Pencarian

Memburu Harta Karun 1

Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun Bagian 1


MEMBURU HARTA KARUN Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Memburu Harta Karun
128 hal ; 12 x 18 cm
Di Edit Oleh: mybenomybeys
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
1 Malam telah larut dan hening.
Suasana begitu pekat, karena cahaya
rembulan bersembunyi di balik gumpalan
awan hitam. Taburan bintang pun tak
lagi tampak menghias malam. Angin
dingin berhembus membawa titik-titik
air yang menetes, membasahi permukaan
mayapada. Suasana malam semakin hening
dan mencekam! Dalam suasana seperti ini,
rasanya orang akan enggan untuk keluar
rumah. Seperti halnya penghuni rumah
besar yang terletak di sebelah Selatan
kotaraja itu, atau tepatnya di Desa
Karang Kemiri. Rumah itupun terlihat
sepi bagaikan tak berpenghuni.
Dua orang laki-laki yang bertugas
jaga, tampak meringkuk malas di gardu
jaga. Sesekali mereka terlihat menguap
menahan serangan kantuk. Mata mereka
menyipit dan terasa berat. Dapat
dipastikan tidak lama lagi keduanya
akan jatuh terridur.
Di tengah kegelapan malam dan
titik-titik air yang jatuh membasahi
bumi itu, tampak belasan sosok tubuh
berlarian mendekati rumah besar itu.
Mereka yang rata-rata mengenakan
pakaian serba hitam bergerak lincah
menyelinap di antara bayang-bayang
pohon. Wajah mereka tidak terlihat
jelas karena tertutup selembar
saputangan hitam.
Tidak lama kemudian belasan sosok
tubuh itu tiba di bawah tembok tinggi
yang kokoh. Sejenak mereka memandangi
tembok tinggi yang mengelilingi rumah
besar itu. Sesaat kemudian salah
seorang dari mereka membalikkan
tubuhnya membelakangi tembok. Kedua
tangannya ditadahkan ke arah kawan-
kawannya dengan keadaan posisi kaki
kuda-kuda. Kemudian satu-persatu
kawannya melompat dengan kaki menjejak
tangan yang ditadahkan itu Maka orang
yang membelakangi dinding itu seketika
melemparkan tubuh kawannya.
Perbuatan itu terus dilakukan
berkali-kali hingga akhimya seluruh
kawannya telah berhasil melewati
tembok itu. Sedangkan dia sendiri
bergegas menjejak tanah, maka tubuhnya
langsung melambung melewati
tembok Rupanya orang itu memiliki kepandaian
yang lebih tinggi daripada kawan-
kawannya. Setelah berhasil melewati tembok
yang mengu-rung bangunan rumah besar
itu, belasan sosok tubuh itu berpencar
menjadi tiga kelompok. Masing masing
kelompok terdiri dari empat orang.
Mereka berpencaran untuk memasuki
bangunan besar itu dari tiga jurusan.
Salah satu dari kelompok orang
berpakaian hitam itu bergerak
mendekati pos jaga. Dua orang dari me-
reka cepat membekap mulut, kemudian
menancapkan senjatanya ke perut dua
orang penjaga pos yang tengah
terkantuk-kantuk.
"Huh! Anjing-anjing pemalas!
Tidurlah kalian untuk selamanya,"
gumam salah seorang dari mereka sambil
membersihkan darah yang menetes dari
senjatanya, setelah menghabisi nyawa
dua orang penjaga itu. Kemudian ia
menggerakkan kepalanya sebagai isyarat
untuk memasuki bangunan besar yang
jadi sasaran mereka.
Sementara itu di dalam sebuah
kamar rumah besar itu, tampak seorang
wanita cantik berusia sekitar tiga
puluh lima tahun tengah terjaga dari
tidurnya. Rasa gelisah merayapi
hatinya. Tangannya bergerak menggapai-
gapai untuk membangunkan seorang laki-
laki yang tampak masih terlelap di
sampingnya. "Kang...," panggil wanita itu
pelan sambil mengguncang-guncangkan
tubuh suaminya yang berusia sekitar
lima puluh tahun.
"Hmmmh...," laki-laki itu hanya bergumam pelahan tanpa berusaha
membuka matanya. Tapi ketika merasakan
guncangan pada tangannya semakin
keras, akhimya laki-laki itu terbangun
juga. "Hhh.... Ada apa?" tanya laki-
laki itu, malas.
"Aneh! Malam ini hatiku gelisah
terus, Kang."
"Aaah! Jangan.terlalu mengikuti
perasaan. Sudah, tidurlah!" sergah
suaminya yang segera kembali
membaringkan tubuh tanpa mempedulikan
perasaan istrinya. Sebentar kemudian,
dengkurnya kembali terdengar.
Mendengar jawaban suaminya yang
acuh, wanita itu terdiam. Pelahan-
lahan direbahkan kembali tubuhnya di
atas pembaringan yang beralaskan sutra
berwarna merah muda. Meskipun
kegelisahan masih menghantui, namun
wanita cantik itu berusaha untuk
memejamkan matanya rapat-rapat.
Belum lagi sempat. terlena, tiba-
tiba terdengar suara benda jatuh ke
atas lantai. Wanita cantik itu
langsung bangkit dengan wajah diliputi
ketegangan. "Siapa itu...?" tanya wanita itu was-was.
Sementara tangan berjari lentik
itu terus mengguncang-guncang tubuh
suaminya. Sehingga, laki-laki itu
kembali terbangun karena merasa
terganggu. "Sssttt..!" sebelum sang suami sempat bertanya, wanita cantik itu
segera meletakkan jari telunjuknya di
mulut. Kemudian dengan suara lirih
diceritakan apa yang tadi didengamya.
"Huh! Paling-paling hanya tikus
nakal!" gumam laki-laki itu, kesal.
Namun untuk memuaskan hati istrinya
laki-laki gagah
itu bangkit juga
sambil menyambar senjatanya yang
tergantung di dinding kamar.
Baru saja beberapa tindak kakinya
melangkah, tiba-tiba laki-laki
setengah baya itu berhenti.
Dikerahkannya segenap panca indranya
ketika mendengar suara-suara yang
mencurigakan pada waktu menghampiri
pintu tadi. Tapi begitu tidak lagi
terdengar suara-suara yang
mencurigakan segera diusirnya bayang-
bayang buruk yang tergambar di
benaknya. "Ah! Mungkin aku hanya terbawa
kegelisahan istriku saja," ujar laki-laki dalam hati.
Meskipun telah berhasil mengusir
bayangan buruk itu, namun
kewaspadaannya tetap ditingkatkan
ketika melangkah menuju pintu kamar.
Dari langkah kakinya yang ringan dan
tak menimbulkan suara, dapat diduga
kalau laki-laki gagah itu tentu
memiliki kepandaian yang tidak rendah.
Pada saat jarak laki-laki gagah
itu dengan pintu hanya sekitar satu
tombak lagi, mendadak....
Brakkk! Daun pintu itu langsung hancur
berantakan. Empat orang yang
mengenakan pakaian serba hitam
serentak melompat masuk dengan senjata
terhunus. Wajah mereka tertutup
sehelai kain hitam hingga sukar
dikenali. "Garbala! Kalau kau dan
keluargamu ingin selamat, cepat
serahkan peta harta itu padaku!" ancam salah seorang dari mereka galak.
"Kurang ajar! Siapa kau
sebenarnya Perampok Busuk"! Apa yang
kau maksudkan dengan peta harta itu?"
bentak laki-laki gagah yang dipanggil
Garbala marah. Dan ia merasa heran
ketika mendengar orang berpakaian
hitam mengenalnya.
"Huh! Siapa adanya aku, itu bukan
urusanmu! Sekarang cepat serahkan peta
harta itu sebelum kesabaranku habis!"
orang itu mulai menggeram gusar.
"Maaf, Kisanak. Aku benar-benar
tidak mengerti apa yang kau ucapkan
itu. Lagipula, kalaupun peta harta
yang kau maksudkan itu ada padaku
belum tentu aku bersedia
menyerahkannya padamu!" jawab Garbala tegas.
"Hm.... Jangan berpura-pura
bodoh, Garbala. Orang-orang telah tahu
kalau kau adalah keturunan Patih
Gajati Denta. Seorang patih yang tamak
dan serakah pada lima puluh tahun yang
lalu. Karena terlalu serakah terhadap
harta, akhimya ia tewas di tangan para
pendekar yang memang sangat
membencinya. Namun sayang, para
pendekar tidak berhasil menemukan
harta yang ditimbunnya sejak muda itu.
