-
rus diakuinya kalau Setan Cebol Sinting benar-benar merupakan seorang lawan yang
sangat tangguh!
Panji melangkah menghampiri Setan Cebol Sin-
ting yang masih saja terduduk di tanah.
"Telanlah pil ini, mudah-mudahan dapat mem-
bantumu mengurangi rasa sakit..!" ujar Panji menyerahkan sebutir pil berwarna
putih salju. Setan Cebol Sinting terlihat ragu. Ditatapnya
wajah Panji dengan perasaan heran. Baru kemudian menerimanya, ketika melihat
Panji mengangguk.
Tanpa banyak cakap lagi, langsung saja pil itu
ditelannya. "Gadis tawananmu itu sekarang menjadi milik-ku," ujar Panji tersenyum. Kemudian
membebaskan gadis itu dari pengaruh tatokan.
Kuntini menatap Panji, Kenanga, serta Nenek
Muka Setan. Ia merasa bersyukur dirinya terbebas dari Setan Cebol Sinting, yang
hendak membawanya ke kotaraja. Ketika Panji bertanya, Kuntini membantah dan
mengatakan bahwa dia bukanlah calon
istri Pangeran Sokapanca. Kemudian menjelaskan
tentang penolakannya terhadap lamaran pangeran
itu. "Jadi kau putri tunggal Ki Dawung?" tanya Panji memotong cerita Kuntini saat
gadis itu menyinggung tentang penolakannya atas lamaran Pangeran Sokapanca.
"Benar..., apakah kau kenal dengan ayahku?"
tanya Kuntini penuh harap. Wajahnya berseri ketika melihat Panji tersenyum
mengangguk. "Kenanga, di mana Ki Dawung dan murid-mu-
ridnya sekarang berada" Sebaiknya kita bawa Kun-
tini menemui orangtuanya," ujar Panji kepada Kenanga.
"Mereka membangun sebuah tempat tinggal sekarang di dalam Hutan Lawa, sebelah
selatan Desa Kalicadas. Ayolah, kuantarkan!" jawab Kenanga menerangkan.
"Anak muda!" panggil Setan Cebol Sinting yang bangkit dari duduknya ketika
melihat Panji dan
yang lainnya hendak pergi. "Katakan siapa kau sebenarnya agar aku tak penasaran
dengan kekalahan ini?"
"Orang yang mengalahkanmu bernama Panji dan berjuluk Pendekar Naga Putih." Nenek
Muka Setan menukas, sebelum Panji sempat menjawab, "Nah, apakah kau sudah puas
sekarang?" lanjutnya
terkekeh puas melihat wajah kakek cebol itu mem-
bayangkan rasa kaget.
"Sudah kuduga...," desis Setan Cebol Sinting menatapi kepergian empat orang itu.
Kemudian baru melesat pergi ke arah berlawanan, setelah bayangan Panji dan yang lainnya
lenyap dari pan-
dangan mata. * * * "Sebutkan namamu, dan berita penting apa yang
kau bawa sampai berani lancang minta bertemu
denganku?"
Bentakan itu berasal dari Pangeran Sokapanca. Ia menatap wajah pucat lelaki
berusia sekitar tiga
puluh tahu lebih yang berdiri di hadapannya.
Lelaki yang mengaku bernama Jalinta ini segera
menjelaskan maksud kedatangannya, la salah seo-
rang murid Perguruan Tapak Jalak. Memberanikan
diri datang menghadap Pangeran Sokapanca dan
menerangkan tempat persembunyian Ki Dawung
beserta murid-murid lainnya.
"Hm... mengapa kau mengkhianati guru dan
saudara-suadramu" Dan imbalan apa yang kau ha-
rapkan atas jasamu ini?" tanya Pangeran Sokapanca yang tidak mau percaya begitu
saja. Khawatir kalau laporan orang itu merupakan siasat untuk men-jebak ia dan
pasukannya. "Hamba sakit hati karena cinta hamba ditolak Kuntini. Kecuali itu, Ki Dawung
telah pilih kasih dengan lebih banyak menurunkan ilmunya kepada
Sujiwa. Dua alasan inilah yang membuat hamba
mencari kesempatan untuk membalas semua itu.
Menurut hamba, sekaranglah waktu yang paling
baik," jawab Jalinta sejujurnya, karena kesempatan seperti itu telah lama
ditunggunya. "Baik! Sekarang antarkan kami ke Hutan Lawa!
Kalau ternyata bohong, kau akan kusiksa sampai
mampus!" tukas Pangeran Sokapanca sambil mendorong tubuh Jalinta. Kemudian
memerintahkan pasukannya agar bersiap.
