Pencarian

Dendam Pendekar Cacat 1

Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat Bagian 1


T. Hidayat DENDAM PENDEKAR CACAT
CINTAMEDIA penerbit buku silat bermutu
DENDAM PENDEKAR CACAT
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau
memperbanyak sebagian atau seluruh
isi buku ini tanpa izin tertulis
dari penerbit T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Dendam Pendekar Cacat
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Kegelapan malam yang menyelimuti permukaan
bumi, perlahan-lahan memudar. Kokok ayam jan-
tan saling bersahutan menyambut cahaya jingga
yang menyemburat di ufuk Timur. Tak lama ke-
mudian, surya pun muncul dan mulai memancar-
kan sinamya menerangi alam semesta.
Saat itu, sesosok tubuh tegap tampak bergerak
lincah menuruni Lereng Gunung Siluman. Wajah-
nya yang bersih dan tampan, selalu terhias senyum gembira. Langkah-langkah
kakinya pun terlihat
ringan dan mantap. Menilik dari gerakan-gerakan yang dilakukannya, jelas pemuda
itu bukan orang sembarangan.
"Haiiit...!"
Ketika tiba di tepi sebuah sungai yang melintang, pemuda berusia sekitar tujuh
belas tahun itu berseru nyaring. Bersamaan dengan itu, tubuhnya
langsung melambung ke tengah sungai.
Sungguh mengagumkan sekali! Tubuh pemuda
yang meluncur turun di tengah sungai itu, kembali melenting ketika ujung kaki
kanannya ditotolkan pada sebuah batu yang permukaannya menonjol di atas air.
Setelah berjumpalitan sebanyak empat kali, pe-
muda itu mendaratkan kedua kakinya di seberang sungai. kemudian tubuhnya
berbalik kembali menghadap ke sungai, tampak senyum di bibirnya semakin melebar.
Jelas, ia merasa gembira karena dapat melewati sungai selebar tiga tombak, hanya
dengan dua kali lompatan.
"Hm.... Ayah pasti gembira melihat kemajuan ilmu yang kuperoleh selama tiga
tahun ini. Tentu ia akan memuji Pendekar Kera Siluman yang telah
mendidikku. Entah bagaimana pendapat ibu mengenai kemajuan yang telah kucapai
selama ini" Meskipun ia tidak begitu suka melihatku lebih memen-tingkan ilmu
silat, mudah-mudahan saja ia ikut merasa gembira," gumam pemuda itu sambil
tersenyum. Binar-binar kerinduan pun terpancar dari sinar matanya.
Untuk beberapa saat lamanya, pemuda itu terme-
nung seraya melepaskan pandangannya menera-
wang cakrawala. Bayangan wajah ayah, ibu, dan
adiknya menari-nari di benaknya. Sepasang matanya nampak semakin bercahaya,
karena sebentar
lagi akan berjumpa dengan orang yang sangat
dicintainya. "Ahhh..., Adik Milani tentunya sudah dewasa dan menjadi seorang gadis cantik.
Mmm..., tunggulah, Adikku! Sebentar lagi kita akan bertemu dan dapat bermain
seperti dulu. Ah, betapa hatiku rindu akan masa-masa indah kita...," desah
pemuda tampan berwajah agak bulat itu. Sepasang alisnya yang tebal dan hitam,
tampak bergerak-gerak lucu ketika bayangan masa kecil bersama adiknya bermain-
main di kepalanya.
Perasaan rindu yang menggelegak dan menyesak-
kan dada, membuat pemuda itu cepat membalikkan tubuhnya. Sesaat kemudian, tubuh
tegap itu telah melesat cepat bagaikan anak panah.
Kegembiraan hati pemuda itu tergambar jelas
dari gerakan-gerakan langkah kakinya. Terkadang ia berjumpalitan hingga beberapa
kali, sambil memperdengarkan suara tawanya yang berkepanjangan.
Untung di sekiiar tempat itu tidak ada orang yang melihat Bngkah lakunya. Kalau
saja ada orang yang sempat memergokinya, tentu ia akan disangka
sebagai pemuda gila.
*** "Tuan Muda Wiranta...!"
Seorang petani berusia sekitar empat puluh ta-
hun, berseru dengan suara hampir berbisik. Sepasang matanya nampak agak sayu,
menatap tajam ke arah wajah pemuda yang melintas di dekat sawahnya.
Pemuda yang tengah berlari-lari kecil itu, menoleh dan memandang berkeliling.
Rupanya panggilan itu sempat tertangkap pendengarannya. Terbukti pandangannya
diedarkan ke sumber suara
Petani yang wajahnya agak kecoklatan karena
terlalu sering terbakar sinar matahari itu, bergegas naik dari sawahnya.
Kemudian, ia melangkah melewati pemuda itu sambil berbisik lirih. Namun,
terdengar jelas oleh pemuda yang bernama Wiranta.
"Tuan muda, ikut aku! Tapi, jangan terlalu ken-tara. Berpura-puralah agar tidak
terlalu mencurigakan...," bisik petani itu ketika lewat di depan Wiranta.
Tanpa menunggu jawaban atas ucapannya, lelaki
bertubuh agak gemuk itu bergegas melangkahkan
kakinya menuju ke luar perbatasan desa.
Meskipun dengan wajah agak bingung, Wiranta
memutuskan untuk mengikuti petunjuk petani itu.
Langkah kakinya diperlambat. Seolah-olah hendak mengatur jarak di antara mereka.
Beberapa orang petani yang tadi sempat menolehkan kepalanya ke arah Wiranta,
kembali meneruskan pekerjaannya dengan sikap masa bodoh. Meskipun mereka sempat
merasa heran ketika melihat
pemuda itu tidak jadi memasuki desa. Namun, para petani itu tidak ambil peduli.
Di hati mereka tidak ada terbersit rasa curiga sedikit pun terhadap kedua orang
itu. Wiranta yang semula melangkahkan kakinya se-
cara perlahan, tiba-tiba bergegas mengejar petani di depannya yang berlari
cepat. Karena tidak ingin ter-tinggal, pemuda itu segera mengerahkan ilmu
larinya. Keadaan sekitar yang hanya ditumbuhi pepohonan, membuat gerak keduanya
menjadi leluasa.
Ketika sampai di sebuah hutan kecil yang sunyi, Wiranta memperlambat larinya.
Kemudian ia melangkah pelan ketika melihat sosok petani yang dikejarnya tengah
berdiri menanti kedatangannya.
Sebagai seorang pemuda yang sejak kecil telah
dilatih selalu waspada, Wiranta tidak mudah percaya begitu saja dengan petani
itu. Sambil memper-siapkan tenaga dalamnya yang segera disalurkan ke seluruh
tubuh, pemuda itu melangkah hati-hati
menghampiri petani aneh itu.
"Tidak perlu curiga kepadaku, Tuan Muda. Kau pasti telah mengenalku dengan
baik," ucap petani itu yang rupanya maklum dengan sikap hati-hali Wiranta.
Sambil berkata demikian, petani itu membuka tu-dung bambunya. Bahkan, ia pun
mencopot cam- bang yang menghiasi kedua pipinya.
"Kau... kau.... Bukankah Paman Losarang...?"
seru Wiranta hampir berteriak gembira, bila petani itu tidak cepat menutup
mulutnya dengan telunjuk.
"Ahhh..., Paman! Bagaimana kabarmu sekarang"
Mengapa kau tiba-tiba menjadi seorang petani?" ujar Wiranta heran, seraya
melompat dan memeluk tubuh lelaki gemuk itu. Karena ia kenal betul dengan petani
yang tak lain adalah pelayan kepercayaan keluarganya. Tentu saja rasa curiga
yang menyelinap di hatinya menjadi sirna.
"Aku baik-baik saja, Tuan Muda...," sambut Ki Losarang yang terharu melihat
kegembiraan majikan mudanya setelah tiga tahun tidak bertemu.
"Paman, bagaimana keadaan ayah, ibu dan Adik
Milani" Dan, mengapa Paman berada di tempat ini"
Apakah Paman telah berbuat kesalahan dan diusir dari perguruan?" Tanya Wiranta
sambil melepaskan pelukannya. Dengan tangan yang masih melekat di kedua bahu Ki
Losarang, ditatapinya penuh setidik wajah pelayan keluarganya itu.
Ki Losarang yang semula memang hendak me-
nyampaikan sesuatu kepada majikan mudanya itu, terpaksa menelan ucapan yang
sudah berada di
ujung lidahnya. Hatinya tidak tega ketika melihat kegembiraan pemuda itu. Tak
mengherankan bila Ki Losarang tidak langsung menjawab pertanyaan tuan mudanya.
la menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang pohon dengan disertai helaan napas
berat 'Tuan muda. Kulihat gerakanmu sudah semakin
gesit dan mantap sekarang. Rupanya selama tiga tahun terakhir ini, Tuan Muda
telah berlatih dengan tekun di bawah bimbingan Pendekar Kera Siluman yang
menjadi sahabat baik Tuan Besar. Ah..., betapa gembiranya hatiku melihat
kemajuanmu yang
sangat pesat itu...," ujar Ki Losarang mengalihkan perhatian tuan mudanya dengan
memuji kemajuan
ilmu yang telah dicapai pemuda itu. Terdengar
suara tawanya menyembunyikan perasaan petani
itu. Tetapi Wiranta bukanlah orang bodoh. Walaupun
Ki Losarang berusaha mengalihkan pembicaraan,
pemuda itu menangkap sesuatu yang tidak beres.
Namun, la berpura-pura dungu. Begitu pula suara tawa sumbang orang tua itu,
ditanggapinya dengan wajar saja. Hal itu jelas menandakan Wiranta adalah seorang
pemuda yang cerdik.
Sambil mencoba bersikap wajar, Wiranta men-
ceritakan tentang keadaannya selama tiga tahun tinggal di Gunung Siluman. Semua
itu dilakukannya agar pelayan setia keluarganya tidak merasa curiga.
Sikap Wiranta yang tampak wajar itu, semakin
membuat Ki Losarang terharu. Walaupun ia telah berusaha menutupi kesedihannya
dengan cara me-nyimak cerita majikan mudanya, tetap saja gambaran kedukaan
terpancar dari sepasang matanya.
Meski kedua orang itu tengah terlibat pembica-
raan, namun pikiran mereka bercabang. Bahkan
dalam hati masing-masing menyimpan pertanyaan-
pertanyaan. Mendadak mereka tersentak ketika terdengar suara bentakan keras!
"Ha ha ha...! Akhimya kau dapat juga kutemui, Losarang! Rupanya di slni kau
bersembunyi selama ini!"
Suara bentakan yang keras itu, disusul dengan
bertoncatannya sosok-sosok tubuh dari balik semak-semak. Mereka langsung
bergerak dan menge-
pung kedua orang itu.
"Hei! Siapa mereka itu, Paman" Dan, mengapa Paman bermusuhan dengan orang-orang
itu...?" Ujar Wiranta sambil melompat bangkit dengan otot-otot tubuh menegang.
Dipandanginya wajah Ki Losarang dengan penuh tanda tanya.
Ki Losarang yang sudah bangkit berdiri itu, memandang para pengepungnya dengan
wajah pucat. Jelas, orang tua itu tengah dilanda rasa takut yang hebat.