Dan kau sebagai keturunannya pasti
mengetahui di mana harta itu
disimpan," ujar salah seorang yang
sebagian wajahnya tertutup kain hitam.
"Aneh! Mengapa kau lebih tahu
daripada aku" Siapa kau sebenarnya?"
tanya Garbala semakin penasaran,
karena orang itu mengetahui riwayat
kakeknya dulu. Dan hal itu rasanya
tidak mungkin diketahui sembarang
orang. Pastilah orang itu telah
mengenal keluarganya dengan baik.
Garbala berusaha mencari jawaban dari
semua itu, tapi otaknya seperti sulit
untuk diajak berpikir.
"Bangsat! Rupanya kau pun sama
tamaknya dengan kakekmu itu! Kau akan
menyesal, Garbala!" bentak orang
bertopeng itu. Setelah berkata demikian, orang
itu segera menerjang Garbala.
Pedangnya berkelebat mengancam tubuh
laki-laki gagah itu.
Tranggg! "Uhhh...!"
Keduanya terjajar mundur sejauh
empat langkah, ketika golok besar
Garbala menangkis senjata lawan.


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka masing-masing terpaku sejenak
seraya sedikit melirik senjatanya
kalau-kalau menjadi rusak akibat
benturan itu. Bagaikan dua ekor ayam jago,
keduanya saling pandang penuh
kewaspadaan. Baik Garbala maupun
lawannya sama-sama mencari kelemahan
satu sama lain. Dua orang yang
bersiap-siap melanjutkan pertarungan
itu kali ini terlihat lebih berhati-
hati. Ternyata dalam benturan senjata
tadi ternyata tenaga mereka berimbang.
"Heaaattt..!"
Kali ini Garbala membuka serangan
teriebih dahulu. Golok besarnya
berputar menimbulkan desir angin tajam
yang menderu-deru. Laki-laki gagah itu
rupanya telah siap mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya untuk cepat
menyelesaikan pertarungan.
Tusukan golok besar Garbala
berhasil dihindari lawannya hanya
dengan menarik kaki depannya ke
belakang. Dan secepat itu pula
disabetkan pedangnya ke leher Garbala.
Tentu saja laki-laki gagah itu menjadi
terkejut melihat kecepatan gerak
lawan. Bergegas dilempar tubuhnya ke
belakang sehingga serangan lawan
mengenai tempat kosong.
Namun Garbala salah sangka kalau
ia mengira dapat lolos dari sambaran
pedang lawan. Karena begitu kakinya
mendarat ternyata desingan senjata
lawan terasa berkelebat dekat
telinganya. Cepat-cepat kepala Garbala
merunduk, maka pedang itu lewat
beberapa rambut dari kepalanya. Tapi
belum lagi posisinya sempat
diperbaiki, sebuah tendangan lawan
telah menyongsong ke arah dada.
Bukkk! "Hukkk...!"
Tubuh Garbala terpental deras ke
belakang dibarengi muncratnya darah
segar dari mulut.
"Oh, Kakang...! Kau... kau
terluka"!" teriak wanita yang sejak tadi menggigil ketakutan begitu
melihat suaminya terkapar.
Meskipun isi dadanya sempat
terguncang akibat tendangan lawan,
Garbala bergerak bangkit seraya
melintangkan pedangnya.
"Tetaplah di sini, Wilarni. Biar
akan kucoba menahan mereka!" ujar
Garbala berusaha menenangkan istrinya
yang ternyata bemama Wilarni itu.
"He he he.... Menyerahlah,
Garbala. Lebih baik serahkan peta
harta karun padaku Apakah tak merasa
sayang kepada istrimu yang cantik
molek itu," ejek lawannya terkekeh.
"Sudah kukatakan, aku sama sekali
tidak tahu menahu tentang peta harta
yang kau sebutkan," sahut Garbala
geram. Laki-laki gagah ini masih tidak
mengerti, dari mana orang itu menduga
kalau ia menyimpan peta harta milik
kakeknya. Padahal, tentang peta itu
pun baru diketahuinya beberapa minggu
terakhir ini. Itu pun didengarnya dari
orang lain. "Betul, Kisanak. Kami sama sekali
tidak mengetahui tentang peta harta
yang kau maksudkan itu," Wilarni ikut pula meyakinkan orang-orang yang
bertopeng itu. "Keras kepala! Manusia-manusia
tamak mampuslah!" sambil membentak
keras orang bertopeng itu kembali
membabatkan pedang ke tubuh Garbala
yang sudah bersiap menghadapinya.
*** Sementara itu di tempat lain,
tapi masih di dalam bangunan besar
itu, sudah. pula terjadi perkelahian.
Delapan orang berpakaian hitam
yang lain rupanya telah berkumpul dan
bertempur melawan dua anak muda yang
dibantu beberapa orang lainnya.
"Kakang! Aku mengkhawatirkan
keadaan Ayah!" teriak seorang gadis cantik berpakaian sutra merah muda
sambil menangkis serangan lawan dengan
pedangnya. Dan secepat kilat gadis itu
membalas dengan tidak kalah ganas.
"Hm.... Lebih baik kita cepat-
cepat habisi orang-orang gila ini.
Setelah itu, baru kita melihat keadaan
Ayah," sahut seorang pemuda tampan
berusia sekitar delapan betas tahun.
Setelah berkata demikian, pemuda
itu semakin mempercepat gerakan
pedangnya hingga menimbulkan angin
menderu-deru. Namun, ternyata kepandaian orang-
orang berpakaian serba hitam itu rata-
rata cukup tinggi. Sehingga, biarpun
mereka telah berusaha mendesak lawan,
tetap saja keadaannya tidak berubah.
Malah kadang-kadang dua anak muda dan
para pengikutnya yang terdesak
serangan lawan-lawannya.
Tiba-tiba, ditengah bisingnya
suara pertempuran, terdengar sebuah
siulan panjang yang menusuk telinga.
Tepat saat suara siulan itu lenyap,
berkelebatan sosok tubuh yang
mengenakan pakaian biru gelap sambil
membabatkan pedang bersinar putih ke
tubuh salah seorang kawanan berjubah
hitam. Terdengar teriakan ngeri
disertai semburan darah segar yang
membasahi lantai. Salah, seorang dari
kawanan baju hitam itu roboh tewas
dengan leher hampir putus.
"Paman Gatar...!" seru sepasang muda-mudi itu gembira. Jelas terlihat
kalau keduanya sudah amat mengenal
orang yang baru datang itu.
"Pendekar Pedang Kilat..!" seru tujuh orang laki-laki berpakaian hitam
itu kaget. Seketika kegentaran menyelimuti
hati mereka. Memang, siapa yang tidak
mengenal nama besar Pendekar Pedang
Kilat yang telah mengguncangkan dunia
persilatan dengan sepak terjangnya
yang menggiriskan. Untuk beberapa saat
lamanya, ke tujuh orang berpakaian
serba hitam itu hanya berdiri terpaku.
"Hm.. siapa kalian" Dan apa
maksudnya datang ke tempat ini?" tanya Gatar yang berjuluk Pendekar Pedang
Kilat. Sinar mata pendekar itu
mencorong tajam hingga membuat tujuh
orang itu semakin gentar.
"Paman, hadapilah mereka! Aku dan
Adik Suntini akan melihat keadaan
Ayah!" teriak pemuda tampan itu yang langsung berkelebat meninggalkan arena
pertempuran. Sedangkan di belakangnya,
gadis cantik yang bemama Suntini itu
berlari mengikuti kakaknya.
"Baik, Shindura! Jangan khawatir,
mereka hanyalah tikus-tikus busuk yang
kelaparan dan tak perlu ditakuti,"
sahut laki-laki yang berjuluk Pendekar
Pedang Kilat itu tenang. Sedikit pun
tidak terlihat kegentaran pada raut
wajahnya. "Huh! Kau terlalu sombong,
Pendekar Pedang Kilat! Biarpun kau
memiliki kepandaian yang tinggi, tapi
jangan harap kami akan tunduk
kepadamu!" sahut salah seorang yang bertubuh gemuk. Begitu ucapannya
selesai, tubuhnya meluncur disertai
bentakan keras. Gerakan itu segera
diikuti enam orang lainnya.
