Pencarian

Warisan Terkutuk 1

Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk Bagian 1


WARISAN TERKUTUK Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Warisan Terkutuk
128 hal. ; 12 x 18 cm
htpp://duniaabukeisel.blogspot.com/
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 "Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Kuda berbulu hitam mengkilat itu melesat bagai
anak panah lepas dari busur. Kaki-kakinya yang ko-
koh berderap melintasi jalan lebar. Kendati demikian, penunggang kuda bertubuh
gemuk itu masih belum
puas. Bentakannya terus terdengar mengiringi derap
kaki kuda. Agaknya lelaki gemuk itu tengah terburu-
buru. Tidak berapa lama kemudian, penunggang kuda itu
tiba di sebuah rumah besar yang agak terpencil. Begitu memasuki halaman,
tubuhnya langsung melompat turun dengan lincah. Rupanya lelaki gemuk itu bukan
orang sembarangan. Terbukti ia dapat mendarat den-
gan baik saat kuda belum lagi berhenti.
Seorang laki-laki kurus berusia sekitar empat puluh
tahun bergegas menyambut penunggang kuda itu. Se-
telah membungkuk hormat, tangannya segera me-
nyambut tali kekang yang diangsurkan ke arahnya.
"Kelihatannya aku orang pertama yang tiba di tem-
pat ini...," gumam lelaki gemuk itu, setelah mengedarkan pandangannya ke
sekeliling halaman.
"Benar, Tuan Yudha Pasa...," sahut lelaki kurus.
Kemudian bergegas menambatkan kuda lelaki gemuk
yang bernama Yudha Pasa itu di tempat yang telah
disediakan. "Begitu mendapat kabar, aku langsung ke sini," ujar
Yudha Pasa. "Benarkah ayahku sudah wafat, Ra-
min...?" Lelaki kurus bernama Ramin itu kelihatan agak gu-
gup. Hingga kening Yudha Pasa berkerut Sikap lelaki
kurus itu membuat Yudha Pasa heran.
"Ramin...!" panggil Yudha Pasa dengan nada agak
tinggi. Sebab Ramin belum juga menjawab perta-
nyaannya. "Ya, Tuan...."
"Kau tidak mendengar pertanyaanku...?"
Yudha Pasa mengulang pertanyaannya. Kali ini na-
danya agak menyelidik. Itu karena sikap Ramin yang
aneh. "De... dengar, Tuan...," sahut Ramin terbungkuk-
bungkuk dengan kepala. Kepala lelaki kurus itu me-
runduk. Tidak berani menentang pandang mata Yudha
Pasa. "Angkat kepalamu, Ramin. Dan jawab pertanyaanku
tadi...!" bentak Yudha Pasa, kesal karena sikap lelaki kurus itu. Sehingga wajah
Ramin menjadi agak pucat.
"Tuan Besar Ganda Pasa memang telah wafat sema-
lam. Nyai Narasumi segera mengirim orang untuk
mengabarkannya kepada Tuan Yudha Pasa. Juga pada
kedua putra Tuan Besar lainnya...," jelas Ramin sedikit gugup. Kemudian kembali
menundukkan wajahnya
dalam-dalam. Terlihat bayang kedukaan pada wajah
lelaki kurus itu.
"Hhh.... Kira-kira apa yang menyebabkan kematian
ayahku, Ramin" Seingatku beliau tidak pernah mengi-
dap penyakit yang berbahaya...?" tanya Yudha Pasa la-gi. Penasaran ingin
mengetahui penyebab kematian Ki
Ganda Pasa, ayahnya. Yudha Pasa merupakan anak
tertua Ki Ganda Pasa. Lelaki gemuk itu sudah berpisah dari orang-tuanya. Ia
tinggal di selatan bersama anak-istrinya. Begitu mendapat kabar ia langsung
bergegas menuju tempat ini.
"Aku sendiri tidak tahu, Tuan. Mungkin Nyai Nara-
sumi lebih tahu. Dialah yang merawat Tuan Besar ke-
tika mendadak sakit...," jawab Ramin lancar. Kemu-
dian melangkah perlahan mempersilakan Yudha Pasa
memasuki rumah besar itu.
"Hm.... Jadi sebelumnya ayahku mendadak sakit
Lalu meninggal karena serangan penyakit itu. Begitu maksudmu...?" tanya Yudha
Pasa seraya melangkah
perlahan mengikuti Ramin.
"Kira-kira begitulah, Tuan Yudha...," sahut Ramin
yang memang tidak tahu penyebab kematian tuan be-
sarnya. Karena meskipun telah lama mengabdikan diri se-
bagai pelayan, tapi tidak semua persoalan di rumah itu diketahuinya. Terlebih
perihal kematian Ki Ganda Pasa yang sangat mendadak. Hingga ia tidak bisa
memberikan jawaban pasti kepada putra sulung majikannya.
Belum juga Yudha Pasa dan Ramin masuk ke dalam
rumah, terdengar suara berderap,. Cepat keduanya
menoleh ke asal suara. Tampak seekor kuda berbulu
coklat berlari cepat memasuki halaman.
Yudha Pasa yang pandangannya lebih tajam dari
Ramin, kelihatan mengerutkan kening. Ia melihat pe-
nunggang kuda itu terluka pada bahu kanannya. Yang
membuatnya kaget, luka itu masih baru dan mengelu-
arkan darah. Maka tanpa banyak cakap lagi, lelaki gemuk itu bergegas memburu
penunggang kuda itu.
"Apa yang terjadi, Adi Rengga..."!" tanya Yudha Pasa yang dengan sigap menahan
lari kuda coklat itu. Melihat caranya menghentikan lari kuda, agaknya Yudha
Pasa memiliki kekuatan tenaga dalam yang tangguh.
"Entahlah, Kakang. Dalam perjalanan ke sini, aku
dihadang dua orang lelaki kasar yang mengenakan ca-
dar untuk melindungi wajahnya. Tanpa banyak cakap
mereka langsung menyerangku. Untunglah aku dapat
mengusir mereka. Kendati harus mengalami luka di
bahu...," jelas lelaki tegap berusia sekitar tiga puluh
tahun itu. Lalu melompat turun dari punggung kuda.
Dan menyerahkan kuda itu kepada Ramin untuk di-
tambatkan. "Kau tidak berusaha mengejar mereka, Adi Reng-
ga...?" tanya Yudha Pasa sangat penasaran dengan ke-
jadian yang dialami lelaki tegap itu.
"Hhh...," lelaki tegap itu menghela napas.
Rengga Pasa adalah putra kedua Ki Ganda Pasa.
Seperti juga Yudha Pasa, ia pun mendapat kabar ten-
tang kematian ayahnya. Dan meninggalkan keluar-
ganya untuk menjenguk orangtuanya.
"Mereka sangat tangguh, Kakang. Kelihatannya me-
reka menghendaki kematianku! Tidakkah Kakang me-
rasakan ada keanehan dengan kejadian itu...?" ujar
Rengga Pasa, seraya melangkah perlahan.
"Hm.... Kematian ayah sudah membuatku merasa
aneh. Apalagi dengan adanya kejadian yang kau alami.
Jelas ada sesuatu yang tidak wajar dengan kematian
ayah...," timpal Yudha Pasa seraya menatap wajah
adiknya. Ia langsung mengutarakan kecurigaannya
mengenai kematian Ki Ganda Pasa yang menurutnya
tidak wajar. Rengga Pasa tidak menimpali ucapan kakaknya.
Keningnya berkerut. Lelaki tegap itu tengah memikir-
kan ucapan Yudha Pasa.
"Kematian adalah sesuatu yang wajar...!"
Tiba-tiba terdengar suara halus namun jelas di te-
linga Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Sehingga kedua-
nya menoleh. "Sumi...!"
Hampir berbarengan kedua lelaki itu berseru perla-
han ketika melihat seorang gadis berusia dua puluh
dua tahun berdiri dengan tangan terlipat di dada. Tubuhnya bersandar pada tiang
pintu. Gadis cantik itu
adalah Narasumi, putri bungsu Ki Ganda Pasa. Dialah
yang menemani dan merawat ayahnya dalam menjala-
ni sisa-sisa hidupnya.
Narasumi melangkah perlahan dengan tangan ma-
sih terlipat di dada. Sepasang matanya yang bulat dan jernih menatap kedua
kakaknya berganti-ganti. Namun sepasang mata itu agak membengkak. Gadis can-
tik itu rupanya terlalu banyak mengeluarkan air mata.
Dan itu kelihatan jelas oleh kedua kakaknya.
"Katakan, apa penyebab kematian ayah, Sumi...?"
tanya Yudha Pasa setelah gadis itu tiba di dekat mere-ka berdua. Lelaki gemuk
itu belum dapat menerima
kematian ayahnya begitu saja, tanpa keterangan yang
jelas dan memuaskan hati.
"Duduklah dulu, Kakang," ujar Narasumi kepada
kedua kakaknya.
Nada ucapan gadis itu sedikit pun tidak menunjuk-
kan keakraban. Narasumi memang tidak begitu dekat
dengan kedua kakaknya. Terlebih setelah keduanya
berkeluarga dan mereka bertiga jarang sekali berkum-
pul. Yudha dan Rengga tidak membantah. Keduanya
menjatuhkan tubuh di kursi di ruang depan. Begitu
juga Narasumi. Lalu mereka saling berpandangan se-
saat "Kemarin ayah berpamitan padaku. Beliau tidak
mengatakan hendak ke mana dan melakukan apa. Ta-
pi, pada saat kembali aku baru dapat menebak apa
yang sudah terjadi. Sebab ayah mengalami luka dalam
yang cukup parah. Jelas beliau telah bertarung dengan lawan tangguh. Sayangnya
beliau tidak mengatakan
apa-apa, meski telah ku desak," jelas Narasumi meng-
hilangkan keheningan di antara mereka. Wajah cantik
itu terlihat memendam rasa penasaran yang dalam.
"Jadi, luka itukah yang menyebabkan kematian
ayah...?" tanya Yudha Pasa sambil menatap wajah adik perempuannya lekat-lekat.
"Yahhh...!"
Narasumi menjawab dengan desahan lirih. Gadis itu
membuang pandangannya ke luar jendela. Tampak se-
pasang matanya merebak. Rupanya ingatan itu mem-
buat kesedihannya bangkit kembali.
"Apa kau tidak dapat menebak, siapa kira-kira
orang yang telah bertarung dengan ayah?"
Rengga Pasa yang sejak tadi termenung, melontar-
kan pertanyaan. Kilatan dendam terpancar pada sepa-
sang matanya yang tajam. Tampak sekali kalau Rengga
Pasa tidak bisa menerima begitu saja kematian orang-
tuanya. "Tidak. Sepanjang pengetahuanku, ayah tidak
mempunyai musuh. Itu sebabnya aku sangat penasa-
ran! Sampai kematian datang menjemput, ayah tidak
mau bercerita mengenai lawan yang telah melukainya.
Tampaknya beliau tidak ingin kita mendendam pada
orang itu...," jawab Narasumi dengan penasaran.
Sayang ia tidak bisa berbuat apa-apa. Hingga hanya
bisa memendam rasa penasarannya dalam-dalam.
Pembicaraan mereka terputus oleh suara langkah
yang menuju ke tempat itu. Tidak berapa lama kemu-
dian, muncullah sesosok tubuh tinggi besar. Wajahnya menunjukkan kekerasan
hatinya. Pakaiannya agak ke-tat hingga memperlihatkan otot-otot tubuhnya yang
bersembulan. Lelaki tinggi besar itu sejenak berdiri di ambang pintu, dan
tersenyum pada ketiganya.
