Pencarian

Memburu Harta Karun 2

Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun Bagian 2


tampan yang mengenakan jubah dan
celana berwarna putih telah berdiri
tegak di belakangnya.
"Hm.... Hendak kau apakan wanita
itu, Manusia Bejad?" tegur pemuda
tampan berikat kepala putih itu
tenang. Laki-laki yang tengah menggumuli
Wilarni langsung tersentak, dan
bergegas bangkit sambil berusaha
meraih pakaiannya. Jelas sekali kalau
hatinya begitu terkejut akan
kedatangan pemuda tampan yang sama
sekali tidak diduga itu. Segera
dikenakan pakaiannya. Dan karena
merasa kesenangannya terganggu, kema-
rahannya seketika bangkit.
"Kurang ajar! Tak boleh melihat
orang senang! Mampuslah kau," bentak orang itu geram.
Orang berbaju hitam itu langsung
menyerang pemuda yang menegurnya
dengan sisi telapak tangan miring.
Rupanya ia ingin mematahkan leher
pemuda itu dengan sekali serang.
Pemuda itu cukup terkejut
mendengar desing angin mencicit tajam
yang keluar dari tebasan tangan itu.
Sama sekali tidak terduga kalau orang
yang disangka perampok rendahan itu
ternyata memiliki tenaga dalam tinggi.
Cepat-cepat pemuda itu menggeser kaki
kirinya ke belakang sambil merendahkan
kuda-kudanya. Wuttt! "Hmh!"
Pemuda yang ternyata bukan lain
adalah Pendekar Naga Putih itu
mendengus ketika tebasan sisi telapak
tangan lawan lewat di atas kepalanya.
Ikat kepalanya yang berwarna putih
ikut berkibar akibat angin yang
ditimbulkan serangan lawan begitu
kuat. Sebelum pemuda itu dapat
memperbajki kuda-kudanya, tangan kiri
lawan tahu-tahu sudah menusuk pe-
rutnya. Kecepatan gerak orang itu
kembali mengejutkan pemuda yang
bernama Panji itu.
Rasa penasaran membuat Pendekar
Naga Putih tidak berusaha menghindari
tusukan jari-jari sekeras baja itu.
Secepat kilat tangan kanarinya
bergerak membentuk setengah lingkaran
keluar. Maksudnya, sudah pasti hendak
mengukur sampai di mana kekuatan
tenaga orang berbaju hitam itu.
Dierrr! "Aaahhh...!"
Terdengar suara berdentam keras
bagaikan dua batang besi yang
dibenturkan. Orang itu berteriak
kaget, lalu tubuhnya terjajar mundur
sejauh enam langkah. Wajahnya meringis
menahan sakit akibat benturan tangan
dengan Pendekar Naga Putih. Tulang-
tulang lengannya kini terasa ngilu.
Tentu saja hal itu membuatnya menjadi
semakin penasaran!
Panji sendiri sebenarnya sempat
dibuat terkejut ketika mendapat
kenyataan kalau tenaga dalam lawan
cukup tinggi juga. Bahkan lengannya
sempat bergetar akibat menangkis
serangan lawan tadi. Padahal hampir
dari separuh tenaga dalamnya telah
dikerahkan. Benar-benar seorang lawan
yang tidak bisa dipandang remeh.
"Hm.... Siapa kau, Anak Muda"!
Mengapa mencampuri urusanku"!
Kuperingatkan sekali lagi! Pergilah
sebelum kesabaranku hilang!" bentak orang itu. Rupanya setelah merasakan
kelihaian pemuda itu, matanya baru
terbuka. Ternyata pemuda tampan di
hadapannya bukan orang sembarangan.
"Kau tidak perlu tahu siapa
diriku, karena itu bukan urusanmu!
Nah! Sekarang, bebaskanlah wanita Itu.
Dan kau akan pergi tanpa aku memberi
hukuman atas perbuatanmu tadi!" sahut Panji tak kalah gertak.
"Kalau memang itu keinginanmu,
baiklah! Jangan katakan aku kejam
kalau bertindak kasar kepadamu, Anak
Muda. Setelah berkata demikian,
dihampirinya tubuh Wilarni yang hanya
dapat tergolek lemas. Tubuhnya yang
hampir tanpa pakaian itu tergolek di
rerumputan hijau yang tebal. Orang
berbaju hitam kemudian menggerakkan
tangannya, melepaskan totokan pada
tubuh Wilarni. "Berhenti! Jangan sentuh wanita
itu!" seru Panji.
Tapi sebelum Pendekar Naga Putih
sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu saja
orang berpakaian hitam itu telah
memasukkan secara paksa sebutir pil ke
mulut Wilarni. Sedang wanita malang
itu hanya mampu memandang terbelalak
dengan wajah pucat.
"He he he.... Jangan khawatir,
Anak Muda. Aku hanya memberi obat
penenang agar tidak dapat pergi ke
mana-mana. Nah! Sekarang, bersiap-
siaplah!" ejek orang itu sambil meraih sehelai kain hitam yang tadi
dilepaskan. Setelah menutup sebagian
wajah, bergegas dicabut senjatanya.
Dibarengi teriakan memekakkan
telinga, tubuh orang itu meluncur ke
arah Panji disertai ayunan pedang.
Suara pedang itu berdesing nyaring
membelah udara siang.
Pendekar Naga Putih yang sudah
mengetahui kalau lawannya mempunyai
kepandaian yang tinggi, tidak ingin
main-main lagi. Dihirupnya udara
dalam-dalam, lalu dikempos semangatnya
untuk mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' yang sangat dahsyat
itu. Kedua jari-jari tangannya
mengembang membentuk sepasang cakar
naga. Rupanya pemuda itu juga telah
mengerahkan ilmu andalan yaitu 'Ilmu
Naga Sakti' yang menggetarkan itu.
Orang berbaju hitam itu kontan
menjadi terkejut merasakan hembusan
angin dingin yang menggigit kulit. Dan
ia semakin terkejut lagi ketika
melihat sekujur tubuh lawan telah
terselimut selapis kabut yang bersinar
putih keperakan. Sejenak hatinya
tertegun ketika teringat seorang
pendekar muda yang baru-baru ini telah
menggemparkan dunia persilatan dengan
ilmu-ilmu dahsyatnya.
"Pendekar Naga Putih...!" seru orang itu kaget bercampur gentar.
Namun kegentaran hanya sekilas
mewarnai wajahnya. Sesaat kemudian,
sinar kegembiraan terpancar pada
wajahnya. Sudah menjadi kebiasaan
sifat seorang ahli silat yang seperti
mandapat kehormatan apabila bertemu
lawan yang memiliki kepandaian tinggi.
Rupanya hal itu dirasakan pula oleh
lawan Panji. Mengetahui kalau lawannya adalah
seorang pendekar muda yang terkenal,
orang itu segera mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Langsung dia meluruk,
disertai serangan dahsyat. Pedangnya
membentuk segunduk sinar yang
menimbulkan angin menderu-deru,
seolah-olah daerah sekitar hutan itu
tengah dilanda angin topan hebat!
Panji menggeser tubuhnya ke kiri
ketika tusukan pedang lawan mengincar
perutnya. Secepat kilat pemuda itu
segera membalasnya, dengan tangan
kanan terulur ke wah muka lawan. Maka
cepat-cepat orang berbaju hitam itu
menarik wajahnya ke belakang sehingga
serangan Panji hanya mengenai tempat
kosong. Dan secara mendadak, pedang di
tangannya berputar membentuk setengah
lingkaran menebas leher Panji. Dan
cepat-cepat Pendekar Naga Putih
memutar kepalanya disertai kuda-kuda
rendah, dan sekaligus membarengi
dengan hantaman ke lambung lawan.
Orang berpakaian serba hitam itu
tercekat melihat kecepatan pemuda itu.
Kelihatan sekali kalau hatinya merasa
gugup ketika menghindari pukulan yang
datang bagai kilat itu.
Desss! "Uhhh...!"
*** 4 Terdengar keluhan tertahan ketika
kepalan tangan Panji menghantam
lambung lawan. Untunglah orang berbaju
hitam itu menggeser tubuhnya sedikit
sehingga pukulan Pendekar Naga Putih
tidak terlalu telak menghantamnya.
Meskipun demikian, hal itu sudah cukup
membuat wajahnya memerah dan pucat
berganti-ganti. Rasa malu dan
penasaran membuat orang itu menjadi
semakin kalap. Sementara, tetesan
darah mulai mengalir dari sela-sela
bibimya. "Hm.... Jangan takabur dulu, Anak
Muda. Aku belum kalah!" bentak orang itu menggereng murka. Dan secepat
kilat tubuhnya kembali meluncur ke
arah Panji. Kali ini, serangannya
lebih dahsyat dan berbahaya.
