Pencarian

Dewa Tangan Api 3

Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api Bagian 3


ber-selisih jauh.
Sementara itu, Pendekar Golok Sakti tengah men-
cecar Palawa dengan sambaran-sambaran senjatanya
yang bertubi-tubi bagaikan gelombang lautan. Sepertinya pendekar itu tidak ingin
memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya untuk membalas. Maka kalau
dilihat sepintas, Jelas Palawa terdesak oleh serangan-serangan gencar iawannya.
Tapi, tidak demikian halnya yang dirasakan Palawa.
Pemuda berotak licik itu sengaja berbuat demikian untuk memancing kemarahan
lawan. Maka ia pun berpura-pura terdesak dan tak mampu melancarkan serangan
balasan. Dengan demikian, lawannya diharapkan akan lengah dan pertahanannya pun terbuka.
Pada saat itu, barulah Palawa akan menggempur lawannya habis-habisan.
Apa yang diduga Palawa mulai terlihat. Pendekar Golok Sakti yang sebenarnya
tokoh berpengalaman, menjadi semakin penasaran. Serangannya yang selama sepuluh
jurus itu sama sekali tidak bisa menyentuh tubuh Palawa. Jangankan untuk
melukai, untuk menyentuh ujung baju lawannya pun sangat sulit. Tentu saja ia
semakin bernafsu untuk segera menjatuhkan lawan.
Palawa yang mulai melihat pancingannya membawa
hasil, semakin berani membiarkan tubuhnya diserang.
Beberapa kali ujung golok yang memancarkan sinar keperakan hampir melukai
tubuhnya. Untunglah tubuhnya masih sempat dimiringkan, sehingga ujung golok
lawan hanya mengenai ujung bajunya.
Melihat serangan-serangannya mulai dapat menyen-
tuh lawan, Pendekar Golok Sakti pun semakin bertambah semangatnya. Kilatan-
kilatan perak semakin ganas menyambar-nyambar. Dan memang, Pendekar Golok Sakti
sudah tidak sabar untuk menyelesaikan pertarungan se-cepatnya. Namun sayang, ia
tidak sadar kalau hal itu akan mendatangkan kerugian yang sangat besar baginya.
"Yeaaa...!"
Pada saat serangan lawan tengah gencar-gencarnya,
tiba-tiba Palawa membentak keras mengejutkan Pendekar Golok Sakti. Saat itu
juga, pemuda licik itu meluruk sambil menampar-nampar keras menimbulkan suara
mencicit tajam.
Plak! Plak...! "Aaakh...!"
Terdengar pekik kesakitan keluar dari mulut Pendekar Golok Sakti. Dia benar-
benar terkejut begitu melihat Palawa melancarkan serangan balasan yang tak
terduga. Apalagi, pemuda itu pun mengiririginya dengan bentakan yang sangat mengejutkan.
Maka, tak ayal lagi tubuh Pendekar Golok Sakti terpental bergulingan akibat
tamparan lawan yang menghantam dada dan pelipisnya.
"Huagkh...!"
Segumpal darah kental teriompat dari mulut pendekar itu. Perlahan tangan
kanannya mengurut dada yang
terasa nyeri dan panas akibat hantaman tadi. Tapi, wajah pendekar itu mendadak
pucat. Matanya terbeliak ketika mendapati titik-titik darah yang bersembulan
dari setiap pori-pori tubuhnya.
"Ahhh...!"
Dengan wajah yang semakin pucat, Pendekar Golok
Sakti meneliti seluruh anggota tubuhnya. Lelaki gagah yang tak pernah merasa
gentar menghadapi maut itu, kini semakin terbelalak ngeri melihat keadaan
dirinya. "Aaargh...!" .
Bagaikan orang yang kehilangan ingatan, Pendekar
Golok Sakti meraung setinggi langit. Hatinya benar-benar ngeri melihat seluruh
pori-pori di tubuhnya telah mengalir darah segar. Dengan gerakan timbung,
pendekar itu bangkit dan beriarian kesana kemari.
Tapi hal itu tidak bertangsung lama. Pendekar Golok Sakti kini ambruk, karena
tubuhnya mendadak lemas.
Setelah berkelojotan sesaat, dia tewas dalam keadaan menyedihkan.
Apa yang dialami Pendekar Golok Sakti, ternyata juga menimpa diri Ki Bardala. Ia
yang semula terbelalak ngeri melihat apa yang terjadi terhadap sahabatnya,
tersentak kaget bagai disengat kalajengking. Betapa tidak" Sebab dari seluruh
sepasang lengannya, tampak mulai menitik cairan merah. Dengan wajah tegang, Ki
Bardala menghapus perlahan dengan harapan titik-titik darah itu hanyalah
percikan dari tubuh sahabatnya.
Tapi ketegangan di wajah kakek itu semakin menjadijadi, ketika ujung jarinya
yang gemetar mencoba menghapus titik-titik darah dari pori-pori lengannya muncul
lagi titik darah yang lainnya. Bahkan kini mulai menyebar di sepanjang
lengannya, untuk kemudian terus berkepanjangan ke sekujur tubuhnya. Melihat hal
ini, betapa ngerinya hati Ki Bardala melihat keadaan dirinya yang baru kali ini
dialami. Palawa yang memang sudah mengetahui akibat pu-
kulan ilmu 'Telapak Darah' tertawa terbahak-bahak
Pemuda licik itu benar-benar merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya.
Dengan langkah lebar, dihampiri-nya Ki Bardala yang tengah bergulat dengan maut.
"Ha ha ha.... Jangan dikira hanya orang yang terkena pukulan saja akan mengalami
hal itu. Tapi, sedikit benturan dengan pengerahan tenaga dalam pun bisa men-
datangkan kematian yang mengerikan," jelas Palawa sambil tertawa-tawa puas.
Sedikit pun tidak ada rasa iba melihat betapa mengerikannya keadaan tubuh Ki
Bardala saat itu.
Ki Bardala yang semula tidak mengerti kalau keadaan itu juga menimpa dirinya,
mulai dapat menebak setelah mendengar keterangan Palawa. Ia teringat kakinya
sempat berbenturan dengan telapak tangan pemuda licik itu.
Pasti, itulah yang menyebabkan la mengalami hal yang serupa dengan Pendekar
Golok Sakti. "Bangsat kau, Manusia Iblis! Ilmu setan apa yang kau pergunakan ini"!" Teriak Ki
Bardala yang semakin kalang-kabut bagai orang kebakaran jenggot.
Sadar kalau kematian sudah tidak mungkin dapat di-
hindari lagi, maka Ki Bardala menjadi nekat. Disambar-nya sebilah golok perak
yang tergeletak tidak jauh dekat kakinya. Disertai teriakan parau, tubuh Ki
Bardala langsung meluncur ke arah Palawa!
Melihat kenekatan lawannya, Palawa sama sekali
tidak gentar. Dengan sebaris senyum licik, pemuda itu berdiri menunggu dengan
kedua kaki terpentang lebar.
"Hmh...!"
Sambil menggeram marah, Palawa memutar kedua
tangannya secara bersilangan didepan dada. Sedangkan, matanya tetap tertuju
kepada Ki Bardala yang semakin mendekat.
