Pencarian

Misteri Selendang Biru 3

Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru Bagian 3


kematian bagi lawan.
Pungga Rasa sama sekali tidak gugup. Dengan te-
nang pemuda itu merendahkan tubuhnya. Begitu se-
rangan lawan luput, tubuhnya langsung berputar dan
mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah dada la-
wan. Plakkk! "Aaahhh..."!"
Gerakan yang dilakukan Wintari ternyata jauh lebih
cepat! Dengan telapak tangan kanan, dipapakinya tenda-
ngan Pungga Rasa. Pemuda itu terpekik kaget! Tubuh-
nya terhuyung mundur! Karena tenaga dalam dara re-
maja itu ternyata lebih kuat ketimbang tenaga dalam Pungga Rasa.
"Bersiaplah untuk melayat ke neraka...!" seru Win-
tari yang melesat dengan totokan jari-jari tangannya ketika Pungga Rasa
terhuyung! Sepasang tangan dara
cantik itu meliuk dan meluncur ke arah dua bagian
terlemah di tubuh lawan!
Melihat datangnya hujan serangan selagi kedudu-
kannya tidak memungkinkan mengelak, tentu saja
Pungga Rasa terkejut bukan main! Tidak ada jalan lain baginya, kecuali
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya guna melindungi tubuh agar tidak meng-alami
lu- ka terlalu parah. Karena untuk menghindar jelas tidak mungkin lagi.
Whuuut...! Whuuut!
Plakkk! Plakkk!
"Aaaiiihhh..."!"
Terdengar suara benturan keras ketika serangan
Wintari bertumbukan dengan sepasang lengan Pende-
kar Tangan Kilat. Namun, justru lelaki gagah itu terpekik kaget! Tubuhnya
terdorong balik! Tentu saja hati pendekar tua itu terkejut bukan main! Ia sama
sekali tidak menyangka kalau tenaga dalam gadis muda itu
jauh lebih kuat
Pungga Rasa tidak peduli sama sekali dengan apa
yang terjadi barusan. Yang ia tahu, nyawanya telah
diselamatkan oleh Pendekar Tangan Kilat. Rupanya
pendekar itu pun tahu kalau putra sahabatnya tengah terancam. Langsung saja ia
turun tangan menyambut
serangan Wintari. Usahanya berhasil baik. Pungga Ra-sa telah selamat, tapi
Pendekar Tangan Kilat harus
mengakui kehebatan lawan, meskipun hanya seorang
gadis muda. "Hm..., rasanya kita harus menghadapinya ber-
sama-sama, Pungga Rasa. Kesaktian gadis muda itu
benar-benar hampir tidak bisa kupercaya. Rasanya
aku sudah mulai bisa meraba kalau gadis cantik itu
murid dari tokoh sesat. Sayang aku belum bisa me-
ngenali ilmu silatnya. Untuk itu diperlukan beberapa puluh jurus agar bisa
mengetahui siapa guru gadis kejam itu...," bisik Pendekar Tangan Kilat mendekati
Pungga Rasa. Pemuda pesolek itu tampak menganggukkan kepa-
la. Sepertinya ia sadar kalau kepandaian gadis muda itu bukan tandingannya.
Pungga Rasa memang tidak
gentar. Tapi, ia lebih setuju untuk menggempur lawan secara bersama-sama.
Wintari sama sekali tidak merasa gentar sedikit
pun, ketika ia melihat kedua orang lawannya telah siap untuk mengeroyok.
Perlahan ia meloloskan selendang biru yang membelit pinggangnya, dan bersiap
melanjutkan pertarungan.
*** "Haiiittt...!"
Wintari membuka serangan terlebih dahulu. Tubuh
ramping terbungkus pakaian serba putih itu melesat
ke arah lawan-lawannya. Selendang birunya meliuk
dan mematuk-matuk cepat.
Jdaaarrr...! Jtaaarrr...!
"Heeeaaattt...!"
"Yeaaa...!"
Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat berseru
nyaring. Secara bersamaan, keduanya melenting dan
bersalto ke udara. Kemudian, mereka mendaratkan
kakinya sejauh dua tombak dari tempat lawan berada.
"Gila...!" Pendekar Tangan Kilat berdesis takjub saat melihat tanah tempat
mereka semula berpijak, telah berlubang besar dan masih mengepulkan asap tipis.
Sadarlah tokoh tua itu kalau gadis muda yang dihadapinya benar-benar memiliki
kesaktian yang mengge-
tarkan jantung!
Pungga Rasa sendiri sampai meleletkan lidahnya
dengan wajah membayangkan perasaan ngeri. Ternya-
ta dara remaja itu memiliki kepandaian sangat tinggi, membuat pemuda itu
mengubah gerakan dan memainkan 'Ilmu Jari Pedang' yang menjadi andalan ke-
luarganya. Demikian pula dengan Pendekar Tangan Kilat Pe-
dang di punggungnya berdesing, dan secepat kilat telah tergenggam di tangan
kirinya. Jelas tokoh tua itu hendak menggabungkan ilmu tangan kosong dengan
ilmu pedang untuk menghadapi Wintari. Kendatipun ia lebih dikenal dengan 'Ilmu
Tangan Malaikat'. Namun
pedang di tangan kirinya hanya digunakan untuk
menghadapi serangan selendang biru lawan.
"Yeeeaaa...!"
Dibarengi sebuah pekikan nyaring, tubuh kedua le-
laki gagah itu melesat ke arah lawan. Kemudian, langsung melontarkan serangan
yang susul-menyusul dan
mengincar bagian-bagian terlemah di tubuh dara re-
maja itu. Tentu saja pertarungan pun semakin ber-
tambah seru dan mendebarkan!
Jurus demi jurus berlalu dengan cepat. Tanpa tera-
sa, pertarungan telah menginjak pada jurus yang keti-ga puluh dua. Kendati
demikian, Pungga Rasa dan
Pendekar Tangan Kilat tetap saja belum bisa menun-
dukkan lawannya. Bahkan untuk mendesak lawan
pun keduanya tidak mampu berbuat banyak. Karena
selendang biru lawan benar-benar sangat ampuh seka-
li. Senjata gadis cantik itu seolah-olah sebuah benteng yang amat kuat. Bahkan
seringkali membuat keduanya menjadi repot. Senjata Wintari merupakan benteng
pertahanan yang sukar ditembus, dan tak jarang pula senjata itu melesat cepat
dan mengarah pada titik-titik jalan darah besar di tubuh kedua orang lawannya.
Ketika pertarungan hampir mencapai jurus yang keempat puluh, justru Pungga Rasa
dan Pendekar Tangan Kilat dibuat repot oleh lawannya.
"Haaaiiittt...!"
Lagi-lagi Wintari berseru nyaring seraya melontar-
kan senjata ampuhnya. Selendang biru di tangan ka-
nan gadis cantik itu meliuk bagaikan seekor ular hidup! Kemudian, meluncur cepat
dan mematuk-matuk
dengan suara mencicit tajam!
Deeerrr...! Kraaakkkghhh...!
Sebatang pohon besar yang berada di belakang
Pendekar Tangan Kilat, langsung berderak tumbang
dihantam selendang biru Wintari! Untunglah tokoh tua itu sempat menundukkan
kepalanya dengan kuda-kuda rendah. Kalau tidak, bukan tidak mungkin kepa-
lanya lepas dari tubuhnya dan menggelinding ke ta-
nah. Setelah gagal dari sasaran, selendang biru yang
menebarkan hawa maut itu berputar dan meliuk-liuk
dengan kecepatan yang menggiriskan! Kali ini yang
menjadi sasarannya adalah Pungga Rasa yang tentu
saja menjadi kelabakan bukan main!
