Pencarian

Misteri Selendang Biru 1

Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru Bagian 1


MISTERI SELENDANG BIRU Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Misteri Selendang Biru
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Angin pagi bersilir lembut, membawa hawa dingin
yang menggigilkan tubuh. Tampak lapisan kabut ma-
sih menyelimuti sekeliling Hutan Welang. Dan hawa
yang memang sudah dingin itu semakin bertambah
dingin. Jarak pandang pun, tak lebih dari satu setengah tombak. Selebihnya kabur
karena lapisan kabut.
Keadaan itu tentu saja bisa mendatangkan bahaya ba-
gi orang yang melintas di dalam hutan itu. Rasanya
hanya orang gila saja yang mau berjalan dalam suasa-na seperti itu.
Tapi, siapa sangka kalau dalam cuaca seperti itu,
masih saja ada sosok-sosok tubuh yang berani melin-
tasi daerah Hutan Welang. Tampak tiga sosok tubuh
samar-samar bergerak perlahan menerobos semak be-
lukar dan masuk ke dalam hutan.
"Tuan..., saya mau dibawa ke mana...?" ujar seo-
rang di antara ketiga sosok itu menghentikan langkah, dan bertanya dengan suara
memelas, mengandung
isak tertahan. "Jangan cerewet!" pertanyaan yang diajukan dengan
suara memelas dan mengandung keputusasaan itu,
ternyata mendapat sambutan yang tidak ramah. Bah-
kan disertai pula dengan sentakan keras, yang
membuat tubuh si penanya terjerunuk ke depan, dan
hampir tersungkur jatuh. Untunglah tangan sosok di
sebelahnya sempat menahan. Kalau tidak, pastilah sosok yang bertanya dengan
suara memelas itu akan ter-jatuh karena sentakan tadi sangat keras.
"Janganlah terlalu banyak bertanya, Nyai. Ikut saja ke mana kami melangkah. Hal
itu akan jauh lebih
baik, daripada kau selalu melontarkan pertanyaan
yang itu-itu saja...," terdengar sosok ketiga menasehati dengan nada menyiratkan
kejengkelan hatinya.
Ditilik dari suaranya jelas sosok itu seorang lelaki.
Tapi, sosok bersuara memelas, yang ternyata seorang wanita itu, rupanya tidak
merasa takut sama sekali.
Kali ini ia malah semakin berani terhadap kedua sosok lelaki tegap yang jelas-
jelas membawanya secara paksa itu. Terbukti sosok ramping itu tiba-tiba
menghentikan langkahnya, dan menyentakkan tangannya dengan keras.
"Kalian benar-benar manusia yang tidak mempu-
nyai perasaan! Sejak kemarin pagi kalian paksa aku
berjalan, tanpa istirahat sedikit pun! Sadarkah kalian, kalau saat ini, aku
tengah hamil muda" Atau kalian
sengaja mau membunuhku dengan cara seperti ini...!"
teriak sosok tubuh ramping itu dengan suara meleng-
king, pertanda hatinya marah dan jengkel.
"Keparat kau!" bentak sosok tegap berbahu lebar
yang sejak tadi memegang tangannya, sambil me-
lepaskan sebuah tamparan ke arah wajah wanita itu.
Plakkk! "Ouggghhh...!"
Tamparan keras itu mendarat telak di wajah sasa-
rannya. Dan, tanpa ampun lagi, tubuh wanita malang
itu pun terjerembab mencium tanah!
"Binatang...! Mengapa kalian tidak bunuh saja aku!
Lebih baik aku mati daripada kalian siksa seperti
ini...!" pekik wanita itu dengan suara parau yang mengandung isak. Dibiarkannya
lelehan darah mengalir
di sela-sela bibir, yang pecah akibat tamparan keras di wajahnya tadi.
"Hm..., sebenarnya aku merasa kasihan padamu,
Nyi Wintarsih. Tapi, kalau kau memang menginginkan
kematian, aku tentu saja tidak keberatan untuk mem-
bantumu. Hhh..., sayang kalau bayi dalam kandu-
nganmu harus mati sebelum sempat melihat dunia
yang indah ini...," desis lelaki berbahu lebar itu. Ucapannya seolah hendak
mengingatkan wanita ber-nama
Wintarsih itu dengan bayi yang sedang di kandungnya.
"Ooohhh...!"
Rupanya Nyai Wintarsih menyadari kembali akan
keadaan dirinya, setelah lelaki berbahu lebar itu menyebut-nyebut bayi dalam
kandungannya. Hal itu ten-
tu saja semakin menambah kesedihan hati wanita ma-
lang itu, maka menangislah ia dengan suara pilu.
"Sebenarnya apa yang kalian inginkan terhadap di-
riku" Mengapa kalian tidak tinggalkan saja aku di
tempat ini?" terdengar rintihan Nyai Wintarsih di sela-sela isak tangisnya.
Mendengar ucapan Nyai Wintarsih, kedua lelaki te-
gap itu saling bertukar pandang sejenak. Samar-samar terlihat seringai iblis di
wajah kedua lelaki itu. Bagai telah mendapatkan pikiran serupa, tampak keduanya
mengangguk puas.
"Nyai. Sebenarnya kami tidak sampai hati melaku-
kan semua ini kepadamu. Dan, kami berjanji akan
membawamu ke tempat aman, asalkan kau mau melu-
luskan permintaan kami berdua...," ucapan yang agak lembut dan seperti menyimpan
niat busuk itu terlontar dari mulut lelaki tegap yang wajahnya terhias kumis
tebal. Kata-kata itu masih diiringi dengan kerlingan mata liar yang menyapu
sekujur wajah dan tubuh wanita di depanya.
Nyai Wintarsih pun sadar akan bahaya yang men-
gancamnya. Terbukti wanita malang itu kelihatan mu-
lai gelisah. "Apa". apa maksud kalian...?" tanya Nyai Wintarsih dengan suara
kering. Tapi, kedua orang lelaki tegap itu tidak mem-
pedulikan sama sekali ucapan Nyai Wintarsih. Mereka lebih tertarik memperhatikan
paha Nyai Wintarsih
yang mulus dan menantang yang terlihat ketika kain-
nya tersibak saat wanita itu bergerak bangkit.
Nyai Wintarsih pun sadar apa yang diinginkan ke-
dua orang lelaki tegap itu. Wanita cantik berkulit putih yang usianya sekitar
dua puluh lima tahun itu, segera membenahi kain yang dikenakannya. Kemudian
bergerak mundur dengan wajah diliputi kecemasan.
"Hm...."
Terdengar suara bergumam yang diiringi dengus
napas memburu. Dan, seperti orang yang kerasukan
setan, kedua lelaki tegap itu bergerak cepat menangkap kedua tangan Nyai
Wintarsih. Dan wanita malang
itu pun tidak dapat menghindar lagi.
"Lepaskan...! Lepaskan...! Binatang kalian...!" Nyai Wintarsih berteriak sambil
meronta-ronta. Tapi, kedua orang lelaki tegap itu tidak mau sama sekali
melepaskan lengan wanita itu dari cekalannya.
"Hm..., kau menyingkirlah dulu, Adi. Biar aku yang
akan menundukkan wanita ini lebih dulu...," ujar lelaki tegap berbahu lebar,
yang berusia sekitar tiga puluh tahun. Lelaki berkumis tebal itu langsung
menerkam tubuh Nyai Wintarsih dengan buas. Sedang lelaki yang satunya lagi telah bergerak
menyingkir sambil tertawa tergelak-gelak.
Apalah daya bagi seorang wanita lemah seperti Nyai
Wintarsih. Lelaki tegap yang jelas jauh lebih kuat darinya itu, segera saja
melampiaskan nafsu binatang-
nya dengan leluasa. Hati lelaki berbahu lebar itu sama sekali tidak tergerak,
meskipun wanita di bawahnya
merintih dengan suara serak yang memilukan. Sepertinya, yang terpikir saat itu
hanyalah bagaimana memu-askan nafsu yang menggelora dalam dadanya.
