Pencarian

Penculik Penculik Misterius 2

Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius Bagian 2


"Hm.... Apa yang sudah terjadi di desa ini...?" desis pemuda tampan berjubah
putih. Pemuda itu merunduk, memeriksa mayat-mayat yang masih baru. Kemudian bangkit dan
menatap berkeliling.
"Kelihatannya di tempat ini baru saja terjadi perampokan atau perkelahian,
Kakang. Melihat bercak-bercak darah yang masih basah, jelas pembunuhan ini belum
lama terjadi," timpal sosok ramping terbungkus pakaian serba hijau yang ikut
memandang berkeliling. Sinar matanya yang tajam tampak memancarkan kemarahan
yang siap mele-dak.
Sosok yang tidak lain Panji dan Kenanga semakin terkejut melihat beberapa rumah
tampak rusak. Jelas, itu akibat perbuatan tangan-tangan jahat yang tidak
bertanggung jawab.
"Hm.... Kemunculan Penculik-Penculik Misterius itu rupanya membuat orang-orang
jahat semakin banyak bermunculan. Agaknya dunia persilatan yang sedang kacau,
dan keadaan ini memberi peluang bagi manusia-manusia jahat untuk
memanfaatkannya...,"
desis Panji segera mengayun langkahnya menyusuri jalan utama Desa Kenikir yang
kelihatan lengang.
"Ini tidak bisa kita diamkan, Kakang! Orang-orang jahat itu harus diberi
pelajaran, biar mereka tahu bahwa dalam keadaan sekacau apa pun, masih ada orang
yang akan mencegah perbuatan mereka!" ujar Kenanga dengan nada berapi-api. Dara
jelita ini memang paling benci dengan orang-orang jahat yang bertindak
seenaknya. Apa lagi jika sampai membunuh, tentu tidak ada ampun baginya.
"Hm.... Sepertinya aku mendengar suara orang bertempur dari ujung desa sebelah
barat..," ujar Panji tiba-tiba, kemudian melesat secepat kilat menuju arah
suara. Kenanga pun tidak tinggal diam. Telapak tangannya yang memang sudah gatal ingin
segera menghajar orang-orang jahat, membuat tubuhnya langsung bergerak
secepatnya mengikuti Panji.
Pendengaran Panji memang tidak meleset Di ujung sebelah barat Desa Kenikir,
terlihat suatu pertempuran sengit. Belasan mayat bergeletakan di tanah. Suara
denting senjata dan jerit kematian mewarnai pertempuran.
"Heaaattt..!"
Seorang pemuda gagah bertubuh tegap, memekik keras sambil melontarkan serangan
tongkatnya dengan gerakan cepat dan mengagumkan.
Bukkk! Prakkk! "Aurghhh...!"
Dua orang lawan yang menjadi sasaran hantaman tongkatnya, langsung
menggelepar seperti ikan di darat. Sungguh hebat gerakan pemuda itu. Setiap
tongkat di tangannya bergerak, selalu tidak pernah meleset dari sasaran, dan ada
korban yang jatuh tewas dengan tulang-tulang remuk.
"Ayo, majulah penjahat-penjahat tengik!" tantang pemuda gagah berpakaian kuning
cerah. Sepasang matanya mencorong tajam menatap wajah belasan orang kasar yang
menjadi lawan-lawannya. Sedangkan orang-orang yang berada di pihak pemuda gagah
itu, kembali menerjang maju dengan senjata di tangan. Kelihatannya mereka
semakin bersemangat dengan adanya pemuda gagah itu.
Pertempuran pun kembali berkobar. Jerit kematian, disusul robohnya tubuh-tubuh
bermandikan darah kembali mewarnai pertarungan.
Panji yang lebih dulu tiba, segera menghentikan larinya dan mengamati
pertempuran dari jarak agak jauh. Pemuda itu meneliti sosok-sosok yang tengah
bertarung, tanpa berniat turun ke arena.
"Mengapa kau tidak segera menghajar orang-orang jahat itu, Kakang...?" begitu
tiba, Kenanga langsung menegur kekasihnya. Gadis itu melihat Panji hanya berdiri
menonton dari jarak beberapa tombak.
"Kita tidak perlu terjun ke arena. Kau lihat pemuda itu. Nah, biarpun tanpa
bantuan yang lainnya, ia pasti sanggup merobohkan gerombolan perampok busuk
itu...," ujar Panji. Apa yang dikatakan Panji memang tidak salah. Kenanga pun dapat melihat
ketangkasan pemuda gagah berpakaian kuning cerah, yang bersenjatakan sebatang
tongkat. Setiap lawan yang berada di dekat pemuda itu, langsung roboh tak
bergerak lagi. Jelas, pemuda itu bukan orang sembarangan.
"Hm..., hebat sekali pemuda itu. Kau kenal gerakan tongkatnya, Kakang...?" tanya
Kenanga yang rupanya mengagumi jurus-jurus tongkat pemuda gagah itu.
"Kalau aku tidak salah, pemuda itu mungkin mempunyai hubungan dengan Ki
Adiwarsa, yang berjuluk si Tongkat Sakti. Jika demikian, pastilah pemuda itu
merupakan salah satu murid kesayangan orang tua itu. Melihat gerakannya, ia
rupanya telah memiliki hampir seluruh ilmu tongkat Ki Adiwarsa. Dan bisa jadi,
keberadaan dirinya di desa ini berhubungan dengan lenyapnya tokoh tua itu.
Sebab, bukankah menurut berita yang tersebar Perguruan Tongkat Sakti sudah
dibubarkan...?" ujar Panji yang agaknya cukup mengenal ilmu tongkat Ki Adiwarsa.
Sehingga, langsung bisa menebak dari mana asal ilmu tongkat pemuda gagah
berpakaian kuning cerah itu.
"Pendekar Naga Putih...!" Panji dan Kenanga mengalihkan perhatiannya dari medan
pertempuran yang hampir berakhir. Mereka mengerutkan kening ketika melihat dua
sosok tubuh berlari-lari sambil melambaikan tangan. Salah satu dari merekalah
yang memanggil julukan Panji.
"Oh, kalian rupanya...," sapa Panji begitu melihat gadis manis dan orang tua
yang pernah ditolongnya dari Raja Ular Tanah.
Kenanga terlihat mengerutkan kening ketika matanya menangkap sosok Pujawati yang
menundukkan wajah. Entah apa yang membuat gadis remaja berwajah manis itu
kelihatan demikian risih" Desah batin Kenanga menduga-duga.
Setelah agak lama meneliti wajah Ki Danara yang langsung menghadapinya, Panji
dapat menduga orang tua itu mempunyai kepentingan dengan dirinya. Tapi, melihat
betapa Ki Danara belum juga berbicara, Panji pun segera bertanya hati-hati.
"Apakah Paman mempunyai keperluan penting denganku...?" tanya Panji dengan suara
perlahan, membuat orang tua itu tersenyum malu.
"Be... nar, Pendekar Naga Putih...," sahut Ki Danara merasa kikuk menghadapi
pendekar muda itu. Lelaki tua itu merasa ada suatu perbawa yang membuat dirinya
menaruh hormat dan segan pada pemuda tampan berjubah putih.
"Katakanlah kalau memang ada yang bisa kulakukan untukmu, Paman...," ujar Panji
lagi dengan suara tetap perlahan dan tidak kedengaran terlalu mendesak.
Ki Danara terdiam sebentar. Kemudian mengerling ke arah Pujawati, yang saat itu
kebetulan juga tengah mengerlingkan ke arahnya. Sehingga pandang mata mereka
beradu, dan Pujawati kelihatan menganggukkan kepala perlahan. Seolah meminta
agar Ki Danara segera mengatakan keperluannya menyusul Panji. Mereka dapat
menyusul pasangan pendekar itu, yang sedang tidak terburu-buru melakukan
perjalanan. Tidak berapa lama setelah Panji dan Kenanga tiba di Desa Kenikir, Ki
Danara serta Pujawati berjumpa dengan mereka.
"Pendekar Naga Putih. Gadis ini bernama Pujawati. Ia putri tunggal Pedang
Pemecah Langit. Dan..., ayahnya telah ditawan oleh Penculik-Penculik Misterius
yang saat ini tengah mengganas."
Akhirnya, dapat juga Ki Danara menyampaikan maksudnya menemui Pendekar Naga
Putih. Meskipun begitu, lelaki tua itu belum berani meminta pertolongan secara
langsung. Tapi, Ki Danara berharap agar pendekar muda itu dapat mengerti maksud
sebenarnya dari perkataan itu.
"Ya. Aku pun sudah mendengar tentang mengganasnya Penculik-Penculik Misterius
itu," gumam Panji menanggapi ucapan Ki Danara. Lalu menoleh ke arah Pujawati.
"Kuharap kau tabah menghadapi cobaan ini, Pujawati. Dan, mudah-mudahan aku bisa
menolongmu dengan menemukan ayahmu. Sayang, sampai saat ini aku belum tahu
tempat tinggal mereka. Selain itu, aku pun belum tahu apa maksud Penculik-
Penculik Misterius itu di balik semua ini...," lanjut Panji menghibur Pujawati
yang merasa lega hatinya, setelah mendengar kesediaan pemuda tampan itu untuk
menolong orangtuanya.
"Terima kasih...," hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Pujawati.
Merasa pembicaraan itu telah cukup, Panji kembali mengalihkan perhatiannya ke
arah pertempuran. Tapi, pertempuran itu rupanya telah selesai, dan pemuda gagah
berpakaian kuning cerah telah menghabisi semua perampok yang mengganas di Desa
Kenikir. "Pemuda gagah itu adalah murid Ki Adiwarsa. Sebaiknya, kita menanyakan perihal
gurunya pada pemuda itu...," ujar Panji kemudian melangkah ke arah arena
pertarungan yang telah usai. Di belakangnya mengikuti, Ki Danara dan Pujawati.
Ki Danara sebenarnya agak kaget ketika mendengar pemuda berpakaian kuning cerah
itu murid Ki Adiwarsa. Tapi, lelaki tua itu tidak berkata apa-apa, dan mengikuti
langkah Panji. *** Pemuda gagah berpakaian kuning cerah berdiri tegak, ketika melihat empat sosok
tubuh berjalan menghampirinya. Sikapnya tampak demikian gagah dengan sorot mata
tajam. Tongkat di tangan kanannya tergenggam erat, siap untuk digunakan.
"Hm..., siapa kalian" Apa hendak membalas kematian para perampok busuk itu...?"
tegur pemuda gagah yang tidak lain Malela.
Panji tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pada pemuda gagah itu.
Kemudian, menghentikan langkahnya dalam jarak setengah tombak di hadapan Malela.
