Pencarian

Pemburu Nyawa 1

Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa Bagian 1


Serial Pendekar Naga Putih dalam episode: Pemburu Nyawa oleh T. Hidayat
Penyunting : Puji S.
128 hal. ; 12 x 18 cm Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
1 "Nah! Sekarang, kita telah tiba di perbatasan desa...," desah salah seorang dari
tiga sosok, ketika berhenti di sebuah pertigaan jalan.
Bentuk tubuh orang yang berbicara tadi cukup aneh.
Wajahnya lucu. Hidungnya bulat dan besar, seperti tomat.
Sepasang pipinya kemerahan, mungkin terlalu sering terbakar sinar matahari.
Bibirnya agak tebai dan berwarna merah.
Bahkan potongan rambutnya pun terlihat aneh, mengingatkan orang akan jengger di
atas kepala ayam jantan.
Sedangkan orang yang berada di tengah juga tak kalah aneh. Rambutnya hanya
tumbuh di kedua sisi kepala. Sedang pada. bacaan tengahnya licin pelontos, tanpa
ditumbuhi sehelai rambut pun. Sepasang matanya besar dan agak sayu, mengingatkan
orang akan mata seekor sapi. Dan pada telinga kirinya, tergantung sebuah anting-
anting sebesar gelang. Yang lebih mengesankan adalah bentuk pakaiannya yang
terlihat kebesaran. Padahal, tubuhnya gemuk dan pendek seperti bola.
Yang jelas, orang kedua ini pun terlihat lucu. Bahkan bisa membuat orang yang
melihatnya menjadi tersenyum.
Namun, keanehan pada dua orang tadi rupanya tidak dimiliki orang yang berdiri
paling kanan. Tubuhnya tinggi besar. Otot-
ototnya yang melingkar, menambah kejantanannya. Wajahnya juga tampak keras,
apalagi ditambah cambang bauk lebat.
"Perbatasan desa apa ini, Kakang Wirya Bajang...?" tanya orang yang rambutnya
hanya tumbuh di kedua sisi kepala, sambil menggeleng-geleng. Suaranya terdengar
kecil tinggi, sepera suara perempuan genit.
Orang pertama yang ditanya menjadi agak jengkel. Sikapnya tampak berubah berang
ketika mendengar pertanyaan lelaki gemuk itu
"Bodoh, kau Pasopati! Apakah kau tidak bisa membaca tulisan yang tertera pada
batu di tepi jalan itu?" umpat Wirya Bajang sambil menudingkan telunjuknya ke
tepi jalan. Di situ terlihat sebuah tembok batu setinggi pinggang yang merupakan
tanda perbatasan desa.
Mendengar ucapan itu, laki-laki berpakaian kebesaran yang ternyata bernama
Pasopati itu tertunduk diam. Setelah mengerling sejenak, kakinya melangkah ke
arah batu itu, dan memperhatikannya dengan teliti. Lama dia berdiri sambil
menggerakkan kepala ke kiri dan kanan. Keningnya tampak berkerut dalam.
Sepertinya tengah mengalami kesukaran dalam membaca tulisan di batu itu.
"Ha ha ha...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa tergelak, sehingga membuat Pasopati dan Wirya
Bajang menoleh bersamaan. Mereka tampak memandang tak se-, nang ke arah laki-
iaki bertubuh tinggi besar yang tengah terbungkuk-bungkuk sambil memegangi
perutnya. Rupanya, dia menertawakan ringkah Pasopati yang tengah berusaha
membaca tulisan di batu itu.
"Mengapa kau tertawa, Gajah Mungkur" Apa yang kau tertawakan?" tegur Wirya
Bajang dengan sorot mata tajam.
Lelaki tinggi besar yang bernama Gajah Mungkur itu masih juga tertawa, tanpa
menjawab pertanyaan itu. Kemudian, dengan wajah yang masih menyeringai, matanya
menatap geli pada Wirya Bajang yang merupakan saudaranya yang tertua.
Memang, mereka adalah tiga bersaudara. Sedangkan Gajah Mungkur adalah orang
termuda di antara mereka.
"Bagaimana aku tidak geli, Kakang Wirya Bajang. Sampai kiamat pun, Kakang
Pasopati tidak akan dapat membaca tulisan pada batu itu. Apa kau lupa kalau dia
sama sekali tidak bisa membaca...?" kata Gajah Mungkur, kembali tergelak.
Rupanya dia kembali teringat tingkah iucu Pasopati tadi ketika disuruh membaca
tulisan di batu itu.
Meskipun bertubuh tinggi besar, namun sorot mata Gajah Mungkur tetap saja
terlihat begitu lucu. Yang jelas, tak jauh beda dengan kedua saudaranya yang
memiliki bentuk tubuh dan watak aneh.
Namun sebenarnya, jangan dipandang remeh ketiga lelaki yang tampak kurang waras
itu. Dalam kalangan rimba persilatan, mereka dikenal sebagai tokoh sesat yang
sangat kejam dalam menghukum lawan-lawannya. Tak heran kalau kemudian mereka
dijuluki sebagai Tiga Badut Setan!
Jawaban Gajah Mungkur membuat Wirya Bajang terhenyak.
Orang tertua dari Tiga Badut Setan itu segera sadar akan kekurangan adiknya yang
bernama Pasopati itu. Maka seketika Wirya Bajang ikut tertawa terkekeh, mirip
ringkik seekor kuda.
"Hieh heh heh...! Kau benar, Gajah Mungkur. Ah, betapa bodohnya aku. Aku baru
ingat kalau Pasopati tidak bisa membaca...," ujar Wirya Bajang dengan wajah
masih menyimpan senyum geli.
Sedangkan Pasopati tampak tertunduk malu. Tingkahnya seperti dara remaja yang
baru saja menerima pernyataan cinta dari seorang pemuda.
"Itu sebabnya kenapa aku bertanya kepadamu tadi. Tapi karena disuruh membaca
sendiri, ya..., terpaksa kucoba membacanya. Padahal, kepalaku pusing sekali
melihat garis-garis seperti cacing itu...," ujar Pasopati yang mengakui
kekurangannya sambil mengerling manja kepada kedua orang saudaranya.
"Sudahlah. Desa yang akan kita datangi ini bernama Desa Kandaran. Mudah-mudahan
saja di situ banyak orang berkepandaian silat tinggi. Kalau harapanku terkabul,
tentu kita akan senang...," kata 8
Wirya Bajang dengan wajah berbinar-binar.
Jelas ucapan itu sangat aneh bagi sebagian orang yang mendengarnya. Tapi, tidak
bagi telinga kedua saudaranya.
Mereka bertiga memang merupakan tokoh aneh yang sangat suka bertarung. Semakin
pandai lawan yang dihadapi, semakin senanglah hati mereka.
"Kalau begitu, apa lagi yang kita tunggu, Kakang" Ayolah, kita datangi Desa
Kandaran itu...," selak Gajah Mungkur.
Kelihatannya laki-laki tinggi besar itu tidak sabar setelah mendengar ucapan
kakaknya yang tertua. Sepasang matanya tampak berbinar-binar penuh semangat.
Jari-jari tangannya terlihat mengepal, seperti sudah ingin bertarung dengan
lawannya. "Tentu..., tentu.... Ayo, kita segera berangkat..," ajak Wirya Bajang seraya
melangkah menuju jalan sebelah kiri yang menuju Desa Kandaran.
"Satu, dua.... Satu, dua.... Kiri..., kanan...!"
Sambil melangkah tegap, Wirya Bajang berjalan di depan.
Mulutnya tak henti-henti memberi aba-aba kepada kedua saudaranya yang berjajar
di belakangnya. Sikap itu benar-benar menunjukkan ketidakwarasan mereka.
*** Ketiga lelaki aneh dengan bentuk tubuh berbeda-beda itu, baru saja memasuki
mulut Desa Kandaran.
"Kakang, perutku lapar sekali..." Terdengar keluhan salah seorang di antara
ketiga lelaki itu. Rupanya lelaki bertubuh besar yang bernama Gajah Mungkur itu
merengek seperti anak kecil kepada lelaki yang berhidung seperti tomat Tentu
saja sikap yang tidak wajar itu membuat beberapa penduduk menoleh dan tersenyum
geli. Dan melihat penampilannya, tak dapat dibantah kalau mereka adalah Tiga
Badut Setan. "Lucu sekali orang itu. Usianya sudah dewasa, dan tubuhnya sebesar gajah, tapi
tingkahnya seperti anak kecil. Pasti otaknya agak miring."
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari seorang pemuda remaja penduduk Desa
Kandaran yang berusia sekitar lima belas tahun. Bahkan tanpa sadar, jari
telunjuknya menuding ke arah Gajah Mungkur.
Mendengar ucapan yang jelas-jelas bernada ejekan itu, Gajah Mungkur langsung
menoleh ke arah sumber suara.
Kemudian, pandangannya beralih kepada Wirya Bajang yang berhidung seperti tomat
dengan mimik wajah lucu.
"Kakang, ada orang yang menghinaku...," adu Gajah Mungkur.
Sikapnya yang seperti anak kecil semakin menjadi perhatian bagi yang melihatnya.
Tentu saja sikapnya kembali mengundang tawa beberapa penduduk Desa Kandaran.
"Eh, mengapa kau semakin bertambah bodoh, Gajah Mungkur" Kalau ada yang
menghinamu, bunuh saja! Kalau dagingnya masih lunak dan manis, santap saja.
Bukankah kau suka...?" sahut Wirya Bajang, datar dan tanpa perasaan.
Mendengar ucapan itu, Gajah Mungkur kontan gembira.
Bagaikan anak kecil yang akan mendapat hadiah, lelaki tinggi besar itu melangkah
berdebum. Dihampirinya kerumunan orang desa yang memandang ke arahnya. Karena
wajah Gajah Mungkur tidak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, para penduduk pun
tidak merasa takut, apalagi lari.
Setelah dekat dengan kerumunan orang-orang yang memandangnya, Gajah Mungkur
menatap wajah mereka satu persatu dengan lagak lucu. Orang-orang desa itu sama
sekali tidak menyadari bahaya yang mengancam. Padahal, semakin lucu lagak yang
ditunjukkan Tiga Badut Setan, maka akan semakin buaslah tindakan yang dilakukan!
Semula kerumunan orang desa itu tertawa-tawa saat sepasang lengan Gajah Mungkur
terulur menangkap tubuh laki-laki berusia lima belas tahun yang mengejeknya.
