Pencarian

Macan Tutul Lembah Daru 1

Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru Bagian 1


MACAN TUTUL LEMBAH DARU
Oleh T Hidayat Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar Sampul oleh Soeryadi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 24:
Macan Tutul Lembah Daru
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Hembusan angin pagi silir-silir mengiringi langkah kaki seorang pemuda bertubuh
tinggi tegap. Menilik dari langkah kakinya yang ringan dan mantap, jelas dia
sudah terbiasa menempuh perjalanan jauh.
Wajah pemuda itu bersih dan tampan. Alis matanya tebal, membentuk garis
melengkung. Matanya bening dan tajam, menimbulkan perbawa kuat. Tarikan dagunya
kokoh, menandakan jiwanya yang keras.
Tak berapa lama berjalan, tibalah pemuda itu pada sebuah aliran sungai. Sekali
genjot saja, tubuhnya melayang bagaikan seekor burung besar. Ujung kakinya
menotok batu-batu yang bertonjolan di atas permukaan air. Hebat sekali caranya
menyeberangi sungai. Sebentar saja, ia telah berada di seberang sungai lebar
itu. Pemuda tampan bertubuh tinggi tegap itu memang bukan orang sembarangan. Konon
kabarnya, dunia persilatan memberikan julukan kepada pemuda itu sebagai Macan
Tutul Lembah Daru. Ia adalah anak yatim piatu yang dipungut Dewa Lembah Daru.
Kedua orang tuanya tewas di tangan perampok yang pada saat itu tengah mengganas
di desanya. Setelah diperbolehkan turun gunung pada setahun lewat, pemuda itu telah mengukir
nama besar dalam dunia persilatan. Nanggala, alias Macan Tutul Lembah Daru
merupakan tokoh golongan putih yang sangat disegani golongannya, dan ditakuti
golongan hitam. Sepak
terjangnya yang menggiriskan, membuat namanya semakin ditakuti lawan dan
disegani kawan.
Sesaat kemudian, tubuhnya pun melesat bagaikan sebatang anak panah yang lepas
dari busur. Dalam beberapa saat saja, tubuh pemuda gagah yang mengenakan pakaian
kulit macan tutul itu hanya tinggal bayang-bayang kabur, untuk kemudian lenyap
ditelan kelebatan hutan.
*** Di tengah keheningan pagi yang bening, terdengar denting senjata yang ditingkahi
teriakan-tenakan nyaring.
Sesosok tubuh ramping mengenakan pakaian serba putih tampak berkelebatan dan
menyelinap lincah di antara sambaran pedang lawan. Gerakan gadis itu terlihat
demikian indah, sehingga tak ubahnya seorang dewi yang tengah menari.
"Haiiit..!"
Kembali gadis berwajah cantik itu mengelak diiringi teriakan merdunya. Sambaran
sebatang pedang lawan yang meluncur lurus ke arah lambungnya, dapat dielakkan
dengan memiringkan tubuh ke kiri. Bahkan dengan gerakan tidak kalah cepatnya,
gadis cantik itu langsung mengirimkan serangan balasan.
Wuttt! Sambaran pedang gadis cantik itu menimbulkan desingan tajam, dan nyaris melukai
iga lawannya. Untunglah pada saat yang gawat, sebatang pedang lain datang, dan langsung
membentur pedang gadis itu.
Sehingga ujung pedangnya yang semula siap terhunjam,
jadi menyeleweng menusuk angin kosong.
Belum lagi gadis cantik itu sempat menyadari keadaannya, tiba-tiba dari arah
belakang meluncur sebatang pedang lainnya! Tentu saja hatinya menjadi terkejut
ketika mendengar desingan angin tajam yang mengancam punggungnya. Maka, cepat-
cepat tubuhnya diliukkan dengan menggunakan tenaga pinggang. Kemudian, tubuhnya
dilempar ke samping, bagaikan baling-baling yang berputar. Sehingga, ia pun
selamat dari ancaman pedang lawan.
Namun, usaha yang dilakukan gadis itu ternyata sia-sia!
Baru saja kakinya menjejak tanah, sebuah tendangan lawan yang keras telah
menghantam belakang pinggangnya.
Bugkh! "Uhhh...!"
Terdengar jeritan tertahan disertai terlemparnya tubuh gadis cantik itu beberapa
tombak ke depan. Dan selagi tubuhnya terhuyung, lawan yang lain datang menyerbu
dengan totokan-totokan saling susul. Dari sambaran angin totokan itu, jelas
kalau kekuatan yang terkandung di dalamnya sangat kuat. Dapat dipastikan, tubuh
gadis cantik itu akan roboh tak berkutik akibat totokan lawan.
Siuttt! Siuttt!
Jari-jari tangan laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itu meluncur deras,
mengancam titik-titik jalan darah di tubuh gadis cantik ini. Dan jelas, dia
tidak mungkin lagi menghindarinya.
Pada saat yang gawat, tiba-tiba sesosok tubuh tinggi tegap melayang memasuki
arena pertarungan. Begitu tiba, langsung telapak tangan kanannya didorongkan ke
arah laki-laki tinggi kurus yang tengah melancarkan serangan.
Dan... Plakkk! "Uhhh...!"
Dorongan telapak tangan sosok tubuh tinggi tegap itu ternyata mengandung
kekuatan hebat. Sehingga, totokan jari-jari tangan yang terhantam angin
pukulannya, langsung menyeleweng dari sasaran. Bukan itu saja.
Bahkan tubuh laki-laki tinggi kurus itu pun berputar akibat tangkisan bertenaga
dalam tinggi dari sosok tubuh itu.
"Bangsat! Manusia bosan hidup dari mana yang berani mencampuri urusan Empat
Setan Muara Bangkai!" umpat laki-laki tinggi kurus itu dengan wajah geram.
Sepasang matanya berkilat marah, menatap sosok tubuh tinggi tegap yang berdiri
gagah melindungi gadis cantik itu.
"Macan Tutul Lembah Daru...!" bisik tiga orang yang berdiri agak jauh dari
tempat laki-laki tinggi kurus itu.
Wajah mereka jelas menyiratkan kegentaran ketika mengetahui, siapa sosok tubuh
yang telah menyelamatkan lawan mereka.
Laki-laki tinggi kurus bermuka tikus itu pun tersentak kaget ketika mengenali
sosok tubuh yang telah memapak serangannya. Meskipun belum pernah berjumpa
dengan pendetar muda yang terkenal itu, namun melihat dari pakaiannya yang
terbuat dari kulit macan tutul, jelas kalau orang yang menolong lawannya memang
Macan Tutul Lembah Daru. Tapi, justru kenyataan itu malah membuatnya semakin
marah. "Hm.... Jadi kau rupanya yang berjuluk Macan Tutul Lembah Daru" Bagus sekali
sikapmu! Gadis itu sengaja kau
selamatkan karena tertarik melihat kecantikannya, bukan"
Dan kau sok jadi pahlawan agar mendapat pujian dari mulut yang indah itu!" ejek
laki-laki tinggi kurus itu. Jelas ejekan yang menyakitkan itu sengaja
dilontarkan, untuk memancing amarah Macan Tutul Lembah Daru.
Tapi sayang, ejekan itu sama sekali tidak membuat Nanggala marah. Malah, wajah
pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun itu mengembangkan senyuman sabar.
Sikapnya pun terlihat tenang. Tampaknya dia cukup berpengalaman dalam menghadapi
keadaan ini. "Hm.... Kau pasti yang bernama Kalpika, orang tertua dari Empat Setan Muara
Bangkai yang terkenal gagah itu,"
tebak Nanggala, sengaja menekankan kata-kata 'gagah'
untuk memancing sikap ksatria laki-laki tinggi kurus itu.
Hal itu dilakukan Nanggala, untuk menghindari pertempuran. Bukan karena Nanggala
gentar, tapi menurutnya akan lebih baik apabila pertumpahan darah dapat
dihindari. Hal itu memang sudah menjadi dasar pemikirannya.
"Maaf kalau aku telah lancang mencampuri urusan kalian. Tapi, rasanya tidak adil
apabila seorang gadis muda seperti Nisanak ini dikeroyok kalian berempat. Dan
karena melihat ketidakadilan inilah, maka urusan kalian terpaksa kucampuri,"
lanjut Nanggala.