"Rupanya aku datang terlambat...."
Lelaki tinggi besar itu membuka suaranya yang be-
sar dan berat. Kemudian menarik kursi yang masih
kosong dan menjatuhkan tubuhnya disertai helaan
napas. "Kupikir kau tidak akan sempat datang, Bangga.
Ternyata dugaanku keliru," ucap Rengga Pasa. Keliha-
tannya sambutan yang diberikan lelaki tegap itu cukup hangat. Membuat lelaki
tinggi besar yang bernama
Bangga tersenyum lebar.
"Meski tugas-tugasku sebagai perwira kerajaan cu-
kup banyak, tapi aku tetap menyempatkan diri untuk
datang menghadiri pemakaman ayah. Bagiku ini jauh
lebih penting dari tugas-tugasku...," timpal Bangga, yang juga mempunyai nama
belakang Pasa, seperti
halnya Yudha dan Rengga. Sebab lelaki tinggi besar itu merupakan putra ketiga Ki
Ganda Pasa. "Bagus kalau kau mempunyai pemikiran demi-
kian...," tukas Yudha Pasa agak dingin. Sikapnya me-
nunjukkan bahwa hubungan mereka tidak terlalu de-
kat Mendengar ucapan agak sinis itu, Bangga Pasa
mengalihkan pandangannya dari wajah Rengga. Dita-
tapnya wajah Yudha Pasa, kakak tertuanya, dengan
sorot mata tajam. Sikap itu membuat suasana di anta-
ra mereka menjadi tegang.
"Kakang Bangga," Narasumi berusaha mengalihkan
perhatian lelaki tinggi besar itu. "Biasanya seorang perwira akan membawa
beberapa prajuritnya bila hendak bepergian. Apa kau tidak dikawal prajurit-
prajuritmu...?"
"Tentu saja ada beberapa prajurit yang menyertai-
ku, Sumi. Mereka ku tinggalkan di luar. Aku tidak ingin pertemuan di antara kita
terganggu...," meski agak segan, Bangga Pasa menyahuti pertanyaan adiknya.
Sehingga usaha Narasumi untuk menghilangkan kete-
gangan di antara mereka tidak sia-sia.
"Eh! Bahumu kenapa, Kakang Rengga...?" Bangga
Pasa yang baru menyadari ada luka di bahu Rengga
Pasa langsung melontarkan pertanyaan.
"Tidak apa-apa, Adi. Hanya sedikit goresan pedang.
Ketika aku lewat di Hutan Klaren, dua orang bercadar hitam menghadang jalanku.
Untunglah mereka dapat
kuusir pergi, kendati bahu ku sempat tergores pedang salah seorang dari


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka...," ujar Rengga Pasa menjelaskan sebab luka di bahunya.
"Hm.... Mungkin mereka hendak merampokmu, Ka-
kang. Karena dandananmu memang cukup mewah...,"
tukas Bangga Pasa menduga.
"Entahlah. Tapi, sepertinya mereka menghendaki
kematianku...," lanjut Rengga Pasa sedikit memban-
tah. Sebab ia sendiri belum tahu pasti maksud peng-
hadang-penghadang itu.
Bangga Pasa baru saja hendak menimpali. Namun
ditahannya ketika dari luar terdengar suara lantang
yang membuat mereka berempat terkejut!
"Ganda Pasa, keluarlah! Kali ini kau tidak akan bisa lari dari kami...!"
Keempat putra dan putri Ki Ganda Pasa terkejut
bukan main. Teriakan lantang yang dikeluarkan mela-
lui pengerahan tenaga dalam itu membuat mereka sal-
ing berpandangan sejenak. Baru setelah Bangga Pasa
bergerak keluar ruangan, yang lainnya bergegas me-
nyusul. *** Hampir bersamaan keempatnya mendaratkan kaki
di halaman depan. Mereka melihat tiga orang lelaki
tengah dikepung enam orang prajurit kerajaan. Kenda-
ti demikian, tidak terlihat kegentaran di wajah ketiga
lelaki bertampang kasar itu. Usia mereka tidak muda
lagi, rata-rata berumur sekitar lima puluh tahun. Jelas, ketiga orang itulah
yang mencari Ki Ganda Pasa.
Bangga Pasa melangkah maju dengan wajah garang.
Dan memerintahkan keenam prajuritnya untuk mun-
dur. Lelaki tinggi besar yang kelihatan sangat kuat itu berhadapan dengan tiga
orang tamu tidak diundang
itu. Yudha, Rengga, dan Narasumi juga tidak tinggal di-am. Ketiganya mendampingi
Bangga. Mereka pun me-
rasa penasaran melihat ada orang mencari ayahnya.
Apalagi dari suara teriakan tadi jelas terkandung maksud yang tidak baik. Mereka
ingin tahu maksud orang-
orang itu mencari ayah mereka.
"Kisanak. Siapakah kalian bertiga" Ada keperluan
apa hendak bertemu dengan ayahku...?" tanya Bangga
Pasa dengan berwibawa. Rupanya kebiasaan sikapnya
sebagai seorang perwira telah menyatu dengan dirinya.
Melihat itu, ketiga tamunya mengerutkan kening da-
lam-dalam. "Kau putra Ganda Pasa..." Apa aku tidak salah
dengar?" tegas salah seorang dari tiga lelaki bertampang kasar itu. Wajahnya
dipenuhi cambang bauk le-
bat Sepasang matanya menyipit, seolah ingin memper-
jelas pandangannya.
"Kau tidak salah dengar, Kisanak. Kami berempat
adalah putra-putri Ki Ganda Pasa. Kalau kalian ada
keperluan, silakan sampaikan kepada kami. Kami be-
rempat merupakan wakil-wakil beliau...," kali ini Yud-ha Pasa yang berbicara.
Lelaki gemuk itu berdiri di
samping Bangga Pasa. Dan menatap ketiga orang asing
itu dengan pandangan curiga.
Tapi lelaki bercambang bauk itu tidak mempeduli-
kan Yudha Pasa. Sepasang matanya tetap mengawasi
sosok lelaki tinggi besar berpakaian perwira. Di antara keempat anak-anak Ki
Ganda Pasa, rupanya hanya
Bangga Pasa yang menarik perhatiannya. Terbukti,
hanya perwira itulah yang sejak tadi diperhatikannya.
"He he he...! Benar-benar sulit dipercaya kalau ke-
turunan Ki Ganda Pasa menjadi abdi kerajaan...."
Tiba-tiba lelaki brewok itu tertawa mengejek. Jelas, ejekan itu bukan ditujukan
kepada Bangga Pasa, tetap kepada orangtuanya. Dan Bangga Pasa tahu akan hal
itu. "Hm.... Tampaknya kau cukup mengenal baik ayah-
ku, Kisanak!" suara Bangga Pasa menyimpan kegera-
man. "Katakan, apa keperluanmu" Atau sebaiknya kau
minggat saja dari tempat ini sebelum kuusir seperti
anjing kurap...!"
"Ha ha ha...! Hebat... hebat...! Betapa gagahnya pu-
tra Ganda Pasa ini. Kelihatannya orang tua itu telah berhasil mendidik putra-
putrinya dengan baik. Sampai-sampai salah seorang keturunannya menjadi per-
wira kerajaan. Sungguh menarik sekali...!"
Tawa lelaki brewok itu terdengar lantang. Agaknya
ia tidak mengindahkan ancaman Bangga Pasa. Dan si-
kap itu membuat wajah perwira kerajaan itu menjadi
gelap. "Orang tua!" geram Bangga Pasa lantang. "Sekali la-
gi kuperingatkan agar kau segera angkat kaki dari
tempat ini! Kalau tidak, jangan salahkan jika aku bertindak kasar...!"
Untuk kedua kalinya Bangga Pasa mengeluarkan
ancaman. Dan, itu bukan sekadar ancaman kosong.
Sehingga tawa laki-laki bercambang bauk itu lenyap.
Dan wajahnya berubah menjadi sungguh-sungguh.
"Hm.... Sebenarnya kedatanganku kemari ingin ber-
temu ayahmu, Perwira Gagah. Tapi kelihatannya kein-
ginanku tidak akan mudah terlaksana. Dan itu mem-
buatku kecewa...," gumam lelaki brewok dengan sorot
bola mata tajam menentang pandang mata Bangga Pa-
sa. Tampak jelas sepasang mata itu menyimpan rasa
penasaran yang dalam.
"Keparat! Masih juga kau banyak bicara...!"
Rengga Pasa yang sejak tadi hanya diam menden-
garkan, tiba-tiba membentak marah. Tahu-tahu saja
tubuhnya melayang dengan pukulan lurus ke arah le-
laki brewok itu.
Bet! Meskipun serangan yang dilancarkan Rengga Pasa
cukup mendadak, namun lelaki brewok itu sanggup
menghindar. Dengan hanya menggeser kaki kanannya
ke samping, pukulan kuat itu lewat di sampingnya.
"Sambut ini...!"
Rengga Pasa semakin penasaran. Cepat lengannya
diputar, dan langsung dibabatkan ke leher lawan den-
gan kecepatan mengagumkan. Sehingga, lelaki brewok
itu sempat mengeluarkan pujian. Kali ini ia tidak berusaha mengelak. Diangkatnya
tangan kanan ke atas
dengan kedudukan berdiri tegak. Sehingga....
Dukkk! "Uhhh..."!"
Keluhan lirih terdengar dari mulut Rengga Pasa.
Tubuh lelaki tegap itu terjajar mundur empat langkah.
Sedangkan tubuh lawan hanya tergetar sesaat. Itu je-
las membuktikan bahwa dalam hal kekuatan tenaga
dalam, Rengga Pasa masih kalah setingkat dari lelaki brewok itu.
"Setan...!"
Kenyataan itu tidak membuat Rengga Pasa menjadi
gentar. Malah ia semakin penasaran dan marah. Lelaki tegap itu kembali membuka
jurus untuk bertarung
mati-matian! "Rengga, tahan...!"
Sebelum Rengga Pasa memulai serangannya, tiba-
tiba terdengar bentakan nyaring. Disusul dengan me-
layangnya sesosok tubuh gemuk yang langsung berdiri
di hadapan lelaki tegap itu. Dia adalah Yudha Pasa,
putra sulung Ki Ganda Pasa.
"Kisanak. Harap maafkan tindakan adikku. Mak-
lum, saat ini kami tengah berkabung. Jadi kuminta
dengan hormat kalian segera meninggalkan tempat ini.
Kalaupun ada keperluan, lain kali saja kalian datang ke sini...," ujar Yudha
Pasa yang tidak ingin terjadi perkelahian. Dan meminta ketiga orang itu untuk
segera pergi. "Berkabung" Apa maksudmu" Apa kau hendak
mengelabui kami...?" tanya lelaki brewok. Rupanya ia belum mendengar mengenai
kematian Ki Ganda Pasa.
Hingga terkejut mendengar ucapan Yudha Pasa.
"Benar. Kami tengah berkabung atas kematian ayah
kami...," sahut Yudha Pasa dengan suara lirih, berharap agak ketiga orang itu
mau mengerti keadaan mere-
ka. "Maksudmu.... Ki Ganda Pasa telah tiada...?" tanya lelaki brewok itu
menegasi. Wajahnya menyiratkan kekagetan yang sangat. Tapi
itu hanya berlangsung sesaat. Sebentar kemudian, ta-
wanya kembali terdengar. Bahkan kali ini jauh lebih
keras. "Hm.... Baiklah, kami akan pergi," ujar lelaki bre-
wok menghentikan tawanya. "Tapi, jangan kira kami
percaya begitu saja dengan kematian Ki Ganda Pasa.
