Pencarian

Memburu Harta Karun 3

Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun Bagian 3


tangan Shindura.
Sadar kalau serangannya akan
kandas, Shindura cepat menarik pulang
senjatanya, dan digantikannya dengan
tendangan kilat yang menuju dada
lawan. Tapi, tamparan orang itu
ternyata membelok ke arah kaki pemuda
itu. Akibatnya Shindura terlambat
untuk menarik pulang kakinya.
Sehingga.... Plakkk! "Aaahhh...!"
Shindura menjerit kesakitan
ketika tangan lawan yang sekeras besi
itu menghantam mata kakinya. Tubuh
pemuda itu terpental berputar dan
jatuh terguling-guling. Sambil
menyeringai menahan sakit, Shindura
berusaha bangkit namun keadaannya
terpincang-pincang." Mata kakinya
membengkak akibat tamparan orang, itu.
Belum lagi ia sempat menguruti ka-
kinya, tahu-tahu tangan lawannya telah
berada di depan dadanya.
Desss! "Ouggghhh...!"
Shindura mengeluh pendek, lalu
tidak tahu lagi apa yang terjadi
selanjutnya. Yang dirasakan adalah
kegelapan yang menutupi penglihatan.
Sama sekali tidak dirasakan lagi
ketika tubuhnya terbanting di atas
tanah keras. Memang pemuda itu sudah
pingsan selagi tubuhnya terlempar di
udara. "Kakang...!" teriak Suntini.
Gadis itu berlari memburu tubuh
kakaknya yang terkapar tak berdaya.
Air mata mengalir membasahi pipinya
yang halus. Perkiraannya, kakaknya
telah tewas di tangan laki-laki tinggi
kurus itu. "Ha ha ha.... Tidak periu
dirisaukan kakakmu yang tengah melayat
ke neraka itu. Lebih baik, kau ikut
bersamaku dan menjadi istriku. Ayo,
Dewiku...," kata orong itu sambil
mengembangkan kedua lengan-nya
menghalangi jalan Suntini.
Tiba-tiba sesosok bayangan
berkelebat ke samping Suntini. Gadis
itu semula sudah siap menyerang. Namun
cepat-cepat senjatanya ditarik kembali
ketika mengetahui kalau bayangan itu
tak lain adalah pamannya. Rupanya
ketika melihat keselamatan Suntini
terancam, Pendekar Pedang Kilat
bergegas meninggalkan lawannya.
"Paman...!" sapa gadis itu serak.
"Suntini! Berikan pedang itu
kepadaku, dan kau pakai pedangku!"
bisik Gatar di telinga gadis itu.
Mengerti akan maksud baik pamannya,
gadis itu menyerahkan senjatanya. Lalu
diambilnya senjata Pendekar
Pedang Kilat yang diulurkan kepadanya.
"Mereka sudah tahu tentang pedang
itu. Biarlah aku akan memancing
perhatian mereka dengan cara melarikan
pedang ini," bisik pendekar itu lagi.
Setelah berkata demikian, tubuh
pendekar itu segera melesat
meninggalkan tempat itu.
Raja Maut Tangan Sakti dan orang
tinggi besar yang menjadi lawan Gatar
tadi, bergegas mengejar pendekar itu.
Sedangkan laki-laki tinggi kurus tetap
di tempatnya sambil menyeringai ke
arah Suntini. Tentu saja gadis cantik itu
menjadi ketakutan setengah mati. Tapi
Suntini bukannya takut terhadap
kematian. Yang ditakutkannya adalah
sesuatu yang lebih hebat yang akan
mengancam kehormatan dirinya. Gadis
itu menoleh ke kiri dan ke kanan
seolah-olah mencari perlindungan.
Namun, baik Ki Gala Rengat maupun
kakaknya telah tergeletak tak berdaya.
Kini tinggallah dia sendiri yang harus
dapat menyelamatkan dirinya tanpa
bergantung kepada siapapun.
"Ha ha ha.... Menyerahlah, Manis.
Tidak ada seorang pun yang dapat
menolongmu kali ini!" kata orang itu terkekeh penuh nafsu. Dan tanpa
membuang-buang waktu lagi, laki-laki
itu melompat menerkam tubuh Suntini
Gadis itu menggeser tubuhnya ke
samping sambil membabatkan pedang,
yang berkelebat mengancam tubuh lawan.
Namun tebasan itu berhasil
dielakkannya. Sekejap kemudian,
keduanya sudah terlibat pertarungan
yang berat sebelah.
Sampai beberapa jurus lamanya,
Suntini masih berhasil mempertahankan
diri agar tidak terjatuh ke tangan
orang buas itu. Tapi, biar
bagaimanapun Suntini tak akan mampu
melawan orang itu hingga belasan jurus
lamanya. Pada jurus kedua belas saja,
gadis itu sudah mulai terdesak hebat.
Sehingga dia hanya dapat melompat
lompat menghindari terkaman sepasang
lengan yang terus mengejarnya itu.
Pada jurus yang ketiga belas,
Suntini bertindak nekad. Sepertinya
gadis itu sudah tidak mempedulikan
lagi akan keseiamatan nyawanya. Maka,
ketika sepasang tangan itu meluncur ke
arah dadanya, segera dibabatkan
senjatanya ke leher orang itu. Tapi,
rupanya laki-laki itu sudah
memperhitungkan hal ini. Sebab, pada
saat senjata itu bergerak menuju
leher, kepalanya diputar sambil kuda-
kudanya direndahkan.
Wuttt! Pedang Suntini meluncur membabat
tempat kosong Dan tahu-tahu saja,
jari-jari tangan lawan telah meluncur
cepat ke arah sikutnya. Dan....
Tukkk! Tukkk! "Ohhh...!"
Suntini mengeluh tertahan Lengan
kanannya yang memegang pedang
tergantung lumpuh. Bahkan bukan hanya
lengannya. Kini tubuhnya pun melorot
jatuh akibat totokan lawan yang tak
dapat dihindari lagi.
"Bunuhlah aku, Manusia Rendah!"
teriak gadis itu ketakutan melihat
sinar mata laki-laki itu yang
menjilati sekujur tubuhnya. Suntini
merasakan tubuhnya panas dingin karena
tatapan orang itu. Tampak air matanya
meleleh membasahi pipinya. Bukan
kematian yang ditakuti Suntini, tapi
mahkota berharga yang hanya sekali
dimiliki bakal hilang. Gadis itu hanya
bisa menangis tanpa mampu berbuat
sesuatu. Bagaikan seekor harimau lapar,
laki-laki tinggi kurus itu menerkam
tubuh Suntini. Terdengar suara kain
robek ketika tangan laki-laki itu
merenggut kasar pakaian gadis itu.
Seketika tampaklah kulit putih halus
mulus yang dimiliki gadis itu. Bahkan
dua bukit kembarnya sedikit
tersingkap, sehingga makin
membangkitkan gairah birahi. Tanpa
mempedulikan tangisan pilu yang keluar
dari mulut Suntini, orang itu menciumi
wajah dan leher gadis itu penuh nafsu.
Wilarni yang mendengar jerit dan
tangis anaknya bergegas keluar dari
dalam tenda. Dan apa yang tengah
dilihatnya, membuat wanita itu
terbelalak pucat. Anak gadisnya yang
sudah setengah telanjang itu tengah
digeluti dengan buas oleh laki-laki
tinggi kurus. Tanpa pikir panjang lagi, Wilarni
bergegas berlari untuk menolong
anaknya. Kedua tangannya terulur
mencengkeram rambut kepala orang itu.
Seketika ditariknya sekuat tenaga
rambut orang berbaju hitam, sehingga
terdongak dan berteriak kesakitan.
Bukan main marahnya orang itu
karena kesenangannya merasa terganggu.