Macan Tutul Lembah Daru berhenti sebentar untuk melihat hasil pujiannya. Senyum
pemuda gagah itu semakin mengembang ketika melihat wajah keempat tokoh sesat itu
berseri setelah mendengar pujiannya. Dan itu merupakan pertanda baik, setidak-
tidaknya menurut Nanggala.
"Hm.... Tahukah kau, apa sebabnya kami ingin menawan wanita setan itu"
Ketahuilah, Macan Tutul Lembah Daru. Wanita cantik itu telah membunuh sepuluh
orang anak buah kami. Jadi, apakah salah bila kami melakukan pembalasan dan
ingin menawannya hidup-hidup" Cobalah katakan, kalau memang ada jalan lain untuk
menyelesaikan persoalan ini," jelas Kalpika.
Suaranya mulai terdengar wajar, dan seperti mencoba bersikap bijaksana.
Jelas sikapnya telah termakan pujian Nanggala. Bahkan cara berdiri dan menatap
pemuda itu pun, terlihat agak dibuat-buat. Seolah-olah, ia memang ingin
menunjukkan kalau dirinya seorang yang bijaksana dan memiliki kegagahan.
Tiba-tiba saja, gadis cantik berpakaian serba putih itu melangkah maju.
"Huh! Enak saja menyalahkan orang, Muka Tikus!
Kalau bukan karena anak buahmu yang memulai, tentu aku pun tidak sudi melayani
tikus-tikus busuk seperti anak buahmu. Dan jangan dikira aku takut menghadapi
pembalasan darimu! Majulah kalian! Biar semua dapat kukirim ke neraka untuk
menemani cecunguk-cecunguk peliharaanmu itu!"
Mendengar kata-kata itu, kontan wajah keempat tokoh sesat itu kembali menjadi
gelap. Bukan hanya Empat Setan Muara Bangkai yang merasa terkejut dengan ucapan gadis
itu. Bahkan, Nanggala pun sempat dibuat kaget oleh keberanian gadis cantik yang
ternyata sangat galak. Karena sudah terlambat mencegah, maka Nanggala hanya bisa
menatap gadis itu penuh
kecemasan. Sebab, usaha perdamaian yang baru saja dimulainya, langsung hancur
akibat ulah gadis cantik itu.
Sehingga, Macan Tutul Lembah Daru hanya bisa menarik napas sambil bersiap
melindungi gadis itu dari bahaya.
"Perempuan setan! Apa pun alasan yang kau ajukan, bagi kami tetap saja
perbuatanmu salah! Kalau memang anak buah kami bersalah, tidak perlu kau turun
tangan membunuhnya. Sebab, kami berempat masih bisa mengajarkan kepada mereka
agar bersikap gagah!" sentak Kalpika.
Jelas ucapan itu mengandung kegeraman yang berusaha ditahannya. Itu dikarenakan,
ia masih terbuai ucapan Nanggala yang memujinya sebagai orang gagah. Memang,
hanya baru dari mulut pemuda itulah ia mendapat pujian demikian. Maka, wajar
saja kalau Kalpika mencoba menahan kemarahannya. Meskipun untuk itu, ia harus
menahan rasa sesak dalam rongga dadanya.
"Hi hi hi...! Kau tidak usah berpura-pura sebagai orang baik, Empat Setan
Kudisan! Dari ucapanmu saja, sudah jelas. Kau tidak mempedulikan perbuatan anak
buahmu itu. Tapi karena pemuda ini sudah memujamu sebagai orang gagah, maka kau
pun mencoba pura-pura bersikap gagah. Hi hi hi...! Lucu sekali! Sekumpulan
anjing buduk yang biasa mengais sampah, mencoba berkedok harimau hanya karena
sebuah pujian kosong!" kembali gadis cantik itu mengeluarkan hinaan yang sangat
menyakitkan hati.
"Nisanak, janganlah kau...."
"Jangan ikut campur!" bentak gadis cantik itu ketus, memotong ucapan Nanggala.
"Hm.... Apakah kau pikir setelah menyelamatkan diriku, lalu bisa mengatur
seenak- nya" Huh! Kau ternyata sama saja dengan mereka!
Berpura-pura menolong, padahal mempunyai pamrih di belakangnya. Rupanya, tuduhan
si muka tikus itu benar.
Kau menolong karena ingin mendapat pujian dariku, bukan" Nah! Kalau begitu,
terimalah ucapan terima kasihku! Dan kau boleh pergi! Biar urusanku dengan
mereka kuselesaikan sendiri!"
Tajam dan menghina sekali kata-kata yang diucapkan gadis cantik itu. Sehingga,
Nanggala yang biasanya selalu tenang dan tabah dalam menghadapi kematian
sekalipun, kali ini tidak bisa berkata-kata. Pemuda itu hanya berdiri bagaikan
orang kehilangan akal. Sebab, memang baru pertama kali inilah ia menolong orang
dengan balasan hinaan yang sangat menyakitkan.
Setelah melontarkan kata-kata yang menyakitkan kepada Nanggala, gadis cantik itu
kembali melangkah maju. Pedang yang terhunus di tangan kanannya berkelebat
membentuk kilatan menyilang.
"Majulah kalian, Empat Setan Kudisan! Hari ini, Untari akan mengirim kalian ke
neraka!" bentak gadis cantik yang mengaku bernama Untari, tanpa rasa gentar
sedikit pun. Pedang di tangannya menyilang di depan dada, untuk kemudian ditudingkan lurus-
lurus ke arah empat orang lawannya.
Keberanian gadis cantik itu sebenarnya membuat hati Nanggala merasa kagum. Tapi
sayang, sifat galak dan ketusnya tidak kalah dengan keberanian hatinya.
Sehingga, diam-diam pemuda gagah yang berjuluk Macan Tutul Lembah Daru itu
menyesali sifat jelek dalam diri Untari.
Helaan napas yang mewakili kekecewaan hatinya, ter-
dengar berat meluncur melalui hidung.
Pertempuran yang sepertinya tidak mungkin bisa dihindari lagi, tentu saja
membuat hati Nanggala menjadi cemas. Diam-diam pemuda perkasa itu bersiap
melindungi keselamatan Untari. Sebab biar bagaimana pun, hatinya lebih condong
membela gadis cantik itu.
"Haiiit..!"
Saat itu, Untari sudah mulai membuka serangan disertai teriakan nyaringnya.
Tubuh ramping gadis itu pun melesat cepat menerjang keempat lawannya.
Wuttt! Wuttt! Sekali menyerang, Untari langsung melepaskan dua sabetan pedangnya mengincar
Kalpika dan Suraji, dua orang dari Empat Setan Muara Bangkai. Sambaran pedang
gadis cantik itu demikian cepat dan kuat. Jelas, niatnya adalah menghabisi nyawa
lawan-lawannya.
Baik Kalpika maupun Suraji, tentu saja tidak sudi tubuhnya dijadikan sasaran
empuk senjata Untari. Maka ketika senjata lawan meluncur datang, kedua orang
tokoh sesat itu cepat melompat ke samping dan berpencaran.
Gerakan mengelak itu masih pula dibarengi sabetan pedang masing-masing yang
langsung mengincar tubuh Untari.
Cepat Untari melempar tubuhnya ke belakang, begitu melihat sambaran kedua pedang
lawannya. Pedangnya diputar membentuk gulungan sinar putih yang melindungi
kepala. Hal itu dilakukan untuk menjaga-jaga bila serangan lawan tiba selagi ia
melompat ke belakang.
Melihat dari caranya bertempur, jelas kalau gadis cantik dan galak itu memiliki
kecerdikan yang patut dipuji.
Nanggala sendiri mengangguk-anggukkan kepala melihat cara bertempur Untari.
Meskipun demikian, pemuda itu tetap tidak menghilangkan kewaspadaannya.
Kepandaiannya siap digunakan untuk menolong gadis cantik itu, apabila
diperlukan. Apa yang diperhitungkan Untari, ternyata tidak meleset. Saat gadis cantik itu
melompat mundur, Kalpika dan Suraji membarenginya dengan sebuah lompatan
panjang. Senjata mereka berputar sedemikian rupa, dan langsung bergerak menusuk
dengan kecepatan tinggi.
Pedang di tangan Kalpika bergetar bagai terbelah menjadi beberapa bagian. Dan
setiap ujung pedang itu memancarkan hawa maut yang menggetarkan jantung.