Mereka baru menampakkan ketakutan dan jeritan ketika Gajah Mungkur mengangkat
tubuh anak laki-laki itu ke atas kepala, kemudian membantingnya kuat-kuat ke
tanah. Jrettt! Tanpa sempat berbuat sesuatu, tubuh anak tanggung yang malang itu kontan remuk,
nyawanya langsung melayang. MaB!
Sedangkan Gajah Mungkur sama sekali tidak peduli dengan orang-orang desa yang
menjerit-jerit ketakutan. Laki-laki bertubuh raksasa itu langsung melorot duduk
di atas tanah, kemudian mulai mempreteli anggota tubuh anak laki-laki yang tewas
itu! Sementara itu, Wirya Bajang dan Pasopati hanya memperhatikan dari jarak yang
cukup jauh, sambil tertawa
terbahak-babak Kejadian itu bagi mereka justru adalah pertujukan lucu. Sama
sekali tak tersirat belas kasihan pada wajah mereka.
Dengan nikmatnya, Gajah Mungkur mulai melahap daging lengan mayat anak laki-laki
itu Darah segar berlelehan di sekitar mulut dan dagunya yang ditumbuhi bulu
lebat. Tanpa mempedulikan keadaan di sekelilingnya, lelaki bertubuh raksasa
berusia sekitar tiga puluh tahun itu terus saja menyantap dengan nikmatnya.
Cruppp! Cruppp!
"Ah...! Lezat dan gurih sekali...," gumam Gajah Mungkur, seraya mencerucup
kembali darah segar yang masih membasahi potongan lengan itu. Mulutnya terdengar
berdecap-decap nikmat.
Pemandangan itu terlihat sangat mengerikan bagi yang baru melihatnya. Tapi,
Gajah Mungkur sendiri tampaknya sangat menikmati perbuatannya itu.
"Gajah Mungkur! Kutunggu kau di kedai depan itu...!" kata Wirya Bajang, sedikit
berteriak. Kemudian, dia melangkah bersama Pasopati sambil terus terkekeh-kekeh.
"Ya..., ya...," sahut Gajah Mungkur cepat, tanpa menolehkan kepalanya.
Sepertinya lelaki bertubuh raksasa yang kurang waras itu benar-benar telah lupa
pada keadaan sekelilingnya. Rupanya, santapan di depannya jauh lebih menarik.
Tidak lama setelah tubuh Wirya Bajang dan Pasopati memasuki kedai, tiba-tiba
muncul serombongan orang yang dipimpin seorang lelaki gagah berusia sekitar
empat puluh tahun. Tubuhnya tegap, padat berisi seperti menyimpan kekuatan.
Rupanya, mereka yang ternyata para keamanan desa
itu menghampiri Gajah Mungkur yang masih menikmati santapan mengerikan!
"Itu dia raksasa pemakan daging manusia, Ki Banang!
Makhluk biadab itu harus segera dibasmi! Aku yakin, dia akan mencari anak-anak
lain untuk menjadi santapan berikutnya.
Tapi hati-hati, Ki Banang! Raksasa itu kelihatannya tidak waras...," tunjuk
seorang penduduk yang melaporkan peristiwa itu kepada Kepala Keamanan Desa
Kandaran yang bernama Ki Banang.
"Menepilah, Kisanak. Biar aku yang akan membereskannya,"
ujar Ki Banang. Kemudian, laki-laki gagah itu bergerak maju bersama sepuluh anak
buahnya. "Gila! Dari mana datangnya raksasa pemakan daging itu"!
Mudah-mudahan saja aku dapat mengatasinya..," gumam Ki Banang.
Ki Banang kelihatannya agak gentar juga melihat perawakan Gajah Mungkur, yang
memang menggetarkan jantung itu.
Dengan gerak perlahan, kawan-kawannya diperintahkan untuk mengepung.
"Hei, Orang Asing! Siapa kau"! Dan, dari mana asalmu"! Apa kesalahan penduduk
desa ini, sampai kau tega melakukan perbuatan terkutuk itu...?" tegur Ki Banang
yang berdiri dalam jarak satu tombak lebih dari laki-laki bertubuh besar itu.
Kakinya terpentang lebar seperti telah siap menghadapi pertarungan.
Tapi, teguran itu tidak membuat Gajah Mungkur
menghentikan makannya. Bahkan wajahnya sama sekali tidak menoleh. Telinganya
seolah-olah telah tertutup rapat oleh kenikmatan yang tengah dirasakannya. Tentu
saja sikap Gajah Mungkur membuat Ki Banang naik pitam.
"Keparat! Raksasa ini ternyata tuli!" umpat Ki Banang.
Laki-laki setengah baya itu menjadi tak sabar ketika melihat Gajah Mungkur sama
sekali tidak mempedulikannya. Dan karena merasa dianggap angin lalu,
dikeluarkannya sebilah pisau sepanjang satu jengkal dari dalam pakaiannya.
"Maaf, bukan maksudku berlaku curang...."
Usai berkata demikian, Ki Banang melepaskan pisau kecil itu ke arah dada kanan
Gajah Mungkur. Syuuut..! Pisau yang dilepaskan Ki Banang yang disertai pengerahan tenaga dalam meluncur
cepat menuju sasarannya. Dan....
Takkk! Kejadian selanjutnya, benar-benar membuat Ki Banang terkejut! Ternyata, bukan
tubuh lawan yang terluka. Tapi sebaliknya, malah pisau itu sendiri yang patah
dua ketika menghantam bagian kanan dada Gajah Mungkur. Dari sini saja sudah
terbukti kalau tubuh lelaki raksasa itu sangat keras dan kebal terhadap senjata
tajam. "Grrrhhh...," Gajah Mungkur menggereng.
Lelaki bertubuh besar itu jelas merasa kenikmatannya terganggu Maka sambil
mengangkat wajahnya sekilas, sepasang matanya menyambar tajam. Meski demikian,
mimik wajahnya tak sedikit pun menggambarkan kemarahan. Bahkan semakin
memperlihatkan seringai-seringai lucu.
Dari sini, Ki Banang segera mengambil kesimpulan kalau laki-laki tinggi besar
itu memang benar tidak waras seperti yang dilaporkan warganya tadi. Dan dia jadi
terpaku, tak mengerti harus berbuat apa. Maka untuk beberapa saat, suasana jadi
tegang. Sementara itu Gajah Mungkur perlahan bangkit, sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Senyumnya melebar ketika orang-orang bersera-gam hitam tampak sudah
mengelilinginya.
"Kalian ingin bermain-main denganku..." Bagus! Aku suka sekali," kata Gajah
Mungkur yang kini mengalihkan tatapannya kepada Ki Banang.
Meskipun tampak kurang waras, tapi sepertinya Gajah Mungkur dapat mengetahui
orang yang memimpin sepuluh sosok berseragam hitam itu. Buktinya, laki-laki
bertubuh besar ini lebih banyak memandangi Ki Banang, ketimbang yang lainnya.
"Sapa kau, Kisanak"! Mengapa kau menyebar kekejian terhadap penduduk desa kami"
Apa kesalahannya..."!" tanya Ki Banang.
Sepasang mata Ki Banang menatapi sosok tinggi besar di hadapannya penuh selidik.
Bentuk tubuh Ki Banang memang termasuk tinggi dan kekar. Tapi dibandingkan Gajah
Mungkur, Ki Banang hanya setinggi bahunya saja. Jelas, sosok Gajah Mungkur
memang jauh melebihi ukuran manusia biasa.
"Aku menyebar kekejian" Lucu sekali. Orang Kecil. Aku hanya ingin makan. Ketika
kulihat bocah itu berbicara kepadaku, kelihatannya dia berusaha hendak
menyenangkan hariku. Maka langsung saja kupilih untuk menjadi makananku.
Apakah itu Jahat namanya?" sahut Gajah Mungkur dengan wajah bergerak-gerak lucu.
Tentu saja jawaban Itu membuat Ki Banang terkejut
"Raksasa gila!" desis Ki Banang. Laki-laki setengah baya itu segera mencabut
pedangnya yang tergantung di pinggang.
Kemudian, dia bergerak maju sambil memerintahkan kawan-kawannya untuk bersiap-
siap. "Hei! Mau apa kalian..."! Ingin, menyakiti aku ya..." Hayo, pergi sana! Pergi
jauh-jauh...!"
Gajah Mungkur berusaha mengusir mereka, seraya bergerak mundur. Seolah-olah
hatinya merasa gentar ketika melihat kilatan sinar pedang. Tangannya bergerak-
gerak dengan sikap mengusir.
"Bunuh raksasa gila itu...!" perintah Ki Banang, langsung saja melesat ke depan
sambil menyabetkan pedangnya sekuat tenaga.
Laki-laki setengah baya itu sadar kalau calon lawannya sangat kuat. Kalau tenaga
dalamnya tidak kuat, mungkin tubuh raksasa itu tidak akan mampu melukainya.
Wuertt...!"
"Heiii..."!"
Gajah Mungkur terpekik kaget ketika melihat pedang Ki Banang berkelebat
menyambar bagian perutnya. Maka dengan gerakan lucu seperti orang ketakutan,
Gajah Mungkur bergerak ke belakang. Sehingga, sambaran pedang Ki Banang hanya


Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengenai angin kosong.
Dan rupanya, lelaki bertubuh raksasa itu memang tidak siap bertaruny. Buktinya,
empat batang pedang pengeroyoknya telak sekali menghantam tubuhnya
Bukkk! Takkk! Meskipun keenam batang pedang itu jelas-jelas menghantam tubuhnya, tapi Gajah
Mungkur seperti tidak merasa sakit sedikit pun. Apalagi terluka. Bahkan,
senjata-senjata itulah yang perpatahan jatuh ke tanah. Sedangkan Gajah Mungkur
tampak menyeringai, seperti merasakan pijatan yang membuat tubuhnya terasa
nikmat "He he he...! Kalian benar-benar baik. Aku patut memberi hadiah yang pantas buat
kalian berempat..," kata Gajah Mungkur dengan senyum lucu.
Begitu ucapan laki-laki bertubuh raksasa itu selesai, tangan kanannya langsung
bergerak ke depan. Tahu-tahu saja, lengan salah seorang lawan yang berseragam
hitam itu telah dapat dicekalnya Dan....
"Aaa...!"
Salah seorang pengeroyok yang bernasib sial itu memekik ngeri, ketika tubuhnya
terasa melayang di udara. Rupanya, Gajah Mungkur telah melemparkan tubuh orang
itu ke arah sebatang pohon yang ada di tepi jalan.