Dan ketika jarak antara mereka hanya tinggal satu
batang tombak lagi, terdengar bentakan keras yang menggetarkan isi dada.
"Haaat..!"
Palawa membarengi bentakannya dengan dorongan
telapak tangan kanan kedepan. Serangkum angin panas terlontar dan langsung
menghantam dada Ki Bardala
dengan hebatnya.
Desss...! Tak ubahnya sehelai daun kering, tubuh kakek itu
terlempar deras disertai semburan darah segar dari mulutnya. Raung kematian
terdengar menggema seiring terbantingnya tubuh Ki Bardala atau si Tendangan Maut
di atas rerumputan.
Apa yang dialami tubuh tua itu ternyata mengerikan sekali. Tubuh Ki Bardala yang
tengah berkelojotan mere-gang nyawa, meleleh bagaikan gumpalan es mencair!
Asap tipis yang menebarkan bau busuk mengepul seiring lenyapnya tubuh Ki
Bardala. Dan kini tubuh si Tendangan Maut lenyap tanpa be-
kas. Yang tersisa hanyalah cairan merah menggenang di atas rerumputan hijau.
Kakek yang namanya cukup terkenal dalam kalangan rimba persilatan itu tewas di
tangan seorang pemuda tak dikenal, namun memiliki ilmu
'Telapak Darah' yang amat menggiriskan!
"Ha ha ha.... Ternyata jerih payahku selama ini tidak sia-sia!"
Celak tawa penuh kepuasan berkumandang meng-
getarkan Perguruan Ruyung Maut Palawa benar-benar
merasa puas dengan hasil yang telah dicapainya.
"Benar, Palawa. Kini tidak ada lagi yang perlu ditakuti di dunia ini. Dengan
sempumanya ilmu 'Telapak Darah'
yang kita miliki, tak seorang pun akan dapat menghalangi kita," sambut suara
parau tertawa bergelak sambil melangkah mendekati pemuda itu.
"Ah, Guru.... Bagaimana dengan Ruyung Delapan Bayangan" Apakah telah berhasil
ditundukkan?" Tanya Palawa ketika melihat Dedemit Bukit Saji tengah melangkah ke
arahnya. "Ha ha ha.... Sebelum kau menyelesaikan lawanmu, aku telah lebih dulu menghabisi
nyawa manusia sombong itu. Nasibnya pun sama dengan yang dialami lawanmu itu,"
sahut Dedemit Bukit Saji, jelas-jelas sangat gembira dengan hasil mereka berdua.
"Kalau begitu, kita berdua telah hampir mencapai titik kesempurnaan," seru
Palawa gembira.
"Ayo, kita pergi...," ajak Dedemit Bukit Saji tidak me-nanggapi ucapan muridnya.
Tanpa banyak cakap lagi, Palawa segera melangkah
mengikuti gurunya. Saat itu, sinar kemerahan telah menghiasi kaki langjt sebelah
Barat. Pertanda sang men-tari bersiap naik ke peraduannya.
*** 7 Irama gamelan mengalun lembut merasuk telinga.
Suara itu berasal dari dalam sebuah bangunan besar yang terlihat ramai. Wajah-
wajah terhias senyum bahagia tampak hilir mudik memadati halaman. Melihat dari
hiasan-hiasan yang menyemarak, jelas kalau si pemilik rumah tengah mengadakan
suatu pesta. Seorang lelaki setengah baya yang mengenakan
pakaian indah, tak henti-hentinya mengumbar senyum menyambut para tamu yang
datang. Sinar kebahagiaan jelas terpancar di matanya.
Pada ruangan depan yang terhias indah, tampak dua
sosok tubuh duduk bersanding di pelaminan mengenakan pakaian indah. Wajah lelaki
muda dan wanita cantik di sebelahnya terhias senyum menyalami para tamu yang da
tang. Sepertinya, mereka benar-benar bahagia menikmati kehidupan baru menjadi
suami istri. "Pasangan mempelai itu benar-benar cocok dan menimbulkan rasa iri di hatiku. Kau
benar-benar pandai dalam memilih menantu, Prakosa," bisik seorang lelaki gendut
berpakaian mewah.
Menilik dari sikap dan pakaian yang dikenakan, pa-
ling tidak dia merupakan seorang hartawan kaya. Selesai mengucapkan kata-kata
itu, tawanya berderai menambah kebisingan.
"Ha ha ha.... Maruta... Maruta. Akan kau ke manakan kelima orang istrimu itu"
Apakah lima orang Istri yang cantik dan muda masih kurang memuaskanmu?" Sahut
laki-laki setengah baya itu, dengan suara rendah.
la yang merupakan tuan rumah pesta itu, senantiasa selalu bersikap ramah dalam
menyambut tamu-tamunya.
Tidak peduli, apakah tamu yang datang itu merupakan orang terhormat atau hanya
penduduk biasa. Itulah salah satu sifat Juragan Prakosa yang sangat disukai
penduduk Desa Rawa Jati. Meskipun ia salah satu orang terkaya di desa itu, namun
dalam menyebarkan undangan ia tidak memilih. Maka wajar saja kalau pesta
pemikahan putra pertamanya itu berlangsung ramai dan meriah.
Di tengah ramainya suasana pesta yang diadakan Ju-
ragan Prakosa, tiba-tiba terdengar suara terkekeh serak.
Hebatnya, suara kekeh itu sanggup menindih irama gamelan yang menyemarakkan
pesta. Para tamu yang saat itu tengah mencicipi hidangan, serentak menoleh ka arah asal
suara. Wajah-wajah mereka tampak menyiratkan sinar kemarahan ke arah sosok tubuh
tinggi kurus yang melangkah menuju rumah besar itu.
"Hm.... Apa maksudnya kakek-kakek gila itu datang kemari" Apakah Juragan Prakosa
juga mengundang
orang seperti itu?" bisik salah seorang tamu. Dia memang merasa terganggu dengan
kehadiran kakek tinggi kurus berpakaian compang-camping itu.
"Kurasa tidak. Mungkin orang gila itu merasa tertarik melihat keramaian di sini,
kemudian melangkah menda-tanginya. Biasa, untuk mencari makanan," sahut lelaki
berkumis tipis menyahuti ucapan teman sebangkunya.
Tapi kakek berpakaian compang-camping dan beram-
but putih panjang yang awut-awutan itu terus saja melangkah sambil tertawa-tawa
serak. Tidak dipedulikan pandangan para tamu yang tertuju kepadanya. Melihat
dari penampilannya, jelas kalau kakek tinggi kurus itu memang bukanlah orang
waras. "He he he.... Ramai..., ramai.... Lucu...," celoteh kakek itu. Pandangannya
beredar sambil memperlihatkan gigi-giginya yang hitam tak terawat. Kakinya terus
saja ter-ayun menuju ruangan utama tempat terdapat pasangan pengantin rumah itu.
Dua orang pengawat keluarga Juragan Prakosa, tentu saja tidak ingin mendapat
marah dari majikannya. Maka keduanya cepat bergerak menghadang langkah kakek
gila itu. "Hei, Kakek Gila! Ayo, pergi dan tinggalkan tempat ini!
Atau aku akan menyeretmu secara paksa!" Bentak salah seorang tukang pukul
Juragan Prakosa, sambil memutar-mutar kumisnya dengan lagak dibuat seram.
