Pencarian

Orang Orang Terbuang 1

Pendekar Naga Putih 89 Orang Orang Terbuang Bagian 1


ORANG-ORANG TERBUANG
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode: Orang-Orang Terbuang
128 hal ; 12 x 18 cm
3 Sesosok tubuh terbungkus pakaian penuh tambalan menghentikan langkahnya di depan
sebuah kedai makan. Sebentar ia berdiri mengawasi sekeliling ruangan dengan
sepasang matanya yang terlindung caping lebar. Kemudian, melangkah masuk
menghampiri sebuah meja kosong. Caping bambunya dilepas dan diletakkan di atas
meja. Tampaklah seraut wajah kotor berdebu. Sosok itu segera menjadi perhatian
pengunjung kedai. Beberapa di antaranya terdengar mendengus tak senang.
Kehadiran gembel itu agaknya telah melenyapkan selera makan mereka.
"Pelayan...!" Seorang lelaki bertubuh kurus dan bermata sipit berseru lantang
memanggil pelayan kedai. "Kalau kau ingin tempat ini disukai orang, lekas usir
gembel tengik itu!" lanjutnya setelah pelayan kedai tiba di dekatnya.
Pelayan kedai yang sejak tadi sibuk melayani pesanan bergegas menoleh ke arah
yang ditunjuk , ia memang tidak sempat memperhatikan gembel itu. Maka, tanpa
banyak bicara lagi ia mengangguk dan bergegas menghampiri.
"Hei, Pelayan...!"
Salah satu dari tiga orang lelaki yang sejak tadi memperhatikan pengemis itu,
berseru mengulapkan tangannya.
"Ada apa, Tuan..?" tanya pelayan kedai yang datang terbungkuk-bungkuk.
"Sebaiknya kau urus pesanan kami. Biar gembel itu bagianku...," ujar lelaki
berkumis lebat itu.
"Baik... baik...," jawab si pelayan kedai setelah tercenung sesaat. Bergegas ia
pergi menyiapkan pesanan ketiga lelaki itu.
"Hm.... Untuk apa kau merepotkan diri mengurusi pengemis seperu itu, Adi Loh
Jarang" Semestinya memang pelayan itu yang pantas untuk mengurusnya...." Lelaki
berikat kepala putih yang duduk di sebelah kanan Loh Jarang, menegur sewaktu
melihat kawannya bangkit.
"Heh heh heh.... Matamu ternyata kurang awas Kakang La Bondang! Tidakkah kau
lihat betapa gembel itu memiliki tubuh yang menggiurkan. Coba kau perhatikan
rambutnya yang panjang. Apakah kau tidak merasa aneh melihat seorang gembel
memiliki rambut sebagus itu" Menurutku, kalaupun benar ia seorang gembel,
pastilah tidak seperti gembel kebanyakan yang tidak mau mengurusi dirinya. Yang
satu ini lain. Ini membuat aku penasaran!" ujar Loh Jarang mengajukan alasannya.
Kedua orang kawannya tampak mengerutkan kening.
"Hm.... Kau benar, Adi. Kalau diperhatikan betul-betul, ia memang memiliki
beberapa kelebihan ketimbang gembel kebanyakan." La Bondang lalu mengangguk-
angguk. Ia baru menyadari setelah memperhatikan dengan seksama. Dan ia setuju dengan
ucapan Loh Jarang. Dibiarkannya Loh Jarang mengayun langkah menghampiri pengemis
itu. Dengan langkah lebar, Loh Jarang mendekati meja pengemis. Dan, terus bergerak
mengitari meja dengan mata tak lepas dari wajah kotor berdebu itu. Baru kemudian
ia menghempaskan tubuhnya, duduk tepat di hadapan si pengemis yang sepertinya
tak begitu peduli dengan kehadiran Loh Jarang.
"Hm.... Nampaknya kau belum lama menjalani hidup seperti ini. Debu-debu itu
belum berhasil menyembunyikan wajahmu yang cantik," ujar Loh Jarang seraya terus
menatapi wajah setengah menanduk di depannya. "Coba angkat wajahmu agar aku bisa
melihat lebih jelas," lanjutnya. Tangannya segera terjulur.
Perempuan gembel ini tidak berusaha mengelak. Dibiarkannya tangan Loh Jarang
menyentuh dagu dan mengangkat wajahnya. Malah, matanya yang sayu berani menatap
wajah Loh Jarang. Lelaki berkumis lebat itu tersenyum, menatap lekat-lekat wajah
di hadapannya. "Heh heh heh.... Ternyata dugaanku memang tidak meleset," kekeh Loh Jarang,
sewaktu mendapati bentuk wajah, hidung, bibir, dan mata yang bagus. Sambil
berkata demikian, jemari tangannya yang masih menempel di dagu mengelus
perlahan. "Tuan...," ujar perempuan gembel ini lirih. "Bersikap sopanlah sedikit. Kita
berada di tempat yang ramai..," lanjutnya. Ditepisnya tangan Loh Jarang.
Kemudian, kembali merundukkan wajahnya.
Loh Jarang tidak marah. Ia terkekeh sambil mengusap-usap dagunya. Tatapan
matanya tetap tertuju ke wajah perempuan gembel itu.
"Hm..., ada baiknya kau membersihkan diri lebih dulu. Setelah itu baru kita
bersantap sepuasnya...," ujar Loh Jarang tiba-tiba. Kemudian bangkit dari
duduknya. Tanpa banyak cakap lagi, ia langsung menyambar lengan perempuan gembel itu, dan
dibawanya ke bagian belakang kedai. Aneh, perempuan gembel ini tidak berusaha
memberontak, ia menurut saja dibawa ke bagian belakang kedai oleh Loh Jarang.
"Kalian tunggulah sebentar...," pesan Loh Jarang kepada kedua rekannya, yang
hanya bisa menggelengkan kepala. Sebentar saja sosoknya sudah menghilang di
balik pintu kedai.
Sambil menunggu kemunculan Loh Jarang, La Bondang dan kawannya yang bernama Kebo
Danayan, segera menyikat hidangan mereka.
"Hm.... Apa saja yang diperbuat Kakang Loh Jarang terhadap perempuan gembel itu"
Mengapa lama sekali"!" Kebo Danayan menggerutu. Karena meski mereka telah
selesai makan dan menunggu beberapa saat, Loh Jarang masih juga belum
menampakkan batang hidungnya.
"Heh heh heh.... Kau seperti tidak mengenal sifatnya saja, Adi Kebo. Kau tahu
sendiri kalau kakangmu itu seorang buaya perempuan. Lihat saja buktinya. Matanya
demikian tajam. Sampai-sampai seorang gembel perempuan pun tak lepas dari
perhatiannya. Aku sengaja tidak mencegah sewaktu ia membawa perempuan itu ke
belakang. Kalau Loh Jarang sampai tertarik dan mau mengurusnya, itu berarti
perempuan itu memang telah menarik hatinya. Gembel perempuan itu pastilah
berwajah cantik. Paling tidak mempunyai banyak nilai tambah. Mungkin sekarang ia
tengah bersenang-senang dengan gembel perempuan itu," ujar La Bondang yang
kelihatan tidak mencemaskan Loh Jarang, kendati telah cukup lama tidak muncul-
muncul. Rupanya, La Bondang sangat mengerti apa yang diperbuat Loh Jarang
terhadap perempuan itu.
"Aaa...!"
Tiba-tiba, terdengar jeritan kematian yang melengking tinggi. La Bondang dan
Kebo Danayan sampai terlompat dari duduknya. Mereka saling tukar pandang sesaat.
Suara jeritan itu berasal dari bagian belakang kedai. Mereka kenal betul suara
jeritan kematian itu adalah suara Loh Jarang!
Seperti dikomando saja, tubuh La Bondang dan Kebo Danayan berkelebat menuju
sumber jeritan itu. Para pengunjung kedai yang juga terkejut dan berdesak-
desakkan menghalangi jalan, terhumbalang ke kiri-kanan diterjang kibasan tangan
La Bondang dan Kebo Danayan. Beberapa pengunjung terbanting membentur meja dan
kursi. La Bondang dan Kebo Danayan sedikit pun tak peduli. Mereka terus melesat
ke depan, dan menjebol pintu yang berderak patah!
"Minggir...! Minggir...!"
La Bondang berteriak-teriak kalap. Dilihatnya di sebuah pintu kamar yang
merupakan tempat penginapan, orang-orang saling berdesakan. Sambil berteriak-
teriak, sepasang tangannya mencengkeram dan melempar dengan ganas. Tak peduli
meski orang-orang yang dilemparkannya ada yang membentur tiang dan menggeloso
tak sadarkan diri.
Ia segera menerobos masuk untuk melihat apa yang terjadi.
"Adi Loh Jarang..."!"
La Bondang berdesis parau. Tubuhnya bergetar menyaksikan pemandangan di atas
pembaringan. Lelaki kekar berhidung besar ini berdiri terpaku di ambang pintu.
Sepasang matanya membelalak lebar!
Di atas pembaringan yang beralaskan seprai putih, tubuh Loh Jarang terbujur
bermandikan darah. Wajahnya rusak oleh torehan senjata tajam.
Dari bawah lehernya terdapat luka memanjang hingga ke bawah pusat. Luka ini
terlihat jelas, karena tubuh Loh Jarang nyaris tak terlapisi pakaian. Yang lebih
mengerikan lagi, alat kelamin Loh Jarang tidak berada pada tempatnya. Lelehan
darah yang masih terus mengalir dari luka di bawah pusat ini menunjukkan kalau
alat kelamin Loh Jarang telah dipotong!
"Iblis Biadab...!" desis Kebo Danayan yang telah berdiri di sebelah La Bondang.
Wajah lelaki bertubuh tambun ini sebentar pucat sebentar merah. Pemandangan itu
jelas telah mengguncangkan hatinya.
"Perempuan pengemis itu.... Ke mana dia..."! Bukan mustahil dialah yang membunuh
Adi Loh Jarang...," La Bondang segera teringat pada perempuan gembel yang
dibawa Loh Jarang. Pandangannya beredar ke sekitar ruangan. Kemudian menerobos
ke luar, mencari-cari di antara kerumunan tamu yang menyewa penginapan di kedai
makan itu. "Kakang, lihat...!" Kebo Danayan tiba-tiba berseru sambil menunjuk ke arah
jendela yang terbuka.
"Keparat! Gembel perempuan itu pasti telah melarikan diri...!" geram La Bondang.
Tanpa banyak cakap lagi, ia langsung melesat melompati jendela yang terbuka.
Begitu menjejakkan kaki di luar kamar, La Bondang memandang ke kiri-kanan,
mencari-cari. "Sebaiknya kita menyebar, Kakang...!" usul Kebo Danayan, yang juga melompati
jendela dan kini berdiri di sebelah La Bondang. "Kakang ke timur, biar aku
mengejar ke barat..," lanjutnya. Kebo Danayan segera melesat melakukan
pengejaran terhadap perempuan gembel yang menjadi tertuduh.
La Bondang pun bergerak ke arah timur. Namun setelah cukup jauh ia berlari,
hingga sampai di daerah persawahan, sosok perempuan gembel yang dicarinya tidak
berhasil ditemukan. Setelah beberapa saat memandangi jalan berbatu yang tampak
sepi, akhirnya La Bondang memutuskan untuk kembali ke kedai.
