Pencarian

Pasukan Pembunuh 1

Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Bagian 1


PASUKAN PEMBUNUH Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa bin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pasukan Pembunuh
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Kegelapan malam perlahan menyelimuti permu-
kaan bumi. Bintang-bintang tampak berkerlip jenaka, menghiasi langit kelam.
Rembulan juga muncul penuh, sehingga menambah semaraknya suasana malam. Se-milir
angin lembut yang mempermainkan dedaunan
pohon, sepertinya ingin ikut melengkapi indahnya malam.
"Bulan purnama kembali datang...," desis sosok tubuh terbungkus pakaian berwarna
putih. Dia menengadahkan kepalanya, menatap bulatan
gemerlap yang menggantung menghias langit. Sesaat
kemudian, kepalanya kembali merunduk. Kali ini tatapannya tertuju lurus ke
depan, seolah ingin menembus keremangan malam.
"Mengapa Guru kelihatan gelisah...?" tegur sosok lainnya.
Dia adalah seorang pemuda tampan, berusia seki-
tar dua puluh tahun. Sepasang matanya yang bulat
dan bersinar tajam, tampak mengawasi wajah laki-laki berpakaian putih di samping
kanannya. "Hm.... Pada waktu aku masih muda dulu, bulan
purnama biasanya menjadi perlambang adanya suatu
kejadian mengerikan. Entah mengapa, tiba-tiba saja
aku teringat peristiwa-peristiwa dulu...," ujar sosok berpakaian putih yang
dipanggil guru.
Dia ternyata seorang lelaki tua berusia sekitar lima puluh lima tahun. Sepasang
mata tuanya yang semula
menerawang jauh itu, berpaling sejenak. Ditatapnya
wajah pemuda tampan yang merupakan murid tung-
galnya. Terdengar helaan napas beratnya, sebelum wajahnya kembali berpaling
menatap kejauhan.
'Tapi..., bukankah malam bulan purnama kali ini
sangat indah, Guru" Rasanya aku belum bisa percaya
kalau malam yang indah ini adalah perlambang tidak baik" Bolehkah aku tahu
kejadian mengerikan semasa
Guru masih muda dulu...?" tanya pemuda tampan itu lagi dengan wajah ingin tahu.
"Hhh.... Peristiwa itu sudah lama berlalu, Praba.
Lagi pula, aku sudah tidak ingin mengingatnya. Tapi..., biarlah kali ini aku
akan menceritakannya padamu...,"
ujar orang tua itu lagi. Tatapannya masih saja tertuju pada keremangan malam,
menembus bayang-bayang
dedaunan pohon yang menari-nari ditiup angin.
"Ceritakanlah, Guru. Aku ingin sekali mendengarnya...," desak pemuda tampan yang
ternyata bernama Praba. Sepertinya, dia sudah tidak sabar melihat gurunya masih
saja bungkam disertai helaan napas be-
rat. "Beberapa belas tahun yang lalu, aku adalah orang yang berbahagia. Istriku
cantik dan penuh pengertian.
Saat itu, kami baru saja dikaruniai seorang putra yang tampan. Tapi..., siapa
sangka malapetaka itu tiba-tiba datang merenggutkan kebahagiaan kami. Dan...,
peristiwa itu tepat terjadi pada saat bulan purnama...."
Orang tua itu menghentikan ceritanya disertai tari-
kan napas berat. Keningnya tampak berkerut dalam,
seperti hendak mengingat semua kejadian yang telah
lama ingin dilupakannya itu.
Sementara Praba sama sekali tidak bersuara. Se-
pertinya gurunya sengaja dibiarkan untuk mengingat-
ingat kembali semua peristiwa itu.
"Saat itu, aku sedang berada di kebun yang letaknya cukup jauh dari tempat
tinggalku. Entah menga-
pa, hatiku merasa tidak enak dan gelisah. Maka, ku putuskan untuk pulang, karena
pikiranku selalu saja
tertuju pada anak dan istriku di rumah. Rupanya pe-
rasaanku tidak berlebihan. Begitu tiba di rumah, ternyata istriku tengah dinodai
seorang lelaki kasar. Sementara, kawannya tengah memegangi kaki anakku
dengan kepala di bawah. Bahkan di tangan kanan le-
laki itu tergenggam sebilah pedang terhunus...," tutur lelaki tua itu.
Kembali ceritanya terhenti. Wajahnya tampak ke-
lam, menyimpan kedukaan. Rupanya, ia tengah beru-
saha menenteramkan hatinya yang terguncang, terin-
gat peristiwa pahit masa lalunya.
"Maafkan aku. Guru. Biarlah cerita itu tidak perlu dilanjutkan. Itu sama saja
hanya akan membangkitkan luka lama di hati Guru...."
Praba yang rupanya menangkap adanya raut kese-
dihan di wajah gurunya, segera saja meminta maaf.
Langsung dicegahnya orang tua itu agar ceritanya tidak dilanjutkan.
'Tidak apa, Praba. Peristiwa itu telah lama berlalu.
Luka hatiku sudah sembuh, meskipun dendam di ha-
tiku belum lagi terlampiaskan," sergah lelaki tua itu mencoba tersenyum kepada
muridnya. Sementara Praba mencoba menafsirkan arti se-
nyum gurunya. Walau kelihatan penuh kelembutan,
tapi tetap seperti dipaksakan. Namun, Praba membalas senyuman itu dengan tatapan
penuh rasa terenyuh
mendengar cerita gurunya.
"Melihat kejadian itu, aku langsung mengambil keputusan untuk menyelamatkan
nyawa putra ku terle-
bih dahulu. Namun, ternyata orang itu memiliki keke-jaman melebihi iblis! Putra
ku yang baru berusia dua tahun itu dipenggal kepalanya, tanpa rasa kasihan
sedikit pun! Aku memang terlambat, dan hanya bisa
mengangkat mayat putra ku ketika lelaki itu melem-
parkannya. Meskipun begitu, aku melukai wajah pem-
bunuh putra ku itu dengan senjata yang telah terhunus. Kemudian, aku segera
menyelamatkan kehorma-
tan istriku. Tapi..., dia juga telah tewas akibat pukulan lelaki yang
menodainya. Bahkan, dadaku sempat terkena sambaran senjata manusia terkutuk
itu." Orang tua itu berhenti bercerita sebentar. Matanya
menatap ke atas, menerawang jauh pada kenangan-
kenangan pahitnya.
"Rasanya, saat itu langit di atas kepalaku runtuh!
Aku menjadi gelap mata. Dengan penuh kemarahan,
ku terjang lelaki terkutuk itu. Setelah bertarung sekian puluh jurus, aku
berhasil membabat putus lengan kirinya. Liciknya, tiba-tiba mereka menebarkan
bubuk beracun, hingga aku terpaksa melompat jauh ke bela-
kang. Dan kesempatan itu digunakan mereka, untuk
melarikan diri...."
"Lalu, apakah Guru tidak mencari kedua orang
manusia keparat itu untuk membalaskan kematian is-
tri serta putra Guru...?" tanya Praba yang amarahnya kontan bangkit, mendengar
cerita gurunya yang benar-benar menyedihkan.
'Tentu saja aku berusaha mencari kedua orang itu.
Sayang, usahaku sia-sia. Dan yang kutemukan hanya
dirimu, ketika kau kehilangan kedua orangtua mu saat terjadi bencana alam.
Akhirnya, aku menyepi di tempat ini dan mendidikmu sampai sekarang...," lelaki
tua itu mengakhiri ceritanya dengan sebuah tarikan napas
panjang. "Hm.... Siapakah manusia-manusia keparat itu,
Guru" Biarlah aku yang akan mencarinya untuk
membalaskan dendam itu...!" geram Praba sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
Sepasang mata pemuda tampan itu tampak menyiratkan api dendam
yang mulai membakar dadanya.
"Ha ha ha...! Tidak perlu bersusah-payah mencari kami, Bocah ingusan ..! Hei,
Tua Bangka Janala...!
Kami berdua datang untuk menagih hutang-
hutangmu...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa menggelegar me-
nyahuti tantangan Praba. Suara itu jelas dikirimkan melalui kekuatan tenaga
dalam yang tinggi, sehingga terdengar seperti dari empat penjuru.
Mendengar suara itu, lelaki tua yang ternyata ber-
nama Ki Janala segera bangkit dari bangku bambunya.
Sepasang matanya berputar ke sekeliling, mencari
sumber suara. "Hm.... Sepasang Tikus Bumi! Kalau kau memang
hendak menemui aku, mengapa tidak langsung ke-
luar" Untuk apa selama ini menyembunyikan diri, Ti-
kus-tikus Pengecut"! Bertahan-tahun aku mencarimu
yang ternyata mendekam dalam lubang mu! Mengapa
baru sekarang muncul..."!" seru Ki Janata sambil mengerahkan tenaga saktinya.
Hingga gema suaranya
terdengar sampai belasan tombak jauhnya.
Ki Janala dan Praba tidak perlu menunggu lama
untuk melihat si pengirim suara yang ternyata merupakan musuh lamanya. Dua sosok
bertubuh sedang
muncul dari kegelapan bayang-bayang pohon di sebe-
lah depan Ki Janala dan Praba. Mulut mereka mo-
nyong dengan kumis jarang. Kedua orang lelaki itulah yang berjuluk Sepasang
Tikus Bumi. Mereka kini melangkah lebar mendatangi Ki Janala dan Praba yang
sudah bersiap menghadapi pertarungan.
"Ha ha ha...! Kami bukan orang bodoh untuk me-
nyerahkan diri begitu saja kepadamu, Ki Janala. Sela-ma ini, kami memang
bersembunyi. Tapi, itu untuk
mengobati tanganku, sekaligus melatihnya secara
sempurna. Setelah itu, baru kami keluar untuk men-
carimu. Nah, sekarang mari kita selesaikan hutang-
hutang itu...!" tantang lelaki yang tubuhnya lebih tinggi sedikit ketimbang
kawannya. Rupanya bukan hanya Ki Janala saja yang me-
mendam dendam atas kematian istri dan putranya.
Kedua orang itu ternyata juga menyimpan dendam
atas kehilangan lengan dan cacat wajah akibat tindakan Ki Janala.
"Hm.... Sebenarnya aku sudah tidak bernafsu lagi untuk mencari kalian. Tapi
karena kalian sendiri yang datang, maka tidak ada salahnya kalau dendam itu ku
penuhi sekarang...," geram Ki Janala. Segera saja, pedangnya dicabut begitu
melihat lawan telah menghu-
nus senjata. "Guru, izinkanlah aku membantumu...," pinta Praba. Pemuda itu juga telah
menghunus senjata, dan
menatap penuh dendam kedua orang yang telah mem-
buat gurunya menderita. Tapi, Praba terpaksa harus
menelan kekecewaan ketika melihat gelengan kepala
gurunya. Jelas, orang tua itu tidak ingin melibatkan muridnya dalam persoalan
dendam lamanya.
"Menyingkirlah, Praba. Biar aku saja yang akan menyelesaikan persoalan ini...,"
ujar Ki Janala tanpa ingin dibantah lagi.
Dan Praba terpaksa menyingkir dari arena perta-
rungan yang segera akan berlangsung.
"He he he...!"
Sepasang Tikus Bumi hanya terkekeh mendengar
ucapan Ki Janala. Kedua tokoh sesat itu sudah me-
renggang, mengepung lawannya dari dua arah. Se-
dangkan Ki Janala sendiri telah memutar senjatanya
membentuk gulungan sinar putih yang bergerak me-
lindungi sekujur tubuhnya.