Jtaaarrr...! Taaarrr...!
Pungga Rasa berlompatan ke kiri dan ke kanan gu-
na menghindari selendang yang mematuk-matuk den-
gan suara memekakkan telinga itu. Ia benar-benar tidak diberi kesempatan untuk
membalas serangan Win-
tari. Akhirnya Pungga Rasa harus menelan kenyataan
pahit! Daaarrr...! "Huaaakkkhhh...!"
Sebuah hantaman keras ujung selendang lawan,
berhasil mengenai bagian dada Pungga Rasa. Tak ayal lagi, tubuh pemuda pesolek
itu terlempar sejauh dua tombak lebih! Dan darah segar pun muncrat dari mu-
lurnya! Bruuuggg! Tubuh pemuda pesolek itu terbanting keras di atas
tanah! Saat itu juga, selendang biru Wintari kembali meluncur hendak menghabisi
nyawa lawannya!
Jdaaarrr...! "Aaahhh...!"
Rerumputan tempat Pungga Rasa tergeletak, ber-
hamburan disertai bongkahan tanah sebesar kepalan.
Untunglah pemuda pesolek itu masih sempat berguli-
ngan menghindarinya. Sehingga, ia selamat dari ledakan maut itu!
"Haaattt...!"
Wintari yang tengah memburu Pungga Rasa dengan
sambaran senjatanya, tiba-tiba berbalik dengan kecepatan yang mengagumkan, gadis
cantik itu segera me-
lontarkan selendang birunya ke arah Pendekar Tangan Kilat yang rupanya hendak
menyelamatkan putra sahabatnya dari kematian. Pedang di tangan kiri tokoh tua
itu berkeredepan dengan suara mendesing-desing.
Sedang tangan kanannya terlihat bergerak, seolah berubah menjadi banyak! Itulah
'Jurus Ilmu Tangan Ki-
lat' yang membuat namanya dikenal oleh tokoh-tokoh
rimba persilatan!
Melihat ilmu lawan yang cukup tinggi itu, tidaklah
membuat Wintari menjadi gugup. Gadis muda ber-
wajah cantik itu mampu membendung serangan gen-
car lawannya. Bahkan, ia mulai melontarkan serangan gencar. Sehingga Pendekar
Tangan Kilat terdesak hebat!
Daaarrr...! Deeerrr...!
Pendekar Tangan Kilat melenting ke udara, guna
menghindari ledakan maut senjata lawan. Namun, ke-
pandaian Wintari dalam memainkan selendang bi-
runya, benar-benar sukar ditebak. Saat lawannya me-
lenting ke udara, senjata dara cantik itu telah meluncur dan mengejar tubuh
lawannya! Dan....
Daaarrr...! "Aaakkkhhh...!"
Tokoh tua itu memekik kesakitan! Tanpa ampun la-
gi, tubuhnya terpental deras! Darah segar muntah dari mulutnya! Sedangkan tubuh
Pendekar Tangan Kilat
terbanting jatuh, dan kembali memuntahkan darah se-
gar! Jelas hantaman yang diterima tokoh tua itu masih jauh lebih kuat dari apa
yang dirasakan Pungga Rasa.
"Hm..., sekarang mampuslah kau, Orang Tua
usil...!" desis Wintari dengan suara dingin dan menggetarkan jantung. Usai
berkata demikian, ia kembali melontarkan senjatanya yang siap merenggut nyawa
Pendekar Tangan Kilat!
Nasib baik rupanya masih berpihak kepada Pen-
dekar Tangan Kilat. Saat senjata berhawa maut itu meluncur ke arah tubuhnya yang
menggeletak di tanah,
terdengar seruan nyaring, yang disusul melayangnya
sesosok bayangan putih! Kemudian, langsung mema-
paki selendang biru Wintari!
Plaaarrr...! "Uuuhhh..."!"
Wintari memekik tertahan! Ujung selendangnya ba-
gaikan bertemu dengan sebuah benda kenyal! Sehing-
ga senjata yang meluncur deras itu berbalik mengan-
cam pemiliknya!
"Haaahhh!"
Namun, dara cantik itu tidak kehilangan akal. Den-
gan sebuah bentakan nyaring, tangannya menyentak
kuat! Dan, ujung selendang itu pun kembali me-liuk, dan dapat ditarik pulang
tanpa membahayakan dirinya.
"Keparat! Lagi-lagi kau...!" desis Wintari setelah
mengenali orang yang telah memukul balik senjatanya itu. "Hmmm...," pemuda
tampan yang mengenakan jubah putih itu hanya bergumam perlahan. Sepasang
matanya menatap tajam sosok Wintari. Hati dara re-
maja yang cantik itu sempat bergetar dibuatnya.
"Huhhh!" Wintari mendengus dan mengalihkan
pandangannya. Jelas ia tidak mampu menentang pan-
dangan mata pemuda tampan itu. Karena tatapan pe-
muda itu mampu membuat aliran darahnya mengalir
lebih cepat dari biasa. Selain itu, Wintari pun merasakan perbawa yang amat kuat
terpancar dari sepasang
bola mata pemuda berjubah putih itu.
"Pendekar Naga Putih..."!" seru Pendekar Tangan
Kilat dengan nada gembira. Jelas ia telah mengenal sosok tubuh berjubah putih
itu. Karena, di sekeliling tubuh pemuda yang membelakanginya itu terdapat lapi-
san kabut bersinar putih keperakan. Siapa lagi orang yang memiliki ciri-ciri
khas seperti itu kalau bukan Panji atau lebih dikenal Pendekar Naga Putih.
Pungga Rasa tentu saja menjadi terkejut ketika
mendengar nama pendekar besar itu. Sebab, ayahnya
seringkali menyebut dan memuji Pendekar Naga Putih.
Meski sambil mendekap dadanya yang masih terasa
sakit, pemuda pesolek itu melangkah mendekati Panji
dan Pendekar Tangan Kilat
Panji cepat menyodorkan dua buah pil berwarna
putih seperti salju. Tanpa banyak cakap lagi, Pendekar Tangan Kilat langsung
mengambilnya sebuah. Karena
ia pun telah mendengar tentang keahlian Pendekar
Naga Putih dalam hal pengobatan. Melihat itu, Pungga Rasa pun segera mengambil
sisanya. Tanpa keraguan
sedikit pun, mereka langsung menelan pil berwarna
putih seperti salju itu.
*** 7 "Hm..., mengapa kau selalu mencampuri urusanku,
Pemuda Usil?" tegur Wintari sambil menatap tajam
Pendekar Naga Putih dengan sorot mata menyiratkan
kemarahan. "Nisanak. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk
mencampuri urusanmu. Tapi, aku mengenal salah seo-
rang dari calon korbanmu ini sebagai tokoh golongan putih, yang selalu
menyebarkan kebaikan. Jadi, yang kulakukan hanyalah sekedar menyelamat-kan nyawa
orang tak berdosa dari kejahatanmu. Selain itu, aku pun telah menyelamatkan
dirimu dari perbuatan dosa.
Seharusnya engkau bersyukur, dan bukannya marah-
marah...," sergah Panji dengan suara tenang tanpa tekanan emosi sedikit pun.
Bahkan wajah pemuda tam-


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pan itu terhias senyum sabar dan penuh kelembutan.