Keduanya kini kembali terlibat
pertarungan sengit. Sinar pedang orang
berbaju hitam tampak bergulung-gulung,
dan menimbulkan putaran angin yang
menerbangkan batu-batu kecil dan daun
kering di sekitamya. Pertarungan itu
memang benar-benar hebat dan
mendebarkan! Pendekar Naga Putih yang sama
sekali belum merasa perlu menggunakan
pedangnya, mengimbangi serangan lawan
dengan hanya menggunakan 'Ilmu Naga
Sakti". Tubuh pemuda itu bagaikan
seekor naga putih yang tengah bermain-
main di angkasa raya. Suatu saat
tubuhnya menukik cepat bagai hendak
menyelam ke dasar bumi, dan di lain
saat melenting ke udara seraya
berputar. Sepak terjang Pendekar Naga
Putih benar-benar membuat lawan
menjadi pusing tujuh keliling!
Memasuki jurus kelima puluh
empat, sepasang tangan Panji bergerak
cepat bersilangan. Itulah jurus 'Naga
Sakti Masuk ke Gua' yang merupakan
jurus nomor tiga dari 'Ilmu Naga
Sakti' yang amat dahsyat dan sulit
dicari tandingannya. Terpaan angin
dingin berhembus kuat mengiringi
serangannya. Seketika orang berbaju hitam itu
terkejut bukan main ketika merasakan
tubuhnya bagai dikurung dinding salju
yang tak tampak. Pedangnya membabat
berkali-kali ke arah tubuh Panji.
Namun setiap kali pedang itu
digerakkan, maka setiap kali pula mata
pedangnya membalik dan malah mengancam
dirinya. Melihat kenyataan ini,
seketika hati orang berbaju hitam itu
langsung ciut. Dia tidak mampu lagi


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memusatkan perhatiannya. Akibatnya,
orang berbaju hitam itu tidak dapat
lagi menghindari sebuah hantaman lawan
yang menggunakan jari-jari terbuka.
Maka.... Brettt! "Aaahkkk...!"
Orang itu meraung tinggi ketika
sebuah cakar Pendekar Naga Putih
menghantam bagian dadanya. Tubuh orang
itu terjengkang bagai sehelai daun
kering yang diterbangkan angin. Darah
segar seketika menyembur dari mulutnya
akibat kuatnya hantaman itu. Terdengar
suara berdebuk keras ketika ttubuh
orang itu terbanting di atas tanah
berumput. Namun demikian, daya tahan
tubuh orang itu patut dipuji. Langsung
dikerahkannya hawa murni untuk
melepaskan pengaruh hawa dingin yang
terasa menggigit tulangnya.
Meskipun tubuhnya masih menggigil
kedingjnan, tapi orang itu segera
bangkit berdiri walau agak limbung.
Gigi-giginya bergemeletuk dan wajahnya
pucat bagai kertas. Kembali
dikerahkannya hawa murni untuk
mengusir hawa dingin itu.
Beberapa saat setelah pengaruh
hawa dingin pada tubuhnya berhasil
diusir, orang itu pun kembali
menerjang Panji. Kedua tangannya
bergerak berputaran dengan telapak
terbuka. Diiringi bentakan keras, tu-
buhnya kembali meluruk cepat.
Panji yang sudah berniat
menyudahi pertarungan itu bergerak
cepat menyambut serangan lawan. Tubuh
Pendekar Naga Putih berdiri lurus
bagaikan sebatang kayu. Kedua
tangannya bergerak bergantian, ke
depan dada kemudian naik ke atas
kepala. Dan begitu serangan lawan
tiba, tahu-tahu saja tubuh pemuda itu
melenting ke atas. Kedua kakinya
melepaskan tendangan dua kali
berturut-turut. Sedang tangan kanannya
menghantam batok kepala lawan hingga
jari tangannya terbenam beberapa
rambut. Desss! Desss! Crakkk!
"Aaarghhh...!"
Jerit kematian kini bagai bergema
memenuhi pen-juru hutan. Darah segar
menyembur dari mulut dan kepala orang
berpakaian hitam itu. Tubuhnya
terjajar limbung dan ambruk ke tanah.
Tewas seketika! Tulang dada dan batok
kepalanya remuk akibat hantaman
Pendekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih berdiri tegak
menatap kema-tian lawannya yang
mengenaskan itu. Sejurus kemudian,
pemuda itu segera melangkahkan kakinya
mendekati tubuh Wilarni yang telah
tergeletak pingsan itu.
"Hm... wanita yang malang," gumam pemuda itu iba.
Pendekar Naga Putih memeriksa
tubuh wanita itu dengan jari-jari
tangannya yang cekatan. Betapa
terkejutnya hati Panji ketika
merasakan ada hawa panas yang keluar
dari tubuh Wilarni. Dan lebih terkejut
lagi ketika melihat seluruh permukaan
kulit tubuh wanita malang itu memerah
bagai udang rebus.
"Uhhh...," terdengar keluhan
wanita malang itu.
Wilarni menggeliatkan tubuhnya.
Sesaat kemudian kedua matanya membuka.
Namun anehnya, sepasang mata wanita
itu tampak merah bagaikan buah saga
masak. Ketika melihat seorang pemuda
tampan tengah bersimpuh di dekatnya,
Wilarni bergegas bangkit. Cepat bagai
kilat langsung dipeluk dan diciuminya
Panji penuh nafsu. Tentu saja hal ini
membuat tubuh Panji bergetar dan
gelagapan. "Ohhh.... Peluklah aku... ciumlah
aku...," desah wanita cantik itu tanpa berhenti memeluk dan menciumi Panji.
Tiba-tiba saja Wilarni menarik
sisa-sisa pakaian yang dikenakan
sehingga tubuh molek itu terpampang
jelas tanpa benang sehelai pun yang
menutupinya. Segera direbahkan
tubuhnya di atas rerumputan tebii
sambil terus memeluk Panji.
"Eh! Oh...! Nisanak, sadarlah!
Aku... aku... ufff...!" Panji yang
menjadi kelabakan itu mencoba
menenangkan wanita itu. Namun sebelum
ucapannya habis, mulut pemuda itu
telah diterkam bibir Wilarni yang
panas membara bagai api itu. Seketika
Panji melompat bangun sambil
mendorongkan tangannya sehingga
pelukan wanita itu terlepas. Dan
sebelum Wilarni sempat bangkit
Pendekar Naga Putih segera memberi
totokan di beberapa bagian tubuh
Wilarni hingga jatuh lemas.
"Bangsat! Manusia Biadab,
mampuslah kau!" tiba-tiba terdengar sebuah bentakan diiringi melesatnya
dua sosok tubuh yang langsung
menerjang Panji.
Singgg! "Heiii...!"
Panji berteriak kaget ketika
mendengar suara berdesingan tajam yang
membuat bulu kuduknya berdiri. Cepat-
cepat dihindarinya serangan gelap dan
tiba-tiba itu. Tubuhnya mencelat
sejauh tiga tombak, lalu mendarat
ringan di atas permukaan tanah
berumput. Tapi sebelum pemuda itu
sempat menatap penyerangnya, lagi-lagi
terdengar suara berdesing nyaring.
Bahkan kali ini terdengar lebih kuat
dari yang pertama.
Merasa penasaran, Pendekar Naga
Putih cepat mengangkat tangan kanannya
menangkis pergelangan tangan yang
memegang pedang Itu. Dan tanpa dapat
dicegah lagi, dua pasang lengan yang
sama-sama mengandung tenaga dalam
tinggi itu saling berbenturan keras.
Dukkk! "Aaahhh...!"
Tubuh si penyerang terpental
balik ketika tangannya membentur
tangan Panji yang keras bagai baja
itu. Terdengar teriakan tertahan dari
mulut orang yang menyerang tiba-tiba
itu. Seketika tubuhnya terjajar mundur
sejauh delapan langkah ke belakang.
Wajah orang itu menyeringai menahan
nyeri. Sementara tubuh Panji juga sempat
bergetar akibat kuatnya tenaga dalam
yang terkandung dalam serangan tadi.
Diam-diam, Pendekar Naga Putih menjadi
heran karena dalam waktu singkat telah
bertemu, dan bertempur melawan dua
orang berkepandaian tinggi.
"Hm.... Siapa kau, Orang Tua"
Mengapa datang-datang menyerangku?"
tanya Panji penasaran. Wajahnya yang
tampan itu terlihat tegang dan tanpa
amarah sedikit pun. Wajah seseorang
yang merasa tak membuat kesalahan.
