Pencarian

Misteri Desa Siluman 1

Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman Bagian 1


MISTERI DESA SILUMAN
Oleh T. Hldayat
Cetakan pertama Penerbft Cintamedia, Jakarta Penyunting : Tarech R.
Gambar sampul oleh Henky
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hdayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Misteri Desa Siluman
128 hal ; 12 x 18 cm
1 Hari sudah menjelang sore. Matahari telah bergeser jauh ke ufuk Barat. Cahaya
kemerahan memburat menghias cakrawala.
Hembusan angin yang lembut mengiringi sang mentari bergulir ke peraduannya.
Dalam keremangan cuaca saat itu, tampak dua sosok tubuh bergerak menyusuri
jalan. Langkah mereka terlihat agak bergegas. Sepertinya kedua sosok tubuh itu
hendak berpacu dengan waktu.
"Bagaimana kalau di sebelah depan sana kita tidak menemukan desa untuk bermalam,
Kakang...?" tanya sosok tubuh ramping yang berada di sebelah kiri teman
seperjalanannya.
"Yahhh..., terpaksa kita bermalam di hutan, seperri blasanya.
Apakah kau keberatan...?" ujar sosok tubuh sedang yang terlihat padat berisi.
Nada suaranya terdengar tenang dan lembut, pertanda ia seorang penyabar.
"Bukan begitu, Kakang. Tapi, selama ini kita rasanya sudah terlalu sering
bermalam di dalam hutan. Jadi, apa salahnya kalau sekali-sekali kita bermalam di
tempat yang lebih tenang dan aman," elak sosok lubuh ramping berpakaian serba
hijau itu. Lalu, kepalanya menoleh seraya melemparkan senyum manis. Seolah-olah
sosok ramping, yang ternyata seorang gadis muda, berparas jelita itu ingin
menunjukkan kalau dugaan kawannya sama sekali tidak benar.
Sosok berjubah putih itu menoleh sekilas ke arah si gadis berpakaian serba
hijau. Terdengar hela napasnya yang lembut dan berkepanjangan. Kemudian, kembali
matanya menatap lurus ke depan dengan wajah yang tetap tenang.
"Keinginan itu sama sekali tidak salah, Kenanga. Aku sebenarnya tidak ingin
menyusahkanmu. Tapi sepertinya kau telah melupakan satu hal...," desis sosok
berjubah pufih itu sambil memperlambat ayunan langkahnya. Siapa lagi sosok
berjubah putih itu kalau bukan Panji atau Pendekar Naga Putih.
Kenanga, gadis jelita berpakaian serba hijau itu ikut memperlambat langkah
seraya mengulurkan tangannya, dan menggenggam jemari pemuda itu. Lalu kepalanya
disandarkan pada pangkal lengan kekasihnya.
"Apa itu, Kakang...?" tanya Kenanga dengan nada penasaran.
"Seperti kau ketahui, kita ini adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai
tempat tinggal. Dimana langit dijunjung, di situlah rumah kita. Jadi, kalau kita
selama ini selalu melewatkan malam di dalam hutan, atau tempat-tempat sunyi
lainnya, ya wajar saja. Sebab, itulah risiko yang harus kita terima. Kau sadar
akan hal itu bukan?" jelas Panji sambil melingkarkan tangannya ke pinggang
ramping gadis jelita itu.
"Aku menyadari hal itu, Kakang. Kalau memang perkataanku tadi salah, harap kau
maafkan...," sahut Kenanga dengan nada seperti menyesali ucapannya. Kemudian, ia
pun melingkarkan lengannya ke pinggang Panji.
"Tidak, Kenanga. Perkataanmu sama sekali tidak salah. Kau tak perlu
menyesalinya. Sebaiknya kita mempercepat perjalanan. Siapa tahu, sebelum malam
jatuh, kita telah menemukan sebuah desa untuk menginap. Ayolah...," setelah
melepaskan pelukannya, Panji segera melesat, mempergunakan ilmu larinya untuk
mempersingkat waktu.
Kenanga sendiri tidak mau membuang-buang waktu lagi.
Sekali kakinya menghentak ke tanah, tubuh gadis jelita itu pun melesat dengan
kecepatan yang mengagumkan. Kemudian,
menjejeri langkah Panji, yang memang sengaja tidak mengerahkan ilmu lari.
Sehingga, keduanya dapat berlari berjajar.
*** Keremangan malam mulai turun perlahan menyelimuti bumi.
Sedangkan rembulan tampak menghiasi langit dengan pancaran cahayanya yang redup.
Bintang-bintang pun bertebaran mewarnai cakrawala dengan kerlap-kerlipnya yang
menawan. Sepertinya malam itu cuaca sangat cerah dan menyenangkan, meskipun
wajah bulan tidak muncul utuh.
Saat itu, Panji dan Kenanga telah memasuki perbatasan sebuah desa kecil. Tampak
cahaya lampu pelita menghiasi rumah penduduk, sehingga membuat wajah keduanya
berseri. Karena, harapan untuk melewatkan malam di tempat yang tenang dan aman sudah
terbayang di benaknya.
Kemudian, keduanya bergerak memasuki mulut desa. Mata mereka melihat ada enam
orang penjaga yang berkumpul di gardu, Panji pun bergerak mendekat.
"Maaf, Kisanak. Kami adalah dua orang pengembara yang kemalaman di jalan.
Dapatkah kalian menunjukkan sebuah penginapan yang juga menyediakan makanan?"
tanya Panji dengan nada lembut dan sopan.
Enam orang penjaga yang tengah mengitari api unggun itu serentak menoleh ke arah
Panji. Sehingga, kening pemuda itu sempat berkerut ketika melihat wajah-wajah
mereka yang pucat seperti mayat. Bahkan wajah-wajah itu tidak mencerminkan sikap
bersahabat sama sekali, dingin dan beku!.
Melihat keanehan sikap dan wajah keenam orang penjaga itu, Panji menyipitkan
matanya dan mengamati wajah para penjaga itu dengan sikap curiga.
Namun, seperti telah dapat membaca kecurigaai Panji, para penjaga itu mencoba
melontarkan senyum ramah. Sayang, mereka tidak berhasil karena senyum yang
mengembang pada wajahnya lebih mirip sebuah seringai yang menakutkan!
"Tentu saja kami bisa menunjukkannya. Mari aku antarkan ke tempat yang kau
maksudkan, Kisanak...," ujar salah seorang dari mereka. Meskipun orang itu ingin
memperlihatkan keramahannya, namun nada suaranya terdengar datar dan agak kaku.
Panji yang sudah telanjur curiga dengan penampilan keenam orang penjaga itu,
berusaha bersikap wajar. Setelah berpamitan dengan empat orang lainnya, pemuda
itu melangkah mengikuti dua orang penjaga yang hendak mengantarkannya.
"Kakang, sikap mereka sangat aneh, dan menimbulkan perasaan seram di hatiku.
Apakah kau tidak merasakannya...?"
bisik Kenanga pelan, sambil merapatkan tubuhnya kepada pemuda itu.
"Ah, kau terlalu mengada-ada, Kenanga. Mungkin mereka hanya merasa curiga saja
kepada kita. Dan, mungkin juga mereka selalu mencurigai orang-orang asing yang
singgah di desa ini...," Panji menghentikan sejenak penjelasannya.
Sedangkan mata Kenanga memandangi wajah kekasihnya.
"Barangkali mereka mempunyai pengalaman yang pahit dengan orang-orang asing yang
singgah di desa ini. Karena itu, bersikaplah ramah, dan tunjukkan bahwa kita
berbeda dengan orang-orang asing yang pernah meninggalkan kesan buruk bagi
mereka," jelas Panji tidak ingin hati kekasihnya menjadi resah.
Sepertinya pemuda itu ingin menyimpan rasa curigannya sendiri, tanpa harus
memusingkan kekasihnya yang memang terlihat lelah itu.
"Kisanak, apakah nama desa ini...?" Kenanga yang tidak bisa menghilangkan rasa
seramnya, mencoba mengusir dengan bertanya sambil lalu kepada salah seorang
pengantar. "Desa Siluman...," sahut salah seorang yang bertubuh kurus dengan nada dingin
dan tanpa menoleh.
Deg...! Dada gadis jelita itu berdebar keras ketika mendengar nama desa itu.
"Desa Siluman...?" desis Kenanga dengan bulu tengkuk meremang. Menilik dari
perubahan wajahnya, jelas nama desa itu semakin menambah rasa seram di hatinya.
Dengan perasaan yang semakin galau, Kenanga meremas lengan Panji dan mencekal
erat-erat. Jelas, ia sangat terpengaruh dengan nama desa itu. Ditambah lagi
suasana desa yang menebarkan hawa aneh, dan semakin menambah keangkeran. Memang
cocok sekali kalau desa terpencil itu dinamakan Desa Siluman.
Panji sendiri sempat tergetar ketika mendengar nama desa itu. Namun, untuk
menenangkan perasaan hati kekasihnya, pemuda itu tetap bersikap acuh. Seolah-
olah keadaan maupun nama desa itu sama sekali tidak menimbulkan perasaan apa-apa
baginya. "Jangan biarkan perasaanmu terpengaruh oleh nama dan sikap penduduknya.
Menurutku, selama kita masih berada di jalan yang benar, tidak ada yang perlu
kita takutkan. Lagi pula kita sama sekali tidak berbuat ulah terhadap mereka.
Jadi, tidak ada alasan bagi mereka untuk mencelakai kita," hibur Panji lagi
sambil mendekap erat tubuh gadis jelita itu. Seolah-olah dengan berbuat
demikian, ia ingin memberikan ketabahan kepada kekasihnya.
Apa yang dilakukan Panji sepertinya tidak sia-sia. Terlihat dari wajah gadis itu
kembali tenang ketika merasakan hangatnya pelukan pemuda itu.
'Terima kasih, Kakang...," desah Kenanga sambil menyandarkan kepalanya dengan
sikap manja. Mendengar jawaban itu, Panji mengulum senyum. Lalu, ia membelai rambut gadis
jelita itu dengan penuh kasih.
Dirapatkannya tubuh Kenanga dengan mengetatkan pelukan.
"Inilah tempat yang kau maksud, Kisanak. Beruntung hari ini tidak banyak
pendatang yang singgah. Jadi, kau bisa mendapatkan kamar yang bersih dan nyaman
untuk beristirahat. Maaf, kami tidak bisa mengantarmu sampai ke dalam. Selamat
beristirahat," ujar lelaki kurus, salah seorang dari penjaga itu.
"Terima kasih atas kebaikan kalian...," ucap Panji dengan tubuh sedikit
membungkuk. Kedua penjaga itu menganggukkan kepala sambil membalikkan tubuhnya, dan
melangkah menuju mulut desa.
Panji dan Kenanga belum bergerak dari tempatnya. Mereka berdiri tegak, seraya
matanya menatap kepergian kedua orang penjaga perbatasan itu.
"Langkah kaki mereka terlihat tidak wajar, Kakang. Entah mengapa gerakan mereka
lambat dan kaku. Hihhh..., mereka seperti mayat-mayat berjalan saja...," desah
Kenanga setelah bayangan kedua orang itu lenyap ditelan kegelapan malam.