Kemudian secara tak terduga, senjata laki-laki tinggi kurus itu meluncur cepat
mengancam belahan dada tubuh Untari. Rupanya rasa marah membuat tokoh sesat itu
merubah niatnya, dan hendak menghabisi nyawa gadis itu pula.
Sementara itu, Suraji melompat bergulingan dan melancarkan serangan dari bawah.
Bahaya yang ditimbulkan tokoh bertubuh gemuk itu pun tidak kalah dengan Kalpika.
Bahkan patut diakui serangan Surajilah yang lebih berbahaya. Karena, bagian
bawah tubuh gadis itu sama sekali tidak terlindungi. Tentu saja kedua serangan
itu membuat nyawa Untari terancam kematian.
Wuttt! Bettt! Trang! Trang! Tusukan senjata Kalpika dan Suraji terpental balik, ketika sebuah benda bulat
berwarna hitam menyambar cepat menyambut serangan mereka.
"Ahhh...!"
Tubuh kedua orang tokoh sesat itu bergetar hebat akibat tenaga sambitan yang
amat kuat. Jemari tangan mereka yang menggenggam senjata, terasa nyeri dan linu.


Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tentu saja hal itu membuat mereka tersentak kaget, dan langsung menolehkan
kepala ke arah Macan Tutul Lembah Daru.
Nanggala atau lebih dikenal sebagai Macan Tutul Lembah Daru, menentang pandangan
mata kedua tokoh sesat itu lekat-lekat. Jelas kalau pemuda perkasa itu memang
sengaja hendak mencampuri urusan mereka.
*** 2 "Maaf, aku terpaksa...," ucap Nanggala yang segera melompat maju, menghadang di
tengah arena. Dari cara dan sikapnya, jelas kalau Macan Tutul Lembah Daru telah mengambil
keputusan untuk membela Untari. Karena, hatinya tidak tega melihat keselamatan
gadis itu terancam di depan matanya.
"Hm.... Sudah dua kali kau menyelamatkan gadis setan itu, Macan Tutul Lembah
Daru! Sekarang kami tidak segan-segan lagi memberi pelajaran kepadamu! Bersiap-
lah...!" bentak Kalpika geram. Seketika sifat aslinya muncul setelah melihat
sikap Nanggala. Wajahnya berubah bengis, menyiratkan nafsu membunuh!
Nanggala yang menyadari keadaannya, tidak lagi mempedulikan ancaman Kalpika.
Ditariknya kaki kanan ke belakang, sejauh tiga jengkal. Dengan kuda-kuda rendah,
kedua tangannya membentuk setengah mengepal di kedua sisi kepalanya. Rupanya,
Nanggala sudah menyiapkan jurus 'Macan Tutul' untuk menghadapi keroyokan Empat
Setan Muara Bangkai.
"Hm...," Kalpika menggeram gusar. Sepasang tangannya mengibas ke kiri-kanan,
sebagai perintah kepada ketiga orang saudaranya untuk menyebar mengurung pemuda
gagah itu. Tanpa diperintah dua kali, Suraji dan kedua saudaranya bergerak mengurung
Nanggala. Mereka masing-masing berdiri dalam sikap membentuk empat arah mata
angin. Sekali pandang saja, Nanggala sadar kalau keempat lawannya hendak mengeroyok
menggunakan jurus paduan. Sepasang mata pemuda gagah itu bergantian melirik ke
arah keempat lawan. Sikapnya tetap tenang, dan penuh kewaspadaan.
"Heaaattt..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, Kalpika mulai membuka serangan. Tubuhnya
melesat cepat disertai sambaran pedang yang menimbulkan deru angin tajam!
Apa yang dilakukan Kalpika rupanya hanya sebuah tipuan! Lelaki tinggi kurus itu
ternyata hanya melakukan loncatan panjang beberapa jengkal di atas kepala lawan.
Dan pada saat yang hampir bersamaan, Suraji sudah melesat dari arah yang
berbeda. Dan rupanya, gerakan itu juga merupakan sebuah tipuan! Seperti halnya
tipuan yang dilakukan Kalpika, tubuh Suraji melompat tinggi melampaui kepala
Nanggala. Sekejap setelah tubuh Kalpika dan Suraji melakukan gerakan tipuan, dua orang
Empat Setan Muara Bangkai yang terakhir mengiringi tidak kalah gesitnya. Mereka
langsung menyabetkan senjata ke arah Nanggala hampir bersamaan! Seorang
menyerang dari bawah, sedang yang lainnya dari atas.
Wuttt! Syuuut! Dua buah serangan yang dilancarkan dalam waktu hampir bersamaan itu memang
berbahaya sekali. Apalagi pada saat itu perhatian Nanggala masih terpengaruh
gerak tipu yang dilakukan Kalpika dan Suraji. Dan akibatnya, pemuda itu belum
dapat menebak, apakah serangan itu juga merupakan gerak tipu, atau sungguhan.
Dan memang, justru di situlah letak keistimewaan barisan 'Empat Arah Mata
Angin'. Tidak heran, barisan yang dimiliki Empat Setan Muara Bangkai sangat
ditakuti kaum rimba persilatan. Karena, gerak barisan penyerangan dalam barisan
itu benar-benar di luar dugaan.
Dan itu dialami Nanggala. Meskipun banyak memiliki pengalaman bertarung, tapi
dalam menghadapi barisan
'Empat Arah Mata Angin' itu, sempat kelabakan juga.
Sehingga, pada saat kedua orang Empat Setan Muara Bangkai terakhir melancarkan
serangan, pemuda itu hanya menghindar dengan melompat ke samping. Untunglah
gerakan pemuda itu masih sedikit lebih cepat daripada kedua orang lawannya.
Kalau tidak, tentu tubuhnya sudah menjadi sasaran senjata lawan. Untuk gebrakan
pertama, rupanya Nanggala masih beruntung.
Begitu telah melempar tubuh ke samping, Nanggala terus menjatuhkan tubuhnya dan
bergulingan menjauh.
Sebagaimana julukan yang diberikan kepadanya, pemuda itu ternyata mampu melompat
seperti seekor macan tutul. Dengan sebuah lentingan tinggi yang indah, sepasang
kakinya telah kembali berpijak di permukaan tanah.
"Yeaaat..!"
Namun, serangan yang dilakukan keempat orang lawannya itu ternyata tidak hanya
sampai di situ saja. Baru saja kedua kaki Nanggala menginjak tanah, serangan
gelompang kedua kembali membuatnya terperanjat.
Tapi, kali ini Nanggala tidak tinggal diam dalam menghadapi barisan yang penuh
gerak tipu. Maka, ketika
salah seorang musuhnya meluruk, dia segera melesat dan langsung berjumpalitan
mengikuti gerak penyerang pertama. Akibatnya, ketiga orang lainnya sempat kaget
melihat apa yang dilakukan Macan Tutul Lembah Daru.
Nanggala yang berjumpalitan membarengi gerakan lawan, langsung mengirimkan
pukulan 'Macan Tutul' nya ke arah iga orang itu. Gerakannya yang cepat dan tak
terduga, tentu saja membuat lawan terkejut. Walaupun sudah berkelit, tapi kalah
cepat dengan gerakan pemuda gagah itu. Maka....
Duggg! "Hugkh...!"
Orang itu mengeluh pendek ketika pukulan 'Macan Tutul' yang dilancarkan Nanggala
telak menghajar lambungnya. Akibatnya, tubuh orang itu terbanting jatuh
menimbulkan suara berdebuk keras.
Jatuhnya salah seorang saudara mereka, ternyata tidak mengurangi daya tempur
Empat Setan Muara Bangkai.
Pada saat yang sempit itu, Kalpika dan kedua orang lainnya melesat disertai
sambaran pedang yang berkelebat susul-menyusul.
Wuttt! Wuttt! Tiga batang pedang yang mengincar leher, dada, dan perut Nanggala, dapat
dielakkan dengan melempar tubuh ke samping kanan. Dan, itu pun masih dibarengi
sebuah tendangan samping yang mengincar lambung Kalpika.
Karena, orang tertua dari Empat Setan Muara Bangkai itulah yang berada di
sebelah kanan pemuda itu.
Tapi, kejelian mata Kalpika ternyata cukup cepat.