"Jangan banyak bacot kau, Pemuda
Bejad! Hari ini aku akan mengadu nyawa
denganmu! Hiaaattt..!" teriak orang itu tanpa banyak cakap lagi. Terlihat
sinar bergulung-gulung menyelimuti
sekujur tubuh orang yang tak lain dari
Gatar atau Pendekar Pedang Kilat.
Langsung dikerahkan seluruh tenaganya
untuk menyerang Panji yang dirasakan
memiliki tenaga dalam tinggi.
Rasanya Panji percuma untuk
berteriak-teriak menyanggah kalau
dirinya merasa tak melakuan apa-apa
terhadap Wilarni. Maka terpaksa
dilayaninya serangan lawan, dan
sesekali melakukan serangah balasan
yang cukup membuat terkejut
Sementara itu pemuda tampan yang
pertama kali menyerang Panji, telah
bersimpuh dekat tubuh Wilarni yang
tergolek pingsan itu. Cepat pemuda
yang bukan lain adalah Shindura itu
melepaskan pakaiannya, lalu dikenakan
ke tubuh ibunya yang polos itu. Wajah
pemuda itu memerah menahan geram yang
menggelora dalam dadanya. Langsung
ditolehkan kepalanya ke arah Panji
yang tengah bertempur melawan paman-
nya. "Manusia Biadab! Kau harus
menebus dosa-dosamu dengan darah!"
geram Shindura penuh kemarahan.
Seketika pemuda itu bergegas
melompat ke dalam kancah pertarungan
itu. Begitu tiba, pedangnya langsung
berkelebat mengancam tubuh Panji.
Panji yang menduga kalau itu
hanya sebuah kesalahpahaman saja,
tidak ingin membalas serangan dua
orang lawannya, kecuali sesekali jika
benar-benar terancam. Sadar kalau
kedua orang itu tidak akan berhenti
menyerang sebelum tubuhnya tergeletak,
Panji cepat mengambil keputusan. Tiba-
tiba, tubuh Pendekar Naga Putih
melesat sejauh empat tombak ke
belakang. Dan sebelum kedua lawannya
menyadarinya, dia sudah berkelebat
lenyap di antara lebatnya pepohonan.
"Bangsat! Jangan lari kau,
Manusia Bejad!"
Shindura berteriak-teriak sambil
berusaha mengejar Panji. Namun, tentu
saja pemuda itu tidak akan sanggup
mengejar Pendekar Naga Putih yang ilmu
meringankan tubuhnya telah mencapai
taraf kesempurnaan.
Beberapa saat kemudian, Shindura
melangkah keluar dari dalam hutan
Wajahnya teriihat muram dan agak
pucat. Hati pemuda itu benar benar
merasa terpukul atas kejadian yang
berturut-turut dialami keluarganya
itu. Diam-diam, hatinya menyesali me-
ngapa ilmu kepandaian yang dimilikinya
demikian rendah, hingga tak mau
melindungi keluarganya dari segala
malapetaka itu.
Pendekar Pedang Kilat yang dapat
merasakan apa yang terkandung dalam
hati keponakannya, mencoba menghibur.
Ditepuknya bahu Shindura berkali-kali,
seolah-olah dengan cara demikian dapat
mengalirkan kekuatan yang dapat
menenangkan hati Shindura.
"Sudahlah, Shindura. Lebih baik
kita lihat keadaan ibumu sekarang,"
ajak pendekar itu sambil membimbing
Shindura ke tempat Wilarni tergeletak.
"Hm.... Rupanya bangsat cabul itu
menggunakan semacam obat untuk
membangkitkan nafsu jahat dalam tubuh
ibumu. Benar-benar manusia cabul!"
Pendekar Pedang Kilat benar-benar
murka melihat ada ketidakwajaran dalam
tubuh Wilarni. Dia yang sudah memiliki
banyak pengalaman, langsung mengetahui
ketika memeriksa tubuh wanita itu.


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pendekar itu menarik napas lega karena
tidak menemukan luka-luka pada tubuh
Wilarni. "Apakah obat itu dapat
membahayakan jiwa Ibu, Paman?" tanya Shindura cemas.
"Tidak, Shindura. Obat itu hanya
bekerja kurang dari setengah hari. Dan
setelah siuman nanti, ibumu sudah
sehat kembali seperti sediakala,"
jawab Gatar. Jawaban itu memang
membuat hati Shindura menjadi lega.
Setelah berkata demikian pendekar
itu bangkit dan melangkah merayapi
sekitar tempat itu. Kening Pendekar
Pedang Kilat berkerut ketika matanya
menatap sesosok tubuh yang tergeletak
beberapa tombak dari tempatnya
berdiri. "Eh! Tubuh siapa yang tergeletak
di situ?" gumam Gatar heran.
Pendekar Pedang Kilat itu
bergegas menghampiri sosok tubuh yang
tergeletak di atas rerumputan. Dan
hatinya menjadi tercekat ketika
mengenali pakaian yang dikenakan sosok
yang telah menjadi mayat itu. Sesaat
kemudian, pendekar itu pun berjongkok
memeriksa mayat itu.
"Eh! Bukankah ini mayat salah
seorang yang tadi menyerang rombongan
kita, Paman?" tiba-tiba saja Shindura telah berada di samping Gatar. Kening
pemuda itu berkerut dalam seolah-olah
tengah berpikir keras untuk memecahkan
masalah itu. "Hm... aku ingat sekarang!"
"Apa yang kau ingat, Shindura?"
Gatar menjadi penasaran ketika
mendengar ucapan Shindura yang
mengejutkan hati. Pendekar itu
menolehkan kepalanya ke arah
keponakannya itu. Sinar matanya tampak
menuntut jawaban yang sejelas-
jelasnya. "Paman, bukankah orang yang
melarikan Ibu adalah komplotan orang
yang berpakaian serba hitam?" tanya Shindura
"Benar. Lalu, apa maksud
pertanyaanmu?" Gatar malah balik
bertanya. Keningnya berkerut karena
masih belum mengerti ke mana arah
pembicaraan keponakannya itu.
'Tapi, mengapa pemuda yang kita
keroyok tadi mengenakan jubah putih?"
"Lalu...?"
"Bukankah tadi dia tidak berusaha
membalas serangan kita?" tanya pemuda itu lagi.
"Sepertinya begitu."
"Memang aku sendiri tidak tahu,
apa yang dilakukannya terhadap Ibu.
Tapi yang jelas, orang berseragam
hitam ini sudah tergeletak tewas
tentunya."
"Jadi menurut dugaanmu, pemuda
itu telah menyelamatkan nyawa ibumu?"
tanya Pendekar Pedang Kilat sambil
melepaskan pandangannya ke langit
lepas. "Aku rasa begitu, Paman. Coba
Paman ingat! Kalau pemuda tampan
berjubah putih tadi menghendaki,
mungkin saja dia dapat merobohkan
kita, meskipun itu tidak mudah
baginya. Tapi anehnya, mengapa ia
malah melarikan diri" Bukankah ia sama
sekali tidak terlihat terdesak?"
Shindura mulai dapat menduga-duga apa
sebenarnya yang telah terjadi di
tempat itu. tadi.
"Ah, mengapa aku begitu bodoh!"
teriak Pendekar Pedang Kilat sambil
menampar kepalanya pelahan. "Bukankah kita ke sini karena mendengar teriakan
kesakitan yang melengking tadi. Hm....
Pastilah orang ini yang menjerit tadi!
Hhh... mengapa kita begitu bodoh!"
"Sudahlah,
Paman. Mudah-mudahan
di lain kesempatan nanti kita bisa
bertemu pemuda itu lagi. Kelak aku
akan mencoba untuk bertanya
kepadanya," ujar Shindura.
"Yahhh...," Pendekar Pedang Kilat hanya berdesah mendengar ucapan
Shindura. Dan secara iseng,
dicongkelnya penutup wajah mayat itu
dengan ujung pedangnya. Gatar
tersentak mundur ketika mengenali
wajah mayat itu. Sesaat wajahnya
memucat seolah-olah tak percaya dengan
apa yang dilihatnya.
"Ada apa, Paman" Apakah Paman
mengenali orang ini?" tanya Shindura sambil menatap wajah sang paman yang
teriihat pucat itu.