Kebo Danayan telah tiba lebih dulu. Setelah saling berpandangan sesaat, kedua
orang itu mengerti kalau pengejaran mereka sia-sia. Mereka segera kembali ke
kamar penginapan untuk mengurus jenazah Loh Jarang. Keduanya tidak menyadari
tatapan sepasang mata tajam dari seorang perempuan cantik berpakaian sutera
putih yang duduk tenang di dalam kedai. Bibir yang merah dan berbentuk bagus itu
menyiratkan senyum puas sewaktu La Bondang dan Kebo Danayan lewat di dekatnya.
*** "Jahanam Busuk! Kalau sampai ia berhasil kutemukan, akan kucincang hancur
tubuhnya...!" desis La Bondang, yang masih belum hilang rasa penasaran dan
kemarahannya. Kuda hitam yang ditungganginya dijalankan perlahan-lahan,
meninggalkan desa tempat Loh Jarang terbunuh.
"Kalau benar perempuan gembel itu yang membunuh Kakang Loh Jarang, pasti ada
sebab-sebabnya. Bukan mustahil ia sengaja menyamar sebagai pengemis agar kita
tidak mengenalinya. Selain itu, ia pasti kenal betul akan sifat Kakang Loh
Jarang yang buaya perempuan itu," ujar Kebo Danayan menimpali.
"Hm.... Kalau benar demikian, kita harus selalu waspada, Adi Kebo. Siapa tahu
bukan cuma Adi Loh Jarang saja yang diincarnya. Jangan-jangan ia pun
menginginkan kematian kita berdua...," La Bondang mulai terbuka pikirannya
setelah mendengar perkataan Kebo Danayan. "Tapi siapa pun dia adanya, yang jelas
ia seorang perempuan.
Sayang, kita belum tahu bagaimana rupanya. Bukan mustahil sekarang pun ia tengah
mengintai kita. Menunggu kita lengah. Keparat!"
"Tapi, bisa juga ia seorang laki-laki yang sengaja menyamar sebagai perempuan
gembel untuk mengelabui kita...," tukas Kebo Danayan memberikan pendapat.
"Tidak mungkin, Adi Kebo! Jahanam itu pasti seorang perempuan! Mata Adi Loh
Jarang tidak mungkin bisa dikelabui. Ia dapat membedakan mana laki-laki dan mana
perempuan, meski dalam penyamaran yang sempurna sekalipun. Ingat, kakangmu itu
seorang buaya perempuan yang sangat hafal dengan bau tubuh perempuan! Itu
sebabnya aku berani memastikan kalau jahanam itu seorang perempuan. Dan pasti
berwajah cantik.
Jadi, mulai hari ini kita harus hati-hati terhadap perempuan-perempuan muda!"
tegas La Bondang.
"Lalu, bagaimana cara kita menemukan jahanam itu, Kakang?" tanya Kebo Danayan
bingung. Tentu saja perempuan seperti yang dikatakan La Bondang sangat banyak.
Untuk mencari perempuan pembunuh yang sesungguhnya, sama saja dengan mencari
sebatang jarum di tumpukan jerami. Perbuatan itu jelas hampir tidak mungkin!
"Hm..., Kalau perlu kita permainkan setiap perempuan muda yang memiliki ilmu
silat! Karena dari cara ia mengelabui kita, menurutku kepandaian yang
dimilikinya tidak terlalu berbahaya. Buktinya ia tidak berani berhadapan
langsung dengan kita," sahut La Bondang, yang memang menaruh dendam pada
pembunuh Loh Jarang. Dendam itu terus bertambah bila ia teringat bagaimana
mengerikannya keadaan Loh Jarang sewaktu ditemukan.
"Tapi, tidakkah hal itu terlalu berlebihan, Kakang" Mengapa tidak kita pancing
saja pembunuh itu agar menampakkan dirinya di hadapan kita?" Kebo Danayan
tampaknya kurang setuju dengan pendapat La Bondang.
"Hm... Kita sudah terlanjur basah, Adi Kebo. Kita adalah orang terbuang! Orang-
orang golongan putih sudah tidak sudi berkawan dengan kita. Nama kita telah
cacad di mata mereka. Sedangkan untuk bergabung dengan golongan sesat, aku tidak
sudi! Pada dasarnya aku memang tidak suka perbuatan-perbuatan jahat. Aku merasa
terlalu tinggi untuk bergabung dengan mereka. Tapi sekarang pandanganku berubah.
Kematian Adi Loh Jarang tidak dapat kuterima! Aku harus membalas! Biar tokoh-
tokoh persilatan tahu kalau orang-orang buangan seperti kita pun mampu membuat
geger!" ujar La Bondang dengan penuh kegeraman.
Sepasang mata La Bondang berkilat-kilat mengerikan. Hingga, Kebo Danayan hanya
bisa mengangguk-angguk, ia merasa perkataan saudara tuanya itu memang benar.
Mereka bertiga adalah orang-orang terbuang yang tidak diakui golongan putih.
"Kau benar, Kakang. Selama ini kita sudah dianggap sesat. Lalu, apa ruginya
kalau kita melanjutkan kesesalan itu" Biar mereka tahu siapa sebenarnya La
Bondang dan Kebo Danayan. Ha ha ha...!" Kebo Danayan tertawa terbahak-bahak.
Hatinya semakin dalam dirasuki iblis. Terlebih setelah mendengar ucapan saudara
tuanya, yang merupakan ungkapan dendam dan putus asa.
"Tolooong... tolooong...!"
La Bondang dan Kebo Danayan serentak menarik tali kekang kuda. Keduanya saling
bertukar pandang sesaat.
"Kau dengar itu, Adi Kebo?" tanya La Bondang menyunggingkan senyum aneh.
Kebo Danayan mengangguk. Diam-diam hatinya merasa agak ngeri melihat perubahan
sikap La Bondang, yang seperti serigala lapar mencium bau daging kijang muda.
Kebo Danayan tahu pasti kematian Loh Jarang telah membuat jiwa La Bondang
kehilangan keseimbangan, hingga pikirannya agak terganggu.
Sudah cukup lama ia sadar akan rasa tidak puas kakak tertuanya, setelah mereka
bertiga dicampakkan orang-orang golongan putih. Semua itu bukan dugaan. Ia
sering mendengar keluhan dan makian La Bondang yang ditujukan kepada tokoh-tokoh
golongan putih. Selain itu, ia juga merasakan hal yang sama. Hanya saja ia lebih
suka memendamnya dalam hati, tidak seperti La Bondang dan Loh Jarang yang merasa
bencinya ditunjukkan jelas-jelas. Kematian Loh Jarang telah membuat rasa sakit
hati itu semakin bertambah parah.
"Inilah korban pertama kita...."
Kebo Danayan tersentak dari lamunan. Ditatapnya wajah La Bondang lekat-lekat.
"Tapi, perempuan yang berteriak minta tolong itu sudah pasti tidak memiliki
kepandaian silat Kakang"! Jelas ia memerlukan pertolongan kita!" Kebo Danayan
mencoba mengingatkan kakaknya.
"Hmhh. Sekarang aku tidak peduli, Adi Kebo! Yang jelas teriakan itu berasal dari
makhluk yang bernama perempuan! Memang betul sebelum kematian Adi Loh Jarang,
kita masih suka memberikah pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan.
Semua itu kita lakukan bukan karena ingin mendapat pujian. Melainkan, karena
kita memang tidak terlalu setuju dengan kejahatan dan penganiayaan! Tapi
kematian Adi Loh Jarang disebabkan oleh seorang perempuan. Dan aku telah merubah
keputusan! Memiliki kepandaian silat atau pun tidak, makhluk yang bernama
perempuan harus kita bunuh setelah puas mempermainkannya! Ingat, Adi Loh Jarang
tewas dengan alat kelamin putus!"
tukas La Bondang menekankan kalimat terakhirnya dengan wajah merah terbakar.
Diingatkan tentang keadaan mayat kakak keduanya, Kebo Danayan menundukkan wajah
dalam-dalam. Amarah dan kebenciannya bangkit seketika. Sesaat kemudian,
kepalanya kembali terangkat. Ia mengangguk kepada La Bondang, yang kemudian
terkekeh mendirikan bulu roma. Rupanya, iblis benar-benar telah bersarang dalam
hati La Bondang.
La Bondang dan Kebo Danayan memutar kepala ketika mendengar suara langkah orang
berlari. Bibir mereka pun menyunggingkan senyum. Pemilik langkah kaki itu


Pendekar Naga Putih 89 Orang Orang Terbuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorang perempuan yang mengenakan kebaya merah muda. Kain yang dipakainya
membuat langkah kakinya tersaruk-saruk. Beruntung bagian bawah kakinya terkoyak
di kedua sisi. Sehingga, meski agak sulit namun masih bisa digunakan untuk
berlari. "Tuan., tolonglah aku, Tuan..!"
La Bondang dan Kebo Danayan melompat turun dari atas punggung kuda ketika
perempuan yang berlari-lari dengan napas tersengal itu menjatuhkan diri.
Rupanya, ia sudah tidak sanggup lagi untuk berlari.
"Bangkitlah, Nyonya. Katakan, pertolongan apa yang kau perlukan dari kami?"
tanya La Bondang seraya mengulurkan tangannya membantu perempuan itu bangkit
berdiri. Bibir La Bondang tersenyum tipis sewaktu mendapati seraut wajah manis. Dari
pakaian dan cara berdandannya, La Bondang bisa menduga perempuan yang usianya
sekitar tiga puluh tahun itu paling tidak istri seorang saudagar kaya.
Pakaiannya terbuat dari bahan mahal. Selain itu, perhiasan-perhiasan emas
melekat di tubuhnya.
"Kami... kami dihadang perampok, Tuan! Suamiku dan centeng-centeng kami tewas di
bantai mereka," jelas perempuan pesolek itu. Air matanya bercucuran.
"Lalu, bagaimana Nisanak bisa selamat" Tolol sekali kalau mereka membiarkan
perempuan secantik Nisanak lari begitu saja?" tanya La Bondang agak curiga,
merasa cerita perempuan itu agak janggal.
"Dua orang centeng kami membawa aku lari menyelamatkan diri. Sewaktu beberapa
orang perampok melihat dan melakukan pengejaran, mereka menyuruhku terus
berlari. Sedang mereka menghadang agar aku bisa lolos...," jelas perempuan
berkebaya merah muda, membuat La Bondang dan Kebo Danayan mulai percaya.
"Hm.... Marilah ikut denganku, Nisanak," ujar La Bondang setelah memberikan
isyarat dengan kedipan mata kepada Kebo Danayan. "Kau jaga di sini, Adi Kebo.
Bunuh perampok-perampok itu jika mereka datang!"
Setelah berpesan kepada Kebo Danayan, La Bondang bergegas membawa
perempuan itu pergi. Kebo Danayan tersenyum tipis, dan meneguk air liurnya.
Bentuk tubuh perempuan itu memang sanggup membuat nafsunya bangkit. Apalagi, ia
bisa menebak apa yang akan diperbuat La Bondang dengan membawa perempuan
bertubuh molek itu ke semak-semak.
