Pencarian

Misteri Selendang Biru 2

Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru Bagian 2


melompat, Wintari melepaskan serangan dengan selendang birunya.
Whuuittt...! Jdaaarrr...!
"Haaaiittt...!"
Hampir saja ujung selendang yang suaranya me-
mekakkan telinga itu mengenai sasaran! Untung gera-
kan pemuda tampan berjubah putih masih jauh lebih
cepat dari "erangan lawannya. Dan sambaran selen-
dang biru itu pun hanya mengenai angin kosong.
Namun, kepandaian dara remaja itu dalam memain-
kan senjatanya benar-benar mengagumkan sekali. Wa-
laupun serangan pertamanya berhasil dielakkan la-
wan, Wintari sama sekali tidak putus asa. Dengan diiringi sebuah bentakan
nyaring, diputarnya senjata
lemas itu, dan kembali meliuk dan mematuk ke arah
tubuh lawan yang saat itu masih berada di udara!
"Heaaa.!"
Jdaaarrr! Jdaaarrr!
Serangan selendang biru gadis cantik itu benar-
benar maut! Kalau saja pemuda tampan berjubah pu-
tih itu tidak memiliki kepandaian tinggi, dapat dipasti-kan tubuhnya akan
tergeletak dihantam sera-ngan la-
wan. Untung ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
pemuda itu terlihat demikian sempurna. Meskipun se-
rangan lawan sangat gencar mengejarnya, tapi pemuda itu dapat mengelakkan semua
serangan ujung selendang lawan yang mematuk-matuk dengan ledakan ke-
ras itu. "Gila! Kepandaian dara remaja itu sangat hebat se-
kali! Kalau saja ia merupakan seorang murid tokoh sesat, akan celakalah orang-
orang yang bermusuhan
dengannya," gumam pemuda itu sambil menghindar-
kan lecutan selendang lawan. Kemudian pemuda itu
meluncur turun sejauh satu setengah tombak dari
tempat Wintari berada.
Baru saja kedua kaki pemuda itu menginjak tanah,
Wintari kembali membentak keras! Ujung selendang-
nya meluncur dengan kecepatan menggetarkan, dan
siap meremukkan tubuh lawan!
Syuuuttt...! "Hmmm...."
Pemuda tampan berjubah putih itu kali ini tidak ke-
lihatan berusaha menghindar. Dengan kedua kaki ter-
pentang, ia menanti datangnya serangan lawan.
"Heaaahhh!"
Begitu ujung selendang biru lawan hampir men-
capai tubuhnya, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan
bentakan nyaring. Berbarengan dengan tibanya ujung
selendang yang mengincar batok kepalanya, pemuda
berjubah putih itu menggeser tubuh dengan kedudu-
kan kuda-kuda miring. Tangan kirinya bergerak sigap menangkap ujung selendang
lawan! Wreeettt...! Wintari yang sama sekali tidak menduga kalau la-
wan akan berbuat nekat, mencoba menarik kembali
senjatanya. Sayang gerakannya masih kalah cepat.
Akibatnya, ujung selendang biru itu berhasil ditangkap lawan. Kendati demikian,
dara remaja itu tidak kehilangan akal sama sekali. Ia cepat membetot seraya
mengerahkan segenap tenaga saktinya.
"Heaaahhh...!"
Terjadilah tarik-menarik dengan kekuatan tenaga
dalam yang tinggi. Wajah dara remaja yang cantik itu tampak kemerahan. Agaknya
gadis cantik itu telah
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya. Se-
dangkan pemuda berjubah putih itu sendiri, tampak
sekujur tubuhnya terselimut kabut putih keperakan.
Wrrrttt! Selendang biru yang menjadi tumpuan adu kekua-
tan tenaga sakti itu, terlihat semakin menegang! Bahkan pada ubun-ubun Wintari
tampak mengeluarkan
kepulan asap tipis. Hal itu menandakan Wintari telah menggunakan tenaga hingga
ke puncaknya. "Yeaaahhh...!"
Setelah agak lama adu kekuatan tarik-menarik itu
berlangsung, pemuda tampan berjubah putih itu tiba-
tiba membentak nyaring. Seiring dengan bentakan
yang menggelegar itu, ia menyentakkan selendang
sambil menambah kekuatannya. Akibatnya....
"Aaahhh...!?"
Tubuh gadis cantik itu tampak terangkat naik aki-
bat sentakan keras lawannya. Kendati demikian, Win-
tari tidak kehilangan akal. Dengan memanfaatkan
daya luncur akibat sentakan lawan, gadis cantik itu meluncur ke arah lawan
seraya menyiapkan serangan
mautnya! Pemuda tampan berjubah putih yang tidak lain ada-
lah Panji itu, tentu dapat menduga apa yang akan dilakukan Wintari. Begitu tubuh
gadis cantik itu meluncur turun, ia segera melontarkan tusukan jari-jari
tangannya yang berbentuk paruh ular itu. Panji cepat
berkelit sambil mengirimkan tamparan ke arah bahu
lawan. Whuuuttt! Plakkk! Wintari yang belum mengetahui pemuda berjubah
putih itu, menjadi terkejut bukan main! Ia tidak menyangka sama sekali kalau
pemuda itu sanggup me-
lontarkan serangan yang memiliki kecepatan kilat!
Akibatnya, gadis cantik itu tidak sempat mengelak!
"Aaakkkhhh...!?"
Wintari terpekik. Tubuhnya kembali terpental balik.
Untung Panji tidak berniat mencelakai gadis itu. Kalau tidak, mungkin akibatnya
akan lebih parah, dan bukan sekedar luka ringan!
"Heaaahhh...!"
Dara remaja itu kembali menunjukkan kebolehan-
nya. Dengan sebuah seruan nyaring, dara itu berhasil mematahkan daya luncur
tubuhnya. Kemudian ia
mendaratkan kedua kakinya di atas tanah, setelah
bersalto di udara. Meski kedudukannya terlihat agak goyah, namun gadis remaja
itu tidak mengalami luka
yang mengkhawatirkan.
"Hmmm..., jangan kau pikir aku akan menyerah be-
gitu saja, pemuda sombong! Sejak semula sudah kuka-
takan bahwa kita akan bertarung sampai mati! Dan,
ucapan itu akan kubuktikan...!" geram Wintari sambil bersiap kembali untuk
melanjutkan pertarungan dengan tangan kosong!
"Celaka...!" desis Panji yang mulai kehilangan akal menghadapi dara remaja yang
keras hati itu. Karena Panji tidak ingin mencelakai gadis itu, maka pemuda
berjubah putih itu berniat untuk tidak melanjutkan
pertarungan. "Hei, mau ke mana kau, pemuda pengecut!" bentak
Wintari ketika melihat pemuda itu hendak meninggal-
kannya. Cepat ia memungut selendangnya dan berge-
rak mengejar pemuda itu.
Melihat gadis cantik itu mengejarnya, timbul niat
lain dalam hati Panji. Pemuda itu sudah merasakan
betapa berbahayanya kepandaian yang dimiliki Win-
tari. Bila gadis itu ditinggalkannya di Desa Keranggan, bukan tidak mungkin
Wintari akan mencari keempat
orang yang mengganggunya di kedai tadi. Untuk itu
Panji berniat membawa Wintari sejauh-jauhnya dari
Desa Keranggan.
Pendekar Naga Putih memang sengaja tidak ingin
melarikan diri secara sungguh-sungguh. Itu sebabnya gadis cantik itu tidak
kehilangan buruannya. Setelah jauh meninggalkan Desa Keranggan, Panji segera
mengerahkan ilmu larinya lebih cepat. Dan Wintari pun
kehilangan jejak pemuda tampan berjubah putih yang
dikejarnya itu.
"Setan...!" maki Wintari sembari membanting-
bantingkan kaki kanannya ke tanah. Hati dara remaja itu benar-benar jengkel
ketika buruannya tiba-tiba lenyap. Kini, tinggallah ia sendiri di tengah
kelebatan hutan.