Tidak lama kemudian, lelaki tegap berbahu lebar itu bangkit dengan senyum puas
di wajahnya. Sambil
mengenakan pakaiannya, ia bergerak meninggalkan
Nyai Wintarsih, yang tampak menggeletak dengan pakaian tidak karuan. Lapat-lapat
terdengar tangisan pi-lu dari kerongkongan wanita malang itu.
"Giliranmu, Adi...," ujar lelaki tegap berbahu lebar itu kepada kawannya, yang
memang sudah tidak sabar
menunggu giliran. Tanpa banyak cakap lagi, lelaki tegap berusia sekitar dua
puluh tujuh tahun itu, segera menerkam dan menggeluti tubuh Nyai Wintarsih,
tanpa rasa kasihan sedikit pun.
Nyai Wintarsih hanya bisa merintih dan menangis
menerima perlakuan biadab dari kedua orang lelaki
itu. Wanita malang itu hanya bisa mengutuk dan me-
nyumpah dengan suara serak dan lemah. Karena ia
sudah tidak mempunyai tenaga lagi untuk melawan.
*** "Heh heh heh..., rupanya pertunjukan menarik baru
saja usai. Sayang kedatanganku sedikit terlambat..,"
tiba-tiba saja terdengar suara kekeh parau yang menggetarkan jantung.
Lelaki tegap bertubuh jangkung, yang baru saja
menyelesaikan perbuatan terkutuknya itu, segera me-
lompat ke belakang. Dengan sigap ia bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan lelaki
berbahu lebar sudah meraba gagang pedangnya den-
gan wajah berubah. Jelas kedua lelaki biadab itu sangat terkejut. Mereka tidak
menyangka kalau dalam hutan yang sepi dan jauh dari pedesaan itu, masih ada
orang lain selain mereka bertiga.
"Hm...,siapa pun kau. Tunjukkan wujudmu kalau
memang mengaku seorang jantan...!" terdengar lelaki
tegap berbahu lebar itu membentak seraya menarik
senjata di pinggangnya. Jelas ia sadar kalau orang
yang mengeluarkan suara tawa terkekeh tadi tentu
berniat tidak baik.
Rupanya kedua orang lelaki tegap itu tidak perlu
menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian,
muncullah sesosok tubuh tinggi kurus sambil me-
megang sebatang tongkat kayu sepanjang satu tom-
bak. Sosok itu bergerak mendekati tubuh Nyai Wintarsih yang tergeletak pingsan.
"Haiii..., pantas kalian begitu terburu-buru me-
nikmatinya. Rupanya selain wanita ini berwajah can-
tik, juga memiliki kulit putih dengan bentuk tubuh
menggiurkan. Aaahhh..., kalian tidak salah... kalian tidak salah...," desis
bibir yang tampak basah oleh air liur itu sembari meraba dan mengelus tubuh Nyai
Wintarsih yang tengah pingsan itu. Menilik dari gerak-
gerik serta sikapnya, dapat ditebak kalau sosok tinggi kurus itu memiliki otak
yang tidak normal.
"Siapa kau, Orang gila! Dan, apa yang kau kerjakan
di tempat ini...?" kembali lelaki tegap berbahu lebar itu mengeluarkan bentakan
keras. Rupanya ia sangat tersinggung dengan sosok bertubuh tinggi kurus itu,
karena tidak mempedulikan keberadaan mereka berdua.
"Heh heh heh...! Seharusnya akulah yang bertanya
kepada kalian berdua. Karena Hutan Welang merupa-
kan daerah kekuasaanku. Dan, keberadaan kalian
berdua di tempat ini, jelas telah melanggar daerah kekuasaanku. Tapi, kalian
akan kubebaskan dari huku-
man, karena telah mengantarkan wanita cantik ini kepadaku. Sekarang pergilah,
dan tinggalkan wanita Ini untukku...," sahut sosok tinggi kurus itu yang kembali
mengalihkan perhatiannya kepada Nyai Wintarsih.
Kemudian bersiap hendak mengangkat tubuh wanita
cantik itu untuk dibawanya pergi.
Tapi, kedua orang lelaki tegap yang semula mem-
bawa Nyai Wintarsih itu rupanya merasa keberatan.
Terbukti keduanya telah bergerak mengurung lelaki
bertubuh tinggi kurus itu dari kiri kanan. Di tangan mereka sudah tergenggam
pedang telanjang!
"Tidak semudah itu, Orang gila! Wanita itu tidak
akan kami biarkan hidup! Bisa-bisa ia menyusahkan
kami dikemudian hari nanti. Kalaupun kami harus
pergi, wanita itu harus mati terlebih dahulu!" ucapan yang jelas-jelas
menyiratkan kecemasan itu terlontar dari mulut lelaki tegap jangkung, yang
rupanya tidak setuju dengan keinginan lelaki tinggi kurus itu.
"Keparat! Mengapa kalian begitu serakah" Aku su-
dah bermurah hati membiarkan kalian keluar dari Hu-
tan Welang dalam keadaan hidup! Tapi, kalian ternyata semakin bertambah kurang
ajar! Untuk itu, hukuman
kembali kuberlakukan, karena kalian sendiri yang
menginginkannya!" terdengar suara lelaki gila bertubuh tinggi kurus itu penuh
dengan ancaman maut. Se-
telah berkata demikian, ia bergerak bangkit dengan sepasang mata mencorong
tajam. "Huh! Jangan kau kira kami takut dengan gertak
sambalmu itu, Orang gila! Sebaiknya bersiaplah untuk melayat ke akherat!" suara
menggetar penuh kemarahan itu, jelas berasal dari lelaki tegap berbahu lebar.
Sepertinya ia merasa tersinggung mendengar ancaman
lelaki tinggi kurus berotak miring itu.
"Hm..., sebaiknya segera saja kita habisi orang gila itu, Kakang. Untuk apa
meladeni ucapan-ucapannya.
..," ujar lelaki tegap jangkung yang rupanya sudah hilang kesabaran itu. Usai
berkata demikian, tubuhnya langsung melesat diiringi putaran pedangnya yang
menderu tajam! "Yeaaattt...!"
Whuuuttt...! Rupanya lelaki jangkung tegap itu bukan hanya be-
sar mulut saja. Menilik dari suara sambaran senja-
tanya, jelas ia memiliki kekuatan tenaga dalam yang tidak rendah. Bahkan
kecepatan geraknya pun membuktikan bahwa lelaki yang jangkung tegap itu bukanlah
tokoh rendahan. Sehingga, serangannya pun tentu saja sangat berbahaya!
Tapi, lelaki tinggi kurus berotak miring itu, ternyata bukan orang sembarangan!
Meskipun gerak langkahnya terlihat aneh dan tidak beraturan, namun sera-
ngan lawan sangat mudah dihindarinya. Bahkan, ia
dapat melontarkan serangan balasan yang tidak kalah cepat dan berbahaya daripada
serangan lawan!
Beuuuttt..! Tongkat kuning gading di tangan lelaki berotak mir-
ing itu meluncur deras, mengarah leher lawan. Dari
suara sambaran angin yang mencicit tajam, jelas tena-ga sakti yang dimiliki
sosok tinggi kurus itu sangat tinggi. Kepandaiannya itu membuat lawannya
tersentak kaget!
"Aaaiiihhh...!?"
Lelaki jangkung tegap itu terkejut bukan main, ke-
tika ujung tongkat lawan nyaris menghajar batang le-hernya. Untung ia masih
sempat menghindar, meski-
pun dengan jalan melempar tubuh dan bergulingan di


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

atas rumput Lalu, bergerak bangkit setelah jaraknya agak jauh dari lawan.
"Gila...!" Kepandaian lelaki berotak miring itu ternyata hebat sekali, kakang
Wantara...!" desis lelaki jangkung tegap itu dengan wajah agak pucat dan napas
memburu. Tampaknya ia sangat terkejut dengan
kesaktian lawan, yang sama sekali tidak diduganya.
