Pencarian

Dendam Pendekar Cacat 2

Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat Bagian 2


tetap saja perasaan itu tidak dapat disembunyikannya. Hal itu tercermin dari
wama gelap yang terpancar dari wajah Kenanga.
"Tentu saja boleh. Bukankah begitu, Kenanga?"
jawab Panji sambil menoleh ke arah kekasihnya.
Pemuda itu sadar betapapun lembut dan sabar-
nya hati Kenanga, tentu gadis jelita itu merasa tidak enak karena Milani seperti
melupakan kehadiran-nya. Perasaan itulah yang membuat Panji melibatkan
kekasihnya dalam percakapan itu.
"Ah, maafkan aku. Nisanak. Aku terlalu gembira dapat bertemu dengan Kakang
Panji, sampai-sampai aku melupakanmu. Kuharap kau sudi memaaf-
kan kekhilafanku," ucap Milani yang teringat kepada Kenanga ketika Panji menoleh
ke arah gadis jelita yang telah menolongnya itu.
Mendung yang menyelimuti wajah Kenanga le-
nyap ketika mendengar permintaan maaf Milani.
Senyumnya pun mengembang, pertanda ia telah
memaklumi sikap gadis cantik itu.
"Tentu saja boleh," sahut Kenanga buru-buru.
Karena ia tidak ingin Milani melihat warna kecem-buruan di wajahnya.
"Terima kasih, Nini Kenanga...," ucap Milani seraya menganggukkan kepalanya
sambil tersenyum manis.
"Panggillah aku dengan Kenanga saja. Bukankah kita telah menjadi sahabat?" kilah
Kenanga dengan wajah yang dihiasi senyum tulus.
"Milani, apakah yang membuatmu gembira begitu mengetahui diriku" Apakah hanya
karena kau ingin bertemu denganku, atau ada sesuatu yang membuatmu ingin
berjumpa denganku?" Tanya Panji menyelidik setelah terdiam beberapa saat.
"Benar, Milani. Kalau kau mempunyai persoalan, ceritakanlah kepada kami. Siapa
tahu kami bisa membantu," timpal Kenanga dengan nada suara kembali wajar. Karena
rasa cemburunya telah
lenyap melihat sikap Milani yang tulus.
Milani tidak segera mengutarakan apa yang
tengah dihadapinya saat itu. Dia menarik napas berulangkali seperti hendak
meredakan gemuruh di dalam dadanya. Setelah tertunduk sesaat, gadis cantik itu
mulai memaparkan peristiwa yang telah menimpa keluarganya.
Baik Panji maupun Kenanga mendengar cerita
Milani penuh perhatian. Keduanya tidak satu pun memotong cerita gadis cantik
itu. "Begitulah nasib yang telah menimpa keluarga-ku. Selanjutnya seperti yang telah
kalian saksikan tadi, diriku hampir ternoda," ujar Milani menutup ceritanya
dengan wajah sedih. Tampak butiran air mata kembali bergulir di pipinya ketika
ia teringat dengan ayah, ibu, dan abangnya.
"Jadi, pada saat kejadian itu, kakakmu yang bernama Wiranta belum kembali?"
Tanya Kenanga yang ikut merasakan kesedihan Milani.
"Belum. Bahkan sampai saat ini, aku belum berjumpa dengan Kakang Wiranta. Mudah-
mudahan saja, tidak ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya.
Sebab, menurut perhitunganku, Kakang Wiranta
saat ini pasti sudah kembali ke rumah," ujar Milani dengan suara serak.
"Apakah kau masih dapat mengenali orang yang berjuluk Topeng Setan Itu?" Tanya
Panji yang merasa belum pernah mendengar seorang tokoh sesat yang memiliki
julukan aneh seperti itu.
'Tidak, Kakang," sahut Milani menggeleng lemah.
"Hm... kalau begitu, sebaiknya kita segera selidiki saja," timpal Kenanga
mengajukan usul.
"Bagaimana, Milani" Apakah kau sudah siap menghadapi pembunuh orang tuamu...?"
Tanya Panji sambil menoleh dan menatap gadis cantik itu.
"Setiap saat aku selalu siap untuk menghadapi jahanam terkutuk itu, Kakang,"
ujar Milani berse-mangat "Kapan kita berangkat?"
'Tentu saja sekarang. Apakah kau ingin menung-
gu sampai menjadi nenek-nenek?" sambut Kenanga mencoba menimbulkan suasana
gembira di antara
mereka. Tanpa banyak cakap lagi, ketiganya bergegas meninggalkan tempat itu. Karena
mereka mengguna-
kan ilmu lari cepat, maka sekejap saja tubuh ketiganya lenyap ditelan lebatnya
pepohonan hutan.
*** Sesosok tubuh yang mengenakan pakaian serba
putih berlari cepat di bawah siraman cahaya bulan.
Sepasang kakinya seperti tidak menyentuh permukaan tanah, terus bergerak mendaki
Lereng Gu- nung Siluman. Kakinya terus bergerak mendekan
bagian belakang sebuah bangunan tua yang men-
jadi tempat tinggal Pendekar Kera Siluman.
Rupanya kedatangan sosok tubuh berpakaian
serba putih itu memang telah ditunggu penghuni bangunan itu. Sebab ada sesosok
tubuh tegap berdiri dan menanti di taman belakang bangunan tua tersebut.
Sosok berpakaian serba putih yang bertubuh
sama tegap dengan Pendekar Kera Siluman, meng-
hentikan larinya ketika melihat orang yang ingin dijumpainya telah menunggu.
Dengan langkah perlahan, diharnpirinya sosok
yang tak lain adalah Pendekar Kera Siluman. Langkah lelaki berpakaian serba
putih itu terhenti dalam jarak satu setengah tombak dari Pendekar Kera
Siluman. "Mana bocah celaka itu, Kera Siluman" Cepat serahkan kepadaku!" ujar lelaki
berpakaian serba putih itu membuka percakapan dengan nada dingin.
"Kau.... Jadi, kaulah si Topeng Setan itu" Tidak kusangka tindakanmu begitu keji
dan tega membunuh Ki Tambak Baya dan keluarganya. Sekarang apa yang hendak kau
lakukan terhadap Wiranta?"
Tanya Pendekar Kera Siluman yang telah mengenal baik siapa orang yang
bersembunyi di balik topeng buruk itu.
"Hm.... Aku akan membunuhnya! Cepat berikan bocah itu kepadaku, atau terpaksa
aku membunuh-mu seperti Ki Tambak Baya!" ancam lelaki berpakaian serba putih itu
yang berjuluk Topeng Setan.
"Tidak! Aku tidak akan menyerahkan Wiranta kepadamu. Sepanjang topeng buruk itu
kau kenakan dan menyuruhku untuk mencari Wiranta,
jangan harap permintaanmu itu kukabulkan. Dan, sekarang tidak usah kau berharap
aku akan menyerahkan anak itu kepadamu," tegas Pendekar Kera Siluman tidak
peduli dengan kegeraman
lawannya. "Kalau begitu, kau pun harus kulenyapkan!
Sambutlah kemahanmu, Kera Siluman...!" ujar Topeng Setan sambil melesat dengan
diiringi serangkaian pukulan maut yang mematikan.
Namun, Pendekar Kera Siluman yang telah ber-
siap, langsung menyambut serangan lawan dengan tidak kalah hebatnya. Sehingga,
kedua tokoh itu bertarung sengit.
Wuuut...! Pendekar Kera Siluman yang melihat tamparan
lawan tak mungkin dielakkan, segera mengangkat tangan kirinya menyambut serangan
lawan. Dan.... Plakkk! "UhhK..!"
Kaget bukan main hati pendekar berambut putih
itu ketika kuda-kudanya tergempur karena tamparan Topeng Setan. Bahkan tangan
yang digunakan untuk menangkis itu, terasa linu hingga ke tulang.
"Gila! Ilmu apa yang membuatnya memiliki kemajuan sedemikian pesat" Hm.... Aku
harus lebih berhati-hati menghadapi serangan-serangannya,"
gumam Pendekar Kera Siluman sambil menatap
tajam lawannya.
"Haiitt..!"
Dibarengi sebuah bentakan menggetarkan dada,
tampak Topeng Setan melontarkan sebuah pukulan jarak jauh sehingga menimbulkan
deruan angin yang dahsyat. Wusss...! Blarrr...! Sebatang pohon sebesar satu setengah kali
pelukan orang dewasa, langsung tumbang akibat
terkena hantaman angin pukulan yang ditontarkan Topeng Setan. Untung Pendekar
Kera Siluman cepat bergulingan ke samping. Sehingga pukulan tokoh sesat yang
sakti itu tidak sampai mengenai tubuhnya.
Namun, Pendekar Kera Siluman yang baru bang-
kit itu, kembali menggeser langkahnya guna menghindari serbuan lawan. Tubuh
lelaki gagah itu berkelebatan cepat dan menyelinap di antara sam-
baran tangan-tangan maut lawannya.
Dalam pertarungan adu kegesitan itu, Pendekar
Kera Siluman kembali dikejutkan oleh kepandaian lawannya. Topeng Setan ternyata
memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali. Sehingga, ketika
pertarungan menginjak jurus kelima puluh, lelaki gagah itu terpaksa menerima
sebuah gedoran telapak tangan lawan pada dadanya.
Wuttt! Blaggg! "Hugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh Pendekar Kera
Siluman langsung terjengkang keras hingga satu setengah tombak jauhnya. Gumpalan
darah segar muncrat dari mulutnya. Jelas, hantaman telapak tangan lawan telah melukai bagian
dalam tubuhnya.
"Haaat..!"
Topeng Setan tidak ingin berlama-lama mengha-
bisi lawannya. Saat tubuh lawannya terhuyung, tokoh sesat yang sakti dan berhati
kejam itu langsung saja mengejar dengan lontaran pukulan mautnya.
"Uhhh...!"
Meskipun keadaannya sudah cukup parah, na-
mun Pendekar Kera Siluman tidak sudi menerima
pukulan lawan begitu saja. Sebisa-bisanya lelaki gagah itu berkelit dan berusaha
melontarkan serangan balasan ke arah tubuh lawannya.
Sayang, selain kepandaian lawannya beberapa
tingkat lebih tinggi, keadaan lelaki gagah itu pun sudah cukup payah. Sehingga
serangan-serangan
balasan yang dilakukannya, dengan mudah dapat
dielakkan Topeng Setan. Bahkan, pukulan-pukulan yang dilakukan tokoh sesat itu
semakin memper-sempit ruang geraknya. Sehingga lelaki gagah itu terdesak hebat.