"Hm..., mungkin udara yang kurang baik di desa ini yang membuat penduduk
bersikap demikian aneh. Sudahlah. Untuk apa memikirkan keanehan-keanehan itu.
Yang penting, mereka tidak mengganggu kita" sahut Panji sambil mengajak gadis
jelita itu menuju rumah penginapan.
"Kakang, menurutmu, apa pekerjaan para penduduk Desa Siluman ini" Apa kau juga
melihat kalau di sekitar desa ini tidak mempunyai persawahan. Jelas penduduk
Desa Siluman ini bukan petani. Entah apa yang mereka kerjakan untuk kehidupan
sehari-hari...?" Kenanga yang sepertinya belum juga dapat menghilangkan
kecurigaan hatinya, dan kembali meminta pendapat Panji.
"Entahlah. Mungkin mereka bekerja sebagai pemburu, dan hasilnya dijual ke tempat
lain. Atau, bisa juga hasil buruan itu yang menunjang kehidupan penduduk Desa
Siluman ini. Mengapa kau bertanya demikian" Apakah kau mempunyai dugaan lain...?" ujar Panji
balik bertanya sambil memandangi wajah Kenanga.
"Aku hanya merasa seram dengan suasana dan sikap keenam orang penjaga tadi.
Sepertinya kita bukan berada di sebuah desa. Tapi di...," Kenanga tidak
melanjutkan ucapannya. Gadis itu malah menoleh ke kanan dan ke kiri dengan sikap
penuh curiga. Bahkan dalam nada ucapannya terkandung rasa cemas yang berusaha
disembunyikan. "Mengapa kau tidak melanjutkan ucapanmu itu, Kenanga.
Apa sebenarnya yang ingin kau katakan...?" tanya Panji meminta penjelasan.
"Kau tidak merasa aneh atau seram, Kakang...?" ujar Kenanga tanpa mempedulikan
pertanyaan kekasihnya.
"Kau ini bagaimana, Kenanga. Sebagai seorang pendekar, sejak kecil kita telah
digembleng dengan be'rbagai macam ilmu
silat, dan juga wejangan dari guru kita. Bahkan, selama dalam pengembaraan pun,
sudah banyak hal-hal aneh dan mengerikan yang kita temui. Jadi, kalaupun
dugaanmu itu benar, apa yang mesti kita takutkan?" sahut Panji.
Kenanga diam saja. Hanya matanya yang menatap lekat-lekat wajah Panji.
"Jika memang di desa ini terdapat keanehan, maka menjadi kewajiban kita untuk
menyelidiki dan membereskannya. Apa yang kau rasakan itu adalah hal yang wajar,
dan tidak perlu terlalu dipikirkan," Panji menambahkan penjelasannya sambil
membelai lembut rambut gadis jelita itu.
"Tapi, aku merasa seperti berada di daerah pekuburan tua yang menyeramkan,
Kakang. Dan, sulit sekali bagiku untuk melenyapkan pikiran itu," Kenanga masih
mencoba membantah, dan menjelaskan perasaannya kepada Panji.
"Jangan bohongi aku, Kakang. Katakanlah, apakah kau juga merasakan seperti apa
yang kurasakan...?"
Panji tersenyum melihat wajah Kenanga yang meminta ketegasan. Perlahan pemuda
tampan itu menundukkan wajahnya. Dikecupnya kening dara jelita itu lembut.
"Sudahlah, Kenanga. Terus terang aku pun merasa curiga semenjak melihat wajah
dan penampilan keenam orang penjaga tadi. Tapi, untuk apa kita memikirkannya.
Mungkin saja mereka hanya merasa tidak suka terhadap orang-orang asing, seperti
yang kukatakan padamu tadi. Nah, apakah kau belum puas"' ujar Panji dengan nada
lembut, dan penuh perasaan kasih.
"Kata-kata itulah yang sejak tadi kutunggu, Kakang. Tapi kau seperti sengaja
menyembunyikannya. Ada apa sebenarnya, Kakang?" rajuk gadis jelita itu sambil
melepaskan pelukan Panji,
dan melangkah lebih dulu menuju rumah penginapan yang nampak remang-remang itu.
Panji hanya tersenyum melihat kekasihnya merajuk seperti itu. Kakinya melangkah
pelan-pelan menyusul Kenanga. Tapi, ketika ia melihat Kenanga yang telah
memasuki penginapan dan kembali bergegas keluar dengan langkah setengah berlari,
Panji segera melompat menyambutnya. Kening pemuda tampan itu sempat berkerut
tatkala melihat wajah kekasihnya pucat. Bahkan, desah napasnya pun terdengar tak
teratur. "Ada apa, Kenanga" Mengapa kau seperti orang yang ketakutan?" tanya Panji
setelah merengkuh tubuh gadis jelita itu ke dalam pelukannya.
"Pemilik kedai itu..., pelayan..., dan beberapa orang di dalamnya tengah
berkumpul, sama..., seperti para penjaga tadi, Kakang. Mereka..., mereka
menatapku, seperti hendak menelanku hidup-hidup. Aku..., ngeri, Kakang...," ujar
Kenanga dengan nada terputus-putus.
"Ah..., mungkin mereka hanya terpesona dengan kecantikan wajahmu, Kenanga. Dan
hal itu wajar saja. Karena kecantikanmu memang sangat menyolok, dan mengundang
perhatian orang," hibur Panji berusaha menghilangkan ketegangan di hati
kekasihnya. "Kau..., kau tidak tahu, Kakang. Rasanya aku bukan melihat manusia, tapi mayat-
mayat hidup yang kelaparan Lebih baik kita pergi saja dari desa ini," bantah
Kenanga, tetap mempertahankan pendapatnya.
"Hm..., mengapa kau tiba-tiba menjadi lemah seperti itu, Kenanga. Kalaupun
mereka memang benar mayat-mayat yang bangkit dari dalam kubur, untuk apa kita
harus takut" Justru kenyataan itu mendorong kita untuk menyelidikinya. Aneh, ke
mana perginya gadis pendekar gagah berani yang kukenal
selama ini?" gumam Panji mencoba mengingatkan Kenanga tentang siapa diri mereka
sebenarnya. Dan usaha Panji ternyata tidak sia-sia. Setelah mendengar ucapan itu, Kenanga
segera melepaskan pelukan kekasihnya.
Wajah Kenanga yang semula agak pucat, kembali bersinar.
Bahkan sepasang matanya telah memancarkan keberanian, yang sempat lenyap karena
suasana dan penampilan penduduk Desa Siluman.
"Kau benar, Kakang. Aneh, mengapa hatiku menjadi lemah begini" Padahal, selama
ini aku tidak pernah merasa takut terhadap lawan yang bagaimanapun seramnya. Kau
bisa memberikan jawaban atas pertanyaanku itu, Kakang?" tanya Kenanga sambil
menarik napas berulang-ulang, guna menenteramkan hatinya. Jelas, gadis jelita
itu merasa curiga dengan kenyataan yang dihadapinya.
"Hm..., aku pun memang merasakan adanya keanehan, sejak memasuki desa ini.
Sepertinya suatu pengaruh aneh yang selalu menimbulkan perasaan berdebar dan
ngeri di hati kita.
Aku pun merasakan semua itu. Tapi, demi untuk menenangkan perasaanmu, aku
menyembunyikannya," jawab Panji sambil mengelus rambut gadis jelita itu.
"Jadi, memang ada hawa aneh di desa ini yang mempengaruhi perasaan kita"
Begitukah menurutmu, Kakang?"
ujar Kenanga meminta ketegasan kekasihnya.
"Benar. Justru itulah, mengapa aku bersikeras untuk tetap melewatkan malam ini
di Desa Siluman. Sebab, aku merasa ada sesuatu yang tidak wajar menyelimuti desa
terpencil ini. Dan hal itu sudah menjadi kewajiban kita untuk mengungkap
keanehan itu," jelas Panji dengan suara agak bergetar. Karena pada saat berkata,
ia merasa ada hembusan angin dingin yang
menebar dan menyergap sekujur tubuhnya. Sehingga, Panji sempat menggigil
karenanya. "Hihhh...," Kenanga yang juga sempat merasakan hembusan angin dingin yang
menusuk tulang itu, melipat kedua tangannya ke dada. Pertanda gadis jelita itu


Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pun merasakan seperti apa yang dirasakan Panji.
"Angin apa ini, ini, Kakang" Nampaknya tidak wajar...,"
desah Kenanga berbisik lirih sambil merapatkan tubuhnya kepada Panji.
"Entahlah. Yang jelas, kita harus berhati-hati. Kita tidak tahu, apa yang tengah
terjadi di desa ini. Sebaiknya kita kembali ke tempat penginapan yang
menyediakan makanan itu. Ayolah,"
ajak Panji seraya menarik lengan kekasihnya, dan melangkah menuju rumah
penginapan yang juga merupakan kedai makan itu.
2 Panji dan Kenanga berdiri tegak di ambang pintu rumah penginapan itu. Keduanya
memandang berkeliling. Namun, kedai makan itu terlihat sunyi, tanpa ada seorang
pun di dalamnya.
"Eh, ke mana perginya orang-orang yang kulihat tadi"
Apakah pandanganku yang salah...?" gumam Kenanga dengan kening berkerut.
"Hm..., mengapa harus dipikirkan" Mungkin saja mereka telah kembali ke kamarnya
masing-masing," Panji yang sadar bahwa kekasihnya tengah dilanda kebingungan,
segera saja menyahuti. Ia berharap ucapannya itu dapat membuat gadis ini kembali
menjadi tenang.
Kenanga yang hendak membantah ucapan Panji, segera menelan kata-katanya kembali.
Karena sepasang matanya menangkap seorang pelayan menghampiri mereka.
"Hm..., kalian memerlukan kamar, atau hidangan...?" tanya pelayan setengah baya
itu dengan sikap kaku, dan sama sekali tidak ramah.
"Terima kasih, Paman," Panji buru-buru menyahuti. "Kami memerlukan sebuah kamar
yang cukup untuk kami berdua."
"Hm..., rupanya sepasang suami istri muda yang kemalaman," gumam pelayan
setengah baya itu dengan nada suara tak jelas. Sedangkan sepasang matanya
memandang penuh selidik.
"Betul, Paman. Kami adalah suami istri muda yang kemalaman. Mmm..., apakah kamar
yang ku maksudkan itu ada, Paman...?" tanya Panji mengiyakan perkataan pelayan
itu. Tanpa berkata-kata lagi, pelayan setengah baya itu segera membalikkan tubuhnya.
Kemudian melangkah, dan menaiki anak tangga menuju ke atas. Agaknya kamar-kamar
penginapan itu berada di sebelah atas rumah ini.
Kenanga semula merasa terkejut ketika mendengar Panji memesan sebuah kamar untuk
mereka berdua. Padahal, biasanya pemuda itu selalu meminta dua kamar, bila
mereka kebetulan menginap di rumah-rumah penginapan. Tapi, gadis jelita itu sama
sekali tidak membantah. Boleh jadi pemuda itu mempunyai rencana sehubungan
dengan keanehan yang menyelimuti Desa Siluman, maupun para penduduknya.
