Pencarian

Jerat Peri Kembangan 2

Pendekar Naga Putih 67 Jerat Peri Kembangan Bagian 2


memegang jemari tangan kekasihnya. Dan meng-
genggamnya erat-erat. Pemuda itu tersenyum saat melihat kelopak mata Kenanga
mengerjap dan terbuka.
"Kakang...," panggil dara jelita itu dengan suara berdesah pelan. Keningnya
tampak dibasahi titik-titik keringat.
"Ya...," sahut Panji seraya meremas perlahan jemari dara jelita itu, sebagai
tanda ia berada di dekatnya.
"Aku haus...," rintih Kenanga lagi disertai erangan lirih.
Wajah jelita itu tampak kemerahan. Karena racun yang berada dalam tubuhnya
kembali bekerja.
Panji pun segera menyodorkan air yang ditampungnya pada selembar daun pisang.
Kemudian didekatkan ke bibir Kenanga yang kelihatan pucat dan kering.
Setelah meneguk habis air yang diberikan Panji,
Kenanga kelihatan agak tenang. Tapi, bukan berarti bahaya telah lewat. Tubuh
dara jelita itu makin bertambah panas. Bahkan pakaian yang dikenakannya mulai
dibasahi peluh yang mengalir deras di sekujur tubuhnya.
"Hebat sekali racun yang terdapat pada jarum-jarum halus itu. Tidak kusangka
wanita iblis itu memiliki keahlian yang cukup tinggi dalam hal racun. Entah dari
mana ia berasal, dan siapa yang telah mendidiknya sampai
demikian lihai...," gumam Panji ketika melihat cara kerja racun itu. Panji pun
sadar satu-satunya jalan untuk mengusir racun di dalam tubuh Kenanga adalah
dengan menggunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
"Kenanga..., kau dengar suaraku....?" tanya Panji mendekatkan wajahnya ke
telinga dara jelita itu, yang kini telah memejamkan kedua matanya kembali.
"Aku dengar, Kakang...," sahut Kenanga setengah berbisik. Kenanga tampaknya
cukup menderita dengan keadaan itu.
"Hm.... Coba kosongkan pikiranmu. Kuasai tenaga dalammu agar tidak melawan
sewaktu aku menyalurkan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' ke dalam tubuhmu. Hanya ini jalan satu-satunya
untuk mengenyahkan racun yang ada dalam tubuhmu. Kau sanggup melakukannya...?"
ujar Panji memberikan petunjuk.
"Aku... sanggup, Kakang...," jawab Kenanga lirih.
"Kalau begitu, bersiaplah...," lanjut Panji. Lalu membantu kekasihnya bangkit
agar mudah menyalurkan tenaga
mukjizatnya ke dalam tubuh Kenanga.
Kenanga tidak membantah ketika Panji menyuruhnya
duduk dalam sikap semadi. Dara jelita itu mengosongkan pikirannya agar tenaga
dalamnya tak melawan saat Panji memindahkan tenaga dalamnya melalui telapak
tangan yang diletakkan ke punggung dara jelita itu.
Tubuh Panji yang duduk dalam sikap semadi di belakang kekasihnya mulai
diselimuti cahaya keemasan. Pertanda
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' mulai menunjukkan
kekuatannya. Dengan perlahan cahaya keemasan itu
bergerak dan berkumpul di kedua telapak tangan pemuda itu. Lalu lenyap ke dalam
tubuh Kenanga. Beberapa saat kemudian, setelah tenaga mukjizat itu berpindah ke dalam tubuh
kekasihnya, Panji melepaskan kedua telapak tangannya perlahan-lahan. Dan
merebahkan tubuh kekasihnya yang telah diselimuti cahaya keemasan.
"Hhh...!"
Panji menghela napas lega melihat cahaya keemasan
itu melebar dan hawa panasnya semakin menyengat kulit.
Ia tahu itu pertanda 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' mulai bekerja. Sekarang ia
hanya tinggal menunggu kesembuhan kekasihnya. Karena tenaga mukjizat itu sanggup
mem-bakar segala jenis racun. Bahkan racun yang paling ganas sekalipun!
Panji tampaknya tidak perlu menunggu terlalu lama.
Daya kerja tenaga mukjizatnya memang luar biasa.
Beberapa saat setelah ia memindahkannya, Kenanga
mulai sadar dan mengeluh perlahan.
Senyum di wajah pemuda tampan berjubah putih itu pun terkembang ketika Kenanga
bangkit dengan wajah segar seperti biasa. Dara jelita itu sudah sembuh dan
terbebas dari pengaruh racun Peri Kembangan.
"Kau kelihatan sudah sehat seperti semula, Kenanga...,"
ujar Panji saat melihat dara jelita itu tersenyum manis.
"Benar, Kakang. Tubuhku terasa segar. Bahkan jauh lebih segar dari biasanya...,"
sahut Kenanga segera bangkit dari pembaringan dan duduk di sebelah kekasihnya.
"Itu karena 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' masih mengalir di seluruh tubuhmu,"
jelas Panji. "Kau benar, Kakang. Aku memang merasakannya...,"
tukas Kenanga setelah terdiam sesaat, seperti hendak meneliti kebenaran ucapan
itu. Apa yang dikatakan pemuda itu memang tidak salah.
Kenanga merasakan ada hawa hangat mengalir di dalam tubuhnya. Hawa mukjizat itu
masih menjaga kalau-kalau ada racun yang tersisa di dalam tubuh dara jelita itu.
"Biarlah untuk sementara kekuatan mukjizat itu berada dalam tubuhmu...," ujar
Panji. Karena ia tahu hal itu sangat baik bagi Kenanga.
"Kita harus segera mencari wanita iblis itu, Kakang. Aku khawatir ia akan
kembali melakukan perbuatan kejinya.
Entah keuntungan apa yang didapatnya dari perbuatan terkutuk itu...?" ucap
Kenanga yang merasa telah cukup kuat untuk melakukan perjalanan jauh maupun
bertempur. Panji tidak menjawab dengan kata-kata. Pemuda itu
hanya mengangguk menyetujui usul kekasihnya. Ia yakin Kenanga sudah pulih
seperti biasa. Maka, Panji segera bangkit dan mengajak Kenanga mencari Peri
Kembangan untuk menghentikan perbuatan biadab wanita cantik
berhati iblis itu.
*** Gadis cantik berpakaian serba merah itu duduk di atas batu bulat di dalam taman.
Sepasang matanya yang bulat bening mengawasi bunga-bunga yang sedang mekar.
Hingga menyebarkan bau harum di sekitar tempat itu.
Kelihatannya gadis cantik itu benar-benar menikmati keindahan alam dl
sekitarnya. "Anyelir, Dewi Pujaanku...."
Suara panggilan mesra bernada rayuan itu menyelusup ke dalam telinga, membuat
gadis cantik itu menoleh dengan raut tak senang. Kelihatannya ia merasa
terganggu dengan kehadiran suara itu.
"Ah.... Kau rupanya, Kakang Japati...," ujar gadis cantik yang tidak lain
Anyelir. Bibirnya yang merah menantang, mengulas senyum manis ketika melihat
seorang lelaki gagah melangkah ke arahnya.
"Maaf, kalau kehadiranku telah membuatmu terganggu, Anyelir...," ujar lelaki
gagah yang bernama Japati masih dengan penuh mesra. Kemudian tubuhnya dijatuhkan
di sebelah Anyelir. Tangannya melingkar di bahu yang hangat itu. "Tidak mengapa,
Kakang. Kehadiranmu tidak mengganggu. Bahkan aku merasa senang sekali...," tukas
Anyelir. Lalu merebahkan kepalanya di dada bidang Japati.
Manja sekali sikap Anyelir terhadap lelaki gagah itu.
Padahal wajah lelaki itu tidak bisa dibilang tampan.
Biasanya Anyelir tidak akan berbuat demikian. Ia hanya menyukai pemuda-pemuda
tampan yang memenuhi
seleranya. Tapi, kali ini tampaknya ia tidak mempedulikan hal itu.
"Syukurlah kalau begitu. Tadinya aku merasa cemas ketika tidak menemukanmu di
dalam rumah. Kukira kau telah pergi karena tidak suka hidup bersamaku...,"
lanjut Japati, mengecup lembut rambut Anyelir yang berbau harum.
Anyelir tidak menanggapi ucapan itu. Hanya meng-
gesekkan kepalanya ke dada bidang Japati, bagai seekor kucing yang hendak
bermanja kepada majikannya.
Japati menarik napas dalam-dalam mencium bau harum tubuh Anyelir. Deru napasnya
terdengar lebih cepat.
Rupanya bau tubuh gadis cantik itu telah membuat
gairahnya bangkit. Maka ditariknya tubuh lembut itu ke dalam pelukannya.
Kemudian membisikkan sesuatu ke
telinga gadis itu.
"Iiih...! Bukankah kita sudah melakukannya beberapa kali dalam semalam...?"
Terdengar suara manja Anyelir ketika mendengar
bisikan Japati. Kendati berkata demikian, namun bibirnya menyunggingkan senyum
menantang, membuat lelaki
gagah itu semakin tidak sanggup menahan gejolak dalam dadanya.
"Salahmu sendiri. Mengapa kau demikian cantik dan mempesona...," tukas Japati.
Kemudian tubuh ramping itu dipondongnya tanpa
mempedulikan pekikan manja yang mencela per-
buatannya. Gadis cantik itu dibawanya ke dalam rumahnya yang merupakan bangunan
megah. Tampaknya Japati
merupakan orang terhormat dan banyak memiliki harta.
Anyelir memperdengarkan kekehnya yang genit. Ia tidak berusaha melepaskan diri.
Dan membiarkan lelaki gagah itu melakukan apa yang diinginkannya.
Sebentar kemudian, tubuh keduanya lenyap di balik
pintu kayu tebal yang berukir indah. Hanya dinding-dinding kamar tempat mereka
berada yang tahu perbuatan
manusia berlainan jenis itu.