"He he he.... Dua kerbau menghadang jalan. Galak-galak bertampang seram. Lucu..,
lucu...," kata kakek itu seraya tertawa gembira.
Sambil berkata demikian, jari telunjuknya yang ber-kuku hitam ditudingkan ke
wajah kedua orang itu bergantian. Sementara tangan kirinya sibuk mengusap-usap
perut, berlagak seperti orang mules.
'Tua bangka keparat! Berani kau mengatakan kami
sebagai kerbau! Apakah kau memang sengaja ingin mencari keributan di sini?"
Bentak lelaki berkepala botak itu menahan kegeramannya.
Kalau saja tempat itu tidak ramai, mungkin sudah diterjangnya kakek itu. Tapi
karena ia tidak ingin mengganggu acara pesta, maka kemarahan itu ditahan di
dalam dada. Orang kedua yang memiliki tubuh tinggi besar dan
berwajah cukup gagah melangkah semakin dekat Tanpa berbicara apa-apa, diambilnya
beberapa macam penga-nan dari atas meja. Lalu, diserahkannya kepada kakek gila
itu. Tapi kakek gila itu sama sekali tidak mempedulikan sikap baik mereka. Uluran
tangan itu sama sekali tidak disambutnya. Bahkan sepasang matanya yang
senantiasa berputar liar menatap wajah lelaki tinggi besar itu lekat-lekat.
Kepalanya ditelengkan ke kiri kanan dengan sikap lucu.
Perbuatan kakek itu tentu saja menimbulkan tawa
berderai dari para undangan. Sikap ketolol-tololan yang ditunjukkannya benar-
benar menggelitik perut. Sehingga tanpa sadar, para undangan tertawa geli. Merah
selebar wajah lelaki tinggi besar itu mendengar tawa yang jelas-jelas ditujukan
kepadanya. Namun, kemarahan dan ke-dongkolan hatinya ditahan sekuat tenaga.
"Kakek, ambillah. Makanan ini enak sekali...," bujuk lelaki tinggi besar itu
sambil kembali meng-angsurkan makanan yang berada dalam genggaman.
Namun, apa yang dilakukan. kakek gila itu benar-benar di luar dugaan. Tanpa
berkata sepatah pun, tangannya bergerak cepat menyambar makanan di tangan lelaki
tinggi besar itu. Namun yang membuat orang-orang ter-pekik ngeri adalah, bukan
hanya makanan itu saja yang diambil si kakek gila. Tapi, telapak tangan lelaki
tinggi besar itu pun ikut tertarik hingga putus sebatas pergelangan. Maka,
hiruk-pikuklah suasana pesta yang semula ramai dan meriah itu.
"Akh...!" terdengar keluhan tertahan, ketika orang tinggi tegap itu menyadari
keadaan tangannya.
Lelaki tinggi besar yang merupakan salah seorang pengawal Juragan Prakosa itu
langsung berteriak kesakitan sambil memegangi lengan kanannya yang putus!
Wajahnya yang kecoklatan itu berubah pucat sambil menatapi cairan merah yang tak
henti-hentinya menyembur membasahi lantai.
"Gila...!" seru lelaki berkepala botak yang juga merupakan tukang pukul Juragan
Prakosa. Jelas, wajah lelaki botak itu dicekam kengerian melihat keadaan kawannya. Rasa
terkejut yang menguasai hati membuatnya tidak sanggup mengetuarkan sepatah kata
pun. Sementara itu, kakek gila berambut riap-riapan sama sekali tidak mempedulikan
kedua orang tukang pukul Juragan Prakosa. Telapak tangan sebatas pergelangan
yang masih menggenggam makanan itu dilemparkannya
begitu saja. Kemudian, kakinya melangkah lebar memasuki ruangan pengantin sambil
memperdengarkan kekeh seraknya.
Juragan Prakosa yang merasa terkejut ketika men-
dengar jeritan-jeritan para tamu undangannya, bergegas ke luar. Wajah lelaki
setengah baya itu berubah geram ketika melihat seorang kakek tinggi kurus yang


Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mirip jembel gila tengah melangkah ke arahnya.
"Keparar! Usir dan enyahkan kakek gila itu dari sini...!" teriak Juragan Prakosa
kepada empat orang tukang pukul yang senantaasa berada di belakangnya.
Tanpa diperintah dua kali, empat orang tukang pukul itu langsung berlompatan dan
mengurung kakek gila.
Mereka menyangka kalau kakek berambut awut-awutan
itu hanya merupakan pengemis gila biasa. Maka salah seorang dari mereka langsung
mengulur tangan menjam-
bret leher baju kakek itu, lalu menariknya ke luar.
Namun, kegemparan pun kembali terjadi Tukang
pukul bertubuh gemuk yang terlihat sangat kuat itu sama sekali tidak berhasil
mengangkat tubuh kurus kakek gila itu. Seolah-olah, tubuh kakek gila itu berubah
menjadi patung batu yang amat berat.
"He he he.... Kau sangat membosankan! Pergilah, aku tidak suka padamu," kata
kakek tinggi kurus sambil menggerakkan tangan kirinya yang juga menjambret leher
lelaki gemuk itu.
"Aaah...!"
Tukang pukul bertubuh gemuk yang belum hilang
rasa keheranannya, kembali dibuat terbelalak! Tubuhnya yang semestinya tidak
mungkin dapat diangkat kakek itu, ternyata dengan mudah dapat dilemparkan hanya
sekali sentak saja.
Brakkk! Pohon besar di sudut halaman rumah itu bergetar
ketika terhmpa tubuh gemuk itu. Setelah mengerang lirih menahan rasa sakit,
lelaki gemuk itu pun pingsan seketika.
"Bangsat! Bunuh kakek gila itu...!" teriak salah seorang lainnya yang bertubuh
kekar dan berwajah kasar, sambil menghunus senjatanya. Dia langsung melompat
membabat tubuh tinggi kurus itu.
Dua orang tukang pukul lain yang juga sudah tidak
bisa menahan sabar, segera mencabut senjata masing-masing dan menyabetkan ke
tubuh kakek itu.
Namun kakek gila itu seperti tidak mempedulikan
serangan para pengeroyoknya, dan malah enak saja me-lenggang masuk menuju tempat
pasangan pengantin bersanding. Dan ketika ujung-ujung senjata hampir me-
nyentuh tubuhnya, tangan kanannya langsung mengibas perlahan seperti mengusir
pergi seekor lalat.
Bresss! "Aaa...l"
Hebat sekali akibat yang ditimbulkan kibasan per-
lahan kakek gila itu. Tiga sosok tubuh pengeroyoknya langsung terpental balik
bagaikan dihembus kekuatan raksasa yang tak tampak. Semburan darah segar
seketika membasahi lantai. Dan, ketiga orang tukang pukul Juragan Prakosa itu
pun tewas seketika.
Sedangkan kakek gila itu sudah berada di ambang
pintu. Sepasang matanya yang tajam bergerak merayapi sekitar ruangan yang
tertata rapi dan indah. Seringai di wajahnya terkembang begitu melihat tubuh
ramping pengantin wanita yang saat itu tengah diungsikan.
"He he he.... Mau lari ke mana kau, Manisku...?" kata kakek gila itu.