Saat itu hari mulai gelap. Angin senja berhembus
keras menerbangkan dedaunan kering. Wintari ter-
paksa harus melewatkan malam di dalam hutan. Ka-
rena untuk mencari tempat menginap jelas sudah ti-
dak keburu. "Kurang ajar...! Kalau lain kali aku bertemu lagi
dengannya, tidak akan kubiarkan ia lolos...!" Wintari berjanji dalam hati seraya
mengepalkan tinjunya yang mungil itu erat-erat.
*** 4 Malam baru saja berganti pagi. Di ufuk sebelah Ti-
mur, tampak cahaya matahari bersinar kemerahan.
Kendati demikian, jalan utama di Desa Keranggan terlihat dipenuhi oleh orang-
orang yang berlalu lalang.
Mereka umumnya para petani yang siap menggarap
sawah ladangnya.
Ketika cahaya matahari mulai merata menyinari
permukaan tanah desa itu, jalan pun kembali agak
sunyi. Hanya ada beberapa orang yang tampak hilir
mudik di jalan utama desa itu. Kedai-kedai makan pun terlihat masih sepi. Hanya
satu dua orang pengunjung yang terlihat tengah menikmati hidangan. Itu pun ke-
banyakan para pedagang keliling yang tengah mele-
paskan lelah sambil mengisi perut.
Saat matahari mulai naik semakin tinggi, terlihat
sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba pu-
tih melenggang, menyusuri jalan utama Desa Kerang-
gan. Tidak lama kemudian, gadis cantik yang di bagian pinggangnya terbelit
selendang berwarna biru tua itu, berbelok dan memasuki sebuah kedai yang paling
besar di desa tersebut.
"Aiiih, Nisanak!" sambut seorang pelayan setengah
baya ketika sosok tubuh ramping itu tiba di ambang
pintu kedai. Wajah gadis cantik itu, tampak menyiratkan sinar kebengisan. Jelas
hati dara yang tidak lain dari Wintari itu tengah tidak senang.
"Aku kemari bukan untuk menikmati makananmu!"
sungut Wintari dengan nada ketus dan galak. Men-
dengar ucapan itu, hati pelayan setengah baya itu
menjadi ciut ketakutan. Lelaki itu memang mengenali wanita muda itu sebagai
orang yang memiliki kepandaian silat tinggi.
"Kejadian kemarin bukanlah salah kami, Nisanak,"
ujar pelayan setengah baya itu berusaha membela diri.
Ia merasa khawatir kalau-kalau dara gadis cantik itu akan mengamuk dan memporak-
porandakan kedainya.
"Jelaskan siapa keempat orang lelaki yang kemarin
menggangguku" Tunjukkan di mana mereka ting-
gal...?" kata Wintari dengan suara ketus dan wajah penuh kegeraman. Sepertinya
gadis itu sangat men-
dendam atas kejadian kemarin yang membuatnya ter-
paksa menerima kenyataan pahit, dan hampir dipe-
cundangi seorang pemuda tampan yang sempat mena-
rik hatinya. Dan, gadis cantik itu menuduh keempat
orang itulah yang menyebabkan ia harus bermusuhan
dengan pemuda itu. Kalau tidak, tentu ia bisa bersahabat dengan pemuda berjubah,
putih yang tidak lain Panji si Pendekar Naga Putih.
"Oh, itu... itu akan kujelaskan, Nisanak...," sahut pelayan setengah baya itu
dengan tubuh gemetar. Beberapa orang pedagang keliling yang sempat melirik ke
arah pelayan itu merasa heran. Sesaat kemudian mereka kembali menikmati
hidangannya dengan sikap
masa bodoh. "Cepat katakan! Jangan coba-coba berdusta! Kalau
tidak, kepalamu akan kupuntir!" ancam Wintari. Hati gadis cantik itu tidak
merasa iba sama sekali meski pelayan itu sudah tampak ketakutan sekali.
"Mereka... mereka tinggal di sebuah rumah besar
yang terletak di ujung desa ini. Aku... pun tidak menyukai mereka. Karena
keempat orang itu seringkali
memeras uang kami," tutur pelayan setengah baya itu mencoba berpihak kepada
Wintari. Namun, dara cantik itu sama sekali tidak peduli. Setelah mendengar
penjelasan itu, gadis cantik itu segera mengayunkan langkah menuju rumah yang
dimaksud. Dengan agak tergesa, dara remaja itu melangkah
menyusuri jalan utama Desa Keranggan. Wintari tidak peduli sama sekali dengan
tatapan heran dari beberapa orang wanita yang melihat gadis cantik itu berjalan
terburu-buru. Namun, belum lagi ia tiba di tempat
yang ditujunya, dari kejauhan terlihat enam orang lelaki berjalan ke arahnya.
Wintari segera mengenali empat orang di antaranya.
Ia pun menunda langkahnya. Gadis cantik itu tidak
peduli sama sekali ketika seorang lelaki brewok menudingkan jari telunjuk ke
arahnya. Jelas keempat orang itu membawa kawannya untuk mencari Wintari.
"Hm..., gadis muda itukah yang telah mempe-
cundangi kalian...?" ujar lelaki tegap berbahu kekar itu. Ucapannya terdengar
bernada meremehkan. Jelas
lelaki yang berusia sekitar empat puluh delapan tahun itu menganggap enteng
sosok Wintari. Wintari menyipitkan sepasang mata beningnya se-
perti hendak menegasi sosok tegap berbahu lebar itu.
Gadis remaja yang cantik itu tetap berdiri tenang seraya menanti kedatangan
calon lawan-lawannya.
"Benar, Ki Wantara. Gadis setan itulah yang telah
mencelakakan kami. Hati-hati, Ki. Kepandaiannya
sangat tinggi sekali...," ujar lelaki brewok bertubuh kekar itu mengingatkan.
"Wantara...," desis bibir merah yang menantang itu
sambil mengernyitkan dahinya. Nama itu diucapkan
dengan nada penuh rasa dendam yang dalam.
Ki Wantara dan rombongannya berhenti dalam ja-
rak satu tombak dari sosok Wintari. Dirayapinya wajah gadis cantik itu tanpa
mengucapkan sepatah kata pun.
"Hm..., Benarkah kau yang bernama Wantara...?"
tanya Wintari minta kepastian dari lelaki tegap berbahu lebar yang tengah
mengamati wajahnya itu.
"Benar. Akulah Ki Wantara. Siapakah kau, Nisa-
nak" Mengapa kau melukai orang-orangku tanpa se-
bab?" tanya Ki Wantara bernada teguran. Tapi, Wintari sama sekali tidak peduli,
meskipun jelas-jelas keempat orang lelaki yang kemarin berkelahi dengannya
memberikan laporan palsu kepada Ki Wantara.
"Mana kawanmu yang bernama Galangsa itu...?"
tanya Wintari tanpa mempedulikan pertanyaan lawan
bicaranya. Tampak sepasang matanya mengawasi so-
sok tegap yang lebih jangkung dari Ki Wantara. Ru-
panya Wintari menduga kalau lelaki tegap jangkung itu bernama Galangsa. Sebab,
empat orang lainnya telah diketahui kepandaiannya. Dan, Wintari yakin kalau di
antara keempat orang lelaki yang pernah dihajarnya


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, tidak ada yang bernama Galangsa. Itu sebabnya ia menduga kalau lelaki tegap
jangkung yang berusia sekitar empat puluh lima tahun itu yang mungkin ber-
nama Galangsa. Ki Wantara sendiri sempat terkejut mendengar per-
tanyaan yang tidak disangkanya itu. Ucapan itu mem-
buatnya mencoba mengenali siapa adanya gadis rema-
ja di hadapannya. Tapi, meski telah berusaha keras
memutar otak, lelaki setengah baya itu tetap saja tidak mengenali Wintari.