Dan Wintari pun tidak mampu menyanggahnya.
"Hm..., apapun alasanmu, aku tidak peduli! Yang je-
las, kau sengaja ingin bermusuhan denganku! Kalau
memang itu yang kau inginkan, aku tidak akan meng-
hindar! Sekarang bersiaplah...," karena tidak ingin berdebat dengan pemuda
tampan itu lebih jauh, Wintari langsung bersiap melontarkan serangan.
"Jangan terlalu memaksaku, Nisanak. Kau telah
tersesat jauh. Sebaiknya sadarilah sejak dini, agar kau tidak menyesal di
kemudian hari...," Panji masih mencoba membujuk Wintari dan menghindari per-
kelahian. Sepertinya pemuda tampan itu masih merasa sayang kalau dara remaja
seusia Wintari harus terlibat kejahatan.
"Tidak perlu banyak bicara! Hadapilah seranganku,
atau aku terpaksa membunuhmu, meski tanpa per-
lawanan...," ancam Wintari yang sudah bergerak ke ki-ri seraya menggerakkan
selendang birunya.
"Hati-hati, Pendekar Naga Putih. Selendang biru di
tangan perempuan liar itu sangat berbahaya sekali...,"
ujar Pendekar Tangan Kilat yang tidak tahu kalau Pan-ji pernah bertarung dengan
Wintari. Panji sendiri
hanya mengangguk dengan melepaskan senyum.
"Gadis itu memang sulit untuk diajak berdamai.
Wataknya sangat keras. Selain itu, yang lebih berbahaya justru kepandaian yang
dimilikinya sangat tinggi.
Aku akan ingat pesan Paman itu. Mudah-mudahan ia
berbaik hati, dan tidak melukaiku. Apalagi sampai
membuatku tewas," ujar Panji merendah. Meskipun ia
tahu akan kesaktian dara remaja yang akan dihada-
pinya itu, namun ia tidak meremehkan peringatan
Pendekar Tangan Kilat.
"Sambut seranganku! Haaattt...!"
Wintari langsung membuka serangannya dengan
menggunakan senjata andalannya, yang memang san-
gat ampuh dan berbahaya itu. Panji sendiri sudah
menggeser kakinya menjauhi Pendekar Tangan Kilat
dan Pungga Rasa. Hal itu dilakukannya agar kedua
orang itu tidak menjadi sasaran serangan Wintari.
Daaarrr...! Jdeeerrr...!
"Heaaahhh...!"
Pendekar Naga Putih melesat ke samping meng-
hindari dua buah serangan lawan yang mengincar ke-
pala dan dadanya. Kemudian, terus bergerak maju
dengan langkah menyilang. Kecepatan geraknya sem-
pat membuat Wintari kehilangan buruannya.
Kendati demikian, dara remaja itu sama sekali tidak kehilangan akal. Cepat
senjatanya ditarik pulang sambil menggeser langkahnya beberapa tindak ke bela-
kang. Dan, segera melontarkan kembali senjatanya ke arah bayangan putih yang
tengah bergerak di sebelah kanannya.
Wreeettt...! Dengan kecepatan yang mengagumkan, selendang
biru di tangan Wintari kembali meliuk dan mematuk-
matuk bagaikan seekor ular hidup! Panji sendiri bergerak terus menghindar dengan
menggunakan kecepatan
geraknya. Sesekali tangannya bergerak menepiskan
senjata lawan dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Ger-
hana Bulan'nya. Hal itu membuat Wintari berkali-kali memekik tertahan. Karena
setiap kali senjatanya bertemu dengan telapak tangan lawan, tubuhnya tergetar
mundur! Bahkan lengan kanannya terasa kesemutan.
Kenyataan itu membuat Wintari sadar kalau tenaganya masih kalah beberapa tingkat
dari pemuda tampan
berjubah putih itu.
"Gila! Demikian tinggikah kepandaian pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih?" gumam Wintari yang
memang belum pernah mendengar nama besar Panji.
Hal itu dikarenakan ia belum begitu lama bertualang di rimba persilatan.
Apalagi, sejak terjun ke dunia ramai ia tidak pernah bergaul dengan tokoh-tokoh
persi- latan di dua golongan. Wajar kalau Wintari sama sekali tidak tahu kalau yang
tengah dihadapinya itu adalah seorang pendekar besar yang telah meng-guncang
rimba persilatan.
Pertarungan antara dua tokoh yang sama-sama ma-
sih muda itu, terlihat semakin seru. Terlihat jelas Wintari berusaha mati-matian
untuk menundukkan la-
wannya. Sayang, setiap kali senjatanya bergerak mengancam tubuh Pendekar Naga
Putih, selalu saja mem-
balik. Kalau tidak telapak tangan pemuda itu yang
membuat senjata andalan gadis cantik itu ber-balik.
Tentu lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
melindungi sekujur tubuh Panji, yang membuat senja-
ta Wintari membalik. Sehingga, betapapun dara remaja itu berusaha mendesak
lawan, tetap saja sia-sia.
"Nisanak, aku datang membantumu...!"
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ke-
dua puluh, tiba-tiba terdengar seruan nyaring mem-
bahana. Sesaat kemudian, sebelum gema suara itu le-
nyap, sesosok bayangan merah melayang dan lang-
sung terjun ke kancah pertarungan!
"Yeaaahhh...!"
Begitu tiba, sosok bayangan merah itu langsung
melontarkan serangan-serangan mautnya ke tubuh
Pendekar Naga Putih.
Whuuut...! Datangnya serangan yang mengancam lambung ka-
nannya, membuat Panji mengulurkan tangan dan me-
nyambut datangnya pukulan itu. Dan....
Plakkk! "Aaakhhh...!"
Terdengar sosok bayangan merah itu memekik ke-
sakitan! Belum lagi ia sempat memperbaiki kuda-
kudanya yang tergempur itu, Panji sudah menyusuli
dengan sebuah dorongan telapak tangan kirinya!
"Yeaaahhh...!"
Serangan yang cepatnya bagaikan sambaran kilat
itu, tentu saja membuat si bayangan merah terkejut!
Cepat tangan kirinya bergerak menyilang dari atas ke bawah, dan langsung
membentur lengan Panji!
Plakkk! Untuk kedua kalinya sepasang lengan yang terisi
tenaga dalam itu kembali saling berbenturan. Kali ini rupanya Panji menambah
kekuatannya. Terbukti
bayangan merah itu memekik kesakitan! Bahkan tu-
buhnya bukan lagi terhuyung. Malah lebih parah lagi, karena tangkisannya itu
justru membuat tubuh-nya
terjengkang hingga satu tombak jauhnya!
"Heaaahhh...!"
Kendati demikian, sosok bayangan merah itu ter-
nyata tidak kehilangan akal. Dengan menghentakkan
kedua tangannya ke tanah, tubuhnya melambung ber-
jungkir balik. Sehingga, tidak sampai terbanting ke tanah!
"Bagus...!" puji Pendekar Naga Putih melihat ke-
lincahan sosok bayangan merah itu. Memang, apa
yang dilakukan lawannya sangat mengagumkan sekali.
"Hmmm..., terdengar sosok bayangan merah itu
menggeram gusar. Ia kembali mengatur kedudukan-
nya, dan siap melontarkan serangan berikutnya.
Hadirnya sosok bayangan merah itu ternyata sama
sekali tidak membuat Wintari senang. Buktinya, dara remaja itu malah menarik
kembali serangannya, dan
melompat mundur ke belakang, seperti yang dilakukan Panji.