"Benarkah aku tengah berhadapan dengan pewaris Tongkat Sakti Ki Adiwarsa...?"
ucap Panji tanpa menjawab teguran Malela. Karena menurutnya itu tak perlu
dijawab, cukup hanya dengan menunjukkan sikap bersahabat pada pemuda gagah itu,
merupakan jawaban maksud baik mereka.
Mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih, Malela terlihat mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Diam-diam ia merasa terkejut, sebab pemuda itu telah
mengenal gurunya dengan baik. Dan, bukan tidak mungkin pemuda itu telah
menyaksikan permainan tongkatnya ketika melawan para perampok. Sehingga, dapat
menduga dengan tepat.
"Hm.... Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, harap kau sebutkan nama dan
partaimu...?" Malela tak menjawab pertanyaan Panji, malah balik bertanya pada
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Namaku Panji, dan aku tidak terikat dengan partai mana pun."
Melihat sikap Malela masih tampak tegang, Panji akhirnya menjawab pertanyaan
pemuda itu untuk menghilangkan ketegangan di antara mereka.
"Hm...," Malela hanya menggumam. Meskipun pemuda tampan berjubah putih telah
memperkenalkan diri, kelihatan Malela masih tetap curiga. Sepasang matanya
menyapu wajah-wajah Ki Danara, Kenanga, dan Pujawati.
"Kisanak...," akhirnya Ki Danara melangkah maju menghadapi Malela. "Kami tahu
kau murid Ki Adiwarsa, dan kau telah membubarkan perguruan untuk mencari gurumu
yang hilang diculik orang. Kami pun mengalami hal yang sama. Gadis ini putri
tunggal Pedang Pemecah Langit, yang baru saja ditawan Penculik-Penculik
Misterius...," jelas Ki Adiwarsa berusaha mencari jalan keluar dari ketegangan
itu dengan memperkenalkan putri gurunya.
Mendengar disebutkannya nama Pedang Pemecah Langtt, wajah Malela tampak
mengendur. Ditatapnya sosok gadis remaja berwajah manis, yang menurut keterangan
orang tua kurus itu putri tunggal pendekar pedang yang tersohor itu.
"Lalu...?" tanya Malela ingin mendengar kelanjutan ucapan Ki Danara.
"Kami ingin agar kau bergabung, untuk mencari orang-orang gagah yang telah
ditawan Penculik-Penculik Misterius itu," sahut Ki Danara melanjutkan.
Mendengar tawaran itu Malela tampak tercenung. Dirinya pun tengah berupaya
mencari gurunya. Pemuda gagah itu pergi mengembara setelah membubarkan
perguruannya, hingga tiba di Desa Kenikir yang kebetulan tengah dilanda musibah.
Kemunculan pemuda gagah itu membuat penduduk desa merasa bersyukur. Karena
dengan kepandaiannya yang tinggi, Malela berhasil melenyapkan perampok-perampok
itu. "Hm.... Apakah kalian sudah mempunyai petunjuk...?" tanya Malela menatap Ki
Danara dengan sinar mata tajam.
Mendengar pertanyaan itu, Ki Danara memalingkan wajahnya ke arah Pendekar Naga
Putih. Sepertinya orang tua itu tidak bisa menjawab pertanyaan Malela, dan
menyerahkan pada Panji.
Panji pun tahu Ki Danara menyerahkan jawaban itu kepadanya. Dan, Malela
mengalihkan perhatiannya pada pemuda tampan berjubah putih, yang tadi mengaku
bernama Panji. "Kami memang belum menemukan petunjuk, Kisanak. Tapi itu bukan berarti kami
menyerah atau tidak mampu. Kami baru akan mulai menyelidiki," ujar Panji datar,
rupanya pemuda tampan itu mulai merasa tidak suka, melihat sikap kaku yang
ditunjukkan Malela pada mereka berempat.
"Apakah kau mempunyai rencana...?" desak Malela lagi tetap masih dengan sikap
kaku. Bahkan, kelihatan pemuda itu seperti sengaja bersikap angkuh. Mungkin
merasa khawatir jika ia langsung menyetujui, keempat orang itu akan memandangnya
rendah. "Untuk saat ini memang belum. Tapi, aku akan mendatangi tokoh persilatan yang
kemungkinan besar akan menjadi korban selanjutnya," sahut Panji setelah terdiam
beberapa saat lamanya, dan menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan Malela.
"Ah, benar sekali, Kakang. Mudah-mudahan perkiraan kita tak meleset, agar tak
sampai kedahuluan Penculik-Penculik Misterius. Pasti kita akan dapat memergoki
mereka...," Kenanga langsung menyambut dengan wajah cerah rencana kekasihnya.
"Menurutmu, siapa kira-kira tokoh yang akan menjadi korban selanjutnya...?"
tanya Malela masih tetap belum tergerak dan tidak menunjukkan ketertarikannya.
Kenanga merasa jengkel dengan sikap pemuda gagah berpakaian kuning cerah itu.
Sepasang matanya menyambar tajam mengungkapkan ketidaksenangan hatinya. Gadis
itu menoleh ke arah Panji, lalu kembali ke sosok Malela.
"Dengar, Kisanak! Pada dasarnya kami tak memerlukan bantuan siapa pun untuk
menyelidiki Penculik-Penculik Misterius! Kalau kau tak suka dan merasa telah
pandai, kami pun tak akan memaksa. Silakan kau cari jalan sendiri untuk
menemukan gurumu itu!" tandas Kenanga. Kemudian menoleh ke arah kekasihnya,
"Ayo, kita pergi, Kakang...."
Panji yang memang tidak ingin membawa beban dalam melaksanakan setiap tugas-
tugasnya, segera mengikuti langkah kekasihnya, setelah berpamitan pada ketiga
orang itu. Biar bagaimanapun, Panji tidak melupakan kesopanan untuk pergi begitu saja tanpa
pamit. Ki Danara dan Pujawati tampak terkejut melihat Pendekar Naga Putih pergi
meninggalkan mereka. Meskipun pemuda tampan itu berjanji untuk mencari Pedang
Pemecah Langit tetap saja hati Ki Danara dan Pujawati merasa kehilangan.
Akibatnya, Malelalah yang mejadi sasaran kejengkelannya.
"Sebagai murid orang pandai, tidak sepantasnya kau bersikap angkuh dan keras
kepala seperti itu, kisanak. Kalau saja kau tahu siapa pasangan pendekar muda
tadi, kau akan menyesali perbuatanmu seumur hidup!" ujar Ki Danara tak senang.
Setelah itu, ia mengajak Pujawati meninggalkan Malela yang terpaku dengan wajah
merah. Rupanya pemuda gagah itu telah menyadari kesalahannya. Itu terlihat dari
perubahan wajahnya yang mendadak murung.
"Paman, tunggu...!"
Menyadari sikapnya tadi tidak memberikan kesan baik pada keempat orang itu,
Malela segera melesat mengejar Ki Danara dan Pujawari.
Mendengar adanya suara langkah kaki di belakangnya, Ki Danara dan Pujawari
menoleh. Kening mereka berkerut ketika melihat sosok Malela bergerak mendatangi.
"Ada apa lagi, Kisanak...?" tegur Ki Danara dengan nada agak tinggi. Rasa
jengkel lelaki tua itu sepertinya belum lenyap. Sebab, pemuda gagah itulah
penyebab kepergian Pendekar Naga Putih, yang bantuannya sangat mereka harapkan.
"Maafkan sikapku yang tidak baik tadi...," ujar Malela begitu tiba di dekat
mereka. Wajahnya tertunduk murung. Jelas terlihat pemuda gagah itu sangat menyesali
perbuatannya. "Hm...," Ki Danara hanya bergumam perlahan. Kemudian, berbalik dan mengajak
Pujawati meninggalkan pemuda itu.
"Paman...!"
Malela yang merasa belum dapat jawaban dari Ki Danara, terkejut melihat tindakan
kedua orang itu. Cepat pemuda itu melesat menyusul mereka.
Ki Danara dan Pujawati terpaksa menghentikan langkahnya dan kembali berbalik
menghadapi pemuda gagah itu.
"Tindakanmu tadi sudah kumaafkan. Lalu, apa lagi yang kau inginkan dari kami..?"
tegur Ki Danara kelihatan rak sabar melihat sikap pemuda itu.
"Aku ingin menggabungkan diri dengan kalian untuk mencari Penculik-Penculik
Misterius itu...," akhirnya keluar juga ucapan yang mengganggu pikirannya.
Malela merasa lega setelah mengeluarkan ucapan itu.
"Hm.... Apakah kau sudah mendapatkan petunjuk...?" tanya Ki Danara hendak
mempermainkan pemuda gagah itu. Karena pertanyaan itulah yang dilontarkan
Malela, saat Ki Danara mengajak pemuda gagah itu bergabung dengannya
Pujawati yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan, merasa kasihan melihat
wajah pemuda itu berubah merah karena menahan malu. Gadis itu pun melangkah maju
untuk menengahi.
"Sudahlah, Paman. Kelihatannya ia benar-benar telah menyesali sikapnya yang
keliru. Sebaiknya kita segera memikirkan langkah selanjutnya...," ujar Pujawati


Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tanda ia menerima pemuda gagah itu bergabung dengannya.
Ki Danara menghela napas panjang. Sebenarnya dirinya tidak bermaksud menolak
uluran tangan pemuda itu. Ia hanya ingin memberi pelajaran pada pemuda yang
bersikap angkuh itu. Akhirnya, lelaki tua itu pun menerima dan mengajak Malela
memikirkan rencana mereka.
"Sebaiknya kita mengikuti apa yang telah dikatakan Pendekar Naga Putih...," ujar
Ki Danara setelah mereka setuju untuk bergabung.
"Pendekar Naga Putih..."!" Malela kelihatan sangat terkejut mendengar Ki Danara
menyebut nama tokoh besar yang menggemparkan itu.
"Ya,. Pemuda barjubah putih yang kau anggap remeh itu adalah Pendekar Naga
Putih...," tandas Ki Danara membuat wajah Malela semakin pucat.
Sepertinya Ki Danara masih hendak melanjutkan ucapannya untuk menekan pemuda
gagah itu. Tapi, Pujawati segera mencegahnya. Dan mengajak mereka mencari tokoh
yang akan menjadi korban penculikan selanjutnya, seperti rencana yang mereka
dengar dari Pendekar Naga Putih.
Ki Danara dan Malela menoleh ke arah gadis remaja itu. Keduanya mengangguk, dan
mengikuti langkah Pujawati meninggalkan Desa Kenikir.