Serangan tujuh orang berseragam
hitam yang serentak itu, tidak membuat
Gatar gugup Sambil berteriak-teriak
nyaring tubuhnya bergerak di antara
kelebatan sinar-sinar pedang lawan.
Sesekali pedang bersinar putih di
tangannya melakukan serangan balasan.
Angin tajam berkesiutan menandakan
kalau tenaga dalam yang terkandung di
dalamnya begitu kuat Sehingga,
kepungan lawan-lawannya menjadi buyar
seketika. Walaupun kepandaian Pendekar
Pedang Kilat masih lebih tinggi
daripada lawan-lawannya, tapi untuk
menghadapi keroyokan tujuh orang yang
rata-rata memiliki kepandaian cukup
tinggi, tidaklah mudah. Karena mereka
bertempur secara kompak dan saling
melindungi. Dan itu menyulitkan untuk
dapat mendesak mereka.
*** Di tempat lain, Garbala yang
tengah bertempur melawan empat orang
bertopeng hitam tengah mati-matian
mempertahankan nyawanya. Seluruh
tubuhnya telah dipenuhi goresan
senjata lawan-lawannya. Pakaian yang
dikenakannya sudah tak ubahnya pakaian
seorang pengemis gembel. Garbala sudah
tidak mempedulikan lagi segala rasa
pedih yang diderita. Yang ada dalam
pikirannya adalah, bagaimana caranya
mempertahankan dan keselamatan diri
dan istrinya yang tengah merungkut di
sudut kamar itu. Sementara, kamar yang
dijadikan arena pertarungan lebih
mirip kapal pecah. Beberapa kursi
telah patah-patah. Beberapa hiasan
dinding, tidak karuan lagi bentuknya.
"Bangsat! Rupanya kau lebih
sayang peta harta itu daripada
nyawamu! Kau memang patut mampus,
Garbala!" teriak orang bertopeng itu geram melihat sikap lawannya yang
kepala batu itu.
Crakkk! "Aaahhh...!"
Tubuh Garbala melintir akibat
hantaman pedang lawan yang mengenai
punggung. Darah kembali mengalir dari
luka memanjang itu. Wajahnya
berkerinyut menahan sakit pada
punggungnya. "Nah! Terimalah kematianmu,
Keparat!" bentak orang berbaju hitam, kehilangan kesabarannya^
"Kakang...!" Wilarni menjerit
histeris melihat kematian suaminya
yang sudah di ambang pintu.
Wutttt! Tranggg! "Uhhh...!"
Tepat pada saat mata pedang
hampir memenggal kepala Garbala, tiba-
tiba sesosok bayangan berkelebat
menyampok dengan senjatanya hingga
menimbulkan pijaran api yang menerangi
kamar itu sekejap. Sosok bayangan itu
mengeluh pendek, dan tubuhnya seketika
terjajar beberapa langkah ke belakang.
Memang, tenaga dalamnya masih lebih
rendah dibandirig orang berpakaian
hitam itu. Mulutnya meringis menahan
rasa ngilu yang menusuk hingga ke
bahunya. Sedangkan orang berbaju hitam itu
melompat mundur karena terkejut
pedangnya yang sudah hampir memenggal
kepala Garbala terpental balik.
Kegusaran yang amat sangat tergambar
jelas di wajahnya. Tanpa banyak cakap
lagi, diayunkannya pedang itu ke arah
pemuda remaja yang tadi menangkis
senjatanya.

Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kakang Shindura, awasss...!"
Gadis cantik yang bernama Suntini
terpekik memperingatkan kakaknya yang
tengah terancam bahaya. Suntini yang
baru saja tiba di kamar itu tidak
sempat lagi menyelamatkan kakaknya.
Gadis itu hanya dapat memandang
disertai wajah pucat
Pada saat yang gawat, Garbala
yang berada di bawa kaki putranya
segera mengakat golok besarnya untuk
melindungi Shindura.
Tranggg! "Huakkk..,!"
Laki-laki setengah baya itu
kembali terpental sambil memuntahkan
segumpal darah segar. Meskipun
usahanya berhasil, namun keadaan
tubuhnya yang sudah lemah dan terluka
itu tidak sanggup menahan tenaga lawan
yang sangat kuat itu. Akibatnya,
Garbala langsung roboh pingsan karena
dadanya bagaikan dihantam sebuah batu
besar akibat benturan tadi.
"Kakang..!" teriak Wilarni,
langsung berlari menubruk tubuh
Garbala yang tergolek pingsan.
"Ayah...!" seru Shindura dan
Suntini berbarengan. Mereka segera
berlari untuk memeriksa keadaan
ayahnya. Laki-laki berbaju hitam yang
sebagian wajahnya tertutup selembar
kain hitam itu sama sekali tidak
tergugah perasaannya. Malah kesempatan
itu dipergunakan sebaik-baiknya.
Segera disabetkan pedangnya ke arah
empat orang anak beranak itu tanpa
perasaan iba sedikit pun!
Namun, sebelum ia sempat
mendekati keempat orang itu, mendadak
sesosok tubuh berpakaian biru gelap
telah berdiri menghalangi jalan orang
berbaju hitam. Sebatang pedang
bersinar putih yang masih meneteskan
darah segar tergenggam erat di tangan-
nya. "Pendekar Pedang Kilat...!" seru orang itu tersentak mundur. Segera
ditarik senjatanya yang semula. di
arahkan kepada empat orang anak
beranak itu. Sesaat terlihat
kebimbangan di wajahnya. "Mengapa
mencampuri urusanku, Kisanak"!" tanya orang itu kasar, tapi sedikit gusar.
"Hm... siapa bilang mencampuri
urusanmu"! Kau tahu, dengan membuat
urusan terhadap keluarga ini. berarti
telah berurusan denganku! Mereka itu
masih terhitung keluargaku," sahut
Gatar tenang. "Dan sekali kau membuat urusan denganku, jangan harap akan
dapat melihat sinar matahari esok
pagi!" ancam pendekar itu dingin dan menggetarkan.
"Eh!?" seru orang itu
terperangah. "Anak-anak gelombang
besar, lari...!" orang berpakaian
hitam itu yang sudah merasa tidak akan
mampu menghadapi Pendekar Pedang
Kilat, memberi isyarat kepada tiga
orang pengikutnya itu. Sekejap
kemudian, mereka berlompatan
meninggalkan tempat itu.
Pendekar Pedang Kilat yang tidak
ingin melepaskan lawan-lawan begitu
saja, bergegas mengejar. Tapi alangkah
terkejut hati pendekar itu ketika
terdengar desingan yang menyambut
tubuhnya. Maka cepat-cepat tubuhnya
dilempar ke belakang, lalu bergulingan
ke samping kiri untuk menghindari
senjata-senjata rahasia itu.
*** 2 "Sialan!" maki Gatar, yang
berjuluk Pendekar Pedang Kilat ketika
berhasil menghindari senjata-senjata
rahasia itu, tapi ternyata musuh-
musuhnya telah lenyap.
Pendekar itu segera melangkahkan
kakinya kembali ke dalam rumah besar
milik Garbala. Dia langsung menuju
kamar tempat tadi Garbala tergeletak.
Tampak laki-laki gagah itu sudah
dinaikkan ke pembaringan. Segera
didekati dan diperiksanya luka-luka
yang diderita Garbala. Setelah
beberapa saat lamanya, Pendekar Pedang
Kilat menarik napas lega.
"Hm... untunglah tubuhnya telah
terlatih baik. Kalau tidak, tentu
sudah tewas tadi," ujar Gatar tenang.
Kemudian Shindura diperintahkan
menyediakan air hangat dan kain bersih
untuk membersihkan luka-luka di tubuh
ayahnya. Beberapa saat kemudian, pemuda
itu telah kembali membawa apa yang
diperintahkan pamannya. Di wajah
remaja itu masih terbayang kecemasan
dan kemarahan terhadap orang-orang
berpakaian hitam yang telah menebarkan
bencana di rumahnya.
"Paman, kenalkah dengan orahg-
orang berseragam hitam itu" Atau Paman
mungkin dapat menebak", dari
perkumpulan mana mereka?" tanya
Shindura langsung.
Gatar tersenyum tipis mendengar
pertanyaan keponakannya. Ia segera
dapat menduga, kalau pemuda itu akan
bertanya demikian.
"Hm.... Apa yang akan kau lakukan
apabila telah mengetahui tentang
perkumpulan mereka?" Pendekar Pedang Kilat malah balik bertanya. Tentu saja
hal ini membuat kening pemuda itu
berkerut dalam.