Melihat tendangan yang begitu cepat ke arahnya,
tubuhnya segera ditarik ke belakang dengan jalan menekuk lutut kanan yang memang
berada di belakang.
Sambil berbuat demikian, Kalpika memutar pedang dan langsung melancarkan babatan
mendatar. Maksudnya, hendak membabat putus kaki Nanggala.
Bettt! Bacokan pedang itu tidak membuat Nanggala gugup.
Dengan gerakan sigap, lututnya menekuk dan kembali menghantam dada Kalpika.
Buggg! "Hegkh...!"
Tak ayal lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu langsung terjengkang ke belakang.
Hantaman lawan yang telak menghajar dadanya, membuat Kalpika terbatuk dan
memuntahkan darah segar. Dan sebelum sempat berdiri tegak, Nanggala kembali
melancarkan sebuah tendangan mengarah ke kepala lawannya.
Kalpika yang memang keadaannya masih lemah itu tidak dapat lagi mengelak. Lelaki
tinggi kurus itu memejamkan mata, menanti datangnya maut.
Rupanya Kalpika itu masih bernasib baik. Pada saat tendangan Nanggala hampir
tiba, seberkas sinar putih yang berasal dari sambaran pedang Suraji, datang
menyelamatkannya. Pedang itu meluncur cepat, mengancam lutut Macan Tutul Lembah
Daru. Tentu saja Nanggala tidak sudi mengorbankan sebelah kakinya. Cepat tendangan
yang hampir menewaskan Kalpika ditariknya. Dan ketika pedang di tangan Suraji
berputar menyambar perutnya, pemuda itu mengegos ke kiri. Langsung dikirimnya
serangan balasan dengan
pukulan 'Macan Tutul'nya.
Hebat bukan main pukulan balasan yang dilakukan pemuda itu. Sehingga Suraji
sempat tergagap dibuatnya!
Dan... Tukkk! "Aaakh...!"
Tubuh Suraji kontan terjajar limbung akibat sodokan jari-jari setengah mengepal
yang telak menghajar iganya.
Selagi tubuh Suraji hampir jatuh menimpa Kalpika, Nanggala telah mengirimkan dua
buah pukulan yang menghajar rusuk dan dadanya.
Tukkk! Tukkk! Suraji meraung keras. Tubuhnya yang gemuk itu terlempar beberapa batang tombak
ke belakang. Darah segar seketika menyembur membasahi tanah berumput yang segera
berubah menjadi merah! Dua buah hantaman telak yang bertenaga penuh, membuat
Suraji tak mampu bangkit untuk selamanya. Lelaki gemuk itu tewas seketika.
Gerakan yang dilakukan Nanggala ternyata masih berkelanjutan. Saat itu, dua
orang lawan yang tengah meluncur datang, langsung disambut serangkaian pukulan
'Macan Tutul' disertai pengerahan tenaga dalam sepenuhnya.
"Yeaaat..!"
Bugk! Bugk! Tukkk!
"Aaakh...!" "Hugkh...!"
Pukulan-pukulan Macan Tutul Lembah Daru secara telak menghajar kedua orang
pengeroyoknya. Untunglah pada saat pukulan itu hampir tiba, Nanggala sempat
mengurangi kekuatannya. Hal itu dilakukan ketika teringat kalau di antara
dirinya dan mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi. Sehingga, Nanggala tidak
mempunyai alasan kuat untuk membunuh kedua orang itu. Cukuplah orang yang
bernama Suraji saja yang menjadi korbannya.
Tubuh dua orang dari Empat Setan Muara Bangkai itu langsung ambruk, disertai
semburan darah segar. Setelah berkelojotan sesaat, kedua orang itu pun diam tak
bergerak lagi. Pingsan!
Kalpika yang telah mengalami luka dalam cukup parah, berdiri dengan tubuh
gemetar. Berbagai perasaan bercampur aduk di dalam dadanya. Rasa marah,
penasaran, dan dendam, membuat lelaki tinggi kurus itu tidak dapat berkata-kata.
Hanya sepasang matanya saja yang menatap Nanggala penuh dendam.
"Pergilah, Kalpika. Dan kuharap, kau suka melupakan kejadian hari ini. Bawalah
kedua orang saudaramu yang hanya kubuat pingsan itu. Juga, Suraji yang terpaksa
harus tewas di tanganku. Maaf kalau perbuatanku telah membuat kau kehilangan
seorang dari saudaramu," ucap Macan Tutul Lembah Daru, tenang. Melihat dari
sikapnya, jelas kalau Nanggala siap menanggung segala akibat atas perbuatannya.
Tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Kalpika sebagai jawaban. Setelah
melepaskan tatapan penuh dendam, lelaki tinggi kurus itu menyadarkan kedua orang
saudaranya. Dengan membawa mayat Suraji, mereka pun kini meninggalkan tempat
itu. *** Plok! Plok! Plok...!
Terdengar tepukan tangan Untari menyambut kemenangan Macan Tutul Lembah Daru.
Gadis cantik itu melangkahkan kakinya, menghampiri Nanggala. Wajahnya yang
cantik manis, jelas-jelas mengulaskan senyum mengejek.
"Hebat.., hebat..! Nama Macan Tutul Lembah Daru memang bukan nama kosong
belaka," terdengar suara pujian dari bibir merah menantang itu. Tapi sayang
nadanya terdengar begitu menyakitkan bagi telinga Nanggala. "Apakah yang harus
kulakukan untuk membalas budi baikmu ini, Tuan Pendekar?"
Nanggala menggeleng-gelengkan kepala sambil meng-hela napas berulang-ulang. Ia
benar-benar merasa kecewa melihat sikap yang ditunjukkan gadis itu kepadanya.
Entah apa yang menyebabkan Untari demikian sinis kepadanya.
Padahal, seingatnya mereka baru pertama kali berjumpa.
Tentu saja ia tidak habis mengerti dibuatnya.
"Mengapa kau termenung, Tuan Pendekar" Ah! Kalau begitu, biarlah aku menyembah
kepadamu sebanyak tiga kali. Kurasa, itu sudah cukup pantas sebagai imbalan atas
pertolonganmu kepadaku." Suara yang menyakitkan itu kembali terdengar memasuki
liang telinga Nanggala.
Kemudian, Untari menjatuhkan lututnya dan siap melaksanakan ucapannya.
"Ah...! Nisanak, janganlah bersikap begitu. Aku sama sekali tidak mengharapkan
imbalan apa-apa darimu," ujar Nanggala tersentak kaget. Cepat-cepat disambarnya
kedua bahu Untari, lalu diajaknya bangkit berdiri.
Namun, apa yang dilakukan Nanggala kembali salah!
Untari memberontak melepaskan pegangan pemuda gagah itu pada bahunya. Jelas
sekali, gadis itu tidak suka dengan apa yang dilakukannya.
"Huh! Apakah kau pikir setelah menolongku, lalu bisa bebas melakukan apa saja
terhadap diriku" Pemuda tak tahu sopan!" maki Untari sambil mengebut-ngebutkan
jemari tangannya pada bagian bahunya. Seolah-olah, semua bekas pegangan tangan
pemuda itu ingin dihapusnya.
"Nisanak! Kau jangan sembarangan menuduh orang!
Aku bukan orang yang berwatak rendah! Lagi pula, apa yang telah kulakukan
kepadamu?" sergah Nanggala.
Tentu saja Macan Tutul Lembah Daru menjadi terkejut setengah mati melihat
perubahan sikap gadis itu yang sama sekali tidak diduganya. Selebar wajah pemuda
itu merah dan pucat berganti-ganti. Kalau saja tidak mengingat orang yang
memakinya itu wanita, mungkin sudah dihajarnya habis-habisan.
"Hei" Akan mungkir kau, ya" Lalu, apa maksudmu memegang-megang tubuhku?" balas
Untari sambil bertolak pinggang.
Wajah gadis cantik itu pun telah dijalari warna merah.
Sepertinya, ia benar-benar marah atas perbuatan Nanggala tadi. Padahal, jelas-
jelas Nanggala semata-mata hanya mencegah Untari yang hendak menyembah pemuda
penolongnya. Benar-benar aneh dan membingungkan sifat yang dimiliki gadis cantik
itu. "Ahhh...!" terkejut bukan main Nanggala mendengar
tuduhan yang dilontarkan gadis itu.
