Pencarian

Duel Jago Jago Persilatan 1

Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan Bagian 1


DUEL JAGO-JAGO PERSILATAN Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Duel Jago-Jago Persilatan
128 hal; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Langit yang itu tampak kelam. Awan hitam bera-
rak membawa titik-titik air. Tak berapa lama kemu-
dian, rintik hujan pun menerpa bumi yang disertai ti-upan angin keras. Butiran
air hujan itu makin lama
makin besar dan deras. Hembusan angin pun bertam-
bah kencang, membuat pepohonan berderak ribut.
Di tengah terpaan hujan lebat itu, tampak tiga
sosok tubuh bergerak cepat melintasi jalan yang ba-
sah. Kelihatan mereka tidak merasa terganggu dengan cuaca seperti itu. Bahkan,
langkah-langkahnya terlihat ringan, meskipun jalan yang dilalui tergenang air
hujan dan licin. Agaknya, ketiga sosok tubuh itu memiliki ilmu meringankan tubuh
yang sangat tinggi.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun tiba di
depan sebuah pintu gerbang bangunan perguruan. Da-
ri luasnya bentuk bangunan menunjukkan perguruan
itu sangat besar.
Dugaan itu memang tidak meleset! Bangunan
yang sangat besar itu milik Perguruan Rimba Kecil.
Nama perguruan itu sudah sangat terkenal di kalan-
gan persilatan. Bahkan bisa dikatakan merupakan gu-
dangnya orang-orang sakti. Tidak sedikit murid-murid perguruan itu yang kini
jadi tokoh-tokoh terkenal. Sehingga, nama Perguruan Rimba Kecil makin harum
dan disegani kaum rimba persilatan.
Kembali pada tiga sosok tubuh yang kini telah
berdiri tegak di depan pintu Perguruan Rimba Kecil.
Salah seorang dari mereka, yang menggenggam seba-
tang tongkat baja putih di tangan kanannya melang-
kah maju dua tindak.
Whuuuttt..! Dengan kecepatan gerak yang sangat menga-
gumkan, diputarnya tongkat baja putih itu di atas kepala hingga menerbitkan
sambaran angin kuat. Se-
hingga, air hujan yang berjatuhan ke bumi tidak mengenai sosok tubuhnya.
"Haaahhh...!"
Disertai bentakan keras, tongkat baja putih di
tangannya digerakkan ke depan. Dan....
Blarrr...! Terdengar ledakan menggelegar ketika tongkat
baja putih itu menghantam pintu gerbang. Serpihan
kayu tebal bertebaran menandakan betapa hebatnya
hantaman tongkat itu. Hingga, terlihat sebagian daun pintu gerbang hancur
berantakan menjadi serpihan
kecil. Dapat dibayangkan, betapa kuatnya pukulan
tongkat baja putih itu!
Tanpa menunggu serpihan-serpihan itu berjatu-
han ke tanah, ketiga sosok tubuh itu masuk dengan
lompatan panjang dan ringan. Tapi, begitu sosok me-
reka yang berpakaian serba hitam itu menjejakkan kakinya di halaman Perguruan
Rimba Kecil, mereka dis-
ambut suara genta yang bertalu-talu.
"Setan mana yang berani mengacau di tempat
ini..."!" terdengar bentakan menggema, disusul melayangnya sesosok tubuh tinggi
besar yang langsung
berdiri menghadang jalan ketiga sosok tubuh itu. Sepasang matanya menyorot tajam
meneliti wajah-wajah
di depannya. Tanpa mempedulikan air hujan yang ja-
tuh membasahi sekujur tubuhnya. Sosok itu berdiri
gagah, siap mengusir ketiga pengacau itu.
Kemunculan lelaki gagah bermata tajam itu sege-
ra diikuti dengan puluhan sosok tubuh lainnya, yang langsung berloncatan
mengepung. Mereka adalah murid-murid Perguruan Rimba Kecil. Perguruan itu me-
mang memiliki murid yang sangat banyak. Sebab, Per-
guruan Rimba Kecil merupakan partai persilatan ter-
besar di antara partai-partai lainnya. Dan, dari jumlah muridnya yang hampir
seratus lima puluh orang lebih itu kini muncul setengahnya untuk melakukan
penge-pungan. "Tunggu...!" lelaki gagah berpakaian serba putih yang bermata tajam itu berseru
sambil mengangkat
tangannya. Sehingga, puluhan murid yang melakukan
kepungan itu tidak berani membantah perintah yang
dikeluarkan dengan dorongan tenaga dalam tinggi itu.
"Hm.... Bukankah kalian Pendekar Tongkat Sak-
ti, Sepasang Golok Kembar, dan Pedang Pemecah Lan-
git.." Apa maksud kalian datang kemari dengan cara
menjebol pintu gerbang perguruan kami...?" tegur lelaki gagah itu yang rupanya
telah mengenal ketiga orang tamunya:
Ketiga sosok tubuh yang tidak lain Pendekar
Tongkat Sakti, Sepasang Golok Kembar, dan Pedang
Pemecah Langit terlihat saling bertukar pandang satu sama lain. Seperti telah
mendapat kata sepakat, lelaki bertubuh jangkung yang berjuluk Pedang Pemecah
Langit melangkah maju menghadapi lelaki gagah ber-
pakaian serba putih.
"Kami datang untuk meminjam kitab dan senjata
pusaka perguruan ini. Kabarnya Perguruan Rimba Ke-
cil banyak menyimpan pusaka ampuh dan kitab-kitab
ilmu silat tinggi. Kami berharap kau tidak terlalu pelit untuk meminjamkannya
kepada kami, Harjana...," ujar Pedang Pemecah Langit dengan sikap sangat angkuh.
Seolah bukan hendak meminjam, tapi meminta milik-
nya yang berada di tangan orang. Sehingga, lelaki yang bernama Harjana melenggak
kaget! Meskipun namanya banyak dikenal orang, Har-
jana tidak merasa heran. Apalagi, lelaki di hadapannya itu memang bukan orang
sembarangan. Bahkan terhi-tung tokoh persilatan yang punya nama besar, hingga
dirinya yang merupakan tokoh tingkat tiga dalam Perguruan Rimba Kecil. Hanya
yang membuat lelaki gagah itu kelihatan marah adalah maksud kedatangan Pedang
Pemecah Langit yang hendak meminjam pusaka
perguruannya. Jelas permintaan itu tidak mungkin di-luluskannya. Sebab pusaka
Perguruan Rimba Kecil ti-
dak untuk dipinjamkan kepada siapa pun.
Harjana semakin menajamkan pandangannya.
Mata lelaki gagah itu tampak berkilat menyiratkan ke-curigaan. Harjana dapat
meraba ada yang tidak beres pada ketiga tokoh besar itu. Sebab, mereka pasti
tahu peraturan yang berlaku di setiap perguruan.
"Hm.... Jika aku tidak salah, kalian telah cukup lama menghilang semasa
Penculik-Penculik Misterius berkeliaran" Sangat aneh kalau tiba-tiba kalian
muncul membawa maksud yang rasanya tidak mungkin
kami kabulkan. Jangan-jangan kalian telah berse-
kongkol dengan Penculik-Penculik itu...?" ujar Harjana. "Kami tidak membutuhkan
khotbah mu, Harja-na! Kalau kau tidak bersedia memenuhi permintaan
itu, maka jangan menyesal jika kami terpaksa bertindak keras...!" jawab Ki
Adiwarsa yang berjuluk Pendekar Tongkat Sakti. Sepasang mata tokoh itu tampak
menyiratkan ancaman maut Bahkan tongkat baja di
tangan kanannya sudah bergetar, pertanda siap untuk digunakan.
"Hm.... Kalian rupanya sudah tersesat jauh...!
Tapi biar bagaimanapun, aku tidak akan mengabulkan
permintaan kalian...," tegas Harjana seraya melangkah mundur sambil meloloskan
pedang di punggungnya,
mengingat lawan yang dihadapinya tokoh-tokoh ter-
kenal yang berkepandaian tinggi.
"Hmmm...," Pedang Pemecah Langit menggeram gusar. Kakinya bergeser ke kanan.
Sedang pedang di
tangan kanannya yang entah kapan tercabut dari sa-
rungnya telah bergetar, menimbulkan decitan tajam
menusuk telinga.
Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Golok
Kembar pun telah bergerak ke kiri-kanan. Nampaknya
mereka hendak menghadapi keroyokan puluhan mu-
rid-murid Perguruan Rimba Kecil.
Melihat gelagat itu, Harjana langsung mengang-
gukkan kepala memberi isyarat untuk segera meng-
gempur ketiga pengacau itu,
"Heaaattt...!"
Pedang Pemecah Langit kelihatannya sudah tidak
sabar lagi. Diiringi teriakan yang melengking tinggi, tubuh jangkung itu
langsung melayang disertai kelebatan pedang yang berciutan, mengalahkan suara
gemu- ruh air hujan. Harjana yang sadar akan kehebatan serangan
lawan, segera menggeser tubuhnya ke samping dua
langkah. Kemudian mengibaskan pedangnya dengan
kecepatan tinggi membabat iga lawan!
Bweeettt..! Tapi, yang kali ini dihadapinya adalah Pedang
Pemecah Langit Seorang jago pedang kawakan yang te-
lah malang-melintang selama puluhan tahun. Ilmu pe-
dangnya sudah sangat matang. Hingga serangan Har-
jana dapat ditepiskan dengan mudah.
Trangngng...! Benturan kedua batang pedang yang sama-sama
didorong kekuatan tenaga dalam tinggi saling berbenturan keras, menimbulkan
percikan bunga api yang
menyilaukan mata.
"Aaahhh..."!"
Harjana mengeluh tertahan. Tubuhnya terdorong
mundur sejauh empat langkah, dan tangan kanannya
terasa agak nyeri. Meski demikian, lelaki gagah berpakaian serba putih itu dapat
memperbaiki kuda-
kudanya dan kembali siap bertempur.
Pedang Pemecah Langit menggeram gusar. Tu-
buh lelaki jangkung itu pun terdorong mundur. Meski hanya dua langkah, namun
benturan tadi mempenga-ruhi kuda-kudanya. Hingga tergempur mundur.
"Hm...."
Harjana kelihatan kaget melihat tokoh jangkung
itu tergempur kuda-kudanya. Kenyataan itu membuat
Harjana agak lega, meskipun ada bias keheranan di
wajahnya. Setahunya Pedang Pemecah Langit tokoh
yang memiliki ilmu pedang tingkat tinggi, dan tenaga dalam yang sangat hebat.