Prokkk...! Tanpa ampun lagi, tubuh pengeroyok yang meluncur dengan kepala lebih dulu
langsung menghantam sebatang pohon besar yang tumbuh di tepi jalan. Jelas, kalau
orang itu pasti tewas seketika dengan kepala remuk.
Belum lagi kejadian itu sempat disadari oleh pengeroyok yang lain, termasuk Ki
Banang, laki-laki bertubuh raksasa itu kembali melompat ke arah dua pengeroyok
lainnya. Kedua tangannya bergerak cepat menangkap kepala kedua lawannya.
Kemudian, kepala itu dibenturkan nya saru sama lain.
Akibatnya, kedua pengeroyok kontan ambruk dengan kepala pecah.
"Bedebah keji...!" Ki Banang menggereng marah.
Setelah menyaksikan kejadian itu, lelaki separo baya ini kembali menerjang maju.
Meskipun disadari kalau tubuh lawannya terlindung kulit tebal, namun Ki Banang
sama sekali tidak gentar.
"Hiaaa...!"
Whuttt..! Ujung pedang Ki Banang datang meluruk cepat. Sasarannya mengarah pada bagian-
bagian kelemahan tubuh lawannya.
Yang menjadi sasaran pertama adalah ulu hati Gajah Mungkur.
Namun sayang, lelaki bertubuh raksasa itu dapat bergerak lincah dalam
mengelakkan serangan.
"Aihhh, luput..!" ejek Gajah Mungkur sambil meleletkan lidahnya.
Mendapat ejekan seperti itu, hati Ki Banang semakin bertambah panas. Maka,
serangannya pun semakin diperhebat.
Tapi, Gajah Mungkur ternyata bukan hanya memiliki tubuh kebaL Bahkan, ilmu
silatnya pun sangat tinggi dengan gerakan-gerakan cepat. Sehingga tanpa terduga,
jari-jari yang besar itu telah mencekal erat lengan Ki Banang yang sedang
mengacungkan pedang. Sebelum laki-laki setengah baya itu menyadari adanya
bahaya, kepalan yang sebesar kepala bayi Gajah Mungkur telah meluncur ke arah
batok kepalanya.
Prakkk! Tanpa ampun lagi, batok kepala Ki Banang pecah. Darah segar bercampur cairan
putih seketika membasahi bumi. Tubuh lelaki gagah itu langsung jatuh, begitu
Gajah Mungkur melepaskannya. Sebentar dia menggelepar meregang nyawa, lalu diam
tak bergerak-gerak lagi. Mati!
"Hei! Kalian mau ke mana...?" teriak Gajah Mungkur, ketika melihat para
pengeroyoknya yang lain menghambur pergi.
Rupanya kemaCan Ki Banang membuat keberanian sisa anak buahnya lenyap seketika.
Maka tanpa diberi aba-aba lagi, sisa keamanan Desa Kandaran itu segera melarikan
diri meninggalkan arena pertempuran.
"Ahhh...! Tempat ini jadi sepi dan menjemukan. Sebaiknya aku pergi menyusul
Kakang Wirya Bajang dan Kakang Pasopati...," gumam Gajah Mungkur, yang kemudian
melangkahkan kakinya dengan suara berdebum meninggalkan korban-korbannya.
*** 2 "Wah...! Rupanya kalian baru saja selesai berpesta...!" kata Gajah Mungkur
setelah memasuki kedai yang tampak berantakan.
Belasan mayat tampak bergeletakan di sana-sini. Sedangkan di sudut ruangan,
tampak Wirya Bajang dan Pasopati sedang duduk dengan tenangnya, sambil menikmati
hidangan. Bersama mereka tampak pula dua wanita berusia sekitar dua puluh lima dan tiga
puluh tahun. "Hieh heh heh...! Mengapa kau tidak membawa teman, Gajah Mungkur" Apa kau tidak
iri melihat kami?" sambut Pasopati yang berpakaian kebesaran itu, sambil mencium
seorang wanita yang duduk di sebelahnya.
Wajah wanita yang berada dalam dekapan Pasopati itu tampak pucat dan tak dapat
berbuat apa-apa. Sepertinya, hatinya merasa ngeri untuk memberontak Dia tahu,
baik Wirya Bajang maupun Pasopati tidak akan segan-segan menyiksa.
Apalagi jika kehendak kedua lelaki aneh dari Tiga Badut Setan itu tidak
dituruti. "Ah! Aku memang kurang beruntung, Kakang Pasopati.
Pinjamilah sebentar saja. Apa kau tidak, kasihan kepada
adikmu ini yang tak berteman...?" pinta Gajah Mungkur seraya bergerak maju.
Lelaki bertubuh besar itu langsung saja berusaha hendak merebut wanita dalam
pelukan Pasopati.
"Eh"! Apa-apaan ini, Gajah Mungkur"! Jangan kurang ajar kau!" bentak Pasopati.
Tentu saja Pasopati marah melihat perbuatan adiknya. Maka lelaki gemuk pendek
itu segera mengangkat tangan kanannya untuk menghalau cengkeraman Gajah Mungkur.
Dukkk! Tubuh mereka seketika bergetar mundur, ketika sepasang lengan satu sama lain
saling berbenturan. Bahkan, kursi yang diduduki Pasopati langsung hancur akibat
hebatnya pertemuan kedua tenaga tadi.
"Hei! Kau berani melawanku, Gajah Mungkur! Kurang ajar!"
bentak Pasopati tanpa sifat-siiat lucu maupun lagak gilanya.
Pasopati segera beranjak maju dengan hati panas.
Namun, Gajah Mungkur kelihatannya tidak mau mengalah begitu saja. Melihat
Pasopati marah, dia pun menggereng bagai harimau terluka. Kini keduanya tampak
siap saling tempur.
Memang aneh sekali sifat Tiga Badut Setan itu. Hanya karena masalah sepele saja,
antara satu dan lainnya bisa saling gontok-gontokan. Apalagi terhadap orang yang
tidak mereka kenal. Mereka pun tidak segan-segan menyiksa dengan tangan kejam.
Bahkan sampai membunuh!
Wirya Bajang sendiri sepertinya tidak mem-pedulikan pertengkaran kedua adiknya
Lelaki berhidung seperti tomat itu masih saja asyik tertawa-tawa sambil
menenggak arak di gelas
bambunya. Sesekali wanita di sebelahnya diciumi penuh nafsu.
Dia benar-benar tidak mau tahu atas pertengkaran yang berlangsung di depan
matanya Padahal, pertengkaran itu sudah jelas akan berlanjut menjadi perang otot
"Kau terlalu sekali, Kakang Pasopati! Aku hanya ingin pinjam sebentar saja,
tidak boleh!" bantah Gajah Mungkur, yang masih juga menginginkan wanita dalam
dekapan Pasopati.
"Haa..,. Pinjam menurutmu, bukanlah pinjam yang sebenarnya, Gajah Mungkur. Kalau
wanita ini kuberikan, pasti akan disantap setelah kehangatan tubuhnya kau
nikmati dengan kasar. Dan, aku tidak ingin hal itu terjadi...!" tegas Pasopati,
lantang. Rupanya, keputusan Pasopati tidak bisa diubah lagi.
"Kalau begitu, aku terpaksa harus merebutnya...," ancam Gajah Mungkur sambil
melangkah maju. Laki-laki raksasa itu kembali mengulurkan kedua tangannya untuk
merebut wanita dalam pelukan Pasopati.
Whuuut! Sambaran jari-jari tangan Gajah Mungkur yang besar dan kasar luput Namun,
Pasopati lebih cepat menggeser tubuhnya beberapa langkah.
Setelah menotok lumpuh dan meletakkan tubuh wanita itu di sudut ruangan kedai,
Pasopati melangkah maju untuk bertarung melawan adiknya sendiri.
"Kau memang perlu diajar adat, Gajah Mungkur...!" geram Pasopati, seraya meleset
ke depan. Langsung dilontarkannya tamparan ke pelipis adiknya.
Bettt! Deru angin keras terdengar menyambar ketika telapak tangan Pasopati meluncur ke
pelipis adiknya. Namun Gajah Mungkur yang bertubuh raksasa, sudah menarik
tubuhnya hingga doyong ke samping. Kemudian, langsung dibalasnya serangan itu
dengan sebuah tendangan kilat. Melihat ketidakbe-ranian Gajah Mungkur dalam
menerima tamparan, dapat ditebak kalau tenaga dalam Pasopati mampu menembus
kekebalannya. Tak heran kalau Gajah Mungkur terpaksa memilih menghindar,
ketimbang menerima tamparan.
Pertarungan antara kakak melawan adik itu pun tak terelakkan lagi, laksana musuh
bebuyutan. Sementara itu, Wirya Bajang, lelaki tertua dari Tiga Badut Setan, masih saja
tidak peduli. Tampaknya perselisihan seperti itu sudah sering terjadi di antara
mereka, sehingga dia merasa tidak perlu memisahkan.
Namun, pertarungan yang tengah berlangsung sengit itu tiba-tiba terhenti, ketika
terdengar suara ribut-ribut di luar kedai. Seketika Pasopati dan Gajah Mungkur
menghentikan pertarungan, dan saling berpandangan. Seperti diberi aba-aba,
mereka langsung melesat ke arah keramaian di luar kedai.
Sekali lompat saja, kedua lelaki itu telah tiba di luar.
Pasopati dan Gajah Mungkur segera menjejakkan kakinya di tanah secara bersamaan,
tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Seketika mereka tertawa terkekeh begitu di depan kedai itu tampak berdiri
seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun.
Sedangkan di belakang, kiri, dan kanan orang tua itu terdapat puluhan lelaki
berseragam hitam. Mereka tidak lain adalah Kepala Desa Kandaran beserta para
pengawalnya. Rupanya, setelah mendapat laporan dari para keamanan desa, Kepala
Desa Kandaran yang bernama Ki Sobali itu langsung membawa para pengawalnya untuk
mengusir penjahat-penjahat yang mengacau desanya.
Ki Sobali menjadi terkejut melihat dua lelaki yang keluar dari kedai. Menurut
laporan, pengacau itu hanya ada satu orang.
Tubuhnya tinggi besar, dan pemakan daging manusia. Tapi kenyataannya, sama
sekali tidak terduga. Ternyata pangacau itu berjumlah dua orang!
"Hm.... Bukan tidak mungkin kalau di dalam kedai itu masih ada kawan mereka yang
lain," gumam Ki Sobali sambil mengamati bentuk tubuh kedua orang itu.