Secepat kilat tubuhnya berbalik sambil
meiayangkan sebuah tamparan keras.
Mungkin karena rasa marah yang
menggelegak, membuat orang itu tidak
sadar kalau yang ditamparnya hanyalah
seorang wanita lembut.
Plakkk! Wilarni tidak sempat lagi
berteriak. Tubuh wanita malang itu
terpelanting dan tewas seketika.
Tulang tengkorak kepalanya retak
akibat tamparan yang mengandung tenaga
sakti itu. Tanpa mempedulikan keadaan
Wilarni, orang itu kembali meneruskan
niat bejadnya yang belum terlaksana
tadi. Sambil menyeringai buas kembali
diterkamnya tubuh gadis malang itu.
"Ibu...!" Suntini berteriak serak ketika menyak-sikan tubuh ibunya
terkapar. Gadis itu tidak tahu, apakah
ibunya telah tewas atau hanya sekadar
pingsan saja. Secara sepintas terlihat
ada genangan darah di sekitar kepala
ibunya. Gadis itu merasakan dunia di
sekitarnya menjadi gelap.
Dia menyesali dirinya, mengapa
tidak jatuh pingsan saja agar tidak
merasakan penderitaan yang dialami
sekarang ini Namun sebelum kejadian yang
mengerikan itu sempat menimpa diri
Suntini, tiba-tiba sebuah tangan
meraba leher baju laki-laki tinggi
kurus itu. Tidak sampai di situ saja.
Sebelum laki-laki itu sempat
menyadari, tubuhnya telah terangkat
dan terlempar sejauh dua tombak.
Blug! Tubuh laki-laki tinggi kurus itu
terbanting ningga menimbulkan suara
berdebuk keras. Dia menyeringai
menahan sakit karena tubuhnya yang
miskih daging itu terbentur batu-batu
yang bertonjolan.
Panji bergegas menghampiri
Suntini untuk membebaskan pengaruh
totokan yang bersarang di beberapa
bagian tubuhnya.
"Kurang ajar! Siapa orang yang
begitu berani mati mengganggu
kesenangan Setan Kapak Baja?" teriak si tinggi kurus murka.
Saking marahnya orang itu sampai
menyebutkan julukan yang seharusnya
dirahasiakan itu. Tapi begitu melihat
di sekelilingnya tidak ada orang lain
kecuali seorang pemuda tampan
berpakaian serba putih, hatinya
menjadi lega. Orang yang melemparkan tubuh
Setan Kapak Baja itu memang Pendekar
Naga Putih. Pemuda tampan itu berdiri
tegak membelakangi tubuh Suntini yang


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlebih, karena keadaan tubuh gadis
itu sudah tidak karuan.
"Di dalam buntalan itu ada
beberapa pakaian yang masih bersih.
Gantilah pakaianmu, Nini. Hhh....
Rupanya aku teriambat," kata Panji
sambil melemparkan buntalan pakaiannya
ke arah gadis itu. Wajah pemuda tampan
itu mendadak buram ketika melihat
beberapa sosok mayat nampak tergolek
di sekitar tempat itu.
"Terima kasih...," ucap Suntini lemah karena hatinya masih terguncang
akibat kejadian tadi.
Setelah berkata, gadis itu
bergegas masuk ke dalam tenda untuk
menukar pakaiannya.
Sementara Panji mengarahkan
pandangannya ke orang tinggi kurus
yang saat itu juga tengah menatapnya.
Sepasang mata pemuda tampan itu
mencorong tajam bagai mata seekor naga
yang sedang marah.
*** 7 "Kaukah yang telah melemparkan
tubuhku, Anak Muda?" tanya Setan Kapak Baja ragu, ingin ketegasan. Ia masih
belum mempercayai kalau pemuda itu
yang telah melakukan perbuatan tadi.
"Hm.... Apa yang tengah melanda
dunia persilatan saat ini, sehingga
banyak sekali orang berpakaian hitam
yang melakukan kejahatan. Entah apa
yang diinginkan?" kata Panji seolah-olah berkata pada dirinya sendiri.
Wajahnya yang bersih dan tampan itu
ditengadahkan ke langit, seakan-akan
ingin mencari jawaban atas pertanyaan
itu. Setan Kapak Baja menggereng
ketika pertanyaannya tidak mendapat
sambutan seperti yang diharapkan.
Wajahnya berubah seketika. Dicabutnya
kapak baja yang terselip di pinggang.
Seketika terdengar suara angin yang
menderu-deru ketika Setan Kapak Baja
memutar-mutar senjatanya.
Dikerahkannya seluruh kekuatan tenaga
dalam yang dimilikinya.
Wrrr! Wrrr! "Mintalah kepada arwah leluhurmu,
agar-kematianmu tak terlalu menderita,
Anak Muda," geram orang tinggi kurus itu mengejek. Begitu ucapannya
selesai, tubuh orang itu melesat cepat
ke arah Panji. "Hm...," Panji hanya bergumam
pelahan melihat serangan lawan. Dan
begitu serangan lawannya tiba,
tubuhnya bergerak menghindar ke arah
kari sambil melepaskan sebuah
tendangan kilat.
Wusss! Setan Kapak Baja mengegoskan
tubuhnya sehingga tendangan kaki
pemuda itu hanya menghantam angin.
Perhitungan Panji rupanya cukup
matang. Secepat lawannya menghindar,
secepat itu pula kakinya menekuk untuk
kemudian meluncur deras ke arah lutut
lawan. Namun Setan Kapak Baja cepat
melompat Derrr! Tanah di sekitar tempat itu
bergetar ketika telapak kaki Panji
yang bertenaga dalam tinggi itu
menghantam tanah.
"Gila!" desis orang tinggi kurus itu.
Sama sekali tidak disangka kalau
tenaga dalam a-nak muda yang terlihat
lemah lembut itu sedemikian hebatnya.
Kini barulah Setan Kapak Baja merasa
yakin kalau yang melemparkan tubuhnya
itu adalah pemuda itu.
"Huh! Kali ini aku tidak akan
main-main lagi! Nah, sambutlah jurus
'Kapak Setan Pembelah Sukma' ku ini!
Yeaaattt...!" diiringi teriakannya
yang menggetarkan dada, tubuh orang
itu meluruk bagai elang yang tengah
memburu mangsa.
Melihat lawan telah mulai
mengeluarkan jurus-jurus maut sepasang
tangan Panji segera membentuk cakar
naga. Dan pengerahan tenaga saktinya
langsung mengalir, membentuk selapis
kabut bersinar putih keperakan yang
menyelimuti tubuhnya. Rupanya pendekar
muda itu telah mengerahkan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' yang dahsyat itu.
Kali ini Panji tidak lagi
menunggu datangnya serangan. Tubuh
pemuda itu sudah melesat memapak
serangan lawannya. Keduanya segera
terlibat dalam sebuah pertarungan
sengit! Setan Kapak Baja rupanya sudah
benar-benar kalap. Kapaknya yang besar
dan berat itu berdesingan bagaikan
suara ratusan ekor lebah marah,
mengancam tubuh lawan. Orang tinggi
kurus itu benar-benar bertekad untuk
mencincang tubuh Panji
Sedangkan Panji sendiri yang
sudah mengeluarkan 'Ilmu Naga Putih'
berkelebat di antara sambaran senjata
lawaa Namun sampai sejauh itu, dia
belum melontarkan sebuah pukulan
berarti. Pendekar Naga Putih hanya
sesekali membalas apabila keadaannya
mulai terdesak, karena tengah mencari-
cari kelemahan pertahanan lawan.
Pada jurus yang kedua puluh
empat, mata pemuda itu telah menangkap
ruangan kosong dalam pertahanan
lawannya. Secepat kilat tangannya
bergerak melakukan pukulan. Tentu saja
lawannya yang tidak menduga gerakan
pemuda itu menjadi terkejut setengah
mati. Kecepatan pukulan itu hampir
tidak dapat ditangkap matanya.