Bahkan Ki Wantara yakin ia belum pernah berjumpa dengan dara remaja yang cantik
itu. "Siapa kau, Nisanak" Dan, ada keperluan apa kau
menanyakan kawanku itu?" tanya Ki Wantara tanpa
menjawab pertanyaan Wintari. Lelaki tua itu seper-
tinya ingin mengetahui lebih dulu tentang siapa se-
sungguhnya gadis cantik berpakaian serba putih itu, sebelum menjawab pertanyaan
Wintari. "Hm..., tidak perlu kau jelaskan, aku sebenarnya
sudah bisa menduga yang mana bangsat Galangsa
itu!" kata Wintari geram seraya melemparkan pandan-
gan tajam ke arah lelaki tegap jangkung yang sempat membuatnya terkejut.
Ternyata gadis cantik yang tidak dikenalnya sama sekali itu dapat menebak secara
tepat dirinya. "Kurang ajar...! Sepertinya kau tidak pernah diajar tata kesopanan oleh orangtua
mu! Laporan Barga rupanya tidak salah. Kau memang sengaja datang ke de-
sa ini untuk mencari perkara. Sampai-sampai kau be-
rani melukai orang-orangku yang tidak bersalah," ujar Ki Wantara geram karena
gadis cantik itu sama sekali tidak pernah menjawab pertanyaannya satu pun. Hal
itu sudah cukup baginya untuk memberi pelajaran.
"Hm..., anjing-anjing rakus! Aku datang mewakili
ibuku untuk mencabut nyawa kalian berdua!" ujar
Wintari sambil menudingkan jari telunjuknya ke wajah Ki Wantara dan Galangsa.
Tampak wajah kedua orang
itu menjadi pucat seperti kertas.
"Apa... apa maksudmu, Gadis Gila... ?"Ki Wantara
mencoba mengelak meski suaranya terdengar gagap.
Jelas Ki Wantara belum bisa menduga apa yang di-
maksudkan gadis cantik itu. Sedangkan lelaki tegap
jangkung yang bernama Galangsa sudah menggeram
marah. Sebab, ucapan gadis remaja itu merupakan se-
buah penghinaan besar! Selama hidupnya, baru dara
remaja itulah yang berani memakinya sebagai anjing-
anjing rakus. Penghinaan itu sudah cukup membakar
kemarahan di dalam dadanya.
"Bedebah! Dasar kau kuntilanak kesasar! Kau be-
rani mati menghina kami dengan perumpamaan kotor
itu! Ucapanmu sama dengan mencelakakan dirimu!
Kau memang pantas untuk dihajar adat!" bentak Ga-
langsa yang segera melompat, dan mengayunkan pu-
kulannya ke arah Wintari!
"Whuuuttt...!"
"Hmmm...."
Wintari hanya bergumam mengejek. Tubuhnya ber-
gerak ke kiri menghindari serangan itu. Kemudian
dengan gerak secepat kilat, telapak tangannya ber-
gerak hendak menggedor dada lawan.
Tapi, kepandaian Galangsa tentu saja tidak dapat
disamakan dengan lelaki brewok yang dipanggil den-
gan nama Barga itu. Dengan menarik pulang kaki de-
pannya, maka hantaman telapak tangan Wintari pun
hanya mengenai daerah kosong!
"Bagus! Ternyata kau memiliki kepandaian yang
lumayan manusia busuk! Tapi, jangan merasa lega du-
lu. Sebentar lagi, nyawamu akan segera keluar dari ra-ga busukmu itu!" ejek
Wintari yang rupanya merasa
yakin kalau ia dapat menundukkan lawannya itu.
"Bedebah! Mulutmu jahat sekali, Nisanak! Kau me-
mang harus diberi pelajaran agar lain kali lebih sopan bila berhadapan dengan
orang tua. Dan, kau harus
mempertanggungjawabkan ucapanmu yang tidak bera-
lasan itu," ujar Ki Wantara geram. Lelaki itu rupanya sudah tidak dapat menahan
kesabarannya mendengar
ucapan-ucapan Wintari yang sangat keterlaluan itu.
"Hm..., jangan kalian berpura-pura bodoh, anjing-
anjing rakus! Perbuatan kalian di Hutan Welang pada sembilan belas tahun yang
lalu, hanya dapat dicuci
bersih dengan darah kotor kalian!" ujar Wintari lagi, yang membuat Ki Wantara
dan Galangsa sama-sama
terdongak dengan wajah pucat seputih kertas!
"Apa maksudmu...?" Ki Wantara berusaha mem-
bantah dengan maksud untuk mendapatkan ketera-
ngan secara lebih jelas dari mulut Wintari.
"Hm..., kalian ingat! Waktu itu seorang wanita mu-
da yang tengah hamil dan tidak berdaya, telah kalian nodai secara keji!
Perbuatan kalian berdua tidak lebih dari anjing-anjing buduk dan biadab yang
tidak memiliki rasa belas kasihan. Untuk itu, bersiaplah kalian menemui malaikat
maut!" Wintari akhirnya mengatakan secara jelas tentang persoalan apa yang
membuat ia sangat memusuhi dan mendendam terhadap kedua
orang itu. "Benarkah itu, Ki...?" ujar Barga yang selama ini
menganggap Ki Wantara dan Galangsa merupakan
seorang jagoan tulen yang tidak pernah berbuat ke-
salahan, tentu saja mereka belum percaya sepenuhnya dengan tuduhan itu.
"Semua itu hanya fitnah, Barga! Aku sama sekali ti-
dak mengerti apa yang dituduhkan kuntilanak itu. Sebaiknya kau pergilah,
perketat penjagaan. Biar aku
dan Galangsa yang mengurusi kuntilanak ini," perin-
tah Ki Wantara yang rupanya tidak ingin belangnya diketahui bawahannya.
"Hik hik hik...! Mengapa aku harus berbohong. Buk-
tinya wajahmu pucat ketakutan. Hm..., rupanya kau
takut kalau perbuatanmu diketahui orang lain," ejek Wintari yang membuat Barga
menjadi ragu dengan
bantahan Ki Wantara. Meski demikian, Barga telah
melangkah pergi mematuhi perintah lelaki tua itu.
"Bedebah! Mulutmu benar-benar jahat, perempuan
setan! Kucincang tubuhmu!" bentak Ki Wantara den-
gan suara menggelegar. Usai berkata demikian, lelaki setengah baya itu menghunus
senjatanya, dan menerjang Wintari dengan serangan-serangan maut yang
mematikan! Beeettt! Beeet! Beeet!
Serangkaian serangan Ki Wantara sempat membuat
dara remaja itu terpaksa melangkah mundur. Kilatan sinar pedang yang
berkeredepan, membuat Wintari harus menggunakan kelincahannya guna menyelamat-
kan diri. Nyata sekali kalau dalam jurus-jurus pertama dara remaja itu belum
berniat untuk melontarkan serangan balasan. Ia seperti tengah menguji kelinca-
hannya dalam menghadapi serangan pedang lawan
yang demikian gencar itu.
Galangsa yang juga telah menghunus senjatanya,
segera melompat ke kancah pertempuran. Rupanya ia
tidak sabar melihat serangan kawannya yang belum
mampu menundukkan gadis remaja itu. Dengan di-
awali lengking panjang, tubuh lelaki tegap jangkung itu bergerak menerjang!
"Yeaaa...!"
Whuuuttt..! Sadar kalau gadis muda itu memiliki kepandaian
yang tidak rendah, Galangsa langsung menggunakan
jurus-jurus andalannya dalam serangan pertama itu.
Dari suara desingan senjatanya dapat ditebak bila lelaki jangkung itu telah
mengerahkan tenaga sepenuh-
nya. Wintari yang saat itu tengah melompat menghindari
sambaran pedang Ki Wantara, tentu saja menangkap
desingan tajam dari arah belakangnya. Dara remaja itu pun tahu kalau serangan
lawan mengarah pada teng-kuknya.
Beeeuttt..! "Haiiittt..!"
Dengan sebuah pekikan nyaring yang menggetarkan
jantung, Wintari melambung dan bersalto di udara.
Dalam posisi seperti itu, ia masih sempat melepaskan tendangan kilat ke arah
punggung Galangsa yang saat itu berada di depannya.