2 Setibanya di balik semak-semak, sikap La Bondang berubah seketika.
Keramahannya lenyap. Dengan kasar disentakkannya tubuh perempuan itu hingga
terbanting ke atas tanah berumput tebal.
"Aauuu..."!"
Perempuan berkebaya merah muda menjerit kaget. Sepasang matanya terbelalak
memandang wajah La Bondang yang terkekeh sumbang.
"Mengapa..." Apa... apa yang Kisanak lakukan..."!" Dengan wajah agak pucat dan
merasa ngeri, perempuaan itu beringsut menjauh.
"Mengapa..."! Ah... kau ini aneh, Nisanak. Bukankah kau membutuhkan
pertolonganku" Nah, sekarang kau aman berada di tempat ini bersamaku. Kalau
bangsat-bangsat yang mengejarmu itu datang, adikkulah yang akan menghadapinya.
Sedang aku, tentu saja hendak meminta imbalannya. Karena, setiap segala sesuatu
harus ada timbal-baliknya. Aku memberikan pertolongan, kau memberikan
kesenangan. Itu baru adil namanya...," ujar La Bondang. Langkahnya terayun
perlahan mendekati perempuan itu.
"Tidak... tidak.... Jangan...!" seru perempuan itu. Tubuhnya beringsut menjauh,
menghindari La Bondang.
Tapi, sikap itu tampaknya malah membuat La Bondang semakin tertarik. Suara
kekehnya berubah menjadi gelak berkepanjangan. Ia sengaja tidak mempercepat
langkahnya. Tapi, bergerak perlahan setindak demi setindak.
"Jangan, Kisanak... Kasihanilah aku...."
"Jangan takut, Nisanak. Aku justru hendak memberikan kesenangan kepadamu.
Berhentilah menghiba, dan mendekatlah. Jika sudah merasakannya, kurasa kau pasti
akan ketagihan...," bujuk La Bondang seraya memperdengarkan tawa iblisnya.
Tangannya terulur seolah hendak menolong calon korbannya. Sementara perempuan
itu sudah tidak bisa mundur lagi. Tubuhnya membentur batang pohon yang cukup
besar, la hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dengan air mata bercucuran.
Meratap, mengiba, memohon belas kasihan La Bondang.
"Huh, Perempuan! Bisanya cuma meratap dan mengandalkan air mata!" Merasa jengkel
juga dengan ratapan dan tangisan perempuan itu, La Bondang menghardik kasar.
Wajahnya berubah bengis. Sepasang matanya berkilat tajam memancarkan nafsu
iblis. Mungkin karena melihat La Bondang jengkel, perempuan itu tiba-tiba
menghentikan tangisnya. Ditentangnya pandang mata La Bondang dengan sikap
tenang. Bahkan ketika La Bondang mengulur tangan hendak merobek kainnya, ditangkapnya
tangan kekar berbulu lebat itu.
"Bukan begini seharusnya memperlakukan seorang wanita, Kisanak."
La Bondang tertegun. Perubahan sikap perempuan itu membuat lelaki kasar
berhidung besar ini tidak begitu memperhatikan, betapa gesit gerakan perempuan
itu sewaktu menangkap lengannya.
"Tidakkah Kisanak mempunyai cara yang lebih lembut" Ketahuilah, Kisanak, tak
satu pun wanita yang suka dikasari...." Perempuan itu kembali melanjutkan kata-
katanya. Sedangkan La Bondang masih belum tersadar dari rasa herannya.
"Apa... apa maksudmu, Nisanak...?" La Bondang menelan air liurnya. Sikap dan
kata-kata perempuan itu mendadak membuatnya gugup.
Perempuan itu tidak menjawab. Malah ia tersenyum manis. La Bondang merasa
tertantang. Ia tidak berusaha mencegah sewaktu perempuan itu bergerak bangkit
dengan sikap manja dengan menggerak-gerakkan tubuhnya sedemikian rupa, La
Bondang sampai meneguk air liurnya berkali-kali. Kalau ia tidak ingat pertanyaan
tadi, sudah diterkamnya perempuan itu.
"Hik hik hik.... Kelihatannya Kisanak sudah tidak sabar. Sikap Kisanak seperti
serigala kelaparan yang sudah sekian tahun tidak bertemu makanan...," goda
perempuan itu sambil mengayunkan langkah perlahan. Kelihatan sekali sikap
jalannya dibuat-buat.
Pinggulnya melenggak-lenggok. Hati La Bondang bagai ikut terayun-ayun
melihatnya. Setibanya di balik semak-semak, sikap La Bondang berubah seketika.
Keramahannya lenyap. Dengan kasar disentakkannya tubuh perempuan itu hingga
terbanting ke atas tanah berumput tebal.
"Aku memberikan pertolongan, kau memberikan kesenangan. Itu baru adil
namanya...!" ujar La Bondang sambil melangkah mendekati.
"Hei...!" seru La Bondang tercekik di kerongkongan. Cepat, ia melompat dan
menangkap lengan perempuan itu yang dikiranya hendak melarikan diri.
"Cekalan Kisanak terlalu kuat dan menyakitkan tanganku," tegur perempuan itu
dengan manja disertai kerlingan menggoda.
"Hm.... Kau hendak ke mana, Nisanak" Jangan mimpi akan dapat menipuku!"
Meskipun mulutnya berkata demikian, La Bondang melepaskan juga pegangannya. Nada
ucapannya pun tidak keras. Hanya, tatapannya saja yang menyiratkan kecurigaan.
"Siapa yang mau menipumu, Kisanak" Aku cuma hendak mencari tempat yang lebih
aman, agar tidak terlihat orang lain. Aku tidak ingin kawanmu memergoki
perbuatan kita. Lebih baik kita ke semak sebelah sana!" ujar perempuan itu
sambil menunjuk gerombolan semak yang tumbuh rapat. Kurang lebih lima tombak
dari tempat mereka berada. Dan terpisah kira-kira sepuluh tombak lebih dari
tempat Kebo Danayan.
Mendengar tantangan itu, karuan saja La Bondang kegirangan. Mulutnya
menyeringai. Di benaknya melintas janji kenikmatan yang akan diperolehnya. Maka,
tanpa banyak cakap lagi, La Bondang mengangguk. Lalu dipondongnya tubuh
perempuan itu. Agak gemetar ketika kedua kaki La Bondang melangkah, ia benar-benar sudah tidak
sabar ketika merasakan betapa lembut dan hangatnya tubuh perempuan dalam
pondongannya. *** "Hik hik hik...!" Perempuan itu seperti sengaja menggoda La Bondang. Tubuhnya
yang berada dalam pondongan La Bondang digerak-gerakkan, membuat dada lelaki
kekar itu kian panas terbakar nafsu.
Godaan perempuan memang benar-benar maut. Nafsu La Bondang semakin
menyentak-nyentak. Napasnya terengah-engah.
"Ingat! Aku tidak suka dengan sikap kasar, Kisanak."
La Bondang yang semula hendak melemparkan tubuh perempuan itu ke atas
rerumputan, segera membatalkan niatnya. Seraya menyeringai lebar sambil
mengangguk-anggukkan kepala, diturunkannya tubuh perempuan itu perlahan-lahan,
dan direbahkannya di atas rerumputan tebal.
"Tenanglah, Tuan. Tidak perlu tergesa-gesa seperti itu...."
La Bondang kembali mengangguk-angguk dengan napas kian memburu. Nafsunya yang
kian menggelegak, nyaris tak dapat ditahan La Bondang tidak begitu memperhatikan
betapa suara perempuan itu agak bergetar. Bibirnya menyunggingkan seulas senyum
aneh. "Sabarlah, Kisanak. Biar aku yang akan melakukannya sendiri," cegah perempuan
itu ketika La Bondang yang sudah setengah telanjang hendak melucuti pakaiannya.
Dengan gerakan yang dibuat-buat, perempuan itu mulai melepaskan kebayanya.
Semua itu dilakukan dengan sangat perlahan. Hingga, jalan napas La Bondang
terasa semakin sesak. Tapi, bukan main herannya La Bondang setelah perempuan itu
melepaskan kebaya merahnya. Ternyata ia masih mengenakan pakaian lain yang
ringkas dan terbuat dari sutera putih. Belum lagi La Bondang sadar dari
keheranannya, perempuan itu tiba-tiba melemparkan kebaya merahnya ke kepala La
Bondang. "Nih! Cumbulah sepuasmu, Manusia Keparat!"
Selagi La Bondang kelabakan melepaskan kebaya merah yang menutupi kepalanya,
perempuan itu sudah melompat dan menerjangnya. Sebatang pedang yang entah kapan
diambilnya telah tergenggam erat di tangan kanan, dan ditusukkan ke jantung La
Bondang. La Bondang masih terlalu kaget dengan kejadian yang tak disangka-sangkanya itu.
Sehingga, dalam kegugupannya ia sulit melepaskan belitan kebaya. Tapi meskipun
demikian, telinganya menangkap suara desingan senjata. Cepat La Bondang
menggeser tubuhnya ke kanan menghindari ancaman itu.
Breettt! Meskipun La Bondang berhasil menyelamatkan nyawanya, tak urung ujung pedang
menggores iganya. La Bondang memekik kesakitan. Tubuhnya terhuyung beberapa
langkah ke belakang. Sedangkan pedang lawan sudah kembali mengejarnya. Tapi,
serangan gencar itu dapat dipatahkan La Bondang dengan berlompatan ke kiri-
kanan. Bahkan setelah berhasil melepaskan kebaya yang menutupi kepalanya, La Bondang
mengirimkan sebuah tendangan kilat yang dilancarkan dengan penuh kegeraman.
Desss! Perempuan itu terpental ketika lambungnya terkena tendangan La Bondang.
Kendati ia masih dapat menguasai kuda-kudanya, tak urung wajah cantiknya
meringis kesakitan.
"La Bondang, Manusia Iblis! Kau tak bosan-bosannya membuat bencana! Orang
sepertimu tak pantas dibiarkan hidup di muka bumi ini...!" geram perempuan itu
yang tampaknya sangat benci kepada La Bondang.
"Kau... siapa...?" tanya La Bondang. Meski telah berusaha memeras otaknya, namun
tetap saja ia tidak bisa mengenali perempuan itu.
"Hm.... Aku adalah malaikat maut yang akan mencabut nyawamu! Bersiaplah, Manusia
Keji...!" sahut perempuan itu. Pedang di tangannya segera diputar cepat. Sesaat
kemudian ia menerjang maju dengan ganasnya. Tak diberinya kesempatan bagi La
Bondang untuk berpikir lebih lama.
Bwettt, whuttt...!
La Bondang melompat mundur menghindari sambaran pedang. Namun, senjata itu terus
mengejar. La Bondang tidak bisa membangun serangan. Ia harus mengerahkan
kelincahan tubuhnya untuk menyelamatkan diri dari maut.