Pikiran itulah yang membuat Kenanga tidak membantah ketika mereka berdua
dipersilakan memasuki sebuah kamar dengan dua pembaringan.
"Kalian tidak memerlukan apa-apa lagi...?" tanya pelayan setengah baya itu,
sebelum meninggalkan Panji dan Kenanga.
"Mmm..., rasanya tidak, Paman. Terima kasih...," sahut Panji cepat. Meskipun
semula mereka memang berniat untuk memesan hidangan, namun selera makan mereka
lenyap dengan penampilan pelayan setengah baya itu. Sehingga Panji memutuskan
untuk menahan rasa laparnya.
"Hhh..., sebenarnya aku sudah lapar sekali. Tapi melihat dan merasakan udara di
desa ini, selera makanku lenyap seketika.
Bahkan, untuk mencicipi hidangan di desa ini pun, aku curiga, Kakang. Jangan-
jangan mereka membubuhi racun ganas di dalamnya," ujar Kenanga sepeninggal
pelayan yang mengantarkan mereka.
"Dugaanmu bisa saja benar, Kenanga. Apalagi melihat sikap orang-orang yang kita
temui di desa ini. Mereka rata-rata menunjukkan sikap kaku dan tidak bersahabat.
Aku sepertinya merasakan ada pengaruh nneh yang menguasai penduduk di
Desa Siluman ini. Tapi, aku belum dapat memastikannya. Yang jelas, malam ini
kita tidak bisa beristirahat. Bukan tidak mungkin ada sesuatu yang akan terjadi
malam ini...," ujar Panji yang duduk di sebuah kursi di samping pembaringan
kekasihnya. "Yahhh..., mungkin nasibku yang jelek, Kakang. Untuk beristirahat yang tenang
pun, aku tidak dapat menikmatinya...,"
gumam Kenanga yang sudah merebahkan tubuhnya sambil menghela napas panjang.
"Hm...," Panji bergumam tak jelas sambil membalikkan tubuh ke arah jendela
kamar. Dipandanginya pelita yang berada di atas meja. Meskipun pemuda itu
terlihat seperti tengah termenung, namun indera pendengarannya bekerja dengan
baik. Dan bila ada sesuatu yang mencurigakan, maka telinga pemuda tampan itu
pasti akan menangkapnya. Karena, tingkat kepandaian yang dimiliki Panji, sudah
semakin meningkat. Sehingga tidak heran kalau pendengarannya makin tajam dan
gerakan-gerakannya lmeah dan mantap. Bahkan hal itu hampir mencapai titik
kesempurnaan. *** Malam semakin bertambah larut. Rembulan yang semula setia menemani sang malam,
nampak disaput awan hitam.
Bintang pun satu persatu lenyap. Sehingga, tidak secercah pun sinar yang
menerangi kepekatan alam.
Hembusan angin malam yang sesekali mengeras itu, menimbulkan suara-suara
menyeramkan. Ditambah lagi, suara batang-batang pohon bambu yang saling
bergesekan karena
hembusan angin. Semua itu makin menambah suasana seram di Desa Siluman.
Panji yang saat itu telah merebahkan tubuhnya di atas pembaringan, kembali
tersadar. Telinganya menangkap langkah-langkah kaki seperti menaiki anak tangga.
Kemudian, langkah itu menuju ke arah kamarnya. Tentu saja hal itu membuatnya
termenung sejenak. Karena, suara langkah yang menuju kamarnya itu jelas tidak
disembunyikan pemiliknya sama sekali.
Kecungaan Panji lenyap setelah berpikir tidak mungkin seseorang yang akan
berbuat jahat, tanpa menyembunyikan suara langkahnya. Tapi, ketika suara langkah
kaki itu terdengar semakin bertambah hnnyak, karuan saja hati Panji menjadi
curiga. Ia pun langsung melompat bangkit dari pembaringan.
Ditatapinya pintu kamar, dengan sikap waspada.
Tepat suara langkah itu berhenti di depan pintu kamar, Kenanga bangkit dari atas
pembaringan, dan menimbulkan suara berderit. Untunglah Panji bertindak cepat
dengan memberikan isyarat, meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya.
Sehingga, Kenanga membatalkan pertanyaan yang semula siap terlontar dari
mulutnya. Dengan gerakan ringan, tanpa menimbulkan suara berarti, Kenanga melompat dari
atas pembaringan, dan mendekati kekasihnya. Wajah gadis itu terlihat tegang,
ketika mendengar suara langkah itu seperti berkumpul di depan pintu kamar.
"Ada apa, Kakang..." Siapa mereka...?" tanya Kenanga melalui gerakan bibirnya,
tanpa menimbulkan suara yang bisa didengar orang lain. Jelas, pertanyaan gadis
itu dilontarkan dengan menggunakan 'Ilmu Mengirim Suara dari Jauh'.
Sehingga, hanya kepada orang yang dituju saja suara itu terdengar.
"Entahlah. Aku belum dapat menduga, apa maksud mereka berkumpul di depan pintu
kamar kita" Yang pasti, mereka tidak beritikad baik..." sahut Panji, juga
menggunakan ilmu yang sama, menjawab pertanyaan kekasihnya.
"Eeeaaargh...!"
Saat keduanya tengah menanti dengan hati dipenuhi bermacam pertanyaan, tiba-tiba
terdengar suara raungan parau yang sangat keras. Belum lagi Panji dan Kenanga
dapat menebak makhluk apa yang mengeluarkan raungan mengerikan itu, tiba-tiba
pintu kamar penginapan itu jebol dengan menimbulkan suara hiruk-pikuk yang
ramai. Namun, Pendekar Naga Putih dan kekasihnya bukanlah orang bodoh. Cepat tubuh
keduanya melesat hampir bersamaan, ke arah kiri dan kanan pintu kamar itu.
Serpihan-serpihan pintu, membuat tubuh keduanya cukup terhalang dari pandangan
sosok-sosok tubuh kaku yang bergerak memasuki kamar.
Panji yang telah mengerahkan tenaga pada pandangan matanya, menjadi terkejut
ketika melihat segerombolan sosok tubuh itu melangkah kaku. Apalagi di antara
gerombolan itu terdapat enam penjaga gerbang desa, dan pelayan rumah penginapan
yang mengantarkannya ke kamar. Namun, suara-suara erangan aneh dari mulut sosok-
sosok tubuh itu membuat Panji tidak menegurnya. Malah, ia segera menarik tangan
Kenanga, dan diajaknya ke luar.
Pada saat Panji dan Kenanga melesat keluar kamar, rupanya beberapa sosok tubuh
itu sempat menangkap bayangan mereka. Terbukti, empat di antara sosok-sosok
tubuh kaku itu berbalik dengan tatapan mata mencorong tajam dan bersinar
kehijauan. "Eaaakh...!"
Panji dan Kenanga sempat menoleh ketika mendengar suara erangan parau yang
mengandung kekuatan aneh. Dan ketika keduanya menoleh, empat sosok kaku itu
tengah melesat dengan tangan terulur membentuk cengkeraman-cengkeraman maut!
Melihat cara keempat sosok tubuh kaku itu menyerang, jelas kalau mereka
menginginkan kematian Panji dan Kenanga.
Semula Kenanga tidak menanggapi sama sekali cengkeraman-cengkeraman yang
dilakukan sosok tubuh itu.
Karena gerakan mereka terlihat kaku. Sehingga, ia tidak begitu mempedulikan
serangan mereka.
Panji segera menilai keempat orang itu, karena ia telah bertindak penuh
perhitungan, dan tidak mau meremehkan segala sesuatu yang masih asing baginya.
Dan, betapa terkejut hati Pendekar Naga Putih ketika merasakan adanya getaran
hawa aneh yang terkandung dalam serangan keempat orang itu. Kenyataan itu
membuat Panji segera mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya guna menjaga
segala kemungkinan.
Begitu dua dari empat penyerang memilihnya sebagai sasaran, cepat-cepat Panji
menggeser kaki kirinya ke samping.
Gerakan itu masih dibarengi dengan putaran tubuhnya, dan sekaligus menyampok
empat lengan yang menginc tubuhnya.
Wukkk! "Aaakh...!"
Terdengar erangan parau bersamaan dengan terpentalnya tubuh dua orang penyerang
Panji. Namun bagai orang yang tidak mengenal rasa sakit, keduanya kembali
melompat bangkit, sambil meraung sebagai tanda kegusaran mereka.
Panji sendiri sempat kaget ketika merasakan getaran aneh, sewaktu lengannya
berbenturan dengan keempat lengan lawan.
Dan yang membuat pemuda itu tidak habis mengerti, adanya
rasa ngilu yang menjalar dari kedua lengannya. Karuan saja kenyataan itu membuat
Panji menjadi lebih berhati-hati.
Pendekar Naga Putih yang sudah bersiap menghadapi kedua orang lawannya, terkejut
ketika mendengar teriakan kaget yang berasal dari samping kiri. Tepat pada saat
kepalanya menoleh, ia melihat tubuh kekasihnya terjajar mundur sampai hampir
satu tombak jauhnya.
"Kenanga...!''
Sambil berseru keras, Panji yang mengkhawatirkan keselamatan kekasihnya,
bergerak cepat menyambut tubuh gadis jelita itu. Pemuda itu segera mengerti
penyebab kekasihnya terdorong mundur adalah akibat berbenturan dengan dua orang
manusia aneh itu.
"Aku tidak apa-apa, Kakang. Hanya saja aku merasa terkejut dengan adanya tenaga
aneh, yang berasal dari tangan-tangan mereka. Jelas ini tidak wajar, Kakang.
Sepertinya mereka tidak merasakan apa-apa akibat tangkisanku tadi. Padahal,
tenaga yang kukerahkan tidak sedikit dan rasanya cukup untuk membuat mereka
jera. Kenyataannya, justru akulah yang kaget oleh kekuatan yang mereka miliki.
Benar-benar aneh...?" ujar Kenanga dengan wajah berkerut-kerut. Jelas gadis
jelita itu tidak dapat menerima kenyataan yang baru saja dialaminya.
"Aku juga merasakannya. Karena itu, kita harus segera meninggalkan penginapan
ini, untuk mencari tahu keanehan yang terjadi di Desa Siluman ini," ucap Panji
yang segera mengambil keputusan. Semua itu dilakukannya demi untuk mencari tahu
apa penyebab dari keanehan penduduk desa ini.
Dan tanpa menunggu jawaban dari kekasihnya, Panji segera melesat sambil
menggenggam tangan Kenanga. Sehingga dalam waktu singkat, keduanya telah berada
di luar rumah penginapan itu.
Meskipun telah berada di luar, ternyata bahaya masih tetap menginc mereka. Dan,
apa yang disaksikan Panji dan Kenanga, memang sangat mengejutkan.
"Ahhh...!?"
Kenanga menahan jeritannya ketika menyaksi apa yang ada di luar rumah
penginapan itu.