Lelaki tegap jangkung itu sama sekali tidak ber-
usaha menghindar. Pedang yang semula menusuk ke
depan itu diputar sedemikian rupa guna menyambut
tendangan lawan.
Siiinggg...! Tendangan yang hanya merupakan gerak tipu itu,
cepat ditarik pulang Wintari. Tubuhnya kembali berputar. Kali ini, kedua
tangannyalah yang digunakan untuk menyambut serangan pedang lawan, dan sekali-
gus melontarkan serangan dengan jari-jari membentuk
paruh ular. Plakkk! "Aaakhhh...!?"
Galangsa memekik kesakitan ketika pergelangan
tangannya terkena tamparan lawan. Dan, babatan pe-
dangnya melenceng dari sasaran. Jari-jari tangan kiri gadis remaja itu meluncur
cepat, dan langsung mendarat tepat di dada sebelah kiri Galangsa.
Tuggg! "Hukhhh!"
Lelaki jangkung bertubuh tegap itu terbatuk ketika
merasakan dada kirinya seperti ditotok sebatang besi panas! Karuan saja tubuh
lelaki itu terjajar limbung!
Untunglah sebelum Wintari mengirim sebuah tenda-
ngan, Ki Wantara langsung memotong gerak serangan
dara remaja itu!
Whuuuttt...! Sambaran mata pedang yang berkilat ditimpa ca-
haya matahari siang itu, lewat sejengkal di bagian depan tubuh Wintari. Gerak
serangan balasan dara re-
maja itu langsung saja terlontar. Sambil memutar tubuhnya, gadis cantik itu
langsung melepaskan totokan kilat ke leher lawan. Dan, ketika Ki Wantara
berkelit, tahu-tahu saja telapak tangan kanan Wintari menghajar dadanya!
Bukkk! "Huakkk...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki gagah berbahu le-
bar itu terjungkal sambil memuntahkan darah segar!
Belum lagi Ki Wantara sempat bangkit, telapak kaki
kanan Wintari yang mungil telah menghantam dada
lawan! "Hukkkhhh!"
Ki Wantara terbeliak matanya ketika merasakan
tendangan seperti palu godam menghantam dadanya.
Darah segar kembali menyembur dari mulutnya.
"Hihhh!"
Wintari menambah tekanan pada telapak kakinya.
Tanpa ampun lagi, Ki Wantara terpaksa merelakan
nyawanya meninggalkan raga! Lelaki gagah itu tewas
dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya.
"Bangsat! Pembunuh biadab! Kucincang tubuhmu!"
teriak Galangsa bagaikan orang kesurupan menyaksi-
kan kematian Ki Wantara. Tanpa mempedulikan kese-
lamatan dirinya, lelaki jangkung itu menerjang mem-
babi buta! "Huh! Kematianmu akan segera datang, Galang-
sa...," desis Wintari tanpa merasa gentar sedikit pun, meski serangan lawan
terlihat sangat berbahaya. Sambil tetap berdiri dengan sebelah kaki berada di
atas mayat Ki Wantara, Wintari melolos selendang biru di pinggangnya.
"Yeaaahhh...!"
Dibarengi dengan teriakan nyaring, gadis cantik itu melontarkan selendangnya
dengan menimbulkan suara berdesing! Akibatnya....
Jdaaarrr...! "Wuaaa...!"
Galangsa menjerit ngeri ketika ujung cambuk Win-
tari meledak keras! Lelaki jangkung itu terhuyung
sambi memegangi lengan kanannya yang putus seba-
tas pergelangan. Darah segar tampak mengucur deras
membasahi tanah! Rupanya tangan yang memegang
pedang itulah sasaran selendang biru Wintari. Sung-
guh mengerikan sekali akibat yang ditimbulkan senjata gadis cantik itu.
"Hik hik hik...! Kali ini bukan hanya tanganmu yang kubuntungi. Tapi, batang
lehermu pun akan kupatah-
kan seperti pohon itu," ejek Wintari sambil melontarkan selendangnya ke arah
sebatang pohon di sebelah
kiri lawan. Dan....
Jdeeerrr...! Krakghhh...! "Aaahhh...!?"
Galangsa terjajar mundur ketika menyaksikan po-
hon sebesar pelukan orang dewasa itu patah, dan
tumbang dengan suara berderak ribut! Tepat pada ba-
gian batang yang terkena sambaran ujung selendang
Wintari, tampak masih mengepulkan asap tipis. Ka-
ruan saja kala menjing lelaki jangkung itu turun naik.
Dengan susah payah, Galangsa menelan air liurnya
yang terasa kering!
"Nah, seperti itulah akan kubuat batang lehermu,
manusia biadab...!" ejek Wintari sembari melangkah perlahan mendekati lawannya.
Sedangkan Galangsa
melangkah mundur dengan tubuh basah oleh keringat
sebesar biji jagung. Jelas lelaki gagah itu tengah mengalami rasa takut yang
sangat hebat! "Heaaa.!"
Tiba-tiba saja, Wintari membentak nyaring. Seiring
dengan itu, selendang birunya meluncur ke depan!
Jdaaarrr...! "Aaa...!"
Galangsa menjerit ketakutan sambil memegangi ke-
palanya dengan tangan kiri. Lelaki gagah yang telah lenyap keberaniannya itu
membuka mata perlahan ketika serangan lawan tidak kunjung datang. Namun,
sepasang mata itu tampak terbeliak matanya ketika
menyaksikan tanah di sebelah kirinya tampak ber-
lubang. Rupanya Wintari sengaja hendak memper-
mainkan lawannya.
"Hik hik hik...!"
Wintari tertawa menyaksikan wajah Galangsa yang
pucat dan jiwanya tersiksa dengan perlakuannya.
Sambil tertawa, gadis cantik itu terus saja memper-
mainkan Galangsa dengan mengarahkan ujung selen-
dangnya ke tanah di kiri dan kanan lelaki gagah itu.
Galangsa akhirnya jatuh terduduk dengan tubuh le-
mas. Rasa takut akibat perlakuan Wintari, membuat
lelaki gagah itu tak mampu berdiri.


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hai, mengapa kau, Galangsa. Ke mana keganasan-
mu saat menghancurkan kehidupan ibuku" Hayo, tun-
jukkan kejantananmu!" ejek Wintari seperti belum
puas mempermainkan korbannya.
"Perempuan setan! Kalau mau bunuh, bunuhlah!
Tidak perlu kau menyiksaku seperti ini!" teriak Ga-
langsa dengan suara parau. Lelaki yang pernah meno-
dai ibu gadis cantik itu, terlihat pasrah dan siap tewas di tangan gadis cantik
itu. "Hm..., kalau begitu, bersiaplah...," desis Wintari sambil memainkan selendang
birunya. Kemudian,
dengan dibarengi suara keras, Wintari melontarkan selendang birunya ke arah
sasaran. Wrrrttt...! Selendang biru Wintari meluncur dan langsung me-
libat leher Galangsa. Dan....
"Hahhh!"
Dengan sebuah bentakan keras, Wintari membetot
selendangnya! Darah segar langsung menyembur seir-
ing dengan menggelindingnya kepala Galangsa yang
putus akibat sentakan gadis cantik itu.
"Ibu, dua orang musuhmu telah kukirim ke akhe-
rat. Sekarang tinggal mencari biang keladi dari keseng-saraanmu...," desah
Wintari berbisik lirih sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Beberapa orang penduduk yang sempat menyaksi-
kan pembunuhan itu, langsung masuk ke dalam ru-
mah dan menutup pintu rapat-rapat. Sedangkan Win-
tari sudah melenggang pergi meninggalkan tempat itu.
*** 5 Pemuda tampan yang pesolek itu berlari cepat me-
nyusuri jalan utama Desa Keranggan. Menilik dari caranya berlari, dapat ditebak
kalau ia bukanlah seorang pemuda sembarangan. Tubuhnya yang meluncur cepat
dengan telapak kaki seperti tidak menyentuh permu-
kaan tanah, mencerminkan kalau pemuda itu memiliki
ilmu meringankan tubuh tingkat tinggi.