"Hm.... Aku kenal betul orang
ini. Pada mulanya, dia seorang tokoh
pengemis yang berjuluk Pengemis
Tongkat Merah. Heran, benarkah ia
termasuk orang Partai Lima Unsur?"
tanya Gatar, seperti untuk dirinya
sendiri. Bergegas Pendekar Pedang Kilat
menggerakkan ujung pedangnya untuk
merobek baju pada bagian dada mayat
itu. Namun alis Gatar menjadi berkerut
ketika tidak menemukan tanda yang
dimaksudnya itu.
"Ayo kita kembali, Shindura!"
ajak Gatar cepat.
Shindura menjadi heran melihat
perubahan yang tiba-tiba pada wajah
pamannya itu. Jelas sekali kalau Gatar
tengah berpikir keras. Dan dia
berusaha untuk menyembunyikan
keterkejutannya dari penglihatan
Shindura dengan cara mengalihkan
perhatian pemuda itu.
Pendekar Pedang Kilat segera
mengangkat tubuh Wilarni lalu
meletakkan di atas punggungnya. Kemu-
dian tanpa mengucapkan sepatah kata
pun, pendekar itu langsung melesat
meninggalkan tempat itu, menuju
rombongan mereka berada.
Melihat sikap pamannya yang
seolah-olah tak ingin diajak bicara,
Shindura pun menutup mulutnya. Pemuda
itu berusaha menyimpan segala macam
pertanyaan dan pikiran yang berkecamuk
di hatinya. Bergegas diikutinya
langkah pamannya yang sudah lebih dulu
meninggalkan tempat itu.
"Biarlah. Nanti kalau ada waktu,
akan kutanyakan pada Paman," kata hati pemuda itu untuk menenangkan
pikirannya yang semrawut.
Matahari sudah semakin meninggi.
Sinamya yang kuning keemasan tampak
membias di antara rimbunan dedaunan
hingga membentuk garis-garis yang
indah berwarna-warni.
*** 5 Kedatangan Pendekar Pedang Kilat,
Shindura, dan Wilarni membuat hati
Suntini cemas. Sementara, Pengemis
Aneh Tongkat Sakti masih menunggu di
rombongan kereta berkuda.
Suntini berlari menyambut
kedatangan kakak, paman, dan ibunya
itu. Sepasang matanya telah basah oleh
air mata. Gadis cantik itu segera
memeluk tubuh ibunya yang berada dalam
pondongan pamannya.
"Ibu...!" panggil gadis itu
serak. Perasaan gembira dan haru
menyelimuti hatinya. Suntini hanya
dapat terisak memeluk dan menciumi
wajah ibunya yang masih tak sadarkan
diri. Pendekar Pedang Kilat mendiamkan
saja perbuatan gadis keponakannya itu.
Dia cukup memaklumi, apa yang saat ini
tengah dirasakan Suntini. Kematian
ayahnya membuat jiwa gadis itu
terguncang. Untunglah ibu gadis itu
berhasil ditemukan. Entah apa yang
akan terjadi pada diri Suntini apabila
Wilarni tak berhasil ditemukan,
Mungkin jiwa gadis itu akan terguncang
lebih berat lagi.
"Ibu.... Ibu kenapa, Paman"
Kakang, kenapa Ibu?" tanya Suntini
setelah agak tenang. Pandangannya
berganti-ganti menatap paman dan
kakaknya. Suaranya terdengar agak
bergetar. "Tenanglah, Adikku. Ibu tidak
apa-apa, dan hanya pingsan saja,"
jawab Shindura sambil mengusap rambut
kepala adiknya penuh kasih sayang.
Sebenarnya Shindura sendiri juga tidak
tenang, namun berusaha untuk
menyenangkan hati adiknya itu.
Saat Suntini dalam pelukan
kakaknya, Pendekar Pedang Kilat
melangkahkan kakinya menuju tempat
kereta berkuda berada. Pendekar itu
masih belum tahu, bagaimana caranya
menyembuhkan wanita malang yang berada
dalam pondongannya itu.
"Apa yang terjadi, Saudara
Gatar?" Pengemis Aneh Tongkat Sakti melangkah menghampiri Pendekar Pedang
Kilat. Kakek pengemis itu menatap
wajah Wilarni dengan kening berkerut.
"Hm... sepertinya ia
menderita keracunan?"
"Benar, Ki. Untunglah aku
menemukannya dalam keadaan tertotok.
Kalau tidak, bisa repot aku
dibuatnya," sahut Gatar sambil terus melangkahkan kakinya.
Pengemis Aneh Tongkat Sakti
manggut-manggut dengan kening sedikit
berkerut. Namun demikian, hatinya
masih bertanya-tanya. Apa penyebabnya
Wilarni keracunan.
'Tolong sediakan selimut tebal,
dan hamparkan di bawah pohon
itu!"perintah Gatar kepada seorang
anggota rombongan yang masih tersisa.
Orang itu bergegas melaksanakan
apa yang diminta Pendekar Pedang Kilat
tadi. Dia mengambil selimut tebal dari
dalam kereta, lalu menghamparkannya di
bawah pohon yang dimaksud pendekar.
itu. Gatar meletakkan tubuh Wilarni di
atas hamparan selimut dengan hati-
hati. Wajah wanita'itu nampak masih
memerah akibat pengaruh obat yang
dijejalkan orang yang berjuluk
Pengemis Tongkat Merah. Pendekar
Pedang Kilat hanya dapat memandang
iba, tanpa mampu berbuat sesuatu.
"Boleh kuperiksa sebentar,
Saudara Gatar?" pinta Pengemis Aneh Tongkat Sakti.
Setelah mendapat anggukan dari
Pendekar Pedang Kilat, kakek itu
segera mulai memeriksa keadaan
Wilarni. Tampak dahi kakek pengemis
itu berkerut dalam. Disertai helaan
napas berat, kakek pengemis yang
bernama Ki Gala Rengat itu bergegas
bangkit "Kita tidak bisa mendiamkan
begitu saja, Saudara Gatar. Pengaruh
obat yang mengeram dalam tubuhnya kuat
sekali. Kasihan wanita ini. Kalau
tidak cepat diobati, ia akan menderita
selama dua hari dua malam. Sayang,
Garbala sudah tiada! Kalau masih
hidup, tentu istrinya tidak terlalu
menderita," jelas Ki Gala Rengat


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sambil menggeleng-gelengkan kepalanya
yang disertai helaan napas berat
"Bukankah kau cukup berpengalaman
di dalam soal racun, Ki" Masak kau
tidak mengetahui cara mengobatinya?"
tanya Pendekar Pedang Kilat.
"Sebenamya, pendekar itu sengaja
menyembunyikan perasaan tak senang
dari curiga setelah menemukan mayat
Pengemis Tongkat Merah yang ikut
menyerang rombongannya tadi.
"Kalau diperbolehkan, aku akan
berusaha mengobatinya. Yahhh mudah-
mudahan saja bisa meringankan
penderitaannya," jawab Ki Gala Rengat merendah.
Sebagai orang yang telah banyak
pengalaman, kakek pengemis itu dapat
mengetahui perubahan sikap yang
ditunjukkan Pendekar Pedang Kilat. Dan
hal itu tidak dipedulikannya.
"Tolonglah ibuku, Eyang," tiba-tiba saja Suntini sudah berdiri di
belakang kakek pengemis itu sambil
mengguncang-guncangkan tangan kakek
itu. 'Tenanglah, Suntini. Akan kuusaha
menolongnya. Tunggulah sebentar, aku
akan mencari ramuannya."
Begitu ucapannya selesai, tubuh
kakek pengemis itu berkelebat. Begitu
cepat gerakannya, sehingga dalam
sekejap bayangan tubuhnya telah lenyap
dalam hutan. *** Pendekar Pedang Kilat, Shindura,
dan Suntini serta empat orang
pembantunya yang selamat, menunggu
kedatangan Pengemis Aneh Tongkat Sakti
dengan hati tegang. Waktu terasa
begitu lambat berjalan, seolah-olah
merayap bagaikan seekor keong.
Tidak berapa lama kemudian,
sebuah bayangan berkelebat disertai
kekehnya yang keras. Rupanya Ki Gala
Rengat sudah kembali dari dalam hutan.
Di tangan kanannya, tergenggam
beberapa lembar dedaunan dari jenis
yang berbeda. 'Tunggulah. Aku akan
mempersiapkan obat ini!" kata Pengemis Aneh Tongkat Sakti gembira.
Setelah beberapa lembar dedaunan
itu ditumbuk dan dimasak dengan air,
kakek aneh itu pun mendatangi sambil
membawa ramuan obat hasil ciptaannya
untuk menyembuhkan Wilarni.
"Apakah racun yang mengeram dalam
tubuh Ibu akan segera hilang, Eyang?"
tanya Shindura setelah obat ramuan itu
diminumkan ke mulut ibunya.