Merasa tidak ada gunanya mendebat Untari, Nanggala pun diam tak menanggapinya.
Setelah menundukkan wajahnya sejenak, kepalanya diangkat dan ditatapnya gadis
itu dengan sinar mata dingin.
"Nisanak! Kalau perbuatanku kau anggap suatu kesalahan atau kekurangajaran,
biarlah aku minta maaf padamu," ucap Nanggala dengan suara rendah dan berat.
Jelas, suara pemuda itu menggambarkan perasaan hatinya yang kecewa.
Untari pun sempat dibuat terkejut atas perubahan sikap pemuda gagah itu. Sinar
kekecewaan yang terpancar dari sepatang mata Nanggala, sempat pula membuat wajah
gadis itu berubah. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, hatinya menjadi
bingung dan tak tahu harus berbuat apa.
Tapi, suasana yang hening dan kaku itu tidak berlangsung lama. Untari yang sudah
dapat menguasai perasaannya, segera mengangkat kepala memandang Nanggala.
"Sudahlah, aku akan pergi. Terima kasih atas pertolonganmu," ucap gadis galak
itu berpamit Anehnya, setelah mengucapkan kata-kata itu Untari melemparkan
senyumnya yang termanis kepada Nanggala.
Dan tanpa menoleh lagi, tubuh ramping itu pun melesat meninggalkan tempat itu.
*** Nanggala berdiri kaku menatap kepergian gadis cantik yang galak dan pandai
bicara itu. Pandangannya masih saja
tidak beralih, meskipun bayangan Untari telah lenyap di batik pepohonan di
kejauhan. "Hhh...," terdengar helaan napas berat meluncur dari mulut pemuda itu.
Aneh, Nanggala merasa hatinya kosong sekali. Seolah-olah semangat hidupnya
terbang bersama hilangnya bayangan Untari. Hatinya terasa begitu nelangsa dan
sunyi. Seluruh tubuhnya terasa lemas, bagaikan tak bertenaga. Tidak ada gairah
sedikit pun yang tersisa dalam dirinya. Nanggala jadi kian tak mengerti, ketika
merasakan tidak ada lagi niat dalam hatinya melanjutkan perjalanan.
"Gila! Apa sebenarnya yang terjadi dalam diriku!"
umpat Nanggala kesal.
Ingin rasanya pemuda itu mengamuk dan merusakkan apa saja yang ada di
hadapannya. Semua yang dipandang-nya terlihat buruk dan tidak sedap. Sungguh,
dia jadi bingung dengan apa yang tiba-tiba dirasakannya.
Karena tidak tahu harus berbuat apa, Nanggala langsung menjatuhkan tubuhnya,
duduk di atas rerumputan. Yang saat itu diinginkannya hanyalah termenung,
termenung, dan terus termenung.
Alam pikirannya dibiarkan kembali berputar ke belakang. Nanggala teringat
kembali pada perjumpaan pertamanya dengan Untari. Betapa gadis itu marah-marah
setelah ditolong. Ucapan-ucapan yang ketika itu sangat menyakitkan, kini
terngiang dan terasa indah di telinga.
Hal itu tentu saja membuatnya semakin keheranan. Sebab, selama ini hal yang aneh
belum pernah terasakan dalam dirinya. Sehingga, ia tidak tahu apa yang menjadi
penyebabnya. "Hhh..., mungkin aku telah gila..." Mengapa perasaan aneh yang menyiksa ini


Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba datang" Mungkinkah ini yang dinamakan perasaan cinta...?" gumam
Nanggala terus termenung bagai patung.
Nanggala si Macan Tutul Lembah Daru yang sangat terkenal dan ditakuti, mendadak
seperti orang tolol.
Pikirannya kembali menerawang kepada peristiwa yang baru saja dialaminya. Dan
pemuda gagah itu semakin keheranan ketika ingatan-ingatan tentang Untari,
mendatangkan suatu perasaan aneh yang nikmat di hatinya. Sehingga, tanpa
disadarinya bibir pemuda itu membentuk senyuman.
"Hi hi hi..!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa yang nadanya tertahan-tahan. Nanggala yang segera
saja mengetahui pemilik suara tawa merdu itu, berubah pucat parasnya. Rasa
jengkel dan malu karena segala tingkah laku dan perbuatannya dipergoki Untari,
membuatnya langsung bergerak bangkit dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Ingin rasanya ia berlari sejauh-jauhnya, dan tidak berjumpa lagi dengan gadis
cantik itu lagi.
Gerakan Nanggala yang berlari bagaikan orang kesetanan itu membuat tawa Untari
semakin keras. Gadis cantik itu keluar dari persembunyiannya, setelah bayangan
Nanggala tinggal bayang-bayang samar yang kian mengecil.
Rupanya, Untari tidak benar-benar meninggalkan tempat itu tadi. Sebagai seorang
gadis yang telah cukup dewasa dan memiliki banyak pengalaman, dapat diduga
apa yang terkandung di dalam hati pemuda penolongnya.
Karena ingin mengetahuinya secara jelas, maka gadis cantik yang cerdik itu
memutar arah larinya setelah merasa yakin Nanggala sudah tidak melihatnya.
Dan, apa yang diduga gadis cantik itu ternyata tidak meleset! Semua tingkah laku
pemuda itu dapat jelas dilihatnya dari tempat persembunyian. Hingga akhirnya,
Untari tidak dapat menahan tawa ketika melihat Nanggala tersenyum sendiri
seperti orang gila.
"Hm.... Aku ingin lihat, sampai di mana kau dapat menahan perasaanmu itu...,"
gumam Untari seraya tersenyum penuh kepuasan.
Setelah berkata demikian dalam hati, Untari pun melangkah meninggalkan tempat
itu. *** 3 Siang ini matahari tepat berada di atas kepala. Sinarnya memancar terik,
mengiringi langkah kaki dua sosok tubuh memasuki daerah perbukitan tandus.
Hembusan angin kencang, membuat ram but dan pakaian mereka ber-kibaran keras.
Debu-debu yang beterbangan, membuat kepala keduanya merunduk melindungi mata.
Mereka terus melangkah tanpa mempedulikan debu-debu yang mengotori wajah dan
pakaian. Terkadang tubuh mereka berbalik ketika hembusan angin keras yang
membawa gumpalan-gumpalan debu tebal datang me-nerpa.
"Uhhh...!" sosok tubuh ramping berpakaian hijau mengeluh kesal. Dibersihkannya
debu-debu yang menempel di pakaian dan rambutnya. Wajahnya yang cantik jelita
itu tampak kecoklatan tertutup debu.
"Mengapa kita tidak mengambil jalan melewati hutan saja, Kakang" Bukankah akan
lebih enak dan segar?" tanya gadis jelita itu, bernada agak kesal.
"Sabarlah, Kenanga. Tidak lama lagi, kita akan segera sampai di mulut hutan
depan itu," sahut pemuda tampan yang mengenakan jubah berwarna putih.
Senyum pemuda itu mengembang melihat gadis teman seperjalanannya sibuk
membersihkan debu yang menempel di pakaian dan rambutnya. Perlahan tangan pemuda
yang tak lain Panji itu terulur membersihkan debu di belakang pakaian gadis yang
dipanggil Kenanga.
Mendengar jawaban Pendekar Naga Putih, Kenanga mengangkat wajahnya. Diikutinya
arah jari telunjuk Panji yang menuding ke depan. Samar-samar terlihat pepohonan
lebat beberapa puluh tombak di depannya.
"Ayo kita persingkat waktu, Kakang...," ajak Kenanga.
Setelah berkata demikian, tubuh gadis itu langsung berkelebat menuju mulut
hutan. Kembali Panji tersenyum. Dibiarkannya gadis jelita bertubuh ramping itu melesat
meninggalkannya. Setelah kira-kira sepuluh tombak Kenanga berlari, tiba-tiba
tubuh pemuda berjubah putih itu melesat bagaikan anak panah yang terlepas dari
busur. Hebat sekali ilmu lari cepat yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Sehingga, kedua
kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah. Tak lama kemudian, ia pun telah dapat
melewati gadis di depannya dan bahkan lebih dulu tiba di mulut Hutan Branjangan.