Plakkk! Pada jurus ke delapan La Bondang berhasil menampar pergelangan tangan lawan yang
memegang pedang. Serangan perempuan itu pun terpental balik. La Bondang segera
menyusuli dengan sebuah tendangan lurus menuju ulu hati lawan. Tapi serangan itu
tidak mengenai sasaran. Lawannya sudah keburu menarik tubuhnya dua langkah ke
belakang. Singng! Kesempatan itu dipergunakan La Bondang untuk mencabut senjatanya. Terdengar
suara bercuitan. Di tangan kiri La Bondang kini tergenggam sebatang golok besar.
La Bondang memang seorang yang kidal, ia dijuluki sebagai Golok Kidal.
"Huh! Ingin kulihat sampai di mana kemajuan 'Ilmu Golok Kidal'-mu itu, La
Bondang...! Sambutlah seranganku, Hyaaattt...!"
"Hei..."!" La Bondang berseru kaget. Gerakan lawan sedikit banyak memiliki
dasar-dasar ilmu silat yang dimilikinya. Sayang, perkembangan gerak selanjutnya
terasa sangat asing. Bahkan terkesan sembarangan. Kendati demikian, dari
sambaran angin pedang lawan, La Bondang bisa menduga jurus-jurus itu sangat
ampuh dan berbahaya. Maka sewaktu serangan lawan dekat, La Bondang menyambutnya
dengan pengerahan tenaga penuh, ia tidak mau menderita kerugian. Bukan tidak
mungkin itu akan mencelakakan dirinya.
Trang! Trang! Benturan kedua batang senjata membuat perempuan cantik itu terpental dan nyaris
terpelanting jatuh. La Bondang tidak membuang-buang waktu lagi. Tubuhnya
meluncur ke depan dengan serangan maut. Waktu itu tubuh lawan masih
terhuyung.... Whuttt! Perempuan berpakaian sutera putih itu menjejakkan kakinya ke tanah. Golok La
Bondang hanya mengenai angin kosong, karena tubuh lawan sudah berjumpalitan ke
belakang. La Bondang membentak dan mencelat menyusul. Goloknya meluncur dengan
kecepatan tinggi.
Crattt! "Akhh...!"
Meskipun perempuan itu berusaha mengelak, golok La Bondang berhasil merobek
sebelah luar paha kanannya. Dengan langkah terpincang-pincang, perempuan itu
bergerak mundur. Bibirnya digigit kuat-kuat menahan rasa sakit. Wajah perempuan
itu pucat melihat La Bondang berdiri congkak di depannya sambil tertawa
berkakakan. "Heh hehheh.... Sekarang aku baru tahu. Rupanya, kaulah yang telah menyamar
sebagai perempuan gembel dan membunuh Adi Loh Jarang. Hm.... Kalau begitu, kau
harus menerima hukuman atas dosa-dosamu! Kau akan kusiksa dan kupermainkan
sepuas-puasnya sebelum akhirnya kupenggal batang lehermu yang mulus itu!" geram
La Bondang dengan wajah bengis. Ingatan tentang kematian Loh Jarang membuat
sikap dan wajahnya tampak menyeramkan. La Bondang melangkah perlahan mendekati
perempuan itu. "Kakang, apa yang terjadi...?"
Seruan itu segera disusuli dengan berkelebatnya sesosok bayangan, dan mendarat
ringan di sebelah La Bondang. Dia adalah Kebo Danayan. Suara pertempuran membuat
lelaki ini bergegas mencari. Ia tidak lagi mempedulikan tugas yang diberikan La
Bondang. Apalagi para perampok yang ditunggunya tidak muncul-muncul. Kebo Danayan kaget
bercampur-heran melihat La Bondang tengah bertarung dengan perempuan yang tadi
ditolongnya. "Dialah perempuan gembel yang telah membunuh Loh Jarang di kedai. Rupanya kali
ini ia menyamar lagi untuk membunuhku. Tapi sayang ia tidak berhasil. Malah,
sebentar lagi justru dialah yang akan kita bunuh. Tentu saja setelah kita puas
mempermainkannya. Biar dia tersiksa dan hancur lahir batin!" jelas La Bondang
kepada Kebo Danayan, yang mendengarkannya dengan terheran-heran.
"Siapa sebenarnya perempuan itu, Kakang" Apa alasannya memusuhi kita?" tanya
Kebo Danayan seraya meneliti wajah perempuan itu.
"Aku tidak tahu," jawab La Bondang singkat "Ayo kita tangkap dia...."
Kebo Danayan mengangguk, ia bergerak menjauhi La Bondang, Tanpa menunggu lagi,
Kebo Danayan menerjang perempuan itu dengan menggunakan jurus-jurus tangan
kosong. La Bondang yang telah menyimpan goloknya segera melayang ke arena.
Seperti halnya Kebo Danayan, ia juga memilih menggunakan ilmu tangan kosong
untuk merobohkan perempuan itu.
"Haiiitt...!"
Saat La Bondang dan Kebo Danayan berhasil mendesak perempuan itu, mendadak
sesosok bayangan melayang ke tengah arena. Bayangan itu langsung menerjang
mereka berdua. Merasakan betapa hebatnya terjangan itu La Bondang dan Kebo
Danayan bergegas berlompatan mundur.
"Hanya orang-orang pengecut saja yang melakukan pengeroyokan terhadap seorang
perempuan!" tegur sosok bayangan itu. Ia menghentikan serangannya ketika La
Bondang dan Kebo Danayan melompat keluar dari arena pertarungan.
"Kau..."!"
"Hm.... Masih juga kalian belum mau minggat dari tempat ini!" Sosok bayangan itu


Pendekar Naga Putih 89 Orang Orang Terbuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata seorang lelaki bertubuh sedang namun gagah, ia segera mencelat ke arah
La Bondang dan Kebo Danayan yang masih terpaku memandanginya.
La Bondang dan Kebo Danayan terpaksa berloncatan menyelamatkan diri. Tapi,
lelaki tegap itu tampaknya tidak ingin memberikan kesempatan. Pukulan dan
tendangannya datang bertubi-tubi, memaksa La Bondang dan Kebo Danayan terus
bergerak mundur.
"Cepat kalian tinggalkan tempat ini! Atau aku terpaksa membunuh kalian
berdua...!" desis lelaki itu mengancam sambil tetap melancarkan serangan.
Ucapannya jelas menunjukkan kalau ia telah mengenal La Bondang dan Kebo Danayan.
"Perempuan itu musuh kami. Dia sangat berbahaya dan merupakan ancaman bagi
kami..!" dengan suara ditekan, La Bondang membantah ucapan lelaki tegap itu.
"Hm.... Apakah kalian tidak percaya kalau aku bisa mengurusnya?" lanjut lelaki
itu. Kelihatannya ia tidak senang mendengar bantahan La Bondang. "Nah, pergilah...!"
seiring dengan ucapan terakhirnya, sepasang tangannya didorongkan ke depan.
La Bondang dan Kebo Danayan terpental bergulingan. Kedua lelaki itu bergegas
bangkit dengan wajah agak pucat. Sejenak mereka ragu untuk menuruti perintah
lelaki tegap itu. Tapi, ketika melihat sorot mata yang penuh ancaman, bergegas
La Bondang dan Kebo Danayan memutar tubuhnya. Kemudian, melesat pergi
meninggalkan tempat itu.
"Keparat benar Iblis Pengisap Bunga itu!" sambil terus berlari, La Bondang
menyumpah-nyumpah.
"Apalah daya kita, Kakang. Kepandaian Iblis Pengisap Bunga sangat jauh berada di
atas kita. Berurusan dengannya sama saja dengan mencari mati." Kebo Danayan
menimpali. Meskipun hatinya tidak puas, tapi Kebo Danayan tahu diri. Dibuangnya
perasaan itu jauh-jauh.
La Bondang tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya bisa mendengus menumpahkan
kejengkelan hatinya.
3 Lelaki tegap berwajah tampan itu masih berdiri memandangi sosok La Bondang dan
Kebo Danayan yang lenyap di kejauhan. La Bondang dan Kebo Danayan memang tidak
salah. Lelaki tegap itu adalah Iblis Pengisap Bunga. Seorang tokoh sesat
berkepandaian tinggi. Nama dan sepak terjangnya telah menggegerkan rimba
persilatan. Iblis Pengisap Bunga juga terkenal sangat licik. Ia tidak segan-
segan melakukan kecurangan untuk memperoleh kemenangan.
Sesuai dengan julukannya, Iblis Pengisap Bunga memang tidak jauh berbeda dengan
Penjahat Pemetik Bunga, atau tokoh-tokoh sesat lainnya yang suka mempermainkan
perempuan muda. Tapi, Iblis Pengisap Bunga tidak sudi disamakan dengan mereka,
yang menodai perempuan-perempuan muda secara paksa. Ia menganggap perbuatan
seperti itu sangat rendah dan memalukan. Berbeda dengan dirinya yang lebih
menyukai kepasrahan korbannya dengan dasar suka sama suka. Bagi Iblis Pengisap
Bunga hal itu memang tidak sulit. Dengan wajah tampan, tutur kata manis, dan
kepandaian yang tinggi, sudah banyak perempuan muda yang jatuh ke dalam
pelukannya. Setelah puas mereguk madu asmara, bunga-bunga malang yang telah layu itu pun
ditinggalkan, ia akan pergi mencari bunga-bunga segar.
"Kisanak, aku mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu...."
Suara merdu namun terdengar dingin itu membuat Iblis Pengisap Bunga memutar
tubuhnya dengan perlahan. Laki-laki tampan itu pun mulai memasang jeratnya.
Sebagai orang yang berpengalaman menghadapi perempuan, dari nada ucapan itu ia
telah dapat menilai seperti apa watak perempuan yang ditolongnya. Maka, begitu
berbalik, Iblis Pengisap Bunga langsung memainkan sandiwara.
Mendapati seraut wajah tampan yang agak pucat dengan sepasang mata sayu yang
kehilangan semangat hidup, wanita berpakaian sutera putih itu tersentak kaget.
Tanpa sadar kakinya melangkah mundur dua tindak. Sikap dinginnya lenyap,
berganti dengan kegugupan. Sorot mata yang semula menyiratkan kebencian itu
perlahan memudar.
Perubahan yang nyata itu membuat Iblis Pengisap Bunga tersenyum dalam hati.
Langkah pertamanya telah mendatangkan hasil yang sangat baik.
"Nisanak," ucap Iblis Pengisap Bunga. Suaranya berat dan dalam, seolah
menunjukkan tekanan batin yang tidak bisa disembunyikan. "Tolong-menolong dalam
kehidupan ini memang sudah menjadi kewajiban kita. Hari ini aku menolongmu. Lain
hari, bukan mustahil kaulah yang menolongku. Dunia ini terus berputar, Nisanak.
Yang sekarang berada di atas, esok mungkin berada di bawah. Demikian pula
sebaliknya. Begitulah kehidupan di atas muka bumi ini. Kita tidak bisa meramalkan...."
Selesai berkata, Iblis Pengisap Bunga merangkapkan kedua tangannya dengan tubuh
sedikit membungkuk. Kemudian, memutar tubuhnya dan mengayunkan langkah gontai.
Sikap dan ucapan Iblis Pengisap Bunga membuat perempuan cantik itu tertegun.