Sehingga.... Desss! "Ouggghhh...!"
Orang tinggi kurus itu berteriak
ngeri ketika hantaman telapak tangan
Panji bersarang di dadanya. Seketika
darah segar menyembur dari mulutnya.
Derrr! Sebatang pohon sebesar pelukan
orang dewasa berderak keras ketika
tubuh Setan Kapak Baja menabraknya.
Setelah bergoyang-goyang sesaat, pohon
itu tumbang menimbulkan suara gemuruh.
Sedangkan Setan Kapak Baja sendiri
tengah meringkuk di bawah pohon itu
bagaikan orang yang terserang demam.
"Kau... kau Pendekar Naga
Putihhh...!" desah Setan Kapak Baja terputus-putus. Setelah mengakhiri
kata-katanya, napasnya pun putus,
karena pukulan Panji telah
menghancurkan dadanya.
Suntini yang menyaksikan
pertempuran yang berlangsung tadi
terbelalak kagum. Apalagi ketika
melihat pemuda penolongnya itu
ternyata dapat menyudahi perlawanan si
tinggi kurus yang hampir-hampir
merenggut kehormatannya. Bergegas
gadis cantik itu berlari menghampiri
Panji yang tengah menatap mayat
lawannya itu. 'Terima kasih atas pertolonganmu
ini, Kisanak. Entah bagaimana aku
harus membalasnya kelak," ucap Suntini sambil membungkuk hormat kepada pemuda
penolongnya itu.
"Ah! Sudahlah, Nini. Memang sudah
menjadi kewajiban kita untuk saling
menolong. Hari ini aku telah
menolongmu. Siapa tahu di hari lain,
kau yang menolongku," sahut Panji
tersenyum. "Ohhh...," tiba-tiba terdengar suara erangan lirih. Panji dan Suntini
cepat menolehkan kepalanya ke arah
suara itu berasal. Mata mereka
berputar mengawasi daerah sekitarnya,
kemudian bergegas melangkah ketika
melihat sesosok tubuh tengah berusaha
bangkit. Tangan sosok tubuh itu
menggapai-gapai seolah-olah mencari
pegangan. "Eyang...!" seru Suntini ketika mereka telah berada di tempat Ki Gala
Rengat tergolek Kakek pengemis itu
berusaha tersenyum. Tapi ternyata yang
tampak adalah sebuah seringai
kesakitan. "Uhuk... uhukkk..!" Ki Gala
Rengat kembali terbatuk-batuk. Darah
pun kembali menetes dari bibir, namun
ia masih juga mencoba bangkit.
Melihat keadaan Ki Gala Rengat,
Panji bergerak cepat. Segera
diperiksanya tubuh kakek itu. Setelah
beberapa saat kemudian, pemuda itu pun
bangkit berdiri. Dihelanya napas
berulang-ulang.
"Kakek ini rupanya mengalami luka
yang cukup parah. Untunglah daya tahan
tubuhnya sangat kuat, sehingga tidak
sampai tewas karenanya," jelas Panji kepada Suntini pelan.
"Apakah ia dapat disembuhkan,
Kisanak?" tanya gadis itu penuh harap.
Karena sekarang, hanya kakek pengemis
itulah yang dikenal dan mungkin dapat
dipercayainya. Tiba-tiba Panji menolehkan kepala
dengan sikap waspada. Pendengarannya
yang tajam itu menangkap suara
mencurigakan yang tak jauh di
sampingnya. Bagaikan seekor burung
besar, tubuh pemuda itu melesat
menghampiri sosok tubuh lain yang
tampak mulai bergerak.
Suntini yang ikut menoleh ke arah
yang sama dengan pemuda itu, sempat
dilipurj ketegangan. Sebab, sosok
tubuh yang tengah bergerak-gerak itu
tak lain adalah kakaknya. Seketika itu
juga hatinya berdebar cepat. Secercah
harapan tampak terpancar di wajahnya.
"Kakang Shindura...!" desah gadis itu serak ketika sudah tiba di dekat
sosok tubuh itu. Tanpa ragu-ragu lagi,
gadis itu pun langsung berjongkok di
samping Panji yang saat itu tengah
memeriksa kakaknya.
Suntini memperhatikan jari-jari
tangan pemuda penolongnya yang tengah
melakukan pijatan dan totokan pada
tubuh kakaknya. Jari-jari tangan
pemuda itu bergerak lincah di atas
tubuh yang tergolek lemah. Sesekali
tampak jari tangan pemuda itu
menegang, dan di lain saat kembali
lemas bagaikan tak bertulang. Diam-
diam hati Suntini mengagumi gerakan
tangan pemuda penolongnya itu.
"Hm.... Pemuda ini sepertinya
seorang ahli pengobatan" Ah... siapa
tahu saja ia dapat menyelamatkan
Kakang Shindura dan Eyang Gala," kata hari gadis itu sambil menatap pemuda
di sampingnya penuh ke-kagumam.
"Nampaknya luka yang diderita
pemuda ini tidak terlalu parah.
Kakakmukah dia?" tanya Panji sambil lalu.
Setelah berkata demikian, Panji
mengangkat tubuh Shindura dan
membawanya masuk ke dalam tenda.
"Apakah dia dapat disembuhkan?"
Suntini rupanya tidak begitu mendengar
perkataan Panji karena alam pikirannya
tengah melayang.


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita lihat saja nanti," sahut Panji tanpa menolehkan kepalanya.
Setelah meletakkan tubuh
Shindura, Panji kembali melangkah
keluar dan memondong tubuh Ki Gala Re-
ngat. Kakek pengemis itu pun
dibaringkannya di dekat tubuh
Shindura. "Ohhh.... Siapakah kau, Anak
Muda?" tanya Pengemis Aneh Tongkat
Sakti sambil mencoba bangkit.
"Sudahlah, Kek. Jangan terlalu
banyak bergerak dulu. Biar kuobati
dulu," sahut Panji mencegah Ki Gala Rengat bangkit Kemudian di masukkannya
sebutir obat ke dalam mulut kakek itu.
Hal itu pun dilakukan juga terhadap
Shindura yang hanya dapat memandang
bingung. "Sekarang, tidurlah dulu dan
jangan pikirkan yang lain-lain," ujar Panji lagi. Dalam nada suaranya
tersirat ketegasan yang tak ingin
dibantah lagi. Setelah berkata demikian, Panji
melangkah keluar tenda.
*** "Dia ibumu?" tanya Panji yang
tahu-tahu saja telah berada di samping
Suntini. Pendekar Naga Putih mendapati
gadis itu tengah . terisak sambil
memeluk sesosok tubuh wanita yang te-
lah menjadi mayat Panji menatap wajah
mayat itu serta mencoba mengingat-
ingatnya. "Eh, bukankah ia adalah wanita
yang kutolong dua hari yang Ialu?"
tanya Panji dalam hati ketika teringat
kejadian dua hari yang lalu di dalam
hutan. Suntini mengangkat wajahnya
menatap wajah penolongnya itu. Gadis
itu hanya mengangguk lemas menjawab
pertanyaan Panji. Sesaat kemudian,
tatapannya dialihkannya kembali.
Diciuminya wajah ibunya yang telah
mulai membeku itu.
"Sudahlah, Nini. Lebih baik kita
kuburkan mayat ibumu itu," bujuk
Pendekar Naga Putih lembut.
Disentuhnya jari-jari tangan gadis
itu, lalu dianggukkannya kepalanya
ketika gadis itu menoleh. Dan ketika
Suntini bangkit berdiri, Panji segera
mengangkat tubuh mayat Wilarni untuk
segera dikuburkan.