"Ehhh"!"
"Hm..., rupanya kau ingin memanfaatkan pertaru-
ngan ini untuk keuntunganmu, Ular Merah?" tegur
Panji kepada sosok bayangan merah yang tampak ce-
lingukan, dan merasa heran melihat perkelahian ter-
henti. "Hm..., Pendekar Naga Putih! Biar sampai kapan
pun, aku tidak akan pernah bisa melupakan per-
buatanmu! Kematian adik seperguruanku, harus dite-
bus oleh nyawamu!" bentak sosok berpakaian merah
yang berjuluk Ular Merah itu. Pada bola matanya tampak jelas sorot dendam yang
membara. "Ular Merah! Soka Lengkang adalah manusia jahat
yang pantas untuk dilenyapkan. Aku terpaksa men-
cabut nyawanya, karena ia tidak mau merubah jalan
hidupnya yang kotor itu. Sebagai seorang kakak seperguruan yang baik, seharusnya
kau tidak menuruti je-
jak manusia sesat itu. Sebaiknya kau pergilah, dan lupakan tentang kejadian
itu...," sahut Panji dengan sikap tenang. Dan tidak tampak sedikit pun kemarahan
dalam sinar matanya. Panji memang tidak menghenti-
kan pertarungan yang disebabkan oleh dendam itu.
"Bedebah!" Ular Merah memaki gusar. Tokoh sesat
itu sudah mencabut keluar senjata berbentuk pedang
yang berkelok-kelok seperti keris. Warna merah darah pada badan pedang,
menandakan senjata itu telah di-lumuri racun jahat.
"Orang Tua, kalau kau memang mempunyai den-
dam dengan Pendekar Naga Putih, silakan urus sendi-
ri, dan jangan ajak aku mencampurinya!" ujar Wintari yang semula hanya diam,
mulai angkat bicara. Ucapan itu jelas dimaksudkan bahwa ia tidak sudi untuk
bersama-sama mengeroyok Panji. "Dan, kau pendekar
sombong. Biarlah kali ini aku membebaskan nyawa
kedua anjing kurap itu. Tapi, ingat! Lain kali aku akan datang lagi untuk
mengambil nyawa mereka," lanjut
Wintari yang jelas-jelas bukan sekedar ancaman ko-
song. Setelah berkata demikian, dara remaja itu pun melesat meninggalkan tempat
itu. "Hei..."!"
Ular Merah yang memang semula mengandalkan
dara remaja itu untuk mengeroyok Pendekar Naga Pu-
tih, tentu saja menjadi terkejut bukan main. Wajahnya tampak gelisah, dan
memandang berganti-ganti ke
arah Panji serta bayangan sosok Wintari yang kian
menjauh. "Bagaimana, Ular Merah" Apakah kau masih ingin
melanjutkan perkelahian...?" tanya Panji yang memang tahu kalau tokoh sesat itu
memiliki hati licik. Sebab, telah beberapa kali Ular Merah hendak mencelakainya
secara curang. Untuk menghadapi Panji secara langsung ia tidak berani. Kalaupun
tadi ia berani menyerang, hal itu dikarenakan Ular Merah melihat kepan-
daian Wintari yang tinggi. Ia bermaksud meman-
faatkan dara remaja itu untuk sama-sama menge-
royok. Tapi ia kini malah menjadi bingung ketika melihat Wintari pergi.
"Bedebah!" lagi-lagi Ular Merah memaki gusar. Sete-
lah berkata demikian, ia bergerak meninggalkan tem-
pat itu. ? "Hua ha ha...!"
Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa tergelak
melihat tingkah laku Ular Merah yang lari terbirit-birit Sedangkan Panji sendiri
hanya tersenyum melihat tokoh sesat itu melarikan diri. Kendati demikian, pemu-
da itu yakin kalau Ular Merah tidak akan pernah berhenti memburunya, sebelum
dendamnya terlam-
piaskan. "Nah, sekarang akulah yang mohon diri. Dara rema-
ja itu sangat berbahaya sekali. Aku harus mem-
buntutinya, dan menyadarkannya. Kalau tidak, ia
akan terus menyebar bencana. Entah apa yang mem-
buat kalian berdua sampai bermusuhan dengan-
nya...?" ujar Panji yang siap hendak meninggalkan
Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa.
"Kami pun belum mengetahuinya, Pendekar Naga
Putih. Tapi, melihat sikapnya, jelas ia tidak akan berhenti sebelum kami
terbunuh. Bahkan, kemarin ia te-
lah membunuh dan mengirimkan kepala dua orang
pembantu setia Ki Panda Rasa. Hhh..., benar-benar
membuat hati penasaran...," gumam Pendekar Tangan
Kilat seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia sungguh tidak mengerti dengan
sikap gadis muda itu.
"Ki Panda Rasa..." Maksudmu, Ki Panda Rasa si Ja-
ri Pedang itu?" tanya Panji meminta ketegasan. Jelas pemuda itu telah pula
mendengar tokoh yang berjuluk Jari Pedang. Karena memang nama itu cukup tersohor
di kalangan persilatan.
"Benar. Memang tokoh itulah yang kumaksudkan-
kan...," sahut Pendekar Tangan Kilat, terlihat wajahnya cerah ketika mendengar
Pendekar Naga Putih menyebut nama besar sahabatnya itu.
"Aneh..." Apakah dara remaja itu memusuhinya"
Mengapa sampai demikian...?" tanya Panji menjadi tertarik, dan menunda
langkahnya. "Hm..., mengenai siapa yang dimusuhinya, aku
sendiri belum jelas. Tapi, dengan mengirimkan dua kepala korbannya ke rumah Ki
Panda Rasa, tentunya ga-
dis muda itu berniat tidak baik. Atau bisa jadi, gadis itu masih dendam terhadap
Barga dan ketiga kawannya. Menurut apa yang kudengar, keempat orang itu
sempat dihajar habis-habisan oleh gadis itu di sebuah kedai makan di Desa
Keranggan," jelas Pendekar Tangan Kilat yang membuat Pendekar Naga Putih semakin
tertarik. "Hmmm..., apakah di antara keempat orang itu ada
yang berwajah brewok dan bertubuh kekar berotot..?"
tanya Pendekar Naga Putih yang teringat dengan kejadian di kedai beberapa waktu
lalu. Sebab, ia pun berada di kedai itu juga, dan menyaksikan dengan mata
kepalanya sendiri. Di kedai itu pula ia pertama kali berjumpa dengan dara remaja
berpakaian serba putih
itu. "Dialah yang bernama Barga!" sahut Pungga Rasa, karena pemuda tampan
pesolek itu merasa heran
mendengar Panji mengetahui ciri-ciri pembantunya.
Pungga Rasa menduga kalau Pendekar Naga Putih itu
mengetahui lebih jelas kejadian itu.
"Bagaimana kau bisa menebak demikian tepat men-
genai ciri-ciri Barga, Pendekar Naga Putih...?" Pendekar Tangan Kilat tidak bisa
menahan pertanyaan yang sudah berada di ujung lidahnya itu. Pungga Rasa yang
juga memiliki pertanyaan serupa, ikut menunggu jawaban dari mulut pemuda tampan
berjubah putih itu.
"Hm.... Aku memang berada di tempat kejadian itu.