"Haaat..!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, orang tertua
dari Sepasang Tikus Bumi melesat cepat ke arah Ki
Janala. Tangan kirinya yang telah berupa lengan pal-su, menyambar dengan cakar-
cakar besi yang menye-
ramkan. Bettt! Bettt..!
Ki Janala menggeser kakinya ke samping sambil
mengibaskan senjatanya ke tubuh lawan. Namun, ge-
rakan orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi ternyata sangat gesit. Cakar bajanya
bergerak berputar, dan
langsung menyampok tebasan pedang Ki Janala.
Trakkk! Bentrokan keras itu membuat tubuh keduanya ter-
jajar mundur beberapa langkah. Dari sini bisa dibuktikan kalau kekuatan mereka
berimbang. Diam-diam, Ki
Janala terkejut juga melihat pesatnya kemajuan lawan.
Sepertinya, kedua tokoh sesat itu tidak sia-sia menyembunyikan diri dalam
menambah kesaktian. Dan
itu dapat dirasakan melalui bentrokan barusan.
Meskipun belum mengerahkan tenaga sepenuhnya, ta-
pi Ki Janala cukup sadar kalau lawannya benar-benar tidak bisa diremehkan lagi.
"Hm...."
Ki Janala menggeram gusar. Pedang di tangannya
bergerak menyilang, menimbulkan decitan angin ta-
jam. Seketika, tubuhnya merunduk saat orang termu-
da dari Sepasang Tikus Bumi menerjang dengan pe-
dangnya yang berbentuk arit. Maka, langsung dibalasnya serangan itu dengan tidak
kalah cepat. Tapi Ki Janala harus menunda serangannya, ketika
pada saat itu juga datang serangan lainnya dari lawan yang seorang lagi. Maka,
serangan orang tertua dari
Sepasang Tikus Bumi terpaksa dilayaninya. Kini, pertarungan pun berlangsung
semakin seru, ketika kedua orang tokoh sesat itu saling bantu dalam menggempur
Ki Janala. *** Praba duduk dengan wajah cemas menyaksikan
gurunya dikeroyok dua orang tokoh sesat itu. Pemuda tampan itu meremas-remas
jemari tangannya dengan
hati tegang. Kalau saja gurunya mengizinkan, rasanya saat itu juga ia sudah
terjun ke dalam kancah pertarungan. Tapi, perintah itu tidak berani dibantah,
kecuali kalau orang tua itu telah benar-benar dalam keadaan berbahaya. Dan kini,
ia hanya dapat mengikuti
jalannya pertempuran dengan hati tak karuan.
"Bangsat! Keparat tua Ini benar-benar alot..!"
Orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi itu tak
henti-hentinya menyumpah. Rupanya, ia merasa pena-
saran sekali setelah bertarung selama empat puluh jurus, ternyata lawannya masih
belum dapat didesak.
Kenyataan itu membuatnya menjadi jengkel!
Ki Janala sendiri pun merasa penasaran melihat


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketangguhan lawan-lawannya. Padahal, belasan tahun
yang lalu kedua orang tokoh sesat itu sama sekali bukan lawan yang pantas
diperhitungkan. Tapi sekarang, ia benar-benar dibuat kerepotan. Bahkan seluruh
kepandaiannya harus dikerahkan untuk menundukkan
kedua orang lawannya.
"Hiaaah...!"
Memasuki jurus yang kelima puluh, Ki Janala ce-
pat menggunakan kesempatan baiknya. Langsung di-
lontarkannya sebuah tendangan keras ke tubuh orang
termuda dari Sepasang Tikus Bumi!
Desss...! "Hugkhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung ter-
jengkang sejauh satu tombak ke belakang. Cepat-cepat orang tua itu mengayunkan
pedangnya, siap mengha-bisi riwayat lawan.
Whuuut... tranggg...!
Mata pedang Ki Janala yang siap menghunjam tu-
buh lawan, tiba-tiba tertahan oleh cakar orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi.
Namun, orang tua itu tidak menjadi kehilangan akal. Pedangnya segera diputar
sedemikian rupa, dan langsung menusuk ke arah lam-
bung orang tertua Sepasang Tikus Bumi.
Bukan main terkejutnya orang tertua dari Sepa-
sang Tikus Bumi. Sadar kalau kesempatan untuk
menghindar jelas sudah tidak mungkin, maka tokoh
sesat itu nekat mengadu nyawa! Cakar bajanya diputar ke luar, dan langsung
mengancam kepala lawannya.
Gerakan itu tentu saja sangat berbahaya dan memati-
kan. Ki Janala bukan tidak tahu akan maksud lawan.
Dan tentu saja ia tak sudi untuk mengadu nyawa den-
gan lawan. Maka kepalanya segera ditarik mundur
tanpa mengurangi tusukan pedangnya. Dan...
Cappp! Brettt! "Aaakh..."!"
Kedua tokoh itu sama-sama menjerit kaget! Mereka
satu sama lain terjajar mundur sejauh satu tombak.
Darah tampak mengucur dari luka di lambung orang
tertua Sepasang Tikus Bumi. Meskipun tusukan pe-
dang Ki Janala tidak mendatangkan kematian, namun
cukup membuatnya menderita luka.
Sedangkan Ki Janala sendiri juga tidak bisa me-
nyelamatkan tubuhnya dari sambaran cakar baja la-
wan. Meskipun kepalanya dapat selamat, namun ma-
sih juga harus menerima cakar baja lawan di pangkal lengan kirinya. Tampak
cairan merah merembes keluar dari luka di pangkal lengan yang terkoyak cukup
dalam. Luka yang terasa perih dan panas itu membuat
tubuh Ki Janala terjajar limbung. Sadarlah tokoh tua itu kalau senjata lawan
ternyata mengandung racun
ganas. Terbukti, lengan kirinya agak membengkak ka-
ku, dan sukar digerakkan.
"Guru...!"
Praba yang melihat tubuh gurunya terjajar limbung
sambil meringis kesakitan, segera saja berlari membu-ru. Pemuda itu tidak peduli
lagi bila gurunya akan marah nanti. Segera saja tubuh gurunya dipeluk.
"Praba, menyingkirlah! Aku tidak apa-apa. Biar ku tuntaskan kedua manusia
jahanam itu...!" ujar Ki Janala, tidak ingin melibatkan muridnya ke dalam per-
soalan itu. Kekerasan hatinya jelas tidak menguntungkan, ka-
rena keadaan tubuhnya terasa mulai melemah. Ru-
panya, racun itu semakin cepat menjalar ke seluruh tubuh Ki Janala.
"He he he..! Bergeraklah terus, Ki Janala. Dengan demikian, kematianmu akan
semakin cepat datang...,"
ejek orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi tergelak penuh kemenangan.
Ucapan itu jelas mengisyaratkan kalau racun aki-
bat cakar baja lawan akan semakin cepat menyebar,
apabila Ki Janala semakin banyak bergerak. Menden-
gar hal ini, tentu saja Ki Janala menjadi terkejut. Terpaksa langkahnya
dihentikan dengan wajah bingung.
"Hm.... Aku tidak takut mati, Tikus-tikus Kotor!
Sekarang, aku akan membawa kalian berdua ke akhi-
rat untuk mengantarkan arwahku...!" geram Ki Janala.
Setelah terdiam sesaat, Ki Janala segera mengambil
keputusan yang mengejutkan kedua orang lawannya.
Sedangkan Praba yang mendengar ucapan kedua
orang lawan gurunya, segera saja melolos senjatanya.
Sepertinya sudah tidak dipedulikan lagi perintah gurunya. Maka, langsung
diterjangnya Sepasang Tikus
Bumi yang sudah bergabung itu.
"Haaat..! Mampus kalian, Manusia-manusia Lak-
nat..!" bentak Praba sambil mengayunkan pedang sepenuh tenaga.
Melihat kecepatan dan angin pedang yang ditim-
bulkan, jelas kalau pemuda itu telah cukup matang
dalam meyakini ilmunya. Sehingga, Sepasang Tikus
Bumi tidak berani memandang remeh.
Trang! Trang! Orang termuda dari kedua tokoh sesat itu seper-
tinya merasa penasaran, ingin menjajal kekuatan tenaga dalam pemuda tampan itu.
Maka begitu samba-
ran pedang Praba datang, langsung dipapaknya sekuat tenaga. Akibatnya, tubuh
keduanya terdorong ke belakang.
Melihat betapa tubuh Praba agak terhuyung, jelas
kalau tenaganya masih kalah sedikit. Buktinya, lawan hanya terjajar beberapa
langkah, dengan kuda-kuda
tetap kokoh. Tahan, Adi...!"
Tiba-tiba, orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi
memegang bahu adiknya yang telah siap melanjutkan
pertarungan. Keduanya saling berpandangan sesaat.
Kemudian mereka mengangguk seperti mengambil ka-
ta sepakat. "Suiiit..!"
Tiba-tiba, orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi
mengeluarkan suitan nyaring bernada aneh. Di tan-
gannya, sudah terjepit sebuah benda kecil berbentuk pipih yang melekat di bibir.
Benda itu bisa mengeluarkan suara aneh dan tidak tetap.
Sementara itu, Ki Janala dan Praba hanya meman-
dang dengan wajah bingung melihat perbuatan lawan.
Dan beberapa saat kemudian, barulah mereka menger-
ti apa arti irama siulan aneh itu. Guru dan murid itu menjadi tegang ketika
mendengar suara gemerisik riuh dari sekelilingnya.
"Ahhh..."!"
Ki Janala dan Praba berseru kaget menyaksikan
makhluk-makhluk kecil dan besar datang dari segala
penjuru. Dan kini makhluk-makhluk itu mulai berde-
sak-desakan mengepung mereka. Rupanya, makhluk-
makhluk yang ternyata ratusan ekor tikus itulah yang barusan mendatangkan suara-
suara riuh-rendah ketika melewati pohon dan semak-semak ilalang.
*** 2 "Gila..."!" pekik Ki Janala. Laki-laki tua itu menjadi pias wajahnya ketika
melihat ratusan ekor tikus besar dan kecil tengah berdesak-desakan hendak
mengeroyok mereka berdua.
Sementara itu, Praba pun merasa jijik melihat ti-
kus-tikus yang berdatangan dari segala penjuru. Binatang-binatang kotor itu
tampak memandang marah ke
arahnya dan gurunya. Mata yang kecil dan mencorong
kemerahan, jelas merupakan pertanda kalau tikus-
tikus itu telah menjadi liar dan buas. Air liurnya tampak menetes-netes,
menimbulkan pemandangan yang
memualkan. Taring-taring yang kecil runcing dan berkilat, diperlihatkan sambil
memperdengarkan suara
mencicit bising.
"Rencah tubuh mereka...!"
Tiba-tiba orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi
memerintah dengan suara aneh menggeletar. Bagaikan
diberi aba-aba, ratusan ekor tikus itu bergerak saling mendahului untuk mengoyak
tubuh kedua korbannya.
"Haaat...!"
Praba seketika merasa bulu kuduknya meremang,
melihat ratusan ekor tikus meluruk ke arahnya. Maka segera dia berteriak sambil
mengibaskan pedang ke
sekeliling tubuhnya. Dan meskipun belasan ekor telah menjadi korban, namun
sepertinya tikus-tikus itu sa-ma sekali tidak gentar. Bahkan semakin bertambah
buas, ketika irama aneh dari benda pipih di mulut Sepasang Tikus Bumi kembali
mengalun turun-naik.