6 "Ke mana tujuan kita, Kakang...?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau
dengan suara agak keras. Saat itu ia tengah berlari di sebelah kanan pemuda
tampan berjubah putih.
"Entahlah. Aku sendiri belum tahu pasti. Tapi, yang jelas kita harus
mengumpulkan nama tokoh-tokoh persilatan golongan atas. Sebab, selama ini
sasaran Penculik-Penculik Misterius itu adalah tokoh-tokoh seperti itu," sahut
pemuda tampan berjubah putih tanpa menghentikan larinya.
Kening dara jelita itu tampak agak berkerut setelah mendengar jawaban itu.
Langkah larinya agak diperlambat kemudian berhenti dan dilanjutkan dengan
berjalan kaki. Sehingga, pemuda baijubah putih ikut menghentikan larinya, dan
menjajari langkah dara jelita itu.
"Apa kau mempunyai nama tokoh yang sekiranya pantas untuk kita datangi?"
tanya pemuda tampan berjubah putih setelah mereka berjalan beriringan, melintasi
jalan berbatu. "Hmmm... aku akan mencoba memikirkannya, Kakang...," sahut dara jelita itu
menoleh sebentar. Kemudian mengalihkan perhatiannya ke jalan yang lurus
membentang di depan.
Pasangan orang muda itu tidak lain Kenanga dan Panji. Mereka menempuh jalan
sendiri, setelah Malela, murid Ki Adiwarsa tidak berkenan untuk bergabung dengan
mereka. Sehingga, dengan sangat terpaksa Panji meninggalkan Ki Danara dan
Pujawati, yang meminta bantuannya untuk menyelidiki Penculik-Penculik Misterius.
Mendengar jawaban kekasihnya, Panji pun terdiam. Otaknya bekerja cepat mengingat
nama-nama tokoh persilatan yang diperkirakan akan menjadi sasaran Penculik-
Penculik Misterius.
"Bagaimana kalau kita mulai dengan mendatangi Pendekar Penakluk Harimau...?"
ujar Kenanga mengusulkan, setelah mengingat sederetan nama-nama tokoh persilatan
golongan putih.
"Pendekar Penakluk Harimau...?" gumam Panji mengulang nama tokoh yang disebutkan
Kenanga, "Hm..., aku tidak begitu mengingatnya. Dari mana tokoh itu berasal?"
tanya Panji yang rupanya belum begitu ingat dengan nama tokoh itu.
"Kalau aku tidak salah mengingat tokoh itu berasal dari daerah Pegunungan Dieng.
Awalnya, tokoh itu seorang pemburu kawakan, yang tidak pernah gagal dalam
melakukan pekerjaannya, meski harus menghadapi harimau sekuat apa pun," jelas
Kenanga setelah mengingat-ingat beberapa saat tentang tokoh itu.
"Hm..., aku ingat sekarang," ujar Panji setelah mendengar keterangan kekasihnya.
"Tapi..., rasanya tokoh itu tidak terlalu istimewa. Padahal, menurutku tokoh-
tokoh yang diculik itu rata-rata memiliki ilmu andalan yang istimewa," lanjutnya
seraya menoleh ke arah dara jelita itu.
"Yaaa...," desis Kenanga tercenung setelah mendengar ucapan kekasihnya. "Kalau
demikian, pasti Penculik-Penculik Misterius itu mempunyai pimpinan yang
memerintahkan mereka. Entah, apa sebenarnya yang diinginkan dari tokoh-tokoh
itu. Yang pasti mereka tidak akan membunuh korbannya. Kalau memang itu yang mereka
inginkan, untuk apa bersusah-payah membawa lari korban dalam keadaan pingsan?"
gumam dara jelita itu berbicara pada dirinya sendiri. Kelihatan Kenanga tengah
memeras otak untuk mengetahui alasan penculikan itu.
Mendengar kekasihnya bergumam seorang diri, Panji pun terpengaruh dengan ucapan
Kenanga. Sebab, pemuda itu pun merasa yakin bahwa Penculik-Penculik Misterius
itu mempunyai tujuan tersembunyi. Dan, kemungkinan besar setelah penculikan itu
berakhir, akan terjadi kekacauan yang lebih hebat! Pikiran itu tiba-tiba saja
menyelinap di benak Panji, membuat pemuda itu agak cemas. Karena ia belum bisa
menebak, bencana apa yang kelak akan menggemparkan dunia.
"Kakang...," tiba-tiba Kenanga memanggil kekasihnya, dan menatap wajah pemuda
itu lekat-lekat. Sepertinya ada sesuatu yang hendak disampaikan, namun gadis itu
masih merasa ragu untuk mengatakannya.
"Kau sudah menemukan nama lain untuk kita datangi...?" tanya Panji, mengira
gadis itu hendak mengusulkan nama seorang tokoh lain.
"Bukan," sahut gadis itu cepat.
"Lalu, apa yang hendak kau sampaikan...?" tanya Panji ketika melihat kekasihnya
tampak ragu menyampaikan sesuatu yang terlintas dalam pikirannya, saat termenung
tadi. "Bagaimana seandainya aku menduga tokoh yang memerintahkan penculikan itu,
hendak menyerap ilmu-ilmu andalan tokoh-tokoh yang diculiknya. Sebab, bukankah
hanya mereka yang memiliki keistimewaan saja yang menjadi korban penculikan?"
ujar Kenanga dengan kening agak berkerut. Agaknya, dara jelita itu kurang yakin
dengan dugaannya.
"Hm...?" Panji bergumam, ketika mendengar dugaan kekasihnya. Pemuda itu menoleh
sejenak menatap wajah jelita di sebelahnya. Kemudian, beralih ke jalan yang
membentang turun naik di depannya.
Kenanga sendiri belum melepaskan tatapan matanya dari wajah pemuda itu.
Rupanya, gadis itu tengah menanti jawaban Panji atas dugaannya itu.
"Rasanya, perkiraanmu itu cukup masuk di akal. Jika benar demikian, kemungkinan
besar para tokoh itu masih selamat, selama ilmunya belum dapat diserap oleh
dalang penculik itu. Seandainya sudah, ya... mungkin saja tokoh-tokoh itu telah
mereka bunuh. Nah, itulah yang aku khawatirkan...," ujar Panji sambil terus
berpikir. "Jadi, kau kurang yakin dengan dugaanku...?" tanya dara jelita itu. Sedikit
kecewa. "Bukan begitu maksudku. Dugaanmu memang perlu diperhitungkan. Tapi, sebaiknya
sekarang kita datangi tokoh yang berjuluk Dewa Tangan Salju. Rasanya, tokoh itu
jauh lebih pantas untuk diculik dan diserap ilmunya...," tukas Panji bukan
sekadar menghibur hati kekasihnya. Tapi, apa yang dipikirkan Kenanga rasanya
memang pantas untuk diperhitungkan. Dan hal itu bukan sesuatu yang mustahil!
"Tapi, apakah Penculik-Penculik Misterius itu berani melakukan, Kakang" Sebab,
kepandaian Dewa Tangan Salju tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh yang telah
mereka culik?" ujar Kenanga yang meragukan para penculik itu berani mendatangi
tokoh puncak seperti Dewa Tangan Salju.
"Memang meragukan. Tapi, tidak ada salahnya jika kita mendatangi tokoh itu.
Sekalian menengoknya...," jelas Panji yang telah menetapkan secara pasti, tokoh
berjuluk Dewa Tangan Salju mempunyai kemungkinan yang sangat besar untuk menjadi
sasaran penculikan. Apalagi, tokoh sakti itu mempunyai ilmu yang sangat
istimewa, hingga dijuluki orang Dewa Tangan Salju.
"Kalau memang Kakang sudah merasa yakin, tunggu apa lagi. Ayo kita datangi tokoh
itu...," sambut Kenanga cepat dan bersemangat.
Kelihatannya, dara jelita itu sudah merasa tidak sabar untuk segera membekuk
penjahat-penjahat yang telah membuat resah rimba persilatan, terutama kaum
golongan putih. Sebab, yang menjadi korban penculikan selama ini adalah tokoh-
tokoh golongan putih. Setelah mendapat kata sepakat keduanya tidak lagi
melanjutkan perjalanan ke selatan. Mereka berbelok dan menerobos hutan,
mengambil arah sebelah barat. Karena, tokoh yang berjuluk Dewa Tangan Salju,
tinggal di sebuah pegunungan di daerah barat.
*** "Hm...."
Kakek bertubuh kurus itu bergumam perlahan. Tubuhnya yang kurus tengah duduk di
atas sebuah batu besar berbentuk pipih. Kelihatannya, kakek itu baru saja
menyelesaikan semadinya. Sedang, sepasang matanya masih terpejam rapat.
Setelah terdiam beberapa saat lamanya dengan telinga bergerak-gerak, kakek itu
pun beranjak bangkit. Tubuhnya terlihat agak bungkuk, mungkin disebabkan usianya
yang sudah sangat tua. Paling tidak, umur kakek itu berkisar sekitar sembilan
puluh tahun lebih. Meski demikian, sepasang matanya terlihat masih sangat bening
dan tajam. Menandakan kekuatan batinnya masih sangat kuat meskipun usianya telah tua.
Bahkan, terkadang sepasang mata itu memancarkan sinar berkilat, pertanda tenaga
dalam yang dimilikinya sudah mencapati titik kesempurnaan.
"Sahabat! Kalau memang ada keperluan denganku, keluarlah! Untuk apa main
sembunyi seperti anak kecil...!" ujar kakek itu dengan hanya sedikit
menggerakkan bibirnya. Namun, suara yang terdengar laksana gaung yang bersahutan
memenuhi penjuru puncak gunung tempat tinggalnya. Nyata sudah tenaga dalam kakek
itu memang sangat luar biasa.
Kakek yang tidak lain Dewa Tangan Salju itu tidak perlu menunggu lama. Sebab,
sebelum gema suaranya lenyap, muncullah tiga sosok tubuh dari balik semak-semak
di depannya. Rupanya, Dewa Tangan Salju sudah dapat menebak dengan tepat tempat
persembunyian orang-orang itu. Buktinya, kakek itu langsung menghadap ke
belakang dari kedudukannya ketika bersemadi. Itu menunjukkan usia yang sudah
sangat tua, tidak membuat pendengarannya berkurang. Malah semakin bertambah
tajam. Kening Dewa Tangan Salju terlihat membentuk kerutan yang cukup banyak, ketika
melihat salah seorang tamunya dipapah oleh dua orang lainnya. Dewa Tangan Salju
segera menduga, salah seorang tamu tak diundangnya itu tengah menderita luka
yang cukup parah!
