Pencarian

Duel Jago Jago Persilatan 2

Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan Bagian 2


tangan raksasa yang tak nampak. Seruan-seruan ka-
get keluar dari mulut mereka.
"Haaattt...!"
Untuk mematahkan daya dorong itu, Panji berte-
riak keras. Tubuhnya melenting ke udara dan berputaran tujuh kali sebelum
mendarat di tanah. Tubuh pe-
muda itu agak bergoyang saat kedua kakinya menjejak tanah. Daya dorong benturan
dahsyat itu ternyata
sangat kuat Demikian pula sosok tinggi besar terbungkus pa-
kaian serba hitam. Tubuh tinggi besar itu terlempar balik dengan deras. Tapi,
lagi-lagi sosok berpakaian serba hitam menunjukkan ketangguhannya. Tubuhnya
melenting ke udara dan mendarat di tanah setelah
berputaran be berapa kali. Kakinya tampak melangkah mundur meski telah mendarat
dengan baik. Pada sela-sela bibirnya terlihat cairan merah mengalir turun. Tubuh
bagian dalam sosok tinggi besar itu agaknya"
sempat terguncang oleh benturan dahsyat tadi.
*** "Hm.... Kaukah yang berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih...?" tegur sosok tinggi besar. Matanya menatap tajam sosok pemuda tampan
berjubah putih yang juga
tengah menatapnya lekat-lekat
"Dugaanmu tidak meleset Kisanak. Demikian
orang-orang memberi julukan kepadaku. Siapakah
kau" Dan apa hubunganmu dengan tokoh-tokoh ga-
dungan itu...?" tanya Panji. Kening pemuda itu berkerut dalam. Rupanya, Panji
tengah berusaha mengenali sosok yang berkepandaian sangat tinggi itu.
Aku berjuluk Hantu Jubah Merah. Mengenai hu-
bungan dengan mereka, aku rasa kau dapat mener-
kanya sendiri, Pendekar Naga Putih...," desis sosok tinggi besar dengan dada
membusung. Kelihatan sekali ia sangat bangga akan julukan itu.
"Hantu Jubah Merah... ?" gumam Panji mencoba mengingat-ingat julukan itu,
"Hm.... Sayang aku belum pernah mendengar julukanmu, Hantu Jubah Merah.
Tapi, aku sudah dapat menebak. Dirimu adalah biang
keladi penculikan-penculikan terhadap tokoh-tokoh
persilatan. Apa sebenarnya yang kau inginkan dari tokoh-tokoh itu...?" lanjut
Panji seraya meneliti sosok tinggi besar yang sudah melangkah maju. Jarak
keduanya kini terpisah dua tombak lebih.
"Sudahlah! Aku tidak ingin memperpanjang kata
denganmu, Pendekar Naga Putih! Kunasihatkan agar
kau tidak mencampuri urusanku. Jika tidak, kau pasti akan menyesal seumur
hidup!" tandas sosok berjubah merah yang berjuluk Hantu Jubah Merah. Tampaknya
tokoh itu sudah siap untuk menggempur Pendekar Na-
ga Putih. "Hm.... Tidak ada kata menyesal untuk merun-
tuhkan segala bentuk kejahatan, Hantu Jubah Me-
rah...," tegas Panji. Langkahnya digeser saat melihat
lawan mulai mempersiapkan jurus-jurus serangannya.
Hantu Jubah Merah terus bergerak perlahan. Di-
dekatinya kedua orang pengikutnya yang masih tam-
pak pucat. "Pergilah kalian dari tempat ini. Dan, bawa kawanmu yang tewas itu," bisik Hantu
Jubah Merah pa-da Pendekar Tongkat Sakti dan Sepasang Naga Laut
Kedua tokoh itu menganggukkan kepala. Kemudian,
bergerak mendekati tubuh Pedang Pemecah Langit
yang tewas oleh pukulan Panji.
"Tahan...!" Panji membentak sambil melesat. Pemuda itu mengejar Sepasang Naga
Laut dan Pendekar
Tongkat Sakti, yang hendak meninggalkan tempat itu
dengan membawa mayat Pedang Pemecah Langit
"Biarkan mereka pergi, Pendekar Naga Putih...!"
Hantu Jubah Merah segera menghadang Panji yang
hendak mengejar ketiga pengikutnya untuk mening-
galkan tempat itu.
Kenanga, Malela, dan Ki Danara pun tidak ting-
gal diam. Cepat ketiganya mengejar tokoh-tokoh ga-
dungan yang hendak melarikan diri itu. Tapi...
"Heaaahhh...!"
Melihat gelagat yang tidak baik, Hantu Jubah
Merah segera mengayunkan tangannya ke arah ketiga
pendekar itu. Dan....
"Awaaasss...!"
Kenanga berteriak memperingatkan Malela dan
Ki Danara, ketika merasa ada sambaran angin kuat
menghadang mereka. Menyadari pukulan jarak jauh
yang dilontarkan Hantu Jubah Merah sangat berba-
haya, Kenanga pun segera mengingatkan kawan-
kawannya untuk menghindar.
Darrr...! "Aaahhh..."!"
Memang hebat pukulan jarak jauh Hantu Jubah
Merah. Tanah di depan ketiga pendekar itu meledak,
membentuk sebuah lubang sebesar kubangan kerbau.
Untunglah mereka sudah melompat ke belakang lebih
dulu. Sehingga meskipun Malela dan Ki Danara sem-
pat terjatuh, tapi tidak mengalami luka yang
mengkhawatirkan. Mereka berdua hanya terkejut me-
rasakan ledakan yang menggetarkan itu.
"Ku cabut nyawa kalian...!" geram Hantu Jubah Merah segera melesat ke arah Ki
Danara dan Malela
yang hendak bangkit
"Akulah lawanmu, Hantu Jubah Merah...!"
Panji tentu tidak tinggal diam melihat kedua
orang itu dalam bahaya. Cepat tubuh pemuda itu me-
lesat memapaki serangan Hantu Jubah Merah.
Bwettt! Hantu Jubah Merah terpaksa memutar arah se-
rangan. Pukulannya kini meluncur ke arah Pendekar
Naga Putih. Tapi, Panji sudah memperhitungkan gera-
kannya dengan cermat Maka begitu pukulan lawan ti-
ba, tubuhnya langsung berputar. Sedangkan tangan
kanannya dikibaskan memapaki pukulan lawan.
Plakkk! Tubuh kedua tokoh hebat itu terjajar mundur.
Kemudian, kembali bersiap dengan jurus-jurus anda-
lannya. Kepandaian kedua tokoh itu tampaknya be-
rimbang. Sehingga, mereka sama-sama memperhi-
tungkan serangan-serangan berikutnya.
"Yeaaattt..!"
Kali ini Hantu Jubah Merah melipatgandakan
kekuatannya untuk menggempur Pendekar Naga Pu-
tih, yang dirasakannya sangat tangguh. Sepasang tangannya berputaran bagai
baling-baling. Hingga tan-
gannya tampak demikian banyak dan menimbulkan
angin yang menderu-deru.
Dengan menggunakan 'Ilmu Silat Naga Putih'nya,
Panji langsung meluncur menyambut serangan lawan.
Sebentar kemudian, kedua tokoh itu telah saling terjang dengan jurus-jurus
andalannya! Kenanga, Malela, dan Ki Danara bergegas me-
nyingkir dari arena perkelahian. Mereka tahu akan bahaya pertarungan tingkat
tinggi itu. Jangan sampai terkena pukulan. Angin pukulannya saja bisa membuat
napas mereka putus seketika. Hal itu terlihat dari robohnya beberapa batang
pohon yang tumbuh di dekat arena pertarungan. Bahkan bebatuan kecil pun
beterbangan, dan terasa sakit mengenai tubuh mereka.
"Luar biasa...! Selama hidupku baru sekali ini aku melihat pertempuran yang
demikian mengerikan...!" desis Malela takjub dan juga gentar melihat pertarungan
kedua tokoh puncak itu. Kedua matanya
tidak berkedip melihat jalannya pertarungan. Sayang, perkelahian itu berlangsung
sangat cepat Hingga pandangan pemuda gagah itu kadang kabur, dan tidak bi-
sa membedakan satu dengan yang lainnya.
Bukan hanya Malela yang mengalami kesulitan
seperti itu. Kenanga pun seringkali terkecoh, dan tidak dapat membedakan mana
tubuh Hantu Jubah Merah
dan mana sosok kekasihnya. Arena pertarungan agak
gelap oleh debu dan rerumputan yang beterbangan.
Kenanga hanya bisa berharap, agar kekasihnya dapat
segera menundukkan tokoh sesat yang berkepandaian
menggetarkan itu.
Sementara Panji mulai dapat menebak secara
pasti. Hantu Jubah Merah adalah dalang penculikan-
penculikan terhadap tokoh-tokoh persilatan. Terasa dari jurus-jurus yang
dimainkan lelaki tinggi besar itu.
Pemuda itu menemukan gerakan-gerakan yang pernah
dikenalnya. Hantu Jubah Merah melakukan penculi-
kan untuk menyadap ilmu-ilmu andalan korbannya.
Kesimpulan itu membuat Panji makin memperhebat
serangan. Agaknya, ia sudah tidak sabar ingin segera menundukkan lawan
secepatnya. "Hafiittt..!"
Saat pertarungan telah melewati lima puluh ju-
rus, Pendekar Naga Putih tiba-tiba mengeluarkan
'Pekikan Naga Merah'! Bersamaan dengan itu, tubuh-
nya mencelat tinggi. Kemudian meluncur turun bagai
seekor naga sakti yang baru turun dari langit
"Heeeaaattt..!"
Melihat kedahsyatan serangan lawan. Hantu Ju-
bah Merah pun mengeluarkan pekikan melengking
tinggi. Jubah merahnya dikibaskan seperti hendak
menyelimuti tubuhnya dengan jubah yang panjang dan
lebar itu. Blasss! Luar biasa sekali! Begitu jubah merah itu menye-
limuti sekujur tubuhnya, terdengar suara meletup.