"Tunggu sajalah, Shindura. Kalau
dalam beberapa waktu kulit tubuh ibumu
belum menampakkan perubahan, itu
tandanya obatku tidak manjur," jawab Ki Gala Rengat sambil tersenyum.
"Sudahlah. Sekarang, lebih baik
kita lanjutkan perjaianan. Rasanya
tempat ini tidak cocok untuk bermalam.
Shindura, angkat ibumu ke dalam
kereta. Biar Suntini yang akan
menjaganya," perintah Pendekar Pedang Kilat sambil bangkit berdiri dari
duduknya. Tidak lama kemudian, di tempat
itu mulai sibuk untuk mempersiapkan
melanjutkan perjalanan. Wilarni sudah
dinaikkan ke dalam kereta ditemani
Suntini. Sedangkan yang lain menunggangi kuda masing-masing yang
masih tersisa, siap untuk melakukan
perjalanan kembali. Kini rombongan itu
kembali melanjutkan perjalanan,
sebagaimana tujuan Garbala semula.
Sinar matahari yang mulai redup itu
sangat membantu perjalanan mereka.
Kini rasa panas tidak lagi terasa
menyengat kulit. Angin bersilir lembut
menyegarkan tubuh yang terasa mulai
lelah. Setelah beberapa saat lamanya
melakukan perjalanan melalui jalan
yang berkelok-kelok, rombongan itu
tiba di sebuah perbukitan. Batu-batu
kecil yang bertebaran di jalan,
sedikit menghambat laju kereta kuda
yang tinggal dua buah jumlahnya. Sebab
kereta ketiga terpaksa ditinggalkan
agar tidak terlalu membebani
perjalanan. Pendekar Pedang Kilat yang
memimpin rombongan itu mengendarai
kudanya lambat-lambat. Sepasang
matanya yang tajam merayapi daerah
perbukitan yang akan dilalui. Sesaat
kemudian, pendekar itu mengangkat
tangan kanan untuk menghentikan
lajunya rombongan.
"Yang lain beristirahatlah
sejenak. Aku akan memeriksa di depan
sana!" seru pendekar itu. Tanpa
menunggu jawaban lagi, ia pun
menghentak tali kekang kudanya
menyusuri jalan berbatu.
"Aku ikut, Paman...!" seru
Shindura sambil memacu kuda mengejar
pamannya yang berada beberapa tombak
di depan. Tidak berapa lama kemudian,
pemuda itu dapat menyusul Pendekar
Pedang Kilat. "Apa yang Paman curigai"
Nampaknya, daerah perbukitan itu aman-
aman saja," kata Shindura ketika kuda-kuda mereka sudah berjalan
berdampingan. Sambil berkata demikian,
pandangannya beredar ke sekitar daerah
yang akan dilalui rombongannya itu
"Hm... biasanya di daerah seperti ini banyak dikuasai para perampok. Tapi
tampaknya tempat ini tenang dan cukup
aman," sahut pendekar itu sambil lalu.
"Nah, kau kembalilah! Perintahkan agar rombongan terus maju."
Tanpa membantah Shindura cepat
membalikkan kudanya, dan langsung
membedal menuju tempat semula.
Kelihatan sekali kalau wajah pemuda
itu sudah mulai cerah. Rupanya ia
sudah mulai melupakan kejadian yang
mengakibatkan kematian ayahriya itu.
"Ayo, jalankan kereta!" seru
pemuda itu dari kejauhan. Suaranya
begitu nyaring, sehingga bergema.
Memang, Shindura berteriak tepat di
bawah tebing bukit yang agak menjorok
keluar. Mendengar perintah itu, maka
kereta kembali bergerak lambat
menyusuri jalan berbatu yang sedikit
mendaki. Setelah agak lama karena
jalan yang dilaluinya tidak mulus,
rombongan itu tiba di tempat Pendekar
Pedang Kilat menunggu.
Mereka terus melanjutkan
perjalanan melewati jalan-jalan yang
lebih sulit daripada semula. Roda
kereta kuda terdengar berderak-derak
ketika melintas jalan yang banyak
lubang dan batu-baru besar sating
bertonjolan. "Hhh...."
Tiba-tiba terdengar keluhan
lirih, keluar dari dalam kereta yang
ditumpangi Wilarni dan Suntini.
Rupanya Wilarni sudah mulai tersadar
dari pingsannya. Tubuhnya menggeliat
sejenak, seolah-olah ingin melemaskan
urat-urat yang terasa kaku.
Wilarni membuka kedua matanya
pelahan-lahan. Seketika bibimya
menyunggingkan senyum manis ketika-
mendapati anak gadisnya tengah duduk
di sisinya. Seperti tak mempercayai
penglihatannya, Wilarni mengerjap-
ngerjapkan mata seakan-akan ingin
menghilangkan bayangan yang diangap
semu itu. "Kakang Shindura...! Ibu sudah
sembuh!" teriak gadis cantik itu
sambil mengulurkan kepalanya melalui
jendela kereta: Sepasang matanya yang
indah nampak berbinar ketika
menyerukan berita yang menggembirakan
itu. Dan kini Suntini menangis dalam
pelukan ibunya. Namun, tangisnya kali
ini adalah sebuah luapan rasa bahagia
karena melihat kesembuhan ibunya.
Pelukan kedua tangannya demikian
ketat, seolah-olah tidak ingin lagi
melepaskan ibu yang dikasihinya itu.
Shindura yang mendengar teriakan
adiknya, bergegas membedal kudanya ke
belakang Tampak senyum gembira
menghias wajahnya yang tampan. Rupanya
kegembiraan itu bukan hanya milik
mereka berdua. Sebab wajah-wajah lain
pun terlihat ikut mengembangkan senyum
gembira pula. Kegembiraan kedua remaja
itu telah pula membangkitkan kegem-
biraan di hati yang lain.
Saat ini, rombongan itu telah
memasuki sebuah dataran yang cukup
luas. Di beberapa sudut dataran,
tampak tumbuh beberapa batang pohon.
Melihat alam yang cukup ramah
ini, Pendekar Pedang Kilat bergegas
menghentikan perjalanan rombongannya.
Rupanya pendekar itu berniat
melepaskan malam di tempat itu.
Memang, saat itu matahari sudah hampir
tenggelam di kaki langit sebelah
Barat. Cahaya kemerahan tampak
menyemburat, mewarnai kaki langit.
Senja mulai menampakkan ronanya yang
indah dipandang mata.
Empat orang pengikut keluarga
Garbala yang masih setia itu bergegas
membuat tenda-tenda. Sigap sekali cara
mereka menyelesaikan pekerjaan itu.
Hingga tidak berapa lama kemudian,
tiga buah tenda sederhana telah
berdiri kokoh. Tampak beberapa buah
obor mulai dipasang, untuk menerangi
sekitar tempat itu.
Shindura dan Suntini tampak
menemani ibunya di tenda paling
tengah. Sedang dua tenda lainnya,
disediakan untuk kaum lelaki.
Kesedihan di hati Wilarni sudah
mulai pudar, karena dua orang anaknya
terus berusaha menghibur hatinya.
Wajah wanita berusia tiga puluh lima
tahun yang masih nampak cantik itu
sudah segar kembali. Rupanya obat yang
dibuat Ki Gala Rengat benar-benar
manjur. Beberapa saat kemudian, tampak
Shindura dan Suntini berjalan keluar
dari dalam tenda. Mereka melangkah
menghampiri Pengemis Aneh Tongkat
Sakti yang tampak tengah berkumpul
bersama dua orang pembantu keluarga
Garbala itu. "Ah! Shindura, Suntini, mari...
mari. Bagaimana keadaan ibumu?" sapa kakek pengemis itu ketika melihat
Shindura dan Suntini tengah berjalan
ke arahnya. "Sudah lumayan, Eyang. Kami
berdua mengucapkan terima kasih atas
pertolongan Eyang. Entah apa jadinya
keadaan Ibu kami apabila Eyang tidak
cepat bertindak," ucap Shindura sambil membungkuk hormat kepada kakek
pengemis itu.

Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sesaat kemudian, ketiganya telah
terlibat dalam pembicaraan yang
mengasyikan. Sesekali terdengar suara
tawa mereka ketika mendengar cerita
lucu Ki Gala Rengat Selain banyak
pengalamannya dalam dunia persilatan,
rupanya kakek itu pandai juga ber-
erita. Setelah puas mendengar cerita
kakek pengemis itu,
Shindura dan Suntini mohon pamit untuk menemui
Pendekar Pedang Kilat.