Dan, kesalahan memang terletak pada Barga dan ka-
wan-kawannya. Mereka ingin berbuat kurang ajar ter-
hadap diri gadis cantik itu. Tapi, kalau hanya itu persoalannya, rasanya terlalu
remeh alasan gadis itu untuk membunuh. Entah kalau gadis itu merasa sakit
hati dan belum puas dengan apa yang dilakukannya
terhadap keempat lelaki itu," ujar Panji yang membuat Pungga Rasa mengerutkan
keningnya. "Tapi, menurut keterangan Barga, justru perem-
puan setan itu yang menghajar mereka tanpa sebab.
Itu sebabnya Ki Wantara dan Galangsa menjadi tidak


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senang ketika menerima laporan dari Barga. Dan me-
reka ingin memberi pelajaran terhadap gadis itu. Tapi, justru mereka berdualah
yang menjadi korban keke-
jaman gadis liar itu," sanggah Pungga Rasa menje-
laskan apa yang diketahuinya dari laporan Barga.
"Hm..., kalau begitu, orang-orang kamu sendiri yang salah, Pungga Rasa. Aku
lebih condong mempercayai
keterangan Pendekar Naga Putih. Apalagi ia menyaksikan dengan mata kepalanya
sendiri. Aku yakin kalau
Barga dan ketiga kawannya tidak mungkin dapat se-
lamat, kalau tidak ada yang menolongnya. Bukan begi-tu, Pendekar Naga Putih...?"
ujar Pendekar Tangan Kilat. Lelaki setengah tua ini tidak percaya kalau kawan-
kawannya dapat selamat dari tangan maut gadis itu!
Sedangkan ia sendiri yang dibantu Pungga Rasa, tidak sanggup menandingi
kesaktian dara berpakaian serba
putih itu. Andaikata Pendekar Naga Putih tidak keburu muncul, mungkin mereka
berdua sudah tidak bisa melihat matahari esok pagi. Karena itu Pendekar Tangan
Kilat tahu siapa yang membantu Barga dan kawan-kawannya.
Pungga Rasa yang juga telah merasakan kesaktian
gadis berpakaian serba putih itu mengangguk-angguk-
kan kepalanya. Ia memang sering mendengar suara-
suara sumbang dari penduduk desa tentang sikap
Barga dan kawan-kawannya. Tapi, ia belum melihat
dengan mata kepala sendiri, juga belum pernah men-
dapat laporan dari penduduk. Karena itu suara-suara sumbang tidak begitu
dipedulikannya. Tapi, ucapan
itu sekarang justru datang dari seorang pendekar besar, yang tidak mungkin
berbohong. "Kalau begitu, aku akan memberi pelajaran kepada
para pembantu ayahku itu," geram Pungga Rasa.
Meskipun pemuda tampan pesolek itu memiliki sifat
angkuh, namun tidak menyukai kejahatan. Biar jelek
bagaimanapun sifat pemuda itu, jiwa kependekaran
ayahnya tetap menurun kepadanya.
"Ada baiknya kau ikut serta dengan kami, Pendekar
Naga Putih. Rasanya gadis itu tidak perlu kau cari. Ia pasti akan menyatroni
kediaman Ki Panda Rasa," usul Pendekar Tangan Kilat yang segera disetujui oleh
Pungga Rasa. "Hm..., baiklah. Aku pun ingin mencari keterangan
mengenai persoalan ini. Siapa tahu Ki Panda Rasa
pernah bermusuhan dengan keluarga atau pun guru
dari gadis itu...," sahut Panji yang teringat dengan Ular Merah yang selalu
dendam atas kematian saudara se-perguruannya di tangan pemuda itu.
Tidak berapa lama kemudian, berangkatlah ketiga
orang gagah itu menuju tempat kediaman Ki Panda
Rasa, yang menjadi Kepala Desa Keranggan.
*** 8 Matahari saat itu makin bergeser ke arah Barat Dua
sosok tubuh tampak bergerak menuju tempat kedia-
man Kepala Desa Keranggan. Mereka adalah seorang
kakek berusia sekitar tujuh puluh tahun sambil me-
megang sebatang tongkat hitam, dan seorang wanita
berusia empat puluh tahun lebih. Namun, wajah wani-
ta itu terlihat jauh lebih tua dari usia sebenarnya.
Meski demikian, sisa-sisa kecantikan masih jelas
membayang di wajahnya.
"Hei, berhenti...!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring ketika
kedua sosok tubuh itu hendak melewati pintu gerbang depan. Bersamaan dengan itu,
muncullah lelaki brewok bertubuh kekar bersama tiga orang lainnya. Mere-
ka adalah Barga dan kawan-kawannya. Kemudian,
berturut-turut muncul pula belasan lelaki berpakaian hitam, yang merupakan
keamanan Desa Keranggan.
"Heh heh heh...!" kakek bertubuh tinggi kurus itu
terkekeh memperlihatkan giginya yang hanya tinggal
beberapa buah. Tanpa mempedulikan bentakan itu, ia
terus saja melangkah masuk disertai wanita di sebe-
lahnya. "Kepung mereka...!" Barga segera memberi perintah
ketika melihat kedua orang itu sama sekali tidak
mempedulikan seruannya.
Sebentar saja, kedua sosok tubuh itu telah ter-
kepung rapat Belasan sinar pedang berkeredep, bagaikan iblis-iblis haus darah!
"Hm..., tikus-tikus busuk, kalian hanya mencari
mampus...!" gumam kakek itu sambil melesat berputa-
ran. Tongkat di tangan kanannya bergerak cepat, me-
nimbulkan suara berdesing tajam! Dan....
Breeettt! Breeet! Breeet!
"Arrrghhh...!"
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian susul-menyusul yang dis-
ertai semburan darah segar membasahi bumi. Sekali
gebrak saja, delapan orang keamanan Desa Keranggan
tersungkur tewas!
"Iblisss...!" desis Barga terkejut bukan kepalang
menyaksikan kejadian itu. Wajahnya yang semula ga-
rang, berubah pucat! Sekilas pandang saja, lelaki brewok itu sadar kalau kakek
itu sama sekali bukan tandingan mereka.
"Mundur...!" kembali Barga memberi perintah kepa-
da kawan-kawannya yang tinggal tujuh orang itu.
"Heh heh heh...! Mengapa harus lari" Bukankah ka-
lian ingin segera menjenguk neraka?" ejek kakek tinggi
kurus itu sambil berkelebat disertai sambaran tong-
katnya! "Haiiittt..!"
Namun, sebelum tongkat berhawa maut itu men-
cabut nyawa lawannya, tiba-tiba terdengar seruan
nyaring. Disusul kemudian, dengan meluncurnya se-
buah bayangan yang langsung menyambut tongkatkakek itu.
Whuuut! Hantaman telapak tangan lelaki tua yang bertubuh
tinggi gagah itu luput. Tongkat yang semula mengarah pada perut lawan, malah
berbalik mengincar lambung
kirinya! Bweeettt! "Aaaiiihhh...!" sosok lelaki gagah itu memekik tertahan! Jelas kalau ia tidak
menyangka kalau tongkat itu bergerak dengan cepat! Untunglah ia masih bisa
mengelak dengan menjatuhkan tubuhnya, dan terus ber-
gulingan menjauh.
"Ular Welang, tahan...!" tiba-tiba terdengar suara
wanita teman perjalanan lelaki tua itu berteriak mencegah, tepat pada saat kakek
tinggi kurus itu hendak mengirimkan serangan susulan. Dan, seketika itu pula
kakek yang berjuluk Ular Welang Tongkat Sakti itu segera menghentikan
serangannya. Teriakan wanita berpakaian serba hitam itu, tentu
saja membuat sosok lelaki gagah itu bisa menarik napas lega. Seraya melenting
bangkit, dan menatap ke-
dua tamu yang tak diundangnya itu lekat-lekat.