Muncullah asap putih yang tebal hingga tubuh tinggi besar itu lenyap di
dalamnya. Asap putih itu membuat pandangan Panji terhalang. Meski demikian,
serangannya tetap dilanjutkan!
Darrr...! Sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih
yang berputaran kemudian didorong ke depan, me-
nimbulkan ledakan keras yang menggetarkan bumi di
sekitarnya. Asap putih itu langsung buyar. Tanah tempat Hantu Jubah Merah
berdiri, berlubang besar ter-
kena hantaman telapak tangan pendekar muda itu.
Tapi... "Kurang ajar...! Ke mana manusia licik itu... "!"
geram Panji ketika tidak menemukan sosok lawan da-
lam gumpalan asap putih yang telah buyar. Rupanya
Hantu Jubah Merah telah menghilang saat serangan
dahsyat Panji tiba. Agaknya, tokoh itu tidak sanggup menghadapi gempuran maut
Pendekar Naga Putih.
Hingga ia memilih melarikan diri dari tempat itu.
"Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa parau yang menggetarkan
dada. Cepat Panji menoleh.
"Keparat busuk...!" desis Panji tidak habis mengerti, melihat sosok lawan telah
berada jauh dari tempatnya semula.
Hantu Jubah Merah berdiri tegak sambil mem-
perdengarkan tawa yang menggelegar. Sosoknya yang
kini berada dalam jarak sekitar sepuluh tombak, terlihat demikian gagah dan
menyeramkan. Dan ketika
melihat pemuda itu hendak mengejarnya, tokoh jahat
itu kembali menutupi sekujur tubuhnya dengan jubah
merahnya. Sosoknya kembali lenyap tertelan gumpalan asap tebal putih.
"Pengecut..!" desis Panji. Lawannya ternyata memiliki jubah ajaib yang bisa
membuat tubuh pemilik-
nya lenyap dari pandangan.
"Hua ha ha...! Selamat tinggal, Pendekar Naga
Putih! Aku bukan melarikan diri, tapi hanya menunda pertemuan kita. Kelak aku
akan datang untuk mencabut nyawamu...!" terdengar suara parau yang seperti
datang dari empat penjuru.
Panji hanya bisa menahan kegeraman hatinya.
Sedangkan sosok lawannya telah lenyap entah ke ma-
na. Panji berdiri tegak menghela napas panjang. Ke-
ningnya tampak berkerut seperti tengah memikirkan
sesuatu. "Kakang...," Kenanga berlari mendatanginya bersama Malela dan Ki Danara.
"Ke mana perginya Hantu Jubah Merah, Pende-
kar Naga Putih?" tanya Malela.
"Ia telah lari jauh dari tempat ini...," sahut Panji tanpa menoleh.
"Sungguh berbahaya tokoh yang berjuluk Hantu
Jubah Merah itu, Kakang. Kita harus menemukan ra-
hasia ilmu melenyapkan diri itu. Kalau tidak, akan sulit sekali untuk
mengalahkannya...," ujar Kenanga yang sempat melihat bagaimana cara tokoh sakti
itu meninggalkan pertempuran.
"Ya.... Memang sulit menghadapi seorang tokoh
yang memiliki ilmu melenyapkan diri demikian sem-
purna...," sahut Panji mirip sebuah desahan panjang.
Pikiran pemuda itu agaknya masih terpaut kepada il-
mu aneh yang digunakan lawan.
"Hantu Jubah Merah pasti menggunakan ilmu
sihir...," timpal Ki Danara.
"Hhh...," Panji hanya menghela napas panjang.
Kemudian melangkah perlahan diikuti Kenanga, Male-
la, dan Ki Danara.
"Benarkah Hantu Jubah Merah seorang ahli si-
hir, Kakang...?" tanya Kenanga yang rupanya merasa penasaran mendengar ucapan Ki
Danara. "Rasanya tidak. Biasanya seorang ahli sihir akan mengucapkan mantera bila hendak
menggunakan ilmu
sihirnya. Hantu Jubah Merah hanya menutupi sekujur
tubuhnya dengan jubah. Setelah itu, tubuhnya beru-
bah menjadi gumpalan asap tebal berwarna putih. Me-
nurut dugaanku, jubah merah yang dikenakannya itu
pasti bukan jubah sembarangan...," ujar Panji. Pemuda itu tidak sependapat
dengan Ki Danara.
"Jubah ajaib...," desis Ki Danara dan Malela. Kenanga hanya mengangguk-angguk.
Gadis jelita itu le-
bih percaya dugaan kekasihnya daripada ucapan Ki
Danara. "Ya. Jubah itu pasti merupakan benda pusaka
yang mempunyai keampuhan tersendiri. Dan bukan
tidak mungkin jubah itu pun mampu menahan baco-
kan pedang...," Panji melanjutkan dugaannya, membuat Kenanga dan yang lainnya
kagum. "Bisa menahan bacokan pedang..."!" desis Malela. Pemuda itu tampak terkejut
mendengar keterangan Pendekar Naga Putih tentang keampuhan jubah merah
yang dikenakan tokoh sesat menggiriskan itu, "Apakah itu mungkin...?" gumamnya
perlahan 'Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Ma-


Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lela. Melihat jubah itu sanggup membuat pemiliknya
menghilang, aku menduga kemungkinan besar jubah
itu masih memiliki keampuhan lain...," jelas Panji yang merasa yakin dengan
dugaannya. 'Termasuk membuat tubuh pemiliknya kebal ter-
hadap segala macam senjata...?" kali ini Ki Danara yang meminta penegasan
Pendekar Naga Putih.
"Ya. Termasuk bisa membuat tubuh tokoh tinggi
besar itu sanggup menahan bacokan senjata, bila
menggunakan jubah merah itu sebagai pelindung tu-
buhnya...," tandas Panji.
"Jadi..., jubah yang dikenakannya itu semacam
Jubah Mustika?" tanya Malela setelah berpikir beberapa saat
"Tepat sekali istilah yang kau pergunakan itu, Malela," tukas Panji, membuat
pemuda gagah berpakaian kuning cerah itu menggeleng takjub.
"Kalau benar demikian, akan sulit sekali bagi ki-ta untuk dapat
mengalahkannya...," keluh Malela. Pemuda itu seperti merasa putus asa setelah
mendengar penjelasan Panji.
"Memang sangat sulit Malela. Biarpun demikian,
kita harus berusaha menemukan kelemahannya.
Hingga kita bisa merobohkannya...," sahut Panji berusaha membangkitkan semangat
pemuda gagah itu,
"Sebaiknya sekarang kita mencari tempat beristirahat sambil memikirkan cara
merobohkan Hantu Jubah
Merah...," ajak Panji lalu melangkah mendahului yang lainnya.
Kenanga, Malela, Ki Danara, dan Pujawati yang
telah pulih tenaganya segera mengikuti langkah pendekar muda itu. Sebab, hanya
Panji lah satu-satunya harapan mereka untuk menyelamatkan tokoh-tokoh
persilatan yang lenyap diculik, termasuk ayah dan
guru mereka. Hari sudah mulai gelap ketika kelima sosok tu-
buh itu melangkah menyusuri tanah becek. Tampak-
nya mereka akan kemalaman di jalan sebelum mene-
mukan tempat yang cocok untuk bermalam.
"Sebaiknya kita bergegas. Siapa tahu di depan
sana ada desa yang bisa kita gunakan untuk berma-
lam...," usul Panji yang segera disetujui yang lainnya.
Panji langsung melesat setelah melihat anggukan
mereka. Pemuda itu tentu saja tidak menggunakan se-
penuh tenaganya untuk berlari. Dengan begitu mereka dapat berlari dalam jarak
yang tidak terpaut jauh.
Apa yang mereka harapkan ternyata terkabul.
Tak berapa lama mereka berlari tampak sebuah batu
yang merupakan batas desa, berdiri tegak di tepi jalan.
Mereka pun mempercepat lari untuk segera tiba di De-sa Karapan.
*** 6 Desa Karapan tampak ramai. Hembusan angin
masih terasa dingin menyentuh kulit Namun pendu-
duk desa yang kebanyakan bekerja sebagai petani, telah berangkat untuk menggarap
sawah ladangnya. Se-
hingga, pagi itu jalan utama yang membelah Desa Ka-
rapan tampak ramai.
Bukan hanya jalan-jalan desa saja yang dipenuhi
orang yang berlalu-lalang. Di sebuah kedai yang terletak di pinggir jalan dekat
mulut desa pun telah dipada-ti pengunjung. Pemilik kedai dan pelayannya sibuk
melayani pesanan.
Di sudut kiri ruangan kedai tampak tiga orang le-
laki dan dua orang wanita tengah menikmati hidangan mereka. Sesekali mereka
melemparkan pandang ke
arah pintu kedai.
"Ada apa, Malela...?" pemuda tampan berjubah putih yang duduk menghadap pintu
kedai, bertanya
pada pemuda gagah berpakaian kuning cerah. Wajah
pemuda gagah bernama Malela itu membiaskan rasa
gelisah. Malela tidak segera menjawab pertanyaan pemu-
da tampan berjubah putih yang tidak lain Panji. Dihe-lanya napas panjang dan
melemparkan pandang ke
sekeliling ruangan kedai. Baru kemudian menoleh ke
arah Panji. 'Pendekar Naga Putih. Tidakkah sebaiknya kita
melanjutkan perjalanan" Menurutku kita harus segera mencari tempat persembunyian
Hantu Jubah Merah
dan kawan-kawannya. Bentrokan kemarin membuat
hatiku cemas...," jawab Malela.
"Aku mengerti perasaanmu, Malela. Aku mendu-
ga gurumu dan ayah Pujawati kemungkinan besar be-
lum mereka bunuh," ujar Panji yang dapat menebak penyebab kegelisahan hati
Malela. Ucapan pemuda itu membuat yang lainnya mengangkat kepala dan memandang
Panji penuh tanda tanya.
" "Benarkah ucapanmu, Pendekar Naga Putih...?"
Pujawati yang sangat mengkhawatirkan keselamatan
ayahnya menjadi berdebar hatinya. Gadis manis itu
belum yakin akan hal itu.