Japati memang bukan orang sembarangan di kadipaten itu. Ia adalah penguasa di
tempat itu, yang dengan sikapnya sanggup menghitamputihkan segala sesuatu.
Japati seorang adipati yang ditakuti penduduk daerah itu.
Agaknya alasan inilah yang membuat Anyelir menyerahkan diri sepenuhnya kepada
lelaki setengah baya itu. Tentunya ia mendapat keuntungan yang telah
dipikirkannya masak-masak. Kalau tidak, mana mungkin wanita cantik itu mau
menyerahkan dirinya pada Adipati Japati yang wajahnya tidak bisa dibilang
tampan. Bahkan mendekati buruk dan bengis.
Tanpa sepengetahuan Japati dan Anyelir, sepasang
mata tajam sempat melihat mereka memasuki kamar
paling besar di dalam bangunan megah itu. Ada kilatan marah dan benci dalam bola
mata sosok tubuh tegap yang bersembunyi di balik dinding ruangan besar itu. Apa
yang dilakukan Anyelir bersama Adipati Japati telah mem-bangkitkan rasa cemburu
di hatinya. "Perempuan laknat...!" desis pemilik sepasang mata tajam itu. Kilatan dendam
tersirat dalam pandang
matanya. "Rupanya bukan cuma aku yang mendapatkan cintanya! Dasar perempuan
rendah...!"
Setelah menumpahkan kemarahannya melalui makian
dan cercaan, pemilik sorot mata tajam itu bergerak meninggalkan tempat itu.
Langkahnya demikian hati-hati.
Sepertinya ia merasa khawatir kehadirannya akan
diketahui kedua orang itu. Ia sangat maklum kedua orang yang diintainya sejak
dari dalam taman merupakan orang-orang terlatih yang bisa mendengar suara
langkah kaki. Sosok itu baru melangkah biasa setelah agak jauh.
Kemudian bergegas masuk ke dalam kamar yang cukup
besar. Dan lenyap di balik pintu tebal berukir.
*** Cahaya kemerahan tampak menghiasi kaki langit
sebelah barat. Tak berapa lama kemudian, pijarnya lenyap tertutup kegelapan.
Rembulan pun muncul menghiasi
malam. Bintang-bintang yang berkerlip jenaka ber-
gantungan di langit kelam, membuat suasana malam
demikian indah dipandang mata.
Di bawah pancaran cahaya bulan yang gemerlap tampak sesosok tubuh bergerak
menuju taman yang terletak di belakang rumah Kadipaten Banjaran. Dari sikapnya
yang hati-hati, mudah ditebak kalau kedatangannya di tempat itu tidak ingin
diketahui orang.
"Kasihan.... Apa kau terlalu lama menungguku, Ganajaya...?" tegur sosok tubuh
itu dengan mesra.
Kali ini ia tidak takut-takut lagi untuk menunjukkan dirinya. Kedatangannya
memang hendak menemui sosok tubuh tegap yang tengah duduk termenung di dalam
taman. Sosok tubuh tegap yang sudah pasti seorang lelaki itu tidak menoleh, meskipun
jelas-jelas mendengar teguran itu. Bahkan tetap memandang lurus ke depan saat
sosok tubuh itu melangkah gemulai menghampiri. Lelaki tegap yang dipanggil
Ganajaya itu tampaknya tidak mempedulikan kehadiran sosok tubuh ramping padat
itu. "Hm.... Rupanya kau masih berani juga menemuiku, Perempuan Rendah...!" desis
Ganajaya saat sosok tubuh ramping itu semakin dekat.
Ucapan kasar itu membuat langkah sosok wanita itu
terhenti. Kemudian kembali bergerak dan agak bergegas.
Ia sempat terkejut mendengar ucapan tadi.
"Kau bicara apa barusan, Ganajaya..." Apakah makian itu kau tujukan untukku...?"
tegur gadis bertubuh menggiurkan itu dengan menyembunyikan keheranan dan rasa
penasarannya. Ganajaya tidak menyahut. Tubuhnya langsung bangkit saat wanita itu duduk di
sebelahnya. Tampaknya lelaki tegap itu benar-benar sedang marah. Sampai-sampai
tidak sudi duduk berdampingan dengan gadis bertubuh ramping padat itu.
"Ada apa, Ganajaya..." Sikapmu benar-benar membuatku penasaran! Kalau kau memang
sudah tidak suka
kepadaku, aku akan pergi dari tempat ini. Tapi katakan dulu, apa yang membuatmu
berubah seperti ini" Apakah kata cinta yang pernah kau ucapkan hanya rayuan
karena ingin menikmati tubuhku..." Jawab pertanyaanku,
Ganajaya?" ujar wanita itu dengan suara agak meninggi.
Kelihatannya ia merasa tersinggung dengan sikap
Ganajaya. "Jangan tanya padaku, Anyelir! Coba kau teliti dirimu.
Apakah ucapan manismu juga kau desahkan untuk
menggoda ayahku" Nah, apa jawabmu...?" tukas Ganajaya melemparkan kembali kata-
kata yang diucapkan wanita bertubuh menggiurkan, yang ternyata Anyelir.
Ganajaya adalah putra Adipati Japati, yang merupakan kekasih Anyelir atau Peri
Kembangan. Rupanya wanita kejam itu telah melangkah terlalu jauh. Dengan
beraninya ia menjerat ayah dan anak penguasa Kadipaten Banjaran.
Sungguh sebuah keberanian yang luar biasa!
"Hm.... Katakan terus terang, Ganajaya" Apa maksud ucapanmu?" tanya Anyelir
mencoba menyembunyikan perbuatannya. Ia hendak mencari tahu, sampai sejauh mana
lelaki tegap itu mengetahui hubungannya dengan Adipati Japati.
"Jangan berpura-pura, Anyelir! Kau pikir aku tidak tahu apa yang telah kau
perbuat dengan ayahku" Coba katakan, apa yang akan diperbuat dua orang berlainan
jenis di dalam kamar tertutup" Apakah kau hendak mengatakan kalian tengah
bermain kucing-kucingan di dalam kamar itu?" geram Ganajaya dengan suara
bagaikan kucing terinjak buntutnya.
Hati lelaki tegap itu terasa sakit mendengar wanita yang dicintainya berusaha
menyembunyikan perbuatan kotor-nya. Terlebih lagi dilakukan bersama ayahnya,
lelaki yang seharusnya dihormati Anyelir. Tak dapat dibayangkan betapa sakitnya
luka yang tertoreh di hati lelaki tegap itu.
"Ganajaya...!" pekik Anyelir dengan terisak.
Wanita iblis itu hendak mempergunakan senjata
wanitanya untuk meruntuhkan hati Ganajaya. Air mata itu agaknya berhasil membuat
hati Ganajaya tergerak. Lelaki itu tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat.
Hanya berdiri mematung menatap Anyelir yang menutupi wajahnya dengan bahu
berguncang lembut. Apa yang dilakukan wanita itu membuat Ganajaya tertegun.
"Kau tidak tahu, Ganajaya. Betapa aku melakukannya dengan sangat terpaksa...,"
rintih Anyelir masih tetap menutupi wajahnya. Kelihatannya hati gadis itu sangat
terluka oleh tuduhan Ganajaya.
"Apa... apa maksudmu, Anyelir..." Mengapa kau katakan terpaksa?" tanya Ganajaya
seraya menghampiri gadis cantik itu dan memegang bahunya.
Merasa senjatanya berhasil mengenai sasaran, Anyelir semakin terisak. Tapi tak
setetes air mata pun mengalir membasahi jemarinya. Tangis itu jelas hanya
dibuat-buat. Sayang Ganajaya tidak memperhatikan hal itu. Ia sudah cukup sibuk memikirkan
ucapan Anyelir barusan.
"Aku tidak ingin kau semakin terluka bila kuceritakan hal yang sesungguhnya
terjadi, Ganajaya. Biarlah semua ini kusimpan sendiri. Dan..., selamat
tinggal...."
Setelah berkata demikian, Anyelir membalikkan tubuh hendak meninggalkan tempat
itu. Tapi, Ganajaya tidak membiarkan gadis cantik itu meninggalkannya tanpa
mengatakan apa sebenarnya yang sudah terjadi.
"Kau tidak boleh pergi, Anyelir. Katakan, apa yang sebenarnya telah terjadi" Aku
berjanji akan memaafkan perbuatanmu, dengan syarat kau tidak akan meng-ulanginya


Pendekar Naga Putih 67 Jerat Peri Kembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi...," pinta Ganajaya mencegah kepergian gadis cantik itu.
Mendengar ucapan itu, Anyelir berbalik dan menyurukkan kepalanya ke dalam
pelukan Ganajaya. Sehingga, lelaki tegap itu kelihatan semakin iba, dan membalas
pelukan Anyelir. Bahkan membelai rambut gadis itu dengan penuh kasih sayang.
Untuk beberapa saat suasana menjadi bisu. Hanya
desau angin yang terdengar lembut, ditingkahi gemerisik dedaunan. Kedua insan
itu masih tetap saling berpelukan tanpa kata.
*** 6 "Ceritakanlah kesusahan hatimu, Anyelir. Dengan begitu mungkin akan
kupertimbangkan kembali, apakah kau
pantas dimaafkan atau tidak," pinta Ganajaya setelah gadis cantik yang licik itu
mulai tenang dan tidak terisak lagi.
Pada mulanya Anyelir bersikeras tidak mau menceritakan apa yang dialaminya. Tapi
karena Ganajaya terus memaksa, akhirnya gadis cantik itu menceritakan juga.
"Pada mulanya aku pun kaget...," Anyelir memulai ceritanya. "Ayahmu datang
menemuiku saat aku tengah menyendiri di taman. Entah setan apa yang merasuk ke
dalam tubuhnya ketika melihat aku duduk sendirian. Ia langsung merayu dengan
menjanjikan akan mengabulkan segala keinginanku. Asalkan aku mau melayani nafsu
bejatnya. Tentu saja aku menolak. Ayahmu sangat marah dengan penolakanku. Ia
berkata akan mengusirmu dari rumah ini, dan tidak akan mengakuinya sebagai anak
lagi. Sungguh kaget hatiku mendengar ancaman itu...."