Sehingga tanpa sadar, gadis jelita yang biasanya tidak mengenal rasa takut itu, bergerak mundur sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan. Hanya sepasang matanya saja yang terbelalak
seperti tak percaya dengan apa yang disaksikannya. Panji sendiri bukan tidak terkejut melihat puluh sosok tubuh bergerak maju,
begitu mereka muncul dari dalam rumah penginapan. Sikap puluhan sosok tubuh itu
mencerminkan ancaman terhadap mereka. Sehingga, hati Pendekar Naga Putih sempat
geram dibuatnya.
"Siapa kalian..." Dan apa yang kalian inginkan dari kami berdua?" cetus Panji
geram, sambil menahan rasa marah yang mulai bangkit ketika menyaksi puluhan
orang itu telah mengurung mereka berdua.
"Mereka tidak mengenal kompromi lagi, Kakang. Gerakan mereka demikian kaku,
seperti mayat-mayat yang baru bangkir dari kubur," desis Kenanga tergetar
hatinya, melihat penampilan puluhan sosok tubuh itu.
"Hm... aneh...!" gumam Panji pula setelah mengamati sosok-sosok tubuh yang berjalan
kaku itu. Pertanyaan Panji tidak mendapat tanggapan sama sekali.
Bahkan puluhan sosok tubuh itu bergerak terus, bagaikan mayat-mayat yang bangkit
dari kuburnya. Wajah-wajah mereka pun terlihat pucat, dingin dan beku, tanpa
menyiratkan perasaan sedikit pun. Seolah-olah puluhan sosok tubuh itu mengenakan
topeng untuk menyembunyikan wajah asli mereka.
"Sepertinya mereka tidak mengenal kompromi lagi, Kakang.
Dan, gerakan mereka demikian kaku. Persis seperti mayat-mayat yang baru bangkit
kubur," desis Kenanga yang menjadi tergetar hatinya ketika melihat penampilan
puluhan sosok tubuh itu.
"Hm..., aneh...!" gumam Panji setelah mengamati beberapa sosok tubuh yang tengah
melangkah mendekatinya.
Kening pemuda tampan itu berkerut dalam. Sepasang matanya mencorong tajam
seperti hendak menembus hati pengepungnya. Jelas sekali kalau pemuda itu tengah
berpikir keras untuk memecahkan misteri yang dihadapinya.
Sebelum Panji dan Kenanga bergerak dari tempatnya berdiri, tiba-tiba dari dalam
rumah penginapan itu telah bermunculan
sosok-sosok tubuh dan mengejar mereka. Cepat-cepat sepasang muda-mudi bergerak
ke tempat aman.
"Hm..., sepertinya pertempuran tidak mungkin bisa dihindari lagi...," gumam
Panji dengan wajah duka. Dari nada ucapannya, Pendekar Naga Putih tidak
menginginkan hal itu terjadi. Karena, penyebab puluhan orang itu hendak
mencelakai mereka, belum diketahui.
Menyadari kalau puluhan sosok tubuh itu barangkali tidak berdosa, Panji bersikap
menghindari pertempuran. Karena ia tahu kekuatan sosok-sosok tubuh itu, sehingga
bukan tidak mungkin akan menjadi korban. Hal itulah yang ingin dihindari Panji.
"Benar, Kakang. Setelah merasakan kekuatan yang mereka miliki, rasanya sulit
untuk lolos tanpa melukai atau membunuh beberapa di antara mereka. Hihh..., apa
yang sebenarnya mereka inginkan dari kita...?" desah Kenanga yang menyadari
keadaan benar-benar terjepit
"Kreaaagh...!"
Tiba-tiba, sebelum Panji memutuskan apa yang harus dilakukan, terdengar raungan
parau yang sepertinya merupakan sebuah perintah. Hal itu terbukti dengan semakin
cepatnya sosok-sosok tubuh kaku itu bergerak maju. Bahkan beberapa di antara
mereka sudah melompat menerjang!
"Kita coba untuk lolos dari kepungan tanpa harus mencelakai mereka. Sebab,
menurut penglihatanku, orang-orang ini seperti tidak sadar dengan apa yang
dilakukannya. Pasti ada biang keladi dari semua kujadian ini...!" ujar Panji
mengingatkan kekasihnya agar tidak sembarangan melepaskan pukulan.


Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku akan berusaha sebisanya, Kakang...," sahut Kenanga sambil bersiap memasang
kuda-kuda. Belum habis gema suara gadis itu, tiba-tiba dari depan empat sosok tubuh kaku
itu telah menerkam Kenanga. Bahkan, pada saat yang bersamaan, para pengejarnya
yang berada di belakang ikut pula menyerbu. Sehingga kedudukan gadis jelita itu
menjadi terjepit.
Menyadari untuk menghadapi para pengeroyoknya harus menggunakan kelmeahan, maka
Kenanga mulai menggeser tubuhnya dengan gerakan ringan. Sehingga untuk beberapa
saat lamanya, para pengroyok itu kehilangan buruannya.
"Haiiit..!"
Disertai sebuah seruan nyaring, Kenanga melesat sambil melontarkan pukulan guna
mengurangi tekanan lawan. Karena gerakan gadis jelita itu hampir menyerupai
bayang-bayang yang sukar untuk dijamah, maka dalam beberapa gerakan saja,
beberapa orang pengeroyoknya terjungkal akibat hantaman telapak tangan gadis
jelita itu. Tapi kekuatan para pengeroyok itu benar-benar menakjubkan! Sehingga Kenanga
sendiri hampir tidak mempercayai penglihatannya. Bahkan sampai-sampai ia mulai
meragukan kekuatan tenaga saktinya. Karena setiap kali tubuh pengeroyoknya
terjungkal keras mereka selalu bangkit seketika tanpa merintih kesakitan sedikit
pun! Padahal, Kenanga tahu kalau pukulan yang dilontarkannya itu bisa menewaskan
lawan yang tidak memiliki kekuatan tenaga dalam. Tapi, para pengeroyoknya itu
seperti tidak merasakan kerasnya pukulan gadis jelita itu.
"Gila! Mereka pasti bukan manusia...!" umpat Kenanga yang terpaksa terus
menggunakan kelmeahannya sambil sesekali melontarkan pukulan dan tendangan.
Sadar kalau lama-kelamaan ia bisa kehabisan tenaga, bila selalu melontarkan
pukulan dan tendangan, maka serangan balasannya pun mulai dikurangi. Sehingga,
Kenanga lebih banyak menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menghadapi
keroyokan makhluk-makhluk aneh yang sangat kuat itu.
Demikian pula halnya dengan Panji. Beberapa orang pengeroyoknya yang terkena
pukulan keras, segera bangkit, membuat pemuda itu menjadi heran. Padahal, tenaga
pukulan maupun tamparannya, dapat menghancurkan sebuah batu besar. Tapi, semua
itu seperti tidak berarti apa-apa bagi para pengeroyoknya. Kenyataan itu membuat
Panji terpaksa menggunakan ilmu meringankan tubuh guna menekan desakan
pengeroyoknya. Kenyataan yang dialami Panji kali ini benar-benar membuat pemuda itu hampir tak
percaya. Ketika ia menggunakan kelincahannya untuk mengurangi tekanan lawan,
mendadak beberapa di antara para pengeroyoknya melesat dengan kecepatan kilat
sambil melontarkan pukulan-pukulan maut yang menebarkan hawa aneh!
"Aihhhh...!"
Panji berseru tertahan ketika empat sosok tubuh yang muncul dari barisan
pengeroyoknya, bergerak bagai kilat dengan posisi tubuh menelungkup. Tubuh-tubuh
keempat orang itu tak ubahnya seperti terbang, menerjang Panji dengan
cengkeraman-cengkeraman maut.
Begitu berhasil menghindari serangan empat orang yang ternyata dapat bergerak
cepat itu, Panji segera melanjutkan dengan lompatan dan berputar di udara.
"Hm..., hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut..," gumam Pendekar Naga
Putih yang segera menyiapkan 'Tenaga Sakti
Inti Panas Bumi'. Kesadaran untuk menggunakan tenaga mukjizat jelman Pedang Naga
Langit itu, segera muncul setelah melihat gerakan empat orang lawannya yang
jelas-jelas sangat berbahaya. Selain itu, 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'
merupakan suatu kekuatan ajaib yang mampu mengusir atau melenyapkan pengaruh-
pengaruh aneh bagi lawan-lawannya.
Beberapa pemikiran itulah yang membuat Panji memutuskan untuk menggunakan tenaga
ajaibnya. 3 "Hmh...."
Seiring geraman lirih yang keluar dari mulut Panji, terciptalah lapisan sinar
kuning keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya.
Namun, pada saat Panji telah siap melontarkan pukulan-pukulan, terdengar jerit
kesakitan. Pendekar Naga Putih tahu suara itu berasal dari Kenanga. Maka, ketika
itu juga tubuh Panji segera melesat untuk menyambut tubuh gadis jelita yang
tengah melayang, dan mungkin akan terbanting bila Panji tidak segera
menyambutnya. "Uhhh..., mereka pasti bukan manusia, Kakang," rintih Kenanga dengan suara
lirih. Dari sela-sela bibirnya terlihat cairan merah merembes keluar. Jelas,
gadis jelita itu telah terkena pukulan dari salah seorang lawan.
"Hmh...," Panji menggeram gusar ketika melihat gadis jelita yang dikasihinya itu
telah mendapat luka. Wajahnya yang semula tenang, berubah kemerahan. Jelas
Pendekar Naga Putih telah terbangkit kemarahannya.
"Kita harus meloloskan diri dari kepungan mereka, Kakang.
Tubuh mereka kebal terhadap pukul pukulan kita...," ujar Kenanga yang sudah bisa
menguasai rasa sakitnya. Meskipun demikian, wajah itu telihat agak meringis
sambil meremas lambungnya. Rupanya pukulan salah seorang pengeroyok mengenai
lambungnya. Sosok-sosok tubuh kaku yang tak ubahnya seperti mayat-mayat hidup itu terus
bergerak mendekati mereka. Bahkan enam orang dari makhluk-makhluk aneh itu telah
melesat bagaikan terbang dengan cengkeraman-cengkeraman mautnya!
Keenam sosok tubuh itu jelas pimpinan makhluk aneh itu.
Terbukti dari kepandaian mereka yang melebihi puluhan sosok lainnya.
"Yang mengenakan pakaian coklat itulah yang melukaiku, Kakang...," desah Kenanga
yang telah bersiap kembali menghadapi segala kemungkinan.
"Hm..., sepertinya keenam orang itu pimpinan mereka.
Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dan berbahaya daripada yang lainnya. Biar
aku akan mencoba untuk melumpuhkan mereka terlebih dahulu...," ucap Panji sambil
melipat kedua tangannya di depan dada. Sepasang tangan pemuda itu kemudian
bergerak membuka, dan siap melontarkan pukulan hebat.
"Haittt...!"
Begitu keenam sosok tubuh itu makin dekat. Panji berseru nyaring sambil
mendorongkan kedua telapak tanganya ke depan.
Whusss...! Serangkum cahaya kekuningan berpendar, dan meluncur memapaki keenam sosok tubuh
yang tengah melayang di udara itu. Dan....
