Pencarian

Kecapi Perak Dari Selatan 3

Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan Bagian 3


'Naga Sakti'nya!" sahut Kenanga tak sabar.
"Hahhh"! Pendekar Naga Putih...!"
Keenam orang itu berteriak dengan wajah pucat.
Namun dalam sepasang mata mereka memancar
sinar penuh harapan. Tanpa ragu-ragu lagi, keenam orang itu segera berlutut di
hadapan Pendekar Naga Putih. Mereka membentur-benturkan kepalanya di tanah
sambil memohon ampun berulang-ulang.
"Ampunkan kami.... Ampunkan kami..," ucap keenam orang itu berbarengan.
"Hm... Bangkitlah kalian!" ujar Panji dengan suara halus, namun mengandung
ketegasan yang tidak bisa dibantah. Maka meskipun agak takut-takut keenam orang
itu bergerak bangkit dengan kepala tertunduk dalam-dalam.
"Pendekar Naga Putih. Perbuatan kami memang sudah keterlaluan. Dan setelah
bertemu denganmu, maka kami rela menyerahkan nyawa di tanganmu.
Kami siap menerima hukuman," sahut Bangkil mewakili teman-temannya. Karena,
mereka memang merasa tidak ada muka untuk berhadapan dengan pendekar besar itu.
Apalagi untuk meminta pertolongan. Mereka tidak berani.
"Hm.... Aku tidak akan menghukum apabila kalian memang telah benar-benar
menyadari perbuatan-kalian. Dan aku pun akan mencoba untuk mencari pembunuh guru
kalian itu," tegas Panji, tenang.
Sehingga, enam orang itu saling pandang setengah tak percaya.
"Apakah itu berarti kami mendapat ampunan?"
tanya Bangkil ragu.
"Asalkan kalian bersedia kembali ke jalan yang benar," tegas Panji lagi.
"Kami berjanji... kami berjanji...!" sambut mereka serempak sambil kembali
berlutut "Nah! Sekarang kalian kembalilah ke perguruan masing-masing. Aku akan mencoba
menemui Kecapi Perak dari Selatan," kata Panji.
Tanpa menunggu lama, keenam orang itu bergegas meninggalkan tempat itu sambil
berkali-kali mengucapkan terima kasih.
*** 7 Malam itu bulan bersinar penuh, menerangi permukaan bumi. Cahayanya yang
keemasan membuat keadaan alam yang gelap itu menjadi terang dan indah. Beberapa anak desa
tampak berlarian bermain petak umpet. Rupanya, suasana terang bulan seperti itu
membuat mereka merasa betah untuk berlama-lama berada di luar rumah.
Bukan hanya anak-anak saja. Orang-orang tua pun tampak berkumpul di beranda
rumah, menikmati purnama yang indah. Sepertinya suasana seperti ini
membangkitkan rasa gembira di hati mereka.
Agak jauh dari keramaian itu, sesosok tubuh melangkah lambat sambil menenteng
sebuah alat musik kecapi. Rambutnya yang panjang terurai, ber-kibaran
dipermainkan angin. Sebagian wajahnya yang biasanya selalu tersembunyi, tampak
tersibak jelas karena hembusan angin yang menyibakkan rambutnya.
Pakaiannya yang berwarna biru gelap dan
sederhana terlihat bersih. Demikian pula ikat kepalanya yang juga berwarna biru
tua. Ia terus melangkah tanpa mempedulikan suasana malam yang indah itu.
Sosok tubuh yang tak lain adalah Rimang atau lebih dikenal berjuluk Kecapi Perak
dari Selatan itu menghentikan langkahnya di samping sebuah rumah besar.
Perlahan-lahan ia pun duduk di atas sebongkah batu pipih yang berada di bawah
sebatang pohon besar. Tak berapa lama kemudian, terdengar
alunan musik kecapinya yang mendayu-dayu
menyentuh dinding-dinding kalbu.
Seorang lelaki berusia empat puluh lima tahun tampak gelisah di dalam rumahnya.
Wajahnya yang semula tenang dan berwibawa, tampak dibasahi keringat ketika
mendengar petikan kecapi yang disertai nyanyiannya yang bergetar dan menyelusup
ke dalam setiap ruangan bangunan besar itu.
"Gila! Kecapi keparat itu telah sampai di sini juga rupanya!" desis lelaki gagah
itu semakin gelisah.
"Tuan! Ada apa, Tuan...?" tanya salah seorang lelaki berpakaian hitam yang
datang bersama seorang kawannya. Mereka adalah dua orang kepercayaan Kepala Desa
Dadapan yang bergegas menghadap begitu mendengar nama mereka
dipanggil. "Hm...," lelaki gagah yang usianya hampir setengah baya itu menggumam tidak
jelas. Kepala Desa Dadapan itu tengah berjalan hilir-mudik. Kepalanya segera menoleh
kepada dua orang pembantunya. Lekaki yang bernama Ki Burga itu segera
mengulapkan tangannya sebagai isyarat agar kedua orang pembantunya datang
mendekat. Tentu saja kedua orang itu menjadi bingung melihat sikap majikan mereka yang
nampak gelisah itu. Setelah berpandangan sejenak, mereka bergegas menghampiri
majikannya yang tengah kebingungan.
Begitu keduanya tiba, Ki Burga lalu berbisik kepada keduanya. Sepertinya
pembicaraan itu tidak ingin didengar orang lain.
Sementara di salah satu kamar rumah besar itu, seorang gadis cantik bergegas
bangkit dari pembaringannya. Setelah merapikan rambut dan pakaiannya, dia cepat
meninggalkan kamarnya dan
langsung menuju samping luar bangunan. Karena diduga, tempat itulah suara
petikan kecapi terdengar.
Tak lama kemudian, dari kejauhan gadis itu melihat sesosok tubuh yang tengah
asyik memainkan kecapinya di atas sebongkah batu pipih di bawah pohon besar.
Kilauan kecapi perak yang tertimpa cahaya rembulan, menimbulkan bias-bias yang
berpendar sehingga menyelubungi sosok tubuh itu.
Sepertinya, sosok tubuh itu bagai seorang dewa yang tengah menghibur penduduk
bumi. "Kakang Rimang...!" sapa gadis itu dengan suara merdu dan lembut.
Setelah melihat orang yang disapanya menoleh, gadis itu melangkah mendekati
tanpa keraguan lagi.
Karena diyakini kalau orang yang tengah memainkan kecapi itu telah dikenalnya.
"Kencana Wungu! Kau... kaukah itu...?" sahut Rimang menghentikan permainannya.
Sejenak laki-laki berambut meriap itu hanya berdiri termenung memandangi gadis
cantik yang tengah melangkah ke arahnya.
"Celaka! Bagaimana Kencana Wungu bisa berada di tempat ini" Apakah rumahnya
tidak berjauhan dengan rumah si keparat itu" Apakah ia datang ketika mendengar
irama alunan kecapiku?" pikir Rimang yang begitu terkejut melihat kedatangan
Kencana Wungu. "Kau... kau sedang apa, Kakang?" tanya gadis yang memang Kencana Wungu adanya.
Ia memandangi wajah tampan berambut meriap yang juga tengah memandangnya.