Wajah agak pucat dan sorot mata redup Iblis Pengisap Bunga membuat hatinya
bergetar. Gambaran kedukaan dan pudarnya semangat hidup pada wajah dan sinar mata Iblis
Pengisap Bunga benar-benar telah mempengaruhinya. Ia ikut tenggelam dan
merasakan penderitaan penolongnya. Perempuan cantik itu berdiri terpaku. Ia
tidak menyahut sewaktu Iblis Pengisap Bunga berpamitan. Kesadarannya baru
bangkit ketika sosok Iblis Pengisap Bunga hampir lenyap di kejauhan.
"Kisanak, tunggu...!" Bergegas perempuan itu berlari mengejar.
Iblis Pengisap Bunga menghentikan langkahnya tanpa memutar tubuh. Senyum
kemenangan terukir di bibirnya. Ia merasa yakin perempuan cantik itu telah
terjerat jaring-jaring perangkapnya.
"Ada apa lagi, Nisanak...?" Tanpa memutar tubuhnya, Iblis Pengisap Bunga
melanjutkan sandiwaranya. Ia mendengar perempuan itu berhenti di belakangnya.
"Ng... maafkan sikap dan kata-kataku yang mungkin telah menyinggung perasaanmu,
Kisanak," suara perempuan itu patah-patah dan agak gugup.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Nisanak," kilah Iblis Pengisap Bunga,
bijaksana. "Setiap orang mempunyai persoalan dalam hidupnya. Aku tahu kau tengah menghadapi
persoalan yang membuatmu bersikap demikian. Aku maklum. Dan, aku sama sekali
tidak tersinggung," Iblis Pengisap Bunga memutar tubuhnya, masih dengan gerakan
perlahan dan seperti tanpa gairah. Sandiwaranya terus berlanjut.
"Aku, Banowati, minta maaf yang sebesar-besarnya." Sambil memperkenalkan
namanya, Banowati memberi hormat kepada Iblis Pengisap Bunga. "Sekali lagi, aku
mengucapkan terima kasih atas kesediaan Kisanak menolongku...."
"Hhh...." Diiringi senyum getir, Iblis Pengisap Bunga menghempaskan napas berat.
"Kau terlalu berlebihan, Nisanak. Tapi, karena kau telah memperkenalkan nama,
rasanya tidak adil kalau aku tidak menyebutkan namaku. Kau boleh panggil aku
Pinggala," aku Iblis Pengisap Bunga, yang tentu saja tidak menyebutkan
julukannya. Senyum getir dan sikap Iblis Pengisap Bunga yang belum berubah, membuat Banowati
penasaran! Ingin ia mengetahui apa yang menyebabkan laki-laki setegap dan
setampan Pinggala sampai mengalami kedukaan demikian dalam" Begitu hebatkah
peristiwa yang dialaminya hingga membuat semangat hidupnya nyaris padam"
"Pinggala...," tanpa ragu-ragu, Banowati menyebut nama lelaki tegap itu. "Sikap
dan nada bicaramu membuat hatiku bertanya-tanya. Mmm... kalau boleh aku tahu,
apa sebenarnya yang terjadi dengan kehidupanmu?"
Pinggala atau Iblis Pengisap Bunga, lagi-lagi menghempaskan napas berat yang
berkepanjangan. Kepalanya ditengadahkan menatap langit sore yang bening. Setelah
menatap wajah Banowati sesaat, kakinya terayun lambat-lambat.
"Kalau kau merasa keberatan, jangan paksakan, Pinggala. Mengenang kepahitan yang
pernah kita alami, seperti membuka luka lama yang menyakitkan..." Melihat betapa
Pinggala sangat berat untuk memenuhi permintaannya, Banowati menarik kembali
kata-katanya. "Tapi, aku tidak ingin membuat kau penasaran, Banowati," Pinggala yang telah
duduk di atas sebuah batu di tepi sungai, menggeleng pelan.
"Jadi, kau tidak keberatan menceritakannya...?" Banowati menatap wajah pucat
Iblis Pengisap Bunga dengan penuh harap.
"Penderitaan bukanlah aib. Untuk apa kita menyembunyikannya..?" kilah Iblis
Pengisap Bunga. Meskipun sudah yakin Banowati telah terkena jeratnya, namun
Iblis Pengisap Bunga masih tetap melanjutkan sandiwaranya. Ini menunjukkan
betapa hati-hati dan sabarnya laki-laki itu. Tidak aneh kalau ia selalu berhasil
dalam memperdayai korban-korbannya.
*** Dengan diawali helaan napas panjang, Iblis Pengisap Bunga memulai kisahnya.
Suaranya demikian tenang. Sepasang mata redupnya terpejam sesaat ketika
menceritakan masa kecilnya yang penuh kepahitan. Betapa sejak kecil ia tidak
mengenal ayah dan ibunya. Hidup terlunta-lunta seperti gembel kelaparan.
Berpindah dari satu tempat ke tempat lain sambil mencari sesuap nasi dengan
menjual tenaganya. Sampai akhirnya ia dewasa dan menikah dengan seorang pelacur,
yang sengaja diangkatnya dari lembah nista dan menjadikannya seorang istri.
"Mungkin karena terlalu lama ia berada dalam lumpur yang dipenuhi kesenangan
hidup dan harta kotor itu, kesederhanaan yang kuberikan akhirnya dicampakkan. Ia
kembali menjadi pelacur tanpa bisa kucegah. Kami pun berpisah. Untuk melupakan
dirinya, aku memutuskan pergi mengembara ke mana saja kaki ini melangkah...."
Iblis Pengisap Bunga mengakhiri cerita dustanya.
Saking terharu dengan cerita sedih yang dipaparkan Pinggala, tanpa sadar
Banowati menggenggam erat tangan laki-laki itu. Seolah ia hendak memberi
kekuatan kepada Pinggala yang dianggapnya berhati rapuh.
"Ah.... Betapa bodohnya perempuan itu. Sukar dipercaya ada perempuan yang tega
meninggalkan lelaki sebaik dan sepandai engkau, Pinggala...," gumam Banowati
sanbil meremas telapak tangan Iblis Pengisap Bunga. Hidupnya sendiri mengalami
kemalangan yang hampir serupa dengan kisah Iblis Pengisap Bunga. Banowati
seperti menemukan teman senasib.
"Jangan terlalu mudah memberikan penilaian kepadaku, Banowati. Kau belum kenal
siapa aku. Kelak, kau pasti akan merubah pandanganmu dan membenarkan perbuatan
istriku itu...," ujar Pinggala sendu. Digenggamnya erat-erat tangan Banowati.
"Tidak, Pinggala," Banowati menggeleng. "Kau berbeda dengan kebanyakan laki-
laki. Biasanya, mereka akan memuji-muji dirinya, menceritakan kebaikan-kebaikan
dan menyembunyikan sifat-sifat buruk untuk menarik perhatianku. Tapi, kau tidak.
Kau justru memburuk-burukkan dirimu sendiri. Itu yang membuatku yakin kau seorang
laki-laki yang baik dan penuh tanggung jawab," lanjut Banowati. Tampaknya ia
menaruh kepercayaan penuh pada Pinggala.
"Kau baik sekali, Banowati," puji Iblis Pengisap Bunga. Ditatapnya wajah cantik
Banowati dengan mata bersinar. "Ah kalau saja...."
"Kalau saja apa, Pinggala..."! Mengapa kau tidak melanjutkan kata-katamu?"
"Ah, tidak. Sebaiknya lupakan saja...." Iblis Pengisap Bunga menundukkan kepala,
seolah takut Banowati dapat membaca pikirannya.
"Tapi aku ingin tahu, Pinggala!" Banowati menuntut. Tubuhnya digeser hingga
mereka duduk berhimpitan. Perempuan cantik itu sedikit pun tidak sadar kalau
dirinya telah semakin terperangkap jerat-jerat yang dipasang Iblis Pengisap
Bunga. "Kalau aku berterus terang, apakah kau tidak marah...?" Iblis Pengisap Bunga
berkata ragu-ragu.
Banowati tersenyum manis seraya menggeleng pasti. Tangannya masih
menggenggam jemari Iblis Pengisap Bunga. Bahkan semakin erat, dan mengalirkan
getaran-getaran benih cinta. Agaknya, Banowati mulai tertarik pada Iblis
Pengisap Bunga, yang menurut pandangannya seorang laki-laki jujur dan baik hati.
"Kalau saja... aku... dapat memilikimu, alangkah bahagianya hatiku...," Iblis
Pengisap Bunga menunduk sebentar. Lalu, mengangkat kepalanya dan menatap wajah
Banowati dengan harap-harap cemas. "Sayang...," Iblis Pengisap Bunga menggeleng
dengan wajah kecewa. "Melihat usia dan kecantikanmu, kau pasti sudah menjadi
milik orang lain...."
"Kau salah, Pinggala," tukas Banowati sambil menggeleng. "Dulu, aku memang
pernah menjadi milik orang. Tapi kematian telah memisahkan kami. Penyakit yang
menggerogotinya telah menyeretnya ke liang kubur...." Banowati menunduk. Dua
titik air mata meluncur turun tanpa dapat dicegah.
"Maafkan aku, Banowati...," sambil berkata demikian, Iblis Pengisap Bunga
mengulurkan tangannya menghapus air mata di wajah Banowati.
Banowati terisak. Ditangkapnya tangan Iblis Pengisap Bunga dan dilekatkan ke
wajahnya. Sepasang matanya terpejam rapat, seolah hendak merasakan belaian
tangan Iblis Pengisap Bunga. Banowati benar-benar telah masuk ke dalam perangkap
lelaki tampan itu.
"Sudahlah, Banowati...," hibur Iblis Pengisap Bunga. Ditariknya tubuh perempuan
itu ke dalam pelukannya. Dan, dibelainya rambut Banowati yang hitam. Iblis
Pengisap Bunga menahan napas ketika merasakan bau harum rambut Banowati yang
menyeruak rongga dadanya. Ditekannya keinginan untuk bertindak lebih jauh,
ketika gairahnya bangkit oleh kehangatan tubuh perempuan itu.
"Aku terlalu kotor untukmu, Pinggala...," terdengar keluhan Banowati. "Sebelum
menjadi istri orang yang juga guruku, aku telah diperkosa manusia-manusia
berhati binatang. Mereka adalah kakak-kakak seperguruanku. Karena kejadian
itulah maka guru mengambilku sebagai istrinya. Beliau ingin menghiburku.
Padahal, beliau sendiri mengalami guncangan hebat akibat perbuatan murid-
muridnya. Aku langsung menerima, karena tidak tega melihat guruku yang mulai
sakit-sakitan. Beliau akhirnya meninggal setelah beberapa bulan kami
menikah...." Tangis Banowati semakin menjadi. Air matanya membasahi pakaian
Iblis Pengisap Bunga.
"Bagiku, kau wanita tercantik dan terbaik, Banowati...," ujar Iblis Pengisap
Bunga. Dibelainya punggung perempuan itu. "Kau adalah pelita bagi hatiku yang gelap,
Banowati. Coba kau tengok sekelilingmu. Tangis dan kedukaanmu membuat cuaca menjadi redup.
Angin pun berhenti berbisik. Kicauan burung tidak terdengar, seolah seluruh alam
ikut merasakan penderitaan yang kau tanggung. Bangkitlah, Banowati.