"Maaf, jika kedatangan kami telah mengganggumu, Dewa Tangan Salju. Tapi, karena
tempat ini paling dekat letaknya dari tempat-tempat lain, terpaksa kami
memberanikan diri datang ke tempat pertapaanmu," ujar salah seorang dari tiga
lelaki berpakaian serba hitam yang berada di sebelah kanan.
"Hm...," Dewa Tangan Salju hanya memperdengarkan gumaman pelan, sambil mengelus
jenggotnya yang panjang dan berwarna putih. Sepasang mata tuanya yang bening dan
tajam, menatap ketiga sosok tamunya dengan penuh selidik.
Sedangkan ketiga sosok tubuh yang rata-rata berpakaian serba hitam itu terus
bergerak maju. Langkah mereka baru berhenti dalam jarak sekitar setengah tombak.
"Apa maksud kalian datang ke tempat pertapaanku...?" tanya Dewa Tangan Salju
sambil tetap meneliti sosok tamunya.
Meskipun sebenarnya, kakek itu sudah dapat menebak maksud kedatangan ketiga
orang itu, tapi pertanyaan itu tetap terlontar dari bibirnya. Padahal, melihat
betapa pucatnya wajah lelaki yang dipapah kedua orang temannya, Dewa Tangan
Salju sudah dapat menduga, orang itu tengah menderita luka yang cukup parah.
"Kami hendak meminta pertolonganmu, Dewa Tangan Salju. Kuharap kau mau bermurah
hati pada kami. Kami datang ke tempat ini, karena tahu kau seorang yang
bijaksana, dan suka mengulurkan tangan menolong orang yang lemah dan memerlukan
bantuan. Itulah sebabnya, kami memberanikan diri datang ke pertapaanmu ini,"
kembali yang menjawab lelaki bertubuh tinggi yang berada paling kanan. Agaknya
ia bertindak sebagai juru bicara dua orang kawannya.
"Hm..., coba terangkan lebih jelas maksud kedatangan kalian. Jangan membuat aku
menduga-duga...," tukas Dewa Tangan Salju sambil tetap mengelus jenggot putihnya
periahan-lahan.
"Jelasnya, kami memohon agar kau mau menolong kawan kami yang terkena pukulan
beracun...," sahut lelaki bertubuh tinggi dengan nada merendah, seperti layaknya
orang yang memerlukan pertolongan. Bahkan, sepasang mata yang sebenarnya tajam
itu, kini terlihat demikian memelas penuh permohonan.
"Hm..., sebenarnya aku tidak begitu pandai dalam hal racun atau pun pengobatan.
Kalian telah datang ke tempat yang kurang tepat. Tapi, karena untuk mencapai
tempat ini kalian telah bersusah-payah. Biarlah, akan kucoba meringankan
penderitaan kawanmu itu...," ujar Dewa Tangan Salju.
"Terima kasih, Dewa Tangan Salju. Sudah kudengar kau seorang yang baik hati dan
suka menolong orang lain...," lelaki itu seraya memperlihatkan senyumnya dengan
wajah berseri. Jelas terlihat, betapa ia sangat gembira setelah mendengar
kesediaan kakek tua itu untuk mengobati luka kawannya.
Tanpa disuruh lagi, keduanya segera melangkah maju, memapah kawannya yang
terluka. Dan, berhenti beberapa langkah di hadapan Dewa Tangan Salju.
"Hm... Sebaiknya langsung kalian bawa ke pondokku. Di sana aku akan lebih
leluasa mengobatinya...," pinta Dewa Tangan Salju membuat kedua orang tamunya
menghentikan gerakan. Karena saat itu mereka mulai merebahkan temannya di atas
rerumputan tebal.
"Ah, kami tidak ingin terlalu merepotkan. Biarlah, di sini saja sudah cukup.
Setelah penderitaan dan rasa sakit kawan kami berkurang, kami akan segera
meninggalkan tempat ini. Rasanya, segan hati kami mengganggumu terlalu lama...,"
sahut lelaki bertubuh tinggi sambil meneruskan gerakannya menurunkan tubuh
temannya di atas rerumputan. Sehingga, Dewa Tangan Salju tidak bisa menolaknya
lagi. Dengan langkah perlahan, Dewa Tangan Salju mendekati ketiga orang tamunya.
Kemudian menekuk kedua lututnya dengan tubuh membungkuk, hendak memeriksa lelaki
yang wajahnya sudah sangat pucat bagaikan mayat. Bahkan, tubuh itu mulai terasa
dingin, persis seperti sesosok mayat.
Tapi..., baru saja Dewa Tangan Salju berjongkok, tiba-tiba orang yang berbaring
itu membuka matanya, dan mendorong kedua telapak tangannya ke tubuh Dewa Tangan
Salju! Sebuah serangan mendadak yang sangat tiba-tiba, dan rasanya tidak mungkin
untuk dihindari meskipun oleh orang sehebat Dewa Tangan Salju!
Ternyata, bukan hanya sosok yang berpura-pura sakit itu saja, yang melontarkan
pukulan hebat berbau harum memabukkan. Bahkan, kedua orang lain yang berdiri
tegak di depan Dewa Tangan Salju, juga melakukan hal yang sama. Sehingga, dalam
sekejap mata saja, Dewa Tangan Salju telah terancam pukulan beracun dari tiga
orang tamu yang tak diundang itu!
Whuuuttt...! "Aaaihhh...!"
Perbuatan ketiga orang itu tentu saja membuat Dewa Tangan Salju terkejut bukan
main. Wajah kakek itu berubah, menggambarkan rasa terkejut yang sangat dalam.
Sadar, untuk menghindari ataupun mengerahkan kekuatan untuk menyambut serangan
licik itu tidak mungkin lagi dilakukan, terpaksa Dewa Tangan Salju nekat
menyambut ketiga serangan maut itu dengan sebisanya. Maka....
Breeeshhh...! Hebat bukan main akibat benturan keras dari tenaga dalam yang saling
berbenturan itu. Udara di sekitarnya bagai berguncang, karena perubahan tekanan
akibat tenaga-tenaga dalam yang saling berbenturan itu!
"Aaahhh..."!"
Dewa Tangan Salju memekik tertahan. Tubuh kakek itu terlempar ke belakang dengan
deras. Darah segar tampak menetes dari mulutnya. Kendati demikian, Dewa Tangan
Salju ternyata masih mampu menahan, dan menghentikan daya dorong itu dengan
berjumpalitan lima kali di udara. Dan, berhasil mendarat dengan kedua kaki di
atas rerumputan.
Bukan hanya Dewa Tangan Salju saja yang terlempar akibat benturan keras itu.
Bahkan, ketiga orang yang ternyata penjahat-penjahat licik itu pun terpental ke
belakang. Beruntung mereka telah menggabungkan tenaga menjadi satu. Selain itu kedudukan
mereka pun sangat baik. Sehingga, daya dorong yang mereka rasakan tidak separah
dan sekuat yang dialami Dewa Tangan Salju.
"Heaaahhh...! "
"Haiiittt..!"
Dua lelaki berpakaian serba hitam yang melancarkan pukulan dengan kuda-kuda
kokoh dan dalam kedudukan berdiri, memekik sambil berjumpalitan dua kali di
udara. Kemudian meluncur turun dengan selamat.
Sebaliknya, lelaki berpakaian serba hitam yang berpura-pura terluka parah,
tubuhnya terbenam ke dalam tanah sedalam satu jengkal. Bukti bahwa dalam keadaan
tak siap pun, kekuatan tenaga dalam di tubuh Dewa Tangan Salju langsung bekerja,
saat merasakan ada hawa asing yang hendak melukai tubuh kakek itu. Jika tidak,
sudah pasti Dewa Tangan Salju hanya tinggal nama saja.
"Kalian... benar-benar licik dan keji...!" desis Dewa Tangan Salju sambil
mendekap dadanya yang terasa agak sesak.
Kakek itu berusaha mengurangi rasa sesak di dadanya dengan menarik napas
berulang-ulang. Sepasang matanya memancarkan sinar berkilat pertanda kemarahan
hatinya atas kelicikan yang dilakukan ketiga orang itu terhadapnya.
Sedangkan ketiga lelaki berpakaian serba hitam yang tidak lain Penculik-Penculik
Misterius, telah bergabung dan siap kembali menyerang. Rupanya, mereka bermaksud


Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak menculik Dewa Tangan Salju. Tapi, karena kepandaian tokoh tua itu tidak
bisa disamakan dengan yang lainnya, mereka pun bersiasat dengan menggunakan
kelicikannya untuk merobohkan kakek itu.
Kini kedua belah pihak saling berpandangan dengan sinar mata tajam. Tatapan Dewa
Tangan Salju menyiratkan kemarahan dan rasa penasaran, sedangkan di pihak lawan
tampak pandang kekaguman bercampur kejengkelan, melihat betapa kakek itu
ternyata masih dapat berdiri tegak dan siap tarung!
7 "Siapa sebenarnya kalian" Dan, mengapa memusuhiku...?" tanya Dewa Tangan Salju
penasaran. Kakek itu merasa tidak mengenalnya, dan tidak bermusuhan dengan
ketiga lelaki berpakaian serba hitam itu. Sebab, tidak ada orang yang menyerang
dengan maksud mencelakai tanpa alasan yang jelas. Itulah, yang ingin diketahui
Dewa Tangan Salju.
"Hm..., tidak perlu kau mengetahui siapa kami. Yang jelas, maksud kedatangan
kami adalah untuk menawanmu. Oleh karena itu, lebih baik kau menyerah saja.
Karena racun yang terkandung dalam pukulan kami tadi telah meresap ke dalam
tubuhmu. Sehingga, tanpa diserang pun kau akan roboh juga nantinya. Sayang, kami tidak
mempunyai banyak waktu dan harus bergegas...," jawab lelaki bertubuh tinggi yang
bertindak sebagai juru bicara, dan Pimpinan Penculik-Penculik Misterius itu.
"Untuk apa kalian bersusah-payah menculik orang setua aku" Percuma saja. Aku
tidak akan sudi mengikuti kemauan kalian sekalipun sudah tertawan...!" tandas
Dewa Tangan Salju dengan wajah mulai dipenuhi bintik-bintik keringat. Kakek itu
merasa tubuhnya mulai terasa panas. Hingga membuat Dewa Tangan Salju sadar
pengaruh racun telah bekerja.
"Nah, kau rasakan sendiri, bukan" Untuk apa lagi melakukan perlawanan. Pada
akhirnya kau pun akan roboh dan dapat kami tawan. Sebaiknya, menyerahlah
daripada membuang-buang tenaga percuma," kembali lelaki itu membujuk Dewa Tangan
Salju, yang kelihatan tengah berusaha melawan pengaruh racun yang mulai menjalar
ke seluruh tubuhnya.