Tubuh tua itu langsung saja melesat dan menyambar
tubuh molek berpakaian indah. Kemudian, tanpa mem-
pedulikan keributan dan teriakan-teriakan marah orang-orang yang berada di dalam
ruangan, tubuh si kakek gila langsung melesat dan lenyap di balik tembok
pembatas rumah.
"Kejar...! Tangkap penculik gila itu...!" Juragan Prakosa berteriak-teriak
memanggjl para tukang pukulnya.
Bagaikan orang kesetanan, lelaki setengah baya itu berlarian kian kemari dengan
perasaan kalut.
Sedangkan pengantin pria yang tadi hendak melindu-
ngi mempelai wanitanya, sudah tergeletak pingsan akibat sambaran tangan si kakek
gila. Semua kejadian yang berlangsung demikian cepat dan tak terduga itu membuat para
tamu yang berada di dalam ruangan terpaku bagai patung. Kesadaran mereka baru
pulih ketika terdengar teriakan Juragan Prakosa. Suasana pun semakin kalut,
karena para tamu yang tersadar langsung berlarian mencari keselamatan masing-
masing. Para tukang pukul Juragan Prakosa yang hanya ting-
gal tiga orang, bergegas mengejar si penculik. Beberapa orang tamu yang memiliki
keberanian ikut pula mengejar kakek gila itu.
Namun sayang, kepandaian ilmu lari penculik itu ternyata sangat hebat. Dalam
waktu yang singkat saja, bayangan tubuhnya telah mencapai perbatasan Desa Ra-wa
Jati. Untuk kemudian, lenyap di antara pepohonan.
Tentu saja para pengejar yang hanya memiliki sedikit kepandaian menjadi
kehilangan jejak. Mereka hanya berdiri saja sambil mencari-cari dengan pandangan
matanya di dekat mulut desa. Ketika tidak seorang pun yang melihat bayangan si
penculik, baru tukang pukul dan beberapa orang tamu itu bergegas kembali ke
rumah Juragan Prakosa untuk melaporkan hasil pengejaran mereka.
*** "Lepaskan aku...! Lepaskan...!"
Gadis cantik yang berada dalam pondongan lelaki
tinggi kurus itu meronta-ronta ketakutan. Wajahnya yang semula terhias cantik
sudah dibasahi air mata. Namun, dekapan kakek gila yang menculiknya dari rumah
Juragan Prakosa itu ternyata sangat erat dan sulit sekali dilepaskan. Sehingga,
wanita muda itu hanya dapat menangis sedih.
"Uh, uh..., bisamu hanya menangis saja, Kuntilanak!
Tidak bisakah kau tersenyum dan menyenangkan hatiku"
Atau kau memang ingin kusiksa agar tangismu ber-
henti"!" ancam kakek gila itu. Wajahnya yang kumal itu tampak cemberut tak
senang. Karena tangis wanita muda itu tak juga berhenti, ma-ka ketika tiba di dalam
sebuah hutan kecil, kakek gila itu melemparkan tubuh dalam pondongannya ke atas
tanah berumput. Melihat dari caranya yang kasar itu, jelas kalau hati kakek itu
merasa tidak senang mendengar tangisan wanita yang diculiknya.
Brukkk! Gadis manis itu menggeliatkan tubuh, karena ping-
gulnya terasa sakit akibat terbentur akar pohon yang menonjol di permukaan
tanah. Wajahnya tetap menunduk tak berani menatap sepasang mata beringas kakek
gila itu. "Hayo! Mengapa tidak menangis lagi, Budak Hina!"
Bentak si kakek gila sambil mengulurkan tangannya
menjambret baju yang dikenakan wanita itu.
Brettt! "Aaaw...!"
Perempuan muda itu menjerit dan tubuhnya ter-
lempar bergulingan. Kedua tangannya yang berjari-jari lentik itu sibuk
menyembunyikan bagian dadanya yang terbuka, ketika pakaiannya robek terenggut
tangan kakek gila yang menjambretnya secara kasar.
Sadar akan bahaya yang akan menimpa, maka tanpa
mempedulikan pakaiannya, perempuan muda itu berge-
rak bangkit dan langsung melarikan diri.
"He he he.... Bagus... bagus! Larilah sesukamu. Aku senang dengan permainan
ini...," ledek kakek gila itu sambil terkekeh gembira. Dibiarkannya gadis itu
melarikan diri semakin jauh ke dalam hutan. Tak berapa lama kemudian, barulah
kakek itu melangkahkan kakinya menyusul perempuan itu.
Sambil terus memperdengarkan tawa terkekeh, kakek
gila itu melangkah lambat-lambat menuju ke dalam hutan. Meskipun langkahnya
terlihat lambat, namun jarak belasan tombak yang ditempuh dapat dicapai hanya
dalam waktu singkat. Benar-benar suatu kepandaian
ilmu meringankan tubuh yang sukar diukur.
Pengejaran yang dilakukan kakek gila itu tentu saja tidak berlangsung lama.
Dalam waktu singkat saja, tam-paklah bayangan wanita buruannya itu. Nampaknya,
kakek itu hanya memerlukan beberapa langkah lagi untuk dapat menangkap gadis
muda itu. Rasa takut semakin hebat menguasai hati gadis itu
ketika menoleh ke belakang. Tampak kakek gila berambut awut-awutan itu sudah
semakin dekat dengan dirinya.
"Ohhh...!"
Karena terlalu sering menoleh ke belakang, akhirnya tubuh gadis itu terjerembab
karena kakinya terantuk akar pohon. Dengan gerakan kalut, ia berusaha bangkit
berdiri. Tapi baru saja hendak melangkah, sebuah ceng-keraman kuat membuat gadis
itu menahan jeritannya.
Sebelum gadis itu menyadari keadaannya, tahu-tahu
saja tubuhnya tertarik ke belakang. Dia kembali jatuh ke dalam pelukan kakek
gila yang terkekeh sambil menciumi kulit lehernya.
Namun, sebelum sesuatu yang lebih mengerikan me-
nimpa gadis cantik bernasib malang itu terjadi, terdengar bentakan keras.
"Jahanam keji! Lepaskan gadis tak berdosa itu..!" Berbarengan bentakan yang
menggetarkan itu, beberapa sosok tubuh berlompatan keluar dari semak-semak.
Begitu tiba, mereka langsung bergerak mengurung kakek gila yang tengah dirasuki
nafsu iblis itu.
Bukan main marahnya kakek gila itu melihat ada
orang yang berani mengganggu kesenangannya. Dengan gerakan kasar, dilemparkannya
tubuh wanita muda dalam pelukan nya. Sepasang matanya yang tajam mencorong,
merayapi belasan orang yang mengurungnya.
Tatapan sepasang mata yang menggetarkan itu mem-
buat belasan orang pengepungnya tersentak mundur
dengan wajah pucat. Hanya dua orang saja yangtetap di tempat, dan menentang
pandangan mata kakek gila itu tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Dewa Tangan Api...!" seru salah seorang pengepung yang ikut melompat mundur.
Nada suaranya terdengar penuh keraguan. Jelas, lelaki kekar yang berwajah brewok
itu masih meragukan ucapannya.