Ketika pertarungan menginjak jurus yang ke-
enam puluh dua, Pendekar Kera Siluman kembali
menerima dua buah pukulan telak pada dada dan
lambungnya. Buggg! Desss! "Huagkh...!"
Selagi tubuh lelaki gagah itu terlempar ke belakang, Topeng Setan melesat dengan
dorongan telapak tangannya yang langsung mengarah ke dada
lawan. Desss...! "Aaargh...!"
Hantaman sepasang telapak tangan berkekuatan
dahsyat itu, menghajar telak dada Pendekar Kera Siluman. Akibatnya, tubuh lelaki
gagah itu kembali terjengkang deras hingga menghantam sebatang pohon besar yang
berada di belakangnya. Kemudian tubuhnya menggeloso ke tanah dan tewas!
"Hm...."
Topeng Setan yang tengah memperhatikan mayat
Pendekar Kera Siluman itu, menggeram lirih. Tiba-tiba telinganya menangkap suara
langkah orang berlari di sebelah Selatan lembah. Sekilas kepalanya menoleh ke
arah hutan yang berjarak beberapa
belas tombak dari tempatnya berdiri. Sejurus kemudian, tubuh tegap itu pun
melesat melakukan pengejaran.
*** "Hm...."
Lelaki berpakaian serba putih itu menggeram lirih sambil menatap sosok bayangan
yang berlari beberapa tombak di depannya. Sesaat kemudian, lelaki yang tak lain
Topeng Setan itu, langsung menjejakkan kakinya ke tanah.
Bagaikan seekor burung besar, tubuh Topeng Se-
tan melambung melewati kepala sosok tubuh di
depannya itu. Dan mendaratkan kakinya beberapa langkah didepan buruannya dengan
posisi membelakangi sosok tubuh itu.
"Ha ha ha...! Hendak lari ke mana kau, Bocah...?"
tegur Topeng Setan sambil membalikkan tubuhnya menghadapi sosok tubuh yang
temyata adalah Wiranta.
Wiranta yang sempat melihat tubuh gurunya ter-
pental dan tidak bangkit lagi itu, segera lari meninggalkan kediaman gurunya.
Pemuda ini sadar tidak mungkin dapat menghadapi lelaki berpa-kaian putih yang
dikenal berjuluk Topeng Setan itu. Pikiran itulah yang membuatnya menyingkir dan
menghindari musuh besarnya itu.
Sayang, gerakan langkah Wiranta sempat ter-
tangkap pendengaran Topeng Setan yang sangat
peka itu. Sehingga, ia pun dapat dikejar oleh tokoh bertopeng buruk yang
memiliki kepandaian sukar diukur itu.
"Apa yang kau inginkan dariku, Manusia Jahat..?" ujar Wiranta dengan dada
berdebar tegang.
Ditatapnya wajah yang tersembunyi di balik topeng buruk itu, tanpa rasa gentar
sedikit pun. Melihat betapa pemuda itu bersiap-siap hendak
melakukan perlawanan, Topeng Setan memperde-
ngarkan suara tawanya yang menggetarkan jantung.
Wiranta terjajar mundur karena pengaruh kekuatan yang ditimbulkan suara tawa
itu. "Iblis...!" Desis Wiranta yang merasa bulu ku-duknya meremang mendengar suara
tawa yang menyeramkan itu. Ditekannya perasaan takut yang menyelimuti hatinya. Meski agak
berdebar, ditentangnya pandangan mata tokoh menyeramkan itu.
"He he he... Terimalah kematianmu, Bocah...,"
ujar Topeng Setan sambil mengibaskan tangannya perlahan ke arah Wiranta.
Wuttt..! Hebat sekali akibat kibasan tangan yang kelihatan sembarangan itu. Serangkum
angin keras bertiup dan meluncur ke arah tubuh Wiranta. Pemuda itu terkejut
bukan kepalang.
Sadar kalau kibasan angin dari pukulan lawan-
nya sangat berbahaya, cepat Wiranta melempar
tubuhnya ke samping. Begitu serangan lawan luput, pemuda itu melompat kedepan,
dan langsung mengirimkan serangkaian serangan dengan pengera-
han seluruh tenaganya.
Topeng Setan hanya memperdengarkan suara
dengusan mengejek. Serangkalan serangan yang dilontarkan Wiranta dipandangnya
dengan sebelah mata. Dibiarkannya serangan itu menghantam
tubuhnya. Bukkk! Bukkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Wiranta terkejut bukan main ketika tangannya
telak mengenai tubuh lawan. Seketika ia pula kedua tangannya terasa panas
seperti terbakar. Sehingga, pemuda itu menjerit kesakitan. Bahkan, tubuhnya
terlempar sejauh satu batang tombak. Kenyataan itu tentu saja membuatnya bingung
dan panik. Belum sempat Wiranta mengatur posisinya, tu-
buh Topeng Setan sudah melompat dengan disertai sebuah pukulan yang meluncur
deras mengancam
dadanya. Dan...
Plakkk...! Serangan yang kemudian berubah menjadi tam-
paran keras itu, menghantam telak wajah Wiranta.
Tubuh pemuda itu pun melintir bagaikan orang ma-buk. Lalu, terbanting keras di


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas tanah berumput.
Agaknya Topeng Setan tidak ingin membunuh
langsung pemuda itu. Terbukti tamparannya tidak menewaskan Wiranta. Meskipun
tubuh Wiranta terbanting keras, namun ia masih mampu bangkit dan berdiri.
"Uhhh...," Wiranta mengeluh menahan rasa sakit sambil meraba pipi sebelah
kanannya yang terasa panas bagaikan terbakar. Terkejut bukan main hati pemuda
itu, ketika mendapati Kenyataan bahwa pipi sebelah kirinya telah melepuh.
"Jahanam keji...!" desis pemuda itu kalap. Tamparan keras yang telah merusakkan
sebagian wajahnya itu, membuat Wiranta menjadi semakin nekat.
Maka, bagaikan kesetanan, diterjangnya tokoh sesat itu tanpa mempedulikan
keselamatan dirinya lagi.
Justru tindakan Wiranta itu semakin membuka
peluang bagi lawannya. Sebab, serangan yang dilontarkan secara membabi buta itu
akan membuat pertahanan dirinya menjadi lemah. Sehingga serangan pemuda itu
dengan mudah dapat dipatah-
kan lawannya. Maka, ketika menginjak jurus yang kelima belas....
Krakkkh...! "Aaargh...!"
Wiranta meraung kesakitan ketika lengan kanan
lawan terayun dan menghajar lututnya. Terdengar suara berderak keras saat lengan
bertenaga kuat itu mematahkan persendian lututnya.
Tanpa rasa Iba sedikit pun, Topeng Setan kembali melontarkan sebuah pukulan
keras yang menghantam dada pemuda itu.
Buggg...! "Huagkh...!"
Darah segar muncrat mengiringi terlemparnya tubuh pemuda itu. Sebuah mulut
jurang yang menganga di belakangnya, langsung menelan tubuh Wi-
ranta tanpa ampun.
"Aaa...!"
Terdengar jeritan ngeri mengiringi lenyapnya
tubuh pemuda itu ke dalam jurang, yang penuh dengan baru karang runcing dan
tajam. "Ha ha ha...! Mampuslah kau, Bocah Celaka...,"
teriak si Topeng Setan seraya tertawa terbahak-bahak.
Tawa tokoh sesat itu bergenia mengiringi tubuh Wiranta yang lenyap ke dalam
jurang. Tak berapa lama kemudian, manusia berhati iblis itu pun berkelebat
meninggalkan tempat itu. Hanya suara
tawanya saja yang masih terdengar bergenia dan berkepanjangan.
*** 6 Sesosok tubuh tegap berdiri menatapi bangunan
Perguruan Perisai Besi. Setelah cukup lama me-
mandangi bangunan yang dikelilingi pagar kayu
bulat itu, tampak kakinya mulai melangkah menghampiri pintu gerbang yang
tertutup rapat.
Aneh! Sosok tubuh tegap itu ternyata tidak dapat berjalan wajar. Langkahnya
tampak terpincang-pincang. Tongkat kayu berwarna kuning gading, yang semula
digunakan sebagai penyangga tubuhnya
untuk berdiri, kini digunakan untuk membantu
kakinya melangkah. Jelas, lelaki bertubuh tegap itu tidak memiliki kaki yang
sempurna. "Hei! Siapa kau..." Mau apa kau datang kemari"
Pergilah! Kami tidak mau memberimu sedekah...!"
Lelaki tegap yang kaki kanannya pincang itu,
menengadahkan kepala dan menatap ke arah se-
buah kepala di atas pos penjagaan. Rambutnya yang panjang meriap, disibak oleh
angin Sehingga,
tampak seraut wajah buruk yang bertotol-totol
hitam. Hidungnya yang besar terdengar menge-
luarkan dengusan kasar ketika melihat penjaga itu menatapnya dengan senyum
menghina. "Aku bukan pemalas yang datang hendak me-
minta derma. Tapi, kedatanganku kemari justru
ingin berjumpa dengan Ki Janar Pari. Ada sebuah berita penting yang hendak
kusampaikan pada-nya.
Harap kau suka menyampaikan kepada ke-tuamu
itu," terdengar suara serak dan parau yang keluar dari bibir tebal milik lelaki
muda yang cacat pada kaki dan wajahnya itu.
Sayang, penjaga pintu gerbang itu Bdak cermat
memperhatikannya. Kalau saja ia bemndak sedikit lebih teliti, mungkin
kejanggalan orang itu dapat dilihatnya. Meskipun lelaki berwajah buruk itu
berbicara perlahan saja, namun semua yang
diucapkannya sangat jelas terdengar di telinga.
Padahal, pos jaga di atas gerbang itu tiingginya sekitar tiga sampai empat
tombak. Pertanda lelaki cacat itu bukanlah orang sembarangan.
Lelaki berambut riap-riapan yang wajahnya dapat membuat orang lari tunggang
langgang bila berjumpa dengannya di waktu malam, perlahan
merundukkan kepalanya. Kembali rambutnya jatuh menutupi wajah. Lalu, masih
dengan gerak kepala perlahan, ditatapnya pintu gerbang yang tertutup rapat itu.
Tidak berapa lama kemudian, terdengar suara
berderak ribut. Seiring dengan suara itu, pintu gerbang Perguruan Perisai Besi
perlahan-lahan terbuka. Dari balik pintu gerbang yang terbuka sedikit itu, dua sosok tubuh melangkah
keluar. Kemu-dian,
disusul dengan empat sosok tubuh lain ber-gerak keluar.