"Aku... aku hanya sedang menikmati keindahan sinar rembulan, Kencana. Dan aku
tergugah memetik dawai-dawai kecapiku karena merasa terpukau oleh
keindahan pumama malam ini," setelah beberapa lama terdiam, akhirnya Rimang
dapat juga menemukan suatu alasan yang sangat tepat "Di manakah rumahmu,
Kencana?" "Eh, jadi Kakang belum tahu?" sahut Kencana Wungu menutupi mulutnya karena
hampir saja tawanya meledak mendengar pertanyaan yang baginya terdengar sangat
lucu dan menggelitik perut itu.
"Aku.., aku sama sekali belum tahu," kata Rimang.
Laki-laki itu hanya bisa menatap wajah Kencana Wungu dengan wajah ketololan.
Tentu saja ia tidak mengerti, mengapa gadis itu menertawakannya.
Apakah ada sesuaru yang aneh di wajahnya.
"Hi hi hi...! Kau membuat perutku sakit, Kakang.
Kau menanyakan rumahku. Padahal, saat ini tengah berada di sampingnya. Kukira
kau sengaja datang untuk bertemu denganku. Ah! Ternyata aku salah menduga. Tapi
aku senang dapat bertemu lagi denganmu, Kakang," desah Kencana Wungu.
Sungguh tidak diperhatikannya betapa wajah pemuda berusia tiga puluh tahun yang
berdiri di depannya itu telah pucat.
Bagaimana Rimang tidak menjadi terkejut"
Karena, saat itu ia bermaksud menyatroni musuh terakhir gurunya. Dan orang itu
diketahuinya telah memegang jabatan sebagai Kepala Desa Dadapan.
Malam ini, dia memang bermaksud menyelesaikan dendam gurunya yang telah tewas
membawa penasaran yang dalam. Tapi, siapa sangka gadis yang telah membuat semangat
hidupnya bangkit itu tahu-tahu telah berada di dekatnya. Dan diduga....
"Siapakah nama ayahmu, Kencana?" tanya Rimang dengan suara gemetar penuh
ketegangan. Hati laki-laki itu menjerit mengharapkan agar
wanita cantik ini bukanlah anak musuh besarnya.
Rimang menanti jawaban yang keluar dari mulut gadis itu dengan dada berdebar
bagai badai di lautan.
Tentu saja Kencana Wungu jadi heran mendengar pertanyaan itu. Meskipun
sebenarnya hal itu suatu yang wajar, tapi mengapa pada saat yang seperti ini dia
malah menanyakan ayahnya" Ada apa sebenarnya" Tapi demi melihat ketegangan yang
terpancar di wajah si pemetik kecapi itu, mau tak mau Kencana Wungu jadi
berdebar hatinya.
"Mengapa... mengapa kau tanyakan itu, Kakang"
Apakah... apakah kau mempunyai maksud tertentu?"
akhirnya pertanyaan itu terlontar dari mulutnya.
Melihat wajah gadis itu menjadi tegang, Rimang juga menyadari akan sikapnya.
Ditariknya napas panjang berulang-ulang untuk menenteramkan hatinya yang dilanda
ketegangan. Dicobanya untuk menahan gejolak dalam dadanya dan kembali bersikap
wajar. Sejenak suasana jadi hening.
"Tidak. Aku sama sekali tidak mempunyai maksud tertentu. Aku berada di tempat
ini hanya suatu kebetulan saja. Maaf kalau aku telah membuatmu terkejut dengan
pertanyaan tadi," kilah Rimang. Dia merasa bersyukur karena telah dapat bersikap
wajar kembali. "Tapi, apa maksudmu menanyakan nama ayahku"
Apakah kau hanya sekadar ingin tahu?" tanya Kencana Wungu yang masih penasaran
dengan pertanyaan yang tadi dilontarkan pemuda itu.
Sepasang matanya yang indah memandang penuh selidik.
"Hanya sekadar ingin tahu saja. Karena aku menduga, kau pasti putri seorang yang
terpandang di desa ini. Jadi aku merasa penasaran ingin mengetahui nama orang tuamu. Tapi
kalau merasa keberatan, tidak perlu kau jawab pertanyaanku itu.
Lupakanlah," sahut Rimang mengajukan alasan yang kira-kira dapat diterima gadis
yang telah menarik hatinya itu.
"Kalau memang benar-benar ingin mengetahuinya, aku tidak keberatan, Kakang.
Seperti yang pernah kuceritakan kepadamu, ibuku sudah lama meninggal.
Dan aku tinggal bersama ayahku yang bernama Ki Burga dan menjadi kepala desa
ini. Nah! Apakah kau sudah puas dengan jawabanku" Kalau sudah puas, sekarang aku
ingin mendengar riwayat hidupmu.
Boleh?" jelas Kencana Wungu.
Mendengar kalau gadis itu adalah anak Ki Burga, seketika gemetar seluruh anggota
tubuh Rimang. Kakinya melangkah mundur dengan wajah pucat dan mata terbelalak lebar.
Keterangan yang meluncur dari mulut gadis itu bagai ledakan petir di telinganya.
Kali ini Rimang tidak dapat lagi menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Kau... kau kenapa, Kakang?" seru Kencana Wungu lirih dan bergetar.
Wajah gadis ini langsung berubah pucat melihat laki-laki itu terhuyung mundur
sambil menekap dadanya. Gadis cantik ini semakin tak mengerti melihat wajah
Rimang yang berkerut-kerut seperti hendak menangis juga hendak tertawa. Jelas
sekali kalau pemuda itu tengah dilanda penderitaan hebat Sedangkan Rimang terus
terhuyung mundur.
Sesekali terdengar keluhan yang keluar dari bibirnya.
Tangan kanannya terjulur ke depan seperti hendak menghalangi gadis itu agar
tidak melangkah men-dekatinya. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat pergi
sambil memperdengarkan jeritan melengking memilu-kan. Dari nada suara
jeritannya, jelas sekali kalau dia tengah mengalami suatu pukulan dalam hatinya
yang sama sekali tidak dimengerti Kencana Wungu. Dan gadis itu hanya dapat
memandang bingung.
"Kakang Rimang...!" Kencana Wungu berteriak memanggil nama pemuda itu setelah
terbebas dari keterpakuannya.
Sambil berteriak memanggil, tubuh gadis cantik itu cepat melesat ke arah
perginya pemuda pemetik kecapi itu. Namun hatinya jadi kecewa ketika tidak
berhasil menemukan pemuda itu meskipun telah berlari dalam jarak yang cukup
jauh. Rimang yang berjuluk Kecapi Perak dari Selatan lenyap bagaikan ditelan
bumi saja. "Kakang.... Apakah sebenarnya yang terjadi denganmu" Mengapa tiba-tiba saja kau
meninggalkan aku?" keluh Kencana Wungu dengan tubuh lunglai.
Tiba-tiba saja gadis itu merasa begitu sepi dan nelangsa. Sepertinya seluruh
hati dan semangatnya ikut terbang bersama kepergian pemuda yang telah
menimbulkan rasa kagum dan simpati dalam hatinya.
Ingin rasanya dia berteriak sekuat-kuatnya memanggil nama pemuda pemetik kecapi
itu. Dan kini dadanya terasa sesak oleh berbagai perasaan yang bercampur aduk di
dalam hatinya saat itu.
"Oh, Kakang...," Kencana Wungu kembali mengeluh, menyebut nama pemuda yang telah
mencuri sekeping hatinya.
Dilangkahkan kakinya perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Lambat sekali
kakinya melangkah dengan kepala tertunduk. Air mata yang hendak runtuh ditahan
dengan sekuat hatinya. Baru kali inilah ia benar-benar merasa sepi dan sendiri
dalam dunia ini. Hatinya terasa kosong dan pedih mengingat kepergian pemuda itu yang
telah membawa kesan pada dirinya. Tanpa sadar, dua butir air bening
menggelinding di kiri kanan pipinya.