Sedangkan ilmu pedang
maupun tenaganya tidak sehebat Pedang Pemecah.
Langit Tapi, setelah melihat kenyataan itu ia menjadi ragu. Kini dirinya merasa
yakin dapat mengimbangi
kehebatan Pedang Pemecah Langit. Bahkan mungkin
mengalahkannya, mengingat ilmu pedang dan kekua-
tan pendekar itu sudah mulai menurun.
Kedua tokoh itu kembali saling berhadapan, dan
beradu pandang dengan sorot mata tajam. Kaki mere-
ka bergerak perlahan diiringi suara sambaran angin
pedang yang menderu-deru, menindih gemuruh hujan
yang belum juga reda.
*** Di tempat lain, Pendekar Tongkat Sakti menga-
muk berat, membuat murid-murid Perguruan Rimba
Kecil kalang-kabut. Meski demikian, mereka tetap berusaha membendung putaran
tongkat baja putih di
tangan kakek itu. Kedua ujung tongkat itu bermandi-
kan darah segar setelah memakan beberapa kepala
murid-murid Perguruan Rimba Kecil.
"Heeeahhh...!"
Namun, semangat dan kesetiaan murid-murid
Perguruan Rimba Kecil memang patut mendapat acun-
gan jempol. Mereka tetap gigih dan pantang mundur.
Meskipun untuk itu mereka harus mempertaruhkan
selembar nyawa. Sehingga pertarungan tetap berlangsung seru.
Amukan Sepasang Golok Kembar tak kalah he-
bat. Sepasang senjata yang terbuat dari baja pilihan itu telah hilang warna
aslinya. Terbalut lumuran darah lawan. Belasan mayat bergelimpangan menjadi
korbannya. Meski demikian, kepungan murid-murid Per-
guruan Rimba Kecil tidak merenggang. Bahkan terlihat semakin bertambah rapat.
Tampaknya makin banyak
korban berjatuhan, makin tinggi semangat mereka un-
tuk menggempur lawan.
"Heeeaaattt..!"
Di tengah gemuruh hujan dan ramainya dentang
senjata serta teriakan-teriakan, tiba-tiba terdengar lengkingan panjang yang
menulikan telinga. Seiring dengan lengkingan itu sesosok tubuh melayang dari
dalam bangunan induk perguruan!
Bagai seekor burung besar yang melayang-layang
di angkasa, sosok tubuh itu berputaran dan langsung terjun ke dalam kancah
pertarungan, tempat Pendekar Tongkat Sakti mengamuk hebat!
"Heeeahhh...!"
Begitu tiba, sosok berpakaian serba merah itu
langsung melontarkan kepalan kanannya ke dada
Pendekar Tongkat Sakti. Gerakannya cepat dan man-
tap. Hingga membuat kakek itu menarik mundur tu-
buhnya. Whuuuttt..! Pukulan pertama dapat dihindarkan dengan
baik. Tapi, betapa terkejutnya tokoh itu ketika melihat serangan lawan masih
berlanjut. Bahkan sepasang
tangan itu terus mengejarnya tanpa henti. Sehingga, ia terpaksa memutar
tongkatnya untuk memapaki dan
menghentikan serangan yang bertubi-tubi itu.
Dukkk! "Aaahhh..."!"
Pendekar Tongkat Sakti kembali mengeluarkan
pekik tertahan, ketika merasakan kuatnya tenaga pu-
kulan lawan. Tubuhnya sampai tergetar mundur dan
tangannya terasa kesemutan! Meski demikian, Ki Adi-
warsa boleh bernapas lega. Karena tangkisan tongkatnya telah membuat serangan
itu terhenti. "Hm.... Tidak kusangka seorang tokoh terhormat seperti Pendekar Tongkat Sakti


Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampai berbuat hal
yang sungguh memalukan! Apa yang telah membuat-
mu meninggalkan jalan lurus dan berpaling ke jalan
sesat, Ki Adiwarsa...?" tegur sosok berpakaian serba merah tak senang. Bahkan,
tersirat kemarahan dalam
ucapannya. Ki Adiwarsa tak menanggapi ucapan itu. Lelaki
itu sudah memutar tongkat di tangannya dengan se-
penuh tenaga. Sepasang matanya menyala penuh ke-
marahan. Sikap Ki Adiwarsa tak ubahnya seekor bina-
tang buas yang diganggu kesenangannya.
"Hmmmhhh...!"
Begitu geramannya terdengar, saat itu juga tong-
kat baja putih di tangannya bergerak membabat secara mendatar!
Whuuukkk...! Lelaki tinggi kurus berpakaian serba merah pun
sadar akan bahaya yang mengancam. Hingga tidak
memandang rendah serangan lawan. Maka, lelaki itu
memilih mundur daripada memapaki sambaran tong-
kat baja lawan. Kemudian mencabut sepasang , trisula di kiri-kanan pinggangnya.
Dan, menggempur dengan serangan balasan yang sangat cepat!
Cwiiittt! Cwiiittt..!
Kilatan sinar perak memancar, membuat Ki Adi-
warsa harus menarik serangannya. Tubuh kakek itu
bergerak mundur sambil merendahkan kuda-kudanya.
Kemudian tongkat di tangannya bergerak dari atas ke bawah seperti mencongkel.
Tringngng! Tringngng...!
Tubuh Ki Adiwarsa kembali terjajar mundur, ke-
tika benturan keras itu terjadi. Saat itu juga lawan langsung menyusuli
serangannya. Agaknya, lelaki berpakaian serba merah tidak memberi kesempatan
pada Pendekar Tongkat Sakti untuk membangun serangan
baru. "Yeaaa...!"
Sepasang trisula lawan bersinar menyilaukan
mata, mengancam tubuh Ki Adiwarsa. Tampaknya,
kali ini dirinya tidak mungkin menghindari serangan maut itu!
"Haaaiiittt..!"
Namun, pada saat yang genting itu, tiba-tiba me-
layang sesosok tubuh yang langsung menyelamatkan-
nya dari incaran sepasang trisula lawan!
Trangngng! Trangngng!
"Aaaiii..."!"
Lelaki berpakaian serba merah memekik terta-
han. Tubuhnya terdorong balik terkena tangkisan yang
sangat kuat. Untunglah tokoh itu memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat
baik. Sehingga, dapat me-
luncur turun ke tanah dengan kedua kaki lebih dulu.
"Sepasang Naga Laut.."!" desis lelaki berpakaian serba merah terkejut saat
mengenali orang yang menggenggam sepasang pedang kehijauan. Tokoh berpa-
kaian kulit ular hijau hanya tersenyum mengejek.
'Tinggalkan tempat ini...! Kita sudah berhasil
mendapatkan benda yang kita cari...!" bisik lelaki berpakaian kulit ular pada Ki
Adiwarsa. Ki Adiwarsa menyunggingkan senyum kepuasan.
Sepasang matanya mengerling ke punggung Sepasang
Naga Laut, yang menggendong sebuah bungkusan cu-
kup besar. "Hendak lari ke mana pencuri laknat..!" tiba-tiba terdengar teriakan keras yang
membuat Sepasang Na-ga Laut menoleh. Tampak seorang lelaki tua berusia
sekitar lima puluh tahun tengah berlari ke arah mere-ka. Rupanya, yang dimaksud
pencuri itu adalah Sepa-
sang Naga Laut.
Tanpa mengindahkan pengejarnya, Sepasang Na-
ga Laut mengeluarkan suitan panjang melengking
mengatasi gemuruh hujan dan suara pertempuran.
Kemudian, melesat pergi setelah menganggukkan ke-
pala kepada Ki Adiwarsa yang segera mengikutinya.
Pedang Pemecah Langit yang saat itu telah dapat
menekan lawan, tampak tertegun sejenak. Kemudian,
menghentikan tekanannya dan melesat pergi mening-
galkan Harjana yang jatuh terduduk lemas. Agaknya
pertarungan barusan telah menguras seluruh tena-
ganya. 'Tahan mereka...! Jangan biarkan lolos! Sepasang
Naga Laut telah mencuri pusaka perguruan kita...!" lelaki gagah berusia lima
puluh tahun itu berteriak-
teriak memerintahkan murid-murid Perguruan Rimba.
Kecil mencegah kepergian lawan-lawannya.
Mendengar teriakan itu, para murid perguruan
yang tengah mengeroyok Sepasang Golok Kembar ma-
kin memperhebat serangan mereka. Meskipun untuk
itu mereka harus merelakan nyawanya.
"Heeeaaattt..!"
Empat orang murid Perguruan Rimba Kecil me-
mekik keras, menghadang Sepasang Golok Kembar
yang hendak melarikan diri. Pedang di tangan mereka berkelebatan mencegah
kepergian lawan.
"Setan...!"
Sepasang Golok Kembar sangat jengkel melihat
perbuatan mereka. Senjatanya bergerak cepat dengan
kekuatan hebat. Dan....
Whuuuttt...! Brettt, brettt...!
"Aaakhhh...!"
"Oughhh...!"
Pekik kematian terdengar berturut-turut ketika
Sepasang Golok Kembar bergerak membeset tubuh
keempat lawannya. Begitu tubuh korban terbanting ke tanah, tokoh itu pun melesat
pergi. "Hiiiaaattt..!"
Melihat pencuri-pencuri itu melarikan diri, Har-
jana bangkit dan berusaha mencegah kepergian Sepa-
sang Golok Kembar. Sebab, hanya tokoh itu yang ter-
tinggal di halaman perguruan. Sedangkan yang lainnya sudah menghilang dari
tempat itu. Trangngng...! Terdengar benturan keras ketika Sepasang Golok
Kembar memapaki serangan pedang Harjana. Tubuh
keduanya terlempar balik hampir sejauh satu tombak.
Jelas menunjukkan kekuatan mereka berimbang!
"Hm.... Hendak lari ke mana, Maling Hina...!" geram Harjana kembali bergerak
maju. Melihat para mu-
rid perguruannya telah mengepung Sepasang Golok
Kembar, yang mulai dilanda kecemasan.
*** 2 Sepasang Golok Kembar memutar senjatanya,
membentuk gulungan sinar putih menyelimuti sekujur
tubuhnya. Tokoh gemuk itu sadar untuk menerobos
kepungan lawan, dirinya harus mengerahkan seluruh
kemampuannya. Apalagi, murid-murid Perguruan
Rimba Kecil dibantu Harjana yang merupakan tokoh
tingkat tiga di perguruan itu.
"Hmmmhhh...!"
Sepasang Golok Kembar memutar tubuhnya.
