Pencarian

Pasukan Pembunuh 2

Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh Bagian 2


istana ini" Dan apa
pula tujuan mereka...?" desis Senapati Jagaraksa bergumam seorang diri.
Lelaki gagah itu mendekam, merendahkan tubuh-
nya agar tidak terlihat oleh sosok-sosok tubuh di atas atap. Dan kalau tidak
salah hitung, jumlahnya sekitar delapan orang. Melihat cara mereka bergerak,
dada Senapati Jagaraksa seketika berdebar tegang. Ia sadar, kedelapan sosok bayangan
hitam itu rata-rata memiliki ilmu meringankan tubuh yang beberapa tingkat di
atas kepandaiannya! Tidak heran kalau lelaki gagah itu
menjadi terkejut.
"Gila! Hal ini tidak boleh dibiarkan! Aku harus memberitahukan yang lain untuk
bersiap siaga...,"
gumam Senapati Jagaraksa yang segera berlari menu-
ju pos penjagaan semula yang didatanginya.
"Hahhh..."!"
Betapa terkejutnya hati senapati gagah itu ketika
melihat para penjaga di pos telah bergeletakan tewas.
Hal itu diketahuinya setelah memeriksa kedelapan prajurit jaga yang rata-rata
telah tertembus sebatang ja-rum merah pada bagian leher.
"Keparat! Mereka jelas pembunuh-pembunuh ke-
ji...!" geram Senapati Jagaraksa.
Langsung saja laki-laki gagah itu memukul ken-
tongan tanda bahaya dengan mengerahkan tenaga da-
lamnya. Suara kentongan terdengar bertalu-talu me-
mecah keheningan malam. Kemudian, Senapati Jaga-
raksa telah melesat naik ke atap bangunan, mengejar sosok-sosok bayangan hitam
yang diduga pasti menuju istana tempat kediaman Prabu Pungga Lawa.
"Heaaat..! Hendak lari ke mana kalian, Penjahat-penjahat Busuk..."!" bentak
Senapati Jagaraksa, seraya mencabut pedang peraknya dan langsung menye-
rang orang-orang di bawahnya.
Bettt! Trang...! "Akhhh..."!"
Senapati Jagaraksa berteriak kaget ketika pedang-
nya dipapaki salah seorang berpakaian hitam. Bahkan tubuhnya hampir terpelanting
ke tanah. Untung saja, ia masih bisa mengimbangi tubuhnya. Sehingga, tubuhnya
melenting ke udara, lalu mendarat dengan ku-
da-kuda kokoh. Sementara itu, belasan orang prajurit yang memer-
goki delapan lelaki terbungkus pakaian serba hitam, langsung mengeroyok. Namun,
tak lama terdengar jeri-tan susul-menyusul. Sebentar saja, nyawa belasan
prajurit itu telah melayang akibat pukulan hebat yang dilontarkan tujuh orang
lelaki berseragam serba hitam itu. Sementara orang berseragam hitam yang satu
lagi, telah melesat menyerang Senapati Jagaraksa.
"Gila! Siapa orang-orang ini..." Kepandaian mereka benar-benar hebat! Rasanya
aku bukan tandingan mereka...!" desis Senapati Jagaraksa.
Laki-laki itu menjadi terkejut bukan main, me-
nyaksikan belasan orang prajurit pilihan yang bertugas meronda istana induk,
dapat dilumpuhkan hanya dalam beberapa gebrakan saja. Betul-betul sukar dapat
dipercaya! Tapi, senapati gagah itu tidak bisa berpikir lama-
lama, karena saat itu serangan lawan telah datang bagaikan gelombang angin topan
yang menggiriskan! Sa-
dar kalau serangan lawan terlalu sukar dibendung,
Senapati Jagaraksa langsung saja berlompatan men-
jauh. Namun, gerakan sosok berpakaian serba hitam itu
benar-benar membuat Senapati Jagaraksa terbelalak
ngeri. Dengan kecepatan menggetarkan, sosok berpa-
kaian hitam itu terus melesat memperhebat serangan-
nya. Sehingga, lelaki gagah yang terkenal sebagai Pendekar Pedang Perak itu
merasa kewalahan menghada-
pinya. "Hahhh...!"
Senapati Jagaraksa yang sudah tidak punya ke-
sempatan berkelit, mencoba memapak cengkeraman
lawan dengan mata pedangnya.
Trang! "Aaakh...!"
Untuk kesekian kalinya, Senapati Jagaraksa me-
mekik kesakitan. Kali ini, rupanya lawan telah me-
nambah kekuatan tenaganya. Buktinya, senapati ga-
gah itu sampai terpelanting dengan lengan terasa lumpuh dan ngilu.
Plak! "Uuugh...!"
Meskipun masih berusaha mengelak, tak urung
bahu kanan Senapati Jagaraksa terkena hantaman te-
lapak tangan lawan. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu kembali terpelanting
mencium tanah. Darah segar
tampak meleleh keluar dari sudut bibirnya. Senapati Jagaraksa merasakan bahunya
bagaikan remuk akibat
tamparan lawan. Dan rasanya, ia tidak mungkin lagi
bisa menyelamatkan diri dari ancaman pukulan lawan
yang kembali tiba mengancam.
"Yiaaat..!"
Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Se-
napati Jagaraksa, tiba-tiba sesosok tubuh jangkung
melayang dan langsung menusukkan pedangnya ke
tubuh orang berpakaian hitam yang tengah meluncur
ke arah Senapati Jagaraksa. Dan....
Trakkk! Buggg! "Huagkhhh...!"
Bukan main hebatnya gerakan yang dilakukan so-
sok orang berpakaian hitam itu. Dengan kecepatan
yang tidak terlihat mata, sepasang tangannya yang
berbentuk cakar bergerak memapak serangan sosok
tubuh jangkung. Bahkan langsung dikirimkannya han-
taman telapak tangan secara telak ke tubuh jangkung itu. Sebagai akibatnya,
sosok tubuh jangkung yang
menyelamatkan Senapati Jagaraksa itu harus meneri-
ma kenyataan pahit. Tubuhnya kontan terjungkal ke
belakang, kemudian disambut tamparan keras oleh sa-
lah seorang dari sosok berseragam hitam lainnya.
Brukkk! Tanpa ampun lagi, sosok jangkung yang juga ber-
pangkat senapati itu langsung ambruk ke tanah den-
gan kepala pecah. Tentu saja kejadian itu membuat
Senapati Jagaraksa terpukul.
Untunglah saat itu para prajurit telah banyak ber-
datangan. Sehingga, delapan sosok tubuh tegap berpakaian serba hitam yang kini
berkumpul, terperangkap dalam kepungan dua ratus lebih prajurit kerajaan.
Belasan senapati, perwira, dan punggawa tampak berada di depan. Obor-obor
ditancapkan di pohon dan tembok di sekeliling tempat itu untuk menerangi arena
per- tempuran yang akan berlangsung sengit.
Senapati Jagaraksa yang juga telah bergabung
dengan senapati lainnya, menatap tajam delapan sosok tubuh itu. Sepertinya, dia
hendak mencoba mengetahui orang-orang yang berani mati mendatangi istana
ini. Namun, tak satu pun dari mereka yang dapat di-
kenali. Wajah-wajah mereka yang pucat, dingin, dan
kaku, menimbulkan kesan seram bagi siapa saja yang
mencoba menentang pandangan mata mereka.
"Hm.... Siapa kalian sebenarnya, Pembunuh-
pembunuh Keji"! Apa maksud kalian menyatroni ista-
na kediaman Gusti Prabu Pungga Lawa ini?" bentak Senapati Jagaraksa. Jelas-jelas
dia merasa penasaran terhadap delapan sosok berpakaian serba hitam yang
tampak demikian aneh itu.
Namun setelah agak lama menunggu, tak juga ter-
dengar jawaban sepatah pun. Akibatnya, Senapati Ja-
garaksa dan para senapati lain menjadi jengkel. Maka segera saja para prajurit
yang semakin bertambah banyak itu diperintahkan untuk menyerbu. Biarpun me-
reka sangat sakti bagai dewa, namun pasti ada batasnya. Dan untuk melawan
ratusan orang prajurit yang
mengepung rapat, tentu saja mereka tidak akan lolos.
Meskipun, korban yang jatuh sudah pasti tidak sedikit
"Serbuuu...!"
Tanpa diperintah dua kali, ratusan prajurit Kera-
jaan Mulawarta itu langsung saja bergerak maju. Me-
reka menerjang delapan orang lelaki tegap berpakaian serba hitam dengan
teriakan-teriakan pertempuran
yang membahana. Sebentar saja, pertempuran berda-
rah pun pecah. Senapati Jagaraksa dan para senapati lain segera
bergerak maju di depan dengan senjata terhunus. Para pembesar Kerajaan Mulawarta
itu benar-benar merasa
terkejut ketika melihat akibat amukan delapan orang lelaki berpakaian hitam.
Sebentar saja, belasan orang prajurit beterbangan ke sana kemari, laksana laron-
laron yang menghampiri api. Teriakan-teriakan ngeri terdengar sahut-menyahut,
diiringi percikan darah segar yang membuat halaman istana berubah menjadi
lautan darah! Bahkan, bukan hanya para prajurit saja yang jatuh
menjadi korban amukan pembunuh-pembunuh keji
itu. Beberapa orang perwira pun tampak tergeletak tak berdaya terkena sambaran
jari-jari tangan yang mampu memukul pecah sebongkah batu karang besar! Aki-
batnya, keadaan pun semakin bertambah kacau.
Saat pembantaian besar-besaran itu tengah ber-
langsung, tiba-tiba terdengar suara sangkala mening-kahi riuhnya teriakan
kematian. Senapati Jagaraksa
yang tahu betul tanda itu, segera saja memberi perintah untuk mundur bagi para
prajuritnya. Sementara, delapan lelaki tegap berwajah dingin
seperti mayat hidup itu sama sekali tidak berusaha
mendesak ketika lawan-lawannya bergerak mundur.
Ternyata suara sangkala itu berasal dari rombongan
orang berkuda yang baru tiba. Sikap mereka yang
tampak gagah dan berwibawa, tampak diawasi oleh
empat pasang mata dingin dan menyeramkan.
"Hm...."
Sosok bertubuh tinggi kokoh yang merupakan
pimpinan delapan sosok tubuh itu bergumam sambil
meneliti tiga rombongan yang mengenakan seragam
berbeda. Rombongan sebelah kanan berseragam merah da-
rah. Mereka membawa bendera besar bergambar see-
kor naga merah. Tampaknya rombongan itu merupa-
kan pasukan inti Kerajaan Mulawarta yang bernama
Pasukan Naga Merah. Sedangkan dua pasukan lain
adalah Pasukan Naga Hijau dan Pasukan Naga Hitam.
Melihat munculnya pasukan-pasukan inti yang ja-
rang menampakkan diri itu, membuat para prajurit
bergerak menyingkir untuk memberi jalan. Meskipun
agak heran melihat pasukan tersembunyi itu keluar
dan ingin menangani, namun tak seorang pun dari
mereka yang berani bertanya. Para prajurit itu hanya menatap penuh kagum ke arah
rombongan inti Kerajaan Mulawarta.