Namun, yang sesungguhnya dikhawatirkan Ki Lo-
sarang bukanlah keselamatan dirinya, melainkan na-sib majikan mudanya. Itulah
yang membuat wajahnya menjadi pucat
"Tuan muda. Sebaiknya larilah jauh-jauh dari tempat ini! Biar Paman saja yang
mencegah mereka," bisik Ki Losarang dengan nada penuh kete-gangan. Sambil
berkata demikian, lelaki itu melolos golok yang terselip di pinggangnya.
"Maaf, Paman. Aku bukan pengecut! Apalagi persoalan yang Paman hadapi ini masih
sangat gelap bagiku. Jadi, maaf kalau kali ini aku tidak menuruti permintaan
Paman," tegas Wiranta tanpa bermak-sud membantah.
"Ahhh..., jadi pemuda ini putra Ki Tambak Baya"!
Ha ha ha.... Pucuk dicinta ulam tiba.... Benar-benar nasibku hari ini sedang
baik! Tidak disangka kalau sekali bergerak, aku telah mendapatkan dua umpan
berharga! Bahkan sangat berharga!" ujar lelaki bertubuh gemuk yang mengenakan
rompi kulit hari-
mau loreng. Dadanya yang terbuka, tampak dihiasi bulu-bulu hitam.
Lelaki gemuk berkepala botak dengan alis mata
yang lebat dan hitam itu, seperti sengaja memamer-kan kekuatannya. Terdengar
dari suara tawanya
yang besar dan berkepanjangan.
Wiranta sempat kaget mendengar suara tawa
yang mengandung tenaga dalam luar biasa itu.
Cepat pemuda itu menyalurkan hawa murni untuk
melindungi dadanya dari guncangan. Sehingga sua-ra tawa itu sama sekali tidak
berpengaruh bagi dirinya.
Lain halnya dengan Ki Losarang. Tubuh orang
tua itu tampak agak terhuyung akibat serangan
yang dilancarkan melalui suara tawa keras itu.
Untunglah suara tawa itu hanya sebentar. Kalau tidak, mungkin Ki Losarang sudah
menderita luka dalam.
"Anak-anak, serang kedua orang itu! Bunuh, dan jangan kasih ampun!" Perintah
lelaki berkepala botak yang mengenakan rompi kulit harimau, seraya melolos
sebuah pecut berduri yang tergantung di pinggangnya.
Melihat keadaan itu, baik Wiranta maupun Ki
Losarang bersiap-siap dan saling beradu punggung.
Karena tidak mempunyai kesempatan untuk ber-
tanya lebih jauh, pemuda itu tidak banyak cakap lagi. Segera ia memasang kuda-
kuda seperti seekor kera yang sedang marah.
Posisi yang digunakan Wiranta memang terlihat
aneh dan lucu. Kedua kakinya menekuk rendah.
Sedangkan kedua kakinya dalam posisi menjinjit, membuat tubuhnya terlihat
pendek. Apalagi tubuh pemuda itu agak membungkuk. Sehingga keadaan
Wiranta tak ubahnya seperti seekor kera. Sepasang tangannya yang menunjuk
didepan wajah dan dada, memang benar-benar membuatnya terlihat lucu.
Sayang, para pengepungnya tidak sadar dengan
jurus yang tengah dipersiapkan pemuda itu, sebuah jurus andalan terampuh.
Bahkan, jurus itu telah diyakininya selama kurang lebih tiga tahun. Maka, sudah
dapat dibayangkan kemahiran pemuda itu
dalam mempergunakannya.
"Heaaat..!"
Diiringi teriakan keras dari lelaki botak yang merupakan pimpinan belasan orang
itu, serentak para pengepung Wiranta dan Ki Losarang bergerak maju.
Terdengar suara sambaran belasan batang senja-
ta berdesingan dan mengancam tubuh Wiranta dan Ki Losarang. Namun, keduanya
bergerak cepat dan lincah menyambut serangan-serangan lawannya.
Pertempuran sengit pun tidak dapat dihindari lagi.
Wiranta seperti menghadapi ujian terhadap ilmu yang dituntutnya selama tiga
tahun di bawah bimbingan Pendekar Kera Siluman, tentu saja menjadi gembira bukan
main. Sambaran-sambaran senjata
para pengeroyoknya, dielakkan pemuda remaja itu dengan kelitan-kelitan indah
yang membingungkan.
Bahkan, tidak jarang pemuda itu berjumpalitan laksana seekor kera. Sehingga,
para pengeroyoknya sempat dibuat kerepotan oleh kelincahan pemuda itu.
"Yiaaah...!"
Setelah merasa cukup puas menguji ilmu meri-
ngankan tubuhnya, Wiranta melontarkan serangan-serangan balasan yang
mengejutkan. Sepasang tangannya bergerak melakukan totokan-totokan kilat,
sehingga lawan yang terkena jari tangannya langsung roboh dengan tubuh
berlubang. Tentu saja apa yang dilakukan pemuda itu membuat musuhnya
menjadi gentar. Tanpa sadar mereka bergerak
mundur dan menjauhi pemuda remaja itu.


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kenyataan itu membuat lelaki berkepala botak
menjadi gelap wajahnya. Sambil mengeluarkan ge-rengan seperti harimau luka,
tubuh gemuk itu meluncur dengan disertai ledakan-ledakan pecut ber-durinya yang
memekakkan telinga.
Jdarrr...! Jdarrr...!
Asap tipis berhawa panas mengepul setiap kali
cambuk berduri itu meledak keras. Dari suara ledakan yang sanggup menggetarkan
isi dada, jelas menandakan tenaga yang tersalur melalui cambuk
berduri itu sangat dahsyat.
Wiranta sempat terkejut melihat kelihaian lawan dalam mempergunakan senjatanya.
Untung ia telah dibekali dengan kelincahan gerak yang dapat membingungkan
lawannya. Sehingga, setiap kali cambuk berduri lawan meledak mengancam tubuhnya,
selalu saja Wiranta dapat mengelakkannya.
"Haitt...!"
Jdarrr...! Jdarrr...!
Lelaki berkepala botak itu rupanya semakin bertambah penasaran. Sambaran-
sambaran cambuk-
nya yang selalu tidak mengenai sasaran, membuatnya semakin bernafsu. Maka, ia
pun merubah gerakan-gerakan senjatanya.
Kali ini, cambuk berduri di tangan ielaki gemuk yang mengenakan rompi kulit
harimau itu meledak-ledak, dan berputaran di atas kepalanya sendiri.
Dengan badan cambuk yang masih tetap melingkar, lelaki botak itu melontarkan
serangan-serangannya.
Wiranta sempat kerepotan menghadapi serangan-
serangan lawannya kali ini. Ledakan-ledakan cambuk yang selalu diawali dengan
bunyi berdesing nyaring itu, benar-benar membuat pendengarannya terganggu.
Sehingga, beberapa kali serangan lawan nyaris mengenai tubuhnya.
"Ha ha ha...! Baru tahu kau sekarang, Bocah! Sebentar lagi Cambuk Kelabang akan
merobek-robek kulit tubuhmu!" terdengar suara tawa lelaki berkepala botak itu.
Sambil melontarkan ucapan bernada sombong, ia terus saja melancarkan serangan
dengan gerakan yang semakin cepat dan ganas.
Crattt! "Aaakhhh...!"
Wiranta memekik tertahan ketika punggungnya
dihantam senjata lawan, ketika ia berjumpalitan di udara. Dengan gerakan indah,
tubuhnya kembali
melenting dan berputar beberapa kali. Meski agak terhuyung, pemuda itu mampu
mendaratkan kedua
kakinya di atas tanah.
Rasa pedih dan panas akibat lecutan lawan,
membuat kemarahan pemuda itu bangkit seketika.
Namun, rasa geram terhadap lawannya segera di-
tunda. Pandangannya dialihkan ke arah Ki Losarang yang keadaannya nampak sudah
mulai payah. Di
beberapa bagian tubuh orang tua itu telah terluka oleh senjata lawan. Sehingga
Wiranta bergegas melesat membantunya.
"Mau ke mana kau, Bangsat Cilik..." Biarkan saja orang tua keparat itu menikmati
kematiannya!" bentak lelaki berkepala botak yang berjuluk Cambuk Kelabang.
Cambuknya kembali berputar berdesingan untuk kemudian meledak-ledak mengejutkan.
Jdarrr...! Jdarrr...!
"Aaakhhh...!"
Kembali Wiranta menjerit kesakitan ketika cam-
buk berduri lawan melecut tubuhnya dua kali. Itu terjadi karena perhatian pemuda
itu terpecah ketika mendengar jerit kematian Ki Losarang. Sehingga Wiranta harus
membayar mahal akibat kelalaiannya itu.
Darah segar semakin mengucur dari luka yang
dideritanya, sehingga menimbulkan rasa pedih yang amat sangat, membuat pemuda
itu menggigit bibirnya kuat-kuat. Tanpa mempedulikan serangan
lawan, cepat ia bergulingan mendekati tubuh bekas pelayan keluarganya yang
tengah sekarat.
"Paman...!" panggil Wiranta sambil mengangkat tubuh Ki Losarang dan dibawanya
menjauh dari lawan-Iawannya.
"Tuan muda... Pergilah, selamatkan dirimu....
Perguruan kita telah dikuasai orang-orang jahat...,"
ujar Ki Losarang dengan suara terputus-putus.
Dari luka memanjang dan cukup dalam di bagian
depan tubuhnya, semakin banyak mengeluarkan
darah. Menilik luka-luka yang diderita Ki Losarang, jelas keadaan orang tua itu
sudah tidak dapat ter-tolong lagi.
"Katakan! Siapa orang-orang keji itu, Paman"
Dan, ke mana ayah, ibu serta Adik Milani..." Katakan, Paman! Siapa mereka" Apa
yang terjadi dengan ayah, ibu dan adikku...?" Wiranta berteriak-teriak sambil
mengguncang-guncangkan tubuh Ki Losarang. Namun usahanya sia-sia, sebab orang
tua itu telah menghembuskan napasnya yang terakhir di
pangkuan pemuda itu.
"Aaahhh...!"
Wiranta tersentak ketika menyadari Ki Losarang sudah tidak bernyawa lagi.
"Biadab kau, Manusia-manusia Keji! Kalian apa-kan ayah, ibu dan adikku" Apa
salah mereka kepa-da kalian?" Teriak Wiranta yang mencemaskan nasib orang-orang
yang dicintainya.
"He he he.... Percuma saja kau berteriak-teriak seperti itu, Bocah! Karena
sebentar lagi kau pun akan segera menyusul pelayanmu itu. Bersiaplah...,"
sahut Cambuk Kelabang sambil memperdengarkan
tawanya yang berkepanjangan.
Diingatkan tentang bekas pelayannya, membuat
Wiranta teringat dengan ucapan terakhir Ki Losarang. Cepat pemuda itu melompat
mundur, kemu- dian berlari dan menyelinap di antara pepohonan.
"Kejar bangsat cilik itu...!" perintah Cambuk Kelabang yang segera melakukan
pengejaran dengan diikuti para pengikutnya.