"Tentu saja aku akan mendatangi
dan meminta pertanggungjawaban mereka,
Paman. Katakanlah, apakah Paman
mengetahuinya?" desak Shindura semakin penasaran.
"Hhh.... Sayang sekali Paman
tidak mengetahuinya, Shindura. Tapi
kalau melihat dari cara mereka,
kemungkinan besar dari golongan
sesat," jawab Gatar sambil melayangkan pandangannya keluar kamar.
Setelah selesai membersihkan
luka-luka di tubuh Garbala agar tidak
membengkak, Garbala melangkahkan
kakinya keluar dari kamar itu.
Sedangkan Shindura dan acfiknya
bergegas mengikuti pamannya. Mereka
melangkah lambat di belakang laki-laki
yang berusia sekitar empat puluh tahun
itu. Sejenak tak ada yang berbicara
sedikit pun. "Ini sudah yang kedua kalinya
rumah kami disatroni tamu-tamu yang
tak diundang itu, Paman. Dan anehnya,
meskipun kedua gerombolan itu
berlainan partai, tapi mereka
mempunyai tujuan sama," jelas Shindura yang masih merasa penasaran.
"Hm.... Apa sebenarnya yang
mereka inginkan, Shindura?" tanya
Gatar sambil membalikkan tubuhnya
menghadap kedua anak muda itu. Memang,
Pendekar Pedang Kilat belum mengetahui
duduk persoalannya, karena baru saja
tiba pagi tadi.
"Peta harta," jawab pemuda itu cepat. "Itulah yang mereka inginkan.
Padahal sepengetahuan kami, Ayah sama
sekali tidak mengetahui tentang peta
harta itu. Apalagi menyimpannya."
"Apakah yang kau maksudkan peta
harta kakek-mu yang bernama Patih
Gajah Denta" Itukah yang mereka
inginkan?" tanya Pendekar Pedang Kilat ingin kepastian. Rupanya, dia sudah
mulai dapat meraba apa yang menjadi
penyebab kejadian tadi.
"Eh! Jadi, Paman sudah pula
mendengar tentang peta harta itu"
Bagaimana Paman dapat mengetahui nya?"
kali ini gadis cantik yang bernama
Suntini yang keheranan.
"Hhh.... Ayahku pernah bercerita
tentang sifat kakekmu. Hartanya yang
berlimpah memang didapat dari hasil
keringat rakyat. Bahkan menurut cerita
yang kudengar, kekayaan kakekmu itu
sampai melebihi kekayaan yang dipunyai
sang prabu sendiri. Ayahmu yang tidak
suka akan sifat kakeknya itu mencoba
menentangnya, tapi gagal! Akhimya, ia
melarikan diri dan berguru kepada
ayahku," tutur pendekar itu sambil
melepaskan pandangannya ke kaki langit
sebelah Timur yang mulai menampakkan
cahaya kemerahan. Rupanya hari telah
menjelang pagi.
"Teruskanlah, Paman," pinta
Suntini ketika melihat pamannya
seperti tidak ingin bercerita lagi.
"Hm.... Apakah ayahmu tidak pemah
menceritakannya?" tanya Pendekar
Pedang Kilat heran.
"Sama sekali tidak pernah, Paman.
Dan kalau kami tanya pun, Ayah selalu
mengelak. Hingga kami menjadi semakin
penasaran!" sahut gadis itu cemberut.
"Hm...," Gatar hanya bergumam tak jelas. Kemudian tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, tubuh laki-laki
gagah itu berbalik, meninggalkan
tempat itu. "Paman...!" Suntini dan Shindura berlari memanggil. Kedua remaja itu
bergegas menghadang langkah pamannya.
"Sudahlah. Sekarang, lebih baik
kalian pergi istirahat Aku janji akan
menceritakan selengkapnya," sahut
Pendekar Pedang Kilat membujuk. Dan
sebelum kedua remaja itu sempat
membuka mulut, Gatar sudah melesat
pergi tanpa sempat dicegah. Tinggallah
Shindura dan Suntini terpaku bisu.
*** Pagi begitu cerah. Burung-burung
berkicau riuh menyambut kedatangan
sang mentari. Kesibukan mulai nampak
di Desa Karang Kemiri.
Beberapa hari setelah kejadian di
rumah besar yang dihuni keluarga
Garbala, tampak disibuki oleh beberapa
orang yang lalu lalang. Di halaman,
juga tampak tiga buah kereta yang
cukup besar berjajar seperti menunggu
sesuatu. Tidak lama kemudian, tampak
Garbala dan istrinya menaiki kereta
terdepan yang ditarik empat ekor kuda
besar dan kokoh. Sepertinya, kuda-kuda
itu memang dipersiapkan untuk menempuh
perjalanan jauh.
Sedang Shindura, Suntini, dan
Gatar, masing-masing sudah berada di
atas kudanya. Demikian pula belasan
orang lainnya yang merupakan para
pembantu keluarga Garbala. Mereka pun
akan akut mengawal kepergian keluarga
itu. Tapi belum lagi kereta sempat
berangkat, tiba-tiba terdengar suara
terkekeh serak berkumandang.
"He he he... dasar nasibku memang
sedang sial. Maksud hati ingin
menikmati makanan lezat, tapi orang
yang hendak dikunjungi malah akan
bepergian. Huh...! Sungguh sial
nasibku," keluh seorang kakek
berpakaian pengemis penuh tambal. Ia
berjalan sambil tak henti-hentinya
menggelengkan kepala seolah-olah
menyesali nasibnya.
Shindura dan Suntini bergegas
menggeprak kudanya menghampiri kakek


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengemis itu. Mereka merasa heran
ketika melihat pakaian yang dikenakan
kakek itu. Sebab meskipun penuh
tambalan, tapi terlihat bersih tidak
seperti pakaian
yang dikenakan pengemis sewajarnya. Dan tongkat yang
dipegang kakek itu lebih mengejutkan
mereka, karena terbuat dari sebatang
baja berwarna hitam. Yang jelas bukan
tongkat kayu butut.
"Siapakah Kakek
ini" Dan apa
maksud kata-kata kakek tadi?" sapa Shindura ramah.
Pemuda itu meskipun sebagai anak
keluarga hartawan, namun sama sekali
tidak memiliki sifat sombong. Apalagi
untuk memandang rendah orang lain.
Bahkan seorang pengemis sekalipun!
"He he he.... Siapakah kau, Anak
Muda?" tanya. kakek pengemis itu
sambil menatap Shindura dan Suntini
penuh selidik. Sama sekali tidak
dipedulikan pertanyaan Shindura.
"Hm... Kakek pengemis ini mungkin
orang sinting. Pertanyaanku belum
dijawab, tapi malah balik bertanya,"
pikir pemuda itu sambil tersenyum.
Shindura sama sekali tidak merasa
jengkel karena pertanyaannya tidak
dibalas. la segera melompat turun dari
atas punggung kudanya, namun wajahnya
tetap ramah terhias senyum manis.
"Aku Shindura, dan ayahku bernama
Garbala. Sedangkan gadis itu adikku,
namanya Suntini. Nah, sekarang kakek
harus menjawab pertanyaanku. Siapakah
kakek" Dan apa maksud kakek datang ke
sini?" tanya Shindura. Suaranya tetap ramah dan halus.
"Hm.... Kau anak Garbala. Kalau
begitu, inilah jawabanku!"
Setelah berkata demikian, kakek
pengemis itu melompat sambil
mengayunkan tongkatnya ke arah kepala
Shindura. Ayunan tongkat itu terdengar
mengaung keras dan menimbulkan desiran
angin tajam. Wuttt! "Hei...!"
Shindura berteriak kaget melihat
serangan yang berbahaya itu. Cepat-
cepat tubuhnya dilempar ke belakang
sambil mencabut pedangnya. Pemuda itu
semakin terkejut ketika tongkat baja
di tangan kakek pengemis itu terus
mencecarnya. Karena tidak mempunyai
kesempatan mengelak, akhimya pemuda
itu menggerakkan pedangnya menangkis
tongkat baja itu.
Tranggg! "Uhhh...!"
