Pencarian

Makhluk Haus Darah 1

Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah Bagian 1


" for Serial Pendekar Naga Putih dalam episode :
MAKHLUK HAUS DARAH
T. Hidayat MAHLUK HAUS DARAH
CINTAMEDIA Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode : Makhluk Haus Darah
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Seekor kuda berbulu hitam pekat melesat cepat bagai
anak panah lepas dari busur. Penunggangnya berteriak-
teriak sementara tangannya sibuk melecutkan sisa tali
kekang dalam genggaman. Nampaknya penunggang kuda
hitam itu begitu terburu-buru. Mungkin karena ingin segera
tiba di tempat tujuan, atau tengah berpacu dengan waktu
yang saat itu sudah menjelang sore.
Di sebuah persimpangan jalan penunggang kuda hitam
menarik tali kekang. Setelah sejenak merayapi keadaan
sekitarnya, dia kembali menggebah binatang
tunggangannya, Bukan ke kiri atau ke kanan, tapi lurus
menerobos semak-semak. Tentu saja Iari kuda hitam itu
tidak bisa cepat. Daerah yang dilalui bukanlah jalan yang
biasa digunakan orang.
Setelah lebih kurang seratus tombak kemudian,
perjalanan itu kembali dihentikan. Kali ini ia berhenti tepat
di depan sebuah bangunan candi tua yang hampir
keseluruhannya rusak. Belum lagi ia melompat turun dari
atas punggung kuda, dua sosok bayangan berkelebat.
Tahu-tahu, si penunggang kuda merasakan tubuhnya
terenggut hingga ia sampai terpekik kaget.
Penunggang kuda itu merasa pasti tubuhnya akan
terbanting di tanah. Tapi pikirannya meleset. la jatuh
dengan kedua kaki lebih dulu. Sebuah tangan kokoh
mencengkeram leher bajunya. Tangan kokoh itu milik salah
satu dari sosok bayangan yang tadi berkelebat dengan
demikian cepat. Sosok itulah yang membetot turun tubuh
penunggang kuda.
"A-aku... aku orang suruhan Senapati Malingkat...,"
penunggang kuda yang ternyata seorang lelaki empat
puluh tahunan berkata gagap. Wajahnya nampak agak
pucat. Diri penunggang kuda itu doyong ke depan kefika
tangan yang mencengkeram leher bajunya menyentak
dengan kasar. Nama Senapati Malingkat ternyata cukup
berpengaruh. Cengkeraman tangan kokoh itu mengendur.
"Apa yang telah diperintahkannya kepadamu"!" Pemilik
tangan kokoh bertanya dengan nada bengis. Ia seorang
lelaki tinggi besar dengan otot-otot bertonjolan,
menunjukkan kekuatannya yang besar. Wajahnya terhias
brewok lebat. Sepasang matanya besar dan berwarna
merah saga. Sorot mata itu mencerminkan watak yang
kasar dan licik. Suatu gambaran bukan orang baik-baik.
"Uuntuk menemui kalian berdua," lelaki penunggang
kuda masih gagap. Sambil berkata ia menggerakkan ekor
matanya ke arah teman si brewok.
Sosok lelaki kedua ini tidak seseram si brewok.
Tubuhnya gemuk, bahkan nyaris bulat. Kepalanya tidak
ditumbuhi selembar rambut pun alias botak. Wajahnya
bulat dengan daging pipi yang berlebihan hingga kedua
matanya nyaris terpejam. Beralis tebal dan hitam. Mulutnya
nampak seperti orang yang selalu tertawa. Tapi, ada satu
keanehan yang tidak lumrah pada diri lelaki gemuk ini.
Seluruh kulit tubuhnya berwama kehijauan!
"Kalian siapa yang kau maksudkan?" lelaki gemuk
seperti kodok blentung itu bertanya. Suaranya kecil seperti
suara perempuan.
"Katak Hijau dan Setan Mata Api," jawab penunggang
kuda. "Aku membawa pesan dari beliau untuk kalian
berdua." Diambilnya sesuatu dari balik pakaian kemudian
diserahkannya kepada lelaki brewok
Setan Mata Api langsung saja menyambar bumbung
bambu itu. Setelah melepaskan cengkeramannya pada
leher baju penunggang kuda, buru-buru dibukanya penutup
bumbung. Dari dalam bumbung dikeluarkannya gulungan
daun lontar yang berisikan pesan Senapati Malingkat.
Setan Mata Api terlihat mengangguk-angguk ketika mem-
baca pesan tersebut.
"Apa isi pesan Malingkat itu?" Katak Hijau bertanya
ingin tahu. Dia adalah gembong kaum sesat yang sangat
ditakuti. Sosok dan wajahnya boleh jadi bisa membuat
orang tersenyum. Tapi. di balik wajah lucu ini justru
tersembunyi watak yang kejamnya melebihi iblis!
"Rezeki besar," sahut Setan Mata Api. "Dua hari lagi
akan ada iring-iringan tentara kerajaan yang mengawal
emas dan batu-batu mulia. Kau tahu berapa banyak harta
yang mereka bawa?"
Katak Hijau mengerutkan kening. Sesaat kemudian
kepalanya digelengkan.
"Harta itu dibawa dengan menggunakan dua buah
kereta kuda!" lanjut Setan Mata Api, membuat Katak Hijau
membelalakkan mata. "Nah, coba kau bayangkan berapa
banyak harta yang ada di dalamnya."
Katak Hijau cuma bisa berdecak kagum sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Si penunggang kuda
terbengong-bengong. Sebelumnya ia memang tidak tahu isi
pesan yang dibawanya.
"Eh, tapi tunggu dulu!" Tiba-tiba Setan Mata Api
berujar. "Masih ada pesan lainnya..."
"Apa?" tanya Katak Hijau.
"Hadiah untuk orang yang membawa pesan ini."
"Biar aku yang memberikannya," Katak Hijau segera
berpaling kepada penunggung kuda.
Perkataan Setan Mata Api tentu saja membuat hati si
penunggang kuda berdebar girang. Tapi, ia berusaha
sedapat mungkin menyembunyikan kegembiraan hatinya
itu. "Aku tidak mengharapkan hadiah apa-apa,"
penunggang kuda berpura-pura menolak. "Bagiku asal
pesan itu sudah sampai ke tangan kalian, aku sudah
merasa senang."
"Heh heh heh.... Tidak baik menolak rezeki, Kawan.
Apalagi kau sudah bersusah payah me- nVATiipaikan pesan
ini. Untuk itu, tentu saja sangat pantas jika kau kami beri
hadiah," ujar Katak Hijau dengan ramah.
Sayang, penunggang kuda tidak mengetahui watak asli
Katak Hijau. Dedengkot kaum sesat ini memiliki watak
yang aneh luar biasa. Semakin ramah kata-katanya, maka
itu merupakan pertanda kalau nafsu membunuhnya mulai
bangkit Dan sebelum penunggang kuda menyadari bahaya
yang mengancam dirinya, Katak Hijau sudah mengulurkan
jari-jarinya yang langsung mencengkeram leher
penunggang kuda.
Krekkkh! Sekali remas saja terdengarlah suara tulang-tulang
patah. Ketika Katak Hijau menarik tangannya, tubuh
penunggang kuda yang malang itu pun ambruk ke tanah.
Tewas dengan mata terbeliak.
"Bagus!"
Suara pujian itu membuat Katak Hijau dan Setan Mata
Api terkejut. Cepat keduanya menoleh ke arah datangnya
suara. Sosok lelaki gagah yang muncul dari balik salah satu
dinding candi membuat mereka terkejut bukan main.
"Malingkat"!"
Katak Hijau dan Setan Mata Api menyerukan nama itu
dengan wajah membayangkan keheranan besar.
Nampaknya mereka tidak percaya dengan penglihatannya.
Sementara itu sosok lelaki gagah melangkah mendekati.
"Hei, mengapa kalian seperti melihat hantu di siang
bolong" Aku masih hidup. Dan aku memang benar-benar
Senapati Malingkat, orang yang telah mengirim pesan
kepada kalian!" "Lelaki gagah itu mengembangkan kedua
lengannya dan tersenyum lebar.
"Tapi mengapa kau berada di sini, Malingkat?" Setan
Mata Api mengungkapkan keheranannya setelah beberapa
saat meneliti sosok Senapati Malingkat.
Senapati Malingkat tertawa pelan "Apa ada larangan
bagiku berada di tempat ini?" kilahnya.
"Bukan begitu maksud kami, Malingkat," kali ini Katak
Hijau yang berkata. "Tapi...."
"Ya, ya, aku tahu apa yang hendak kau kata- kan,
Katak Hijau," Senapati Malingkat buru-buru memotong.
"Kalian tentu heran mengapa aku berada di sini;
sedangkan pesan kukirim melalui orang lain. Begitu yang
hendak kau katakan, bukan?"
Katak Hijau dan Setan Mata Api tidak menyahuti,
Mereka cuma menganggukkan kepala.
"Aku sengaja menyuruh anak buahku untuk
mengantarkan pesan itu. Hendak kulihat bagaimana
tanggapan kalian terhadap berita besar tersebut." ujar
Senapati Malingkat memberikan keterangan.
?Jadi, kau sudah sejak tadi berada di sini dan
mengintai perbuatan kami?" Setan Mata Api tampak tidak
senang dengan tindakan Senapati Malingkat
"Tidak!" Senapati Malingkat menggeleng dengan mulut
tersenyum. Ketidaksenangan Setan Mata Api nampaknya
tidak membuat ia terpengaruh. "Aku tiba sewaktu Katak
Hijau hendak mencekik leher orang suruhanku. Semula
pesan itu kuanggap cukup untuk mewakili diriku, tapi
setelah orang suruhanku pergi, pikiran lain melintas di
benakku. Pertama, aku khawafir orang suruhanku tidak
berjumpa dengan kalian. Kedua, kupikir alangkah lebih
baiknya jlka aku yang langsung datang menemui kalian di
sini. Nah, itulah alasan mengapa aku sampai berada di
sini. Jelas?"
Setan Mata Api mengangguk-anggukkan kepala.
Tampaknya ia bisa menerima alasan Senapati Malingkat.
Demikian pula dengan Katak Hijau. Apa yang dikatakan
Senapati Malingkat memang tidak salah.