Senjata di tangannya bergerak menyilang menimbul-
kan suara berdecitan tajam, membuat be berapa pen-
gepungnya bergerak mundur.
"Sebaiknya kau menyerah, Manusia Sesat!
Mungkin guru kami akan mempertimbangkan kesala-
hanmu, mengingat jasa-jasamu pada orang banyak...,"
Harjana mencoba membujuk Sepasang Golok Kembar
menyerah. Tokoh Perguruan Rimba Kecil itu masih
memandang lawannya sebagai tokoh terhormat, dan
baru kali ini berbuat kejahatan.
"Heeeaaattt..!"
Jawaban Sepasang Golok Kembar ternyata tidak
seperti yang diharapkan. Bujukan Harjana malah dis-
ambutnya dengan sebuah serangan maut!
Beuttt, bwettt..!
Sambaran Sepasang Golok Kembar di tangan to-
koh gemuk itu demikian cepat dan kuat. Hingga Har-
jana yang menyadari dirinya terancam bahaya. Cepat
bergerak mundur sambil menyilangkan pedangnya se-
kuat tenaga. Trangngng...! Keduanya terjajar mundur akibat benturan keras
itu. Sepasang Golok Kembar tampak semakin ganas.
Lelaki gemuk itu kembali menerjang dengan serangan-
serangan mautnya.
Harjana pun tidak mau kalah. Pedang di tangan-
nya berputaran laksana baling-baling. Disertai gulungan sinar pedang yang
menimbulkan suara menderu-
deru, tokoh tingkat tiga Perguruan Rimba Kecil itu melesat ke depan menyambut
serangan lawan. Sebentar
kemudian, kedua tokoh itu sudah terlibat dalam se-
buah pertarungan sengit! .
Sementara itu, Pendekar Tongkat Sakti, Pedang
Pemecah Langit, dan Sepasang Naga Laut ternyata
bernasib sama dengan Sepasang Golok Kembar. Dua
orang tokoh tingkat dua Perguruan. Rimba Kecil ru-
panya tidak sudi membiarkan pencuri-pencuri itu me-
larikan pusaka perguruan mereka. Dengan sepenuh
tenaga mereka berusaha melakukan pengejaran. Dan
upaya itu tidak sia-sia. Pencuri-pencuri itu dapat disusul setelah be berapa
tombak melewati pintu gerbang perguruan.
"Hm.... Jangan harap kalian dapat pergi begitu saja setelah mencuri pusaka
perguruan kami...!" geram lelaki tegap berpakaian serba merah dengan tatapan
tajam menikam jantung. Di tangan kanan dan kirinya
tergenggam sepasang trisula.
Demikian dengan lelaki gagah berusia sekitar li-
ma puluh tahun itu. Di tangan kanannya tergenggam
sebatang penggada dari baja putih. Senjata berat itu terlihat ringan di
tangannya. Membuktikan pemegang-nya memiliki tenaga dalam kuat!
Whuuukkk...! Senjata maut itu mengaung saat pemiliknya
mengibaskan ke depan menghalangi jalan pencuri-
pencuri itu. Pendekar Tongkat Sakti dan kawan-kawannya
semakin terkejut, melihat tiga orang tokoh tingkat dua bergabung dengan para
penghadangnya. "Celaka! Rasanya, kita tidak mungkin dapat me-
larikan diri tanpa merobohkan mereka lebih dahulu.
Sedangkan untuk melakukannya kita membutuhkan
waktu yang banyak...!" desis Pendekar Tongkat Sakti cemas. Agaknya, tokoh itu
tahu betul siapa lawan-lawannya kali ini.
"Hm.... Sebelum kita sempat merobohkan mere-
ka, Ki Sangga Langit pasti sudah datang. Kalau sampai kakek hebat itu muncul,
habislah harapan kita dapat melarikan diri...," timpal Sepasang Naga Laut tidak
kalah cemas, melihat tokoh-tokoh puncak Perguruan
Rimba Kecil mengepung mereka.
"Kalau begitu, salah seorang dari kita harus bisa meninggalkan tempat ini dengan
membawa pusaka-pusaka itu...," usul Pedang Pemecah Langit Ucapan itu dikeluarkan
dengan berbisik. Sedangkan sepasang matanya tetap terarah pada para
pengepungnya. Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Pedang
Naga terlihat menganggukkan. Keduanya langsung
menyetujui usul Pedang Pemecah Langit Mereka ber-
sepakat dan menunjuk Sepasang Naga Laut untuk me-
larikan pusaka-pusaka itu.
Sementara itu, tokoh-tokoh puncak Perguruan
Rimba Kecil sudah kehilangan kesabaran. Mereka mu-
lai bergerak mempersempit kepungan.
"Haaattt..!"
Lelaki tegap berpakaian serba merah membuka
serangan dengan sepasang trisulanya. Senjata itu berkelebat cepat laksana
sambaran kilat di angkasa.
"Yeaaattt..!"
Pedang Pemecah Langit segera melesat menyam-
but serangan tokoh itu. Pedang di tangannya men-
gaung tajam bagai hendak merobohkan langit Sebentar saja, keduanya terlibat
dalam sebuah pertarungan ma-ti-matian.
Sesaat setelah pertarungan itu berlangsung, to-
koh-tokoh Perguruan Rimba Kecil lainnya segera meluruk ke arah Pendekar Tongkat
Sakti dan Sepasang Na-
ga Laut Sehingga arena pertarungan semakin bertam-
bah ramai! "Haaattt..!"
Sepasang Naga Laut mengeluarkan seluruh ke-
pandaiannya untuk menghadapi dua orang tokoh Per-
guruan Rimba Kecil. Pedang di tangannya yang meru-
pakan pusaka ampuh berkelebat mencari sasaran.
Sayang, lawan yang dihadapinya kali ini bukan tokoh sembarangan. Sebagai tokoh
puncak perguruan terkenal, mereka telah dibekali ilmu-ilmu tinggi. Meskipun
Sepasang Naga Laut telah mengerahkan seluruh
kemampuannya, tetap saja ia tidak bisa berbuat ba-
nyak. Bahkan ketika pertarungan memasuki jurus ke-
dua puluh tujuh, tokoh itu mulai dapat ditekan lawan-lawannya.
"Hm.... Rupanya kepandaianmu telah banyak
menurun, Sepasang Naga Laut Mana kehebatan 'Ilmu
Pedang Sepasang Naga'mu...," ejek lelaki gagah berwajah berewok. Lelaki gagah
itu tampaknya cukup men-
genal baik ilmu silat lawan. Sehingga kelihatan heran
ketika merasakan ilmu pedang Sepasang Naga Laut
tak sehebat dan sedahsyat dulu.
"Jangan banyak bicara, Gumaranta! Ayo, roboh-
kan aku kalau memang kau sanggup...!" geram Sepasang Naga Laut mendengar ejekan
lawan. Lelaki tua bertubuh gagah yang wajahnya terhias
berewok hanya memperdengarkan kekehnya. Tokoh
tingkat dua Perguruan Rimba Kecil itu terus melontarkan serangan-serangannya
dibantu kawannya. Se-
hingga, lawan semakin tak mampu melakukan seran-
gan balasan. Dan, hanya bisa membentengi diri den-
gan sepasang pedangnya yang ampuh.
Nasib serupa juga dialami Pedang Pemecah Lan-
git Lelaki berpakaian serba merah yang bersenjatakan sepasang trisula ternyata
sangat hebat! Dalam jurus ke empat puluh, Pedang Pemecah Langit kelihatan mulai
terdesak lawan. Sehingga, lelaki jangkung itu lebih banyak bertahan.
"Eh..."!"


Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lelaki gagah berpakaian serba merah itu tampak
heran melihat permainan lawan yang terkadang mela-
kukan gerak-gerak aneh dan sangat asing baginya.
Bahkan, jurus-jurus pedang lelaki jangkung itu sempat membuat keningnya berkerut
dalam. Ilmu pedang
pendekar jangkung itu banyak memiliki kelemahan.
Padahal Pedang Pemecah Langit bukan tokoh kemarin
sore. Dan, ilmu pedangnya terkenal sangat tangguh di kalangan luas. Lelaki gagah
itu jadi tak mengerti melihat keganjilan jurus-jurus lawannya.
"Pedang Pemecah Langit! Mengapa jurus-jurus
ampuh mu seperti sudah tidak bergigi lagi" Apa kau terlalu banyak mengumbar
nafsu, hingga kepandaianmu menurun...?" seru lelaki gagah berpakaian serba merah
tidak bisa menahan keheranan. hatinya.
Perasaan itu pun terlontar dari mulutnya.
Pedang Pemecah Langit seperti tidak peduli den-
gan ejekan lawan. Kesempatan selagi lawan berbicara dipergunakannya untuk
membalas serangan. Sehingga, lelaki gagah berpakaian serba merah terpaksa me-
nelan semua keheranan harinya. Dan, kembali mene-
kan Pedang Pemecah Langit dengan serangan-
serangan mautnya.
"Hua ha ha...!"
Pada saat Sepasang Naga Laut, Pedang Pemecah
Langit, dan Pendekar Tongkat Sakti mulai dapat diku-asai lawan-lawannya, tiba-
tiba terdengar suara tawa parau yang bergema menggetarkan jantung. Seketika
itu juga pertempuran terhenti. Mereka yang bertempur bergerak mundur dan
mengerahkan hawa murni untuk melindungi isi dada. Suara tawa itu dikeluarkan
dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Siapa yang tak sanggup
menahannya akan tewas dengan
isi dada pecah!
Untung gema tawa itu tidak berlangsung lama.
Karena memang hanya digunakan untuk menghenti-
kan pertempuran. Begitu pertempuran terhenti, angin keras pun bertiup. Disusul
dengan melayangnya sesosok tubuh tinggi besar berjubah merah, dengan pa-
kaian serba hitam.
Jleggg! Tanah di sekitar tempat itu bagai terguncang
saat sosok tinggi besar itu menjejakkan kakinya ke tanah. Agaknya tokoh itu
sengaja hendak memamerkan
kekuatan tenaga dalamnya.
"Salam kepada Ketua Yang Perkasa...!"
Begitu melihat siapa yang datang, Pedang Peme-
cah Langit, Pendekar Tongkat Sakti, dan Sepasang Na-ga Laut langsung menjatuhkan
diri berlutut di hada-
pan tokoh tinggi besar itu.