Sampai di situ Anyelir menghentikan ceritanya. Wajahnya menengadah menatap
Ganajaya. Seolah hendak
melihat tanggapan pemuda bertubuh tegap itu.
Ganajaya terkejut bukan main mendengar penuturan
Anyelir. Sedikit pun tidak pernah terpikir ayahnya akan bertindak sejauh itu.
Tubuh pemuda tegap itu menggigil seperti orang terserang demam hebat. Wajahnya
tidak lagi merah, tapi pucat saking marahnya.
"Lanjutkan, Anyelir...," pinta Ganajaya dengan suara bergetar penuh dorongan
emosi yang bergejolak dalam dada.
Sepasang matanya memancarkan kemarahan dan luka
yang dalam. "Sudahlah, Ganajaya. Sebaiknya kita lupakan saja semua itu. Kita tinggalkan
tempat ini, dan hidup bersama jauh dari jangkauan kekuasaan ayahmu. Aku tidak
ingin menyiksamu lebih jauh...," bujuk Anyelir agar Ganajaya tidak perlu lagi
mendengar kelanjutan cerita itu.
"Tidak, Anyelir. Aku harus tahu semuanya. Kau... tidak perlu khawatir...,"
bantah Ganajaya dengan suara bergetar.
Ditariknya napas dalam-dalam untuk menyiapkan kekuatan mendengar kelanjutan
cerita gadis cantik itu.
"Jangan, Ganajaya...!"
Anyelir masih berusaha mencegah keinginan pemuda
tegap itu. Ditatapnya wajah Ganajaya dengan penuh per-mohonan.
"Lanjutkan, Anyelir. Aku ingin tahu apa lagi yang dikatakan tua bangka tak tahu
diri itu untuk membujukmu...?"
ujar Ganajaya dengan nada suara yang mulai menurun, kendati tetap menunjukkan
kekerasan hatinya.
"Baiklah...," desah Anyelir menyerah.
Gadis itu lalu melanjutkan ceritanya. Termasuk ucapan-ucapan Adipati Japati
untuk merayu dirinya agar menuruti keinginan kotor penguasa Kadipaten Banjaran
itu. "Keparat...!" desis Ganajaya dengan mata merah menyala. Kemarahan di dalam
dadanya menyentak kuat bagai gelora ombak samudera, membuat lelaki tegap itu
meringis sambil mendekap dada.
"Ganajaya...!"
Anyelir terpekik kecil ketika melihat lelaki tegap itu tampak menderita sekali.
Tapi, kekhawatiran itu hanya tipu muslihatnya. Jauh di dalam hatinya, Anyelir
tertawa puas melihat kebencian mulai timbul di hati Ganajaya terhadap
orangtuanya. Memang itulah maksudnya masuk ke dalam lingkungan Kadipaten
Banjaran. "Tua bangka itu harus diberi pelajaran! Sungguh tega ia hendak mencampakkan
ibuku untuk mendapatkanmu.
Rasanya ia benar-benar sudah ditunggangi iblis...!" ujar Ganajaya seraya
mengepalkan tinjunya erat-erat
Ucapan itu bukan sekadar ancaman kosong belaka.
Anyelir tahu betul akan hal itu. Bibirnya pun menyunggingkan senyum iblis,
karena rencananya berjalan mulus Anyelir diam menatap wajah yang tengah dilanda
kemarahan hebat itu. Kali ini ia tidak menanggapi dan tidak berusaha menenangkan
lelaki tegap itu. Dibiarkannya Ganajaya menumpahkan semua kemarahannya melalui
ancaman-ancaman berbau maut.
"Aku akan menemuinya, dan memaksa agar semua yang pernah diucapkannya ditarik
kembali. Kalau tidak, terpaksa aku akan bertindak untuk kebahagiaan kita, juga
untuk ibuku...!" ujar Ganajaya seraya menatap langit kelam, sekelam dan sehitam
suasana hatinya saat itu.
Mendengar ucapan itu, Anyelir kelihatan sangat kaget.
Tentu saja hal itu tidak dikehendakinya. Ia harus segera mencegahnya.
"Jangan, Ganajaya! Aku tidak ingin kau melakukan hal itu...!" ujar Anyelir
terdengar agak keras dan penuh tekanan, membuat pandangan lelaki tegap itu
beralih ke raut wajah cantik menggiurkan itu.
"Mengapa, Anyelir..." Bukankah sudah seharusnya aku mengingatkan ayah atas
kesesatannya itu...?" tanya Ganajaya memegang bahu gadis cantik itu, dan
meremas-nya lembut penuh kasih sayang.
"Kau tidak perlu bertindak sejauh itu. Sebaiknya kita lupakan saja yang sudah
terjadi. Marilah...," tukas Anyelir sambil merebahkan kepalanya di dada
Ganajaya. Dan menggesek-gesekkannya dengan penuh kemanjaan.
Perbuatan gadis cantik itu membuat Ganajaya menarik napas panjang. Bau harum
rambut wanita itu serta
kelembutan dan kehangatan tubuh ramping yang melekat erat di tubuhnya, membuat
keinginannya bangkit seketika.
"Anyelir, kekasihku... dewiku...," desah Ganajaya seraya memeluk erat tubuh
lembut yang menawarkan kenikmatan itu. Sebentar kemudian mereka bergerak
meninggalkan taman dengan tubuh saling berpelukan. Dan lenyap di balik pintu
kamar rumah Adipati Japati. Hanya mereka berdua yang tahu apa selanjutnya yang
terjadi di dalam kamar itu.
*** "Kita tidak mungkin membiarkan semua ini berlanjut, Kakang! Sebab, bukan tidak
mungkin perempuan iblis itu akan menguasai kadipaten ini. Kalau sudah demikian,
tidak ada lagi kesempatan bagi kita untuk bertindak...!"
ujar lelaki gemuk berkumis tebal dengan penuh semangat.
Tampaknya ia tengah merasa cemas terhadap sesuatu.
"Apa lagi yang harus kita lakukan, Adi" Kalau adipati sendiri sudah tidak mau
lagi mendengar nasihat kita, tidak ada lagi yang dapat kita perbuat. Menurutku,
kita hanya tinggal menunggu keruntuhan kadipaten ini...," tukas lelaki setengah
baya, yang sebagian rambut di atas telinganya berwarna putih. Kelihatannya
lelaki itu sudah putus asa dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Tidak! Perempuan iblis itu harus segera dilenyapkan.
Atau paling tidak mengusirnya keluar dari lingkungan kadipaten! Kita berdua
harus melakukannya, Kakang.
Karena keutuhan dan keamanan kadipaten ini ada di
tangan kita berdua. Apa pun yang terjadi, kita harus bertindak!" tegas lelaki
gemuk berkumis tebal yang kelihatannya belum berputus asa. Bahkan dalam
kepalanya telah tersusun sebuah rencana.
"Kau mempunyai rencana, Adi...?" tanya lelaki setengah baya yang kelihatan masih
gagah. Lelaki setengah baya ini memang bukan orang
sembarangan. Di dalam lingkungan Kadipaten Banjaran, ia merupakan orang kedua
yang memiliki kekuasaan penuh setelah Adipati Japati. Ia adalah Senapati Bawara,
yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan junjungannya maupun keutuhan
kadipaten itu. "Ya! Sebab, aku tidak ingin ulah perempuan keparat itu semakin menjadi-jadi.
Walau harus mengorbankan nyawa, aku bertekad mencegah kehancuran kadipaten
ini...!" jawab lelaki gemuk berkumis lebat, yang bernama Jipangga dan merupakan jagoan
Kadipaten Banjaran. Mereka
merupakan sahabat baik, dan selalu setia pada junjungannya.
"Aku pun tidak akan ragu berkorban untuk tegaknya kadipaten ini, Adi. Tapi, kita
tidak boleh mengorbankan nyawa sia-sia. Apalagi perempuan iblis itu kabarnya
memiliki ilmu yang tidak rendah. Menurut laporan
beberapa mata-mata yang kusebar, dapat kutarik
kesimpulan kalau wanita cantik menggiurkan itu adalah Peri Kembangan. Sayang aku
terlambat mengetahuinya.
Karena baik Adipati Japati maupun Tuan Muda Ganajaya telah masuk ke dalam jerat
yang dipasang perempuan setan itu. Sehingga, mata dan hati mereka menjadi buta
dan tidak lagi mau mendengar laporanku. Bahkan beliau sangat marah dan mengancam
akan memecatku bila
masih juga menjelek-jelekkan Peri Kembangan...."
Senapati Bawara kelihatan sangat sedih karena laporan-nya ditolak, bahkan
kedudukannya terancam. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan dan hanya
bisa menyesali sikap Adipati Japati.
"Aku pun tidak luput dari ancaman itu, Kakang.
Bayangkan, setelah mendidik Tuan Muda Ganajaya selama sekian tahun, baru kali
ini aku tidak bisa mencegah tindakannya. Bahkan ia memutuskan hubungan guru dan
murid ketika kunasihati agar berhati-hati terhadap perempuan iblis itu. Alangkah
sakitnya hatiku mendengar perkataan Tuan Muda Ganajaya. Kalau menurutkan kata
hatiku, sudah jauh-jauh hari aku meninggalkan kadipaten ini. Karena aku selalu
menentang segala bentuk kejahatan dan berpegang pada keadilan itulah yang
memaksaku bertahan di tempat ini...."
Jipangga memaparkan pengalaman pahitnya yang
hampir mirip dengan pengalaman sahabatnya. Ternyata mereka bukan hanya
memikirkan kepentingan diri sendiri.
Pengabdian mereka jelas bukan karena harta ataupun kedudukan.
"Sekarang katakanlah rencanamu, Adi. Aku akan membantu dengan sekuat tenaga.