"Siapa kau, Sobat Muda" Ada keperluan apa mencari Ki Janar Pah?" Tanya salah
seorang dari kedua lelaki gagah yang berwajah keras dan
berkumis hitam lebat. Sepasang matanya bergerak meneliti wajah yang tersembunyi
di balik rambut meriap itu.
"Kalau kau memang membawa berita yang cukup penrjng, biar kami yang akan
menyampai-kannya
nanti," timpal lelaki kedua yang bermata cekung, namun tajam bagaikan mata
pisau. Melihat dari
caranya, jelas ia maupun kawannya sama sekali
tidak menyukai kehadiran lelaki tegap berambut meriap itu.
Meskipun kedua orang itu melontarkan per-
tanyaan dengan nada ketus, namun sosok tubuh
pemuda itu sama sekali tidak peduli. Kepalanya tetap saja tertunduk dengan
pandangan menekuri tanah.
"Aku ingin berjumpa dengan Ki Janar Pari, dan tidak ada sangkut pautnya dengan
kalian...," ujar lelaki berambut meriap itu tanpa mengangkat
wajahnya. Ucapan lelaki Itu bernada parau dan dingin,
namun ia sama sekali tidak memandang sebelah
mata kepada kedua orang yang berdiri di hada-
pannya. Wajah kedua orang lelaki itu menjadi merah,
ketika mereka mendengar jawaban yang jelas me-rupakan penghinaan. Mereka pun
menjadi marah dan berang.
"Bangsat! Angkat kepalamu! Dan lihat kami baik-baik, dengan siapa kau tengah
berhadapan saat ini, Keparat Rendah!" bentak lelaki berkumis lebat itu sambil
mengepalkan tangannya sehingga menimbulkan suara gemeretak keras. Jelas, ia
merasa terhina dengan jawaban yang seperti disengaja itu.
Sebelum lelaki yang satunya sempat ikut mem-
bentak, sosok tegap berambut riap riapan itu sudah menyahuti.
"Hm.... Siapa yang tidak kenal dengan dua orang tokoh utama Perguruan Perisai
Besi. Nama Ki Ringgit dan Ki Sunggara sudah ramai dibica-rakan kaum rimba persilatan.
Sayangnya...," lelaki berambut riap-riapan itu sengaja tidak menyelesaikan
kalimat terakhirnya. Sepertinya ia ingin memancing rasa penasaran kedua tokoh
utama Perguruan Perisai Besi itu.
Jawaban lelaki tegap Itu tentu saja membuat Ki Ringgit dan Ki Sunggara tersentak
kaget. Heran bukan main mereka ketika sosok itu dapat me-ngenalinya dengan baik.
Padahal, sepengetahuan mereka, lelaki tegap itu tidak sekali pun mengangkat
kepalanya sejak mereka keluar dari pintu gerbang.
"Hm.... Bagus kalau kau telah mengenal kami berdua. Tentu kau menyadari
kedudukan kami di
dalam perguruan ini. Nah, mengapa kau tidak
melanjutkan ucapanmu?" tegur Ki Ringgit seraya menatap lelaki berambut riap-
riapan itu dengan pandangan semakin tajam.
"Sayangnya... kalian berdua temyata makhluk-makhluk berhati busuk, dan tega
mengkhianati guru kalian sendiri. Dan, aku datang kemari un-tuk menghukum pengkhianat-
pengkhianat seperti si
keparat Janar Pari itu!" jawabnya dengan nada suara mengandung getaran dendam.
Sambil berkata demikian, kepalanya didongakkan dan ram-but yang sejak tadi
menutup wajahnya disibak-kan.
"Ahhh..!"
Kontan enam orang lelaki itu melompat mundur
disertai seruan ngeri. Wajah mereka pucat bagaikan melihat hantu di siang
bolong. Jangankan
dalam kenyataan, dalam mimpi pun rasanya mereka tidak pernah terpikir akan
melihat wajah seburuk dan seseram itu. Bahkan, pimpi-nan mereka yang dijuluki
sebagai Topeng Setan masih lebih baik ketimbang wajah lelaki tegap di depan
mereka itu. Maka, wajar kalau keenam orang itu tersentak
kaget. "Sssi... siapa... kau..." Apa... apa yang kau cari di tempat ini...?" Tanya Ki
Ringgit gagap. Karena hatinya masih terguncang melihat wajah yang buruk dan
menakutkan. "Hm.... Aku adalah Pendekar Cacat yang di-tugaskan untuk merenggut nyawa-nyawa
kotor seperti kalian!" dingin dan menggetarkan jawaban yang keluar dari lelaki tegap
berambut riap-riapan itu.
Selesai mengucapkan kalimat yang mengerikan
itu, kakinya melangkah menghampiri keenam orang lelaki yang masih terkesima
menatapnya. Sepasang mata lelaki berwajah buruk itu nampak berkilat, memancarkan
dendam kesumat yang sangat dalam.
"Mampuslah kalian, Manusia-manusia Berhati Busuk!" desisnya sambil mengibaskan
tangan kanan ke arah enam orang itu.
Wuuut...! Kibasan tangan lelaki berwajah buruk yang
mengaku berjuluk Pendekar Cacat itu berkelebat cepat menimbulkan angin tajam
berkesiutan. Plakkk! Plakkk!
"Aaakh...!"
Dua orang anggota Perguruan Perisai Besi yang
tak sempat menghindar, langsung terpelanting dengan tengkorak kepala retak!
Jerit kematian terdengar mengiringi tewasnya kedua orang malang itu.
"Keparat...!" desis Ki Ringgit yang telah berhasil menekan guncangan dalam
hatinya. Cepat dica-butnya pedang yang terselip di pinggangnya.
"Yeaaat..!"
Disertai seruan nyaring, Ki Ringgit langsung melompat sambil membabatkan
pedangnya de-ngan
kecepatan kilat.
Wuuut..! Pendekar Cacat yang melihat datangnya sam-bar-
an pedang lawan, cepat menggeser tubuhnya ke
samping. Lalu, segera mengirimkan sebuah
tendangan kilat, begitu ujung pedang Ki Ringgit lewat di depan tubuhnya.
Namun tendangan yang semula meluncur ke
perut lawan, kembali ditarik ketika ia melihat sambaran pedang lain yang hendak
menebas kakinya. Kemudian, tubuh yang ketika melakukan tendangan itu bertopang dengan
tongkat kayunya, melenting ke belakang dengan disertai sambaran tongkatnya.
Bettt...! Trangngng...! Terdengar suara berdentang nyaring ketika tongkat lelaki cacat itu dipapaki
pedang Ki Ringgit.
"Aihhh...!"
Tokoh kedua Perguruan Perisai Besi wilayah
Utara itu memekik tertahan! Akibat benturan keras itu membuat tubuhnya terhuyung
hingga satu setengah tombak. Karuan saja kenyataan itu
semakin membuatnya penasaran.
"Yeaaat...!"
Dibarengi seruan keras, tubuh Ki Ringgit mele-sat dan langsung menerjang lelaki
bermuka buruk yang tengah bertarung dengan Ki Sunggara. Maka,
pertempuran yang berlangsung didepan pintu
gerbang perguruan itu makin ramai dan sengit.
Dua orang murid yang sejak tadi hanya berdiri
menonton, bergegas menyelinap masuk ke dalam
bangunan perguruan. Rupanya mereka hendak
melaporkan kejadian itu kepada Ki Janar Pari yang menjadi Ketua Perguruan
Perisai Besi cabang
wilayah Utara. *** "Haaat..!"
Dibarengi teriakan yang menggetarkan jantung,
tubuh lelaki cacat itu melesat seperti anak panah.
Tongkat sepanjang enam jengkal di tangannya,
meluncur dengan suara mengaung tajam.
Ki Sunggara yang menjadi sasaran hantaman
tongkat itu, berusaha mengelak sambil memutar pedang di tangannya. Sehingga
membentuk gulu-ngan sinar yang dapat membentengi tubuhnya. Namun,
gerakannya telah terbaca oleh lawan, membuatnya tak sempat lagi melindungi pung-
gungnya dari hantaman tongkat lawan. Maka...
Buggg...! "Aaakh...!"
Hantaman telak tongkat kayu bulat itu, mem-
buat Ki Sunggara memekik kesakitan. Darah segar terlom-pat dari mulutnya.
Sedangkan tubuhnya
sendiri terlempar sejauh satu batang tombak lebih.
Bukan main marahnya Ki Ringgit yang menyak-
sikan kejadian itu. Bagaikan banteng terluka, pedangnya diputar sedemikian rupa
dengan menge- rahkan seluruh tenaga dan kecepatan yang dimi-
likinya. Sambil membentak keras, tokoh kedua
cabang Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu menerjang lawan dengan serangan-
serangan bagaikan gelombang lautan.
Wuttt! Wuttt! Wuttt!
Namun Pendekar Cacat sama sekali tidak men-
jadi gentar. Dengan langkah-langkah aneh yang
membingungkan, tubuhnya bergerak mengelakkan
samba; pedang Ki Ringgit. Bahkan, sesekali tongkatnya terlontar melakukan
serangan balasan.
Diam-diam hati Ki Ringgit merasa penasaran
sekali. Sebab, setiap pedangnya menyambar, la-
wannya selalu saja dengan mudah mengelakkan-
nya. Se-olah-olah ilmu pedang miliknya itu telah dikenal lawannya. Tentu saja
kenyataan itu menimbulkan berbagai pertanyaan dalam benaknya.
Sayang, Ki Ringgit tidak sempat berpikir lebih jauh. Sebab, saat itu tongkat di
tangan lawan mulai mendesaknya dengan serangan yang susul-menyusul bagaikan
tidak pernah putus. Karuan saja Ki Ringgit menjadi kelabakan.
Untung pada saat yang gawat itu, Ki Sunggara
telah kembali datang membantunya. Sehingga, ia dapat menarik napas lega karena


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbebas dari gempuran lawan, meskipun bersifat sementara.
Harapan Ki Ringgit rupanya tidak beriangsung
lama. Sebab, ketika pertarungan menginjak pada Jurus keempat puluh, tongkat
Pendekar Cacat tiba-tiba berubah gerakannya. Bahkan, serangan kali ini jauh
lebih hebat dan mengerikan.
Kaget bukan main hati Ki Ringgit dan Ki
Sunggara melihat kenyataan itu. Mereka sama
sekali tidak menyangka kalau lawannya masih
memiliki ilmu lain yang belum digunakannya. Maka, tanpa banyak cakap lagi,
keduanya melom-pat
mundur, dan menyiapkan ilmu pedang pasa-ngan
yang menjadi andalan mereka.
"Haaat..!"