Tentu saja Praba semakin bertambah kewalahan
menghadapi serbuan binatang-binatang yang telah
semakin liar dan buas itu.
Demikian pula halnya Ki Janala. Lelaki tua itu
mengibaskan pedang ke kiri dan kanan dengan sisa-
sisa tenaganya. Gerakannya yang semakin melemah,
membuat beberapa ekor tikus mulai dapat mencapai
dan menggigit tubuhnya. Darah yang semakin banyak
mengalir, justru membuat binatang-binatang itu se-
makin kesetanan!
Namun, pada saat Ki Janala dan Praba merasa ka-
lau kematian sudah berada di ambang pintu, tiba-tiba terdengar lengkingan
panjang. Tak lama kemudian,
melayang dua sosok bayangan putih dan hijau, yang
langsung menghantamkan pukulan ke arah kawanan
tikus-tikus buas itu. Akibatnya, belasan ekor tikus terpental ke kiri dan kanan
dalam keadaan hancur.
Rupanya, kedua sosok bayangan yang baru tiba itu
memiliki kekuatan tenaga dalam yang tinggi.
"Hiaaa...!"
Kembali terdengar pekikan tinggi dari sosok bayan-
gan putih yang baru tiba. Kedua tangannya didorong-
kan ke depan, dan....
Blarrr...! Mengerikan sekali akibat yang ditimbulkannya. Pu-
luhan ekor tikus seketika berhamburan seiring leda-
kan keras yang membuat tanah berlubang sebesar ku-
bangan kerbau. "Gila...!"
Sepasang Tikus Bumi sama-sama terpekik kaget
melihat perubahan yang sama sekali tidak disangka.
Mata mereka terbelalak, menyaksikan hasil pukulan
dahsyat yang dilontarkan sosok berjubah putih tadi.
Sadarlah mereka kalau Ki Janala dan muridnya tadi
telah ditolong seorang tokoh sakti luar biasa!
Sementara itu, yang dilakukan sosok berpakaian
hijau pun tidak kalah mengejutkan. Kilatan sinar putih keperakan berkelebatan
kian kemari. Setiap kali sinar itu bergerak, selalu saja ada belasan ekor tikus
yang terpental dengan tubuh terbelah. Maka semakin ber-tambahlah rasa terkejut
kedua orang tokoh sesat itu.
Sepasang Tikus Bumi tidak bisa lagi mengendali-
kan tikus-tikusnya. Rupanya, binatang-binatang itu
pun memiliki rasa gentar juga terhadap dua pendekar muda yang baru datang itu.
Makhluk-makhluk itu terlihat menghentikan gerakannya, dan menyurut mun-
dur saling berdesak-desakan. Mata-mata yang menyala kemerahan, terlihat
menyiratkan kegentaran terhadap kedua orang lawannya.
Melihat kenyataan itu, Sepasang Tikus Bumi kem-
bali memperdengarkan irama aneh yang lebih memba-
wa pengaruh lagi. Sehingga, binatang-binatang menji-jikkan itu merasa resah dan
bingung. Dan kini, tanpa mempedulikan siulan majikannya, tikus-tikus buas itu
pun saling berlompatan lari!
"Keparat...!" maki kedua orang tokoh sesat itu, marah dan jengkel sambil
membanting-banting kaki ke
tanah. "Hm..., Sepasang Tikus Bumi. Rupanya kalian
kembali menyebar kejahatan di tempat ini...! Rasanya, cukup pantas kalau kalian
berdua sekarang kuberi
hukuman setimpal...," kata sosok berjubah panjang warna putih.
Sosok itu ternyata seorang pemuda tampan. Sinar
matanya tajam menggetarkan jantung, memancarkan
tingginya tenaga sakti yang dimilikinya.
"Pendekar Naga Putih..."!" desis orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi, ketika
mengenali sosok berjubah putih itu. Sekilas terlihat sinar kegentaran di
matanya. Bisa ditebak kalau kedua orang tokoh sesat itu menjadi ciut nyalinya
terhadap sosok yang ternyata
Pendekar Naga Putih.
"Benar! Dan aku akan segera mengakhiri petualangan kalian hari ini juga...,"
ancam Pendekar Naga Putih. Sorot matanya langsung menusuk ke wajah kedua
orang tokoh sesat itu. Seketika, Sepasang Tikus Bumi menyurut mundur tatkala
melihat pemuda itu melangkah maju perlahan.
'Tunggu...!' Orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi menjulur-
kan lengan kanannya mencegah Panji untuk maju. Se-
dangkan pemuda itu hanya bergumam perlahan.
Langkahnya juga segera dihentikan dalam jarak satu
tombak dari kedua tokoh sesat itu.
"Apakah kau mempunyai permintaan terakhir, se-
belum kukirim ke akhirat...?" tanya Panji, tenang dan datar nada suaranya.
"Pendekar Naga Putih! Kalau kau benar-benar jantan, kami menantangmu bertarung
tanpa bantuan orang lain! Kami akan menunggumu di luar hutan
ini...!" tantang orang tertua dari Sepasang Tikus Bumi.
Jelas-jelas, dia hendak membuat siasat licik.
Panji sendiri hanya tersenyum mendengar tantan-
gan lawannya. Pemuda tampan itu menoleh sejenak ke
belakang, ketika mendengar suara langkah mengham-
pirinya. "Kakang! Untuk apa meladeni omong kosong dan
siasat licik mereka" Sebaiknya ringkus saja mereka
sekarang! Kita tidak perlu lagi menerima segala macam tantangan yang hanya
siasat busuk mereka," ujar data jelita berpakaian hijau yang memang Kenanga.
Dara jelita itu tak lepas menatap wajah kekasih-
nya. Pandangannya segera dilemparkan ke arah Sepa-
sang Tikus Bumi, yang menjadi pucat ketika menden-
gar ucapannya tadi. Rupanya, gadis jelita itu baru datang menghampiri begitu
mendengar tantangan Sepa-
sang Tikus Bumi yang ditujukan kepada Panji. Mala-
han, Ki Janala langsung ditinggalkan setelah luka akibat racun Sepasang Tikus
Bumi diobati. "Hm.... Siapa bilang aku akan meladeni tantangan kedua orang manusia tikus itu,
Kenanga" Jangan
khawatir, mereka tidak akan kulepaskan kali ini.
Orang-orang kejam seperti mereka, harus segera dikirim ke neraka, agar tidak
menimbulkan malapetaka la-gi di atas muka bumi ini...," sergah Panji.
Pendekar Naga Putih memang tidak ingin mele-


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

paskan kedua orang tokoh sesat itu. Apalagi, dia telah banyak mendengar tentang
kejahatan Sepasang Tikus
Bumi selama dalam pengembaraan. Maka, tentu saja
pertemuan itu tidak akan disia-sia-kan begitu saja.
Ucapan Panji itu tentu saja membuat Sepasang Ti-
kus Bumi menjadi pucat. Mereka melangkah mundur
ketika melihat Pendekar Naga Putih bergerak maju.
Kemudian tanpa mempedulikan rasa malu, keduanya
langsung saja berbalik dan kabur.
"Hm...."
Panji hanya bergumam melihat perbuatan kedua
orang tokoh sesat itu. Kedua kakinya langsung saja
menjejak tanah, sehingga tubuhnya langsung me-
layang ke depan mengejar lawannya.
*** Jleg! "Hahhh..."!"
Sepasang Tikus Bumi terbelalak pucat ketika tahu-
tahu saja sosok tubuh berjubah putih telah mendarat dan berdiri membelakangi,
setengah tombak di depan
mereka. "Keparat! Haaat..!"
Dengan kemarahan yang amat sangat, Sepasang
Tikus Bumi menerjang. Kini mereka harus melupakan
rasa takutnya, karena sadar kalau untuk melepaskan
diri dari pendekar kosen itu memang jelas mustahil.
Maka, diambillah keputusan untuk menerjang maju.
Bettt! Whuttt...!
Kilatan sinar pedang dan cakar baja itu bergerak
menyambar saling mendahului. Namun, sasaran me-
reka ternyata telah lenyap. Sepasang Tikus Bumi
hanya sempat melihat kelebatan sinar putih yang me-
layang di atas kepala mereka. Dan, serangan mereka
hanya mengenai angin kosong.
"Kalian mencari siapa...?" tegur suara di belakang
Sepasang Tikus Bumi.
Seketika wajah kedua orang tokoh sesat itu sema-
kin pucat! Cepat-cepat mereka berbalik dan kembali
melancarkan serangan tanpa menoleh lebih dulu.
Dan.... "Hahhh..."!"
Untuk kedua kalinya, senjata mereka hanya men-
genai angin kosong! Kedua orang tokoh sesat itu hanya celingukan mencari
lawannya yang kembali telah lenyap, tanpa sempat melihat gerakannya.
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Mengapa kau hanya bisa menghilang bagai orang
pengecut" Ayo, lawan kami...!"
Rasa gentar, marah, jengkel, dan penasaran, mem-
buat Sepasang Tikus Bumi memaki kalap. Mereka
mencari-cari sosok pemuda tampan berjubah putih itu yang kali ini benar-benar
lenyap entah ke mana.
"Aku di sini, Kisanak...." Terdengar sebuah suara di belakang kedua orang tokoh
sesat itu. Seketika Sepasang Tikus Bumi berbalik. Dan lagi-lagi mereka hanya
menemukan tempat kosong tanpa terlihat sosok yang
tengah dicari. "Aku di belakangmu...." Kembali terdengar suara Panji. Sepertinya, Pendekar Naga
Putih memang sengaja hendak mempermainkan lawannya. Hal ini sengaja
dilakukan, agar Sepasang Tikus Bumi dapat mengala-
mi bagaimana rasanya menderita ketakutan dalam
menghadapi kematian. Memang, kedua orang tokoh
sesat itu biasanya menganggap rasa takut korban me-
reka sebagai suatu kenikmatan tersendiri.
Tapi, kali ini Sepasang Tikus Bumi sama sekali ti-
dak menoleh. Mereka langsung saja melesat mening-
galkan tempat itu. Jelas, maksud mereka hendak me-
larikan diri. "Hm.... Ke mana pun kalian pergi, jangan harap bi-sa lepas dari tanganku...,"
ancam Panji. Pemuda itu hanya menatap kepergian Sepasang Tikus Bumi yang
kelihatan semakin menjauh.
Sepasang Tikus Bumi sama sekali tidak mempedu-
likan ucapan lawannya. Lari mereka terus dipercepat dengan mengerahkan seluruh
kekuatan ilmu meringankan tubuh. Sehingga, sebentar saja mereka telah berada di
mulut hutan. "Ahhh..."!"
Ketika hampir mencapai bibir hutan, langkah ke-
dua orang tokoh sesat itu jadi tertahan. Mereka kontan berseru dengan wajah
pucat, begitu di depan tampak
sosok bertubuh sedang, mengenakan jubah panjang
berwarna putih, telah berdiri menanti. Tentu saja keduanya menjadi ketakutan
setengah mati, karena so-
sok tubuh itu tak lain dari Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih!
"Hm.... Sudah kukatakan sejak semula, kalian tidak akan terlepas dari tanganku.
Nan, sekarang ber-
siaplah menerima kematian," desis Panji seraya berbalik ke arah Sepasang Tikus
Bumi. "Haaat..!"
Tanpa banyak bicara lagi, Sepasang Tikus Bumi
langsung bergerak menerjang Pendekar Naga Putih.