"Manusia-manusia Licik! Lebih baik aku mati daripada harus ditawan kalian...!"
desis Dewa Tangan Salju berang. Usai berkata demikian, kakek itu memutar kedua
tangannya hingga menimbulkan deruan angin dingin. Rupanya, tokoh hebat itu
tengah menyiapkan ilmu andalannya untuk bertahan.
"Tua Bangka keras kepala! Sudah kubilang percuma kau membuang-buang tenaga
menghadapi kami...!" geram lelaki bertubuh tinggi yang kelihatan sangat jengkel
melihat sikap keras kepala Dewa Tangan Salju. Lelaki itu bersiap membekuk kakek
itu, dan menggeser langkahnya ke kanan.
Dua orang temannya bergerak ke kiri dan ke depan. Rupanya, mereka hendak
mengeroyok Dewa Tangan Salju dari tiga arah. Terbukti, mereka terus maju dan
semakin mempersempit lingkaran.
"Heaaahhh...!"
Salah seorang dari lelaki berpakaian serba hitam, yang ada di sebelah kanan Dewa
Tangan Salju memekik sambil melontarkan pukulan beracun.
Whuuusss...! Dewa Tangan Salju sebenarnya lebih suka bertahan, bila keadaan tubuhnya tidak
dalam keadaan terluka seperti sekarang. Tapi, karena ia sadar dalam tubuhnya
telah mengeram racun yang amat kuat daya kerjanya, maka kakek itu berniat
menggebrak lawan secepatnya. Dengan begitu, dirinya bisa segera merobohkan lawan
secepatnya, kemudian mengusir racun yang mengeram di tubuhnya.
"Yeaaahhh...!"
Maka ketika serangari lawan datang, tubuh kakek itu langsung melesat cepat ke
depan menyambutnya. Sepasang tangannya berputar cepat menyerupai baling-baling,
yang menyebarkan hawa dingin menggigil. Itulah, jurus 'Tangan Sarju' yang
menjadi andalannya sejak puluhan tahun silam. Dengan ilmu dahsyat itu pulalah,
kakek itu mengukir namanya di kalangan persilatan. Sehingga dijuluki orang Dewa
Tangan Salju. Tapi, para penculik itu rupanya sangat licik. Melihat kakek itu menyambut
serangannya, lelaki berpakaian serba hitam yang bertubuh sedang tampak menahan
gerakannya, dan melemparkan tubuhnya ke samping. Jelas, lelaki itu merasa gentar
untuk bentrok secara langsung dengan kakek itu. Sehingga, memilih menghindari
sambutan DewaTangan Salju.
"Haiiittt..!"
Penculik yang pertama bergulingan menghindar, penculik kedua yang bertubuh gemuk
melancarkan serangannya dari belakang kakek itu. Sebuah tendangan keras yang
dilepaskannya mengancam punggung Dewa Tangan Salju.
Belum lagi serangan itu sampai dan mengenai sasaran, penculik ketiga sudah
datang menyerbu dengan serangkaian pukulan yang menebarkan bau harum
memabukkan. Jelas, pukulan itu mengandung racun pembius yang sangat kuat.
Jeeeb! Bwettt..! Pukulan dan tendangan kedua pengeroyoknya berhasil dielakkan Dewa Tangan Salju
dengan jalan menundukkan tubuhnya. Kemudian, sepasang tangannya mengibas ke
kiri-kanan, seperti seekor burung besar yang mengepakkan sayapnya di angkasa.
Dukkk, plakkk! "Aaahhh..."!"
Kedua Penculik-Penculik Misterius itu terpekik, merasakan ada hawa dingin yang
amat kuat mengalir ke dalam tubuh melalui lengan dan kaki mereka. Tubuh keduanya
terdorong mundur, hampir terpelanting jatuh! Untunglah keduanya dapat bertindak
cepat dengan melempar tubuh ke belakang, dan mendarat ringan dengan kedua kaki
lebih dulu. "Gila...! Dewa Tangan Salju memang seorang tokoh yang luar biasa sekali! Padahal
ia telah terluka, tapi masih dapat memberikan perlawanan yang berbahaya...!"
desis salah seorang penculik bertubuh gemuk dan berkepala setengah botak. Lelaki
itu mengerahkan tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang menjalar di dalam
tubuhnya. Meskipun Dewa Tangan Salju masih tetap tangguh, seperti tidak merasakan luka
akibat benturan pukulan mereka, tapi para penculik itu tidak merasa gentar.
Mereka kembali membentuk kepungan, dan berlari memutari kakek itu dengan
berganti-ganti arah. Terkadang putaran itu demikian cepat hingga ketiganya hanya
berbentuk bayang-bayang hitam. Sebentar kemudian melambat, hingga sosok mereka
terlihat jelas.
Dewa Tangan Salju berdiri bergoyang-goyang. Beberapa kali terlihat tokoh tua itu
menggelengkan kepalanya. Agaknya, ia merasa pening dengan gerak berputar yang
dilakukan para pengeroyoknya. Kenyataan itu membuat Dewa Tangan Salju sadar,
ketiga lawannya sengaja melakukan gerakan itu untuk mempercepat daya kerja racun
yang mengeram di dalam tubuhnya. Dan, setelah menyadari hal itu Dewa Tangan
Salju pun menjadi geram!
"Iblis-iblis Licik...!" desis kakek itu sambil berusaha mengikuti putaran tubuh
ketiga lawannya. Rupanya, kakek itu hendak mengurangi pengaruh rasa pening pada
kepalanya. "Haiiittt...!"
"Haaattt...!"
Putaran yang makin lama kelihatan semakin menyempit, tiba-tiba pecah! Ketiga
penculik itu berloncatan menerjang Dewa Tangan Salju dari tiga arah. Kali ini
serangan-serangan mereka kelihatan semakin hebat. Semua itu dapat dirasakan
kakek itu dari sambaran angin pukulan yang berciutan memekakkan telinga!
Bettt! Bettt...!
Dua buah pukulan yang membawa bau harum memabukkan lewat mengenai angin kosong.
Sebab, tubuh Dewa Tangan Salju telah bergeser dari tempat semula, dan berusaha
melancarkan serangan balasan dengan jurus-jurus mautnya.
"Ehhh"!"
Dewa Tangan Salju tampak heran ketika gerakannya mulai kacau dan tak terarah.
Bahkan, kepalanya kini berdenyut-denyut menyakitkan. Sadarlah orang tua itu,
bahwa racun yang makin banyak terisap pernapasannya telah membuat pikirannya
terganggu. Sehingga, gerakannya pun menjadi kacau!
"Kurang ajar...!" desis kakek itu geram.
Tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ketiga lawannya yang melihat gerakan
Dewa Tangan Salju mulai tak teratur, makin memperhebat serangan-serangannya.
Tentu saja kakek itu menjadi kerepotan.
Desss, bukkk! Satu dua pukulan mulai mendarat di tubuh kurus Dewa Tangan Salju, membuat
tubuhnya bergoyang dan terhuyung beberapa langkah. Bahkan, setelah lewat lima
puluh jurus, pukulan dan tendangan lawan makin sering mengenai tubuhnya.
Sehingga, Dewa Tangan Salju benar-benar tak berdaya.
Bukkk! "Aaakhhh...!"
Rasa pening yang kian berdenyut membuat Dewa Tangan Salju semakin berkurang
kesigapan dan kegesitannya. Akibatnya, sebuah hantaman telapak tangan salah
seorang pengeroyoknya, telak mengenai dada.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek itu pun terjungkal di atas tanah. Kendati
demikian, ia masih berusaha bangkit sambil menggoyangkan kepalanya berkali-kali,
untuk menghilangkan rasa pening yang membuat pemusatan pikirannya buyar!
"Haaattt...!"
Tapi, ketiga penculik itu tidak memberi kesempatan pada lawan untuk bangkit
berdiri. Ketiganya sudah meluncur dengan serangan masing-masing!
Whuuuttt...! Sambaran angin keras yang membawa bau harum memabukkan datang semakin dekat,
mengancam Dewa Tangan Salju yang hanya bisa terbelalak dengan wajah pucat!
Karena untuk bergerak ia tidak sanggup lagi. Kepalanya terasa semakin berat
bagai diganduli batu besar.
"Heaaattt...!"
Dan, pada saat yang sangat berbahaya bagi keselamatan Dewa Tangan Salju, tiba-
tiba terdengar lengkingan panjang yang menyakitkan telinga. Seiring dengan
lengkingan itu, sesosok bayangan putih dan hijau berkelebat secepat sambaran
kilat di angkasa.
Sehingga.... Breeessshhh....
Plarrr...! "Aaahhh...!"
Terdengar teriak kesakitan ketika sosok bayangan putih dan hijau menyambut
serangan ketiga Penculik-Penculik Misterius. Sehingga, ketiga sosok berpakaian
serba hitam itu terpental ke belakang dengan deras!
Bukkk...! Ketiganya jatuh bergulingan di atas tanah berumput. Sebab, mereka tidak siap
untuk menghadapi lawan yang baru tiba, dan menyelamatkan Dewa Tangan Salju dari
tangan mereka. Meski dengan dada terasa nyeri, ketiga penculik itu bergegas bangkit untuk
melihat orang yang telah menggagalkan serangan mereka yang nyaris berhasil. Dan,
ketiga pasang mata lelaki berpakaian serba hitam itu pun terbelalak, ketika
melihat sesosok tubuh diselimuti lapisan kabut putih keperakan!
"Pendekar Naga Putih..."!" pekik tertahan itu meluncur dari mulut ketiga
Penculik-Penculik Misterius. Wajah mereka kelihatan tegang! Karena mereka sadar
siapa Pendekar Naga Putih!
"Hm.... Rupanya dugaanku tidak meleset! Kalian pasti akan datang ke tempat Dewa
Tangan Salju...!" desis sosok pemuda tampan berjubah putih yang tak lain Panji.
Sepasang matanya menyiratkan kemarahan, membuat ketiga penculik itu melangkah
mundur tanpa sadar. Karena sinar mata itu tak ubahnya mata naga yang mencorong
di kegelapan. Yang datang menyelamatkan Dewa Tangan Salju dari Penculik-Penculik Misterius itu
ternyata bukan hanya Panji seorang. Bayangan hijau yang datang secara bersama
dengan pendekar muda itu, kini berdiri tegak menatap ketiga Penculik-Penculik
Misterius. Sorot mata dara jelita yang tidak lain Kenanga, tampak menyala, memancarkan
kemarahan yang mengeram di dadanya. Tentu saja hati penculik-penculik itu makin
bertambah kecut!