Hebat sekali serangan yang dilancarkan sera-
ngan berpasangan itu. Bagi lawan yang belum
pernah mengenalnya, tentu akan kewalahan karena pertahanan yang dibuat Ki
Ringgit dan Ki Sunggara sangat ketat. Sekilas pandang saja, dapat ditebak kalau
ilmu pedang pasangan itu memiliki inti
pertahanan yang amat kuat dan sukar ditembus
lawan. Tapi, tidak demikian halnya dengan lelaki ber-
wajah buruk itu. Ilmu pedang pasangan yang di-gunakan lawannya disambut dengan
suara de-ngusan mengejek. Kemudian, tanpa gentar sedikit pun,
tubuhnya langsung meluncur memapaki serangan
kedua lawannya.
Kembali Ki Ringgit dan Ki Sunggara melongo
heran. Serangan-serangan ilmu pedang pasangan
mereka seolah-olah tidak berarti bagi lawannya.
Bahkan, tubuh lawan dengan mudah menyelinap di antara kilatan cahaya pedang.
SeperBnya lelaki berwajah buruk itu tahu betul kelemahan ilmu
pedang pasangan lawannya. Sehingga kedua tokoh utama Perguruan Perisai Besi
wilayah Utara itu kembali dapat didesak lawannya.
"Yeaaat...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus kelima
puluh, tiba-tiba Pendekar Cacat memekik nyaring.
Dibarengi dengan putaran tongkatnya yang me-
nimbulkan deru angin keras, tubuh tegap itu
meluruk ke arah kedua orang lawannya.
Wuuut..! Prakkk! Buggg...!
"Aaakh...!"
Hebat sekali serangan yang dilancarkan Pen-
dekar Cacat. Sehingga, baik Ki Ringgit maupun Ki Sunggara terpaksa harus
menyerahkan nyawanya di tangan lelaki cacat itu. Hantaman keras tongkat lawan
mengenai kepala dan menembus jantung-nya.
Membuat kedua orang tokoh itu menggelepar dan
tewas. "Hm... Itulah ganjaran bagi pengkhianat-pengkhianat macam kalian...!" desis
Pendekar Cacat dengan nada dingin.
Tak berapa lama kemudian, lelaki berwajah
buruk itu melangkah terpincang-pincang mema-suki gedung perguruan.
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan menggelegar dibarengi
munculnya sosok tubuh gemuk menghadang jalan
lelaki cacat itu.
"Keparat! Siapa kau sebenarnya" Dan, apa yang kau inginkan dengan berbuat
keonaran di tempat ini?" geram lelaki gemuk yang tak lain dari Ki Janar Pari.
"Hm.... Janar Pari! Kau tidak pantas dibiarkan hidup lebih lama lagi! Bersiaplah
untuk menerima hukuman mati, Manusia Tak Tahu Balas Budi!"
Desis Pendekar Cacat dengan nada dingin dan
mendirikan bulu roma.
"Bangsat! Rejam lelaki buruk itu...!" perintah Ki Janar Pari seraya menudingkan
telunjuknya ke arah lelaki cacat itu.
"Tunggu...!"
Puluhan murid Perguruan Perisai Besi yang se-
mula meluruk maju, menghenrikan langkahnya
ketika mendengar teriakan menggelegar yang
membuat dada mereka berdebar keras.
"Dengarlah kalian, hai murid-murid Perguruan Perisai Besi! Jika kalian tidak
ingin disebut sebagai murid durhaka, jangan campuri urusan ini! Sebab, manusia
busuk yang bernama Janar Pari ini, telah bersekongkol dengan iblis-iblis keji,
dan membunuh Ki Tambak Waja yang menjadi guru besar kalian
semua! Maka, bagi yang tidak ingin disebut murid murtad, menyingkirlah, dan
tinggalkan tempat ini,"
ujar Pendekar Cacat sambil mengedarkan
pandangan matanya berkeliling.
"Jangan dengarkan ocehannya! Tunggu apa lagi"
Lumatkan lelaki buruk itu!" teriak Ki Janar Pari dengan suara keras.
"Yeaaat..!"
Tanpa membantah lagi, puluhan murid Per-
guruan Perisai Besi berteriak-teriak dan menyerbu Pendekar Cacat. Suara-suara
senjata mereka berdesingan menyambar tubuh lelaki cacat yang segera berlompatan
menghindarinya.
"Haiiit..!"
Sambil memekik nyaring, tubuh Pendekar Cacat
melayang ke arah Ki Janar Pari yang berdiri
menonton. Tongkat di tangannya langsung berpu-
taran dengan kecepatan kilat.
Tentu saja Ki Janar Pari tidak mau tinggal diam.
Dicabutnya pedang yang tergantung di ping-gang.
Lalu, disambutnya putaran tongkat lelaki cacat itu.
Trang! Trang! Terdengar benturan keras ketika senjata kedua
orang itu saling bertumbukan di udara. Kaget bukan main hati Ki Janar Pari
ketika kuda-kudanya
tergempur mundur hingga satu tombak ke belakang.
"Gila! Tenaga manusia cacat ini hebat sekali...!"
Desis Ki Janar Pari sambil menyeringai menahan rasa ngilu yang menggjgit
pergelangannya.
Namun, Ki Janar Pari tidak sempat berpikir lebih jauh. Sebab, lawannya telah
kembali mener-jang!
Bahkan, serangannya kali ini jauh lebih hebat dan semula. Karuan saja hati tokoh
utama Perguruan Perisai Besi itu semakin terkejut.
Pertempuran sengit antara kedua tokoh itu nam-
pak semakin mendebarkan. Para murid Ki Janar
Pari hanya berdiri menonton dari kejauhan. Sebab, bila mereka mencampuri
pertempuran, hanya akan merepotkan ketuanya saja. Sehingga, mereka bdak berani
melibatkan diri dalam per-tarungan sengit itu.
Sementara Itu, Ki Janar Pati semakin terkejut
ketika setiap kali ia berganti jurus, selalu saja dapat dikenali lawannya dengan
baik. Seakan-akan jurus-jurus yang digunakannya itu bukan lagi rahasia
perguruan. Kenyataan itu tentu saja membuatnya tak berkutik dalam menghadapi se-
rangan-serangan
balasan yang dilontarkan lawan-nya.
"Haiiit...!"
Ketika pertarungan memasuki jurus yang kelima
puluh, Ki Janar Pati sudah kewalahan dan tidak sempurna lagi melancarkan
serangan bala-san.
Semen-tara putaran tongkat lawan bagaikan
tangan-tangan maut, terus mendesaknya dengan
kecepatan dan kekuatan yang menggetarkan. Le-laki setengah baya itu tidak mampu
lagi meng-hindari sebuah tusukan lawan yang dikerahkan dengan
kekuatan hebat, meluncur ke arah teng-gorokannya.
Jrosss...! "Eeekh...!"
Ki Janar Pati mengerang kefika ujung tongkat
Pendekar Cacat tertanam dalam tenggorokannya.
Darah segar menyembur dari luka berlubang yang cukup besar.
"Hih...!"
Belum lagi Ki Janar Pati menyadari keadaan-nya, lelaki berwajah buruk itu
kembali membentak
sambil menyabetkan tongkatnya ke arah kepala
Ketua Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu.
Krakkk...! Tanpa sempat berteriak lagi, tubuh Ki Janar Pali melorot ke tanah dengan kepala
retak. Setelah menggelepar beberapa saat, tubuh lelaki setengah tua itu tewas di hadapan
puluhan orang murid-nya.
"Rawat perguruan ini baik-baik, dan kuburkan mayat-mayat yang mengotori bangunan
ini. Kelak aku akan kembali ke sini," ujar Pendekar Cacat kepada puluhan orang
murid yang hanya mengangguk dengan wajah pucat. Jelas, mereka merasa gentar
dengan lelaki cacat yang berkepandaian
tinggi itu. Setelah meninggalkan pesannya, Pendekar Ca-cat langsung melesat meninggalkan
Perguruan Perisai Besi wilayah Utara. Sesaat kemudian, tubuhnya
telah lenyap di balik pintu gerbang.
*** 7 Sesosok tubuh tegap berkelebatan cepat me-
lintasi jalan utama Desa Taking, Rambutnya yang panjang berWbaran diterpa angin
yang berhembus cukup keras. Gerakannya cepat dan ringan sekali.
Jelas, sosok tubuh tegap itu memiliki ilmu me-
ringankan tubuh yang tinggi.
Aneh! Sosok tubuh tegap itu tidak melalui mulut Desa Taking. Tetapi berbelok dan
meng-ambil jalan melalui pematang sawah. Di sini, kehe-batan ilmu meringankan
tubuh kembali dipertun-jukkannya.
Meskipun jalan yang dilaluinya sangat kecil, namun semua itu tidak menjadi
halangan baginya.
"Haiiit...!"
Sambil berseru nyaring, lelaki bertubuh tegap itu menjejakkan kakinya ke tanah.
Dan, tubuhnya langsung melambung ke dataran yang lebih tinggi di depannya.
Ringan sekali kedua kakinya men-darat di dataran tinggi itu.
Setelah mengedarkan pandangannya sejenak,
sosok yang temyata Pendekar Cacat, melangkah
tertatih-tatih. Tongkat bulat berwarna kuning gading menjadi penyangga kala ia
melangkah terpincang-pincang.
Desa Talung sudah jauh berada di belakang
punggungnya, dan tidak ditolehnya sama sekali.
Langkahnya yang terpincang-pincang itu terus
terayun di atas jalan berbatu.
Tak berapa lama kemudian, langkahnya ter-henti.
Dari balik rimbunan semak belukar, dipan-danginya sebuah bangunan perguruan yang
ber-diri kokoh dengan dikelilingi pagar kayu bulat.
"Hm.... Tunggulah pembalasanku, Topeng Setan...," desis Pendekar Cacat dengan
nada geram. Sinar matanya yang berkilat tajam memancarkan
dendam yang membara.
Sambil tetap mengawasi bangunan perguruan itu, Pendekar Cacat menanti hari
menjadi gelap. Karena saat itu senja terlihat mulai turun menyelimuti permukaan
bumi. Ketika keremangan senja mulai
merata, lelaki berwajah buruk itu berkelebat di antara bayang-bayang pepohonan
yang menyembunyikan sosok tubuhnya.
Setibanya di bagian belakang perguruan itu, langkahnya dihentikan sejenak.
"Hm.... Biarpun untuk ini harus mengorbankan nyawa, tetap dendam ini akan
kubalas," desisnya mengambil keputusan tanpa rasa ragu sedikit pun.
Setelah menetapkan keputusannya, Pendekar Ca-
cat menggenjot tubuhnya. Bagaikan seekor burung besar, tubuh tegap itu
rnelambung mele-wati pagar kayu bulat setinggi tiga tombak. Persis ketika
tubuhnya berada di atas pagar, tangan kanannya perlahan memukul pagar. Kemudian
tubuh tegap itu kembali melenting dan berjum-palitan beberapa kali di udara.