"Hei" Benarkah dia Dewa Tangan Api, Paman Danar Pati...?" Tanya pemuda berjubah
putih yang menentang pandang mata kakek itu.
Pemuda itu hampir-hampir tak percaya dengan peng-
lihatannya. Sedangkan gadis jelita berpakaian serba hijau yang berada di sebelah
kiri pemuda itu hanya berdiri tegak, dan tetap menatap ke arah kakek gila yang
ternyata adalah Dewa Tangan Api.
"Rasanya mataku masih awas, Pendekar Naga Putih.
Jelas, kakek ini adalah Dewa Tangan Api. Aku masih dapat mengenalinya meskipun
pakaian dan penampilannya sudah seperti seorang jembel gila. Hhh.... Mengapa ia
sampai berbuat demikian" Padahal setahuku, ia telah lama menyadari kesesatannya
dan menyembunyikan diri di Gunung Bulangkang. Tapi, mengapa sekarang kembali
berbuat kejahatan?" desah orang yang bemama Danar Pati.
Dia rupanya telah mengenal Dewa Tangan Api cukup
baik. Bahkan lelaki kekar berwajah brewok itu tahu tentang masa lalu kakek gila
itu. Sehingga, ia dapat menerang-kannya kepada pemuda berjubah putih yang me-
mang Pendekar Naga Putih.
*** Dugaan Danar Pari memang tidak salah. Kakek gila
itu memang Dewa Tangan Api. Hanya yang tidak dike-
tahuinya adalah penyebab kegilaan dan bangkitnya nafsu jahat dalam diri kakek
itu. Memang, sebenarnya Dewa Tangan Api terkena racun yang telah lama mengeram
di tubuhnya. Itu terjadi ketika dia bertarung dengan Dedemit Bukit Saji. Racun
itu dilepaskan murid tokoh sesat itu yang bernama Palawa secara licik. Dan
setelah melalui penderitaan panjang yang menyakitkan, akhirnya Dewa Tangan Api
kini menjelma menjadi seorang iblis keji hamba nafsu.
Racun jahat yang menurut Dedemit Bukit Saji belum
ada obatnya itu telah merusakkan syaraf-syaraf di kepalanya. Sehingga,
kesadarannya pun lenyap. Dia sama sekali tidak menyadari tingkah lakunya yang
dikutuk tokoh-tokoh persilatan golongan putih. Sebab yang menjadi ke-inginan
kakek itu hanyalah, bagai-mana harus melampiaskan nafsu binatangnya yang
senantiasa bergolak tak tertahankan. Itulah yang menyebabkan, mengapa seorang
kakek seperti Dewa Tangan Api masih tega melakukan perbuatan-perbuatan biadab
dan keji. "Hm.... Rasanya dapat kuduga, apa yang menyebabkan Dewa Tangan Api sampai tega
melakukan perbuatan-perbuatan keji selama ini," gumam Panji, perlahan. Sedangkan
sepasang matanya tetap saja mengawasi kakek itu.
"Hm.... Apa yang menjadi penyebabnya, Pendekar Na-ga Putih...?" Tanya Danar Pari
memandang Pendekar Naga Putih dengan sinar mata heran.
"Coba perhatjkan tingkah laku dan sinar matanya.
Rasanya, ada keanehan yang menguasainya. Apakah
Paman tidak dapat melihatnya," jelas Panji.
"Ya, ya.... Aku melihatnya. Sinar matanya begitu liar dan tidak wajar. Apalagi
caranya berpakaian. Jelas kalau Dewa Tangan Api telah menjadi orang tak waras.
Dan, ketidakwarasannya itulah yang telah menyeretnya melakukan perbuatan-
perbuatan keji dan biadab. Tapi, apa yang membuatnya bisa menjadi gila?" Tanya
Danar Pati seraya menggeleng-gelengkan kepala tak mengerti.
"Tidak perlu heran, Paman. Meskipun kepandaian Dewa Tangan Api sangat tinggi,
tapi masih banyak orang yang dapat melebihi kesaktiannya Dan mungkin saja dia
pernah bertarung melawan orang yang seperti kusebut-kan itu. Entah karena
pukulan ataupun senjata-senjata beracun, yang jelas ia berhasil dilukai
lawannya. Hingga akhirnya, Dewa Tangan Api kini menjadi orang gila yang selalu
berkeliaran mencari mangsa. Hal seperti itu bisa saja terjadi, Paman," sahut
Panji menerangkan dugaannya.
Danar Pati, Kenanga, maupun yang lain mengang-
guk-anggukkan kepala mendengar uraian Panji. Sepertinya, keterangan pemuda itu
dapat diterima akal. Dan memang, mungkin saja hal seperti itu terjadi.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Pendekar Naga Putih...?" Tanya
Danar Pati yang merasa kehilangan akal.
Dan memang, untuk menghadapi kakek gila yang ber-
kepandaian tinggi itu memang sangat berbahaya. Kalau ia dan kawan-kawannya nekat
mengeroyok, sama saja mengantarkan nyawa sia-sia. Maka, lelaki brewok itu
sengaja menyerahkan persoalan kepada Pendekar Naga Putih. Tentu saja maksudnya
agar Panji menghadapi
kakek sakti itu.
"Hm.... Paman dan yang lainnya harap me-nyingkir dulu. Aku akan berusaha sekuat
tenaga menundukkan-nya. Kalau nasibku baik, mungkin selamat. Sebab melihat sinar
matanya, jelas kalau Dewa Tangan Api seperti ingin menelan tubuh kita bulat-
bulat," sahut Panji merendah.
Setelah berkata demikian, pemuda tampan yang
mengenakan jubah putih itu melangkah beberapa tindak kedepan. Langkahnya
terhenti dalam jarak kurang dari dua tombak di hadapan Dewa Tangan Api yang
menatap penuh nafsu membunuh.
*** 8 Melihat Panji sudah melangkah menghampiri Dewa
Tangan Api, Danar Pati dan yang lain berjalan menjauhi tempat itu. Sebab mereka
sadar sepenuhnya kalau pertarungan antara kedua orang sakti itu akan sangat
berbahaya bagi keselamatan jiwa.
"Hmh...!"
Dewa Tangan Api menggeram gusar. Rupanya keda-
tangan pemuda itu semakin membuatnya marah. Dan
tanpa peringatan lagi, kakek itu langsung mendorongkan telapak tangan kanan
dengan pukulan jarak jauh.
Wusss,..! Serangkum angin kuat berhawa panas menyengat
menerjang deras tubuh Pendekar Naga Putih. Daun-daun pohon yang terkena hawa
sambaran angin pukulan itu langsung berjatuhan dalam keadaan kering. Dapat
dibayangkan, betapa dahsyatnya hawa panas yang terkandung di dalam pukulan tadi.
Panji tentu saja tahu akan bahaya yang mengancam-
nya. Maka 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dalam tubuhnya langsung bergolak dan
membentuk lapisan kabut ber-sinar putih keperakan. Berbarengan muneulnya kabut
yang menyelimuri sekujur tubuhnya, bertiuplah angin dingin menusuk tulang.