"Ya. Mengapa kau menduga demikian, Pendekar
Naga Putih" Apa alasanmu...?" Ki Danara yang duduk di sebelah Malela melontarkan
pertanyaan. Orang tua itu pun belum bisa mempercayai ucapan Panji.
"Jawablah pertanyaan mereka, Malela. Aku ingin mendengar alasanmu?" Panji tidak
menjawab dan menyerahkannya kepada Malela. Rupanya, pemuda itu
ingin tahu lebih dahulu alasan Malela.
"Alasan ku mungkin tidak begitu kuat Tapi, aku merasa sangat yakin tokoh-tokoh
yang diculik Hantu Jubah Merah masih hidup. Meskipun tidak mustahil
mereka tengah menderita," Malela berhenti sebentar seperti hendak melihat
tanggapan yang lainnya, "Kita semua sudah tahu, Pendekar Tongkat Sakti dan
Pedang Pemecah Langit yang kita hadapi kemarin adalah palsu. Tapi, senjata dan
ilmu yang mereka gunakan
milik guru kita yang sesungguhnya. Dan itu hanya
mempunyai satu arti. Mereka telah menyadap ilmu-
ilmu andalan tokoh-tokoh yang diculiknya. Tapi, belum sempurna hingga masih
banyak kekurangan di sana
sini. Itu berarti mereka belum membunuh tokoh-tokoh itu. Karena mereka harus
menyerap ilmu-ilmu itu lebih banyak lagi...," jelas Malela kemudian memandang
wajah-wajah di hadapannya yang terlihat mengangguk-
kan kepala. "Alasan Malela sama dengan dugaanku," ujar Panji setelah suasana hening be
berapa saat lamanya,
"Ketika aku bertarung dengan Hantu Jubah Merah, ia menggunakan beberapa jenis
ilmu yang cukup kukenal
dasar-dasar gerakannya. Jelas terlihat tokoh itu telah menyadap ilmu pendekar-
pendekar yang diculiknya.
Berbeda dengan tokoh-tokoh gadungan yang kalian
hadapi. Hantu Jubah Merah telah menggabungkan se-
demikian rupa ilmu-ilmu para pendekar itu. Sehingga, tercipta sebuah ilmu baru
yang sukar dicari bandin-gannya. Meskipun begitu, aku menemukan beberapa
gerakan yang terlihat ragu-ragu. Itu berarti Hantu Jubah Merah belum
merampungkan ilmu gabungan itu!
Dengan demikian, besar kemungkinan tokoh itu masih
memerlukan para pendekar yang diculiknya," lanjut Panji. Ki Danara, Pujawati,
dan Kenanga sama menganggukkan kepala. Agaknya, mereka menerima ala-
san yang dikemukakan Panji dan Malela.
"Jika benar demikian, memang sebaiknya kita
harus bergegas. Sebab, bukan tidak mungkin Hantu
Jubah Merah berubah pikiran, dan membunuh tokoh-
tokoh itu. Kejadian kemarin jelas akan membuatnya
lebih berhati-hati...," Ki Danara akhirnya mengajukan pikiran yang serupa dengan
Malela. "Aku setuju...," sambut Pujawati dengan wajah agak tegang. Perkataan Ki Danara
membangkitkan ra-sa cemas gadis itu.
Mereka pun bersepakat untuk segera melan-
jutkan perjalanan. Kelimanya bergerak bangkit dan
meninggalkan kedai sesudah membayar pesanan me-
reka. "Hmmm...," saat kelimanya hendak keluar kedai, terdengar dengusan kasar.
Mereka menoleh ke arah
asal suara. Panji dan kawan-kawannya terlihat mengerutkan
kening. Yang mengeluarkan dengusan kasar itu adalah salah satu dari lima orang
lelaki gagah. Satu di anta-ranya seorang kakek berusia sekitar tujuh puluh ta-
hun. Sikap dan pandangan mereka membuat Panji dan
kawan-kawannya terkejut. Mereka pun sadar orang-
orang itu bukan tokoh sembarangan!
"Orang-orang Perguruan Rimba Kecil..."!" desis Malela yang rupanya mengenali
kelima lelaki gagah
dan angker itu.
Wajah pemuda itu menegang. Sikap tokoh-tokoh
Perguruan Rimba Kecil jelas tak menunjukkan persa-
habatan kepada mereka. Mendengar ucapan Malela,
Panji segera mengenali kelima sosok lelaki itu.
"Hm.... Dunia benar-benar sudah terbalik! To-
koh-tokoh terkenal dan menjadi sanjungan orang ba-
nyak ternyata telah berpaling ke jalan sesat. Sulit dapat kupercaya...," suara
kakek berusia tujuh puluh tahun lebih yang bergetar dan mengandung perbawa
kuat, membuat Panji menahan langkah. Pemuda itu
menunda niatnya untuk menyapa kelima lelaki gagah
itu. "Kalau tidak salah, aku tengah berhadapan dengan Ki Sangga Langit dan
orang-orang gagah dari Perguruan Rimba Kecil. Maaf, kalau sambutan ku kurang
berkenan di hati kalian...," meski agak heran dengan perkataan Ki Sangga Langit,
Panji tetap berusaha menyapa seraya membungkuk hormat
"Anak Muda. Kaukah yang berjuluk Pendekar
Naga Putih...?" tanya orang tua itu tanpa menanggapi ucapan Panji. Nada suaranya
terdengar tidak bersaha-bat Bahkan, terkesan menyembunyikan kemarahan.
"Benar, Ki. Demikianlah orang-orang memberi julukan pada diriku yang bodoh
ini...," sahut Panji kem-
bali membungkuk hormat, tanpa peduli dengan sikap
orang tua itu yang kelihatan sangat sinis dan tidak menyukainya.
"Sungguh sayang sekali...," desah orang tua itu seraya menggeleng dengan wajah
sedih. "Orang Tua...!" Kenanga jengkel melihat sikap sombong Ki Sangga Langit Gadis
jelita itu melangkah maju dan menuding kakek itu dengan sikap yang tidak
menunjukkan rasa hormat Kenanga tidak sudi kekasihnya diejek dan dianggap rendah
kakek tinggi kurus itu, "Meskipun kau seorang tokoh besar yang dihormati, tapi
tidak sepantasnya kau berbuat demikian terhadap Pendekar Naga Putih! Sikapmu
tidak bisa kuteri-
ma! Apa salah kami hingga kau demikian sinis pa-
danya" Perlu kau ketahui! Sikap hormat Pendekar Na-
ga Putih bukan berarti ia takut kepadamu!" bentak da-ta jelita itu tanpa peduli
kekasihnya telah berusaha mencegah.
"Hm...," Ki Sangga Langit kembali memperdengarkan dengusannya yang kasar,
"Sikapmu semakin membuatku yakin. Kalian benar-benar telah berpaling dari jalan
lurus! Dan, telah bersekongkol dengan Pendekar Tongkat Sakti serta yang lainnya
untuk meng- ganggu perguruan kami...," lanjut Ki Sangga Langit Ucapan itu membuat Panji dan
kawan-kawannya semakin tidak mengerti.
"Maaf, Ki Sangga Langit Selama ini aku sangat
menghormatimu sebagai tokoh besar! Tapi karena kau
menghina guruku, terpaksa aku melupakan kebodo-
han ku. Aku akan membela nama guruku dengan ta-
ruhan nyawa...!"
Mendengar penghinaan Ki Sangga Langit Malela
langsung melangkah maju sambil mencabut pedang-
nya. Panji cepat mencegah. Pemuda tampan itu ingin
mengetahui secara jelas duduk perkaranya.
"Ki Sangga Langit. Kami tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan. Kuharap kau
mau menjelaskan-
nya agar kami mengerti duduk persoalannya...," pinta Panji tetap menunjukkan
sikap hormat Pemuda itu
menduga ada kesalahpahaman di antara. mereka. Itu
sebabnya, ia masih bersabar.
"Hm.... Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Pendekar Tongkat Sakti, Pedang Pemecah
Langit serta tokoh-tokoh lainnya telah menjadi pengikut Hantu Jubah
Merah. Mereka mencuri kitab dan senjata-senjata pusaka dari gedung perpustakaan
perguruan kami. Se-
bagai murid dan anaknya, mereka bertiga pasti mengetahui di mana pusaka-pusaka
itu disembunyikan...,"
Ki Sangga Langit menuding Malela, Pujawati, dan Ki
Danara, yang tentu saja terkejut mendengar ucapan
itu. 'Tidak mungkin! Itu semua fitnah!" Pujawati tidak bisa menerima tuduhan Ki
Sangga Langit Gadis manis
itu langsung membela nama ayahnya. Ia mengenal
baik sifat-sifat ayahnya yang tidak mungkin sampai
melakukan hal tercela itu.
"Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan se-
mua itu hanya fitnah! Kami menyaksikan dengan mata
kepala sendiri dan bertempur dengan mereka! Salah
satu dari mereka, yang berjuluk Pendekar Golok Kem-
bar tewas di tangan murid-murid perguruan kami! Jadi tidak ada gunanya kau
membantah!"
Lelaki gagah berusia lima puluh tahun lebih den-
gan wajah berewok, melangkah maju. Dihampirinya
Pujawati yang wajahnya terlihat pucat Suasana sema-
kin menegang! 'Tunggu...!" Panji cepat menengahi, "Apa yang dikatakan Pujawati benar. Semua
itu hanya fitnah bela-
ka. Kami pun sempat bertempur dengan tokoh-tokoh
itu yang ternyata palsu. Ini semua adalah ulah Hantu Jubah Merah yang hendak
memecah belah golongan
putih. Kuharap kalian mengerti dan mempercayai uca-
panku ini...."
"Hua ha ha...!"
Ucapan Panji malah disambut dengan gelak tawa
oleh tokoh-tokoh Perguruan Rimba Kecil. Mereka jelas tidak mempercayai bantahan
Pendekar Naga Putih.
"Percayalah, Ki Sangga Langit Semua yang kuka-
takan benar! Sebagai tokoh tua yang bijaksana, seha-rusnya kau bisa
mempertimbangkan tindakanmu...,"
ujar Panji seraya merentangkan kedua tangannya ke
samping. Mencegah keempat kawannya yang telah
mencabut senjata untuk menggempur orang-orang
Perguruan Rimba Kecil.