*** Kencana Wungu baru tersentak ketika mendengar langkah langkah kaki yang
mendatanginya. Dengan hati berdebar, gadis itu menunggu dan berharap kalau orang
yang datang itu adalah Rimang, pemuda yang telah menimbulkan getar-getar aneh di
dalam hatinya. Namun hatinya menjadi kecewa ketika orang yang datang itu
ternyata dua orang pembantu ayahnya. Cepat air mata yang membasahi wajahnya
dihapus dengan punggung tangan. Ditariknya napas berulang-ulang untuk
menenteramkan hatinya dan berusaha bersikap wajar.
"Nini Kencana" Nini... sedang apa di sini?" tegur salah seorang dari mereka
dengan perasaan heran.
Karena, tidak biasanya gadis itu berada di luar pada saat malam seperti itu,
meskipun saat itu bulan purnama.
Kedua orang pembantu utama Ki Burga itu saling pandang satu sama lain dengan
wajah bingung. Keduanya sama-sama mengangkat bahu tanda tak mengerti. Mereka kembali
mengalihkan pandang ke arah gadis yang tampak berusaha tersenyum. Tapi sayang,
senyum di wajah cantik itu tampak getir sehingga seperti sebuah seringai.
"Hm.... Apakah aku tidak boleh menikmati keindahan purnama malam ini" Dan Paman
berdua mengapa pula berada di tempat ini?" tanya Kencana Wungu.
Gadis itu rupanya telah dapat menyembunyikan perasaannya dari pandangan kedua
orang pembantu ayahnya itu. Ia mencoba bersikap wajar dan melangkah menghampiri
keduanya dengan senyum yang dibuat semanis mungkin untuk menutupi kedukaan.
"Ah, tidak apa-apa. Kami berdua diperintahkan ayahmu untuk mengamati daerah
sekitar tempat ini.
Karena kami tadi mendengar suara nyanyian dan alunan kecapi," sahut salah
seorang, sambil mencoba bersikap wajar. Meskipun bagi sepasang mata Kencana
Wungu jelas terlihat kalau mereka menyembunyikan sesuatu.
"Apakah Nini juga mendengar suara itu?" tanya yang lain dengan pandangan
menyelidik. "Tidak. Memangnya kenapa, Paman" Apakah nyanyian itu mengganggu perasaan ayah?"
Kencana Wungu berbalik bertanya.
Memang, tidak biasanya kedua orang itu meronda.
Padahal biasanya mereka hanya disuruh menjaga saja. Dan sebagai seorang gadis
cerdik, ia pun mulai dapat meraba kalau ada sesuatu yang tidak wajar yang tengah
dialami ayahnya. Hal itu terlihat dari sikap ayahnya yang nampak gelisah dan
selalu marah-marah waktu belakangan ini. Dan ketika ia melihat keanehan pada si
pemetik kecapi tadi, maka gadis yang banyak akal ini pun mulai merangkai dan
menduga-duga. Meskipun ia belum dapat menemukan apa yang terjadi penyebab semua
itu, Kencana Wungu bemiat menyelidikinya.
"Ah! Sama sekali tidak, Nini. Sebaiknya kita lekas kembali. Siapa tahu, saat ini
ayahmu tengah mencari-carimu. Dan kami bisa mendapat marah besar kalau beliau
mengetahui Nini ada di sini," ajak salah satu
dari keduanya dengan sikap hormat dan tidak terlalu berani mendesak.
"Hm.... Baiklah, Paman. Ayo kita pulang!" setelah berkata demikian, gadis itu
melangkah mendahului kedua orang pembantu ayahnya itu. Tanpa berkata sepatah
pun, kedua orang itu bergegas mengikuti langkah kaki putri majikannya


Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meninggalkan tempat itu.
*** 8 Setelah merasa cukup jauh, Rimang segera
memperlambat larinya dan kemudian berhenti.
Pemuda gagah berusia tiga puluh tahun itu menghela napas panjang berulang-ulang,
lalu duduk di atas sebongkah batu besar di luar perbatasan Desa Dadapan.
"Hhh.... Mengapa kejadian ini harus terulang lagi"
Haruskah aku mengalami kehancuran hati untuk yang kedua kali" Apakah Wirani
tidak rela kalau aku jatuh cinta lagi?" keluh pemuda itu dengan suara bergetar
penuh kedukaan.
Terbayang kembali di pelupuk matanya, peristiwa sepuluh tahun lalu. Waktu itu
dia diperintah gurunya untuk membasmi para perampok yang mengganggu dusun yang
terletak cukup jauh dari tempat tinggal gurunya. Betapa terkejut dan hancurnya
hati Rimang. Ketika kembali dari tugas, dia menemukan tubuh guru dan istri gurunya, serta
Wirani, telah terkapar mandi darah! Sedihnya lagi, Wirani yang anak gurunya itu,
adalah juga tunangannya.
Tiba-tiba Rimang tersentak bangkit dengan sepasang mata nyalang. Pendengarannya
yang terlatih menangkap suara berkeresek di belakangnya.
Namun pemuda itu menghela napas lega, dan kembali duduk tenang ketika melihat
seekor kelinci gemuk berlari ke arah semak-semak.
"Guru. Mengapa derita ini tak habisnya mendera jiwaku?" keluh pemuda itu.
Wajah Rimang semakin berduka. Karena di saat
tugas pembalasan dendamnya hampir tuntas, ia dihadapkan pada sebuah pilihan yang
sangat sulit. Betapa tidak" Sebab ternyata musuh besarnya yang hanya tinggal Ki Burga seorang
itu, mempunyai seorang putri cantik dan telah dikenalnya. Bahkan mereka telah
bersahabat. Selain itu, gadis putri musuh besarnya justru telah menebarkan benih
kasih di dalam hatinya yang selama ini kering dan hampa.
Rimang benar-benar bingung menghadapi keadaan itu. Ia harus memilih antara
perasaan cinta dan bakti terhadap gurunya sekeluarga.
"Hhh...," pemuda itu menghembuskan napasnya kuat-kuat seolah ingin membuang
semua kekalutan melalui hembusan napas beratnya itu.
Hati Rimang kembali terbakar dendam dan
kemarahan mengingat kalau orang yang telah membunuh dan menodai tunangannya itu
masih tersisa seorang lagi. Dan orang itu adalah ayah dari gadis yang telah
membangkitkan gairah dan semangat hidupnya kembali.
"Tidak! Apa pun yang terjadi, aku harus melunasi dendam penasaran guruku
sekeluarga! Aku tidak peduli, meskipun hal itu membuatku menderita selamanya.
Tunggulah, Ki Burga! Aku akan datang untuk mengambil nyawamu!" geram Rimang yang
segera bangkit dengan sorot mata penuh dendam.
Pemuda itu memang harus mengenyampingkan
perasaan pribadi demi bakti terhadap gurunya dan demi kecintaannya terhadap
kekasihnya yang telah dibunuh dan dinodai secara biadab.
Setelah mengambil keputusan bulat, dia
melangkah memasuki mulut desa sambil menenteng kecapi peraknya. Wajahnya yang
gagah dan cukup tampan itu kembali dingin dan beku. Demi guru dan
tunangannya, semua perasaan terhadap Kencana Wungu ditekan dan dimatikannya.
Tubuhnya berkelebat cepat di antara bayang-bayang pepohonan yang memanjang
tertimpa cahaya pumama malam itu.