Lalu, mendaratkan kedua kakinya di
taman belakang bangunan per-guruan itu.
Rupanya nasib Pendekar Cacat kurang ber-
untung. Saat tubuhnya melambung, seorang lelaki berkepala botak yang mengenakan
rompi dari kulit harimau, sempat menangkap bayangan tubuhnya.
"Hei...! Siapa itu...?" bentak lelaki berkepala botak itu dengan suara keras.
Disusul dengan lesatan tubuhnya yang langsung mengejar baya-ngan lelaki berwajah
buruk itu. Teriakan yang cukup keras itu, sempat pula
terdengar oleh beberapa penjaga yang tengah ber-tugas. Sehingga tempat itu
segera ramai oleh para penjaga yang juga telah mendengar seruan lelaki berkepala
botak itu. Pendekar Cacat terkejut bukan main. Sadar kalau tidak mungkin lagi
menyembunyikan diri, maka dengan langkah tertatih-tatih lelaki cacat itu keluar
dari tempat persembunyiannya.
"He he he.... Manusia cacat! Apa yang kau cari di tempat ini?" Terdengar teguran
mengejek yang keluar dari mulut lelaki berkepala botak yang tak lain adalah si
Cambuk Kelabang.
Setelah berkata demikian, tangan si Cambuk
Kelabang bergerak memerintahkan murid-murid-
nya untuk mengepung lelaki berwajah buruk itu.
"Cambuk Kelabang...," desis Pendekar Cacat ketika mengenali lelaki berkepala
botak yang memimpin orang-orangnya untuk mengepung. Tam-
pak kilatan cahaya dendam dari sepasang mata
lelaki cacat itu. Sedangkan ejekan lelaki botak itu sama sekali tidak
dipedulikannya.
"Hm.... Bekuk pencuri kesasar itu! Bawa menghadap Ketua Topeng Setan...!"
perintah si Cambuk Kelabang dengan suara lantang.
Tanpa diperintah dua kali, belasan lelaki ber-
seragam putih bergerak menyerbu lelaki cacat itu.
"Hmh...!"
Sambil menggeram gusar, Pendekar Cacat me-
ngibaskan tongkat di tangannya ke sekeliling tempat itu.
Wuuut..! Serangkum angin keras berhembus ketika tong-
kat di tangan Pendekar Cacat diputar dengan
mengerahkan tenaga dalam.
Karuan saja mereka yang semula bergerak me-
nyerbu menjadi mundur. Sehingga dalam sekejap
saja, para pengepung dibuat berantakan oleh lelaki cacat.
Gusar bukan main hati lelaki berkepala botak itu ketika menyaksikan kenyataan
didepan hidungnya.
Wajah si Cambuk Kelabang yang memang agak
gelap, nampak semakin bertambah kelam. Jelas, ia sangat marah dengan kejadian
yang baru saja berlangsung di hadapannya.
"Kurang ajar...!" desisnya dengan nada geram Cepat tangan kanannya bergerak
meloloskan cambuk berduri yang terlilit di pinggangnya. Maka....
Jdarrr! Jdarrr!
Terdengar suara ledakan keras yang meme-
kakkan gendang telinga, ketika lelaki berkepala botak itu melecutkan cambuknya
berkali-kali. Asap tipis tampak mengepul selling bau amis yang
menyengat hidung.
"Gila...! Rupanya keparat botak itu telah me-lumuri racun pada cambuknya.
Padahal, beberapa waktu lalu, cambuk itu belum berlumur racun.
Hm... Aku harus lebih berhati-hati dalam meng-
hadapi cambuk berduri itu..," gumam Pendekar Cacat sambil bersiap menghadapi


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala kemung-kinan.
"Yeaaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh lelaki gemuk berkepala botak itu
langsung melesat disertai lecutan cambuknya yang meledak-ledak.
Jdarrr! Jdarrr...!
Cambuk berduri itu melecut-lecut mengincar
bagian-bagian terlemah dari tubuh Pendekar Cacat.
Namun, dengan gerakan yang ringan dan langkah-
langkah aneh, tubuh lelaki cacat itu meloncat kian kemari dengan lincahnya.
Sehingga, ujung-ujung cambuk berduri itu tidak sampai menyentuh
tubuhnya. "Haiiit..!"
Pada suatu kesempatan baik, Pendekar Cacat
menghantamkan tongkatnya dengan kecepatan yang menggetarkan.
Wuuut...! Sambaran angin keras menderu seiring dengan
ayunan tongkat yang digerakkan melalui kekuatan tenaga dalam.
Beberapa pengepung yang mencoba membo-kong
lelaki berwajah buruk itu, terpelanting keras tanpa sanggup bangkit lagi. Tubuh
mereka ber-kelojotan sesaat, sebelum menghembuskan napas-nya yang
terakhir. Jelas, hantaman tongkat Pen-dekar Cacat mengandung tenaga sakti yang
luar biasa. "Gila...!" umpat si Cambuk Kelabang dengan wajah semakin bertambah gelap.
Dengan disertai bentakan nyaring, tubuh lelaki berkepala botak itu kembali
meluruk maju disertai putaran cambuknya yang menderu dan mendesis-desis tajam.
Kepulan asap tipis berbau amis semakin kuat menyergap hidung lelaki cacat itu.
"Heaaah...!"
Geram bukan main hati Pendekar Cacat melihat
kecurangan lawannya. Bokongan cambuk lawan-nya berhasil dielakkan. Kemudian,
ujung tongkat-nya bergerak dengan kecepatan kilat ke arah tubuh
lawan. Bukkk! Desss...!
"Aaakh...!"
Si Cambuk Kelabang memekik kesakitan. Se-
rangan balasan tongkat lawannya menghajar telak batang leher dan dadanya. Kontan
darah segar menyembur dari mulut lelaki berkepala botak itu.
Tubuhnya yang besar, jatuh berdebuk di atas tanah.
Setelah berkelojotan sesaat, tubuhnya diam dan tak bergerak lagi. Si Cambuk
Kelabang tewas akibat hantaman tongkat di tangan Pendekar Cacat.
Namun, lelaki cacat yang baru saja menewas-kan musuhnya tersentak kaget. Hampir
bersa-maan dengan robohnya tubuh Cambuk Kelabang, sesosok bayangan melesat dengan kecepatan
kilat, dan langsung mengirimkan tendangan keras ke dada
Pendekar Cacat.
Desss...! "Huagkh...!"
Karena posisinya saat itu sama sekali belum siap, maka tendangan keras tadi
menghajar telak
dadanya. Bagai dilemparkan tangan raksasa yang tak tampak, tubuh Pendekar Cacat
terpental deras hingga dua tombak lebih. Kemudian jatuh berguling-guling dan
memuntahkan darah segar.
Meskipun dadanya terasa sesak dan tulangnya
terasa seperti remuk, Pendekar Cacat masih berusaha bangkit. Kedua kakinya
terlihat agak goyah ketika ia memaksakan berdiri.
Belum sempat lelaki berwajah buruk itu berdiri tegak, sosok bayangan putih itu
kembali meluruk dengan pukulan maut yang menimbulkan suara
mencicit tajam. Jelas, pukulan yang dilancarkan sosok bayangan putih itu
merupakan pukulan maut yang bisa membawa kematian bagi lawan-nya.
Pendekar Cacat yang mengatami luka cukup pa
rah itu, hanya mampu memandang serangan la-
wannya dengan pasrah. Sebab keadaannya sudah
sangat lemah sehingga tidak mungkin menghin-dari serangan lawannya.
"Heaaat...!"
Mendadak pada saat yang gawat bagi kese-
lamatan lelaki cacat itu, sesosok bayangan putih lainnya melesat dan langsung
memapak pukulan
maut sosok bayangan putih yang pertama. Maka....
Plakkk! Dukkk! "Akh...!"
"Uhhh...!"
Terjadilah benturan hebat yang seolah-olah hendak meruntuhkan bangunan perguruan
itu. Kemudian disusul seruan kaget dari kedua sosok bayangan putih yang saling
bentrok pukulan itu.
Terlihat kedua sosok bayangan putih itu sama-
sama terpental hingga mencapai dua tombak
jauhnya Namun, keduanya mampu metakukan salto
di udara beberapa kali untuk mematahkan daya
luncur tubuh masing-masing. Dan, keduanya
mendarat di atas tanah dalam waktu yang ber-
samaan. *** "Pendekar Naga Putih...!" desis sosok berpa-kaian putih sambil menatap lawannya
setengah tidak percaya. Sepasang mata yang tersembunyi di balik topeng karet itu berkilat tajam. Jelas,
ia merasa tak senang ada orang mencampuri urusannya.
"Hm.... Kau pastilah orang yang berjuluk Topeng Setan, bukan?" ucap sosok
berjubah putih dengan sikap tenang. Wajahnya yang tampan tampak
mengulas senyum. Tubuhnya yang tegap masih
terselimut lapisan kabut tipis bersinar putih
keperakan. Tidak salah lagi, orang berjubah putih itu adalah Panji yang lebih
dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
Selagi kedua sosok yang sama-sama menge-
nakan pakaian warna putih itu saling tatap, dua sosok tubuh lain mendaratkan
kakinya di depan
lelaki buruk rupa yang tengah memegangi dada-nya.
"Kisanak, kau... kau terluka...?" sapa sosok yang baru tiba sambil menyentuh
bahu Pendekar Cacat.
Wajahnya yang cantik tampak menylratkan sinar
penuh iba. Lelaki cacat yang semula merunduk itu, per-
lahan mengangkat kepalanya Sinar matanya ter-
tegun sejenak. Pendekar Cacat merasa terkejut
melihat gadis berpakaian merah muda yang tadi
menegurnya. Bibirnya yang tebal dan berwarna
hitam, menggerimit seperti hendak mengucapkan
sesuatu. Namun, yang keluar dari mulutnya hanya desahan panjang.
"Kau hendak mengatakan apa, Kisanak...!" Tanya gadis cantik itu dengan pandangan
penuh selidik. Meskipun dara cantik itu sempat kaget ketika
melihat wajah yang buruk dan menakutkan itu, tapi harinya merasa dekat dan iba
sekali terhadap lelaki berwajah mengerikan itu.
"Kau.... Apakah kau bernama Milani. Nisa-
nak...?" Tanya Pendekar Cacat terbata-bata. Nada suaranya agak ragu-ragu, namun
jelas kalau ia sangat berharap dugaannya tidak keliru.