"Hmh! Tidak perlu membantah lagi, Pendekar
Naga Putih!" tukas lelaki gagah berwajah berewok yang tidak lain Ki Gumaranta,
"Sekarang kau tinggal pilih!
Menyerahkan diri dan mengembalikan pusaka kami,
atau terpaksa kami melenyapkanmu dari muka bumi
ini...!" "Keparat sombong!" Kenanga yang sudah tidak bisa menahan sabar,
membentak gusar. Tubuh dara
jelita itu melesat ke arah Ki Gumaranta. Menurutnya sudah tidak ada gunanya lagi
berdebat Maka gadis itu segera membuka serangannya.
Beuttt..! Pedang bersinar putih keperakan yang meman-


Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

carkan hawa dingin itu, sempat membuat Ki Gumaran-
ta terkejut! Lelaki berewok itu melompat ke belakang menghindari sambaran Pedang
Sinar Bulan. Dicabut-nya senjata, lalu balas menerjang Kenanga.
"Heaaattt..!"
Whuttt..! Suara desingan tajam yang disertai kilatan ca-
haya putih mengincar tubuh Kenanga. Dara jelita itu mendengus. Senjatanya
diputar untuk memapaki serangan pedang lawan.
Trangngng! "Uuuhhh...!"
Kaget bukan main hati Ki Gumaranta. Lengan-
nya terasa nyeri akibat tangkisan lawan. Sadarlah lelaki berewok itu kalau
lawannya ternyata memiliki tenaga dalam yang sangat kuat Bahkan, melebihi kekua-
tannya sendiri. Sungguh tidak pernah diduganya.
"Haaaiiittt..!"
Singngng...! Pedang di tangan Kenanga menyusuli gerakan-
nya. Senjata ampuh itu meliuk sebentar, kemudian
meluncur kurus mengarah ulu hati Ki Gumaranta!
"Aaahhh..."!"
Ki Gumaranta terpekik kaget! Dalam keadaan
masih terhuyung, tentu sangat sulit baginya untuk
menghindar. Untuk menangkis pun rasanya tidak
mungkin. Lengan kanannya masih sukar untuk dige-
rakkan karena rasa nyeri yang dideritanya. Wajah lelaki berewok itu langsung
berubah pucat! Sedang pe-
dang lawan meluncur dengan kecepatan tinggi. Siap
merenggut selembar nyawanya.
"Yiaaahhh...!"
Pada saat yang gawat itu, lelaki tinggi tegap yang
berada di belakangnya langsung membentak nyaring.
Tubuhnya melejit ke depan disertai tamparan keras
sepasang lengannya. Satu mengarah pelipis Kenanga,
dan satu lagi tertuju ke pergelangan lengan dara jelita itu. Sebuah serangan
yang hebat dan mengagumkan!
Tapi Kenanga bukanlah gadis sembarangan. Se-
rangan yang cepat dan kuat itu tidak membuat nya
gugup. Dengan tenang dara jelita itu memiringkan tubuh sambil memutar kepalanya.
Bersamaan dengan
itu, pedang di tangannya berputar dan berbalik mem-
bacok pergelangan lengan lawan.
"Hebat..!"
Mau tidak mau lelaki tinggi tegap itu memuji ge-
rakan Kenanga yang memang sangat mengagumkan.
Cepat ditariknya pulang tamparan yang mengarah pe-
lipis. Kemudian tangannya diputar menepis bacokan
pedang dara jelita itu. Sehingga....
Plakkk! Lagi-lagi lelaki tinggi tegap itu berseru memuji.
Tepisan telapak tangannya pada pergelangan dara jeli-ta itu, membuat sekujur
lengannya bergetar. Kekuatan dara jelita berpakaian serba hijau itu memang tidak
berada di bawahnya. Kenyataan itu sempat membuatnya terkagum-kagum!
Kenanga yang juga merasakan lengannya berge-
tar, menarik mundur langkahnya. Gadis jelita itu sadar lawan yang dihadapinya
kali ini tidak bisa dipandang ringan.
"Heaaahhh...!"
Sambil membentak, dara jelita itu memutar pe-
dangnya membuka jurus baru. Kali ini ia tidak mau
bertindak ceroboh. Kenanga langsung menggunakan
jurus andalannya untuk menghadapi lawan.
Demikian pula lelaki tinggi tegap yang merupa-
kan tokoh tingkat satu Perguruan Rimba Kecil Meski-
pun usianya jauh lebih muda dari Ki Gumantara, na-
mun lelaki tinggi tegap yang bernama Warsita itu adalah kakak seperguruan Ki
Gumantara. Tentu saja ke-
pandaiannya pun sudah sangat tinggi. Jadi, wajar saja bila Kenanga sempat dibuat
terkejut oleh kekuatannya.
"Haaattt..!"
Kenanga kembali membuka serangan. Pedang di
tangan kanannya bergulung-gulung membentuk kilat
sinar putih keperakan. Sekali menyerang, ujung pe-
dangnya langsung mengancam lima titik jalan darah di tubuh lawan! Warsita tidak
bisa membiarkan dan segera mencabut pedang di pinggangnya. Sebentar kemu-
dian, kedua tokoh itu telah bertarung sengit!
Sementara itu, tokoh-tokoh lain dari Perguruan
Rimba Kecil telah menghunus senjata. Mereka adalah
Ki Gumaranta, Ki Jinggala, dan Harjana. Lawan yang
akan dihadapi yaitu Malela, Pujawati, dan Ki Danara, yang juga telah bersiap.
Melihat tokoh-tokoh Perguruan Rimba Kecil su-
dah siap menggempur kawan-kawannya, Panji segera
melesat untuk melindungi mereka bertiga.
"Biarkan, Pendekar Naga Putih...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan perlahan,
namun mengandung getaran yang amat kuat. Bersa-
maan dengan itu, sesosok tubuh tinggi kurus me-
layang. Panji terpaksa menunda gerakannya.
"Ki Sangga Langit.."!" Panji berseru kaget ketika melihat pucuk pimpinan
Perguruan Rimba Kecil ikut
terjun ke arena. Pemuda itu terpaksa membiarkan ka-
wan-kawannya bertarung. Sebab, kakek tua yang he-
bat itu siap mencegahnya bila dirinya nekat mencam-
puri pertempuran itu.
"Biarkan mereka bermain-main beberapa puluh
jurus. Jika kau keberatan, aku yang akan melayani-
mu...," ucapan Ki Sangga Langit jelas berbau tantan-gan. Hingga Panji menghela
napas panjang penuh pe-
nyesalan. "Ki, pertempuran ini tidak semestinya terjadi.
Sadarlah bahwa kita semua telah menjadi korban keli-
cikan Hantu Jubah Merah dan kawan-kawannya! Bu-
kan tidak mungkin sekarang mereka tengah tertawa-
tawa melihat kita saling bertempur!" Panji masih mencoba menyadarkan Ki Sangga
Langit dari kekeliruan
itu. Pemuda itu yakin, mereka telah menjadi korban
kelicikan Hantu Jubah Merah.
Tapi, tanggapan Ki Sangga Langit benar-benar
membuat Panji putus asa. Lelaki tua bertubuh kurus
itu hanya tersenyum tipis dengan tatapan dingin. Ucapan Pendekar Naga Putih
tidak dipedulikan.
Panji tidak bisa berbuat lain. Apalagi, saat itu ia melihat Ki. Danara terdesak
hebat oleh salah seorang tokoh Perguruan Rimba Kecil. Jika sepuluh jurus lagi ia
tidak bertindak menyelamatkan lelaki tua itu, dapat dipastikan Ki Danara tewas
di ujung senjata lawan.
"Maaf, Ki. Aku terpaksa...," desis Panji. Tubuhnya langsung melayang ke arah
pertarungan Ki Danara dan Harjana. Ia harus menyelamatkan orang tua kurus itu
dari kematian. "Bagus...!" Ki Sangga Langit memuji kecepatan gerak Pendekar Naga Putih. Saat
itu juga tubuh ku-rusnya melayang hendak mencegah perbuatan pemuda
itu. Whuttt..! Tamparan Ki Sangga Langit tidak bisa disamakan
dengan tamparan tokoh-tokoh persilatan lainnya. Tenaga dalam kakek itu sudah
mencapai titik kesempur-
naan. Sehingga meskipun kelihatan perlahan, namun
menimbulkan sambaran angin yang mencicit tajam.
Menunjukkan kekuatan yang tersimpan di telapak
tangan kakek itu.
Panji pun tahu akan hal itu. Tapi, tak urung ter-
kejut juga ketika mendengar sambaran angin bersi-
utan datang dari samping kanannya. Cepat lengannya
dikibaskan menyambut tamparan itu.
Bressshhh...! Akibat benturan dua gelombang tenaga dalam itu
sungguh dahsyat sekali! Tanah di sekitarnya bergetar.
Hingga pertempuran lain terganggu. Sedangkan Pen-
dekar Naga Putih dan Ki Sangga Langit terjajar mun-
dur. "Kau memang seorang pemuda yang sangat mengagumkan, Pendekar Naga Putih.
Sayang kau masih
sangat muda, hingga mudah terseret ke jalan sesat..."
puji orang tua itu, yang kelihatan sangat menyayangkan sikap Panji yang
menurutnya telah menyeberang
ke jalan sesat.
"Sudah kukatakan berkali-kali bahwa semua ini hanya kesalahpahaman saja. Tapi,
belum terlambat
bagi Aki untuk menyadarinya...," tukas Panji berusaha mempergunakan kesempatan
itu untuk menyadarkan
Ki Sangga Langit dari kekeliruannya.
Lagi-lagi Ki Sangga Langit tidak menanggapi
ucapan Pendekar Naga Putih. Kakek itu malah me-
nyiapkan ilmu andalannya untuk pertempuran selan-
jutnya. Sehingga, Panji terpaksa mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya untuk
menghadapi ilmu lawan
yang ia tahu sangat hebat.