Namun, kali ini Panji tidak lagi berniat main-main. Cepat tubuhnya melesat,
menyambut serangan kedua
orang lawannya.
Plak! Plak! "Akh...!"
Sepasang Tikus Bumi berteriak tertahan ketika se-
rangan mereka dipapak pemuda itu. Tanpa ampun la-
gi, tubuh kedua orang tokoh sesat itu terpelanting.
Dengan gerakan cepat, mereka bergegas bangkit berdi-
ri. Dan sebelum mereka sempat menyerang kembali,
Panji kembali melayang dengan tamparan-tamparan
keras yang menimbulkan deru angin dingin menusuk
tulang! Akibatnya, Sepasang Tikus Bumi menjadi sa-
dar akan datangnya bahaya. Cepat mereka melempar tubuh ke belakang, dan terus
bergulingan menjauhi
tempat itu. "Heaaah...!"
Namun, kecepatan gerak kedua orang tokoh sesat
itu tentu saja tidak mampu menandingi Pendekar Naga Putih. Maka, tidak heran
ketika Sepasang Tikus Bumi melenting bangkit, Panji telah berada dekat dengan
kedua orang lawannya, dan langsung melontarkan
tamparan keras.
Plak! Plak! "Hugkhhh...!"
Karuan saja tubuh Sepasang Tikus Bumi terpelant-
ing ketika tamparan Panji mendarat di wajah mereka.
Darah segar tampak mengalir dari sudut bibir mereka.
Meskipun tamparan itu tidak mematikan, namun
mampu membuat Sepasang Tikus Bumi harus mende-
rita luka dalam yang parah.
"Hm.... Sekarang, terimalah kematian kalian dengan ikhlas...," desis Panji,
seraya mengirimkan tamparan maut ke kepala kedua orang lawannya.
"Haaat..!"
Pada saat kematian sudah di ambang pintu bagi
Sepasang Tikus Bumi, tiba-tiba terdengar teriakan
nyaring yang disusul melesatnya sesosok bayangan
merah ke tengah arena pertempuran. Sayangnya, ge-
rakan sosok bayangan merah itu masih kalah cepat
dibanding gerakan Pendekar Naga Putih. Sehingga,
tamparan pemuda tampan berjubah putih itu tetap
mengenai sasaran.
Prakkk! Prakkk!
Tanpa ampun lagi, kepala Sepasang Tikus Bumi
langsung berderak keras ketika bertemu telapak tan-
gan Panji yang mengandung 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan'. Tubuh kedua tokoh sesat itu kontan ambruk
ke tanah dengan kepala pecah!
"Bedebah kau, Pendekar Naga Putih...!" pekik sosok bayangan merah yang segera
saja memutar gerakannya, menerjang Pendekar Naga Putih!
Dukkk! Dukkk... Plak...!
Terdengar suara benturan keras berturut-turut ke-
tika dua pasang lengan saling bertemu di udara. Akibatnya, sosok bayangan merah
itu terpental balik. Namun, ia bisa menarik napas lega, setelah mendarat
ringan di atas tanah.
"Hm...."
Panji sendiri terdengar menggeram gusar. Tubuh-
nya pun sempat terdorong akibat benturan keras tadi.
Memang, Panji tadi tidak mengerahkan tenaga sepe-
nuhnya. Sebaliknya, sosok bayangan merah itu seperti telah mengetahui
kelihaiannya. Sehingga, tenaga dalamnya dikerahkan sekuatnya ketika pukulan
mereka saling berbenturan.
"Raja Iblis Jubah Merah..."!" desis Panji dengan kening berkerut ketika
mengenali sosok berpakaian
merah itu. Ada kilatan penasaran dalam tatapan mata Panji.
"Hm.... Kau kembali menanamkan bibit permusu-
han denganku, Pendekar Naga Putih. Kedua orang
yang telah kau bunuh itu adalah muridku. Maka kau
harus menebusnya dengan nyawamu...'" desis Raja Iblis Jubah Merah, murka. Jelas
sekali kalau sepasang mata tokoh sesat itu menyimpan dendam yang dalam
kepada Pendekar Naga Putih.
Raja Iblis Jubah Merah adalah salah seorang datuk
sesat berkepandaian tinggi. Tentu saja Panji telah cukup mengenai lelaki pendek
gemuk berjubah merah
itu. Demikian pula tentang kesaktiannya. Dan mereka memang pernah bertemu ketika
Panji menyelamatkan
takhta Kerajaan Mulawarta dari ancaman Malaikat
Gerbang Neraka, yang hendak merebut negeri itu (Bagi yang ingin mengetahui asal-
usul Raja Iblis Jubah Merah, silakan mengikuti episode "Malaikat Gerbang Neraka"
dan "Rahasia Pedang Naga Langit").
Kemunculan Raja Iblis Jubah Merah ternyata tidak
hanya seorang diri. Karena tak lama kemudian, berturut-turut muncul datuk-datuk
sesat lain yang juga
pernah terlibat dalam pemberontakan bersama Malai-
kat Gerbang Neraka. Dan para datuk sesat itu pergi
menyelamatkan diri, setelah melihat kegagalan usaha Malaikat Gerbang Neraka.
Tentu saja kemunculan para datuk sesat itu membuat Panji bergerak mundur, dan
siap menghadapi pertarungan.
"Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan...
Kuntilanak Bukit Mandau...?" desis Panji mengenali ketiga orang datuk sesat yang
tahu-tahu saja telah
berkumpul, seperti tengah mempunyai suatu rencana.
"Hm..., kemunculan mereka pasti akan menda-
tangkan bencana bagi dunia persilatan...."
"He he he.... Kau masih mengenali kami rupanya, Pendekar Naga Putih" Kau tentu
terkejut melihat kami dapat muncul bersama-sama, bukan?" tegur seorang lelaki
tinggi besar berwajah kelimis. Dia mengenakan pakaian seperti seorang senapati.
Tokoh itulah yang berjuluk Datuk Panglima Sesat. Seperti biasanya, tokoh
menggiriskan itu selalu ditemani selusin laki-laki gagah berpakaian prajurit.
"Hm.... Tentu saja aku masih mengenali kalian,
Pemberontak-pemberontak Hina! Dan kewajibanku
adalah membekuk kalian agar negeri ini menjadi aman dari gangguan penjahat-
penjahat keji macam kalian!"
sahut Panji tanpa rasa gentar sedikit pun.
Walaupun Pendekar Naga Putih pernah bertarung
dan dikeroyok datuk-datuk sesat itu, tapi sama sekali tidak merasa gentar.
Bahkan, ia ingin menebus keka-lahannya beberapa waktu yang lalu.
"He he he.... Bocah itu ternyata masih tetap saja sombong! Ia benar-benar patut
diberi pelajaran seperti tempo hari, agar tidak sesumbar lagi...,"
Terdengar suara melengking tinggi, yang berasal
dari Kuntilanak Bukit Mandau. Nenek berpakaian ser-
ba hijau itu melangkah sambil menudingkan tongkat-
nya ke wajah Panji.
"Kakang...!"
Tiba-tiba perdebatan itu terhenti ketika terdengar
seruan halus, yang disusul munculnya sosok ramping
berpakaian serba hijau. Dara jelita itu adalah Kenanga yang menyusul Panji
dengan meninggalkan Ki Janala
serta Praba, setelah yakin kalau kedua orang itu tidak mendapatkan luka yang
mengkhawatirkan. Kini Kenanga menatap tajam keempat sosok tubuh itu, sambil
mencekal lengan kekasihnya.
"Kakang. Bukankah mereka...."
Kenanga tidak melanjutkan kata-katanya ketika
melihat anggukan kepala Panji. Dara jelita itu menjadi terkejut bukan main,
karena kali ini yang dihadapi
adalah datuk-datuk sesat dan empat penjuru. Tentu
saja hatinya menjadi tegang.
Sementara itu, Kuntilanak Bukit Mandau melang-
kah mundur ketika melihat kemunculan dara jelita
berpakaian serba hijau ini. Rupanya, nenek itu pun
dapat mengenali Kenanga, dan tahu sampai di mana
kesaktiannya. Maka, tentu saja ia tidak berani gegabah untuk langsung turun
tangan, begitu mengingat kemunculan dara jelita yang pernah membuat geger den-
gan julukan Bidadari Iblis itu. Dan tentu saja, dengan kemunculan kekasihnya,
membuat Panji semakin bertambah kuat. Alasan itulah yang membuat Kuntilanak
Bukit Mandau terpaksa surut ke belakang, dan me-
mandang rekan-rekannya meminta pendapat.
"Kita hajar saja mereka sekarang, Kakang. Lalu, ki-ta serahkan ke Istana
Mulawarta...," bisik Kenanga tanpa melepaskan tatapan matanya dari keempat sosok
datuk sesat itu.
'Tenanglah, Kenanga. Kita tunggu dulu apa ke-
mauan mereka...," bisik Panji dengan sikap tenang.
Kenanga terpaksa bungkam, dan menyerahkan kepu-
tusan kepada kekasihnya.
*** 3 Panji dan Kenanga menggeser langkahnya ketika
melihat keempat datuk itu bergerak merenggang.
Menghadapi tokoh-tokoh sakti seperti mereka, Pende-
kar Naga Putih tidak ingin gegabah. Maka, langsung
saja 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan-nya dikerahkan,
siap dipergunakan sewaktu-waktu.
Kenanga sendiri sudah menghunus Pedang Sinar
Rembulan. Dara jelita itu pun sadar, yang kali ini dihadapi bukanlah tokoh-tokoh
sembarangan. Oleh ka-
rena itu, senjatanya telah disiapkan dalam menghada-pi serbuan lawan-lawannya.
"Hm...."
Raja Iblis Jubah Merah yang menaruh dendam
atas kematian kedua orang muridnya, menggeram gu-
sar. Datuk sesat yang mengepalai tokoh-tokoh sesat
wilayah selatan itu, melangkah berputar mendekati
Pendekar Naga Putih dan Kenanga. Dari sorot matanya yang tajam, dapat ditebak
kalau kematian Panji sangat diinginkannya.


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Demikian pula halnya Kuntilanak Bukit Mandau.
Nenek bungkuk udang yang menjadi pimpinan tokoh
sesat di wilayah utara itu juga bergerak dari sebelah kanan Pendekar Naga Putih.
Tongkat hitam di tangannya sudah diputar, membentuk gulungan sinar hitam
yang menimbulkan angin menderu-deru. Daun dan re-
rumputan kering seketika beterbangan akibat putaran angin yang ditimbulkan
tongkat hitamnya. Hal itu
membuktikan, kekuatan tenaga dalam Kuntilanak Bu-
kit Mandau tidak bisa diremehkan.
Memedi Karang Api dan Datuk Panglima Sesat pun
tidak mau ketinggalan. Kedua tokoh puncak golongan
sesat di wilayah timur dan barat itu sama-sama bergerak dari arah berlawanan,
mengepung Panji dan Ke-
nanga. Tampaknya, pertarungan dahsyat akan segera
terjadi. "Yeaaat...!"
Dengan sebuah pekikan parau, tubuh cebol Raja
Iblis Jubah Merah melayang dengan cengkeraman
mautnya yang menyambar-nyambar.
Wuttt! Wuttt! Panji yang membelakangi Kenanga, langsung saja
memiringkan tubuhnya pada saat serangan lawan da-
tang. Kemudian, disertai 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya, serangan itu dibalas dengan
terjangan yang tidak kalah cepat dan ganasnya.