Senapati Jagaraksa pun tidak kalah heran melihat
munculnya pasukan inti itu. Ia juga tahu, para anggo-ta pasukan itu rata-rata
memiliki kepandaian tinggi, hanya beberapa tingkat di bawahnya. Selain itu,
setiap kelompok mempunyai sebuah ilmu khusus yang bisa
diterapkan secara berkelompok. Dan ternyata hasilnya sangat hebat. Ia sendiri
pernah mencoba kehebatan-nya. Biasanya, pasukan inti itu hanya digunakan un-
tuk menggempur musuh kerajaan yang sangat berba-
haya. Maka tentu saja Senapati Jagaraksa jadi heran melihat pasukan itu muncul
hendak menangani delapan orang pembunuh ini. Walaupun kedelapan lelaki
tegap berpakaian serba hitam itu memiliki kesaktian tinggi, tapi menurutnya
tidak perlu menggunakan pasukan khusus untuk melumpuhkan mereka.
"Maaf, Tuan Panglima...," ucap pimpinan Pasukan Naga Merah kepada Senapati
Jagaraksa. "Sebenarnya, ini memang bukan tugas kami. Tapi, mendengar lapo-ran
kalau mereka sangat berbahaya dan memiliki ilmu yang sangat tinggi, Tuan Patih
Argadipta memerintahkan agar kami segera turun untuk menanganinya. Me-
nurutnya, hal ini untuk mencegah agar korban di pi-
hak kita tidak terlalu banyak. Kuharap, Tuan Senapati dapat memakluminya."
"Hm...."
Senapati Jagaraksa hanya bergumam mendengar
alasan yang dikemukakan Pimpinan Pasukan Naga
Merah itu. Kepalanya tampak mengangguk perlahan,
memaklumi dan membenarkan apa yang diucapkan
Patih Argadipta. Lalu, ia pun segera memberi jalan kepada pasukan itu untuk maju
dan meringkus delapan
orang berseragam hitam yang kini sudah menanti.
Namun, sebelum ketiga pasukan inti dari Kerajaan
Mulawarta maju lebih dekat, delapan lelaki tegap berwajah pucat tanpa perasaan
itu sama-sama mendo-
rongkan telapak tangan ke depan!
Bummm...! Seketika terdengar ledakan keras yang bagaikan
hendak mengguncang bumi. Suasana di sekitar tempat
itu pun menjadi pekat dalam sekejap, oleh debu dan
tanah yang beterbangan.
"Tutup semua jalan keluar...!" perintah Senapati Jagaraksa.
Rupanya senapati ini langsung menyadari siasat
kedelapan pembunuh itu. Namun karena suasana ge-
lap belum reda, para prajurit tidak dapat menentukan arah yang harus dituju.
Sehingga, banyak di antara
mereka yang saling bertabrakan. Tentu saja keadaan
itu membuat suasana semakin bertambah kacau.
Bahkan tak ada yang menyadari kalau kedelapan
orang itu telah bergerak menyingkir.
"Diam di tempat masing-masing...!" terpaksa Senapati Jagaraksa merubah
perintahnya, untuk mereda-
kan kegaduhan. Seketika suasana kembali tenang. Setelah gumpa-
lan debu itu lenyap, barulah disadari kalau delapan orang berseragam hitam itu
telah lenyap. Maka, Senapati Jagaraksa memerintahkan para prajuritnya untuk
memeriksa sekitar bangunan istana induk.
"Hm.... Menurutku, mereka pasti sudah pergi meninggalkan tempat ini, Tuan
Panglima. Tapi, memang
tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga dan memeriksa sekitar istana."
Setelah berkata demikian, Pimpinan Pasukan Naga
Merah itu pun bergerak meninggalkan tempat ini, bergerak meninggalkan tempat
itu, setelah terlebih dahulu memeriksa sekeliling istana untuk memastikan
keadaan. Namun, delapan orang lelaki berwajah pucat dan
berpakaian serba hitam itu seperti lenyap di-telan bu-mi saja. Seputar istana
telah teliti diperiksa. Tapi, sosok berseragam hitam yang telah meninggalkan
pulu- han korban itu memang lenyap tanpa jejak.
"Hm.... Lenyapnya mereka, bukan berarti kita boleh merasa aman! Perketat
penjagaan. Mungkin suatu saat mereka akan muncul kembali dan membuat keonaran


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

di istana," ujar Senapati Jagaraksa, mengingatkan. Dalam hatinya, ia berjanji
untuk mencari tahu tentang kedelapan orang berseragam hitam dari kawan-kawannya
di rimba hijau. Senapati gagah itu segera
membubarkan pasukannya, setelah menekankan pe-
san-pesannya untuk diingat anggota pasukan.
Demikian pula dua pasukan inti lain. Mereka ber-
gerak meninggalkan tempat itu, setelah terlebih dahulu memeriksa sekeliling
istana untuk memastikan keadaan.
Namun, delapan orang lelaki berwajah pucat dan
berpakaian serba hitam itu seperti lenyap di telan bu-mi saja. Seputar istana
telah teliti diperiksa. Tapi, sosok berseragam hitam yang telah meninggalkan
pulu- han korban itu memang hilang tanpa jejak.
"Hm... Lenyapnya mereka, bukan berarti kita boleh
merasa aman! Perketat penjagaan. Mungkin suatu saat mereka akan muncul kembali
dan membuat keonaran
di Istana," ujar Senapati Jagaraksa, mengingatkan. Dalam hatinya, ia berjanji
untuk mencari tahun tentang kedelapan orang berseragam hitam dari kawan-kawannya
di rimba hijau. Senapati gagah itu segera membubarkan pasukannya, setelah
menekankan pesan-pesannya untuk diingat anggota pasukan.
*** 6 "Kita singgah dulu di kedai itu, Praba...," ajak seorang lelaki separuh baya,
kepada pemuda gagah yang
berjalan di sebelahnya. Saat itu mereka tengah me-
langkah menyusuri jalan utama sebuah desa yang cu-
kup ramai dan padat penduduknya.
"Baik, Guru...," sahut pemuda gagah berusia sekitar dua puluh dua tahun, yang
dipanggil Praba.
Bergegas, mereka melangkah memasuki kedai ma-
kan yang siang itu tampak agak ramai oleh pengun-
jung. Praba berjalan di belakang laki-laki separuh baya yang menjadi gurunya
ketika memasuki pintu kedai.
Laki-laki yang tak lain bernama Ki Janala itu berhenti sejenak, menyapu ruangan
dengan pandangan matanya yang setajam elang. Kemudian kakinya kembali melangkah
ketika telah menemukan sebuah meja kosong yang terletak agak ke sudut.
Praba berjalan mengikuti langkah kaki Ki Janala.
Pemuda gagah itu memang tidak banyak bicara, dan
selalu patuh kepada lelaki setengah baya yang mendidik dan memeliharanya sejak
kecil. Kasih sayang dan
ketekunan Ki Janala dalam mendidiknya, membuat
Praba tahu diri dan tidak banyak menuntut.
Tiba-tiba saja lelaki setengah baya itu menghenti-
kan langkahnya saat melewati sebuah meja. Sepasang
matanya terbelalak lebar menegasi pemuda tampan
berjubah putih yang tengah menikmati hidangan ber-
sama seorang dara jelita berpakaian hijau.
"Pendekar Naga Putih...!" seru Ki Janala setengah berbisik dengan wajah gembira.
Sehingga, pemuda
tampan dan dara cantik jelita itu sama-sama mema-
lingkan wajah ke arah suara yang memanggilnya.
"Ki Janala...!" seru pemuda tampan berjubah putih yang memang Panji.
Segera saja Pendekar Naga Putih bangkit dan me-
nyalami lelaki setengah baya yang masih kelihatan se-hat itu.
"Praba...," lanjut Panji ketika melihat pemuda gagah yang berada di belakang Ki
Janala. "Ah! Sungguh gembira aku bisa. bertemu lagi denganmu, Pendekar Naga Putih. Waktu
itu, aku belum sempat mengucapkan terima kasih atas pertolongan-
mu. Aku benar-benar gembira...," ucap Ki Janala dengan wajah berseri-seri.
Tampak sekali kalau kegembiraannya tidak dapat disembunyikan begitu berjumpa
Pendekar Naga Putih.
Sementara itu, Kenanga juga bangkit menyalami
kedua orang guru dan murid itu. Lalu, diajaknya bergabung, karena di tempat itu
masih tersisa dua kursi lain yang kosong.
'Terima kasih..., terima kasih,..," sambut Ki Janala.
Segera diajaknya Praba untuk menerima tawaran itu.
"Hm.... Sepertinya kalian berdua telah melakukan perjalanan cukup melelahkan.
Kalau boleh tahu, hendak ke manakah kalian berdua...?" tanya Panji lagi, se-
telah memesan makanan kepada pelayan kedai untuk
Ki Janala dan Praba.
"Sebenarnya sungguh suatu kebetulan yang sangat kami harapkan, sehingga dapat
berjumpa denganmu di
tempat ini, Pendekar Naga Putih. Apakah kau sudah
mendengar tentang kejadian yang menimpa Istana Mu-
lawarta...?" kata Ki Janala sambil meneguk minuman yang telah disediakan pelayan
kedai. "Kejadian yang menimpa Istana Mulawarta" Apa
itu, Ki" Kami sama sekali belum mendengarnya...,"
sentak Panji, menjadi heran ketika mendengar ucapan Ki Janala.
"Seorang utusan Ki Jagaraksa mendatangi kedia-
manku. Dia meminta bantuanku untuk menyelidiki de-
lapan orang aneh yang telah memasuki istana bebera-
pa hari yang lalu. Maksud mereka belum jelas. Tapi menurut Ki Jagaraksa, mereka
pasti hendak berbuat
jahat. Kedelapan orang itu disebut sebagai Pasukan Pembunuh, karena pada saat
dipergoki membantai
banyak prajurit dan perwira kerajaan di malam keja-
dian," jelas Ki Janala dengan nada perlahan. Ia memang tidak ingin kalau berita
itu sampai tersebar di luar, seperti yang dipesankan Ki Jagaraksa melalui
utusannya. "Maksudmu, Ki Jagaraksa yang berjuluk Pendekar Pedang Perak?" tegas Panji dengan
kening berkerut.
Tentu saja Pendekar Naga Putih merasa heran, ka-
rena pernah bahu-membahu menumpas pemberontak
Malaikat Gerbang Neraka bersama Pendekar Pedang
Perak. Dan juga telah didengarnya kalau tokoh itu telah mendapat kedudukan yang
terhormat di Kerajaan
Mulawarta bersama Pendekar Laut Selatan.
"Benar! Ki Jagaraksa telah menjabat sebagai salah satu senapati kepercayaan
Gusti Prabu Pungga Lawa.