*** 7 "Sambut jurus 'Pengacau Lautan'ku, Pendekar Naga Putih...!" seru Ki Sangga
Langit seraya melesat dengan kedua tangan berputaran, hingga menimbulkan deruan
angin puyuh. "Haaattt..!"
Melihat kehebatan ilmu lawan, Panji segera men-
gerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-
lan' yang menerbitkan hawa dingin menusuk tulang.
Hawa yang ditimbulkannya menyebar dan memenuhi
setengah arena pertarungan. Sedangkan sepasang tan-
gan pemuda itu bergerak cepat laksana sambaran ki-
lat. Dan, meliuk-liuk bagai ular besar yang siap mematuk mangsanya.
Sebentar saja, kedua tokoh hebat itu sudah sat-
ing gempur. Pendekar Naga Putih dan Ki Sangga Langit berusaha sating merobohkan
satu sama lain. Keduanya menggunakan ilmu-ilmu pilihan yang sebelumnya
hampir tidak pernah mereka pergunakan. Hingga per-
tempuran itu terlihat sangat mengerikan. Sulit untuk dikenali, mana sosok
Pendekar Naga Putih dan mana
sosok Ki Sangga Langit. Apalagi, keduanya mengena-
kan jubah panjang putih.
Setelah bertarung selama tujuh puluh jurus, Ki
Sangga Langit terlihat semakin bersemangat Kakek itu merasa gembira menemukan
lawan tanding yang tangguh seperti Pendekar Naga Putih. Sehingga, tidak segan-
segan mengeluarkan ilmu-ilmu andalannya untuk
merobohkan pemuda itu. Sebagai tokoh yang sejak ke-
cil gemar bermain ilmu silat, tentu hatinya senang
mendapat seorang lawan tangguh. Apalagi, selama be-
berapa belas tahun ini ia tidak pernah menemuinya.
Ketangguhan Panji membuat orang tua itu semakin
lupa diri. Berbeda dengan Pendekar Naga Putih. Selama
pengembaraannya pemuda itu berkali-kali menemui
lawan yang sangat tangguh. Bahkan, beberapa kali
nyaris dikalahkan lawan. Sehingga dalam menghadapi
Ki Sangga Langit, Panji tidak terlalu kaget Meskipun
kepandaian kakek itu memang harus diakuinya sangat
hebat. Kendati demikian, Panji masih dapat mengim-
bangi permainan lawan sampai jurus keseratus. Se-
jauh itu, belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
"Yeaaattt..!"
Ketika pertarungan menginjak jurus keseratus
sepuluh, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Merah'!
Seketika itu juga tubuhnya melesat naik, dengan sepasang tangan bergerak susul-
menyusul. Pemuda itu tak ubahnya seekor naga sakti yang
tengah bermain-main di angkasa. Angin dingin yang
keluar dari badannya, membuat udara di sekitar arena pertempuran seperti tengah
dilanda badai salju. Hingga Ki Sangga Langit sempat berseru kaget! .
"Tahaaannn..!"
Tubuh Pendekar Naga Putih tengah meluncur
dari atas dengan cakar-cakar yang membawa hawa
maut Ketika tiba-tiba terdengar seruan keras menggetarkan udara. Bersamaan
dengan itu, sesosok tubuh
berkelebat menyambut serangan Pendekar Naga Putih!
Panji segera mengurangi kekuatan serangannya.
Pemuda tampan itu tidak ingin mencelakakan orang
lain yang belum diketahui jati dirinya. Akibatnya....
Bressshhh...! Baik tubuh Panji maupun sosok jangkung itu
terlempar ke belakang. Meski demikian, keduanya da-
pat berputaran di udara dan meluncur turun dengan
selamat. "Dewa Tangan Salju..."!"
Seruan kaget bercampur heran keluar dari mulut
Panji dan Ki Sangga Langit Kini perhatian keduanya
beralih ke arah sosok jangkung kurus berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih.
Tokoh itu adalah Dewa Tan-
gan Salju, yang pernah diselamatkan Panji sewaktu di-datangi Penculik-Penculik
Misterius. (Untuk mengetahui pertemuan Panji dengan Dewa Tangan Salju, sila-
kan baca episode sebelumnya dalam judul: 'Penculik-
Penculik Misterius').
"Untung pada saat terakhir tadi kau sempat me-
narik sebagian tenaga seranganmu, Pendekar Naga Pu-
tih. Kalau tidak, mungkin saat ini aku sudah tidak
bernyawa lagi...," ujar Dewa Tangan Salju tersenyum ke arah Panji. Pemuda itu
tampak terkejut mendengar ucapan kakek itu. Tokoh itu memang memiliki ketajaman
mata luar biasa, hingga tahu tindakannya saat
hampir berbentrokan tadi.
"Ah.... Kau terlalu merendah, Dewa Tangan Saba Aku malah beruntung. Sebab, kau
tidak menggunakan
seluruh kekuatanmu. Jika ya, niscaya tubuhku sudah
berubah kaku...," ujar Panji merendah.
"Siapa bilang aku tidak bersungguh-sungguh ta-
di?" tukas Dewa Tangan Salju membantah. Ia memang telah menggunakan hampir
seluruh tenaga dalamnya
untuk memapaki serangan Panji. Namun, kakek itu ti-
dak melanjutkan ucapannya. Rupanya, ia tahu akan
sifat Panji yang tidak ingin menonjolkan kelebihannya.
"Dewa Tangan Salju. Apa maksudmu mencampu-
ri urusan ini" Apakah kau pun telah berpaling ke jalan sesat!" teguran Ki Sangga
Langit membuat Dewa Tangan Salju menoleh, dan mengangguk sedikit kepada
tokoh puncak Perguruan Rimba Kecil itu.
"Sebenarnya aku belum tahu jelas masalah ka-
lian. Tapi, aku menduga telah terjadi kesalahpahaman di antara kalian berdua.
Itu sebabnya, aku langsung mencampuri pertempuran ini. Aku tidak ingin jatuh
korban lagi karena kesalahpahaman ini..," sahut Dewa Tangan Salju sambil menoleh
kan ke arah pertempu-


Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ran lain yang terpisah kurang lebih delapan tombak.
Ucapan Dewa Tangan Salju membuat Panji terin-
gat pada kawan-kawannya. Wajah pemuda itu berubah
tegang ketika melihat sesosok tubuh terkapar mandi
darah. Segera dapat dikenalinya siapa korban kesalahpahaman itu.
"Ki Danara...!" desis Panji penuh kesedihan dan penyesalan. Kemudian, berpaling
ke arah Ki Sangga
Langit yang tampak tidak menyesal sedikit pun. Kawan Pendekar Naga Putih itu
dikenalinya sebagai murid Pedang Pemecah Langit, salah seorang pencuri pusaka
perguruannya. "Hm.... Telah sepantasnya ia menerima hukuman
untuk menebus dosa gurunya...," ujar Ki Sangga Langit seolah hendak menjawab
tatapan mata Pendekar
Naga Putih. "Apa sebenarnya yang sudah terjadi" Mengapa
kalian sampai bertarung hingga jatuh korban...?" tanya Dewa Tangan Salju menatap
wajah Panji dan Ki Sangga Langit berganti-ganti.
'Tanyakanlah pada Ki Sangga Langit...?" Panji
menyerahkan jawabannya kepada Ketua Perguruan
Rimba Kecil. Kakek itulah yang lebih berhak menjawab pertanyaan Dewa Tangan
Salju. Sedangkan Panji sendiri sudah bergerak menjauh dan membentak keras"
"Hentikan pertempuran....'" seru Panji mengerahkan tenaga dalamnya untuk
menghentikan pertem-
puran yang masih berlangsung. Karuan saja seruan
yang mengguncangkan dada itu menghentikan per-
tempuran. Kedua belah pihak tampak saling pandang.
Kemudian, bergerak ke arah kawan masing-masing
dan berkumpul di dekat ketiga tokoh itu.
Sementara itu, Ki Sangga Langit telah menje-
laskan perselisihan di antara mereka. Dewa Tangan
Salju terlihat sangat menyesali bentrokan yang terjadi.
Apalagi, salah seorang dari mereka telah melayang
nyawanya menjadi korban
"Jadi, dalam hal ini kau menyalahkan Pendekar
Naga Putih. Sedangkan aku sangat yakin dirinya tidak akan pernah berpaling ke
jalan sesat Mengapa tidak kau bicarakan masalah ini secara baik-baik, Ki Sangga
Langit" Mana kebijaksanaan mu?" ujar Dewa Tangan Salju. Mendengar penuturan Ki
Sangga Langit yang
menuduh Panji bersekongkol dengan Hantu Jubah Me-
rah Untuk mencuri pusaka Perguruan Rimba Kecil.
"Bagaimana denganmu, Pendekar Naga Putih"
Mengapa kau tidak berusaha mencari penyelesaian
dengan jalan damai, tanpa harus jatuh korban...?" De-wa Tangan Salju bertanya
pada Panji yang kini telah menghadapi kedua kakek itu.
"Kakang Panji sudah berusaha menjelaskan,
Eyang. Tapi kakek itu tetap tidak mau mengerti, dan berkeras hendak meminta
tanggung jawab kami atas
lenyapnya benda-benda pusaka perguruannya. Padah-
al, semua itu terjadi karena kelalaian dan ketidakbe-cusan mereka sendiri...!"
yang menyahuti ucapan De-wa Tangan Salju adalah Kenanga. Rasa jengkel di hati
gadis jelita itu belum lenyap. Apalagi setelah Ki Danara menjadi korban
peristiwa itu. "Hm.... Jadi, kau berpihak kepada Pendekar Na-
ga Putih, Dewa Tangan Salju...?" Ki Sangga Langit tidak mau dipersalahkan. Kakek
itu malah menuduh
Dewa Tangan Salju yang kelihatan lebih condong
membela Pendekar Naga Putih.