Sebentar saja, angin dingin telah berhembus seir-
ing sambaran cakar naga Pendekar Naga Putih. Dan
tentu saja Raja Iblis Jubah Merah tidak berani menga-du kekuatan secara
langsung. Karena disadari tenaga sakti lawannya masih sangat tinggi. Maka cepat-
cepat tubuhnya bergeser dengan lompatan pendek sambil
mengirimkan tendangan kilat ke arah lambung Pende-
kar Naga Putih.
Pada saat yang bersamaan, Kuntilanak Bukit Man-
dau pun telah datang dengan serangan tongkatnya.
Hembusan angin keras menderu-deru, membuat Panji
sadar akan bahaya dari belakangnya. Dan untuk
menghadapi dua serangan sekaligus, tubuhnya segera
melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. La-lu, sepasang telapak
tangannya cepat didorong ke bawah, ke arah Raja Iblis Jubah Merah yang berada di
bawahnya. Whusss...! Tentu saja pukulan jarak jauh Pendekar Naga Pu-
tih sangat berbahaya! Raja Iblis Jubah Merah sadar
betul akan bahaya maut itu. Maka segera saja dia bergulingan sambil menyambut
serangan dengan kibasan
tangan kanannya.
Bresssh! "Aihhh..."!"
Akibat pertemuan dua gelombang tenaga sakti itu,
Raja Iblis Jubah Merah tidak bisa menahan pekikan.
Tubuhnya yang cebol dan gemuk itu kontan mengge-
linding bagai bola, menjauhi arena pertempuran. Jelas, tokoh cebol itu merasa
terkejut ketika lengannya terasa bagai lumpuh setelah berbenturan dengan
sepasang telapak tangan Pendekar Naga Putih.
Bettt..! Tiba-tiba sambaran angin tajam mengaung, datang
mengiringi hantaman tongkat hitam Kuntilanak Bukit
Mandau. Panji cepat mengegoskan tubuhnya ke samp-
ing, seraya mengulurkan tangannya hendak menghan-
curkan tongkat di tangan lawan. Namun, nenek itu
ternyata sangat cerdik dalam memperhitungkan seran-
gannya. Sebelum tercengkeram cakar naga Panji,
tongkatnya sudah diputar setengah lingkaran. Bahkan langsung mengancam kepala
lawan. Tapi, yang kali ini dihadapi Kuntilanak Bukit Man-
dau adalah seorang pemuda yang telah di-gembleng
oleh pengalaman-pengalaman mengerikan. Sehingga
tidak heran kalau sabetan tongkat yang mampu meng-
hancurkan batu karang sebesar kerbau itu mampu di-
elakkan dengan memutar tubuhnya menggunakan te-
naga pinggang. Lalu, Panji berbalik memutar kakinya, menyapu kuda-kuda lawan.
Breeet..! Sapuan kaki Panji ternyata hanya menyambar re-
rumputan kering, karena tubuh Kuntilanak Bukit
Mandau telah berputaran melompat ke udara. Kesem-
patan baik itu tidak disia-siakan Panji. Cepat tubuhnya melesat ke arah
pertempuran. Kenanga yang ha-
rus menghadapi keroyokan dua orang datuk sesat
lainnya. Melihat kekasihnya telah terdesak hebat, Pendekar Naga Putih langsung
terjun dan menerjang salah seorang dari pengeroyok.
Plak! Plak! "Aihhh...!"
Lelaki tinggi besar berpakaian senapati yang tak
lain dari Datuk Panglima Sesat, memekik ketika dua
buah pukulannya yang hampir dipastikan akan mero-
bohkan Kenanga, terpental balik akibat papakan Pen-
dekar Naga Putih. Bahkan lelaki tinggi besar itu terhuyung limbung beberapa
langkah ke belakang, kare-
na Panji mengerahkan seluruh kekuatan tenaganya.
Kenanga yang saat itu telah merasa lelah mengha-
dapi dua orang lawan, sempat menarik napas lega.
Meskipun saat itu ia masih harus menyelamatkan diri dari gempuran Memedi Karang
Api yang mencecarnya
dengan serangan-serangan dahsyat.
Buggg! "Aaakh..."!"
Karena gerakannya semakin lambat, akhirnya Ke-
nanga tidak mampu menghindari sebuah tendangan
Memedi Karang Api yang singgah di lambung kanan-
nya. Dan meskipun tenaga dalamnya sudah dikerah-
kan untuk melindungi, tetap saja tubuhnya terjeng-
kang tak sanggup menerima tendangan keras dari da-
tuk sesat itu. "Yeaaah...!
Memedi Karang Api yang sepertinya sangat bernaf-
su untuk segera dapat melumpuhkan Kenanga, lang-
sung menyusuli serangannya tanpa membuang-buang
waktu lagi. Sepasang tangannya bergerak cepat, siap melumpuhkan dara jelita yang
tengah berusaha bangkit itu.
Tapi, Panji tentu saja tidak sudi melihat kekasih-
nya sampai tewas di tangan datuk sesat itu. Maka
dengan sebuah teriakan nyaring, tubuhnya sudah me-
lesat mencegah tindakan Memedi Karang Api.
Dukkk, dukkk...
Bukkk! "Aaa...!"
Kecepatan gerak Pendekar Naga Putih benar-benar
sangat mengagumkan! Sehingga, meskipun Memedi
Karang Api telah mengerahkan kesaktian, tak urung
sebuah tebasan sisi telapak tangan miring Panji bersa-rang di iganya. Akibatnya,
tubuh kakek tinggi kurus itu terdorong dan hampir jatuh terpelanting. Untung
saja kuda-kudanya segera dapat dikuasai. Meskipun
begitu, tampak juga lelehan darah di sudut bibirnya.
Rupanya, pukulan Panji telah membuat dada bagian
dalam kakek itu terguncang!
"Kenanga! Kau tidak apa-apa...?" tanya Panji khawatir sambil memegang bahu
kekasihnya yang tampak
kelelahan. "Aku tidak apa-apa, Kakang...," desah Kenanga sambil memijat lambungnya yang
terasa nyeri. Dara jelita itu menatap wajah kekasihnya penuh
kekhawatiran. Jelas, Kenanga lebih mencemaskan ke-
selamatan pemuda itu ketimbang dirinya sendiri.
"Hm.... Rasanya aku harus bertarung mati-matian menghadapi mereka...!" geram
Panji. Pendekar Naga Putih segera berbalik menghadapi
keempat orang datuk sesat yang sudah bergerak maju
mengepung. "Kakang...," desah Kenanga.
Gadis itu merasa cemas ketika mendengar ucapan
Panji. Meskipun disadari kalau kematian setiap saat bisa datang bagi orang-orang
yang selalu bermain-main dengan maut seperti mereka, tapi hati kecil dara jelita
itu tetap saja merasa khawatir.
"Menyingkirlah, Kenanga. Atau sebaiknya, tinggal-kanlah tempat ini. Kalau masih
bisa selamat, aku akan segera menemuimu di desa depan sana. Mudah-mudahan, letak
desa itu tidak terlalu jauh, dan kau bi-sa mencapainya...," ujar Panji sambil
menatap wajah kekasihnya yang tampak sangat mempesona di bawah
siraman cahaya purnama.
"Tidak, Kakang. Mati atau hidup, kita harus tetap bersama. Aku tidak akan tahan
menunggu dengan hati
selalu gelisah. Lebih baik aku di sini saja bersama-mu...," bantah Kenanga yang
kali ini tidak menuruti
permintaan Panji.
Melihat sinar mata yang menyimpan tekad bulat
itu, Panji hanya menghela napas. Disadari kalau me-
maksa Kenanga untuk meninggalkan tempat itu tentu
akan percuma saja.
"Hm.... Terserah kaulah, Kenanga. Tapi untuk sekali ini, kuminta agar kau
menyingkir saja dari sini.
Apabila dalam enam puluh jurus dua orang dari mere-
ka masih belum bisa ku robohkan, kau baru boleh
membantu...," ujar Panji.
Kali ini, saran Panji dituruti oleh dara jelita itu.
Dan kini, Kenanga segera menyingkir, menyaksikan
dari kejauhan. "He he he.... Rupanya kau masih sayang dengan
nyawa dara jelita itu, Pendekar Naga Putih" Kau pasti takut kalau kulitnya yang
putih halus itu akan lecet apabila bertarung dengan kami. Tapi, jangan khawatir.
Aku akan senang sekali bila dapat membawanya pu-
lang ke istanaku, dan akan kuangkat menjadi permai-
suri ku...," kata Datuk Panglima Sesat, mengumbar kesombongannya.
Namun, Panji sendiri sama sekali tidak menyahut.
Malah, matanya sudah dipejamkan sejenak, untuk
memancing keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Sebentar kemudian, terciptalah
lapisan sinar kuning
keemasan di sebelah kanan tubuh Pendekar Naga Pu-
tih. Sedangkan pada tubuh sebelah kirinya, terlapis kabut putih keperakan. Jelas
sudah kalau saat itu
Panji telah mengerahkan kedua tenaga dahsyatnya,
dan menggabungkannya untuk menghadapi keroyokan
empat orang datuk sesat dari empat penjuru angin.
"Gila..."!"
Datuk Panglima Sesat sampai melangkah mundur
melihat perubahan yang terjadi dalam diri pendekar
muda itu. Hatinya sempat bergetar menyaksikan beta-
pa pendekar yang masih berusia muda itu telah mam-
pu menggabungkan dua unsur tenaga sakti berlainan
sifat. "Mustahil.."!"
"Ilmu sihir..."!"
Tiga orang datuk lainnya pun tidak kalah terkejut
menyaksikan perubahan lawannya. Mereka benar-
benar takjub dan semakin bertambah kagum terhadap
pemuda tampan yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Tidak perlu gentar, Sahabat-sahabat.
Meskipun seluruh kesaktiannya digunakan, mustahil
dapat mengalahkan kita berempat. Mari kita lenyapkan pendekar celaka itu...,"
tegas Raja Iblis Jubah Merah, lantang.
Tentu saja ia khawatir melihat kawan-kawannya
seperti gentar ketika melihat tindakan pemuda tampan berjubah putih itu. Maka,
segera saja kakinya melangkah maju, untuk membuktikan ketidakgentaran ter-
hadap lawannya. Memang, ia sendirilah yang lebih
menaruh dendam terhadap Pendekar Naga Putih.
Mendengar ucapan Raja Iblis Jubah Merah, tentu
saja ketiga orang datuk lainnya segera menyadari kekeliruan sikap mereka. Maka
tanpa membuang-buang
waktu lagi, mereka kembali menyebar, mengepung
Pendekar Naga Putih.
*** "Haaat..!"
Raja Iblis Jubah Merah kembali membuka seran-
gan, mendahului rekan-rekannya. Tubuh lelaki gemuk
pendek itu bergerak maju dengan langkah-langkah
bersilangan. Sepasang tangannya bergerak cepat, sal-
ing mendahului untuk menyarangkannya ke tubuh la-
wan. Memedi Karang Api pun tidak ketinggalan. Tokoh
tinggi kurus berjubah putih kumal itu bergerak maju dengan jurus 'Ular Beracun
Menembus Kabut". Sepasang tangannya bergerak silih berganti, dengan kecepatan
luar biasa. Bahkan terkadang lengannya terlihat memanjang melebihi ukuran biasa.