Sebenarnya, beliau hendak menghubungimu. Tapi ka-
rena kau tidak mempunyai tempat tinggal tetap, ak-
hirnya Ki Jagaraksa meminta bantuanku, sekaligus
untuk mencarimu dan menjelaskan kejadian itu," jawab Ki Janala lagi. Sedangkan
Kenanga dan Praba
hanya menjadi pendengar saja.
"Pasukan Pembunuh..."! Rasanya nama itu baru
sekarang ini kudengar, Ki. Apakah Ki Jagaraksa tidak menceritakan ciri-ciri
mereka...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih berusaha memutar otaknya
untuk mencari tahu, siapa orang-orang yang dijuluki Pasukan Pembunuh itu. Tapi
setelah sekian lamanya
memutar otak, tetap saja tidak menemukannya. Maka,
Panji pun mengerti kalau nama itu pasti belum lama
muncul. "Itulah yang masih menjadi tanda-tanya bagiku. Ki Jagaraksa hanya mengatakan
kalau jumlah mereka
delapan orang. Wajah mereka rata-rata dingin dan tidak berperasaan dengan
tatapan mata kejam seperti
pembunuh berdarah dingin. Dan, yang membuatku
terkejut, ternyata Ki Jagaraksa dapat dikalahkan
hanya dalam waktu kurang dari lima puluh jurus oleh seorang dari mereka. Bahkan
beliau nyaris tewas di
tangan Pasukan Pembunuh itu," jawab Ki Janala lagi, meyakinkan.
"Eh..."! Sampai demikian hebatkah kesaktian mereka?" gumam Panji, seolah tak
percaya. Memang, Pendekar Naga Putih tahu betul, sampai
di mana kesaktian Pendekar Pedang Perak. Dan kalau
sampai tokoh itu memuji-muji lawannya, jelas kalau
kepandaian Pasukan Pembunuh tidak bisa diremeh-
kan. Paling tidak, tentu setingkat dengan Kenanga.
"Bukan hanya itu saja. Dalam suratnya, Ki Jagaraksa pun mengatakan kalau
kesaktian mereka secara
berkelompok sangat luar biasa! Bahkan mungkin para
datuk di empat penjuru pun tidak akan sanggup
menghadapi mereka...," tegas Ki Janala melanjutkan keterangannya. Sehingga,
membuat Panji jadi terme-nung sesaat lamanya.
"Hm..., baiklah. Aku akan mencoba untuk menyelidiki orang-orang yang dijuluki
Pasukan Pembunuh itu.
Mudah-mudahan aku bisa menemukan mereka...," tegas Pendekar Naga Putih.
"Mmm.... Bagaimana kalau kita mencari bersama-sama, Pendekar Naga Putih" Mungkin
kita bisa saling bantu...," usul Ki Janala, agak ragu.
"Kurasa itu lebih baik...," jawab Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih merasa tidak enak
untuk menolak. Ia tidak ingin kalau Ki Janala menjadi tersinggung. Walaupun,
dalam hal kepandaian Ki Janala masih jauh di bawah Pendekar Naga Putih. Dan
hal itulah yang membuat Panji tidak berani menolak.
"Kita berangkat sekarang...?" tanya Ki Janala sambil melihat semua hidangan di
atas meja yang telah tak tersisa sedikit pun. Panji hanya mengangguk. Setelah
membayar harga makanan, mereka pun beranjak meninggalkan kedai itu.
*** "Kira-kira ke mana tujuan pertama dalam mencari
Pasukan Pembunuh itu, Panji...?" tanya Ki Janala.
Kini, laki-laki setengah baya itu menyebut Pende-
kar Naga Putih dengan nama saja, sesuai permintaan
Panji. "Hm.... Menurutku, sebaiknya kita datangi datuk sesat yang menguasai wilayah
timur ini. Di sana kita selidiki, bagaimana tanggapan datuk sesat itu setelah
mendengar kemunculan Pasukan Pembunuh. Kalau
mereka tidak tahu, berarti para datuk itu akan muncul dan kemungkinan akan
mencari Pasukan Pembunuh.
Entah untuk bergabung, atau hanya sekadar ingin
menjajal kepandaian mereka. Dengan begitu, kita akan mudah menemukan orang-orang
aneh itu...," ungkap Panji tentang rencananya.
"Aku setuju. Rasanya, rencana itu merupakan sa-tu-satunya yang terbaik saat
ini...," sambut Ki Janala, berseri.
"Ha ha ha...!"
Pendekar Naga Putih dan yang lainnya menahan
langkah ketika tiba-tiba terdengar suara tawa yang
berkumandang dari empat penjuru. Sadar kalau suara
itu dikirim lewat pengerahan tenaga dalam tinggi, ma-ka cepat-cepat tenaga
dalamnya dikerahkan untuk me-
lindungi dada agar tidak berguncang.
Dan, baik Pendekar Naga Putih maupun yang lain
tidak perlu menunggu lama. Beberapa saat setelah suara gelak tawa itu lenyap,
tahu-tahu bermunculan delapan sosok tubuh tegap terbungkus pakaian warna-
warni. Tiap dua orang mengenakan seragam serupa,
sehingga sekali pandang saja segera diketahui kalau mereka itulah yang mungkin
disebut sebagai Pasukan
Pembunuh. Bukti yang menguatkan dugaan Panji, si-
nar wajah yang dingin beku dan sorot mata yang tajam liar. "Mungkinkah mereka
yang disebut sebagai Pasukan Pembunuh...?" desis Ki Janala, memperhatikan
delapan sosok tubuh yang kini telah membentuk lingkaran, mengurung keempat tokoh
persilatan itu.
"Mungkin saja, Ki, menilik dari langkah mereka, jelas kalau kepandaian mereka
sangat tinggi. Selain itu, pakaian yang dikenakan, seperti sengaja dibentuk agar
terlihat seperti pasukan kecil. Jadi, besar kemungkinan kalau mereka inilah yang
disebut sebagai Pasukan Pembunuh," jelas Panji. Tentu saja Pendekar Naga Putih
hanya sekadar menduga-duga meskipun ada keya-
kinan kalau perkiraannya tidak meleset.
"Lalu, mengapa mereka sepertinya bermusuhan
kepada kita...?" tanya Ki Janala lagi.
Pertanyaan itu seperti terdengar bodoh sekali, ka-
rena telah diutarakan sebelumnya. Tapi, Panji hanya tersenyum tanpa bermaksud
melecehkannya. "Hm.... Cobalah ajak Praba menyingkir. Aku ingin tahu, siapa sebenarnya yang
mereka tuju," ujar Panji lagi. Pendekar Naga Putih memang ingin mengetahui,
siapa yang diinginkan Pasukan Pembunuh itu.
"Kau juga, Kenanga," lanjut Panji kepada kekasihnya. "Tidak, Kakang. Sebaiknya
mereka dihadapi bersama-sama. Kalaupun hanya satu orang yang diingin-
kan, tapi kita harus menghadapi mereka bersama-
sama," bantah Kenanga. Memang, gadis itu belum mengerti arah ucapan Panji.
'Tenang dulu," sergah Panji menyabarkan dara jelita itu. "Aku hanya ingin tahu,
siapa sebenarnya yang mereka musuhi. Dengan begitu, kita bisa menebak
orang yang berdiri di belakang mereka. Karena melihat dari gelagatnya, mereka
seperti telah dicekoki oleh racun yang membuat otak lumpuh...."
Kini dara jelita itu sadar akan kekeliruannya. Ma-
ka, kakinya pun melangkah ke belakang.
Perkiraan Panji ternyata tidak meleset. Kedelapan
orang itu sama sekali tidak mempedulikan mundurnya
ketiga orang itu. Mereka kini bergerak mengepung
Pendekar Naga Putih. Jelas sudah, yang diinginkan
mereka ternyata Pendekar Naga Putih!
Melihat hal itu, Kenanga, Ki Janala, dan Praba
kembali bergerak maju. Tapi, kedelapan orang berwa-
jah dingin itu sama sekali tidak peduli. Mereka terus melangkah semakin dekat
dan menyebar membentuk
lingkaran lebar.
"Hm.... Jelas sudah sekarang, akulah yang diinginkan. Tapi, orang yang berdiri
di belakang mereka aku belum bisa menduganya...," gumam Panji, setelah
mengetahui secara jelas kalau Pasukan Pembunuh itu
pasti menginginkan kematiannya.
"Kita gempur saja mereka, Kakang...," usul Kenanga. Saat itu, Kenanga sudah
hendak melepaskan Pe-
dang Sinar Rembulan yang melingkari pinggangnya.
Namun, gerakannya tertahan karena dicegah Panji.
"Kisanak sekalian! Siapakah kalian" Seingatku, ki-ta belum pernah bertemu
sebelumnya. Kalau boleh ku
tahu, apa maksud kalian mencariku...?" tanya Panji, lantang. Dirayapinya delapan
wajah dingin itu dengan sinar mata tajam, seolah-olah ingin membaca pikiran
mereka. "Kami adalah Pasukan Pembunuh yang ditugaskan
untuk melenyapkanmu dari muka bumi ini...!" sahut sosok terdepan yang berpakaian
serba merah. Suara orang itu terdengar demikian datar dan din-
gin, tanpa irama. Dan segera saja dapat diduga kalau ucapan itu seperti memang
telah lama ditanamkan dalam benak kedelapan lelaki muda bertubuh tegap itu.
Seluruh tubuh Panji menegang ketika delapan
orang pembunuh itu melangkah semakin dekat. Bah-
kan, 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya telah bergolak melindungi sekujur tubuh.
Sehingga, terciptalah kabut bersinar putih keperakan yang menebarkan hawa din-
gin menusuk tulang.
"Haaak..!"
Mendadak salah seorang yang berada di samping
kanan Panji memekik aneh. Kemudian, kedelapan
orang aneh itu berputaran mengelilingi Panji dan kawan-kawannya. Melihat
serangan aneh dan belum
pernah dilihatnya, kening Panji berkerut dalam. Tapi ia tidak bisa berpikir
lama, karena lingkaran yang dibuat kedelapan orang itu terlihat semakin


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengecil. "Awaaas...!"
Panji berseru mengingatkan kawan-kawannya keti-
ka melihat salah satu dari kedelapan sosok tubuh itu mencelat keluar dari dalam
lingkaran. Dan orang itu langsung melontarkan serangan yang menimbulkan
suara mencicit tajam, ke arah Kenanga!
"Yeaaah...!"
Kenanga tentu saja tidak tinggal diam. Cepat pe-
dangnya berkelebat menebas. Sayang, gerakan orang
itu jauh lebih cepat. Tangan yang semula hendak men-cengkeram, tiba-tiba
berputar aneh dengan kecepatan mengejutkan. Dan tahu-tahu, Kenanga merasakan
adanya sambaran angin tajam yang mengancam kepa-
lanya! Wuttt..! Dengan gerakan indah, Kenanga memutar tubuh-
nya dengan kuda-kuda rendah. Saat itu, kaki kanan-
nya mencelat naik menuju ulu hati lawan. Tapi, ten-
dangannya ternyata hanya berupa tipuan. Buktinya
sebelum menyentuh sasaran, kakinya telah ditarik pulang. Bahkan kini digantikan
dengan sambaran pedang ke leher lawan.