"Wah! Ilmu lari cepatmu sudah semakin hebat saja, Kakang," puji Kenanga begitu
tiba di mulut Hutan Branjangan. Segera saja langkahnya terayun mendekati
Pendekar Naga Putih yang tengah duduk di bawah sebatang pohon.
"Kau pun sudah banyak memperoleh kemajuan. Tadi saja, aku hampir tidak sanggup
mengejarmu," sahut Panji seraya tersenyum. Menilik dari nada bicaranya, jelas
kalau dia tidak memiliki sifat sombong.
"Nyatanya, kau bisa melewatiku," sergah Kenanga cepat sambil memandang wajah
tampan yang tengah tersenyum kepadanya.
"Sudahlah. Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Mudah-
mudahan saja ada pedesaan di sekitar daerah ini. Bosan juga rasanya setiap hari
bermalam di dalam hutan," ujar Panji, seraya bergerak bangkit dan mengulurkan
tangannya untuk membantu Kenanga.
Beberapa saat kemudian, kedua orang pendekar itu mulai bergerak memasuki wilayah
Hutan Branjangan yang terlihat cukup lebat. Mereka melangkah menyelusuri jalan
yang sepertinya memang sengaja dibuat orang. Jelas, hutan itu seringkali
didatangi atau dilewati manusia.
Buktinya, jalan yang ditelusuri cukup lebar, dan dapat dilewati sebuah kereta
kuda. Setelah agak lama berjalan, tiba-tiba Pendekar Naga Putih menelengkan kepala,
seolah-olah ingin memperjelas indra pendengarannya. Kening Panji terlihat agak
berkerut ketika mendengar suara seperti orang bertempur.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga.
Kenanga yang sudah hafal akan kebiasaan kekasihnya, segera mendekat. Kemudian,
ia pun mencoba meniru kelakuan Panji. Tapi, kepalanya kembali ditegakkan karena
telinganya sama sekali tidak mendengar apa-apa.
"Aku seperti mendengar orang bertempur," sahut Panji.
Kemudian Pendekar Naga Putih menegakkan kepalanya dan memandang berkeliling.
Seolah-olah pemuda itu ingin memastikan asal suara pertempuran yang tertangkap
indra pendengarannya.
"Tapi, aku tidak mendengar apa-apa...," bantah Kenanga.
Gadis itu memang belum dapat menangkap suara seperti halnya Panji. Sebab,
tingkat kepandaiannya
memang masih beberapa tingkat di bawah kekasihnya.
Sehingga, ia hanya dapat memandang pemuda itu penuh rasa ingin tahu.
"Aku pun hanya mendengarnya sesekali. Sepertinya, suara itu cukup jauh. Mungkin
sekitar beberapa ratus tombak di sekitar kita. Ayo, kita ke depan untuk
memastikannya," ajak Panji, segera berlari tanpa menunggu persetujuan Kenanga.
Tanpa banyak tanya lagi, Kenanga pun bergegas mengikuti langkah Pendekar Naga
Putih. Indra pendengarannya terus dipertajam untuk menangkap suara pertempuran
yang dimaksud Panji tadi.
"Ke sebelah Barat..!"
Belum lagi Kenanga sempat mendengar suara pertempuran itu, tiba-tiba Panji
berseru. Gadis jelita itu melihat tubuh kekasihnya berkelebat cepat menuju ke
arah Barat Hutan Branjangan. Maka, ia pun bergegas mengikutinya.
*** Pendekar Naga Putih telah mengerahkan ilmu lari cepat sepenuhnya. Tapi ternyata
masih juga terlambat.
Pendekar muda itu memandang dengan wajah kecewa ke arah delapan sosok mayat
termasuk seorang wanita.
Mereka semua bergelimpangan mandi darah. Tentu saja kejadian itu mendatangkan
rasa sesal di hati Panji.
Baru saja Pendekar Naga Putih membungkuk hendak memeriksa salah satu dari mayat-
mayat itu, pendengarannya yang tajam sempat menangkap suara gemerisik
mencurigakan. Tanpa pikir panjang lagi, tubuhnya segera melesat ke arah suara
mencurigakan itu.
"Hei, berhenti...!" sentak Panji setelah berlari beberapa tombak jauhnya. Di
depan pemuda itu tampak seorang berpakaian serba hitam tengah berusaha melarikan
diri. Melihat bentakannya tidak dihiraukan, Panji segera melesat dan bersalto beberapa
kali di udara. Sesaat kemudian, tubuhnya telah berdiri menghadang jalan orang
berpakaian serba hitam itu.
"Yeaaat..!"
Sadar kalau dirinya tidak mungkin dapat lolos, orang itu pun langsung menerjang
Panji dengan golok masih berlumuran darah.
Wuttt! Sambaran golok yang mengandung tenaga cukup kuat itu mengancam perut Panji.
Hati Pendekar Naga Putih sempat diliputi kegeraman melihat ketelegasan orang
itu. Sebab, tanpa persoalan sedikit pun, orang itu sudah langsung ingin
membunuhnya. Padahal, belum tentu Panji bermaksud jahat kepada orang berpakaian
serba hitam itu. Untunglah Pendekar Naga Putih sempat menyadarinya. Kalau tidak,
orang itu pasti sudah dipukul tewas.
Pendekar Naga Putih yang sudah dapat mengukur kekuatan sambaran senjata itu,
sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. Ditunggunya mata golok itu mendekat.
Sikap pemuda itu terlihat tenang, dan penuh percaya diri.
Perbuatan Panji tentu saja membuat laki-laki berpakaian hitam itu terkejut,
sekaligus gembira. Sudah
terbayang di benaknya, betapa tubuh pemuda itu akan tergeletak dengan perut
terbelah. Namun apa yang dibayangkan orang itu ternyata sangat jauh dari kenyataan.
Meskipun benar sambaran goloknya mengenai perut lawan, namun senjata itu kembali
berbalik. Bahkan tangannya yang menggenggam golok terasa ngilu bagaikan hendak
patah. "Set... tannn...!"
Dengan wajah memucat dan tubuh gemetar, orang itu memandang terbelalak. Hampir
saja dia jatuh pingsan melihat lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
membalut tubuh pemuda tampan itu. Dan memang, penampilan Pendekar Naga Putih
saat itu tak ubahnya sosok hantu!
"Hm.... Mengapa kau berlari bagaikan orang dikejar setan" Apa kau telah
melakukan kejahatan! Ayo jawab!"
bentak Panji dengan suara dibuat berat. Pemuda itu sengaja menakut-nakuti, agar
orang itu mau membuka suara.
Gertakan Pendekar Naga Putih terlihat mulai membawa hasil. Laki-laki bertubuh
gendut yang bagian bajunya terbuka, semakin menggigil ketakutan. Apalagi, saat
itu Panji memang tengah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Maka, orang
itu pun semakin yakin kalau pemuda yang berdiri di hadapannya memang setan. Mana
mungkin manusia dapat menebarkan hawa yang begitu dingin dari tubuhnya.
"Kami..., eh! Aku..., bersalah.... Ya..., aku bersalah...," aku laki-laki
berusia sekitar empat puluh tahun itu, gagap.
"Kau telah membunuh delapan orang dan menghancurkan kereta kuda mereka, bukan"
Siapa yang menyuruhmu"!" kembali Panji memanfaatkan rasa takut orang itu untuk
memperoleh keterangan.
Mendengar suara yang semakin berat dan besar, laki-laki berpakaian serba hitam
itu semakin menggigil ketakutan. Bahkan celana bagian bawahnya telah basah, dan
menebarkan bau tak sedap. Untung saja Panji masih dapat menahan tawanya melihat
tingkah orang itu yang menggelitik perut.
"Ya..., eh! Jur..., aaakh...!"
Sebelum ucapan laki-laki berpakaian hitam itu selesai, terdengar jerit
kematiannya yang menyayat. Tubuh gendut itu roboh seiring keluhan pendeknya.
"Eh..."!"
Tentu saja robohnya orang itu membuat Panji keheranan. Cepat tangannya bergerak
menangkap tubuh gendut itu agar tidak sampai terjatuh ke tanah. Setelah
merebahkan perlahan, bergegas Panji memeriksa keadaannya.
"Kenapa orang itu, Kakang...?" Kenanga yang baru datang, langsung saja
melontarkan pertanyaan kepada kekasihnya.