"Hua ha ha...! Apakah tugas kalian berhasil dengan baik...?" tegur sosok tinggi
besar sambil memperdengarkan tawa yang menggelegar. Sepasang matanya
yang besar dan tajam menatap ketiga sosok di bawah-
nya. "Nyaris gagal Ketua, meskipun pusaka-pusaka itu sudah berada di tangan
kami...," lapor Sepasang Naga Laut seraya membuka bungkusan besar yang ta-di
tergantung di punggungnya. Kemudian menyerah-
kannya pada lelaki tinggi besar itu.
Melihat bungkusan besar yang berisi kitab-kitab
ilmu silat serta pusaka Perguruan Rimba Kecil, Ki Gumaranta dan lelaki
berpakaian serba merah tidak bisa menahan marah. Keduanya langsung melesat
berbarengan hendak merebut bungkusan besar itu.
"Hmmm...."
Sosok tinggi besar itu memperdengarkan guma-
man perlahan. Tangan kanannya dikibaskan ke samp-
ing untuk menghalau serangan dua orang tokoh ting-
kat dua Perguruan Rimba Kecil.
Whusss...! Gerakan yang kelihatannya sangat perlahan ter-
nyata berakibat parah bagi Ki Gumaranta dan saudara seperguruannya! Serangkum
angin keras berhembus
membentur tubuh mereka.
"Aaahhh..."!"
"Heiii..."!"
Terkejut bukan main kedua tokoh puncak Pergu-
ruan Rimba Kecil merasakan tubuh mereka terdorong
ke belakang. Dan tanpa dapat dicegah lagi, tubuh keduanya jatuh berguling-guling
sejauh tiga tombak. Rasanya, mereka tidak pernah bermimpi dapat diroboh-
kan lawan dalam satu gebrakan saja. Meskipun itu
akibat kecerobohan mereka yang menganggap remeh
lawan. "Gila..."!" desis Ki Gumaranta belum dapat percaya dengan kejadian yang baru
dialaminya. "Mustahil..."!" lelaki tegap berpakaian serba merah pun tidak bisa menerima
kenyataan itu. Dirinya
merasa seperti orang yang tengah bermimpi. Hingga
rasa penasarannya bangkit seketika itu juga.
"Sabar Adi Jinggala...!" cegah Ki Gumaranta melihat lelaki berpakaian serba
merah itu bersiap hendak menerjang sosok tinggi besar itu.
Lelaki berpakaian serba merah semula hendak
membantah. Tapi ketika melihat sinar mata Ki Guma-
ranta yang penuh permohonan. Jinggala hanya bisa
menghela napas panjang. Tubuhnya terasa lemas ba-
gai tak bertenaga. Lelaki itu menyimpan rasa penasaran dalam hatinya.
*** Dengan sikap tenang, lelaki tinggi besar berjubah
merah meneliti isi bungkusan besar. Dan, tawanya
kembali terdengar.
"Bagus..., bagus...! Kalian telah melaksanakan tugas dengan sangat baik...!"
puji lelaki tinggi besar yang kelihatan sangat puas dengan hasil kerja Sepasang
Naga Laut dan kawan-kawannya.
'Terima kasih, Ketua...," hormat ketiga pendekar itu seraya menganggukkan kepala
bersamaan. "Hm..., sebaiknya segera kita tinggalkan tempat ini sebelum Ki Sangga Langit
muncul dan merebut
kembali benda-benda pusaka ini...," lanjut lelaki tinggi besar kemudian
membalikkan tubuh hendak meninggalkan tempat itu.
"Tunggu...!"
Ki Gumaranta tentu tidak tinggal diam melihat
perbuatan lelaki tinggi besar itu. Sambil berteriak mencegah, tubuhnya dan tubuh
Ki Jinggala melayang
menghadang jalan. Keduanya telah siap dengan senja-
ta masing-masing.
Demikian dengan tiga orang adik seperguruan
mereka, yang berdiri berjajar dengan senjata tergenggam dan siap mempertaruhkan
nyawa merebut kem-
bali pusaka-pusaka perguruan mereka.
"Hm.... Saat ini aku merasa gembira dengan apa yang ku peroleh. Maka aku tak
ingin mengotori tangan dengan membunuh kalian. Tapi jika kalian memaksa,
jangan salahkan aku...," gumam lelaki tinggi besar dengan sorot mata tajam,
membuat Ki Gumaranta dan
kawan-kawannya tergetar mundur.
"Siapa kau sebenarnya berani mencari permusu-
han dengan perguruan kami" Sebutkan namamu...?"
ujar Ki Gumaranta yang mewakili saudara-
saudaranya. "Hm.... Panggil saja aku Hantu Jubah Merah.
Guru kalian, Ki Sangga Langit pasti kenal siapa aku....'
Nah, sekarang menyingkirlah! Kalian bukan tandin-
ganku...!" sahut lelaki tinggi besar tidak memandang sebelah mata pun pada
tokoh-tokoh puncak Perguruan
Rimba Kecil. Belum lagi Ki Gumaranta menimpali, terdengar
langkah berderap. Tak lama kemudian, muncullah
Harjana bersama tiga puluh orang murid perguruan.
Melihat kemunculan mereka, dapat ditebak kalau Se-
pasang Golok Kembar sudah mereka robohkan.
"Ketua..., Sepasang Golok Kembar...," desis Pedang Pemecah Langit yang rupanya
menyadari kema-
tian kawannya. "Hm...," Hantu Jubah Merah hanya mendengus perlahan. Kelihatan sekali ia tidak
begitu menyesali kematian Sepasang Golok Kembar.
"Ayo, kita pergi...!" ajak lelaki tinggi besar kembali melangkah lebar tanpa
peduli di depannya telah berdiri menghadang Ki Gumaranta dan tokoh-tokoh lain-
nya. "Seraaang...!"
Sadar bahwa tak ada jalan lain kecuali bertem-
pur, Ki Gumaranta segera memerintahkan saudara-
saudaranya menerjang lawan.
"Haaattt..!"
Lelaki gagah berwajah berewok itu menggerak-
kan penggadanya dengan sepenuh tenaga. Sasarannya
adalah Hantu Jubah Merah.
Bwettt! Bettt..!
Dua kali serangan lelaki gagah itu dapat dihinda-
ri lawan dengan memiringkan tubuhnya ke kanan kiri.
Dan, langsung melepaskan hantaman telapak tangan-
nya ke dada Ki Gumaranta.
Deeesss...! , "Hukkkhhh...!"
Serangan balasan yang datang laksana sambaran
kilat itu tak sempat dielakkan. Akibatnya, tubuh Ki Gumaranta terjengkang
memuntahkan darah!
"Heeeahhh...!"
Dua orang tokoh tingkat dua yang datang menye-
rang kemudian, langsung terpental balik terkena pu-
kulan jarak jauh Hantu Jubah Merah.
Bressshhh...! Tanpa ampun lagi, pukulan sangat kuat itu me-
mutuskan nyawa mereka dengan dada remuk.
Kejadian yang berlangsung dalam beberapa keja-
pan mata itu membuat gempar murid-murid Pergu-
ruan Rimba Kecil. Tanpa diperintah lagi, mereka berlompatan mundur menjauhi
Hantu Jubah Merah yang
tertawa berkakakan.
"Hm.... Bagus, rupanya kalian sayang dengan
nyawa yang selembar itu...," dengus tokoh bertubuh tinggi besar dengan suara
berat penuh ejekan.
"Keparat...! Kulumat tubuhmu...!" Ki Jinggala hampir meledak isi dadanya karena
melihat kematian
saudara-saudaranya, memekik parau. Sepasang trisu-
lanya bergerak melakukan serangan. Harjana dan yang lainnya pun tak mau
ketinggalan Mereka ikut menerjang maju dengan senjata di tangan.
"Hm.... Biar kuhadapi cecunguk-cecunguk ini...!
Kalian pergilah lebih dulu...," perintah Hantu Jubah Merah kepada Pendekar
Tongkat Sakti, Pedang Pemecah Langit, dan Sepasang Naga Laut.
"Baik, Ketua.. ," sahut ketiga tokoh itu segera berkelebat meninggalkan tempat
itu. Agaknya, mereka tidak mengkhawatirkan nasib ketuanya.
"Heeeaaattt...!"
Ketika melihat beberapa murid Perguruan Rimba
Kecil hendak mencegah kepergian ketiga pemban-
tunya, Hantu Jubah Merah pun membentak keras. Se-
pasang tangannya berkelebat dan mematuk-matuk ba-
gas seekor ular hidup. Akibatnya....
"Aaa...!"
Dalam segebrakan, enam murid Perguruan Rim-
ba Kecil roboh terpelanting dengan tenggorokan berlubang. Patukan jari-jari
tangan tokoh itu membuat
nyawa mereka melayang.
Bukan main marahnya Ki Jinggala. Bagai orang
kesetanan, sepasang trisulanya bergerak cepat dengan serangan-serangan maut!
Plakkk! Plakkk!
"Aaahhh..."!"
Tepisan telapak tangan Hantu Jubah Merah san-
gat kuat. Akibatnya, tubuh Ki Jinggala melintir seperti sebuah gangsing.
Sedangkan murid-murid lainnya
yang datang membantu, terpelanting ke kiri-kanan
terkena tamparan keras tokoh tinggi besar itu. Karuan saja amukan Hantu Jubah
Merah membuat yang lainnya menjadi gentar!
"Hmmm...,"
Melihat lawan-lawannya berlompatan mundur,
Hantu Jubah Merah berkelebat ke depan. Dan lenyap
dari pandangan setelah menutupi tubuhnya dengan
jubah merahnya.
"Iblis..."!" desis Ki Jinggala yang terkejut melihat tubuh Hantu Jubah Merah
lenyap bersama gumpalan
asap putih, asap itu muncul seiring dengan lenyapnya sosok tinggi besar itu.
"Bagaimana ini, Kakang...?" Harjana yang merasa tak sanggup
mempertanggungjawabkan kejadian ini
pada gurunya meminta pendapat Ki Jinggala.
"Biar aku yang akan melaporkannya kepada
guru. Sebaiknya kau bereskan tempat ini...," ujar Ki Jinggala kemudian
meninggalkan tempat itu.
*** 3 Di bawah siraman sinar matahari yang redup
tampak tiga sosok tubuh melangkah menyusuri tanah
becek. Genangan air pada tanah berlubang memaksa
mereka harus berlompatan menghindarinya. Hingga
memperlambat perjalanan ketiga orang itu.
"Hhh.... Untung hujan sudah reda. Kalau tidak, terpaksa kita harus bermalam di
dalam hutan...," ujar seorang lelaki kurus berusia sekitar empat puluh lima
tahun. Pakaiannya agak basah. Demikian pula dua
orang temannya.