Kalian harus ingat itu...!"
Setelah berkata demikian, lelaki brewok itu menga-
jak kedua temannya untuk meninggalkan tempat ini.
Yudha Pasa dan saudara-saudaranya saling bertu-
kar pandang. Setelah ketiga sosok tubuh itu lenyap,
baru mereka berbalik meninggalkan tempat itu. Ada
gambaran penasaran di wajah putra-putri Ki Ganda
Pasa ini. *** 2 Narasumi duduk termenung menghadap jendela
kamarnya. Angin malam yang dingin dibiarkan ber-
hembus masuk melalui jendela yang terbuka lebar.
Wajahnya yang cantik tampak muram. Agaknya musi-
bah yang menimpa keluarganya masih membebani pi-
kiran gadis itu. Kejadian itu masih menjadi tanda
tanya baginya. Ketiga kakaknya telah kembali ke tempat tinggal
masing-masing begitu penguburan ayah mereka sele-
sai. Narasumi tidak bisa berbuat apa-apa untuk me-
nahan mereka agar tinggal lebih lama di rumah ini.
Gadis itu maklum bahwa ketiga saudaranya sibuk
dengan tugas-tugas mereka. Narasumi menerima ke-
sendiriannya itu dengan hati ikhlas.
Di dalam rumah yang besar itu Narasumi hanya di-
temani tiga orang pelayan. Satu laki-laki dan dua
orang perempuan. Tapi mereka tidak bisa diajak bica-
ra. Sebab ketiga pelayan itu sedikit pun tidak mengerti ilmu silat. Narasumi
sendiri tidak mengerti, mengapa ayahnya tidak menurunkan ilmu silat pada ketiga
pelayan itu. Padahal kalau mereka menguasai ilmu silat, tentu akan lebih
membantu dalam keadaan seperti itu.
"Hhh...!"
Helaan napas berat yang meluncur menandakan
hati gadis cantik itu tengah dilanda keresahan. Karena kematian ayahnya yang
mendadak tanpa diketahui
siapa pembunuhnya. Dan kedatangan tiga orang lelaki
kasar yang tidak dikenalnya. Mereka mencari ayahnya
justru pada saat orang tua itu sudah pergi untuk se-
lama-lamanya. Yang membuat Narasumi tak habis pi-
kir, mengapa mereka tidak datang sebelumnya. Selagi
ayahnya masih hidup. Ke mana saja orang-orang kasar
itu selama ini" Mengapa mereka datang justru pada
saat ayahnya telah meninggal"
Semua itu menjadi pertanyaan yang tidak pernah
lenyap dari benak Narasumi. Pikiran itu membuatnya
tidak bisa tertidur. Kebisuan dan keheningan malam
setia menemaninya.
"Hhh...!"
Untuk kesekian kalinya Narasumi menghela napas
berat. Dengan malas ia bangkit dari duduknya dan me-
langkah gontai menghampiri jendela. Kemudian menu-
tupnya rapat-rapat. Dan tubuhnya dihempaskan ke
atas pembaringan dengan disertai helaan napas berat
yang berkepanjangan.
Dalam keheningan itu Narasumi membiarkan piki-
rannya menerawang jauh ke masa silam. Saat-saat ia
hidup bahagia bersama ayahnya. Lelaki tua yang ia
kenal sangat tertutup dan lebih banyak berdiam diri.
Ayahnya tidak pernah menceritakan masa lalunya ke-
padanya. Kendati demikian, Narasumi dapat memak-
lumi. Ia tahu ayahnya merasa kehilangan dengan ke-
matian ibunya. Ia sendiri hampir tidak pernah men-
genal wanita yang melahirkannya itu. Perempuan itu
telah tiada sewaktu ia berusia lima tahun. Semenjak
itulah ayahnya lebih banyak diam dan mengurung diri
di kamar. Satu hal yang tidak pernah dilupakannya
adalah tidak tetapnya tempat tinggal mereka. Ayahnya tidak pernah betah tinggal
lama di satu tempat atau
desa. Di tempat yang sekarang pun mereka baru ting-
gal kurang dari setahun. Selain itu, tempatnya sangat terpencil dan jauh dari
rumah-rumah penduduk.
"Aku tidak menyukai keramaian yang hanya men-
datangkan keributan."
Demikian yang selalu dikatakan ayahnya bila Nara-
sumi bertanya kepada orang tua itu. Dan, jawaban itu tidak bisa dibantahnya.
"Ayah...," desah Narasumi resah. "Mengapa hidup-
mu penuh dengan teka-teki" Mengapa kau tidak per-
nah bercerita kepada kami" Sehingga di antara kita tidak terjalin keakraban. Ada
apa sebenarnya dengan
masa lalumu...?"
Pertanyaan itu kembali memenuhi benak Narasumi.
Pernah suatu kali ia memberanikan diri mengajukan
pertanyaan itu kepada ayahnya. Tapi hanya kemara-
han yang didapat. Sehingga gadis itu tidak berani lagi menanyakan masalah itu.
Hanya pernah terpikir di
benaknya bahwa masa lalu ayahnya mungkin sangat
pahit. Walau ia tidak pernah tahu apa sebenarnya
yang dialami orang tua itu di masa mudanya.
Tiba-tiba lamunan gadis cantik itu buyar. Telin-
ganya yang tajam menangkap suara langkah kaki di
atas atap rumah. Meskipun tahu kalau orang yang be-
rada di atas atap itu telah berusaha tidak menimbul-
kan bunyi, namun sempat juga tertangkap telinga Na-
rasumi saat lewat di atas kamarnya. Hingga gadis itu menjadi curiga. Dan ingin
mengetahui siapa yang malam-malam mendatangi rumahnya selagi semua orang
terbuai mimpi indah.
Merasa akan terjadi sesuatu yang tidak baik, gadis
cantik itu melompat bangkit dari atas pembaringan.
Setelah mengenakan pakaian ringkas, Narasumi mem-
buka jendela kamarnya dengan hati-hati dan tanpa
menimbulkan bunyi. Dengan terlebih dahulu memati-
kan penerangan di dalam kamarnya. Gadis itu melom-


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pat keluar dan melesat hati-hati setelah menutup jendela.
Di bawah siraman cahaya rembulan yang pucat,
Narasumi bergerak perlahan dengan mengerahkan il-
mu meringankan tubuh. Kemudian melesat naik ke
atas wuwungan rumah. Dan merunduk beberapa saat
memperhatikan sekitarnya.
"Hm.... Melihat bentuk tubuh dan jumlah mereka,
kelihatannya tiga orang yang pagi tadi hendak mem-
buat keributan. Rupanya mereka penasaran hendak
bertemu dengan ayah. Tadi pagi mereka tidak berani
bertingkah macam-macam. Karena ada Kakang Bang-
ga yang menjadi abdi kerajaan berpangkat perwira.
Tentu ketiga orang itu tidak ingin mencari susah dengan menyerang abdi kerajaan.
Bisa-bisa mereka ditu-
duh pemberontak dan menjadi buronan...," gumam
Narasumi yang agaknya dapat menduga siapa yang
mendatangi rumahnya.
Meskipun hanya sekilas, Narasumi sempat melihat
bayangan ketiga orang itu. Mereka adalah laki-laki.
Narasumi dapat membedakan gerakan mereka saat
melompat turun dari atas atap ke dinding rumah.
Narasumi menyadari ketiga orang itu bukan tokoh
sembarangan. Tapi gadis cantik ini tidak merasa gen-
tar. Ia tetap membuntuti mereka dengan mengandal-
kan ilmu meringankan tubuh warisan ayahnya.
"Berlatihlah dengan sungguh-sungguh, agar kelak
kalian bisa menjaga diri dengan baik...."
Nasihat yang selalu didengungkan ayahnya pada
saat melatih dirinya dan ketiga kakaknya kembali ber-
gaung di telinga. Dan mereka berempat kini merasakan hasil didikan keras itu.
Kakaknya yang ketiga dapat lolos dari ujian calon perwira kerajaan. Padahal
sain- gannya sangat banyak. Itu membuat Narasumi merasa
bangga. Sayang saudara yang paling dekat dengannya
itu selalu disibukkan oleh tugas-tugas negara. Sehing-ga, Narasumi terkadang
merasa rindu pada Bangga
Pasa. Narasumi pun merasakan hasil didikan keras ayah-
nya. Ia menjadi seorang gadis yang tangguh, dan tidak mudah dijatuhkan lawan.
Bahkan kepandaiannya boleh dibilang hampir mengalahkan ketiga kakaknya. Na-
rasumi mendapat sebuah ilmu khusus yang tidak di-
dapat kakak-kakaknya. Ia maklum mengapa ayahnya
berbuat demikian. Sebab ia merupakan satu-satunya
wanita dalam keluarga itu. Sehingga, ayahnya menu-
runkan sebuah ilmu khusus untuk putrinya itu. Den-
gan demikian, Narasumi tidak kalah dengan ketiga
saudaranya. Narasumi masih membuntuti ketiga sosok laki-laki
itu. Gadis itu melompat turun ke halaman samping,
setelah yakin kalau ketiga tamu tak diundang itu tidak menyadari kalau mereka
dibuntuti. Sayang gadis cantik putri bungsu Ki Ganda Pasa ini terlalu hati-hati.
Sehingga ia kehilangan jejak buruannya.
"Hm.... Kalau mereka ketiga lelaki kasar yang da-
tang pagi tadi, pasti kamar ayah yang menjadi tujuannya. Tidak ada salahnya bila
aku pergi menyelidiki
kamar itu...!" gumam Narasumi perlahan. Kemudian
melesat menuju kamar ayahnya.
Berbeda dengan kamar kepala keluarga pada
umumnya, Ki Ganda Pasa tidak tinggal dekat dengan
kamar putra-putrinya. Lelaki tua yang selalu menyen-
diri itu membuat kamar khusus untuk dirinya. Yang
terletak agak berjauhan dengan rumah induk. Dan
anak-anaknya tak pernah membantah keinginan orang
tua itu. Ke tempat itulah sekarang Narasumi pergi.
Perkiraan gadis cantik itu ternyata cukup jitu. Dari kejauhan, di balik bayang
hitam dinding rumah, ia melihat ketiga tamu tak diundang itu tengah mengendap-
endap menuju kamar ayahnya. Dari sikap mereka, Na-
rasumi dapat menebak kalau ketiga orang" itu belum
percaya ayahnya sudah meninggal. Hingga Narasumi
menjadi heran. Tapi itu tidak dipikirkannya lebih jauh.
Hendak diketahuinya, apa yang diinginkan orang-
orang itu dari ayahnya. Dan Narasumi ingin segera
mendapat kepastian. Maka ia tidak berusaha mence-
gah mereka mendekati kamar ayahnya.
Ketika orang-orang itu mendobrak pintu kamar dan
berkelebat masuk, Narasumi melesat cepat Lalu mera-
patkan tubuhnya ke dinding. Dari tempat persembu-
nyiannya, ia melihat ketiga lelaki itu menyalakan pelita. Dan memeriksa seluruh
perabotan kamar itu. Per-
buatan mereka membuat Narasumi mengerutkan ken-
ing dalam-dalam.