Beberapa tombak di belakang pemuda itu, tampak
empat sosok tubuh menyertainya. Meskipun mereka
terlihat berusaha keras untuk mengimbangi lari pe-
muda itu, tetap saja mereka tertinggal jauh. Hal itu menandakan kalau ilmu lari
keempat sosok tubuh itu
masih jauh berada di bawah pemuda tampan pesolek
di depannya. "Ehhhh!?"
Mendadak pemuda tampan yang mengenakan pa-
kaian berwarna biru tua itu merandek. Kemudian, ia
merunduk dan memeriksa cairan merah yang memba-
sahi tanah. Setelah memeriksa sekelilingnya, pemuda itu berdiri menanti
kedatangan keempat orang lelaki di belakangnya.
"Di sinikah pertempuran itu terjadi, Barga...?" tanya pemuda tampan itu kepada
seorang lelaki brewok bertubuh kekar dan berotot.
"Benar, Tuan Muda. Di tempat inilah hamba me-
ninggalkan Ki Wantara dan Kakang Galangsa. Mereka
sudah pasti telah menggempur perempuan setan itu,"
jelas Barga menjawab pertanyaan pemuda tampan pe-
solek itu. Ia sendiri memandangi sekeliling-nya seolah mencari sosok Ki Wantara
dan Galangsa. "Hm..., ke mana Ki Wantara dan Galangsa pergi"
Apakah perempuan yang kau maksudkan itu telah me-
larikan diri, lalu mereka berdua melakukan pengeja-
ran...?" desah pemuda berpakaian biru tua itu dengan kening berkerut dalam.
"Hm..., sebaiknya kita tanyakan saja kepada pen-
duduk di sekitar tempat ini, Tuan Muda. Aku yakin
mereka pasti ada yang mengetahuinya," usul Barga
yang rupanya tidak bisa memberikan keterangan yang
pasti mengenai pertanyaan pemuda itu.
"Hm..., kalau begitu, cepat kau panggil penghuni
rumah di sekitar tempat kejadian ini...," perintah pemuda itu dengan suara
berwibawa. Nada ucapannya
jelas menunjukkan bahwa pemuda itu sudah terbiasa
memerintah, dan tidak ingin dibantah.
Tanpa banyak cakap lagi, lelaki brewok bernama
Barga itu segera mendatangi tiga buah rumah yang
ada di sekitar tempat itu. Lalu, membawa penghuninya untuk menghadap tuan
mudanya. "Tuan Muda Pungga Rasa...," ucap enam orang
penduduk itu sembari mengangguk hormat. Mereka
terdiri dari tiga orang wanita setengah baya, seorang kakek, dan dua wanita
tanggung berusia sekitar dua
belas tahun. Pemuda tampan pesolek yang bernama Pungga Ra-
sa itu hanya bergumam dengan kepala tegak. Sikap
pemuda itu jelas menunjukkan bahwa Pungga Rasa
memiliki sifat yang angkuh.
"Hm..., aku ingin bertanya kepada kalian tentang
pertempuran yang mungkin terjadi di tempat ini. Kalau ada yang mengetahui,
segeralah buka mulut," ujar
Pungga Rasa tanpa memandang sebelah mata pun ke-
pada enam orang penduduk itu. Ucapannya lebih
terkesan memberi perintah ketimbang bertanya.
"Kalau yang Tuan Muda maksudkan adalah Ki
Wantara dan Galangsa, keduanya telah tewas di tan-
gan seorang gadis muda berwajah cantik yang sangat
kejam. Kemudian, ia membawa pergi kedua mayat itu
entah ke mana. Yang pasti, ia pergi meninggalkan desa ini," tutur seorang kakek
yang berusia sekitar tujuh puluh tahun. Jawabannya demikian jelas dan tegas
tanpa keraguan sedikitpun, sehingga Pungga Rasa
cenderung mempercayainya.
"Kau tidak tahu ke arah mana perempuan kejam itu
pergi?" tanya Pungga Rasa lagi dengan wajah gelap. Jelas kalau pemuda pesolek
itu menyimpan kemara-han
ketika mendengar kedua orang pembantunya telah te-
was terbunuh. "Ke arah Selatan...," sahut kakek itu lagi sembari
menudingkan jari telunjuknya ke sebelah belakang
Pungga Rasa. "Hm..., kalian kembalilah, dan laporkan kejadian
ini kepada ayah. Aku akan mencoba mengejar pem-
bunuh itu. Siapa tahu ia belum pergi jauh," perintah Pungga Rasa kepada Barga
dan kawan-kawannya.
Tanpa menunggu jawaban dari pembantunya, pemuda
itu sudah melesat menuju ke arah Selatan. Sebentar
saja, tubuhnya terlihat seperti bayang-bayang samar yang akhirnya lenyap di
kejauhan. Barga segera mengajak ketiga kawannya untuk
mematuhi perintah pemuda pesolek itu. Ditinggal-
kannya keenam orang penduduk itu tanpa ucapan te-
rima kasih sedikit pun, meski hanya basa-basi kepada
penduduk itu. *** Pungga Rasa berlari cepat dengan mengerahkan ke-
pandaiannya agar bisa segera menemukan pem-bunuh
kedua orang pembantunya itu. Ilmu larinya yang me-
mang tidak rendah, membuat pemuda itu bergerak ce-
pat Sebentar saja ia telah meninggalkan perbatasan
Desa Keranggan. Lalu, menyusuri daerah hutan kecil
dan menyeberangi sungai kecil yang melintang.
Tanpa merasa lelah sedikit pun, Pungga Rasa men-
gaduk-aduk hutan kecil itu untuk mencari buruannya.
Hingga, akhirnya pemuda itu menghentikan usahanya.
Karena tidak satu pun makhluk bernama manusia da-
pat ditemuinya di tempat itu.
"Hm..., ke mana perginya perempuan setan itu..."
Mungkinkah aku telah mengambil jalan yang salah...?"
gumam Pungga Rasa seraya menyandarkan tubuhnya
pada sebatang pohon besar.
Tiba-tiba saja, pemuda yang tengah termenung
memikirkan langkah selanjutnya, menangkap suara
langkah kaki ringan. Cepat ia melayang naik ke atas pohon, dan mengedarkan
pandangan matanya di sekeliling.
"Hm...," Pungga Rasa bergumam saat melihat seso-
sok tubuh yang tengah menyusuri hutan kecil itu. Cepat ia melayang turun dan
berlari ke arah sosok tubuh yang hanya berjarak beberapa belas tombak dari
tempatnya semula.
"Berhenti...!" bentak Pungga Rasa yang langsung
melompat dan berdiri tegak menghalangi jalan orang
itu. Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki setengah baya dan nampak gagah itu
tertegun sejenak. Ditatap-
nya wajah Pungga Rasa lekat-lekat, seolah ingin me-
nerka apa maksud pemuda itu menghadang perjala-
nannya. "Siapa kau" Mengapa kau berkeliaran di dalam hu-
tan ini?" tanya Pungga Rasa. Ia lupa kalau hutan kecil itu bukanlah milik nenek
moyangnya. "Heh he he...! Kau lucu sekali Anak Muda," sosok
tubuh gagah yang tampak menyandang sebilah pedang
di punggungnya itu, malah terkekeh mendengar perta-
nyaan Pungga Rasa. Dan, pemuda pesolek itu menjadi
jengkel dibuatnya.
"Diam! Aku tidak menyuruhmu tertawa! Jawab saja
pertanyaanku, atau aku akan memaksa dengan kepa-
lan tangan ini," ujar Pungga Rasa sambil membalas tatapan mata lelaki gagah
setengah baya itu dengan ma-ta mencorong tajam.