"Mengatur rencana bersama-sama memang jauh lebih
baik. Apalagi yang harus dibicarakan adalah sebuah
pekerjaan besar. Karena itu, kita harus merencanakannya
dengan matang," ujar Setan Mata Api kemudian.
"Itulah sebabnya aku berada di sini," Senapati
Malingkat kembali menegaskan. "Nah, marilah kita susun
rencana untuk pekeijaan besar itu."
Sekejap kemudian ketiga orang itu memutar tubuh dan
melangkah memasuki bangunan candi.
*** Katak Hijau dan Setan Mata Api termasuk orang-orang
yang mengetahui siapa Senapati Malingkat sebenarnya.
Sangat sedikit sekali orang yang mengetahuinya. Sebelum
menjadi senapati, Malingkat sebenarnya seorang tokoh
sesat ternama. Jari Beracun, itulah julukan Malingkat
sewaktu masih malang-melintang di rimba persilatan.
Jari Beracun bukanlah tokoh sembarangan. Sederetan
nama tokoh tokoh terkenal golongan putih roboh di
tangannya. Dengan perbuatannya itu namanya pun
terangkat naik. Tapi meskipun tokoh- tokoh golongan putih
telah mensejajarkan namanya dengan dedengkot kaurn
sesat, hal itu belum membuat Jari Beracun menjadi puas.
Golongan hitam pun harus mengakui keperkasaannya juga.
Keinginan itu bukan cuma dipikirkan, tapi
dibuktikannya dengan tindakan. Dan demi ingin
mendapatkan pengakuan tersebut, Jari Beracun Bdak
segan-segan membunuh para dedengkot golongan hitam.
Perbuatan Jari Beracun tentu saja mendatangkan tanda
tanya besar di kalangan rimba persilatan. Golongan pufih
maupun golongan hitam sa-ing mempertanyakan di mana
sebenarnya Jari Beracun berpihak. Karena kedua golongan
itu tidak puas, mereka lalu menganggap Jari Beracun seba-
gai musuh! Jari Beracun kaget bukan main mendapati dua
golongan itu mengincar dirinya. Tiba-tiba saja ia jadi
mempunyai banyak musuh. Sadar kalau dirinya berada
dalam bahaya, Jari Beracun akhirnya meninggalkan daerah
utara. Jika ia nekat bertahan untuk tetap tinggal di derah
asalnya itu, cepat atau lambat kematian pastl akan datang
menjemput. Mereka yang mengincar kematiannya
bukanlah tokoh-tokoh sembarangan, dan Jari Beiacun
belum mau buru-buru mati la masih belum puas
merasakan kenikmatan hidup.
Dalam pelariannya Jari Beracun singgah di kotaraja.
Adanya pengumuman bahwa kerajaan hendak
mengadakan pemilihan untuk menjadi calon perwira,
membuat Jari Beracun tertarik. la segera mendaftarkan
diri. Jari Beracun menggunakan nama aslinya, Malingkat.
Di tempat seperti ini dia merasa julukannya hanya akan
menimbulkan kesulitan.
Bukan cuma julukannya saja yang harus
disembunyikan. Ciri ilmunya pun ia samarkan. Keganasan-
keganasan serangannya sengaja dirubah agar kelihatan
lebih bersih dan menimbulkan kesan gagah. Tentu saja
perubahan itu tidak sampai mengurangi keperkasaannya.
Akhirnya Malingkat lulus dan mendapat jabatan sebagai
perwira menengah. Beberapa tahun kemudian, berkat jasa-
jasanya serta pengabdiannya kepada kerajaan, Malingkat
diangkat menjadi senapati.
Tapi karena pada dasarnya Malingkat memiliki watak
yang tidak pernah puas, jabatan tinggi yang diperolehnya


Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

masih dirasanya belum cukup. Padahal, dengan
jabatannya itu hidupnya sudah bergelimang kemewahan
dan kesenangan. Ketika mendengar Raja hendak
mengirimkan hadiah dalam jumlah hesar kepada kerajaan
lain, sebuah rencana pun muncul di pikiran Senapati
Malingkat. Senapati Malingkat segera menghadap Raja, la
meminta izin untuk menjenguk keluarganya di daerah
utara. Tentu saja bukan itu alasan sebenarnya Senapati
Malingkat. la berangkat ke utara untuk menghubungi dua
tokoh sesat yang ia tahu pasti akan tertarik dengan
rencananya. Perhitungan Senapati Malingkat memang tidak
meleset. Katak Hijau dan Setan Mata Api sangat tertarik.
Tanpa merasa perlu mempertimbangkan lagi, mereka
langsung menyatakan persetujuannya. Senapati Malingkat
berjanji akan menghubungi mereka kembali setelah
memperoleh kepastlan kapan hadiah-hadiah itu akan
dikirim. Dia juga menentukan di mana Katak Hijau dan
Setan Mata Api harus menunggu.
*** Senapati Malingkat tengah sibuk membayangkan
betapa rencananya akan berhasil dengan baik ketika
seorang prajurit datang menghadap . Senapati Malingka
jengkel bukan main. Itu terlihat jelas pada wajah dan
tatapan matanya. Prajurit yang nampaknya dapat
membaca tanda-tanda itu buru-buru melaporkan maksud
kedatangannya. Senapati Malingkat diminta untuk segera
menghadap raja.
"Kapan"!" tanya Senapati Malingkat dengan sisa-sisa
kemarahan yang terpaksa harus ditelan.
Sekarang Tuanku Senapati," jawab prajurit itu seraya
menghaturkan sembah.
Senapati Malingkat mendengus. Cuma itu yang bisa
dilakukannya untuk menumpahkan kejengkelan hati. Tidak
mungkin baginya menolak perintah Raja. Dengan hati
diliputi tanda-tanya Senapati Malingkat bergegas
menghadap raja.
"Senapati Malingkat," ujar Raja setelah Sena pati
Malingkat menghaturkan sembah dan menganmbil tempat
duduk. "Esok hadiah untuk kerajaan sahabat akan segera
dikirim. Kau kutunjuk untuk mengepalai pengawalan
hadiah itu."
Mendengar titah junjungannya berubahlah paras
Senapati Malingkat. la sangat terkejut sekali. Sungguh
tidak pernah dibayangkannya Raja akan menunjuk dirinya
untuk mempimpin pengawalan hadiah itu. Saking kagetnya
Senapati Malingkat sampai tidak bisa bicara beberapa saat
lamanya. Ampun beribu ampun, Gusti Prabu," Senapati
Malingkat menghaturkan sembah. "Bukankah Gusti Prabu
sudah menunjuk Senapati Wanalaga sebagai pimplnan
pengawalan" Bukan maksud hamba menolak perintah
Paduka, tapi... hamba merasa tidak enak terhadap
Senapati Wanalaga."
"Hhm... Buang pikiran itu jauh-jauh, Senapati Malingkat
Raja menggoyang-goyangkan telapak tangannya. "Justru
engkau kutunjuk karena Senapati Wanalaga tidak bisa
melakukannya. Dia sudah kutugaskan menangani
kekacauan di perbatasan selatan. Setelah Senapati
Wanalaga, kaulah yang paling bisa diandalkan dari yang
lainnya. Jadi, tidak ada alasan lagi bagimu untuk menolak
Sekarang siapkan saja segala keperluanmu. Dua belas
prajurit-prajurit pilihan akan menyertaimu."
Senapati Malingkat tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Setelah berpamitan dan menghaturkan sembah,
dilangkahkan kakinya meninggalkan balairung.
"Ini pasti ulah bangsat tua Wanalaga!" gerutu Senapati
Malingkat sepanjang jalan menuju tempat kediamannya.
Perintah itu membuat hati Senapati Malingkat gelisah
bukan main! la merasa curiga adanya permainan di balik
semua ini. Senapati Wanalaga memang tidak menyukai
dirinya. Senapati Malingkat sadar betul akan hal itu. Tapi ia
berpura-pura tidak tahu, karena Senapati Wanalaga
merupakan orang kepercayaan raja. Untuk itu Senapati
Malingkat harus selalu berhati-hati dan menjaga setiap
langkahnya. Senapati Wanalaga jangan sampai
menemukan kesalahannya yang dapat dijadikan alat untuk
menjatuhkannya.
Senapati Malingkat merasa curiga kalau perintah itu
bertujuan Ontuk menguji dirinya. Dan itu membuat hatinya
gelisah. Karena ia sudah merencanakan untuk merampok
barang-barang kiriman itu menggunakan tangan Katak
Hijau dan Setan Mata Api. Kedua orang tokoh sesat itu
akan melakukan penghadangan di suatu tempat yang telah
ditentukan. Sungguh tidak disangkanya kalau raja akan
merubah rencana. Memerintahkan dirinya untuk
memimpin pengawalan itu. Dan waktunya sangat
mendadak sekali. Sehingga tidak ada kesempatan lagi
untuk menghubungi Katak Hijau dan Setan Mata Api.
"Celaka! Benar-benar keparat bangsat tua Wanalaga!"
Lagi-lagi Senapati Malingkat merutuk seraya meninju
telapak tangannya sendiri. "Hancur sudah semua
rencanaku! Entah apa yang harus kulakukan jika
berhadapan dengan Katak Hijau dan Satan Mata Api nanti"
Menyuruh mereka membatalkan rencana, jelas tidak
mungkin!" Senapati Malingkat menghentikan langkahnya dengan
kening mengerut. Beberapa kali terlihat ia mengangguk-
angguk Sepertinya, Senapati Malingkat tengah
menimbang-nimbang sesuatu.
Haruskah kulepaskan jabatan ini untuk melanjutkan
rencana semula" Itu artinya aku kembali menjadi buronan.
Malah, kali ino lebih gawat, Buronan kerajaan! Tapi..., jika
tidak kulakukan, berarti aku harus berhadapan dengan
Katak Hijau dan Setan Mata Api. Sanggupkah aku
menghadapi mereka berdua" Bagaimana jika aku sampai
binasa di tangan mereka" Ah, mungkin sebaiknya
kulenyapkan saja mereka sebelum keburu membuka
mulut. Rasanya lebih baik mempertahankan jabatan ini
daripada harus hidup sebagai buronan lagi."