Pendekar Naga Putih sengaja tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Dia tahu,
apabila pukulan jarak jauh kakek itu dihindari, maka lawan akan kembali
menyusuli dengan pukulan-pukulan dahsyat. Dan hal itu tentu saja dapat
menghilangkan kesempatan baginya untuk melakukan serangan balasan. Itulah
sebabnya, mengapa pemuda itu memutuskan untuk memapak pukulan jarak jauh
Dewa Tangan Api.
"Hmh...!"


Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Disertai gerengan menggetarkan, sepasang tangan
Pendekar Naga Putih bergerak naik lurus menuding
langit. Kemudian meluncur turun dan terhenti didepan dada dalam posisi
menyilang. "Yeaaah...!"
Sambil membentak keras, Pendekar Naga Putih men-
dorong telapak tangan kanannya dengan menggunakan
lebih separuh tenaga saktinya. Maksudnya untuk menjaga, jangan sampai menderita
kerugian dalam gebrakan adu tenaga dalam itu.
Wusss...! Angin dingin yang dapat membekukan darah melun-
cur pesat menimbulkan suara mencicit tajam. Angin
pukulan yang terlontar dari telapak tangan pemuda itu melesat memapak pukulan
jarak jauh lawan.
Blarrr...! Dua gelombang tenaga sakti yang maha dahsyat itu
saling berbenturan menimbulkan ledakan dahsyat seperti hendak merobohkan gunung.
Bukan main hebatnya
tenaga sakti yang dimiliki kedua tokoh sakti itu.
Tapi hebatnya, meskipun benturan itu telah mem-
buat bumi di sekitarnya bergetar, namun tubuh mereka satu sama lain hanya
terjajar mundur sejauh empat
langkah ke belakang. Dari sini saja sudah dapat dinilai kalau kekuatan yang
dimiliki Panji dan Dewa Tangan Api berimbang.
Panji sama sekali tidak merasa heran terhadap ke-
kuatan yang dimiliki lawannya. Dan memang, nama Dewa Tangan Api telah sangat
terkenal dan termasuk tokoh silat kelas satu pada masa itu. Ingatan itu pula
yang membuatnya harus berhati-hati dalam menghadapi kakek gila yang
berkepandaian tinggi itu.
"Bangsat! Bocah setan...!" umpat Dewa Tangan Api sambil mengibaskan kedua
tangannya untuk memperoleh keseimbangan. Kemudian, dengan gerakan aneh, kedua
kakinya bergeser ke kiri dan kanan. Kemudian dia bergerak maju ke arah Pendekar
Naga Putih. Wuttt! Wuttt! Sambaran angin panas yang mencicit tajam, menyer-
tai pukulan-pukulan Dewa Tangan Api yang terkadang bergerak lurus mengancam
dada. Tapi di lain saat, sepasang tangan itu berputaran membentuk lingkaran
gelombang bagai dinding berhawa menyengat.
Pendekar Naga Putih yang memang telah menyadari
akan kehebatan lawan, tidak ingin bertindak kepalang tanggung. Melihat lawan
sudah menerjang maju kembali, maka pemuda itu bergegas menggeser kaki kanannya
ke samping. Sedangkan sepasang tangannya yang sudah
membentuk cakar naga, bergerak susul-menyusul disertai langkah kakinya.
"Haiiit...!"
Dibarengi bentakan keras, sepasang tangan Pendekar Naga Putih mulai menyambar-
nyambar mengancam tubuh lawan. Sambaran angin dingin yang mencicit tajam
menyertai setiap ayunan tangannya.
Namun Dewa Tangan Api juga tidak ingin tinggal
diam. Sambil berkelebatan menghindari sambaran cakar naga lawan, sesekali kakek
gila itu pun melontarkan serangan balasan yang tidak kalah berbahayanya dengan
serangan lawan. Sehingga, pertempuran yang berlangsung antara kedua orang tokoh
sakti itu semakin seru dan menegangkan.
Bettt! Panji menggeser kaki kiri ke samping sambil meren-
dahkan tubuh untuk menghindari hantaman telapak
tangan lawan yang mengincar dada. Begitu hantaman itu luput, tubuh Pendekar Naga
Putih langsung mengegos disertai tendangan kilat yang meluncur deras menuju
pelipis Dewa Tangan Api.
Meskipun dalam keadaan kurang waras, namun ka-
kek itu ternyata tidak kehilangan kepandaiannya. Tubuhnya segera didoyongkan ke
belakang saat tendangan
miring lawan meluruk menuju pelipis. Gerakan itu masih dibarengi tepisan tangan
kanan yang tepat menghantam tumit Panji.
Plakkk! Terdengar suara keras ketika telapak tangan kakek
gila itu menepiskan tendangan lawan. Namun, tendangan yang berhasil ditepiskan
itu terus saja berputar mengikuti tenaga sampokan tangan Dewa Tangan Api.
Sepertinya, hal itu memang sudah diperhitungkan Pendekar Naga
Putih. Dan sebelum kakek gila itu menyadari, tahu-tahu saja tendangan lawan kembali
menyambar deras. Kali ini
bukan pelipis yang menjadi sasaran, melainkan lambung Dewa Tangan Api.
Zebbb! Kegilaan itu ternyata tidak mengurangi kewaspada-
annya terhadap ancaman bahaya. Melihat datangnya tendangan lawan yang meluruk
mengincar lambung, cepat tubuhnya meloncat ke atas dan terus melakukan beberapa
kali salto di udara.
Tapi kali ini Pendekar Naga Putih tidak sudi mem-
biarkan lawan lolos begitu saja. Ketika lawannya terlihat melontarkan tubuhnya
ke atas, pemuda itu segera menarik pulang tendangannya. Sacepat telapak kakinya
meng-hentak bumi, secepat itu pula tubuhnya melesat menyusuli tubuh Dewa Tangan
Api. Gerakannya dibarengi
dengan dorongan kedua tangannya yang terbuka.
Keadaan itu tentu saja sangat sulit bagi Dewa Tangan Api untuk menghindar. Maka
tanpa dapat dicegah lagi, sepasang telapak tangan itu pun menghantam telak
dadanya. "Huagkh...!"
Hantaman dahsyat yang telak mengenai dada kakek
itu, membuat tubuhnya terlontar bagaikan sehelai daun kering. Semburan darah
yang keluar dari mulut kakek itu muncrat membasahi rerumputan hijau.
Brukkk! Bagaikan sehelai kain basah, tubuh kakek itu lang-
sung ambruk di atas permukaan tanah.
Melihat tubuh lawannya diam Udak bergerak, Pende-
kar Naga Putih bergegas menghampirinya. Tapi pada saat jarak di antara mereka
hanya tinggal beberapa tindak lagi, tiba-tiba saja tubuh Dewa Tangan Api
melenting bangkit Langsung diterjangnya Pendekar Naga Putih dengan dorongan
sepasang telapak tangan.
"Aaah..,!"
Bukan main terperanjatnya hati Pendekar Naga Putih melihat serangan tak terduga
yang amat berbahaya bagi keselamatannya. Untunglah 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang ada dalam dirinya telah terlatih baik. Maka ketika sambaran angin panas
datang menerpanya, tenaga sakti dalam tubuhnya pun bergerak dan langsung me-
lindunginya. Hantaman telapak tangan lawan yang hanya tinggal
beberapa jengkal dari tubuhnya, langsung dipapak Pendekar Naga Putih dengan
menggunakan seluruh kekuatan tenaga sakti yang ada dalam dirinya. Hal itu
dilakukan, semata-mata untuk melindungi dirinya dari kematian.