"Hm..., siapa adanya aku, itu bukanlah persoalan
penting. Tapi, sejak kapan ada larangan orang berjalan di dalam hutan" Apakah
hutan kecil ini telah kau beli, hingga tidak boleh orang lain berkeliaran di
tempat ini selain dirimu" Nah, ayo jawablah pertanyaanku, Anak Muda?" ujar
lelaki gagah itu tersenyum ketika melihat wajah pemuda yang berdiri di
hadapannya tampak ke-bingungan.
"Bangsat! Kau ternyata pintar bersilat lidah, Orang Tua! Aku terpaksa
menggunakan kepalan ini, agar kau bisa berbicara denganku...!" geram Pungga Rasa
yang merasa kalah bicara. Begitu ucapannya selesai, pemuda pesolek itu segera
bersiap melontarkan serangan.
Adanya gagang pedang di punggung lelaki tua itu,
membuat Pungga Rasa sadar kalau lawannya juga be-
rasal dari kalangan rimba persilatan. Sehingga, dengan cerdik pemuda itu
melangkah dan berputar tanpa terburu-buru menyerang.
"Heh heh heh..., mengapa kau tidak langsung me-
lontarkan kepalanmu, Anak Muda" Kau begitu kaya
akan kata-kata makian, hingga aku merasa penasaran
dan ingin merasakan apakah kepalamu setajam li-
dahmu," ujar lelaki setengah baya itu memancing ke-
marahan pemuda tampan itu.
"Bedebah! Kalau itu maumu, rasakanlah...!" hardik
Pungga Rasa yang segera melompat dengan disertai serangan yang cepat dan kuat.
Dan lelaki setengah baya itu mau tidak mau melontarkan pujian tanda kekagu-man
hatinya. "Bagus... bagus...! Kepandaianmu ternyata cukup
hebat, Anak Muda...," puji lelaki setengah baya itu sambil melompat dan
menggeser tubuhnya guna
menghindari pukulan lawan.
Setelah dua jurus Pungga Rasa melancarkan seran-
gan, lelaki gagah itu mengangkat telapak tangannya
saat pukulan datang ke arah wajahnya.
Plakkk! "Uhhh...!"
"Hei..."!"
Meskipun tubuh Pungga Rasa sempat terjajar mun-
dur akibat benturan keras itu, namun dari mulut la-
wannya terdengar suara berseru kaget. Jelas ketika
terjadi benturan lelaki tua itu merasakan kekuatan lawannya yang masih muda itu.
"Hm..., Anak Muda. Katakan, apa hubunganmu
dengan Ki Panda Rasa si Jari Pedang itu...?" tanya lelaki setengah baya itu
seraya menatap lekat-lekat wajah lawannya. Tentu saja lelaki tua itu bukan tokoh
rendahan. Terbukti dalam beberapa gebrak saja ia telah dapat mengenali ilmu
silat lawan. Melihat lawannya berdiri tegak dan melontarkan
pertanyaan demikian, Pungga Rasa tersentak kaget
Namun, keangkuhannya tetap tidak tergoyahkan. Ja-
waban yang ke luar dari mulutnya pun tidak enak terdengar di telinga.
"Mengapa, Orang Tua" Apakah kau akan lari terbi-
rit-birit seandainya aku mengakui kalau orang yang
kau sebutkan itu adalah ayahku?" sahut Pungga Rasa
dengan suara bernada mengejek dan melecehkan lelaki gagah yang menjadi lawannya
itu. "Heh heh heh...! Bukan main! Aku benar-benar ka-
gum terhadap si tua itu yang mampu mendidik pu-
tranya dengan baik. Meskipun kata-katamu ter-dengar pedas dan menyiratkan
keangkuhan, tapi aku bisa
memaafkanmu. Perlu kau tahu, aku adalah sahabat
ayahmu. Dan aku berniat singgah ke tempat-nya," ujar lelaki gagah berusia
separuh baya itu dengan sorot
mata kagum, meski ada pancaran kecewa. Lelaki se-
tengah baya itu kagum atas kepandaian Pungga Rasa,
dan agak kecewa melihat sikap putra sahabatnya yang angkuh itu.
"Sebutkan namamu! Jangan kau kira aku akan per-
caya dengan bualanmu itu!" bentak Pungga Rasa yang
masih curiga dan tidak mau mempercayai ucapan la-
wannya begitu saja. Pungga Rasa mengira kalau lelaki gagah itu merasa gentar,
setelah berbenturan dengan tenaganya tadi.
"Mengenai nama, aku sudah lama melupakannya.
Tapi, orang-orang memanggilku sebagai Pendekar Tan-
gan Kilat. Dan, kau pastilah Pungga Rasa. Aku pernah berkunjung saat kau baru
berusia kurang lebih dua
tahun. Tentu saja aku tidak bisa mengenali dirimu.
Karena kau telah menjelma menjadi seorang pemuda
gagah dan hebat," sahut lelaki setengah baya itu men-gakhiri keterangannya
dengan sebuah pujian, hingga
membuat kepala Pungga Rasa makin bertambah besar.
Mendengar jawaban itu, Pungga Rasa tertegun bim-
bang. Ditelitinya wajah orang yang bernama Pen-dekar Tangan Kilat itu. Kendati
ia pernah mendengar nama
itu dari ayahnya, namun karena sifat angkuhnya
membuat pemuda itu tidak sudi minta maaf.
Sikap Pungga Rasa itu sebenarnya wajar saja. Se-
menjak berusia empat tahun, ia telah ditinggal oleh ibunya. Kematian sang ibu
yang diakibatkan oleh penyakit tak tersembuhkan itu, membuat Ki Panda Rasa
mendidik putranya dengan manja. Itulah sebab-nya
mengapa Pungga Rasa tumbuh sebagai seorang pemu-
da yang angkuh dan cenderung memandang rendah


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang lain. Apalagi, setelah ayahnya yang kaya raya dan cukup disegani kalangan
rimba persilatan itu di-angkat sebagai Kepala Desa Keranggan. Maka, sifat
angkuh pemuda pesolek itu semakin menjadi-jadi. Dan semua itu bisa dilihat oleh
Pendekar Tangan Kilat Tapi, ia sadar bahwa pemuda itu belum begitu mengenalnya,
dan lelaki gagah itu pun memaklumi diri pemuda pesolek itu.
"Mengapa kau malah termenung, Pungga Rasa" Se-
karang aku bukan lagi seorang musuh. Tapi, seorang
sahabat yang hendak bertamu. Untuk itu, bawalah
aku ke tempat tinggalmu," ujar Pendekar Tangan Kilat itu ketawa melihat pemuda
yang ia yakin bernama
Pungga Rasa itu termenung.
"Hm..., ikuti aku...," sahut Pungga Rasa singkat
tanpa rasa hormat sedikit pun. Pemuda itu pun segera melesat dengan menggunakan
ilmu larinya. Pendekar
Tangan Kilat itu pun berusaha mengimbangi. Karena
ia tahu kalau pemuda itu masih mengujinya. Mereka
pun seperti berkejaran menuju Desa Keranggan.
*** "Kurang ajar! Ini benar-benar keterlaluan! Perem-
puan setan itu sama sekali tidak memandang muka-
ku!" umpat lelaki gagah berkumis tebal itu dengan wajah merah padam. Seraya
bangkit berdiri, ia mengge-
brak meja bulat di sampingnya.
Brakkk...! Meja bulat berukir yang terbuat dari kayu jati tebal pilihan itu, berderak
patah! Kemudian ia melangkah ke arah dua buah kepala yang terbungkus kain putih
bernoda darah itu.
"Di mana kalian menemukan kepala Ki Wantara
dan Galangsa ini" Apakah tidak ada pesan dari perempuan setan itu?" tanya lelaki
gagah berpakaian mewah itu sambil memandang seorang lelaki brewok bertubuh
kekar, yang tidak lain bernama Barga itu. Sedangkan yang ditanya menunduk tanpa
berani mengangkat wajahnya.
"Di depan pintu gerbang, Tuan Besar. Kedua kepala
itu digantung di atasnya...," jelas Barga dengan suara yang agak parau. Jelas
lelaki brewok itu sangat takut terhadap lelaki gagah berkumis tebal yang tengah1
di-landa kemarahan besar itu.