Jelas ada sesuatu yang mereka kehendaki dari
ayahku.... Entah apa yang mereka cari..." Gumam ga-
dis cantik itu dalam hati. Karena tidak sabar, akhirnya Narasumi melompat dari
tempat persembunyiannya
dan membentak keras!
"Maling-maling hina! Apa yang kalian kehendaki da-
ri ayahku..."!" bentak Narasumi tanpa rasa gentar sedikit pun. Gadis cantik itu
berdiri dengan kedua kaki terentang. Tangan kanannya menggenggam sebilah
pedang telanjang.
Karena tidak menduga bakal dipergoki, ketiga orang
itu sempat terkejut oleh bentakan Narasumi yang
mengandung tenaga dalam. Serentak mereka berlom-
patan keluar menghadapi gadis cantik yang sedang di-
landa kemarahan besar itu.
"Hm.... Kau kiranya...," desis salah seorang dari ketiga lelaki kasar itu dengan
nada meremehkan. Karena yang memergoki mereka hanya seorang gadis muda
yang tidak perlu ditakuti.
Melihat kemunculan Narasumi, ketiga orang itu
mengedarkan pandangan. Agaknya mereka kurang ya-
kin kalau gadis itu datang seorang diri. Tapi ketika hanya mendapatkan kesunyian
di sekitarnya, mereka
pun merasa yakin kalau gadis cantik itu memang
hanya seorang diri.
"Kau benar-benar membuatku kagum, Gadis Can-
tik! Tentu kau salah seorang keturunan Ki Ganda Pa-
sa, bukan" Kalau begitu, kau pasti tahu apa yang kami inginkan dari ayahmu yang
pengkhianat itu...?"
Lelaki bercambang bauk mewakili kawan-
kawannya. Sepasang matanya yang menyorot tajam
merayapi wajah cantik Narasumi. Ada kilatan bernada
kurang ajar pada sepasang mata lelaki berusia lima
puluh tahun itu.
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, Orang
Tua! Sebaiknya kalian minggat dari sini sebelum aku
benar-benar marah...!" ujar Narasumi setengah men-
gancam. Pedang di tangannya melintang di depan da-
da. Tampaknya gadis cantik itu sudah siap memperta-
ruhkan nyawa demi kehormatan keluarganya.
"He he he...! Kau pikir kami percaya begitu saja
dengan jawabanmu, Gadis Cantik! Kami yakin ayahmu
pernah bercerita tentang masa mudanya. Nah, untuk
itulah kami datang kemari...," ujar lelaki brewok tidak percaya.
Sikapnya tampak semakin kurang ajar. Bukan
hanya wajah gadis itu yang dijilati pandangan ma-
tanya. Tubuh ramping dan padat gadis itu pun dila-
hapnya habis-habisan. Hingga Narasumi menjadi jen-
gah dan bertambah marah.
"Hm.... Rupanya kau sejenis bandot tua kurang
ajar! Kau memang harus diberi pelajaran agar lain kali tidak bersikap seperti
serigala lapar...!"
Setelah berkata demikian, Narasumi mengkele-
batkan pedang di tangannya. Hingga terdengar suara
berciutan tajam.
"Hm.... Gerakan bagus dan indah!" puji lelaki tua
itu tanpa bermaksud meremehkan. "Dan itu merupa-
kan jawaban bahwa kau mengetahui maksud kedatan-
gan kami. Untuk membantu ingatanmu, kami akan
memperkenalkan diri. Namaku Ki Sutra. Kedua orang
yang berada di kanan dan kiriku ini Ki Wargana dan Ki Rayoang. Nah, bukankah
ayahmu sudah menceritakan
tentang kami bertiga...?"
"Aku tidak pernah mengenal nama kalian sebelum-
nya! Jadi percuma saja kalian berharap dapat mem-
bantu ingatanku...!" tukas Narasumi ketus, membuat
ketiga lelaki yang sudah cukup berumur itu menjadi
kaget. "Bocah keras kepala!" bentak Ki Sutra dengan suara
menggelegar. Lelaki tua itu kelihatan sangat marah karena Nara-
sumi bersikap tidak mau menceritakan apa yang di-
mintanya. Ia tidak percaya kalau Narasumi menjawab
dengan jujur dan apa adanya.
"Lalu apa yang hendak kalian lakukan terhadapku,
Orang-Orang Tak Tahu Sopan" Jangan dikira aku ta-
kut menghadapi keroyokan badut-badut seperti ka-
lian...!" tantang Narasumi tenang. Sedikit pun tidak tampak kegentaran di
wajahnya. "Hm.... Hendak kulihat sampai di mana kekerasan
hatimu, Gadis Cantik...!"
Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Ki Sutra sudah
melayang ringan ke arah Narasumi. Kendati tidak
menggunakan senjata, angin pukulannya terdengar
menyambar kuat Hingga gadis cantik itu segera meng-
geser kakinya. Whuuut, whuuut...!
Dua kali serangan lawan hanya mengenai tempat
kosong. Dan tanpa ragu-ragu, Narasumi melancarkan
serangan balasan dengan sambaran pedang. Ki Sutra
kelihatan terkejut melihat kecepatan dan kekuatan gadis cantik itu.
"Bagus...!" puji lelaki tua itu sambil melompat
menghindar. Kemudian Ki Sutra melancarkan serangan balasan
dengan menambah kekuatan. Tampaknya ia tidak lagi
memandang rendah kepandaian gadis cantik itu. Ke-
duanya pun segera terlibat dalam sebuah perkelahian
seru. "Tidak perlu diberi hati, Kakang Sutra! Kepalamu
akan diinjaknya kalau kau bersikap lunak...I" Ki Wargana tidak sabar melihat
jalannya perkelahian yang
menurutnya terlalu lamban. Maka begitu ucapannya
selesai, tubuhnya melayang ke tengah arena pertem-
puran. "Heaaat...!"
Begitu memasuki kancah pertempuran, Ki Wargana
langsung mengirimkan serangan-serangan berbahaya
ke tubuh gadis cantik itu. Tidak seperti Ki Sutra yang kelihatan masih merasa
ragu, Ki Wargana tampak demikian bersungguh-sungguh. Serangannya sangat
gencar dan bisa mencelakakan gadis cantik itu.
Terjunnya Ki Wargana ke tengah arena membuat
Narasumi agak kerepotan. Apalagi serangan orang tua
itu sangat gencar, dan tidak memberinya kesempatan
untuk membalas. Kendati demikian, Narasumi beru-
saha keras mengimbangi keroyokan kedua lawannya.
Gadis itu mengerahkan seluruh kemampuannya untuk
menyelamatkan diri dari ancaman serangan lawan
yang ternyata sangat tangguh.
"Hiaaa...!"
Narasumi bagai singa betina yang pantang mundur!
Sinar pedangnya tetap bergulung-gulung, meskipun
ruang geraknya semakin dipersempit kedua penge-
royoknya. Dan masih mencoba membalas kendati ke-
sempatan untuk itu hampir tidak pernah ada.
Tapi biarpun Narasumi telah menguasai seluruh il-
mu yang diturunkan ayahnya, tetap saja ia kerepotan
menghadapi kedua lelaki tua itu. Ki Ganda Pasa sendi-ri pun jika masih hidup
belum tentu sanggup mengha-
dapi keroyokan Ki Sutra dan Ki Wargana. Apalagi wa-
nita muda seperti Narasumi yang miskin pengalaman
bertempur dan masih belum sempurna ilmu silatnya.
Sehingga tidak aneh bila gadis cantik itu mulai terdesak setelah bertahan tidak
kurang dari tiga puluh jurus.
Melihat gadis cantik itu semakin lemah pertaha-
nannya, Ki Sutra dan Ki Wargana makin bertambah
ganas! Serangan-serangan mereka makin gencar! Se-
hingga, kedudukan Narasumi tambah terjepit Ruang
gerak gadis cantik itu sudah tidak memungkinkan lagi untuk membalas serangan.
Sampai akhirnya ia harus
mengakui kehebatan lawan.
Bukkk! Tubuh gadis cantik itu terkena pukulan lawan.
Tanpa ampun lagi Narasumi terguling. Namun demi-
kian, gadis cantik itu berusaha tetap bertahan dan melakukan perlawanan.
"Kau akan merasakan akibat kebandelanmu, Pe-
rempuan Liar...!" geram Ki Wargana yang memang le-
bih berangasan dibanding Ki Sutra yang masih merasa
sayang untuk melukai gadis cantik itu.
Dengan sebuah tendangan terbang, tubuh Ki War-
gana melayang ke arah Narasumi yang saat itu belum
lagi sempat memperbaiki kuda-kudanya. Gadis cantik
itu hanya bisa terbelalak melihat datangnya tendangan lawan.
Plak! "Uhhh..."!"
Yang terjadi kemudian benar-benar membuat Ki
Wargana dan kawannya-kawannya kaget bukan main.
Sebab bukan tubuh Narasumi yang terpental, tapi Ki
Wargana-lah yang terjungkal dan terbanting ke tanah!
Kenyataan itu membuat Narasumi terbelalak.
*** 3 "Ahhh..."!"
Ki Sutra dan kawan-kawannya berseru kaget Tanpa
sadar tubuh mereka terjajar mundur. Tampak di de-
pan gadis cantik yang hampir dapat mereka tunduk-
kan itu, telah muncul sesosok tubuh yang di sekeli-
lingnya memancar sinar putih keperakan. Rupanya so-
sok itu yang telah menyelamatkan Narasumi. Tak seo-
rang pun tahu bagaimana cara sosok itu menyela-
matkannya. Mereka hanya melihat kelebatan sinar pu-
tih yang memotong serangan Ki Wargana. Kini sosok


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu tampak berdiri angker, membuat nyali ketiga lelaki tua itu ciut.
"Si... siapa kau...?"
Dengan gemetar karena menahan hawa dingin
menggigit yang menyerang tubuhnya, Ki Wargana ber-
tanya parau. Lelaki tua itu kelihatan agak menderita akibat tangkisan sosok
tubuh terbungkus kabut putih
keperakan itu. Belum lagi pertanyaan Ki Wargana terjawab, tiba-
tiba muncul sesosok tubuh lain yang tidak kalah pen-
garuhnya dengan sosok tubuh berjubah putih.
Di bawah terpaan cahaya bulan yang pucat, sosok
tubuh ramping padat dengan seri wajah gilang-
gemilang melangkah tenang menghampiri sosok tubuh
berjubah putih. Wajah jelita terhias senyum manis
mempesona itu membuat Ki Sutra dan kawan-
kawannya ternganga heran.
"Apakah mereka seorang dewa dan dewi yang turun
dari langit dan menyelamatkan gadis cantik itu...?" desis Ki Sutra.
Memang, sosok pemuda yang tubuhnya terbungkus
kabut bersinar putih keperakan dan dara jelita berpakaian serba hijau itu
terlalu mempesona hati mereka.
Apalagi pemuda tampan berjubah putih itu hampir
mempecundangi Ki Wargana dalam satu gebrakan sa-
ja. Padahal kepandaian Ki Wargana tidak bisa dibilang rendah. Meskipun jauh dari
kepandaian tokoh-tokoh
terkenal dunia persilatan. Semua itu membuat mereka
sulit percaya kalau kedua sosok tubuh itu manusia biasa seperti mereka.
"Apakah kalian benar-benar ingin mengetahui siapa
pemuda itu?" tanya gadis jelita berpakaian serba hijau seraya melangkah
menghampiri Ki Sutra dan kawan-kawannya.