Penampilan Gajah Mungkur dan Pasopati yang lucu itu membuat Ki Sobali langsung
menduga kalau yang dihadapi kali ini bukanlah penjahat biasa. Maka, dia pun agak
berhari-hari dalam menghadapi mereka.
"Wah, Kakang. Rupanya kakek itulah yang barusan berteriak-teriak, sehingga
mengganggu kesenangan kita...,"
kata Gajah Mungkur kepada Pasopati.
Tampak Gajah Mungkur telah melupakan pertengkarannya dengan Pasopati tadi. Dan
kini, tatapannya ditujukan pada wajah Ki Sobali.
"Hei, Kakek! Apakah kau telah kehilangan cucumu, sampai berteriak-teriak seperti
orang gila...?" tegur Gajah Mungkur dengan mimik wajah berkerut-kerut lucu.
Kalau saja Ki Sobali dan para pengawalnya tidak mendapat laporan sebelumnya,
mungkin akan tertawa melihatnya. Atau paling tidak tersenyum geli melihat
nhgkah-laku lelaki bertubuh raksasa itu.
"Hm.... Untuk apa bertanya lagi, Gajah Mungkur.
Kedatangan mereka sudah jelas hendak bermain-main dengan kita. Ayo kita layani
saja...," timpal Pasopati.
Pasopati rupanya juga telah melupakan pertengkaran barusan. Dan kini kakinya
segera melangkah maju. Pakaiannya
yang memang kebesaran, tampak berkibar tertiup angin yang cukup keras.
"Tunggu dulu...!" cegah Ki Sobali seraya mengangkat tangannya ke depan. "Kalian
ini siapa" Dan, mengapa kalian melakukan pembunuhan tanpa sebab" Apa salah warga
desa ini?"
Ki Sobali menatap wajah kedua orang itu penuh selidik.
Sayang, meskipun telah berusaha mengenali kedua orang itu, tapi ternyata Ki
Sobali tak juga dapat mengenalinya. Dan dia memang belum pernah bertemu kedua
pengacau itu sebelumnya.
Setelah mendengar pertanyaan lelaki tua Itu, Pasopati menoleh ke arah adiknya.
Terdengar suara gumamannya yang kecil tinggi seperti wanita.
"Gajah Mungkur, kesalahan apa yang telah mereka perbuat?"
tanya Pasopati dengan mimik seperti orang bodoh.
Nada ucapan Pasopati sama sekali tidak menunjukkan kalau tengah mengejek Ki
Sobali Pertanyaannya memang terdengar sungguh-sungguh, seolah-olah Pasopati
memang tidak tahu akan hal itu.
"Salah apa" Tidak ada yang salah. Setahuku, orang-orang yang bersalah pasti
dimasukkan ke dalam penjara. Dan kalau kesalahannya terlalu berat, mungkin bisa
dihukum gantung.
Bukankah begitu, Kakek?" sahut Gajah Mungkur dengan wajah bersungguh-sungguh.
Ki Sobali dan para pengawalnya menjadi heran mendengar ucapan kedua tokoh lucu
namun bersikap kejam itu. Dari perkataan itu, jelas menunjukkari ketidakwajaran
pikirannya. "Orang gila...!" desis Ki Sobali dengan suara perlahan. Baru disadari kalau kali
ini dia berhadapan dengan penjahat yang kurang waras.
"Benar! Kau pintar sekali, Kakek. Hanya orang gilalah yang membunuh orang tanpa
sebab. Aku benar-benar kagum atas jawabanmu yang sangat tepat Itu...!" puji
Pasopati setelah mendengar ucapan Ki Sobali. Bahkan dengan lagak kocak, ibu jari
tangannya diacungkan sebagai tanda pujian.
"Kalianlah yang gila, Manusia Keparat! Dan untuk itu, kalian harus dihukum
mati!" bentak Ki Sobali.
Laki-laki tua itu jadi hilang kesabarannya, setelah menerima tanggapan ngawur
kedua orang di hadapannya. Tanpa ingin memperpanjang perdebatan yang sia-sia
ini, maka langsung pedangnya dihunus. Disadari kalau lawannya berasal dari
golongan sesat yang berkepandaian tinggi. Karena sepanjang pengetahuannya, hanya
orang-orang berkepandaian tinggi saja yang memiliki sifat aneh serta tidak
wajar. Dan kini, segera para pengawalnya diperintahkan maju dan mengepung kedua
orang yang dianggapnya sinting itu.
"Nah! Benar yang kukatakan tadi, Gajah Mungkur. Mereka memang ingin bermain-main
dengan kita...," desah Pasopati dengan wajah berbinar ketika melihat orang-orang
bersenjata itu mulai mengepung.
"Kalau begitu, marilah kita berlomba. Siapa yang paling banyak dan paling cepat
mengirim mereka ke akhirat, dialah yang menang," timpal Gajah Mungkur. Hatinya
kelihatan sangat gembira menghadapi pertarungan yang bakal pecah sebentar lagi.
"Ayolah...," tantangan itu diterima Pasopati.
Dan begitu ucapannya selesai, laki-laki bertubuh gemuk itu langsung saja
bergerak terhuyung-huyung ke depan. Sepasang tangannya bergerak aneh,
menimbulkan deru angin keras yang ber-decitan tajam.
"Haaat..!"
Ki Sobali yang merasakan sambaran angin pukulan lelaki gemuk itu, segera memekik
keras. Langsung disambutnya kedatangan tubuh lawan dengan pedang di tangannya.
Maka sebentar saja Pasopati telah bertempur melawan Ki Sobali yang masih dibantu
lima belas orang pengawalnya.
*** "Heaaat..!"
Di pihak lain. Gajah Mungkur telah mengamuk. Sepak terjangnya benar-benar
menggiriskan. Sepasang tangannya menyambar-nyambar disertai desir angin tajam.
Walaupun serangan Gajah Mungkur sama sekali tidak mengenal sasaran, tapi cukup
membuat tubuh para pengeroyoknya
terhuyunghuyung! Bahkan orang yang terkena tamparan Gajah Mungkur langsung
binasa dengan kepala pecah dan tulang dada remuk. Tak heran kalau dalam waktu
singkat, telah belasan mayat bergeletakan di tanah.
Tentu saja amukan lelaki bertubuh raksasa itu membuat lawan-lawannya menjadi
gentar. Karena selain tamparan dan tendangannya bisa mengakibatkan kematian,
tubuh Gajah Mungkur pun kebal terhadap senjata tajam.
"Ha ha ha...! Lihat, Kakang Pasopati. Jumlah yang kuperoleh lebih banyak!" seru
Gajah Mungkur sambil terus melepaskan serangan-serangan mematikan.
"Hieh heh heh...! Jangan takabur, Gajah Mungkur!
Tengoklah hasil yang kuperoleh. Pasti tidak kalah banyak dengan hasilmu...!"
sahut Pasopati.
Rupanya, lelaki bertubuh gemuk pendek itu telah banyak pula menewaskan lawannya.
Sehingga, jumlah para pengeroyoknya semakin berkurang. Bahkan, Ki Sobali sendiri
kelihatan sudah kepayahan menghadapinya.
"Keparat! Terimalah pembalasanku..!" pekik Ki Sobali.
Laki-laki tua itu menjadi penasaran melihat para pengawalnya semakin banyak yang
tewas di tangan lelaki gemuk pendek ini. Tubuhnya segera cepat melesat dengan
gerakan menyilang, disertai tebasan pedangnya dari atas ke bawah. Jelas, Ki
Sobali telah mengerahkan sisa-sisa tenaga dalam serangannya kali ini. Whuuut..!


Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sayang, serangan yang telah dipersiapkan dengan baik itu, masih juga meleset
dari sasaran. Karena pada saat hampir bersamaan, Pasopati telah menggeser
tubuhnya ke samping dengan kuda-kuda rendah. Kemudian, langsung dibalasnya
serangan itu dengan sodokan jari-jari tangah ke arah ulu hati lawan.
Crabbb! "Aaakh..."!"
Ki Sobali memekik keras ketika jari-jari tangan lawan yang setajam mata pedang,
amblas memasuki tubuhnya. Darah segar kontan mengalir deras dari tubuh Ki
Sobali, seiring amblasnya jari-jari tangan Pasopati.
"Heaaah...!"
Dibarengi bentakan keras, Pasopati menarik kembali tangannya yang telah
merenggut segumpal daging sebesar
kepalan tangan. Akibatnya, tubuh Ki Sobali langsung ambruk tanpa nyawa, karena
jantungnya telah dicopot paksa.
Kematian Ki Sobali tentu saja membuat para pengawalnya tersentak mundur dengan
wajah pucat. Tapi, Pasopati tidak mau bertindak kepalang tanggung. Setelah
melemparkan jantung Ki Sobali ke tanah, tubuhnya langsung melesat dengan
serangan kilatnya.
"Hihhh...!"
Sekali berkelebat saja, empat orang lawan yang tersisa langsung terpelanting
dengan kepala pecah! Gerakan Pasopati memang sangat sulit dilihat mata
telanjang. Begitu menyelesaikan lawan-lawannya, Pasopati menoleh ke arah Gajah Mungkur yang
ternyata telah pula menyudahi lawan-lawannya.
Gajah Mungkur pun saat itu menoleh ke arah kakaknya.
Lelaki bertubuh raksasa itu tersenyum lebar ketika melihat lawan-lawan kakaknya
tidak ada yang tersisa. Mereka kemudian saling bertatapan dengan wajah
mencerminkan kepuasan.
"Wah! Sayang, aku terlambat..."
Tiba-tiba terdengar suara parau yang membuat Pasopati dan Gajah Mungkur menoleh
bersamaan. Keduanya langsung tertawa bergelak ketika melihat wajah Wirya Bajang
yang baru muncul, tampak menyiratkan kekecewaan.
"Tidak ada bagian lagi untukmu, Kakang Wirya Bajang.
Semuanya sudah kami habiskan...," sahut Pasopati sambil tertawa seperti ringkik
kuda. 'Tidak mengapa, Pasopati. Aku masih bisa mencarinya di tempat lain. Ayo kita
tinggalkan desa Ini...," ajak Wirya Bajang seraya berbalik.
"Tapi..., bagaimana dengan wanita milikku, Kakang" Aku ingin menikmatinya dulu,
sebelum meninggalkan tempat ini...,"
Pasopati mencoba membantah perintah kakaknya.
Kalau belum menikmati wanita yang ditinggalkannya di kedai, rasanya Pasopati tak
ingin meninggalkan Desa Kandaran.
Rupanya wanita itu telah membangkitkan gairah nafsu iblisnya.