Dengan berbagai macam perasaan yang meng-
aduk-aduk hatinya, Jalinta terpaksa ikut bersama rombongan menuju ke Hutan Lawa.
Wajahnya sudah tak beda dengan mayat. Dadanya terus berde-
bar-debar membayangkan wajah gurunya yang akan
marah besaar kepadanya. Tapi, dirinya tak bisa
berbuat lain. Kecuali kalau memang ingin disiksa sampai mati.
Kurang lebih setengah hari perjalanan dari Desa
Kalicadas, tempat Pangeran Sokapanca menginap,
saat matahari hampir tegak lurus, tibalah mereka di Hutan Lawa.
"Hei, mengapa berhenti" Ayo, tunjukkan dimana guru dan saudara-saudaramu
berada?" Pangeran Sokapanca membentak marah ketika
dilihatnya Jalinta ragu dan menghentikan kudanya.
"Tapi, Pangeran..."
"Jalan kataku...!" Pangeran Sokapanca membentak dan mengayunkan tangannya
menampar. Plak! Jalinta hanya bisa mengeluh dan menyumpah-
nyumpah dalam hati. la segera mengikuti perintah itu. Dan terus bergerak menuju
sebelah timur hutan. "Hm..., kepung rapat sekitar tempat itu...!" perintah Pangeran Sokapanca setelah
tiba di dalam hu-
tan, dan melihat belasan bangunan berdiri di tengah Hutan Lawa.
Namun sebelum perintah itu sempat dijalankan,
dari lingkungan bangunan itu melesat keluar murid-murid Perguruan Tapak Jalak,
dipimpin Ki Dawung
dan Sanggaling. Mereka tampak sudah siap berta-
rung sampai tetes darah terakhir!
"Murid murtad! Mengapa kau lakukan semua ini, Jalinta?" Sanggaling yang melihat
Jalinta di antara rombongan Pangeran Sokapanca, langsung saja
menduga bahwa semua itu akibat pengkhianatan
Jalinta. "Hah hah hah...! Muridmu ini memang cerdik
sekali, Ki Dawung! la benci kepada kau serta murid-muridmu yang lain. Dan
menawarkan jasa dengan
menunjukkan tempat persembunyian ini. la meng-
harapkan agar sakit hatinya kami balaskan. Bukankah begitu, Jalinta?" ujar
Pangeran Sokapanca tertawa gembira. "Nah, sekarang kau balaslah sakit hatimu,
Jalinta!" lanjutnya sambil menendang Jalinta hingga tersungkur dari atas
punggung kuda. Tubuhnya terguling-guling mendekati guru dan
saudara-saudaranya.
"Bangsat, kau tak pantas lagi untuk hidup...!"
Sanggaling yang tak dapat menahan kemarahannya,
langsung mengibaskan pedangnya.
Whuuuttt! Crasss!
"Aaakh...!"
Darah segar muncrat seiring lolong kematian
Jalinta. Ki Dawung hanya menghela napas karena
terlambat mencegah. Dia hanya bisa menyesali tindakan Jalinta, yang justru malah
membuat nyawa- nya putus. "Hua ha ha...! Sekarang giliran kau dan murid-muridmu untuk mati menyusulnya, Ki
Dawung! Serbuuu...!" pekik Pangeran Sokapanca memberi perintah.
Senapati muda yang memimpin dua lusin prajurit
itu, langsung melompat maju sambil memberi perintah. Demikian juga dengan dua
orang perwira menengah yang sudah bergerak maju dengan pedang di
tangan. Anehnya, dua orang jagoan istana yang
menyertai rombongan ini tidak kelihatan batang
hidungnya"
Ki Dawung yang sadar bahwa pertempuran tidak
mungkin dapat dicegah lagi, langsung saja memberi perintah kepada murid-muridnya
untuk menyambut
serbuan lawan. Kedua belah pihak sama-sama ber-
lari maju dengan senjata telanjang. Namun sebelum kedua belah pihak saling
bertemu, tiba-riba....
"Berhenti..!"
Suara bentakan keras menggelegar membuat
mereka yang siap bertempur saling terpelanting dan jatuh bergulingan. Bahkan
beberapa di antaranya
langsung menggeletak pingsan, karena dahsyatnya
tenaga yang terkandung dalam bentakan itu. Se-
hingga, keadaan pun seketika menjadi kacau.