Jelas, datuk tinggi kurus itu telah mengeluarkan ilmu andalan yang jarang
digunakan. Datuk Panglima Sesat dan Kuntilanak Bukit Man-
dau seolah bergerak saling mendahului. Mereka juga
telah menggunakan ilmu andalannya, ketika melihat
Panji telah mengeluarkan ilmu-ilmu aneh yang dah-
syat. Sehingga, Pendekar Naga Putih sendiri sempat merasa tegang menghadapi
serbuan empat gembong
kaum sesat yang berkepandaian menggiriskan itu.
"Haiiit..!"
Ketika empat orang pengeroyok itu sudah semakin
dekat, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya
yang menggetarkan jantung. Bersamaan dengan itu,
tubuhnya bergerak cepat sambil mengerahkan jurus
'Ilmu Silat Naga Sakti'nya yang luar biasa. Dengan il-mu meringankan tubuhnya
yang tinggi, tubuhnya ber-
kelebatan menyambut serbuan empat orang lawannya.
Pertarungan yang terjadi kali ini benar-benar dah-
syat. Kenanga sendiri sampai berdebar melihatnya. Betapa tidak" Angin pukulan
berhawa maut yang silih
berganti bertebaran ke sekitar arena pertarungan, telah membuat pohon-pohon
besar di sekelilingnya re-
bah. Bahkan dara jelita itu harus bergerak lebih menjauh, karena ada serangkum
angin pukulan yang nya-
ris melukainya. Untunglah Kenanga sudah cepat mele-
sat menghindar, sehingga pohon di belakangnyalah
yang berderak roboh terkena pukulan maut yang nya-
sar. Belum lagi datangnya bebatuan yang tersepak ka-ki-kaki tokoh-tokoh sakti
itu. Padahal, lontaran batu itu sanggup memecahkan kepala seorang tokoh yang
belum memiliki tenaga dalam tinggi. Benar-benar mengerikan pertarungan lima
tokoh dahsyat itu!


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panji sendiri dalam menghadapi pertarungan mati-
matian itu harus menguras seluruh kesaktiannya. Jadi wajar saja kalau merasa
sedikit kewalahan, karena lawan-lawannya bukan tokoh sembarangan. Mereka
adalah gembong kaum sesat yang memiliki kesaktian
luar biasa. Sehingga, tidak mudah bagi Pendekar Naga Putih untuk dapat
merobohkan dalam waktu singkat.
Bahkan, terkadang harus bergerak mundur untuk
menghindari gempuran-gempuran hebat dari lawan-
lawannya. "Heaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus ketiga puluh,
Panji kembali mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'nya.
Tubuh pemuda itu kini berkelebatan laksana samba-
ran kilat. Kemudian tubuhnya melenting ke udara, bagaikan seekor naga perkasa
yang terbang ke langit.
Dan dari atas, tubuhnya berputaran beberapa kali, sebelum meluncur turun
melepaskan jurus 'Naga Sakti
Meluruk ke Dalam Bumi'.
Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api
yang menjadi sasaran, terkejut bukan main! Mata me-
reka begitu silau melihat lingkaran sinar kuning keemasan yang berbaur dengan
sinar putih keperakan
yang berputaran. Serbuan hawa dingin dan panas
yang berganti-ganti, membuat tubuh mereka bagaikan
tengah dilanda demam hebat. Sadar akan bahaya yang
tidak mungkin sanggup diatasi, maka kedua datuk se-
sat ini segera melempar tubuhnya dan bergulingan
menjauhi tempat itu.
Rupanya, mereka belum memahami sifat jurus
yang kali ini digunakan Panji. Buktinya, meskipun mereka berusaha menghindar
sejauh-jauhnya, serangan
pemuda itu terus mengejar kedua orang sasaran, se-
perti memiliki mata saja. Sehingga, baik Raja Iblis Jubah Merah maupun Memedi
Karang Api terpaksa me-
nangkis serangan lawan disertai pengerahan seluruh
kekuatan tenaga saktinya.
Lagi-lagi, mereka tidak tahu akan sifat jurus pa-
mungkas dan Pendekar Naga Putih. Ternyata baik
menghindar atau menangkis, sama-sama berbahaya.
Serangan yang sukar dihalau itu meluncur disertai
sambaran angin bercicit tajam. Dan...
Plak! Desss...!
Meskipun pada hantaman pertama kedua orang
datuk sesat itu masih bisa memapak, namun gerakan
melingkar lengan pemuda itu benar-benar tak terduga dan sulit dihindari lagi.
Akibatnya, tubuh kedua orang pentolan kaum sesat itu seketika terjungkal memun-
tahkan darah segar. Kedua datuk sesat itu terus terguling-guling, hingga sejauh
empat tombak dari tempat berdiri semula. Meski demikian, mereka masih berusaha
bergerak bangkit sambil menyeringai kesakitan.
Mereka baru terkejut ketika merasakan sekujur tubuh sukar digerakkan. Hawa panas
dan dingin yang berganti-ganti, membuat mereka terkadang menggigil ke-
dinginan, dan terkadang mendesis-desis kepanasan.
Jelas, akibat pukulan pada tubuh mereka tidak bisa
lenyap untuk beberapa saat Sehingga, kedua datuk sesat itu hanya bisa pasrah
menanti kematian.
Sementara itu, Datuk Panglima Sesat dan Kuntila-
nak Bukit Mandau seperti sadar akan keadaan kedua
orang rekan mereka. Tampak keduanya berusaha
menggempur Pendekar Naga Putih, agar menjauhi ke-
dua orang rekan mereka. Panji sendiri yang baru saja menjejakkan kedua kaki di
atas tanah, mau tak mau
harus berlompatan menghindari hujan serangan Datuk
Panglima Sesat dan Kuntilanak Bukit Mandau. Dan
saat yang sedikit itu digunakan sebaik-baiknya oleh kedua datuk sesat itu untuk
segera melompat jauh ke belakang. Setelah menyambar tubuh kedua orang rekannya
yang masih belum mampu bangkit, mereka
pun langsung mencelat jauh, melarikan diri.
Sementara itu, dua belas orang pengawal Datuk
Panglima Sesat segera saja menghambur ketika meli-
hat pimpinannya telah melesat pergi meninggalkan
tempat ini. Panji sendiri tidak berusaha mengejar, karena lebih mengkhawatirkan keselamatan
kekasihnya. Dugaan-nya, bisa saja para datuk itu mengambil jalan berputar selagi
ia mengejar. Dan mereka bisa saja tiba kembali di tempat semula, untuk membekuk
Kenanga. Alasan
itulah yang membuat Panji tidak berusaha mengejar.
"Kau tidak apa-apa, Kakang...," tanya Kenanga seraya memeluk tubuh kekasihnya
dengan helaan napas
lega. Panji sendiri hanya menggelengkan kepala. Kemu-
dian, diajaknya dara jelita itu untuk segera meninggalkan hutan ini
*** 4 "Hm.... Kesaktian Pendekar Naga Putih memang
sangat luar biasa! Rasanya, hanya gabungan ilmu kita
berempat sajalah yang mungkin bisa melumpuhkan-
nya. Makanya, kita harus segera menyelesaikan renca-na yang telah disepakati
bersama...," kata seorang lelaki tinggi besar.
Orang itu berwajah kelimis, karena kumis dan
jenggotnya telah tercukur bersih. Menilik dari pa-
kaiannya yang seperti senapati, sudah bisa dipastikan kalau lelaki tinggi besar
itu adalah Datuk Panglima Sesat, seorang gembong golongan hitam di wilayah
timur. Tiga orang lainnya saling bertukar pandangan se-
jenak. Mereka kini duduk mengelilingi sebuah meja
kayu bulat. Dua di antara keempat datuk sesat itu
tampak masih agak pucat wajahnya. Rupanya keseha-
tan mereka berdua belum pulih setelah bertarung me-
lawan Pendekar Naga Putih kemarin.
"Hm...."
Lelaki pendek gemuk brewok yang mengenakan ju-
bah berwarna merah itu bergumam. Pandangannya
tampak dilayangkan ke arah Datuk Panglima Sesat.
"Persiapan kita telah berjalan cukup lama, dan hampir sempurna. Tapi melihat
kesaktian Pendekar
Naga Putih yang telah maju sangat pesat, kita masih harus banyak berbenah diri.
Begitu semuanya telah
sempurna, barulah pemuda yang merupakan pengha-
lang besar bagi setiap kaum kita digempur...," tandas Raja Iblis Jubah Merah
setelah berpikir beberapa saat.
Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan
Kuntilanak Bukit Mandau sama-sama menganggukkan
kepala. Mereka semua maklum setelah merasakan ke-
saktian Pendekar Naga Putih, yang memang telah maju pesat. Untuk ini, rupanya
mereka harus sungguh-sungguh mempersiapkan diri apabila hendak mele-
nyapkan Pendekar Naga Putih.
"Ada baiknya bila kita sekarang menengok pasukan
yang telah dipersiapkan itu. Kemudian, mereka harus dicoba sebelum dilepaskan
untuk menggempur Pendekar Naga Putih. Bagaimana...?" usul Kuntilanak Bukit
Mandau, setelah mendengar ucapan kawan-kawannya.
"Aku setuju...," sahut Memedi Karang Api, langsung. Sedangkan dua orang lainnya
ikut menyatakan
persetujuannya.
Keempat datuk golongan hitam itu pun sama-sama
bergerak bangkit, dan meninggalkan ruang pertemuan
yang berlangsung di kediaman Datuk Panglima Sesat.
Kemudian, mereka melangkah ke belakang bangunan
besar dan megah ini.
Tidak berapa lama kemudian, keempat orang datuk
sesat itu tiba di bagian belakang bangunan yang beru-pa sebuah tanah lapang
luas. Di tempat itu, terlihat delapan orang yang rata-rata berperawakan tegap
tengah sibuk berlatih. Gerakan-gerakan mereka terlihat sangat gesit dan mantap.
Bisa dilihat kalau ilmu meringankan tubuh dan tenaga dalam mereka tidak bisa
dipandang remeh.
Setelah memperhatikan sejenak, Datuk Panglima
Sesat bertepuk tangan perlahan sebanyak tiga kali.
Karena dilakukan lewat pengerahan tenaga dalam
tinggi, tentu saja pengaruh tepukan itu segera terlihat.
Delapan orang lelaki muda berperawakan tegap itu serentak menghentikan gerakan
dan berbalik mengha-
dap keempat orang datuk sesat ini. Wajah mereka ra-
ta-rata dingin tanpa perasaan. Meski demikian, sorot mata mereka nampak demikian
tajam dan menimbulkan rasa seram bagi yang memandang.
Terlihat kedelapan sosok tubuh berpakaian warna-
warni itu sama-sama membungkukkan kepala dengan
sikap kaku. Sikap mereka jelas tidak wajar, dan seperti berada dalam pengaruh
sihir. "Hmhhh...."
Datuk Panglima Sesat mengibaskan kedua tangan-
nya ke kiri dan kanan, seperti memerintahkan mereka untuk berpencar. Kemudian,
lelaki tinggi besar berpakaian senapati kerajaan itu melangkah maju ke tengah
lapangan. "Panglima Sesat! Rasanya terlalu berbahaya apabila kau hendak menghadapi mereka
seorang diri. Meskipun ilmu gabungan yang kita ciptakan untuk
mereka belum seluruhnya dikuasai, tapi tetap saja aku merasa kalau mereka tidak
bisa dihadapi seorang di-ri...," Raja Iblis Jubah Merah memperingatkan rekannya
yang rupanya hendak menjajal kemampuan dela-
pan lelaki muda berwajah dingin itu.