Lelaki gagah berbahu lebar yang dipanggil dengan
nama Wantara itu bukan tidak tahu dengan kejadian
yang baru saja dialami kawannya. Ia pun terkejut juga menyaksikan kesaktian
orang gila yang mengaku Pen-guasa Hutan Welang itu.
"Siapa kau sebenarnya, Orang gila" Mengapa kau
hendak bermusuhan dengan kami?" tanya Wantara
dengan suara kering, karena lelaki berbahu lebar itu belum dapat meredakan rasa
kagetnya ketika mengetahui kesaktian lawan. Dari nada ucapannya ter sirat nada
kegentaran dan kecemasan.
"Hm..., kaulah yang lebih dulu membangkitkan ke-
marahan Ular Welang Tongkat Sakti! Dan, kemara-
hanku tidak dapat ditarik kembali, sebelum tongkatku ini menghirup darah kalian
berdua. Untuk itu, kalian berdua harus mati!" tandas sosok tinggi kurus yang
mengaku berjuluk Ular Welang Tongkat Sakti dengan
sorotan mata tajam menusuk jantung.
"Ahhh...!"
Mendengar nama Ular Welang Tongkat Sakti, Wan-
tara dan rekannya tersentak mundur, dan wajah me-
reka berubah pucat! Tentu saja sebagai orang-orang
yang berkecimpung di dalam rimba persilatan, nama
itu sudah mereka kenal.
Di kalangan orang-orang golongan hitam, nama
Ular Welang Tongkat Sakti dikenal sebagai tokoh puncak yang dapat disejajarkan
dengan para datuk. Ka-
ruan saja kedua lelaki itu menjadi cemas ketika mengetahui siapa sebenarnya
sosok tinggi kurus berotak miring yang tengah mereka hadapi itu. Hal itu membuat
mereka sadar kalau jalan untuk menyelamatkan
diri sudah tertutup sama sekali. Karena Ular Welang Tongkat Sakti tidak akan
berhenti sebelum korbannya menggelepar tewas di ujung tongkatnya.
"Celaka kita, Adi...," desis Wantara dengan suara
bisik bergetar. Tampak lelaki tegap berbahu lebar itu merasa gentar setelah
mengetahui lawan yang bakal
mereka hadapi. "Tidak ada jalan lain, Kakang. Kita tidak mem-
punyai pilihan lain, kecuali menghadapi iblis gila itu sampai titik darah
terakhir. Sebab, sudah pasti ia tidak akan melepaskan kita hidup-hidup," sahut
lelaki tegap jangkung dengan suara bergetar penuh rasa takut. Kendati demikian,
terlihat ia mencoba me-
nenangkan hatinya karena menyadari bahwa apapun
yang mereka katakan, tidak bakal dapat menye-
lamatkan nyawa mereka dari kematian. Dan, jalan sa-
tu-satunya hanyalah melawan mati-matian!
"Bersiaplah! Waktu kalian sudah habis...," kembali
terdengar ucapan bernada dingin dari Ular Welang
Tongkat Sakti. Kata-kata itu merupakan peringatan
bahwa kematian akan segera menjemput mereka.
Dan.... "Heaaattt...!"
Dibarengi pekik mengguntur yang menggetarkan
jantung, tubuh tinggi kurus itu bergerak secepat kilat ke arah Wantara dan
kawannya. Bweeettt...! "Awaaasss...!"
Wantara cepat memperingati kawannya seraya me-
lesat mundur. Kemudian, ia bersalto ke udara. Setelah berputar beberapa kali,
barulah tubuh Wan-tara meluncur turun disertai kibasan pedangnya guna melin-
dungi diri dari serangan lawan.
Namun, Ular Welang Tongkat Sakti sama sekali ti-
dak mengejar Wantara. Justru kawannya yang menjadi
sasaran serangannya.
"Aiiihhh...!"
Lelaki tegap jangkung berusia dua puluh tujuh ta-
hun itu, tentu saja menjadi kelabakan menghadapi serangan gencar Ular Welang
Tongkat Sakti. Dalam dua
jurus saja keringat dingin sudah mengucur membasahi pakaiannya. Ke mana pun ia
mengelak, ujung tongkat
lawan selalu mengincar dengan suara bercicitan. Hing-ga akhirnya....
"Shaaa...!"
Bukkk! "Huakkkhhh...!"
Sebuah pukulan melintang mengarah ke iga lawan,
mendarat telak! Akibatnya, tubuh tegap yang jangkung itu terbanting keras
disertai darah segar muncrat dari mulutnya! Sedangkan tongkat sosok tinggi kurus
itu kembali berkelebat, siap menghabisi nyawa lawan.
"Pergilah kau bersenang-senang ke akherat, Monyet
buduk!" desis Ular Welang Tongkat Sakti seraya mengayunkan tongkatnya ke arah
batok kepala lawan yang
sudah tidak berdaya itu!
"Adi...!"
Wantara tentu saja menjadi pucat menyaksikan
nyawa kawannya yang bagaikan telur di ujung tanduk
itu. Cepat ia berkelebat semampunya mencegah tong-
kat hitam yang siap mencabut nyawa rekannya itu.
"Tranggg...!
"Aaakkkhhh...!?"
Usaha yang dilakukan Wantara memang tidak sia-
sia. Karena jaraknya tidak terlalu jauh, maka pedang di tangannya pun berhasil
membentur tongkat lawan.
Namun, tindakan itu menyebabkan lengan kanannya
menderita kelumpuhan sementara. Bahkan senjatanya
sendiri terlepas dan terpental entah ke mana. Hal itu mencerminkan tenaga sakti
Ular Welang memang jauh
berada di atas lawannya.
Bruuuggg! Ngggkkk! Tubuh Wantara jatuh mencium tanah dengan
punggung terlebih dahulu. Beberapa saat lamanya le-
laki tegap berbahu lebar itu tidak dapat bangkit lagi.
Karena selain lengan kanannya terasa lumpuh, da-
danya pun terasa sesak, akibat benturan keras tadi.
Sedangkan Ular Welang Tongkat Sakti tidak terpen-
garuh sama sekali. Meskipun tongkatnya sempat me-
lenceng akibat benturan pedang Wantara. Tapi, ia masih tetap tegar, dan siap
melontarkan serangan maut berikutnya.
"Hm...."
Ular Welang Tongkat Sakti menggeram sambil me-
langkah menghampiri kedua orang lawannya yang ma-
sih menggeletak di tanah. Sedangkan kedua orang le-
laki tegap itu hanya bisa pasrah menanti datangnya
malaikat maut! *** 2 "Ooouhhh...."
Ular Welang Tongkat Sakti menahan langkahnya
ketika mendengar suara keluhan yang lirih itu. Lelaki bertubuh kurus itu menoleh
ke arah Nyai Wintarsih
yang tampak mulai sadar dari pingsannya. Terlihat sinar keraguan di matanya
ketika menyaksikan tubuh
wanita cantik bernasib malang itu bergerak lemah.
"Hmmm...."
Untuk kesekian kalinya, sosok lelaki yang berusa
sekitar lima puluh tahun itu kembali menggeram pe-
nuh kegusaran. Sejurus kemudian, terlihat ia ber-balik
dan melangkah mendekati Nyai Wintarsih. Tampak
Ular Welang Tongkat Sakti lebih tertarik menghampiri wanita cantik itu ketimbang
kedua orang lawannya.
Wantara yang melihat ada peluang untuk menye-
lamatkan diri, segera bergerak bangkit, dan buru-buru ia menyeret tubuh
kawannya. Ketika mereka agak jauh dari tempat Ular Welang, segera saja Wantara
bersama rekannya mengambil langkah seribu. Sebentar kemudian kedua sosok itu pun
lenyap ditelan kelebatan pepohonan hutan.