"Dengar, Ki Sangga Langit Aku tidak memihak
pada siapa pun. Tapi, berpihak pada kebenaran! Aku
pernah diselamatkan Pendekar Naga Putih, saat Pen-
culik-Penculik Misterius mendatangi pertapaanku. Me-
reka hendak menculik ku. Seperti yang dilakukan me-
reka terhadap tokoh-tokoh yang kau katakan telah
mencuri pusaka perguruanmu. Itu sebabnya, aku me-
rasa yakin Pendekar Naga Putih tidak berpaling ke jalan sesat," tandas Dewa
Tangan Salju yang kelihatan mulai jengkel melihat sikap keras kepala Ki Sangga
Langit 'Tapi aku sungguh tidak berdusta, Dewa Tangan Salju! Orang-orang yang
mencuri pusaka perguruanku
memang nama-nama yang kusebutkan tadi!" bantah Ki Sangga Langit membela diri.
"Ya. Kami pun tidak menyangkalnya! Tapi, kami
telah menjelaskan sejak awal bahwa orang-orang yang menculik pusaka perguruanmu
tokoh-tokoh gadungan!
Kau sama sekali tidak percaya, dan tetap meminta pusaka-pusaka itu
dikembalikan!" tukas Kenanga kembali menyahuti perkataan Ki Sangga Langit Lelaki
tua itu jadi serba salah. Tampak ia mulai merasa ragu dengan keyakinan yang
sejak awal dipegang teguh.
"Hm.... Baiklah. Kita lupakan persoalan ini untuk sementara. Sebaiknya kita
selidiki dulu kebenaran
ucapan Pendekar Naga Putih dan kawan-kawannya.
Untuk membuktikannya tidak terlalu sulit Kita tinggal mendatangi markas Hantu
Jubah Merah," ujar Dewa Tangan Salju membuat kedua belah pihak tertegun.
"Sayang kami belum menemukan tempat per-
sembunyiannya, Dewa Tangan Salju. Diperlukan wak-
tu yang cukup lama untuk menemukan persembu-
nyian manusia-manusia sesat yang sangat licik itu...,"
sahut Panji seraya menatap Dewa Tangan Salju den-
gan wajah agak menyesal.
"Hm.... Setelah kepergian Kenanga, aku mening-
galkan pertapaan untuk menyelidiki Penculik-Penculik Misterius itu. Syukurlah
kalian berdua telah berkum-
pul kembali dengan selamat Aku pun telah menemu-
kan markas mereka. Sayang, aku tidak sanggup meng-
gempur manusia-manusia sesat itu. Bahkan nyaris ce-
laka di tangan Hantu Jubah Merah, pimpinan mereka.
Untunglah aku berhasil meloloskan diri, dan bertemu dengan kalian di tempat
ini...," jelas Dewa Tangan Salju, membuat semua yang mendengarnya terkejut ber-
campur gembira.
"Jadi kau telah menemukan markas mereka...?"
tanya Panji menegasi.
"Ya. Aku telah menemukan markas Hantu Jubah
Merah beberapa hari yang lalu...," jawab Dewa Tangan Salju singkat Meski tahu
mereka semua menunggu ke-lanjutan ucapannya.
"Di mana markas manusia-manusia jahat itu,
Dewa Tangan Salju" Kami pun hams segera mengambil
pusaka-pusaka kami, sebelum mereka sempat mempe-
lajari dan mempergunakannya...," tanya Ki Sangga Langit yang kelihatan sangat
bernafsu untuk mendapatkan pusakanya kembali.
"Karena ini menyangkut kepentingan orang ba-
nyak, sebaiknya kita bersama-sama menghancurkan
markas itu...," usul Dewa Tangan Salju mengajak kedua belah pihak untuk bersatu.
"Baiklah...," jawab Ki Sangga Langit setelah berpikir sesaat.
Dewa Tangan Salju tersenyum puas. Usahanya
untuk menjernihkan perselisihan itu berhasil. Maka, diajaknya mereka untuk
segera mendatangi markas
Hantu Jubah Merah.
"Tunggu...!" tiba-tiba terdengar seruan halus yang membuat langkah Dewa Tangan
Salju terhenti.
Kakek itu menoleh ke arah asal suara. Tampak
Pujawati tengah berdiri di dekat mayat Ki Danara.
Tangan kanan gadis manis itu menggenggam erat pe-
dangnya. Sedangkan sepasang matanya memancarkan
api dendam terhadap tokoh-tokoh Perguruan Rimba
Kecil. "Aku hendak meminta tanggung jawab orang-orang Perguruan Rimba Kecil,
yang telah membunuh
Paman Danara...!" desis gadis itu dingin berbau dendam yang dalam.
"Sabarlah, Pujawati. Kita buktikan dulu bahwa
ayahmu benar-benar tidak bersalah. Setelah itu, baru kita minta
pertanggungjawaban mereka...," ujar Kenanga, membuat Pujawati mengalihkan
pandangannya ke arah dara jelita itu. Dan akhirnya menurut ketika melihat Kenanga mengangguk.
Tak berapa lama kemudian, rombongan itu ber-
gerak meninggalkan Desa Karapan. Baik Panji maupun
Ki Sangga Langit serta yang lainnya, bergerak mengikuti langkah Dewa Tangan
Salju menuju ke selatan
desa itu. "Kau belum mengatakan di mana letak markas
mereka, Dewa Tangan Salju...?" Ki Sangga Langit tidak bisa menyimpan rasa
penasaran di hatinya. Ketika
menyeberangi sebuah sungai, pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.
Dewa Tangan Salju tidak segera menjawab. Kepa-
lanya ditolehkan ke arah Pendekar Naga Putih. Seolah ingin melihat apakah pemuda
itu juga menyimpan rasa penasaran yang sama.
"Markas Hantu Jubah Merah terletak di sebuah
perbukitan yang bernama Bukit Hitam. Letaknya se-
tengah hari perjalanan dari tempat ini," jawab Dewa Tangan Salju setelah melihat
anggukan kepala Pendekar Naga Putih. Pemuda itu pun ingin mengetahui le-
tak markas Hantu Jubah Merah.
"Kalau demikian, sebaiknya kita percepat perjalanan...," usul Ki Sangga Langit
Tampaknya orang tua itu ingin segera tiba di tempat tujuan. Kemudian, merebut
kembali benda-benda pusakanya yang tercuri.
Tanpa menyahut lagi, Dewa Tangan Salju lang-
sung melesat mengerahkan ilmu lari cepatnya. Yang
lain menyusul di belakang kakek itu. Kecuali, Panji dan Ki Sangga Langit yang
berlari di kiri-kanan Dewa Tangan Salju.
*** 8 Dengan menggunakan ilmu lari cepatnya, tidak
sampai tengah hari. Bukit Hitam sudah terlihat di depan mereka. Para tokoh itu
pun memperlambat la-
rinya. Mereka tidak ingin kedatangannya diketahui lawan. Bahkan, Panji
mengusulkan agar mereka menga-
tur rencana terlebih dahulu.
"Apa lagi yang mesti kita tunggu" Dengan kekuatan seperti ini, aku yakin mereka
dapat lata hancurkan...." .
Ki Sangga Langit tidak begitu setuju dengan usul
Panji. Kakek itu merasa yakin dapat menghancurkan
Hantu Jubah Merah dan para pengikutnya. Mengingat
mereka terdiri dari tokoh-tokoh hebat yang sukar dicari tandingannya.
'Itu memang tidak kusangsikan lagi, Ki Sangga
Langit Tapi, kita harus memikirkan keselamatan to-
koh-tokoh yang telah mereka culik. Tujuan kita bukan hanya sekadar menumpas
kejahatan atau mengambil
kembali pusaka-pusaka perguruanmu. Tapi juga me-
nyelamatkan para tokoh itu. Apa jadinya bila tokoh-tokoh itu mereka jadikan
tameng untuk menghadapi
kita" Jika itu sampai terjadi, bukankah kedatangan ki-ta akan sia-sia...?" tukas
Panji menjelaskan usulnya.
Ki Sangga Langit tampak menyadari kekeliruannya.
"Maafkan aku, Pendekar Naga Putih. Aku merasa
bodoh sekali. Yang ku pikirkan hanya mengambil
kembali pusaka-pusaka perguruanku. Sama sekali tidak kuingat keselamatan tokoh-
tokoh yang ditawan
Hantu Jubah Merah...," ucap Ki Sangga Langit meminta maaf.
Panji tersenyum tulus sebagai tanda memaklumi
kekeliruan Ki Sangga Langit Kemudian, rencana pun
diatur bersama-sama.
Setelah agak lama, didapat kata sepakat Panji
dan Dewa Tangan Salju akan menyelinap melalui sebe-
lah selatan bukit Sedangkan Ki Sangga Langit memim-
pin yang lainnya. Tugas mereka memancing perhatian
lawan dengan menyerang dari sebelah utara, yang
menjadi pintu gerbang markas Hantu Jubah Merah.
"Kami akan berusaha menyelamatkan tokoh-
tokoh itu. Mudah-mudahan Pendekar Tongkat Sakti
dan yang lainnya masih hidup...," ujar Panji sebelum mereka berpisah untuk
melaksanakan tugas masing-masing.
Ki Sangga Langit dan yang lainnya mengiyakan.
Tak lama setelah Panji dan Dewa Tangan Salju berpa-
mitan, Ki Sangga Langit dan kelompoknya mulai bergerak mendekati Bukit Hitam.
Dengan gerakan yang lincah dan ringan, Ki
Sangga Langit memimpin kawan-kawannya mendekati
bukit Mereka mendatangi markas Hantu Jubah Merah
dengan terang-terangan. Dengan begitu, seluruh perhatian lawan tercurah kepada
mereka. Sehingga, Panji
dan Dewa Tangan Salju dapat bergerak leluasa untuk
membebaskan para tawanan.
"Berhenti...!"
Saat itu Ki Sangga Langit dan kawan-kawannya
tiba di pintu gerbang pertama, yang terletak di punggung bukit. Suara bentakan
itu membuat mereka me-
nahan langkah. "Hm...," Ki Sangga Langit bergumam ketika melihat delapan orang penjaga gerbang
pertama berdiri tegak menghadang jalan mereka. Tubuh kakek itu lang-
sung melesat saat mengetahui salah seorang dari penjaga hendak pergi melapor.