Terdengar suara benturan yang
memekakkan telinga dibarengi pijaran
bunga api yang berhamburan. Shindura
berteriak tertahan dan tubuhnya
terlempar sejauh tiga tombak. Pemuda
itu merangkak bangkit, lalu mencari-
cari pedangnya yang terpental entah ke
mana. Sementara tulang tangan kanannya
terasa bagai berpatahan. Sambil
meringis menahan sakit, Shindura
bersiap menghadapi segala kemungkinan
"He he he.... Tidak jelek...
tidak jelek...," puji kakek pengemis itu sambil terkekeh senang.
Sementara itu, Suntini
yang melihat kakaknya terlempar segera
melompat turun dari atas kudanya. Tan-
pa banyak cakap lagi, gadis cantik itu
cepat meluncur ke arah kakek pengemis
disertai ayunan pedangnya.
"Kakek Jahat, terimalah
seranganku!" teriak Suntini marah.
"Ha ha ha... sabarlah Anak Manis.
Jangan terlalu cepat marah, nanti akan
cepat peot seperti aku," sahut kakek itu acuh tak acuh.
"Suntini, tahan...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras yang
dibarengi melesatnya sesosok bayangan
memotong serangan Suntini. Dan tahu-
tahu saja beberapa tombak di hadapan
gadis itu telah berdiri Pendekar
Pedang Kilat, yaitu paman gadis itu.
"Paman, kakek gembel itu kurang
ajar sekali! Kakang Shindura bertanya
baik-baik, tapi dia malah
mencelakainya," dengus gadis itu tak puas.
"Sabarlah, Suntini. Si gembel
peot itu tidak bermaksud melukai
kakakmu. la hanya ingin mengetahui,
sampai di mana kepandaian yang
dimiliki putra sahabatnya itu," jawab Gatar menerangkan.
"Jadi, kakek gembel itu sahabat
Ayah?" tanya gadis itu ingin
ketegasan. "Benar! Cah Ayu yang galak. Aku
adalah sahabat lama ayahmu itu," selak kakek pengemis itu tiba-tiba disefingi
kekehnya yang serak.
"Ha ha ha.... Benar, Suntini Ki
Gala Rengat adalah sahabat baik Ayah,"
ujar Garbala gembira yang tahu-tahu
saja telah berdiri di samping Suntini
"Sifat yang aneh dan pakaian yang
penuh dengan tambalan itulah yang
menyebabkan kaum rimba persilatan
menjulukinya sebagai Pengemis Aneh
Tongkat Sakti."
"Ah! Kalau begitu, maafkan
sikapku yang tidak pantas tadi,
Eyang," ucap Suntini cepat. Dan gadis itu langsung merubah panggilannya
terhadap Ki Gala Rengat itu. Perbuatan
itu diikuti pula oleh Shindura yang
juga telah berada di tempat itu.
Sedangkan kakek pengemis itu hanya
terkekeh gembira.
"Ha ha ha.... Rupanya
kedatanganku telah mengganggu
kesibukan kalian. Biarlah aku pergi
saja," ujar Pengemis Aneh Tongkat
Sakti sambil membalikkan tubuhnya dan
melangkah pergi.
"Ki, tunggu...!" Garbala cepat
melompat sambil bersalto di udara
menghadang perjalanan kakek pengemis
aneh itu. "Hhh.... Ada apa lagi, Garbala"
Sudahlah, memang nasibku sedang sial,"
keluh Ki Gala Rengat sambil menghela
napas berat. "Siapa bilang nasibmu sial. Kau
saja yang tidak tahu diri," ujar
Garbala tersenyum.
"Eh! Apa maksudmu, Garbala?"
tanya kakek itu seraya mengerutkan
kening. "Bukankah kau hendak singgah di
rumahku" Nah, tunggu apa lagi"
Perjalananku bisa kutunda hingga esok,
bagaimana?"
"He he he.... Benarkah itu,
Garbala" Wah, kalau begitu tali
pinggangku harus siap-siap
dikendurkan," gurau kakek itu gembira.
"Nah, marilah...," ajak Garbala mempersilakan.
Kedua sahabat lama itu pun
berjalan berangkulan sambil tertawa
gembira. Garbala segera memerintahkan
untuk menunda perjalanan sampai esok
hari. *** Diri hari sekali, rombongan
Garbala tampak mulai bergerak
meninggalkan Desa Karang Kemiri.
Diterangi . beberapa buah obor,
rombongan kereta kuda itu merangkak
menembus pekatnya kabut pagi.
Di depan tampak Shindura dan
Suntini yang mengapit seorang laki-
laki tinggi besar dan bercambang bauk.
Dialah kepala pengawal keluarga
Garbala. Namanya Maruta. Ia merupakan
orang kepercayaan keluarga itu dan
telah bekerja puluhan tahun.
Sedangkan Garbala dan istrinya
ada di dalam kereta kedua, karena
kereta pertama dan ketiga untuk
barang-barang dan perbekalan yang
dibutuhkan dalam perjalanan.
Beberapa tombak di belakang kereta yang ditumpangi Garbala, tampak
Pengemis Aneh Tongkat Sakti.
Rupanya pengemis aneh yang
bernama Ki Gala Rengat itu ikut pula
mengawal rombongan. Laki-laki gembel
yang menjadi sahabat Garbala itu
bersedia membantu ketika mendengar
cerita sahabatnya yang sedang terancam
bahaya itu. Itulah sebabnya, mengapa
dia terlihat pula mengawal rombongan.
Sementara Pendekar Pedang Kilat
sendiri berada di belakang. Laki-laki
gagah bernama Gatar itu ikut pula
mengawasi, mengingat dirinya masih
terhitung sebagai kakak seperguruan
Garbala. Rombongan kereta kuda itu terus
merangkak maju, namun tidak terburu-
buru. Mereka sengaja menghindari
jalan-jalan umum agar tidak terlalu
menarik perhatian orang. Jadi tentu
saja harus melewati jalan yang lebih
sukar dan memakan waktu lebih lama
dari semestinya. Namun, itulah yang
dikehendaki Garbala agar kepergian
mereka tidak diketahui oleh komplotan
orang yang mengincar peta harta yang
sama sekali tidak diketahui.
Ini dilakukan, karena terpaksa
mengikuti kemauan Wilarni yang selalu
dicekam rasa takut dan cemas. Ia tidak
ingin istri yang dicintainya itu
menderita karena diteror orang-orang
yang sama sekali tidak jelas dari mana
asalnya. Daripada istrinya setiap
malam terus terjaga karena rasa
khawatir akan kedatangan komplotan
itu, akhimya Garbala menyetujui usul
Wilarni untuk pindah.
Di kaki langit sebelah Timur,
nampak cahaya kemerahan menyemburat
indah. Itu tandanya, sebentar lagi
sang surya akan muncul menerangi jagad
raya ini. Kicauan burung-burung mulai
ramai menyemaraki suasana pagi yang
tampak cerah itu.
"Aaahhhkkk...!"
Tiba-tiba saja suasana pagi yang
cerah itu dikejutkan oleh teriakan
menyayat, disusul jatuhnya dua orang
pengawal Garbala dari atas punggung
kuda. Setelah menggelepar beberapa
saat, keduanya tewas dengan tubuh
menghitam. Sekejap kemudian, suasana kontan
menjadi hiruk-pikuk. Kuda-kuda yang
lainnya meringkik ketakutan dan
berlarian ke sana kemari, membuat para
penunggangnya menjadi sibuk untuk
menenangkannya.
"Berlindung...!" Pendekar Pedang Kilat cepat mengambil keputusan. Gatar
menduga akan adanya serangan gelap
yang mungkin akan berlanjut.
Maka setelah berkata demikian,
pendekar itu sudah melompat turun dari
atas kudanya yang segera diikuti yang
lainnya. Beberapa ekor kuda segera
berlarian ketika para penunggangnya


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat turun dari punggung binatang
itu. Kuda-kuda itu terus berlari
bagaikan dikejar setan, sehingga para
penunggangnya hanya dapat memandang
tanpa dapat mencegah.
Sampai beberapa saat lamanya
keadaan menjadi tegang dan mencekam,
tanpa ada serangan. Dan apa yang
diduga Pendekar Pedang Kilat ternyata
meleset. Sampai lama mereka menanti,
tapi tak satu pun dari para penyerang
gelap itu yang menampakkan diri,
"Kalian tetaplah di tempat! Akan
kucoba untuk memeriksa sekitar daerah
ini!" ujar Pendekar Pedang Kilat
kepada yang lain.
Setelah berkata demikian, Gatar
bergegas pergi. Namun sebelum
melangkah lebih jauh, sesosok bayangan
berkelebat di sampingnya.