Tak seorang pun dari ketiga penculik itu yang berani membuka mulut. Tampaknya,
mereka masih terkejut dengan kemunculan pemuda itu yang namanya menggetarkan
rimba persilatan. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam
bagai patung batu.
*** "Kenanga, jagalah mereka. Jangan biarkan penculik-penculik itu pergi dari tempat
ini. Aku hendak memeriksa keadaan Dewa Tangan Salju. Mudah-mudahan kakek itu
tidak mengalami luka parah...," ujar Panji pada kekasihnya yang menjawab dengan
anggukan kepala. Lalu, Panji pun bergegas menghampiri sosok Dewa Tangan Sarju
yang saat itu telah jatuh pingsan.
Tanpa buang-buang waktu lagi, Panji membungkuk dan memeriksa tubuh orang tua
itu. Wajah pemuda itu tampak menggambarkan kelegaan. Sebab, luka Dewa Tangan
Sarju ternyata tidak terlalu parah. Memang di beberapa bagian tubuhnya tampak
luka-luka memar. Tapi hal itu tidak akan membahayakan. Demikian pula dengan
racun yang ditemukan Panji di dalam tubuh orang tua itu, juga tidak berbahaya.
Karena hanya untuk membuat kakek itu tak sadarkan diri.
"Bagaimana keadaan Dewa Tangan Sarju, Kakang...?" tanya Kenanga ketika melihat
Panji telah berdiri di sampingnya kembali.
"Tak terlalu mengkhawatirkan. Sekarang tinggal mengurus ketiga penculik biadab
itu...," jawab Panji seraya menatap tajam ketiga sosok tubuh terbungkus pakaian
serba hitam, yang kini telah berdiri tegak dengan menggenggam pedang telanjang!
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Kelak kau akan menyesal tujuh turunan atas
keusilanmu ini...!" geram lelaki bertubuh tinggi kurus menentang pandang mata
pendekar muda itu. Tapi, ia tidak bisa bertahan lama. Sebentar kemudian,
kepalanya sudah tertunduk. Sorot mata pendekar muda itu terlalu kuat membuat
dadanya berdebar bila dipandang berlama-lama.
"Hm.... Kalian yang keparat, Penculik-penculik Hina! Sekarang kalian telah
tertangkap basah, dan tidak mungkin akan kulepaskan begitu saja...!" sahut Panji
sambil bergerak maju mendekati ketiga Penculik-Pencutik Misterius itu.
Kenanga sebenarnya ingin menghadapi ketiga penculik itu, dan menghajar dengan
tangannya sendiri. Tapi, mengingat ketiga orang itu sangat penting artinya bagi
mereka, maka ia pun tidak mau bertindak gegabah. Dibiarkannya Panji menghadapi
ketiga penculik itu. Sedangkan ia sendiri bergerak mundur untuk menjaga Dewa
Tangan Salju yang tergolek pingsan. Agaknya, dara jelita itu merasa khawatir
ketiga penculik itu akan bertindak licik, dan mempergunakan tubuh Dewa Tangan
Salju sebagai sandera untuk dapat meloloskan diri dari Pendekar Naga Putih.
Werrr... werrr...!
Sementara itu, ketiga Penculik-Penculik Misterius sudah bergerak ke tiga arah
sambil memutar senjatanya. Dengungan angin tajam yang ditimbulkan putaran pedang
mereka, membuat dedauan kering beterbangan. Jelas, ketiga penculik itu telah
siap bertarung dengan Pendekar Naga Putih. Sebab, untuk lolos dari pemuda itu
rasanya mustahil!
"Hm...."
Panji bergumam lirih ketika melihat ketiga lawannya sudah mengelilinginya,
membentuk sebuah kepungan. Dengan sepasang mata pemuda itu bergerak mengikuti
langkah kaki mereka. Sedangkan sosoknya tetap tegak dengan kaki terpentang
lebar. "Heaaattt..!"
Beberapa saat kemudian, penculik yang berada di depan pemuda itu mulai membuka
serangan. Kemudian disusul oleh dua orang temannya. Sehingga, Panji terkepung
serangan dari tiga arah sekaligus.
Siiingngng... sing!
Ujung-ujung pedang lawan yang menyambar bagai kilatan petir meluncur dengan
kecepatan tinggi. Rupanya, ketiga penculik itu langsung mengerahkan seluruh
tenaga dan kecepatannya. Karena mereka sadar lawan yang kali ini dihadapinya
bukan sembarangan pendekar. Dan, mereka pun telah mendengar sepak-terjang
pendekar muda itu, yang membuat tokoh-tokoh kaum sesat kalang-kabut dibuatnya,
Sehingga mereka tidak setengah-setengah dalam menggempur pemuda itu.
"Heaaahhh...!"
Bersamaan dengan bentakan keras, tubuh Panji menggeliat menghindari tusukan
pedang yang berkelebat di sekujur tubuhnya. Kemudian, balas menyerang dengan
tamparan dan tendangan yang menimbulkan suara mencicit tajam. Itu menandakan
Panji hendak cepat-cepat menyelesaikan perkelahian dan menahan ketiga penculik
itu. Pemuda itu merasa semakin yakin ada tokoh yang mendalangi penculikan,
terhadap para pendekar terkenal.
Sebentar kemudian, pertarungan berlangsung semakin sengit. Pendekar Naga Putih
benar-benar dibuat repot! Kelihatannya, mereka tidak memberi kesempatan pada
Pendekar Naga Putih untuk membalas serangannya. Semua itu terbukti dari semakin
gencarnya serangan mereka, yang mencecar tubuh pendekar muda itu, pada titik-
titik jalan darah besar yang bisa mengakibatkan kematian bila sampai terkena
tusukan atau bacokan pedang lawan. Panji pun sadar akan hal itu. Dan, berusaha
untuk melindungi bagian-bagian terlemah itu dengan mengelak serta sesekali
menangkis, hingga pedang lawan terpukul balik.


Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika pertempuran menginjak jurus ketiga puluh. Pendekar Naga Putih terlihat
mulai merubah gerakannya. Tubuh pemuda itu bergerak dengan kecepatan yang sukar
ditangkap mata biasa. Sehingga, ketiga lawannya semakin meningkatkan kecepatan
dan kekuatan serangan mereka.
Syuuuttt... Bweeettt...!
"Heaaahhh...!"
Dua batang pedang meluncur deras mengancam pelipis dan tenggorokan pemuda itu.
Cepat Panji merendahkan kuda-kudanya sambil menarik mundur tubuhnya.
Kemudian melenting ke depan seraya melepaskan tendangan ke tubuh tawan.
Bukkk, desss...!
"Aaakhhh...!"
"Ouggghhh...!"
Gerakan yang cepat dan tak terduga itu tidak sempat dihindari lawan. Apalagi,
saat itu tubuh keduanya tengah doyong ke depan. Maka, tendangan keras itu pun
membuat tubuh keduanya terlempar sejauh satu tombak lebih!
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh mereka terbanting ke atas tanah. Darah segar
tampak menetes keluar dari sela bibir keduanya. Meski demikian, mereka berusaha
untuk segera bangkit, saat Panji masih menghadapi penculik yang seorang lagi.
Namun, lawan yang seorang itu tidak terlalu merepotkan. Panji. Sebentar saja,
sebuah hantaman telapak tangannya mendarat di dada lawan!
Desss...! Hantaman keras itu membuat lawan muntah darah, dan terguling sejauh dua tombak.
Dan, penculik yang naas itu kelihatan tidak segera bangkit. Rupanya, hantaman
itu membuat napasnya nyaris putus!
"Haaattt...!"
Pendekar Naga Putih melihat kedua penculik yang terkena tendangannya sudah
bergerak hendak menyerang, segera mengeluarkan teriakan melengking panjang.
Tubuhnya melayang bagai seekor naga yang tengah bermain di angkasa.
Whuuuttt...! Angin dingin menusuk tulang datang menyerbu, ketika pemuda itu mendorong telapak
tangannya bergantian. Rupanya, Panji hendak melumpuhkan lawan-lawannya dengan
pukulan yang hebat.
Mereka sadar akan bahaya yang datang mengancam. Keduanya bergegas
mengambil sesuatu dari balik pakaian masing-masing. Lalu, melemparkannya ke arah
Panji sambil melompat ke samping, bergulingan menjauh.
Trakkk, tringngng, tringngng!
Belasan batang paku beracun berjatuhan ke tanah dengan suara berdentingan.
Meskipun serangan gelap itu tidak membuat Panji terluka, namun kedua penculik
itu dapat menghindar dari serangan yang dilontarkan pemuda itu.
"Hmmm...." Panji yang meluncur turun, bergumam dengan sepasang mata mencorong
tajam, ditatapnya kedua penculik itu sambil menyilangkan kedua lengannya di
depan dada. Pendekar Naga Putih tengah mempersiapkan serangan berikutnya.
*** 8 "Hiaaattt...!"
Diiringi pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih kembali meluncur ke arah
lawan-lawannya. Serangan yang kali ini dilancarkan pemuda itu jauh lebih hebat
dari serangan-serangan sebelumnya. Rasanya, sangat sulit untuk menghindari
gempuran maut yang dilancarkan pemuda berjubah putih.
Kedua penculik itu pun sadar akan kehebatan serangan Pendekar Naga Putih.
Namun, mereka tidak melihat ada jalan lain kecuali menghadapi terjangan maut
itu. "Haaattt...!"
Pedang di tangan penculik-penculik itu berputaran membentuk gulungan sinar putih
yang bergerak turun naik dengan kecepatan mengagumkan! Kemudian, secara
bersamaan meluncur datang menyambut serangan Panji.
Swingngng... swingngng...!
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Panji tidak berusaha menghindar. Sepasang
tangannya yang telah dilindungi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan, digunakan untuk
menyambut sambaran mata pedang lawan. Tentu saja kedua penculik itu terkejut.
Mereka tidak menyangka pendekar muda itu berani menyambut serangan pedangnya
dengan tangan telanjang! Tapi, apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat
mata mereka hampir melompat keluar dari tempatnya.
Trakkk! Trakkk!
"Aaaiii..."!"
Kedua penculik itu terpekik ketika pedang mereka langsung patah terbentur
sepasang lengan yang amat kuat. Padahal, senjata mereka terbuat dari baja
pilihan yang tidak mudah dipatahkan. Tapi, Pendekar Naga Putih ternyata mampu
melakukannya hanya dengan lengan telanjang! Benar-benar sukar dipercaya!
Panji sendiri tidak begitu mempedulikan keterkejutan lawan-lawannya. Tubuhnya
terus meluncur pesat saat tubuh kedua penculik itu terdorong mundur. Kemudian,
sepasang tangannya kembali bergerak dengan pukulan yang cepat dan kuat!