"Kalau kalian berdua memang manusia biasa seper-
ti kami, sebutkan nama atau julukan kalian...?" Ki Su-
tra yang kelihatan lebih bisa bersikap tenang, mewakili teman-temannya.
"Sebenarnya aku tidak perlu memperkenalkan pe-
muda berjubah putih itu. Karena kalian pasti tahu
siapa pendekar muda yang membuat geger dunia per-
silatan sekarang ini...," ujar dara jelita itu berteka-teki.
Dan membiarkan Ki Sutra bersama kawan-kawannya
mencari jawaban sendiri.
"Maksudmu..., Pendekar Naga Putih...?" desis Ki
Sutra. Wajahnya menjadi pucat ketika teringat seorang tokoh muda yang
mengguncang rimba persilatan dengan ilmu-ilmu mukjizatnya. Tentu saja ia tahu
siapa yang dimaksud dara jelita berpakaian serba hijau itu.
"Seratus untukmu, Orang Tua...," tukas dara jelita
berpakaian serba hijau, yang tak lain Kenanga. Siapa lagi yang selalu bersama
Pendekar Naga Putih kalau
bukan Kenanga, kekasih pendekar muda tersohor itu.
Mendengar jawaban Kenanga, Ki Sutra dan kawan-
kawannya saling bertukar pandang. Mereka sadar ka-
lau untuk menghadapi Pendekar Naga Putih tidak
akan mampu, walaupun jumlah mereka ditambah se-
puluh kali lipat Keadaan itu membuat mereka berse-
pakat untuk mengambil jalan pintas. Kabur!
Tanpa banyak cakap lagi, Ki Sutra segera memba-
likkan tubuh dan melesat pergi meninggalkan tempat
itu. Demikian pula Ki Wargana dan Ki Rayoang. Kedua
lelaki tua itu ikut mengambil langkah seribu.
Panji dan Kenanga tidak berusaha mengejar. Mere-
ka berdiri memandangi kepergian ketiga lelaki itu.
Dan, baru mengalihkan perhatian setelah Ki Sutra dan kedua kawannya lenyap
ditelan kegelapan malam.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak...?" tanya Panji sambil
menatap wajah Narasumi di bawah bayangan sinar bu-
lan. Narasumi menggeleng dengan wajah menyeringai.
Agaknya gadis cantik itu belum hilang dari rasa kagetnya melihat kemunculan
kedua orang ini. Terlebih ke-
tika Ki Sutra menyebut pemuda tampan yang meno-
longnya dengan julukan Pendekar Naga Putih. Meski-
pun belum pernah mendengarnya, Narasumi yakin ka-
lau pemuda tampan itu merupakan tokoh yang sangat
ditakuti orang-orang jahat. Terbukti dari sikap yang ditunjukkan Ki Sutra dan
kawan-kawannya. Tidak
mungkin mereka melarikan diri jika merasa mampu
menghadapi pendekar muda itu.
"Apakah kau terluka, Adik Manis?"
Kenanga yang belum merasa yakin gadis cantik itu
tidak terluka, melangkah mendekat dan menyentuh
lembut bahu Narasumi. Sikapnya membuat Narasumi
merasa terhibur dan langsung menyukai dara jelita
berpakaian serba hijau itu. Bahkan ia langsung per-
caya kalau kedua orang itu bukan orang-orang jahat
yang ingin mengganggunya.
"Tidak apa-apa. Hanya sedikit mual. Pukulan salah
seorang dari mereka sempat mengenai tubuhku...," ja-
wab Narasumi yang entah kenapa mempercayai Ke-
nanga. Sehingga, tanpa ragu-ragu lagi berterus-terang mengenai kejadian yang
menimpanya. "Syukurlah kalau begitu...," tukas Kenanga seraya
membimbing gadis cantik itu. Narasumi tidak berusa-
ha menolak budi baik dara jelita itu.
"Di mana kau tinggal...?" tanya Kenanga lagi tanpa
melepaskan tangannya pada bahu Narasumi.
Sikap yang ditunjukkannya demikian akrab. Seolah
mereka sudah lama saling mengenal. Padahal nama
masing-masing pun mereka belum tahu. Perhatian da-
ra jelita itu membuat Narasumi terharu. Apalagi ia
memang belum pernah merasakan perhatian yang be-
gitu besar selama hidupnya. Gadis cantik itu merasa
mempunyai tempat untuk berbicara dan menumpah-
kan segala yang mengganjal pikirannya.
Kelihatannya dara jelita secantik bidadari ini dapat menjadi teman bicara yang
baik. Siapa tahu ia bisa
mengurangi beban yang selama ini membuat hidupku
tidak bisa tenang..." Gumam batin Narasumi sambil
memperhatikan wajah Kenanga dengan sudut ekor
matanya. Panji tidak ingin mengganggu keakraban kekasih-
nya dengan gadis cantik itu. Pemuda itu sengaja mem-
perlambat langkahnya, dan mengikuti keduanya dari
belakang. Diam-diam terselip kekaguman di hatinya
melihat Kenanga bersikap demikian lembut dan penuh
perhatian terhadap gadis yang malang itu.
"Siapakah namamu, Nisanak" Mengapa kau begini
baik terhadapku" Padahal kita belum pernah berjumpa
sebelumnya...," Narasumi mengutarakan pertanyaan
dalam hatinya. Meski agak ragu, takut kalau dara jelita itu tersinggung.
"Namaku Kenanga. Dan untuk berbuat baik kurasa
tidak harus dengan orang yang kita kenal saja. Cukup bila hati kecil kita merasa
yakin orang yang kita bantu memiliki sifat-sifat baik. Dan aku percaya kau orang
yang memiliki sifat baik. Mmm.... Siapa namamu, Adik Manis...?" tanya Kenanga
setelah menjelaskan secara
singkat tentang perbuatannya.
"Sekali lagi terima kasih atas bantuanmu, Kenanga.
Namaku Narasumi. Mmm.... Kalau aku meminta sesu-
atu darimu, apakah kau tidak keberatan?" tanya Nara-
sumi seraya menatap wajah Kenanga. Kebetulan saat
itu Kenanga tengah menoleh dan menatap ke arahnya.
Sehingga untuk beberapa saat kedua gadis itu saling
berpandangan dengan bibir tersenyum manis.
"Katakanlah, Sumi. Jika masih dalam batas ke-
mampuanku, tentu aku akan bersedia membantu-
mu...," sahut Kenanga yang belum juga mengalihkan
pandangan dari wajah Narasumi.
"Hhh.... Aku merasa tidak enak telah merepotkan-
mu. Padahal kita baru saja berkenalan...," desah Narasumi gundah. Kelihatan
sekali gadis cantik itu ragu untuk mengutarakan permintaannya. Narasumi khawatir
Kenanga akan menolaknya.
"Katakanlah, Sumi. Mengapa kau bingung...?" de-
sak Kenanga sambil mengusap lembut punggung gadis
cantik yang tengah dilanda kebimbangan itu.
Narasumi membisu. Pandangannya dialihkan ke
depan menatapi kegelapan malam. Sedangkan kakinya
tetap melangkah menuju rumah besar tempat ia dan
ketiga pelayan keluarganya tinggal.
Kenanga tahu gadis cantik itu masih dilanda ke-
bimbangan, maka ia tidak berusaha mendesak lagi. Ia
akan sabar menunggu sampai Narasumi mengatakan
permintaannya. Kedua gadis itu terdiam. Sampai ke-
duanya tiba di ruang utama rumah besar itu, mereka
tidak juga membuka suara.
"Terima kasih. Aku telah merepotkan kalian berdua.
Budi baik ini tidak akan kulupakan seumur hidup...."
Hanya itu ucapan yang keluar dari mulut Narasumi
saat mereka telah duduk di kursi di ruangan utama
rumah besar itu. Sinar pelita yang temaram menyem-
bunyikan raut wajah mereka. Sehingga, sulit bagi Ke-
nanga untuk membaca perasaan yang tengah dirasa-
kan Narasumi. Wajah gadis cantik itu tidak terlihat jelas. "Hm.... Tidak perlu
merasa berhutang budi kepada kami, Sumi. Bukankah memang sudah menjadi kewa-
jiban kita untuk saling tolong-menolong. Jadi tidak
perlu dibesar-besarkan hal yang sepele itu," sahut Kenanga seraya menatap wajah
Narasumi lekat-lekat Da-
ra jelita itu masih menunggu permintaan Narasumi
yang belum juga diutarakan.
Sementara Panji hanya duduk diam tidak mencam-
puri pembicaraan kedua gadis itu. Pemuda ini menye-
rahkan segala sesuatunya kepada Kenanga.
Narasumi mengangguk mendengar ucapan Kenan-
ga. Ucapan seperti itu tidak pernah didengarnya, bahkan dari ayahnya sendiri.
Sehingga, Narasumi me-
nyimpan ucapan dara jelita itu di dalam hatinya. Setelah itu ia tenggelam dalam
lamunan, mengingat Ki Su-
tra dan kawan-kawannya. Apa yang dikehendaki ketiga
orang yang tidak dikenalnya itu belum jelas. Dan ma-
sih menjadi misteri baginya.
"Sumi...."
Melihat gadis cantik itu termenung, Kenanga men-
coba menyadarkannya. Meskipun suaranya tidak terla-
lu keras, namun sanggup menyelusup ke dalam telinga
Narasumi, hingga gadis itu tersentak perlahan.
"Ya...," sahut Narasumi yang belum sadar sepenuh-
nya. Suara sahutannya terdengar mengambang dan
sengau. "Kalau sekiranya kau tidak keberatan, bolehkah
kami mengetahui persoalanmu dengan ketiga orang
tua tadi...?" tanya Kenanga hati-hati. Ia tahu masalah yang tengah dihadapi
Narasumi kemungkinan persoalan pribadi. Maka ia menggunakan kata 'kalau boleh'
dalam pertanyaannya.
"Maaf, Kenanga, Kakang Panji...," ucap Narasumi
sebelum menjawab pertanyaan dara jelita itu. "Sebe-
narnya aku sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan
Ki Sutra dan kawan-kawannya mendatangi rumah ini.
Yang jelas, mereka tidak percaya dengan keterangan-
ku. Padahal aku sungguh tidak tahu apa yang mereka
cari di sini...."
Kenanga maupun Panji memaklumi jawaban Nara-
sumi. Mereka dapat melihat jelas gadis cantik itu menjawab dengan sejujurnya.
Mereka percaya Narasumi
tidak sedang menyembunyikan sesuatu.
"Apa kau pernah melihat atau mengenal mereka se-
belumnya?" tanya Kenanga. Kali ini pertanyaannya
terkesan agak menyelidik, meskipun masih dalam ba-
tas-batas kewajaran. Sehingga Narasumi tidak merasa
keberatan menjawabnya.
"Sebelumnya aku tidak pernah mengenal atau meli-
hat ketiga orang tua itu. Baru kemarin, saat penguburan ayah hendak
dilaksanakan, mereka muncul dan
hendak berjumpa dengan ayahku. Yang membuatku
heran, mereka tidak percaya ketika diberi tahu ayah
sudah meninggal. Bahkan Ki Sutra sempat menterta-
wakannya," jelas Narasumi menceritakan perjumpaan
pertamanya dengan ketiga lelaki tua itu.
"Jadi..., malam ini kedatangan mereka ingin menye-
lidiki, begitu...?" tanya Kenanga menegasi, la agak terkejut ketika mendengar
kematian ayah Narasumi.