Mereka melangkah meninggalkan tempat itu
diiringi tatapan Pengemis Aneh Tongkat
Sakti. Malam itu cuaca nampak sangat
cerah. Sinar rembulan memancar terang
menghiasi sang malam. Bintang-bintang
pun berkelip jenaka, bak mata dara
jelita yang manja. Tiupan angin
bersilir lembut menebarkan kesejukan.
*** Gatar atau yang lebih dikenal
berjuluk Pendekar Pedang Kilat nampak
termenung menatapi sang bulah. Laki-
laki berusia empat puluh tahun itu
duduk bersandar pada sebatang pohon
yang letaknya tidak jauh dari tenda
yang ditempatinya.
Wajahnya yang masih terlihat
segar dan gagah itu tampak agak
berkerut seolah-olah tengah memikirkan
sesuatu. Cukup lama pikirannya
terhanyut dalam, hingga tidak
menyadari kedatangan dua sosok tubuh
yang tahu-tahu sudah di belakangnya.
'Paman Gatar...," pangil Shindura
dan Suntini pelan. Dari suara mereka,
tersirat nada keengganan. Sepertinya,
mereka terpaksa harus mengganggu
lamunan sang paman.
"Eh! Shindura, Suntini, ada apa?"
sahut pendekar itu tersentak. Seketika
lamunannya terbang entah ke mana.
Gatar cepat menolehkan kepalanya
menatap dua orang keponakannya itu.
"Ah! Tidak ada apa-apa, Paman.
Kami hanya ingin ngobrol-ngobrol
saja," jawab Shindura. Langsung
dijatuhkan dirinya di atas sebuah batu
yang berada di samping pohon. Suntini
juga segera mengambil tempat di sisi
kakaknya. "Paman, apakah yang tengah
dipikirkan tadi" Tampaknya Paman
begitu terhanyut dalam lamunan,
sampai-sampai tidak mengetahui
kedatangan kami?" tanya Suntini
memecah kebisuan di antara mereka.
"Hhh."," desah Pendekar Pedang Kilat.
Gatar tidak segera menjawab
pertanyaan gadis itu. Dihela napas
berkali-kali. Sepertinya, beban
pikirannya memang terasa sangat berat.
Dilepaskan pandangannya merayapi
langit yang berhiaskan taburan
bintang. Seolah-olah ia ingin mencari
jawaban di atas sana.
"Shindura, Suntini. Benarkah
kalian sama sekali tidak mengetahui
tentang peta harta itu" Atau, apakah
kakek kalian tidak meninggalkan
sesuatu kepada Ayah kalian?" tanya
pendekar itu sambil menatap tajam dua
orang di depannya berganti-ganti.
Seperti dia ingin meminta jawaban yang
sejujurnya. "Sepengetahuanku memang tidak,
Paman. Bahkan Ayah pun hampir tidak
pernah bercerita mengenai riwayat
kakek kepada kami. Itulah yang membuat
hatiku bertanya-tanya, dari mana
orang-orang berseragam hitam itu
mengetahuinya" Bahkan nampaknya begitu
yakin tentang adanya peta harta itu
pada keluarga kami," jawab Shindura lesu, seolah-olah menyesal karena
tidak memberi jawaban yang
menyenangkan. "Apakah Ayah kalian tidak pernah
memberi sesuatu benda, atau katakanlah
benda peninggalan kakekmu itu?" tanya Pendekar Pedang Kilat penasaran.
Sepertinya, dia masih belum puas atas
jawaban yang diberikan Shindura tadi.
"Sama sekali ti...
eh! Nanti dulu!" Tiba-tiba saja Shindura
menghentikan ucapannya. Cepat
ditolehkan kepalanya, seolah-olah
teringat akan sesuatu.
"Adikku, bukankah Ayah pernah
memberi sebuah pedang kepadamu" Dan
bukankah Ayah mengatakan kalau pedang
itu adalah peninggalan Kakek satu-
satunya?" tanya Shindura dengan wajah tegang, sambil menatap wajah adiknya
lekat-lekat. Seolah-olah, ia ingin
membantu ingatan adiknya tentang hal
itu. Pendekar Pedang Kilat berdebar
hatinya mendengar ungkapan Shindura.
Di wajah pendekar itu terlintas
harapan yang berpendar-pendar.
Sepasang matanya yang tajam mengawasi
bibir gadis cantik itu.
"Ya! Aku ingat sekarang, Kakang!"
seru gadis itu terlonjak bangkit.
Tentu saja gerakan gadis yang
tiba-tiba, membuat Pendekar Pedang
Kilat dan Shindura ikut terlonjak dari
duduknya. Memang, mereka terlalu
tegang menunggu jawaban Suntini, tanpa
sadar mereka terlonjak.
"Di mana... di mana pedang itu
sekarang, Adikku?"
Saking tegangnya, Shindura sampai
tak sadar mengguncang tangan adiknya
terlalu keras. Akibatnya wajah gadis
itu menyeringai menahan sakit.
"Ah! Maaf... maaf, Adikku," ucap Shindura menyadari perbuatannya.
Serta-merta, dilepaskannya cekalan
tangan yang menyakitkan lengan adiknya
itu. "Ah, Kakang! Mengapa sih, sampai
begitu tegang" Apakah Kakang sudah
menjadi seorang yang gila harta?"
Suntini memonyongkan bibirnya
cemberut. Gadis itu segera mencabut
pedangnya dari pinggang. Dengan
segera, diserahkannya pedang itu.
"Ini, pedangnya! Ambillah, kalau
kau lebih menyayangi benda ini
daripada aku!"
"Ah! Maafkan kelakuanku tadi,
Adik Suntini. Tentu saja aku lebih
menyayangimu dan Ibu, ketimbang pedang
ini. Sudahlah, jangan marah," ucap
Shindura sambil membentangkan kedua
tangan dan memeluk adiknya.
Rambut kepala Suntini dibelai
Shindura penuh kasih sayang. Kedua
kakak-beradik itu memang dekat sekali
satu sama Iain. Karena itulah, mengapa
Shindura , tidak merasa canggung
memeluk tubuh adiknya. Memang
mungkin.ia tidak menyadari kalau
adiknya itu telah berubah menjadi
seorang remaja yang cantik dan memikat
Melihat Shindura tidak meraih
pedang yang disodorkan, tapi malah
memeluk dan menghibur adiknya,
Pendekar Pedang Kilat sigap
menyambutnya. Bergegas pendekar itu
meneliti dari ujung sampai ke gagang
pedang. Keningnya berkerut dalam
ketika tidak dapat menemukan satu
petunjuk pun dari pedang itu.
"Apakah hanya benda ini yang
menjadi peninggalan kakekmu?" tanya Pendekar Pedang Kilat Wajahnya nampak
menyiratkan kekecewaan setelah
berkali-kali memeriksa, tapi tak
menemui sesuatu petunjuk pun.
Diangsurkannya pedang itu kepada
Shindura yang segera menyambutnya.
Begitu berada dalam genggaman
Shindura cepat meneliti secara cermat.
Namun, hasilnya tetap saja tidak ada.
Bahkan sampai-sampai sarung pedang itu
dibelah, hasilnya tetap sama.
Pemuda itu kembali menjatuhkan
pantatnya di atas batu yang semula
didudukinya. Sepasang matanya tetap
tak lepas dari senjata itu, seperti
masih belum ingin menyerah. Otaknya
bekerja tak henti-henti, memikirkan
hal itu. Malah Shindura tak sadar
kalau adik dan pamannya tengah
mengamatinya. "Hm.... Kalau orang-orang
berseragam hitam itu sampai rela
mengorbankan nyawa, pasti kabar
tentang peta harta itu benar. Sedang,
satu-satunya peninggalan Kakek
hanyalah sebilah pedang ini. Jadi
menurut hematku, sudah pasti peta
harta itu berada di dalam pedang ini.
Hanya saja kita tidak tahu, di bagian
mana Kakek menyembunyikan peta harta
simpanannya itu?"
Shindura terus berpikir keras mencari-cari jawabannya. Dikerahkannya
seluruh ingatannya tentang kisah raja-
raja terdahulu yang sering dibaca
melalui kitab-kitab kuno.
"Suntini, bolehkah pedangmu itu
kurusak?" tiba-. tiba saja pemuda itu bertanya sungguh-sungguh kepada
adiknya. Pendekar Pedang Kilat berdebar
hatinya ketika mendengar pertanyaan
aneh itu. "Hm... anak ini cerdik sekali.
Siapa tahu ia benar-benar dapat
menemukan peta harta itu" Entah cara
apa yang akan diperbuatnya?" kata hati pendekar itu tegang.