"Kau... Win... tarsih..."!" seru lelaki gagah yang tak lain dari Ki Panda Rasa
itu dengan wajah pucat! Bahkan suaranya terdengar gemetar penuh ketegangan
dan ketidakpercayaan.
"Hm..., kau ternyata masih mengingatku, lelaki
bangsat! Mana Wantara dan Galangsa" Suruh mereka
keluar untuk menerima hukuman!" bentak wanita
berpakaian hitam itu dengan sorot mata penuh keben-
cian dan dendam.
"Mengapa... kau mencari mereka...?" tanya Ki Panda
Rasa seperti orang bodoh.
"Hm..., akibat perbuatan terkutukmu, aku masih
harus menerima penghinaan oleh kedua orang pem-
bantumu itu. Mereka yang kau suruh membuang aku
jauh-jauh, telah memperkosaku secara biadab...!" jelas wanita yang ternyata
Wintarsih itu dengan suara parau.
"Aaahhh..."!" Ki Panda Rasa terpekik dengan wajah
semakin pucat. Tubuh lelaki gagah yang selama hi-
dupnya tidak pernah mengenal takut itu, tampak ge-
metar hebat! "Satu hal lagi. Anak yang ku kandung itu kini telah besar dan sangat cantik,
apakah ia belum datang untuk mengambil nyawamu?" lanjut Nyai Wintarsih tan-
pa mempedulikan keterkejutan Ki Panda Rasa.
"Aaahhh..."!" untuk kesekian kalinya, Ki Panda Ra-
sa hanya bisa terpekik kaget. Kini ia baru mengerti mengapa Ki Wantara dan
Galangsa dibunuh secara kejam deh seorang gadis muda misterius itu. Rupanya
gadis itu adalah putri Nyai Wintarsih yang telah mem-balaskan dendam ibunya.
"Lelaki keparat! Mengapa sekarang kau hanya bisa
ber ah-uh saja" Mana kegagahanmu?" ejek Nyai Win-
tarsih dengan senyum sinis. Wanita itu segera menoleh ke arah Ular Welang
Tongkat Sakti yang ada di sebelah kirinya, "Hajar lelaki bangsat itu! Siksa
sebelum dibunuh!" ujar Nyai Wintarsih dengan nada memerintah.
"Baik, istriku...," sahut kakek tinggi kurus itu yang langsung melangkah maju
mendekati Ki Panda Rasa.
"Ular Welang Tongkat Sakti..."!" desis Ki Panda Ra-
sa yang semakin terkejut melihat tokoh sesat yang
menggiriskan itu. Sebagai tokoh yang berpengalaman
luas, tentu saja ia mengenal dan mengetahui kesaktian tokoh sesat itu. Tanpa
banyak cakap lagi, Ki Panda
Rasa segera mempersiapkan ilmu andalannya.
"Terimalah kematianmu...!" geram Ular Welang
Tongkat Sakti sambil menerjang dengan putaran tong-
katnya. Bweeet! Bweeet!
Hebat sekali serangan yang dilancarkan kakek itu.
Putaran tongkat hitam di tangannya seolah men-
ciptakan angin topan yang keras. Senjata itu sendiri terus bergerak dengan
diiringi suara bercicitan nyaring!
"Haaaiii..."!"
Berkali-kali Ki Panda Rasa berseru tertahan. Un-
tunglah ia masih dapat menyelamatkan dirinya dari
incaran senjata berhawa maut itu. Meski demikian, hal itu bukan berarti Ki Panda
Rasa bisa bernapas lega.
Sebab, ujung tongkat lawan mendesaknya tenis. Kalau saja lelaki gagah itu tidak
memiliki kepandaian tinggi, ia pasti sudah tergeletak sejak jurus-jurus pertama
ta-di. "Kena...!"
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ke-
tiga puluh enam, tiba-tiba saja Ular Welang Tongkat Sakti berseru mengejutkan!
Dan, tahu-tahu saja Ki
Panda Rasa memekik kesakitan! Tampak lambung ki-
rinya terkena hantaman tongkat lawan!
Buggg! "Aaakkkhhh...!"
Darah segar memercik dari mulut Ki Panda Rasa.
Sedangkan tubuhnya yang tinggi gagah itu terjajar
limbung! Sementara, tongkat lawan siap mengirim serangan susulan.
Whuuuttt...! Kali ini, selagi tubuh Ki Panda Rasa terhuyung lim-
bung, ujung tongkat lawan meluncur dan meng-
hantam keras pada dada kanan lawan!
Plakkk! "Haaaiii...!"
Dalam keadaan yang berbahaya itu mendadak,
muncul sesosok bayangan yang mengeluarkan sinar
putih keperakan. Sosok putih itu langsung memapaki
ujung tongkat kakek tinggi kurus itu. Dan Ular Welang Tongkat Sakti terpekik
kaget! Kuda-kudanya tergempur mundur beberapa langkah!
"Pendekar Naga Putih..."!"
Terdengar seruan berbeda yang ke luar dari mulut
Ki Panda Rasa dan Ular Welang Tongkat Sakti. Ki Pan-da Rasa merasa lega melihat
kehadiran pemuda tam-
pan berjubah putih itu. Sebaliknya, Ular Welang Tongkat Sakti terlihat geram
dengan kemunculan pendekar besar itu.
Setelah kemunculan Pendekar Naga Putih, berturut-
turut muncullah Pungga Rasa dan Pendekar Tangan
Kilat "Ayah..."!" seru pemuda pesolek itu langsung meng-
hambur ke arah ayahnya yang terlihat mengalami lu-
ka. "Ibu..."!" tiba-tiba terdengar seruan lain yang disusul munculnya sesosok
tubuh ramping terbungkus
pakaian berwarna putih. Siapa lagi wanita cantik itu kalau bukan Wintari,
"Mengapa ibu berada di sini?"
tanya dara remaja itu heran.
"Aku merasa cemas, karena kau pergi cukup lama,
Anakku," sahut Wintarsih yang langsung memeluk dan
menciumi putrinya itu.
"Hm..., lelaki keparat itukah yang telah membuat
hidupmu sengsara, ibu...?" tanya Wintari sambil melepaskan pandang matanya ke
arah Ki Panda Rasa. Be-
gitu melihat ibunya mengangguk, Wintari langsung
melepaskan pelukan, dan menghampiri Ki Panda Rasa
yang saat itu bersama Pungga Rasa dan Pendekar
Tangan Kilat "Kau harus menebus kesengsaraan ibuku dengan
nyawamu lelaki keparat...!" bentak Wintari yang langsung meloloskan selendang
birunya. Kemudian, gadis
cantik itu segera menerjang Ki Panda Rasa dengan serangan-serangan maut.
Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa tentu saja
tidak tinggal diam. Meskipun sadar bahwa mereka
berdua bukan tandingan gadis cantik itu. Tapi, demi menyelamatkan Ki Panda Rasa,
keduanya bergerak
menyambut serangan Wintari. Sebentar saja, pertaru-
ngan sengitpun berlangsung!
Ki Panda Rasa sendiri tidak bisa berbuat apa-apa.
Wajah lelaki gagah itu terlihat penuh dengan rasa sesal. Ia hanya menunduk dan
berdiri di tepi arena pertarungan itu.