*** 2 "Hm.... Jadi kalian tidak berhasil membunuh bocah ingusan itu" Memalukan!"
teriak lelaki bertubuh tegap yang wajahnya dilindungi topeng karet ttpis, dan
sangat buruk. Lelaki bertubuh tegap itu berjalan hilir-mudik, sambil menggendong kedua
tangannya ke belakang.
Sepasang mata yang tersembunyi di balik topeng itu, nampak berkilat penuh
kemarahan. "Ampunkan kebodohan kami, Ketua Topeng Setan. Meskipun masih berusia muda, namun
putra Ki Tambak Baya itu ternyata memiliki kepandaian cukup tinggi. Kami
berjanji akan membawa kepalanya, bila kami diizinkan untuk mencarinya," ucap
lelaki gemuk berkepala botak yang berjuluk Cambuk
Kelabang sambil menyembah-nyembah.
Mendengar jawaban itu, lelaki tegap yang berjuluk Topeng Setan itu membalikkan
tubuhnya. Di- tatapnya si Cambuk Kelabang dengan sinar mata
berkilat tajam. Jelas, Ia sama sekali tidak menyukai jawaban itu.
"Huh! Seharusnya kau malu menyandang nama besarmu itu, Cambuk Kelabang! Belasan
tahun kau malang-melintang dalam dunia persilatan. Tapi
menghadapi seorang bocah saja kau tidak becus!
Padahal, kau dibantu beberapa orang pengikutmu.
Tidakkah kau merasa bahwa kejadian itu merupa-
kan sebuah tamparan keras bagimu" Kalau sampai dunia persilatan mendengarnya,
bisa-bisa pamormu akan jatuh, Cambuk Kelabang! Apakah kau sadar
akan hal itu"!" Bentak Topeng Setan dengan nada suara yang semakin berang.
'Tapi.... Tapi...."
"Sudahlah! Tidak perlu banyak alasan lagi! Dan, kau tidak perlu susah-susah
mencarl bocah itu. Aku yakin dia tidak akan pergi jauh dari kita," potong Topeng
Setan ketika si Cambuk Kelabang masih
hendak membantah.
Setelah berkata demikian. Topeng Setan menja-
tuhkan tubuhnya di atas kursi bergagang gading.
Sepasang matanya yang tersembunyi di balik to-
peng, tetap menatap tajam ke arah si Cambuk Kelabang.
"Bagaimana Ketua dapat mengetahuinya...?" Tanya si Cambuk Kelabang seraya
mengangkat wajahnya perlahan. Jelas, ia ingin sekali mendengar jawaban dari
lelaki bertubuh tegap yang mengenakan topeng itu.
"Hm.... Ke mana lagi kalau bukan ke cabang-cabang Perguruan Perisai Besi yang
telah kita taklukkan. Seperti telah kita ketahui, perguruan itu memiliki tiga
cabang dan tersebar di tiga tempat. Salah satunya terletak di kota kadipaten.
Sebagai putra Ki Tambak Baya, Wiranta jelas satu-satunya ahli waris keempat
perguruan itu. Karena Perguruan Perisai Besi berada dekat Desa Talung yang sudah
kita kuasai, tentu ia akan mendatangi salah satu atau ketiga cabang lainnya dengan
maksud meminta bantuan. Ha ha ha.... Sayang ia tidak tahu...," ucap Topeng Setan. Seketika itu
juga tawanya meledak tanpa terbendung lagi.
'Tapi, bukankah ketiga cabang Perguruan Perisai Besi itu sudah kita kuasai,
Ketua...?" kilah si Cambuk Kelabang mengerutkan keningnya dengan wa-
jah dungu. Seolah-olah lelaki berkepala botak itu belum mengerti akan seluruh
ucapan sang Ketua.
Dan, suara tawa yang berkepanjangan dari Topeng Setan itu membuatnya makin
bingung. "Bodoh kau, Cambuk Kelabang! Justru hal itulah yang membuat perutku tergelitik.
Bocah dungu itu jelas akan segera lenyap. Sebab, ketua tiap-tiap cabang telah
kuperintahkan untuk membunuh ke-turunan Ki Tambak Baya. Di samping itu, aku
masih mempunyai senjata lain. Kalau bocah itu dapat meloloskan diri dari ketiga
ketua cabang itu, maka senjata itu akan kupergunakan," ucap Topeng Setan
menyiratkan senyum licik yang menyimpan
misteri. "Apa itu, Ketua...?" Tanya si Cambuk Kelabang yang ingin mengetahui rencana
rahasia ketuanya.
Namun, Topeng Setan yang telah berhasil menun-
dukkan seluruh Perguruan Perisai Besi, hanya tersenyum di balik topeng karetnya.
"Hm.... Kelak kalian akan tahu sendiri," sahut lelaki tegap itu berteka-teki."
Sekarang kalian boleh pergi," lanjutnya dengan nada yang tak ingin di-bantah.
Tanpa banyak cakap lagi, si Cambuk Kelabang
bergerak bangkit dengan diikuti sembilan orang pengikutnya. Setelah memberi
hormat kepada ketuanya, mereka pun bergegas meninggalkan
ruangan itu. *** "Uuuhhh...."
Terdengar keluhan lirih dari mulut mungil seo-
rang gadis cantik berpakaian serba hijau. Terpaan sinar matahari pagi yang
menerobos melalui dedaunan pohon, membuat sepasang mata dara itu ter-
buka dan berkerjap-kerjap beberapa kali.
"Hai! Hari telah menjelang siang rupanya...," seru dara itu tersentak bangkit
dari tidurnya. Sepasang matanya yang bulat dan jernih itu kembali menger-jap-
ngerjap. Tampaknya, terpaan cahaya matahari pagi membuat pandangannya agak
silau. Setelah pandangan matanya mulai terbiasa de-
ngan cahaya matahari pagi, ratapannya beredar berkeliling. Sepasang matanya yang
indah itu terhenti pada sesosok tubuh berjubah putih.
"Hm.... Sedaaap.... Harum sekali aroma sarapan kita yang kau buat pagi ini,
Kakang," ujar dara jelita itu sambil melompat dan menghampiri sosok berjubah
putih itu. Begitu mendekati sosok yang ternyata seorang
pemuda tampan itu, langsung saja dara jelita itu menyambar sebatang bambu yang
masih berada di
atas bara. Diambilnya ikan bakar sebesar telapak tangan. Dan....
"Heit, nanti dulu!" seru pemuda tampan itu sambil menyambar ikan bakar di tangan
sang dara. "Kau harus membersihkan tubuhmu dulu. Setelah itu, baru kau boleh menikmati ikan
bakar ini,"
ujar pemuda tampan itu mengingatkan
"Ah, aku hampir lupa! Habis, bau ikan bakar ini benar-benar sedap. Tak aneh kan
kalau perutku langsung berkeruyuk" Hi hi hi...," kilah gadis berpakaian serba hijau itu seraya
tertawa manja. Setelah ikan bakar itu diletakkan kembali pada tempatnya, dara yang raut
wajahnya sangat cantik itu bergegas bangkit. Lalu, ia berlari-lari kecil menuju
sebuah aliran sungai yang aimya jernih dan sejuk.
Tidak berapa lama kemudian, gadis itu pun telah kembali dengan wajah segar
kemerahan. Kejelita-annya tampak semakin nyata. Pemuda tampan yang tengah duduk
menunggui ikan bakarnya, menoleh
dan sepasang matanya langsung lekat pada wajah jelita itu. Sinar kekaguman
terpancar jelas di wajahnya.
"Kau semakin bertambah cantik saja, Kenanga...,"
puji pemuda tampan itu ketika dara jelita yang bernama Kenanga duduk di
sampingnya. "Ahhh...," desah dara itu manja. "Heran, belakangan ini Kakang pandai sekali
merayu" Mulai genit ya...?" goda Kenanga mengulum senyumnya sambil mengerling
nakal. Gadis cantik itu sama sekali tidak menyadari
kalau tingkah lakunya semakin mempunyai daya
pikat. "Hm.... Jadi, aku tidak boleh memuji kekasihku sendiri...?" ucap pemuda berjubah
putih yang ternyata Panji atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
Sambil bertanya demikian, tangan kanannya me-
lepaskan batang bambu yang digunakan untuk
membakar ikan. Lalu tangannya terulur perlahan memeluk bahu Kenanga. Jelas,
pemuda itu semakin terpesona dengan sikap gadis jelita itu.
'Tentu saja boleh. Lagi pula kalau aku tidak cantik, mana mungkin Kakang akan
suka kepadaku, betul kan...?" Ujar Kenanga yang tidak berusaha mengelak dari pelukan
kekasihnya. Bahkan gadis jelita itu menyandarkan kepalanya ke dada Panji.
Pemuda berjubah putih itu tidak menyahut. Per-
lahan, diangkatnya wajah sang dara jelita. Lalu, di-kecupnya bibir merah basah
itu dengan penuh cinta dan kasih sayang.
"Mmmhhh...."
Kenanga bergumam lirih ketika merasakan getar-
getar kenikmatan yang menjalari sekujur tubuhnya.
Dibalasnya ciuman mesra pemuda pujaannya itu
dengan tidak kalah hangat Sehingga untuk bebe-
rapa saat, mereka pun terlena dan tenggelam dalam lautan asmara yang membuat
lupa terhadap ikan
bakar yang terpanggang di atas bara.
Panji bergegas melepaskan ciumannya ketika bau sangit menyengat hidungnya.
Kepalanya segera menoleh dan teringat akan ikan yang dibakarnya.
"Ahhh...!" seru Panji terkejut melihat sebagian ikan bakarnya telah menghitam
seperti arang. Cepat disambarnya ikan-ikan itu dari atas bara.
"Hi hi hi...! Salah Kakang sendiri. Mengapa ikan-ikan itu dilupakan...," goda
Kenanga terkekeh lucu ketika melihat wajah kekasihnya yang tampak
panik. "Hm.... Kalau saja kecantikanmu tidak menggo-daku, belum tentu ikan ini akan
hangus." Balas Panji tak mau kalah.
"Ihhh, enak saja menyalahkan orang...," sergah Kenanga yang segera mengulurkan
tangan, mencubit tubuh pemuda pujaannya.
Namun, tangan Panji bergerak lebih cepat dan
menangkap lengan halus itu. Lalu, ditariknya sehingga tubuh Kenanga kembali
jatuh ke dalam pelukan Pendekar Naga Putih.
"Ayolah kita habiskan dulu ikan-ikan ini. Rasanya lebih nikmat menyantap ikan
yang masih ha- ngat," ajak Panji seraya menyodorkan seekor ikan bakar kepada kekasihnya.
Tanpa banyak bicara lagi, Kenanga pun segera
menyantap ikan bakar pemberian Panji. Sesekali mata indahnya mengerling ke arah
kekasihnya. Dari tarikan senyum di bibir Kenanga, jelas rasa ikan itu tidak
mengecewakan. Suasana di sekitar tempat itu sangat sepi. Angin bertiup pelan membuat ikan


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bakar yang mereka
santap semakin nikmat.