"Kalau hal itu memang dapat
menyelamatkan keluarga kita dari
ancaman musuh, aku rela Kakang," jawab gadis itu setelah berpikir beberapa
saat lamanya. Setelah berkata demikian, gadis
itu melangkah mendekati, lalu duduk di
samping kakaknya itu. Sepasang matanya
yang indah ini menatap wajah kakaknya
lekat-lekat, seolah-olah ingin mencari
tahu apa yang tengah dipikirkan
kakaknya. Setelah mendapat persetujuan
adiknya, Shindura mencabut keluar
pedangnya yang tergantung di pinggang.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun
pemuda itu lalu menorehkan ujung
pedangnya pada sambungan gagang pedang
yang diduga menyimpan peta harta.
Beberapa saat kemudian, gagang pedang
itu pun terlepas. Hati-hati sekali
Shindura memasukkan jari-jari
tangannya ke dalam gagang pedang pada
bagian tengahnya. Wajah pemuda itu
mendadak tegang ketika merasakan ujung
jari tangannya menyentuh benda yang
agak lemas. Melihat ketegangan yang terpancar
dari wajah pemuda itu, serentak
Pendekar Pedang Kilat menghampirinya.
Wajahnya juga berubah tegang seperti
halnya Shindura.
"Apa... apa yang kau dapatkan,


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Shindura?" tanya Pendekar Pedang Kilat tegang. Dari nada suaranya, jelas
sekali kalau hati
pendekar itu berdebar keras. Suaranya yang biasanya
tenang terdengar bergetar dan napasnya
agak memburu. Shindura cepat mencabut sebuah
gulungan yang terdapat di dalam lubang
gagang pedang itu. Gulungan itu
terbuat dari sejenis kulit binatang
yang agak kaku dan tipis. Rupanya
orang yang menyimpan peta itu benar-
benar teliti dan pandai sekali.
Buktinya kulit yang di dalamnya
terdapat gambar peta sangat liat dan
tidak mudah rusak. Padahal benda itu
disimpan sudah puluhan tahun. Diam-
diam hati pemuda itu mengagumi
kecerdikan kakeknya.
Shindura hati-hati dan penuh
ketegangan saat membuka gulungan kulit
itu. Maka tampak sebuah gambar rumit
dan tak mudah dimengerti sembarang
orang. Bahkan Pendekar Pedang Kilat
dan Suntini sampai mengerutkan dahinya
dalam-dalam. Namun, mereka tetap saja
tak dapat menerka, apa dan tempat apa
yang digambarkan di atas kulit itu.
"Dapatkah kau membacanya,
Shindura?" tanya Pendekar Pedang Kilat dengan suara kering.
'Tidak, Paman. Menyesal sekali
aku tidak memahami apa yang
digambarkan dalam peta ini," jawab
Shindura lesu. "Boleh kulihat?" pinta pendekar itu penuh minat
Shindura hanya mengulurkan peta itu tanpa mengucapkan
sesuatu. Setelah beberapa saat
meneliti, Gatar mengembalikan peta itu
kepada Shindura.
"Simpanlah peta ini, Shindura.
Aku pun tak dapat membacanya," ujar Gatar tak bergairah. "Malam sudah
semakin larut. Mari kita
beristirahat."
*** 6 Malam terus merangkak semakin
mendekati pagi. Di dalam tenda, tampak
Shindura masih sibuk memperbaiki
pedang peninggalan kakeknya itu.
Sesekali, tatapannya berpindah ke arah
dua sosok tubuh yang tengah terlelap.
Mereka adalah ibu dan adiknya.
Pemuda itu berkeras hati untuk
menjaga dua orang yang dikasihinya,
meskipun ibu dan adiknya berupaya
membujuk untuk tidak terlalu
mengkhawatir-kan keadaan mereka. Namun
dengan berbagai alasan, akhirnya dua
orang wanita itu mengalah. Sehingga
sampai jauh malam, Shindura terlena
juga karena kelelahan yang sangat.
Kini pagi baru saja datang.
Shindura terjaga dari tidurnya ketika
mendengar suara ribut di luar. Bunyi
dentang senjata yang diselingi
teriakan-teriakan orang bertempur itu,
membuatnya terlompat seraya mencabut
keluar senjatanya.
"Ada apa, Shindura"!" Wilarni
juga tersentak bangun dari tidurnya.
Wajah wanita itu berubah pucat.
Nalurinya mengatakan kalau ada bahaya
tengah mengancam mereka.
"Entahlah, Bu. Biar kuperiksa
keadaan di luar!" kata Shindura cepat.
"Suntini kau jaga Ibu!"
Setelah berpesan demikian, tubuh
pemuda itu menghambur keluar.
Gerakannya cepat bagai kilat, pertanda
ilmu meringankan tubuh pemuda itu
tinggi juga. Wajah pemuda itu berubah pucat
ketika melihat empat orang pembantunya
telah bergelimpangan bermandi darah.
Di hadapannya tampak seorang laki-laki
tinggi kurus, mengenakan seragam
hitam. Sebagian wajahnya tertutup
sehelai kain yang juga berwarna hitam.
Dia berdiri tegak mengawasi Shindura
yang baru saja muncul dari dalam tenda
itu. "Hm.... Kau pasti putra si
keparat Garbala itu. Ayo, serahkan
peta harta itu!" bentak orang itu
sember. Sepasang matanya yang setajam
mata elang itu menatap penuh ancaman.
Di tangan kanannya tergenggam sebilah
kapak besar yang masih meneteskan
darah. Rupanya dialah yang telah
membunuh keempat orang pembantunya
itu. "Huh! Manusia Tamak! Jangan harap
kau bisa mendapatkan peta harta itu
sebelum tubuhku
terbujur menjadi
mayat!" sahut Shindura gagah. Kedua kakinya terpentang lebar. Sedangkan
pedangnya sudah melintang di atas
kepalanya. Pemuda itu siap menghadapi
maut! Sementara itu di depan tenda yang
berada di kanan tenda Shindura, tampak
Pendekar Pedang Kilat tengah bertarung
sengit melawan seorang berpakaian
hitam lainnya. Lawan pendekar itu
bersenjatakan sebatang toya, dan
gerakannya tampak hebat sekali.
Berkali-kali Pendekar Pedang Kilat
melakukan serangan-serangan yang
mematikan, namun lawannya yang
bertubuh tinggi kekar itu selalu saja
dapat mematahkan.
"He he he.... Keluarkan seluruh
kepandaianmu, Pendekar Tolol!"
Orang bertubuh tinggi kekar itu
tertawa mengejek sambil menangkis
serangan-serangan Gatar. Nampaknya
kepandaian yang dimilikinya memang di
atas kepandaian paman Shindura dan
Suntini itu. Buktinya ia masih saja
mudah berkelit Padahal, serangan pen-
dekar itu berkali-kali mengancam
tubuhnya. "Huh! Jangan takabur dulu, Monyet
Hitam! Tunjukkan kepandaianmu! Jangan
hanya bisa mengelak!" teriak Gatar
marah bercampur penasaran.
Memang diakui, hati Gatar begitu
penasaran. Padahal, serangan yang
dilakukannya.itu diambil dari jurus-
jurus pilihan yang jarang sekali
digunakan. Tapi, lawannya seolah-olah
enak saja menghadapinya. Tidak heran
kalau hati Gatar dibuat semakin gusar.
"Heaaattt...!"
Dalam kemarahannya, pendekar itu
mengeluarkan sebuah jurus yang paling
diandalkannya. Pedang sinar putihnya
berkelebat bagai kilat, menyambar-
nyambar di angkasa. Sebentuk sinar
putih bergulung-gulung menyertai
ayunan pedangnya. Sesekali, ujung pe-
dangnya yang tersembunyi di balik
gulungan sinar putih mencuat mengancam
keselamatan lawan. Itulah jurus 'Kilat
Bersembunyi dl Balik Awan' yang meru-
pakan jurus kesepuluh dari 'Ilmu
Pedang Sinar Kilat'.
Menyaksikan kehebatan jurus yang
dimainkan lawan, orang berpakaian
hitam itu tampak cukup terkejut.
Tawanya mendadak lenyap, dan berganti
kerutan dalam di keningnya. Dia segera
melangkah mundur ke belakang beberapa
tindak. Toya yang panjangnya hampir
mencapai dua tombak diputar-putar
sede-mikian rupa, hingga
membentuk lingkaran yang melindungi tubuhnya.
Wukkk! Wukkk! Batu-batu kecil dan daun-daun
kering seketika beterbangan terkena
arus putaran tongkat yang menimbulkan
angin menderu-deru. Sekejap saja,
arena pertarungan telah tertutup debu-
debu tipis yang mengepul tinggi di
angkasa. "Yeaaattt...!"