"Wanita milikmu itu membuat hatiku jengkel, Pasopati. Dia merengek tak habis-
habisnya. Karena aku geram, maka kupukul saja kepalanya hingga pecah. Demikian
juga wanita yang kumiliki. Tapi, tentu saja kehangatan tubuh mereka telah
kunikmati dulu. He he he.... Aku memang lebih beruntung ketimbang dirimu,
Pasopati...," jawab Wirya Bajang dengan nada datar tanpa perasaan. Seolah, nyawa
manusia tidak ada artinya baginya.
"Ah! Sayang sekali...," sesal Pasopati yang tampaknya tidak berani marah kepada
kakaknya. "Sudahlah. Nanti kita cari yang lebih cantik. Ayo ikuti aku...,"
bujuk Wirya Bajang lagi.
Kali ini kedua adiknya menurut saja. Maka, setelah menebarkan bencana di Desa
Kandaran, Tiga Badut Setan itu segera meninggalkan tempat itu
*** Matahari baru saja menampakkan dirinya saat tiga sosok memasuki daerah Bukit
Kundul. Mereka terus bergerak ringan mendaki lereng bukit. Lereng yang terjal
itu tidak membuat mereka kesukaran mendakinya. Langkah kaki mereka kelihatan
sangat mantap dan terlatih baik. Sehingga, sebentar saja sudah bertemu lereng
yang datar dan tidak menanjak lagi.
"Apa ada wanita cantik di bukit ini, Kakang Wirya Bajang?"
tanya lelaki bertubuh raksasa, yang wajahnya terhias cambang bauk lebat. Siapa
lagi orang itu kalau bukan Gajah Mungkur"
Rupanya, yang tengah mendaki lereng Bukit Kundul itu adalah Tiga Badut Setan.
"Kisanak! Harap berhenti sebentar...!"
Tiba-tiba terdengar seruan halus, yang membuat langkah Tiga Badut Setan
tertahan. Baru saja seruan itu lenyap, enam sosok bermunculan menghadang jalan
mereka. Wirya Bajang yang berjalan paling depan, menatap tajam keenam orang yang
berjajar menghadang jalan. Satu persatu dirayapinya wajah orang-orang itu dengan
kepala bergerak-gerak ke kiri dan kanan. Tingkahnya terlihat lucu, sehingga
keenam orang itu saling berpandangan.
Salah seorang penghadang yang tampaknya sebagai pemimpin dari kelima kawannya,
melangkah maju beberapa tindak. Kemudian, dia menghormat sebelum melontarkan
pertanyaannya kepada Wirya Bajang.
"Siapakah kalian bertiga" Dan, apa tujuan kalian datang ke Bukit Kundul ini?"
tanya lelaki gagah berusia empat puluh tahun, menunjukkan nada persahabatan.
"Kami ingin mencari wanita cantik. Apakah di atas puncak bukit ini banyak wanita
cantik...?" sahut Gajah Mungkur langsung, sebelum Wirya Bajang membuka suara.
"Wanita cantik..." Wanita manakah yang kau maksudkan, Kisanak?" tanya lelaki
gagah itu lagi.
Tentu saja dia menjadi heran mendengar jawaban yang sama sekali tidak lumrah.
Meski demikian, sikapnya masih sabar untuk meminta keterangan yang lebih jelas
dari sosok lelaki bertubuh raksasa itu.
"Ya..., wanita mana saja. Asal cantik, aku pasti suka...,"
sahut Gajah Mungkur lagi seenaknya.
Mendengar jawaban Gajah Mungkur, lelaki gagah itu menjadi merah selebar
wajahnya. Jelas, nada ucapan Gajah Mungkur menunjukkan maksud tidak baik
"Maaf. Di atas puncak bukit ini tidak ada rumah bordil. Yang ada, hanya
Perguruan Bukit Kundul. Kalian telah salah alamat, silakan cari di tempat lain
saja...," jawab lelaki gagah itu.
Secara tak langsung, kata-katanya bernada mengusir ketiga tamu yang tak diundang
itu. "Ahhh...! Jauh-jauh datang ke sini hanya untuk mendapat jawaban yang
mengecewakan. Benar-benar tak adil! Kau tentu bohong, Kisanak. Biar kulihat
sendiri untuk membuktikan ucapanmu itu...," ujar Gajah Mungkur.
Setelah berkata demikian. Gajah Mungkur bergerak melangkah tanpa mempedulikan
wajah ketidaksenangan dari lelaki gagah itu.
'Tunggu, Kisanak! Kau tidak boleh berbuat seenaknya di tempat ini! Kami
mempunyai peraturan yang harus ditaati oleh siapa pun yang datang. Harap kalian
tinggalkan saja tempat ini.
Jangan memaksa kami untuk bertindak kasar...!" cegah lelaki gagah itu bernada
ancaman. Bahkan lima orang kawannya yang berada di belakang telah bergerak maju,
juga siap mencegah maju Gajah Mungkur.
"Apa"! Kalian hendak menggunakan kekerasan" Haaa....
Ingin kulihat, seperti apa kekerasan yang dimaksudkan itu,
Orang Gagah. Karena, aku pun suka kekerasan...," sahut Gajah Mungkur kembali,
sekenanya. Lelaki bertubuh besar itu melanjutkan langkahnya tanpa peduli kalau
lelaki gagah itu telah bersiap-siap untuk menyerangnya.
"Sial! Tempat ini ternyata telah kedatangan orang gila...!"
umpat lelaki gagah Itu, jengkel. Sepasang tangannya tampak bergetar, karena
telah teraliri tenaga dalam yang siap digunakan sewaktu-waktu.
*** 3 "Hati-hatilah, Kakang Darinta! Tampaknya mereka memiliki tenaga kuat...," bisik
seorang kawan lelaki gagah itu.
Lelaki yang bernama Darinta itu hanya mengangguk maklum, karena juga berpendapat
sama. "Hayo, sambut kepalanku...!" seru Gajah Mungkur disusul gerakan berputar yang
aneh. Tubuhnya yang tinggi besar segera melesat ke depan melancarkan pukulan.
Bettt...! Darinta sudah dapat mengukur kekuatan tenaga dalam dari sambaran angin
pukulannya. Sehingga, dia bdak ingjn bertindak ceroboh. Cepat-cepat tubuhnya
bergeser mundur dua langkah. Kemudian kakinya melangkah ke depan setelah pukulan
lawannya luput. Lalu, sepasang telapak tangannya cepat meluncur ke arah dada
lawan. Tampak Gajah Mungkur seperti hendak memperlihatkan kekebalan tubuhnya. Dorongan
sepasang tangan lawan disambut oleh dadanya yang dibusungkan ke depan.
Akibatnya, hantaman sepasang telapak tangan Darinta telak mengenai sasarannya.
Bukkl "Akh...!"
Apa yang terjadi benar-benar membuat kawan-kawan Darlnta terbelalak kaget.
Mereka hampir tidak percaya ketika melihat tubuh pimpinannya terhempas ke
belakang diiringi pekik kesakitan. Padahal, mereka jelas-jelas tahu kalau
hantaman sepasang telapak tangan Darinta sanggup menghancurkan batu besar. Tapi,
kenapa sekarang justru membuat Darinta menjerit
"Kakang...!"
Dua kawan Darinta bergegas memburu, dan membantu pimpinannya bangkit. Mereka
semakin terkejut ketika melihat sepasang tangan Darinta tampak membengkak akibat
tenaga pukulan yang membalik.
"Gila! Manusia raksasa itu ternyata jauh lebih kuat dari dugaanku! Ini saja baru
seorang yang maju. Apalagi, bila mereka bertiga maju bersamaan! Rasanya kita
tidak akan sanggup mencegah mereka untuk naik ke puncak. Sebaiknya, salah
seorang dari kalian segera melaporkan kejadian ini kepada guru. Ceparjah...!"
bisik Darinta. Lelaki gagah itu kini telah berdiri tegak, siap bertarung kembali.
Sementara tanpa banyak membuang waktu, salah seorang dari kawan Darinta bergegas
naik ke puncak bukit. Sedangkan Darinta bersama keempat kawannya tetap bertahan
untuk bertarung marimatian.
Sringgg! Srattt!
Empat kawan Darinta bersamaan menghunus senjata untuk menghadapi lawan. Mereka
bergerak mengepung Gajah Mungkur dengan pedang di tangan. Memang yang menjadi
lawan Darinta hanya Gajah Mungkur. Sedangkan Pasopati dan Wirya Bajang hanya
menjadi penonton saja. Dua orang dari Tiga Badut Setan itu sepertinya telah
percaya dengan kemampuan adiknya.
Sementara itu, Darinta sendiri telah berdiri di depan Gajah Mungkur. Rupanya,
dia tidak merasa jera meskipun kedua tangannya sudah tidak bisa digunakan lagi
untuk menyerang.
"Ha ha ha...! Kalian seperti tikus-tikus kecil yang menghadapi kucing liar!"
ejek Gajah Mungkur sambil tertawa-tawa dengan tangan kiri memegangi perutnya.
Sedangkan tangan kanannya menuding wajah kelima lawannya berganti-ganti.
Sikap yang sombong Itu tentu saja membuat wajah lawan-lawannya menjadi merah.
"Jangan takabur dulu, Kerbau Dungu! Kita lihat saja, apakah kau memang mampu
melawan kami berlima...!" desis Darinta.
Jelas, Darinta merasa terhina atas ucapan yang dilontarkan Gajah Mungkur. Segera
saja diberinya isyarat kepada kawan-kawannya untuk maju menggempur.
"Haaat...!"
Diiringi sebuah teriakan nyaring, seorang kawan Darinta yang berada di samping
kanan Gajah Mungkur melesat disertai sambaran pedangnya yang mengarah ke leher.
Kemudian, tiga kawahnya yang lain menyusuli dengan serangan beruntun"
susul-menyusul. Mereka bergerak dengan kecepatan mengagumkan.
Darinta sendiri menerjang dari depan dengan tendangan-tendangannya yang
berputaran cepat, laksana baling-baling.
Rupanya laki-laki ini memang cukup lihai juga dalam ilmu tendangan. Semua itu
terlihat jelas, sewaktu menerjang Gajah Mungkur.
"Hm...," Gajah Mungkur bergumam perlahan.
Tubuh laki-laki tinggi besar itu sama sekali tidak bergeser dari tempat
berpijaknya semula. Jelas, kalau kekebalan tubuhnya sangat diandalkan untuk
menyelesaikan pertarungan itu.
Trakkk! Trakkk! Trakkk!