Ki Dawung, Sanggaling, dan mereka yang ber-
kepandaian tinggi dari pihak Pangeran Sokapanca, sama-sama mengerahkan tenaga
untuk menutup pendengaran dan menenangkan isi dada yang ter-
guncang. Sebelum mereka sempat menguasai kea-
daan itu, beberapa sosok tubuh melayang dengan
kecepatan tinggi, dan meluncur turun di tengah-
tengah kedua belah pihak yang hendak bertarung.
Pangeran Sokapanca tampak kaget. Kemudian
berubah geram, ketika melihat kedua jago istana
yang semula menyertainya. Sama sekali tidak me-
nunduk. Mereka menentang pandang mata junju-
ngannya dengan sorot mata menusuk. Terlihat gam-
baran pertentangan di wajah ketiganya.
"Hm..., rupanya kalian hendak ikut memberontak!" desis Pangeran Sokapanca dengan
sorot mata mengancam.
"Tidak perlu berdalih lagi, Pangeran!" salah satu dari kedua jagoan itu
menyahuti dengan tegas.
"Semua telah berakhir. Kau tahu sendiri mengapa kami meninggalkan pasukan.
Sekarang bukan kau
yang mengadili kami, tapi kamilah yang harus
mengadilimu, Pangeran!"
"Bedebah! Senapati, bunuh mereka berdua yang telah berkhianat!" perintah
Pangeran Sokapanca kepada panglima muda yang terlihat bingung itu.
"Tahan pedangmu, Panglima!" kembali tokoh istana berkumis lebat, berseru
mencegah. "Sokapanca bukanlah seorang pangeran yang harus dihormati!
Ketahuilah oleh kalian semua! Pangeran Sokapanca sebenarnya lebih buas daripada
harimau lapar! la selalu memperturutkan nafsu birahinya, yang senang memperkosa
dan menyiksa korbannya. Tidak
sedikit wanita dibunuhnya setelah merasa puas! Ka-mi berdua sudah menyaksikan
dengan mata kepala
sendiri, sewaktu rombongan singgah di Desa Gaga-
ran! Pangeran yang kalian hormati ini memperkosa, menyiksa dengan gigitan,
cakaran serta pukulan,
dan kemudian membunuh dua orang gadis di desa
itu! Ia dengan kepandaiannya yang tinggi telah menculik kedua orang gadis malang
itu. Lalu membungkam mulut Kepala Desa Gagaran, agar tidak menye-
barluaskan kematian kedua orang gadis itu. Bahkan Pangeran Sokapanca mengatakan
bahwa ia akan mencari pelakunya!"
"Kami berdua memang sengaja meminta per-
kenan Gusti Prabu untuk menyertai rombongan,"
tokoh istana satunya meneruskan keterangan re-
kannya "Kami tak percaya bahwa Ki Dawung dan murid-muridnya hendak memberontak.
Karena sebelum mengabdi ke istana, kami sahabat baik Ki
Dawung! Dan kau senapati, tentunya masih ingat
dengan peristiwa mengerikan yang menimpa empat
orang selir Gusti Prabu, bukan" Dan kau juga masih ingat bahwa kematian empat
orang selir yang malang itu dirahasiakan, kecuali terhadap para pejabat tinggi
kerajaan! Tentu saja kami menjadi curiga!
Dan langsung bisa menduga kalau ada suatu ra-
hasia besar di balik kejadian itu. Lalu kami meng-hubungi tokoh-tokoh istana
yang sepaham dan di-
am-diam menyelidiki semua pembesar tinggi, ter-
masuk keluarga Gusti Prabu. Dugaan kami jatuh
pada Pangeran Sokapanca. Karena dalam kese-
hariannya ia kelihatan sangat dingin terhadap perempuan," jago istana ini
menghentikan ceritanya dan menarik napas dalam-dalam. Karena ia terlalu
bersemangat dalam berbicara.
"Bohong, semua itu fitnah busuk!" Pangeran Sokapanca membantah keras. Wajahnya
tampak dibanjiri peluh, yang tak henti-hentinya mengalir.
"Hei, Pangeran Binatang!" tiba-tiba Nenek Muka Setan melangkah maju dengan wajah
berang. "Coba kau kenali sobekan pakaian dan kancing baju ini!
Ingatkah kau terhadap perempuan muda yang can-
tik dan kebetulan tinggal seorang diri di atas Puncak Bulat Merak" Perempuan
cantik yang kau perkosa
dan kau siksa secara biadab itu adalah murid tung-galku! Nah, dengan adanya
bukti benda ini apakah kau masih hendak menyangkal"!"
Gemetar seluruh tubuh Pangeran Sokapanca
ketika melihat benda di tangan Nenek Muka Setan.