"Bukan hanya di dalam hutan, Ki. Kita juga ha-
rus mencari tempat berteduh. Paling tidak sebuah goa untuk melewatkan malam
dalam keadaan hujan...,"
timpal pemuda gagah berpakaian kuning cerah. Agak-
nya, ketiga orang itu baru saja melewati hutan yang kini tertinggal di belakang.
Dan sempat berteduh saat hujan lebat tadi.
"Yahhh.... Mudah-mudahan saja di depan sana
kita bisa menjumpai sebuah desa. Dengan begitu, kita bisa mencari tempat
penginapan. Tidak enak rasanya
bermalam di udara terbuka dalam cuaca sedingin
ini...," tambah sosok ketiga yang bertubuh ramping.
Tangannya terlipat di depan dada. Seolah ingin me-
nunjukkan bahwa udara saat itu memang sangat din-
gin. "Keinginanmu sama denganku, Pujawati. Aku pun enggan jika harus bermalam di
alam terbuka dalam cuaca seperti ini...," ucap pemuda gagah berpakaian kuning
cerah pada gadis manis di sebelahnya.
Tidak sulit untuk mengetahui siapa pemuda ga-
gah dan lelaki kurus yang berjalan bersama Pujawati.
Mereka adalah Malela dan Ki Danara. Yang tengah me-
lakukan perjalanan mencari guru dan ayah mereka
yang lenyap tanpa jejak. (Baca episode: 'Penculik-
Penculik Misterius').
Pujawati, putri tunggal Pedang Pemecah Langit
menoleh dan tersenyum. Perjalanan itu tampaknya te-


Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lah menambah akrab ketiganya. Apalagi mereka mera-
sa senasib dan setujuan. Sehingga setelah berhari-hari
melakukan perjalanan bersama, kekakuan di antara
mereka berganti dengan keakraban.
Malela, pemuda gagah pewaris Pendekar Tongkat
Sakti melebarkan senyumnya. Kemudian membuang
pandang ke arah lain. Menyembunyikan getaran ha-
tinya saat melihat senyum Pujawati. Malela tahu diri untuk tidak menunjukkan
perasaan hatinya pada gadis manis itu. Menjaga suasana di antara mereka agar
tidak menjadi canggung. Itu sebabnya, Malela lebih
suka menyembunyikan perasaannya. Meskipun ia
menduga gadis manis itu kemungkinan mempunyai
perasaan yang sama dengannya.
"Ada orang datang...!" seru Malela perlahan. Kemudian melesat ke semak-semak di
tepi jalan, setelah memberi isyarat agar Ki Danara dan Pujawati mengikutinya.
Tanpa banyak tanya lagi, gadis itu langsung ber-
sembunyi di semak-semak. Kemudian diam menunggu
dengan hati berdebar.
Tapi tidak dengan Ki Danara. Lelaki tua bertu-
buh kurus yang memiliki kepandaian paling rendah di antara mereka, kelihatan
bingung, ketika melihat Malela dan Pujawati menyelinap ke dalam semak-semak.
Baru setelah Malela memberikan isyarat, Ki Danara
segera mencelat dan bersembunyi. Lelaki tua itu me-
nahan napas agar tidak terdengar orang lain.
Tidak berapa lama kemudian, tampak tiga sosok
tubuh berlarian melintasi jalan yang dilalui Ki Danara dan kawan-kawannya.
Gerakan mereka yang ringan
menunjukkan ketinggian ilmu larinya. Membuat hati
ketiga orang yang bersembunyi itu makin berdebar.
Dan, ketika ketiga sosok itu semakin dekat...
"Ayaaahhh..."!"
Pujawati yang menyelinap di balik alang-alang
lebat, mendesis dengan dada berdebar. Gadis manis
itu mengenali salah satu dari ketiga sosok itu sebagai ayahnya. Meski agak
heran, namun perasaan gembira
membuatnya keluar dari tempat persembunyian.
"Ayah...!" seru gadis manis itu dengan mata mulai basah oleh rasa haru yang
menghimpit dada. Tanpa ragu-ragu lagi, Pujawati berlari menyongsong ketiga sosok
itu. Ternyata bukan hanya Pujawati yang berbuat
demikian. Malela dan Ki Danara pun keluar dari tem-
pat persembunyiannya. Melihat ada Ki Adiwarsa di antara ketiga sosok lelaki tua
itu, Malela langsung melesat Seolah berlomba dengan Pujawati yang tengah me-
nyongsong ayahnya.
Mendengar teriakan Pujawati, ketiga sosok tubuh
yang tidak lain Pendekar Tongkat Sakti, Pedang Pemecah Langit, dan Sepasang Naga
Laut menghentikan la-
rinya. Mereka menoleh ke arah datangnya suara lang-
kah dan panggilan itu.
"Hm...!" Pendekar Tongkat Sakti bergumam perlahan. Sepasang matanya memancarkan
kilatan tajam. Kemudian kembali tenang seperti biasa. Lelaki tua itu menunggu kedatangan pemuda
gagah berpakaian kuning cerah yang tengah berlari ke arahnya.
Demikian pula Pedang Pemecah Langit Meski
hanya sesaat, terlihat kilatan aneh pada sepasang matanya. Jago pedang kenamaan
itu menanti kedatangan
Pujawati. Sedangkan Sepasang Naga Laut berdiri di bela-
kang kedua kawannya. Sepasang matanya bergerak-
gerak memperhatikan kejadian itu. Sesekali beralih ke arah Ki Danara yang
melangkah paling belakang dengan tenang.
"Ayah...."
Pujawati mengurungkan niatnya untuk memeluk
orangtua yang sangat dicintainya itu. Langkahnya terhenti dalam jarak empat
langkah dari tubuh Pedang
Pemecah Langit Sikap dingin lelaki tua itu membuat
Pujawati ragu. Karena selama ini ayahnya sangat me-
nyayangi dirinya, maka tidak heran jika melihat peru-bahan sikap ayahnya.
Apalagi mereka baru bertemu
kembali setelah berpisah cukup lama. Hal itu menim-
bulkan rasa curiga di hati gadis itu.
"Hm.... Mengapa tidak memeluk ku, Pujawati"
Apa kau sudah tidak sayang pada ayahmu lagi...?" tegur Pedang Pemecah Langit tak
senang. Sehingga, kening gadis manis itu tampak semakin berkerut dalam.
"Kau... Dari mana saja, Ayah...?" ucapan bodoh itu meluncur dari bibir Pujawati.
Gadis itu sungguh tidak tahu apa yang harus dikatakannya saat itu.
Pujawati tidak bergerak meskipun ayahnya su-
dah menegur. Dan menoleh ke arah Malela yang tidak
bersujud di depan gurunya. Agaknya pemuda berpa-
kaian kuning cerah itu pun tengah dilanda keraguan.
"Hm.... Mengapa memandangku seperti itu, Male-
la" Apakah sejak aku hilang kau tak menganggapku
lagi sebagai gurumu?"
Pendekar Tongkat Sakti menegur perbuatan Ma-
lela yang menatapnya penuh selidik. Entah apa yang
dipikirkan Malela saat itu. Wajahnya tidak menunjukkan bias kegembiraan setelah
bertemu dengan gu-
runya. Padahal, perjalanan yang dilakukannya selama ini untuk menemukan guru
yang dihormatinya itu.
"Aku... aku...," Malela kelihatan bingung menjawab teguran Pendekar Tongkat
Sakti. Rasa hormatnya
tidak hilang, meskipun hatinya diselimuti keraguan.
"Berlutut padaku...!" bentak Pendekar Tongkat Sakti dengan wajah merah padam.
Orang tua itu keli-
hatan marah melihat sikap lancang Malela.
"Ampun, Guru...."
Tanpa ragu-ragu lagi, Malela langsung menja-
tuhkan tubuhnya berlutut di depan Pendekar Tongkat
Sakti. Tokoh itu mengangguk-anggukkan kepala sam-
bil mempermainkan jenggotnya yang berwarna dua.
Ada rasa senang terbersit di wajahnya.
Demikian pula Pujawati. Keraguan gadis manis
itu luntur oleh kesayuan pandang mata Pedang Peme-
cah Langit. Seolah lelaki tua itu merasa sedih melihat sikap Pujawati. Hingga,
akhirnya Pujawati berlari memeluk tubuh lelaki tua itu.
"Anakku...," gumam Pedang Pemecah Langit seraya mengelus rambut gadis manis itu.
Tapi.... "Aaahhh..."!"
Mendadak Pujawati menyentakkan tubuhnya da-
ri pelukan lelaki tua itu. Gadis manis itu merasakan sikap dan belaian tangan
ayahnya mengandung getaran aneh. Merasa berada dalam pelukan lelaki asing
yang menyembunyikan hasrat tertentu, Pujawati pun
menarik tubuhnya.
"Kau... kau bukan ayahku...".'" pekik dara manis itu tertahan. Sepasang matanya
terbelalak lebar. Gadis itu penasaran. Tidak bisa membuktikan lelaki tua itu
bukan Pedang Pemecah Langit yang sebenarnya.
Pedang Pemecah Langit pun tidak tinggal diam.
Begitu melihat Pujawati meronta dari pelukannya, tokoh itu segera melancarkan
totokan kilat ke tubuh Pujawati.
"Ooohhh...!"
Tubuh gadis manis itu jatuh terkulai. Kekalutan
hatinya membuat Pujawati tidak bisa menghindari to-
tokan Pedang Pemecah Langit.
"Pujawati..."!"
Melihat kejadian itu, Malela tersentak kaget. Apa-
lagi, saat melihat tubuh gadis manis yang diam-diam telah merebut hatinya itu
terkulai ke tanah. Dan sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba
pemuda itu merasakan ada sambaran angin kuat dari
sebelah atas. "Malela! Awaaasss...!" Ki Danara yang sejak tadi menyaksikan pertemuan itu,
berteriak memperingatkan. Pada saat itu Pendekar Tongkat Sakti tengah
melancarkan pukulan telapak tangan miring ke belakang leher Malela. Sambaran
angin pukulan itulah
yang dirasakan Malela.
Menyadari dirinya terancam bahaya, Malela lang-
sung mengangkat tangan kanannya ke atas. Meskipun
demikian, tenaganya tidak dikerahkan sepenuhnya.
Karena serangan itu begitu tiba-tiba, dan dilakukan dalam jarak dekat.
Sehingga.... Dukkk! "Aaahhh..."!"
Kedudukannya yang lemah membuat tubuh pe-
muda itu terjerembab dan jatuh ke atas tanah basah.