"Sebenamya apakah yang sudah
terjadi, Nini?" sebdik Panji. Ketika mereka duduk berdampingan di atas
sebuah batu yang cukup besar. Rupanya
ia telah selesai menguburkan semua
mayat-mayat yang berserakan tadi.
"Panggil aku, Suntini saja,"
pinta gadis itu yang merasa kurang
enak mendengar sebutan Nini
yang diucapkan penolongnya itu. Dan dengan
wajah sungguh-sungguh, Pendekar Naga
Putih mendengarkan cerita gadis yang
bernama Suntini itu.
"Ah! Betapa buruknya sifat
manusia sampai-sampai rela membunuh
sesama hanya karena soal harta," desah Panji sambil menengadahkan wajahnya
menatap langit biru. "Apakah kau tidak keberatan kalau aku menemanimu sampai
dua orang itu benar-benar sembuh?"
'Tentu saja tidak, Kakang Panji.
Memang sebenar-nya aku mengharapkan
demikian," jawab Suntini tersenyum
malu. "Nah! Sekarang, kau temanilah
mereka. Siapa tahu mereka memerlukan
kehadiranmu," pinta pemuda itu lagi.
Setelah termenung sejenak,
Suntini pun melangkah meninggalkan
Panji yang hanya dapat menatap
punggung gadis itu.
"Hhh... seorang gadis malang,"
desah pemuda itu iba.
Matahari semakin naik tinggi.
Hembusan angin yang bersilir lembut
mengusap wajah Pendekar Naga Putih
yang tengah termenung sendiri. Sekilas
terbayang wajah kekasihnya yang tidak
diketahui berada di mana. Dihelanya
napas berulang-ulang untuk
menghilangkan rasa nyeri di dalam
dada. *** Dua hari sudah Pendekar Naga
Putih menunggui dan mengobati Shindura
dan Ki Gala Rengat. Tampaknya usaha
pemuda itu tidak sia-sia. Buktinya
kesehatan Shindura dan Ki Gala Rengat
tampak mulai membaik. Kedua orang itu
hanya tinggal memulihkan tenaganya
saja. Sedangkan luka-luka yang
diderita sudah hilang karena
kemanjuran obat yang diberikan Panji.
Malam itu adalah malam ke tiga
semenjak Panji berada di tempat itu.
Pendekar Naga Putih tampak tengah
berjalan-jalan memeriksa daerah di sekitarnya karena Ki Gala Rengat dan
Shindura tengah melakukan semadi untuk
memulihkan tenaga. Tiba-tiba, tiga.
sosok-bayangan hitam berkelebat cepat
menuju ke arah tenda.
"Hei! Berhenti!" teriak Panji
sambil melesat menghadang lari mereka.
Sekali lompat saja tubuh pemuda itu
telah berdiri tegak di hadapan tiga
sosok bayangan yang mencurigakan itu.
"Minggirlah kau, Anak Muda!
Jangan coba-coba mencampuri urusan
kami!" bentak salah seorang dari
mereka. Orang itu bertubuh tinggi
besar dan bersenjatakan sebatang toya.
Sambil berkata demikian, orang
itu mengibaskan toyanya seperti hendak
mengusir Panji.
"Hm...," pemuda itu bergumam tak jelas ketika merasakan hembusan angin
keras menyertai kibasan toya si tinggi
besar. Kiranya, kibasan toya itu
merupakan serangan tersembunyi.
Panji cepat mengerahkan tenaga
dalamnya sehingga daya dorong yang
ditimbulkan kibasan toya itu tertahan
untuk beberapa saat lamanya. Lalu
tubuhnya membungkuk bagaikan orang
yang memberi hormat. Serangkum angin
keras yang berhawa dingin menebar
mendorong balik tenaga lawannya.
"Ehhh..,! Orang bertubuh tinggi besar itu
tersentak kaget ketika merasakan
tenaganya terhimpit tenaga pemuda itu
yang mengandung hawa dingin. Tubuh
orang itu mulai menggigil ketika hawa
dingin dari tenaga lawannya merasuk ke
dalam tubuhnya. Akibatnya, tubuhnya
terdorong beberapa Iangkah ke
belakang. . "Sssiapa... kau, Anak
Muda?" tanya si tinggi besar sambil menatap penuh selidik setelah berhasil
membebaskan dirinya dari hawa dingin
yang mempengaruhinya. Rupanya mata
orang itu mulai terbuka ketika
merasakan kekuatan tenaga dalam pemuda
itu. "Hm... siapa aku, itu bukan
urusanmu. Sebaiknya, akulah yang
bertanya. Siapakah kalian"! Dan apa
maksud kalian mendatangi tempat ini"!"
sahut Panji tegas, disertai tatapan
tajam sepasang matanya.
"Gila! Apakah mungkin Anak Muda
itu memiliki tenaga sakti yang tinggi"
Padahal kalau melihat usianya paling
sekitar dua puluh atau dua puluh satu
tahun!" kata hari seorang kakek yang bertubuh kecil kurus ketika matanya
sempat bentrok dengan sepasang mata
Panji yang menggetarkan hatinya. Orang
itu tak lain adalah Raja Maut Tangan
Sakti yang telah melukai Ki Gala
Rengat pada tiga hari yang lalu.
"Kakang, Panji! Mereka adalah
orang-orang yang telah melukai Kakang
Shindura dan Eyang Gala Rengat," tiba-tiba terdengar sebuah suara nyaring
seorang gadis. Panji menolehkan
kepalanya ketika melihat Suntini
berlari mendatangi.
"Nini! Sebaiknya, cepat serahkan
peta harta itu sebelum aku benar-benar
hilang kesabaran!" seru Raja Maut
Tangan Sakti menggeram.
"Huh! Apa kalian tidak tahu kalau
peta harta itu sudah dilarikan
pamanku. Sia-sia saja kedatangan ka-
lian!" sahut Suntini tak kalah gertak.
Diam-diam hati gadis itu menjadi
lega ketika mendengar pertanyaan itu.
Sebab dengan demikian, berarti
pamannya tidak berhasil mereka kejar.
Dan ke mungkinan besar, keselamatan
pamannya tidak terganggu.
"Bangsat Kecil! Rupanya kau ingin
menipu kami! Peta yang berada dalam
gagang pedangmu yang dibawa pamanmu
itu palsu!" bentak si tinggi besar
galak. Sambil berkata demikian
dilemparkan pedang yang direbutnya
dari tangan Pendekar Pedang Kilat itu.
"Ohhh...."
Suntini menjerit tertahan ketika
melihat pedang itu. Karena, itu
berarti pamannya kemungkinan telah
tewas. Cepat-cepat disambarnya pedang
yang dilemparkan orang tinggi besar
itu. Ditelitinya pedang yang telah
dicopot dari gagangnya itu. Sebentar
kemudian dikeluarkannya segulung kulit
binatang dari dalam gagang pedang itu.
Setelah diamati sejenak, gadis itu
menjadi heran ketika mendapati kalau
peta harta itu ternyata palsu. Karena,
jelas sekali kalau gambar-gambar yang
tertera di dalam belum lama dibuatnya.
Bahkan tintanya masih terlihat baru.
Tentu saja hal ini amat mengherankan
hati Suntini. "Mengapa kalian tidak tanyakan
saja kepada pamanku itu. Barangkali
saja ia telah menggantinya," ujar
Suntini lagi. Diam-diam hati gadis itu
lega atas kecerdikan pamannya. Dan dia
masih berharap pamannya tidak tewas!
"Tidak mungkin!" si tinggi besar menghardik. "Kalau peta harta itu
tidak kami dapatkan, seluruh
keluargamu harus kubunuh!" begitu
ucapannya selesai, orang tinggi besar
itu langsung melompat dengan kibasan
toya yang menderu.