"Aku ikut, Paman!" tegas bayangan itu yang ternyata Shindura. Di tangan
pemuda itu telah tergenggam sebatang
pedang. "Hm... baiklah! Tapi jangan
bertindak ceroboh dan jangan
mendahuluiku!" pesan Pendekar Pedang Kilat sambil menatap tajam pemuda yang
menjadi keponakannya itu.
"Baiklah, Paman," jawab pemuda itu cepat. Sekejap kemudian keduanya
langsung .melesat meninggalkan
rombongan. Dengan penuh kesiagaan,
mereka mulai memeriksa daerah sekitar.
Paman dan keponakan itu menyelinap di
antara rimbunan pohon sambil
menajamkan indra pendengarannya.
Sampai agak lama mereka mengamati
daerah sekitar, namun tak satu tanda
pun yang ditemui. Belum lagi keduanya
sempat menarik napas lega, tiba-tiba
terdengar suara-suara pertempuran.
Pendekar Pedang Kilat
mendongakkan kepala untuk menangkap
lebih jelas asal suara itu. Wajah pen-
dekar itu sesaat menegang ketika
mengetahui sumber suara pertempuran
berasal. "Shindura, ayo kita kembali!"
ajak Gatar cepat. Dan tanpa menunggu
jawaban pemuda itu, Pendekar Pedang
Kilat sudah melesat menuju ke tempat
rombongan berada.
Gatar dan Shindura terkejut bukan
main ketika mendaparj rombongan mereka
tengah bertempur melawan puluhan orang
berseragam hitam, dan
sebagian- wajahnya tertutup selembar kain hitam.
Kepandaian mereka rata-rata cukup
tinggi, sehingga para pembantu Garbala
terdesak hebat.
"Hm... manusia-manusia keparat
dari mana ini"!" geram Gatar yang
segera mencabut senjatanya, langsung
menerjunkan din ke dalam kancah
pertempuran yang semrawut itu.
Shindura yang tidak ingin
ketinggalan oleh pamannya, cepat
menggerakkan pedang sepenuh tenaga.
Sekejap. saja pemuda itu sudah
mengamuk bagaikan harimau marah.
Pedangnya berkelebat menebarkan hawa
maut. Sekejap saja salah seorang lawan
sudah terguling mandi darah.
Di tempat lain, Pengemis Aneh
Tongkat Sakti tampak tengah bertempur
sengit melawan seorang berseragam
hitam yang bersenjatakan sebatang
golok besar. Kepandaian orang itu
tampak hebat sekali, sehingga tokoh
sakti seperti Ki Gala Rengat sempat
dibuat kerepotan.
"Hm... rasanya sudah dapat
kuduga, siapa kau sebenarnya manusia
pengecut!" ejek Ki Gala Rengat yang sempat membuat lawannya terkejut
sejenak. Kesempatan itu tidak disia-siakan
Pengemis Aneh Tongkat Sakti. Cepat-
cepat disabetkan tongkat bajanya ke
kepala lawan hingga menimbulkan suara
mengaung tajam bagai suara ribuan ekor
lebah marah! Wuttt! "liihhh...!" Orang berpakaian
hitam itu berseru kaget.
Cepat-cepat dia melempar tubuhnya
ke belakang, menghindari serangan yang
mematikan itu. Tapi bukan main
terperanjatnya orang berbaju hitam itu
ketika tahu-tahu saja ujung tongkat
baja Ki Gala Rengat meluncur mengancam
perutnya. Sadar kalau untuk mengelak sudah
tidak mungkin, orang berbaju hitam itu
bergegas menggerakkan golok besamya
untuk menangkis tusukan tongkat lawan.
Tranggg! "Aaahhh...!"
Terdengar suara berdentang
nyaring yang memekakkan telinga. Bunga
api seketika berpijar menandakan
betapa kuatnya tenaga benturan itu.
Keduanya berseru tertahan, dan sama-
sama terpental balik.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti
terjajar mundur sejauh enam langkah.
Kakek itu cukup terkejut ketika
merasakan kalau kekuatan tenaga dalam
lawannya ternyata. hampir menyamainya.
Buktinya, benturan itu sempat membuat
lengan kakek itu bergetar. Dan hal itu
membuatnya lebih berhati-hari dalam
menghadapi lawan.
Sedang orang-orang berpakaian
hitam itu terlempar dan jatuh
bergulingan sejauh beberapa tombak.
Namun dengan gesit ia melompat bangkit
sambil menyeringai menahan rasa nyeri
yang menusuk lengannya. Seketika
terlihat sinar kegetaran dari sepasang
matanya. "He he he.... Hari ini kau tak
akan lolos dari tanganku, Manusia
Pengecut! Nah, bersiaplah melayat ke
neraka!" ejek Pengemis Aneh Tongkat Sakti terkekeh.
Setelah berkata demikian kakek
pengemis itu kembali memutar tongkat
bajanya, sehingga menimbulkan deru
angin keras yang menerbangkan daun-
daun kering di sekitarnya. Inilah
jurus andalannya yang bernama jurus
'Tongkat Sakti Penggetar Jagad' yang
telah mengangkat namanya dalam rimba
persilatan Kelihatan sekali kalau lawannya
begitu terkejut melihat gerakan
tongkat kakek pengemis itu. Sekejap
teriihat ketegangan melipuri wajahnya.
Memang sungguh tidak disangka kalau
dalam rombongan itu terdapat seorang
lawan yang memiliki kepandaian tinggi.
*** 3 "Heaaattt...!"
Dibarengi teriakan mengguntur,
tubuh Pengemis Aneh Tongkat Sakti
melesat menerjang lawan. Sinar hitam
bergulung-gulung hingga menimbulkan
deru angin keras. Benar-benar sebuah
serangan berbahaya!
Orang berpakaian hitam itu
berlompatan menghin-dari serangan
dahsyat tongkat baja Ki Gala Rengat
Sesekali dicobanya untuk membalas
dengan tusukan golok besarnya. Namun,
kembali hatinya merasa terkejut ketika
tusukan-tusukan goloknya selalu
berbalik. Seolah-olah seluruh tubuh
lawan terlindung benteng yang tak
tampak. Di arena lain, Garbala yang
semula berada di dalam kereta berkuda
kini telah pula keluar dan bertempur
sengit! Sialnya, lawan yang didapat
ternyata memiliki kepandaian yang
lebih tinggi darinya, dan
perkelahianriya jauh dari pengawal-
pengawal maupun anaknya sendiri.
Sehingga, seluruh kepandaiannya harus
dikuras tanpa ada yang membantu.
"Ha ha ha.... Lebih baik cepat
serahkan peta harta itu' kepadaku,
Garbala. Imbalannya, kau akan
kubebaskan!" ejek lawannya tertawa
lepas. "Huh! Sudah kubilang aku sama
sekali tidak tahu-menahu tentang peta
harta itu! Kalau bisa membunuhku,
silakan! Jangan banyak bacot!" teriak Garbala gusar.
Sambil berkata demikian. Laki-
laki gagah itu melompat menghindari
sebuah bacokan yang mengancam tubuh.
Rupanya kesabaran orang berbaju
hitam itu telah habis. Sambil
menggereng gusar segera diperhebat
serangan-serangannya. Maka, sebentar
saja Garbala dibuat jungkir balik dan
tak mampu membalas.
"Terimalah ini! Heaaattt...!"
Orang itu membentak keras disertai
ayunan pedang yang menggetarkan
jantung. Senjata itu meluncur deras
dengan kecepatan kilat.
Garbala menggeser tubuhnya ke
kanan, maka serangan
itu hanya mengenai tempat kosong. Rupanya hal
itu sudah diperhitungkan lawan. Dan
secara tiba-tiba saja senjata itu
meliuk membentuk setengah lingkaran.
Sehingga... Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!"
Garbala menjerit kesakitan ketika
tebasan senjata lawan dua kali merobek
tubuhnya. Laki-laki gagah itu
terlempar disertai percikan darah
segar yang berhamburan. Dan sebelum ia
sempat bangkit, sebuah bacokan kembali
membabat perutnya. Kembali tubuh Gar-
bala ambruk, dan kini tidak berkutik
lagi. "Kakang...!" Wilarni menjerit
ketika melihat tubuh suaminya
tergeletak berlumuran darah. Tanpa
mempedulikan keadaan sekelilingnya,
wanita cantik itu segera menghambur
dan menubruk tubuh suaminya yang telah
menjadi mayat itu. Seketika tangisnya
meledak begitu mengetahui suaminya
benar-benar telah tewas.