Dengan hati masih diliputi kebimbangan Senapati
Malingkat bergegas melanjutkan langkahnya kembali.
*** 2 Pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, Senapati
Malingkat dan rombongannya sudah bergerak
meninggalkan pintu gerbang kotaraja. Senapati Malingkat
yang ditugaskan memimpin pengawalan berjalan paling
depan. la menunggangi seekor kuda jantan berwarna
hitam pekat Setengah tombak agak ke belakang dua orang
penunggang kuda mengapitnya. Mereka duduk dengan
kepala tegak dan pandangan lurus ke depan
Kereta pertama yang ditarik seekor kuda dikawal
empat orang prajurit Masing masing menunggana seekor
kuda pilihan. Mereka berjalan di kiri kanan kereta.
Demikian juga yang teijadi pada kereta kedua, yang
berjarak kira-kira satu tombak dibelakang kereta pertama.
Sementara dua orang prajurit berkuda berjalan paling
belakang. Keseluruhan anggota rombongan, termasuk
Senapati Malingkat dan dua orang kusir, berjumlah lima
belas orang. Jumlah itu memang terhitung sedikit Tapi,
semuanya sudah diperhitungkan oleh Senapati Wanalaga
yang mendapat kepercayaan untuk memilih prajurit-prajurit
pengawal. Senapati Malingkat bukannya tidak tahu kalau anggota
rombongannya terdiri dari prajurit-prajurit pilihan. Sudah
lama ia mendengar tentang adanya pasukan khusus. Tapi
tidak banyak yang diketahuinya. Pasukan khusus itu
sengaja disembunyikan dan dilatih secara tertutup. Kecuali
Raja dan Senapati Wanalaga, cuma dua orang jagoan
istana yang mengetahuinya.
Dua orang jagoan istana tersebut adalah yang terlihai
di antara jago-jago istana lainnya. Mereka terhitung jagoan
nomor satu di kerajaan. Dan, mereka berdua termasuk
orang-orang yang mendidik pasukan khusus, terutama
dalam ilmu silat Mengenai siasat ilmu perang, Senapati
Wanalaga yang melatihnya. Sehingga, kepandaian
perorangan anggota pasukan khusus bisa melebihi tokoh
silat tingkat pertengahan. Pasukan khusus yang hanya
berjumlah seratus orang itu jauh lebih tangguh dan
berbahaya dari seribu prajurit!
Senapati Wanalaga percaya penuh kepada dua belas
orang anggota pasukan khusus yang mengawal kiriman
hadiah raja. Andaikan Senapati Malingkat hendak
berkhianat, para anggota pasukan khusus tersebut akan
sanggup menghadapinya. Kecuali jika berhadapan secara
perorangan. Senapati Malingkat jelas bukan tandingan
mereka. Dan, Senapati Wanalaga sudah memperhitungkan
hal itu. Tanpa sepengetahuan Senapati Malingkat serta
anggota rombongan lainnya, diam-diam Senapati Wanalaga
menyelundupkan dua orang jagoan kerajaan ke dalam
rombongan. Tak satu pun dari anggota rombongan yang
menyangka kalau dua orang kusir kereta sebenarnya
jagoan-jagoan nomor dua di istana!
Rombongan terus bergerak maju. Bunyi roda-roda
kereta menggilas bebatuan terdengar begitu jelas
Deraknya demikian bising memecah keheningan sore.
Semakin jauh rombongan itu meninggalkan kotaraja,
semakin gelisah pula hati Senapati M.illngkat Sehingga,
meskipun udara sore itu tidak panas, keringat nampak
membasahi wajah senapati. Dan, Senapati Malingkat
gagal menyembunyikan kegelisahan hatinya. Mendekati
tempat penghadangan yang direncanakannya bersama
Katak Hijau serta Setan Mata Api, kegelisahan itu makin
menyiksa dirinya.
Hhhh...!" Senapati Malingkat menghela napas berat.
Perbuatan itu membuat dua prajurit di kiri-kanannya
menoleh. "Tuan Senapati," prajurit yang berada di sebelah kanan
menegur dengan kening dikerutkan. la nampak heran
sewaktu melihat wajah dan sikap Senapati Malingkat
"Nampaknya Tuan sedang kurang sehat?" tanyanya
kemudian tanpa mengurangi rasa hormatnya.
Senapati Malingkat yang tidak menyadari kalau helaan
napasnya telah menarik perhatian dua prajurit di kiri-
kanannya, nampak tersentak kaget la tak menyangka dua
orang prajurit itu ternyata memperhatikan dirinya.
Pandangan mereka membuat Senapati Malingkat agak
gugup, takut kalau-kalau kegelisahan hatinya diketahui.
Buru-buru ditariknya napas panjang sementara otaknya
bekerja mencari alasan yang sekiranya bisa diterima kedua
prajurit itu. "Hh... Aku tidak apa-apa," jawab Senapati Malingkat
sambil menghembuskan napas panjang. "Aku cuma sedikit
lelah. Aku tidak terbiasa dengan tugas seperti ini, tapi Gusti
Prabu mempercayakannya kepadaku. Kuterima juga tugas
ini karena tidak ingin mengecewakan beliau. Terus terang
kukatakan tugas ini agak mengganggu pikiranku, sampai-
sampai semalaman aku tidak bisa tidur."
Dua prajurit itu mengangguk-angguk. Alasan Senapati
Malingkat memang bisa diterima akal. Tapi sebagai
anggota pasukan khusus mereka bukan saja tangguh di
arena pertempuran, tapi juga dapat menilai situasi dan
memiliki naluri yang tajam. Dan naluri mereka mengatakan
ada sesuatu yang tidak beres pada diri Senapati Malingkat!
Namun mereka tidak berkata apa-apa, hanya
meningkatkan kewaspadaan.
Diamnya dua orang prajurit itu agak melegakan hati
Senopati Malingkat. Tapi bukan berarti ia percaya mereka
dapat menerima alasannya. Sebagai seorang bekas tokoh
aliran hitam, Senapati Malingkat bukan cuma
mengandalkan ilmu silat saja. la juga cerdik, licik, dan tidak
percaya terhadap siapa pun! Tidak terhadap Katak Hijau
atau pun Setan Mata Api.
"He he he...! Kalian memang pantas untuk berhati-hati
Sebentar lagi aku akan memenggal kepala kalian," ujar
Senapati Malingkat dalam hati.
Sore terus merambat Cahaya jingga sudah mewarnai
kaki langit sebelah barat. Keremangan cuaca mulai
menyelimuti permukaan bumi Saat itu rombongan
Senapati Malingkat tengah melintasi jalan berbatu yang
diapit dua anak bukit. Bukit Dampet.
Demikianlah orang menamakan daerah itu.
Karena jalan yang harus dilalui agak sempit, empat
prajurit yang mengawal kereta terdepan terpaksa harus
mendahului kereta. Sedangkan empat prajurit yang
mengapit kereta kedua bergerak mundur untuk
memperkuat penjagaan di bagian belakang. Perjalanan
agak lambat karena permukaan tanah berbatu tidak rata.
Jalan sempit itu sendiri berjarak cukup panjang. Lebih
kurang seratus tombak lebih. Mereka baru menempuh
separuh jalan ketika keremangan mulai memekat, tanda
sebentar lagi malam akan jatuh.
Kecuali Senapati Malingkat, tak seorang pun tahu
betapa saat itu dua pasang mata tengah mengawasi
rombongan. Siapa lagi pemilik dua pasang mata itu kalau
bukan Katak Hijau dan Setan Mata Api. Mereka mengintai
dari atas lereng bukit. Katak Hijau di sebelah kiri,
sedangkan Setan Mata Api dari sebelah kanan. Ketika
rombongan telah lewat, Setan Mata Api berdiri tegap
menghadap ke tempat Katak Hijau mengintai Tangan
kanannya diangkat tinggi-tinggi dan digerakkan ke kiri-
kanan. Itu adalah tanda bagi Katak Hijau untuk segera
bertindak. Gmkkkhhh...!
Suara bergemuruh yang menggetarkan tanah
membuat semua anggota rombongan berpaling ke
belakang. Senapati Malingkat juga melakukan hal yang
sama. Wajahnya menampakkan kekagetan sewaktu
melihat bongkahan batu sebesar kerbau bunting


Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggelinding dari atas dan jatuh berdebum menutupi
jalan di belakang rombongan.
"Kurang ajar! Ini pasti ulah perampok-perampok yang
tidak tahu penyakit!" Senapati Malingkat menggeram
sambil berusaha menenangkan binatang tunggangannya
yang meringkik ketakutan.
Dua orang prajurit yang kini berada setengah tombak
di depan Senapati Malingkat langsung menileh. Dua
pasang mata tajam itu menyorot wajah Senapati Malingkat.
Bukan cuma curiga saja, malah mulut mereka
menyunggingkan senyum mengejek.
"Tuan pasti sudah tahu hal ini bakal terjadi, bukan"!"
salah seorang prajurit bertanya dengan nada menuduh.
Prajurit yang satunya lagi mengangguk-angguk menyetujui
ucapan rekannya.
"Kurang ajar...!" Senapati Malingkat melotot dengan
wajah merah padam. "Apa maksud kata-katamu Itu" Berani
benar kau berbicara seperti itu kepadaku, hah!"
Lima orang prajurit itu tertawa dingin. Tapi sebelum
mereka sempat berkata, tiba-tiba suara bergemuruh
kembali terdengar. Kali ini datang dari sebelah depan.
Untuk kedua kalinya, sebuah batu sebesar kerbau bunting
jatuh berdebum menggetarkan tanah di tempat itu Dinding-
dinding bukit bergetar hingga batu-batu berguguran ke
bawah menghujani rombongan Senapati Malingkat.
Keadaan menjadi kacau. Kuda-kuda meringkik ketakutan.
"Masihkah Tuan Senapati hendak berpura-pura tidak
mengetahui kalau semua ini bakal terjadi?" Di tengah
kesibukan menenangkan kuda tunggangannya, prajurit
berkumis tebal menatap Senapati Malingkat dengan bibir
mencemooh. "Dalam perjalanan sikap Tuan sangat gelisah sekali.
Kami menjadi curiga. Rupanya, inilah yang telah membuat
Tuan selalu gelisah," prajurit kedua menimpati.
Senapati Malingkat menggeram dengan wajah gelap.