Tubuh pemuda yang kini terbakar dendam itu berlompatan di atas atap rumah-rumah
penduduk menuju kediaman kepala Desa Dadapan. Begitu tiba di tempat tujuan,
tubuhnya segera menyelinap memasuki bangunan besar rumah kepala desa.
Wuuut! Tangan pemuda itu bergerak melemparkan sebilah pisau ke arah tiang penyangga
rumah yang berada di ruangan depan. Setelah itu tubuhnya kembali berkelebat
lenyap meninggalkan rumah kediaman Ki Burga.
Tappp! "Hei, apa itu...?" teriak lelaki gagah yang bukan lain dari Ki Burga sendiri.
Tubuh Ki Burga langsung mencelat bangkit dari kursinya. Gerakan ini diikuti pula
oleh dua orang pembantunya, karena saat itu mereka memang tengah berbicara di
ruang depan. Ki Burga melangkah hati-hati ke arah tiang yang menjadi sasaran sinar putih yang
tadi dilihatnya itu.
Dua orang pengawalnya ikut melangkah di belakang majikannya, siap dengan senjata
di tangan. "Lihat, Ki! Di gagang pisau itu sepertinya ada selembar daun lontar!" kata salah
seorang dari kedua pengawal kepala desa itu.
"Ambillah, dan bawa kemari!" perintah Ki Burga dengan hati tegang dan diliputi
tanda tanya. Seorang penjaga kemudian mengambil pisau yang tertancap, kemudian membuka
gulungan daun lontar.
Diserahkannya daun lontar itu, yang kemudian diambil Ki Burga. Dengan hati-hati,
kepala desa itu membuka gulungan daun lontar yang kemudian segera dibacanya.
Ia yang sudah mendengar kabar terbunuhnya tiga orang sahabatnya, langsung dapat
menerka. Mungkinkah ini perbuatan orang yang dijuluki Kecapi Perak dari Selatan" Kalau
benar, mengapa mengirimkan surat ini" Mengapa tidak datang langsung menemuinya
seperti yang dilakukan terhadap ketiga orang kawannya"
Dengan tangan gemetar karena dilanda
ketegangan hebat, Ki Burga pun mulai membaca tulisan di dalam surat itu.
Ki Burga! Kutunggu kau malam ini juga!
Datanglah ke sebuah lapangan rumput di Selatan desa.
Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu!
Wajah Ki Burga mendadak gelap sesudah
membaca isi surat itu. Diremasnya surat itu dengan penuh geram, lalu
dilemparkannya jauh-jauh.
"Huh! Jangan kau kira aku takut kepadamu, Manusia Keparat! Akan kuremas hancur
batang lehermu!" geram Ki Burga dengan suara lirih. "Kalian berdua ikut aku!"
Dengan diiringi dua pembantu utamanya, lelaki gagah berusia empat puluh lima
tahun itu bergegas memenuhi tantangan Kecapi Perak dari Selatan.
*** Tiga orang tampak berkelebat menuju suatu tempat Mereka adalah, Ki Burga dan dua
orang pengawal pribadinya. Kini mereka telah tiba di lapangan yang dimaksud di
dalam surat. Dari kejauhan, mereka melihat sesosok tubuh berambut meriap berdiri
angker sambil menyandang sebuah kecapi berwarna perak.
"Hm.... Ternyata kau cukup gagah dan jantan, Ki Burga!" puji sosok tubuh yang
tak lain Rimang itu.
Suara si pemetik kecapi itu terdengar dingin dan angker. Sehingga hati ketiga
orang itu berdebar dan semakin tegang. Dan memang mereka sudah
mendengar sepak terjang tokoh itu yang menggiriskan.
"Hmh...! Aku tidak akan lari dari tanggung jawab, Kisanak. Kedatanganku kemari
bukan bermaksud untuk membela tiga orang kawanku yang telah kau bunuh itu, tapi
justru untuk menebus dosa-dosa akibat kekhilafanku dulu. Dulu aku telah dibujuk
Ki Suta untuk mengeroyok dan membunuh gurumu itu.
Selama sepuluh tahun aku menyesali perbuatanku yang telah membuat dosa besar
terhadap gurumu.
Kini, aku datang untuk menebusnya," tegas Ki Burga sambil melangkah perlahan
mendekati Rimang.
"Bagaimana kau bisa tahu kalau aku datang untuk menagih hutang nyawa guruku?"
tanya Rimang. "Tidak perlu heran, Kisanak. Aku sudah mulai menduga ketika mendengar kematian
tiga orang sahabatku itu. Sebab, peristiwa itu sampai saat ini masih tetap
mengganggu pikiranku. Itulah sebabnya, mengapa aku dapat memastikan dirimu
sesungguh-nya," sahut Ki Burga yang telah dapat menenangkan dirinya.
"Hm.... Meskipun begitu, jangan harap aku akan
mengampunimu, Orang Tua! Meskipun kau mengata-kan sangat menyesali perbuatanmu
itu, namun aku akan tetap mengirimmu ke liang kubur!" bentak Rimang yang tak
tergerak hatinya oleh pengakuan Ki Burga.
"Hm.... Apakah kau tahu, apa yang menyebabkan gurumu sampai tewas di tangan
kami?" tanya Ki Burga.
"Tentu! Pada saat usai pembantaian, aku datang.
Kutemui kalau ternyata guruku masih belum tewas.
Beliau menceritakan kalau perbuatan itu dilakukan oleh seorang yang pernah
menjadi tunangan istri guruku. Tapi istri guruku menolaknya, dan memilih beliau
sebagai suaminya. Tapi, rupanya orang yang bernama Ki Suta itu mendendam. Maka
diajaknya tiga orang kawannya untuk membunuh guruku sekeluarga, setelah dua
puluh tahun menahan dendam. Bahkan salah seorang dari kalian telah menodai
tunanganku sebelum membunuhnya!"
Rimang berhenti sebentar. Dihirupnya napas dalam-dalam, dan dihembuskannya kuat-
kuat. Dadanya terasa bergemuruh, menahan gejolak amarah.
Sedangkan Ki Burga tetap mendengarkan dengan sabar, walau hatinya juga tidak
menentu. "Beliau telah mewariskan aku sebuah kitab dan kecapi perak yang kupelajari
selama sepuluh tahun untuk membalaskan dendam. Ia juga menyebutkan nama-nama
orang yang mengeroyoknya. Itulah sebabnya, mengapa aku tidak terlalu sulit
mencari keempat orang pembunuh biadab itu. Aku memang tidak tahu, siapa di
antara kalian yang telah menodai tunanganku. Namun, aku telah cukup puas bisa
melenyapkan kalian dari muka bumi ini!" tegas Rimang dengan suara bergetar
mengingat kematian gurunya
sekeluarga. "Ah! Aku sama sekali tidak mengetahui kalau salah seorang dari kami telah
menodai putri gurumu itu."
desah Ki Burga agak kaget
"Sudahlah, Ki Burga. Sekarang bersiaplah untuk menerima hukuman atas perbuatanmu
itu!" bentak Rimang yang segera bersiap untuk melakukan serangan.
Pemuda itu menggeser kaki kanannya ke samping membentuk kuda-kuda silang. Tangan
kirinya ditekuk di atas kepala. Sedangkan tangan kanannya yang memegang kecapi
berada di depan dada.
"Menepilah kalian. Jangan mencampuri urusan ini," perintah orang tua itu kepada
kedua orang pembantunya. "Kalau aku tewas, bawa mayatku pulang!"