Sebab, disadari betul kalau saat itu Dewa Tangan Api pasti mengerahkan seluruh
kekuatan untuk menghabisi orang yang mengganggunya.
Blarrr....' Tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga
dahsyat ltu kembali bertemu. Asap putih kehitaman langsung mengepul akibat
pertemuan dua tenaga dalam yang berlainan sifat.
Akibat yang diderita Panji pun tidak ringan. Tubuhnya terlempar ke belakang,
hingga menabrak sebatang pohon yang langsung tumbang menimbulkan suara
bergemuruh. "Heaaah...!"
Sadar kalau benturan dahsyat itu telah mengakibat-
kan luka dalam yang tidak ringan, cepat Panji menghim-pun kekuatan hawa
murninya. Didorongnya keluar pe-
ngaruh benturan yang terasa mengganjal di dalam dadanya.
Sedangkan keadaan Dewa Tangan Api, jelas lebih
parah. Apalagi saat benturan itu terjadi, ia masih dalam keadaan terluka dalam.
Sehingga tubuh kurus itu terlempar bagaikan sehelai daun kering Dari mulutnya
tampak menyembur darah segar.
Brakkk..! Sebatang pohon yang berada di belakangnya, tak kuat menahan daya luncur tubuh
kakek itu. Terdengar suara berderak ribut ketika pohon itu tumbang. Sementara,
tubuh Dewa Tangan Api sendiri tergolek lemah dengan
napas satu-satu. Jelas, kalau luka yang kali ini dialami-nya lebih parah.
Sehingga orang tua tidak mampu lagi bangkit.
Panji yang sudah mengusir pengaruh benturan me-
langkah mendekati tubuh Dewa Tangan Api. Kini sikapnya lebih hati-hati. Bahkan,
pemuda itu tela menyiapkan tenaga saktinya untuk berjaga-jaga dari kecurangan
kakek gila itu.
Namun, ketika melihat betapa keadaan Dewa Tangan
Api benar-benar parah, Panji pun bergerak membungkuk dan melakukan beberapa kali
totokan untuk mengurangi penderitaan kakek itu. Lalu, dijejalkannya sebutir obat
berwarna putih yang berkhasiat menyembuhkan luka
dalam. "Bagaimana keadaannya, Kakang..." Apakah masih bisa disembuhkan?" Tanya Kenanga
yang tahu tahu telah berada di samping Panji.
Pendekar Naga Putih tersenyum dan mengedarkan
pandangannya kepada Danar Pati dan yang lainnya. Rupanya mereka telah berkumpul
di belakang pemuda itu.
"Untunglah Dewa Tangan Api memiliki kekuatan tubuh yang luar biasa. Sehingga
benturan dahsyat tadi tidak sampai membuatnya tewas. Rasanya semua telah
berakhir, Paman. Aku akan membawa Dewa Tangan Api
untuk menyembuhkan luka-luka ataupun racun yang
mengeram di dalam tubuhnya. Tolong antarkan gadis itu pulang. Dan jangan lupa
sampaikan salamku kepada Paman Turangga," pamit Panji yang segera meletakkan
tubuh Dewa Tangan Api di atas bahunya.
Lalu, bersama Kenanga, mereka berpisah dengan rom-
bongan Danar Pati.
"Selamat jalan, Pendekar Naga Putih...," desah Danar Pati, parau. Jelas kalau
laki-laki brewok ini merasa berat untuk berpisah dengan pendekar muda yang
sangat dika-guminya itu.
Setelah bayangan tubuh Panji dan Kenanga lenyap,
Danar Pari pun mengajak rombongannya untuk mening-
galkan tempat itu.
*** Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang telah cukup
jauh meninggalkan Danar Pati dan kawan-kawannya,
tiba-tiba berbalik dengan wajah tegang.
"Kau dengar suara itu, Kenanga...?" Tanya Panji seperti hendak memastikan apa
yang didengarnya.
"Aku pun mendengarnya, Kakang. Sepertinya jeritan itu berasal dari tempat
rombongan Paman Danar Pati yang baru saja kita tinggalkan?" Sahut Kenanga yang
juga menjadi tegang.
Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Naga Putih segera melesat cepat mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya.
Sebab, nalurinya membisikkan sesuatu yang mengerikan tengah menimpa rombongan
sahabatnya Itu.
Pendekar Naga Putih terus melesat ketika tidak me-
nemukan rombongan Danar Pati di tempat semula. Dia menduga kalau rombongan
sahabatnya itu pasti hendak meninggalkan hutan. Maka Panji segera mengambil
jalan setapak yang menuju mulut hutan. Sementara Kenanga hanya mengikuti
beberapa tombak di belakangnya.
Jerit kematian yang merasuk telinganya, membuat pemuda tampan itu semakin
mempercepat larinya. Sehing-ga, tubuhnya hanya seperti bayangan putih yang
bergerak menyelinap di antara pepohonan hutan.
"Ahhh...!"
Pendekar Naga Putih berseru tertahan ketika melihat enam sosok tubuh
bergeletakan mandi darah! Dikenali-nya betul kalau keenam orang itu adalah
anggota rombongan Danar Pati. Maka cepat kepalanya menoleh ke arah pertempuran
yang tengah berlangsung ramai. Tampak seorang lelaki gemuk berperut buncit
tengah dikero-yok Danar Pati dan kawan-kawannya. Melihat keadaan sahabatnya itu
tengah terancam maut, maka tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Naga Putih
segera berkelebat menuju ke arena pertempuran. Hal itu dilakukannya setelah
terlebih dahulu mengamankan Dewa Tangan Api.
"Heaaat..!"
Plakkk! Begitu tiba, Pendekar Naga Putih langsung melepas-
kan sebuah tamparan keras untuk menyelamatkan Danar Pati dari ancaman maut.
Kedatangannya memang sangat tepat. Sehingga, tamparan lelaki gemuk berperut
buncit itu dapat dipukul mundur. Kalau tidak, mungkin batok kepala Danar Pati
sudah pecah berhamburan akibat tamparan lawannya.
Danar Pati menarik napas lega ketika mengetahui kalau yang telah mendongnya
adalah Pendekar Naga Putih.
Bergegas ia dan kawan-kawannya menyingkir dari arena pertempuran. Karena, saat
itu Panji sudah bertarung hebat melawan laki-laki berperut buncit yang tak lain
dari Dedemit Bukit Saji.
Panji yang saat itu telah langsung melontarkan serangan-serangan kilat ke arah
Dedemit Bukit Saji, menjadi terkejut sekali. Dan memang, kepandaian laki-laki
setengah baya itu ternyata sangat hebat. Bahkan boleh dibi-lang tidak kalah
hebat dengan kepandaian Dewa Tangan Api.
"Heaaah...!"
Plakkk! Plakkk! Bukkk!
"Aaakh...!"
Dua buah serangan Panji yang mengarah dada dan
lambung Dedemit Bukit Saji, berhasil ditangkis lawan.