Tuduhan itu membuat senapati tersebut baru menyadari
mengapa mereka disebut pasukan khusus. Mereka bukan
cuma pandai dalam bertempur, tapi juga memiliki naluri
tajam. Namun, sungguh ia tidak menyangka kedua prajurit
itu berani bersikap kurang ajar kepadanya.
Senapati Malingkat tidak tahu kalau seluruh anggota
pasukan khusus sebelumnya telah disumpah. Mereka
hanya akan patuh kepada Raja dan Senapati Wanalaga
saja. Itu selalu dltekankan dalam setiap latihan. Bahkan,
kedua orang jago nomor satu istana yang mendidik mereka
pun tidak mengetahui adanya sumpah tersebut. Hal itu
rupanya memang sengaja dirahasiakan.
Tujuan utama dibentuknya pasukan khusus adalah
untuk melindungi raja. Mereka dididik sejak berusia
delapan tahun. Dalam usia itu telah ditanamkan sikap-
sikap seorang prajurit sejati dan nilai-nilai kesetiaan.
Mereka dididik dengan keras. Senapati Wanalaga tidak
akan segan-segan menghukum setiap anggota yang
melanggar peraturan. Hukuman itu dilakukan di hadapan
anggota-anggota lainnya. Tujuannya adalah memberi
contoh pada mereka untuk tidak berani melanggar
peraturan. Tapi meskipun telah memberikan didikan yang keras.
Senapati Wanalaga masih merasa kurang puas Sebagai
seorang tokoh tua yang banyak pengalaman senapati itu
maklum kalau hati manusia sewaktu-waktu bisa saja
berubah. Entah karena penuh keadaan, perasaan, atau
pun kemungkinan- kemungkinan lainnya.
Untuk mcnjaga agar seluruh anggota pasukan khusus
tidak menyeleweng, dijejalinya mereka dengan racun yang
baru bekerja setelah satu tahun. Jika lewat dari waktu yang
ditentukan belum memperoleh obat penawar, kematianlah
yang akan mereka dapatkan. Dan setiap satu tahun sekali,
setelah diberi obat penawar, Senapati Wanalaga kembali
memberikan kepada mereka racun serupa.
Senapati Malingkat tidak mengetahui semua itu. Tidak
heran jika ia merasa terkejut bukan main sewaktu kedua
prajurit anggota pasukan khusus itu berani menentang
dirinya. Seluruh anggota yang tergabung dalam pasukan
khusus memang tidak memakai jabatan. Mereka tetap
merupakan seorang prajurit meski ketangguhan dan
kecakapan mereka melebihi seorang perwira. Itu sebabnya
mengapa Senapati Malingkat marah bukan kepalang
terhadap dua orang anggota pasukan khusus itu.
Jangankan seorang senapati seperti Malingkat, sedang
yang berpangkat perwira rendahan pun pasti akan marah
besar jika ada prajurit yang berani menentang perintahnya.
Apalagi sampai berani menuduh dan menunjukkan sikap
jelas-jelas menantang. Baru berlama-lama menentang
pandang saja, sudah merupakan alasan yang cukup untuk
memberi hukuman.
"Sayang, sekarang bukan waktu yang tepat untuk
memberi hajaran kepada kalian," geram Senapati
Malingkat. "Tapi camkan baik-baik, aku tidak akan
melupakan ucapan kalian yang tak berdasar itu!"
Senapati Malingkat kemudian memutar kudanya.
Tepat pada saat itu dari atas lereng bukit sesosok
bayangan melayang turun dan langsung mendarat di
hadapannya. Senapati Malingkat segera memberikan
isyarat dengan kedipan mata sewaktu dilihatnya wajah
Katak Hijau menggambarkan keheranan. Dan, Katak Hijau
cepat menangkap isyarat itu.
"Ha ha ha...!" Katak Hijau tertawa berkakakan.
Ditatapnya wajah Senapati Malingkat dengan sorot mata
tajam. "Kaukah yang menjadi kepala rombongan ini, Tuan
Senapati" Sebaiknya kau perintahkan kepada orang-
orangmu untuk meninggalkan dua buah kereta itu Kau
beserta rombonganmu boleh pergi dengan selamat. Nah,
apa lagi yang kau lunggu" Apakah kata-kataku kurang
jelas"!"
"Dengar, Manusia Kulit Hijau!" sahut Senapati
Malingkat dengan suara keren. "Jika kau tidak segera
menyingkirkan batu itu dan minggat dari hadapanku,
jangan bilang aku kejam jika kepalamu kupisahkan dari
tubuhmu!" ancamnya. Senapati Malingkat bergegas
melompat turun dari atas punggung kuda dan meloloskan
pedang yang tergantung di pinggang. Demikian cepat
pedang itu dicabut dari sarungnya. Begitu menginjak tanah,
pedang sudah berada dalam genggaman tangan.
Katak Hijau kembali tertawa bergelak. Keduanya kini
berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari satu tombak.
Nampaknya perkelahian tidak bisa dihindarkan lagi. Sikap
Senapati Malingkat dan Katak Hijau membuat dua orang
prajurit yang menyaksikannya segera melompat maju.
Mereka berdiri mengapit Senapati Malingkat dengan
senjata terhunus. Sekitas keduanya mengerling ke arah
Senapati Malingkat. Rupanya mereka masih tetap menaruh
curiga. "Agaknya kau sudah tidak sayang dengan nyawamu
yang hanya selembar itu, Tuan Senapati," ujar Katak Hijau
sambil melirik dua prajurit yang berada di kiri-kanan
Senapati Malingkat "Hm.... Nyawa dua orang prajuritmu itu
kurasa cukup untuk menjadi bukti bahwa aku tidak main-
main!" Begitu selesai dengan ucapannya, Katak Hijau segera
melesat ke arah prajurit di sebelah kiri Senapati Malingkat
Prajurit itu lebih dekat dengan tempatnya berdiri.
"Koook...!"
Sambil mengeluarkan bunyi seperti katak sungguhan,
Katak Hijau melancarkan sebuah pukulan lurus. Yang
diincamya adalah bagian ubun-ubun. Tapi, Senapati
Malingkat tidak membiarkan perbuatan Katak Hijau.
Sebelum serangan itu tiba, Senapati Malingkat sudah lebih
dulu bertindak. Digagalkannya serangan Katak Hijau.
"Manusia tak tahu penyakit! Menggelindinglah dari
hadapanku...!"
Senapati Malingkat mengulurkan tangan kirinya
dengan dua jari terbuka. Serangan Katak Hijau hendak
digagalkannya dengan totokan ke arah siku. tapi, Katak
Hijau terlalu cerdik. Lengannya segera diputar dan
disambutnya totokan Senapati Malingkat dengan kibasan
telapak tangan.
Praaattt...! Benturan itu membuat keduanya terdorong mundur.
Katak Hijau maupun Senapati Malingkat langsung
berpandangan dengan wajah terkejut. Masing-masing
merasakan nyeri akibat benturan itu.
"He he he...! Ternyata kau boleh juga, Tuan Senopati."
Katak Hijau memuji. Sementara yang dipuji cuma
mendengus kasar. Tanpa berkata apa-apa lagi segera
diterjangnya Katak Hijau. Kali ini Senapati Malingkat
menggunakan pedang. Suara sambaran angin pedang
terdengar mengaung bagai ratusan lebah marah!
Lagi-lagi Katak Hijau memperdengarkan kekehnya.
Sambaran pedang Senapati Malingkat dielakkan dengan
cara melompat-lompat, persis gerak seekor katak. Lewat
tiga jurus kemudian, Katak Hijau mulai membangun
serangan balasan.
*** 3 Kedua prajurit yang semula masih mencurigai Senapati
Malingkat nampak saling bertukar pandang. Mereka
melihat kesungguhan dalam serangan yang dilancarkan
Senapati Malingkat Hal itu terlihat dengan jelas. Serangan-
serangan Senapati Malingkat sangat mematikan. Perlahan
kecurigaan mereka pun terhapus.
"Tuan Senapati, kami datang membantu...!" Teriakan
dua orang prajurit itu membuat Senapati Malingkat
tersenyum penuh kemenangan. Pancingannya ternyata
berhasil. Mereka segera terjun ke arena untuk
membantunya. "Bagus! Aku memang sudah menunggu-nunggu
bantuan kalian," Senapati Malingkat berkata dalam hati.
Dan ketika kedua prajurit itu hendak mendaratkan kaki di
kiri-kanannya, Senapati Malingkat langsung berputar
dengan kecepatan yang sangat mengejutkan!
Semula kedua prajurit itu sedikit pun tidak menaruh
curiga. Tapi alangkah terkejutnya mereka sewaktu
menyadari perbuatan Senapati Malingkat ternyata
dimaksudkan untuk menghabisi mereka!
Crasss! Breeettt!
Sayang, kesadaran itu terlambat datangnya. Pedang
Senapati Malingkat sudah keburu merobek perut.
Keduanya memekik keras. Kemudian, terpental roboh dan
tewas seketika Pedang Senapati Malingkat merobek dalam
hingga usus mereka terburai keluar.
Sementara kedua prajurit itu roboh, Senapati
Malingkat sudah melemparkan pedangnya kepada Katak
Hijau. Tokoh sesat berkulit kehijauan itu terkekeh. Sekali
mengulurkan tangan pedang telah berada dalam
genggaman tangannya. Kemudian, langsung dibabatkan ke
depan. "Keparat busuk! Kau harus menebusnya dengan
nyawa anjingmu!" Senapati Malingkat mengutuk Katak
Hijau seraya melompat jauh ke belakang. Dihindarinya
babatan pedang yang mengancam perut
Empat prajurit anggota pasukan khusus yang
mendengar jerit kematian lawan-lawannya bergegas
menoleh. Alangkah terkejut hati mereka sewaktu
menyaksikan kedua rekannya telah roboh bermandikan
darah. Sementara Senapati Malingkat tengah bertarung
sengit melawan lelaki tua berkulit kehijauan. Adanya
pedang Senapati Malingkat di tangan lelaki tua berkulit
kehijauan membuat mereka maklum kalau dialah yang
telah membunuh kedua rekan mereka.