"Baik, Ki," sahut kedua orang itu serempak.
Meskipun dengan hati dipenuhi tanda tanya, namun kedua orang pembantu yang setia
itu pun melangkah ke tepi arena.
"Aku sudah siap, Kisanak!" seru Ki Burga yang sudah mencabut sepasang pedang
yang tergantung di punggung.
Wuuut! Wuuut..!
Ki Burga memutar pedang secara bersilangan.
Sepasang pedang itu berkesiutan membentuk gulungan sinar putih yang bergerak
cepat turun naik.
"Yeaaat..!"
Diiringi teriakan keras, Rimang mulai membuka serangan. Tubuhnya yang tinggi
tegap itu meluncur cepat ke arah lawannya.
Wuuut! Kecapi perak yang berada di tangan kanannya menyambar cepat dengan kekuatan
menggiriskan, tertuju ke arah kepala Ki Burga. Laki-laki kepala desa itu segera menggerakkan
pedangnya untuk menangkis. Namun, serangan itu ternyata hanyalah sebuah tipuan.
Karena pada saat hampir mencapai sasaran, tiba-tiba kecapi perak itu tertarik
pulang. Rimang segera menggantikannya dengan tusukan jari-jari tangan kiri yang terbuka
mengancam lambung lawan.
Zebbb! "Aaah...!"
Ki Burga yang tidak mengira gerakan lawan demikian cepatnya, cepat melompat ke
belakang untuk menghindari serangan berbahaya itu. Sambil melompat,
dikirimkannya sebuah bacokan yang tidak kalah berbahayanya. Pedang di tangan
kanannya menyambar ganas mengancam leher lawan.
Rimang pun bukanlah orang bodoh. Kaki kanannya segera digeser ke samping
disertai liukan tubuhnya, maka serangan Ki Burga hanya mengenai tempat kosong.
Kemudian dilancarkannya serangkai serangan balasan yang mengancam jalan-jalan
darah kematian di tubuh orang tua itu. Dengan tidak kalah ganas, sepasang pedang
di tangan kepala Desa Dadapan menyambar, menyambut serangan lawan.
Pertarungan pun berjalan semakin sengit. Kedua tokoh itu saling menyerang
dahsyat. Dalam waktu singkat, mereka telah bertarung lebih kurang empat puluh
jurus. Namun, masih terlihat sama-sama seimbang.
"Yeaaat...!"
Memasuki jurus yang keempat puluh lima, Ki Burga berteriak melengking tinggi.
Sepasang pedangnya berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata.
Nampaknya, orang tua itu telah
mengerahkan seluruh kepandaian untuk segera menjatuhkan lawan. Serangannya kali
ini benar-benar hebat dan menggiriskan.
Wukkk! Wukkk! "Haiiit...!"
Sambil membentak keras, Rimang berkelebat cepat menghindari sambaran pedang yang
berhawa maut itu. Di sini diperlihatkannya kehebatan ilmu meringankan tubuhnya
yang jarang ada duanya.
Setiap kali pedang di tangan lawan menyambar, selalu saja hanya mengenai tempat
kosong. Dan memang, gerakan tubuh pemuda itu masih jauh lebih cepat daripada
sambaran pedang lawan. Bukan hanya itu saja. Dalam setiap elakannya, laki-laki
tinggi tegap itu selalu mengisinya dengan sambaran kecapi peraknya maupun
tusukan jari-jari tangan yang dapat meremukkan batu karang. Sehingga dalam
beberapa jurus kemudian, Rimang kini sudah mulai dapat mendesak lawannya. Ki
Burga terus dipaksa bermain mundur dan semakin dipersempit ruang geraknya.
Memasuki jurus kelima puluh tiga, Ki Burga sudah tidak mampu lagi membalas
serangan. Setiap kali pedangnya menyambar, selalu membentur kecapi perak yang
bergulung-gulung membentuk gundukan sinar bagai benteng baja yang kokoh. Setiap kali membentur gundukan sinar
perak itu, pedangnya selalu terpental balik dan tangannya kontan terasa nyeri.
Hal itu menandakan kalau kekuatan tenaga dalam lawan ternyata masih beberapa
tingkat di atasnya. Dan hal itu membuatnya semakin
kewalahan. "Gila! Kepandaian pemuda ini benar-benar hebat.
Pantas saja kalau ketiga orang kawanku sampai tewas di tangannya. Dan rasa-
rasanya, aku pun tidak
akan bertahan lebih lama lagi," keluh Ki Burga yang seluruh tubuhnya sudah
dibasahi peluh yang membanjir keluar. Bahkan napasnya pun terlihat mulai memburu
karena harus mengerahkan seluruh tenaga untuk mempertahankan nyawa.
"Heaaat..!"
Pada saat pertarungan memasuki jurus yang kelima puluh lima, Rimang berteriak
nyaring disertai sentilan jari-jarinya pada dawai kecapi. Hebat sekali akibat
yang ditimbulkan oleh petikan kecapi yang disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Sekitar arena pertarungan bagai dilanda angin ribut, hingga membuat
pepohonan berderak bagaikan hendak roboh! Bahkan dua orang pembantu Ki Burga
yang menyaksikan pertarungan dari tepi arena sampai terjengkang ke belakang.
Mereka terkejut bukan main ketika merasakan sebuah getaran yang amat kuat
seperti menghantam bagian dalam dada. Maka kedua orang itu cepat mengerahkan
tenaga untuk melindungi tubuh mereka dengan jalan melakukan semadi dan mengatur
jalan napas. Kejadian itu juga dialami Ki Burga. Bahkan akibat yang dialaminya lebih hebat
lagi, karena serangan itu memang ditujukan kepadanya. Tubuh orang tua itu
gemetar bagai orang terserang demam tinggi.
Padahal dirinya sudah dilindungi tenaga dalam penuh. Namun tetap saja suara itu
mem-pengaruhinya. Dari mulut, hidung, dan telinganya nampak mengalir darah
segar. Jelas kalau Ki Burga mengalami luka dalam yang cukup parah.
"Hiaaa...!"
Karena tidak sanggup bertahan lebih lama, tiba-tiba Ki Burga mengeluarkan
lengkingan tinggi yang nyaring. Saat itu juga tubuhnya melesat disertai
sambaran sepasang pedangnya. Orang tua itu tidak sadar kalau keadaannya yang
lemah telah memperlambat gerakannya. Sehingga pada saat
melompat, ia tidak sempat lagi menghindari sambaran kecapi perak yang menghantam
punggungnya. Desss! "Huagkh...!"
Tubuh Ki Burga langsung terjengkang disertai semburan darah segar dari mulut.
Sepasang pedangnya pun terlempar entah ke mana. Sebelum tubuhnya menyentuh
permukaan tanah, Rimang sudah menyusul dengan tusukan jari-jari tangan yang
meluncur ke arah leher orang tua itu. Rasanya, nyawa Ki Burga hanya sampai di
sini. Laki-laki tua itu hanya dapat memejamkan mata, menunggu ajal tiba.
Sikapnya sudah benar-benar pasrah.


Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

*** 9 "Aaah...!"
Tubuh Rimang terpental balik ketika tusukan jari tangannya membentur lengan
kokoh bagai sebatang baja yang mengeluarkan hawa dingin menggigit tulang. Cepat
tubuhnya bersalto beberapa kali di udara untuk mematahkan daya luncur tubuhnya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Rimang.