Rupanya setelah tiba di tempat pertempuran, gadis itu tidak melihat Panji. Maka
ia segera mencarinya. Dan kedatangannya tepat pada saat pemuda itu tengah
memeriksa tubuh seorang laki-laki berpakaian serba hitam.
"Dia telah tewas...," sahut Panji setelah memeriksa jalan darah orang itu.
"Tapi, sepertinya ia tidak terluka, Kakang?" tanya gadis jelita itu keheranan.
Lalu, ditelitinya sosok tubuh gendut yang sudah tidak bernyawa itu.
"Dia tewas akibat jarum beracun yang dilemparkan seseorang ke belakang
pinggangnya. Entah racun jenis apa yang digunakan orang itu. Sehingga, racun itu
hanya menghancurkan pembuluh-pembuluh darah di seluruh tubuhnya. Sementara kalau
dilihat sepintas, orang pasti tidak tahu kalau mayat ini tewas akibat racun
keji," jelas Panji sambil memperlihatkan sebatang jarum halus yang berwarna
merah. Kenanga mengambil jarum berwarna merah darah dari tangan Panji, dan menelitinya
beberapa saat. Setelah tidak mengenali dari mana asal jarum itu, segera
dikembali-kannya kepada Panji.
"Aku belum pernah mendengar tentang seorang tokoh yang mempergunakan jarum merah
sebagai senjata rahasia. Entah tokoh mana yang telah berhasil men-ciptakan racun
aneh dan keji itu," kata Kenanga.
"Hm.... Biarlah kusimpan saja senjata rahasia ini. Siapa tahu ada gunanya
kelak," desah Panji, kemudian segera menyimpan jarum merah itu dalam pakaiannya.
"Sebaiknya, sekarang kita menguburkan mayat-mayat itu."
Pendekar Naga Putih dan Kenanga kemudian segera menggali tanah untuk menguburkan
mayat-mayat itu.
Berkat tenaga dalam mereka yang sudah tinggi, dalam waktu singkat telah tercipta
sembilan liang kubur.
Selesai mengubur semua mayat, Kenanga dan Panji kembali meneruskan penalanan.
Tapi, kali ini mereka mempunyai tujuan khusus, mencari pemilik jarum
berwarna merah! Sebab sudah hampir pasti bahwa pemilik jarum itu mempunyai
hubungan dengan terbunuhnya delapan orang di sebelah Barat Hutan Branjangan.
*** 4 Pemuda gagah berpakaian kulit macan tutul melangkah memasuki mulut Desa Pacitan.
Setelah kepalanya menoleh merayapi sekitar mulut desa, bergegas di-masukinya
sebuah kedai makan yang terlihat ramai pengunjung. Apalagi, saat itu hari sudah
menjelang sore.
Maka, wajar saja kalau kedai makan itu ramai.
Sama sekali tidak dipedulikannya tatapan mata beberapa pengunjung kedai makan.
Memang disadari kalau orang-orang itu paling tidak hanya merasa heran dengan
pakaian kulit macan tutul yang dikenakannya. Dan hal itu bukan sesuatu yang aneh
lagi baginya. Setelah mendapati sebuah kursi kosong yang terletak di pojok ruangan, pemuda
gagah yang tak lain Macan Tutul Lembah Daru itu segera memesan hidangan kepada
seorang pelayan. Kemudian, dia kembali duduk menunggu dengan kepala tertunduk.
Sebentar kemudian, pelayan itu datang kembali sambil membawa makanan yang
dipesan Nanggala.
"Terima kasih...," ucap Nanggala kepada pelayan setengah baya yang mengantarkan
makanan pesanannya.
Kemudian, segera disantapnya makanan itu dengan tenang.
Nanggala yang tengah menikmati hidangannya itu mendadak menghentikan gerakan
tangannya. Kepalanya lalu ditolehkan ke arah pintu masuk kedai itu, karena saat
itu hampir semua pengunjung kedai berbisik riuh. Dan apa
yang dilihatnya, membuat dada pemuda itu berdebar.
Seraut wajah cantik manis milik seorang dara yang berdiri di ambang pintu kedai
itu, benar-benar membuat Nanggala kelabakan. Dan memang, gadis cantik itu tak
lain adalah Untari. Sosok gadis memikat yang selama ini selalu mengganggu
pikirannya. Tapi, Nanggala telah bertekad untuk melupakan gadis itu. Karena,
disadari kalau mencintai gadis seperti Untari, hanya akan menyiksa perasaan
saja. Lagi pula, belum tentu gadis itu sudi menerima cintanya.
Bergegas Nanggala menundukkan kepala dalam-dalam begitu mengenali gadis itu.
Tangannya kembali sibuk memilih-milih hidangan di mejanya. Namun, dia jadi
menyumpah-nyumpah dalam hati, ketika merasakan jari-jari tangannya gemetar saat
menikmati hidangan.
Kedatangan gadis yang telah mencuri hatinya itu benar-benar membuatnya kalang-
kabut. Karena sulit menenangkan perasaannya, maka pemuda itu memejamkan mata rapat-
rapat dan tenggelam menyatukan pikiran. Setelah merasa hatinya tenang, matanya
pun kembali dibuka perlahan-lahan.
Tapi, dada Nanggala kembali memukul keras. Tanpa disadari, ekor matanya
menangkap langkah kaki yang menuju ke arahnya. Dari pakaian yang lebar dan
berwarna putih itu, Nanggala segera menduga kalau orang itu pasti Untari.
Langkah kaki gadis itu tepat berhenti di depan meja Nanggala. Pemuda itu
terpaksa mengangkat wajah ketika sosok tubuh itu menarik kursi di depannya.


Pendekar Naga Putih 24 Macan Tutul Lembah Daru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Boleh duduk di sini...?" pinta gadis itu dengan suara
lembut dan merdu.
Perkataan Untari membuat Nanggala terpaku bagai orang tolol. Dipandanginya wajah
cantik itu setengah tak percaya. Entah berapa lama pemuda gagah itu hanya dapat
memandang bagai orang linglung. Kesadarannya baru kembali setelah gadis cantik
itu berdehem agak keras.
"Eh"!"
Warna merah seketika menjalar di wajah Nanggala.
Bukan main malunya hati pemuda itu setelah menyadari ketololannya. Ingin rasanya
kedai makan itu ditinggal-kannya, namun kakinya terasa berat untuk melangkah.
Sehingga, dia terpaksa diam di tempatnya sambil menahan rasa malu.
"Kau.... Apa..., apa maumu...?" tanya Nanggala yang mulai dapat menguasai
perasaannya. "Hi hi hi...," Untari menahan tawanya melihat kegugupan dan sikap ketololan
pemuda gagah itu.
Diam-diam hati gadis itu merasa bangga. Karena, pendekar muda yang dalam
kalangan rimba persilatan sangat ditakuti, ternyata gugup menghadapinya. Tentu
saja hal itu mendatangkan suatu kesan tersendiri dalam hati Untari.
"Aku tadi hanya bertanya. Apakah boleh duduk di sini?"
Untari mengulangi pertanyaannya. Senyum manis tampak menghias wajah cantik itu,
sehingga Nanggala semakin silau dibuatnya.
"Oh, boleh. Silakan..., silakan...," sambut Nanggala dengan nada sedikit heran.
Pemuda itu benar-benar tidak mengerti apa sebenarnya yang diingini gadis ini.
Mengingat akan sifat Untari yang
aneh, maka Nanggala harus bersikap hati-hati. Siapa tahu gadis aneh itu berubah
lagi sifatnya apabila ia salah bicara.
"Aku tidak menyangka kalau kita akan bertemu lagi,"
kata gadis itu tanpa rasa canggung sedikit pun. "Mungkin ini yang dinamakan
jodoh." Nanggala sempat terkejut dengan ucapan blak-blakan Untari. Namun, kekagetannya
berusaha ditekan dengan bersikap wajar.
"Yah.... Mungkin dunia ini sudah terlalu sempit buat kita," sahut Nanggala
memasang sikap acuh tak acuh. Nada suara maupun wajahnya nampak sudah terlihat
wajar. Bahkan ada sedikit nada dingin terselip dalam ucapan pemuda itu.
"Ng.... Bolehkah aku tahu namamu...?" tanya Untari lagi.