"Ayo, kita bantu Tuan Senapati. Nampaknya beliau
mendapat kesulitan untuk merobohkan pembunuh rekan
kita itu!" salah seorang prajurit berkata kepada kawan-
kawannya. Segera dicabutnya pedang, dan tanpa
membuang-buang waktu lagi langsung mendahului ketiga
rekannya untuk membantu Senapati Malingkat. Yang
lainnya pun bergegas berlompatan menyusul.
Setan Mata Api segera melayang turun dari tempatnya
bersembunyi. Tokoh sesat itu langsung dlkepung enam
orang prajurit. Tokoh yang memiliki sorot mata merah
seperti nyala api ini memperhatikan cara keenam lawannya
melakukan kepungan. Bentuk kepungan dan sikap kuda-
kuda mereka terasa asing.
Keenam anggota pasukan khusus tidak
memperdulikan keheranan lawannya. Mereka terus
bergerak mengelilingi Setan Mata Api. Beberapa kali,
sambil terus berputar, mereka bertukar tempat dengan
melakukan lompatan menyilang. Sementara senjata
keenamnya terus diputar hingga memperdengarkan suara
berdesingan. Semakiri lama lingkaran mereka semakin
rapat. Dan, sambaran angin pedang membuat pakaian
Setan Mata Api berkibaran.
"Hei! Apa kalian sedang menyuguhkan tarian monyet
untukku?" Setan Mata Api berkata mengejek. Kemudian,
tertawa bergelak dengan kepala tengadah.
Keenam prajurit pilihan itu sama sekali tidak
menggubris. Mereka tetap mengelilingi Setan Mata Api
sambil sesekali melompat untuk bertukar tempat. Cara
mengepung yang aneh itulah membuat Setan Mata Api
menamakan gerakan tersebut tarian monyet.
"Jiaaahhh...!"
Setelah jarak kepungan tinggal satu tombak lagi, tiba-
tiba terdengar bentakan dari sebelah kiri. Cepat Setan
Mata Api memutar tubuh. la sudah siap menghadapi
pengepungnya yang membentak itu Namun ternyata lawan
bukan hendak menyerang, malainkan untuk bertukar
tempat. Setan Mata Api sempat kaget dan segera
menyadari bentakan itu cuma tipuan. Apalagi ketika
telinganya menangkap suara berdesing di belakangnya.
"Keparat...!"


Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Merasa telah diperdayai, Setan Mata Api marah bukan
main. Tubuhnya diputar secepat kilat. Begitu samar-samar
dilihatnya kilatan sinar pedang meluncur ke arahnya, Setan
Mata Api langsung menyambut dengan kibasan lengan
kanan. Tentu saja ia telah menyalurkan tenaga dalam
terlebih dulu untuk melindungi lengannya.
Lagi-lagi Setan Mata Api harus menelan kenyataan
pahit. Serangan itu pun sebuah tipuan! Sementara orang
yang dikiranya menyetang menarik pedang kemudian
berputar untuk berganti tempat dengan kawannya,
serangan yang sesungguhnya meluncur datang ke arah
lambung! Breeettt...! Pada saat-saat terakhir Setan Mata Api masih sempat
menggeliatkan tubuhnya. Tusukan pedang merobek
pakaian dan cuma menggores sisi lambung Tapi meskipun
demikian, kemarahan Setan Mata Api semakin berkobar-
kobar. Sambil memperdegarkan geraman keras laksana
harimau luka, tangannya diputar melibat pedang yang
belum sempat ditarik pulang. Untuk menghindari agar
lengannya tidak tersayat mata pedang, Setan Mata Api
melindunginya dengan libatan pakaian.
Terdengar bunyi patahnya pedang begitu Setan Mata
Api menekuk lengan. Sekejap kemudian tokoh sesat itu
bergerak secepat kilat mengulurkan jari-jari tangannya ke
atas. Kreppp! Jari-jari sekuat capit baja itu mencengkeram leher
lawannya yang langsung diangkat naik. Bergemeretaknya
bunyi tulang leher yang remuk mengiringi geraman Setan
Mata Api ketika mengetatkan cengkeraman. Lawan yang
sudah kehilangan nyawa itu kemudian diputar berkeliling.
"Heaaa...!"
Lima prajurit anggota pasukan khusus lainnya tentu
saja terkejut. Kelimanya segera berloncatan mundur.
Ditatapnya Setan Mata Api dengan sorot mata penuh
dendam dan kebencian. ,
"Heh heh heh...!" Setan Mata Api menanggapi ' dengan
tawa mengejek. "Mengapa kalian mundur" Takut dengan
mayat ini" Wah, sungguh menyedih- kan sekali. Biar
kubuang saja kalau kalian memang takut."
Setan Mata Api melemparkan mayat di tangannya ke
arah dua orang. lawan yang berdiri di depannya. Pada saat
yang bersamaan, sewaktu lawan-lawannya terkesima,
Setan Mata Api mencelat ke kiri. Sepasang tangannya
meluncur deras laksana seekor elang menyambar ariak
ayam. Serangan itu dilancarkan dengari kecepatan tinggi.
Dua orang prajurit yang menjadi sasarannya tidak mampu
bertindak apa pun. Jari-jari Setan Mata Api tinggal
sejengkal lagi dari leher mereka.
Tapi, rupanya keberuntungan belum mau singgah pada
diri Setan Mata Api. Saat hasil serangannya sudah di depan
mata, sesosok bayangan melenyapkan senyum di b'lbir
Setan Mata Api.
Plak! Plak! Kuat bukan main benturan dua pasang lengan lengan
itu. Setan Mata Api sampai tak bisa menahan pekik
kagetnya. Sosok bayangan itu bukan saja menggagalkan
serangannya, tapi juga membuat kedua lengannya terasa
nyeri. Malah kuda-kudanya sampai tergempur. Sumpah
serapah Setan Mata Api langsung terdengar di saat
tubuhnya terhuyung llmbung.
"Siapa kau"!"
Setan Mata Api menatap sosok bayangan yang telah
menggagalkan serangannya. Dipandanginya wajah dan
tubuh sosok di depan kedua prajurit yang nyaris dapat
dibinasakannya. Setan Mata Api mengerutkan kening,
berusaha mengenali siapa manusia usilan itu.
Dia seorang lelaki tua bermata sayu. Jenggot dan
kumisnya terpelihara rapi, namun sorot wajahnya tampak
begitu murung. Sepertinya ia menjalani hidup dengan
tanpa semangat. Tubuhnya lebih pendek dari Setan Mata
Api maupun kedua prajurit yang telah diselamatkannya.
Sosok lelaki tua ini sebenarnya sangat jauh dari gambaran
seorang ahli silat. Dia lebih tepat menjadi seorang
pujangga (ahli sastra). Apalagi pakaian yang dikenakannya
adalah pakaian para pujangga. Lelaki tua berusia lima pu-
luh lima tahun ini cuma mengerapkan mata ketika
mendengar pertanyaan Setan Mata Api.
Sementara Setan Mata Api menatap lelaki tua bermata
sayu dengan penuh selidik, kelima anggota pasukan
khusus malah membelalak lebar. Mulut mereka sampai
ternganga, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Perasaan terkejut dan juga heran tergambar nyata di wajah
mereka. Kakek berpakaian sastrawan itu adalah salah satu
dari kusir kereta kuda! Tidak heran kalau kelima prajurit
anggota pasukan khusus hampir tidak percaya. Memang,
siapa yang akan menyangka kalau orang yang selama
perjalanan tidak pernah mereka lirik sedikit pun itu
ternyata memiliki kepandaian tinggi. Bahkan telah
menyelamatkan dua orang di antara mereka. Dan sanggup
membuat Setan Mata Api sampai terhuyung.
"Benarkah kau ingin tahu namaku?" Kakek bermata
sayu bertanya kepada Setan Mata Api. Suaranya pelan
seperti enggan bicara. Dan wajahnya tidak berubah, tetap
murung. "Siapa peduli dengan namamu!" bentak Setan Mata
Api keras, membuat lima orang prajurit yang hendak
menyaksikan tanggapan kakek mata sayu berjingkrak
kaget. "Yang kutanyakan adalah julukanmu. Tapi terserah,
mau jawab boleh, tidak pun tak akan kupaksa. Tak ada
bedanya bagimu. Apa pun jawabanmu, aku akan tetap
membunuhmu!"
Kakek bermata sayu mengangguk-angguk lemah.
Ditariknya sedikit ujung bibir kanannya ke atas. Mungkin
maksudnya hendak tersenyum tipis. Tapi yang terlihat
justru senyum getir. Segetir raut wajah dan sorot matanya.
"Jika demikian, ada baiknya aku memperkenalkan diri.
Aku tidak ingin mati tanpa nisan di atas makamku," ujar
kakek bermata sayu. Suaranya tetap pelan dan tanpa
gairah. "Aku disebut Sastrawan Murung. Mungkin itu
karena wajah dan mataku. Tapi bagiku semua itu tidak
menjadi soal. Yang penting aku punya julukan," lanjutnya
seraya tersenyum getir.
"Sastrawan Murung"!" Setan Mata Api mengerutkari
kening berusaha mengingat-ingat. "Hei..."!" serunya tiba-
tiba. "Kalau aku tidak salah, Sastrawan Murung adalah
salah seorang jagoan istana. Ah, pasti tidak salah! Kau
memang jagoan istana yang digetari Sastrawan Murung!
Hah hah hah...!"
"Ya, memang. Ha ha ha...!" Sastrawan Murung malah
menimpali tawa Setan Mata Api. Akan tetapi, tawa itu tidak
juga melenyapkan kemurungan wajahnya.
Setelah mengetahui siapa kakek bermata sayu itu,
Setan Mata Api malah kelihatan gembira. Tidak demikian
halnya dengan lima prajurit anggota pasukan khusus.
Mereka semakin bertambah kaget. Siapa yang tidak kenal
dengan Sastrawan Murung. Bukan saja yang berada di
lingkungan istana, bahkan hampir seluruh penduduk
kotaraja mengetahuinya. Kalau selama ini mereka cuma
mendengar namanya saja, maka sekarang dapat melihat
dengan jelas sosok Sastrawan Murung yang terkenal itu.
Kini Sastrawan Murung berhadapan dengan seorang
kakek yang sorot matanya semerah nyala api. Mereka telah
membuktikan sendiri kehebatan kakek mata merah itu.