Ular Welang Tongkat Sakti sepertinya telah me-
lupakan kedua lawannya. Lelaki tua bertubuh tinggi
kurus itu tampak demikian khusyuk memijat dan
mengelus tubuh Nyai Wintarsih. Terlihat kilatan aneh yang menyiratkan kesedihan
pada sepasang matanya.
"Kau akan segera sembuh, manisku. Bangkitlah,
Nyai. Sejak lama, aku memang yakin kalau kau pada
akhirnya akan kembali kepadaku...," suara Ular We-
lang Tongkat Sakti mengandung perasaan kasih yang
mendalam. Entah, apa yang membuat tokoh sesat be-
rotak miring itu berujar demikian. Mungkin latar belakang ucapan itulah yang
membuat lelaki tua bertubuh kurus itu lebih tertarik untuk menghampiri Nyai
Wintarsih ketimbang kedua orang lawannya, yang hampir
saja tidak dapat melihat sinar matahari esok pagi.
"Aaahhh!?"
Nyai Wintarsih yang baru saja kesadarannya pulih,
tersentak seperti disengat kalajengking. Wanita muda berparas cantik itu
beringsut menjauhi sosok yang berjongkok di sisi tubuhnya. Telapak tangan yang
digenggam Ular Welang Tongkat Sakti segera ditarik-nya cepat-cepat.
"Pergi...! Pergi...! Manusia biadab kau...!" maki Nyai Wintarsih yang belum
mengenali sosok setengah baya
itu bukanlah orang yang menodainya secara biadab.
"Aaahhh...!?" Ular Welang Tongkat Sakti bergumam.
Rupanya ia cukup terkejut mendengar makian Nyai
Wintarsih. Dengan raut wajah berkerut-kerut yang
mencerminkan perasaannya yang sakit, sosok tinggi
kurus itu bergerak bangkit, dan menatap wanita itu penuh penasaran. Sepertinya
tokoh sesat berotak miring itu menuntut penjelasan atas ucapan Nyai Wintarsih.
Nyai Wintarsih rupanya baru dapat mengenali seca-
ra jelas sosok tinggi kurus di depannya itu. Wanita cantik bernasib malang itu
tampak mengerjap-ngerjap-kan kedua matanya dengan perasaan heran.
"Siapakah, Tuan" Ke mana perginya kedua manusia
terkutuk itu...?" tanya Nyai Wintarsih seraya meng-
edarkan pandangannya ke sekeliling tempat itu. Ketika ia tidak menemukan kedua
orang yang telah berbuat
keji terhadapnya, sepasang mata bening itu pun kem-
bali meneliti sosok Ular Welang Tongkat Sakti.
Ular Welang Tongkat Sakti sendiri tampak berusaha
tersenyum ketika menyadari kalau sepasang mata ben-
ing itu tengah meneliti dirinya. Sayang, senyumnya itu lebih menyerupai
seringai. Sehingga, hati Nyai Wintarsih menjadi ciut.
"Kedua orang itu telah kuusir pergi dari tempat ini.
Sayang aku belum sempat mencabut nyawa mereka.
Karena aku mengkhawatirkan dirimu ketimbang mo-
nyet-monyet buduk itu. Sekarang engkau telah menja-
di milikku, dan harus ikut bersamaku," ucap Ular Welang Tongkat Sakti dengan
suara tegas. Sepertinya tokoh sesat yang sangat ditakuti lawan dan disegani
kawan itu lenyap kemiringan otaknya. Bukti-nya ia su-
dah bisa mengenali kalau Nyai Wintarsih bukanlah
wanita yang dimaksudkannya.
Sebenarnya, sebelum kejadian pahit yang menimpa
dirinya, Ular Welang Tongkat Sakti sama sekali tidak sinting. Pikirannya
terganggu setahun silam ketika is-trinya pergi bersama seorang tokoh sesat yang
lebih muda dan tampan. Meskipun ia telah dapat menemukan dan membunuh keduanya,
namun peristiwa itu
membuat jiwanya terguncang. Sejak kejadian itulah,
nama Ular Welang Tongkat Sakti tidak terdengar lagi.
Ia lebih banyak menyembunyikan diri di dalam Hutan
Welang. Tidak aneh kalau Wantara dan kawannya ti-
dak mengenali wajah tokoh sesat yang terkenal kejam itu. Kembali kepada Nyai
Wintarsih yang tentu saja
menjadi terkejut ketika mendengar ucapan lelaki tinggi kurus itu. Melihat dari
raut wajah dan penampilan
Ular Welang Tongkat Sakti, sadarlah wanita cantik itu kalau lelaki setengah tua
yang berdiri dihadapinya tidak jauh berbeda dengan kedua orang lelaki yang telah
menggagahinya secara biadab tadi. Ia merasa terbebas dari mulut ular berbisa,
dan masuk ke sarang harimau buas.
"Hm..., mengapa kau tidak menjawab" Apakah kau
lebih suka kubawa pergi secara paksa?" tanya Ular
Welang Tongkat Sakti seraya meneliti wajah Nyai Wintarsih yang tampak ketakutan.
"Tuan, kasihanilah aku. Biarkanlah aku pergi dari
tempat ini. Aku akan berterima kasih sekali bila Tuan tidak mengangguku, dan
membiarkan aku pergi sendiri," Nyai Wintarsih mencoba membujuk Ular Welang
Tongkat Sakti dengan suara memelas sambil merang-
kapkan ke dua tangannya dan menyembah kepada to-
koh sesat itu. "Tidak bisa! Aku sudah merebutmu dari orang-
orang tak berguna tadi. Oleh karena itu, kau harus
menemaniku tinggal di dalam Hutan Welang ini. Sudah cukup lama aku kesepian.
Kini engkau datang seolah
Peri Hutan Welang sengaja mengirimkan dirimu untuk
menemaniku. Untuk itu, kau harus menjadi istriku,
dan tinggal di tempat ini!" tandas Ular Welang Tongkat Sakti. Lelaki tua
bertubuh kurus itu sepertinya tidak ingin mendengar bantahan wanita cantik itu.
Tentu sa-ja ucapan itu membuat Nyai Wintarsih semakin keta-
kutan. Wanita itu merasa ngeri membayangkan dirinya menemani lelaki tua berwajah
buruk itu. Namun, Nyai Wintarsih bukanlah orang bodoh. Se-
telah kepahitan dan penderitaan yang dialaminya, wanita cantik itu tidak sudi
untuk mati, sebelum melampiaskan dendamnya terhadap orang-orang yang telah
menghina dan menyengsarakan dirinya. Ia pun sadar
kalau sosok tinggi kurus di depannya itu merupakan
orang sakti. Terbukti dua orang lelaki yang dikenalnya memiliki kepandaian silat
tinggi dapat diusir pergi oleh lelaki setengah baya itu. Merasa kehidupannya
telah hancur, Nyai Wintarsih pun mulai memikirkan anak
yang ada dalam kandungannya. Maka, mulailah ia
mengatur siasat.
"Tuan. Kalau aku suka menyerahkan diri secara
sukarela untuk menjadi istrimu, maukah kau meme-
nuhi persyaratan yang akan kuajukan?" tanya Nyai
Wintarsih mulai menjalankan siasatnya. Semua itu dilakukan semata-mata demi
membalas perbuatan
orang-orang yang telah menghancurkan hidupnya.
"Katakan, apa syaratmu itu?" sambut Ular Welang
Tongkat Sakti yang kali ini tidak kelihatan sama sekali kalau dirinya berotak
miring. Bahkan terlihat sepasang matanya bersinar-sinar mendengar jawaban yang
menggembirakan hatinya itu.
"Aku bisa menduga kalau Tuan pastilah seorang
yang memiliki ilmu silat tinggi. Untuk itu, aku bersedia menjadi istrimu dengan
syarat anakku harus lahir terlebih dahulu. Selain itu, Tuan pun harus menurun-
kan semua ilmu kepandaian Tuan kepada anakku. Ka-
lau persyaratan ini disetujui, barulah aku rela menjadi istri Tuan," ujar Nyai
Wintarsih dengan suara tegas.