Satu hal yang perlu kuingatkan padamu. Apa yang akan kita lakukan nanti, kuharap
jangan diberitahukan kepada orang lain. Biarlah hanya kita berdua yang
mengetahuinya...," ujar Senapati Bawara yang jelas-jelas mendukung rencana
sahabatnya. "Terima kasih, Kakang. Aku benar-benar bangga mempunyai sahabat sepertimu. Yang
memiliki kesetiaan terhadap jabatan," ujar Jipangga seraya menjabat erat jemari
tangan sahabatnya.
Setelah mengetahui sikap sahabatnya, Jipangga segera memaparkan rencana yang
selama ini disimpannya. Tapi, meskipun merasa yakin kalau pembicaraan mereka
tidak ada yang mendengarkan, tetap saja rencana itu mereka atur dengan berbisik-
bisik. "Hm.... Rencanamu cukup bagus, Adi. Sekarang juga akan kusiapkan surat tantangan
untuk Peri Kembangan.
Mengenai pengirimannya, kau tidak usah khawatir. Aku jamin tak seorang pun akan
mengetahuinya kecuali
perempuan iblis itu," ujar Senapati Bawara yang wajahnya terhias cambang bauk
lebat itu. Ia sangat setuju
mendengar rencana sahabatnya. Sehingga, semangatnya bangkit kembali.
"Satu hal yang tidak boleh kau lupakan, Kakang Senapati...," tukas Jipangga.
"Apa itu, Adi...?" tanya Senapati Bawara dengan mengerutkan kening.
"Kau tidak boleh membawa prajurit seorang pun!" jelas Jipangga, mengingatkan
kalau rencana itu hanya boleh diketahui mereka berdua.
"Jangan khawatir, Adi. Akan kuingat baik-baik hal itu...,"
sahut Senapati Bawara cepat Jawaban itu membuat
sahabatnya menarik napas lega.
"Kalau begitu aku pamit dulu, Kakang Senapati. Tengah malam besok aku akan
menunggumu di hutan sebelah
utara kadipaten."
Setelah berkata demikian, Jipangga bergerak meninggalkan tempat kediaman
Senapati Kadipaten Banjaran itu.
"Hati-hati, Adi...," pesan Senapati Bawara mengingatkan saat kawannya menyelinap
melalui jendela. Rupanya per-temuan itu merupakan rahasia yang tidak boleh
diketahui orang.
Tanpa berkata lagi, Jipangga melompat melalui jendela, dan merendahkan tubuhnya
begitu kedua kakinya menginjak tanah. Setelah merasa yakin tidak ada orang yang
melihatnya, tubuh gemuk itu melayang ke atas atap, dan terus bergerak di
keremangan malam.
*** "Kenapa, Adi" Kelihatannya kau begitu gelisah...?"
Senapati Bawara menatap wajah lelaki gemuk di
sebelahnya yang kelihatan tidak bisa berdiri tenang. Sikap yang tidak seperti
biasanya itu membuat lelaki gagah ini tidak bisa menahan keinginannya untuk
bertanya. "Hhh...!"
Lelaki gemuk yang tidak lain Jipangga itu tidak segera menjawab. Bahkan kembali
merubah sikap berdirinya
disertai helaan napas yang menandakan kegundahan
hatinya. Tatapan matanya yang semula tertuju lurus ke depan, beralih ke wajah
lelaki gagah di sebelah kanannya.
"Aku mempunyai firasat jelek, Kakang Senapati. Tapi, aku tidak tahu apa...?"
desah Jipangga disertai tarikan napas yang membuat kening Senapati Bawara
berkerut. "Jujurlah, Adi. Apakah kegelisahanmu karena kau merasa gentar terhadap ilmu Peri
Kembangan yang kabarnya sangat tinggi itu...?" tanya Senapati Bawara.
Pertanyaan itu diajukan bukan karena ingin mengejek.
Tapi, hendak memancing agar mengetahui penyebab
kegelisahan yang melanda perasaan rekannya.
Jipangga yang cukup terkenal dengan ilmu tombak
bergoloknya dalam kalangan persilatan, menoleh agak kaget. Rupanya pertanyaan
itu mengejutkannya. Kerutan di keningnya kembali lenyap ketika melihat wajah
Senapati Bawara. Pada raut wajah yang ditumbuhi brewok lebat itu sedikit pun
tidak didapatinya tanda-tanda hinaan. Hal itu membuatnya sadar kalau pertanyaan
itu bukan dimaksudkan untuk menghinanya.
"Seperti yang telah kita sepakati bersama, berkorban nyawa bukanlah sesuatu yang
perlu kupersoalkan. Aku tidak takut mati, Kakang Senapati! Kegelisahan ini
benar-benar tidak kumengerti" Apakah kau tidak merasakan sesuatu pada
hatimu...?" Jipangga mengajukan pertanyaan itu untuk mengetahui apa yang saat
itu dirasakan Senapati Bawara, yang ia tahu tidak pernah mengenal rasa takut.
"Entahlah, Adi. Yang pasti, ada sesuatu mengganjal di hatiku. Sayang aku tidak
tahu pertanda apa perasaan tidak enak ini...?" sahut Senapati Bawara disertai
helaan napas panjang. Itu membuktikan mereka berdua memang
merasakan sesuatu, meski dengan sikap berlainan. Yang jelas mereka tengah
dilanda kekhawatiran terhadap
sesuatu. Jipangga tidak menanggapi ucapan Senapati Bawara.
Saat itu pandangannya sudah kembali tertuju ke depan.
Sebab dari situlah apa yang mereka tunggu akan muncul.
Senapati Bawara dan Jipangga menarik napas panjang saat angin keras berhembus
mempermainkan rambut dan pakaian mereka. Bahkan sempat membuat lengan
Jipangga yang menggenggam erat tombak bergolok agak bergetar. Tiupan angin yang
menurutnya agak aneh itu membuatnya waspada.
"Jipangga...," panggil Senapati Bawara agak berbisik namun cukup jelas ditangkap
telinga lelaki gemuk itu.
"Apakah kau merasa ada sesuatu yang tengah memperhatikan kita...?"
"Ah"! Kau benar, Kakang," sahut Jipangga berbisik tanpa merubah kedudukannya.
"Rupanya inilah yang sejak tadi membuatku tidak bisa tenang!"
"Katakanlah, Jipangga. Apakah kau percaya akan kejujuran dan sikap gagah Peri
Kembangan...?" tanya Senapati Bawara tetap dengan berdiri tegak dan menatap
lurus ke depan. Tangan kanannya sudah bergerak meraba gagang pedang di
pinggangnya. "Maksudmu...?" Jipangga tidak melajutkan kalimatnya.
Wajahnya kelihatan tegang ketika memikirkan hal itu.
"Ya. Aku curiga Peri Kembangan mengadukan persoalan ini kepada Adipati Jipangga


Pendekar Naga Putih 67 Jerat Peri Kembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atau Tuan Muda Ganajaya.
Bisa celaka kita kalau sampai dugaan itu benar terjadi...!"
desis Senapati Bawara mendadak tegang seperti halnya Jipangga.
Baru saja perkataan Senapati Bawara selesai, tiba-
tiba.... "Hik hik hik...!"
"Keparat...!" umpat Senapati Bawara yang merasa jantungnya nyaris copot. Tawa
yang mirip kekeh kuntilanak itu begitu tiba-tiba datangnya. Dan dalam keadaan
hati tengah dilanda ketegangan memuncak!
"Bedebah...!"
Tubuh Jipangga sampai terlonjak. Tombak bergolok di tangan kanannya diputar
sedemikian rupa dengan
pengerahan tenaga sepenuhnya. Itu dilakukan untuk
menenangkan hatinya yang berdebar keras.
Suara tawa mengekeh berkepanjangan itu mendadak
lenyap. Suasana di dalam hutan kembali hening men-
cekam. Hanya suara binatang malam yang terdengar saling bersahutan.
Senapati Bawara dan Jipangga bertukar pandang
sesaat. Agaknya mereka tidak bisa menebak dari arah mana suara tawa itu berasal.
Karena selain datangnya begitu tiba-tiba, suara tawa itu pun bergaung seolah
datang dari setiap pelosok hutan. Sehingga sulit untuk menemukan sumbernya.
Tapi, mereka tahu siapa yang
mengeluarkan suara tawa itu.
"Peri Kembangan, Perempuan Iblis! Tunjukkan dirimu kalau kau memang datang untuk
memenuhi tantangan
kami! Kuhitung sampai tiga! Kalau kau masih belum
muncul juga, sebaiknya pergi dari lingkungan kadipaten!
Dan, jangan ganggu junjungan kami lagi...!" Jipangga berteriak lantang
mengerahkan tenaga dalamnya, menantang pemilik suara tawa barusan yang mereka
pastikan Peri Kembangan, orang yang mereka tantang untuk bertarung malam itu.
Tapi sampai gema suara Jipangga lenyap dibawa angin, suasana malam tetap sunyi.
Tidak ada tanda-tanda
munculnya sosok yang tengah mereka tunggu-tunggu.
Sampai akhirnya....
"Hik hik hik...!"
Whusss...! Senapati Bawara dan Jipangga melompat ke belakang
ketika suara tawa itu kembali muncul disertai hembusan angin keras. Disusul
dengan melayangnya sesosok tubuh ramping dari atas pohon yang jaraknya sekitar
dua tombak dari tempat kedua lelaki itu berdiri.
Dengan ringan, sosok tubuh ramping itu menjejakkan kaki di atas rumput. Tawanya
masih terdengar berkepanjangan. Sosok yang tak lain Anyelir atau Peri Kembangan
itu menatap tajam wajah kedua penantang-nya. Tak sepatah kata pun keluar dari
bibir menggairahkan itu. Untuk beberapa saat mereka hanya saling tatap dengan
sikap waspada. *** 7 "Hm.... Kaliankah yang telah berani mati mengirimkan tantangan kepadaku...?"
tanya Anyelir seraya menatap kedua tokoh Kadipaten Banjaran dengan senyum sinis.
"Tidak salah!" sahut Senapati Bawara mendahului kawannya.