Dan mereka jadi ingin tahu apakah Sastrawan Murung
akan sanggup menundukkan kakek mata merah yang lihai
ita Maka seperti dikomando saja kelimanya bergerak
mundur. Tidak sabar untuk segera menyaksikan
pertarungan yang pasti akan sangat menarik itu
Mundurnya kelima prajurit anggota pasukan khusus itu
membuat Sastrawan Murung lagi-lagi tersenyum getir. la
maklum apa yang ada dalam pikiran kelima prajurit itu.
Tapi hal itu tidak dipusingkannya. Apalagi saat itu Setan
Mata Api dilihatnya sudah siap untuk bertarung.
"Kau tidak ingin memperkenalkan namamu lebih
dulu?" tanya Sastrawan Murung.
"Nanti pun kau akan tahu sendiri," jawab Setan Mata
Api tak acuh. "Kapan?"
"Nanti kalau kau sudah menjadi penghuni akhirat!"
sahut Setan Mata Api seenak perutnya. Lalu, tertawa keras.
Nampaknya ia merasa puas dapat imempermainkan calon
lawannya. "Jadi, kau sudah ingin buru-buru mati?" Kening Setan
Mata Api langsung mengerut. Apakah manusia satu ini
rada-rada congek" Pikir Setan Mata Api. "Bukan aku, tapi
kau, Sastrawan Budek!" sahutnya kemudian.
"Iya, aku paham," Sastrawan Murung mengangguk
pelan. "Yang ingin buru-buru mati bukan aku, tapi kau!"
Ditunjuknya Setan Mata Api yang melotot sampai biji
matanya seperti mau copot.
"Terserah bacotmu saja!" ujar Setan Mata Api sambil
menepiskan tangan di udara. Nampaknya, Setan Mata Api
merasa kalah bicara. "Pokoknya, kaulah yang akan
mampus!" Dengan sebuah pukulan lurus Setan Mata Api
kemudian membuka serangan. Ketika Sastrawan Murung
menggeser tubuh ke kanan menghindari pukulannya,
Setan Mata Api mengirimkan tamparan dengan tangan
kanan. Kali ini sasarannya pelipis lawan. Bukan cuma itu
saja. Tamparan tersebut disertai dengan sebuah
tendangan ke bagian bawah perut!
Whuuut... dukkk...!
Tamparan ke arah pelipisnya dielakkan Sastra-wan
Murung dengan menekuk kedua lutut. Tamparan itu lewat
sejengkal di atas kepala. Sedangkan tendangan yang
mengancam bawah perutnya disambut dengan kedua
belah tangan yang langsung menjepit dan melibat kaki
Setan Mata Api. Sambil membentak keras, dilemparkannya
kaki lawan kuat-kuat. Pada saat tubuh Setan Mata Api
menga- pung di udara, Sastrawan Murung segera
memburunya dengan dorongan udara telapak tangan.
Akan tetapi Setan Mata Api ternyata tidak mudah
dirobohkan. Dengan gerakan yang sangat mengagumkan
dia memutar tubuhnya setengah lingkaran. .Kedua kakinya
ditendangkan kuat-kuat untuk menyambut dorongan
telapak tangan Sastrawan Murung. Benturan antara tangan
dan kaki pun tak dapat dihindarkan lagi.
Tubuh keduanya langsung terpental balik. Karena
kedudukan Sastrawan Murung lebih kuat, keadaannya
lebih baik daripada Setan Mata Api. Sastiawan Murung
dapat mengatur pendaratan tu-buhnya, sedangkan Setan
Mata Api jatuh terguling- guling di tanah. Benturan itu
membuatnya kehilangan keseimbangan.
"Cuh, cuh, cuh...!"
Setan Mata Api meludah beberapa kali karena
mulutnya kemasukan debu Sumpah serapah kotor
langsung terlontar dari mulutnya. Kemudian, dengan
bernafsu Setan Mata Api kembali menerjang Sastrawan
Murung. Sambaran angin pukulan lawan menderu kuat.
Sastrawan Murung maklum kalau serangan lawan jauh
lebih berbahaya dari sebelumnya. Tapi Sastrawan Murung
sedikit pun tidak menjadi gentar. Disambutnya serangan
Setan Mata Api dengan tidak kalah ganasnya.
Pertarungan kembali berlanjut. Kali ini lebih seru dan
lebih menegangkan. Masing-masing mengerahkan segenap
kemampuannya. Meskipun begitu, tidaklah mudah bagi
mereka untuk segera memenangkan pertarungan.
Keduanya sama kuat, dan sama-sama tangguh!
*** 4 Seorang pemuda nampak tengah melangkah di atas
jalan berbatu yang agak menurun. Wajahnya bersih dan
tampan. Tubuhnya tidak seberapa kekar, namun padat
berisi. la mengenakan pakaian serba putih. Demikian pula
dengan ikat kepalanya. Pemuda ini adalah Panji, atau yang
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih.
Setelah beberapa puluh tombak, jalan mulai agak rata.
Permukaan jalan dilapisi tanah merah. Tidak seperti yang
baru saja dilalui, hampir seluruh permukaannya dipenuhi
bebatuan. Baru beberapa tombak jalan tanah merah dilalui, Panji
rnenghentikan langkahnya karena tiba-tiba angin
berhembus keras. Hembusan angin keras itu Hanya terjadi
di satu tempat. Tepatnya pada pohon besar di atas
kepalanya. Pohon itu bergoyang keras hingga daun-
daunnya berguguran. Keheranan Panji inendadak berubah
menjadi rasa kaget! Daun-daun yang berguguran
menimbulkan suara berdesingan. Daya luncurnya pun
dirasakan tidak wajar.
Panji terpaksa berlompatan untuk menyelamatkan diri
dari daun-daun yang bagai hujan Sebagian daun-daun
jatuh menancap di tanah, tak ubahnya pisau-pisau terbang.
Yang mengejutkan adalah gerakan sebagian daun lainnya.
Daun-daun itu tidak berjatuhan ke tanah melainkan
melayang ke arah Panji!
"Hm.... Ini jelas tidak wajar lagi, tapi sudah kurang
ajar!" desis Panji.
Pemuda itu bersiap-siap menyambut datangnya
luncuran daun-daun. Tenaga dalamnya dikerahkan ke
kedua telapak tangan. Kemudian, dengan sebuah
hentakan perlahan tangan itu didorongkan ke depan.
Serangkum angin keras berhembus membuat dedaunan
yang tengah meluncur ke arahnya langsung terhenti. Panji
lalu mengibaskan tangannya dengan gerakan ke atas.
Daun daun itu pun membalik. Meluncur ke atas pohon
dengan pesatnya seolah hendak kembali ke ranting
tempatnya semula bergantung.
Prasssh...!

Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Puluhan dedaunan yang dikembalikan Panji terus
menerobos bagian atas pohon hingga memperdengarkan
suara berkerosakan. Bukan saja membuat daun-daun yang
masih melekat jatuh berguguran, tapi juga mematahkan
ranting-ranting pohon.
Panji menunggu beberapa saat sambil mene-
ngadahkan kepala. Apa yang diinginkannya ternyata tidak
kunjung muncul. Tadinya Panji bermaksud memaksa si
penyerang gelap keluar dari persembunyiannya di atas
pohon. Tapi perkiraannya ternyata keliru. Penyerang gelap
itu tidak berada di sana. Padahal jika orang yang
dimaksudkannya benar-benar berada di atas pohon besar
itu, pasti dia akan keluar. Kecuali kalau memang mau
membiarkan tubuhnya ditancapi daun-daun yang
dikembalikan Panji.
Demikian hebatkah manusia curang itu hingga daun-
daun yang kukembalikan tidak bisa memaksanya
menunjukkan diri?" desis Panji keheranan. Pandangannya
diedarkan ke sekeliling tempat itu. Diperhatikannya bagian
atas pohon yang berada di sana. Tidak terlihat tanda-tanda
yang mencurigakan. Keheningan membungkus tempat itu.
Panji baru saja hendak melangkah. Tapi kakinya tiba-
tiba dirasakan berat dan tidak bisa digerakkan. Jangankan
untuk melangkah, mengangkatnya saja tidak bisa
dilakukan. Tentu saja Panji terkejut. Seseorang telah
dengan sengaja hendak mempermainkannya.
"Jika didiamkan pasti semakin menjadi-jadi. Bisa-bisa
aku dijadikan mainannya," gumam Panji. Dengan sebuah
sentakan mendadak, tubuhnya segera diputar ke samping.
Kuda-kudanya rendah dengan sikap kedua kaki menekuk
persilangan. Gerakan itu untuk mengunci dan
membuyarkan tenaga yang melibat kedua kakinya.
"Heahhh...!"
Berbarengan dengan suara bentakan pendek Panji
melompat ke atas. Dua kakinya masih menekuk
bersilangan. Dan ketika mendarat di tanah, baru ia
membuka kedua kakinya. Kekuatan tak nampak yang
melibat kedua kakinya pun lenyap.
"Hebat.., hebat...!"
Pujian itu masih disertai dengan tepukan tangan. Panji
berpaling, diperhatikannya sosok seorang kakek yang
entah dari mana datangnya tahu- tahu tengah melangkah
mendekatinya. "Kepandaianmu benar-benar sangat mengagumkan,
Anak Muda," kakek itu rnemuji Panji. "Terutama caramu
membebaskan pengaruh tenaga yang melibat kedua
kakimu. He he he.... Kehebatanmu membuat selera
bertempurku bangkit. Mari kita bertarung, Anak Muda.
Kalau bisa mengalahkan aku, kau akan kuhadiahkan
seorang janda bahenol. Wajahnya cantik dengan senyum
yang menggemaskan. Bibirnya mungil. Tubuhnya langsing
dan padat. Kulitnya putih halus. Nah, bagaimana" Aku
yakin baru mendengarnya saja kau sudah mengilar. He he
he...!" "Kalau begitu, biarlah aku rnengaku kalah, Kek," ujar
Panji setelah menghela napas. "Silakan kau ambil janda
bahenol itu. Rasanya aku lebih suka memilih untuk
melanjutkan perjalanan."