"Kau menyingkirlah dulu, Adik
Suntini," ujar Panji 'sambil bersiap menyambut serangan lawan.
Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar
Naga Putih berkelebat memapak serangan
toya si tinggi besar. Selapis kabut
bersinar putih keperakan telah
mengelilingi tubuhnya. Rupanya Panji
sudah mengerahkan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' nya yang dahsyat itu.
Krakkk! "Aaahkkk...!"
Terdengar suara benda patah
ketika telapak tangan Panji yang
membentuk cakar naga menyampok toya
yang meluncur ke arah kepalanya. Dan


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang toya itu patah menjadi tiga
bagian. Sementara, tubuh si tinggi
besar terdorong ke belakang dibarengi
teriakan kagetnya. Namun dengan sebuah
gerakan indah, tubuhnya segera
berputar melakukan salto tiga kali,
dan jatuh di belakang dua orang
kawannya. "Gila! Pantas saja tenaga Anak
Muda itu sedemikian hebatnya! Kiranya
dialah yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, dan telah menggemparkan dunia
persilatan dewasa ini!" ucap si tinggi besar terengah-engah.
Raja Maut Tangan Sakti yang juga
telah dapat mengenali anak muda itu
sempat terkejut Ditatapnya wajah Panji
lekat-lekat "Hm... Pendekar Naga Putih.
Perbuatanmu yang telah mencampuri
urusan kami ini akan kau bayar mahal!
Tahukah kau kalau saat ini tengah
berhadapan dengan tokoh-tokoh Partai
Lima Unsur" Akibat perbuatanmu, maka
harus kau bayar dengan kematian!"
ancam orang tua kecil kurus itu
menakut-nakuti Panji.
Kakek itu terpaksa menyebutkan
nama partainya. Dia bermaksud agar
pemuda itu menjadi gentar dan tidak
melanjutkan campur tangannya. Memang,
nama Partai Lima Unsur sangat ditakuti
kaum rimba persilatan. Tak peduli
golongan hitam ataupun golongan putih.
Apalagi, tidak seorang tokoh pun yang
mengetahui, masuk golongan mana
sebenarnya partai itu berpihak. Sebab,
seluruh anggota partai itu hampir
tidak pernah berhubungan dengan dunia
luar. "Hm.... Apakah dengan menggunakan
nama partai itu lalu aku menjadi
takut" Jangan harap, Kakek Tua. Selama
kau masih hidup, aku akan selalu
menentang setiap kejahatan. Tak peduli
siapa pun yang melakukannya!" sahut Panji tegas. "Nah, mulailah! Jangan hanya
berbicara saja!"
"Bangsat! Rupanya kau belum
mengenal Raja Maut Tangan Sakti, Anak
Sombong! Nah, rasakanlah! Yeaaattt..!"
Diiringi teriakan nyaring, tubuh
kakek kurus itu melesat bagaikan kilat
yang menyambar di angkasa. Kedua
tangannya terjulur ke depan, mengarah
dada dan kepala Pendekar Naga Putih.
Panji pun tak ingin berbuat ayal-
ayalan lagi. Sesaat kemudian, segera
disedot udara banyak-banyak Terdengar
suara berkerotokan ketika tenaga
saktinya mengalir ke seluruh tubuhnya.
Sambil berteriak keras, tubuh pemuda
itu segera melesat menyambut serangan
lawan. Blarrr! Tubuh keduanya terlempar balik
ketika sepasang tangan mereka saling
berbenturan di udara. Tanah di sekitar
tempat itu bagaikan diguncang gempa
sesaat. Suara ledakan keras yang
ditimbulkan oleh pertempuran sepasang
dua tangan bertenaga dalam tinggi,
cukup membuat yang lainnya tersentak
mundur beberapa langkah ke belakang.
Raja Maut Tangan Sakti jatuh
bergulingan di atas tanah. Seketika
darah segar menetes dari celah-celah
bibimya. Cepat kakek kecil kurus itu
menjatuhkan dirinya bersemadi. Dia
harus cepat menenangkan guncangan
dalam dada agar tidak menimbulkan luka
dalam yang parah.
Sedangkan Pendekar Naga Putih
dapat mendaratkan kakinya di atas
tanah tanpa menderita luka sedikit
pun. Pemuda itu hanya memejamkan kedua
matanya sekejap, karena benturan tadi
sempat mengguncangkan dadanya. Mau
tidak mau harus diakui kehebatan
tenaga dalam kakek kecil kurus yang
berjuluk Raja Maut Tangan Sakti itu.
*** 8 Melihat keadaan itu, dua orang
kawan Raja Maut Tangan Sakti serentak
melompat menerjang Panji. Sadar kalau
pemuda itu memiliki kepandaian tinggi,
maka mereka kini mengerahkan seluruh
tenaga dalam nya setinggi mungkin.
Panji yang sudah dapat meredakan
debaran dalam dadanya, bergerak gesit
menghindari serangan dua orang itu.
Sesaat kemudian, mereka sudah terlibat
pertarungan sengit!
Orang berpakaian hitam yang
bertubuh tinggi besar itu melancarkan
serangan lewat jurus-jurus tangan
kosong. Karena, toya yang menjadi
senjata andalannya telah patah oleh
pemuda itu. Tapi, jangan dianggap
enteng jurus-jurus tangan kosongnya.
Angin pukulan yang berkesiutan itu
menandakan kalau tenaga dalam yang
terkandung sangatlah hebat, sehingga
cukup membuat Panji berhati-hati.
Sedangkan seorang lagi yang
bertubuh sedang, menggunakan sebatang
pedang yang cukup ampuh. Senjata itu
berkelebat bagaikan kilat menyambar-
nyambar di angkasa. Benar-benar
seorang lawan yang cukup berbahaya!
Tubuh Panji berkelebat menyelinap
di antara sambaran pedang dan pukulan
dua orang lawannya itu. Gerakan pemuda
itu demikian cepat tak ubahnya seekor
burung walet yang menyambar-nyambar.
Sehingga sampai puluhan jurus lamanya,
kedua serangan lawan belum juga dapat
menyentuh tubuhnya. Tentu saja hal itu
membuat dua orang itu semakin
penasaran. "Hiaaattt..!"
Si tinggi besar berteriak
mengguntur sambil melancarkan sebuah
pukulan maut! Sepasang tangannya yang
membentuk kepalan bergetar cepat
melancarkan serangan bertubi-tubi.
Panji yang telah mengetahui sampai di
mana tenaga si tinggi besar itu, tidak
segera menghindar. Malah sebaliknya,
pemuda itu menggerakkan tangannya
menangkis serangan.
Dukkk! "Uhhh...!"
Tubuh si tinggi besar terpental
ke belakang disertai pekikan kaget.
Hawa dingin yang menyelusup ke dalam
tubuh membuatnya menggigil bagai
terserang demam hebat. Kedua tulang
lengannya terasa remuk akibat
tangkisan tangan Pendekar Naga Putih.
Darah menetes pelahan di sela
bibirnya. Panji tidak ingin bertindak
kepalang tanggung. Secepat kilat
tubuhnya kembali meluncur untuk
menghabisi lawannya. Sedang, si tinggi
besar hanya dapat membelalakkan
matanya menanti datangnya sang maut.
Namun sebelum pemuda
itu sempat melaksanakan niatnya, terdengar suara
berdesing tajam. Ternyata, suara itu
berasal dari sambaran pedang di tangan
lawan yang seorang lagi. Terpaksa
Pendekar Naga Putih menunda
serangannya, dan bergegas memutar
tubuh menghindari sambaran pedang itu.
Bukan itu saja. Sambil berputar segera
dilontarkan kedua belah tangannya
dalam posisi terayun dari bawah ke
atas. Brettt! Brettt!
"Aaarghhh...!"