Kemudian lelaki brewok itu bergerak maju beberapa
langkah. Tangan kanannya masih melekat pada gagang pedang di pinggangnya, yang
setiap saat dapat digunakan untuk menghadapi wanita iblis itu.
"Kami sudah tahu siapa sebenarnya dirimu, Perempuan Keji! Begitu juga dengan
perbuatan kotormu di lingkungan kadipaten. Kami berdua telah bersepakat untuk
menghentikan perbuatanmu...!"
Jipangga menimpali ucapan Senapati Bawara. Lelaki
gemuk itu pun sudah maju beberapa langkah. Tombak
bergolok di tangan kanannya berputaran menimbulkan deruan angin keras.
"Hik hik hik...! Memang sudah sejak semula aku merasa tidak suka kepada kalian
berdua. Sungguh tidak kusangka kalian berani mencari penyakit dengan menantangku
malam ini...," ujar Anyelir yang kelihatan tetap tenang, dan belum menunjukkan
siap bertarung.
Senapati Bawara dan Jipangga saling bertukar pandang.
Mereka agak heran melihat wanita iblis itu tidak terkejut, meski mereka telah
mengetahui latar belakangnya.
Tampaknya perempuan licik itu memang sudah memper-
siapkan segalanya. Sehingga tidak merasa cemas terhadap kedua tokoh Kadipaten
Banjaran itu. Bahkan masih saja memperlihatkan senyum mengejek.
"He, mengapa kalian malah berdiri seperti patung"
Kalau memang ingin bertarung, ayo seranglah...!" tantang Anyelir.
"Keparat, Perempuan Sombong! Tanpa kau suruh pun akan segera kucincang
tubuhmu...!"
Jipangga kelihatannya sudah tidak bisa menahan diri lagi mendengar ejekan
perempuan iblis itu. Begitu ucapannya selesal, lelaki gemuk itu bergerak
merenggang dari Senapati Bawara.
Whuuuk..., whuuuk...!
Jipangga memutar tombak bergoloknya sedemikian rupa hingga memperdengarkan suara
angin menderu-deru.
Lelaki gemuk yang terkenal dengan permainan tombak bergolok itu langsung
mengeluarkan ilmu andalannya. Rupanya ia sadar lawannya bukan tokoh sembarangan.
Jipangga tidak mau menganggap remeh kendati lawannya hanya
seorang wanita.
Melihat Jipangga sudah bergerak dari sebelah kiri, Senapati Bawara pun segera
meloloskan pedangnya.
Kemudian memutar dengan gerak menyilang. Dari suara angin yang ditimbulkannya,
agaknya lelaki brewok itu menggunakan seluruh kekuatannya. Senapati Bawara pun
tidak main-main menghadapi perempuan cantik yang berjuluk Peri Kembangan itu.
"Hm...."
Anyelir semakin melebarkan senyum. Kelihatan ia tak merasa gentar, meskipun
harus menghadapi dua orang jagoan sekaligus. Tubuhnya baru bergerak saat
serangan kedua lawannya hampir tiba.
"Haaat..!"
Tombak bergolok Jipangga bergerak semakin cepat.
Suara teriakannya membuktikan kalau lelaki gemuk itu telah memulai serangannya.
Dalam gebrakan pertama ia langsung mencecar lawan dengan mata goloknya yang
terdapat di ujung tombak.
Bwettt..., bwettt...!
"Bagus...!" puji Anyelir yang memutar goloknya dengan gerakan indah. Beberapa
kali sambaran tombak bergolok Jipangga dapat dielakkan tanpa kesulitan. Bahkan
mulai melancarkan serangan balasan dengan tidak kalah ber-bahayanya.
Whuuut..! Sebuah tamparan yang cepat dan kuat meluncur meng-
ancam kepala Jipangga. Untunglah lelaki gemuk itu sempat menyadari datangnya
bahaya maut. Cepat kepalanya
ditarik ke belakang dengan kuda-kuda rendah. Sehingga, serangan balasan yang
dilancarkan Peri Kembangan
berhasil dielakkan.
Tapi Peri Kembangan tidak memberi kesempatan
kepada lawan untuk menarik napas lega. Serangannya kembali berlanjut. Bahkan
kali ini ia mencecar dengan serangan pukulan dan tendangan yang mengarah
beberapa jalan darah kematian di tubuh Jipangga. Tentu saja lelaki gemuk itu
menjadi kelabakan.
"Haaat...!"
Melihat sahabatnya terdesak, Senapati Bawara me-
luncur dengan putaran pedangnya. Sehingga Peri
Kembangan terpaksa menghentikan desakannya, dan
melompat mundur sejauh satu tombak lebih. Gadis cantik itu tentu tidak ingin
tubuhnya tersayat pedang lawan.
"Gila! Perempuan iblis itu ternyata benar-benar hebat..!"
desah Jipangga menghela napas panjang.
Lelaki gemuk ini seolah-olah merasa dirinya baru saja terbebas dari kematian.
Pada keningnya tampak peluh menitik turun. Rupanya Jipangga sempat dibuat tegang
oleh desakan lawannya tadi.
"Itu sebabnya kita tidak boleh bertindak gegabah, Adi Jipangga," timpal Senapati
Bawara mengingatkan sahabatnya kalau yang diperbuat Jipangga barusan sangat
berbahaya. Jipangga tidak membantah. Ia sendiri menyadari
tindakannya terlalu terburu-buru. Kalau saja Senapati Bawara tidak segera terjun
ke arena, bukan tidak mungkin saat itu ia sudah menjadi korban keganasan Peri
Kembangan. Paling tidak dirinya akan mendapat luka berat. Pengalaman itu membuat
Jipangga berjanji kepada dirinya sendiri untuk lebih memperhitungkan tindakan
selanjutnya. Sementara itu, Peri Kembangan sudah mempersiapkan
pedangnya untuk menghadapi keroyokan jagoan-jagoan kadipaten itu. Sinar putih
berkilauan disertai sambaran angin menderu saat wanita itu menghunus senjata
yang tergantung di pinggangnya. Nampak Anyelir tidak ingin main-main lagi dalam
mengambil tindakan.
"Bersiaplah kalian untuk melayat ke akhirat..!" desah bibir merah menantang itu,
berbau hawa maut!
Kemudian.... "Haiiit..!"
Saat berikutnya, tubuh Peri Kembangan sudah ber-
kelebat cepat disertai putaran sinar pedang yang menderu-deru tak ubahnya angin
ribut. Sehingga suasana yang semula hening mencekam pecah oleh sambaran pedang
wanita sesat itu.
Melihat Peri Kembangan sudah memulai serangannya,
Senapati Bawara dan Jipangga merenggang ke kiri dan kanan. Kedua jagoan
Kadipaten Banjaran itu telah siap menyambut serangan lawan.
"Haaat..!"
"Yeaaa...!"
Dibarengi teriakan yang merobek kesunyian malam,
Senapati Bawara dan Jipangga melesat bersamaan
menyambut serangan Peri Kembangan. Sebentar saja
ketiga tokoh itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit yang
mempertaruhkan nyawa.
Dalam jurus-jurus awal, Senapati Bawara maupun
Jipangga masih sanggup menghadapi serangan lawan yang terlihat sangat ganas.
Bahkan tidak jarang keduanya melancarkan serangan balasan yang juga tidak bisa
dipandang ringan. Tapi ketika Peri Kembangan semakin meningkatkan kecepatan
serangannya, mulailah ruang gerak kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu menyempit.
Hanya sesekali mereka membalas serangan lawan.
"Haiiit...!"
Anyelir kelihatan semakin bertambah ganas! Sambaran-sambaran pedangnya semakin
sering datang mengancam.
Sehingga, Senapati Bawara dan Jipangga dipaksa bermain mundur. Serangan balasan
kedua tokoh itu hampir tidak terlihat lagi. Nampaknya kedua jagoan Kadipaten
Banjaran itu harus mengakui kehebatan lawan.
Peluh membanjir di wajah dan tubuh Senapati Bawara serta Jipangga saat
pertempuran menginjak jurus ketiga puluh. Napas kedua jagoan itu sudah demikian
berat. Mereka benar-benar harus memeras seluruh ilmu dan
tenaga untuk menghadapi ancaman ujung pedang Peri
Kembangan. Dan ketika pertarungan menginjak jurus
ketiga puluh lima....
"Mampusss...!"
Sambil membentak keras, Peri Kembangan melenting
ke udara. Dari atas tubuhnya meluncur turun disertai bacokan pedangnya, bagai
hendak membelah tubuh
Jipangga, orang yang berada di sebelah kirinya.
Whuuut...! "Aaah..."!"
Jipangga memekik ngeri dengan wajah berubah pucat
bagai mayat! Ancaman maut yang datang dengan
kecepatan mengagumkan itu membuat Jipangga tidak
mampu menghindar. Lelaki gemuk itu merasa seolah
kedua kakinya tertanam di tanah dan sukar digerakkan. Ia hanya bisa
membelalakkan mata menanti ajal.
Trang...! Untunglah pada saat yang sangat menentukan itu,
Senapati Bawara bertindak cepat, dengan pedang di
tangannya, lelaki brewok itu nekat memapaki bacokan pedang Anyelir. Bentrokan
keras pun terjadi!
"Aaakh..."!"
Senapati Bawara terpekik kesakitan! Pedangnya ter-
pental dari genggaman. Ternyata tenaga dalamnya masih kalah dua tingkat dari
lawan. Akibatnya, tubuh lelaki brewok itu terjungkal ke belakang dengan lengan
rasanya seperti patah. Sedangkan Peri Kembangan masih datang mengancam, meski
arahnya agak menyeleweng dan
kecepatannya berkurang jauh. Tapi....
Brettt..! "Aaakh...!"
Kendati tidak sampai membahayakan nyawa Jipangga,
tetap saja ujung pedang Peri Kembangan menyerempet pangkal lengan lelaki gemuk
itu. Darah segar pun
memercik saat kulit dan daging pangkal lengan Jipangga terpapas.