Plakkk! Hebat dan cepat sekali gerakan menangkis yang di-
lakukan sosok berpakaian biru tua itu. Dan tahu-tahu
saja, Kenanga terpekik mundur beberapa langkah ke
belakang. Bahkan pergelangan tangannya terasa nyeri akibat terbentur sisi
telapak tangan lawan. Maka cepat-cepat tubuhnya berjumpalitan ke belakang,
ketika lawannya telah kembali menerjang dengan tusukan ja-ri-jari tangan yang
membentuk paruh ular.
"Haiiit..!"
Kenanga terus melenting dan berputaran beberapa
kali untuk menghindari kejaran tangan lawan yang seperti ular hidup itu. Dan
kakinya baru mendarat, setelah yakin telah terbebas dari ancaman serangan maut
lawan. Panji yang akan melesat untuk melindungi Kenan-
ga, terpaksa menahan langkahnya. Karena, sosok ber-
pakaian biru tua itu telah melesat kembali ke dalam barisan, dan ikut berputaran
bersama tujuh orang
lainnya. "Hm..," gumam Panji lirih, melihat cara-cara penye-rangan lawannya yang aneh
itu. Pendekar Naga Putih sudah bisa meraba, dari ma-
na asal kepandaian delapan orang aneh itu. Hanya sa-ja hatinya merasa khawatir
akan keselamatan Kenan-
ga, Ki Janala, dan Praba. Memang, setelah melihat gerakan salah satu dari mereka
yang berhasil membuat Kenanga kelabakan, Panji sadar kalau kepandaian lawan-
lawannya rata-rata berada di atas kepandaian kekasihnya. Tentu saja kenyataan
itu membuat hatinya
cemas. "Kenanga! Ajaklah Ki Janala dan Praba keluar dari lingkaran ini, setelah aku
dapat memecah barisan mereka. Hm.... Rasanya mereka harus dihadapi dengan
tenaga gabungan. Dan itu sangat berbahaya bagi ka-
lian, karena bukan tidak mungkin akan terpengaruh
dan tersiksa oleh hawa panas dan dingin berganti-
ganti yang keluar dari tubuhku. Kuharap, kau bisa
memakluminya...," bisik Panji.
Kenanga mengangguk maklum. Karena, sedikit ba-
nyak sudah bisa dirasakan kehebatan salah seorang
lawannya. Semula, Ki Janala dan Praba merasa keberatan
atas usul yang diajukan Kenanga. Tapi setelah dara jelita itu memberikan alasan
yang dikatakan Panji, kedua orang itu mau mengerti. Dan kini, mereka bersiap
menanti isyarat dari Pendekar Naga Putih.
Setelah melihat kedua orang tokoh itu setuju den-
gan rencananya, Panji mulai mempersiapkan seluruh
kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Apalagi, saat itu gerakan lawan semakin
bertambah cepat, dan
membuat pandangan agak kabur. Menyadari hal itu,
Panji menggoyangkan kepala untuk menetapkan kem-
bali pandangan matanya. Namun, hatinya agak terke-
jut ketika melihat tubuh Kenanga, Ki Janala, dan Pra-ba yang tampak bergoyang-
goyang. Jelas, semua itu
akibat pengaruh gerakan lawan. Dan kini, Panji baru mengerti akan kegunaan gerak
berputar lawan-lawannya. Khawatir pengaruh itu akan semakin men-
jadi, maka Pendekar Naga Putih bersiap untuk meng-
gempur! "Haiiit...!"
Dengan sebuah lengkingan tinggi, tubuh Panji me-
lesat ke arah samping kanannya. Sepasang telapak
tangannya yang terbuka, mendorong ke depan dengan
kekuatan penuh.
Blarrr...! Terdengar ledakan keras saat dorongan sepasang
telapak tangan Panji yang bagaikan badai salju itu menghantam sebatang pohon
besar! Sedangkan, kedelapan sosok tubuh itu telah berlompatan ke kiri dan
kanan menyelamatkan diri. Dan saat itulah, Kenanga, Ki Janala, dan Praba melesat
lolos dari lingkaran kepungan Pasukan Pembunuh.
Tapi, kedelapan orang itu sama sekali tidak mem-
pedulikan ketiga orang lawan yang meninggalkan are-
na pertempuran. Sebaliknya, mereka berlompatan lak-
sana sambaran kilat di angkasa, menuju Pendekar Na-
ga Putih yang tegak di tengah arena.
"Yeaaat..!"
"Haaat..!"
Seiring pekikan-pekikan nyaring yang memekak-
kan telinga, kedelapan sosok tubuh itu melesat ke arah Pendekar Naga Putih
secara berturut-turut. Sambaran tamparan dan pukulan terdengar bercicitan,
menan-dakan betapa hebatnya tenaga yang terkandung di da-
lam serangan-serangan mereka.
"Ahhh..."!"
Kenanga tak bisa menahan seruan kagetnya ketika
melihat kejadian itu. Hatinya kontan berdebar tegang melihat keadaan kekasihnya
yang tampak benar-benar
dalam incaran bahaya maut. Tapi, baik Kenanga mau-
pun Ki Janala dan Praba hanya bisa memandang dan
berdoa demi keselamatan Panji. Mereka sadar betul,
betapa dahsyatnya gempuran kedelapan orang yang di-
juluki sebagai Pasukan Pembunuh itu.
Panji sendiri sangat terkejut melihat perubahan
yang mendadak itu, tapi sama sekali tidak gentar. Cepat semangatnya dikempos dan
tenaga gabungan yang
maha dahsyat dikerahkannya.
"Hiaaat..!"
Seiring 'Pekikan Naga Marah' yang merontokkan
jantung, tubuh Pendekar Naga Putih berkelebat laksa-na sambaran kilat di antara
serangan lawan-lawannya.
Kemudian, 'Ilmu Silat Naga Sakti'nya dikerahkan un-
tuk menghadapi Pasukan Pembunuh. Sebentar saja,
terjadilah pertempuran maut yang mendebarkan jan-
tung. Setelah lewat dua puluh jurus, Panji semakin me-
nyadari kehebatan kedelapan orang itu. Dan hatinya
pun mulai percaya, kalau Pasukan Pembunuh tidak
segera dilenyapkan, mereka pasti akan menguasai du-
nia persilatan! Buktinya, jangankan tokoh-tokoh per-tengahan, bahkan tokoh-tokoh
puncak di empat pen-
juru pun rasanya tidak mungkin sanggup menghadapi
mereka. "Hiaaat..!"
Plakkk! Plakkk!
Serangan dua orang lawan yang mengancam tubuh
disertai decitan angin tajam, terpaksa disambut Panji dengan kedua telapak
tangan terbuka. Karena kalau
tidak berbuat demikian, bukan mustahil kalau Pende-
kar Naga Putih akan celaka oleh serangan lain yang
juga berdatangan mengincar tubuhnya.
Benturan itu membuat kedua orang lawannya ter-
jajar mundur sejauh setengah tombak. Sedangkan
Panji sendiri sudah bergulingan menghindari samba-
ran kepala dan tamparan maut dari enam orang lawan
yang lain. "Yiaaah...!"
Secara tiba-tiba, tubuh Pendekar Naga Putih yang
tengah bergulingan, melenting ke udara sambil mele-
paskan tendangan kilat yang menderu tajam. Kemu-
dian, telapak tangan kanannya mengibas menerbitkan
sambaran angin panas yang menyengat kulit.
Bresssh...! Tendangan yang dilakukan Panji dapat dielakkan
lawan. Sedangkan kibasan tangan kanannya, disam-
but dorongan pukulan jarak jauh dari lawan yang di
sebelah kanannya. Akibatnya, tubuh orang itu melesak ke dalam tanah, hingga
melewati mata kaki. Sementara Panji sendiri terangkat ke atas akibat kuatnya
tenaga sakti yang dikerahkan lawan. Namun, kesempatan
itu cepat digunakannya untuk mengeluarkan jurus
pamungkasnya. "Hiaaa...!"
Seiring pekikan melengking tinggi, tubuh Pendekar
Naga Putih meluncur turun disertai jurus 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi'.
Ternyata, kedelapan orang pengeroyok itu sadar
akan kedahsyatan serangan Pendekar Naga Putih kali
ini. Terbukti, mereka semua tampak saling berpegangan tangan satu sama lain.
Lalu dua orang dari mere-ka yang berada di kanan dan kiri, mendorongkan sebelah
telapak tangan, menyambut gempuran Pendekar
Naga Putih. Akibatnya....
Blarrr...! Ledakan keras pun bergaung, seiring kepulan debu
dan bebatuan kecil, serta percikan bunga api. Dari sini bisa terlihat, betapa
dahsyatnya ledakan yang terjadi.
"Aaakh..."!"
Tubuh Pendekar Naga Putih sendiri terdorong ba-
lik, sejauh dua tombak lebih. Luncurannya baru ber-
henti setelah merobohkan pohon sebesar dua pelukan
orang dewasa. Tubuh Panji kemudian melorot jatuh,
dengan wajah agak pucat. Dia berusaha berdiri,
meskipun agak goyah! Sebenarnya hal itu wajar saja.
Memang, meskipun tenaga saktinya sangat tinggi dan
sukar diukur, tapi menghadapi tenaga gabungan dela-
pan orang yang rata-rata bertenaga hebat, tentu saja Panji tidak mungkin menang!
Namun yang dialami delapan orang lawannya pun
tidak kalah hebat. Meski mereka telah menggabungkan
tenaga sakti untuk menahan gempuran lawan, tetap
saja harus merasakan tenaga dalam Pendekar Naga
Putih. Walaupun tidak sampai terpental karena Panji melakukan gempuran dari
udara, tapi tubuh mereka
telah tertanam hampir sebatas lutut di dalam tanah.
Jelas, hal itu membuktikan kalau kekuatan tenaga
gempuran Pendekar Naga Putih memang benar-benar
luar biasa! "Kakang...!"
Kenanga yang menyaksikan tubuh pemuda pu-
jaannya terpental dan membentur pohon besar hingga
tumbang, segera saja berlari memburu dengan hati
cemas. Demikian pula halnya Ki Janala dan Praba. Mereka
bergegas mendekati Pendekar Naga Putih yang tampak
mengalami luka dalam cukup parah. Untung saja obat-
obatan yang selalu dibawa Panji sangat manjur. Buk-
tinya setelah pil-pil berwarna putih ditelan, Panji tidak perlu khawatir lagi
terhadap luka dalamnya.
"Kenanga. Lawan-lawan kita kali ini terlalu tangguh. Rasanya, aku tidak akan
mampu menghadapi
mereka sekaligus. Sebaiknya, kalian bertiga segera
tinggalkan tempat ini. Tunggulah aku di kedai tempat kita berjumpa semula.