"Bedebah...!" lagi-lagi lelaki gagah itu menyumpah
dengan tangan terkepal erat. Bagaimana ia tidak menjadi marah" Sebab, pagi itu
para pembantunya telah
menemukan dua buah kepala yang digantung di atas
pintu gerbang. Dan, kepala itu adalah milik Ki Wantara dan Galangsa, yang tewas
terbunuh oleh seorang gadis muda berkepandaian tinggi. Yang lebih membuat lelaki
itu marah, karena perempuan muda itu dengan sengaja mengirimkan kepala korbannya
ke rumah Kepala
Desa Keranggan. Tentu saja hal itu membuat Ki Panda Rasa menjadi murka bukan
main. "Kakang Panda Rasa..," panggil lelaki gagah berusia
lima puluh tahun itu ikut bicara. Tampak di punggung lelaki itu tergantung
pedang berkilat. Dan lelaki setengah baya itu tidak lain adalah Pendekar Tangan
Kilat yang bermaksud bertamu di tempat itu. Ia adalah sahabat lama Ki Punda
Rasa. Ki Panda Rasa menoleh ke arah asal suara. Lelaki
berkumis tebal itu tersenyum sambil menatap ke arah Pendekar Tangan Kilat.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi di Desa Kerang-
gan ini" Mengapa kedua orang pembantu setiamu itu
sampai dibunuh orang secara kejam" Apakah mereka
memang mempunyai musuh" Lalu ia dijebak dan di-
bunuh secara licik?" tanya Pendekar Tangan Kilat itu.
Tokoh itu memang tidak mengetahui sama sekali du-
duk persoalannya.
"Hm..., entahlah, Adi. Aku sendiri sama sekali be-
lum jelas. Menurut laporan orang-orangku, kemarin
mereka dihajar habis-habisan orang seorang gadis
muda yang sakti. Hal itu pun baru aku ketahui sema-
lam dari laporan Barga," jelas Ki Panda Rasa sambil menunjuk ke arah lelaki
brewok yang duduk bersila
beberapa langkah di depannya, "Lalu mereka melapor
kepada Wantara dan Galangsa. Aku tidak habis pikir, mengapa gadis muda itu
membunuh mereka demikian
kejam, dan mengirimkan kedua kepala pembantuku
itu ke tempat ini. Seolah-olah ia sengaja hendak men-teror rumah ini. Menurut
Barga, gadis muda itu sangat dendam terhadap Ki Wantara dan Galangsa. Entah,
apa yang telah dilakukan kedua orang pembantuku itu pada waktu-waktu yang lalu.
Tapi, biar bagaimanapun, perbuatan gadis muda itu tidak bisa kubiarkan begitu
saja! Ia harus diberi pelajaran!" ujar Ki Panda Rasa geram mengingat tindakan
perempuan muda yang miste-
rius itu. "Hm..., kalau begitu Kakang tidak perlu bersusah-
susah dulu. Mumpung aku kebetulan berada di sini,
biarlah aku mencoba membantu untuk membekuk ga-
dis muda itu," Pendekar Tangan Kilat menawarkan
bantuannya untuk mencari si pembunuh itu.
"Ah, kau tidak usah repot-repot, Adi...," Ki Panda
Rasa berusaha menolak karena ia tidak ingin menyusahkan tamunya. Tapi, Pendekar
Tangan Kilat terse-
nyum dan menoleh ke arah Barga.
"Coba kau sebutkan ciri-ciri pembunuh itu, Bar-
ga...?" ucap Pendekar Tangan Kilat meminta pen-
jelasan. "Ia seorang gadis muda berusia sekitar delapan be-
las tahun. Wajahnya cantik, dan mengenakan pakaian
serba putih," jelas Barga memberikan gambaran ten-
tang sosok pembunuh itu.
"Hm..., kalau begitu, aku berangkat sekarang, Ka-
kang. Kalau dalam tiga hari aku belum kembali, ang-
gaplah usahaku telah gagal," ujar Pendekar Tangan Kilat sambil berkemas untuk
mencari pembunuh K Wan-
tara dan Galangsa.
"Ayah, biarlah aku menyertai Pendekar Tangan Ki-
lat, hitung-hitung mencari pengalaman. Rasanya tidak adil kalau kita sebagai
orang yang bersangkutan hanya duduk-duduk saja. Sedangkan tamu kita sibuk
mencari biang keladi dari pembunuhan ini," seorang pe-
muda tampan pesolek bergerak bangkit dari kursinya.
Dengan pandainya ia mengemukakan alasan agar di-
izinkan untuk pergi menyertai Pendekar Tangan Kilat Sehingga, lelaki setengah
baya itu tersenyum mendengar permintaan putranya itu.
"Hmmm...," Ki Panda Rasa sendiri menggeleng-
gelengkan kepalanya tanda tak berdaya. Sebab, alasan yang dikemukakan oleh
putranya itu benar-benar sulit
untuk dibantah.
"Ayolah, Paman. Ayah sudah mengizinkan...," ujar
Pungga Rasa sambil menarik lengan Pendekar Tangan
Kilat itu agar segera meninggalkan ruang pertemuan
itu. "Heh he he...!" Pendekar Tangan Kilat terkekeh berkepanjangan. Keduanya
beranjak diiringi tatapan Ki
Panda Rasa yang hanya mengangguk ketika sahabat-
nya itu berpamitan bersama putranya.
*** 6 "Ke arah mana kita, Paman...?" tanya pemuda tam-
pan pesolek berpakaian biru tua itu. Ia menoleh ke
arah lelaki yang berjalan di sebelah kanannya. Saat itu mereka tengah menyusuri
jalan utama Desa Keranggan.
"Hrr..., aku pun belum bisa memastikannya, Pung-
ga Rasa. Tapi, dengan mengirimkan kepala itu ke ru-
mahmu, bisa jadi ia masih berada di sekitar Desa Keranggan ini. Bukan mustahil
kalau saat ini ia tengah mengawasi kita berdua. Untuk itu, ada baiknya kita
menuju ke daerah yang sepi. Jika dugaanku tidak me-
leset, ia pasti akan menghadang kita," ujar lelaki setengah baya itu yang tidak
lain adalah Pendekar Tangan Kilat.
Mendengar jawaban itu, Pungga Rasa mengedarkan
pandangannya berkeliling. Maksudnya hendak mencari
sosok yang tengah mereka buru itu. Namun, yang ter-
lihat hanya penduduk desa. Sedangkan sosok gadis
muda berpakaian putih yang dicarinya itu, tidak ada
sama sekali tanda-tandanya.
"Jangan bertindak bodoh, Pungga Rasa. Perbuatan-
mu itu bisa mendatangkan kerugian bagi kita. Sebab, kalau sampai ia mengetahui
kita curiga, bisa-bisa gagal apa yang telah kuperhitungkan. Sebaiknya ber-
sikaplah tenang, seolah tidak tahu apa-apa. Dengan
demikian, besar kemungkinan dugaanku tidak me-
leset..," bisik Pendekar Tangan Kilat tanpa mengalihkan pandang matanya yang
tertuju lurus ke depan.
Pungga Rasa segera menyadari sikapnya yang terla-
lu terburu-buru itu. Tanpa banyak cakap lagi, pemuda yang biasanya sombong dan
tidak mau kalah itu, mengikuti anjuran Pendekar Tangan Kilat. Hal itu bukan
berarti ia mau saja menurut setiap anjuran sahabat
ayahnya itu. Keinginannya untuk segera berjumpa
dengan pembunuh itulah yang membuatnya menuruti
nasihat Pendekar Tangan Kilat
Kedua orang gagah yang sama-sama memiliki ke-
pandaian tinggi itu bergerak terus ke arah Selatan.
Hanya jalan di bagian Selatan itulah yang jarang dilewati orang. Selain itu, di
bagian Selatan Desa Keranggan itu masih banyak terdapat hutan-hutan kecil. Itu
sebabnya Pendekar Tangan Kilat cenderung memilih
jalan itu. Dengan melalui jalan yang jarang dilewati orang itu, ia berharap
pembunuh yang dicarinya akan muncul seperti apa yang diperhitungkannya.