Orang itu meraung ketika sepasang
cakar naga Pendekar Naga Putih merobek
perut dan dadanya. Tanpa dapat dicegah
lagi tubuh orang itu terlempar bagai
sehelai daun kering. Darah segar
langsung muncrat dari mulutnya.
Tubuhnya terbanting ke atas tanah
sambil menggeliat menahan hawa dingin
dan rasa sakit yang tak terkira.
Sesaat kemudian, tubuhnya diam tak
bergerak lagi. Untung saja bagian
dadanya yang terlihat turun naik,
menandakan kalau dia tidak mati dan
hanya tergeletak pingsan.
Begitu melihat lawannya terkapar,
Pendekar Naga Putih kembali menoleh ke
arah si tinggi besar. Tampak orang itu
masih berusaha melepaskan pengaruh
hawa dingin akibat pukulannya tadi.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,
pemuda itu pun kembali menerjang ke
arah lawannya itu.
"Heaaattt..!"
Tubuh Panji meluruk cepat bagai
sesosok bayangan hantu yang menyambar
mangsa. Pada saat lain melesat sesosok
bayangan menyongsong serangan pemuda
itu. Sepasang tangan bayangan itu
melakukan pukulan bertubi-tubi ke arah
tubuh Panji. Tapi pemuda ita tetap
saja meneruskan serangannya ke arah si
tinggi besar. Sedangkan pukulan sosok
bayangan itu dihalau dengan kibasan
tangan kanannya.
Desss! "Aaahhhklk...!"
Prattt! Tubuh si tinggi besar terlempar
keras ketika pelipisnya terhantam
sambaran tangan Panji. Tubuhnya
melintir bagaikan sebuah gangsing.
Tampak dari pelipisnya mengalir darah
segar. Si tinggi besar ambruk ke atas
tanah dan tewas seketika, karena
tengkorak kepalanya retak akibat
kuatnya hantaman pemuda itu.
*** Sedang sosok bayangan yang
meluruk ke arah pemuda itu terpental
balik akibat kibasan tangan Pendekar
Naga Putih. Dua gelombang tenaga sakti
yang saling berbenturan di udara itu
menimbulkan ledakan keras! Namun sosok
bayangan yang kecil kurus itu cepat
melakukan salto beberapa kali,
sehingga tubuhnya tidak sampai
terbanting ke atas tanah. Meskipun
begitu, tetap saja tubuhnya limbung.
Tampak darah segar menetes dari sela
bibirnya. Rupanya luka dalam si kecil
kurus yang berjuluk Raja Maut Tangan
Sakti itu kembali kambuh akibat
kibasan tangan pemuda itu yang
mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'. Dan ternyata Panji pun mengalami
kerugian pula. Posisinya yang tidak
menguntungkan karena harus
memecah tenaga, membuat tubuh pemuda itu
terpental akibat berbenturan dengan
pukulan Raja Maut Tangan Sakti. Pemuda
itu cepat melakukan salto di udara.
Meski agak terhuyung, namun tubuhnya
tidak sampai terbanting ke atas tanah.
Pemuda itu cepat melakukan beberapa


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerakan untuk mengusir getaran dalam
tubuh akibat benturan tadi.
"Kau benar-benar seorang pendekar
pilih tanding, Pendekar Naga Putih!"
puji Raja Maut Tangan Sakti sejujumya.
Napas kakek kecil kurus itu masih agak
memburu. Sementara kedua tangannya
masih tetap menekap dadanya yang
terguncang. "Hm...," Panji hanya bergumam
mendengar ucapan lawannya itu.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih
mengawasi lawan yang juga tengah
menatap ke arahnya. Untuk beberapa
saat lamanya, kedua orang sakti itu
saling berpandangan tanpa mengucapkan
sepatah kata pun.
"Sebaiknya, cepat tinggalkan
tempat ini sebelum aku berubah
pikiran, Kakek Tua!" tegas Panji tiba-tiba ketika melihat lawannya hanya
berdiri menatapnya. Sepertinya kakek
kecil kurus itu tidak mampu lagi untuk
melanjutkan pertarungan.
"Huh! Pantang bagiku untuk mundur
sebelum tubuhku terkapar menjadi
mayat!" sahut Raja Maut Tangan Sakti gusar.
Kakek yang selama ini ditakuti
kaum rimba persilatan, tentu saja
tidak sudi diampuni dengan cara se-
perri itu. Karena, hal itu akan
menjadi bahan tertawaan kaum rimba
persilatan saja.
"Mari kita lanjutkan permainan
kita! Aku tak akan menyerah sebelum
salah seorang di antara kita
tergeletak menjadi mayat!"
Panji tegak tak bergeming
meskipun lawannya telah bersiap uhtuk
melanjutkan pertarungan. Pemuda itu
hanya menggeser kuda-kudanya sedikit,
ketika kakek kecil kurus itu melompat
sambil melontarkan sebuah pukulan ke
arah dada. Melihat pukulannya tak
membawa hasil, kakek itu segera
mengayunkan kakinya menyapu kaki
lawan, disusul sebuah bacokan sisi
telapak tangan miring ke arah leher.
Pendekar Naga Putih terpaksa
melempar tubuhnya ke belakang dan
melakukan salto. Pada saat kedua
kakinya baru menginjak tanah, sebuah
pukulan berantai sudah menyambutnya.
Cepat-cepat digeser kaki ke belakang
secara bergantian sambil melakukan
tangkisan untuk menghalau pukulan yang
datang bertubi-tubi. Tiba-tiba secara
mendadak tubuh Panji berputar sambil
melepaskan pukulan ke lambung kakek
kecil kurus itu.
Desss! "Hukkk...!"
Raja Maut Tangan Sakti
terpelanting keras! Darah segar
langsung, menyembur deras. Kakek itu
terjerembab di atas tanah. Seluruh
tubuhnya bergetar karena hawa dingin
yang hebat menelusup ke dalam tubuh-
nya. Setelah memuntahkan segumpal
darah yang agak kental, tubuh kakek
itu pun meregang nyawa. Dia mati
akibat pukulan yang dilontarkan
Pendekar Naga Putih tadi. Raja Maut
Tangan Sakti terpaksa harus rela
menyerahkan nyawanya di tangan
Pendekar Naga Putih.
"Kau tidak apa-apa, Kakang
Panji?" tanya Suntini sambil berlari setelah pertempuran berakhir. Gadis
itu keluar dari tempat
persembunyiannya, karena me mang tak
mungkin membantu Pendekar Naga Putih.
"Adik Suntini! Rupanya Tuhan
masih melindungi diriku," sahut pemuda itu tanpa ingin menonjolkan
kepandaiannya. "Apa yang terjadi, Saudara
Panji...?" tiba-tiba dari arah tenda dua sosok tubuh berlari mendatangi.
Dua orang yang tak lain Shindura
dan Ki Gala Rengat itu terkejut
melihat tiga orang berseragam hitam
telah tergeletak di tempat itu. Mereka
menatapi pemuda tampan itu dengan
wajah bingung. Rasanya mereka belum
dapat mempercayai kalau mayat-mayat
orang berseragam hitam itu adalah
hasil pekerjaan pemuda itu.
Belum sempat Panji menjawab
pertanyaan itu, tiba-tiba mereka
dikejutkan jerit tertahan Suntini.
Ketiga orang lainnya bergegas menoleh
ke arah yang ditunjuk gadis itu. Maka
mereka pun bergegas menghampiri
sesosok tubuh berpakaian hitam yang
tampak bergerak-gerak.
Shindura, Suntini dan Ki Gala
Rengat menatap tajam sosok tubuh gagah
yang mengenakan pakaian hitam itu.
Alis mereka berkerut seolah-olah
tengah berpikir keras. Sesaat
kemudian, tiba-tiba saja tangan
Shindura terulur melepaskan kain hitam
yang menu-tupi wajah orang itu.