*** "Sssttt...!"
Panji merapatkan jari telunjuk ke bibirnya ketika melihat Kenanga hendak
berbicara. Ditariknya tubuh gadis jelita itu ke balik gerombolan semak yang ada
di belakang mereka.
Kenanga yang semula ingin bertanya, terdiam
ketika Panji menunjuk ke satu arah. Dara jelita itu baru mengerti, tampak dari
kejauhan sesosok tubuh tegap tengah berlari terhuyung-huyung. Karena
jarak antara mereka dengan sosok tubuh itu cukup jauh dan terhalang pepohonan,
maka mereka tidak dapat mengenali secara jelas wajah sosok tubuh itu.
"Mari kita bayangi dia. Menilik dari gerakannya, orang itu seperti tengah
menderita luka," ujar Panji mengajak kekasihnya untuk membayangi sosok tubuh
itu. Panji mengatur jarak agar tidak sampai terlihat, atau menimbulkan kecurigaan
sosok tubuh itu. Sehingga mereka dapat membayangi dengan leluasa
tanpa khawatir diketahui.
Sedangkan sosok tubuh tegap yang terkadang
membungkuk dan terbatuk ttu, terus melesat keluar hutan. Menilik dari caranya
berlari, jelas sosok tubuh itu bukanlah orang sembarangan. Meskipun
agak tertatih-tatih, namun ayunan langkah kakinya terlihat ringan dan mantap.
Pertanda sosok tubuh tegap itu memiliki ilmu lari yang cukup Bnggi.
Tidak berapa lama kemudian, sosok tubuh itu
tiba di kaki sebuah bukit yang nampak subur. Langkahnya baru terhenti ketika ia
sampai di depan sebuah pintu gerbang yang terbuat dari susunan
kayu-kayu bulat.
"Buka pintu...! Aku, Wiranta hendak bertemu dengan Paman Janar Pari...!"
Sosok tubuh tegap yang ternyata Wiranta itu,
berteriak ketika dari sebuah pos jaga tampak sebuah kepala dan menjenguk ke
bawah. Mendengar teriakan Wiranta, kepala manusia
yang menjenguk itu menghilang. Tak berapa lama kemudian, pintu gerbang berderit
dan terbuka sedikit.
"Silakan, Tuan Muda Wiranta...," ujar lelaki berkumis tipis yang merupakan
penjaga pintu gerbang Perguruan Perisai Besi itu.
Tanpa rasa curiga sedikit pun, Wiranta bergegas melangkahkan kakinya memasuki
pintu gerbang. Sekejap kemudian, tubuh pemuda itu lenyap se-
iring tertutupnya pintu gerbang.
Panji dan Kenanga yang berada belasan tombak
dari bangunan perguruan itu, saling berpandangan satu sama lain. Seperti telah
mendapat kata sepa-kat, keduanya pun menunggu hingga beberapa saat lamanya.
Setelah cukup lama menunggu, bangunan itu te-
tap saja bisu dan sunyi. Pintu gerbang perguruan itu tetap tertutup rapat.
Sehingga pasangan pendekar muda itu bergegas bangkit, dan keluar dari tempat
persembunyiannya.
"Kelihatannya tidak ada sesuatu di bangunan perguruan itu, Kakang," ucap Kenanga
memandang Panji seperti meminta persetujuan.
"Yah..., aku kira mungkin begitu. Ayo, kita pergi dari tempat ini! Jangan-jangan
malah kita yang di-curigai mereka," ujar Panji sambil mengajak Kenanga
meninggalkan tempat itu.
Sementara, di dalam bangunan Perguruan Perisai Besi, Wiranta tengah berhadapan
dengan seorang lelaki berusia sekiiar lima puluh tahun lebih. Saat itu mereka
tengah berada di dalam ruang tengah bangunan utama Perguruan Perisai Besi.
"Sabarlah, Tuan Muda. Kita tidak boleh tergesa-gesa menarik kesimpulan. Apalagi
Tuan Muda telah meninggalkan perguruan selama tiga tahun. Jadi, semua dugaanmu
belum tentu benar," ujar lelaki bertubuh gemuk itu dengan suara dalam. Rupanya
ia tidak mau menerima begitu saja mengenai semua hal yang dipaparkan pemuda itu.
"Tapi, Paman Danar Pari. Orang-orang itu telah membunuh Paman Losarang. Bahkan
aku sempat mendengar ucapan lelaki botak bersenjatakan cambuk berduri. Dan, lelaki itu pula
yang menyebabkan aku terluka seperti ini. Apakah dengan semua bukti-bukti itu
Paman masih juga belum mau percaya"
Hm.... Kalau saja aku bisa bertemu dengan Paman Wilangga, tentu semua persoalan
ini segera diberes-kannya, tanpa perlu membuang-buang waktu. Sa-
yang adik ayahku telah pergi merantau lima tahun yang silam. Kalau tidak, tentu
ia dapat membantuku menyelidiki keadaan ayah," ujar Wiranta sambil bergerak
bangkit dari kursinya.
Sementara Ki Janar Pari sama sekali tidak ber-
gerak, hanya sepasang matanya mengikuti gerak-
gerik Wiranta. Tak sepatah kata pun yang keluar dari mulut lelaki tua itu.
Seolah-olah ia tidak peduli dengan kegelisahan Wiranta yang mondar-mandir di
depannya berkali-kali.
Ki Janar Pari tersentak kaget tatkala tubuh
Wiranta berbalik mendadak. Sepasang mata pemuda itu nampak berkilat menghunjam
bola mata Ketua Perguruan Perisai Besi wilayah Utara. Perguruan itu merupakan
cabang dari Perguruan Perisai Besi yang terletak di dekat Desa Taking.
"Paman, masih setiakah kau kepada ayahku...?"
tiba-tiba saja Wiranta melontarkan pertanyaan itu dengan nada tajam dan menuntut
jawaban sejujur-nya.
Ki Janar Pari tidak segera menjawab pertanyaan tajam itu. Meski lelaki tua itu
berusaha untuk tetap terlihat tenang, namun jelas hatinya sangat terkejut
mendengar pertanyaan itu. Sehingga lelaki tua itu membisu tanpa kata. Setelah ia
yakin sudah mampu menguasai dirinya kembali, sepasang matanya menatap pemuda
yang berdiri sekitar satu tombak
dihadapannya. "Apa maksud ucapanmu itu, Wiranta?" Tanya Ki Janar Pari sambil bergerak bangkit
dari kursinya. Sambil berkata demikian, pandangan mata pe-
muda itu ditentangnya dengan berani. Padahal, Ki Janar Pari tidak patut berlaku
demikian. Mengingat pemuda itu merupakan putra pendiri Perguruan Perisai Besi
yang seharusnya dihormati. Apalagi Wiranta merupakan putra tunggal yang kelak
akan menggantikan ayahnya memimpin perguruan itu
secara keseluruhan. Dan, itu diketahui jelas oleh ketua cabang wilayah Utara.
Wiranta sempat melenggak mendengar ucapan Ki
Janar Pari. Terbetik rasa kecurigaan di hatinya melihat sikap orang tua yang
telah diberi keepercayaan oleh ayahnya itu. Diam-diam pemuda itu mulai merasa
khawatir ketika terlintas berbagai dugaan di benaknya. Sebab, tidak biasanya Ki
Janar Pati melontarkan ucapan bernada keras kepadanya. Tentu saja hal itu
membuat kening Wiranta berkerut.
"Paman belum menjawab pertanyaanku, menga-pa?" balas Wiranta yang kemarahannya
bangkit melihat sikap bawahan ayahnya itu.
"Kalau kau memang sangat menginginkan jawaban atas pertanyaanmu, baiklah!" ujar
Ki Janar Pari dengan nada geram. Melihat dari sikapnya, jelas kalau Ki Janar
Pati sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada Wiranta.
Belum sempat Wiranta berpikir lebih jauh ten-
tang sikap aneh yang ditunjukkan Ki Janar Pari, terdengar orang tua itu bertepuk
tangan sebanyak tiga kali.
Sesaat kemudian belasan sosok tubuh berkele-
batan dan langsung mengurung Wiranta. Senjata
belasan murid Perguruan Perisai Besi yang telanjang itu, tampak berkeredepan
menyilaukan mata.
"Apa maksud semua ini, Paman...?" seru Wiranta terkejut. Hatinya berdebar keras
dan otot syarafnya menegang.
"Artinya, kau harus ditenyapkan dari muka bumi ini, Bocah Sombong! Dengan
begitu, kau baru bisa menemui arwah ayahmu di akhirat sana," ujar Ki Janar Pari
seraya terbahak-bahak berkepanjangan.
"Kau... kau...."
Wiranta tak mampu untuk meneruskan ucapan-
nya. Harinya benar-benar terpukul melihat Kenyataan itu. Jelas, lelaki tua
kepercayaan ayahnya ini telah berkhianat dan berpihak dengan orang lain.
"Ahhh, kenapa Paman sampai tega mengkhianati ayah" Apa yang dijanjikan orang-
orang jahat itu kepada Paman?" Tanya Wiranta sambil terhuyung mundur karena
tidak kuat menerima kenyataan
pahit yang terbentang didepan matanya.
Harinya geram melihat pengkhianatan orang yang telah bertahun-tahun dididik
ayahnya itu. Tapi, orang itu ternyata membalas keluhuran budi ayahnya dengan
sebuah pengkhianatan keji.
"Sudah! Tidak perlu banyak cakap! Anak-anak, ayo selesaikan bocah itu!" perintah
Ki Janar Pari dengan suara menggelegar. Jelas hati orang tua itu memang telah
menyeleweng. Sehingga ucapan-ucapan yang dilontarkan Wiranta semakin menimbul-
kan api kemarahan di hati lelaki tua itu.
Wiranta masih belum bisa mempercayai semua
kenyataan didepan matanya. Sejenak pemuda itu
terpaku bagaikan patung. Raut wajahnya tampak
berkerut-kerut seperti tengah berusaha menekan pen-deritaan hebat yang
mengguncang jiwanya.
*** 3 "Heaaat..!"
Suara teriakan nyaring itu membuat Wiranta
tersentak dari lamunannya. Sadar kalau dirinya tengah terancam bahaya maut, maka
pemuda itu pun nekat melakukan perlawanan terhadap orang-
orang yang telah mengkhianati ayahnya.
Sambaran senjata orang pertama yang menye-
rangnya, dikelitkan Wiranta dengan egosan tubuh ke kiri. Berbarengan dengan itu,
tangannya langsung menyambar senjata lawan. Sedangkan pemiliknya jatuh telentang
terkena sebuah hantaman keras pada alat vitalnya yang dikerahkan dengan tenaga
dalam. Akibatnya tubuh penyerang itu langsung
menggeloso tewas.
Bagaikan seekor singa luka, Wiranta mengamuk
hebat dengan pedang di tangannya. Senjata itu berkelebatan membentuk kilatan
sinar yang membawa maut Setiap kali pedang itu berkelebat, selalu ada tubuh
lawan terkapar tewas. Dalam waktu singkat, senjata pemuda itu telah roerobohkan
tujuh orang pengeroyoknya.
Amukan Wiranta temyata membuat lawannya
yang lain menjadi gentar. Terbukti serangan-serangan mereka semakin mengendor.