Wajahnya kian pucat dengan dada sesak, sulit un-
tuk bernapas. Ketakutan yang melanda dirinya se-
makin hebat! Karena seluruh rombongan pasukan-
nya tampak sama-sama menatap benci dan jijik ke
arahnya. Perubahan yang tak disangka itu membuat jiwanya terguncang. Deraan rasa
malu yang hebat
membuat ia mengambil keputusan nekat. Dengan


Pendekar Naga Putih 81 Budak Nafsu Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wajah pucat bagai tak dialiri darah, Pangeran Sokapanca memukulkan tangannya ke
kepala. Prak! Terdengar suara berderak disertai keluhannya.
Tubuh Pangeran Sokapanca terguling dari punggung kuda. la tewas dengan kepala
retak. Pangeran ini rupanya lebih suka bunuh diri daripada mati di
tangan orang lain.
Kejadian itu begitu cepat. Tak seorang pun yang
menyangka kalau Pangeran Sokapanca akan meng-
akhiri hidupnya sendiri. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya suasana berubah
hening, diliputi
ketegangan. "Kami akan membawa mayatnya ke istna, dan
menjelaskannya kepada Gusti Prabu," ujar tokoh istana berkumis lebat memecah
keheningan. Kemudian mengangkat dan meletakkan mayat Pangeran
Sokapanca di atas punggung kuda.
"Kemungkinan besar Gusti Prabu tak akan ma-
rah. Menurut penglihatanku, beliau sudah menge-
tahui penyakit kejiwaan yang diderita putranya,"
tokoh istana menambahkan.
"Kami bersedia menjadi saksi!" Senapati muda dan dua orang perwira menengah ikut
mendukung keputusan dua pengawal istana itu. Bersama pasu-
kannya, mereka meninggalkan tempat itu, setelah
menyampaikan permohonan maaf kepada Ki Da-
wung dan murid-murid Perguruan Tapak Jalak.
"Sebenarnya Pangeran Sokapanca patut dikasi-hani," desah Ki Dawung menghela
napas panjang, "Anehnya, mengapa ia mengajukan lamaran, meminta Kuntini untuk menjadi selirnya"
Mengapa ia tidak menculik dan menyiksanya seperti yang dilakukannya terhadap
wanita lain?" sambungnya dengan kening berkerut.
"Tampaknya terhadap putrimu yang cantik ini ia benar-benar jatuh hati, Ki
Dawung," yang menyahuti adalah Kenanga. Sebagai seorang wanita,
sedikit banyak ia dapat menerkanya. Tadi Pangeran Sokapanca pun selalu melirik
ke arah Kuntini dengan pandangan mesra, sebelum aibnya dibeberkan
tokoh-tokoh istana.
"Tapi penyakit kejiwaannya tidak akan bisa
hilang. Meski andaikata Kunrini telah menjadi selirnya, tetap ada kemungkinan ia
akan melakukannya
terhadap Kuntini," Nenek Muka Setan menimpali, membuat semua yang berada di
tempat itu bergidik teringat penyakit yang diderita Pangeran Sokapanca.
"Kakang Sujiwa...!" tiba-tiba Kuntini berseru cemas ketika teringat kekasihnya.
"Kita harus mencarinya, Ayah!" pintanya kepada Ki Dawung.
"Mari, kita mencarinya, Kuntini! Kau tunjukkan tempat terakhir kali
bersamamu...!" Kenanga langsung menawarkan diri untuk mencari Sujiwa. Tentu saja
juga bersama Panji.
Dengan membawa Kuntini sebagai penunjuk
jalan, ketiganya melesat meninggalkan tempat itu.
"Hei, aku ikut...!" Nenek Muka Setan berteriak.
Kemudian berlari mengejar.
Ternyata untuk mencari Sujiwa mereka tidak
perlu bersusah payah. Mereka menemukan pemuda
itu tengah berlari tersaruk-saruk sambil memegangi bagian dadanya yang masih
nyeri. Rupanya Sujiwa
tetap berkeras hati untuk mencari kekasihnya yang dibawa pergi Setan Cebol
Sinting. "Kakang...!"
Melihat kekasihnya yang tengah melangkah ter-
saruk-saruk itu, Kuntini langsung menghambur.
Sujiwa terkejut dan mengangkat wajahnya. Disam-
butnya tubuh Kuntini, lalu dipeluknya erat-erat.
Terdengar suara isak Kuntini, yang merasa bahagia melihat kekasihnya selamat,
kendati mengalami
luka. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Adnan Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Geger Perawan Siluman 1 Pendekar Penyebar Maut Lanjutan Darah Pendekar Karya Sriwidjono Senopati Pamungkas I 10
^