*** "Hm... mau ke mana kau, Pendekar Naga Putih...?"
tegur Ular Welang Tongkat Sakti ketika melihat Panji hendak memasuki kancah
pertempuran di sebelahnya.
Bahkan, kakek itu sudah melesat disertai putaran
tongkat hitamnya.
Bweeeet! Bweeet!
"Haaaiiittt...!"
Panji menjejak tanah dengan kedua kakinya. Seke-
tika itu juga, tubuhnya melambung dan bersalto di
udara. Ketika meluncur turun, sepasang tangannya
yang telah membentuk cakar naga, langsung meng-
ancam kepala lawan!
Whuuut! Whuuut!
"Hm...," Ular Welang Tongkat Sakti bergumam tak
jelas. Sambil menggeser tubuhnya beberapa langkah,


Pendekar Naga Putih 48 Misteri Selendang Biru di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tongkat di tangannya diputar untuk menyambut ter-
jangan Pendekar Naga Putih!
Plakkk! Plakkk!
"Uuuhhh..."!"
Lagi-lagi Ular Welang Tongkat Sakti mengeluh pen-
dek. Benturan tongkatnya dengan telapak tangan pe-
muda itu membuat tubuhnya terjajar limbung. Tenaga
saktinya jauh beberapa tingkat di bawah lawannya.
"Ular Welang, aku datang membantu...!"
Saat Panji hendak menyusuli serangannya, tiba-tiba
terdengar seruan nyaring. Sosok bayangan merah ber-
kelebat dan langsung mengirim serangan, membuat
pemuda itu terpaksa menunda gerakan, dan melang-
kah ke samping.
Beeeuuuttt...! Selarik sinar merah yang diiringi bau busuk, berke-
lebat di depan tubuh Panji. Begitu serangan lawan luput, pemuda itu langsung
mengegos ke kanan, dan
mengirimkan pukulan kilat ke arah dada sosok bayan-
gan merah itu! Whuuuk...! "Haiiittt...!"
Pukulan Panji lewat di atas bahu lawannya yang
merunduk dengan kuda-kuda rendah! Ketika ia hen-
dak menyusuli dengan hantaman tangan kiri, tahu-
tahu saja terdengar suara berdesing tajam dari sebelah belakangnya. Cepat pemuda
itu menggeser kakinya ke
samping dengan gerakan bersilang dan memutar!
Namun, suara berdesing tajam yang datangnya dari
tongkat Ular Welang, cepat bergerak melingkar, dan
mengancam pelipis Pendekar Naga Putih. Panji pun segera mengangkat tangannya
guna memapaki tebasan
tongkat lawan. Ular Welang Tongkat Sakti yang sadar akan ke-
kuatan lawannya, tidak mau lagi berbenturan. Tong-
katnya kembali diputar melingkar dengan kecepatan
kilat! Bersamaan dengan itu, dari sebelah belakangnya datang seberkas sinar
merah berbau busuk! Dan Panji terpaksa harus melesat ke udara dan bersalto
sebelum mendaratkan kedua kakinya dengan ringan.
"Heeeaaattt...!"
"Yeeeaaa...!"
Sosok bayangan merah yang tidak lain Ular Merah
itu segera menyerbu bersama-sama dengan Ular We-
lang Tongkat Sakti. Senjata keduanya bergerak cepat mengancam tubuh lawan.
Pertarungan pun kembali
berlanjut lebih seru dari semula!
Jurus demi jurus berlalu cepat. Ketika pertarungan
mulai menginjak jurus keempat puluh, Panji berhasil mendesak lawannya dengan
'Ilmu Silat Naga Sakti'.
Bahkan hawa dingin yang keluar dari tubuhnya mulai
membawa pengaruh bagi gerakan kedua orang lawan-
nya. Sehingga, kedua tokoh sesat itu semakin terde-
sak, dan kian sulit untuk melancarkan serangan balasan! Akibatnya....
Deeesss...! "Aaarrrghhh...!"
Ular Merah yang kepandaiannya lebih rendah, me-
mekik ngeri! Sebuah hantaman cakar Panji me-
nyambar telak dadanya! Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tokoh sesat itu terpental
dan membentur dinding pekarangan rumah Ki Panda Rasa!
Deeerrr...! "Huuukhhh!"
Dinding batu yang kokoh itu jebol dengan suara
berderak ribut! Sedangkan tubuh Ular Merah tampak
menggelepar dan tewas dengan tulang-tulang remuk!
Berakhirlah dendam kesumat di dalam dadanya. Kare-
na nyawanya telah melayang meninggalkan raga.
Ular Welang Tongkat Sakti pun tidak luput dari
gempuran hebat Pendekar Naga Putih. Terbukti setelah lewat tiga puluh jurus Ular
Merah menemui ajal, kakek itu pun harus merasakan dahsyatnya tenaga berhawa
dingin dari pemuda berjubah putih itu.
"Yeaaahhh."
Bressshhh...! Disertai bentakan mengguntur, Panji mendorong-
kan sepasang telapak tangannya dan langsung meng-
gedor dada Ular Welang. Akibatnya, tentu saja sangat mengerikan! Diiringi pekik
kematian, tubuh Ular Welang Tongkat Sakti terlempar deras hingga tiga tombak
jauhnya! Darah segar berceceran dari mulut kakek tua itu! "Ular Welang...!?"
Wintarsih memekik dan meng-hambur ke arah tubuh suaminya yang menggelepar
bagaikan ayam disembelih itu. Namun, tokoh sesat
yang menggiriskan itu telah menghembuskan napas-
nya. Karena tulang dadanya remuk akibat hantaman
dahsyat barusan. Dari mulutnya masih terlihat darah segar meleleh. Jelas bagian
dalam dadanya pun hancur akibat gempuran dahsyat itu.
Sedangkan Pendekar Naga Putih telah menoleh ke
arah pertempuran di sebelah kanannya. Tubuh pemu-
da itu segera melesat ketika melihat Pendekar Tangan Kilat dan Pungga Rasa
menjadi bulan-bulanan selendang biru Wintari.
"Haiiittt...!"
Plaaarrr...! "Uuuhhh...!"
Wintari terpelanting ke belakang akibat telapak tangan Panji yang memapaki
senjatanya. Hal itu terjadi karena tenaga yang dikerahkan Panji hampir mencapai
puncaknya. Kendati demikian, Wintari segera bergerak bangkit,
dan siap bertarung mati-matian. Sementara Pungga
Rasa dan Pendekar Tangan Kilat telah bergerak ke tepi.
Sepertinya kedua orang gagah itu menyerahkan sega-
lanya kepada Pendekar Naga Putih.
"Tahan...!"
Saat Wintari dan Panji telah siap saling gempur, ti-ba-tiba melayang sesosok
tubuh yang langsung men-
darat di antara ke duanya. Dia adalah Ki Panda Rasa.
"Pertarungan ini tidak perlu dilanjutkan! Akulah
yang menjadi biang keladinya. Biarlah aku yang akan menerima hukuman atas
kekhilafanku di masa lalu...,"
ujar Ki Panda Rasa dengan suara lantang. Ia berdiri tegak dan siap menerima
hantaman selendang Wintari.
"Tunggu...!"
Wintari yang siap akan menghabisi nyawa lelaki ga-
gah itu, menahan gerakannya.
"Ibu..."!" seru dara remaja itu kelihatan bingung
melihat raut wajah ibunya.