Bresssh...! Terdengar dentuman keras yang kemudian disusul dengan memecahnya sinar kuning
keemasan ke segala arah. Jelas dorongan telapak tangan Panji telah mengenai
sasaran Apa yang dilakukan Pendekar Naga Putih, ternyata telah membawa hasil
baik. Terbukti dua dari enam sosok tubuh yang tengah melayang itu, langsung
terjerembab jatuh ke atas
tanah. Tubuh kedua sosok itu tidak lagi bangkit seperti semula.
Keduanya diam tak berkutik, seperti telah menjadi mayat.
'Tewaskah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga telah melihat kedua sosok tubuh itu
tidak lagi bergerak akibat pukulan kekasihnya.
"Entahlah. Tapi, kalau melihat adanya sinar keemasan yang menyelubungi mereka,
jelas mereka belum tewas. Kalau sinar itu masih menyelimuti tubuh korban,
berarti orang yang menjadi sasaran pukulan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' masih
menyimpan racun atau luka dalam tubuhnya. Dan, boleh jadi pengaruh sihir yang
tengah dilenyapkan oleh tenaga mukjizat itu," jelas Panji.
Kenanga mengangguk-angguk puas.
Robohnya dua orang pengeroyok itu, ternyata menimbulkan pengaruh besar bagi
sosok-sosok tubuh kaku lainnya. Terbukti mereka tidak lagi bergerak maju. Bahkan
keempat orang yang memiliki kepandaian mengerikan itu, tertegun sambil menatapi
tubuh kedua kawannya.
Kesunyian itu berlangsung cukup lama. Sehingga baik Panji maupun Kenanga ikut
terdiam, seperti menanti kelanjutan dari sosok-sosok tubuh kaku itu.
"Mengapa tidak kita tinggalkan saja tempat mengerikan ini, Kakang...?" tanya
Kenanga yang sepertinya tidak mau menyia-nyiakan kesempatan baik itu.
"Sebentar. Aku ingin melihat tindakan mereka selanjutnya, setelah dua kawan
mereka kupukul roboh," sahut Panji yang sepertinya tidak lagi merasa khawatir.
Karena, telah menemukan cara untuk menundukkan para pengeroyoknya.
Tidak setujunya Panji dengan usul yang diajukan Kenanga itu, karena ia mengira
kalau para pengeroyoknya akan menjadi
jera. Dengan begitu, Panji berharap dapat menyingkap misteri yang menyelimuti
Desa Siluman. Tapi, apa yang diharapkan Panji ternyata tidak menjadi kenyataan. Karena sosok-
sosok tubuh itu kembali bergerak mendekati mereka, ketika hembusan angin dingin
bertiup keras. Sehingga, pepohonan di sekitarnya berderak ribut.
Karuan saja keadaan itu sempat membuat Panji terperangah.
"Mereka..., mulai lagi, Kakang...," desis Kenanga yang juga menjadi kaget.
Tapi bukan gerakan sosok-sosok tubuh kaku itu yang membuat Panji terperangah.
Ada kejadian lain yang membuat Pendekar Naga Putih semakin tidak mengerti,
sampai-sampai ia tertegun bagai tak mempercayai penglihatannya.
Dua di antara empat pemimpin sosok-sosok tubuh kaku itu, terlihat merunduk, lalu
menempelkan telapak tangannya ke dada dua orang yang tadi terkapar akibat
hantaman Panji.
Tampak kepulan uap putih keluar dari telapak tangan kedua sosok tubuh itu.
Seiring dengan erangan parau yang panjang dan mendirikan bulu roma, dua sosok
tubuh yang tengah terkapat itu mendadak bangkit dengan tubuh tegak bagaikan
sebatang tonggak. Kejadian itulah yang membuat Pendekar Naga Putih terperangah.
"Gila! Ilmu iblis apa yang mereka pergunakan itu...?" desis Panji dengan
perasaan takjub. Kendati pengalamannya selama ini telah cukup banyak, tapi ilmu
yang disaksikannya itu belum pernah dilihatnya sama sekali. Wajar kalau pemuda
itu terkejut. "Jelas mereka memiliki ilmu sesat yang sangat tinggi, Kakang," ujar Kenanga yang
juga terbelalak takjub melihat bangkitnya dua sosok tubuh yang tadi dirobohkan
kekasihnya. 'Tidak ada jalan lain, kita harus meninggalkan tempat celaka ini...," ujar Panji
sambil menghimpun 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'nya kembali, "Bersiaplah untuk
lepas dari kepungan mereka, Kenanga...."
"Baik, Kakang...."
"Ikuti gerak langkah kakiku...!" perintah Panji sambil menggeser langkahnya ke
samping kanan. Kemudian melontarkan hantaman telapak tangan susul-menyusul. Hal
itu dilakukan Pendekar Naga Putih untuk mengacaukan kepungan lawan.
Whusss...! Gumpalan sinar kuning keemasan berpendar dan memecah menjadi tiga bagian.
Masing-masing dari gumpalan sinar itu menerjang belasan orang pengepung yang
bergerak mendekat.
Dan.... Blasss.... Bresssh...!
Letupan keras terdengar saling bersusulan, yang diiringi terjungkalnya sosok-
sosok tubuh para pengepung ke segala arah, Kemudian jatuh terkapar tanpa dapat
bangkit lagi. Tapi, lagi-lagi Pendekar Naga Putih dan Kenanga harus menyaksikan pemandangan
yang membuat dada mereka berdebar tegang. Belasan sosok tubuh yang terkapar tak
bergerak itu, kembali bangkit setelah kawan-kawannya yang lain mengusapkan
telapak tangan pada bagian dada tubuh kawannya yang tergeletak. Hebatnya sosok-
sosok tubuh itu kembali bangkit seperti tidak merasakan hantaman Pendekar Naga
Putih. Tapi, semua itu tidak sempat terpikirkan oleh Panji maupun Kenanga. Sebab, enam
orang pimpinan rombongan manusia aneh itu telah melayang dengan cengkeraman-
cengkeraman mautnya. Sehingga, Panji kembali melontarkan pukulan dahsyatnya ke arah mereka.
Blarrr...! "Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika lontaran pukulan Panji telak mengenai empat
orang terdepan. Akibatnya, keempat sosok tubuh itu terpental bagaikan sehelai
daun kering yang diterbangkan angin. Sedangkan dua orang lainnya sudah mendekati
dan mengancam pemuda itu.
Bettt...! Bettt...!
Cepat-cepat Panji memutar tubuhnya sebanyak dua kali guna menghindari
cengkeraman maut kedua lawannya.
Kemudian dengan sebuah gerakan yang lincah, Panji melepaskan tendangan kilat
yang sama kali tidak diduga lawannya.
Untuk kesekian kalinya, Pendekar Naga Putih mengeluarkan suara pujian terhadap
kedua lawannya. Karena serangan balasan yang dilontarkannya itu ternyata dapat
dihindari lawan dengan menarik tubuh ke belakang dalam keadaan kuda-kuda rendah,
dan doyong ke belakang.
Panji bukanlah pendekar kemarin sore yang tidak memiliki pengalaman bertempur.
Sebaliknya malah sudah banyak sekali pengalaman-pengalaman hebat yang
dialaminya. Dan, semua pengalaman itu telah membuatnya mampu membaca gerakan
lawan. Sehingga, ketika tendangannya luput, tubuh Panji bergerak membungkuk
dengan kuda-kuda rendah. Bersamaan dengan itu, sepasang tangannya bergerak bagai
kilat menggedor dada lawan.
Blagggh...! Bukkk...!
Bukan main hebatnya akibat hantaman sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Tanpa dapat dicegah lagi, hantaman telak yang mengenal dada kedua orang
lawannya, membuat keduanya terlempar sejauh dua batang tombak ke belakang.
Kedua sosok tubuh yang menjadi sasaran kegeraman Pendekar Naga Putih terkapar di
atas tanah dengan rintihan parau.
"Huagkh...!"
Setelah memuntahkan darah segar dari mulut masing-masing, tubuh kedua korban
hantaman telapak tangan Panji itu pun rebah dan tidak bergerak lagi. Jelas,
mereka tewas akibat hantaman dahsyat Pendekar Naga Putih.
"Terpaksa aku melakukannya, Kenanga.... Semula aku berniat untuk menyembuhkan
mereka, bila dugaanku benar bahwa mereka tengah dipengaruhi suatu kekuatan aneh.
Tapi, desakan mereka telah membuatku khilaf...," desah Panji dengan nada penuh
sesal. Jelas, hal itu memang di luar perhitungannya.
"Jadi pukulan-pukulan Kakang yang membuat mereka roboh sebelumnya, hanya untuk
mengusir pengaruh aneh pada diri mereka...?" tanya Kenanga dengan wajah heran.
Gadis ini memang tidak mengetahui rencana apa di benak kekasihnya.
Tapi, untuk menjelaskan semua itu memang tidak ada waktu lagi.
"Benar. Itulah sebabnya mengapa mereka dapat bangkit kembali, tanpa mengalami
luka ataupun memuntahkan darah.
Tapi, dua orang itu tidak mungkin dapat bangkit lagi. Sebab, pukulanku bukan
untuk melenyapkan mereka dari pengaruh
aneh, tentu saja kalau dugaanku itu betul...," sahut Panji sambil menghela napas
berat berkepanjangan.
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu menyesali apa yang sudah terjadi. Sebaiknya kita
segera meninggalkan desa ini, sebelum korban lain berjatuhan," usul Kenanga yang
membuat Panji tersadar.
"Ayolah...," sahut Panji yang segera mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu,
selagi para pengeroyoknya sibuk mengurusi tubuh-tubuh kawannya yang bergeletakan
akibat pukulan Panji.
Hanya dalam sekejapan mata saja, sosok Panji dan Kenanga lenyap ditelan
kegelapan malam. Keduanya terus melesat menuju perbatasan Desa Siluman.
Sepertinya sepasang pendekar muda itu telah bertekad untuk menjauhi desa yang
penuh misteri itu.
Panji membuka kelopak matanya ketika cahaya matahari pagi menerobos celah
dedaunan. Sambil menggosok kedua matanya, pemuda itu bangkit dan mengedarkan
pandangan berkeliling.
"Ah, rupanya harum daging bakar itulah yang membuat perutku sudah keroncongan
sepagi ini," ujar Panji.
Sambil berkata demikian, bibir pemuda tampan itu menyunggingkan senyum manis
ketika melihat dua ekor kelinci panggang sudah tersedia di dekatnya.
"Eit, nanti dulu, Tuan Besar...," cegah Kenanga tersenyum sambil menangkap
tangan Panji yang tengah terulur hendak mengambil seekor kelinci bakar itu.
"Bersihkan dulu tubuhmu, mana bisa begitu bangun tidur langsung makan...."
Mendengar ucapan itu, Panji segera bangkit dari duduknya.
Setelah melontarkan senyum kepada gadis itu, Panji pun
bergegas menuju aliran sungai yang gemericik airnya terdengar dari tempat itu.
Tidak berapa lama kemudian, Panji sudah kembali dengan rambut yang basah dan
wajah segar. Pemuda tampan itu langsung saja menjatuhkan pantatnya di samping
Kenanga. "Hm..., kelinci hutan ini pasti sedap. Dari mana kau memperolehnya, Kenanga?"
tanya Panji yang segera menyambar kelinci bakar itu.