"Ahhh..."!"
"Haih..."!"
Terdengar pekikan kaget berturut-turut dari keempat anak buah Darinta, begitu
senjata masing-masing telak menghantam sasaran. Tapi, tak satu pun dari keempat
batang pedang itu yang sanggup melukai tubuh Gajah Mungkur. Sebaliknya, tubuh
empat anak buah Darinta sendirilah yang terpental balik.
Memang, tenaga tolakan yang keluar dari tubuh Gajah Mungkur sangat kuat!
Zebbb! Setelah keempat batang pedang itu berpatahan ketika mengenai tubuh Gajah
Mungkur, tendangan Darinta meluncur mengancam pelipis. Jelas, Darinta ingin
melihat apakah jalan darah besar di kepala lawan juga terlindung kekebalan"
Tapi, Gajah Mungkur sepertinya bisa menebak maksud lawan yang satu itu. Maka,
cepat kepalanya dimiringkan ketika tendangan Darinta meluncur datang. Dan tanpa
diduga sama sekali, tangannya bergerak sangat cepat Sehingga....
Tappp! "Ahhh..."!"
Darinta benar-benar terkesiap ketika pergelang-an kakinya dirasakan telah
tercekal jari-jari tangan lelaki raksasa yang besar dan kuat Dia terpaksa
menjerit, ketika Gajah Mungkur meremas dan memuntir kakinya disertai pengerahan
kekuatan tenaganya.
"Hiaaah...!"
Gajah Mungkur membentak keras. Langsung disertakannya tubuh Darinta yang
langsung terangkat ke udara. Kemudian, diputar-putamya tubuh laki-laki gagah itu
di atas kepalanya seperti baling-baling!
"Aaa...!"
Darinta memekik ngeri ketika tubuhnya terasa meluncur pesat, saat dilepaskan
Gajah Mungkur. Tanpa ampun lagi, tubuhnya melayang dan menghantam dinding bukit yang berbatu
cadas itu. Prokkk! Terdengar suara benturan keras ketika kepala Darinta menghantam dinding bukit.
Darah segar bercampur cairan putih kontan muncrat membasahi tanah! Darinta pun
tewas seketika itu juga.
"Ahhh...!"
Keempat kawan Darinta sama-sama terpekik ngeri melihat pimpinannya tewas secara
mengerikan! Tanpa sadar, mereka bergerak mundur menjauhi lawannya. Sementara
lelaki raksasa itu menatapi keempat murid Perguruan Bukit Kundul sambil tertawa
terbahak-bahak "Jangan khawatir! kalian pun pasti akan mendapat bagian yang tidak kalah
menariknya...," ejek Gajah Mungkur. Tawanya
terdengar semakin keras, menandakan nafsu membunuh yang sudah berada di
puncaknya. Mendengar ucapan lelaki bertubuh besar itu, wajah keempat murid Perguruan Bukit
Kundul menjadi semakin pucat Seketika itu juga, keberanian mereka langsung
lenyap entah ke mana.
Sehingga, kaki mereka terus bergerak mundur menjauhi sosok Gajah Mungkur yang
terlihat bagaikan seorang raksasa pemburu nyawa.
"Haaa...!"
Gajah Mungkur kelihatan sangat gembira menyaksikan wajah-wajah yang dilanda
ketakutan hebat Malah calon-calon korbannya sengaja ditakut-takuti. Bentakannya
yang menggelegar serta kedua tangannya yang terkembang, membuat keempat lawannya
melompat ke belakang. Bahkan keringat dingin mulai membasahi wajah dan tubuh
mereka. "Ha ha ha..!"
Senang bukan main Gajah Mungkur menyaksikan tingkah laku keempat orang lawannya
Tawanya tergelak-gelak sampai menitikkan air mata melihat lawan-lawannya semakin
bertambah pucat Apalagi setelah mendengar bentakannya
"Hieeeh heh heh..! Bagus.... Bagus, Gajah Mungkur! Aku senang sekali melihat
tontonan seperti ini...!"
Pasopati yang masih menjadi penonton bersama Wirya Bajang memperdengarkan
tawanya yang seperti ringkik kuda.
Rupanya hatinya juga merasa gembira menyaksikan kekejaman adiknya
Sementara itu, Wirya Bajang sampai jatuh terduduk menyaksikan pertunjukan yang
baginya sangat lucu. Benar-benar mengiriskan sifat Tiga Badut Setan itu. Semakin
orang ketakutan, Tiga Badut Setan akan semakin senang dan puas
melihatnya. Bagi mereka bertiga, pertunjukan itu merupakan hiburan yang
mengasyikkan. Setelah puas mempermainkan lawan-lawannya yang hampir mati ketakutan, Gajah


Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkur berniat mengakhiri permainannya. Dengan bentakan keras, lelaki tinggi
besar itu melompat Kedua tangannya tampak dikembangkan,
menangkap leher dua lawannya. Kemudian, diangkatnya kedua tubuh itu dengan jari-
jari tangan mencekik leher tawan hingga tewas.
Setelah menewaskan kedua lawannya, Gajah Mungkur berpaling ke arah dua lawan
lainnya yang tersisa. Dan dengan gerakan cepat, kedua lawannya ditangkap. Lalu
tanpa ada rasa kasihan, satu persatu dipatahkannya anggota tubuh dua korbannya.
Dan tanpa menghiraukan jeritan-jeritan kesakitan, dipatahkannya batang leher
keduanya hingga tewas dengan mata terbeliak!
Setelah melepaskan korbannya hingga tersuruk di tanah, Gajah Mungkur bertepuk
tangan disertai senyum penuh kepuasan. Sekilas wajahnya berpaling ke arah dua
saudaranya, seolah mengharapkan pujian atas hasil perbuatannya.
"Pekerjaan yang sangat bagus dan menyenangkan, Gajah Mungkur...," puji Pasopati
tersenyum puas.
"Nikmat sekali aku melihatnya, Gajah Mungkur...," tambah Wirya Bajang sambil
bertepuk tangan, sehingga membuat Gajah Mungkur semakin bangga.
"Sekarang tinggal mencari wanita cantik di atas bukit ini...,"
kata Gajah Mungkur.
Laki-laki tinggi besar itu kemudian mempersilakan Wirya Bajang untuk berjalan
lebih dulu. Dia baru berjalan paling belakang, setelah Pasopati melangkah
melewatinya. *** "Itu mereka, Guru...! Celaka! Pasti Kakang Darinta dan yang lainnya telah
dibunuh...!"
Terdengar kata-kata keras dari lelaki pendek kepada seorang lelaki tua yang di
tangan kanannya tergenggam tongkat berwarna merah. Jari telunjuknya ditudingkan
ke arah tiga sosok lelaki yang tengah bergerak semakin mendekat
"Eh"! Tidak salahkah penglihatanku..." Betulkah Tiga Badut Setan yang datang
mengacau...?" desis lelaki tua itu sambil menyipitkan matanya, menegasi.
Perkataannya jelas menandakan kalau laki-laki tua yang ternyata Ketua Perguruan
Bukit Kundul itu telah cukup mengenal ketiga tamu tak diundang Itu. Sebagal kaum
rimba persilatan golongan tua, tentu saja ketiga tokoh sesat yang memiliki sifat
aneh mendekat kegilaan itu sudah dikenalnya.
Kenyataan itu membuat hatinya sangat terkejut'
"Ha ha ha...! Rupanya yang mendekam di bukit ini adalah Tongkat Kayu Merah!
Sungguh kebetulan! Berarti perjalananku tidak sia-sia. Bertarung dengan orang
sepertimu, pasti sangat menyenangkan...!" tantang Wirya Bajang setelah berada
agak dekat Rupanya laki-laki berhidung seperti tomat ini mengenali lelaki bertongkat merah
yang berusia sekitar lima puluh tahun itu.
"Tanyakan kepadanya, Kakang. Apakah dia memelihara gadis-gadis cantik di dalam
perguruannya..?" bisik Gajah Mungkur yang masih saja memikirkan gadis-gadis
cantik Lelaki bertubuh raksasa itu tampak masih penasaran setelah kejadian di
Desa Kandaran. Sehingga, sepanjang perjalanan benaknya hanya dipenuhi bayangan
gadis-gadis cantik saja.
'Tenanglah, Gajah Mungkur. Kita pasti akan mendapatkan banyak gadis cantik Kau
boleh memilih dan menikmatinya nanti...," jawab Wirya Bajang agak keras.
Sehingga suaranya terdengar oleh laki-laki yang ternyata berjuluk Pendekar
Tongkat Kayu Merah dan murid-muridnya.
"Kalau begitu, aku pesan empat Yang cantik-cantik, dan mulus-mulus...," timpal
Pasopati, langsung saja. Bibirnya tampak tersenyum membayangkan dirinya
dikelilingi gadis-gadis cantik yang membuat air liurnya menetes.
"Aku memilihnya nanti saja kalau sudah melihat..," kata Gajah Mungkur sambil
menjilati bibirnya Bayangan gadis-gadis cantik itu seolah santapan yang terlezat
baginya "Hm.... Rupanya mata tuaku masih cukup baik Kiranya Tiga Badut Setan yang datang
berkunjung. Hhh.... Betapa sempitnya dunia ini. Sayang, kedatangan kalian
disertai maksud keji...."
Percakapan Tiga Badut Setan terhenti ketika mendengar kata-kata Pendekar Tongkat
Kayu Merah yang berwibawa dan cukup lantang.
"Sebenarnya, kedatangan kami hanya untuk bersenang-senang, Tongkat Merah.
Sambutan murid-muridmu pun cukup hangat Sayang, mereka harus kami tinggalkan di
bawah sana..," sahut Wirya Bajang, datar.
Bagi yang belum mengetahui sifat Tiga Badut Setan, tentu akan mengira ucapan
.itu tidak menyimpan arti lain. Namun tidak demikian halnya Pendekar Tongkat
Kayu Merah. Laki-laki tua itu cukup mengenal sifat serta istilah yang selalu
digunakan Tiga Badut Setan. Makanya, tak heran kalau wajahnya tampak berubah
kelam ketika mendengar kata-kata Wirya Bajang.
Pendekar Tongkat Kayu Merah yang bernama asli Ki Bajpnta sadar, ucapan itu
berarti kematian bagi murid-muridnya yang
berada di sana. Meski demikian, kemarahannya berusaha ditekan, karena bisa
berakibat parah bagi dirinya. Apalagi, lawan yang harus dihadapinya sangat
tangguh dan belum tentu mampu ditandinginya.