"Manusia Biadab! Mengapa tidak
kau bunuh aku sekalian, hah"! Mengapa
diam saja"!" Wilarni berteriak-teriak bagai orang kemasukan setan. Dan
segera saja dia menghambur menerjang
orang berpakaian hitam yang telah
membunuh suaminya itu.
Namun, apalah artinya seorang
wanita lemah seperti Wilarni itu.
Sekali bergerak saja, kedua tangan
istri Garbala sudah tak berdaya dalam
genggaman orang itu. Maka kini Wilarni
hanya dapat memaki dan menjerit-jerit
ketakutan. "He he he.... Sayang kalau wanita
secantjk dirimu harus matj tanpa bisa
dinikmati terlebih dahulu. Kau
demikian liar dan penuh semangat.
Marilah, Manis. Kita tinggalkan orang-
orang ini sebentar, dan akan kubawa
kau terbang ke langit yang ketujuh! He
he he...."


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berkata demikian tangan
orang itu bergerak cepat. Terdengar
keluhan lirih Wilarni, kemudian
tubuhnya tergantung lemas tak berdaya.
Wanita itu telah tertotok di beberapa
bagian tubuhnya. Orang berbaju hitam
itu cepat memondong tubuh Wilarni.
Diiringi tawa yang berkumandang,
orang berbaju hitam itu melesat
meninggalkan arena pertempuran.
Sementara tubuh Wilarni tergantung
lemas di punggungnya. Orang itu terus
berlari memasuki hutan tanpa
menghiraukan pertempuran yang masih
berlangsung. Dan rupanya kejadian ini
juga lolos dari pengamatan rombongan
keluarga Garbala!
*** Sementara itu, pertarungan antara
Pengemis Aneh Tongkat Sakti melawan
orang bersenjata golok besar tampaknya
akan segera berakhir. Lawan kakek
sakti itu kelihatannya sudah putus asa
untuk menghindari serangan tongkat
baja yang terus mengancam tubuhnya
itu. Pakaian hitamnya sudah dibasahi
peluh yang membanjir. Hingga pada
jurus yang ketiga puluh lima ia tak
mampu lagi untuk menghindari hantaman
keras tongkat baja hitam lawan.
Bukkk! "Aaakhhh...!"
Orang itu menjerit kesakitan
ketika tongkat baja di tangan Ki Gala
Rengat menghantam pada paha kanannya.
Tubuhnya terpental sejauh dua tombak
Namun, daya tahan tubuh yang dimiliki
orang itu memang patut dipuji.
Meskipun tulang pahanya terasa remuk,
tapi tetap saja berusaha bangkit.
Belum lagi ia sempat berdiri tegak,
sebuah hantaman tongkat lawan kembali
bersarang di dadanya.
Tubuh orang itu kembali
terpental, bahkan kali ini lebih jauh
dari yang pertama. Darah segar
menyembur keluar dari mulutnya.
Setelah berkelojotan sejenak, tubuh
itu pun diam tak bergerak. Mati.
Tulang dada orang berbaju hitam itu
remuk akibat hantaman tongkat baja Ki
Gala Rengat. Sementara itu, Pendekar Pedang
Kilat telah merobohkan lebih dari enam
orang berpakaian hitam yang menyerang
rombongan saudara seperguruannya itu.
Pedang sinar putihnya berkelebat tanpa
ada yang mampu menahannya. Memang
hebat sekali sepak terjang pendekar
itu. Hingga dalam beberapa jurus saja,
tak ada seorang lawan pun yang berani
mencoba mendekatinya.
Tiba-tiba terdengar sebuah siulan
panjang yang melengking memenuhi
sekitar arena pertarungan. Kelompok
berseragam hitam yang hanya tersisa
beberapa belas orang itu sejenak
terpaku dan saling berpandangan satu
sama lain. Sekejap kemudian, mereka
segera berlompatan meninggalkan tempat
itu. "Bangsati Jangan harap kalian
dapat pergi begitu saja!" bentak
Pendekar Pedang Kilat sambil melompat
yang disertai kelebatan pedangnya. Dua
orang berpakaian hitam yang hendak
melarikan diri kontan terjungkal mandi
darah, tersabet pedang bersinar putih
itu. Rupanya tidak hanya Pendekar
Pedang Kilat saja yang merasa marah.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti pun tidak
ketinggalan. Dia segera menghajar tiga
orang lawan yang hendak melarikan diri
itu. Tak ayal lagi, tiga orang
berpakaian hitam langsung ambruk tanpa
sempat berteriak. Kepala mereka telah
remuk akibat hantaman tongkat baja
yang sangat berat itu. Apalagi,
senjata itu digerakkan oleh seorang
tokoh sakti seperti Ki Gala Rengat
yang memiliki tenaga dalam tinggi.
Namun di lain hal, sayangnya tiga
belas orang berpakaian hitam lainnya
berhasil meloloskan diri dan
menghilang ke dalam hutan. Hal ini
benar-benar membuat hati penasaran
Pendekar Pedang Kilat dan yang
lainnya. "Jangan dikejar...!" seru
Pendekar Pedang Kilat ketika melihat
Shindura, Suntini, dan beberapa orang
lain hendak mengejar. Pendekar itu
sengaja mencegah karena bisa saja hal
itu suatu jebakan.
"Mengapa, Paman" Bukankah mereka
tinggal beberapa orang saja" Apa lagi
yang periu ditakutkan?" tanya Shindura penasaran sekali melihat lawan-lawannya
berhasil meloloskan diri.
"Hm.... Itu sangat berbahaya,
Shindura. Kita tidak tahu, apakah
sekitar daerah itu aman. Belum lagi
orang yang mengeluarkan siulan tadi!
Nampaknya kepandaiannya sangat tinggi.
Aku pun belum tentu sanggup
menandinginya," Gatar menjelaskan
sambil menghela napas berat. "Ternyata lawan kita mempunyai banyak sekali
orang berkepandaian tinggi. Entah,
dari golongan dan partai mana mereka?"
"Rasanya sudah mulai dapat
kuduga, dari partai mana mereka itu!"
tiba-tiba saja Ki Gala Rengat atau
yang lebih dikenal berjuluk Pengemis
Aneh Tongkat Sakti itu bergumam di
samping Pendekar Pedang Kilat
"Hm.... Benarkah itu" Kalau
begitu, dari partai mana mereka,
Eyang" Katakanlah!" Shindura yang
masih merasa belum puas itu segera
menghampiri, lalu mengguncang tangan
Ki Gala Rengat. Wajahnya terlihat
menegang karena tak sabar ingin
mendengar keterangan dari pengemis
aneh itu. "He...he..he...Sabarlah, Anak Muda.
Jangan terlalu terbawa amarah. Jika
tak ingin celaka karenanya," sahut
Ki'Gala Rengat terkekeh. "Hm....
Gatar. Pernahkah .kau mendengar
tentang Partai Lima Unsur?" Tanya Ki Gala Rengat seraya memalingkan
wajahnya ke arah Pendekar Pedang Kilat
Mendengar pertanyaan itu wajah
Pendekar Pedang Kilat mendadak pucat
Tentu saja sebagai seorang pendekar
yang selalu berpetualangan, ia banyak
mendengar berbagai macam partai
persilatan yang terkenal dalam rimba
persilatan. Dan salah satu partai
besar yang sangat ditakuti kaum rimba
persilatan adalah Partai Lima Unsur.
Tak seorang tokoh rimba persilatan pun
yang mengetahui, apakah partai itu
termasuk golongan hitam atau putih.
Karena, Partai Lima Unsur merupakan
partai tertutup dan tersembunyi. Hanya
beberapa tokoh saja yang mengetahui
tentang keberadaan partai itu. Mereka
di antaranya adalah Pendekar Pedang
Kilat dan Pengemis Aneh Tongkat Sakti.
Memang, keduanya merupakan tokoh yang
cukup terkenal di kalangan rimba
persilatan. "Apakah Ki Gala Rengat yakin
kalau mereka adalah anggota partai
tersembunyi itu?" tanya Pendekar
Pedang Kilat ragu. Ditunggunya jawaban
yang keluar dari mulut kakek itu
dengan hati berdebar. Memang, biar
bagaimanapun, ia lebih suka untuk
tidak berurusan dengan partai yang
amat ditakuti itu.