"Haaaiiittt..!"
Laksana seekor burung besar, tubuh kakek ting-
gi kurus itu melayang melewati kepala kawan-
kawannya. Kemudian, berputar beberapa kali sebelum
menjejakkan kakinya di tanah. Satu tombak lebih dari hadapan penjaga yang hendak
melapor. "Heeeaaahhh...!" ,
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, tubuh Ki
Sangga Langit kembali melambung menerjang lawan.
Telapak tangan kanannya terulur ke depan, siap
menghajar lawan.
Whuttt..! Kaget juga hati kakek itu ketika serangan perta-
manya dapat dihindari. Bahkan, penjaga itu sanggup
melepaskan serangan balasan dengan gerak yang aneh
dan cukup kuat Sekilas pandang saja Ki Sangga Langit dapat
mengenali dasar-dasar gerakan ilmu silat penjaga itu.
Hatinya geram bukan main ketika menemukan dasar
gerak ilmu silat Pendekar Tongkat Sakti. Kakek itu pun tahu Hantu Jubah Merah
telah menyadap ilmu tokoh-tokoh yang diculiknya, untuk memperkuat para pengi-
kutnya. "Hihhh!"
Rasa geram Ki Sangga Langit membuatnya lupa
diri. Tanpa berusaha mengelakkan serangan itu, se-
buah tendangan kilat dilepaskan ke dada lawan
Bukkk! Tubuh penjaga itu langsung terjengkang ke bela-
kang dengan kerasnya. Dan, tewas dengan batok kepa-
la retak. Kepalanya terbentur batu padas.
Sementara Kenanga dan para tokoh lainnya su-
dah bergerak maju Ketujuh penjaga pintu gerbang pertama bergeletakan dengan
tubuh bermandikan darah.
Ki Sangga Langit segera mengajak mereka menuju
bangunan utama markas Hantu Jubah Merah.
***

Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dua sosok tubuh itu bergerak cepat menerobos
rimbunan semak. Mereka terus berlari dengan kecepa-
tan yang mengagumkan Tidak jarang keduanya me-
layang di udara, bagai dua ekor burung besar yang
tengah mengangkasa. Kadang terlihat berloncatan me-
lewati bebatuan besar. Hingga, akhirnya mereka tiba di sebuah tempat yang
bertanah datar.
"Menurut dugaanku, bangunan kecil yang terle-
tak di samping bangunan utama itulah tempat para
tahanan...," bisik kakek berusia tujuh puluh tahun yang bertubuh jangkung. Saat
itu keduanya bersandar di sebatang pohon, sambil meneliti keadaan sekitar
bangunan yang berada sepuluh tombak di depan mereka. "Kita tunggu saja sampai Ki
Sangga Langit dan kawan-kawannya tiba. Setelah keributan terjadi, baru kita
bergerak:..," ujar sosok pemuda tampan berjubah
putih, yang tidak lain Panji. Dewa Tangan Salju menganggukkan kepala. Diam-diam
kakek itu semakin
bertambah kagum pada Pendekar Naga Putih. Ternyata
pemuda itu cukup cermat dalam mengatur rencana.
Setelah agak lama menunggu, samar-samar ter-
dengar suara dentang senjata dan bentakan bentakan
nyaring. Dewa Tangan Salju dan Pendekar Naga Putih
saling bertukar pandang. Kemudian, melesat ke arah
bangunan kecil yang mereka duga sebagai tempat un-
tuk menyembunyikan tawanan.
"Hei.."!"
Dua orang lelaki berseragam hitam yang kebetu-
lan keluar dari bagian belakang bangunan utama,
langsung membentak ketika melihat Panji dan Dewa
Tangan Salju. Namun sebelum kedua orang itu sempat
berbuat sesuatu, sebuah pukulan telak menghajar me-
reka. Tubuh keduanya terjengkang muntah darah!
Dan, belum lagi sempat bangkit, Panji dan Dewa Tan-
gan Salju telah menamatkan riwayat mereka dengan
mematahkan tulang lehernya.
Kedua tokoh itu kembali bergerak mendekati
bangunan kecil. Begitu tiba, Panji langsung melontarkan pukulan ke pintu yang
terbuat dari kayu tebal.
Brakkk...! Sekali hantam pintu bangunan itu pecah berkep-
ing-keping. Tanpa menunggu serpihan kayu berjatu-
han ke tanah, tubuh kedua tokoh hebat itu sudah me-
lesat ke dalam bangunan.
"Siapa..."!" salah satu dari empat penjaga yang tengah bertugas, menegur sambil
mencabut senjata.
Ketika Panji dan Dewa Tangan Salju tidak menjawab,
keempat penjaga itu langsung menyerbu dengan senja-
ta di tangan. "Haaattt...!"
Kilatan dua batang pedang yang mengancam tu-
buh Pendekar Naga Putih, dielakkan pemuda itu den-
gan memiringkan tubuhnya sedikit Kemudian, mele-
paskan dua buah pukulan sekaligus.
Bettt, bettt! "Ehhh..."!" Panji berseru tertahan melihat serangannya dapat dielakkan lawan.
Pemuda itu segera mengenali gerakan kedua la-
wannya. Itu adalah gerak dasar ilmu Pedang Pemecah
Langit yang digabungkan dengan ilmu lain. Panji menjadi geram. Tangannya diputar
untuk melancarkan se-
rangan berikutnya.
Darah segar termuntah dari mulut lawan ketika
kepalan Panji bersarang di tubuh mereka. Dan, gedo-
ran telapak tangan pemuda itu membuat nyawa mere-
ka jalan-jalan ke akherat.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Dewa Tan-
gan Salju telah menamatkan dua orang lawannya.
Kemudian, mereka memeriksa kamar tahanan
yang berjajar di ruangan itu. Kamar tahanan itu kebanyakan kosong. Akhirnya,
mereka menemukan dua
orang lelaki gagah yang tampak sangat lemah. Dewa
Tangan Salju berbisik kepada Panji. Rupanya, kakek
itu mengenali kedua sosok lelaki yang tubuhnya kurus dan tak terawat baik.
"Pendekar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah
Langit...," ujarnya memberitahukan. Setelah berkata demikian, didobraknya pintu
tahanan Pendekar Tongkat Sakti. Kemudian, memutuskan rantai yang mengi-
kat kedua pergelangan tokoh itu dan membawanya ke-
luar. "Dewa Tangan Salju..."! Benarkah kau yang menyelamatkan aku...?" desis
Pendekar Tongkat Sakti lirih, mirip sebuah desahan panjang.
"Tidak salah, Adiwarsa. Ke mana Sepasang Golok Kembar dan Sepasang Naga Laut..?"
tanya Dewa Tangan Salju. Kakek itu tidak menemukan kedua tokoh
itu di seluruh ruang tahanan.
"Hantu Jubah Merah telah membunuhnya.... Ka-
rena semua ilmu mereka telah disadap habis...," jawab Ki Adiwarsa dengan napas
terengah-engah.
Dewa Tangan Salju menahan pertanyaan selan-
jutnya. Saat itu Panji tengah menghampirinya sambil menggendong tubuh kurus
Pedang Pemecah Langit.
"Hantu Jubah Merah memaksa mereka berta-
rung, agar dapat menyadap ilmu-ilmu andalan tokoh-tokoh yang diculiknya. Sungguh
keji sekali manusia jahat itu. Ia sama sekali tidak peduli betapa para ta-
wanannya tidak terurus dengan baik...," ujar Panji menjelaskan bagaimana cara
Hantu Jubah Merah menyadap ilmu para pendekar itu. Rupanya, pemuda itu
telah bertanya cukup banyak kepada Pedang Pemecah
Langit yang keadaannya lebih baik dibanding Ki Adi-
warsa. "Hm...," Dewa Tangan Salju bergumam marah,
"Sebaiknya kita sembunyikan mereka di tempat yang aman. Setelah itu, kita bantu
Ki Sangga Langit dan
yang lainnya. Siapa tahu mereka tengah menghadapi
musuh-musuh tangguh...," usul Dewa Tangan Salju.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera mengikuti
Dewa Tangan Salju. Mereka menuju semak-semak
tempat tadi mereka mendatangi markas. Tapi...
"Hua ha ha...!" tiba-tiba terdengar suara tawa parau yang menggetarkan jantung.
Bersamaan dengan
itu, muncullah sesosok tubuh tinggi besar berpakaian hitam dengan jubah merah di
belakang tubuhnya.
"Hantu Jubah Merah...!" seru Panji dan Dewa Tangan Salju hampir berbarengan.
Kedua tokoh itu
tampak agak terkejut melihat kedatangan Hantu Ju-
bah Merah. Sungguh tidak disangka tokoh itu akan
muncul menghadang.
"Kalian memang cerdik sekali! Sementara kawan-
kawanku menyerang dari depan, kalian menyusup dari
belakang seperti maling hina! Benar-benar sebuah rencana yang sangat bagus...!"
ejek Hantu Jubah Merah tertawa parau tanpa melepaskan pandang matanya da-ri
sosok Panji dan Dewa Tangan Salju.
"Maaf, Ki. Biarlah aku yang menghadapi Hantu
Jubah Merah. Kau bawalah Pendekar Tongkat Sakti
dan Pedang Pemecah Langit ke tempat yang aman...,"
bisik Panji segera melepaskan tubuh Pedang Pemecah
Langit dari bahunya, dan menyerahkannya kepada
Dewa Tangan Salju.
"Hati-hati, Pendekar Naga Putih! Jubah merah-
nya memiliki mukjizat yang ampuh...," Dewa Tangan Salju mengingatkan sebelum
meninggalkan Panji.
Plok! Plok! Plok!
Tiba-tiba Hantu Jubah Merah bertepuk tangan
tiga kali. Sesaat kemudian, muncullah tokoh-tokoh gadungan dan beberapa
pengikutnya. Mereka langsung
menutup jalan Dewa Tangan Salju. Bagi orang yang
memiliki kepandaian dan kemampuan ilmu sihir yang
tinggi seperti Hantu Jubah Merah, tidak terlalu sulit baginya menciptakan tokoh-
tokoh palsu. Dengan
menggunakan kepandaian dan ilmu sihirnya, tokoh itu mengubah wajah pengikutnya
hingga mirip dengan tokoh-tokoh yang dipalsukan. Lalu mereka diberi ilmu dan
senjata andalan tokoh-tokoh itu. Jadilah, mereka tokoh-tokoh gadungan yang
sempat menggemparkan
kaum persilatan golongan putih.