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hua hak hak...!"
Mendengar permintaan Nyai Wintarsih, meledaklah
tawa Ular Welang Tongkat Sakti. Sebab, syarat wanita cantik itu sama sekali
tidak terasa berat baginya. Selain itu, ia pun tentu saja akan suka menurunkan
kepandaiannya kepada anak yang kelak akan lahir dari rahim Nyai Wintarsih.
Nyai Wintarsih terlihat agak cemas ketika sosok tu-
buh tinggi kurus itu tertawa tergelak di hadapannya.
Wanita cantik itu meremas-remas jemari tangannya
sendiri. Kelihatan sekali kalau ia sangat tegang menanti jawaban Ular Welang
Tongkat Sakti. "Ayo, ikut aku...," ujar Ular Welang Tongkat Sakti
begitu tawanya berhenti.
"Tidak, sebelum kau menyetujui syaratku...!" ban-
tah Nyai Wintarsih menuntut kepastian seraya meron-
ta melepaskan pergelangan tangannya yang dicekal tokoh sesat itu.
"Ah, bodoh sekali kau, Manis. Aku sudah setuju
dan senang sekali dengan persyaratanmu itu...," sahut Ular Welang Tongkat Sakti
cepat. Dan, sebelum Nyai
Wintarsih sadar, tokoh sesat itu sudah bergerak mengangkat tubuh wanita cantik
itu ke atas bahunya. Kemudian, melesat dengan kecepatan kilat menembus
kelebatan Hutan Welang. Sebentar saja sosok mereka
pun lenyap ditelan kelebatan pepohonan hutan itu.
*** Gadis remaja itu melangkah ringan menyusuri jalan
utama sebuah desa. Wajah yang bulat telur itu tampak cantik dan menarik. Membuat
orang-orang bila berpa-pasan dengan gadis itu tidak akan melewatkan kesem-
patan untuk menikmati kecantikannya. Namun, gadis
itu sama sekali tidak mempedulikannya. Sikapnya te-
tap tenang dengan matanya menatap lurus ke depan.
Sinar berkilat pada sepasang mata bening itu demikian berpengaruh, sehingga
membuat orang merasa segan
untuk menggodanya.
Setelah cukup jauh melewati mulut desa, mendadak
dara remaja itu membelokkan langkahnya ke arah kiri.
Kemudian, melangkah masuk ke dalam kedai yang
tampak ramai oleh pengunjung. Langkah dara remaja
itu terhenti sejenak di ambang pintu. Sepasang ma-
tanya menyapu ruangan dalam kedai, mencari tempat
kosong. "Hhh...," gadis cantik itu menghela napas kecewa
ketika melihat tidak ada lagi meja kosong yang tersedia. Dengan desahan berat,
ia membalikkan tubuhnya
hendak meninggalkan kedai itu.
"Nisanak, tunggu dulu...!" tiba-tiba terdengar se-
ruan perlahan yang membuat dara remaja itu menun-
da langkah, dan berbalik hendak melihat siapa yang
telah memanggilnya.
"Hm...," gadis cantik itu hanya bergumam perlahan
ketika melihat seorang lelaki setengah baya datang ter-gopoh-gopoh
menghampirinya. Menilik dari sikap dan
pakaiannya, mudah ditebak kalau lelaki setengah baya itu pastilah seorang
pelayan kedai. "Nisanak hendak mencicipi hidangan di kedai ka-
mi...?" tanya pelayan itu dengan tubuh agak dibung-
kukkan. Senyum ramahnya pun tampak terkembang
seiring dengan ucapan yang keluar dari mulutnya.
"Hm...," dara remaja itu bergumam seraya meng-
anggukkan kepala dengan perlahan. "Sayang, di sini
sudah tidak ada meja lagi yang tersedia untukku. Karena itu aku bermaksud
mencari kedai lain saja," lanjutnya dengan suara lembut meski terkesan agak din-
gin dan angkuh.
"Mmm..., kalau Nisanak bersedia, di sudut sana ada
sebuah meja kosong yang hanya ditempati seorang
pemuda. Tapi, kalau Nisanak merasa keberatan, kami
mohon maaf karena kami tidak bisa menyediakan
tempat untukmu...," ujar pelayan itu sambil meluruskan jari telunjuknya ke arah
sudut sebelah kiri kedai itu. "Hm...," lagi-lagi dara remaja berwajah cantik itu
bergumam tak jelas. Sepasang mata beningnya, tampak menyipit seperti hendak
menegasi sosok pemuda
tampan berpakaian putih itu. Sedangkan pemuda itu
seperti tidak mengetahuinya. Mungkin karena ia teria-lu acuh terhadap lingkungan
sekelilingnya. "Bagaimana, Nisanak...?" tanya pelayan setengah
baya itu dengan penuh harap.
"Mmm..., baiklah...," ujar dara cantik itu sembari
menyebutkan pesanannya, dan meminta agar disedia-
kan agak cepat. Kemudian ia melangkah menuju ke
arah sudut kiri kedai itu. Sedangkan si pelayan setengah baya itu sudah
terbungkuk-bungkuk dan bergegas
hendak menyiapkan pesanan dara cantik itu.
Setiba di dekat meja yang dituju, dara cantik itu tidak segera menarik kursi. Ia
berdiri mengamati pemu-da yang tengah asyik menikmati hidangannya.
"Ehhhmmm...," dara remaja itu berdehem seolah
ingin menyatakan kehadirannya, dan menuntut perha-
tian. "Ooohhh...! Maaf," ucap pemuda tampan itu yang
segera mengangkat kepalanya, dan menatap sekilas ke arah dara remaja di
depannya. "Mmm, ada yang bisa
aku bantu...?" lanjut pemuda itu menawarkan diri.
"Meja yang lain sudah terisi penuh. Seorang pe-
layan menawarkan meja ini untukku," ujar dara cantik itu dengan suara ketus.
Sepertinya ia tidak mau kalau pemuda tampan itu beranggapan bahwa ia sengaja
memilih tempat itu. Ucapan itu menunjukkan betapa
angkuhnya hati gadis cantik itu. Setelah berkata demikian, ia menarik kursi di
depannya dan menghenyak-
kan pantatnya tanpa berkata apa-apa lagi.
Tapi, pemuda tampan itu tidak peduli sama sekali
dengan kehadiran gadis cantik itu. Ia kembali menikmati hidangannya dan acuh tak
acuh dengan gadis
yang duduk di hadapannya.
Sikap pemuda itu menimbulkan rasa penasaran di
hati si gadis. Sebab, biasanya di mana ia hadir, selalu saja menjadi pusat
perhatian kaum lelaki. Jangankan yang masih muda, kakek-kakek pun, biasanya
tidak akan melewatkan kesempatan meski sekedar untuk
menikmati kecantikan wajahnya. Tapi..., pemuda di
depannya itu acuh tak acuh saja. Hal itu membuat
harga dirinya tersinggung!
"Eeehhhmmm...!"
Dara remaja itu kembali berdehem. Ia berpura-pura
tenggorokannya gatal. Bahkan kali ini suara berdehem terdengar lebih keras dari
yang pertama tadi.
Pemuda tampan di depannya itu sadar, seraya
mengangkat wajahnya, dan mengangguk menawarkan
dara remaja itu.
"Terima kasih...," ujar dara remaja itu sambil me-
lemparkan senyum manis yang dimilikinya. Tapi, wa-
jahnya kembali masam. Karena pemuda di depan-nya
itu telah kembali menikmati hidangannya. Seolah hi-
dangan di atas meja itu jauh lebih menarik ketimbang wajahnya. Lagi-lagi dara
remaja yang sadar akan kecantikannya itu menjadi tersinggung.