"Hm.... Jangan khawatir, Iblis Jubah Merah. Jika dalam sepuluh jurus salah
seorang dari mereka belum bisa kujatuhkan, barulah kalian boleh turun
tangan...," sahut Datuk Panglima Sesat mengabaikan pe-ringatan rekannya.
Setelah berkata demikian, lelaki tinggi besar itu
kembali bertepuk tangan dua kali. Sepertinya, tepukan itu merupakan isyarat bagi
kedelapan orang itu untuk mulai menyerang.
Kedelapan lelaki muda yang terbentuk dalam satu
pasukan yang telah terlatih baik itu, segera saja bergerak mengepung dari
delapan penjuru. Mereka belum
memperlihatkan tanda-tanda akan menyerang, namun
sebaliknya malah berputaran saling berpindah-pindah tempat.
"Hm..."
Datuk Panglima Sesat hanya bergumam perlahan
meskipun saat itu putaran lawan-lawannya semakin
bertambah cepat, hingga yang terlihat hanyalah
bayangan berwarna-warni mengelilinginya. Baru saja
datuk sesat itu hendak memulai serangan, tiba-tiba
saja gerakan berputar kedelapan orang itu terhenti dan berbalik arah. Semua itu
dilakukan dengan sangat cepat dan tanpa kesulitan. Mau tak mau, Datuk Pangli-
ma Sesat diam-diam harus mengagumi tindakan la-
wan-lawannya. "Haaat..."
Dengan sebuah lengkingan nyaring yang panjang,
kedelapan orang itu pun mulai membuka serangan.
Dua orang berseragam biru muda yang berada di de-
pan Datuk Panglima Sesat, melesat ke depan sambil
melancarkan tusukan jari-jari tangan yang menimbul-
kan suara angin berdecitan. Kelihatannya, serangan
itu sangat berbahaya dan bisa mengakibatkan kema-
tian. Atau, paling tidak luka dalam yang parah.
Serangan dua orang berseragam biru muda itu be-
lum lagi tiba, namun dua orang lawan berseragam me-
rah darah dari sebelah kanan Datuk Panglima Sesat
juga telah menerjang dalam waktu hampir bersamaan.
Bahkan serangan mereka juga tidak kalah berba-
hayanya! "Haaat..!"
Datuk Panglima Sesat segera saja menggeser tu-
buhnya, menghindari serangan dua orang berseragam
biru muda dari depan. Namun, justru dua orang berseragam merah yang menyerang
dari kanannya itulah
yang lebih berbahaya. Padahal serangan pertama tadi hanya sekadar memancing
perhatian Datuk Panglima
Sesat. Bettt! Bettt! Dua buah pukulan yang menimbulkan suara angin
tajam, datang mengancam tubuh Datuk Panglima Se-
sat. Cepat tokoh sakti itu mengangkat kedua tangannya, untuk memapak serangan
lawan. Dan... Plak! Plak! 'Aihhh,.."!"
Terdengar seruan tertahan dari lelaki gagah itu ke-
tika merasakan kuatnya gelombang tenaga pukulan
kedua orang pengeroyoknya. Akibatnya, ia yang semu-
la menganggap enteng serangan itu, hampir terjungkal dibuatnya. Jelas, Datuk
Panglima Sesat tidak mengetahui kemajuan yang diperoleh kedelapan lelaki muda
yang digembleng oleh Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api. Di lain
pihak, Datuk Panglima Sesat dan Kuntilanak Bukit Mandau tidak terlalu
memperhatikan. Maka, wajar saja kalau lelaki tinggi besar itu jadi terkejut
ketika merasakan kekuatan pukulan lawan-lawannya.
Pertarungan berjalan semakin seru dan cepat. Da-
tuk Panglima Sesat tampak mulai merasakan tekanan
berat, setelah bertarung lebih dari lima jurus. Hal itu merupakan bukti kalau
ilmu gabungan yang dicipta-kan empat orang datuk itu memang hebat sekali. Buk-
tinya, Datuk Panglima Sesat yang tentu saja telah
mengenai ilmu yang digunakan para pengeroyoknya,
masih harus kerepotan menghindari hujan serangan.
Bahkan setelah sepuluh jurus lebih, dia beberapa kali nyaris celaka. Mendapat
kenyataan ini, karuan saja
hati datuk tinggi besar ini menjadi tegang.
Kuntilanak Bukit Mandau yang melihat rekannya
mulai kewalahan, segera terjun ke arena pertempuran.
Begitu memasuki arena, tongkat hitam di tangannya
langsung bergerak berputaran dengan suara menderu-
deru laksana ratusan lebah marah.
Tapi, delapan orang laki-laki muda berwajah dingin
dan bersikap kaku itu sama sekali tidak menjadi mundur. Bahkan desakan mereka
pun tidak berkurang,
meski Datuk Panglima Sesat telah dibantu Kuntilanak Bukit Mandau yang juga
memiliki kesaktian menggiriskan. Malah mereka masih saja dapat didesak kede-
lapan lelaki muda itu. Melihat hal ini, tentu saja hati nenek bungkuk udang itu
menjadi gemas, meski ada
rasa kebanggaan melihat hasil jerih payahnya.
Plakkk! Bukkk! "Uuugh...!"
Datuk Panglima Sesat yang berusaha mati-matian
menghindari dan membalas serangan lawan, terpaksa
harus merelakan tubuhnya terkena hantaman salah
seorang pengeroyoknya. Akibatnya, tubuhnya terpental beberapa langkah ke


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belakang. Kemudian, dia bergerak bangkit secepat kilat dan kembali melakukan
perlawanan hebat. Dari lelehan darah di sudut bibirnya, jelas kalau Datuk
Panglima Sesat agak terguncang bagian dalam tubuhnya, akibat pukulan lawan yang
singgah di lambung kirinya.
Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api
yang mengetahui betul akan kehebatan pasukan itu,
segera saja melayang ke dalam arena pertarungan. Sehingga, kali ini kedelapan
lelaki muda itu harus menghadapi empat orang datuk sesat yang rata-rata memi-
liki kesaktian sangat dahsyat.
Turunnya Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Ka-
rang Api, ternyata tidak juga merubah keadaan. Den-
gan gerakan-gerakan yang semakin hebat dan berba-
haya, kedelapan lelaki muda berwajah dingin itu terus mendesak. Akibatnya, empat
orang datuk sesat itu jadi kelabakan. Kini, mereka semakin sadar kalau pasukan
yang telah dipersiapkan itu benar-benar tangguh.
"Haiiit..!"
Dibarengi pekikan nyaring, Memedi Karang Api me-
lesat keluar dari gelanggang pertempuran. Kemudian, disusul berturut-turut
ketiga orang datuk lainnya.
Dengan beberapa kali lompatan saja, keempat orang
datuk sesat itu telah berada sejauh tiga tombak dari lawan-lawannya.
"Bagus..., bagus...! Kalian betul-betul tidak menge-cewakan...," puji Memedi
Karang Api sambil bertepuk tangan dengan wajah berseri.
Sementara itu, delapan orang lelaki muda yang
menjadi lawan mereka tadi sama sekali tidak menun-
jukkan tanggapannya. Mereka hanya membungkuk
dengan wajah sedingin es. Meskipun begitu, bibir mereka terlihat menggerimit
mengucapkan sesuatu.
"Terima kasih, Tuan ku...," suara delapan orang la-ki-laki berpakaian warna-
warni itu bergaung jelas.
Ternyata, gerakan bibir yang sepertinya hanya be-
rupa bisikan itu terdengar sangat jelas. Pasti hal itu dilakukan dengan
pengerahan tenaga dalam.
"Hm.... Meskipun mereka memang tidak bisa kita taklukkan, tapi.... Rasanya
mereka belum cukup kuat untuk menghadapi Pendekar Naga Putih. Paling tidak,
mereka harus dipersiapkan beberapa waktu lagi. Setelah itu, barulah mereka bisa
melaksanakan tugas yang teramat penting itu...," kata Kuntilanak Bukit Mandau.
Sepertinya, nenek ini masih belum puas, meskipun
memang harus diakui kehebatan pasukan itu. Tapi ka-
rena telah beberapa kali bentrok dengan Pendekar Na-ga Putih, maka dia masih
kurang yakin kalau pasukan yang tengah dipersiapkan itu belum mampu menghadapi
Pendekar Naga Putih. Apalagi, setelah ia sendiri menyaksikan kemajuan pendekar
muda yang digdaya
itu. "Sejak pertama tadi sudah kukatakan, kita masih harus mempersiapkan mereka
lebih sempurna. Kelak
setelah mereka sudah menguasai ilmu ciptaan kita
bersama, barulah ditugaskan untuk melenyapkan
Pendekar Naga Putih," timpal Memedi Karang Api.
"Benar, Kuntilanak Bukit Mandau. Oleh karena itu, mulai sekarang mereka harus
dipersiapkan bersama-sama. Setelah itu, aku yakin Pasukan Pembunuh ini
akan dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, dan
tidak perlu diragukan lagi...," tambah Raja Iblis Jubah Merah. Nada suaranya
terdengar penuh kebanggaan
dan keyakinan. "Hm.... Hal itu memang tidak kur agukan lagi. Ta-pi..., bagaimana dengan
kemungkinan kalau mereka
berkhianat" Seperti kita semua sudah tahu, Pendekar Naga Putih memiliki ilmu
pengobatan yang tidak kalah dibanding Raja Obat Nah! Hal itulah yang masih
mengganggu pikiranku...," ungkap Datuk Panglima Sesat, tentang kekhawatirannya.
Kuntilanak Bukit Mandau yang sepertinya juga
memiliki pemikiran serupa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Rupanya, dia menyetujui juga kekhawati-
ran Datuk Panglima Sesat.
"He he he.... Hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Ob-at-obat ramuan yang ku
jejali, telah membuat otak mereka tidak dapat bekerja lagi. Kecuali, oleh
perintah ki-ta berempat. Pokoknya, mereka tidak akan bisa terpengaruh lagi. Dan,
aku telah memperhitungkannya
jauh-jauh hari mengenai hal itu. Mereka memang bisa menjadi ancaman bagi kita,
apabila dibiarkan hidup
lama-lama. Itulah sebabnya, aku menjejalkan sejenis racun mematikan, yang
membuat umur mereka tidak
akan lebih dari dua bulan. Setelah itu, mereka akan tewas dengan pembuluh darah
pecah, dan tidak
mungkin bisa diobati lagi. Jadi, kalian tidak perlu lagi mengkhawatirkan
nya...," jelas Memedi Karang Api.
Rupanya dia telah mempersiapkan segalanya den-
gan cermat dan teliti. Sehingga, baik Datuk Panglima Sesat maupun Kuntilanak
Bukit Mandau sama-sama
mengangguk penuh kepuasan. Keraguan mereka pun
pupus setelah mendengar penjelasan yang melegakan
hati itu. "Hm.... Kalau begitu, apa lagi yang ditunggu" Mari-lah kita segera menyelesaikan
pekerjaan ini. Setelah itu, mereka kita kirim untuk membunuh Pendekar Na-ga
Putih. Dan apabila pendekar muda itu telah tewas, tidak ada lagi yang perlu
dikhawatirkan. Maka, kita berempat akan menguasai dunia persilatan. Ha ha
ha...!" kata Datuk Panglima Sesat seraya tertawa. Sepertinya, dia memiliki keinginan
untuk menjadi raja dunia persilatan.