"Kalian benar-benar iblis keji! Tanpa sebab yang jelas) murid-muridku kalian
bantai seperti sekumpulan lalat! Apa sebenarnya yang diharapkan dengan melakukan
kejahatan seperti itu..?"
Meskipun telah menekan kegeramannya sekuat tenaga, tak urung nada suara Ki
Baginta terdengar agak bergetar mengandung kemarahan. Tapi, Wirya Bajang malah
menanggapinya dengan tawa terbahak keras.
"He he he...! Tidak banyak yang kuinginkan, Ki Baginta.
Kami hanya mencari kesenangan, kepuasan, kemashyuran, dan pengakuan bahwa Tiga
Badut Setan adalah tokoh nomor wahid dalam dunia ini...," sahut Wirya Bajang
terkekeh berkepanjangan.
"Kalian benar-benar sinting! Hanya karena alasan kosong itu sampai tega membunuh
orang lain"! Rasanya berdosa besar jika kalian kubiarkan merajalela menebar
bencana! Meski harus mengorbankan nyawa, kebiadaban kalian akan kuhen-Bkan...!"
geram Ki Baginta.
Segera laki-laki tua itu memutar tongkat merahnya, hingga menimbulkan putaran
angin keras yang menerbangkan bebatuan kecil. Kemudian, tongkatnya disilangkan
di depan dada dengan sorot mata tajam.
"Bagus..., bagus...! Memang itulah yang kuinginkan, Ki Baginta. Tanpa ditantang
pun, aku pasti akan memaksamu bertarung denganku...," sambut Wirya Bajang
melompat-lompat kegirangan, persis seperti bocah kecil yang memperoleh mainan
kesukaannya. "Biar yang lainnya bermain-main denganku, Kakang...," pinta Pasopati. Sepasang
matanya sempat berbinar-binar ketika melihat murid-murid Perguruan Bukit Kundul
sudah siap tempur.
"Aku juga ikut bermain...!" seru Gajah Mungkur yang tidak kalah gembiranya.
"Manusia-manusia gila...!" umpat Ki Baginta.
Diam-diam Ketua Perguruan Bukit Kundul itu merasa geram melihat orang-orang yang
gila menyiksa serta membunuh sesamanya. Mereka tak ubahnya seperti pemburu-
pemburu nyawa. Melihat Wirya Bajang sudah menggeser langkahnya, Ki Baginta pun mulai
mempersiapkan diri dengan jurus-jurus andalan. Lelaki berjuluk Pendekar Tongkat
Kayu Merah sadar, lawannya bukanlah orang sembarangan. Maka begitu berhadapan,
langsung dikeluarkannya jurus-jurus andalan.
Sementara itu, Gajah Mungkur dan Pasopati telah bergerak untuk menerjang murid-
murid Ki Baginta. Jelas, mereka sangat bernafsu untuk saling berlomba dalam
menewaskan lawan-lawannya.
"Haaat..!"
Ki Baginta langsung membuka serangan dengan putaran tongkat merahnya. Kemudian
tongkatnya bergerak lurus dengan totokan yang mengancam jalan darah kemarian di
tubuh lawan. Syuuut..! Wirya Bajang terkekeh parau melihat datangnya serangan tongkat lawan. Dengan
gerak aneh namun jelas sangat ampuh dan membingungkan, serangkaian totokan itu
berhasil dielakkan tanpa perlu menggeser tubuhnya jauh-jauh. Jelas hal itu menunjukkan
betapa tingginya ilmu berkelit yang dimilikinya. Ki Baginta pun mau tak mau
harus memuji dalam hati.
"Shaaa...!"
Serangan tongkat Ki Baginta mulai melemah, karena selalu meleset dari sasaran.
Dan kesempatan ini digunakan Wirya Bajang untuk melancarkan serangan balasan.
Didahului sebuah bentakan mengejutkan, tubuhnya bergerak cepat dengan tusukan
jari-jari tangan yang membentuk paruh ular.
Bettt! Bettt! Tampak Ki Baginta kewalahan dalam mengelakkan serangan beruntun yang datang
laksana air bah. Namun dengan kelincahannya, serangan lawan tetap berusaha
dihindari sambil sesekali menangkis dan membalas. Maka sebentar saja kedua tokoh
itu telah terlibat dalam perkelahian sengit Tapi setelah bertarung kurang lebih
tiga puluh jurus, Ki Baginta mulai kerepotan menghadapi serangan beruntun
lawannya. Bahkan sudah tidak sempat lagi membalas, karena terlalu sibuk mengelak
serta menangkis serangan-serangan.
"Yiaaah...!"
Wirya Bajang yang melakukan tekanan-tekanan berat tiba-tiba membentak nyaring
mengejutkan. Berbarengan dengan itu, tubuhnya merendah hampir berjongkok
Kemudian, dia melompat cepat sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya.
Maka.... Blaggg...! "Huakkkh...!"
Telak sekali sepasang telapak tangan Wirya Bajang mendarat di tubuh Ki Baginta.
Akibatnya, Ketua Perguruan Bukit Kundul itu terjajar disertai muntahan darah
segar dari mulutnya. Meski demikian, dia berusaha menahan kuda-kudanya agar
jangan sampai terjatuh. Tapi malang. Sebelum laki-laki tua itu bersiap kembali,
pukulan Wirya Bajang kembali datang menghantam dadanya
Bukkk! Kali ini tubuh Ki Baginta terhempas deras, dan terbanting keras di tanah. Dan
belum juga laki-laki tua itu bisa bangkit, telapak kaki Wirya Bajang telah
mengakhiri hidupnya. Ketua Perguruan Bukit Kundul itu langsung tewas begitu
batang lehernya patah diinjak Wirya Bajang!
Pada saat yang hampir bersamaan, Pasopati dan Gajah Mungkur juga mengakhiri
nyawa lawan terakhirnya Kedua murid Perguruan Bukit Kundul yang tersisa telah
tewas dengan kepala retak akibat tamparan keras tokoh sesat itu.
"Sekarang, tinggal mencari wanita-wanita cantik yang tentunya disimpan dalam
perguruan itu..."
Lagi-lagi Gajah Mungkur yang mengucapkan kalimat itu Sepertinya dia sudah tidak
sabar menyalurkan hajatnya Mendekap tubuh molek, dan 52 menyantapnya untuk
mengisi perut' Wirya Bajang dan Pasopati hanya terkekeh mendengar ucapan adiknya. Mereka kini
bergerak memasuki perguruan yang sudah tidak terjaga lagi, karena semua murid
Perguruan Bukit Kundul telah dibasmi dengan kejam, termasuk pimpinannya!
*** 4 Tak banyak orang yang berlalu lalang di desa ini. Hanya satu dua saja yang
tampak Bahkan tak terlihat sosok wanita. Namun keadaan yang demikian tidak
membuat dua sosok yang tengah berjalan ini jadi bertanya-tanya.
Dua sosok itu tampak memasuki sebuah kedai makan yang ramai pengunjungnya.
Mereka adalah seorang pemuda tampan bertubuh sedang, mengenakan jubah panjang
berwarna putih.
Dan yang seorang lagi adalah seorang dara jelita berpakaian serba hijau.
Kehadiran mereka tentu saja menjadi pusat perhatian, terutama sosok dara jelita
berpakaian serba hijau.
Tidak satu lelaki pun di dalam kedai yang melewatkan kesempatan menatap wajah
jelita itu penuh kekaguman.
Sebagian lagi menatap disertai hasrat yang menggebu-gebu.
Namun pandangan mata mereka serentak merunduk, ketika melihat gagang pedang yang
menghiasi pinggang dara jelita itu. Senjata itu menandakan kalau gadis itu
berasal dari kaum rimba persilatan. Maka, tentu saja mereka tidak berani main-
main. Beberapa pemuda yang berusia sekitar dua puluh atau dua puluh lima tahun,
menatap penuh Iri kepada pemuda tampan berjubah putih yang kelihatannya sangat
akrab. Mereka menduga kalau pemuda itu pasti suami, atau paling tidak
kekasihnya. "Beruntung sekali pemuda itu, entah bagaimana caranya dara jelita itu
didapatkannya...," gumam seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun. Rupanya,
dia tidak bisa menyembunyikan rasa iri terhadap pemuda tampan berjubah putih
itu. Tapi dia tidak bisa berbuat lain, kecuali hanya menatapi sosok dara jelita
itu dari kejauhan.
Sedangkan sepasang anak muda itu menyadari kalau tengah menjadi pusat perhatian
para pengunjung kedai. Namun, keduanya tetap melangkah tenang ke sebuah meja
yang masih kosong. Kemudian, mereka duduk berdampingan dan memesan hidangan
kepada pelayan yang datang menghampiri.
Baru saja pelayan kedai pergi, seorang lelaki tua datang ke arah meja sepasang
pemuda itu. Sengaja dia pindah dari mejanya untuk mendekati pemuda tampan dan
dara jelita yang tidak begitu jauh dari tempat duduknya.
"Maaf, kalau aku mengganggu. Bolehkah aku bergabung dengan kalian...?" pinta
lelaki tua yang berusia sekitar lima puluh tahun. Sikap dan nadanya terlihat
sangat sopan. 'Tentu saja, Paman. Silakan...," sambut pemuda tampan berjubah putih itu setelah
menatap wajah lelaki tua di hadapannya sejenak Kemudian, orang tua itu diberinya
tempat untuk duduk bersama.
"Terima kasih...," ucap lelaki tua itu dengan wajah yang sopan dan wajar.
Lelaki tua itu tampaknya ingin menyampaikan sesuatu kepada pasangan muda di
depannya. Sementara, sepasang anak muda itu pun seolah telah mengerti, sehingga
tetap bersikap menunggu.
"Maaf...," ujar lelaki tua itu setelah duduk dan memperhatikan orang-orang yang
berada dalam kedai.
"Bukannya aku menakut-nakuti. Tapi menurut pendapatku, terlalu berbahaya bagi
wanita secantik Nisanak untuk berada di luar rumah dalam keadaan yang kacau
seperti sekarang ini."
Orang tua itu menghentikan ucapannya dan kembali mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Seolah, khawatir kalau ada orang yang memperhatikan.
"Mengapa, Paman..." Bukankah kami tidak berbuat kesalahan?" tanya pemuda tampan
itu. Keningnya tampak agak berkerut, karena belum bisa.menebak arah pembicaraan
orang tua itu. "Sebagai pedagang keliling, aku cukup tahu akan keadaan sekarang ini. Di mana-
mana, banyak terjadi kejahatan. Bahkan kabarnya, penjahat-penjahat itu memiliki
kesaktian tinggi dan mempunyai banyak pengikut Tidak jarang gadis-gadis muda dan
cantik diculik, tanpa peduli miskin atau kaya.