"Paman Gatar...!" seru ketiganya tersentak mun-duf dengan wajah pucat!
Shindura, Suntini dan Ki Gala Rengat
mengerjap-ngerjapkan matanya untuk
memastikan kalau yang dilihamya itu
bukan kenyataan. Meskipun mereka
berusaha untuk tidak mempercayainya,
tapi wajah sosok tubuh yang tergeletak
itu tetap tidak berubah. Itu adalah
wajah Gatar atau Pendekar Pedang
Kilat! "Paman, mengapa Paman...?" tegur Shindura sambil bersimpuh di sisi
tubuh pamannya yang tergeletak tak
berdaya itu. Sepasang mata anak muda
itu menatap sayu menuntut jawaban
pamannya. Perbuatan itu diikuti oleh
yang lainnya. Gatar memandangi empat pasang
mata yang tengah menatapnya. Sinar
mata pendekar itu seolah-olah penuh
permohonan maaf. Ketika mulut pendekar
itu bergerak, terdengar suara
mengorok. Tak sepatah kata pun yang
terlontar dari mulutnya, kecuali darah
segar yang mengalir deras. Rupanya
tubuh pendekar itu benar-benar telah
terluka dalam sehingga darah telah
menyumbat kerongkongannya.
Panji bergegas menotok jalan-
jalan darah yang menuju ke leher untuk
menghambat aliran darah itu sementara.
Keempat orang itu makin mendekat ke
telinga agar dapat menangkap jelas
ucapan Gatar. "Maafkan, aku. Terpaksa kulakukan
semua ini..., Aku... aku harus
mendapatkan peta harta itu.... Mereka
telah menjejalkan sejenis racun ganas
ke dalam tubuhku. Apabila aku... aku
tidak menuruti perintahnya, dalam
waktu tiga bulan kulit dan daging
tubuhku akan mengelupas sedikit demi
sedikit... Hingga akhirnya, tubuhku
hanya tinggal tulang-belulang saja....
Maafkan aku, Shindura, Suntini...
aku... aaak-kkuuu...," Pendekar Pedang Kilat
tak mampu lagi untuk
menyelesaikan ucapannya. Kepala
pendekar itu terkulai lemas. Pendekar
Pedang Kilat tewas setelah mengucapkan
perkataan yang sangat mengejutkan itu.
"Paman... ahhh! Kasihan sekali,
kau Paman. Kalau saja kau ceritakan
sebelumnya, aku pasti rela menyerahkan
peta harta celaka ini," ucap Shindura sambil mengeluarkan gulungan
kulit binatang dari balik bajunya. Wajah
pemuda itu tertunduk lesu. Air matanya
pun menetes mengiringi kepergian sang
paman untuk selama-lamanya.
Suasana duka cita itu menyebabkan
kewaspadaan mereka berkurang. Sehingga
mereka tidak mengetahui ada sesosok
tubuh berpakaian hitam melangkah men-
datangi. Langkah orang itu demikian
ringannya hingga tidak terdengar oleh
mereka. Dan sekali berkelebat,
gulungan peta di tangan Shindura telah
berpindah ke tangannya.
"Ha ha ha...! Akhirnya kudapatkan
juga peta ini!" orang berpakaian hitam itu tertawa bergelak-gelak sambil
melesat melarikan diri.
"Hei, berhenti!" teriak Panji
kaget Tanpa membuang-buang waktu lagi,
pemuda itu melesat cepat bagaikan anak
panah yang lepas dari busurnya. Se-
mentara yang lainnya ikut pula
mengejar di belakang Panji.
Pendekar Naga Putih mengempos
semangatnya. Segera dikerahkan seluruh
ilmu meringankan tubuhnya untuk
mengejar orang berpakain hitam itu
yang berlari demikian cepat .Beberapa
saat kemudian, jarak antara keduanya
terlihat semakin dekat. Dan ketika
mereka mehntasi hamparan padang rumput
luas, sekarang hanya terpisah sekitar
empat tombak saja.
"Manusia Curang, berhenti!"
teriak Panji sambil melompat Tubuh
pemuda itu berputar beberapa kali di
udara melewati kepala orang itu.
Sesaat kemudian, Panji telah berdiri
menghadang di hadapan orang itu.
"Bocah tidak tahu diri,
mampuslah!" bentak orang itu geram.
Dia langsung melancarkan serangan maut
ke arah pemuda yang berdiri menghadang
jalan itu. Wuttt! "Hmh...!"
Panji mendengus sambil
menghindari serangan itu. Sehingga,
membuat lawannya melotot semakin
geram. Kembali dilancarkan beberapa
buah pukulan berturut-turut. Lagi-lagi
Panji berhasil menghindari serangan
dengan melakukan geseran-geseran yang
cepat dan indah.
"Bangsat! Heaaattt...!" merasa dirinya dipermain-kan, orang
berpakaian hitam itu marah bukan main.
Sambil memaki segera dilontarkan
sebuah pukulan yang didorong tenaga
dalam dahsyat! Serangkum angin keras
berkesiutan mengiringi luncuran
pukulannya. Derrr! Sebatang pohon yang berjarak tiga
tombak di belakang Panji terpukul
roboh, karena pemuda itu telah lebih
dahulu menghindar. Pohon itu berderak
menimbulkan gemuruh. Sedangkan orang
berpakaian hitam itu sudah menerjang
Panji kembali. Tapi, kali ini Panji tidak sudi
menghindari pukulan lawannya. Melihat
kedahsyatan serangan lawan tadi,
pemuda itu berniat untuk menguji
sampai di mana kehebatan tenaga lawan.
Maka ketika serangan lawan meluncur
datang, cepat-cepat diangkat kedua
tangannya untuk memapak pukulan itu.
Selapis kabut bersinar putih keperakan
teriihat melindungi tubuhnya.Dan....
Blarrr! "Aaahhh...!"
Hebat sekali benturan dua
gelombang tenaga yang sama-sama
dahsyat itu. Untuk sekejap, bumi


Pendekar Naga Putih 11 Memburu Harta Karun di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bagaikan dilanda gempa. Pohon-pohon
yang tumbuh dalam jarak sekitar empat
sampai lima tombak, terlihat berderak-
derak bagaikan hendak roboh. Sedangkan
kedua orang yang saling berbenturan
itu terlempar ke belakang.
Baik Panji maupun
orang berpakaian hitam itu sama-sama
melakukan salto di udara untuk
mematahkan daya dorong akibat benturan
tadi Mereka masing-masing berdiri
tegak saling berhadapan dalam jarak
enam tombak. Sepasang mata mereka
saling tatap penuh selidik bagaikan
dua ekor ayam jago yang sedang
berlagak. "Kaukah yang berjuluk Pendekar
Naga Putih, Anak Muda"!" tegas orang itu ketika merasakan adanya hawa
dingin yang menyelusup ketika
berbenturan tadi.
Diam-diam hati orang itu bergetar
merasakan kehebatan tenaga dalam
pemuda yang menjadi lawannya itu. Dan
pengalaman itu membuatnya semakin
berhati-hati dalam mengambil langkah
selanjutnya. "Begitulah kaum rimba persilatan
menjulukiku," sahut Panji tanpa
mengalihkan pandangannya. Pemuda itu
merasa terkejut ketika mendapat
kenyataan kalau tenaga lawan ternyata
kuat sekali. "Hm... orang ini pasti mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada tiga orang tadi," pikir
pemuda itu. "Hm... jangan kau merasa takabur
dulu, Anak Muda. Hari ini akan kuhapus
nama Pendekar Naga Putih dari kalangan
persilatan. Nah, bersiaplah!" geram orang itu.
Bergegas dia mencabut keluar
senjatanya yang berbentuk sebuah
pedang yang bercagak pada ujungnya.