Tanpa menunggu jawaban lagi Panji segera mengayun
langkah. Saat itu keremangan senja sudah semakin
memekat. Sebentar lagi malam akan segera jatuh. Panji
tidak ingin kemalaman di jalan. la berharap dapat
menemukan perkampungan setelah melewati Bukit
Dampet yang dari tempatnya berada kini kira-kira seratus
tombak lagi. Tapi langkahnya terpaksa harus ditunda.
Kakek itu sudah berdiri menghadang di depannya.
Panji menarik napas sesaat. Sejurus ditatapnya kakek
itu. "Apa sebenarnya yang kau inginkan dari ku, Kek?"
tanyanya penasaran
In tidak mengerti mengapa kakek itu seperti sepertinya
mencari-cari perkara. Padahal Panji sudah berusaha
mengalah. Si kakek terkekeh memamerkan gigi-giginya
yang berwarna kehitainan dan sudah tidak lengkap lagi.
"Kalau kukatakan, apakah kau bersedia meme
nuhinya?" tanya kakek itu.
Panji termenung beberapa saat. Sikap kakek itu
menurutnya tidak wajar. Seperti dibuat-buat. Seolah
dengan sengaja hendak menunda perjalanan nya. Pikiran
itu membuat Panji menjadi curiga.
"Bersedia atau tidak aku memenuhinya itu ter gantung
dari permintaanmu. Jadi, sebaiknya jelas kan dulu
permintaanmu itu. Setelah itu aku akan
mempertimbangkannya," sahut Panji kemudian. Matanya
menatap wajah si kakek dengan penuh selidik.
"Permintaanku tidak sulit. Aku yakin kau sanggup
memenuhinya."
"Kalau begitu, katakarilah," desak Panji.
"Setelah itu kau akan bersedia untuk memenuhinya?"
"Aku sudah menjelaskannya tadi," tukas Panji
mengingatkan. "Jadi cepat katakan keinginanmu itu!"
"Aku sudah beberapa hari tinggal di tempat ini. Dari
aku merasa kesepian karena tidak ada yang menemaniku
bermain. Tiba-tiba kau datang tanpa kuundang. Jadi... aku
meminta kesediaanmu untuk menemaniku bermalam di
tempat ini. Tidak perlu lama-lama. Semalam saja sudah
cukup," jelas kakek itu dengan suara memelas, seolah
hendak menggambarkan kesepian yang menyiksanya.
Panji mendengarkan dengan penuh perhatian.
Matanya tak lepas dari raut wajah keriput berkumis dan
jenggot memutih itu. Rasa kesepian yang disampaikan
kakek itu memang menyentuh perasaan. Namun Panji
meragukan kebenarannya. Nalurinya mengatakan kakek
itu telah berdusta. Selain itu, kakek di hadapannya ini
agaknya bukanlah orang baik-baik. Cara kakek ini
mempermainkannya dengan serangan-serangan
mematikan menunjukkan itikad jeleknya.
"Maaf Kek, aku tidak bisa memenuhi permintaanmu.
Aku harus pergi...."
Begitu kata-katanya setesai diucapkan, Panji langsung
melesat dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Pemuda
itu lewat di samping tubuh si kakek vnng berdiri tertegun.
Tak disangkanya Panji akan menolak permintaannya.
"Hm ... Jangan kira kau bisa pergi begitu saja dari
hadapanku, Pendekar Naga Putih...!" Kakek itu Menggeram
gusar. Lalu, cepat bagai sambaran kilat ia melesat seraya
mengulur kedua lengannya ke arah Panji yang berada tiga
tombak di depannya.
Panji menyadari sepenuhnya perbuatannya itu tidak
akan dibiarkan si kakek. Maka ketika dirasakan sambaran
angin halus di belakangnya, kedua kaki Panji segera
dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melambung ke udara.
Berputaran beberapa kali sebelum meluncur turun setelah
memperhitungkan sambaran angin telah lewat di bawah
kakinya. Perhitungannya memang tidak meleset.
Keyakinan itu diperkuat dengan sumpah serapah yang
dilontarkan si kakek. Maka begitu menginjak tanah, Panji
kembali melesat dengan kecepatan tinggi.
"Berhenti kau, Pendekar Naga Putih! Seorang
pendekar besar sepertimu tidak pantas berlaku pengecut!"
Sambil berlari mengejar kakek itu memaki kalang-kabut.
Teriakan-teriakan si kakek bukannya membuat Panji
berhenti. Malah, larinya semakin dipercepat. Kakek itu
telah mengenal julukannya. Ini merupakan satu bukti lagi
kalau kakek itu memang bukan orang baik-baik.
"Pasti bukan tanpa alasan ia menghambat
perjalananku," gumam Panji dalam hati, "Entah apa, aku
belum bisa menduganya...."
Jalan sempit Bukit Dampet berada dua puluh tombak
di depan Panji. Saat itu keremangan sudah semakin
memekat. Tiba-tiba, samar-samar telinga Panji menangkap
suara jeritan yang menyayat. Apa yang didengarnya itu
langsung saja dikaitkan dengan perbuatan si kakek yang
terus mengejarnya.
"Sekarang aku baru mengerti mengapa kakek itu
berkeras hendak mencegah perjalananku. Ia pasti
mengetahui apa yang sedang terjadi di celah- celah Bukit
Dampet Pasti ia tidak menghendaki aku sampai
mengetahuinya," gumam Panji.
Sebagai orang yang cukup pengalaman, Panji maklum
kalau suara jeritan itu berasal dari seseorang yang tengah
di ambang ajal. la menyimpulkan di tempat jeritan itu
berasal pasti tengah terjadi perkelahian. Dugaan dugaan
yang melintas ini membuat Panji ingin segera Hba
secepatnya di tempat lersebut.
*** 5 Tanpa sepengetahuan empat orang prajurit pasukan
khusus yang tengah rnelayang ke arena, Katak Hijau
memberi tanda kepada Senapati Malingkat dengan
kedipan mata. Sekejap kemudian, Katak Hijau melompat
ke depan. Senjatanya dilemparkan kepada Senapati
Malingkat, yang begitu berada dalam genggaman langsung
dibabatkannya ke samping, di mana dua orang prajurit
yang hendak membantunya baru saja mendarat.
Gerakan Senapati Malingkat cepat bukan main. Selain
itu, sasarannya pun tidak pernah menduga Senapati
Malingkat malah akan menyerang mereka. Tidak ada lagi
yang dapat dilakukan untuk menyelamatkan diri. Maka,
terdengarlah jerit kematian sewaktu mata pedang merobek
perut. Keduanya roboh dengan tubuh bermandikan darah.
Tawa Senapati Malingkat mengiringi kematian dua orang
prajurit yang naas itu.
Pada waktu yang hampir bersamaan, dua orang
prajurit lainnya ikut ambruk ke tanah dengan tenggorokan
berlubang. Pelakunya bukan lain Katak Hijau. Saat
melompat dan melemparkan pedang kepada Senapati
Malingkat, Katak Hijau langsung menerkam dua orang
prajurit di sebelah kanan senapati tersebut Dua prajurit
pasukan khusus itu tidak mungkin menghindar. Keadaan
mereka sangat tidak menguntungkan. Dengan mudah
Katak Hijau membenamkan cakar-cakarnya ke
tenggorokan dua prajurit itu.
"Pengkhianat busuk...!"
Senapati Malingkat dan Katak Hijau terkejut
mendengar makian itu. Cepat keduanya menoleh. Dan,
Senapati Malingkat bergegas melempar tubuhnya
berjumpalitan ke belakang. Begitu ia menoleh, dilihatnya
sesosok bayangan melayang ke arahnya. Suara angin
pukulan yang menderu membuat Senapati Malingkat sadar
kalau serangan itu sangatlah berbahaya. Maka, tanpa perlu
berpikir lagi ia langsung menyelamatkan diri. Tapi sosok
bayangan itu lidak mau memberi kesempatan. Dia segera
memburu dengan serangkaian serangan maut.
"Hyahhh...!"
Senapati Malingkat menjadi geram. Dengan sebuah
teriakan pendek, kedua tangannya diayunkan menyambut
serangan sosok bayangan.
Plakkk! Plakkk!
.Kedudukannya yang tidak menguntungkan membuat
Senapati Malingkat terhuyung mundur. Serangan lawan
memang berhasil dipatahkannya, namun ia kalah tenaga.
Benturan itu nyaris menjungkalkan tubuhnya. Sumpah
serapah kotor terlontar dari mulut Senapati Malingkat.
Sementara itu akibat tangkisan Senapati Malingkat
luncuran tubuh sosok bayangan jadi tertunda. Kedua
kakinya mendarat ringan di tanah. Dan selagi tubuh
Senapati Malingkat terhuyung-huyung, ia kembali
menerjangnya dengan serangan yang mematikan!
Katak Hijau bukan tidak tahu keadaan Senapati
Malingkat yang sangat teijepit. Namun ia sedikit pun tidak
tergerak untuk berbuat sesuatu Katak Hijau cuma berdiri
menyaksikan dengan kepala mengangguk-angguk. Sikap
masa bodoh Katak Hijau ini membuat Senapati Malingkat
geram bukan main.
"Katak Hijau!" teriak Senapati Malingkat. "Jika kau
tidak membantuku, aku bersumpah akan menyebar
luaskan kejadian hari ini! Itu berarti kau akan menjadi
buronan kerajaan!"
Ancaman Senapati Malingkat membuat wajah Katak
Hijau langsung berubah. Tentu saja ia sangat terkejut. Jika
Senapati Malingkat bisa selamat dan benar-benar
melaksanakan ancamannya, berarti ia akan menjadi
buronan kerajaan. Hal itu sudah pasti tidak diinginkannya.
Apa gunanya memperoleh banyak harta jika hidup menjadi
buronan. "Benar-benar licik manusia satu itu!"
Katak Hijau menggeram. Ia sadar ancaman itu sangat
berbahaya. Jelas tidak ada pilihan lain baginya kecuali
terpaksa membantu Senapati Malingkat. Katak Hijau pun
segera melayang ke tengah arena, di mana Senapati
Malingkat tengah jatuh bangun untuk menyelamatkan din.
"Kok Uok kok...!"