"Panda Rasa! Kalau kau memang benar-benar siap
menerima hukuman, ceritakanlah kepada semua orang
di sini mengenai apa yang telah kau perbuat atas diri-ku!" suara Wintarsih
terdengar masih mengandung
isak tertahan. Jelas hati wanita berpakaian hitam itu tersentuh melihat
kepasrahan Ki Panda Rasa.
"Wintarsih. Aku memang telah melakukan keja-
hatan yang tidak bisa diampuni olehmu. Sejak lama
aku telah siap menantikan datangnya kematian. Keta-
huilah, aku pun sangat tersiksa dengan apa yang telah kulakukan itu. Kalau pun
sekarang aku harus mem-beberkan apa yang telah kulakukan di depan orang
banyak, semua itu tidak akan bisa mengurangi rasa
bersalah di hatiku. Karena kau meminta, maka aku
akan segera mengatakannya...," ucap Ki Panda Rasa
sambil menatap lekat ke wajah wanita itu. Hati Win-
tarsih sempat tergetar melihat tatapan penuh cinta kasih itu.
"Tunggu...!" sebelum Ki Panda Rasa mengucapkan
apa yang pernah dilakukannya, Panji berseru seraya mengangkat tangan kanannya
tinggi-tinggi. Kemudian
pemuda berjubah putih itu melangkah maju beberapa
tindak. "Nyai Wintarsih," ucap Panji yang mengenal nama
wanita itu dari ucapan Ki Panda Rasa, "Rasanya apa-
pun yang akan diucapkan Ki Panda Rasa, hanya akan
membuka aib kalian berdua. Apabila kejadian ini sampai terdengar orang lain,
bukan hanya kau dan Ki
Panda Rasa yang akan tersiksa. Tapi, putrimu pun
akan merasa rendah diri dan dilecehkan orang lain.
Itukah yang kau kehendaki...?" ujar Panji yang mem-
buat Wintarsih bingung. Tentu saja baginya tidak menjadi masalah. Tapi, sebagai
seorang ibu, ia tidak rela kalau putrinya kelak dicemooh orang banyak. Sehingga,
wanita itu tidak bisa membantah ucapan Pendekar Naga Putih.
"Karena Ki Panda Rasa sudah siap menerima apa
pun hukuman yang akan kau jatuhkan, sebaiknya
persoalan ini kita bicarakan di dalam. Aku pun ingin mendengar persoalan yang
sebenarnya. Setelah itu,
barulah Nyai memutuskan. Aku akan menjadi saksi,
dan siap menegakkan keadilan yang Nyai pinta...,"
usul Panji yang membuat Ki Panda Rasa mengangguk
setuju. "Apa yang dikatakan pemuda ini benar, Wintarsih.
Aku pun sangat menyesal, dan siap menerima hukum-
an," ujar Ki Panda Rasa yang membuat Wintarsih ter-
paksa menganggukkan kepala. Maka, ia pun meng-
ikuti langkah Panji, Ki Panda Rasa, Pungga Rasa, Pendekar Tangan Kilat, juga
Wintari yang sepertinya
hanya mengikuti kemauan ibunya.
"Sembilan belas tahun yang lalu, saat Pungga Rasa
berumur empat tahun, terjadilah peristiwa terkutuk
itu," Ki Panda Rasa memulai ceritanya, saat mereka telah duduk mengelilingi
sebuah meja bulat "Semenjak
istriku tewas karena penyakit menular berjangkit di desa ini, aku merawat Pungga
Rasa dengan dibantu
oleh Wintarsih. Dia, begitu tekun melayani segala ke-perluanku, juga putraku.
Karena kami selalu ber-
dekatan setiap hari, timbullah rasa cintaku terhadap Wintarsih. Uluran tanganku
mendapat sambutan darinya. Suatu malam, kami berhubungan sebagai-mana
layaknya suami istri. Beberapa bulan kemudian, Win-
tarsih mengatakan kepadaku bahwa ia hamil. Timbul-
lah sifat pengecutku. Karena tidak ingin pandangan
orang dan tokoh-tokoh persilatan melecehkan-ku, ka-
rena telah menghamili seorang pembantu, diam-diam
aku menyuruh Wantara dan Galangsa mem-buang
Wintarsih jauh-jauh. Tidak kusangka sama sekali kalau mereka telah berbuat keji
terhadapnya...," tutur Ki Panda Rasa dengan wajah menunduk dan penuh rasa
sesal yang dalam. Wintarsih pun ikut menangis teri-
sak-isak. Karena biar bagaimanapun ia masih mencin-
tai Ki Panda Rasa.
Panji, Ki Pungga Rasa dan Pendekar Tangan Kilat
mengangguk-angguk kepalanya mendengar penjelasan
lelaki gagah itu.
"Ki Panda Rasa," panggil Panji setelah agak lama lelaki gagah itu terdiam,
"Andaikata kau diberi kesempatan untuk menebus dosamu dengan memelihara
mereka berdua, apakah kau masih merasa malu kepa-
da orang-orang di sekelilingmu, dan sahabat-
sahabatmu?" tanya Panji dengan hati-hati.
"Terserah kepada Wintarsih. Asalkan mereka mau
mengampuni dan menerimaku. Aku bersedia melaku-
kan apa saja yang mereka inginkan," sahut Ki Panda
Rasa mantap, tanpa keraguan sedikitpun. Untuk me-
nunjukkan rasa penyesalannya, lelaki gagah itu bangkit dan menghampiri Wintarsih
yang juga bangkit dari kursinya,
Wintari yang masih merasa curiga, segera beranjak
bangkit dan siap melindungi ibunya. Meskipun Wintari sempat tersentuh hatinya
setelah mendengar penga-kuan lelaki gagah itu. Tetapi ia belum percaya
sepenuhnya dengan lelaki itu.
Kedua insan berlainan jenis itu saling berdiri ber-
hadapan dalam jarak dua langkah. Secara tak terduga, Ki Panda Rasa menjatuhkan
dirinya seraya memeluk
kaki Nyai Wintarsih.
"Ampuni aku, Wintarsih. Aku benar-benar menye-
sal. Dan, kalau kau memang menghendaki kematian-
ku, aku pasrah...," desis Ki Panda Rasa yang melakukan semua itu karena rasa
penyesalan yang menda-
lam, bukan karena ia takut terhadap pem-balasan wa-
nita itu. Wintarsih terdiam dengan air mata berlinang. Hati
wanita itu yang semula beku dan dipenuhi dendam,
perlahan pudar menyaksikan perbuatan lelaki gagah,
pendekar terkenal, dan seorang kepala desa, mau me-
rendahkan dirinya. Pertahanan wanita itu pun luluh.
"Kakang...," tubuh Nyai Wintarsih melorot jatuh.
Dipeluknya tubuh Ki Panda Rasa dengan segenap rasa
cintanya. Tanpa ragu lagi, Ki Panda Rasa pun meme-
luk tubuh Nyai Wintarsih erat-erat. Tinggallah Wintari dan Ki Pungga Rasa
terbengong-bengong, dan saling
melempar pandang.
Melihat persoalan itu telah selesai dengan baik, di-am-diam Panji menyelinap
pergi. Ia teringat dengan
Kenanga yang tinggal bersama bibinya yang akan me-
lahirkan putranya itu. Dan Panji berniat menjenguk
kekasihnya. SELESAI Scan: Clickers Edit: Adnan Sutekad
PDF: Abu Keisel
Document Outline
1 *** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** 5 *** *** *** 6 *** *** 7 *** 8 *** SELESAI Pedang Ular Merah 7 Candika Dewi Penyebar Maut X I I Playboy Dari Nanking 14
^