"Benar! Namaku memang Milani. Kau... siapa-kah kau, Kisanak" Bagaimana kau bisa
mengenal-ku"
Rasanya..., kita tidak pemah saling bertemu
sebelumnya?" Tanya gadis yang ternyata Milani itu dengan wajah keheranan.
Wajar kalau Milani merasa heran. Sebab, boleh
dibilang, gadis cantik ini hampir tidak pemah keluar dari perguruan yang dipimpm
ayahnya. Tentu saja hatinya merasa heran mendengar lelaki cacat itu mengetahui
namanya. "Milani..., percayakah kau kalau aku ini adalah Wiranta, kakakmu?" ucap Pendekar
Cacat sambil menatap tepat ke bola mata Milani. Sepertinya ia hendak menegasi
sambutan gadis cantik itu atas ucapannya.
Tentu saja Milani tersentak kaget mendengar
pengakuan yang sama sekali tidak diduganya itu.
Gadis cantik itu baru mengerti mengapa ia merasa sangat dekat dengan lelaki
buruk itu, meskipun baru pertama kali bertemu. Tapi Milani tidak bisa percaya
begitu saja. Sebab, bisa saja orang berwajah buruk itu memang telah mengenatnya.
Dan, mencoba memanfaatkan kesempatan untuk maksud-maksud tertentu.
"Aku telah menduga kalau kau tidak percaya dengan ucapanku. Aku mengerti
keraguan hati-mu.
Sebab, gadis cantik mana yang sudi mem-punyai seorang kakak berwajah seperti
setan," tu-tur Pendekar Cacat tertunduk sedih. Jelas, hati-nya merasa terpukul
ketika melihat sikap Milani yang tidak sudi mengakui dirinya sebagai kakak
kandungnya. "Maaf, Kisanak. Bukan aku tidak suka mem-
punyai seorang kakak seperti apa yang kau katakan itu," sahut Milani yang merasa
tidak enak untuk mengatakan 'berwajah buruk'. Karena ia takut lelaki cacat itu
akan menjadi lebih tersing-gung.
Milani tercenung sejenak seraya menatap tajam
ke arah tubuh ielaki berwajah buruk itu. Seolah-olah ia ingin mencari kepastian
di tubuh lelaki yang mengaku bernama Wiranta itu.
'Tapi haruskah aku mempercayai begitu saja
ucapanmu" Kalau memang kau benar-benar
kakakku, tunjukkanlah tanda yang ada pada diri-mu. Sebab, keluarga kami memiliki
tanda khusus pada lengan kanannya yang tidak bisa ditiru orang iain," tegas
Milani sambil menatap wajah buruk itu dengan penuh selidik.
Tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Cacat segera
merobek baju pada pangkal lengannya. Dan, tanda khusus yang dikehendaki Milani
temyata memang ada pada pangkal lengan lelaki berwajah buruk itu.
Keraguan di wajah gadis cantik itu pun lenyap
seketika. Dipeluknya tubuh lelaki cacat itu tanpa rasa jijik sedikit pun.
"Kakang.... Apa yang terjadi denganmu" Mengapa kau sampai menderita seperti
ini?" isak Milani sambil menyembunyikan wajahnya di dada
lelaki buruk yang memang Wiranta itu.
"Nantilah akan kucentakan. Sekarang, sebaik-nya kita bereskan dulu manusia
manusia jahanam yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarga kita...,"
sahut Wiranta sambil melepaskan pelukan adiknya.
Gadis cantik berpakaian serba hijau yang sejak tadi hanya berdiri terpaku,
sempat diliputi keharuan melihat pertemuan kakak beradik itu. Ke-
malangan telah memisahkan mereka. Kini, kedua-
nya bertemu lagi, meskipun dalam keadaan yang
sama sekali tidak mereka inginkan bersama.
"Milani. Biar kulihat dulu luka yang diderita kakakmu. Kau berjaga-jaga
saja...," ujar gadis berpakaian hijau yang tak lain adalah Kenanga.
Setelah berkata demikian, Kenanga mengambil
sebutir obat berwarna putih dari dalam kantung kain yang tergantung di pinggang
kirinya. Kemudian, diserahkannya sebutir kepada Wiranta. Usai menyerahkan obat
gadis jelita itu pun bangkit dan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sedangkan
Wiranta sudah tenggelam dalam semadinya untuk
melancarkan peredaran darahnya kembali.
"Mengapa puluhan orang lelaki itu tidak menyerang kita, Milani?" Tanya Kenanga
yang merasa heran melihat puluhan orang pengikut Topeng Setan sama sekali tidak
bergerak menyerang. Tapi, mereka tetap dalam posisi mengepung dengan senjata di
tangan. "Hm.... Mungkin mereka masih merasa enggan untuk menyerangku. Itu pertanda hati
mereka belum sepenuhnya terbawa oleh lelaki jahanam
yang berjuluk Topeng Setan itu. Hal ini tentu cukup menggem-birakan bagiku.
Sebab, seandai-nya
mereka tidak lagi memandangku, tentu sejak tadi kita sudah kerepotan. Bahkan,
mungkin saja Kakang Wiranta menjadi tewas. Kulihat kesehatan tubuhnya masih sangat lemah,"
sahut Milani sambil mengedarkan pandangannya berkeliling.
Namun, kelegaan hati Milani tidak beriangsung
lama. Tiba-tiba berkelebat tiga sosok bayangan dari dalam bangunan utama
perguruan itu. Keda-tangan ketiga orang itulah yang membuat keadaan menjadi
berubah. "Hei! Mengapa kalian diam saja" Ayo, cincang ketiga orang itu!" perintah salah
seorang dari ke-tiga orang itu dengan suara mengandung teguran.
Milani dan Kenanga mematingkan wajah ke arah
asal suara itu. Kening gadis itu berkerut ketika melihat seorang wanita tua
berwajah keri-put. Sinar mata nenek itu nampak tajam dan me-ngerikan.
Sedangkan dua orang lainnya adalah lelaki ber-
tubuh gagah dan memiliki sikap agak angkuh. Dan, itu terlihat jelas baik dari
sikap maupun pandangan matanya yang menyiratkan ejekan. Sepertinya
mereka memandang remeh terhadap kedua orang
gadis cantik itu.
"Eh...!" Sentak salah satu dari kedua orang lelaki itu agak kaget ketika sempat
melihat wajah Milani lebih tegas. Tampak jelas rasa terkejut terpancar pada
wajahnya. "Ada apa, Adi Basra...?" Tanya kawannya yang memiliki kumis Bpis dan cambang.
Sebab ia merasa heran melihat kekagetan pada wajah kawan-
nya yang bernama Basra itu.
"Bukankah itu putri Ki Tambak Baya..?" Tanya Basra meminta pendapat lelaki
berkumis tipis itu.
"Hai..., benar! Pantas aku seperti pernah me-lihat wajahnya. Hm.... Kalau
begitu, kita harus hati-hati.
Sebab, sebagai putri Ki Tambak Baya tentu saja ia memiliki kepandaian cukup
luma-yan," bisik lelaki berkumis tipis itu mengingatkan kawannya.
Lelaki berwajah gagah yang dipanggil Basra itu mengangguk perlahan. Sedangkan
sepasang matanya telah beralih ke arah gadis berpakaian serba hijau yang
memiliki paras jelita dan sangat mempesona. Basra langsung terpikat ketika
melihat gadis jelita itu. Terlihat pada tatapannya yang tak pemah lepas dari
raut wajah Kenanga.
Sementara itu, puluhan lelaki bersenjata yang
semula hanya mengepung, kini mulai bergerak
setelah mendapat perinrah dari nenek bermata
mengerikan itu.
Nenek yang terkenal dengan julukan Kunti-lanak Hutan Manuk itu terkekeh serak.
Tongkat kepala tengkorak di tangannya diketukkan ke tanah
beberapa kail Setelah itu, kakinya yang kurus dan mengenakan gelang perak
melangkah beberapa
tindak. Keningnya tampak berkerut ketika melihat lelaki berwajah buruk yang
tengah bangkit setelah menyelesaikan semadinya.
"Bunuh ketiga orang itu...!" teriak Kuntilanak Hutan Manuk dengan suara parau,
seraya mengibaskan tongkat kepala tengkoraknya sebagai aba-aba untuk menyerang.
*** 8 "Heaaat..!"
Sambil berteriak keras, puluhan murid Pergu-
ruan Perisai Besi bergerak menyerang Kenanga dan dua orang putra Ki Tambak Baya.
Kenanga telah meloloskan Pedang Sinar Rem-
bulan yang melingkari pinggangnya. Senjata pusa-ka yang mengeluarkan sinar putih
keperakan itu diputar sedemikian rupa, sehingga membentuk
gulungan sinar yang mengejutkan para pengero-
yoknya. Demikian pula halnya dengan Wiranta. Lelaki
bermuka buruk yang berjuluk Pendekar Cacat itu memutar tongkatnya di depan dada,
sehingga menimbulkan deruan angin yang berputar hebat
Kesehatannya yang telah pulih berkat pil pem-
berian Kenanga, membuat semangatnya terbang-kit.


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan gagah, tubuhnya melesat menghalau musuh yang mengepung mereka.
Milani pun tidak tinggat diam, pedang yang ter-genggam di tangannya,
berkelebatan menyambar-
nyambar bagaikan kilatan-kilatan tangan maut yang siap merenggut nyawa lawan-
lawannya. Hebat bukan main gempuran yang dilancarkan
ketiga orang pendekar muda itu. Dalam waktu
sekejap, puluhan pengeroyok itu dibuatnya kocar-kacir. Darah segar muncrat
seiring jerit kematjan yang susul-menyusul, menambah semarak sua-sana
pertempuran. Kuntilanak Hutan Manuk dan dua orang lelaki
gagah yang semula memandang enteng ketiga
lawannya, menjadi terkejut bukan main. Maka,
ketiga tubuh itu segera melayang memasuki kan-
cah pertempuran.
Masuknya ketiga tokoh sesat itu, membuat ke-
adaan berubah seketika. Sehingga Kenanga, Mila-ni, dan Wiranta terpaksa
meningkarkan serangan-serangannya. Dan, jika mereka tidak ingin tewas dalam
pertempuran, maka harus selalu waspada.
Sebab kehadiran ketiga pentolan lawan itu mem-
buat pertarungan semakin bertambah ramai dan
sengit. "Haaat...!"
Wiranta yang telah menjelma menjadi seorang
lelaki cacat itu, berteriak nyaring sambil membabatkan tongkatnya menyapu dua
orang lawan yang hendak membokongnya. Begitu tubuh kedua
lawannya terjungkal, Pendekar Cacat langsung
mengirimkan totokan maut. Jerit kematian terdengar melolong ketika ujung tongkat
Wiranta me- nembus tenggorokan mereka.