"Hiaaa...!"
Diiringi teriakan mengguntur,
tubuh keduanya melesat menerjang satu
sama lain. Sekejap kemudian mereka
kembali terlibat perkelahian mati-
matian; Tampak gulungan sinar saling
libat dan saling terjang dengan
dahsyatnya! Sementara itu di tempat lain,
Pengemis Aneh Tongkat Sakti juga
tengah bertarung melawan seorang
bertubuh kecil kurus. Namun tubuh yang
kecil kurus itu nampak demikian gesit
dan licin. Sehingga ke mana pun
tongkat pengemis itu berkelebat,
selalu saja dapat dielakkaa. Malah
serangan balasannya tidak kalah
berbahayanya. Meskipun hanya sesekali
membalas, tapi telah sanggup membuat
Ki Gala Rengat kelabakan.
"Setan Kurus! Kurang ajar!
Kupukul pantatmu nanti baru tahu
rasa!" Ki Gala Rengat menghindari sebuah
hantaman tangan lawannya sambil memaki
kalang kabut. Benar-benar tidak
disangka kalau lawannya yang bertubuh
kecil dan kurus itu mampu membuatnya
kerepotan. Padahal, orang itu sama
sekali tidak menggunakan senjata!
"He he he... jangan hanya pandai
memaki, Kakek Gembel! Nih, jaga jurus
'Meledakkan Seribu Gunungku!" ancam si kecil kurus sambil melontarkan sebuah
pukulan maut. Angin
pukulan itu mencicit tajam membelah udara pagi
dengan kecepatan yang tak tampak oleh
mata biasa. Siuuuttt! Trakkk! Bukkk! "Arrrghhh...!"
Terdengar suara berdentang
nyaring ketika telapak tangan orang
itu membentur tongkat baja Ki Gala Re-
ngat. Tubuh kakek pangemis itu
terjajar mundur sejauh lima langkah.
Dan selagi tubuhnya terjajar limbung,
telapak tangan kiri
lawan telak menggedor dadanya! Kakek pengemis itu
terlempar sejauh empat tombak disertai
semburan darah segar dari mulutnya.
Tubuh tua renta itu terbanting di atas
tanah berbatu menimbulkan suara
berdebuk keras.
"Hkkk...!"
Dengan dibantu tongkat baja yang
masih tergenggam di tangan, Pengemis
Aneh Tongkat Sakti berusaha bangkit
berdiri. Kedua tangannya menekap dada
yang terasa panas bagaikan terbakar
itu Meski pandangan matanya terasa
bagai berputar, namun ia berusaha
untuk berdiri tegak.
"He he he.... Kenapa sampai di
sini saja kepandaianmu, Gala Rengat?"
ejek si kecil kurus sambil melangkah
menghampiri lawan yang sudah hampir
tak berdaya itu.
"Kau... kau pasti yang berjuluk
Raja Maut Tangan Sakti"!" tegas Ki


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gala Rengat. Dia baru bisa menerka siapa
sebenarnya kakek kecil kurus yang
menjadi lawannya itu. Ini karena jurus
yang dikeluarkan lawan hanya dimiliki
oleh Raja Maut Tangan Sakti.
Setelah berkata demikian,
Pengemis Aneh Tongkat Sakti kembali
terbatuk hebat! Darah segar segera
menetes dari sela-sela bibirnya.
Sesaat kemudian, tubuhnya pun ambruk
ke tanah. Rupanya luka dalam di tubuh
Ki Gala Rengat terlalu parah, sehingga
membuatnya tergeletak pingsan
"He he he.... Kau tidak akan
kubunuh, kakek gembel! Terlalu enak
rasanya kalau mati begitu saja. Luka
di tubuhmu akan menggerogoti pelahan-
lahan. Dan dalam jangka waktu satu
bulan, kau akan tewas setelah
mengalami penderitaan menyakitkan!"
Sesudah mengucapkan kata-kata
yang membuat bulu kuduk berdiri itu,
kakek kurus yang berjuluk Raja Maut
Tangan Sakti itu pun melangkah lebar
meninggalkan tubuh Pengemis Aneh
Tongkat Sakti yang terkapar pingsan
*** Di arena lain, tampak Pendekar
Pedang Kilat tengah mati-matian
mempertahankan nyawanya. Jurus 'Kilat
Bersembunyi di Balik Awan' miliknya
ternyata tak mampu menahan jurus
'Perisai Topan dan Badai' milik lawan.
Akibatnya pada jurus yang kelima puluh
satu Gatar sudah tidak dapat lagi
membalas serangan lawan.
Hingga memasuki jurus kelima
puluh dua, Pendekar Pedang Kilat tak
sanggup lagi menghindarkan sebuah
hantaman toya lawan pada punggung.
Bukkk! "Hukkk...!"
Pendekar Pedang Kilat terpental
sejauh tiga tombak. Darah segar
mengaiir dari celah-celah bibirnya
yang pucat Pendekar itu menyeringai
menahan rasa sakit, terasa bagaikan
remuk tulang-tulang punggungnya.
Meskipun luka yang diderita cukup
parah, namun Gatar masih mencoba
melintangkan pedangnya siap menghadapi
maut. Sementara itu di tempat lain,
Shindura telah dibuat jatuh bangun
oleh lawannya. Seluruh wajahnya telah
dipenuhi luka memar akibat temparan
orang tinggi kurus itu Pakaiannya
telah robek di sana-sini, bagaikan
tercabik binatang buas. Rupanya
lawannya sengaja menyiksa Shindura
yang masih belum bersedia menyerahkan
peta harta yang diinginkan orang itu.
"Hm, Anak Setan! Rupanya kau
memang tidak boleh dikasih hati. Baik,
kalau memang lebih sayang peta itu
daripada nyawamu!" ancam orang itu
geram. "Kakang Shindura...!"
Suntini yang sudah merasa tidak
betah berada di dalam tenda itu cepat
melompat keluar. Ia langsung menubruk
tubuh kakaknya yang sudah dipenuhi
luka akibat goresan senjata lawan.
"Manusia Biadab, mampuslah!"
teriak Suntini marah.
"Ha ha ha.... Rupanya ada kelinci
manis di tempat ini" Mari, Manis.
Rasanya aku tak tega menjatuhkan
tangan kejam kepadamu. Sebaiknya, ikut
saja bersamaku!" ujar orang itu sambil menyeringai buas.
Orang berpakaian hitam itu hanya
menggerakkan tubuh sedikit ketika
serangan Suntini tiba. Maka senjata
gadis itu hanya menusuk angin. Cepat
bagai kilat, tangannya bergerak
menangkap pergelangan tangan
halus itu. Suntini tercekat melihat gerakan
tangan lawan yang demikian cepat.
Tentu saja gadis itu tidak ingin
tangannya dipegang laki-laki beringas
itu. Cepat-cepat senjatanya ditarik
pulang sambil tubuhnya diputar
membentuk setengah lingkaraa Hasilnya,
cengkeraman lawan pun lolos! Sedangkan
pedangnya terus berputar membabat
perut lawan. Singgg! "Eh...!"
Laki-laki tinggi kurus itu sempat
kaget dibuatnya. Sungguh tidak diduga
kalau gadis cantik itu ternyata cukup
lihai. Cepat-cepat dia melompat ke
belakang karena tidak rela perutnya
dirobek senjata gadis itu.
"Hm.... Ternyata kau berisi juga,
Bidadariku! Ayolah, kita main-main
sebentar!" ledek orang itu sambil
menjilati sekujur tubuh Suntini
melalui tatapan matanya yang liar.
Segera disimpan kapaknya di balik
pinggang, kemudian melompat ke arah
Suntini dengan kedua telapak tangan
terkembang. "Bangsat! Jangan kau ganggu
adikku!" Shindura yang melihat adiknya terancam serentak menerjang orang itu.
Padahal, keadaan tubuhnya telah lelah
sekali pemuda itu segera mengayunkan
pedangnya, sehingga menimbulkan
desingan tajam.
"Monyet tak tahu diri,
mampuslah!" bentak laki-laki itu
geram, ketika melihat Shindura
mengganggu kesenangannya.
Seketika orang berbaju hitam itu
menunda serangannya yang semula
ditunjukkan kepada Suntini. Cepat
sekali tubuhnya berputar, dibarengi
tamparan tangan ke arah pergelangan
Manusia Harimau Merantau Lagi 2 Riwayat Lie Bouw Pek Karya Wang Du Lu Pendekar Lembah Naga 24
^