Sosok bayangan yang tengah mendesak Senapati
Malingkat terpaksa harus menunda serangannya. Suara
katak yang datang dari sampingnya itu dirasakan sangat
aneh. Dan, alangkah terkejutnya dia. Dilihatnya Katak Hijau
tengah berjongkok dengan mulut terbuka. Dari mulut itu
meluncur keluar gulungan asap berwarna kehijauan yang
disertai bunyi aneh seperti suara katak. Bau amis yang
tercium membuat sosok bayangan itu sadar kalau asap
kehijauan mengandung racun mematikan. Cepat ia
melemparkan tubuhnya ke belakang menghindari asap
beracun. Tindakan sosok bayangan membuat Senapati
Malingkat tersenyum iblis. Ia melihat satu peluang yang
sangat baik untuk melakukan pembalasan. Senapati
Malingka bergegas melompat bergulingan di tanah.
Disambarnya pedang yang tadi terjatuh. Dan dengan
sebuah teriakan panjang, Senapati Malingkat melompat
seraya melontarkan pedang di tangannya dengan sekuat


Pendekar Naga Putih 113 Makhluk Haus Darah di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

:enaga. Syuuuttt... Cappp!
Sosok bayangan itu tak sempat menyelamatkan diri.
Pedang meluncur deras dan menancap di perut selagi
tubuhnya masih berada di udara. Pedang yang menancap
dalam hingga tembus ke belakang itu membua sosok
bayangan ambruk di tanah. Dia menggelepar sesaat
sebelum akhirnya diam untuk selama-lamanya. Mati!
Sementara di tempat lain ...
Setelah bertempur lebih dari lima puluh jurus, akhirnya
Sastrawan Murung harus mengakui keunggulan Setan
Mata Api. Pada jurus-jurus selanjutnya ia lebih banyak
bertahan dan hanya sesekali membalas serangan.
Keadaan itu tentu saja membuat Sastrawan Murung lama-
kelamaan menjadi terdesak.
Lima orang prajurit yang semula hanya menon ton
serentak bangkit berdiri. Dan sebeum Sastrawan Murung
benar-benar roboh di tangan Setan Mata Api, kelima
prajurit pasukan khusus itu segera membantunya. Namun
sebelum mereka memasuki arena, dua sosok bayangan
telah mendarat di hadapan mereka.
"Tuan Senapati..."!"
Lima prajurit itu berseru kaget begitu mengena salah
satu satu dari kedua sosok tersebut Kelimanya segera
bergerak mundur. Wajah dan sikap Senapati Malingka
membuat mereka curiga. Sayang, sebelum mereka sempat
berbuat sesuatu Katak Hijau telah berjongkok seraya
melontarkan 'Pukulan Katak Hijau'nya yang mengandung
racun jahat! "Kok kok kok ..!" '
Kelima prajurit itu tertegun. Heran dan belum mengerti
dengan apa yang dilakukan Katak Hijau Keheranan mereka
segera berubah menjadi jerit kematian. 'Pukulan Katak
Hijau' menghantam tubuh kelimanya yang langsung
berpentalan dan jatuh berdebuk di tanah. Mereka tewas
dengan kulit tubuh berubah kehijauan.
Katak Hijau terkekeh. Ditatapnya Senapati Malingkat
"Sekarang tinggal satu lagi yang harus kita bereskan,"
ujarnya seraya mengerling ke arah Sastrawan Murung.
Kemunculan Senapati Malingkat dan Katak Hijau
membuat pikiran Sastrawan Murung bertambah kacau.
Perhatiannya terpecah, hingga ia tak bisa lagi menghindari
sebuah hantaman Setan Mata Api yang telak menggedor
dada kanannya. Desss...! Tanpa ampun lagi, Sastrawan Murung terjengkang ke
belakang. Dadanya terasa sesak Panas dan juga nyeri.
Kendafi demikian, Sastrawan Murung bergegas bangkit
berdiri dan menatap tajam sosok Setan Mata Api yang
tertawa terbahak-bahak. Sungguh tidak disadarinya betapa
saat itu Senapati Malingkat sudah berada di belakangnya
dengan pedang teracung
Whuuut... Crakkk...!
Terlambat bagi Sastrawan Murung untuk menyadari
datangnya serangan. Mata pedang langsung memutus
lehernya, tepat di saat kepalanya ditolehkan ke belakang.
Kepala itu langsung jatuh ke tanah. Sementara dari leher
Sastrawan Murung memancur darah segar.
"Malingkat," ujar Setan Mata Api seraya menatap lekat-
lekat wajah Senapati Malingkat.
"Mengapa kau tidak memberitahu kami bahwa kaulah
yang akan memimpin pengawalan ini" Jelas ini di luar
rencana kita. Jika kau kembali ke istana dalam keadaan
segar bugar seperti ini, mana mau mereka percaya dengan
ceritamu" Ini jelas berbahaya. Terutama bagi dirimu. Jalan
satu-satunya untuk melenyapkan kecurigaan orang istana
adalah kau harus bersedia kami lukai. Dengan adanya
luka-luka tersebut kemungkinan penjelasanmu bisa
mereka percaya. Paling tidak, mereka akan
mempertimbangkan ceritamu. Bagaimana, kau bersedia?"
Senapati Malingkat tidak langsung menjawab. Terlebih
dulu ditatapnya wajah Setan Mata Api dan Katak Hijau
bergantian. Sesaat kemudian ditariknya napas dalam-
dalam. Sebenarnya ia tidak percaya dengan kedua tokoh
itu. Tapi semuanya sudah telanjur. Untuk mundur jelas
tidak mungkin. Jalan satu-satunya memang dia harus
menerima usul Setan Mata Api.
"Tentu saja," jawab Senapati Malingkat kemudian. la
tidak mau membuat mereka curiga karena terlalu lama
berdiam diri. "Kurasa usulmu cukup baik. Silakan kalian
lukai aku. Buat agar cukup parah. Tapi ingat! Kalian harus
menyisihkan harta bagianku. Tunggu di tempat yang telah
kutentukan. Kalian masih ingat tempat itu, bukan?"
"Heh heh heh...! Mana bisa kami lupa, Malingkat,"
Katak Hijau terkekeh seraya mengerling pada Setan Mata
Api. "Nama tempat itu adalah Lembah Batu Hitam.
Letaknya di sebelah tenggara wilayah utara, daerah tempat
kita bertiga berasal."
"Kami akan menunggu kedatanganmu, Malingkat,"
Setan Mata Api menambahkan. Sedangkan dalam hati ia
melanjutkan dengan kata-kata, "Tapi kau tidak akan
pernah bisa datang. Malam ini kau akan kukirim ke
akhirat!" Senapati Malingkat mengangguk puas. Dia tidak
menduga kalau Setan Mata Api dan Katak Hijau
mempunyai rencana lain terhadap dirinya. Mereka bukan
sekadar ingin melukai, tapi membunuh! Senapati
Malingkat tidak menyadari hal itu. la sudah melangkah
mundur. Lalu, mengangguk sebagai tanda dirinya telah
siap. Setan Mata Api dan Katak Hijau saling bertukar
pandang sesaat. Kemudian, Setan Mata Api melangkah
maju seraya membabatkan pedang ke dada Senapati
Malingkat. Perbuatan itu dilakukan dengan tanpa
mengerahkan tenaga dalam. Sambaran pedang itu hanya
akan menimbulkan luka luar. Senapati Malingkat tentu
saja tahu. Diam-diam ia tersenyum dalam hati,
mentertawakan kebodohan Setan Mata Api.
Namun, di saat mata pedang sudah hampir mengenai
kulit dadanya, tiba-tiba Senapati Malingkat menjadi pucat
pasi! Ia pun sadar Setan Mata Api telah berkhianat. Di
akhir serangan yang sudah tidak mungkin dielakkannya itu
Setan Mata Api mengerahkan tenaga dalam!
"Kepar...!"
Breeettt! "Arghhh...!"
Makian Senapati Malingkat berubah menjadi raung
kesakitan yang mendirikan bulu roma. Sabetan pedang
Setan Mata Api yang sangat kuat mengoyakkan dada
Senapati Malingkat. Tanpa ampun lagi, tubuh senapati itu
terpelanting disertai percikan darah yang membanjir dari
luka di dada Meskipun menderita luka yang parah, Senapati
Malingkat berkeras untuk bangkit. Menyesal ia telah
mempercayai makhluk-makhluk licik seperti Setan Mala Api
dan Katak Hijau. Sayang, penyesalan itu terlambat
datangnya. Selagi ia tengah berusaha berdiri dengan kedua
kaki gemetar, pukulan maut Katak Hijau meluncur datang.
Desss...! Senapati MaUngkat menjerit ngeri. Tubuhnya
terlempar hampir dua tombak. Kemudian, jatuh
menggelepar seperti ayam disembelih. Sebuah telapak
kaki yang dijejakkan di dada menghentikan gerakan tubuh
Senapati Malingkat. Jejakan itu menghancurkan tulang-
tulang dadanya. Sepasang mata Senapati Malingkat
terbeliak. Ditatapnya sesaat wajah Setan Mata Api dan
Katak Hijau dengan sorot penuh dendam. Setelah itu,
kepalanya terkulai.
"Ha ha ha...!"
Tawa Setan Mata Api dan Katak Hijau menggema
bagai tawa setan-setan gentayangan. Dan sesaat
kemudian, berganti dengan suara derak roda kereta
menggilas permukaan tanah berbatu.
*** Pendekar Naga Putih berdiri mematung. Tubuh-tubuh
bersimbah darah berserakan di sekitarnya. Cuma
pemandangan itu yang ditemuinya saat ia tiba, selain jejak
bekas roda kereta. Sayang, saat itu hari sudah malam.
Tentu sangat sulit menelusuri jejak roda kereta di tengah
kegelapan. "Jika saja peristiwa ini terjadi pada siang hari, mungkin
aku bisa menemukan bekas jejak kereta- kereta itu," sesal
Panji. Namun, tiba-tiba satu suara mengusik kesendirian
Panji "Ha ha ha ... Hebat... hebat...!"
Suara tawa itu disusul dengan munculnya sesosok
tubuh yang bukan lain kakek yang tadi mengejar Panji.
Kakek itu muncul sambil bertepuk tangan keras-keras.
Panji menatapnya dengan kening berkerut
Kisah Tiga Kerajaan 10 Naga Pembunuh Lanjutan Golok Maut Karya Batara Pukulan Naga Sakti 12
^