Tangan kanannya terasa linu. Malela memang tidak
siap menghadapi serangan itu. Kedudukannya pun ti-
dak menguntungkan.
"Heahhh...!"
Pendekar Tongkat Sakti tidak mau memberi ke-
sempatan pada pemuda itu untuk menyiapkan jurus-
nya. Tokoh itu segera menyusul serangannya dengan
hantaman tongkat baja putih.
Whukkk...! Senjata maut itu meluncur cepat dari atas ke
bawah, siap meremukkan batok kepala Malela. Kali ini Pendekar Tongkat Sakti
bermaksud membunuh pemuda gagah berpakaian kuning cerah itu.
"Haaattt..!"
Ki Danara tidak bisa tinggal diam melihat Malela
terancam maut Tubuh lelaki tua itu melesat ke depan dengan sambaran pedangnya.
Ki Danara langsung
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk men-
gimbangi kepandaian Pendekar Tongkat Sakti yang
sangat tinggi. Bwettt... trangngng...!
"Aaahhh..."!"
Meskipun berhasil menyelamatkan Malela, tapi
tubuh lelaki tua itu terlempar ke belakang. Ternyata tenaga dalam Ki Danara
kalah jauh dengan lawan. Pedangnya terlepas dan jatuh entah di mana.
Biarpun begitu, tindakan Ki Danara tidak sia-sia.
Malela segera bergulingan menjauh saat benturan ke-
ras itu terjadi.
"Haaaittt...!"
Begitu melenting bangkit, Malela langsung mele-
sat. ke arah Ki Danara. Ditariknya tubuh orang tua itu bangkit berdiri. Ki
Danara mengurut urut lengannya yang terasa linu.
'Terima kasih atas pertolonganmu, Ki. Bagaima-
na keadaanmu...?" tanya Malela. Wajah pemuda itu terlihat cemas melihat seringai
kesakitan di wajah Ki Danara.
'Tenaga dalam gurumu sungguh hebat sekali,
Malela. Rasanya tulang-tulang lenganku patah akibat benturan tadi...," jawab Ki
Danara sambil tetap memi-jat lengannya.
"Aku belum tahu pasti siapa sebenarnya lelaki tua itu, Ki. Kalau ia benar
guruku, pasti ada sesuatu yang tidak beres dengannya. Jika tidak, bagaimana
mungkin ia demikian tega hendak membunuhku...,"
tandas Malela seraya memandang sosok gurunya.
"Siapa pun dia, kita harus tetap berhati-hati, Malela...," bisik Ki Danara
mengingatkan. Malela menganggukkan kepala. Lalu melesat ke rumpun bambu
kuning yang tumbuh di tepi jalan. Dipilihnya bambu
yang terbaik, kemudian ditebas dengan pedangnya.
"Gunakanlah pedangku untuk melindungi diri,
Ki. Aku akan menggunakan batang bambu ini sebagai
senjata. Meskipun ilmu yang kudapat belum sempur-
na, tapi Mudah-mudahan bisa kupergunakan untuk
menjaga diri...," ujar Malela seraya menyerahkan pedangnya pada Ki Danara.
Sebagai murid utama Pende-
kar Tongkat Sakti, tentu Malela telah mewarisi hampir seluruh ilmu-ilmu silat
gurunya. Tanpa banyak tanya, Ki Danara segera menyam-
but pedang Malela. Sebab, dirinya memang sangat
membutuhkan senjata itu untuk membela diri dari se-
rangan lawan. Maka, keduanya pun bersiap mengha-
dapi lawan-lawannya.
*** "Hm.... Berani kau melawan gurumu, Malela...?"
tegur Ki Adiwarsa dengan wajah merah padam. Sepa-
sang matanya berkilat tajam penuh kemarahan. Ka-
kinya melangkah beberapa tindak menghampiri Malela
dan Ki Danara. "Aku tidak tahu siapa dirimu sebenarnya, Orang Tua" Mengapa kau mirip guruku.
Dan, apa alasanmu
hendak membunuhku tadi...?" tanya Malela penasaran. Sampai saat itu dirinya
masih ragu. Siapa sesungguhnya orang tua itu" Jika bukan
gurunya, mengapa wajahnya demikian mirip" Padahal
setahunya Ki Adiwarsa tidak mempunyai saudara
kembar. Sangat aneh jika lelaki tua itu mengaku berju-
luk Pendekar Tongkat Sakti, yang jelas-jelas merupakan julukan gurunya. Malela
bingung dibuatnya.
"Jangan dengarkan ucapan busuknya, Malela!
Orang tua itu bukan gurumu yang asli. Seperti halnya lelaki tua yang mirip
guruku itu. Mana ada seorang
guru tega membunuh murid-muridnya. Padahal, sang
Murid merupakan pewaris tunggal perguruan serta il-
mu-ilmunya itu. Mereka adalah tokoh-tokoh palsu...!"
tandas Ki Danara, berusaha mengingatkan Malela agar tidak terpengaruh bujukan
lelaki tua itu.
Malela pun lebih mempercayai ucapan Ki Dana-
ra. Sehingga, pemuda itu menyiapkan jurus tongkat-
nya. Siap menghadapi serangan Pendekar Tongkat
Sakti dan kawan-kawannya.
Bettt! Bettt! Tongkat bambu di tangannya dikibaskan hingga
menimbulkan suara sambaran angin kuat. Bambu se-
panjang lima jengkal dengan bulatan sebesar gagang
pedang itu, siap digunakan Malela sebagai senjata.
"Hm..,," Pendekar Tongkat Sakti bergumam lirih.
Sepasang matanya bergerak liar. Kemudian,
tongkat baja putihnya diputar di depan dada. Terdengar suara menderu-deru yang
menerbangkan bebatuan
kecil di dekatnya. Ki Adiwarsa tidak tanggung-
tanggung untuk mengarahkan segenap tenaganya.
"Majulah, Murid Murtad...!" geram kakek itu.
Pandangannya tertuju lurus pada sepasang bola mata
Malela. Pemuda itu segera membuang pandang ke arah
lain. Tatapan mata lelaki tua itu tak ubahnya pandangan seorang guru yang hendak
menghukum muridnya.
Agaknya, itu dilakukan untuk membuat hati Malela gelisah. "Haaattt...!"
Dengan sebuah teriakan nyaring. Malela melesat;
ke depan. Tongkat bambu di tangannya bergerak cepat Terkadang hanya dipegang
satu tangan saja. Gerakannya yang berubah-ubah itu membuat lawan tertegun
sejenak.

Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bwettt..! "Haiiittt..!"
Pendekar Tongkat Sakti memiringkan tubuhnya
untuk menghindari sodokan ujung tongkat bambu Ma-
lela yang mengarah tenggorokannya. Kemudian, mem-
balas dengan hantaman telapak tangan kirinya. Dis-
usul hantaman tongkatnya dari atas ke bawah. Tapi,
semua serangan itu dapat digagalkan Malela dengan
mudah. Sebentar kemudian, keduanya terlibat dalam
sebuah perkelahian sengit!
Setelah dua puluh jurus lebih, Malela semakin
bertambah yakin lelaki tua itu bukan gurunya yang as-li. Permainan tongkat orang
tua itu dicampur dengan ilmu-ilmu silat lain yang tidak dikenalnya. Apalagi,
ternyata dirinya dapat mengimbangi permainan lawan.
Keyakinan Malela semakin menjadi-jadi. Hanya saja
pemuda itu tidak mengerti. Bagaimana mungkin lelaki tua itu memiliki wajah yang
serupa dengan gurunya"
Bahkan, ia memiliki ilmu tongkat perguruannya, meski di bawah ilmu Malela.
"Keparat! Sekarang aku yakin. Kaulah yang telah menculik guruku. Ilmu dan
tongkat guruku itu buk-tinya!" seru Malela di tengah hujan serangan lawan.
Tubuh pemuda itu berkelit ke kiri-kanan. Sesekali
tongkat bambu di tangannya melontarkan serangan
balasan yang tidak kalah cepat
Sebagai pewaris Perguruan Tongkat Sakti, pemu-
da gagah itu telah mewarisi hampir seluruh ilmu Ki
Adiwarsa. Selain memiliki sikap gagah dan jujur, Malela pun seorang murid
berbakat Hingga tidak aneh bila
ia dapat mengimbangi permainan lawan, yang meng-
gunakan ilmu tongkat perguruannya.
Satu keuntungan Malela adalah pemuda itu telah
melatihnya sejak kecil. Sehingga, dapat mengenali ilmu lawan dengan baik. Itulah
salah satu keuntungan Malela. Maka, pada jurus keenam puluh pemuda itu mu-
lai dapat menekan lawan.
"Haaattt...!"
Seraya membabatkan tongkat bambunya ke leher
lawan, pemuda itu berteriak nyaring. Malela ingin memecah perhatian lawan.
Bwettt..! Ketika sambaran tongkat bambunya gagal, Male-
la langsung mengirimkan sebuah tendangan miring
yang telak mengenai sasaran.
Bukkk! "Uuuhhh...!"
Meskipun tidak terlalu kuat, namun tendangan
pemuda itu sempat membuat lawan terdorong dan
nyaris terpelanting jatuh. Untung kedudukan tokoh
tua itu cukup kuat. Hingga dapat mengimbangi gerak
tubuhnya dengan baik.
"Yeeeaaa...!"
Kesempatan itu tidak disia-siakan Malela. Tu-
buhnya melambung ke udara. Dari atas tongkat bam-
bunya bergerak menghantam tubuh di bawahnya!
Bweeettt..! Trakkk! "Aaahhh..."!"
Malela memekik kaget. Tubuhnya terpental balik.
Dan tongkat bambu di tangannya terpotong menjadi
dua. Beruntung pemuda itu bertindak sigap dengan
melempar tubuh ke belakang. Kalau tidak, bukan
mustahil tubuhnya ikut terpotong menjadi dua!
Seorang lelaki yang bersenjatakan sepasang pe-
dang bersinar kehijauan, telah berdiri di depan Pendekar Tongkat Sakti. Orang
itu adalah Sepasang Naga
Laut! "Hm...," Malela bergumam sambil memperbaiki kuda-kudanya. Sadar bahwa
lawannya kali ini memiliki kepandaian yang jauh lebih hebat, Malela pun lebih
bersikap hati-hati. Langkahnya diputar seperti hendak meneliti kelemahan lawan.
"Malela! Pakai pedang ini...!"
Melihat Malela tidak bersenjata, Ki Danara segera
melemparkan pedang yang tadi diberikan pemuda itu
kepadanya. Rupanya, orang tua itu pun tahu kalau
lawan Malela berkepandaian lebih tinggi dari Pendekar Tongkat Sakti gadungan.