Bahkan tokoh sesat itu sempat pula mengirimkan sebuah hantaman tinju ke perut
Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih menghapus cairan merah yang
mengalir di sudut bibimya. Sadar kalau tenaga saktinya masih belum pulih akibat
bertempur mati-matian melawan Dewa Tangan Api, maka tanpa ragu-ragu lagi, Pedang
Naga Langit yang tergantung di punggungnya segera dicabut.
Sring! Kilatan sinar keemasan berkeredep menyilaukan
mata. Kini Pedang Naga Langit telah tergenggam erat di tangan kanan Pendekar
Naga Putih. Dan tanpa memberi kesempatan kepada lawan, pemuda itu cepat memutar
pedang dan langsung membabatkannya secara mendatar.
Wuttt! "Eh..."!"
Bukan main terkejutnya hati Dedemit Bukit Saji
ketika merasakan hawa aneh yang keluar dari pedang lawan. Cepat ia melompat ke
belakang hingga dua batang tombak jauhnya. Rupanya sekali melihat saja, tokoh
sesat berperut buncit itu tahu kalau senjata yang berada di tangan lawan sangat
ampuh dan berpengaruh.
"Palawa! Hayo bantu aku merebut pedang di tangan pemuda ini!" Teriak Dedemit
Bukit Saji sambil menoleh ke arah pemuda bertubuh tegap yang tengah bertarung
melawan Kenanga, dibantu Danar Pati dan kawan-kawan-
nya. "Tidak bisa. Guru! Seharusnya kaulah yang memban-tuku! Lihat! Aku sedang
terdesak!" Sahut pemuda itu yang tak lain dari Palawa, murid Dedemit Bukit Saji.
Sambil menyahut, pemuda itu kembali melompat meng-
hindari sambaran Pedang Sinar Rembulan yang meng-
ancam perut. Elakan Palawa ternyata tidak membuat senjata itu
berhenti menyerang! Sebab begitu serangannya lotos, Kenanga memutar senjatanya.
Pedang itu langsung bergerak turun menyambar pinggang lawannya. Gerakannya yang
cepat dan tak terduga itu, tentu saja membuat Palawa semakin kalang kabut. Maka,
la pun segera melompat jauh ke belakang. Setelah melakukan beberapa kali salto
di udara, barulah pemuda itu dapat menarik napas Iega.
Tapi, kelegaan di hati Palawa tidak berlangsung lama.
Sebab, baik Kenanga, Danar Pati, dan kawan-kawannya, kembali datang menyerbu ke
arahnya. Tentu saja Palawa tidak sudi tubuhnya dirajam senjata-senjata lawan.
Maka tubuhnya segera bergerak menghindar, diselingi pukulan balasannya sesekali.
Sementara itu, pertempuran antara Panji melawan


Pendekar Naga Putih 23 Dewa Tangan Api di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dedemit Bukit Saji sudah kembali berlangsung. Tokoh sesat berusia lima puluh
tahun itu tengah mati-matian menghindari sabetan pedang lawan yang benar-benar
membuatnya mati langkah! Sebab, ke mana saja berlari menghindar, selalu saja
senjata Panji membayanginya.
Sehingga, Dedemit Bukit Saji menjadi kalang kabut.
Panji yang kelihatan jelas ingin segera menyelesaikan pertarungan, segera
melancarkan serangan susul-menyusul bagaikan gelombang laut yang tak pernah
putus. Sehingga, gulungan-gulungan sinar keemasan semakin mengurung rapat tubuh
lawannya dari segala arah. Sambaran-sambaran Pedang Naga Langit yang menimbulkan
hawa menggiriskan, membuat Dedemit Bukit Saji semakin kelabakan dan tidak sempat
menggunakan jurus an-dalannya, ilmu 'Telapak Darah'. Tentu saja hal itu membuat
jurus-jurusnya jadi kacau dan tidak terarah.
Sehingga, serangan-serangan Panji semakin gencar mengincar tubuhnya.
Pada saat pertarungan memasuki jurus ketujuh pu-
luh, tiba-tiba terdengar pekikan nyaring dari mulut Pendekar Naga Putih. Saat
itu juga, tubuh Panji mencelat naik dan melambung ke udara. Rupanya, pemuda itu
ingin segera mengakhiri pertempuran dengan menggunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk
ke Dalam Bumi'.
"Heaaat..!"
Bukan main terkejutnya hati Dedemit Bukit Saji me-
lihat serangan yang dilancarkan lawan. Bulatan sinar keemasan berpendar dan
menyilaukan mata membuatnya
tidak sanggup memandang. Apalagi deru angin tajam
yang ditimbulkan putaran senjata lawan seperti membuat urat-urat tubuhnya lumpuh
seketika. Maka....
Bretttl! Brett!
"Aaargh...!"
Dedemit Bukit Saji berteriak setinggi langit ketika ujung pedang Pendekar Naga
Putih menghunjam tubuhnya berkali-kali. Darah segar memercik mengiringi
terlemparnya tubuh gemuk berperut buncit itu.
Berbarengan tewasnya Dedemit Bukit Saji, terdengar raungan panjang yang
menggetarkan hutan. Sebentar
kemudian, tampak terbanting sosok tubuh tegap. Siapa lagi kalau bukan Palawa.
Cairan merah tampak mengalir turun dari luka-luka di tubuh pemuda itu. Setelah
berkelojotan sesaat, tubuh Palawa meng-hembuskan napasnya yang terakhir. Pemuda
itu tewas di ujung pedang Kenanga, Danar Pati, dan kawan-kawannya.
"Dedemit Bukit Saji...," gumam Pendekar Naga Putih memandangi mayat lawannya.
"Rupanya ia kembali membuat keonaran setelah bertahun-tahun menghilang dari
rimba persilatan."
"Ya! Syukurlah kini ia telah tewas di tanganmu, Pendekar Naga Putih. Tentunya
penyebab kegilaan Dewa Tangan Api pun pasti karena diracuni oleh tokoh sesat
ini, sehingga pikirannya berubah. Dedemit Bukit Saji memang terkenal dengan
racun-racunnya yang sangat jahat. Kami mengucapkan terima kasih atas
pertolonganmu, dan juga Kenanga. Untunglah kedatangan kalian tepat pada wak-
tunya. Kalau tidak, mungkin kami sudah melayat ke akhirat," ucap Danar Pati
seraya membungkukkan tubuhnya dalam-dalam ke arah Panji dan Kenanga.
Panji tersenyum sambil mengulurkan tangan meraih
bahu kekasihnya.
"Sudahlah, Paman. Sekarang kami benar-benar
hendak pamit Dan mudah-mudahan, tidak ada lagi yang menghalangi perjalanan Paman
dan kawan-kawan lainnya," kata Pendekar Naga Putih seraya menarik napas lega.
Dengan tubuh Dewa Tangan Api yang kembali berada
di atas bahu Panji, sepasang pendekar itu melangkah meninggalkan Danar Pati dan
kawan-kawannya. Mereka mengantar kepergian Pendekar Naga Putih dan Kenanga
dengan pandangan penuh terima kasih.
"Lebih baik kuburkan dulu mayat kedua orang ini.
Setelah itu, barulah kita lanjutkan perjalanan," usul Danar Pati melihat
bayangan pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandangan.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor Andan S Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Anak Rajawali 21 Pedang Kiri Pedang Kanan Karya Gan K L Pohon Kramat 6
^