Kalaupun mereka melancarkan serangan, selalu diiringi dengan lompatan mundur.
Sebab senjata pemuda itu senan-
tiasa berkelebat menyongsong serangan lawannya.
Akibatnya kepungan terhadap pemuda itu semakin longgar.
"Bangsat!"
Ki Janar Pari yang melihat belasan anak buah-
nya tidak berdaya menghadapi amukan pemuda itu, melompat ke tengah arena
pertempuran sambil me-maki kalap.
"Heaaah...!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, pedang di ta-
ngan Ki Janar Pari berdesingan membentuk gulu-
ngan sinar yang bergerak turun-naik seperti ombak di laut lepas.
Melihat serangan dahsyat itu, Wiranta bergegas melompat mundur sejauh satu
tombak. Begitu kedua kakinya menjejak tanah, cepat tubuhnya di-bungkukkan seraya ujung pedang
menuding langit.
Sedangkan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka dan berada didepan wajahnya
yang tertunduk seperti menekuri tanah. Itulah jurus pembuka dari Ilmu Pedang
Kera Siluman'. "Heaaat...!"
Tepat ketika serangan pedang Ki Janar Pari me-
luncur datang, Wiranta mengibaskan senjatanya
membentuk lingkaran. Gerakan itu dilakukan sambil tubuhnya membungkuk dengan
kuda-kuda sangat rendah. Sehingga, secara sepintas gerakan pemuda itu seperti seekor kera
yang ketakutan.
Namun, akibatnya sungguh luar biasa sekali!
Sambaran pedang lawan yang meluncur ke dada-
nya, terpental karena tangkisan keras yang dilancarkan pemuda itu. Bahkan,
gerakan pedang di tangan Wiranta masih dilanjutkan dengan putaran balik dari
bawah ke atas. Kecepatan gerak serangan bala-sannya, sangat mengejutkan dan sama
sekali tidak diduga lawannya.
Wuttt..! "Aih...!"
Ki Janar Pari berseru tertahan dengan wajah
agak memucat Cepat tubuhnya dilempar ke bela-
kang, dan langsung berjumpalitan beberapa kali di udara.
Serangan pedang Wiranta temyata tidak hanya
berhenti di situ saja. Terbukti saat tubuh Ki Janar Pari sedang berada di udara,
pemuda itu ikut pula melesat disertai putaran senjatanya yang menimbulkan
desingan hebat.
Karuan saja Ki Janar Pari yang saat itu masih
mengapung di udara menjadi terkejut setengah
mati! Sama sekali tidak disangkanya kalau majikan muda yang dikhianatinya itu
memiliki kepandaian yang demikian hebat. Sehingga, dalam beberapa ge-brakan
saja, ia nyaris celaka di tangan pemuda itu.
Sadar untuk mengelak sudah tidak mungkin,
maka Ki Janar Pari memapaki serangan lawannya
dengan ayunan pedang melingkar bersilangan.
Trang! Trang! "Aih...!"
Bunga api berpijar ketika dua senjata yang sama-sama digerakkan tenaga dalam itu
saling berbenturan keras.
Ki Janar Pari yang posisinya memang lebih lemah dibandingkan lawannya, memekik
tertahan. Tubuh lelaki gemuk itu terpental ke belakang hingga satu setengah
tombak jauhnya. Untung ia masih sempat menyelamatkan tubuhnya sehingga tidak
terbanting di tanah. Setelah melakukan dua kali putaran salto di udara, lelaki
tua itu mendaratkan sepasang kakinya ke tanah dengan ringan dan mantap.
"Gila...! Tidak kusangka kepandaian bocah keparat itu sudah maju demikian
pesat!" umpat Ki Janar Pari sambil mengusap peluh dingin yang meni-tik di
keningnya. "Kau tidak apa-apa, Kakang...?" Tanya salah seorang lelaki anggota Perguruan
Perisai Besi yang berdua rekannya menghampiri Ki Janar Pari.
Melihat dari caranya menghadapi lelaki tua itu, jelas kedua orang itu bukan
anggota biasa. 'Tidak, Adi Ringgit. Aku baik-baik saja," ujar Ki Janar Pari tanpa menoleh
kepada orang yang dipanggil dengan nama Ringgit itu.
"Rasanya kita harus bersama-sama meringkus pemuda sombong itu, Kakang," usul
Sunggara, setengah berbisik.
Kecemasan tergambar jelas pada wajah yang
keras dan berkumis tebal itu. Karena la sempat menyaksikan Ki Janar Pari didesak
habis-habisan oleh Wiranta.
"Hm.... Kukira memang sebaiknya begitu, Adi Sunggara. Kepandaian bocah itu
benar-benar telah maju pesat, setelah dibimbing oleh Pendekar Kera Siluman.
Hhh.... Tidak kusangka...," gumam Ki Janar Pari sambil menggeleng kagum.
Setelah mendapat persetujuan Ki Janar Pari,
kedua orang yang memang merupakan pembantu
utamanya itu, bergegas mencabut pedang masing-
masing. Kemudian, ketiga tokoh utama Perguruan Perisai Besi wilayah Utara itu
pun bergerak menyebar mengurung Wiranta.
Berdebar hati Wiranta ketika melihat ketiga orang tokoh utama itu maju secara
berbarengan. Sadar untuk menghadapi keroyokan ketiga orang itu ia tidak mungkin
unggul. Maka, pemuda itu memutuskan untuk membawa salah satu atau dua di antara
mereka sebagai penebus, jika ia sampai tewas di tangan para pengkhianat ayahnya
itu. Namun, sebelum keempat orang itu saling ge-
brak, tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang membuat jantung mereka berdebar
keras. "Tahan...!"
Serentak keempat orang yang siap bertarung itu menolehkan kepalanya ke arah asal


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara yang sangat berpengaruh itu.
*** "Guru...!"
Wiranta berseru dengan dada serasa sesak mena-
han keharuan. Tanpa mempedulikan ketiga lawan-
nya, pemuda itu berlari menyambut kedatangan
lelaki gagah berusia lima puluh tahun dan berambut putih riap-riapan. Lelaki itu
tampak berdiri tegak menanti Wiranta.
"Guru.... Ahhh, syukurlah kau datang tepat pada waktunya Kalau tidak, niscaya
aku sudah tewas di tangan para pengkhianat itu. Mereka... mereka telah
mengkhianati ayah, Guru. Entah siapa yang telah menghasut dan meracuni pikiran
mereka," ungkap Wiranta.
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut
Wiranta. Sepertinya pemuda itu ingin menumpah-
kan semua apa yang mengganjal hatinya kepada
lelaki tua itu.
"Wiranta, Muridku. Kau pergilah lebih dulu. Saat ini lawan-lawan kita terlalu
kuat. Aku akan mencoba untuk menghalau mereka. Setelah itu, aku akan menyusulmu
ke Lembah Siluman. Tunggulah aku di Sana. Dan, jangan coba-coba kau melakukan
tindakan bodoh!" Pesan Pendekar Kera Siluman yang telah mendidik Wiranta selama
tiga tahun itu.
Tanpa menunggu jawaban dari muridnya, Pen-
dekar Kera Siluman melangkah lebar menghampiri ketiga tokoh utama Perguruan
Perisai Besi wilayah Utara.
'Tapi, bagaimana dengan ayah, ibu dan adikku,
Guru" Mereka... Apakah sudah tewas?" Tanya Wiranta yang masih penasaran.
Pemuda itu mengejar gurunya. Dijajarinya lang-
kah lelaki setengah baya yang masih gagah itu. Sepasang matanya menyapu wajah
sang Guru, la berharap jawaban dari gurunya atas pertanyaan yang mengusik
pikirannya. "Wiranta. Sudah kukatakan, kita menghadapi musuh yang sangat kuat. Bukan ketiga
orang ini yang kutakuti. Tapi, orang yang menghasut mereka yang aku khawafirkan.
Kalau sampai orang itu
muncul, sukar bagi kita untuk menyelamatkan diri.
Mengenai keluargamu, kita selidiki belakangan.
Nah, pergilah sekarang!" ujar Pendekar Kera Siluman dengan nada hampir berbisik.
Meskipun hatinya masih merasa berat, Wiranta
terpaksa mengikuti perintah gurunya. Beberapa
orang murid perguruan yang hendak mencegahnya, langsung dibabat habis oleh
pemuda itu. Kemeng-kalan dan kekalutan hatinya, membuat ia berubah bagaikan
iblis haus darah. Sehingga, tidak ada seorang pun yang berani mencegah
kepergiannya, setelah belasan orang dari mereka tewas terbabat
pedang Wiranta.
Sebelum melesat meninggalkan bangunan Pergu-
ruan Perisai Besi, Wiranta sempat menoleh ke arah pertarungan yang berlangsung
antara gurunya dengan tiga orang tokoh utama perguruan itu. Melihat gurunya
dapat mendesak ketiga orang lawannya,
lega hati pemuda itu. Kemudian tubuhnya lenyap di balik pintu gerbang.
Setibanya di luar bangunan, Wiranta langsung
melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sesaat kemudian, sosok tubuhnya
berkelebat cepat, sehingga yang tampak hanya bayang-bayang samar. Lalu, lenyap
di balik pepohonan.
Sementara itu, pertarungan yang berlangsung
antara Pendekar Kera Siluman dan tiga orang tokoh utama Perguruan Perisai Besi,
masih berlangsung sengit.
"Heaaat...!"
Ki Janar Pari benar-benar penasaran dengan ke-
hebatan lawannya. Meski ia bersama kedua orang pembantunya telah berusaha
mendesak, namun
tetap saja keadaan tidak berubah.
Wuuut..! Teriakan Ki Janar Pari yang disertai sambaran
pedangnya, dielakkan Pendekar Kera Siluman de-
ngan menarik mundur tubuhnya ke samping. Ber-
barengan dengan itu, sebuah tendangan yang dilontarkan lawan di sebelah
kanannya, sekaligus dihin-darkan. Begitu kedua serangan lawannya luput,
lelaki setengah baya itu langsung mengirimkan serangan balasan yang cepat dan
tak terduga datangnya.
Bukkk! Desss...!
"Akh...!"
"Hugkh...!"
Tubuh Janar Pari dan Sunggara langsung ter-
pelanting keras akibat pukulan dan tendangan yang telak menghantam dada dan
lambung mereka.
Ringgit yang melihat kedua kawannya terkena
hantaman lawan, cepat melompat dan membabat-
kan pedangnya dengan gerakan mendatar.
Swing...! Terdengar suara berdesing nyaring ketika pedang di tangan Ringgit berkelebat
mengancam Pendekar Kera Siluman.
Untuk dapat melukai pendekar seperti lelaki berambut putih riap-riapan itu,
tentu saja bukan hal yang mudah. Meskipun sambaran pedang Ringgit
bergerak cepat dan berbahaya, ternyata dengan
mudah dapat diatasi Pendekar Kera Siluman.
Mata pedang lawan yang tajam lewat beberapa
jengkal didepan tubuhnya, ketika pendekar itu menarik tubuh ke belakang dengan
kuda-kuda ren- dah. Begitu sambaran senjata lawan luput, tubuhnya langsung bergerak maju
diiringi sebuah tendangan kilat.