Tersenyumlah. Biar langit kembali cerah. Biar kegelapan di hatimu sirna. Biar
angin kembali bertiup. Biar semua kembali hidup...."
Kata-kata manis Iblis Pengisap Bunga bagaikan siraman air segar pada kuncup
bunga yang layu. Banowati merasa dirinya terbang ke awang-awang. Begitu ringan
dan nikmat. Dadanya terasa lapang. Beban batin yang selama ini menghimpit
dadanya mendadak lenyap. Banowati bangkit. Perempuan itu tersenyum. Lalu,
dihirupnya udara segar banyak-banyak.
"Nah, begitulah semestinya, Banowati." Iblis Pengisap Bunga tersenyum lebar.
"Senyummu mendatangkan kesejukan bagi hati yang gersang. Binar matamu
mengalahkan cerahnya sinar sang mentari. Hingga, alam kembali cerah dan hidup. Ah.... Kau
cantik sekali, Banowati. Kau tak ubahnya seorang dewi yang lari meninggalkan
khayangan, dan jatuh ke dalam pelukan Pinggala, si malang yang beruntung."
"Kau pandai sekali merangkai kata-kata yang indah yang melambungkan hatiku,
Pinggala. Kau buat aku merasa berharga. Dan., ah..., aku tidak tahu harus
berkata apa lagi," ujar Banowati dengan wajah berseri-seri. Segar kemerahan.
Sepasang matanya berbinar menatap wajah tampan Iblis Pengisap Bunga yang tengah
tersenyum memandangnya.
"Kehadiranmulah yang telah membuatku bisa merangkai kata-kata itu, Banowati...,"
ujar Iblis Pengisap Bunga setengah berbisik. Tatapannya tetap tertuju pada wajah
cantik yang hanya terpisah satu jengkal dari wajahnya.
Kedua pasang mata mereka saling bertaut. Pancaran kasih pun semakin tumbuh
subur. Perlahan, entah siapa yang lebih dulu bergerak, keduanya saling
mendekatkan wajah. Deru napas saling berpacu dengan debaran jantung yang kian
bertalu-talu. Hingga, akhirnya mereka saling berangkulan dengan erat,
menumpahkan letupan-letupan gairah yang berbeda. Banowati menyerahkan dirinya
bulat-bulat karena terdorong rasa cinta.
Perempuan malang itu tidak sadar betapa cumbuan dan kehangatan yang diberikan
Pinggala cuma pelampiasan nafsu terkutuk. Semua itu tidak diketahuinya, karena
Iblis Pengisap Bunga sangat tahu bagaimana menaklukan hati perempuan.
*** Di tengah kebeningan pagi yang sejuk, Banowati menangis menyesali nasibnya yang
malang. Hatinya yang sudah patah, kini semakin hancur berantakan. Harapan-
harapan yang semula yakin telah digenggamnya erat-erat, tiba-tiba terenggut
begitu saja. Tanpa ia bisa mempertahankannya. Limpahan kasih sayang, cumbuan, dan kata-kata
manis Pinggala adalah kepalsuan yang terlambat disadarinya. Setelah kurang lebih
tujuh hari mereguk kesenangan darinya, Pinggala alias Iblis Pengisap Bunga,
tiba-tiba lenyap dari sisinya.
Kenyataan itu benar-benar menyakitkan Banowati. Jiwanya semakin terguncang.
Dunia terasa gelap. Alam seperti mengejek kebodohan dan kemalangannya. Banowati
menjadi putus asa. Ia tak ubahnya mayat hidup yang berjalan di atas permukaan
bumi. Tanpa perasaan, tanpa semangat, dan masa depan yang hitam kelam.
Dengan hati hancur dan air mata yang bagai tak berhenti mengalir, Banowati
berdiri tegak di bibir sebuah jurang yang menganga lebar. Sesekali terdengar
isakannya hingga kedua bahunya terguncang. Banowati telah mengambil keputusan


Pendekar Naga Putih 89 Orang Orang Terbuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk mengakhiri hidupnya. Tidak ada dendam dalam dadanya, ia sadar semua
kejadian itu adalah karena ketololannya. Meskipun ia merasa benci kepada
Pinggala, namun ia jauh lebih benci kepada dirinya sendiri. Begitu mudah dirinya
terjebak hingga dipermainkan orang sesuka hati.
"Kau benar-benar iblis biadab tak berhati, Pinggala...! Betapa bodohnya aku mau
saja percaya dan menyerahkan diriku kepadamu. Entah, apa dosa yang telah
kuperbuat sampai harus menanggung semua penderitaan ini...." Banowati merintih,
mengutuki dirinya sendiri.
Setelah beberapa saat kemudian, Banowati menengadahkan kepala menatap langit
pagi yang biru. Lalu, pandangannya ditujukan ke bawah, pada kegelapan mulut
jurang yang siap menerima tubuhnya.
"Maafkan kelemahanku, Guru...," desis perempuan cantik itu. Tatapannya kosong
menatap ke depan. "Aku sudah tak sanggup lagi hidup lebih lama...."
Banowati memejamkan matanya rapat-rapat, ia sudah siap terjun ke dalam jurang
yang tak terlihat dasarnya itu. Mendadak Banowati merasakan tubuhnya menjadi
kaku. Tak bisa digerakkan. Jangankan untuk melompat, menggerakkan ujung jari saja ia
tidak bisa. Yang dapat dilakukannya cuma membelalakkan mata. Itu saja!
4 "Aaah..."!"
Belum lagi keheranan hatinya lenyap, tiba-tiba Banowati merasakan tubuhnya
tersedot ke belakang. Demikian hebat tenaga sedotan itu, sehingga Banowati
terseret deras dengan telapak kaki mengambang satu jengkal di atas permukaan
tanah. Makin lama makin naik, hingga telapak kakinya berada setengah tombak dari
tanah. Tentu saja kejadian yang aneh itu membuat Banowati dilanda kengerian
hebat. Wajahnya pucat pasi dan keringat dingin keluar.
Seperti lupa dengan niat semula yang hendak mengakhiri hidup di dalam jurang,
Banowati menjerit ketakutan. Tengah ia menjerit-jerit, tenaga sedotan itu tiba-
tiba mendadak lenyap! Maka tanpa ampun lagi, tubuh Banowati pun meluncur jatuh
dengan derasnya.
Gubrakkk! Banowati menjerit kesakitan ketika tubuhnya terbanting dengan punggung lebih
dulu. Banowati meringis menahan sakit. Bagian pinggang pun serasa patah.
"Hak hak hak. Kerrr...!"
Suara tawa ganjil yang diakhiri ucapan seperti orang memanggil ayam
peliharaannya itu, membuat Banowati tersentak kaget! Banowati bergegas bangkit
dan melupakan rasa sakit pada tubuhnya. Kemudian, diputarnya tubuhnya. Suara
tawa ganjil itu berada persis di belakangnya.
"Aaah..."!"
Bagai tersengat kalajengking, Banowati menjerit dan terlompat mundur! Wajahnya
pias. Sepasang matanya terbelalak lebar, menyiratkan perasaan ngeri yang sangat.
Keadaan Banowati tak ubahnya seorang pengecut yang melihat hantu di siang
bolong. "Hak hak hak... Kerrr...!"
Lagi-lagi suara tawa ganjil dan lucu itu berkumandang. Kali ini bahkan lebih
panjang dan nyaring. Banowati harus menutup telinganya yang terasa seperti
ditusuk-tusuk. Sakit dan ngilu bukan main! Kendati demikian, matanya seolah tak
bisa lepas dari sosok yang tengah duduk bersila di depannya.
Sosok yang tengah tertawa itu seorang kakek bertubuh jangkung dan kurus. Tubuh
bagian atasnya sama sekali tidak tertutup pakaian, hingga tulang-tulang dadanya
tercetak nyata. Anehnya kendati tubuhnya kerempeng, namun wajahnya tampak gemuk
dan berwarna kemerahan. Kedua pipinya menggembung. Sepasang matanya terlihat
kecil, sipit, dan seperti selalu terpejam. Hingga yang tampak cuma berupa garis
saja. Begitu pula dengan hidungnya. Kecil dan pesek. Terjepit oleh kedua pipi
yang menggembung seperti balon. Mulutnya pun kecil dan meruncing ke depan,
seperti orang merengut. Waktu ia tertawa mulutnya tetap merengut. Hanya
kerongkongannya saja yang bergerak-gerak turun naik. Kepalanya hampir tidak
ditumbuhi rambut, kecuali pada bagian ubun-ubunnya. Itu pun cuma sekelompok dan
tercukur pendek. Semua keanehan itu masih ditambah lagi dengan kedua daun
telinganya yang sangat lebar dan tidak lumrah. Kira-kira selebar telapak tangan
laki-laki dewasa.
"Kalau kau cuma terkejut, aku masih maklum. Tapi, jangan sekali-kali merasa
takut kepadaku. Itu berarti suatu penghinaan besar. Dan, itu tidak bisa
kuampuni, tahu?"
Kakek yang tubuhnya juga terlihat ganjil, karena meski duduk bersila tapi
tingginya masih lebih sedikit dari Banowati itu, berkata sambil bergerak
bangkit. Banowati yang mendengar ucapan itu cuma bisa mengangguk-angguk. Ditahannya napas
ketika kakek itu berdiri dari duduknya. Banowati terpaksa menengadah. Tingginya
cuma sampai di dada kakek itu.
"Hak hak hak. Kerrr...! Kaget lagi, ya?" tegur kakek ganjil itu. "Ingat baik-
baik, hai Perempuan! Kaget boleh kaget, tapi jangan sampai takut. Sebab, itu
merupakan penghinaan besoooar. Aku bisa marah, tahu?"
Lagi-lagi, Banowati cuma bisa mengangguk-angguk. Ia menarik napas berulang-ulang
untuk menenteramkan jantungnya yang berdebar-debar. Banowati mencoba tersenyum.
Meski yang terlihat hanya sebuah seringai kengerian.
"Kau kaget, Perempuan?" Kakek ganjil itu bertanya dengan mata seperti terpejam.
Sehingga, Banowati ragu apakah kakek itu bisa melihatnya atau tidak.
Bonawati masih belum bisa mengeluarkan suara. Lidahnya terasa kelu dan
kerongkongannya kering. Banowati cuma menganggukkan kepalanya.
"Kau tak punya mulut"!" kali ini suara kakek ganjil itu menggelegar. Banowati
sampai berjingrak saking kagetnya.
"Pu... pu... nya!" Dengan susah payah, setelah meneguk air liur berkali-kali,
barulah Banowati bisa bersuara. Itu pun terdengar gugup dan patah-patah.
"Mengapa tidak menjawab, hah"!"
"Ak... aku masih bingung. Aku... aku betul-betul kaget..." Banowati menghela
napas lega ketika kata-katanya mengalir agak lancar.
"Jadi kau tidak takut kepadaku?"
"Tidak." Banowati menyahut mantap. Hatinya sudah lebih tenang, dan nada
pertanyaan kakek ganjil itu terdengar agak rendah, hingga keberanian Banowati
mulai timbul. "Benar kau tidak takut kepadaku"!" Kakek itu menegasi.
Banowati tentu saja kaget, ia tidak bisa buru-buru menjawab. Hatinya ragu. Dari
nada suaranya, kakek ganjil itu kelihatan marah.