Laki-laki pemetik kecapi itu terkejut melihat sesosok tubuh sedang dan berjubah
putih tengah berdiri tegak beberapa langkah di depan Ki Burga.
Orang itu dikenalnya betul karena sekujur tubuhnya dikelilingi selapis kabut
yang bersinar putih keperakan. Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Pendekar Naga
Putih. Sementara tubuh Ki Burga yang terluka, tengah dipapah ke tepi oleh seorang gadis
jelita berpakaian serba hijau. Gadis itu tak lain adalah Kenanga yang datang
bersama Panji. "Hm.... Mengapa kau mencampuri urusanku, Pendekar Naga Putih"! Bukankah hal ini
tidak ada sangkut pautnya denganmu" Lagi pula keparat itu adalah musuh besarku
yang telah membantai guruku sekeluarga," tegur Rimang dengan suara tak senang.
Keningnya berkerut dalam, melihat campur tangan pendekar muda itu.
"Kisanak. Membunuh musuh yang sudah tidak berdaya bukanlah suatu sifat
bijaksana," sahut Panji yang menjadi semakin bijak karena pengalaman-
pengalamannya dalam petualangan. "Adalah merupakan sikap terpuji apabila kita
sudi memaafkan lawan yang sudah tidak berdaya. Siapa tahu ia akan menjadi sadar
dan tidak mengulangi perbuatannya lagi,"
"Jangan coba menasihatiku, Pendekar Naga Putih!
Biarpun kau seorang pendekar besar, namun usiaku jauh lebih tua darimu. Dan aku
tidak membutuhkan nasihatmu! Lebih baik serahkan orang tua itu kepadaku, dan kau
boleh pergi tanpa kuganggu!"
bentak Rimang. Dia memang menjadi tersinggung mendapat
nasihat dari Pendekar Naga Putih yang dianggapnya sebagai anak kemarin sore.
Sepasang matanya memancarkan sinar berkilat dan penuh ancaman.
*** "Kakang, orang tua itu terluka cukup parah. Dan menurut keterangan dua orang
yang mungkin pembantunya, dia memang sengaja datang ke sini untuk memenuhi
tantangan Kecapi Perak dari Selatan. Hal ini dilakukan untuk menebus dosa-dosa
yang telah dilakukannya pada masa silam," jelas Kenanga yang sudah berada di
samping Panji. Gadis jelita itu melemparkan pandang sejenak kepada Rimang yang
tengah berdiri dengan sikap menantang.
"Nah! Kau dengar itu, Kisanak. Orang tua yang menjadi musuh besarmu itu telah
lama menyesali perbuatannya. Apakah kau tidak sudi mengampuni dan memaafkannya?"
bujuk Panji dengan suara halus.
Meskipun demikian, Panji tetap tidak meninggalkan kewaspadaannya. Karena dari
benturan tadi, bisa diduga kalau kepandaian lelaki berambut meriap itu
tidak bisa dipandang remeh.
"Tidak perlu banyak cakap, Pendekar Naga Putih!
Kalau kau hendak membelanya, bersiaplah! Aku ingin tahu, apakah kepandaianmu
sehebat perkataanmu?"
tantang Rimang yang tidak ingin berpanjang kata lagi.
"Tunggu dulu, Kisanak. Bagaimana kalau kita ber-taruh saja?" usul Panji yang
rupanya telah mendapat jalan keluar untuk memecahkan persoalan.
"Apa maksudmu?" tanya Rimang mengerutkan kening.
"Hm.... Aku terima tantanganmu, tapi dengan satu syarat. Apabila dalam
pertarungan nanti aku kalah, kau boleh membunuhku dan juga orang tua itu. Tapi
sebaliknya, apabila kau yang kalah, kau harus mengampuni dan memaafkan orang tua
itu. Bagaimana" Setuju?"
Rimang tidak segera menjawab. Ia termenung sejenak memikirkan usul yang diajukan
Pendekar Naga Putih. Sekilas terbayang mayat ibu guru dan tunangannya yang
bermandi darah. Masih terngiang di telinganya rintihan kesakitan sang Guru saat
menjelang ajal dan menyerahkan kecapi perak berikut sebuah kitab. Terbayang juga
wajah Kencana Wungu, gadis yang telah mempu membangkitkan gairah hidupnya yang
telah lama marl.
Apa yang akan dilakukan Kencana Wungu yang telah mencuri sekeping hatinya,
apabila mengetahui kalau dirinya yang membunuh orang tua satu-satunya yang masih
tinggal" Apakah mungkin kalau gadis itu akan berduka dan kemudian melakukan
pembalasan terhadapnya"
Rimang meringis menahan rasa nyeri yang tiba-tiba menusuk jantungnya. Karena ia
tidak mungkin sanggup membayangkan kesedihan dan kedukaan
gadis yang telah dicintainya itu. Apalagi untuk menghadapinya. Ia tidak akan
sanggup. "Hhh...," Rimang menghembuskan napasnya kuat-kuat untuk menghilangkan rasa
pening akibat pertentangan batinnya. Ia benar-benar bingung dan tak tahu harus
memilih yang mana.
"Kisanak, aku percaya kalau mendiang gurumu adalah seorang yang bijaksana. Dan
aku pun percaya apabila saat ini beliau masih ada, pasti akan mengampuni dan
memaafkan musuhnya yang telah sadar akan kesalahannya," bujuk Panji yang membuat
Rimang mengangkat kepalanya dan menatap
pemuda berjubah putih itu lekat-lekat
"Betulkah ucapanmu itu, Pendekar Naga Putih?"
tanya Rimang yang hatinya telah dilanda keraguan.
"Untuk apa berbohong," sahut Panji tersenyum.
"Lagi pula dengan melukai orang tua itu, bukankah kau telah memberikan ganjaran
atas perbuatannya"
Dan itu, sama artinya bahwa kau telah menunaikan tugasmu dengan baik."
"Hm.... Kurasa ucapanmu itu cukup masuk akal,"
gumam Rimang seraya mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Baiklah. Aku setuju dengan usulmu tadi.
Nah, sekarang bersiaplah!"
Laki-laki pemetik kecapi itu segera memasang kuda-kuda, siap menghadapi Pendekar
Naga Putih. "Sudah kuduga, kalau kau sebenarnya memiliki sifat bijaksana, Kisanak. Aku kagum
padamu," jawab Pendekar Naga Putih yang segera bersiap menghadapi Kecapi Perak
dari Selatan. "Jangan terlalu memujiku, Pendekar Naga Putih,"
sahut Rimang. Terus terang, diam-diam si Pemetik Kecapi dari Selatan merasa malu. Karena
keputusan yang diambilnya itu bukan dari kebijaksanaan. Keputusan itu diambil karena ia takut
akan kemarahan dan kedukaan putri musuh besarnya yang telah mencuri sekeping
hatinya itu. Sesudah mengeluarkan ucapan itu, Rimang mulai bergerak maju dengan sikap hati-
hati. Karena disadari kalau yang dihadapinya kali ini bukanlah orang
sembarangan. Mau tak mau dia harus berjuang keras untuk mengalahkannya. Bahkan,
jarinya sudah digerakkan memetik dawai kecapi dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Mendengar irama kecapi yang kian lama kian menggetarkan dan melengking itu,
Kenanga dan tiga orang lainnya bergegas menjauhi arena pertarungan.
Sedangkan Panji sendiri sudah melolos Pedang Naga Langit yang tersandang di
punggungnya. Cepat-cepat pedang itu diputar untuk menindih suara kecapi yang
mengaung dan melengking menggetarkan dadanya.