"Semula aku menduga demikian. Tapi ternyata ti-
dak. Sepertinya ada sesuatu yang mereka kehendaki
dari ayahku. Itu kuketahui ketika Ki Sutra bertanya
padaku. Sayang aku tidak tahu apa yang mereka ca-
ri...," jawab Narasumi disertai helaan napas panjang.
Gadis itu sangat kecewa dengan ketidaktahuannya.
"Aneh...?" desis Kenanga heran. "Apakah ayahmu
tidak pernah bercerita tentang sesuatu atau musuh-
musuhnya?" tanya dara jelita itu setelah terdiam se-
saat. "Sama sekali tidak! Selama hidupnya ayah jarang
berbicara dengan anak-anaknya...," jawab Narasumi
tanpa perlu berpikir untuk menjawab pertanyaan Ke-
nanga. Dan Kenanga percaya Narasumi tidak berdusta. Wa-
laupun merasa heran ada seorang ayah yang selama
hidupnya jarang berbicara dengan anak-anaknya, Ke-
nanga tidak berkata apa-apa. Semua keheranan itu
disimpannya dalam hati.
Bukan hanya Kenanga yang merasa heran. Panji
pun merasakan ada kejanggalan dalam sikap ayah ga-
dis cantik itu. Tapi, ia tidak bisa menebak apa yang membuat Ki Ganda Pasa
berbuat demikian. Apalagi,
sampai akhir hayatnya tidak meninggalkan pesan apa-
apa. "Hm.... Jika memang demikian, satu-satunya jalan
kita harus mengorek keterangan dari Ki Sutra dan ka-
wan-kawannya. Merekalah kunci rahasia ini...," Panji membuka suara setelah
mereka terdiam agak lama.
Kenanga mengangguk menyetujui ucapan Panji. Ta-
pi tidak demikian dengan Narasumi. Gadis cantik itu
kelihatan tidak bernafsu untuk memperpanjang per-
soalan. Guncangan batin akibat kematian ayahnya dan


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gangguan yang datang berturut-turut membuat Nara-
sumi merasa lelah lahir batin. Gadis itu merasa tertekan. Sehingga ingin
menjalani hidup dengan tenang
tanpa mempedulikan persoalan yang sudah berlalu itu.
"Bagaimana, Sumi" Apa kau tidak ingin mengung-
kap misteri yang menyelimuti keluargamu...?" Kenanga bertanya ketika melihat
Narasumi hanya tersenyum tidak menanggapi ucapan Panji.
"Entahlah, Kenanga. Aku merasa lelah sekali. Ra-
sanya lebih baik kita tidak memperpanjang urusan ini.
Apalagi Ki Sutra dan kawan-kawannya belum tentu
akan datang lagi...," desah Narasumi sedikit pun tidak bersemangat
Kenanga tidak berkata-kata lagi. Ia maklum pera-
saan yang melanda hati gadis cantik itu. Kalau saja
benar gangguan tidak akan datang lagi, rasanya ia pun sependapat dengan
Narasumi. Sayangnya menurut
Kenanga persoalan itu tidak akan berakhir begitu saja.
Ia yakin Ki Sutra akan terus membayangi Narasumi,
sebelum yang mereka cari dapat dimiliki.
Sementara itu fajar sudah datang. Kokok ayam jan-
tan terdengar bersahut-sahutan. Sebentar lagi mata-
hari muncul menggantikan tugas sang Dewi Malam.
"Hm.... Sebentar lagi pagi akan datang. Kau pasti
sangat lelah, Sumi. Sebaiknya pergilah beristirahat
Kami berdua mohon pamit untuk melanjutkan perja-
lanan. Di samping itu kami akan berusaha mencari Ki
Sutra dan kawan-kawannya. Tentu saja kalau kau ti-
dak keberatan...," ujar Kenanga segera bangkit dari
duduknya. "Kurasa tidak perlu, Kenanga. Mereka pasti tidak
akan berani datang ke tempat ini...," sahut Narasumi sesal. Karena jawaban itu
pasti akan membuat kedua
penolongnya kecewa.
"Baiklah jika memang demikian keputusanmu...,"
tukas Kenanga kecewa. Ia memang merasa kasihan
dan ingin meringankan beban gadis cantik itu. Tapi ji-ka orang yang ingin
ditolongnya tidak menghendaki, ia pun tidak memaksa.
Kenanga dan Panji berpamitan. Sepasang pendekar
muda itu meninggalkan rumah besar Ki Ganda Pasa
dengan diiringi lambaian tangan Narasumi yang men-
gantar sampai halaman depan.
Narasumi berdiri mematung menatap bayangan
Panji dan Kenanga yang semakin jauh. Gadis cantik
itu baru melangkah masuk ketika sosok kedua peno-
longnya lenyap di keremangan fajar.
4 "Tuan Muda Yudha Pasa...!"
Lelaki bertubuh kurus yang tengah menyapu hala-
man rumah besar itu berlari tergopoh-gopoh menyam-
but kedatangan seorang penunggang kuda. Sedangkan
penunggang kuda bertubuh gemuk itu tidak menggu-
brisnya. Ia langsung melompat turun dari atas pung-
gung kuda. Wajahnya tidak menunjukkan keramahan.
Bahkan terkesan tengah memendam kemarahan.
"Ramin! Katakan kepada Narasumi aku ingin me-
nemuinya...," ujar lelaki gemuk yang tidak lain Yudha Pasa, tanpa senyum sedikit
pun. Suaranya terdengar
kaku, tidak seperti biasanya. Hingga membuat Ramin
agak takut. "Baik, Tuan Muda...," sahut Ramin cepat Lalu berla-
ri-lari memasuki bangunan besar itu.
Yudha Pasa sendiri melangkah lebar memasuki
ruang utama rumah besar itu. Kemudian menghem-
paskan tubuhnya ke kursi. Terdengar helaan napas
panjangnya. Wajah Yudha Pasa tetap keruh. Jelas ter-
lihat kalau lelaki gemuk berusia sekitar tiga puluh lima tahun ini sedang tidak
senang hatinya.
Tidak berapa lama kemudian Narasumi muncul.
Gadis cantik itu kelihatan sangat heran dengan keda-
tangan kakak tertuanya. Apalagi ketika mendapati wa-
jah Yudha Pasa seperti memendam kemarahan. Hingga
kening Narasumi berkerut dalam.
"Ada keperluan apa, Kakang" Kelihatannya kau
tengah memendam sesuatu...?" tegur Narasumi yang
segera menjatuhkan tubuhnya di kursi sebelah depan
Yudha Pasa. Sehingga mereka saling berhadapan satu
sama lain. "Hm.... Jujurlah, Sumi! Apakah ayah meninggalkan
pesan sebelum kepergiannya?" nada pertanyaan Yudha
Pasa terdengar datar dan berbau kecurigaan, membuat
Narasumi agak tersentak.
"Apa maksudmu, Kakang...?" tanya Narasumi pena-
saran. Gadis itu tidak mengerti tujuan pertanyaan kakak tertuanya.
"Jangan berpura-pura dungu, Sumi! Sebelum me-
ninggal, ayah pasti meninggalkan pesan kepadamu.
Karena menurut Ramin, kaulah yang menung-
guinya...!"
Suara Yudha Pasa semakin meninggi. Bahkan ia
sudah bangkit dari duduknya. Ditatapnya wajah Nara-
sumi lekat-lekat, seperti hendak menegasi kalau-kalau adiknya berdusta.
Melihat sikap kakaknya yang semakin aneh, Nara-
sumi terdiam. Gadis itu tengah mengingat-ingat saat
terakhir kehidupan ayahnya.
"Yahhh.... Sebelum menghembuskan nafasnya yang
terakhir, ayah memang mengatakan sesuatu kepada-
ku...," desah Narasumi perlahan. Tapi terdengar cukup jelas di telinga Yudha
Pasa. "Hm.... Apa yang dikatakannya...?" desak Yudha Pa-
sa bernafsu sekali.
"Ayah meminta agar aku segera pergi meninggalkan
tempat ini setelah penguburannya. Beliau menyuruh-
ku supaya menjual rumah ini. Lalu aku mencari kehi-
dupan di tempat lain...," ujar Narasumi mengulang pesan terakhir ayahnya.
"Hanya itu...?"
"Ya. Hanya itu...."
"Hm.... Kau pasti berdusta, Sumi! Aku tidak percaya
hanya itu yang dipesankan ayah sebelum kematian-
nya! Pasti masih ada pesan-pesan yang lain...," tukas
Yudha Pasa tidak percaya dengan keterangan adiknya.
"Hm.... Rupanya kau lebih tahu dariku, Kakang!
Coba katakan, apa lagi yang dipesankan ayah kepada-
ku?" sinis sekali ucapan yang dikeluarkan Narasumi.
Gadis itu rupanya benar-benar jengkel melihat sikap
kakak sulungnya.
Yudha Pasa tidak berkata-kata lagi. Dikeluarkannya
sehelai surat dari dalam pakaiannya. Lalu diletakkan dengan kasar di atas meja.
"Coba kau baca surat ini!"
Kening Narasumi berkerut semakin dalam, heran
melihat kakak tertuanya meletakkan sehelai surat di
hadapannya. Gadis cantik itu mulai curiga ada sesua-
tu yang telah terjadi pada diri Yudha Pasa. Karena sewaktu meninggalkan rumah
ini, setelah selesai men-
guburkan jenazah ayahnya, Yudha Pasa tidak berkata
apa-apa. Apalagi menyinggung mengenai pesan terak-
hir ayah mereka. Maka aneh sekali jika hari ini kakak tertuanya datang hanya
untuk bertanya mengenai hal
itu. "Bacalah...!" ujar Yudha Pasa melihat Narasumi belum juga menyentuh surat
yang diberikannya.
"Dari mana kau dapatkan surat itu, Kakang?" tanya
Narasumi, tanpa mempedulikan ucapan kakaknya.
"Aku sendiri tidak tahu. Surat itu telah ada di atas meja sewaktu aku baru
pulang dari membeli rempah-rempah di kadipaten. Tidak seorang pun yang menge-
tahui siapa pengantar surat itu!" sahut Yudha Pasa
dengan jengkel.
Mendengar jawaban kakaknya, Narasumi terdiam.
Lalu dibacanya isi surat itu. Wajah gadis itu berubah seketika. Isi surat itu
benar-benar membuatnya terkejut. "Hm.... Aku sudah bisa menebak siapa yang
mengi- rimkan surat ini kepadamu, Kakang...," desis Narasu-
mi seraya menatap wajah kakaknya dengan sorot mata
tajam. "Bodoh sekali kalau kau mempercayainya begitu saja...."
Yudha Pasa tentu saja kaget mendengar ucapan
adiknya. Bagaimana mungkin gadis cantik itu bisa
menebak siapa pengirim suara itu. Sedangkan ia sen-
diri tidak bisa menduga.
"Apa maksudmu, Sumi...?" tanya Yudha Pasa se-
raya kembali duduk di hadapan adiknya. Ditatapnya
wajah cantik itu lekat-lekat.
"Kau ingat tiga lelaki tua yang datang ke sini sebe-
lum penguburan ayah?" tanya Narasumi sebelum men-
jawab pertanyaan kakaknya.
Yudha Pasa mengangguk. Kemudian, Narasumi pun
menceritakan kejadian yang dialaminya semalam.
"Hm...."