"Hei, Perempuan! Apakah kau congek" Hayo, jawab pertanyaanku!"
Suara yang semakin menggelegar itu membuat Banowati menutup kedua
telinganya. Dari takut dan ngeri, Banowati menjadi jengkel, ia tidak mempunyai
kesalahan kepada kakek ganjil itu, mengapa kakek itu membentaknya terus-terusan"
"Hei, Laki-laki Tua, tinggi kurus seperti galah, kerempeng seperti tengkorak
hidup! Kau pikir kau siapa membentak-bentak orang seenaknya" Aku tidak sudi dibentak-
bentak seperti itu. Kalau mulutmu memang gatal dan ingin membentak-bentak,
carilah anak dan istrimu, atau siapa saja. Mereka boleh kau bentak-bentak
sepuasmu!"
Bahkan Banowati membuat kakek ganjil itu tertegun kebingungan. Mulutnya yang
runcing semakin merengut. Lalu tiba-tiba saja, tiada hujan tiada angin, kakek
itu menangis tersedu-sedu dengan sedihnya. Ia jatuh terduduk, dan menangis
menggerung-gerung sambil menggosok matanya dengan punggung tangan. Kedua kakinya
menggoser-goser di tanah, tak ubahnya seorang anak kecil. Disela tangisnya
terdengar kata-kata yang membingungkan Banowati.
"Ampun, Ibu. Ampun...!" kata-kata itu diucapkan berulang-ulang.
Tentu saja perubahan sikap kakek ganjil itu mencengangkan Banowati. Bingung dan
heran ia melihat watak kakek itu. Sebentar terlihat garang dan menyeramkan,
sebentar kemudian menangis seperti seorang bocah.
Keanehan watak kakek itu semula sempat membuat hati Banowati dicekam rasa cemas.
Bahkan, ia mulai beranggapan kakek itu tidak waras. Tapi, ketika teringat tenaga
penyedot yang menarik tubuhnya dan menggagalkan niatnya untuk bunuh diri,
kecemasan Banowati lenyap seketika. Timbul dugaan kalau kakek ganjil itu seorang
tokoh persilatan yang berkepandaian tinggi.
Banowati memang belum lama terjun ke dunia ramai. Pengalaman yang didapatnya pun
belum banyak. Tapi, dari cerita-cerita gurunya yang juga suaminya, Banowati
banyak mendengar tentang perangai tokoh-tokoh tingkat tinggi. Selain
berpenampilan aneh tidak seperti orang kebanyakan, mereka rata-rata berwatak
kurang beres. Suaminya sendiri tidak tahu mengapa bisa begitu.
Dugaan itu membuat Banowati tersenyum tipis. Penampilan dan watak kakek ganjil
ini menurutnya sangat cocok dengan gambaran suaminya tentang tokoh-tokoh tingkat
tinggi. Dan, ia mengharapkan dugaannya tidak keliru. Kalau benar kakek ganjil
itu seorang tokoh sakti, ia akan mempergunakannya untuk membalas semua dendam
dan sakit hatinya.
*** Perkiraan Banowati memang tidak meleset Kakek ganjil yang tengah menangis di
hadapannya itu adalah seorang tokoh sakti. Meskipun wataknya mendekati kegilaan,
namun kepandaiannya sangat tinggi. Boleh dibilang, jarang ada tokoh yang mampu
menandingi ketinggian ilmunya. Usianya sudah tua sekali. Kira-kira delapan puluh
tahun lebih. Tidak ada seorang pun yang tahu asal-usul dan nama asli kakek
ganjil itu. Ia sendiri lupa dengan semua itu. Orang-orang menyebutnya dengan
julukan Pertapa Muka Setan.
Julukan yang diberikan orang memang disesuaikan dengan penampilan dan cara hidup
kakek ganjil itu, yang sangat jarang menampakkan diri di dunia ramai. Sejak
muda, mungkin karena menyadari keburukan wajah dan perawakannya yang tidak
seperti orang kebanyakan, ia lebih suka bertapa di tempat-tempat terpencil. Itu
sebabnya ia dijuluki Pertapa Muka Setan.
Bagi Pertapa Muka Setan, dunia ramai adalah sumber malapetaka dan tempat segala
bentuk kesengsaraan. Kehadirannya hanya akan menjadi bahan ejekan orang.
Anak-anak kecil akan lari ketakutan melihat keburukan wajahnya. Itu merupakan
salah satu alasan mengapa Pertapa Muka Setan hampir tidak pernah mendekati
tempat-tempat ramai. Ia selalu berpindah dari satu tempat sunyi ke tempat sunyi
yang lain. Ia bertapa untuk menambah kekuatan batinnya, agar tidak terseret
bujukan-bujukan setan yang selalu menggoda.
Meskipun Pertapa Muka Setan memang telah lupa dengan asal-usulnya, namun tidak
seluruhnya benar. Ada peristiwa-peristiwa masa lalu yang tak pernah dapat
dilupakannya. Terutama tentang perkataan dan watak kedua orangtuanya. Sejak
masih kecil ayahnya selalu menekankan agar ia membunuh setiap orang yang takut
kepadanya. Karena itu mengingatkan akan keburukan wajahnya yang memang seperti muka setan.
Itu merupakan penghinaan yang tak terampuni.
Perkataan ayahnya yang hampir setiap hari dijejalkan kepadanya, tanpa sadar
telah terpatri erat di dalam ingatannya, meski ayahnya telah lama meninggal dan
ia sendiri telah menjadi seorang kakek-kakek pikun. Kendati ayahnya sangat keras
dalam mendidiknya, tapi Pertapa Muka Setan tahu betul ayahnya sangat sayang
kepadanya. Berbeda dengan ibunya. Sejak melihat anaknya terlahir dengan wajah buruk dan
mengerikan, ibunya tidak pernah sudi menyentuhnya. Apalagi mengasuh dan
menyusuinya. Ibunya sangat benci dan malu mempunyai putra yang memiliki wajah
seperti setan neraka. Pertapa Muka Setan tidak diakui sebagai putranya. Ibunya
tidak segan-segan memarahi dan memukulinya habis-habisan bila Pertapa Muka Setan
berani dekat-dekat dan memanggilnya ibu.
Bayangan ibunya yang selalu menunjukkan kebencian tertanam erat dalam benak
Pertapa Muka Setan. Walaupun ibunya telah tiada, bayangan masa kanak-kanak itu
tetap tidak bisa hilang. Sehingga, Pertapa Muka Setan paling takut bila dimarahi
perempuan. Dalam pandangannya perempuan itu adalah ibunya, yang kerap memarahi dan
memukulnya. Itu sebabnya Pertapa Muka Setan menangis sewaktu melihat Banowati
marah-marah kepadanya.
Cukup lama juga Banowati menunggu Pertapa Muka Setan menghentikan
tangisnya. Ketika kakek ganjil itu berhenti menangis dan memandangnya, Banowati
berusaha tersenyum semanis mungkin. Pada sepasang mata yang basah dan sipit itu,
Banowati menemukan gambaran ketakutan seorang bocah. Meskipun tidak tahu apa
penyebabnya, Banowati tidak ambil peduli. Yang penting baginya adalah bagaimana
cara ia dapat mendekati kakek ganjil itu, dan mengetahui sampai di mana
kepandaiannya. "Ibu.... Ibu tidak memukulku...?" Dengan ketololan seorang bocah, Pertapa Muka
Setan menatap Banowati takut-takut.
Sikap dan ucapan Pertapa Muka Setan mengejutkan Banowati. Tapi, perasaan itu
segera ditekannya. Ia tersenyum sambil menggelengkan kepala perlahan.
"Betul...?" Pertapa Muka Setan belum bisa percaya dengan senyum dan gelengan
kepala Banowati.
"Betul," tegas Banowati dengan lembut. "Aku tidak akan marah atau memukulmu
lagi. Sekarang bangunlah. Aku ingin bicara."
Dengan masih ragu-ragu Pertapa Muka Setan menuruti permintaan Banowati.
Tubuh jangkungnya menjulang di hadapan Banowati. Tapi, kali ini Pertapa Muka
Setan tidak berani mengeluarkan suara. Apalagi bersikap garang seperti semula,
ia berdiri dengan kepala tertunduk. Tak berani menentang pandang mata Banowati.
"Aku ingin melihat sampai di mana kemajuan ilmu silatmu. Gunakan seluruh
kepandaianmu untuk menghadapi serangan-seranganku. Anggaplah aku seorang musuh
berbahaya yang hendak membunuhmu. Nah, apakah kau sudah siap?" ujar Banowati
setelah mengambil jarak kira-kira satu tombak dari hadapan Pertapa Muka Setan.
Kemudian, tanpa memberi peringatan lagi, Banowati menyerang Pertapa Muka Setan
dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kecepatannya.
Whuttt...! Tercekat hati Banowati ketika tahu-tahu tubuh Pertapa Muka Setan telah lenyap
dari hadapannya, ia cuma merasakan adanya desiran angin dan tidak melihat kapan
kakek jangkung itu bergerak. Baru ketika terdengar suara tawa dari belakangnya,
tahulah Banowati kalau kakek jangkung itu telah menggunakan kecepatan geraknya
untuk menghindari serangan dengan melompati kepalanya.
"Hm.... Kecepatan gerakmu cukup bagus," puji Banowati yang merasa kagum bukan
main. Gerakan mengelak kakek itu tidak tertangkap penglihatannya. "Sekarang aku
ingin melihat kemajuan tenaga dalammu. Coba kau pukul batu besar itu dari
tempatmu berdiri." Banowati menunjuk sebuah batu sebesar gajah yang berada tiga
tombak dari Pertapa Muka Setan.
"Hak hak hak. Kerrr...!" Pertapa Muka Setan malah memperdengarkan tawa
ganjilnya. Pandangannya tidak beralih dari Banowati. Sikapnya kembali seperti
semula. Garang dan menyeramkan. Tentu saja Banowati kaget. Tatapan kakek itu membuat
Banowati seketika dicekam rasa ngeri.
"Rupanya kau hendak menguji kepandaianku, Perempuan! Apakah kau hendak mencuri
ilmuku"!" Pertanyaan dengan suara garang menggelegar itu menyadarkan Banowati
bahwa ingatan kakek ganjil itu sudah kembali seperti semula.
Banowati memang tidak tahu banyak tentang watak tokoh-tokoh persilatan.
Semula, Pertapa Muka Setan memang kehilangan kewarasannya karena bayangan masa
kanak-kanaknya, ia menuruti permintaan Banowati yang dianggap sebagai ibunya.