"Haaaiiittt...!"
Celaka! Saat Ki Danara melemparkan pedangnya,
Sepasang Naga Laut langsung melambung ke udara.
Sepasang pedang di tangannya berputar cepat mence-
gah pedang itu sampai di tangan Malela.
Trakkk! Trakkk!
Terdengar benturan keras dua kali. Disusul run-
tuhnya pedang Malela yang terpotong tiga. Sepasang
pedang di tangan lelaki berpakaian kulit ular berwarna hijau itu memang
merupakan sebuah pusaka ampuh.
"Gila...!" desis Malela kagum melihat ketajaman dan keampuhan sepasang pedang
lawan. Tapi, bukan
berarti dirinya gentar bertarung dengan tangan ko-
song. Tidak! Malela akan tetap menghadapi Sepasang
Naga Laut, meskipun dengan ilmu tangan kosongnya!
"Hm...," Sepasang Naga Laut mendengus seraya menatap tajam Malela. Dan pemuda
itu membalasnya.
Kedua belah pihak sudah siap saling gebrak!
4 Malela yang sadar akan kepandaian lawan, tidak mau bertindak ceroboh.
Ditunggunya lawan mulai menyerang. Dirinya akan bertahan dengan mengandalkan
sepasang tangannya. Seluruh kekuatan tenaga dalam-
nya dikerahkan. Malela siap bertarung habis-habisan!
Sepasang Naga Laut rupanya dapat membaca ja-
lan pikiran lawan. Tapi tampaknya ia tidak peduli. Tokoh berpakaian kulit ular
itu merasa yakin dapat menundukkan murid Pendekar Tongkat Sakti itu. Meski-
pun dengan menyerang lebih dulu berarti ia memperlihatkan kelemahan
pertahanannya. Bweeettt..., bwettt..!
Sepasang pedang pusaka bersinar kehijauan
berkilau saat tokoh itu memutarnya di depan tubuh.
Sambaran angin berhawa dingin memenuhi arena per-
tarungan. Dan....
"Haiiittt..!"
Disertai sebuah bentakan nyaring, tubuh lelaki
berpakaian kulit ular itu melesat ke depan dengan
sambaran pedang yang berdesingan tajam. Kilatan sinar kehijauan itu bagai
tangan-tangan maut yang siap mencabut nyawa lawan.
Bettt..., bettt!
"Hahhh...!"
Sambil membentak Malela menghindari samba-
ran sepasang pedang lawan. Seluruh kelincahannya
dikeluarkan untuk menyelamatkan selembar nya-
wanya. Dan membalas sesekali dengan pukulan serta
bacokan sisi telapak tangannya. Bahkan, tidak jarang kakinya melancarkan
tendangan-tendangan kilat yang
cepat dan kuat Sehingga, sebentar saja keduanya telah
bertarung sengit!
Tapi julukan Sepasang Naga Laut memang bu-
kan nama kosong. Tokoh itu membuktikan keheba-
tannya. Setelah lewat dua puluh tiga jurus Malela mulai terdesak. Ruang geraknya
semakin sempit, seolah terkurung hujan pedang!
Breeettt..! "Aaahhh..."!" ,
Sebuah sambaran senjata lawan membuat pe-
muda itu memekik kesakitan. Meskipun luka di pang-
kal lengannya tidak terlalu dalam, namun cukup
mengganggu gerakannya. Sehingga, tekanan lawan te-
rasa semakin berat!
"Malela, aku akan membantumu...!"
Ki Danara yang sejak tadi hanya sebagai penon-
ton, tak dapat menahan diri lagi ketika melihat pemu-da itu terdesak. Tubuhnya
segera melayang ke dalam
arena pertarungan. Walau kepandaiannya tidak begitu tinggi, tapi Ki Danara bukan
seorang pengecut. Ia rela mempertaruhkan nyawa untuk membantu Malela yang
terkurung pedang lawan.
Whukkk...! Begitu memasuki arena pertarungan, Ki Danara
langsung melontarkan sebuah pukulan ke arah Sepa-
sang Naga Laut. Melihat sambaran angin yang cukup
kuat Ki Danara agaknya telah mengerahkan seluruh
tenaganya untuk melancarkan serangan itu.
"Hmmmhhh...!" Sepasang Naga Laut mengeluarkan dengusan mengejek.
Tubuhnya berkelit menghindari pukulan lelaki
tua itu. Kemudian, mengalihkan serangannya ke arah
Ki Danara. Dengan gerakan menggunting, sepasang
pedangnya mengancam leher lelaki tua itu!
"Aaahhh..."!"
Terkejut bukan main Ki Danara. Ia merasa nya-
wanya akan segera melayang dengan kepala terpisah
dari badan! "Ki Danara..."!"
Wajah Malela pucat melihat serangan maut itu.
Nyawa Ki Danara tidak mungkin dapat diselamatkan
lagi. Jarak mereka terpisah sekitar satu tombak lebih.
Sulit bagi Malela untuk menyelamatkan kawannya.
Apalagi, gerakan Sepasang Naga Laut masih berada di atas kecepatannya.
Trangngng! Trangngng!
"Aaaiiihhh..."!"
Pada saat yang sangat gawat itu, mendadak ber-
kelebat sesosok bayangan putih. Sosok itu langsung
memapaki sepasang pedang yang nyaris membabat pu-
tus leher Ki Danara. Tubuh Sepasang Naga Laut pun
terdorong mundur terkena tangkisan sosok bayangan
putih. Sepasang Naga Laut segera memperbaiki kuda-
kudanya. Lalu menatap sosok pemuda tampan yang
mengenakan jubah panjang putih. Yang ditatapnya
berdiri tegak dengan sepotong bambu di tangannya.
Potongan bambu itu milik Malela yang terpapas putus oleh pedangnya!
"Gila..."! Benarkah potongan bambu itu yang digunakan untuk menyambut
pedangku...?" desis Sepasang Naga Laut tak percaya. Tidak masuk di akal jika
sepasang pedang pusakanya dapat terpukul mundur
oleh sepotong bambu. Jelas itu tidak mungkin!
"Hm.... Tidak kusangka seorang tokoh besar se-
pertimu demikian mudah mencabut nyawa orang
lain...," gumam pemuda tampan berjubah putih yang kelihatan terkejut saat
mengenali lawan-lawan orang yang ditolongnya. Sepanjang pengetahuannya mereka
adalah tokoh-tokoh besar golongan putih.
"Pendekar Naga Putih..."!" . Ki Danara gembira bukan main ketika mengenali sosok
pemuda tampan berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawanya.
Lelaki tua itu telah mengenal siapa penolongnya. (Untuk mengetahui perkenalan Ki
Danara, Malela serta
Pujawati dengan Panji dan Kenanga, silakan ikuti episode sebelumnya dalam:
'Penculik-Penculik Misterius').
Pemuda tampan berjubah putih yang memang
Panji, menganggukkan kepala menyapa Ki Danara dan
Malela. Di dekat mereka terlihat seorang dara jelita berpakaian serba hijau.
Gadis itu adalah Kenanga
yang datang bersama Panji. Pasangan pendekar muda
itu belum lama bertemu. Ketika Kenanga terluka ma-
tanya oleh serbuk racun Penculik-Penculik Misterius, gadis itu tinggal bersama
Dewa Tangan Salju di pertapaan kakek itu. Dewa Tangan Salju lah yang mengoba-
ti luka Kenanga dengan petunjuk Panji. Sedangkan
Panji sendiri pergi mencari Penculik-Penculik Misterius. Setelah Kenanga sembuh
dan Panji belum kem-
bali, gadis itu mencarinya. Mereka bertemu di sebuah desa. "Mereka... orang-
orang jahat yang menyamar sebagai guruku, dan guru Ki Danara, Pendekar Naga Pu-
tih...," jelas Malela sebelum pemuda tampan itu bertanya. Panji tampak kaget
mendengar keterangan itu.
"Betulkah demikian...?" Panji meminta ketega-san. Pemuda itu merasa heran
melihat Sepasang Naga Laut hendak membunuh Ki Danara. Padahal di tempat
itu ada Pedang Pemecah Langit, yang merupakan guru
lelaki tua bertubuh kurus itu.
"Lalu..., bagaimana dengan Pujawati...?" Kenanga melihat gadis manis itu berada
dalam gendongan Pe-
dang Pemecah Langit. Tokoh bertubuh jangkung itu
menggenggam sebatang pedang di tangan kanannya.
Malela segera menceritakan kejadiannya yang
menimpa Pujawati. Hingga gadis itu berada dalam de-
kapan Pedang Pemecah Langit. Pasangan pendekar
muda itu pun mulai mengerti duduk perkara yang se-
benarnya. "Hm.... Kalau begitu, kita harus menyelamatkan Pujawati dari cengkeraman ayah
palsunya itu...," bisik Panji seraya melemparkan pandang ke arah Pedang
Pemecah Langit.
Sementara itu, Sepasang Naga Laut, Pedang Pe-
mecah Langit, dan Pendekar Tongkat Sakti telah ber-
kumpul. Mereka tampak gentar melihat pemuda tam-
pan berjubah putih. Agaknya, ketiga tokoh gadungan
itu telah mengenal siapa Panji. Mereka pun bersepakat untuk meninggalkan tempat
itu dengan membawa lari
Pujawati. "Heiii...!"
Panji berusaha mencegah ketika melihat ketiga
tokoh gadungan itu hendak melarikan diri. Tubuhnya
melesat ke depan, dan berputaran beberapa kali di
udara. Kemudian....
Jleggg! Tubuh pemuda itu mendarat di tanah dalam ja-
rak dua tombak di depan ketiga tokoh gadungan itu.
Mereka segera menahan langkah dengan wajah tegang!
"Hm.... Hendak lari ke mana, Manusia-manusia
Jahat! Lebih baik serahkan gadis itu, dan menyerahlah secara baik-baik jika
tidak ingin terjadi hal-hal buruk menimpa kalian...!" ancam Panji dengan sinar
mata tajam menikam jantung, membuat hati lawan-lawannya
berdebar keras.
Ketiga tokoh gadungan itu tidak menanggapi
ucapan Pendekar Naga Putih. Mereka malah memba-
likkan tubuh untuk mencari jalan meloloskan diri.
Namun di belakang mereka telah berdiri Kenanga, Ma-
lela, dan Ki Danara.