Plakkk...! Ringgit yang merasa tidak sempat lagi mengelak, segera menepiskan tendangan itu
dengan telapak tangan kirinya. Akibatnya, tubuh lelaki kurus berusia sekitar
empat puluh tahun itu, hampir terpelanting kalau ia tidak cepat menguasai
dirinya. Belum sempat Ringgit memperbaiki posisinya
yang masih dalam keadaan terhuyung, terdengar
suara menderu yang ditimbulkan hantaman telapak tangan Pendekar Kera Siluman.
Bugkh...! "Hugkh...!"
Gedoran telapak tangan yang mengandung ke-
kuatan tenaga dalam itu, menghantam telak dada Ringgit. Untung lelaki itu masih
sempat memiringkan tubuh saat telapak tangan lawan menghajar
tubuhnya. Meskipun begitu, ia tetap terpelanting sejauh satu setengah tombak.
Namun, luka yang
dideritanya tidak terlalu parah.
Setelah lawan terakhirnya dapat dibuat terpen-
tal, Pendekar Kera Siluman langsung melesat meninggalkan lawan-lawannya.
Kemudian tubuh lelaki tegap itu lenyap di balik pagar kayu tebal yang me-
ngelilingi bangunan perguruan itu.
Anehnya, Ki Janar Pari dan kedua orang pem-
bantunya sama sekali tidak berusaha mengejar.
Sepertinya mereka merasa gentar menghadapi pendekar itu. Kepandaian yang
dimilikinya memang
jauh lebih tinggi dari mereka. Terbukti ketiga tokoh utama Perguruan Perisai
Besi itu tak mampu
merobohkannya, setelah bertarung lebih dari enam puluh jurus.
"Apa yang harus kita lakukan selanjutnya, Ka kang?" Tanya Ringgit sambil tetap
memandang ke arah lenyapnya tubuh Pendekar Kera Siluman.
"Kita tunggu saja perintah dari ketua...," sahut Ki Janar Pati singkat.
Kemudian, lelaki setengah baya itu membalikkan tubuhnya. Dan, lenyap di balik
pintu bangunan utama perguruan itu.
Ringgit dan Sunggara saling berpandangan seje-
nak. Setelah memerintahkan murid-muridnya untuk membersihkan bekas-bekas
pertempuran, kedua
pembantu utama Ki Janar Pari bergegas meninggalkan tempat itu.
*** Pemuda berusia sekitar tujuh belas tahun itu
duduk termenung di atas sebuah batu besar. Tatapan matanya tampak kosong.
Sesekali terdengar
helaan napasnya yang berat dan panjang. Jelas
hatinya dilanda keresahan yang hebat.
Meskipun pemuda itu terlihat tengah tenggelam
dalam arus pikirannya, namun pendengarannya tetap dipasang. Telinganya menangkap
gerak langkah ringan mendatangi tempat itu, cepat tubuhnya melesat dan lenyap di
balik semak-semak yang rimbun.
Sepasang mata pemuda yang temyata memang
Wiranta itu menatap tajam ke arah jalan setapak yang merupakan satu-satunya
jalan untuk memasuki Lembah Siluman. Wajahnya yang semula ter-
lihat menegang, mendadak berseru ketika ia mengenali orang yang memasuki lembah
itu. "Guru...!" Panggil Wiranta sambil berlari menyambut kedatangan lelaki gagah yang
usianya sudah lebih dari lima puluh tahun itu.
Namun, lelaki itu tak ubahnya seperti seorang
lelaki muda berusia dua puluh tahunan. Bahkan
wajahnya yang terlindung rambut putih itu terlihat bersih dan nampak segar.
Hanya saja sepasang ma-ta yang biasanya terlihat tajam dan menimbulkan rasa
segan itu, kini nampak kuyu seperti tidak memiliki sinar kehidupan.
"Guru..., kau... kau baik-baik saja...?" Tanya Wiranta heran setelah menangkap
sinar mata orang tua itu.
"Tidak ada apa-apa, Wiranta. Aku baik-baik saja.
Memang ada rasa lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Maklumlah aku
sudah lama tidak melakukan perjalanan jauh," ujar Pendekar Kera Siluman sambil terus
melangkah menuju ke
sebuah bangunan, yang terletak di sebelah Timur lembah itu.
"Wiranta, tahukah kau, apa penyebab kejadian yang menimpa perguruan ayahmu...?"
Tanya Pendekar Kera Siluman saat keduanya melangkah bersisian menuju bangunan
besar itu. "Entahlah, Guru. Tapi, rasanya ayah tidak pernah bercerita kalau beliau
mempunyai musuh.
Mmm.... Mungkin itu terjadi sehubungan dengan
kemajuan Perguruan Perisai Besi yang dipimpin
ayah. Sebab, sampai saat ini, perguruan yang mempunyai cabang di beberapa
tempat, rasanya dapat dihitung dengan jari. Jadi, mungkin saja ada seorang tokoh
yang merasa iri. Kemudian, ia meng-
hasut atau memberikan janji-janji manis kepada para pengikut ayah. Dan, usaha
orang itu tampak-nya berhasil. Kalau melihat perguruan cabang Utara yang telah
dikuasai mereka, bukan mustahil kedua cabang lainnya telah pula mereka
tundukkan," ujar Wiranta dengan nada geram.
Tatapan mata pemuda itu berubah menyiratkan
rasa penasaran bercampur dendam. Karena ia sama sekali belum mengetahui secara
jelas nasib ayah, ibu dan adik perempuannya.
"Hm.... Pernahkah ayahmu menceritakan sesuatu yang bersifat rahasia kepadamu?"
Tanya Pendekar Kera Siluman, tetap tanpa menoleh. Pandangan
matanya lurus kedepan tanpa sekali pun berpaling.
"Maksud, Guru...?"
"Yahhh..., adakah sesuatu rahasia yang pernah diceritakan ayahmu" Misalnya,
sebuah benda mustika atau sejenis surat yang menurut ayahmu
sangat penting artinya bagi keluarga kalian," ucap Pendekar Kera Siluman
menerangkan lebih jelas
maksud pertanyaannya.
Pertanyaan gurunya tidak segera dijawab oleh
Wiranta. Pemuda itu malah termenung dengan
kening berkerut dalam. Jelas, ia tengah menguras ingatannya mengenai apa-apa
yang berhubungan
dengan pertanyaan gurunya.
"Ingat-ingatlah! Sebab, hal itu merupakan kunci dari semua peristiwa pahit yang
menimpa keluargamu," ujar Pendekar Kera Siluman mengingatkan.
"Kurasa tidak ada, Guru. Baik benda mustika maupun sejenis surat pusaka.
Keduanya tidak pernah kudengar dari ayah. Aku yakin kedua benda itu tidak pernah
dimilikinya. Kecuali, sebatang pedang ampuh yang telah mengangkat namanya dalam
dunia persilatan. Hanya itu saja, Guru," jawab Wiranta menuturkan dugaannya.
"Hm.... Kalau pedang itu, aku pun telah lama mengetahuinya," ucap Pendekar Kera
Siluman ber-desah kecewa.
"Tidak salah lagi, Guru. Kurasa manusia laknat yang menguasai perguruan itu
adalah orang yang merasa iri dan gila akan ketenaran. Melihat betapa perguruan
ayahku semakin maju, ia pun berusaha untuk merebutnya," ujar Wiranta lagi dengan
nada suara yang tegas dan yakin.
"Bisa juga begitu. Tapi, aku yakin ada sesuatu penyebab lain timbulnya peristiwa
itu," ungkap Pendekar Kera Siluman seraya menghela napas pan-
jang. Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan tanpa
berkata-kata lagi. Keduanya membisu. Baik Wiranta maupun Pendekar Kera Siluman
tenggelam dengan
pikirannya masing-masing.
*** 4 "Lepaskan aku, Praja...! Kurang ajar kau...!" bentak seorang gadis cantik sambil
meronta dan berusaha membebaskan dirinya dari pelukan seorang lelaki muda
berwajah beringas.
Begitu dirinya terbebas dari dekapan lelaki yang hendak berbuat kurang ajar
terhadapnya, tangan gadis cantik itu langsung melayangkan sebuah tamparan keras.
Wuuut...! Namun, lelaki muda yang dipanggil Praja itu ternyata mampu bergerak cepat.
Dengan menarik mundur tubuhnya ke belakang, maka tamparan
gadis cantik itu pun luput.
"Hm... mengapa kau malah menyerangku, Milani"
Sadarkah kau bahwa aku harus mempertaruhkan
nyawa untuk menyelamatkan dirimu dari cengkeraman orang-orang berhati busuk itu"
Dasar kau tidak tahu berterima kasih!" maki Praja dengan sengit. Wajahnya tampak semakin
merah karena terbakar nafsu iblis yang membuatnya menjadi gelap mata.
"Setan kau, Praja! Beginikah caramu memperlakukan aku" Kau kira setelah berhasil
menyelamatkan aku, lalu kau dapat memperlakukan diriku se-enaknya" Huh! Kalau
saja ayahku rnasih hidup dan melihat kekurangajaranmu. ini, tentu kau akan di-
lumatnya habis-habisan! Dasar manusia tidak tahu diuntung! Bertahun-tahun ayahku
mendidikmu dan memperbolehkanmu tinggal di Perguruan Perisai
Besi, tak tahunya kau hanyalah manusia kotor yang tidak bedanya dengan Topeng
Setan dan para be-gundalnya!" umpat gadis cantik yang ternyata bernama Milani.
Jelas, ia benar-benar marah sekali dengan pemuda yang usianya sekitar dua puluh
tahun lebih itu.
"Hm.... Kau memang perempuan yang tidak mempunyai perasaan! Rasa cinta yang
selalu kutunjukkan melalui pandangan mata maupun sikapku se-
lama ini, hanya kau anggap sampah! Tidak patutkah diriku sebagai murid ayahmu
untuk jatuh cinta kepadamu" Salahkah kalau aku tergila-gila kepada-mu" Tapi, kau
selalu menganggapku sebagai kacung hina yang hanya pantas untuk diperintah!
Kesom-bonganmu itulah yang membuat aku merasa sakit
hati. Maka, ketika kesempatan terbuka lebar, aku tidak menyia-nyiakannya.
Katakanlah bahwa kau
pun mencintai aku, Milani. Dan, marilah kita pergi mencari tempat sunyi yang
jauh dari segala kebusu-kan dunia. Aku berjanji akan menyayangimu sam-
pai mati...," ucapan yang se-mula keras dan berapi-api, berubah dengan kata-kata
membujuk. Bahkan, ketika Praja mengucap-kan kata-kata terakhir, tampak sepasang
matanya memandang sayu ke arah
Milani. Ungkapan perasaan pemuda itu tentu saja mem-
buat wajah Milani menjadi pucat. Ia benar-benar tidak menyangka sama sekali
kalau pemuda yang


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi salah seorang murid utama ayahnya itu, ternyata mencintainya sampai
sedemikian parah.