"Kebetulan aku temukan kelinci itu di dekat semak belukar di tepi sungai. Tentu
saja santapan lezat itu tidak kulewatkan,"
sahut Kenanga yang juga telah menyambar seekor daging kelinci bakar.
"Syukurlah. Dengan demikian, aku tidak perlu bersusah-payah lagi untuk mencari


Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengisi perut..," ujar Panji seraya tersenyum.
Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, keduanya segera menyantap habis daging
kelinci itu. Sayang, kenikmatan mereka agak terganggu dengan suara derap kuda,
yang sepertinya tengah melintas ke arah mereka. Sehingga, untuk beberapa saat
mereka saling berpandangan dengan sikap waspada.
Tak lama kemudian, kira-kira enam tombak lebih dari tempat keduanya duduk,
melintas lima ekor kuda. Melihat dari buntalan cukup besar di punggung kuda itu,
jelas rombongan kecil itu merupakan pedagang-pedagang keliling, yang akan
menjajakan barang dagangannya ke pelosok-pelosok desa.
"Kita harus mencegah mereka, Kakang. Sepertinya rombongan pedagang keliling itu
hendak menuju Desa Siluman," ucap Kenanga yang menjadi cemas ketika melihat
rombongan pedagang itu tengah menuju Desa Siluman yang penuh misteri.
Panji menganggukkan kepala, kemudian bangkit dan bergerak menghampiri rombongan
kecil itu. Sedangkan Kenanga hanya mengikutinya dari belakang.
"Kisanak, berhenti sebentar...!" cegah Panji sambil melambaikan tangannya dari
jarak dua tombak. Sehingga, para pedagang itu menoleh dengan kening berkerut.
Menilik dari cara mereka menatap Panji dan Kenanga, jelas lima orang itu
mencurigai keduanya.
Baik Panji maupun Kenanga sama sekali tidak mempedulikan tatapan mereka yang
penuh curiga itu. Keduanya segera bergerak mendekati para pedagang keliling,
yang masih melanjutkan langkahnya dengan agak lambat Bahkan beberapa di
antaranya ada yang meraba gagang pedang. Sepertinya mereka mengira kedua orang
muda itu adalah perampok-perampok tunggal.
"Hm.., ada keperluan apa kalian berdua menghadang perjalanan kami...?" tanya
salah seorang dari lima orang pedagang itu dengan wajah tak sedap. Bahkan nada
suaranya terdengar mengandung kecurigaan yang tidak disembunyikan.
"Maaf, kalau boleh aku tahu, hendak ke manakah Kisanak sekalian...?" tanya Panji
setelah membungkuk hormat. Wajah dan nada suara pemuda itu tetap lembut dan
sopan. Melihat sikap maupun cara berbicara Panji yang ramah dan sopan, kelima pedagang
keliling itu sejenak saling berpandangan. Seolah-olah dengan saling berpandangan
itu, mereka hendak meminta pendapat satu sama lain mengenai sikap pemuda tampan
itu. "Mmm..., melihat sikap dan wajahnya, jelas pemuda itu bukan orang jahat. Mungkin
ia memang hendak mengetahui tujuan perjalanan kita," ucap salah seorang pedagang
dengan suara berbisik lirih.
"Tapi, kita jangan percaya dulu dengan penampilan luar seseorang. Apalagi di
tempat sunyi seperti ini, bisa jadi sikap ramah dan sopannya itu hanya tipuan
belaka. Setelah kita lengah, maka habislah barang-barang kita dibawanya lari,"
dengus salah seorang pedagang yang tetap mencurigai Panji dan Kenanga.
Walaupun perdebatan itu dilakukan dengan berbalik, tapi bagi orang seperti
Pendekar Naga Putih, tentu saja dapat menangkap pembicaraan mereka dengan baik.
Pemuda itu tersenyum sabar. Kemudian kakinya melangkah lebih dekat.
"Paman sekalian," ujar Panji lagi, tetap sopan. Kecurigaan yang kalian tunjukkan
itu sama sekali tidak salah. Sikap seperti itu memang perlu, apalagi bila
berjumpa dengan seseorang yang tidak dikenal sama sekali di tempat sunyi. Tapi,
percayalah kami berdua tidak berniat jahat terhadap kalian.
Kami hanya ingin mengingatkan, desa di depan itu tidak baik bagi pedagang-
pedagang seperti kalian. Lebih baik carilah desa lain, selain Desa Siluman itu,"
ujar Panji, mengutarakan kekhawatirannya terhadap pedagang-pedagang itu. Semua
itu dijelaskan Panji untuk menghilangkan kecurigaan para pedagang itu.
Ketika mendengar keterangan Panji, para pedagang keliling itu hampir meledak
tawanya. Mereka meremehkan apa yang dikatakan pemuda tampan itu.
"Ha ha ha...," karena tidak tahan mendengar keterangan Panji, salah seorang yang
bertubuh kecil kurus, tertawa tergelak, meskipun berusaha ditahan. "Lalu, apa
yang kau inginkan, Kisanak" Keteranganmu itu hanya pantas untuk seorang anak kecil. Dan
kalau memang kau ingin merampas barang dagangan kami, pergunakanlah
kepandaianmu, mengapa harus bersiasat seperti itu?" ejek pedagang kurus itu
melecehkan. "Benar, Anak Muda. Jangan coba-coba menakut-nakuti kami.
Sebab hal itu akan percuma saja. Nah kalau mau merampas tidak perlu menggunakan
siasat seperti itu," sambut yang lainnya seraya tertawa bergelak-gelak.
"Hei, manusia tidak tahu diuntung!" teriak Kenanga yang merasa tersinggung
mendengar ucapan yang mengejek kekasihnya. Kemarahannya pun makin meluap. "Kalau
kalian memang hendak singgah di Desa Siluman, silakan ke sana!
Dan, jangan menyesal kalau kalian akan terbujur menjadi mayat!"
"Hm..., dari mana kalian mengenal desa itu sebagai Desa Siluman" Setahu kami,
nama desa itu adalah Kalianyar. Jelas, kalau kalian berdua bermaksud menipu
kami," sambut salah seorang pedagang itu yang juga merasa tersinggung dengan
bentakan Kenanga.
"Desa Kalianyar..." Tapi, malam tadi kami baru saja singgah untuk bermalam di
sana. Menurut keterangan salah seorang keamanan, desa itu bernama Desa Siluman.
Mana mungkin kami salah dengar?" bantah Panji yang merasa heran ketika pedagang
itu itu menyebut nama desa itu sebagai Desa Kalianyar. Jelas, menurutnya telah
terjadi kekeliruan di antara mereka.
"Huh! Sudahlah, Kakang. Untuk apa mengingatkan orang-orang keras kepala yang
konyol itu. Lebih baik kita lihat saja, semoga mereka tidak menjadi arwah
penasaran!" geram Kenanga yang segera mengajak Panji meninggalkan
rombongan pedagang itu. Sebab, kalau lama-lama berdebat dengan orang-orang itu,
Kenanga khawatir kemarahannya bisa meledak, tanpa dapat ditahan.
Panji mengerti mengapa Kenanga mengajaknya
meninggalkan rombongan pedagang keliling itu, dan ia sama sekali tidak berusaha
untuk membantah. Pemuda itu menurut saja ketika tangannya ditarik oleh gadis
jelita itu. Para pedagang keliling itu menggelengkan kepala setelah kedua orang muda itu
semakin jauh. Kemudian, tanpa mempedulikan peringatan Panji dan Kenanga,
rombongan pedagang itu pun kembali bergerak menuju Desa Kalianyar.
4 "Kita tidak bisa berdiam diri saja, apabila terjadi apa-apa dengan mereka,
Kenanga. Lebih baik kita ikuti saja, dan baru turun tangan, bila terjadi
sesuatu," usul Panji yang sudah berhenti melangkah, menyandarkan tubuhnya pada
sebatang pohon.
"Untuk apa, Kakang" Bukankah kita sudah memberikan peringatan" Kalau memang
nanti mereka mendapat celaka, itu sudah menjadi risiko mereka. Biar saja risiko
itu mereka tanggung sendiri," Kenanga yang masih belum lenyap kekesalannya,
tidak dapat menerima usul kekasihnya.
"Hm..., jangan bersikap seperti itu, Kenanga. Biar bagaimanapun mereka adalah
orang-orang yang tidak berdosa.
Lagi pula, mungkin saja desa itu bernama Kalianyar seperti yang dikatakan salah
seorang pedagang tadi. Karena, ia sangat yakin dan mantap sekali mengucapkan
nama desa itu," bujuk Panji yang mencoba melunakkan hati kekasihnya.
"Tapi kejadian yang baru kita alami semalam, Kakang. Jelas sekali mereka
menyebut nama desa itu sebagai Desa Siluman ketika aku bertanya kepada salah
seorang yang mengantarkan kita ke penginapan. Apakah mungkin pendengaranku
kurang beres?" Kenanga masih tetap membantah dengan nada agak jengkel.
"Ya, aku pun mendengar jawaban itu. Tapi, sebaiknya kita selidiki dulu kebenaran
kata-kata pedagang keliling itu. Ayolah, tidak baik kau mendendam hanya karena
persoalan sepele seperti ini," ajak Panji yang segera melangkah dan mengulurkan
tangannya membelai rambut gadis jelita yang tengah jengkel itu.
Kenanga tidak segera menyambut ajakan Panji. Gadis jelita itu bungkam dengan
wajah muram. Baru setelah Panji memeluk tubuhnya, gadis jelita itu mendongak.
Ditatapnya wajah Panji dengan sepasang mata beningnya.
"Baiklah, Kakang. Kita memang berniat menyelidiki desa penuh misteri itu. Jadi,
kedatangan kita ke sana bukan cuma karena hendak menyelamatkan para pedagang
sombong itu. Tapi, penduduk desa itulah yang harus kita selamatkan,"
akhirnya Kenanga menyetujui juga usul Panji, meskipun dengan alasan yang
berbeda. "Begitupun boleh," sahut Panji yang segera mengecup lembut rambut Kenanga.
Tak lama kemudian, mereka pun kembali melangkah menuju Desa Siluman. Tak sepatah
kata pun keluar dari mulut keduanya. Sepanjang perjalanan, mereka terbawa oleh
arus pikirannya masing-masing.
Saat matahari mulai bergerak naik, sepasang pendekar itu pun tiba di mulut Desa
Siluman. Dan apa yang mereka saksikan, benar-benar sulit dipercaya! Tampak mulut
desa itu ramai oleh para pedagang.
Panji dan Kenanga mengedarkan pandangan ke sekitar keramaian pasar itu. Kening
keduanya berkerut menyaksikan wajah-wajah yang sama sekali jauh berbeda dengan
apa yang mereka saksikan semalam. Tak satu pun dari orang-orang di pasar itu
berwajah pucat dan bergerak kaku. Kenyataan itu tentu saja menimbulkan tanda
tanya besar dalam hati mereka.
"Paman, kalau boleh kutahu, apakah nama desa ini...?"