Desss, desss...!
"Huaaakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh penculik-penculik itu terlonjak bagai disentakkan
tangan-tangan raksasa yang tak nampak! Darah segar menyembur keluar membasahi
rumput di bawahnya. Sedangkan tubuh mereka terbanting keras dan terus
bergulingan tanpa mampu dicegah lagi.
Panji melayang turun di dekat tubuh kedua lawannya yang terkapar dengan wajah
pucat. Darah segar kembali keluar saat mereka terbatuk hebat!
Kali ini, mereka tidak akan sanggup lagi untuk bangkit. Namun, sebelum Panji
sempat menotok lumpuh kedua penculik itu, mereka telah memasukkan sesuatu ke
dalam mulutnya. Sebentar kemudian, tubuh keduanya menggelepar seperti ayam
disembelih. Kemudian, diam tak bergerak. Mati.
"Kurang ajar...! Rupanya mereka telah menyiapkan racun mematikan!"
Jelas, mereka lebih takut pada pimpinannya. Dan, lebih baik mati daripada
ditawan pemuda itu. Kenyataan itu membuat Panji jengkel bukan main.
"Aaahhh..."!"
Cepat bagai kilat tubuh Panji berbalik ketika mendengar jeritan kaget. Pemuda
itu kenal betul suara jeritan itu milik kekasihnya. Dan, tubuh Panji segera
melayang ketika melihat Kenanga mendekap wajah dengan kedua tangannya.
"Keparat..!" desis pemuda itu saat melihat sesosok bayangan hitam berlari
menjauh meninggalkan puncak gunung.
Sejenak Panji ragu. Jika dirinya mengejar penculik yang melarikan diri itu,
tentu akan berhasil. Tapi, pemuda itu mengkhawatirkan Kenanga yang kelihatan
masih merintih sambil mendekap wajah dengan kedua telapak tangannya. Dan, ia pun
belum tahu pasti apa yang terjadi dengan kekasihnya" Maka, Panji memutuskan
untuk menolong Kenanga lebih dahulu.
"Hiaaat..!"
Disertai pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur ke arah lawan-
lawannya. Kedua penculik itu pun sadar akan kehebatan serangan Panji. Maka, tidak ada
jalan lain kecuali menghadapi terjangan itu!
"Kenanga, apa yang terjadi..."!" tanya Panji seraya memegang kedua lengan
kekasihnya, dengan maksud untuk menurunkannya dari wajah gadis jelita itu. Tapi
Kenanga mempertahankan, dan tetap mendekap wajahnya kuat-kuat.
Hati Panji semakin bertambah cemas ketika melihat air mata mengalir turun dari
sela-sela jemari tangan kekasihnya. Pemuda itu segera dapat menduga, pada kedua
mata gadis jelita itu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dan, bukan tidak
mungkin jika penculik yang melarikan diri itu telah menaburkan bubuk beracun,
yang bisa mendatangkan kebutaan, mengingat betapa penculik-penculik itu cukup
mahir menggunakan racun.
"Apa yang kau rasakan, Kenanga...?" tanya Panji lagi. Kali ini suaranya
terdengar parau. Karena hatinya sangat cemas melihat kekasihnya masih merintih
sambil tetap menekapkan wajahnya.
"Mataku... panas sekali, Kakang! Pedih... dan sakit..," rintih Kenanga di sela
keluhannya. "Bukalah, agar aku dapat memeriksanya...," sambil berkata demikian, Panji
kembali memegang lengan kekasihnya untuk dijauhkan dari wajah gadis itu.
Kali ini Kenanga tidak menolak. Dibiarkan tangannya turun meninggalkan wajahnya.
Cepat Panji mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan menyalurkan ke kedua
telapak tangan. Lalu, dilekatkan ke mata kekasihnya.
Keluhan Kenanga baru berkurang ketika gadis itu merasakan hawa dingin meresap ke
dalam matanya melalui sepasang telapak tangan Panji. Hingga, akhirnya rasa nyeri
dan panas yang dirasakannya lenyap tak berbekas.
"Bagaimana" Apakah masih terasa panas dan nyeri...?" tanya Panji meminta jawaban
selekasnya. Pemuda itu melihat Kenanga tidak lagi merintih seperti tadi.
"Tidak, Kakang...," sahut Kenanga dengan suara agak parau.
Mendengar jawaban itu, Panji menarik telapak tangannya dari wajah gadis itu
dengan gerakan perlahan.
"Biarkan matamu tetap dalam keadaan tertutup. Jangan sekali-kali membukanya...,"
pesan Panji sebelum kedua telapak tangannya meninggalkan wajah dara jelita itu.
Kenanga hanya menganggukkan kepala mengiyakan.
Dengan langkah perlahan, Panji membimbing kekasihnya menuju pondok
sederhana tempat Dewa Tangan Salju tinggal. Di bahu kiri pemuda itu tampak sosok
Dewa Tangan Salju yang masih belum sadar dari pingsannya.
Begitu memasuki pondok, Panji mendudukkan Kenanga di sebuah balai bambu, dan
memerintahkan gadis itu berbaring dengan mata tetap terpejam. Kemudian Panji
menghampiri balai lain yang letaknya agak sedikit ke dalam, dan membaringkan
tubuh Dewa Tangan Salju. Setelah memeriksa tubuh lelaki tua itu, Panji kembali
ke tempat kekasihnya berbaring. Sebab, keadaan Dewa Tangan Salju tidak
mengkhawatirkan.
Dengan cekatan, Panji mengambil bubuk obat dari dalam buntalan pakaiannya.
Kemudian mencampurnya dengan air yang telah dimasak. Dan, membubuhkannya di
kedua mata kekasihnya yang masih terpejam rapat.
Kenanga yang tahu kekasihnya cukup pandai dalam hal pengobatan maupun jenis-
jenis racun, tidak berusaha memberontak. Apalagi, ketika ia merasakan ada rasa
sejuk yang membuat kedua matanya segar. Sampai akhirnya Panji membalut kain
pengikat kepala gadis itu untuk menutup kedua matanya.
"Berapa lama mataku harus ditutup seperti ini, Kakang...?" tanya Kenanga setelah
merasa Panji selesai membalut matanya dengan kain pengikat kepalanya.
Panji hanya tersenyum, meskipun saat itu Kenanga tidak dapat melihatnya.
Kemudian, menyambut jemari tangan dara jelita itu yang ia tahu tengah mencari-
cari tangannya. Panji membelai punggung tangan kekasihnya.
"Racun yang mengenai matamu dapat mengakibatkan kebutaan. Dan, pengobatan yang
kulakukan bisa memakan waktu tiga hari. Selama itu kau harus tetap dalam
pengawasanku. Dan, jangan sekali-kali melepas penutup kedua matamu. Karena itu
bisa mengganggu cepatnya penyembuhan," jelas Panji sambil menarik napas lega.
"Lalu, selama itu aku harus berbaring di atas balai ini?" tanya Kenanga lagi.
Rupanya salah seorang penculik berhasil melarikan diri, setelah menaburkan bubuk
beracun ke wajahnya.
"Tentu saja tidak. Kau boleh bergerak dan berjalan di dalam pondok. Tapi, tidak
boleh keluar dari pintu pondok. Sebab, cahaya matahari bisa mengganggu dan
memperlambat penyembuhan," jawab Panji kembali memberikan petunjuk agar
penyembuhan dapat berjalan sempurna.
"Hhh... penculik-penculik itu benar-benar licik sekali...!" geram Kenanga yang
merasa dendam atas perbuatan orang itu terhadapnya. Sehingga, dirinya terpaksa
harus tinggal di dalam pondok itu selama kurang lebih tiga hari.
"Apa yang telah terjadi sebenarnya, Kenanga" Mengapa racun itu bisa mengenai
matamu...?" tanya Panji ingin mengetahui, secara jelas kejadian yang sebenarnya.
Kenanga menarik napas berat sebelum menceritakan kejadian itu. Dan, baru
menjawab setelah menghela napas berulang-ulang.
"Sewaktu Kakang tengah mengakhiri perlawanan kedua Penculik-Penculik Misterius
itu, yang seorang lagi kulihat melarikan diri. Tentu saja itu tidak akan
kubiarkan. Maka, aku segera melesat untuk mencegah kepergiannya. Dan, aku tidak
menyangka sedikit pun ia akan berbuat licik untuk menahan langkahku. Sambil
membalikkan tubuh, orang itu mengibaskan lengannya ke arahku. Kurasakan bubuk-
bubuk halus berbau harum menerpa wajahku. Mataku terasa pedih dan panas,
sehingga aku tidak bisa melihat manusia licik itu. Karena rasa panas dan pedih
semakin menggila, maka kututup kedua mataku dengan telapak tangan. Aku terpaksa melupakan penculik itu. Karena, mana mungkin mengejarnya dengan mata
tertutup...?" jelas Kenanga menerangkan kejadian yang menimpanya.
Panji menghela napas panjang setelah mendengar cerita kekasihnya. Ada sedikit
rasa kecewa, karena dirinya tidak berhasil mendapatkan keterangan tentang
pemimpin penculik-penculik itu. Sebab Panji merasa yakin ada orang di belakang
layar yang mendalangi penculikan terhadap tokoh-tokoh persilatan golongan putih.
"Bagaimana dengan kedua lawanmu, Kakang. Bukankah kau sudah dapat melumpuhkan
mereka...?" Kenanga ganti bertanya ketika teringat sebelum kejadian itu, dirinya
sempat melihat kekasihnya telah merobohkan dua penculik misterius.
"Hhh.... Sayang aku gagal mendapatkan keterangan mengenai markas dan pemimpin
mereka. Kedua penculik itu segera menelan pil yang mengandung racun mematikan,
saat aku hendak menawan mereka...," jawab Panji dengan nada kecewa.
Sehingga, Kenanga meremas jemari tangan pemuda itu untuk menghibur kekecewaan di
hatinya. "Biarlah, lain kali kita akan menangkapnya...," ucap dara jelita itu berdesah
perlahan. "Hm.... Aku khawatir mereka akan kembali melakukan penculikan. Sebab, kalau
benar mereka memiliki pemimpin, bisa jadi penculik itu bukan hanya terdiri dari
tiga orang. Tapi, mungkin belasan. Untuk itu, kita harus bertindak cepat agar
tidak kedahuluan mereka...," ujar Panji yang merasa khawatir jika para penculik
itu akan muncul kembali dengan membawa kawan yang lebih banyak, untuk mencari
sasaran lain. "Tapi, bagaimana mungkin, Kakang. Sedangkan mataku baru akan sembuh sedikitnya
tiga hari. Itu yang kau perkirakan, bukan" Lalu, bagaimana kita bisa bertindak
cepat untuk mencegah kejahatan mereka?" bantah Kenanga yang diam-diam sudah
dapat meraba apa yang akan dilakukan kekasihnya. Meskipun demikian, gadis itu
ingin mendengar langsung dari mulut Panji. Bukan hanya sekadar menduga.