Yudha Pasa bergumam setelah mendengar cerita
adiknya. Lelaki gemuk itu bangkit dari duduknya dan
berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan di bela-
kang tubuh. "Pantas ayah hampir tidak pernah berbicara kepada
kita. Rupanya ia menyimpan sesuatu yang sangat ber-
harga. Jika demikian, aku akan memeriksa kamar-
nya...." Setelah berkata demikian, Yudha Pasa melangkah
lebar meninggalkan Narasumi. Dan terus menuju be-
lakang bangunan tempat ayahnya tinggal.
"Kakang, tunggu...!"
Narasumi yang tidak menyangka kakaknya berpikir
demikian, berusaha mencegah. Gadis itu melompat
dan menghadang lelaki gemuk itu.
"Jangan halangi aku, Sumi! Kalau benda-benda itu
ada, aku harus mendapatkannya. Ingat! Aku adalah
anak tertua keluarga ini. Aku mempunyai hak untuk
memiliki benda-benda itu...!" tegas Yudha Pasa yang
kelihatan sudah tidak bisa menahan keinginannya un-
tuk memiliki peninggalan orangtuanya.
"Tidak, Kakang! Kalau ayah sampai merahasiakan-
nya kepada kita, jelas beliau tidak menghendaki warisan itu jatuh ke tangan
putra-putrinya! Meskipun kita tidak tahu alasannya, tapi kita harus
menghormatinya, Kakang!"
Narasumi berusaha mencegah niat kakak tertua-
nya. Gadis cantik itu percaya ayahnya mempunyai ala-
san kuat untuk merahasiakan semua itu kepada anak-
anaknya. Narasumi merasa harus menghormati sikap
orang tua itu. "Hm.... Aku tidak peduli dengan segala alasan ayah!
Pokoknya aku harus mendapatkan benda-benda itu.
Titik!" tukas Yudha Pasa yang kelihatan sudah tidak bisa dicegah lagi. Kemudian
lelaki gemuk itu melangkah maju, dan mengibaskan lengannya hendak me-
nyingkirkan adiknya yang menghalangi jalan.
Plak! "Eh..."!"
Tapi Narasumi bertahan. Gadis cantik itu mene-
piskan lengan kakaknya. Hingga Yudha Pasa tersentak
kaget. Tangkisan adiknya mengandung kekuatan tena-
ga dalam. Jelas Narasumi tidak akan membiarkannya
mendapatkan benda-benda warisan itu.
"Menyingkirlah, Sumi! Kalau tidak, aku tidak akan
peduli kau adalah adikku...!" ancam Yudha Pasa, san-
gat marah dengan tindakan Narasumi yang berani me-
nentangnya. "Tidak, Kakang! Biar bagaimanapun aku tidak akan
membiarkanmu mengusik kamar ayah. Aku tidak pe-
duli apa yang akan kau lakukan terhadapku. Dan lagi
kita masih mempunyai dua orang saudara, yang harus
mengetahui persoalan ini...!" bantah Narasumi bersikeras. Tampaknya gadis cantik
itu sudah siap untuk me-
lawan segala tindakan Yudha Pasa.
"Hm.... Aku sudah tahu apa yang kalian pere-
butkan! Dan aku setuju dengan tindakan Kakang
Yudha...!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengejutkan
Yudha Pasa dan Narasumi. Cepat keduanya menoleh.
Dan.... "Rengga..."!"
Hampir bersamaan mereka berseru kaget ketika
mengenali lelaki tegap yang bersandar di palang pintu.
Di tangan lelaki tegap yang tidak lain Rengga Pasa itu terlihat sepucuk surat
yang sama persis dengan surat Yudha Pasa. Agaknya Rengga Pasa telah menerima
surat serupa. "Hm.... Kalian sama saja!" geram Narasumi begitu
mendengar ucapan Rengga Pasa, kakaknya yang ke-
dua. Lelaki tegap itu pun menghendaki warisan ayah
mereka. Rupanya Ki Sutra telah menempuh cara lain
untuk mendapatkan apa yang dicarinya. Dan, sasa-
rannya putra-putra Ki Ganda Pasa.
"Hm.... Apa kau hendak menguasai sendiri warisan
itu, Sumi?" tukas Rengga Pasa sinis. Hingga wajah Narasumi menjadi gelap. Gadis
cantik itu merasa tersinggung dengan ucapan kakaknya itu.
"Kalian berdua keliru! Sadarkah kalian kalau pengi-
rim surat itu jelas hendak mengadu domba! Manusia-
manusia licik itu akan bersorak bila usaha mereka
berhasil!"
Narasumi berusaha mengingatkan kedua kakaknya
tentang orang ketiga. Sayang usahanya tidak berhasil.
Yudha Pasa dan Rengga Pasa tidak menggubris ucapan
adiknya. Bahkan keduanya hendak melanjutkan niat
mereka. "Berhenti...! Kalau tidak, terpaksa aku menghadapi
kalian berdua...!" bentak Narasumi yang langsung
membuka jurus, siap menghadapi kedua kakak kan-
dungnya. "Kau benar-benar serakah, Sumi! Kami tentu saja
tidak akan mengambil semua warisan ayah. Tapi
hanya sebagian. Kau pun akan mendapatkan ba-
gian...," bujuk Rengga Pasa, karena tidak ingin terjadi perkelahian di antara
mereka. "Tidak! Sekali lagi tidak! Walaupun warisan itu milik orangtua kita, tapi tak
seorang pun boleh menyentuh-nya! Beliau jelas-jelas tidak menghendaki! Karena
tak satu pesan pun yang ditinggalkannya...," tegas Narasumi tetap mempertahankan
pendapatnya. Kelihatan-
nya pendirian Narasumi memang tidak bisa dirubah


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lagi. "Hm...."
Yudha Pasa marah sekali melihat kekerasan sikap
adiknya. Ia melangkah maju tanpa mempedulikan si-
kap Narasumi. "Maaf, Kakang...."
Sambil berkata demikian, Narasumi melontarkan
pukulan untuk mencegah langkah Yudha Pasa. Ru-
panya ancaman gadis cantik itu hendak dibuktikan-
nya. Whuuut..! Pukulan Narasumi menyambar lewat di samping
tubuh Yudha Pasa. sebab lelaki gemuk itu sudah ke-
buru memiringkan tubuhnya dengan geseran langkah
ke kanan. "Jangan memaksaku, Sumi...!" seru Yudha Pasa se-
raya melompat pendek ketika Narasumi menyusuli se-
rangannya yang gagal. Lelaki gemuk itu tampaknya
sudah kehilangan kesabaran.
"Kaulah yang memaksaku, Kakang! Sampai mati
pun aku tidak akan rela kalian merusak kamar
ayah...!" teriak Narasumi kembali menyiapkan seran-
gan berikutnya. Agaknya gadis cantik itu tidak lagi
memandang Yudha Pasa sebagai kakak kandungnya.
Tapi seorang musuh yang harus dihadapi.
"Hm.... Jangan salahkan aku bila terpaksa menya-
kitimu...!" geram Yudha Pasa melihat kebandelan
adiknya. Setelah berkata demikian, lelaki gemuk itu
menyiapkan jurus-jurus untuk menghadapi Narasumi.
"Hahhh...!"
Dibarengi sebuah bentakan yang mengejutkan,
Yudha Pasa bergerak ke depan. Kedua tangannya ber-
putar cepat dengan gerakan mantap, hingga mener-
bitkan deruan angin keras. Yudha Pasa sudah tidak
lagi mengingat pertalian darah di antara mereka.
Menyadari kakaknya bersungguh-sungguh, Nara-
sumi segera menyambut serangan itu. Dengan langkah
menyilang, gadis cantik itu bergerak maju. Sehingga
dalam waktu singkat kedua saudara kandung itu telah
saling gempur dengan hebatnya.
Melihat kedua saudaranya sudah saling gempur,
Rengga Pasa segera mengambil keuntungan. Tubuhnya
bergerak menjauhi arena perkelahian. Kemudian me-
nyelinap diam-diam menuju kamar ayahnya. Betapa li-
ciknya putra kedua Ki Ganda Pasa itu.
"Haiiit..!"
Narasumi tidak tinggal diam. Meskipun saat itu
tengah bertarung dengan kakak tertuanya, mata gadis
itu sempat melirik ke arah sosok Rengga Pasa yang
berkelebat Narasumi langsung meninggalkan arena
dan mencegah lelaki tegap itu.
Whuuut..! "Haiiit..!"
Rengga Pasa segera menarik mundur tubuhnya tiga
langkah ketika mendengar deru angin pukulan dari
arah samping. Dan ketika Narasumi melanjutkan se-
rangan, ia pun tidak tinggal diam. Rengga Pasa melontarkan serangan balasan yang
cepat dan kuat.
Whuuut, plak...!
"Aihhh..."!"
Benturan kedua lengan itu membuat Narasumi ter-
pekik. Tubuhnya terjajar limbung. Dalam hal kekuatan tenaga dalam, Rengga Pasa
memang paling unggul di
antara saudara-saudaranya yang lain. Bahkan Yudha
Pasa pun tidak akan menang melawannya. Jadi tidak
terlalu aneh bila benturan itu merugikan Narasumi.
Kali ini Yudha Pasa yang mengambil kesempatan,
ketika melihat tubuh adik perempuannya terjajar lim-
bung. Telapak tangannya terayun deras ke arah Nara-
sumi. Akibatnya....
Plak! "Ugkh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh gadis itu terhuyung
berputaran. Walaupun tamparan keras itu tidak mem-
buatnya jatuh, namun cukup menyakitkan dan terasa
nyeri sampai ke tulang.
Tapi bukan tamparan itu yang membuat Narasumi
meringis. Hatinya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk.
Kalau saja tamparan itu bukan datang dari saudara
kandungnya, tentu ia tidak akan sesakit itu. Tapi ke-nyataannya saudara
kandungnya sendiri yang mela-
kukan. Maka....
Srat! Seketika memancar secercah sinar putih berkilat.
Dan di tangan gadis cantik itu tergenggam sebatang
pedang! "Sumi! Kau gila..."!"
Yudha Pasa tidak menyangka kalau Narasumi akan
menggunakan pedang dalam perkelahian itu. Lelaki
gemuk itu terbelalak dan melangkah mundur dengan
wajah tegang! Jelas, perkelahian itu sudah bukan
main-main lagi.
"Kalian berdualah yang gila! Meskipun kalian ting-
gal jauh, jangan dikira aku tidak tahu kebiasaan jelek kalian! Jika benar
warisan ayah berupa harta, pasti
akan kalian pergunakan untuk membayar hutang dan
berjudi! Nah. Kalian tidak membantahnya, bukan...?"
ujar Narasumi berapi-api seraya menudingkan ujung
pedangnya ke wajah Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Se-
hingga, wajah kedua kakaknya merah padam.
"Perempuan sundal! Apa hakmu mengurusi kehidu-
panku! Apa pun yang akan kulakukan dengan harta
warisan itu tidak ada sangkut-pautnya denganmu! Le-
bih baik urus dirimu, dan jangan pedulikan kami!"
bentak Yudha Pasa marah mendengar Narasumi me-
nyinggung kehidupan pribadinya.
"Benar! Sebaiknya kau menyingkir! Kau akan men-
dapat bagian dari warisan ayah...!" Rengga Pasa me-
nimpali dengan suara yang sama kerasnya.
Tampaknya perselisihan mereka tidak mungkin da-
pat dilerai lagi.