"Ingat, Pungga Rasa. Tetaplah berjalan dengan tata-
pan lurus ke depan. Jangan sekali-kali bersikap gelisah. Sebab, kalau pembunuh
itu memang tengah men-
gincar kita, mungkin dia tidak akan muncul apabila
sikap dan gerak-gerikmu menunjukkan tanda-tanda
yang mencurigakan. Tetaplah bersikap tenang dan
berpura-pura bodoh," Pendekar Tangan Kilat kembali
mengingatkan putra sahabatnya itu, ketika mereka te-
lah melewati batas Desa Keranggan.
Pungga Rasa sama sekali tidak menyahut. Bisikan
lirih itu dijawabnya dengan anggukan kepala saja.
Meski telah diingatkan, hati pemuda itu tetap tegang.
Bukan dikarenakan rasa takut, melainkan ia ingin segera melihat dan berjumpa
dengan pembunuh itu. Se-
hingga, agak sulit bagi pemuda tampan pesolek itu untuk menenangkan perasaannya.
Serrr... seeerrr...!
Mendadak, pada saat keduanya mulai memasuki
daerah hutan kecil yang banyak ditumbuhi pepohonan
dan semak belukar, tiba-tiba saja mereka mendengar
suara berdesir tajam. Sebagai orang-orang yang telah terlatih dengan baik, tentu
saja mereka dapat menangkap suara yang mencurigakan itu.
"Awaaasss...!"
Meskipun sadar kalau Pungga Rasa mendengar su-
ara yang mencurigakan, tak urung Pendekar Tangan
Kilat itu berseru memperingatkan. Sedangkan tubuh
lelaki gagah setengah baya itu sudah melenting ke
udara. Tubuhnya baru meluncur turun, setelah ber-
salto di udara.
Demikian pula halnya dengan Pungga Rasa. Pemu-
da tampan pesolek itu pun sudah menjejakkan ka-
kinya ke tanah. Tapi, apa yang dilakukan pemuda itu sangat berlawanan sekali
dengan Pendekar Tangan Kilat. Kalau lelaki gagah setengah baya itu melompat
jauh untuk menghindari serangan gelap, Pungga Rasa
hanya berputar ke atas. Kemudian, kedua tangannya
terulur menangkap benda-benda pipih yang menye-
rang mereka. "Haiiittt..!"
Tappp! Tappp! Gerakan yang dilakukan pemuda itu memang san-
gat mengagumkan! Sekali sambar saja, ia telah berhasil menangkap beberapa benda
pipih yang digunakan
untuk menyerang secara gelap. Kemudian ia berputar, dan meluncur turun dengan
gerakan yang indah.
"Gila! Yang digunakan sebagai senjata rahasia itu
ternyata hanya daun pohon..."!" desis Pungga Rasa
yang terkejut bukan main ketika mengenali benda apa yang berada di tangannya
itu. "Dedaunan pohon..."!" gumam Pendekar Tangan Ki-
lat yang juga terkejut melihat senjata rahasia itu. Sebab, hal itu membuktikan
bahwa si penyerang memili-
ki tenaga dalam yang sangat tinggi. Hal itulah yang membuat mereka terkejut
bukan kepalang.
Pungga Rasa melangkah maju memandang ke seke-
liling. Pemuda itu sama sekali tidak kelihatan gentar.
Bahkan ia merasa penasaran!
"Hei, manusia pengecut keluarlah! Aku tahu kau
menguntit kami sejak dari desa! Aku memang sengaja
datang untuk mencarimu!" seru Pungga Rasa dengan
mengerahkan kekuatan tenaga dalam melalui suara-
nya. Sehingga kata-katanya bergema hingga belasan
tombak jauhnya.
"Hik hik hik...!" seman Pungga Rasa disambut suara
tawa nyaring berkepanjangan. Bahkan suara tawa itu
pun mengandung kekuatan tenaga dalam yang meng-
getarkan jantung. Pungga Rasa dan Pendekar Tangan
Kilat mengerahkan pula tenaga dalamnya guna melin-
dungi isi dada dari guncangan tersebut
"Bagus kalau kalian telah mengetahui kehadiranku.
Aku sengaja melepaskan senjata rahasia itu guna me-
mancing ucapan yang bakal keluar dari mulut kalian!
Rupanya aku tidak salah terka, kepergian kalian me-
mang sengaja mencariku. Hal itu sudah cukup sebagai alasan untuk melenyapkan
kalian berdua!" terdengar
suara melengking nyaring. Seiring dengan melayang-
nya sesosok tubuh ramping yang terbungkus pakaian
serba putih. Sosok itu tidak lain adalah Wintari!
Pungga Rasa yang memang sudah tidak sabar un-
tuk segera bertemu dengan pembunuh misterius itu,
segera saja melangkah maju beberapa tindak. Lang-
kahnya sempat terhenti ketika melihat kecantikan wajah dara remaja itu. Selintas
ada pikiran menya-
yangkan betapa sosok cantik itu hams menjadi pem-
bunuh para pembantunya, sehingga harus ber-
musuhan dengannya. Namun, pikiran itu segera dibu-
angnya jauh-jauh. Ketika ia teringat betapa kejamnya tindakan gadis cantik itu.
"Hm..., kami memang sengaja mencarimu, pem-
bunuh keji! Entah setan apa yang telah membujukmu
bertindak demikian. Tapi, apapun alasanmu kau tetap akan kubawa ke hadapan
ayahku...!" geram Pungga
Rasa yang segera bersiap untuk melontarkan seran-
gannya. "Hik hik hik...! Dengarlah pemuda pesolek. Jangan-
kan hanya kalian berdua. Ditambah dengan ayahmu,


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kakekmu, dan buyutmu pun, aku sama sekali tidak
gentar! Mari, majulah...!" tantang Wintari tersenyum mengejek. Hati Pungga Rasa
semakin bertambah geram dibuatnya.
"Pungga Rasa, sabarlah...," Pendekar Tangan Kilat
mencoba untuk mencegah putra sahabatnya itu. Lelaki gagah itu bermaksud hendak
mengorek keterangan lebih dulu dari mulut dara remaja itu. Ia ingin mengetahui
apa penyebab gadis muda itu melakukan pembu-
nuhan itu. Sayang Pungga Rasa tidak mau peduli sa-
ma sekali. Pemuda tampan pesolek itu sudah melesat
mengirimkan serangannya.
"Haaattt...!"
Sesuai dengan julukan orang tuanya yang bergelar
Jari Pedang, maka ilmu silat Pungga Rasa pun lebih
mengandalkan tangan kosong. Namun, tentu saja se-
rangan-serangan pemuda itu tidak bisa dipandang ringan. Sebagai putra seorang
pendekar terkenal, Pungga Rasa telah dibekali ilmu-ilmu tinggi yang tentu saja
jarang dimiliki pemuda seusianya.
"Haiiittt...!"
Wintari pun tidak tinggal diam. Gadis muda itu
langsung melesat begitu melihat lawannya telah mulai membuka serangan. Jari-jari
tangannya yang halus
sudah membentuk paruh ular, yang segera meliuk-liuk dan mematuk bagian-bagian
terlemah di tubuh lawan.
Bweeettt...! Dengan memiringkan tubuhnya ke kiri, kepalan
tangan Pungga Rasa pun lewat setengah jengkal di dekat tubuh Wintari. Kemudian,
langsung membalas
dengan patukan jari-jari tangannya.
Zeeebbb...! Jari-jari tangan dara remaja itu meluncur deras
mengancam tenggorokan Pungga Rasa dengan menim-
bulkan suara bercuitan tajam. Jelas serangan gadis
cantik itu sangat berbahaya dan bisa men-datangkan
Pedang Tanpa Perasaan 11 Dewa Linglung 13 Iblis Seruling Maut Pendekar Pemetik Harpa 27
^