"Kau benar-benar iblis licik, Hantu Jubah Merah...!" desis Panji geram
menyaksikan kejadian itu.
Kakinya melangkah empat tindak dengan sorot mata
tajam menikam jantung.
"Haaattt..!"
Mendadak, delapan pengikut Hantu Jubah Me-
rah membuka serangan dan menerjang Dewa Tangan
Salju. Kakek itu menjadi sibuk mengelakkan sambaran ujung senjata lawan. Cepat
ia berkelit dan membalas dengan tendangan kedua kakinya. Sedangkan kedua
tangannya digunakan untuk memegang tubuh Pende-
kar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah Langit Kakek
itu agak kewalahan menghadapi gempuran penge-
royoknya. "Haaaiiittt..!"
Saat Dewa Tangan Salju tengah kerepotan, ter-
dengar pekikan nyaring. Disusul dengan berkelebatnya sesosok bayangan hijau yang
langsung menggempur
kedelapan pengeroyoknya. Kakek itu menjadi lega.
Melihat Dewa Tangan Salju telah mendapat ban-
tuan Kenanga, Panji pun merasa lega. Seluruh perha-
tiannya kini dapat tercurah kepada Hantu Jubah Me-
rah. "Hm.... Man kita lanjutkan pertempuran tempo hari, Pendekar Naga Putih...,"
tantang Hantu Jubah Merah yang kali ini terlihat agak sering mempermainkan
jubahnya untuk menutupi tubuh.
Panji mengerutkan kening melihat tingkah la-
wan. Pemuda itu segera dapat menduga Hantu Jubah
Merah akan menggunakan keampuhan jubahnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Panji langsung memusatkan
pikiran dan memanggil keluar Pedang Pemecah Langit
yang mengeram di dalam tubuhnya. Panji percaya
bahwa pedang mukjizatnya akan mampu mengatasi
jubah mukjizat lawan.
Swingngng...! Entah dari mana datangnya, tahu-
tahu tangan Pendekar Naga Putih telah menggenggam
sebatang pedang yang mengeluarkan sinar kuning
keemasan. Pedang itu digerakkan ke depan, hingga
menimbulkan suara berdesing menggetarkan jantung!
Hantu Jubah Merah agak kaget melihat pedang
di tangan Pendekar Naga Putih. Ukuran pedang itu lebih besar dari biasa, serta
berhawa aneh yang menggetarkan hati. Tokoh tinggi besar itu melangkah mundur.
Wajahnya kelihatan agak tegang!
"Mustahil...!" desis Hantu Jubah Merah. Rupanya, tokoh itu mengenali pedang di
tangan lawan. "Hm.... Bersiaplah, Hantu Jubah Merah...!" ujar Pendekar Naga Putih. Pedangnya
dilintangkan di depan dada. Sikapnya itu menunjukkan bahwa Panji telah
siap bertarung!
"Hmmmhhh...!"
Hantu Jubah Merah mengeluarkan dengusan ka-
sar. Kemudian, mencabut keluar sebilah pedang tipis lentur. Mirip Pedang Sinar
Bulan yang kini dipakai Kenanga. Panji pun tahu kalau senjata itu merupakan
pusaka ampuh. Cwittt, cwittt, cwittt!
Pedang di tangan Hantu Jubah Merah berdecitan
saat tokoh itu mencoret-coret udara dengan senja-
tanya. Kaki kanannya melangkah ke belakang setin-
dak, dan ditekuk rendah. Sedangkan pedangnya melin-
tang di atas kepala.
"Haaattt..!"
Tanpa membuang waktu lagi, Pendekar Naga Pu-
tih mengibaskan pedangnya menerjang ke depan. Kila-
tan sinar kuning keemasan berhawa panas, menyerbu
datang. Hantu Jubah Merah menggeser langkahnya,
kemudian membalas dengan tidak kalah ganasnya!
Trangngng! Trangngng!
Terdengar benturan nyaring, menimbulkan per-
cikan bunga api yang mewarnai pertarungan kedua to-
koh itu. Keduanya tergetar mundur untuk kembali
mengatur kuda-kuda masing-masing.
"Hiaaattt..!"
Kali ini Hantu Jubah Merah yang memulai se-
rangan. Senjata di tangannya bersuitan menyakitkan
telinga. Kilatan cahaya putih bergulung-gulung turun naik dan mendengung dengung
bagai ratusan lebah
marah. Bwettt! Whuttt!
Panji menggeser mundur tubuhnya dengan lang-
kah menyilang. Setelah serangan lawan lolos. pedangnya bergerak dengan kecepatan
kilat membabat datar!
Brettt! "Aaahhh..."!"
Untung Hantu Jubah Merah sempat berkelit
dengan memiringkan tubuhnya. Hingga hanya jubah
ampuhnya yang tersambar pedang lawan. Meski demi-
kian, wajah tokoh sesat itu berubah pucat! Jubahnya dapat disobek senjata
Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih pun sempat terkejut ketika
merasa ada perlawanan aneh dari jubah mukjizat la-
wan. Kalau saja senjata di tangannya bukan pusaka
langka mungkin sudah patah. Jubah lawan terasa ke-
nyal dan sangat kuat.
"Keparat! Kau telah merobek jubah kesayangan-
ku...!" teriak Hantu Jubah Merah. Lelaki tinggi besar itu murka bukan main
melihat jubahnya robek oleh
sambaran pedang lawan.
"Haaattt..!"
Dengan sangat bernafsu Hantu Jubah Merah
menerjang maju! Pedang di tangannya berkelebat cepat laksana sambaran kilat yang
susul menyusul. Sehing-
ga dalam beberapa jurus, Panji terpaksa bermain
mundur dan memperkuat pertahanan.
Blasss! Mendadak. Di saat tokoh sesat itu tengah gencar
menerjang Panji, tiba-tiba bayangan Hantu Jubah Me-
rah lenyap. Sosok itu berganti dengan asap putih tebal yang menghalangi pandang
mata Panji. Kejadian itu
sangat mengejutkan!
Whuuuttt..! "Heiii..."!"
Panji sempat tercekat mendengar desingan senja-
ta tanpa wujud! Dan, bergerak mundur dengan lompa-
tan panjang. Kemudian, membentak keras sambil pe-
dangnya disabetkan ke depan.


Pendekar Naga Putih 63 Duel Jago Jago Persilatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Srattt! Aneh. Kali ini Pedang Naga Langit menyebarkan
sinar kuning keemasan yang melebar. Kemudian ter-
dengar letupan kecil. Seolah sinar pedang pusaka itu membentur suatu gelombang
yang tak nampak Sosok
Hantu Jubah Merah kembali muncul dalam jarak seki-
tar satu setengah tombak. Pedang pusaka di tangan
Pendekar Naga Putih ternyata mampu melawan kekua-
tan sihir jubah pusaka lawan. Hingga tubuh lawan
yang semula lenyap, kini muncul di depan mata.
"Haaattt..!"
Tanpa membuang waktu lagi, Panji langsung
menggebrak lawan. Pusaka Naga Langit berkesiutan
menyambar-nyambar dengan kecepatan menggetar-
kan! Hantu Jubah Merah yang belum sadar dirinya
sudah terlihat lawan, sangat kaget mendapati pedang pemuda berjubah putih
meluncur deras ke arahnya.
Dan.... Brettt! "Aaakkkhhh..."!"
Hantu Jubah Merah terpekik kaget bercampur
kesakitan. Tubuhnya melintir dan terhuyung sejauh
satu setengah tombak Darah segar mengucur keluar
dari luka memanjang di atas pusarnya. Sungguh sulit dipercaya!
Pendekar Naga Putih tidak memberi kesempatan
kepada lawan. Pemuda itu menyusuli serangannya
dengan sebuah tusukan kilat yang mengancam jan-
tung Hantu Jubah Merah.
Syuttt... cappp!
"Aaarghhh...!"
Jerit kematian yang menggetarkan jantung ke-
luar dari mulut tokoh bertubuh tinggi besar itu. Pedang Naga Langit tertancap di
dada kiri tokoh itu, te-pat mengenai jantungnya. Tanpa ampun lagi, tubuh
tokoh sesat itu pun tersungkur ketika Pedang Naga
Langit dicabut.
Setelah menggelegar sesaat, Hantu Jubah Merah
yang telah menggemparkan dunia persilatan dengan
ulahnya tewas dengan mata mendelik. Kemudian, Pen-
dekar Naga Putih menghela napas lega. Satu lagi kewa-jibannya untuk melenyapkan
manusia yang memba-
hayakan keselamatan orang banyak telah dijalankan.
Pemuda itu menoleh ke arah Kenanga yang baru saja
menyelesaikan pertarungan.
Panji melihat Ki Sangga Langit dan yang lainnya
telah berada di tempat ini. Rupanya, mereka telah berhasil menghancurkan markas
Hantu Jubah Merah. Pa-
ra tokoh persilatan itu kelihatan sangat terharu menyaksikan pertemuan Pujawati
dan Malela dengan
guru dan ayahnya. Apalagi, keadaan tubuh kedua to-
koh persilatan itu sangat menyedihkan.
"Mari kita tinggalkan tempat ini. Pendekar Tongkat Sakti dan Pedang Pemecah
Langit memerlukan pe-
rawatan segera...," ujar Panji kepada kawan-kawannya.
Tak seorang pun membantah ucapan pemuda
tampan itu. Beberapa saat kemudian, tokoh-tokoh persilatan itu bergerak
meninggalkan Bukit Hitam.... Saat itu, matahari sudah bergeser jauh ke barat...
SELESAI Scan: Clickers Edited by Culan Ode
PDF by Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Bayangan Setan 6 Mustika Lidah Naga 2 Maut Dari Hutan Rangkong 1
^