Kenanga tidak sabar lagi, langsung dihampirinya seorang pedagang kulit binatang,
dan langsung menanyakan nama desa itu.
"Apakah Nisanak baru pertama kali datang ke desa ini?"
pedagang yang ditanya itu malah balik bertanya, hingga Kenanga terpaksa menelan
rasa kedongkolan dalam hatinya.
"Benar, Paman. Dan aku belum tahu nama desa ini," sahut Kenanga cepat-cepat.
"Kalau begitu, sering-seringlah singgah di Kalianyar ini.
Setiap pekan, desa kecil ini selalu ramai dikunjungi para pendatang yang ingin
membeli kulit binatang hasil tangkapan penduduk asli. Kulit dari jenis binatang
apa pun, mudah diperoleh di sini hanya dengan beberapa keping uang," jelas
lelaki itu sambil menawarkan barang dagangannya.
'Terima kasih. Saat ini aku belum membutuhkannya," sahut Kenanga yang segera
berlalu meninggalkan pedagang itu.
Kenanga yang jelas-jelas merasa tidak puas dengan jawaban pedagang kulit
binatang itu, segera mengajak Panji menjauhi keramaian pasar.
"Jelas apa yang kita alami semalam sekadar mimpi. Dan, aku semakin penasaran
untuk mengungkap misteri yang menyelimuti desa terpencil ini," gumam Panji yang
rupanya mendapat keterangan yang sama dengan kekasihnya.
Sehingga, hati pemuda itu kian bertambah penasaran.
"Sekarang marilah kita datangi rumah penginapan yang semalam kita tempati," usul
Kenanga yang juga kian penasaran dengan semua keterangan dan apa yang dilihatnya
pagi ini. Gadis jelita itu merasa kalau ia dan kekasihnya telah dipermainkan oleh orang-
orang yang sama sekali tidak diketahui.
Ketika keduanya hampir tiba di dekat rumah penginapan yang juga menyediakan
kedai makan itu, mendadak langkah
Kenanga terhenti. Ia melihat di depan kedai itu ada lima ekor kuda yang tengah
ditambatkan. "Ada apa...?" tanya Panji ketika melihat Kenanga menghentikan langkahnya tiba-
tiba. "Pedagang-pedagang sombong itu ada di dalam kedai, Kakang. Lebih baik kita
menghindar saja, daripada membuat keributan di dalam kedai makan itu." ujar
Kenanga dengan wajah muram. Jelas sekali kalau gadis jelita itu tengah dilanda
kemarahan. Mendengar ucapan kekasihnya, Panji mengerti mengapa Kenanga mengurungkan niatnya
untuk mendatangi kedai tempat mereka menginap semalam. Sebab, lima ekor kuda itu
adalah milik pedagang-pedagang keliling yang sempat mereka nasihati. Pemuda itu
pun tahu, bila ia memaksa untuk memasuki kedai, sudah pasti para pedagang
keliling itu akan mencemoohkan mereka.
"Kalau begitu, kita cari kedai lain saja...," ajak Panji sambil melangkah
meninggalkan kedai, yang hanya tinggal beberapa tombak di depan mereka.
Setelah keduanya agak lama mengitari desa ternyata mereka tidak menemukan adanya
kedai lain. Kedai makan, tempat mereka menginap semalam merupakan satu-satunya
penginapan dan sekaligus kedai makan di Desa Kalianyar itu.
Memang hal itu wajar. Karena Desa Kalianyar merupakan desa kecil yang hanya
dihuni beberapa puluh orang penduduk.
"Kurang ajar! Apa yang harus kita perbuat sekarang, Kakang?" geram Kenanga yang
merasa jengkel dengan keadaan itu.
"Hm..., lebih baik kita terus saja keluar perbatas desa sebelah Timur. Dari sana
mungkin kita bisa menyelidiki, kalau-
kalau ada sesuatu yang dapat dijadikan sebagai pegangan,"
usul Panji yang segera disetujui Kenanga.
Pasangan pendekar yang tengah dilanda tanda tanya besar itu melangkah perlahan
menuju batas desa sebelah Timur.
Setelah jalan yang mereka lalui agak sepi, barulah keduanya menggunakan ilmu
meringankan tubuh untuk mengitari Desa Kalianyar.
*** Matahari sudah semakin naik tinggi ketika Panji dan Kenanga memasuki sebuah
daerah perbukitan tandus. Keduanya mengernyitkan hidung ketika mencium sesuatu
yang tidak sedap.
"Uh, bau apa ini, Kakang..?" desis Kenanga sambil memijit hidungnya ketika bau
yang tak sedap menyergapnya.
"Seperti bau busuk yang berasal dari tubuh mayat.
Sebaiknya kita selidiki lebih ke dalam," sahut Panji yang segera melanjutkan
langkahnya sambil menahan rasa mual.
"Uhhh...," Kenanga kembali mengeluh dan jengkel.
Dilepaskannya sabuk hijau yang melingkari pinggangnya.
Kemudian dilekatkan ke kepalanya hingga menutupi hidung.
Setelah itu, baru bergerak menyusul Panji.
Bau busuk yang memenuhi sekitar perbukitan itu terasa makin keras, ketika
keduanya tiba di sebuah tempat yang agak rendah. Sewaktu Panji memaksakan diri
melihat ke bawah, cepat pemuda itu melompat mundur.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga dengan wajah berubah. Jelas, gerakan Panji
yang tiba-tiba itu telah membuatnya terkejut.
"Bau busuk itu pasti berasal dari bawah sana," ujar Panji yang rupanya ketika
menjenguk ke bawah ada hawa busuk yang sangat keras menyambar. Sehingga, pemuda
itu terlompat ke belakang.
"Hm..., apa yang kalian cari di tempat sunyi ini."
Tiba-tiba terdengar teguran dengan suara parau dan napas agak terengah. Disusul
munculnya seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun, yang
menggendong ranting kering di pundaknya. Hal itu menandakan kalau ia adalah
seorang pencari kayu.
Baik Panji maupun Kenanga menoleh serentak ketika mendengar suara teguran yang
mengejutkan itu. Keduanya menatap dengan kening berkerut ketika melihat seorang
laki-laki tua menghampiri mereka.
"Siapakah Kakek" Dan mengapa muncul tiba-tiba. Anehnya, kami sama sekali tidak
mendengar langkah kaki Kakek?" tanya Kenanga yang merasa curiga melihat
kemunculan laki-laki tua itu yang demikian tiba-tiba.
"Ah..., benar-benar aneh sekali kau ini, Nisanak.
Pertanyaanku belum lagi kau jawab, eh...! Sudah menanyakan orang. Aih..., benar-
benar dunia sudah terbalik. Lagi pula mana bisa orang mendengar langkah kaki
orang lain" Apakah kalian berdua ini malaikat sampai-sampai suara langkah kaki
orang pun kalian pedulikan," omel laki-laki tua itu seperti tidak senang dengan
sikap Kenanga. Namun, sorot matanya tanpa rasa tersinggung sedikit pun.
Melihat suasana yang kurang enak itu, Panji bergegas melangkah melewati Kenanga.
Dengan sikap hormat, pemuda itu membungkukkan tubuhnya.
"Maaf, Kek. Kami adalah dua orang pengembara yang tersesat. Karena tertarik
dengan adanya bau busuk di sekitar tempat ini, maka kami mencoba mencarinya.
Sepertinya, kami sudah menemukan sumber bau tak sedap itu di kaki bukit sebelah
Barat. Karena terlalu bernafsu, kami sampai tidak memperhatikan keadaan di
sekeliling. Sehingga, kehadiran Kakek sempat mengejutkan kami berdua," ucap
Panji dengan nada sopan.
"Hm..., anak baik.., anak baik. Nada bicara dan sikapmu sangat sopan sekali.
Tentu kau orang kota yang kaya dan terpelajar. Apakah dugaanku salah?" ujar
laki-laki tua itu, mengakhiri kalimatnya dengan pertanyaan, yang bernmada
menyelidik. Panji bukanlah orang bodoh. Meskipun laki-laki tua itu mengatakan tidak mengerti
ilmu silat, dengan mengibaratkan orang yang mendengar langkah kaki manusia lain
sebagai malaikat, namun gerak-gerik laki-laki tua itu tidak luput dari
pengamatan matanya yang tajam. Dari gerak langkah maupun potongan tubuh laki-
laki tua itu, jelas ia bukan orang lemah.
Panji menduga paling tidak laki-laki tua itu memiliki atau pernah mempelajari
ilmu silat. Tapi entah mengapa hal itu seperti hendak disembunyikannya. Hal itu
membuat Pendekar Naga Putih mengambil keputusan untuk berpura-pura bodoh, dan
tidak mengetahui.
Sedangkan laki-laki tua itu sudah melangkah mengitari tubuh Panji. Menilik dari
sikapnya, jelas hendak menilai Pendekar Naga Putih.
"Hm..., untuk apa kalian merepotkan diri, hanya untuk mencari sumber bangkai


Pendekar Naga Putih 36 Misteri Desa Siluman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

binatang hutan ini. Semua penduduk Desa Kalianyar sudah tahu, di kaki bukit
sebelah Barat itu tempat pembuangan bangkai-bangkai binatang yang tidak disukai
dagingnya. Jadi hanya kulitnya yang mereka bawa pulang. Apakah kau tidak tahu
kalau penduduk desa itu bermata pencaharian sebagai pemburu?" tanya laki-laki
tua itu lagi sambil menghentikan langkah kakinya dan berdiri di depan Panji.
"Ah! Jadi tak jauh dari sini ada pemukim penduduk" Kalau begitu, kebetulan
sekali. Kami memang hendak mencari tempat untuk beristirahat beberapa malam.
Maklumlah kami telah melakukan perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan," aku
Panji berbohong. Karena, ia mencurigai laki-laki tua itu.
"Hm..., kalian berdua tentunya sepasang suami istri muda yang tengah pesiar.
Kusarankan agar kali mencari desa lain saja untuk bermalam. Sebab, Desa
Kalianyar sangat terpencil dan jauh letaknya dari desa-desa lain. Suasananya
tentu tidak menyenangkan bagi kalian berdua, bukan?" jawab laki-laki tua itu,
menasihati. "Kalau memang begitu nasihat Kakek, baiklah. Kami berdua akan mencari tempat
lain yang lebih menyenangkan," ujar Panji sambil merengkuh bahu Kenanga. Seolah-
olah dengan berbuat demikian, dia ingin meyakinkan laki-laki tua itu bahwa
mereka memang sepasang suami istri.
"Bagus, kalau kalian mengerti...," puji laki-laki tua itu dengan wajah gembira.
"Nah! Aku pamit dulu, hendak membawa kayu bakar ini pulang. Istriku di rumah
sangat cerewet Telat sedikit saja, bisa-bisa aku kena marah."
Setelah berkata demikian, laki-laki tua itu pun melangkah tertatih-tatih
meninggalkan Kenanga dan Panji, yang melepasnya dengan pandangan penuh
perhatian. "Kau yakin kalau kakek itu tidak mengerti tentang ilmu silat, Kakang?" tanya
Kenanga setelah bayangan laki-laki tua itu lenyap di balik pepohonan hutan.