Setelah berhasil mengecoh mereka, aku akan menemui kalian untuk mengatur ren-
cana. Kalau menggunakan kepandaian saja, rasanya
tidak mungkin mereka dapat dikalahkan. Kita harus
mencari siasat dengan menggunakan otak. Dan kuha-
rap, kalian semua jangan membantah. Semua ini ku-
lakukan demi kebaikan bersama. Nah, sekarang pergi-
lah," ujar Panji, agak perlahan. Keputusan pemuda itu jelas sudah tidak bisa
dibantah lagi. 'Tapi, bagaimana denganmu, Kakang...?" bantah
Kenanga. Tentu saja gadis itu tidak ingin kehilangan keka-
sihnya. Jelas, keputusan Panji belum bisa diterima sepenuhnya. Malah sepasang
mata dara jelita itu tampak mulai terselimut mendung.
"Percayalah, Kenanga. Aku akan menemui kalian
nanti. Pergilah, sebelum terlambat...," ujar Panji lagi sambil mengelus wajah
jelita yang tampak mendung
itu. Karena keputusan Panji sudah tidak bisa dirubah, maka Kenanga dengan berat
hati menuruti ucapan kekasihnya. Bersama Ki Janala dan Praba, dara jelita itu
bergerak meninggalkan kekasihnya yang akan menghadapi maut seorang diri! ***
7 Sepeninggal Kenanga, Ki Janala, dan Praba, Panji
bergegas bangkit sambil mengempos semangatnya.
Dengan sorot mata tajam, dirayapinya sosok Pasukan
Pembunuh yang telah siap melanjutkan pertarungan.
Dan Panji tidak bisa menyembunyikan keheranannya
ketika melihat kedelapan orang lawannya kelihatan tidak terluka sama sekali.
"Gila! Sepertinya, orang-orang ini memang sengaja dipersiapkan untuk menghadapi
lawan tangguh. Mereka pandai sekali membaca gelagat, dan dapat bertindak cepat
dalam menghalau serangan yang bagaima-
napun. Satu-satunya cara untuk melumpuhkan,
hanya dengan memisahkan mereka. Mudah-mudahan
dengan cara seperti itu, tidak akan sulit menghadapi mereka...," gumam Panji,
memutar otaknya dalam
mencari cara untuk menghadapi Pasukan Pembunuh.
Karena disadari kalau kepandaiannya tidak akan
mampu menghadapi keroyokan mereka.
Berpikir demikian, Panji segera menggeser lang-
kahnya ke kanan dengan lompatan-lompatan pendek.
Sementara, otaknya berpikir keras mencari cara tersebut. Saat itu juga,
terlintas dalam pikiran untuk men-ciptakan 'Naga Langit' untuk menarik perhatian
Pasukan Pembunuh. Sayang, sebelum hal itu sempat dila-
kukan, lawan-lawannya telah berlompatan menerjang.
"Heaaat..!"
Panji bergegas memutar dan memiringkan tubuh-
nya, ketika sebuah kepalan lawan datang mengancam.
Kemudian, langsung dibalasnya dengan sodokan siku.
Namun serangan balasan itu terpaksa ditunda, karena saat itu juga serangan


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lawan-lawannya yang lain datang menyusuli secara berturut-turut.
Whuuut! Whuuut!
Dengan melempar tubuh ke samping, Pendekar
Naga Putih berhasil menghindari tamparan dan ten-
dangan dua orang pengeroyoknya. Tapi baru saja kaki kanannya menyentuh tanah,
sebuah tendangan keras
telah mengancam. Mau tak mau, tendangan itu ter-
paksa harus dipapak dengan telapak tangan kirinya.
Plakkk! Selagi tubuh lawan berputar akibat tangkisannya
yang amat kuat, Panji langsung mengirimkan tendan-
gan berputar dengan kekuatan hebat. Sayang, kerja-
sama Pasukan Pembunuh demikian kompak dan rapi.
Sehingga pada waktu tendangannya luput, dua buah
telapak tangan lawan datang menggedor dadanya.
Bukkk! Desss! "Hugkhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Pendekar Naga Putih ter-
jungkal ke belakang. Dengan napas sesak Panji segera menghapus tetesan darah
yang mengalir di ujung bibirnya. Cepat kuda-kudanya diperbaiki dan bersiap
menerima serangan berikut dari para pengeroyok yang memang sangat tangguh.
Pertarungan pun kembali berlanjut sengit. Meski-
pun dadanya agak sesak, namun gerakan Pendekar
Naga Putih masih belum berkurang. Lesatan tubuhnya
dalam menghindari serangan lawan dan memberikan
balasan, membuat pertarungan kembali menjadi sen-
git. Tapi biar bagaimanapun, Panji harus mengakui
kehebatan lawan-lawannya. Mereka benar-benar telah
dipersiapkan secara sempurna, sehingga Pendekar Na-
ga Putih benar-benar harus menguras semua kesak-
tiannya. Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tanpa terasa,
seratus jurus kembali telah dilalui. Panji yang telah banyak mengeluarkan
tenaga, mulai merasakan tekanan berat dari lawan-lawannya. Maka ketika
pertarungan memasuki jurus yang keseratus lima puluh, Panji kembali harus
merelakan tubuhnya menjadi sasaran
pukulan dan tendangan dua orang lawannya.
Tubuh Pendekar Naga Putih kembali terjengkang
dan jatuh bergulingan. Darah segar kembali menetes
dari ujung bibirnya, menodai jubahnya yang berwarna putih.
"Hhh.... Mungkinkah di sini akhir petualanganku"
Mereka memang terlalu tangguh bagiku. Melihat dari
gerakan-gerakan mereka, aku yakin kalau mereka te-
lah dipersiapkan oleh datuk-datuk di empat penjuru untuk melenyapkan aku.
Buktinya, dasar-dasar gerakan mereka sangat mirip dengan yang dimiliki keempat
datuk sesat itu. Sepertinya, mereka akan berhasil untuk melenyapkan aku...,"
gumam Panji. Pendekar Naga Putih segera bangkit dengan tubuh
lemas, karena telah banyak kehilangan tenaga.
Sementara itu, Pasukan Pembunuh telah berada
semakin mendekati Panji. Sepertinya, mereka pun da-
pat mengetahui keadaan Pendekar Naga Putih. Terbuk-
ti, langkah mereka tidak terburu-buru dalam meng-
hampiri. Jelas, mereka telah sangat yakin akan segera dapat melenyapkan Pendekar
Naga Putih. Melihat gerak langkah Pasukan Pembunuh yang
seperti sengaja bergerak lambat, Panji pun tidak ingin membuang kesempatan baik
ini. Cepat matanya dipejamkan dan pikirannya disatukan dengan Pedang Naga
Langit yang menyatu ke dalam tubuhnya. Tak berapa
lama kemudian, "Naga Langit...'"
Terdengar bentakan mengguntur seiring terbu-
kanya sepasang mata pemuda gagah itu. Dan.., yang
terjadi kemudian benar-benar membuat Pasukan Pem-
bunuh tersentak bagaikan disengat lebah! Memang,
hampir bersamaan dengan bentakan Pendekar Naga
Putih, terdengar ledakan petir yang sambung-
menyambung. Bahkan langit seperti tertutup men-
dung, gelap untuk beberapa saat lamanya.
Pasukan Pembunuh bergerak mundur ketika meli-
hat pijaran cahaya keemasan memenuhi arena perta-
rungan. Ketika kepala mereka tengadah ke arah pija-
ran sinar itu, terdengarlah pekikan laksana ratusan guntur di angkasa!
"Kreaaaaghhh...!"
Tiba-tiba sesosok makhluk mengerikan yang hanya
ada dalam dongeng, muncul dengan segala perba-
wanya. Tentu saja, pemandangan itu membuat Pasu-
kan Pembunuh tersurut mundur. Tanpa sadar, mereka
terpisah begitu menatap ke arah binatang raksasa
yang mengerikan itu.
Melihat kenyataan itu, Panji melesat ke arah empat
orang anggota Pasukan Pembunuh yang telah terpisah.
"Haaat..!"
Disertai sebuah pekikan nyaring, Pendekar Naga
Putih menerjang keempat orang lawannya mempergu-
nakan 'Ilmu Silat Naga Sakti' yang menjadi andalan-
nya. Sepasang tangannya yang membentuk cakar naga
bergerak susul-menyusul disertai hembusan angin
dingin menusuk tulang. Tentu saja serangan itu mem-
buat keempat orang lawan terkejut, dan cepat bergerak melakukan perlawanan.
Kali ini, Panji tidak merasa khawatir kalau empat
orang Pasukan Pembunuh lain akan datang memban-
tu. Memang, Naga Langit telah diperintahkan untuk
menghadapi keempat orang lawannya yang lain. Se-
hingga, kini pertempuran pun terpecah menjadi dua.
Panji sendiri telah memusatkan seluruh perhatian
untuk melenyapkan keempat orang lawannya selekas
mungkin. Karena biar bagaimana pun, keempat orang
lawannya tetap masih sangat tangguh, dan tidak mu-
dah ditundukkan dalam waktu singkat.
"Haiiit..!"
Ketika pertarungan telah berlangsung selama lima
puluh jurus, tiba-tiba Pendekar Naga Putih memekik
tinggi. Tubuhnya bergerak bagai sambaran kilat di
angkasa mengincar dua orang lawannya.
Desss! Breeet! "Auuughhh...!"
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok
itu terjungkal ke tanah. Bahkan seorang di antaranya langsung menggelepar
kedinginan akibat hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih yang mengandung
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sepenuhnya. Akibatnya, tentu saja orang itu
langsung tewas dengan urat-urat tubuh membeku. Sedangkan lawan yang seorang lagi
tampak berusaha bangkit, meski dengan tubuh berlu-
muran darah. Memang, lambung orang itu telah terke-
na cakar naga Panji. Dan kini, orang itu berusaha
hendak melakukan perlawanan membantu kawan-
kawannya. Panji tidak sudi menyia-nyiakan kesempatan baik
itu. Meskipun dua orang lawannya yang lain telah bergerak menggempur, pemuda itu
sama sekali tidak kelihatan gentar lagi. Karena, kini mereka tidak bisa lagi
menggunakan ilmu gabungan secara sempurna. Dan
hal itu membuat Panji dapat bergerak leluasa untuk
menghadapi gempuran kedua lawannya.
"Heaaah...!"
Bettt! Bettt! Sambaran cakar-cakar lawannya dengan mudah
dielakkan Pendekar Naga Putih. Bahkan langsung da-
pat membalasnya dengan kibasan lengan kanan ke
tengkuk salah seorang lawan. Akibatnya, orang itu
langsung terjerunuk dan tewas dengan tulang leher
patah. Sementara yang seorang lagi punggungnya telah dihantam dengan telapak
tangan kiri, kemudian disusul tendangan berputar yang telak singgah di rahang.
Kraaak...! Terdengar bunyi tulang rahang patah akibat ten-
dangan maut Pendekar Naga Putih! Tanpa ampun lagi
tubuh orang itu langsung ambruk dan tewas, dengan
tulang rahang patah, dan bagian dalam tubuh rusak.
Begitu kedua orang lawan ambruk, Panji yang me-
rasakan adanya angin keras dari arah belakang segera merunduk. Sehingga,
cengkeraman yang siap meremukkan batok kepalanya luput dari sasaran. Lalu, ce-
pat-cepat tubuhnya berbalik dan mengirimkan kedua
telapak tangannya ke dada lawan yang telah terluka
oleh cakarannya.