"Yeaaat..!"
Lelaki bertubuh tegap yang bernama Basra cepat memanfaatkan kesempatan selagi
Wiranta membelakanginya. Pedang di tangannya berdesing nyaring merobek udara malam.
Namun, Wiranta bukanlah lelaki cacat yang gam-
pang ditaklukkan. Meskipun tubuhnya tidak
sempurna akibat kekejaman Topeng Setan, tapi
kepandaian yang dimilikinya sangat tinggi. Maka ketika merasakan sambaran angin
tajam dari belakangnya, cepat-cepat pemuda itu menjatuh-kan tubuhnya, dan langsung
menyodokkan ujung
tongkatnya ke arah dada lawan.
Wuuut..! "Aaah...!"
Gerakan tak terduga yang dilakukan Wiranta
membuat lawannya terpekik kaget Untung Basra
sempat memiringkan tubuhnya ke samping,
sehingga tusukan maut itu tidak sampai mengenai dadanya. Kemudian, terpaksa
tubuhnya berjumpalitan beberapa kali ketika tongkat lawan ber-putar mengancam
kepalanya. "Hm.... Rupanya Ketua Perguruan Perisai Besi cabang wilayah Barat telah
bersekongkol dengan Topeng Setan. Pantas ketika kudatangi kau tidak ada di
tempat, Ki Basra. Rupanya kau sudah ber-ada di sini. Rencana apa yang tengah kau
susun saat ini, Pengkhianat?" geram Wiranta yang me-ngenal baik Ki Basra sebagai
pengikut ayahnya yang menjabat Ketua Perguruan Perisai Besi wila-yah Barat.
Kegeraman pemuda itu pun semakin menjadi-jadi.
"Tidak perlu banyak bacot! Susullah tua bangka itu di akhirat!" bentak Ki Basra
seraya menyerang Wiranta dengan ayunan pedangnya.
Bettt! Bettt! Wiranta melangkah ke kiri-kanan dengan
gerakan-gerakan aneh untuk menghindari sera-
ngan beruntun lawannya. Dan ketika memasuki
jurus keempat puluh, ia melihat sebuah peluang yang sangat baik, langsung saja
pemuda cacat itu menyabetkan tongkatnya dengan sepenuh tenaga.
Wuuut...! Prakkk...!
Hantaman tongkat yang amat kuat itu, telak
menghajar pelipis Ki Basra. Darah segar mengucur sailing dengan tubuh lelaki
setengah tua itu terjengkang dan terhempas ke tanah. Tubuh itu berkelojotan,
sebelum tewas dengan mata mendelik.
Setelah menewaskan lawannya, Pendekar Cacat
mengamuk hebat. Belasan lawan dibabat dengan
tongkatnya, sehingga para pengeroyok itu terpelanting ke kanan dan kiri. Disusul
kemudian sebuah hantaman keras dari senjata yang tergeng-gam di tangan Wiranta.
Jerit kematian terdengar pilu
seiring darah mengucur dari luka-luka yang
menganga di leher mereka.
Dalam pertarungan lain, Kenanga dan Milani juga mengamuk hebat seperti banteng
terluka. Belasan pengeroyoknya dihajar habis-habisan. Namun,
sebagian dapat diselematkan oleh tiga orang
pentolannya. Wiranta yang melihat adiknya terdesak oleh se-
orang lelaki berkumis tipis, segera melesat dan langsung menerjang lelaki yang
dikenalnya se-bagai murid ayahnya dan menjadi ketua per-guruan di
wilayah Timur. Sehingga Milani dapat menarik
napas lega. "Keparat busuk! Mampuslah kau...!" maki Wiranta sambil menyabetkan tongkatnya
dengan kekuatan penuh.
Namun, lawannya temyata cukup gesit Selain
sambaran tongkat pemuda cacat itu dapat dihin-
darinya, ia pun sempat pula melakukan serangan balasan. Sehingga pertarungan
keduanya pun berlangsung sengit dan seru.
*** "Yeaaat..!" "Heaaat...!"
Di arena lain, Pendekar Naga Putih sudah pula
berhadapan dengan gembong penjahat yang
berjuluk Topeng Setan. Kedua tokoh yang memiliki kesaktian dahsyat itu saling
menerjang dahsyat.
Pertempuran yang beriangsung antara kedua to-
koh sakti itu, jauh lebih mendebarkan ketim-bang pertempuran-pertempuran
lainnya. Sehingga
suasana di sekitar arena pertarungan mereka
bagaikan terlanda angin topan yang mengerikan.
Beberapa batang pohon sebesar pelukan orang
dewasa bertumbangan akibat angin pukulan me-
reka yang nyasar. Bahkan pagar kayu bulat yang berada dekat mereka, roboh
berkeping-keping.
Dapat dibayangkan, berapa mengerikannya perta-
rungan kedua tokoh maha sakti itu.
Panji yang telah menggunakan jurus andalan-
nya, bergerak menyambar-nyambar dengan ceng-
keraman-cengkeraman mautnya. Suara sambaran
angin yang berasal dari pukulannya mencicit tajam, menandakan kekuatan hebat
yang terkan-dung di
dalamnya. Bahkan, hawa dingin yang memancar
keluar dari tubuh pemuda itu membuat keadaan di sekitar arena pertempuran
seperti di-landa badai salju.
Namun, lawan yang dihadapi pendekar muda itu
pun bukan tokoh sembarangan. Sambaran-
sambaran angin pukulannya menebarkan hawa
panas menyengat Sehingga suhu udara di sekitar pertarungan berubah-ubah.
Bila si Topeng Setan tengah berada di atas angin, maka udara di sekitar arena
pertempuran menjadi panas menyengat Sebaliknya, bila Pende-kar Naga Putih
mendesak lawannya, suhu udara pun menjadi dingin bagai menembus tulang. Untung
kedua tokoh sakti itu sama-sama memiliki daya tahan tubuh
yang tidak lumrah bagi manu-sia. Jika tidak,
niscaya bagian dalam tubuh mereka akan rusak
akibat pergantian udara yang tidak menentu itu.
"Heaaat..!"
Pada saat pertarungan menginjak pada jurus
keseratus enam puluh, tiba-tiba si Topeng Setan berteriak menggetarkan dada.
Bersamaan dengan
itu, tubuhnya melesat dengan disertai lontaran-lontaran
Bersamaan dengan teriakan yang menggetarkan
dada, si Topeng Setan melesat disertai lontaran pukulannya yang mencicit tajam.
Blarrr...! Pagar kayu bulat yang berada di belakang Panji, langsung roboh menimbulkan suara
berderak ri-but!
pukulannya yang mencicit tajam. Blarrr...!
Pagar kayu bulat yang berada di belakang Panji, langsung roboh menimbulkan suara
berderak ribut Pecahan kayu berhamburan akibat angin pukulan
berhawa panas menyengat yang terlontar dari
telapak tangan si Topeng Setan. Untung pemuda
berjubah putih itu sempat melompat ke samping.
Kalau tidak, pastilah tubuh Panji akan terluka parah bila terkena pukulan maut
itu. Panji yang semakin menyadari kedahsyatan ilmu
lawannya, segera merubah gerakannya. Se-pasang tangannya yang membentuk cakar
naga, berputar sebentar di depan tubuhnya. Terdengar suara
bercuitan seiring putaran tangannya. Sesaat
kemudian, sepasang tangannya bergerak cepat
saling susul-menyusul dengan disertai langkah
kakinya yang menimbulkan guratan-guratan da-lam di tanah tempatnya berpijak.
"Hmh...!"
Topeng Setan menggeram kasar ketika melihat
perubahan gerak lawannya. Bergegas lelaki tegap itu menggeser kaki kanannya ke
belakang, mem-bentuk kuda-kuda menyerong. Sepasang tangan-nya
tampak bergetar karena menyimpan kekuatan hebat di dalamnya. Sesaat kemudian,
sepasang tangan
kokoh itu bergerak menyabet ke kiri-kanan dengan gerakan yang sangat cepat.
Bettt! Bettt! Bettt!
Sambil melontarkan pukulan-pukulan maut dan
disertai langkah kaki berbentuk aneh, si To-peng Setan berteriak mengguncangkan
bangunan perguruan itu.
"Heaaa...!"
Wusss...! Begitu jarak di antara mereka tinggal satu
setengah tombak, lelaki tegap itu mendorongkan sepasang telapak tangannya
kedepan. Hembusan
angin tajam berhawa panas menyengat, terlontar dari sepasang telapak tangannya.
Panji yang tidak ingin keringgalan, segera mendorongkan telapak tangannya. Dan,
pada waktu serangan dilancarkan secara bersamaan, maka....
Blarrr...! Ledakan dahsyat laksana hendak menggun-cang-
kan jagat terdengar ketika dua kekuatan raksasa itu saling berbenturan satu sama
lain. "Aaargh...!"
Si Topeng Setan berteriak ngeri ketika tubuh-nya terdorong dan rnelambung di
udara. Sedang-kan
tubuh Pendekar Naga Putih hanya terhuyung sejauh sepuluh langkah. Sinar putih
keperakan dan sinar kuning keemasan berpendar menyelimuti tubuhnya.
Kedua sinar itu menandakan kalau Panji tidak menderita luka dalam akibat
bentrokan tersebut
Melihat tubuh lawannya terpental, Panji cepat
memantek kakinya di tanah. Seketika itu juga daya luncur tubuhnya langsung
lenyap. Begitu daya
dorong benturan tadi dapat dipatahkan, langsung tubuhnya melesat mengejar
lawannya yang masih
melayang di udara.
Bukkk! Desss...!
"Huagkh...!"
Darah segar langsung keluar dari mulut si
Topeng Setan. Sedangkan tubuhnya tersentak keras dan membentur sebatang pohon
besar yang langsung berderak tumbang.
Bergegas Panji melompat ke arah tubuh lawan-
nya yang menggelosot sambil merintih lirih.
"Tahan...!"
Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya ber-
maksud mencegah lelaki berwajah buruk yang akan menghantamkan tongkatnya ke
kepala si Topeng Setan yang tergeletak tak bernyawa.
"Mengapa kau mencegahku" Orang ini telah
menghancurkan hidupku! MenyingkiHah.'" bentak Wiranta sambil menatap tajam ke
arah Panji. "Sabarlah, Kakang...," ujar Milani mencegah Wiranta yang hendak menyerang Panji,
setelah membabat lawan-lawannya.
"Tahan nafsu amarahmu, Wiranta," ucap Kenanga berusaha menenangkan pemuda cacat
itu ketika berada di dekatnya, seusai menghabisi orang-orang yang mengeroyoknya.