"Entahlah. Yang jelas, aku sangat mencurigainya. Meskipun ia berusaha
menyembunyikan, namun aku sempat melihat sorot mata aneh dari sepasang mata
tuanya itu," jawab Panji sambil tetap menatap tempat di mana laki-laki tua tadi
lenyap. "Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang, Kakang?"
Kenanga sepertinya belum dapat memutuskan kelanjutan dari penyelidikan mereka.
"Hm..., aku masih merasa khawatir kalau kakek itu tidak pergi jauh dari tempat
ini. Sebaiknya, kita berpura-pura meninggalkan tempat ini. Setelah agak aman,
baru kita kembali untuk menyelidiki bangkai apa sebenarnya yang menimbulkan bau
menusuk hidung itu," sahut Panji menjelaskan rencananya.
Mendengar rencana itu, Kenanga hanya mengangguk menyetujui. Kemudian, tanpa
berkata apa-apa lagi keduanya bergegas meninggalkan daerah perbukitan itu. Cukup
lama juga pasangan pendekar itu berputar-putar, hanya untuk menghilangkan
kecurigaan laki-laki tua, yang mungkin saja tengah mengintai mereka.
"Kita kembali sekarang, dengan mengambil jalan memutar,"
ujar Panji yang saat itu telah menghentikan larinya. Lalu, ia memutar langkah
dan kembali menuju ke sebelah Barat perbukitan. Tujuannya jelas, ingin
menyelidiki sumber bau yang menusuk hidung itu.
Setelah tiba di tempat yang dituju, keduanya bergegas menuruni daerah yang mirip
sebuah lembah kecil itu.
Pepohonan yang tumbuh tak beraturan menolong mereka dari penglihatan orang-orang
yang berada di atas. Sehingga, keduanya lebih leluasa melakukan penyelidikan.
Dengan wajah sebagian tertutup sabuk, keduanya bergerak terus meneliti setiap
jengkal tanah di dataran rendah itu. Bau bangkai yang semakin keras itu membawa
langkah mereka hingga ke dinding bukit. Panji menatap dengan kening berkerut
ketika melihat sebuah mulut gua yang cukup lebar.
"Hm..., sepertinya dari dalam gua itulah asal bau busuk yang menusuk hidung,"
gumam Panji sambil menoleh ke arah kekasihnya. Kemudian, kakinya kembali
melangkah dengan sikap yang lebih hati-hati.
"Apakah gua ini berpenghuni, Kakang...?" bisik Kenanga di telinga Panji.
"Entahlah. Yang jelas, kita harus tetap waspada," sahut Panji mengingatkan.
Panji mulai merasa yakin kalau gua itu tidak berpenghuni.
Itu terlihat ketika mereka telah berada di mulut gua, tak satu gerakan pun
terdengar dari dalam. Dan dengan pengerahan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' untuk menerangi bagian dalam gua, Panji bergerak
masuk. Sementara itu, Kenanga hanya mengikuti dari belakang kekasihnya. Gadis jelita
itu sudah meraba gagang senjatanya, seolah-olah siap menghadapi segala
kemungkinan yang akan terjadi.
5 Matahari sudah semakin tergelincir ke sebelah Barat. Saat itu Panji dan Kenanga
telah berada dalam gua. Hati keduanya semakin bertambah penasaran ketika mereka
menemukan tumpukan tulang tengkorak manusia. Jelas, bau busuk itu bukan berasal
dari bangkai binatang, seperti yang mereka dengar dari laki-laki tua pencari
kayu bakar. "Gua ini seperti tempat penjagalan manusia, Kakang...,"
desis Kenanga yang mulai merasa mual menyaksikan pemandangan yang mengerikan
itu. Panji sama sekali tidak menyahuti ucapan kekasihnya.
Karena, saat itu ia telah menemukan sesuatu yang cukup mengejutkan.
"Semuanya sudah jelas sekarang," gumam Panji ketika menemukan lima kepala wanita
muda yang tampak membengkak.
"Ihhh...!" Kenanga memekik perlahan ketika melihat pemandangan yang membuat bulu
tengkuknya berdiri. Tanpa mempedulikan Panji lagi, gadis jelita itu bergegas
membalikkan tubuhnya, dan berlari menuju mulut gua. Jelas kalau Kenanga tidak
sanggup melihat pemandangan yang disaksikannya itu.
Setelah meneliti dan memastikan semua mayat itu belum lama terjadi, Panji
bergegas menyusul Kenanga. Belum lagi langkah pemuda itu sampai di mulut gua,
tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang disusul dengan gelapnya suasana di dalam
gua itu. "Kakang...!"
Bagaikan kilat, Panji melesat ke depan ketika mendengar suara jeritan
kekasihnya. Namun, meski telah tiba di mulut gua, ia tidak menemukan sama kali
tempat ke luar. Dinding gua telah tertutup oleh batu besar. Sehingga, Panji
terkurung di dalamnya.
"Kenanga...!" Panji berteriak ketika tidak menemukan Kenanga di dalam gua itu.
Hatinya bertambah cemas ketika lamat-lamat didengarnya pertempuran yang terjadi
di luar gua. Jelas Kenanga telah hertarung melawan orang yang diketahui Panji.
Sadar dirinya telah dijebak secara licik, Panji menjadi gusar.
Rasa cepat ingin menyelamatkan kekasihnya, membuat pemuda itu tidak mau
membuang-buang waktu lagi. Dengan diiringi sebuah geraman lirih, Panji
menghimpun kekuatan tenaga saktinya, dan menyalurkan ke kedua belah tangannya.
"Heaaat..!"
Dengan sebuah teriakan membahana, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya
ke depan. Whusss...! Serangkum angin dahsyat berhawa dingin menusuk tulang, meluncur dengan kecepatan
kilat, dan langsung menghantam batu besar yang menyumbat mulut gua itu. Dan....
Blarrr...! Hebat sekali akibat pukulan jarak jauh yang dilontarkan Panji. Debu tebal
mengepul, diiringi sebuah ledakan keras seperti akan meruntuhkan bukit itu.
Seluruh isi gua bergetar akibat pukulan dahsyat pemuda itu.
Bahkan langit-langit gua berderak, dan batu-batu kecil berjatuhan, bagai hujan
kerikil. Bagi Panji sendiri, hal itu tidak terlalu dipusingkannya Setelah melontarkan
pukulan, tubuh pemuda itu langsung melesat menerobos kepulan debu tebal yang
bergulung-gulung menutupi mulut gua.
"Haiiit..!"
Bagaikan bayangan hantu, tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat dan berjumpalitan
dengan gerakan yang indah.
Begitu tiba di luar gua, Panji menjejakkan kedua kakinya di tempat yang aman.
Panji segera mengedarkan pandangan matanya sekeliling tempat itu. Ketika melihat
Kenanga dikeroyok belasan orang berpakaian hijau tua, cepat-cepat tubuh pemuda
itu melesat ke arena pertempuran.
"Heaaah...!"
Panji langsung melontarkan dua buah pukulan keras, begitu tiba di tengah arena
pertempuran. Sekali bergerak, pemuda itu telah dapat menyelamatkan kekasihnya
dari incaran dua orang pengeroyoknya.
Desss! Desss! Terdengar jerit kesakitan ketika dua orang pengeroyok Kenanga terpental bagai
dilemparkan tangan-tangan raksasa.
Kemudian jatuh ke atas tanah berbatu dengan menimbulkan suara berdebuk nyaring.
"Kakang..., tubuh mereka kebal terhadap senjata...," ujar Kenanga yang merasa
lega ketika melihat Panji telah berada di dekatnya. Kecemasan gadis itu lenyap
seketika begitu melihat kekasihnya selamat.
Mendengar ucapan Kenanga, Panji menoleh ke arah dua orang yang terkena
pukulannya tadi. Keningnya sempat
berkerut ketika melihat dua orang itu telah bangkit kembali tanpa terlihat
seringai kesakitan di wajahnya.
"Hm..., aneh! Mengapa orang-orang yang kita temui dalam beberapa kali
pertarungan selalu kebal terhadap pukulanku"
Ilmu apa sebenarnya yang mereka miliki?" gumam Panji heran dengan suara
perlahan. Namun, kedua orang itu tidak berpikir lebih lama. Belasan orang berpakaian hijau
tua itu telah bergerak ke arah mereka dengan senjata di tangan.
"Hm...."
Panji menggeram dengan hati gusar. Beberapa kali ia diserang tanpa sebab oleh
orang-orang aneh, yang belum pernah dijumpainya. Sehingga kemarahan pemuda itu
bangkit. Tubuhnya berdiri tegak menanti datangnya serangan lawan.
Ketika serangan empat orang terdepan mengancam tubuh Panji, pemuda itu sama
sekali berusaha mengelak. Dengan kedua tangan terangkat ke atas, Panji siap
memapaki serangan empat orang pengeroyoknya.
"Heaaahhh...!"
Dengan sebuah bentakan keras, Panji mendorongkan kedua tangannya ke depan
menyambut serangan pengeroyoknya.
Bresssh...! Terdengar suara ledakan keras ketika gumpalan sinar putih berhawa dingin itu
membentur tubuh empat orang lawannya.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh keempat orang pengeroyok itu langsung terpental
ke segala arah.
Tubuh keempat orang itu terbanting dengan menimbulkan suara berdebuk nyaring.
Melihat cairan merah yang keluar dari
sela-sela bibir mereka, tentu saja pukulan Panji telah menimbulkan luka dalam
yang parah. "Matikah mereka, Kakang...?" tanya Kenanga yang merasa terkejut melihat akibat
pukulan kekasihnya.
'Tidak. Mereka hanya terluka parah. Aku sengaja tidak membunuh mereka, agar
dapat mengorek keterangan tentang sebab pengeroyokan ini," sahut Panji
menjelaskan rencananya kepada Kenanga.
*** Gertakan Panji rupanya cukup membuat lawan-lawannya tertegun. Terlihat sisa
orang-orang berpakaian serba hijau itu berdiri dengan wajah kaku. Tampak mereka
mulai merasa ragu untuk bergebrak dengan Pendekar Naga Putih, yang belum mereka
kenal itu. "Hm..., mengapa kalian hanya berdiri bagai patung" Ayo, majulah! Bukankah kalian
menghendaki kematian kami berdua...?" tantang Panji dengan suara berat dan
mengandung pengaruh yang menggetarkan.
Kawanan lelaki berpakaian serba hijau itu terlihat ragu.
Sepertinya perbuatan Panji yang sekali pukul dan merobohkan empat orang
kawannya, membuat mereka menjadi hati-hati.
Sehingga, untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak hanya saling pandang
dengan tatapan tajam.
Merasa mendapat kesempatan untuk berbicara, Panji bergerak maju beberapa
langkah. Dirayapinya wajah-wajah pucat kehijauan itu dengan pandangan
menyelidik. "Hm..., siapakah sebenarnya kalian" Mengapa kalian memusuhi kami berdua"
Seingatku, di antara kita belum pernah bertemu, apalagi bermusuhan," ujar Panji
Pendekar Patung Emas 21 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pengejar Nyawa 16
^