Bresssh...! Tubuh orang yang malang itu langsung melambung
ke udara, dan terbanting jatuh ke tanah. Orang itu
kontan tewas dengan tulang dada remuk! Darah segar
tampak mengalir keluar dari mulutnya.
"Hm...," Panji bergumam datar sambil menghem-buskan napas penuh kelegaan.
Di pertarungan lain, ternyata Naga Langit telah
membereskan empat orang Pasukan Pembunuh lain-
nya. Terbukti, Panji melihat adanya empat sosok
mayat yang hangus bagaikan terbakar. Pemuda itu
pun mengerti kalau kematian mereka karena sembu-
ran api dari mulut Naga Langit.
Melihat adanya sebilah pedang yang tergeletak di
rerumputan, Panji pun tahu kalau Naga Langit telah
kembali berubah wujud setelah menyelesaikan tugas-
nya dengan baik. Kembali, pedang mukjizat itu disatukan ke dalam tubuhnya. Lalu,
Pendekar Naga Putih
bergerak hendak menemui Kenanga serta dua orang
tokoh sahabatnya.
*** "Sudahlah, Kenanga. Tidak perlu terlalu mence-
maskan keselamatan Panji. Aku percaya, pemuda se-
perkasa dan semulia dia akan dapat selamat dan dilindungi Tuhan. Sebaiknya, kita
berdoa saja untuk kese-lamatannya...," hibur lelaki setengah baya kepada data
jelita berpakaian serba hijau yang berjalan di sebelah kiri. Siapa lagi mereka
kalau bukan Ki Janala dan Kenanga.
"Benar, Kenanga. Aku pun percaya akan kesaktian Pendekar Naga Putih. Ia pasti
akan menemukan cara
untuk menghadapi Pasukan Pembunuh yang sangat
tangguh itu. Kalaupun belum menemukan cara, Ka-
kang Panji pasti bisa meloloskan diri untuk menemui kita...," timpal Praba yang
berjalan di sebelah kanan Ki Janala. Ia pun merasa suka dan kagum terhadap
Pendekar Naga Putih. Dia mengharapkan agar pemuda itu
dapat selamat. "Hhh...."
Kenanga hanya menghela napas dengan wajah ma-
sih terselimut kecemasan. Rupanya, ia belum bisa tenang kalau kekasihnya belum
muncul. Sehingga, Ki
Janala dan Praba pun memaklumi apa yang dirasakan
dara jelita itu. Memang, dalam hati mereka berdua pun terbersit kekhawatiran
terhadap nasib Pendekar Naga Putih. Hanya saja, hal itu berusaha disembunyikan
agar tidak terlihat Kenanga.
"Yahhh.... Mudah-mudahan saja Kakang Panji se-
lamat, dan bisa menemui kita...."
Akhirnya, hanya ucapan lirih itu yang keluar dari
bibir indah milik Kenanga.
"Kami berdua pun berharap demikian...," desah Ki Janala dengan tatapan mata
menerawang jauh ke depan.
Namun tiba-tiba lelaki tua itu mengerutkan ke-
ningnya. Langkahnya terhenti sambil tetap meman-
dang ke depan. "Ada apa, Guru...?" tanya Praba.
Rupanya, pemuda itu sempat heran melihat Ki Ja-
nala yang berhenti tanpa sebab. Tapi begitu mengikuti pandang mata gurunya,
pemuda itu pun mengerutkan
kening. Seketika pandangan matanya dipertajam.
Kenanga yang melihat sikap Ki Janala dan murid-
nya jadi heran. Tanpa berkata-kata, matanya menatap lurus ke depan, mengikuti
pandangan mata guru dan
murid itu. Dan jantung dara jelita itu seketika berde-gup kencang saat melihat
adanya empat sosok tubuh
yang tampak berdiri terlindung pohon besar yang ber-jarak delapan tombak dari
tempat mereka berdiri. Darah di tubuhnya kini mengalir cepat ketika secara
samar-samar mengenali empat sosok tubuh yang jelas-
jelas hendak menghadang perjalanan mereka.
"Celaka...!" desis dara jelita itu, tegang. Rupanya, keempat sosok tubuh yang
tengah menanti mereka itu
dapat dikenalinya.
"Siapa mereka, Kenanga...?" tanya Ki Janala. Rupanya lelaki setengah baya itu
belum mengenal keem-
pat sosok tubuh yang berdiri menghadang. Sedangkan
Praba hanya menatap wajah gadis jelita itu dengan sorot mata minta penjelasan.
"Mereka..., empat datuk sesat yang mendendam
kepadaku dan Kakang Panji. Hm..., tahulah aku seka-
rang. Rupanya Pasukan Pembunuh mempunyai hu-
bungan dengan mereka. Itu sebabnya mengapa hanya
Kakang Panji yang diincar...," gumam Kenanga, sekaligus menjawab pertanyaan Ki
Janala. Sehingga, tokoh
tua itu tersentak kaget dan menjadi tegang wajahnya.
"Maksudmu, mereka itu gembong-gembong kaum
sesat dari empat penjuru...?" desis Ki Janala.
Tampaknya, orang tua ini masih belum bisa per-
caya dengan keterangan Kenanga yang memang ku-
rang jelas. Dan setahunya, keempat orang datuk sesat itu hampir tidak pernah
terlihat bersama-sama. Hal
itulah yang membuatnya merasa ragu dan belum bisa
mempercayai keterangan Kenanga.
"Pandanganku pasti tidak salah, Ki. Aku dan Kakang Panji telah beberapa kali
berjumpa dan bentrok
dengan mereka. Dan melihat bentuk tubuh dan pa-
kaiannya, jelas mereka adalah Raja Iblis Jubah Merah, Datuk Panglima Sesat,
Memedi Karang Api, dan Kuntilanak Bukit Mandau...," urai Kenanga, benar-benar
merasa yakin pandangannya tidak salah.
'Tapi, apa maksud mereka menanti kedatangan ki-
ta...?" tanya Ki Janala, lagi-lagi mengeluarkan pertanyaan bodoh. Memang, orang-
orang sesat seperti
keempat orang datuk itu, tentu tidak mempunyai mak-
sud lain kecuali berbuat kejahatan.
"Hm.... Pasti akulah yang dituju, dan bukan kalian.
Tapi, aku tidak akan gentar menghadapi mereka...!" tegas Kenanga dengan sepasang
mata berkilat penuh
amarah. Tangan kanan gadis itu segera meraba gagang pe-
dang ketika melihat empat calon lawannya bergerak
menghampiri. Rupanya, mereka tidak sabar menunggu
kedatangan Kenanga, Ki Janala, dan Praba.


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi bersama-sama, Kenanga. Kalau memang
harus tewas, apa
boleh buat..," timpal Ki Janala. Seketika seluruh otot tubuhnya mengejang, siap
menghadapi pertarungan
mati-matian. Demikian pula halnya Praba. Pemuda tampan ber-
tubuh tegap dan berkulit coklat itu juga telah siap bertarung. Meski disadari
kalau kepandaiannya tidak
mungkin sanggup melindunginya dari empat orang da-
tuk sesat itu, tapi hatinya sama sekali tidak gentar.
Sebagai pemuda gemblengan Ki Janala yang telah dijejali sifat-sifat
kependekaran, Praba pun siap untuk ma-ti demi membela kebenaran.
"Ha ha ha...! Kau lihat, Panglima Sesat. Meskipun tanpa naga jantan, tapi naga
betina itu masih saja bersikap garang. Kasihan, ia sama sekali tidak tahu kalau
pemuda pujaannya telah tewas direncah pasukan kecil kita...," kata lelaki pendek
gemuk yang mengenakan jubah merah sambil tertawa terbahak-bahak, begitu ti-ba di
depan Kenanga dan kedua orang temannya. Le-
laki gemuk brewok itu dikenal sebagai Raja Iblis Jubah Merah.
"Benar, Raja Iblis. Tapi, aku bersedia menggantikan naga jantan untuk menemani
naga betina yang cantik
seperti bidadari itu. Aku memang telah lama menginginkannya untuk menjadi
permaisuri ku. Dan rasa-
rasanya, hari ini keinginanku itu akan segera terlaksana...," timpal lelaki
tinggi kekar berpakaian panglima kerajaan.
Orang itu adalah Datuk Panglima Sesat, yang me-
mang sudah lama menyukai Kenanga. Tentu saja ha-
tinya menjadi gembira melihat dara jelita itu telah berada di depan matanya.
Bahkan sebentar lagi akan segera menjadi miliknya.
Dua orang lainnya yang tak lain dari Memedi Ka-
rang Api dan Kuntilanak Bukit Mandau hanya tertawa
mendengar ucapan kedua orang kawannya. Jelas, me-
reka telah merasa yakin kalau Pendekar Naga Putih tidak akan selamat dari tangan
Pasukan Pembunuh
yang telah dipersiapkan secara sempurna.
"Hm.... Sudah kuduga, manusia-manusia busuk
seperti kalianlah yang menjadi biang keladi dari semua ini. Tapi, mengapa kalian
mengirim Pasukan Pembunuh itu ke istana"! Apakah kalian masih ingin mem-
bunuh Gusti Prabu Pungga Lawa..."!" geram Kenanga, yang sudah menghunus
senjatanya. "He he he...! Mengapa kau masih saja galak, Bidadari ku" Tindakan kami itu hanya
sekadar coba-coba.
Tapi kalau bisa, memang kami hendak membunuh raja
yang tak becus memerintah itu. Selain itu, juga untuk
mengundang munculnya Pendekar Naga Putih. Karena
biasanya, pemuda sombong itu akan muncul apabila
mendengar peristiwa-peristiwa yang mengundang jiwa
pendekarnya yang sok itu...," sahut Memedi Karang Api sambil melangkah maju tiga
tindak. Tindakannya
membuat Kenanga, Ki Janala, dan muridnya bergerak
mundur dengan otot-otot semakin menegang.
"Hm.... Kalian memang manusia-manusia jahanam
yang pengecut dan tidak tahu malu. Tapi, jangan ha-
rap akan dapat berbuat sesuka hati, selagi aku dan
Kakang Panji masih berdiri tegak. Sampai mati pun, kami akan tetap menentang
manusia-manusia jahat
seperti kalian...!" sahut Kenanga tanpa rasa gentar sedikit pun. Bisa diduga
kalau dara jelita itu telah berte-kad untuk melawan sampai titik darah
penghabisan. "Hm.... Seharusnya sebagai tokoh terpandang, kalian merasa malu. Rasanya para
tokoh persilatan akan menertawakan perbuatan kalian, apabila sampai tersebar di
luaran kalau empat datuk yang berkepan-
daian tinggi harus mengeroyok, hanya untuk mengha-
dapi kami bertiga. Benar-benar menggelikan...!" kata Ki Janala.