Kejengkelan hati dara cantik itu terlihat jelas membayang di wajahnya. Sayang ia
tidak bisa berbuat apa-apa. Karena pemuda itu memang tidak berbuat kesa-
lahan apapun terhadapnya. Gadis cantik itu hanya bi-sa meremas-remas jemari
tangannya sendiri dengan
wajah geram. "Kisanak...," panggil dara cantik itu lagi. Pemuda di depannya kembali
mengangkat wajah, dan menatap ke
arah gadis cantik itu. Dan, secara tak sengaja, dua pasang mata itu saling
bertumbukan. Wajah pemuda
tampan itu tampak agak kaget melihat ada kilatan marah pada sepasang mata bening
milik gadis cantik di depannya itu. Tapi, ia berpura-pura bodoh, seolah tidak
mengetahui hal itu.
"Ada apa, Nisanak" Kau hendak menanyakan sesu-
atu...?" ucap pemuda tampan itu dengan suara tenang dan menyembunyikan suatu
perbawa di dalamnya.
Dara cantik itu semula bermaksud memamerkan
wajahnya, tapi justru ia sendirilah yang tertegun, setelah melihat secara jelas
wajah pemuda yang duduk di hadapannya. Tanpa sadar gadis itu malah meng-amati
wajah pemuda itu secara teliti.
Namun, raut wajah pemuda itu tetap tenang. Perla-
han sepasang matanya yang tajam dan berpengaruh
itu kembali merunduk. Pemuda itu sadar kalau gadis
di depannya itu tengah mengamati wajahnya. Seulas
senyumnya, menandakan kalau pemuda itu mulai da-
pat menduga akan pikiran yang ada dalam kepala dara cantik itu.
"Mengapa... kau tersenyum...?" tegur dara cantik itu dengan selebar wajah
memerah. Rupanya ia menduga
bahwa pemuda itu menertawakan perbuatannya baru-
san. Tentu saja dara cantik itu menjadi jengah, teringat betapa ia memperhatikan
wajah pemuda itu sam-
pai lama. Pemuda yang berwajah tampan, bersih dan menarik
itu, tampak tersenyum. Kening dara di depannya terlihat berkerut tak senang.
"Maaf," ucap pemuda tampan itu dengan sikap dan
nada yang sopan. Sehingga, dara cantik itu kembali
kaget. "Aku sama sekali tidak bermaksud menertawa-
kanmu. Hanya saja aku merasa lucu. Karena, kau
memanggilku tanpa sebab...," ujar pemuda itu dengan suara lembut, membuat hati
dara remaja itu menjadi
lega. "Ooouhhh...," sergah dara cantik itu sambil me-
nutupi mulutnya dengan jemari kanannya. Sebentar
kemudian, meledaklah tawa dari bibir merah yang tipis dan mempesona itu.
Kini pemuda itu pula yang tertegun. Baru ia me-
nyadari betapa cantik raut wajah yang tengah tertawa di hadapannya itu. Tapi,
hal itu hanya berlangsung sekilas. Sebelum dara cantik itu menyadarinya, ia
sudah kembali bersikap seperti biasa, tenang dan penuh ke-matangan.
"Maksudku tadi hanya ingin bertanya tentang nama
desa ini kepadamu...," ujar dara cantik itu setelah tawanya lenyap. Sikapnya
kali ini tampak bebas. Tidak seperti semula dingin dan angkuh. Entah, apa yang
telah merubah sikap dara cantik itu. Mungkin karena ia mulai tertarik dengan
pemuda tampan itu.
"Desa ini bernama Keranggan. Aku pun baru saja
mengetahuinya dari tiang batu pembatas desa yang
berada sekitar beberapa puluh tombak di dekat mulut desa ini," jelas pemuda
tampan itu. Dara cantik itu hanya mengangguk-anggukkan ke-
palanya. Percakapan mereka yang semula hendak di-
lanjutkannya itu, mendadak terhenti. Karena pesanan yang diminta gadis itu sudah
diantarkan seorang pelayan kedai yang lain.
Tapi, baru saja pelayan itu meninggalkan meja,
mendadak terdengar suara berat bernada kurang ajar.
Sehingga, dara cantik itu menunda niatnya untuk
mencicipi makanan yang telah terhidang.
"Heh heh heh..., boleh aku menemanimu, manis...?"
tegur seorang lelaki jangkung bertubuh kekar. Wajahnya yang brewok dan tak sedap
dilihat itu, menyeringai menampakkan gigi-giginya yang kotor dan jarang di-
bersihkan itu. Karuan saja pemandangan itu mem-
buat selera makan gadis cantik itu hilang.
Rupanya laki-laki brewok itu tidak hanya sendirian.
Di sebelah kiri dan kanannya, tampak tiga orang laki-laki yang juga cengengesan
dengan tingkah menyebal-
kan. "Jangan lupakan kami bertiga, Kakang. Kalau dapat
rejeki, bagi-bagilah kawan-kawanmu ini...," salah seorang dari ketiga lelaki itu
menimpali. Dua orang lainnya menyambut dengan gelak tawa keras.
Beberapa pengunjung kedai yang mendengar suara
tawa itu, menolehkan kepalanya. Mereka seperti telah menduga bakal ada
keributan, segera saja menyelesaikan hidangan, kemudian cepat-cepat berlalu
mening- galkan kedai. Sedangkan pemilik kedai dan tiga orang pelayan-
nya, tampak berkumpul dengan wajah cemas. Jelas
mereka telah mengenal baik keempat orang lelaki ga-
gah bertingkah laku kasar itu.
Dara cantik yang semula hendak menikmati hida-
ngan yang dipesannya itu menjadi jengkel. Wajah yang
semula cerah itu mendadak suram. Senyum manisnya
lenyap. Sepasang matanya menyiratkan sinar berkilat penuh nafsu membunuh. Tentu
saja pemandangan itu
membuat pemuda di depannya terkejut
"Tikus-tikus busuk menjemukan! Kalian rupanya
memang sengaja hendak mencari keributan!" bentak
dara cantik itu yang bergerak bangkit merayapi wajah-wajah orang-orang itu.
Namun, keempat orang laki-laki itu mana mau ber-
henti. Bahkan salah seorang di antaranya meng-
ulurkan tangan ke arah dada dara cantik itu. Tentu
saja perbuatan itu sudah sangat keterlaluan. Sehing-ga....
"Bedebah! Kalian semua berjiwa kotor!" maki dara
cantik itu yang segera menggeser tubuhnya ke kanan.
Gerakan itu masih dibarengi pula dengan uluran tan-
gannya yang langsung menangkap pergelangan tangan
lelaki kurang ajar itu.
Kreeeppp! Gerakan dara cantik itu ternyata sangat gesit. Seka-li jambret saja lengan yang
bermaksud kurang ajar itu telah tercekal jemari tangannya yang mungil. Kemudian,
membetotnya kuat-kuat sembari melontar-kan
pukulan telapak tangan kanannya, yang langsung
mengarah ke dada lelaki itu. Dan....
Buuukkk! "Huakkkhhh...!"
Hebat sekali serangan yang dilancarkan dara cantik
itu. Hantaman telapak tangannya telak mengenai sasaran! Akibatnya, tubuh lelaki
tinggi kurus yang bermaksud kurang ajar terhadap dirinya itu, terjungkal muntah
darah! Tentu saja kenyataan itu membuat tiga orang lain-
nya tersentak mundur dengan wajah berubah! Mereka
sama sekali tidak menyangka kalau dara cantik itu
dapat merobohkan kawan mereka hanya dengan sekali
gebrak! Ketiganya cepat-cepat meraba pinggang.
Terdengar suara berdesingan yang disertai sinar pu-
tih berkeredepan. Sebentar saja ketiganya telah meng-genggam senjata telanjang!
*** 3 "Hmmm...."
Gadis cantik yang mengenakan pakaian serba putih
itu bergumam penuh kemarahan! Sinar matanya yang
selalu berkilat menakutkan itu, kini semakin bertambah tajam. Bahkan tersirat
nafsu membunuh di da-


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lamnya! "Tahan! Hentikan perkelahian...!" tiba-tiba saja, sebelum perkelahian berlanjut,
dan mungkin akan me-
nimbulkan korban nyawa, terdengar seruan nyaring
menggetarkan. Tahu-tahu saja, di antara kedua pihak yang sedang bertikai itu,
berdiri tegak seorang pemuda tampan berjubah putih yang hendak melerai
perkelahian itu.