Jipangga terhuyung mundur dengan wajah semakin
pucat. Tombak bergoloknya lepas dari genggaman. Lelaki gemuk itu sibuk mendekap
pangkal lengannya yang
terluka. "Tunggu...!"
Peri Kembangan yang semula sudah siap menamatkan
riwayat kedua jagoan Kadipaten Banjaran, terpaksa
menunda gerakannya, dan menoleh ke arah asal suara bentakan itu.
"Ganajaya..."!" desis Anyelir langsung mengenali sosok lelaki tegap yang tengah
berlari ke arah arena
pertempuran. Kening gadis cantik itu agak berkerut ketika melihat belasan orang
berlarian di belakang lelaki tegap itu. Tampaknya Ganajaya tidak datang
sendirian! "Apa yang terjadi, Anyelir...?" tegur lelaki tegap yang memang Ganajaya.
Putra tunggal Adipati Banjaran itu menatap wajah
Anyelir dan kedua lawan gadis cantik itu. Wajah tampan itu tampak kaget ketika
mengenali kedua lawan kekasihnya.
Senapati Bawara dan Jipangga pun kelihatan sangat
terkejut! Cepat keduanya membungkukkan tubuh kepada putra junjungan mereka.
Tapi, di balik kekagetan itu ada rasa lega di hati mereka. Kemunculan Ganajaya
secara tidak langsung telah menyelamatkan mereka dari
kematian. "Tuan Muda...," sapa Senapati Bawara dan Jipangga berbarengan. Kemudian wajah
mereka tertunduk menekuri rerumputan.
"Ada apa ini" Mengapa kalian berkelahi...?" tanya Ganajaya menatap wajah
Anyelir. Sebab hanya gadis cantik itu yang tidak menundukkan kepala. Secara
tidak langsung pertanyaan itu tertuju kepada Anyelir.
"Ganajaya, dari mana kau tahu aku berada di sini...?"
Bukannya menjawab, Anyelir malah melemparkan per-
tanyaan kepada pemuda bertubuh tegap itu. Sedikit pun tidak tersirat kegentaran
maupun kecemasan dalam suaranya.
Ganajaya tidak langsung menjawab. Ia mengalihkan
pandangannya kepada Senapati Bawara dan Jipangga.
Lalu kembali ke wajah cantik Anyelir. Sebab wajah kedua jagoan kadipaten itu
masih juga belum terangkat.
"Aku menemukan surat tantangan di dalam kamarmu,"
jawab Ganajaya pelan. "Mengapa kau tidak menceritakan hal ini kepadaku, Anyelir"
Sehingga, aku terpaksa harus menyusul ke sini. Untunglah surat itu sempat
terlihat olehku. Kalau tidak, entah ke mana aku harus men-carimu?"
"Maaf kalau aku tidak menceritakan tantangan kedua orang berhati busuk itu,
Ganajaya. Aku tidak ingin membuatmu susah. Dan, aku ingin memberi pelajaran
kepada mereka dengan tanganku sendiri," jawab Anyelir tanpa mengalihkan
pandangannya dari wajah tampan Ganajaya.
Sehingga pemuda itu mengalihkan perhatiannya, dan


Pendekar Naga Putih 67 Jerat Peri Kembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memandang kedua pembantu ayahnya dengan sorot mata mengandung kemarahan.
"Katakan, Paman. Apa yang mendorong kalian berbuat seperti ini" Aku ingin
mendengar penjelasan secepatnya...,"
ujar Ganajaya dengan suara tinggi. Lelaki tegap itu marah melihat kekasihnya
hendak dicelakai kedua orang itu.
"Tidak perlu kau bertanya lagi, Ganajaya. Aku sudah tahu apa yang ada dalam
kepala mereka...," Anyelir mendahului sebelum Senapati Bawara atau Jipangga
menjawab pertanyaan itu.
"Apa maksudmu, Peri Kembangan" Kau hendak me-
lempar fitnah kepada kami?" geram Senapati Bawara yang tentu saja menjadi marah
mendengar perkataan Peri
Kembangan. Ia sudah dapat meraba apa yang akan
dikatakan wanita itu tentang diri mereka berdua.
"Hm.... Tidak perlu berpura-pura, Senapati! Aku tahu kalian berdua bersekongkol
untuk menguasai Kadipaten Banjaran. Kehadiranku di dalam llngkungan kadipaten
membuat kalian merasa cemas. Sehingga kalian mengirimkan surat tantangan untuk
melenyapkanku, agar rencana kalian tidak ada yang menghalangi. Nah, apakah
kalian masih mau membantah...?" ujar Anyelir dengan liciknya, membuat wajah
kedua orang itu pucat.
"Keparat busuk! Perempuan iblis...!"
Senapati Bawara gemetar sekujur tubuhnya. Apa yang diucapkan Anyelir bisa
membahayakan mereka. Tentu saja tuduhan itu tidak benar.
Ganajaya sendiri terbelalak mendengar ucaran kekasihnya. Wajah tampannya berubah
merah padam. Tampaknya ia mempercayai perkataan Anyelir. Itu terlihat jelas dari
kemarahan yang ditujukan kepada Senapati Bawara dan Jipangga, tokoh yang telah
mendidiknya dalam ilmu silat.
"Manusia tidak berbudi! Inikah balasan kalian terhadap segala kebaikan yang
telah diberikan ayahku" Mengapa kalian demikian tega mengkhianati kami...?"
bentak Ganajaya.
"Ganajaya, mana mungkin mereka mau mengakui
rencana busuk yang ada dalam batok kepala mereka,"
tukas Anyelir mengejek. "Sebaiknya habisi saja mereka sebelum semuanya
terlambat..."
Ucapan Anyelir itu sepertinya cukup mengena. Kendati masih agak bimbang,
Ganajaya tampak lebih berpihak kepada Anyelir. Perasaan itu tentu saja berkaitan
dengan rasa cintanya pada gadis cantik itu. Sehingga, keputusan yang akan
diambilnya bisa saja salah. Sebab pikiran dan hatinya telah dibutakan oleh
cinta. "Perempuan iblis...! Hatimu benar-benar keji!" desis Senapati Bawara dengan
kemarahan menggelegak.
Kemudian berpaling ke arah putra junjungannya. "Tuduhan itu sama sekali tidak
benar, Tuan Muda. Justru wanita iblis itulah yang bisa menghancurkan kita semua.
Bukan tidak mungkin semua yang dituduhkan kepada kami merupakan rencana yang ada
di dalam kepalanya. Jangan mudah
dipercaya wanita berhati iblis seperti dia...!"
Mendengar perdebatan kekasihnya dengan kedua
pembantu ayahnya, Ganajaya menjadi pusing. Meskipun jelas-jelas lebih berpihak
kepada Anyelir, namun ia belum bisa mengambil keputusan untuk menjatuhkan
tuduhan itu kepada Senapati Bawara dan Jipangga. Ia belum percaya sepenuhnya
kalau kedua orang kepercayaan itu akan tega berkhianat. Sehingga, Ganajaya
bimbang dan belum bisa mengambil tindakan.
Melihat Ganajaya belum juga mengambil tindakan,
Anyelir merasa khawatir pemuda itu akan membawa
mereka semua ke hadapan Adipati Japati. Gadis itu tidak mau mengambil risiko.
Maka, ia berkata kepada Ganajaya.
"Hm.... Kalau kau memang lebih suka aku mati di tangan kedua manusia jahat itu,
baiklah! Biar, akan kuhadapi mereka tanpa meminta bantuanmu!"
Setelah berkata demikian, Anyelir melompat ke arah Senapati Bawara dan Jipangga.
Dan langsung melancarkan serangan maut kepada kedua jagoan kadipaten itu.
"Anyelir, tahan...!"
Ganajaya berusaha mencegah tindakan gadis yang telah membuat dirinya tergila-
gila. Tentu saja ia cemas akan nasib gadis cantik itu.
Tapi, Anyelir tidak peduli. Ia terus menggempur kedua lawannya. Senapati Bawara
dan Jipangga pun terpaksa melakukan perlawanan. Mereka tidak ingin menjadi
korban pedang di tangan lawannya yang menyambar-nyambar
ganas. Pertarungan kembali berlangsung seru.
Ganajaya yang belum tahu kehebatan Anyelir, tidak mau membiarkan gadis cantik
itu celaka di tangan kedua pembantu ayahnya. Lelaki tegap itu segera terjun ke
arena pertempuran setelah tidak berhasil mencegahnya.
"Berhenti...!"
Sambil membentak keras, pemuda tegap itu melancar-
kan serangan ke arah Senapati Bawara. Sehingga lelaki brewok itu terpaksa
melompat jauh menghindari serangan putra junjungannya, karena untuk menangkis ia
merasa segan. Lain halnya dengan Jipangga. Meskipun ia termasuk
abdi kadipaten, tapi telah mendidik Ganajaya dengan ilmu-ilmunya. Ketika pemuda
itu melancarkan serangan ke arahnya, lelaki gemuk itu menjadi tersinggung.
Sehingga tidak lagi memandang Ganajaya sebagai putra junjungannya. Jipangga
langsung melancarkan serangan balasan setelah menghindari serangkaian pukulan
dan tendangan pemuda tegap itu.
Perlawanan Jipangga mendapat tanggapan lain dari
Ganajaya. Walaupun lelaki gemuk itu telah mendidiknya dalam hal ilmu silat, tapi
menurut Ganajaya, Jipangga harus tunduk padanya. Hingga kenyataan yang
sebaliknya itu membuat Ganajaya marah. Maka ia menggempur
Jipangga dengan sungguh-sungguh. Bahkan memerintahkan prajurit yang menyertainya
untuk membantu.
"Tangkap mereka berdua...!" perintah Ganajaya tanpa menghentikan serangannya.
Tanpa diperintah dua kali, belasan prajurit segera berlompatan memasuki arena.