"Baik! Kalau demikian, jangan salahkan aku yang
terpaksa melawan kalian berdua!" tandas Narasumi te-
gas. Pedang di tangannya berputar menimbulkan deruan
angin tajam. Gadis cantik itu lebih rela mati daripada membiarkan perbuatan
kedua kakak kandungnya.
"Keras kepala...!" bentak Yudha Pasa semakin ka-
lap. Begitu ucapannya selesai, tubuhnya langsung me-
layang menerjang Narasumi. Serangannya tidak main-
main lagi. Terbukti dari kuatnya sambaran angin pu-
kulan yang dikerahkan Yudha Pasa.
"Perempuan tolol...!"
Rengga Pasa pun tidak tinggal diam. Tubuhnya me-
lesat ke depan dengan serangan-serangan berbahaya.
Ia tidak peduli lagi serangan itu dapat membahayakan keselamatan adik
kandungnya. *** "Haiiit..!"
Meskipun dikeroyok dua kakaknya, pendirian Nara-
sumi tidak berubah. Serangan-serangannya terlihat
ganas dan mematikan.
Begitu juga Yudha Pasa dan Rengga Pasa. Kedua le-
laki itu tidak lagi main-main dalam melancarkan se-
rangan. Bahkan telah mengeluarkan jurus-jurus anda-
lan yang berbahaya dan bisa mengakibatkan kematian.
Tampaknya ketiga saudara kandung itu sudah dirasu-
ki setan. Perkelahian semakin seru dan bergeser ke halaman
depan. Sampai sejauh itu, Narasumi masih bisa berta-
han dengan gulungan sinar pedangnya. Tapi ketika
pertarungan menginjak jurus kedua puluh, gadis can-
tik itu mulai terdesak dan semakin sulit mengembang-
kan permainan pedangnya. Bahkan pada jurus-jurus
selanjutnya Narasumi tidak mampu lagi melancarkan
serangan balasan, dan hanya mampu bertahan.
"Hahhh...!"
Pada satu kesempatan, Yudha Pasa membentak ke-
ras! Dan melepaskan sebuah tendangan cepat ke ping-
gul Narasumi. Padahal saat itu Narasumi tengah ter-
huyung oleh desakan kedua kakaknya. Sehingga....
Desss...! "Akh...!?"
Tendangan keras Yudha Pasa telak mengenai sasa-
ran. Akibatnya, tubuh gadis cantik itu jatuh terguling-guling. Dan bangkit
terpincang-pincang.
"Haaat..!"
Rengga Pasa tidak mau melewatkan kesempatan
baik itu. Tubuhnya langsung melesat ke depan dengan
dorongan kedua telapak tangan. Dan....
Bresssh! "Akh...!"
Tubuh Narasumi yang belum berdiri kokoh, terpen-
tal keras memuntahkan darah segar! Wajah gadis can-
tik itu tampak pucat ketika mencoba bangkit berdiri.
Dorongan telapak tangan Rengga Pasa telah menyum-
bat jalan nafasnya untuk beberapa saat.
Tapi, penderitaan gadis cantik itu tidak membuat
kedua kakaknya iba. Bahkan Yudha Pasa melompat
hendak menghabisi nyawa adik perempuannya itu.
"Yeaaat...!"
Yudha Pasa meluncur deras dengan tendangan ter-
bang yang sangat berbahaya. Bayangan warisan ayah-
nya membuat lelaki gemuk itu tidak peduli lagi terhadap adik kandungnya. Dan....
"Haaat..!"
Pada saat nyawa Narasumi bagai telur di ujung tan-
duk, mendadak melayang sesosok bayangan yang
langsung memapaki tendangan Yudha Pasa. Sehing-
ga.... Prattt..! Tak ayal lagi, benturan pun terjadi! Yudha Pasa
maupun penolong Narasumi terpental balik. Kendati
demikian, keduanya dapat meluncur turun dengan
baik Itu membuktikan kalau kekuatan tenaga dalam
mereka seimbang!
"Bangga..."!"
Ketiga saudara yang bertarung itu berteriak kaget
bercampur heran. Sosok tinggi besar yang menyela-
matkan Narasumi adalah putra ketiga Ki Ganda Pasa.
Ia adalah Bangga Pasa! Saat kemunculan perwira itu
sangat tepat Sebab terlambat sedikit saja sulit dapat dipastikan Narasumi masih
hidup. "Apa kalian sudah gila..."!" bentak Bangga Pasa se-
raya menatap ketiga saudaranya dengan mata merah.
Rupanya ia sangat marah melihat perkelahian itu.
"Apa sebenarnya yang terjadi sampai kalian hendak
saling berbunuhan dengan saudara sendiri" Kalian
semua benar-benar tersesat!"
Ucapan Bangga Pasa membuat ketiga saudaranya
terdiam. Mereka masih terkejut dengan kedatangan le-
laki tinggi besar itu. Suasana hening seketika. Tidak satu pun dari ketiga orang
itu berbicara atau membantah perkataan Bangga Pasa.
"Hm.... Mengapa diam" Apa kalian bisu...?"
Bangga Pasa kembali melanjutkan ucapannya keti-
ka tak seorang pun menyahuti. Sepasang matanya
yang tajam dan berpengaruh menatap wajah saudara-
saudaranya. "Sebenarnya semua ini tidak perlu terjadi kalau saja Sumi tidak memulainya...,"
akhirnya Yudha Pasa
membuka suara. Lelaki gemuk itu menyalahkan Nara-
sumi. "Benar. Narasumi-lah yang memulai semua ini...,"
timpal Rengga Pasa.
"Pengecut! Mengapa kalian menyalahkan aku" Men-
gapa tidak kalian katakan penyebab yang sebenarnya"
Dasar busuk!" kecam Narasumi, yang tentu saja tidak
ingin dirinya disalahkan.
Bangga Pasa menghela napas panjang. Lelaki tinggi
besar itu terdiam sesaat seraya tetap mengawasi ketiga saudaranya. Tampaknya ia
tidak berpihak kepada siapa pun.
"Coba jelaskan padaku, apa sebenarnya yang mem-
buat kalian bertarung mati-matian" Tapi jangan kata-
kan kalau semua ini disebabkan oleh sepucuk surat
gelap yang membuatku menyempatkan diri datang ke
tempat ini...," ujar Bangga Pasa, membuat ketiga saudaranya terkejut.
"Jadi..., kau pun menerima surat gelap itu...?" tanya Yudha Pasa seraya menatap
wajah adiknya. Ia sungguh tidak menduga kalau Bangga Pasa mendapat su-
rat serupa dengannya, mengingat adik ketiganya itu
seorang perwira kerajaan yang tentu saja tempat tinggalnya dijaga siang malam.
"Hm.... Pertanyaanmu merupakan jawaban kalau
pertumpahan darah yang nyaris terjadi disebabkan su-
rat gelap ini...," ujar Bangga Pasa sambil menunjukkan surat yang diterimanya.
Ia tidak perlu lagi menjawab pertanyaan kakak tertuanya.
"Sebenarnya kami hanya ingin mengambil bagian
dari warisan ayah. Tapi Sumi berkehendak lain. Ia lebih suka ada perkelahian di
antara kita daripada
memberitahukan di mana warisan ayah disimpan," ja-
wab Yudha Pasa, membuat Bangga Pasa semakin
mengerti penyebab pertarungan ketiga saudaranya itu.
"Benar begitu, Sumi...?" tanya Bangga Pasa pada
adiknya. "Aku hanya tidak ingin mereka berbuat semaunya
dengan mengaduk-aduk kamar ayah. Selain itu, aku
tidak rela warisan ayah dipergunakan untuk jalan se-
sat Itu saja...," jawab Narasumi sejujurnya. Sehingga Bangga Pasa mengangguk Ia
sudah mengerti apa yang
menimpa saudara-saudaranya.
"Sikap Sumi tidak salah, walaupun tidak bisa ku
benarkan. Ayah kita belum lagi tenang di alam sana,


Pendekar Naga Putih 68 Warisan Terkutuk di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lalu mengapa kita sudah meributkan warisannya" Bu-
kankah itu tidak pantas" Sebaiknya kita berkumpul
dan merundingkan hal ini. Mengenai warisan itu, aku
kira belum tentu benar. Kita harus menyelidikinya lebih dulu. Siapa tahu
pengirim surat ini hanya menginginkan perpecahan di antara kita...," ujar Bangga
Pasa bijaksana, membuat saudara-saudaranya terdiam. Karena ucapan itu tidak bisa
dibantah kebenarannya.
Melihat ketiga saudaranya seperti menyetujui uca-
pannya, Bangga Pasa mengangguk puas. Ia merasa
bersyukur kemunculannya belum tertambat Sehingga
pertumpahan darah di antara mereka tidak sampai ter-
jadi. "Kelihatannya kau tidak yakin ayah menyimpan wa-
risan seperti yang disebutkan surat gelap itu, Bang-
ga...?" tanya Yudha Pasa dengan pandang mata mere-
dup. Sikapnya menunjukkan kecurigaan. Putra tertua
Ki Ganda Pasa itu khawatir adiknya hanya berpura-
pura, karena ingin memiliki warisan itu seorang diri.
"Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Kakang.
Kedatanganku kemari bukan karena menginginkan
warisan itu. Tapi hanya ingin menyelidiki dan menge-
tahui kebenarannya. Sebab mengenai kebutuhan hi-
dup, aku tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Sebagai
seorang perwira, aku sudah bisa hidup berkecukupan
tanpa harus memikirkan warisan mendiang ayah kita.
Kuharap, kau tidak berpikiran buruk mengenai kebe-
radaanku di sini...," sahut Bangga Pasa tanpa maksud menyombongkan kedudukannya.
Sehingga Yudha Pasa
menjadi malu sendiri.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan selanjutnya...?"
Rengga Pasa segera menyelak karena tidak sabar men-
dengar pembicaraan saudara-saudaranya.
"Hm.... Sebaiknya kita bicarakan persoalan ini di
dalam...," sahut Bangga Pasa, dan langsung disetujui saudara-saudaranya.
Kemudian lelaki tinggi besar itu melangkah masuk diikuti yang lainnya.
*** 5 "Isi surat ini belum pasti kebenarannya. Mungkin
benar yang dikatakan Sumi, kalau pengirim surat ini
ketiga orang tua yang datang saat ayah kita akan di-
kuburkan. Rupanya mereka menempuh cara lain un-
tuk mendapatkan apa yang mereka cari. Aku yakin Ki
Sutra dan kawan-kawannya akan muncul kembali.
Tapi yang jelas, aku masih ragu akan kebenaran wari-
san itu...," ujar Bangga Pasa yang rupanya telah mendengar cerita Narasumi. Baru
kemudian ia dapat me-
nyimpulkan persoalan yang tengah mereka hadapi.
"Kau salah, Bangga. Aku yakin warisan itu pasti
ada. Kalau tidak, untuk apa mereka mempertaruhkan
nyawa mencarinya ke rumah ini?" bantah Yudha Pasa
yang memang merasa yakin akan kebenaran isi surat
gelap itu. Alasan yang dikemukakannya sangat masuk
akal. "Kalau benar begitu, mengapa selama ini ayah me-
rahasiakannya" Bahkan sampai akhir hidupnya beliau
tidak berpesan apa-apa. Malah menyuruh Sumi me-
ninggalkan tempat ini dan mencari kehidupan di tem-
pat lain. Apa sebenarnya tujuan ayah...?" Rengga Pasa ikut menimpali pembicaraan
Durjana Dan Ksatria 10 Rahasia Mo-kau Kaucu Karya Khu Lung Puncak Kematian Cinta 2
^