"He he he.... Mengapa kau berpikiran sempit sekali, Sahabat" Rencanaku justru
jauh lebih besar lagi. Sebelum membunuh Pendekar Naga Putih, aku akan
menugaskan Pasukan Pembunuh ini untuk membu-
nuh Prabu Pungga Lawa. Ini merupakan ujian berat
bagi mereka, karena istana merupakan gudangnya to-
koh-tokoh sakti. Nah! Apabila berhasil, mereka harus melenyapkan Pendekar Naga Putih. Bagaimana" Apakah rencanaku itu jauh lebih baik
dari keinginanmu, Datuk Panglima Sesat..?" usul Memedi Karang Api.
Sepertinya, datuk itu masih mendendam terhadap
penguasa Kerajaan Mulawarta. Dan dia memang ingin
melanjutkan cita-cita Malaikat Gerbang Neraka, yang pernah dibantunya dalam
merebut kerajaan itu dari
tangan Prabu Pungga Lawa (Untuk lebih jelasnya, silakan ikuti episode "Malaikat
Gerbang Neraka" dan "Rahasia Pedang Naga Langit").
"Hei"! Itu sangat berbahaya, Memedi Karang Api!
Bagaimana kalau pasukan kecil yang telah diper-
siapkan ini sampai tertangkap, atau terbunuh" Bu-
kankah jerih payah kita selama ini akan sia-sia saja"
Rasanya, aku kurang setuju pada rencanamu itu! Ter-
lalu berbahaya!" bantah Datuk Panglima Sesat.
Jelas, dia kurang setuju terhadap rencana Memedi
Karang Api, karena khawatir kalau Pasukan Pembu-
nuh yang telah dipersiapkan untuk melenyapkan Pen-
dekar Naga Putih akan tewas atau tertangkap oleh prajurit istana. Tentu saja hal
itu tidak diinginkannya.
"Jangan bodoh, Panglima Sesat! Meskipun Pasukan Pembunuh dipersiapkan untuk
melenyapkan Pendekar
Naga Putih, tetapi kita harus mengujinya terlebih dahulu. Dan saru-satunya ujian
yang paling baik hanyalah dengan mengacaukan istana. Itu sebabnya aku te-
lah merencanakannya dengan baik...!" bantah Memedi Karang Api, tidak mau kalah.
Kakek itu memang tetap pada rencananya semula,
dan tidak mempedulikan bantahan Datuk Panglima
Sesat. Sehingga, lelaki gagah bertubuh tinggi besar itu menggeram marah. Maka,
suasana pun semakin bertambah tegang ketika kedua orang datuk itu telah siap
saling gempur! "Bodoh! Hentikan pertengkaran tak berguna ini...!"
sentak Raja Iblis Jubah Merah, berusaha menengahi.
Lelaki gemuk berwajah brewok itu tentu saja tidak
ingin rencana yang telah disusun dengan susah-payah, hancur karena perpecahan di
antara mereka. Namun, campur tangan Raja Iblis Jubah Merah di-
tanggapi lain oleh Datuk Panglima Sesat. Lelaki tinggi besar itu menggeram,
mengira Raja Iblis Jubah Merah hendak membantu Memedi Karang Api. Maka Datuk
Panglima Sesat segera mundur beberapa langkah, se-
perti bersiap menghadapi keroyokan Memedi Karang
Api dan Raja Iblis Jubah Merah.
"Hm.... Meskipun harus menghadapi keroyokan kalian, jangan dikira aku akan
gentar. Mari kita mengadu nyawa...!" dengus Datuk Panglima Sesat, geram.
Langsung saja jurus-jurus ampuhnya disiapkan. Sehingga, baik Raja iblis Jubah
Merah maupun Memedi Karang
Api sama-sama melompat ke belakang.
"Tahan amarah mu, Panglima Sesat! Aku tidak
berpihak kepada siapa pun. Tapi, perlu diingat musuh akan tertawa apabila
mendengar kita saling berbunu-han di antara rekan sendiri. Bahkan, dunia
persilatan akan menertawai kita. Hm.... Apakah kalian berdua ingin mendapatkan
cemoohan seperti itu" Kalau me-
mang itu yang diinginkan, silakan kalian bertarung sampai mati! Aku tidak peduli
lagi...!" bentak Raja Iblis Jubah Merah.
Laki-laki berjubah merah itu memang menjadi
jengkel melihat gelagat kalau pertarungan seperti sulit dihindari lagi.
"Hm.... Tapi aku tidak sudi mengikuti rencana Memedi Karang Api yang sangat
berbahaya! Untuk apa jerih payah kita selama ini kalau akhirnya hanya untuk
mengantarkan Pasukan Pembunuh itu ke akhirat, sebelum melenyapkan Pendekar Naga
Putih"!" tandas Datuk Panglima Sesat, tetap pada pendiriannya semula. "Aku juga
tidak suka dengan rencanamu yang sempit dan tidak mendatangkan keuntungan itu!"
sergah Memedi Karang Api, juga tak mau kalah. Ia tetap menganggap kalau rencana
Datuk Panglima Sesat tidak berguna dan hanya membuang-buang waktu saja.
"Hm.... Mengenai rencana itu, biarlah kita runding-kan belakangan. Sekarang yang
penting, Pasukan
Pembunuh harus disiapkan secara lebih sempurna.
Setelah itu, barulah kita adakan mufakat. Siapa yang
mendapatkan suara terbanyak dari kita berempat, ma-
ka rencana itulah yang harus disetujui. Bagaimana...?"
usul Raja Iblis Jubah Merah.
Jalan tengah itu ternyata membuat Datuk Pangli-
ma Sesat dan Memedi Karang Api saling berpandangan
sejenak. Terlihat mereka saling mengangguk setuju,
dan tertawa terbahak-bahak.
"Aku setuju...," sambut Datuk Panglima Sesat.
Datuk itu tampak kembali sudah bersikap biasa
dan wajar. Sedikit pun tidak kelihatan kalau di antara mereka pernah hampir
saling bentrok.
Raja Iblis Jubah Merah dan Kuntilanak Bukit
Mandau sama-sama menarik nafas lega. Mereka pun
kembali ke tujuan semula, menyempurnakan ilmu Pa-
sukan Pembunuh yang telah dibentuk itu.
*** 5 Malam sudah cukup larut. Cahaya sang dewi ma-
lam yang temaram, tak mampu menerobos kegelapan.
Bintang yang bertaburan bagaikan lampu-lampu
penghias malam, membiaskan cahayanya untuk mem-
bantu sang rembulan menerangi permukaan bumi.
Para peronda yang berjaga di sekitar bangunan in-
duk Kerajaan Mulawarta, telah berganti. Rombongan
pertama segera berputar ke sekeliling bangunan induk.
Sedangkan rombongan yang bertugas menggantikan,
berjaga di pos yang telah tersedia.
Belum berapa lama rombongan kedua itu beristira-
hat, tiba-tiba muncul seorang lelaki gagah berusia lima puluh tahun yang
mendatangi pos. Serentak delapan
orang prajurit itu bangkit, dan membungkuk hormat
kepada lelaki gagah berpakaian senapati itu.
"Hm.... Ada apa Tuan Senapati Jagaraksa malam-
malam begini mendatangi pos penjagaan" Tidak bi-
asanya beliau berbuat seperti ini...," desis kepala jaga yang berpangkat
perwira. Memang, kedatangan panglima gagah itu tentu saja membuat para penjaga
menjadi tegang, takut-takut kalau telah berbuat salah.
"Hm...."
Lelaki gagah bernama Senapati Jagaraksa itu
hanya menggumam seperti balasan penghormatan pa-
ra prajuritnya. Sepasang matanya yang tajam menga-
wasi wajah-wajah tertunduk di depannya. Sehingga,
delapan orang prajurit, termasuk perwira jaga itu semakin berdebar. Mereka
seperti menanti ucapan yang
bakal keluar dari mulut panglima gagah itu.
Senapati Jagaraksa belum lama menjabat sebagai
Panglima Kerajaan Mulawarta. Semula, ia adalah seo-
rang pendekar besar yang tangguh. Julukannya, Pen-
dekar Pedang Perak. Jabatan itu diperoleh setelah turut membantu dalam
menghancurkan pemberontak
yang hampir-hampir berhasil merebut Kerajaan Mula-
warta. Mengingat jasa-jasa serta kesaktiannya yang tinggi, maka Prabu Pungga
Lawa menganugerahkan
jabatan senapati. Meskipun demikian, Senapati Jaga-
raksa tidak menjadi tinggi hati dan berbuat sewenang-wenang terhadap bawahan.
Sikapnya yang tegas dan
memperhatikan bawahan, membuat para prajurit dan
perwira merasa hormat dan segan terhadapnya. Jadi
wajar saja kalau para prajurit jaga malam itu merasa tegang ketika melihat
Senapati Jagaraksa datang dan tiba-tiba memeriksa.
"Maafkan kami, Tuan Panglima. Kedatangan Tuan
benar-benar membuat kami terkejut dan bertanya-
tanya. Kami takut kalau-kalau telah berbuat kesala-
han. Mohon Tuan menjelaskan...," pinta perwira berusia empat puluh tahun yang
tubuhnya tinggi tegap.
Kepala perwira itu tertunduk dalam, menanti jawa-
ban atasannya. Demikian pula ketujuh orang prajurit lainnya. Mereka sama-sama
menanti dengan dada berdebar.
"Hm..., kalian sama sekali tidak berbuat salah. Aku hanya ingin berjalan-jalan
sambil memeriksa sekitar tempat ini. Aku merasa gembira melihat kalian yang
penuh semangat dalam melaksanakan tugas. Nah, Te-
nangkanlah hati kalian, dan selamat bertugas...," ucap lelaki gagah itu.
Senapati Jagaraksa segera melangkah meninggal-
kan kedelapan peronda yang sama-sama menghela na-
pas lega. Mereka kembali membungkuk hormat, saat
senapati gagah itu berjalan pergi.
"Hm.... Kalau sampai Senapati Jagaraksa keluar seorang diri dan memeriksa
sekeliling bangunan induk ini, pasti bakal ada sesuatu yang terjadi. Meskipun
hal itu belum pasti, tapi kewaspadaan harus lebih diting-katkan...," pesan
perwira kepala jaga itu.
Rupanya, dia cepat dapat meraba gelagat dari sikap
atasannya yang menurutnya agak aneh. Dan perasaan
itu membuatnya harus mengingatkan kawan-
kawannya agar lebih bersiaga.
Dan, apa yang diperkirakan perwira jaga itu me-
mang tidak berlebihan. Saat itu, tidak jauh dari pos penjagaan, tampak beberapa
sosok bayangan hitam
berkelebat menuju bangunan induk. Gerakan mereka
terlihat sangat gesit dan terlatih baik. Sehingga, sedikit pun tidak menimbulkan
suara mencurigakan saat melangkah. Jelas, ilmu meringankan tubuh mereka telah
mencapai tingkat tinggi.
Sebagai seorang senapati dan bekas pendekar pe-


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tualang, Senapati Jagaraksa sepertinya merasakan ke-tidakwajaran suasana malam
ini. Senapati Jagaraksa
tahu kebiasaan orang-orang persilatan, apabila ingin menyatroni istana selalu
melewati jalan atas. Maka kepalanya seringkali menengadah ke atap-atap bangu-
nan. Dan suatu ketika ia sempat menangkap sosok-
sosok hitam yang berkelebatan di atas atap bangunan.
"Hm.... Perasaanku rupanya tidak salah. Siapa pu-la yang berani mati mendatangi
Pedang Keabadian 3 Menjenguk Cakrawala Seri Arya Manggada 1 Karya S H Mintardja Seruling Sakti 2
^