Deg! Terkejut juga hati Nanggala mendengar pertanyaan yang sama sekali tidak
diduga itu. Cepat-cepat debaran dalam dada yang terdengar menggemuruh
ditekannya. "Namaku Nanggala...," sahut pemuda itu, singkat.
"Wah, namamu gagah sekali. Dan kau pasti sudah tahu namaku," ujar Untari polos.
"Hm.... Macan Tutul Lembah Daru.... Hebat dan gagah julukan yang diberikan
untukmu." "Maaf, aku harus pergi. Sebentar lagi, hari akan gelap.
Aku tidak ingin kemalaman di jalan. Sekali lagi, aku minta maaf...," pamit
Nanggala tiba-tiba.
Kemudian, Nanggala memanggil pelayan setengah baya yang tadi melayaninya.
Setelah membayar harga makanan-nya, pemuda gagah itu bergegas meninggalkan
kedai. "Hei"! Kau tidak ingin tahu rumahku...?" tanya Untari, segera bangkit dan
menyambar lengan Nanggala. Sehingga langkah pemuda itu tertahan.
"Ah! Biarlah, lain waktu saja...," sahut Nanggala cepat.
Dan, tanpa menunggu pertanyaan berikutnya yang mungkin akan diajukan Untari,
Nanggala segera melesat menggunakan ilmu lari cepatnya. Sehingga, tubuh pemuda
itu bagaikan terbang saja layaknya.
"Pemuda gagah yang sangat menarik. Jarang sekali aku bertemu seorang pemuda
seperti dia. Hm..., Nanggala....
Sebuah nama yang gagah...," gumam Untari termenung.
Sepasang matanya yang bening dan indah, menatap bayang-bayang tubuh Nanggala
hingga lenyap dari pandangan.
Setelah tubuh pemuda itu lenyap, Untari kembali memasuki kedai. Senyumnya tampak
masih belum meninggalkan wajah cantiknya. Jelas, ia merasa lucu mengingat
perjumpaannya dengan pemuda itu untuk yang kedua kalinya.
Saat itu, kegelapan perlahan mulai turun menyelimuti permukaan mayapada.
Hembusan angin senja yang sejuk bersilir lembut menemani datangnya kegelapan.
Di dalam sebuah kamar yang terdapat di penginapan Desa Pacitan, Nanggala duduk
termenung. Semula, setelah berjumpa dengan Untari, ia berniat meninggalkan desa
itu. Tapi, kegalauan hatinya membuat pemuda itu terpaksa kembali dan menginap di
Desa Pacitan. Macan Tutul Lembah Daru tidak bisa menipu dirinya sendiri, bahwa
hatinya benar-benar telah terenggut oleh wajah cantik Untari.
Sebelum mencari rumah penginapan, Nanggala menyempatkan diri datang ke kedai
untuk menemui Untari. Tapi, gadis itu ternyata telah pergi dari kedai.
Setelah bertanya kepada pelayan kedai, tahulah Nanggala kalau Untari adalah
penduduk Desa Pacitan, dan merupakan anak tunggal seorang juragan terkaya di
desa itu yang bernama Gerda Pasa.
"Hm..., perasaan ini akan terus menghantui apabila aku tidak segera
menyatakannya. Daripada tersiksa, lebih baik kudatangi saja rumah gadis itu.
Masalah diterima atau tidak, itu urusan belakang! Dan lagi, hal itu lebih baik
daripada tanpa kepastian!" gumam Nanggala seraya mengepalkan tinjunya erat-erat.
Kemudian pemuda gagah itu bangkit dari duduknya.
Dengan menguatkan perasaan, maka Nanggala berangkat menuju kediaman Juragan
Gerda Pasa. Meskipun raut wajahnya terlihat sedikit tegang, namun langkahnya tetap
dipaksakan untuk mencari kepastian.
Tidak sulit bagi Nanggala mencari rumah Juragan Gerda Pasa. Dan memang, seluruh
penduduk Desa Pacitan mengetahuinya. Dengan mengandalkan petunjuk salah seorang
penduduk desa, maka tibalah Macan Tutul Lembah Daru di depan sebuah rumah besar
yang dikelilingi pagar tembok setinggi satu tombak lebih.
Sementara itu, dua orang tukang pukul yang tengah bertugas menjaga pintu
gerbang, bergegas menghampiri Nanggala. Mereka merasa curiga ketika melihat
seorang pemuda berdiri tegak meneliti sekitar bangunan. Karena belum beranjak
dari situ, maka salah seorang yang berkumis lebat menegurnya.
"Kisanak! Apa yang kau cari di tempat ini" Sejak tadi, kuperhatikan kau hanya
berdiri mengawasi tempat ini.
Apa ada sesuatu yang dapat kubantu?" tegur laki-laki berkumis lebat, lantang.
Meskipun nadanya tidak terdengar kasar, namun mengandung ketegasan.
"Maaf, kalau kehadiranku telah mengundang kecurigaan kalian. Aku hanya ingin
memastikan, benarkah di sini kediaman Juragan Gerda Pasa" Dan, bisakah aku
berjumpa dengan beliau?" tanya Nanggala dengan suara halus dan sopan.
"Benar. Di sini rumah majikan kami yang bernama Gerda Pasa. Tapi untuk berjumpa
dengannya sekarang, rasanya sulit sekali. Sebab pada waktu-waktu seperti ini,
biasanya beliau tengah beristirahat. Jadi, kami tidak berani mengganggunya.
Lebih baik, datang saja besok," sahut penjaga pintu gerbang yang berkumis lebat,
menolak permintaan Nanggala.
"Tapi, keperluanku mendesak sekali, Kisanak.
Tolonglah beri tahu kepada beliau. Untuk itu, aku akan berterima kasih sekali
kepadamu," Nanggala mencoba mendesak, meski dengan nada yang tetap halus dan
sopan. Meskipun kata-kata Nanggala tetap bernada hormat, namun desakannya telah membuat
wajah laki-laki berkumis lebat itu berubah agak bengis. Sekilas, terlihat
kilatan kegeraman pada sepasang mata orang itu.
Namun Nanggala yang telah memantapkan hatinya, sama sekali tidak peduli.
Meskipun tatapan geram orang itu tidak ditentangnya, tapi dia tetap saja berdiri
di tempatnya. Selangkah pun kakinya tidak bergeser dari pintu gerbang rumah
Juragan Gerda Pasa.
"Maaf! Kami tidak bisa meluluskan permintaanmu, Kisanak. Dan sekarang,
tinggalkanlah tempat ini, sebelum aku bertindak kasar!" ancam laki-laki berkumis
lebat itu sambil meraba gagang pedangnya, untuk menakut-nakuti Nanggala.
"Sekali lagi, aku minta maaf. Karena kepentinganku sangat mendesak, maka
terpaksa usiranmu tidak bisa kuturuti. Dan aku harus bertemu majikanmu sekarang
juga," tegas Nanggala, meski laki-laki berkumis lebat itu telah mengancamnya.
Sikap keras kepala Nanggala tentu saja membuat laki-laki berkumis lebat itu
semakin marah. Dengan langkah lebar, didekatinya Nanggala. Langsung didorongnya
tubuh pemuda itu dengan telapak tangan.
Si kumis lebat yang sudah membayangkan tubuh pemuda itu akan jatuh terjengkang,
seketika menjadi terkejut. Ternyata dorongan telapak tangannya yang disertai
pengerahan tenaga dalam tidak membuat Nanggala terjatuh. Jangankan untuk jatuh.
Bergeser pun tidak. Tentu saja laki-laki berkumis lebat itu menjadi penasaran.
Sementara, penjaga gerbang yang seorang lagi hanya berdiri mengawasi. Amarahnya
tampak belum terpancing.
"Hm.... Pantas saja berani berlagak. Rupanya kau memiliki sedikit kepandaian.
Tapi, sekarang coba tahan yang ini!" bentak laki-laki berkumis lebat itu sambil
mendorongkan telapak tangannya kembali.
Wuttt! Dorongan telapak tangan orang itu meluncur cepat menimbulkan angin menderu.
Rupanya kali ini ia tidak
lagi berniat hanya memberi pelajaran, tapi justru ingin melukai pemuda itu.
Nanggala yang belum mengetahui sampai di mana kekuatan yang dimiliki orang itu,
Sepasang Pedang Iblis 21 Gento Guyon 28 Semerah Darah Perempuan Penghisap Darah 2
^