"Hm... mari kita lihat
mayat orang yang menjadi lawanku tadi," ajak Pengemis Aneh Tongkat Sakti sambil
melangkah menghampiri mayat lawannya.
Ki Gala Rengat mencongkel mayat
yang tertelungkup itu dengan ujung
kakinya. Kemudian, dirobeknya baju
orang itu pada bagian dada menggunakan
tongkat bajanya. Maka terlihatlah
sebuah lambang bergambar lima jari
yang masing-masing berlainan warna.
Tubuh Pendekar Pedang Kilat dan
Pengemis Aneh Tongkat Sakti bergetar
sejenak ketika menatap lambang yang
tertera pada dada orang itu. Sampai
beberapa saat lamanya, mereka terdiam
sambil menatap lambang itu dengan
jalan pikiran masing-masing.
Tinggallah Shindura dan Suntini
yang terheran-heran menyaksikan dua
orang berkepandian tinggi itu menjadi
terdiam hanya karena melihat lambang
lima jari pada dada mayat itu. Dua
anak muda yang memang belum
berpengalaman dalam dunia persilatan
itu tentu saja menjadi bingung ketika
melihat sinar kekagetan dan kecemasan
membayang di wajah dua orang tokoh
sakti itu. "Apakah artinya lambang itu,
Paman" Mengapa Paman
dan Eyang kelihatan gentar?" akhimya Shindura mengeluarkan uneg-uneg yang terkandung
dalam pikirannya. Jelas sekali kalau
Shindura menuntut jawaban pasti dari
kedua orang sakti yang dikaguminya
itu. "Hhh.... Ketahuilah Shindura,
Suntini. Itu adalah lambang sebuah
partai besar yang sangat ditakuti kaum
rimba persilatan. Partai itu memiliki
ratusan anggota yang rata-rata
memiliki kepandaian tinggi. Partai itu
terkenal sangat kejam terhadap orang-
orang yang mencampuri urusan mereka.
Setiap orang yang mencampuri urusan
mereka, hukumannya adalah kematian
yang mengerikan," jelas Pendekar
Pedang Kilat sambil menghela napas
berat. Memang bagi Gatar sudah tidak
ada jalan untuk menghindari orang-
orang Partai Lima Unsur itu.
"Kami bukannya takut, Shindura.
Hanya saja, orang-orang rimba
persilatan lebih suka untuk tidak
mencampuri urusan mereka. Karena, hal
itu berarti bunuh diri!" Ki Gala
Rengat ikut pula menimpali.
Wajah kakek itu yang biasanya
penuh senyum, kini tampak penuh
ketegangan. 'Tapi, bukankah mereka yang
teriebih dahulu membuat urusan dengan
kita" Jadi, mengapa kita harus takut,
Eyang?" kali ini Suntini yang berkata.
Nada suaranya terkandung rasa
penasaran yang mendalam.
"Yahhh...," kakek pengemis itu hanya dapat mendesah. Mendengar
perkataan Suntini. "Kita tunggu saja, apa yang bakal terjadi nanti?"
Tapi sebelum Shindura dan Suntini
mengemukakan rasa penasarannya lebih
jauh lagi, tiba-tiba salah seorang
pembantu Garbala yang masih tersisa
berlari mendatangi mereka. Napas orang
itu terlihat memburu, dan wajahnya pun
teriihat pucat dan tegang sekali.


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa?" tanya Shindura cepat seraya mencabut pedangnya dan bersiap
menghadapi segala sesuatu.
"Anu.... Tuan.... Tuan Besar
Garbala tewas, Tuan Muda," jawab orang itu gagap.
"Hahhh!?"
Keempat orang itu terkejut bukan
main mendengar berita itu. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, mereka
segera berlarian mendatangi tempat
kereta berkuda Garbala berada.
"Ayah...!"
Dua anak muda itu serentak
menghambur ketika melihat tubuh
ayahnya terkapar mandi darah. Sesaat
kemudian tangis mereka pun meledak,
sehingga membuat suasana di sekitar
tempat itu menjadi hening kecuali
suara tangisan dua orang kakak beradik
yang tengah dirundung duka mendalam.
Pendekar Pedang Kilat dan
Pengemis Aneh Tongkat Sakti hanya
saling berpandangan satu sama lain
tanpa mengucapkan satu patah kata pun.
Rupanya mereka berdua ikut larut pula
dalam kesedihan yang dialami dua
remaja itu. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba
Suntini mendadak bangkit bagai
disengat kalajengking. Sepasang ma-
tanya yang indah itu merayapi
sekelilingnya seolah-olah mencari
sesuatu. Sekejap kemudian tubuh ram-
ping itu melesat ke arah kereta
berkuda yang tadi ditumpangi ayah dan
ibunya. "Mana Ibu..." Kakang, Ibu..., Ibu
tak ada...?" teriak gadis itu baru
menyadari kalau ibunya tidak ada.
Mendengar kata-kata adiknya,
Shindura menjadi tersadar. Cepat bagai
kilat pemuda itu bangkit dan melompat
ke arah Suntini berada. Dan ketika
tidak menemukan apa yang dicarinya,
pemuda itu menjadi kalap. Ia berlarian
ke sana kemari mencari-cari kalau-
kalau mayat ibunya dapat ditemukan di
antara puluhan mayat yang
bergelimpangan tumpang tindih itu.
Secercah harapan terbesit di hatinya
ketika mayat ibunya tak ditemukan.
"Paman, Eyang.... Ibu..., Ibu
lenyap?" seru Shindura berteriak keras sehingga membuat dua tokoh sakti itu
bergegas berlari mendatanginya.
"Mari kita cari ibumu, Shindura!
Ki Gala Rengat, tolong jaga Suntini!"
ujar Pendekar Pedang Kilat seraya
meraih lengan Shindura. Beberapa saat
kemudian, tubuh keduanya lenyap di
telan rimbunan pepohonan hutan.
*** Orang berbaju hitam itu terus
melarikan Wilarni masuk ke dalam hutan
lebat dan menyeramkan itu. Setelah
yakin kalau telah berada jauh
meninggalkan arena pertempuran, orang
itu menurunkan tubuh Wilarni di atas
rerumputan hijau yang cukup tebal bak
permadani. Bibir orang itu tersenyum,
tapi senyumnya lebih mirip seringai
srigala yang liar merayapi kelinci
putih mulus. "He he he.... Marilah kita
bersenang senang sebentar, Manis. Aku
jamin, kau akan seperti berada di
surga rasanya nanti," ujar orang itu sambil melepaskan pakaiannya satu
persatu, namun matanya terus menatap
penuh nafsu birahi. Kemudian, bagaikan
seekor srigala kelaparan, ditubruknya
tubuh Wilarni dan ditihdihnya kuat-
kuat. "Bangsat, kau! Manusia Iblis!
Lepaskan aku, tolooonggg...!" Wilarni berusaha berontak, namun totokan orang
berbaju hitam itu cukup kuat.
Apalagi,..dia hanya seorang wanita
yang tidak dibekali ilmu silat. Istri
Garbala itu hanya mampu berteriak,
hingga akhimya....
Plakkk! "Ohhh..."
Wilarni mengeluh ketika sebuah
tamparan hinggap di pipinya. Wanita
cantik itu hanya bisa menangis
menerima perlakuan kasar laki-laki
yang dirasuki nafsu iblis itu.
"Huh! Rupanya kau lebih suka
dikasari daripada diperlakukan lemah
lembut! Baiklah, kalau itu yang
diinginkan!"
Setelah berkata demikian, laki-
laki itu menarik pakaiannya dengan
paksa yang dikenakan Wilarni. Ter-
dengar suara kain sobek beberapa kali,
sehingga tampaklah bagian-bagian yang
semakin membuat nafsu bejat orang itu
memuncak. "Ohhh... jangan...! Kasihanilah
aku. Lepaskan aku!" ratap Wilarni di antara isaknya. Tubuhnya semakin lemah
karena pengaruh totokan itu masih
mengungkungnya.
"Nah, begitu. Kalau kau menyerah,
kan jadi lebih enak!" ujar laki-laki itu di antara desah napasnya yang
memburu. Namun sebelum laki-laki itu dapat
menumpahkan hasrat bejadnya, entah
dari mana, tiba-tiba seorang pemuda
Riwayat Lie Bouw Pek 14 Gento Guyon 24 Perisai Maut Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 14
^