Disertai teriakan nyaring tubuh orang
itu meluruk ke arah Panji.
Tanpa banyak bicara lagi, Panji
segera mencabut Pedang Sinar Bulan
yang selalu melilit pinggangnya itu.
Cepat-cepat pemuda itu memiringkan
tubuhnya sambil menggerakkan senjata
secara bersilang. Gerakkan pemuda itu
demikian cepat dan indah.
Tranggg! Tringgg!
Dua buah serangan berhasil
dihalau Pendekar Naga Putih. Seketika
bunga api berpijar ketika dua buah
senjata yang mengandung tenaga dahsyat
itu saling berbenturan. Tubuh keduanya
terjajar mundur beberapa tindak ke
belakang. Setelah memeriksa senjata
masing-masing, keduanya kembali saling
menerjang hebat.
Dua buah sinar bergulung-gulung
saling menindih dan menekan. Kadang-
kadang, terlihat sinar putih keperakan
berada di atas menekan gulungan sinar
lainnya. Tapi pada kesempatan lain,
sinar pedang lawan menekannya.
Sehingga, pertarungan kedua orang
sakti itu benar-benar menegangkan.
Sembilan puluh jurus berialu
cepat. Sampai sejauh ini kepandaian,
masing-masing masih nampak berimbang.
"Hiaaattt..!"
Pendekar Naga Putih mengeluarkan
'Pekikan Naga Marah' yang terasa
bagaikan mengguncang jagad. Hembusan
angin dingin berkesiut di sekitar
arena pertarungan. Akibatnya udara di
sekitar arena pertarungan itu tak
ubahnya bagaikan di atas puncak gunung
yang terselimut salju. Pohon di
sekitar tempat itu bergoyang hingga
menimbulkan suara berderak akibat
pekikannya. Orang berpakaian
hitam itu terjajar mundur beberapa langkah ke
belakang. Wajahnya yang sebagian
tertutup kain hitam tampak memucat.
Tangan kirinya menekap dada yang
terguncang oleh getaran 'Pekikan Naga
Marah' yang dikerahkan lawan. Tepat
pada saat itu, Pedang Sinar Bulan di
tangan Panji berdesing menusuk lambung
lawannya. Siiinggg! "Aaahhh...!"
Lawannya berseru kaget sambil
menggulingkan tubuhnya menghindari
serangan maut itu Namun, jurus pedang
'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' me-
mang benar-benar hebat! Sinar putih
keperakan bergulung-gulung bagaikan
angin topan dahsyat, hingga
menyilaukan mata lawan. Dan tanpa
dapat dicegah lagi, Pedang Sinar Bulan
berputar bagaikan sebuah baling-baling
menembus tubuh orang itu.
Crasss! Jrasss!
"Wuaaa...!"
Diiringi jeritan panjang
mendirikan bulu roma, tubuh orang
berpakaian hitam itu terjungkal ke
belakang. Darah segar langsung
menyembur keluar dan memercik
membasahi bumi. Tubuh orang itu
berkelojotan sesaat, kemudian diam tak
bergerak Tewas, dengan usus terburai.
"Hebat dan sungguh menakjubkan
sekali! Jurus apakah yang kau gunakan
tadi, Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Gala Rengat yang berlari mendatangi
bersama Shindura dan Suntini. Panji
hanya tersenyum memandang ke arah
kakek pengemis itu.
"Hanya sebuah jurus kosong yang
bernama 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam
Bumi', Eyang," jawab Panji yang meniru panggilan Suntini dan Shindura kepada
kakek itu. Setelah berkata demikian, pemuda
itu melangkah mendekati mayat
lawannya. Tangan pemuda itu meraba dan
mengambil sesuatu dari balik baju
mayat itu. "Simpanlah peta ini baik-baik,
Shindura," kata Panji sambil
menyerahkan gulungan peta itu kepada
Shindura. 'Peta harta ini hanya akan
mendatangkan bencana bagi kami. Maka
kami memutuskan untuk menyerahkan peta
harta ini kepada Baginda Prabu di
kotaraja. Biarlah beliau sendiri yang
memutuskan dan menyimpannya.
Tentu harta itu akan lebih berguna apabila
berada di tangan beliau. Aku tahu,
beliau adalah seorang yang adil dan
bijaksana," jelas Shindura. Ucapan itu disambut gembira oleh yang lainnya.
"Eh Eyang. Mengapa ketika aku dan
Paman Gatar menemukan sesosok mayat di
dalam hutan tidak terdapat tanda lima
jari pada dadanya" Padahal, orang itu
adalah anggota dari Partai Lima Unsur"
Bukankah itu adalah mayat Pengemis
Tongkat Merah" Bagaimana ini, Eyang?"
tanya Shindura sambil menolehkan
kepalanya ke arah Ki Gala Rengat.
"Mari ikut aku!" sahut kakek itu cepat.
Begitu tiba di dekat mayat orang
yang tewas di tangan Pendekar Naga
Putih, kakek pengemis itu merobek baju
di bagian dada orang itu. Ternyata
tidak terdapat tanda lima jari pada
dadanya. Lalu Ki Gala Rengat
menekankan telapak tangannya ke dahi
mayat itu sambil mengerahkan tenaga
dalam. Sesaat kemudian, tampak asap
putih mengepul tipis. Maka pada dahi
itu terdapat tanda sebuah jari tangan.
"Begitulah mereka menandakannya
pada tokoh-tokoh tingkat tinggi. Dan
orang ini rupanya adalah tokoh nomor
satu partai itu," jelas kakek itu
menerangkan. Sedang Shindura dan
Suntini hanya menganggukkan kepalanya
tanda mengerti.
Dalam anggukannya itu, pikiran
Suntini masih diliputi satu hal yang
tak dapat dimengertinya pada beberapa
waktu lalu. Maka Suntini menanyakan
hal itu kepada Shindura kakaknya.
"Kakang.. siapakah yang telah
memalsukan peta harta itu, seperri
yang diucapkan si tinggi besar tadi?"
tanya Suntini tidak mengerti.
Shindura menatap wajah adiknya
yang sangat ia sayangi dengan senyum
cerah. Lalu membelai rambut. adiknya
dengan penuh kasih sayang.
"Adikku Suntini, Kakanglah yang
telah ..memalsukan peta harta itu
Ketahuilah bahwa pada tiga malam lalu,
setelah kamu dan Ibu terlelap tidur,
Kakang sempatkan diri untuk memalsukan
peta harta itu dengan maksud
menyelamatkannya dari para perampok!"
jawab Shindura yang disambut dengan
senyuman manja dari Suntini.
"Eh! Ke mana perginya Kakang
Panji...?" tiba-tiba Suntini bertanya kaget sambil mengedarkan pandangannya
ke sekeliling. Namun, sosok tubuh
pemuda itu telah lenyap entah ke mana.
Sejenak gadis cantik itu termenung
seolah-olah merasa ada sesuatu yang
terbawa hilang dari hatinya.
"Hm... rupanya ia sudah pergi
jauh. Pemuda itu benar-benar seorang
pendekar sejati yang tak mengharapkan
imbalan atas jasa-jasanya," puji
Pengemis Aneh Tongkat Sakti mendesah
pelan. Wajah orang tua itu menengadah
memandang hamparan cakrawala yang biru
jernih. Angin bersilir lembut mengusap
wajah-wajah mereka yang kini dipenuhi
ketenangan dan kedamaian.
SELESAI Scan/Convert/E-Book: Abu Keisel
Tukang Edit: mybenomybeyes
http://duniaabukeisel.blogspot.com/
Disponsori oleh:
Warung Mbok Tukijem
Senja Jatuh Di Pajajaran 9 Istana Pulau Es Karya Kho Ping Hoo Pedang Langit Dan Golok Naga 19
^