"Hmmm, kau...," desis bibir merah tipis yang mem-
pesona itu dengan nada dingin dan kecewa. "Rupanya
kau berpihak kepada mereka. Bagus! Tapi, jangan kau kira aku takut meskipun kau
berada di pihak orang-orang kurang ajar itu...!"
"Nisanak, jangan salah paham. Aku tidak memihak
siapapun. Kalau pun mereka bersalah, maafkanlah.
Perkelahian hanya akan menimbulkan kerugian dan
mungkin korban jiwa. Untuk itu, pikirlah baik-baik se-
belum bertindak...," bujuk pemuda tampan berjubah
putih itu yang merupakan teman semeja dara cantik
itu. "Sebaiknya kau tidak usah ikut campur, Kisanak!
Kuntilanak itu harus mendapat balasan yang setimpal atas tindakannya tadi...,"
niat baik pemuda itu sepertinya tidak mendapat sambutan dari lelaki brewok itu.
Bahkan lelaki brewok bertubuh kekar dan berotot itu mengulurkan tangannya,
kemudian membetotnya dengan maksud untuk melemparkan tubuh pemuda ber-
jubah putih itu ke tepi. Tapi....
"Uuuhhh...!"
Bukan main terkejutnya hati lelaki brewok itu keti-
ka tubuh pemuda yang punggung bajunya diceng-
keram tidak terlempar sama sekali. Bahkan tidak bergeming sedikit pun dari
tempatnya! Tentu saja kenyataan itu membuatnya marah dan penasaran!
"Bangsat! Heeeaaa...!"
Dengan kemarahan yang meluap-luap, lelaki bre-
wok itu membentak dan kembali membetot tangannya.
Kali ini ia mengerahkan segenap kekuatan tenaga da-
lamnya. Lelaki brewok itu tidak peduli kalau tubuh
pemuda berjubah putih itu akan patah tulang-
tulangnya bila terbanting menghantam meja.
Tapi, lagi-lagi perbuatan lelaki brewok itu hanya
sia-sia belaka. Meskipun ia telah mengerahkan seluruh kekuatannya, tapi tubuh
pemuda berjubah putih itu
tidak bergeming sama sekali!
"Uuuhhh...!?"
Untuk kesekian kalinya, lelaki brewok itu kembali
mencoba membetot tubuh pemuda itu. Namun, tetap
saja gagal! Dan ia pun terpaksa menyerah dengan na-
pas hampir putus, dan tubuh basah oleh keringat!
"Bangsat sombong!" maki lelaki brewok itu yang kali
ini menggunakan pedangnya secara mendatar!
Siiinggg...! Sinar putih berkeredep disertai suara berdesing ta-
jam! Senjata itu bergerak cepat ke arah pinggang pemuda berjubah putih yang
berdiri membelakanginya
itu! Namun, sebelum senjata tajam itu menyentuh sasarannya. Tubuh pemuda itu
berbalik dengan kecepatan
yang tidak bisa ditangkap mata biasa. Berbarengan
dengan itu, tangannya tampak terulur menyambut
sambaran pedang. Dan....
Tappp! Aaahhh...!?"
"Gila...!?"
Terdengar seruan-seruan kaget, termasuk dara re-
maja berwajah cantik yang juga menyaksikan tindakan berbahaya dari pemuda
berjubah putih itu.
Tapi seruan-seruan kaget itu berubah menjadi pe-
kik ketidakpercayaan, saat menyaksikan tindakan le-
bih lanjut dari pemuda itu. Karena pedang lelaki brewok itu tiba-tiba saja
terjepit di antara dua buah jari pemuda berjubah putih itu!
"Hebat! Pemuda tampan itu ternyata memiliki ke-
pandaian yang sangat tinggi. Aku sendiri belum tentu berani melakukannya,
meskipun mungkin bisa...," Da-ra cantik berpakaian putih itu bergumam lirih. Ia
semakin bertambah kagum dengan pemuda itu. Selain
tampan dan menarik, juga memiliki kepandaian yang
sangat tinggi! Demikian pula dengan lelaki brewok dan kawan-
kawannya. Empat pasang mata mereka membelalak
seperti hampir keluar dari tempatnya. Karena tindakan pemuda berjubah putih itu
merupakan sesuatu yang
mustahil bagi mereka.
"Heaaahhh...!"
Si lelaki brewok rupanya tidak berputus asa. Den-
gan sebuah bentakan nyaring, ia berusaha menarik
senjatanya yang terjepit di antara jari tengah dan telunjuk pemuda itu.
"Sahabat, aku sama sekali tidak bermaksud untuk
bermusuhan. Hanya saja aku tidak bisa tinggal diam
melihat kejadian yang mungkin dapat membawa kor-
ban. Sebaiknya tinggalkanlah tempat ini sebelum se-
muanya terlambat...," ujar pemuda tampan berjubah
putih itu. Seolah-olah ia tidak mengerahkan tenaga
sama sekali untuk menahan lawan. Bahkan wajahnya
tetap tenang, tanpa perubahan sedikit pun. Hal itu jelas menandakan betapa
kekuatan lelaki brewok itu
masih jauh berada di bawah pemuda berjubah putih.
Lelaki brewok itu cukup lama berkutat mencoba
membebaskan pedangnya. Pemuda tampan itu akhir-
nya mengendurkan jepitan jari tangannya yang mirip
capit baja itu. Akibatnya....
"Aaahhh...!?"
Lelaki brewok itu tidak menyangka kalau pemuda
itu akan mengendurkan jepitan tangannya, maka tak
ayal lagi tubuh lelaki itu terpental ke belakang akibat tenaga yang dikerahkan
untuk mencabut pedangnya
itu. Braaakkk...!
Tubuh kekar berotot itu terhumbalang melanggar
sebuah meja di belakangnya, dan hancur berantakan!
Sedangkan lelaki brewok itu masih terus meluncur dan jatuh berdebuk.
"Bangsat..!" lagi-lagi lelaki brewok itu memaki ka-
lang kabut. Dengan susah payah, ia berusaha bangkit dan berdiri. Ketiga orang
kawannya buru-buru mem-bantunya.
Sepertinya keempat orang itu sadar kalau kepan-
daian pemuda itu tidak mungkin dapat mereka tandin-
gi. Dan segera saja keempat lelaki itu mengambil langkah seribu. Kabur!
"Haaaiiittt...!"
Namun, gadis cantik berpakaian putih itu rupanya
belum puas. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring,
tubuh ramping itu melambung dan berputar di udara.
Kemudian mendaratkan kakinya tepat beberapa lang-
kah di hadapan keempat lelaki kurang ajar itu.
"Hm..., jangan kalian kira akan begitu mudah me-
ninggalkan tempat ini! Apa yang kalian lakukan pa-
daku, hanya kematian yang patut kalian dapatkan...!"
ujar dara remaja berwajah cantik itu dengan nada dan wajah dingin. Terlihat
pancaran sinar kebencian pada sepasang mata yang sebenarnya sangat indah itu.
"Bangsat! Jangan kau kira kami takut kepadamu,
Kuntilanak! Kalau saja pemuda setan itu tidak ikut
campur, kau pasti sudah bertekuk lutut di bawah telapak kakiku," balas lelaki
brewok itu seperti men-
dapatkan tempat untuk menumpahkan kemarahan
dan rasa penasarannya.
"Hmmm...," dara remaja yang sepertinya memiliki
hati penuh kebencian itu, bergumam tak jelas. Sejurus kemudian, tubuh ramping
itu sudah melesat dengan
kecepatan kilat!
Wuuuttt! Wuuuttt!