Rupanya dia sadar kalau tidak mungkin sanggup
menghadapi ketiga orang datuk itu. Makanya, dico-
banya untuk mengadu kecerdikan, dengan memancing
harga diri para datuk itu.
Tapi orang-orang golongan sesat seperti keempat
datuk itu, mana peduli segala macam aturan. Sehing-
ga, ucapan Ki Janala hanya disambut tawa mereka.
Jelas, pancingan Ki Janala tidak berhasil. Bahkan
keempat datuk itu mulai bergerak mendekat. Maka,
Kenanga dan kawan-kawannya segera melintangkan
pedang di depan dada, siap menghadapi serangan la-
wan 8 "Hm.... Biar aku yang menangkap naga betina yang cantik seperti bidadari
itu...," pinta Datuk Panglima Sesat sambil memperdengarkan tawanya yang
menggetarkan jantung. Sedangkan ketiga orang datuk lainnya hanya tertawa.
"Kalau begitu, bagianku adalah pemuda tampan
gagah itu. He he he.... Pasti menyenangkan mempu-
nyai sahabat baik seperti pemuda gagah yang akan
menemaniku sepanjang hari...," kata Kuntilanak Bukit Mandau sambil terkekeh
genit, ketika menegasi wajah dan sosok murid Ki Janala. Sehingga, wajah Praba
menjadi merah, karena sudah tahu maksud nenek ca-
bul itu. "Hm.... Kau boleh memiliki mayatku, Nenek Cabul"
geram Praba yang menjadi marah mendengar ucapan
Kuntilanak Bukit Mandau. Jelas, pemuda itu harus
melawan mati-matian kalau tidak ingin jatuh ke dalam pelukan nenek berwatak
cabul ini. Kenanga sendiri merasa ngeri membayangkan di-
rinya akan jatuh ke dalam pelukan Datuk Panglima
Sesat. Karena biarpun sosoknya tidak terlalu mena-kutkan dan bisa dibilang cukup
gagah, tapi hatinya jelas merasa ngeri kalau harus melayani manusia bengis
seperti datuk sesat itu. Tentu saja gadis itu lebih rela mati ketimbang harus
menerima hinaan dari gembong
kaum sesat ini.
Raja Iblis Jubah Merah dan Memedi Karang Api
yang merasa tidak mendapat bagian sama-sama me-
langkah mundur, karena Ki Janala telah menghadapi
Kuntilanak Bukit Mandau. Rupanya, orang tua itu in-
gin membantu muridnya untuk menghadapi nenek
bertubuh bungkuk udang yang ternyata memiliki wa-
tak cabul. "Heaaah...!"
Datuk Panglima Sesat yang sudah tidak sabar in-
gin segera menangkap tubuh ramping Kenanga, segera
melompat dengan lengan terkembang. Kenanga tentu
saja tidak tinggal diam. Pedang Sinar Rembulan di
tangan kanannya segera bergerak menyambut serga-
pan lawan. Bettt..! Terdengar suara berdesing ketika pedang pusaka
itu mengibas, hendak membabat pubis lengan Datuk
Panglima Sesat. Tapi, tokoh bertubuh raksasa itu kelihatannya sama sekali tidak
peduli. Tangan kanannya
yang mengibas, bermaksud memapak tebasan pedang
dara jelita itu.
Kenanga yang tahu kalau kekuatannya pasti kalah,
tidak mau bertindak bodoh. Pedangnya diputar sede-
mikian rupa, dan langsung meluncur ke arah tenggo-
rokan lawan. Plakkk! Gerakan Datuk Panglima Sesat memang benar-
benar luar biasa! Tangan kanannya yang semula men-
gibas, bergerak cepat dan menepiskan tusukan pedang lawannya. Akibatnya, tubuh
Kenanga terdorong beberapa langkah ke belakang. Memang, tenaganya masih
beberapa tingkat di bawah datuk sesat itu. Sehingga, benturan itu membuatnya
rugi. Tapi, gadis jelita yang gagah itu sama sekali tidak kehilangan akal. Cepat kuda-
kudanya diperbaiki, dan kembali menerjang dengan jurus-jurus ampuh. Jurus-jurus
pedang gabungannya memang tidak bisa dipan-
dang remeh. Akibatnya, Datuk Panglima Sesat harus
sungguh-sungguh melayani gempuran dara jelita itu.
Dan kini, pertempuran pun semakin seru.
Di bagian lain, Ki Janala dan Praba harus mengu-
ras seluruh kepandaian dalam menghadapi gempuran-
gempuran Kuntilanak Bukit Mandau. Untungnya, ne-
nek sakti itu hanya ingin menangkap Praba hidup-
hidup. Dan tentu saja hal itu tidak mudah dilakukan, apalagi Ki Janala dan Praba
bertarung mati-matian
bagaikan banteng terluka.
"Haiiit..!"
Pada suatu kesempatan, Praba menusukkan pe-
dang ke arah ulu hati nenek bungkuk udang itu.
Sayang, kecepatan gerak pemuda itu masih kalah
jauh. Sehingga, ketika Kuntilanak Bukit Mandau me-
mapak dengan tongkat hitamnya, Praba tidak sempat
menarik pulang serangannya.
Trakkk! "Aaah...!"
Karuan saja tubuh pemuda itu terpelanting dan ti-
dak sanggup mempertahankan kuda-kudanya. Tu-
buhnya kontan terbanting, jatuh ke tanah. Sedangkan saat itu, Kuntilanak Bukit
Mandau sudah menyusuli
tangkisannya dengan totokan ujung tongkat yang siap melumpuhkan.
Ki Janala yang tidak ingin muridnya tertawan Kun-
tilanak Bukit Mandau, segera melesat dengan samba-
ran pedang yang menimbulkan suara mengaung tajam.
Tapi, ternyata nenek bertubuh bungkuk udang itu bertindak lebih cekatan. Tongkat
hitamnya diputar-putar membentuk lingkaran yang menimbulkan putaran angin keras!
Belum lagi Ki Janala dapat menyadarinya, tahu-tahu saja ujung tongkat hitam itu
telah meluncur ke arah tenggorokannya!
"Aihhh..."!"
Sebisa-bisanya, Ki Janala menghindar dengan me-
lempar tubuhnya ke samping. Sayang, gerakannya
masih kalah cepat dengan ujung tongkat Kuntilanak
Bukit Mandau. Meskipun nyawanya dapat disela-
matkan, tapi terpaksa harus menerima hantaman
ujung tongkat pada bahu kanannya.
Tukkk! "Akhhh...!"
Ki Janala kontan memekik kesakitan. Tubuhnya
terlempar dan terbanting jatuh. Bahkan pedangnya
sudah terlepas dari genggaman, karena totokan ujung tongkat lawan telah
melumpuhkan tangan kanannya.
"Yiaaa...! Mampus kau...!" bentak Kuntilanak Bukit Mandau sambil mengayunkan
tongkat hitamnya, siap
meremukkan tubuh Ki Janala yang saat itu masih be-
rusaha bangkit!
Plakkk! Namun tiba-tiba saja, sesosok bayangan bersinar
putih keperakan melayang dan langsung memapaki
hantaman tongkat yang mengancam jiwa Ki Janala.
Akibatnya, hebat sekali. Tubuh Kuntilanak Bukit
Mandau terlempar ke belakang. Untunglah nenek itu
masih sempat bertindak cepat, dengan melenting ke
udara dan berputaran. Kemudian, kakinya mendarat
ringan tanpa menderita apa-apa.
"Pendekar Naga Putih...!" Sebuah seruan terdengar dari mulut Kuntilanak Bukit
Mandau, Raja Iblis Jubah Merah, dan Memedi Karang Api. Enam pasang mata itu
membelalak seperti tengah melihat hantu di siang bolong! Jelas, mereka sangat
terkejut melihat kemunculan pemuda sakti itu. Sedangkan Datuk Panglima Se-
sat tidak ikut berseru, karena harus menghadapi Ke-
nanga. Sosok bersinar putih keperakan yang tak lain dari
Panji, sama sekali tidak mempedulikan keterkejutan
tiga orang datuk sesat itu. Kini, tubuhnya telah melayang ke arah pertarungan
lain. Bahkan langsung dikirimkannya sebuah pukulan jarak jauh ke arah Da-
tuk Panglima Sesat yang saat itu tengah mendesak
Kenanga. Whusss...! Merasakan adanya sambaran angin tajam dari
samping kiri, Datuk Panglima Sesat cepat mengi-
baskan lengan menyambut datangnya pukulan jarak
jauh itu. Tokoh bertubuh raksasa itu pun sepertinya memahami terhadap serangan
berkekuatan hebat.
Maka separuh lebih dari tenaganya telah dikerahkan
untuk memapaknya. Namun sayang, ia tidak tahu ka-
lau penyerangnya adalah Pendekar Naga Putih. Se-
hingga, rugilah datuk sesat itu.
Plarrr...! Dua gelombang tenaga dalam itu pun saling ber-
benturan di udara, menimbulkan ledakan keras. Bah-
kan, Datuk Panglima Sesat hampir terpelanting, kare-na kecerobohannya. Untung
saja kuda-kudanya bisa
dikuasai, sehingga tubuhnya hanya agak terhuyung
akibat benturan keras tadi.
Merasa penasaran dengan kenyataan yang dialami,
Datuk Panglima Sesat mengangkat kepala hendak me-
lihat orang yang berani mati menyerangnya.
"Pendekar Naga Putih,.."!" desis Datuk Panglima Sesat. Rupanya, dia terkejut
bukan kepalang ketika mengenali sosok yang menyerangnya tadi. Hampir-hampir
pandangan matanya tidak dipercayai. Sebab
menurut pikirannya, Pendekar Naga Putih pasti telah tewas di tangan Pasukan
Pembunuh. "Hm.... Mengapa kau terkejut melihatku, Datuk
Panglima Sesat" Aku masih hidup, dan bukan han-
tu...," ledek Panji, sambil tersenyum melihat wajah to-
koh yang seperti orang bodoh itu.
Kenanga yang mendengar seruan Datuk Panglima
Sesat, segera saja menoleh ke arah Panji. Dan lang-
sung disambutnya kedatangan pemuda tampan berju-
bah putih itu dengan penuh kegembiraan. Kecema-
sannya seketika lenyap, begitu sosok kekasihnya telah muncul tanpa menderita
apa-apa. "Kakang.... Syukurlah kau selamat..," ucap Kenanga sambil memegang lengan Panji.
Pendekar Naga Pu-
tih hanya tersenyum sambil membelai rambut dara je-
lita itu. "Seperti yang kau lihat, Kenanga. Sekarang, menyingkirlah. Manusia-manusia sesat
itu memang harus dilenyapkan demi ketenangan umat manusia...," ujar Panji.
Kenanga menuruti kata-kata Panji tanpa memban-
tah. Dara jelita itu segera berkumpul bersama Ki Janala dan Praba yang bergegas
menjauhi arena.
Panji sendiri telah berdiri tegak berhadapan dengan keempat datuk sesat itu.
Tangan kanannya tampak telah menggenggam Pedang Naga Langit. Rupanya, Pen-
dekar Naga Putih hendak melawan datuk-datuk sesat
itu dengan menggunakan pedang mukjizatnya.