"Yahhh... Setelah Dewa Tangan Salju sadar dari pingsannya, aku terpaksa akan
menitipkanmu padanya. Jika harus menunggu tiga hari, aku khawatir mereka sudah
mendapatkan korban-korban baru." jawaban Panji ternyata tidak meleset dari
terkaan dara jelita itu. Meskipun sebenarnya merasa berat, lapi Kenanga sadar
kekasihnya saat itu sangat dibutuhkan orang banyak. Gadis itu pun dapat
memaklumi jalan pikiran pemuda itu.
"Kalau memang itu yang terbaik, aku tidak keberatan kau tinggal dalam beberapa
hari. Tapi, ingat! Bila dalam waktu tiga hari kau belum datang menjemputku, aku
akan menyusulmu," tukas Kenanga seraya menekankan kata-katanya dengan jelas.
Panji tersenyum mendengar gadis jelita itu dapat memaklumi jalan pikirannya.
Tapi, saat ia hendak menjawab, terdengar suara orang mengeluh dari ruang
belakang. "Rupanya, Dewa Tangan Salju mulai sadar dari pingsannya. Aku akan ke sana untuk
melihat dan memberi obat padanya...," tanpa menunggu jawaban Kenanga, Panji
langsung melangkah ke dalam, dan melihat Dewa Tangan Salju hendak bangkit dari
pembaringan. Cepat Panji mencegah.
"Jangan banyak bergerak dulu. Eyang. Sebaiknya, telanlah obat ini untuk
mempercepat pulihnya tenaga Eyang, dan mengusir pengaruh racun yang mungkin
masih tersisa di kepala...," ujar Panji sambil menyodorkan sebuah pil berwarna
putih, yang berguna untuk menyembuhkan luka dalam dan keracunan.
Dewa Tangan Salju yang kesadarannya belum pulih benar, tampak terkejut ketika
melihat seorang pemuda tampan berjubah putih datang mendekat dan menyodorkan
benda bulat berwarna putih salju. Sejenak kakek itu terlihat bimbang, dan
wajahnya diwarnai keheranan besar.
"Di manakah aku..." Aku sudah berada di akherat, dan kau malaikat...?" ujar Dewa
Tangan Salju belum mau menerima obat yang disodorkan Panji. Malah, kakek itu
menatap berkeliling dengan sepasang matanya yang bening dan tajam.
"Eyang berada di pondok tempat tinggal Eyang sendiri. Aku bukan malaikat seperti
yang Eyang sangka. Aku manusia biasa seperti Eyang...," jawab Panji menjelaskan
pada Dewa Tangan Salju yang tampak kebingungan.
Setelah mendengar ucapan Panji, Dewa Tangan Salju mengerjap-ngerjap matanya
beberapa kali. Beberapa saat kemudian, barulah kakek itu dapat mengenali bilik-
bilik dan dinding pondoknya yang terdiri dari papan dan kayu pohon.
"Hm.... Aku ingat sekarang! Kau pasti sosok bayangan putih, yang menyelamatkan
aku dari ancaman pukulan ketiga orang berpakaian serba hitam, bukan" Terima
kasih atas pertolonganmu. Anak Baik. Lalu, ke mana perginya manusia-manusia
licik itu?" tanya Dewa Tangan Salju sambil menatap wajah Panji dengan sorot mata
penuh kagum. Kemudian, sepasang mata tua itu menjelajahi sekujur tubuh pemuda berjubah putih
di depannya. Kerutan di keningnya terlihat semakin dalam.
"Telanlah obat ini, Eyang. Mudah-mudahan kesehatanmu dapat segera pulih...,"
Panji kembali mengangsurkan obat di tangannya.
"Kau siapa, Anak Baik" Tampaknya kau bukan pemuda sembarangan," tanya Dewa


Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangan Salju seraya mengulurkan tangannya menerima obat pemberian pemuda tampan
berjubah putih. Meski tangannya mengambil obat, tapi sepasang mata kakek itu
tidak bergeser dari wajah pemuda di depannya.
Tanpa banyak cakap lagi, dan langsung menaruh kepercayaan penuh pada pemuda
tampan yang belum dikenalnya itu, Dewa Tangan Salju segera menelan obat berwarna
putih, yang langsung memasuki tenggorokannya.
"Selanjutnya Eyang pasti tahu apa yang harus dilakukan...," ujar Panji
mengingatkan, tanpa memberi petunjuk, seperti terhadap orang-orang yang pernah
ditolongnya. Sebab, pemuda itu tahu tokoh hebat dan kawakan seperti Dewa Tangan
Salju tentu mengetahui apa yang harus dilakukannya.
"Hm... sebelum aku melakukan semadi untuk memulihkan tenagaku, maukah kau
berterus terang padaku, Anak Muda...?" tanya kakek itu bernada menuntut.
"Tentu saja, Eyang. Bagiku, tidak ada susahnya berbicara terus terang. Karena
memang tidak ada sesuatu pun yang hendak kusembunyikan. Silakan Eyang bertanya.
Kalau tidak terlalu sulit, mungkin aku akan segera menjawabnya...," tukas Panji
yang rupanya sudah dapat membaca jalan pikiran tokoh kawakan itu. Sebab,
semenjak tadi Panji melihat sepasang mata kakek itu terus merayapi tubuhnya dari
ujung kaki hingga ke ujung rambut.
"Jawablah pertanyaanku. Apakah benar dugaanku, kau pemuda yang dijuluki kaum
rimba persilatan Pendekar Naga Putih...?" tanya Dewa Tangan Salju tanpa
melepaskan pandang matanya dari wajah tampan di depannya.
"Benar, Eyang. Hanya sebuah julukan kosong. Mereka terlalu berlebihan memberikan
julukan itu padaku...," jawab Panji membuat Dewa Tangan Salju tersenyum cerah.
Tampaknya, kakek itu sangat gembira setelah mengetahui siapa pemuda tampan yang
menyelamatkan nyawanya.
"Bagus! Kau memang pantas dipuji dan dihormati orang, Pendekar Naga Putih. Kau
memiliki sifat-sifat yang hanya patut dimiliki seorang pendekar besar. Wajahmu,
sinar matamu, bahkan ucapanmu barusan menandakan kau seorang yang berbudi
tinggi, dan tidak terbuai oleh pujian serta sanjungan orang. Aku benar-benar
bangga padamu, Pendekar Naga Putih...," ujar Dewa Tangan Sarju dengan wajah
berseri. Pujian orang tua seperti Dewa Tangan Salju bukanlah pujian kosong,
sebab pertolongan yang diberikan pemuda itu kepadanya. Tapi, memang benar-benar
keluar dari dalam hati pendekar kawakan itu.
"Jangan membuatku malu, Dewa Tangan Salju. Pujian itu terlalu berlebihan.
Sebagai manusia biasa, aku tentu mempunyai banyak kekurangan. Aku takut jika
sampai lengah oleh pujian-pujian yang memabukkan..," tukas Panji justru makin
membuat Dewa Tangan Salju terkekeh bangga.
"Eyang. Salah seorang Penculik-Penculik Misterius telah berhasil lolos dari
tanganku. Di luar ada kawan wanitaku yang terluka kedua matanya. Aku berniat
menitipkannya pada Eyang selama beberapa hari. Karena aku harus menyelidiki
komplotan penculik itu...," ujar Panji ketika melihat Dewa Tangan Salju sudah
bersiap hendak melakukan semadi. Kemudian, pemuda itu menjelaskan bagaimana
melakukan pengobatan pada diri Kenanga.
Dewa Tangan Salju yang mendengar penuturan Pendekar Naga Putih, tentang
Penculik-Penculik Misterius dan cara melakukan pengobatan terhadap Kenanga,
menganggukkan kepala tanda mengerti. Sebab, apa yang dikatakan Panji sangat
jelas dan terperinci. Sehingga mudah dimengerti. Apalagi, oleh seorang pendekar
kawakan seperti dirinya.
Merasa lega setelah Dewa Tangan Salju mengerti akan apa yang harus dikerjakan,
Panji berpamitan pada tokoh tua itu. Dan berjanji akan datang dalam beberapa
hari lagi. "Semoga kau berhasil, Cucuku...," doa Dewa Tangan Salju ketika Panji bergerak
meninggalkannya. Setelah bayangan tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan, Dewa
Tangan Salju pun segera bersemadi untuk memulihkan tenaganya. Sebentar saja,
kakek itu sudah tenggelam dalam semadinya yang khusyuk.
"Kakang...," panggil Kenanga ketika mendengar suara langkah kaki mendatangi
pembaringan. Panji menangkap jemari tangan kekasihnya dan meremas dengan penuh kasih.
Berat sebenarnya bagi Panji untuk meninggalkan dara jelita yang sangat
dicintainya itu.
Apalagi, dalam keadaan yang masih memerlukan perhatiannya. Tapi, pemuda itu
menguatkan hatinya. Karena mereka adalah orang-orang gemblengan yang memikul
tanggung jawab berat di bahunya.
"Kau akan pergi sekarang, Kakang...?" tanya Kenanga yang rupanya dapat merasakan
melalui remasan jemari kekasihnya.
"Benar, Adikku...," sahut Panji menahan getaran suaranya agar Kenanga tidak
merasa berat melepaskan kepergiannya.
"Pergilah, Kakang. Doaku bersamamu...," ucap dara jelita itu mengantar kepergian
kekasihnya dengan hari tulus.
Panji mengecup lembut kening dara jelita itu. Kemudian beranjak bangkit dan
melangkah keluar pondok Sebentar kemudian, sosoknya telah lenyap di batik
pepohonan lebat.
*** Berhasilkah Pendekar Naga Putih membongkar komplotan Penculik-Penculik
Misterius" Apa sebenarnya yang diinginkan komplotan Penculik-Penculik Misterius
dari tokoh-tokoh persilatan yang diculiknya" Kalau benar ada tokoh lain yang
mendalangi penculikan itu, siapa pula orangnya" Untuk itu, simaklah kelanjutan
Penculik-Penculik Misterius dalam episode: 'Duel Jago-jago Persilatan' .
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Pendekar Budiman Hwa I Eng-hiong 6 Pusaka Para Dewa Karya Lovely Dear Pendekar Pemanah Rajawali 34
^