Padahal, sikap baik dan penuh perhatian Praja selama ini, ditanggapinya sebagai
sikap seorang sahabat. Meskipun ucapan pemuda itu sempat menyen-
tuh perasaannya. Tetapi sikap kurang ajar Praja telah membuat Milani merasa
muak. "Hm.... Jadi begitukah sifat seorang lelaki bila mencintai wanita" Berusaha
menodainya justru
pada saat wanita itu ditimpa kemalangan. Itukah bukti kau sangat menyayangi dan
mencintaiku, Praja...?" ucap Milani sambil bertolak pinggang dan menatap pemuda itu dengan
wajah sinis. Dari sinar berkilat yang memancar di mata gadis itu, dapat ditebak
kalau ia benar-benar tidak bisa menerima perlakuan pemuda itu.
"Maafkan aku, Milani. Aku benar-benar khilaf.
Rasanya..., aku tidak dapat hidup tanpa dirimu...,"
sahut Praja dengan wajah memerah. Sepertinya ia benar-benar merasa menyesal atas
kelakuannya yang tidak senonoh terhadap Milani.
Sambil menatap sayu ke arah wajah gadis yang
dirindukannya siang malam itu, Praja melangkah dan menjatuhkan dirinya, berlutut
di bawah kaki Milani. Demikian hebatnya racun asmara yang
menggerogoti hati pemuda itu. Dengan tanpa me-
rasa malu lagi ia rela merendahkan dirinya berlutut di hadapan gadis itu. Jelas,
Milani telah membuat Praja tergila-gila.
"Baiklah. Aku maafkan kekhilafanmu itu. Sekarang pergilah dan tinggalkan aku
sendiri," dingin dan tegas jawaban yang keluar dari bibir gadis cantik itu.
Rupanya kemarahan hati Milani sirna melihat sikap Praja yang sangat menyesali
perbuat-annya. "Ah, tidak! Aku tidak akan membiarkanmu pergi seorang diri, Milani! Marilah kita
pergi bersama. Aku berjanji tidak akan melakukan kesalahan itu untuk kedua
kalinya," seru Praja sambil melompat bangkit dan menatap Milani penuh
permohonan. Jelas, pemuda itu tidak ingin membiarkan Milani pergi dari sisinya.
"Sudahlah, Praja. Lupakan persoalan di antara kita. Pergilah. Masih banyak
urusan yang harus ku-selesaikan," kilah Milani mempertahankan ucapannya. Melihat
dari sikapnya, jelas keputusan gadis cantik itu tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Mendengar ucapan itu, gemetar seluruh tubuh
Praja. Sepasang mata yang semula menatap sayu
dan penuh harap itu, berkilat marah. Bahkan,
wajahnya pun kembali berubah bengis.
"Tidak mungkin!" teriak pemuda itu dengan suara keras dan lantang, sehingga
menyelusup sampai
beberapa belas tombak jauhnya. "Tidak! Kau tidak boleh pergi meninggalkan aku!
Kau harus ikut ke mana aku pergi, Milani!" Lanjut Praja dengan suara bergetar
karena terbawa perasaan kecewanya.
Melihat dari sikap dan kata-katanya, Praja hendak memaksakan kemauannya terhadap
gadis itu. Milani yang semula akan membantah, cepat me-
lompat ke samping ketika melihat Praja sudah kembali menerjangnya. Lalu, gadis
cantik itu melempar tubuhnya ke belakang, dan langsung melakukan
beberapa kali putaran salto di udara.
"Hentikan, Praja!" bentak Milani begitu kedua kakinya menginjak tanah. "Kalau
kau masih tetap memaksa, jangan salahkan aku jika bertindak kasar terhadapmu!"
Ancam Milani sambil memasang kuda-kuda. Melihat dari sikap dan wajahnya, jelas
kalau ancaman gadis cantik itu tidak main-main.
Namun, Praja yang sudah seperti orang kerasu-
kan setan, tidak peduli dengan ancaman Milani.
Sambil berseru keras, kembali Praja melontarkan serangan-serangannya.
Betrr! Bettt! Cengkeraman-cengkeraman yang dilancarkan
Praja membuat darah gadis cantik itu mendidih.
Sebab, serangan pemuda itu selalu diarahkan ke dadanya. Kemarahan yang dipendam
Milani pun meledak dan berkobar.
"Kurang ajar...! Pemuda gila ini benar-benar tidak bisa diberi hati!" desis
Milani dengan wajah merah padam.
Wuttt...! Milani menggeser tubuhnya untuk menghindari
cengkeraman yang hendak meremas dadanya. De-
ngan gerakan indah dan tak terduga, gadis cantik itu langsung melontarkan
serangan balasan dengan dua buah pukulan sekaligus.
Praja yang seperti sudah tidak memikirkan keselamatan dirinya, cepat memapaki
dua buah puku- lan yang mengancam wajah dan perutnya! Maka....
Plakkk! Dukkk! "Uhhh...!"
Keduanya sama-sama mengeluh dan terjajar
mundur. Praja tampak meringis sambil memijat-
mijat lengannya. Kuda-kudanya yang tergempur
lebih jauh empat langkah dari gadis cantik itu, menandakan kekuatan yang
dimilikinya setingkat di bawah Milani.
Sebagai putri satu-satunya dari Ki Tambak Baya, tentu saja gadis cantik itu
dibekali dengan ilmu-ilmu tinggi. Wajar kalau ia memiliki kepandaian lebih
tinggi dari lawannya. Meskipun tidak berbeda jauh, tapi jelas mendatangkan
keuntungan bagi dirinya.
Sebaliknya, Praja bukan tidak tahu selisih ke-
pandaian di antara mereka. Namun, tekadnya yang menggebu-gebu untuk memiliki
putri gurunya itu, membuatnya tidak peduli.
"Hm... biar bagaimanapun, aku harus memiliki-mu, Milani!" ucap Praja dengan
suara menggeram perlahan. Tekadnya itu terpancar jelas pada sepasang matanya
yang berkilat-kilat menakutkan.
Geram bukan main hati Milani melihat keneka-
tan pemuda itu. Ada perasaan cemas membayang di wajahnya. Sebab bila seseorang
telah berbuat nekat, maka segala rasa tidak dipedulikannya lagi. Dan, kini
pemuda di hadapannya jelas sudah seperti
orang gila. Sehingga, untuk dapat menundukkan-
nya, Milani harus benar-benar penuh perhitungan.
Kalau tidak, bukan mustahil Praja akan bisa men-jatuhkannya.
"Yeaaat...!"
Dibarengi sebuah bentakan nyaring, tubuh pe-
muda gagah itu kembali meluncur ke arah Milani.
Serangan-serangan yang dilancarkannya tampak
lebih ganas. Praja tidak lagi menggunakan cengkeraman. Kepalan-kepalan tangannya
pun sesekali terlontar mengancam tubuh Milani.
Sambil berusaha menekan kemarahannya, Mila-
ni mulai membalas setiap serangan yang dilontarkan pemuda itu. Pertarungan pun
terlihat lebih seru dan ramai.
Empat puluh jurus telah lewat, namun kedua-
nya terlihat masih sama-sama kuat dan gesit. Bahkan, Milani yang bertarung
dengan penuh ketegangan, terlihat mulai dapat mendesak Praja dengan pukulan-
pukulan dan tendangan yang susul-menyusul.
"Haiiit...!"
Milani berseru nyaring sambil melontarkan telapak tangannya ketika melihat
kesempatan baik.
Blaggg! "Hugkh...!"
Praja yang sama sekali tidak menduga serangan
lawannya, memekik kesakitan. Hantaman telapak
tangan gadis itu telak menghajar dada kirinya.
Sehingga tubuh pemuda itu terjajar limbung.
Sadar kalau pemuda itu tidak boleh diberi kesempatan untuk membangun serangan,
maka pada saat tubuh lawan terhuyung, kembali Milani berseru
nyaring. Desss...! "Huaghk...!"
Bagai disentakkan tenaga yang amat kuat, tu-
buh Praja langsung terlempar dan jatuh tergulingguling hingga dua tombak
jauhnya. Darah segar
muncrat dari tubuh pemuda itu. Dadanya serasa
remuk akibat tendangan keras menghantam telak
dadanya. "Huh! Itulah upahnya bagi orang yang berani berbuat tidak sopan kepadaku!" Umpat
Milani yang segera melesat meninggalkan tubuh Praja. Tidak dipedulikannya tubuh
pemuda yang tergeletak lemah sambil merintih lirih itu.
Tidak lama sepeninggal Milani, Praja bergerak
bangkit dan melangkah tertatih-tatih meninggalkan tempat itu. Praja pergi dengan
membawa hati yang patah dan luka dalam yang cukup parah.
*** Seorang gadis cantik bernyanyi-nyanyi kecil sam-
bil menggosok kulit tubuhnya yang halus. Sesekali tubuhnya direndam di dalam air
sungai yang sejuk dan jernih. Wajahnya yang kemerahan, tampak
semakin menonjolkan kecantikan yang dimilikinya.
Tidak berapa lama kemudian, gadis cantik itu be-renang ke tepian sungai. Pada
sebuah tempat yang terlindung batu besar, gadis itu merapat ke tepi.
Kemudian, melangkah naik dan masuk ke dalam
semak-semak untuk melindungi tubuhnya dari pandangan orang.
"Hey...!" tiba-riba gadis itu berseru kaget Wajahnya yang semula kemerahan,
mendadak pucat se-
perti tak berdarah. "Jahanam! Kurang ajar! Siapa yang berani menyembunyikan
pakaianku!"
Namun, tidak ada suara yang menyambut benta-
kan gadis itu. Sambil menutupi tubuh dengan dedaunan, gadis cantik itu melangkah
perlahan-lahan dan meneliti sekitarnya. Sepasang matanya yang bulat terbelalak
ketika melihat tumpukan pakaiannya tergeletak di bawah pohon.
Sejenak diperhatikannya sekitar tempat itu. Setelah cukup lama menunggu dan
tidak ada suara-
suara yang mencurigakan, gadis cantik itu pun
melangkah mendekati tumpukan pakaiannya.
"Auw...!"
Gadis cantik yang ternyata Milani itu berteriak kaget ketika tiba di bawah
pohon, mendadak tubuhnya terjerat jaring yang tertutup oleh dedaunan kering.
Belum sempat menyadari apa yang telah menimpa dirinya, tahu-tahu sesosok tubuh
telah melesat dan menotok lumpuh tubuh gadis cantik itu.
"Ha ha ha...! Akhirnya kau dapat juga kumiliki, Kekasihku," ujar seorang pemuda
bertubuh tegap yang menatap Milani dengan wajah penuh nafsu.
"Keparat! Turunkan aku, Praja! Kalau kau memang seorang laki-laki sejati, ayo
kita bertarung sampai seribu jurus!" tantang Milani berteriak-teriak marah,
seraya tangannya sibuk berusaha menutupi bagian-bagian tubuhnya yang paling
vital dengan daun.
Ingin rasanya gadis cantik itu mencabik-cabik
tubuh Praja, yang telah berubah bagaikan orang gila. Perasaan marah, malu, benci
dan dendam, bercampur baur dalam hati Milani. Sehingga, ia tidak tahu lagi harus
bagaimana bertindak.
Sementara Praja masih tertawa-tawa sambil me-
natapi tubuh montok yang sudah tidak berdaya itu.