Pendekar Naga Putih 53 Pasukan Pembunuh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm.... Apakah kalian kira Pasukan Pembunuh itu dapat melenyapkanku...?" kata
Panji, ketika melihat tatapan mata keempat orang lawannya yang seperti belum
percaya akan penglihatan mereka. "Pasukan Pembunuh yang kalian ciptakan telah
melayat ke akhirat.
Jadi, sebaiknya kalian bersiaplah menyusul...."
Keempat orang datuk itu saling berpandangan satu
sama lain. Jelas sekali, ada pancaran kegentaran di mata mereka. Betapa tidak"
Kalau sampai Pasukan
Pembunuh tidak mampu melenyapkan Pendekar Naga
Putih, apalagi mereka yang jelas-jelas tidak mampu
untuk menghadapi pasukan ciptaan mereka.
"Hm.... Tapi jangan menepuk dada dulu, Pendekar Naga Putih! Kalau Pasukan
Pembunuh tidak sanggup
melenyapkanmu, kami berempat akan menyelesaikan
tugas itu...!" geram Datuk Panglima Sesat, seraya mencabut sebilah golok besar
yang terselip di pinggangnya.
Demikian pula ketiga orang datuk sesat lainnya.
Mereka juga bersiap mengeroyok Pendekar Naga Putih.
Dan kini, keempat datuk sesat itu tampak mengepung
lawannya. "Hm...!"
Panji hanya bergumam lirih melihat gerakan la-
wannya. Perlahan, pedang di tangan kanannya berge-
rak melintang naik ke atas kepala, menerbitkan sinar berkeredep yang menyilaukan
mata. Sekujur tubuhnya
pun telah terbungkus kabut bersinar putih keperakan yang membentengi diri dalam
jarak tiga jengkal. Jelas, Pendekar Naga Putih telah mengerahkan seluruh
kekuatan tenaga saktinya dalam menghadapi keempat
orang datuk sesat itu.
"Haaat..!"
Datuk Panglima Sesat membuka serangan dengan
sambaran golok besarnya yang mengerikan. Terdengar
suara mengaung bagaikan ratusan lebah marah, keti-
ka senjata itu datang mengancam tubuh Pendekar Na-
ga Putih. Panji cepat-cepat berkelit dengan egosan tubuhnya.
Dan begitu serangan pertama lawan luput, tubuhnya
cepat melesat ke samping menyambut Raja Iblis Jubah Merah. Tentu saja tokoh itu
menjadi terkejut, karena tidak menyangka sama sekali kalau Pendekar Naga Putih
akan menyerang dirinya, dan bukan Datuk Pangli-
ma Sesat. Tapi sebagai tokoh kawakan, ia tidak menja-di gugup. Cepat-cepat
tubuhnya melesat ke samping
dengan lompatan panjang, karena sambaran pedang
lawan menebarkan hawa panas yang menyengat kulit.
Saat itu, tongkat hitam Kuntilanak Bukit Mandau
datang hendak menotok jalan darah kematian di teng-
kuk lawan. Dan tentu saja Pendekar Naga Putih tidak sudi menyerahkan tengkuknya
jadi sasaran totokan
ujung tongkat lawan Cepat senjatanya diputar, lang-
sung memalangi tengkuk.
Trang...! "Uhhh...!"
Kuntilanak Bukit Mandau berseru tertahan. Tu-
buhnya kontan terjajar mundur akibat tangkisan Panji yang mengandung tenaga
dalam tinggi. Belum lagi nenek bertubuh bungkuk udang itu sempat memperbaiki
kuda-kudanya, tahu-tahu saja pedang di tangan Pen-
dekar Naga Putih telah menyambar dengan kecepatan
menggetarkan jantung!
"Aihhh...!"
Tentu saja serangan itu membuat Kuntilanak Bukit
Mandau memekik kaget. Cepat tubuhnya dilempar dan
bergulingan menjauh. Sehingga, sambaran pedang
Panji hanya mengenai angin kosong.
"Heaaat..!"
"Yeaaat..!"
Datuk Panglima Sesat, Memedi Karang Api, dan
Raja Iblis Jubah Merah, kembali bergerak susul-
menyusul menerjang Pendekar Naga Putih. Sementara
Kuntilanak Bukit Mandau sudah kembali memasuki
arena pertempuran yang semakin seru dan menegang-
kan. Keempat datuk sesat itu tampaknya sudah men-
gerahkan segenap kesaktian untuk menggempur Pen-
dekar Naga Putih. Sedangkan Panji pun kelihatannya
tidak ingin bermain-main lagi. Hal itu terbaca dari gerakan pedang di tangannya
yang bagaikan tangan-
tangan maut, siap mencabut nyawa lawan-lawannya.
"Yeaaa...!"
Saat pertarungan menginjak jurus yang keseratus
sepuluh, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'.
Seketika tubuhnya melenting ke udara, dan berputa-
ran cepat luar biasa. Dan dari atas, tubuhnya meluncur turun disertai putaran
pedang yang membentuk
lingkaran keemasan menyilaukan mata.
"Heaaah...!"
Seketika Kuntilanak Bukit Mandau memekik nyar-
ing sambil menusukkan ujung tongkat hitamnya un-
tuk menyambut serangan lawan. Sepertinya, nenek itu lupa akan keistimewaan jurus
pamungkas Pendekar
Naga Putih. Maka akibatnya....
Breeet! Breeet!
"Aaargh...!"
Kuntilanak Bukit Mandau kontan meraung keras
saat ujung pedang Pendekar Naga Putih merobek-
robek tubuhnya. Sedangkan tongkat hitamnya telah
terlepas dari genggaman dan terpental jauh dari tem-patnya berdiri. Tubuh kurus
bungkuk itu pun ambruk
disertai semburan darah segar yang melumuri tubuh-
nya. Gerakan Panji tidak berhenti sampai di situ saja.
Datuk Panglima Sesat yang tengah menghindar dari
serangan maut, harus menerima bagian yang serupa
dengan Kuntilanak Bukit Mandau. Dan sepertinya, dia menjadi agak gugup melihat
ketiadaan kawannya. Sehingga ketika pedang Panji meluncur datang, dia mencoba
memapaknya. Sayang, gerakannya terlihat kacau.
Sehingga, terpaksa tenggorokannya harus direlakan
jadi sasaran ujung pedang lawan.
Crappp! "Hikhhh...!"
Terdengar keluhan seperti orang tercekik ketika
ujung pedang Pendekar Naga Putih menancap, hingga
tembus ke leher belakang tokoh bertubuh raksasa itu.
Darah segar memancur saat Panji mencabut senja-
tanya dari tenggorokan lawan. Lalu, tubuh datuk sesat itu pun ambruk ke tanah
dengan nyawa terlepas dari raga.
Memedi Karang Api dan Raja Iblis Jubah Merah
tentu saja terkejut melihat kedua orang kawannya tewas secara berturut-turut.
Mereka seketika bergerak mundur dan menggabungkan sebelah tangan masing-masing.
Sedang tangan yang lain langsung didorong-
kan ke depan. Whusss...! Serangkum angin keras yang berasal dari tenaga
gabungan kedua orang datuk sesat itu meluncur ke
arah Panji. "Hm...!"
Panji yang sadar akan kehebatan serangan gabun-
gan itu, segera melesat ke samping. Sehingga, batu sebesar kerbau yang berada
satu tombak di belakangnya kontan hancur berantakan disertai suara hingar-
bingar. Serpihan-serpihannya pun beterbangan kian
kemari, bagaikan hujan batu saja.
Tapi, Panji tidak mempedulikannya. Tubuhnya te-
lah melesat maju dengan putaran pedang yang bergu-
lung-gulung bagaikan angin puyuh!
Tentu saja baik Raja Iblis Jubah Merah maupun
Memedi Karang Api menjadi kaget bukan main. Mereka
berusaha menghindar mencari selamat, namun Panji
tidak memberi kesempatan. Kemana pun mereka ber-
gerak, ujung pedangnya selalu saja mengikuti bagai-
kan bayangan tubuh kedua orang datuk sesat itu. Ak-
hirnya.... "Aaa...!"
Raja Iblis Jubah Merah langsung menjerit keras
saat Pedang Naga Langit tertancap di ulu hati, hingga tembus ke punggung! Tubuh
tokoh sesat berwajah
brewok itu langsung tersungkur mencium tanah, ber-
mandikan darah! Raja Iblis Jubah Merah pun tewas
menyusul kawan-kawannya, setelah meregang nyawa
beberapa saat. Sekarang, hanya Memedi Karang Api yang masih
tertinggal. Wajah datuk sesat itu nampak pucat pasi.
Sosok Pendekar Naga Putih baginya seperti bayangan
malaikat maut yang siap menjemput nyawanya!
"Sekarang giliranmu, Memedi Karang Api..!" desis Panji.
Seketika Pendekar Naga Putih melesat ke depan.
Ujung pedangnya meluncur cepat menimbulkan desing
angin tajam yang menyakitkan telinga. Maka, cepat-
cepat Memedi Karang Api melompat jauh ke belakang.
Namun, Panji tidak ingin membiarkannya lolos. Lawan terus dikejar dengan
sambaran senjata yang bercuitan.
Bettt..! "Ahhh..."!"
Memedi Karang Api menjerit ketika pedang Panji
nyaris menikam lambungnya. Untunglah tubuhnya
masih bisa dimiringkan, sehingga ujung pedang lawan hanya lewat dua jari di
samping lambung.
Tapi, gerakan Pendekar Naga Putih selanjutnya be-
nar-benar tidak diduga Memedi Karang Api. Tiba-tiba saja, senjata pemuda tampan
itu ditarik pulang sambil digoyang-goyangkan seperti gerak seekor ular.
Akibatnya, bagian samping tubuh datuk sesat itu tersayat-
sayat dengan cepat. Darah pun langsung mengucur
dari luka-luka yang ditimbulkan pedang lawannya.
Dan sebelum kekagetannya lenyap, tahu-tahu saja pe-
dang Pendekar Naga Putih telah bergerak kembali dengan kecepatan luar biasa!
Cappp! Sepasang mata Memedi Karang Api kontan terbela-
lak bagaikan hendak keluar, saat pedang Panji amblas menembus jantungnya. Tubuh
kakek tinggi kurus itu
pun ambruk saat Pedang Naga Langit telah tercabut
keluar. Darah segar kembali membasahi bumi. Kini,
Memedi Karang Api pun tewas menyusul kawan-
kawannya, setelah menggelepar beberapa saat.
"Kakang...."
Kenanga langsung saja berlari dan memeluk tubuh
kekasihnya dari belakang. Hatinya langsung merasa
lega, karena musuh-musuh yang berbahaya telah da-
pat dilenyapkan.
Ki Janala dan Praba saling berpandangan sambil
tersenyum. Jelas, guru dan murid itu pun merasa
gembira melihat kematian datuk-datuk sesat di empat penjuru itu.
SELESAI Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Lovely Peace
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pendekar Kembar 2 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pahlawan Dan Kaisar 23
^