Meskipun yang harus
mereka hadapi orang-orang yang mereka segani, namun Ganajaya merupakan putra
Adipati Japati. Kelak pemuda itulah yang akan melanjutkan tugas junjungan
mereka. Sehingga meski agak terpaksa para prajurit itu lebih mentaati perintah Ganajaya,
walaupun harus menghadapi atasannya.
*** 8 Majunya Ganajaya beserta belasan prajurit kadipaten semakin membuat Senapati
Bawara dan Jipangga kalang-kabut. Mereka harus berjuang mati-matian untuk
menyelamatkan diri dari ancaman senjata lawan. Sayang seberapa keras pun usaha
mereka menyelamatkan diri, tetap saja beberapa serangan pengeroyoknya sempat
melukai tubuh mereka.
"Haiiit...!"
Anyelir tidak mau berlama-lama untuk menghabisi
kedua orang itu. Untuk kesekian kalinya, sambaran
pedangnya kembali datang mengancam Senapati Bawara yang memang berhadapan
dengannya. Whuuut...! Disertai deruan angin tajam, pedang Peri Kembangan mengancam tubuh lelaki brewok
itu. Kali ini Senapati Bawara tidak mungkin dapat mengelak dari kematian.
Karena selain tenaganya telah jauh berkurang, ia pun tidak mempunyai peluang
untuk mengelak.
"Aaa...!"
Senapati Bawara memekik ngeri saat ujung pedang Peri Kembangan siap memenggal
batang lehernya! Tapi....
"Haiiit...!"
Pada saat nyawa Senapati Bawara sudah di ambang
maut, terdengar lengkingan nyaring disusul berkelebatnya sesosok bayangan putih.
Sosok itu langsung menyambut sambaran pedang Peri Kembangan.
Plakkk! "Aaakh...!"
Peri Kembangan yang semula merasa yakin akan dapat melenyapkan Senapati Bawara
kaget bukan main.
Tubuhnya terjajar dan hampir terbanting jatuh. Pedangnya terlepas dari pegangan.
Dan lengan kanannya menjadi lumpuh untuk beberapa saat lamanya.
Senapati Bawara sendiri sempat kaget melihat sesosok bayangan putih tahu-tahu
memapaki serangan Peri
Kembangan. Perasaan lega dan heran merayapi hatinya ketika dilihatnya sosok
bertubuh sedang terbungkus jubah panjang putih berdiri tegak membelakanginya.
"Pendekar Naga Putih...!"
Anyelir kaget bukan main ketika mengenali sosok
berjubah putih yang telah menyelamatkan nyawa Senapati Bawara. Langkahnya
langsung tersurut. Ia sungguh tidak menduga pendekar yang pernah mengalahkannya
muncul mengacaukan rencananya.
"Hm.... Kita bertemu lagi, Peri Kembangan...," ujar pemuda tampan berjubah putih
yang memang Panji.
Wajahnya tetap tenang dengan senyum yang hampir tidak pernah meninggalkan bibir.
Tidak berselisih lama dengan kemunculan Pendekar
Naga Putih, melayang turun sesosok tubuh ramping
terbungkus pakaian serba hijau. Siapa lagi kalau bukan Kenanga yang datang
bersama Panji. Begitu tiba, dara jelita itu langsung menyelamatkan Jipangga,
yang saat itu tengah dikeroyok Ganajaya bersama prajuritnya. Sehingga lelaki
gemuk itu terlepas dari kematian yang siap
merenggutnya. Kemunculan dua orang itu tentu saja mengagetkan
Ganajaya. Terlebih setelah merasakan kehebatan dara jelita berpakaian serba
hijau itu. Kemarahannya pun semakin memuncak. Karena kedua orang itu telah
berani mencampuri urusannya.
"Siapa kalian" Apa kepentingan kalian sehingga berani mencampuri urusanku...?"
bentak Ganajaya yang telah ber-gabung dengan Anyelir. Di belakang mereka tampak
belasan prajurit pilihan dari Kadipaten Banjaran. Mereka siap melindungi putra
junjungannya. "Ganajaya, untuk apa bertanya lagi" Mereka jelas hendak membantu pengkhianat-
pengkhianat itu! Sebaiknya kita bunuh saja mereka semua."
Sebelum Panji dan Kenanga menjawab, Anyelir langsung menyela. Wanita licik itu
tentu saja merasa khawatir jawaban Pendekar Naga Putih dan dara jelita
berpakaian serba hitam itu akan membahayakan dirinya. Ia tidak ingin semua itu
terjadi. Kali ini Ganajaya tidak banyak cakap lagi. Ia sendiri telah menyaksikan betapa
kedua orang kepercayaan ayahnya berani melawan kepadanya. Itu sudah cukup
sebagai alasan untuk menghukum kedua jagoan kadipaten itu.
Maka, lelaki tegap itu segera memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk menangkap
atau membunuh keempat
orang itu. "Tunggu...!"
Melihat gelagat tidak baik, Panji segera berseru keras.
Kendati belum tahu pasti masalah yang terjadi, tapi Pendekar Naga Putih merasa
apa yang dilakukannya tidak keliru. Orang yang menjadi musuh Peri Kembangan
sudah pasti berada di pihak yang benar. Alasan itu membuat Panji tidak merasa
ragu untuk menyelamatkan Senapati Bawara dan Jipangga.
Teriakan, Panji yang lantang dan membuat dada mereka berdebar sempat membuat
gerakan Ganajaya dan
prajuritnya tertunda. Tapi hal itu tidak berlangsung lama.
Karena Anyelir telah kembali berseru.
"Serang...! Tidak ada gunanya mendengarkan perkataan pemuda sombong itu...!"
Mendengar seruan Anyelir, Ganajaya kembali me-
merintahkan pasukannya untuk bergerak maju. Ia sendiri sudah melompat menerjang
Pendekar Naga Putih dengan pedang di tangan.
"Hiaaat..!"
Sadar bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dielakkan lagi, Panji segera
menggeser tubuhnya menghindari sambaran pedang Ganajaya. Dan terus berlompatan
ke kiri dan kanan ketika serangan lelaki tegap itu masih terus ber-kelanjutan.
"Hiaaah...!"
Saat pedang Ganajaya kembali menyambar Panji mem-
bentak keras dan langsung menepis serangan pemuda itu.
Dan.... Plakkk! "Uhhh..."!"
Tubuh Ganajaya terjajar mundur satu tombak. Pemuda itu meringis sambil mengurut
lengan kanannya yang terasa bagai hendak patah. Padahal Panji belum mengerahkan
sampai setengah tenaganya. Sebab dari serangan lelaki tegap itu, Panji sudah
dapat mengukur kekuatan lawan. Ia memang tidak bermaksud melukai pemuda itu.
"Keparat...!" desis Ganajaya yang merasa malu karena dalam sekali gebrak ia
nyaris dipecundangi pemuda
tampan berjubah putih itu. Terlebih kejadian itu berlangsung di depan mata
Anyelir, wanita yang membuatnya mabuk kepayang. Tentu saja kenyataan itu tidak
bisa diterima Ganajaya.
"Mari kita hajar pemuda sombong itu bersama-sama, Ganajaya...," ujar Anyelir
ketika melihat pemuda itu terdiam beberapa saat seraya menatap Pendekar Naga
Putih dengan sorot mata penuh dendam dan kebencian.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Ganajaya langsung mengangguk dan kembali
melompat ke depan. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa, hingga
menimbulkan deruan angin tajam.
Anyelir sendiri sudah menyusul dengan serangannya
yang mengarah jalan darah kematian di tubuh Pendekar Naga Putih. Tampaknya
wanita sesat itu merasa dendam dan ingin segera melenyapkan Panji.
Kali ini Panji tidak hanya sekadar mengelak, tapi mulai membalas dengan tamparan
dan tendangannya. Kendati dengan tangan kosong, namun kelihatan sekali betapa
kedua lawannya menjadi sibuk. Ganajaya dan Anyelir harus menguras kepandaiannya
untuk mengimbangi permainan Pendekar Naga Putih.
*** Sementara itu, Kenanga tengah bertarung dengan
belasan prajurit pilihan Ganajaya. Sebab para prajurit itu hendak mengeroyok
kedua lelaki yang telah lelah dan hampir mati kehabisan tenaga. Tentu saja
Kenanga tidak akan membiarkan kedua lelaki yang ditolongnya itu menjadi korban.
Maka, tanpa banyak cakap lagi, dihadapinya belasan prajurit Kadipaten Banjaran
itu dengan tangan kosong!
Tapi meskipun dara jelita itu hanya menggunakan
tangan kosong untuk menghadapi lawan-lawannya yang bersenjata lengkap, tidak
membuatnya menjadi
kewalahan. Malah belasan prajurit itu yang penasaran!
Sebagai prajurit-prajurit pilihan yang terlatih baik, tentu saja ada rasa malu
dalam hati mereka. Perasaan itu membuat serangan-serangan mereka semakin
bertambah ganas. Kalau semula masih ragu untuk mencelakai dara yang sangat
mempesona itu, sekarang mereka ingin
melenyapkannya secepat mungkin. Tidak ada lagi rasa kasihan yang tersisa.
Kenanga bukan tidak menyadari apa yang dikehendaki para pengeroyoknya. Dari
semakin ganasnya mereka
melancarkan serangan, dara jelita itu sadar mereka meng-hendaki kematiannya.
Kenyataan itu membuat Kenanga merubah gerakannya. Dara jelita itu tidak ragu-
ragu lagi merobohkan mereka dengan pukulan yang berbahaya,
Daya serangannya pun meningkat cepat, dan sepasang tangannya menyambar-nyambar
diselingi tendangan yang mencuat dengan kecepatan kilat
"Haiiit..!"
Plakkk, desss...!
Dua orang lawan yang terlalu bernafsu merobohkan
dara jelita itu terpental muntah darah. Tendangan dan tamparan keras Kenanga
membuat mereka roboh tak
sadarkan diri. Hingga yang lainnya terkejut dan menjadi marah!
"Perempuan celaka...!" geram salah seorang pengeroyok yang langsung melesat ke
depan disertai tebasan pedang.