Wuuuk!Wuuuk...!
Segunduk sinar putih keperakan bergulung-gulung menimbulkan deruan angin
dahsyat. Gundukan sinar itu bergerak turun naik, bagai seekor naga yang
melayang-layang di angkasa. Suaranya mengaung dahsyat bagai pekikan naga yang
marah! Rimang tercekat ketika merasakan suara
mengaung yang ditimbulkan putaran pedang lawan ternyata mampu menindih irama
petikan kecapinya.
Dibarengi teriakan nyaring, laki-laki gagah itu melompat menerjang Panji dengan
seluruh kekuatan tenaga dalamnya.
"Heaaat..!"
Wuuuk! Angin tajam berhembus keras ketika Rimang mengayunkan kecapi peraknya untuk
menerjang Panji. Namun Pendekar Naga Putih bergegas menyambut dengan sambaran Pedang Naga
Langit yang mengaung menggetarkan sukma. Sesaat
kemudian, kedua orang tokoh sakti itu sudah terlibat pertarungan dahsyat
Trang! "Aaah...!"
Terdengar benturan keras yang memekakkan
telinga ketika pedang di tangan Panji membentur kecapi perak lawan. Tubuh Rimang
terdorong sejauh hampir dua tombak dan wajahnya terlihat agak pucat Sedangkan
Panji hanya terjajar mundur sejauh tiga langkah. Dari sini saja sudah dapat
ditakar kalau tenaga dalam yang dimiliki si Pemetik Kecapi dari Selatan cukup
lumayan juga. Paling tidak, ini membuat Pendekar Naga Putih harus mengakui
kehebatan lawannya.
"Sudah kuduga kalau kau pasti memiliki tenaga dalam hebat, Kisanak," puji
Pendekar Naga Putih tulus tanpa bermaksud menghina.
"Hhh...!"
Rimang hanya menggeram sambil menyedot
napas dalam-dalam. Tubuhnya tampak bergetar, pertanda kalau laki-laki gagah itu
tengah mengerahkan seluruh tenaga saktinya untuk penyerangan selanjutnya. Dengan
sebuah bentakan menggeledek, tubuh Rimang kembali melayang ke arah Panji.
"Hiaaa...!"
Wuuut! Wuuut..!
Dalam sekejapan mata saja, laki-laki gagah berambut meriap itu telah melancarkan
serangkai serangan maut yang membahayakan nyawa lawan.
Sepertinya, kali ini Rimang benar-benar marah dan bermaksud menjatuhkan lawan
secepat mungkin.
Maka serangannya kali ini tidak bisa dipandang enteng.
Wuuut! Derrr! Sambaran kecapi perak yang mengandung
kekuatan dahsyat itu hanya menghantam sebatang pohon yang besarnya sepelukan
orang dewasa. Pohon itu langsung tumbang sehingga menimbulkan suara berderak ribut. Untung
gerakan Panji lebih cepat dalam menghindari hantaman maut itu. Kalau tidak,
niscaya tubuhnya akan terkena hantaman yang kuat dari lawannya itu.
"Haiiit...!"
Panji memutar pedang di tangannya dengan 'Ilmu Pedang Naga Sakti' yang sudah
tersohor itu. Sinar emas pun bergulung semakin cepat, menimbulkan terpaan angin
dingin yang dapat membekukan jalan darah di tubuh lawan yang tidak memiliki
tenaga dalam tinggi. Gulungan sinar itu menukik cepat menyambar lambung Rimang
yang sudah bersiap menghadapinya.
Wuuut! Sambil melompat menghindari sambaran pedang lawan, tangan kiri Rimang bergerak
cepat melakukan tusukan dengan jari-jari terbuka ke arah ubun-ubun Pendekar Naga
Putih. Bergegas Panji memiringkan tubuh dengan kuda-kuda rendah ketika merasakan
sambaran angin tajam di atas kepalanya. Dengan sebuah gerakan indah dan kuat
kaki kiri Panji mencelat naik melakukan tendangan kilat ke dada lawan. Namun
Rimang pun bergerak cepat memapak tendangan itu dengan hantaman kecapi perak ke
lutut lawan. Wuuut! Tendangan Panji yang ternyata hanya sebuah
tipuan, menekuk cepat hingga hantaman kecapi perak lawan hanya mengenai tempat
kosong. Sambil menarik pulang tendangannya, tubuh pemuda tampan itu berputar
setengah lingkaran. Dan tahu-tahu saja tumit kanannya telah mencelat menuju
pelipis lawan. Memang, gerakan berputar yang dilakukan Pendekar Naga Putih
diiringi pula dengan lompatan.
Dungngng! Rimang terjajar mundur ketika berhasil menangkis tendangan Panji dengan bagian
samping kecapi peraknya. Ia segera melakukan beberapa kali salto ke belakang,
karena khawatir kalau-kalau lawan akan melakukan serangan berikut. Dan ternyata
apa yang diduganya menjadi kenyataan
Panji yang sempat merasa tergetar akibat
tangkisan kecapi perak lawan, segera melesat.
Bahkan pedangnya langsung ditusukkan ke arah dada lawan. Serangkum angin dingin
yang menggigit kulit mendahului sambaran Pedang Naga Langitnya.
Wuuut! Trangngng!
"Ahhh...!"
Meskipun berhasil menangkis tusukan pedang dengan senjatanya, namun tubuh si
Pemetik Kecapi dari Selatan hampir terjengkang karenanya. Dan sebelum sempat
merubah posisi kuda-kuda, sebuah tendangan kilat telah hinggap di tubuhnya.
Desss! "Hugkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Rimang terbanting jatuh dengan suara berdebuk keras.
Darah segar tampak mengucur dari mulut, sehingga membasahi pakaiannya. Sedangkan
kecapi peraknya sudah terlepas dari pegangan. Namun sebagai seorang yang ber-
kepandaian tinggi, ia pun cepat menguasai keadaan.
Tubuhnya melenting bangkit, lalu bergulingan menjauhi lawannya.
"Hhh.... Kau hebat Pendekar Naga Putih. Tapi aku belum kalah!" kata Rimang
terengah-engah sambil menekap perutnya yang terkena tendangan tadi.
"Hm...."
Panji hanya bergumam sambil menyimpan
senjatanya. Memang, Pendekar Naga Putih tidak ingin dikatakan mendapatkan
kemenangan dengan meng-andalkan senjata. Apalagi, lawannya kini sudah tidak
memegang senjata lagi. Dan kini kedua tangannya bergerak membentuk cakar naga.
"Sambutlah ini, Kisanak!" ujar Panji memperingatkan lawannya.
Saat itu juga tubuh Pendekar Naga Putih melesat menerjang lawan yang sudah
mempersiapkan jurus-jurus tangan kosongnya.
Wuuut! Wuuut! Dua buah cakar Panji yang mengarah lambung dan dada, berhasil dihindari Rimang
dengan menggeser tubuhnya ke samping. Sambil mengelak, dilepaskannya sebuah
pukulan dan tendangan secara berturut-turut. Meskipun dalam keadaan terluka,
ternyata pukulan dan tendangan si Pemetik Kecapi dari Selatan masih tetap
berbahaya. Akibatnya, Panji tidak mau bersikap ayal-ayalan, dan cepat menggeser
tubuhnya dua langkah ke belakang.
"Yeaaat..!"