Mungkin merasa kurang puas hanya dengan me-
natap saja, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan pedangnya. Sekali lompat saja,
jaring yang tergantung di atas pohon itu langsung putus tatkala disambar pedang
Praja. Brukkk! Milani meringis kesakitan ketika tubuhnya ter-
banting di atas tanah. Wajah gadis cantik itu semakin bertambah pucat melihat
Praja melangkah ke arahnya.
"Binatang kau, Praja! Awas! Kalau kau berani berlaku tidak sopan, kelak akan
kukuliti tubuhmu!"
Milani berteriak-teriak mengancam.
Namun, Praja yang sudah menotok lumpuh gadis
cantik itu, sama sekali tidak peduli. Bahkan teriakan dan jeritan Milani semakin
membuatnya ber-
nafsu. Sambil terkekeh, tangannya mulai bergerak menggerayangi sekujur tubuh
gadis cantik itu yang memang sudah tidak mampu untuk berbuat apa-apa, hanya air
mata yang turun perlahan memba-
sahi wajahnya. Puas dengan apa yang rfilakukannya, Praja se-
gera memondong gadis itu. Kemudian dengan langkah perlahan, ia meninggalkan tepi
sungai. "Mau kau bawa ke mana aku, Manusia Iblis"!"
teriak Milani dengan suara parau. Hampir habis suara gadis cantik itu karena
berteriak-teriak. Namun, Praja tetap saja tidak mempedulikannya.
Sambil melangkah, tangan pemuda itu tak henti-
hentinya mengelus pinggul Milani yang berada dalam pondongannya. Tawanya pun
terus berkepan-
jangan mengiringi langkah kakinya.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di
sebuah gubuk tempat menginap para pemburu yang sudah tak terpakai. Praja
bergegas melangkah masuk, tanpa rasa curiga sedikit pun. Dibaringkannya tubuh
Milani di atas balai-balai bambu yang telah reyot.
"Nah, sekarang kita hanya tinggal berdua, Sa-yangku. Marilah kita nikmati
pertemuan kita ini,"
ucap Praja sambil membelai wajah Milani yang telah bersimbah air mata.
"Mengapa Hdak kau bunuh saja aku, Praja" Bagiku mati lebih baik daripada hidup
terhina. Bunuh-lah aku, Praja...," ucap Milani dengan suara pelan dan mengandung
isak. Sepertinya gadis cantik itu sadar kalau Praja memang sudah tidak bisa
dirubah lagi. Pemuda itu benar-benar telah berubah karena memendam cinta yang
patah. "He he he... mengapa harus kubunuh! Sekarang kau boleh menyombongkan
kecantikanmu yang telah membuatku menderita, Milani. Tapi, sebentar lagi, semua
itu akan menjadi milikku, dan terus menjadi milikku. Maka, sebaiknya kau
menyerah sajalah, dan jangan membuatku marah, mengerti!"
ujar Praja tenang. Meski nada suaranya terdengar lembut, namun mengandung
ancaman. Tanpa banyak cakap lagi, Praja segera menerkam tubuh Milani dengan nafsu yang
meluap-luap. Tidak dipedulikannya isak tangis gadis cantik itu, yang terdengar
sangat memilukan. Karena merasa tidak berdaya menghadapi keganasan nafsu iblis
yang berkobar dalam diri pemuda itu.
"Manusia rendah! Minggat kau....'"
Tiba-tiba saja, selagi Praja bergulat melampiaskan nafsu bejatnya terhadap
Milani, berkelebat sesosok bayangan hijau. Begitu tiba, tangannya langsung
mencengkeram leher baju bagian belakang
pemuda yang tengah kerasukan setan itu.
Sekali sosok berpakaian serba hijau itu menyentakkan tangannya, tubuh Praja
langsung melayang menjebol dinding papan gubuk tua itu."Aaa...!"
Terdengar jeritan ngeri dari mulut lelaki muda itu. Tubuhnya terbanting keluar
gubuk dengan suara berdebuk nyaring! Praja menggeliat sejenak sebelum berusaha bangkit
berdiri. "AaaK..!"
Praja yang baru saja bergerak bangkit, tersentak kaget ketika di depannya telah
berdiri tegak seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah ber-
warna putih. Yang membuat ia tersentak mundur
adalah sepasang mata pemuda itu yang mencorong tajam bagaikan mata naga dalam
gelap. Kontan wajah Praja berubah pias.
"Sssia... pa... kau..?" ucap Praja terbata-bata sambil kakinya terus melangkah
mundur. Setelah terpisah cukup jauh, baru langkahnya terhenti.
"Jangan biarkan manusia binatang itu pergi, Kakang...!"
Terdengar sebuah suara yang disusul dengan ber-kelebatannya sosok bayangan hijau
dari dalam gubuk itu. Rupanya sosok itu adalah orang yang melemparkan tubuh Praja ke luar.


Pendekar Naga Putih 30 Dendam Pendekar Cacat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kembali hati Praja tersentak ketika melihat wajah sosok berpakaian hijau itu
dengan jelas. Mulut lelaki muda itu ternganga dengan wajah ketololan.
Dalam pancaran sinar matanya, terbayang jelas rasa kekaguman yang tak dapat
disembunyikan. "Kau... manusia ataukah bidadari yang turun dari langit...?" ucap pemuda itu
ketika melihat wajah jelita yang sangat mempesona dari sosok berpakaian serba
hijau itu. Sedangkan sepasang matanya tak lepas dari raut wajah yang benar-benar
membuatnya tak mampu untuk bergerak.
"Hm... aku adalah Dewi Maut yang dirugaskan untuk mencabut nyawa burukmu!
Bersiaplah!" sahut gadis jelita berpakaian serba hijau itu dengan nada suara
datar dan dingin.
Meremang bulu kuduk Praja ketika mendengar
jawaban yang bagaikan hendak membekukan tu-
buhnya. Demikian dinginnya suara dara jelita itu, sehingga tubuh lelaki muda itu
menggigil bagai orang terserang demam.
"Kurasa kita tidak perlu membunuhnya, Kenanga. Cukup kita beri pelajaran agar
dia kapok," tiba-tiba pemuda tampan berjubah putih itu berkata
sambil melangkah dan tangannya menahan tinda-
kan dara jetita yang ternyata adalah Kenanga itu.
Mendengar ucapan pemuda berjubah putih yang
tak lain dari Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih, Kenanga
seperti merasa tak puas.
Namun, ia tidak berusaha membantahnya. Hanya
saja rasa tak puas tergambar jelas pada raut wajahnya yang berubah muram.
Selagi pasangan pendekar itu membisu, sesosok
bayangan merah berkelebat, dan langsung meng-
ayunkan pedang di tangannya untuk memenggal
leher Praja yang masih terpaku bagai patung. Dan...
Crakkk...! Mata pedang yang tajam berkilat itu, tepat menebas batang leher Praja Lelaki
muda itu tak sempat berteriak lagi, karena kepalanya telah jatuh dan
menggelinding ke tanah. Darah pun mengalir seiring tubuh Praja yang tanpa kepala
itu roboh. Panji yang semula hendak mencegah, menahan
seruannya. Karena saat itu mata pedang sudah memenggal leher Praja yang tak
sempat menghindar lagi. Sehingga lelaki muda itu pun tewas secara tragis.
Kenanga melangkah menghampiri gadis cantik
berpakaian merah yang ternyata adalah Milani. Dibelainya punggung gadis itu
dengan maksud agar tangisnya reda.
"Sudahlah, Nisanak. Bukankah bahaya sudah lewat...?" bujuk Kenanga dengan suara
lembut Lalu dibawanya Milani ke bawah sebatang pohon besar.
Keduanya duduk berdampingan. Dibiarkannya gadis cantik itu menumpahkan segala
kesedihan hatinya.
*** 5 "Pemuda itu sebenarnya salah seorang murid ayahku. Aku sama sekali tidak menduga
kalau ia berani berbuat tidak sopan kepadaku. Dan, tadi dia berlaku kasar
terhadap diriku. Andaikata kalian tidak segera datang menolong, mungkin aku
sudah ternoda oleh manusia busuk itu. Dia terpaksa
kubunuh. Karena aku tahu, dia tidak akan pernah menyadari kesalahannya," Milani
menghentikan ceritanya, dan menyeka air mata yang membasahi pipinya.
Kenanga yang semula hendak mengajukan bebe-
rapa pertanyaan, terpaksa dirundanya ketika melihat Panji datang menghampiri
mereka. Pemuda itu duduk bergabung dengan Kenanga dan Milani setelah menguburkan
mayat Praja. Milani mengangkat wajahnya ketika Panji datang bergabung. Sepasang matanya
menatap pemuda itu penuh selidik. Mata wanita cantik itu terus mengikuti gerak-
gerik Panji, hingga pemuda itu duduk di sebelah Kenanga.
"Kisanak, kau... kau sebenarnya siapa..." Mmm...
Maksudku, apakah kau mempunyai Julukan..?" Tanya Milani agak ragu-ragu. Sepasang
matanya tetap menatap sosok Panji seperti hendak memastikan
dugaannya. Panji yang melihat wajah penuh harap-harap
cemas itu, segera saja dapat menebak kalau gadis cantik itu telah menduga siapa
dirinya yang sebenarnya. Maka, pemuda itu pun tidak tega membu-
yarkan harapan yang tergambar jelas di wajah dan sinar mata gadis itu.
"Namaku Panji. Orang-orang rimba persilatan memberikan julukan Pendekar Naga
Putih. Sebuah julukan kosong yang berlebihan, bukan?" jawab Panji seraya
tersenyum. "Ahhh...! Jadi... jadi dugaanku tidak meleset!"
seru Milani setengah berteriak.
Panji dan Kenanga menatap wajah Milani yang
sedang gembira, karena apa yang diduga gadis itu ternyata tidak keliru sama
sekali. "Kau... kau benar-benar Pendekar Naga Putih!
Oh..., terima kasih, Tuhan. Temyata apa yang sering ayah katakan itu benar.
Setiap kejadian yang menimpa kita, tentu ada hikmahnya," desah gadis cantik itu
seraya mendongakkan wajahnya dan me-
natap ke arah cakrawala biru. Jelas, hati Milani benar-benar sangat gembira dan
bahagia. Setelah puas meluapkan kegembiraan hatinya,
Milani kembali mengalihkan pandangannya ke arah Panji. Lenyap sudah kesedihan
yang semula menyelimuti hati gadis cantik itu. Bahkan, wajah cantik itu tampak
semakin berseri ketika menatap Pendekar Naga Putih.
"Mmm... Pendekar Naga Putih, bolehkah aku me-manggilmu dengan sebutan Kakang
Panji saja...?"
Tanya Milani seraya menggeserkan tubuhnya men-
dekati Panji. Gadis itu lupa kalau di tempat itu ada seorang wanita lain yang
menatapnya dengan sinar mata tajam.
Kenanga yang merasa dilupakan Milani, berusa-
ha menekan rasa cemburunya. Walaupun sudah
berusaha untuk menutupi perasaan cemburunya,
Medali Wasiat 1 Joko Sableng 16 Bidadari Cadar Putih Golok Naga Kembar 1
^