"Hm... aku ingin melihat wajah di balik topeng jelek ini. Apakah wajah aslinya
jauh lebih buruk daripada topeng yang dikenakannya?" desah Panji sambil merenggut topeng karet Upis yang selama
ini menyembunyikan wajah lelaki tegap itu.
"Paman Wilangga...!?"
Wiranta dan Milani berteriak berbarengan dengan wajah pucat. Kedua kakak beradik
itu sama-sama melangkah mundur dengan wajah tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya. "Paman.... Mengapa... mengapa Paman melakukan semua ini...?" teriak Wiranta yang
sejak kecil memang sangat dekat dengan orang yang dipanggil paman olehnya itu.
Diguncangnya tubuh lelaki berusia empat puluh lima tahun yang tengah sekarat
itu. Air mata tampak mengembang di bola mata
lelaki berwajah buruk itu.
Tokoh sesat berjuluk Topeng Setan yang ter-nyata adalah Wilangga, adik tin Ki
Tambak Baya itu,
perlahan membuka matanya yang tampak meredup.
"Wiranta... Milani..., maaf... kan aku...," desah Ki Wilangga dengan susah
payah. "Aku... aku telah menjadi gila setelah mempelajari ilmu-ilmu tinggi yang
kutemukan dalam sebuah gua di kaki Gunung Tumbal. Ilmu-ilmu tinggi itu ternyata
sangat jahat dan telah meracuni pikiranku. Sehingga, aku sampai merebut
perguruan milik ayahmu ini, dan membunuhnya," ucapan Ki Wilangga terhenti
sejenak. Tampak dengan susah payah lelaki setengah baya itu berusaha mengumpulkan
kekuatannya untuk
menceritakan segala kesalahan yang telah dilakukannya.
"Paman...!" Milani yang wajahnya sudah dibasahi air mata, memanggil sambil
mengguncangkan tubuh pamannya. Sedangkan Wiranta tertunduk dengan
wajah sedih. "Milani.. Wiranta...," panggil Ki Wilangga lagi dengan nada yang semakin lemah.
"Pengaruh ilmu iblis itu ternyata telah membangkitkan segala apa yang pernah
kurasakan dulu. Ketahuilah, aku dan ayahmu pernah bertengkar karena memperebut-
kan ibumu yang sama-sama kami cintai. Namun, waktu itu aku dapat menyadarinya
ketika ibumu menjatuhkan pilihannya kepada ayahmu. Tapi, semenjak menguasai ilmu
iblis itu, timbul sakit hatiku dan berniat untuk memiliki ibumu dengan segala
cara. Namun, setelah ayahmu dapat ku-bunuh, seluruh
perguruan dan cabangnya berada di bawah kekua-
saanku. Sedangkan ibumu ternyata memilih lebih baik mati daripada menjadi
istriku. Hhh..., kematian ibumu membuat jiwaku semakin guncang. Sehingga aku
membenci kalian. Sebab dalam bayanganku
kalian berdua adalah jelmaan Ki Tambak Baya. Itulah sebabnya kenapa kau ingin


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuh kalian
berdua. Wiranta, Milani..., maukah kalian memaafkan aku?" Tanya Ki Wilangga
setelah mengakhiri penjelasannya.
"Kami... kami memaafkanmu, Paman. Sekarang sebaiknya Paman tidak usah banyak
bicara. Kami akan meminta pertolongan Pendekar Naga Putih
untuk menyembuhkan luka-lukamu," ujar Milani yang berharap lelaki tegap itu
tetap hidup. Sebab, hanya Ki Wilangga yang tinggal setelah ayah dan ibunya
tewas. "Aku tidak mungkin dapat sembuh lagi, Milani.
Seluruh pembuluh darahku telah hancur akibat
pukulan dahsyat Pendekar Naga Putih. Karena aku ingin menjelaskan persoalan ini
kepada kalian berdua, maka aku mencoba bertahan beberapa saat,"
ujar orang tua itu seraya tersenyum getir.
"Paman..., apakah Paman juga yang telah membunuh Pendekar Kera Siluman" Ketika
aku dan Pendekar Naga Putih mendatangi Lembah Silu-man, kami menemukan mayat pendekar
itu di tepi sebuah hutan. Menurut Kakang Panji, kematian guru Kakang Wiranta
disebabkan pukulan yang mengan-
dung hawa panas. Ketika Paman bertarung dengan Pendekar Naga Putih tadi, aku
sempat menyaksikan pukulan Paman yang mengandung hawa panas. Karena itu, aku
teringat dengan dugaan Pendekar Naga Putih tentang pembunuh guru Kakang
Wiranta," Tanya Milani. "Hhh..., benar, Milani. Akulah yang telah membunuh Pendekar Kera Siluman. Karena
dia tidak mau kuajak menjadi pengikutku. Akh...!"
Selesai berkata demikian, Ki Wilangga mengerang dengan wajah menegang. Sesaat
kemudian kepalanya terkulai di pangkuan Milani. Lelaki tua itu tewas dengan
bibir menyunggingkan senyum. Rupanya
semua penjelasan itu telah membuat kematiannya terasa lebih ringan.
"Paman...!" Milani berseru sambil mengguncang-guncangkan tubuh Ki Wilangga.
Tangisnya meledak di atas dada orang tua itu.
Wiranta sendiri hanya tertunduk tanpa suara.
Hanya gelombang di dadanya saja yang menanda-
kan kalau pemuda itu pun merasa terpukul dengan kematian pamannya.
Kenanga yang merasa tidak tahan mendengar
isak tangis Milani, segera menyandarkan kepalanya di dada Panji. Kedua tangan
gadis jelita itu memeluk tubuh kekasihnya erat-erat.
Panji sendiri menekan keharuan yang menye-
ruak dalam dadanya. Dibelainya rambut Kenanga, seolah-olah dengan berbuat
demikian, ia berharap dapat memberi tambahan kekuatan dalam hati
kekasihnya. Sang surya naik merambat dan menyebarkan
sinarnya ke seluruh permukaan bumi. Seberkas cahaya menembus celah-celah
dedaunan pohon yang
tumbuh di halaman bangunan Perguruan Perisai
Besi. Tampak cahaya itu menerpa wajah sepasang pendekar muda yang akan
meninggal-kan tempat
itu. Setelah dua hari Panji dan Kenanga menemani dan menghibur Wiranta dan
Milani yang sedang
dirundung kemalangan. Namun, sepasang pendekar muda itu telah berniat untuk
melanjutkan perjala-nannya. Dengan hati berat mereka terpaksa meninggalkan kedua
sahabat barunya itu.
Dengan diantar Wiranta, Milani, dan belasan
murid Perguruan Perisai Besi yang telah sadar, pasangan pendekar itu melangkah
meninggalkan bangunan Perguruan Perisai Besi.
Setelah sosok Panji dan Kenanga hilang dari pandangan, Wiranta dan Milani
melangkah memasuki
bangunan yang dikelilingi pagar kayu bulat.
"Kakang. Kau belum menceritakan pengalaman yang pemah kau janjikan itu," ujar
Milani sambil memeluk pinggang Wiranta saat mereka melang-kah menuju bangunan
utama perguruan itu.
"Hhh..., sebuah pengalaman yang sangat menge-sankan. Ketika tubuhku meluncur ke
dalam jurang setelah dilukai Paman Wilangga, secara kebetulan aku tertahan
batang pohon yang terjulur di dinding tebing. Begitu tersadar dari pingsan, aku
melihat sebuah gua di dinding tebing. Aku sadar bahwa gua itulah satu-satunya
yang dapat kujadikan tempat tinggal. Ternyata di dalam gua itu kutemukan ke-
rangka seorang wanita tua dengan tongkat tergenggam di tangannya. Kupelajari
lukisan gerakan-
gerakan orang bersilat yang terdapat di dinding gua.
Setelah itu, kuikuti petunjuk yang terdapat dalam lukisan itu. Pada dinding itu
tertulis sederet huruf.
Kemudian aku mengikuti lorong gua yang terletak di sebelah kiri. Lalu aku
menemukan gua bercabang, dan kutelusuri gua yang besar itu. Kemudian, di sanalah
aku mempelajari gerakan-gerakan silat,"
ujar Wiranta mengakhiri ceritanya sambil menghela napas.
"Lalu, ke manakah tembusan gua itu...?" Tanya Milani yang rupanya masih belum
puas sebelum mendengar semua cerita Wiranta.
"Yah..., mungkin nenek sakti itu yang membuat tembusan. Tapi, entah kenapa ia
tidak mau keluar dari dalam gua itu. Dan, memilih mati di dalam gua.
Mungkin saat tembusan gua itu selesai, umurnya sudah terlalu tua. Sehingga, ia
tidak mempunyai keinginan untuk terjun ke dunia ramai lagi. Seperti yang sering
kita dengar dari cerita ayah mengenai tokoh-tokoh sakti, mereka lebih suka
menyepi ketimbang hidup di dunia ramai. Setelah beberapa lama menyusuri lorong gua itu,
tibalah aku di sebuah tepian pantai. Kemudian berjumpa dengan-
mu," ujar Wiranta seraya mengetatkan pelukannya dan menatap wajah adiknya.
"Kalau begitu, apa yang membuat wajah Kakang menjadi rusak" Rasanya sejak tadi
Kakang tidak menyinggungny a."
"Hm..., aku sengaja menggunakan topeng karet tipis ini untuk menghindari Topeng
Setan dan orang-orangnya. Dengan begitu, aku dapat lebih leluasa untuk menyelidiki manusia
yang berjuluk Topeng Setan itu," sahut Wiranta seraya membuka topeng yang selama
ini menyembunyikan wajah-nya.
Maka, tampakIah wajah asli pemuda itu yang bersih dan gagah.
"Ahhh..., Kakang sengaja mempermainkan aku selama ini, ya?" ucap gadis cantik
itu manja, sambil mencubit pinggang Wiranta.
"Hm.... Untung aku tidak menjadi gila seperti paman...," gurau Wiranta yang
segera menyambar tubuh Milani dan dipondongnya memasuki bangunan utama Perguruan
Perisai Besi. Sebentar saja tubuh kedua orang kakak-beradik
itu lenyap di balik pintu tebal. Hanya suara me-reka saja yang terdengar hingga
keluar bangunan perguruan ttu.
Beberapa orang murid yang tengah membersih-
kan halaman, menggelengkan kepalanya dan tersenyum melihat kegembiraan kedua
orang majikan mereka. SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Andan S Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/
http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pedang Asmara 15 Dewi Ular 80 Misteri Serigala Berkaki Tiga Pukulan Naga Sakti 19
^