Melihat datangnya serangan yang jelas-jelas sangat
berbahaya dan bisa mematikan itu, keempat lelaki itu segera berpencar dengan
senjata terhunus! Sehingga, serangan pertama dara cantik berpakaian serba putih
itu mengenai tempat kosong!
Serangan yang dilancarkan gadis cantik itu rupanya
berkesinambungan. Sepasang tangan yang membentuk
paruh ular itu bergerak meliuk-liuk dan mematuk-
matuk dengan suara angin yang bercuitan. Jelas tena-ga yang terkandung di
dalamnya sangat tinggi sekali.
Sasarannya adalah lelaki brewok yang diduga-nya se-
bagai pimpinan keempat orang lelaki itu.
Zebbb! Zeeebbb!
"Aiiihhh...!"
Dua buah serangan yang meluncur cepat dan me-
matuk tanpa terduga itu, membuat lawan menjadi ka-
lap! Sadar kalau serangan itu tidak mungkin dapat di-lawan dengan mengelak saja,
maka lelaki brewok itu
bergegas membabatkan pedangnya. Ia ingin membabat
putus jari-jari tangan gadis yang membentuk paruh
ular yang mengincar tubuhnya itu.
"Hiaaahhh!"
Whuuuttt...! Namun, dengan gerakan yang indah dan menak-
jubkan, gadis cantik itu memutar pergelangan lengannya. Sehingga, mata pedang
lawan lewat setengah
jengkal di depan pergelangannya. Bahkan pada saat
yang bersamaan, dari sebelah kiri dan kanannya da-
tang menyambar senjata lain. Gadis cantik itu cepat merendahkan tubuhnya dengan
setengah berjongkok,
tapi kedua tangannya bergerak cepat mematuk ke kiri dan ke kanan.
Crabbb! Crabbb!
"Aaakkkhhh...!"
"Aaa...!"
Dua orang pengeroyok bernasib sial itu tidak sem-
pat lagi menghindar. Akibatnya, jari-jari tangan lentik itu amblas melukai
lambung dan dada kedua orang
lawannya! Darah segar mengalir saat dara remaja itu mengeluarkan bentakan seraya
mencabut ke luar jari-jari tangannya dari tubuh lawan. Akibat-nya, kedua
orang itu terjungkal ke belakang, dan ambruk men-
cium tanah. Keduanya tampak merintih sambil meme-
gangi luka yang terasa panas itu.
Sepak terjang gadis cantik itu memang benar-benar
menggetarkan lawan-lawannya. Bahkan setelah melu-
kai kedua orang lawannya, ia masih sempat melompat
berputar seraya mengirimkan tendangan keras, dan
bersarang telak di dada lelaki brewok di depannya.
Desss! "Huakkkhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki brewok itu terjung-
kal keras, hingga menghancurkan sebuah meja di be-
lakangnya. Darah segar muncrat dari mulutnya. Jelas tendangan keras itu telah
mendatangkan luka di bagian dalam tubuhnya. Sehingga, ia tidak dapat lagi
bangkit berdiri.
"Hmmm...," dara cantik yang berusia sekitar dela-
pan belas tahun itu menoleh ke arah seorang lawan
yang berdiri dengan wajah seputih kertas. Sedangkan ketiga lawannya yang lain
masih tampak merintih,
menahan rasa sakit akibat gempuran dara cantik itu.
"Tahan...!"
Langkah gadis cantik itu tertahan ketika mendengar
suara bentakan nyaring yang menggetarkan dadanya.
Entah bagaimana tiba-tiba saja sesosok tubuh ber-
jubah putih itu telah berdiri menghadang jalan gadis itu. Lagi-lagi pemuda
tampan berjubah putih itu menghalangi niatnya untuk melenyapkan lawan.
"Hm..., kau lagi. Rupanya kau menjadi sombong
dengan kepandaian yang kau miliki itu. Meskipun ke-
saktianmu seperti malaikat, Wintari tidak akan pernah merasa takut!" desis gadis
cantik berpakain serba putih itu dengan wajah gusar. Usai berkata demikian gadis
cantik itu meraba pinggangnya. Tiba-tiba saja sehe-
lai selendang berwarna biru tua telah tergenggam di tangan kanannya.
Jtarrr! Ctarrr!
"Mari, tunjukkanlah kesaktianmu kepadaku, pemu-
da sombong...," ujar dara remaja yang mengaku ber-
nama Wintari itu sambil memainkan selendang bi-
runya yang meledak-ledak memekakkan telinga.
"Maaf, aku tidak bermaksud untuk bertarung den-
ganmu. Dan, aku pun tidak bermaksud sama sekali
untuk menyombongkan kepandaianku yang rendah ini
di hadapanmu. Semua itu kulakukan demi untuk
mencegah pertumpahan darah yang kuduga pasti akan
terjadi. Kepandaianmu memang hebat, Nisanak.
Sayang sifatmu terlalu ganas dan cepat memberi hu-
kuman," sahut pemuda tampan berjubah putih itu
dengan wajah yang tetap tenang. Sedikit pun emosinya sama sekali tidak
terpancing oleh ucapan Wintari. Pemuda itu benar-benar matang seperti telah
memiliki banyak pengalaman.
"Apapun alasanmu, aku tidak mau tahu! Yang pas-
ti, kau telah berpihak kepada mereka! Itu sama artinya dengan kau memusuhi aku!"
ujar Wintari dengan wajah geram. Pemuda itu tampak terkejut ketika melihat sinar
kebencian pada sepasang mata gadis cantik itu.
"Hm..., mau lari ke mana kalian..." Haaattt...!" bentak Wintari dengan suara
keras ketika melihat keem-
pat lawannya hendak melarikan diri. Seiring dengan
bentakan itu, selendang biru terlontar dengan kecepatan kilat!
Whuuuttt...! Namun, gerakan pemuda tampan berjubah putih
itu ternyata jauh lebih cepat. Hantaman ujung selendang yang mengandung tenaga
dalam tingkat tinggi
itu, cepat dipapaki dengan kibasan telapak tangannya,
sehingga mengeluarkan sinar putih keperakan.
Plaaarrr...! Plaaarrr...!
"Haaaiii...!?"
Terdengar seruan tertahan dari mulut Wintari. Han-
taman telapak tangan pemuda itu mampu membuat
ujung selendangnya membalik! Bahkan lengan kanan-
nya sempat tergetar akibat pertemuan tenaga itu. Kenyataan itu membuat Wintari
semakin bertambah ma-
rah! "Kurang ajar! Kau memang sengaja hendak mencari
permusuhan denganku! Kalau begitu, kita harus ber-
tarung sampai mati...!" desis Wintari menyiratkan kegeraman dan sakit hati.
Gadis cantik itu tampak kece-wa sekali dengan sikap pemuda tampan yang sempat
membuatnya terpesona itu. Sambil menggigit bibirnya menahan kekecewaan, Wintari
bergerak ke kiri seolah hendak mencari peluang untuk melontar-kan serangan.
Namun, pemuda tampan berjubah putih itu seperti-
nya merasa enggan untuk bertarung dengan Wintari.
Begitu ia melihat keempat orang yang diincar dara remaja itu sudah tidak
kelihatan batang hidungnya, pemuda itu pun melesat keluar dari dalam kedai.


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebe- lum pergi, ia sempat melemparkan belasan keping
uang yang langsung tertancap di atas meja. Sepertinya pemuda itu bermaksud
hendak mengganti kerugian
yang diderita pemilik kedai.
"Hei, jangan lari...!" cegah Wintari ketika melihat pemuda iti melesat
meninggalkan kedai. Gadis cantik itu cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya
untuk melakukan pengejaran.
*** "Pengecut! Jangan harap kau dapat lolos dari tan-
ganku...!" bentak gadis cantik itu dengan hati diliputi kemarahan. Sambil
Raksasa Rimba Neraka 1 Maling Budiman Berpedang Perak Karya Kho Ping Hoo Alap Alap Laut Kidul 11
^