Tapi, Banowati telah melakukan kesalahan. Bagi tokoh seperti Pertapa Muka Setan,
ilmu silat adalah segalanya. Sehingga, begitu ia bergerak menggunakan
kepandaiannya, bayangan masa kanak-kanak itu lenyap seketika. Pertapa Muka Setan
telah kembali berpijak ke alam kenyataan. Mengeluarkan kepandaian berarti
membuat pikirannya bekerja. Ia kembali melihat Banowati seperti adanya. Gambaran
sosok ibunya kembali tenggelam. Bahkan, Pertapa Muka Setan tidak ingat betapa ia
tadi menangis. Tapi, Banowati sudah merasa telanjur. Ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Otaknya memang cerdik dan bisa menangkap dengan cepat apa penyebab Pertapa Muka
Setan tadi merasa takut dan mau menuruti permintaannya. Tapi untuk memarahi
kakek ganjil itu seperti tadi, sudah tidak ada kesempatan lagi. Pertapa Muka
Setan sudah keburu menggerak-gerakkan telapak tangannya. Kaget bukan main
Banowati ketika dari telapak tangan Pertapa Muka Setan menyambar gelombang angin
yang sangat kuat. Gelombang angin itu mengikuti gerakan telapak tangan Pertapa
Muka Setan. Banowati berusaha keras mempertahankan dirinya ketika merasa tubuhnya seperti
digoyang-goyangkan ke kiri-kanan. Padahal, Pertapa Muka Setan cuma menggoyang-
goyangkan telapak tangannya dari kejauhan. Tapi, akibat yang dialami Banowati
seolah kedua bahunya dicengkeram jari-jari tangan yang kuat dan mengguncang-
guncangkannya. Banowati benar-benar tidak habis pikir! Meski sudah mengalaminya sendiri, tapi
ia sungguh tidak tahu kalau itu hanyalah permainan tenaga dalam Pertapa Muka
Setan. Tidak sembarang tokoh bisa melakukannya. Permainan seperti itu hanya dapat
dilakukan tokoh-tokoh yang kepandaian tenaga dalamnya telah mencapai titik
sempurna. Melihat Banowati berusaha melepaskan diri, Pertapa Muka Setan tampak semakin
gembira. Tawa ganjilnya terus berkumandang. Pertapa Muka Setan meningkatkan
permainannya. Kali ini ia tidak hanya menggoyang-goyangkan telapak tangannya,
tapi menggerakkan lengannya ke kiri-kanan. Akibatnya, Banowati terlempar


Pendekar Naga Putih 89 Orang Orang Terbuang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terguling-guling, mengikuti ke mana lengan Pertapa Muka Setan bergerak.
Tinggallah Banowati yang menggelinding seperti bola, menjerit-jerit ketakutan.
Tapi, jeritan-jeritan itu justru membuat Pertapa Muka Setan tertawa kegirangan.
"Hentikan permainan gila itu...!" Tiba-tiba saja terdengar bentakan yang
menyertai berkelebatnya sesosok bayangan putih. Tanpa mempedulikan Pertapa Muka
Setan yang terlihat jengkel karena kesenangannya diganggu, sosok bayangan putih
itu melesat ke arah Banowati.
Tapi sebelum bayangan putih itu sempat menyelamatkan Banowati, tiba-tiba
tubuhnya yang tengah melayang di udara terhenti. Suatu kekuatan yang tak tampak
telah menahan gerakannya. Kekuatan itu kemudian membetot tubuhnya ke bawah.
"Heaahh...!"
Saat tubuhnya nyaris terbanting ke tanah, sosok bayangan putih membentak keras
sambil menggeliat. Agaknya ia berusaha membebaskan diri dari belenggu yang
melibat tubuhnya. Dan seiring dengan suara bentakannya, sosok bayangan putih
berjumpalitan beberapa kali di udara. Baru kemudian meluncur turun dengan
ringannya. "Hak hak hak. Kerrr...! Hebat... hebat...! Gerakan yang indah dan
mengangumkan...!" Perbuatan sosok bayangan putih itu membuat Pertapa Muka Setan
tertawa kegirangan. Ia melompat-lompat sambil bertepuk tangan. Kelihatannya ia
benar-benar gembira dengan perbuatan sosok bayangan putih yang berhasil
membebaskan diri dari belenggu tenaga dalamnya.
Sosok bayangan putih itu sendiri yang ternyata seorang pemuda berwajah tampan,
sedikit pun tidak mempedulikan pujian Pertapa Muka Setan. Begitu kedua kakinya
mendarat di tanah, tubuhnya langsung melesat ke arah Banowati. Disambarnya tubuh
perempuan yang tengah terduduk dengan wajah pucat dan napas tersengal-sengal itu.
Kemudian, diserahkan kepada seorang dara jelita berpakaian serba hijau yang baru
tiba di tempat itu.
"Jagalah perempuan ini. Periksa kalau-kalau ia terluka...," pesannya kepada dara
jelita berpakaian serba hijau. Setelah itu, baru ia bergerak menghampiri Pertapa
Muka Setan yang masih berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan.
5 "Aha! Pantas ilmu meringankan tubuhmu sangat bagus. Kiranya kau Pendekar Naga
Putih. Benar-benar suatu kebetulan yang sangat menyenangkan!" ujar Pertapa Muka
Setan. Tingkahnya yang kekanak-kanakan langsung dihentikan begitu melihat pemuda
tampan berjubah putih itu mendatanginya.
Kagum juga Pendekar Naga Putih dengan ketajaman mata kakek berwajah mengerikan
itu. Sebagai tokoh yang tingkatannya jauh lebih muda, Panji yang berjuluk
Pendekar Naga Putih segera memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangannya di
depan dada. "Terima kasih atas pujianmu, Pertapa Muka Setan," balas Panji dengan sopan, ia
langsung bisa menduga siapa kakek berwajah buruk mengerikan itu. Untuk
mengetahui jati diri kakek ganjil itu memang tidak terlalu sulit. Dengan melihat
wajah buruk yang mengerikan, serta perawakannya, orang akan langsung bisa
mereka-reka siapa tokoh itu.
"Hak hak hak... Kerrr...!" Pertapa Muka Setan memperdengarkan tawa ganjilnya.
Kakek ini tidak merasa heran Pendekar Naga Putih langsung bisa mengenalinya.
Malah, hatinya merasa bangga. Itu menunjukkan bahwa namanya masih dikenal di
kalangan persilatan.
"Pertapa Muka Setan," Panji berkata lagi ketika melihat Pertapa Muka Setan masih
saja tertawa. "Sebagai tokoh tua yang memiliki kedudukan tinggi, tidak
sepantasnya kau menghina orang muda. Terlebih seorang perempuan. Perbuatanmu
sungguh tidak terpuji.
Ini akan mencemarkan nama besarmu...."
"Op... op... op...!" Pertapa Muka Setan memotong ucapan Panji sambil menggoyang-
goyangkan telapak tangannya. "Katakan saja terus terang, apa sebenarnya tujuanmu
mengganggu kesenanganku, lalu memberikan ceramah yang tak sedap didengar itu?"
"Aku datang karena mendengar jeritan perempuan muda yang kau permainkan itu,
Pertapa Muka Setan. Demi kehormatan serta nama besarmu, kuharap kau mau
membiarkan aku dan kawanku membawa perempuan muda itu pergi dari tempat ini,"
pinta Panji. "Tidak bisa!" Pertapa Muka Setan membantah keras. "Heran. Apa perempuan montok
dan cantiknya seperti bidadari itu masih kurang memuaskan hatimu, Pendekar Naga
Putih" Atau karena mentang-mentang kau masih muda, gagah, dan berwajah tampan
lalu boleh berbuat sekehendak hatimu, menarik semua perempuan cantik ke dalam
pelukanmu" Serakah betul! Lalu, bagianku mana" Jelek-jelek begini dan biarpun
sudah kakek-kakek, aku masih sanggup meladeni kebinalan perempuan mana pun!
Kalau tidak percaya, boleh kau pinjamkan bidadari molekmu itu satu atau dua
malam. Kujamin ia pasti ketagihan tidak akan mau kembali lagi kepadamu, Pendekar
Naga Putih. Hak hak hak.... Kerrr...!"
Meskipun ucapan kasar dan tidak sopan itu membuat kulit wajah Panji memerah,
namun ia berusaha menekan kemarahan dalam dadanya. Kendati demikian, api
kemarahan itu terpancar jelas pada sorot matanya yang tajam berkilat.
Pendekar Naga Putih cukup maklum dengan sikap dan ucapan Pertapa Muka Setan.
Kakek itu memang bukan tokoh golongan putih. Tapi ia juga tidak sudi disebut
sebagai tokoh golongan hitam. Sikapnya angin-anginan. Kadang perbuatannya tak
berbeda dengan orang-orang golongan sesat. Tapi, juga tidak jarang ia memberikan
pertolongan sebagaimana layaknya tokoh-tokoh golongan putih.
Ketidaktetapan sikap Pertapa Muka Setan tentu saja mempunyai alasan yang kuat.
Ia tidak suka kepada golongan putih, yang menurut pandangannya merupakan
kumpulan orang-orang sombong yang sok benar dan bersih. Sedangkan kepada kaum
golongan hitam, Pertapa Muka Setan sangat benci. Mereka dianggapnya sebagai
manusia yang memiliki watak jauh lebih rendah daripada binatang buas.
Alasan-alasan itu membuat Pertapa Muka Setan tidak menempatkan dirinya ke dalam
golongan mana pun. Ia lebih suka sendiri. Bebas bertindak tanpa ada ikatan
peraturan. Tapi, tidak demikian dengan Kenanga. Ucapan kotor Pertapa Muka Setan yang
ditujukan kepadanya membuat para dara jelita ini marah. Ia tidak bisa membiarkan
dirinya dihina orang seenaknya.
"Seharusnya sebutan pertapa tidak pantas kau taruh di depan julukanmu. Tua
Bangka Sinting! Otak dan hatimu sama kotornya dengan comberan!" Kenanga
mengumpat Pedang Sinar Bulannya segera diloloskan. Begitu ucapannya selesai,
Kenanga melesat disertai ayunan pedang yang menebarkan hawa dingin.
"Hop!"
Tapi, ketika tubuh Kenanga bergerak dari tempatnya, Pertapa Muka Setan membentak
harus. Telapak tangannya didorongkan ke arah Kenanga.
Kaget bukan main dara jelita itu. Satu gelombang angin kuat menahan laju
tubuhnya. Sebelum ia sempat berbuat apa-apa, gelombang angin aneh itu melibat
tubuhnya, membuat Kenanga mengambang di udara! Kenyataan yang mengejutkan
sekaligus mengherankan itu membuat Kenanga pucat oleh cengkeraman rasa ngeri.
"Lepaskan gadis itu...!"
Panji yang melihat kehebatan ilmu aneh itu, segera melompat sambil mengirimkan
pukulan jarak jauh. Pertapa Muka Setan kelihatan terkejut. Sambaran gelombang
angin dingin yang sangat kuat mengancam dirinya. Ia tahu pukulan jarak jauh itu
tidak bisa dianggap remeh. Pertapa Muka Setan segera memutar lengannya menyambut
serangan Pendekar Naga Putih.
Breshhh...! Panji hampir tak percaya dengan penglihatannya. Gelombang angin pukulannya buyar
terhantam kekuatan berhawa panas yang keluar dari telapak tangan Pertapa Muka
Setan. Cepat ia melompat mundur, ketika gelombang angin pukulan kakek itu terus
meluncur ke arahnya.
"Hebat luar biasa kepandaian kakek itu...!" desis Panji terkagum-kagum. Padahal,
dalam pukulan jarak jauh itu Panji telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana
Memanah Burung Rajawali 7 Pendekar Buta Karya Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Terbang 5
^