Begitu serangan lawan mengenai tempat kosong, tubuh Panji kembali melesat sambil
mendorong sepasang telapak tangannya yang meluncur deras dan menghantam dada
lawan. Bresss! "Aaakh...!"
Rimang menjerit ketika sepasang telapak tangan Panji yang mengandung 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'
itu telak menghantam dadanya. Tubuhnya langsung terjungkal dan tak mampu bangkit
lagi. "Kau.... Kau..., benar-benar..., hebat, Pendekar Naga Putih. Aku..., mengaku
kalah...," kata Rimang dengan tubuh menggigil hebat. Wajahnya tampak kehijauan
akibat serangan hawa dingin yang telah merasuk ke dalam tubuhnya akibat hantaman
Panji. Melihat lawannya sudah mengaku kalah dan tidak berdaya, Panji bergegas
menghampirinya. Cepat-cepat Pendekar Naga Putih menotok dan mengurut di beberapa
jalan darah tubuh Rimang untuk
menyembuhkan luka akibat pukulannya tadi. Ini dimaksudkan agar laki-laki gagah
itu tidak sampai tewas oleh pukulan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya tadi.
"Nah! Sekarang, beristiraharlah untuk memulihkan tenagamu," ujar Panji setelah
memberi obat penawar luka yang selalu dibawa dalam buntalan pakaiannya.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih. Kau benar-benar seorang pendekar sejati yang
bijaksana," ucap Rimang.
Si Pemetik Kecapi dari Selatan benar-benar terharu melihat, betapa bekas
lawannya itu ternyata malah mengobatinya. Dan sebagai seorang pendekar, Rimang
pun tahu maksud dari kata 'istirahat' yang dilontarkan Panji. Maka, matanya pun
mulai dipejamkan, lalu bersemadi.
*** Saat itu kegelapan sudah sirna. Semburat ke menahan mulai tampak menghias kaki
langit sebelah Timur. Seorang gadis tampak berlari mendatangi tempat itu.
"Ayah...! Begitu melihat sesosok tubuh yang tengah
terduduk, gadis yang tak lain dari Kencana Wungu itu langsung berteriak dan


Pendekar Naga Putih 16 Kecapi Perak Dari Selatan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hendak menubruk ayahnya.
"Tahan dulu, Adik Manis. Ayahmu tengah bersemadi untuk mengobati luka dalamnya,"
Kenanga buru-buru mencegah gadis itu agar tidak mengganggu ayahnya.
"Siapa..., siapa yang telah melukai ayah?" tanya Kencana Wungu seraya
mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu.
Dan gadis itu semakin terkejut ketika melihat sosok tubuh tegap tiba-tiba
bergerak bangkit setelah menyelesaikan semadinya.
"Aku yang telah melukainya, Kencana!" sahut Rimang sambil menahan debaran dalam
dadanya. Rimang terpaksa mengakui perbuatannya karena tidak mau menanggung beban perasaan
yang terlalu berat. Dipandanginya gadis itu dengan sinar mata sayu. Wajahnya
yang semula telah segar kembali pucat. Rupanya laki-laki tegap itu telah siap
menghadapi pukulan yang seberat apa pun.
"Kau yang melukai ayahku?" tanya gadis cantik itu lirih dan tak percaya.
Sepertinya Kencana Wungu akan lebih percaya kalau pemuda tampan berjubah putih
itu yang melukai ayahnya, karena dia sama sekali belum mengenalnya.
"Tapi..., mengapa, Kakang?" tanya gadis itu menuntut jawaban.
"Karena aku dahulu adalah salah seorang pembunuh gurunya sekeluarga!" tiba-tiba
terdengar suara berat menyahuti.
"Ayah...!"
Begitu melihat ayahnya tengah bergerak bangkit Kencana Wungu segera berlari
menghambur ke dalam pelukan ayahnya. Orang tua yang sangat mengasihi putri satu-
satunya itu memeluk dan membelai rambut kepala anak gadisnya.
"Mengapa, Ayah?" tanya gadis itu seraya mengangkat wajahnya yang bersimbah air
mata. Dipandanginya wajah ayahnya yang tampak penuh garis-garis penderitaan.
Setelah menarik napas sejenak, Ki Burga
kemudian menceritakan duduk persoalan yang sebenarnya. Ditumpahkannya seluruh
beban yang selama sepuluh tahun mengganjal hatinya itu.
"Oh, Ayah...."
Tangis gadis itu kembali melesak begitu mendengar cerita ayahnya. Sekilas
terbayang di benaknya seraut wajah gagah milik Rimang yang selalu pucat dan tak
bergairah itu. Kini baru dimengerti, mengapa laki-laki itu seperti tidak
mempunyai gairah hidup.
Rupanya hatinya penuh beban derita yang sangat berat. Kencana Wungu mengangkat
kepalanya ketika teringat akan laki-laki itu.
"Ke mana dia..." Mana, Kakang Rimang?" tanya Kencana Wungu yang segera
melepaskan pelukan ayahnya. Gadis itu mencari-cari orang yang dimaksud bagai
seorang ibu yang kehilangan anaknya.
"Dia telah pergi," sahut Kenanga yang melangkah mendekati gadis itu. Sebagai
seorang gadis, ia pun tahu apa yang terkandung di dalam perasaan Kencana Wungu.
"Kulihat ia pun sangat mencintaimu.
Kau susullah. Karena dia tidak mungkin mendatangi-mu. Ia merasa terlalu tua
untukmu." Kenanga rupanya telah dapat menyelami perasaan Rimang. Rupanya dalam perantauan
bersama Panji, gadis ini telah banyak melihat pengalaman yang dipetik sebagai
pelajaran. Dan salah satunya adalah persoalan yang terjadi antara Rimang dengan
Kencana Wungu. Buktinya, si Pemetik Kecapi dari Selatan itu bergegas pergi
begitu Kencana Wungu datang. Tentunya, setelah mengakui perbuatannya terlebih
dahulu. "Oh."
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Kencana
Wungu bergegas menyusul ke arah yang ditunjukkan Kenanga. Sementara Ki Burga
memandanginya dengan hati terharu. Dan orang tua itu pun berharap agar putrinya
dapat menyusul Rimang. Sepertinya, ia setuju karena hal itu bisa mengurangi rasa
ber-salahnya. *** "Kakang...!" Kencana Wungu berseru ketika melihat sosok tubuh tegap tampak
melangkah lesu beberapa tombak di depannya.
Tanpa ragu-ragu lagi, gadis cantik itu segera memeluk tubuh Rimang yang menjadi
terkejut setengah mati. Ia hanya berdiri terpaku dengan tubuh gemetar. Benar-
benar sulit untuk mempercayai keadaan itu.
"Tidak perlu banyak bicara dan alasan lagi. Aku bersedia menerimamu, walaupun
kau telah melukai ayahku. Ayo, kita menghadap ayah!" ajak gadis itu.
Kencana Wungu sama sekali tidak memberi
kesempatan kepada Rimang untuk berbicara.
Ditariknya tangan laki-laki itu untuk menemui ayahnya.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga tersenyum melihat kedua orang itu sudah kembali
sambil bergandengan tangan. Selagi seluruh perhatian Ki Burga dan dua orang
pembantunya tercurah kepada Rimang dan Kencana Wungu, mereka bergegas
meninggalkan tempat itu. Memang, sepasang pendekar itu harus menyelesaikan tugas
lain yang masih menunggu.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Pendekar Kembar 16 Pendekar Bayangan Sukma 10 Gadis Dari Alam Kubur Misteri Kapal Layar Pancawarna 7
^