Tapi.... Bukkk! Sambil menggeser tubuhnya ke kanan, Kenanga
langsung melepaskan tendangan yang telak mengenai
perut lawan. Kemudian masih dilanjutkan dengan
tamparan keras yang membuat tubuh prajurit sial itu terjerembab mencium tanah.
Tubuh itu meregang sesaat sebelum melepas nyawa yang hanya selembar itu.
"Gila...!"


Pendekar Naga Putih 67 Jerat Peri Kembangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Para prajurit lainnya terpekik kaget! Mereka langsung bergerak mundur tanpa
diperintah. Robohnya tiga orang kawan mereka membuat yang lainnya menjadi
gentar. Sekarang baru terbuka mata mereka bahwa dara jelita itu temyata bukan orang
sembarangan. "Hm.... Mengapa berhenti" Bukankah kalian hendak membunuhku" Ayo, majulah...!"
tantang Kenanga seraya tersenyum mengejek.
Tapi, tantangan itu tidak mendapat sambutan. Para
prajurit itu sudah tidak mempunyai keberanian untuk menyerang Kenanga. Mereka
hanya saling berpandangan satu sama lain. Seolah hendak meminta pendapat masing-
masing. Ketika para prajurit itu tidak satu pun berani me-
lanjutkan pertempuran, Kenanga bergerak mundur ke
tempat Senapati Bawara dan Jipangga.
"Bagaimana dengan luka-luka kalian...?" tanya Kenanga.
Dara jelita itu segera membungkuk untuk memeriksa
luka-luka kedua jagoan Kadipaten Banjaran itu. Kenanga menarik napas lega ketika
melihat luka-luka yang diderita kedua lelaki itu tidak terlalu berbahaya.
Setelah memberi pengobatan kepada Senapati Bawara
dan Jipangga, Kenanga mengalihkan perhatiannya ke arah pertempuran yang masih
berlangsung. Saat itu pertempuran Panji dan Peri Kembangan yang dibantu Ganajaya telah
memasuki jurus ketiga puluh. Panji tampak sudah mulai menguasai arena. Melihat
kedua pengeroyok itu sudah hampir tidak mampu membalas
serangan Pendekar Naga Putih, dapat dipastikan kalau dalam beberapa jurus lagi
pertarungan pasti berakhir.
"Haiiit...!"
Saat kedua lawannya sudah benar-benar tidak mampu
membalas serangannya, Pendekar Naga Putih membentak nyaring. Tubuhnya berkelebat
cepat ke arah Peri
Kembangan. Dan....
Plak..., desss...!
"Aaakh...!"
Cepat bukan main serangan Pendekar Naga Putih.
Sekali bergerak, tangan kirinya melancarkan dua buah serangan kilat! Tubuh Peri
Kembangan pun terjungkal memuntahkan darah segar.
"Huakkkh...!"
Anyelir yang mencoba bangkit berdiri kembali
terbungkuk memuntahkan darah kental. Kemudian rebah dengan napas satu-satu.
Wajah cantiknya tampak pucat dengan butir-butir keringat meleleh membasahi
sekujur wajahnya.
"Anyelir...!"
Ganajaya melupakan lawannya melihat wanita yang
dicintainya tergeletak tak berdaya. Langsung saja pemuda tegap itu menjatuhkan
diri berlutut di dekat tubuh Anyelir.
Panji sendiri melangkah menghampiri Peri Kembangan.
Pemuda itu berdiri tegap di hadapan lawannya. Dan
menatap tajam wajah cantik yang kelihatan sangat menderita itu.
"Kau memang hebat, Pendekar Naga Putih...," ujar Anyelir dengan suara payah.
Sepasang matanya menatap sayu wajah pendekar muda itu, membuat hati Panji merasa
iba. "Maafkan aku, Peri Kembangan. Bertahanlah, aku akan mencoba mengobati
lukamu...," ujar Panji seraya membungkuk hendak memeriksa luka Peri Kembangan.
Anyelir terbelalak mendengar perkataan Pendekar Naga Putih. Sedikit pun tidak
diduganya kalau pemuda itu akan berkata demikian.
"Keparat...!"
Mendengar ucapan Panji, Ganajaya serentak bangkit
dan kembali mengambil pedangnya yang tergeletak di tanah. Ucapan Panji
mengingatkan Ganajaya bahwa orang yang melukai kekasihnya masih berada di tempat
itu. Tapi.... "Ganajaya, jangan...!"
Lelaki bertubuh tegap itu tertegun dan menunda
gerakannya. Kemudian kembali berlutut di dekat tubuh Anyelir. Gadis cantik
itulah yang mencegahnya dengan suara lemah.
"Anyelir, dia musuh kita. Aku harus membalas per-lakuannya terhadapmu...," ujar
Ganajaya penasaran. Sebab Anyelir malah mencegah perbuatannya, bukannya
mendorong agar ia membalas dendamnya.
Tapi Anyelir tidak mempedulikan pertanyaan Ganajaya.
Gadis cantik itu kembali menatap Pendekar Naga Putih dengan matanya yang sayu.
"Anyelir...," ujar Panji menyebut nama asli Peri Kembangan, membuat gadis cantik
itu kembali tertegun heran. "Di antara kita tidak ada permusuhan. Kalaupun aku
menentangmu, itu bukan karena aku benci dengan dirimu, tapi perbuatanmu itu yang
harus kucegah. Kejahatanmu yang aku perangi, bukan dirimu....
"Lalu, mengapa sekarang kau hendak mengobatiku...?"
tanya Anyelir ingin tahu.
Di mata gadis cantik itu tidak ada lagi sinar kebencian, yang terlihat justru
kekaguman. Rupanya ucapan Panji telah membuka mata Anyelir pada luasnya
pandangan pendekar muda itu. Gadis itu merasa dirinya sangat kerdil berhadapan dengan
Pendekar Naga Putih yang sekarang ia tahu sangat bijaksana dan tidak membenci
dirinya. "Aku melihat adanya kesadaran dalam pancaran
matamu. Maaf kalau aku telah membuatmu menderita
seperti ini...," jawab Panji.
Ganajaya melirik sejenak. Kemudian kembali me-
mandangi wajah kekasihnya yang semakin pucat. Ada
gumpalan rasa cemburu ketika melihat betapa Anyelir lebih memperhatikan pemuda
berjubah putih itu ketimbang
dirinya. Tapi Ganajaya tidak berkata apa-apa. Ia hanya membisu tanpa kata.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," tolak Anyelir ketika Panji hendak
mengobatinya. "Aku sudah tidak mungkin dapat tertolong lagi. Pukulanmu terlalu
berat. Rasanya telah membuat remuk bagian dalam tubuhku.
Kau benar-benar berhati mulia, Pendekar Naga Putih.
Aku... ka... gum padamu...."
"Anyelir...! Kau tidak boleh mati! Aku mencintaimu...!"
melihat napas kekasihnya semakin berat seperti dengusan kuda pacu, Ganajaya
menggenggam erat jemari gadis
cantik itu. "Ganajaya, tidak perlu berkata begitu...," Anyelir mengalihkan perhatiannya pada
Ganajaya. "Ketahuilah, sebenarnya usiaku sudah tidak muda lagi. Kalaupun
wajahku masih seperti gadis remaja, itu karena aku selalu berhubungan dengan
lelaki-lelaki muda, yang setelah itu kubunuh tanpa rasa kasihan sedikit pun.
Kedua pembantu ayahmu itu tidak bersalah. Aku memang Peri Kembangan.
Yang membunuh dan mempermainkan laki-laki muda
sesuka hatiku. Jadi, kuharap kau tidak dendam pada siapa pun. Dengan begitu,
berarti kau benar-benar mencintaiku...."
"Tapi,..."
"Ja...ngan membantah..., Ganajaya. Arwahku tidak akan bisa tenang bila kau tidak
merelakan kepergianku. I... ngat pesanku...," Anyelir memotong kalimat Ganajaya
yang belum selesai. Tarikan napasnya terlihat kian berat. Hingga akhirnya
memperdengarkan suara mengorok.
"Anyelir...!"
Ganajaya memekik ketika melihat wanita yang
dicintainya meregang nyawa. Beberapa saat kemudian, kepala gadis itu terkulai di
atas rerumputan hijau.
Ganajaya menjatuhkan kepalanya dan memeluk tubuh
Anyelir sambil menyebut nama gadis cantik itu dengan suara parau. Tapi, Peri
Kembangan sudah pergi
meninggalkan dunia dengan damai.
Panji tidak bisa berbuat apa-apa. Nyawa Peri
Kembangan memang tidak bisa diselamatkan lagi. Pemuda itu bergerak bangkit.
Kenanga segera menyambut dan meremas jemari tangan pemuda pujaannya itu.
Tampaknya dara jelita itu pun merasa terharu mendengar ucapan terakhir Peri
Kembangan. "Mari kita pergi...," ajak Panji membalas remasan jemari kekasihnya. Kemudian
bergerak perlahan meninggalkan tempat itu, saat semua orang masih terpengaruh
oleh suasana yang mengharukan. Tak seorang pun memperhatikan kepergian pasangan
pendekar muda itu.
Fajar datang seiring dengan kokok ayam hutan yang
bersahutan. Semilir angin demikian lembut menyapu
wajah-wajah lelah. Mereka baru tersadar dari keadaannya masing-masing.
Ganajaya bangkit perlahan seraya memondong tubuh
Peri Kembangan, dan dibawanya pulang ke Kadipaten
Banjaran. Pemuda itu hendak memakamkan Peri
Kembangan di tempat pemakaman keluarganya. Ganajaya telah menganggap Peri
Kembangan sebagai satu-satunya wanita yang membuatnya bahagia.
SELESAI Created ebook by
Scan & Djvu : ardiansontol
Convert to txt : syauqy_arr
Edit teks : fujidenkikagawa
Convert to Pdf : syauqy_arr
Kisah Tiga Kerajaan 29 Bagus Sajiwo Karya Kho Ping Hoo Geger Pedang Inti Es 2
^