Sepasang Naga Laut dan Pendekar Tongkat Sakti
segera memutar senjatanya. Lalu, menerjang ketiga
penghadang itu. Mereka mengira gadis berpakaian ser-ba hijau itu tidak terlalu
berbahaya. Tidak seperti Pendekar Naga Putih. Maka, mereka pun memilih kabur
dengan menerjang Kenanga dan kawan-kawannya.
"Haaattt..!"
"Yeeeaaattt..!"
Ketiga senjata yang telah dialiri kekuatan hebat


Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, meluruk maju menerjang Kenanga dan kawan-
kawannya. Kenanga tidak tinggal diam. Cepat tangannya
bergerak meloloskan pedang. Dan dikibaskan ke depan menyambut serangan lawan!
"Yeeeaaa...!"
Trang, trang, trangngng!
"Aiii..."!"
"Aaahhh..."!"
Sepasang Naga Laut dan Pendekar Tongkat Sakti
gadungan terpekik kaget Senjata mereka dapat dipa-
paki pedang gadis jelita itu. Akibat tangkisan yang sangat kuat itu, keduanya
terdorong mundur.
"Gila...! Ternyata gadis itu memiliki kepandaian tinggi...!" desis Sepasang Naga
Laut Harapannya untuk dapat meloloskan diri semakin menipis.
"Hm.... Sebaiknya kalian turuti saja permintaan Pendekar Naga Putih. Dan jangan
berharap dapat lepas dari tangan kami...," ujar Kenanga mengejek. Pedang Sinar
Bulan melintang di depan dada, siap
menghadapi gempuran tokoh-tokoh gadungan itu.
"Kalau kalian tetap bersikeras tidak mau mem-
biarkan kami pergi, nyawa gadis ini terpaksa ku ca-
but..!" Pedang Pemecah Langit berkata sambil menekan mata pedangnya ke leher
Pujawati. Gadis manis
itu masih terkulai pingsan dalam gendongannya. An-
caman Pedang Pemecah Langit sempat membuat Panji
dan .yang lainnya tertegun sesaat.
"Gadis itu tidak mempunyai hubungan dengan-
ku," sahut Panji setelah berpikir sesaat "Kalau kalian ingin membunuhnya,
bunuhlah! Tapi setelah itu, aku
tidak akan memberi ampun pada kalian bertiga...,"
pemuda berjubah putih balas mengancam dengan ta-
tapan mata mencorong tajam, menyiratkan kegeraman
hatinya. Ki Danara dan Malela tentu saja kaget menden-
gar perkataan Pendekar Naga Putih. Namun, keduanya
membungkam setelah Kenanga memberi isyarat diam.
Mereka menunggu tanggapan Pedang Pemecah Langit
yang kelihatan ragu setelah mendengar ancaman Panji.
Di saat itulah Panji segera bertindak cepat me-
manfaatkan kelengahan lawan. Tubuhnya melesat se-
cepat kilat. Tangan kanannya meluncur ke depan me-
lancarkan totokan jarak jauh dengan mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan....
Taaasss! "Aaakkkhhh..."!"
Pedang Pemecah Langit yang tidak menyangka
Pendekar Naga Putih akan berbuat senekat itu, menjerit kesakitan. Pedang di
tangannya terlepas dan geng-gaman. Lengan kanannya terkena kilatan sinar putih
yang sangat kuat Lengan itu terasa lumpuh seketika.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji segera
menyambar tubuh Pujawati yang melorot ke tanah.
Bersamaan dengan itu, telapak tangan kirinya dido-
rong ke depan mengirim pukulan jarak jauh.
Deeesss...! "Aaaghhh..."!"
Pedang Pemecah Langit yang tengah terhuyung
mundur, langsung terjengkang dan jatuh terbanting ke tanah! Pukulan jarak jauh
Panji menggedor dada kirinya. Tokoh gadungan itu pun memuntahkan darah
segar! "Ooouhhh...."
Terdengar rintihan perlahan Pujawati ketika Pan-
ji menyerahkan gadis manis itu pada Kenanga, yang
segera membebaskan totokan di tubuh gadis manis
itu. "Kenanga..."!" desis Pujawati lemah saat matanya menangkap wajah gadis
jelita itu. "Syukurlah kau tidak terluka, Pujawati...," ucap Kenanga tersenyum lebar kepada
gadis manis itu.
Begitu tersadar dari pingsannya, Pujawati lang-
sung bangkit dan menatap berkeliling. Sepasang mata gadis remaja itu tampak
berbinar ketika menemukan
sosok yang dicarinya.
"Sudah kuduga kau pasti datang bersama Pen-
dekar Naga Putih...," gumam dara remaja tidak menyembunyikan rasa gembiranya.
Pujawati merasa lega
dan gembira melihat sosok pendekar muda yang dika-
guminya itu. "Hhh...," Malela menghela napas panjang. Hingga terdengar Ki Danara yang berada
di sebelahnya. "Ada apa, Malela...?" tanya lelaki tua itu berpura-pura bodoh. Agaknya, Ki
Danara sudah dapat memba-
ca perasaan hati pemuda itu terhadap putri tunggal
gurunya. "Tidak apa-apa, Ki.... Aku hanya merasa lega melihat Pujawati telah selamat..,"
sahut Malela sedikit gu-
gup. Ki Danara tersenyum tipis mendengar jawaban
Malela. Dan, perhatiannya kembali dialihkan pada sosok Pendekar Naga Putih yang
tengah berhadapan
dengan ketiga lawannya. Saat itu Pedang Pemecah
Langit telah berdiri. Meski wajah jago pedang itu kelihatan agak pucat, namun
pedang di tangannya me-
nandakan ia siap bertempur. Rupanya, kelumpuhan di
tangan kanannya telah sembuh. Walau masih sedikit
lemah, jago pedang gadungan itu bersatu dengan ka-
wan-kawannya untuk menggempur Pendekar Naga Pu-
tih. Panji tetap tegak di tempatnya, meskipun ketiga lawannya telah mengepung
dirinya. Nampaknya ketiga
tokoh gadungan itu nekat menghadapi Pendekar Naga
Putih. Sebab, untuk meloloskan diri dari tempat itu jelas tidak mungkin. Satu-
satunya pilihan bagi mereka adalah menghadapi pendekar muda yang digdaya itu.
*** 5 "Haaattt...!"
Sepasang Naga Laut, yang memiliki kepandaian
paling tinggi di antara mereka bertiga, membuka se-
rangan dengan sepasang pedangnya. Menyusul Pende-
kar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah Langit
Bwettt, bettt, whuttt...!
Panji menyelinap di antara sambaran senjata la-
wan. Sepasang tangannya bergerak cepat melepaskan
serangan balasan yang tidak kalah bahayanya. Se-
hingga, dalam waktu singkat keempat tokoh persilatan
itu telah bertarung sengit!
"Heeeahhh...!"
Sepasang Naga Laut tampak paling bernafsu me-
lancarkan serangan. Kelebatan sepasang pedangnya
demikian gencar mencari sasaran. Memaksa Panji le-
bih memperhatikan lelaki gagah berpakaian kulit ular itu daripada dua lawannya
yang lain. Whuttt... Bwettt...!
Dengan kuda-kuda rendah, Panji mengelakkan
sambaran sepasang pedang lawan yang mengincar leh-
er dan iganya. Kemudian melompat pendek ke bela-
kang, saat ujung tongkat baja Ki Adiwarsa gadungan mengancam dadanya. Serangan
kedua lawannya pun
luput dan membentur angin kosong!
Saat itu juga Panji bergerak ke depan dengan ke-
cepatan yang sulit ditangkap mata. Sepasang tangan-
nya bergerak ke kiri-kanan dengan mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya.
Bukkk! Desss...!
"Hukkkhhh...!"
"Aaakhhh...!"
Kecepatan gerak Panji membuat Sepasang Naga
Laut dan Pendekar Tongkat Sakti tak sempat mengelak lagi. Akibatnya, tubuh kedua
tokoh gadungan itu terjengkang ke belakang memuntahkan darah segar.
Hantaman lengan Pendekar Naga Putih yang laksana
palu godam telah menghajar telak tubuh mereka.
"Haaattt..!"
Ketika Panji hendak melumpuhkan kedua la-
wannya, Pedang Pemecah Langit melancarkan seran-
gan. Hingga pemuda itu terpaksa menunda gerakan-
nya. Bwettt... Bwettt..!
Putaran senjata Pedang Pemecah Langit memang
sungguh hebat! Panji harus menarik mundur tubuh-
nya untuk menghindari serangan itu. Serangan pedang lawan pun lewat di depannya.
Panji langsung membalas serangan lawan dengan sambaran tangan kanan
yang meliuk cepat menggedor dada Pedang Pemecah
Langit! Buggg! "Huakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tokoh tua itu terpental ke be-
lakang sejauh dua tombak lebih! Hantaman itu mem-
buat Pedang Pemecah Langit tidak sanggup untuk se-
gera bangkit Darah segar kembali termuntah saat ia terbatuk Bagian dalam dadanya
terasa remuk akibat
gedoran telapak tangan pemuda berjubah putih.
Melihat Pedang Pemecah Langit gadungan tidak
segera bangkit, Pendekar Naga Putih segera melayang ke arah dua lawan lainnya
yang telah bersiap dengan senjata di tangan.
"Haaaiiittt..!"
Laksana seekor naga sakti yang meliuk-liuk di
angkasa, tubuh Pendekar Naga Putih melayang ke
arah Sepasang Naga Laut dan Pendekar Tongkat Sakti.
Tubuh pemuda itu terbungkus sinar putih keperakan
yang menebarkan hawa dingin menusuk tulang. Kedua
tokoh gadungan itu terpana dan hanya bisa terpaku
menanti kedatangan maut yang siap menjemput
"Haaaiii...!"
Saat tubuh Panji tinggal beberapa tindak dari
kedua lawannya, tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi yang menggetarkan dada.
Bersamaan dengan itu, sesosok bayangan hitam melayang datang memotong se-
rangan Panji. Whusss...! Sambaran angin keras berhembus mengiringi do-
rongan sepasang tangan sosok serba hitam. Sehing-
ga.... Blarrr...!
Luar biasa sekali akibat benturan dua gelombang
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Bumi di sekitar tempat itu bagai diguncang
gempa! Hingga pepohonan berderak ribut!
"Aaahhh..."!"
"Aiii..."!"
Akibat yang dirasakan Pendekar Naga Putih dan
sosok berpakaian serba hitam pun tak kalah menge-
jutkan. Keduanya terpental balik dilempar tangan-
Gelang Kemala 6 Dewi Ular Karya Kho Ping Hoo Jala Pedang Jaring Sutra 15
^