Pembunuhan terjadi di mana-mana tanpa seorang pun yang mampu mencegahnya. Dan
aku khawatir, kalau sampai Nisanak ini mengalaminya. Sekali lagi, aku mohon
maaf. Aku hanya ingin mencjngatkan, dan bukan menakut-nakuti. Harap jangan salah
paham...," jelas lelaki tua yang mengaku sebagai pedagang keliling.
Melihat dari raut wajah dan sikapnya, lelaki tua itu memang sekadar mengingatkan
tanpa bermaksud menakut-nakuti, seperti yang ditekankannya berulang kali.
"Kejahatan memang tidak akan pernah habis, Paman. Di mana-mana selalu saja ada
orang yang sengaja atau tidak, melakukan kejahatan. Tapi kami berdua yakin, akan
selalu ada yang bersedia mengorbankan nyawa untuk memberantas kejahatan. Yang
penting, kita harus selalu waspada dan jangan sampai terjerumus melakukan
kejahatan...," timpal pemuda tampan itu.
Pemuda berjubah putih itu rupanya memiliki pengalaman cukup luas. Hanya saja,
dia tidak merincinya satu persatu, karena membutuhkan waktu lama. Sehingga, dia
hanya mengemukakan garis besarnya saja.
"Bukan itu maksudku, Anak Muda. Terus terang saja, kawanmu ini terlalu menarik
bagi kaum lelaki. Sedangkan
kejahatan yang kumaksudkan, terjadi sekarang ini. Itu yang kukhawatirkan...,"
bantah lelaki tua itu.
Lagi-lagi pandang mata lelaki tua itu meraya pengunjung di ruangan ini dengan
sikap penu curiga. Sehingga, dara jelita yang sejak tadi hanya mendengar, kini
malah menatap tajam padanya.
"Paman," panggil dara jelita itu dengan suara lembut menyejukkan hati. "Coba
jelaskan keja hatan yang Paman maksudkan" Kami memang baru tiba di desa ini,
sehingga belum mengetahui peristiwa yang terjadi baru-baru ini...."
"Apakah Paman melihat ada salah satu di antara mereka di dalam kedai ini...?"
tanya pemuda tampan ini, ketika lelaki tua itu belum juga menjawab. Malah
pandang matanya beredar dengan wajah agak cemas.
"Aku tidak tahu, Anak Muda. Yang jelas, mereka pasti berjumlah banyak Dan, bisa
saja kalau di antara para pengunjung kedai ada salah satu dari mereka. Kami,
para pedagang keliling pernah menyaksikan perampok itu bertindak.
Mereka rata-rata pandai silat dan sangat kejam. Untung saja nasibku dan dua


Pendekar Naga Putih 57 Pemburu Nyawa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kawanku masih dilindungi Tuhan. Saat para-perampok datang, kami bersembunyi
sambil membawa barang-barang dagangan. Ngeri sekali menyaksikan para perampok
itu membunuhi penduduk desa tanpa perasaan. Bahkan membawa gadis-gadis muda,
yang sudah pasti untuk kepuasan nafsu iblis yang merasuki tubuh mereka," tutur
orang tua itu perlahan, takut kalau terdengar orang lain.
"Apakah perampokan dan penculikan itu sering terjadi, Paman?" tanya dara jelita
berpakaian serba hijau itu, agak menyelidik.
'Ya, begitulah. Tidak jarang dalam satu hari, ada dua atau tiga desa yang
dijarah," sahut lelaki tua itu, masih dengan suara perlahan. Bahkan kali ini
agak berbisik lirih.
"Hm.... Apakah tidak ada tokoh persilatan yang berusaha membasminya...?" tanya
pemuda tampan berjubah putih itu.
Rupanya dia agak penasaran.
"Tentu saja ada. Tapi kebanyakan dari mereka telah tewas, meskipun sebelumnya
berhasil mengusir perampok-perampok ganas itu. Kabarnya, tokoh-tokoh persilatan
yang hendak menegakkan kebenaran itu tewas di tangan para pemimpin perampok.
Bahkan banyak juga perguruan yang membubarkan murid-muridnya, karena tidak
jarang didatangi oleh gembong penjahat. Mereka mengacau perguruan-perguruan,
dari yang letaknya terpencil sampai yang ternama. Mungkin karena kesaktian
gembong-gembong penjahat itulah, yang membuat orang-orang beraliran putih
berpikir sepuluh kali untuk menumpas mereka. Makanya, aku harus menasihati
kalian agar berhati-hati. Kalau sampai Nisanak terlihat oleh salah satu dari
anggota mereka, celakalah kalian berdua...."
Lelaki tua itu menghentikan penjelasannya, tepat pada saat pelayan kedai datang
membawa makanan dan minuman pesanan sepasang anak muda ini.
"Hm... Tadi Paman mengatakan, gerombolan itu pernah menjarah desa, saat Paman
melewatkan malam di desa itu.
Dapatkah kau tunjukkan, ke mana gerombolan itu pergi?" tanya pemuda tampan
berjubah putih itu hati-hati. Tampak sekali kalau semua cerita orang tua itu
disimak baik-baik Lelaki tua itu tampak berpikir sejenak Jelas dia tidak ingin
memberikan jawaban asal jadi saja.
"Hm.... aku tidak tahu pasti. Tapi kalau tidak salah, mereka menuju ke arah
barat, setelah menjarah desa itu. Kalau dari desa ini, kira-kira arahnya ke
utara," jawab lelaki tua itu.
Pemuda tampan itu tampak mengangguk-angguk -eperti hendak menyimpan baik-baik
keterangan pedagang keliling itu.
Saat itu dua kawannya yang diceritakan barusan, telah memanggilnya dari ambang
pintu kedai. Rupanya mereka hendak melanjutkan perjalanan untuk menjajakan
barang dagangan.
"Maaf aku harus pergi. Pesanku, berhati-hatilah dan jangan lengah...," ujar
orang tua itu seraya bergegas bangkit dari kursinya.
"Akan kuperhatikan, Paman. Dan, terima kasih...," sahut pemuda tampan berjubah
putih itu sambil membalas anggukan kepala lelaki tua itu.
Sebentar kemudian, pedagang itu meninggalkan sepasang anak muda ini. Tubuhnya
lalu menghilang, bersama dua orang kawannya yang menunggu.
"Kakang bermaksud menyelidiki gerombolan perampok yang diceritakan lelaki tua
itu...?" tanya dara jelita berpakaian hijau seperti meminta kepastian kepada
pemuda tampan di sebelahnya, setelah pedagang keliling tadi sudah tidak nampak
lagi. "Tentu saja, Kenanga. Dan rasanya, memang sudah menjadi tugas kita dalam
kehidupan ini...," sahut pemuda tampan itu.
Pemuda berjubah putih itu menatap gadis cantik yang dipanggil Kenanga. Melihat
ciri-cirinya, dia sudah pasti Panji dan lebih dikenal sebagai Pendekar Naga
Putih. "Bagaimana kalau gerombolan itu hanya perampok biasa yang tidak mempunyai
hubungan dengan tokoh tertentu...?"
tanya Kenanga lagi, seperti masih meragukan cerita pedagang keliling tadi.
Memang, bukan tidak mungkin kalau lelaki tua tadi telah membesar-besarkan
kejadian yang sebenarnya. Dan biasanya, setiap peristiwa yang berasal dari mulut
ke mulut selalu dibumbu-bumbui agar menjadi menarik.
"Biarpun begitu, kita tetap berkewajiban untuk menumpasnya. Kalau hal itu
dibiarkan berlarut-larut, jelas akan mengganggu ketenangan orang banyak...,"
kilah Panji lagi, tenang.
"Lalu, mengapa kita Gdak segera berangkat ke utara" Aku pun ingin melihat
sendiri, seberapa kehebatan gerombolan perampok yang diceritakan orang tua itu,"
ujar Kenanga lagi.
Tampaknya gadis itu merasa penasaran. Hendak
dibuktikannya sendiri cerita-cerita pedagang keliling itu.
Menurutnya, cerita orang tua tadi jelas menggambarkan keganasan serta kehebatan
gerombolan perampok. Kalau saja orang lain yang mendengarnya, mungkin akan
gentar. Tapi orang yang dinasihati pedagang keliling itu adalah Pendekar Naga
Putih dan kekasihnya, Kenanga. Sepasang pendekar muda itu tentu saja tidak
pernah merasa gentar dalam menghadapi penjahat atau tokoh sesat sesakti apa pun.
"Baiklah. Kita berangkat setelah selesai mengisi perut yang keroncongan ini...,"
desah Panji. Jawaban Pendekar Naga Putih membuat semangat dara jelita itu bangkit. Dan itu
tampak sekali dari wajah Kenanga yang bersinar gembira dan mata berbinar-binar.
Dia memang sangat menyukai petualangan-petualangan yang mendebarkan.
Apalagi bersama pemuda pujaan hatinya. Tidak aneh kalau dia kelihatan ingin
segera menghabiskan santapannya.
*** "Kita langsung menuju ke utara, Kakang...?" tanya Kenanga ketika mereka tengah melintasi
sebuah hutan kecil.
"Ya! Dan untuk mempercepat perjalanan, kita harus melewati tempat-tempat yang
jarang dilalui orang. Sehingga, mungkin saja kita secara tak sengaja menemukan
markas perampok yang biasanya terletak di daerah seperti itu," sahut Panji
sambil tetap mengayunkan langkahnya menerabas semak perdu.
Namun, tiba-tiba saja pemuda tampan itu menghentikan langkahnya. Sedangkan
Kenanga sedikit terkejut, dan juga segera berhenti. Dan gadis itu memang sudah
sering melakukan perjalanan bersama kekasihnya. Maka segera saja bisa diduga,
apa yang menyebabkan Panji berhenti mendadak.
Indera pendengarannya segera dipasang tajam-tajam kalau kalau mendengar suara-
suara yang mencurigakan.
"Kau dapat menangkap suara itu, Kenanga...?" tanya Panji ketika melihat
kekasihnya tampak tengah memusatkan pendengarannya.
"Hhh.... Aku tidak menangkap suara apa-apa, Kakang...,"
sahut Kenanga agak kecewa.
"Ikuti aku. Sepertinya, ada pertempuran di sekitar daerah ini Mungkin agak jauh,
karena terdengarnya samar-samar. Tapi aku yakin, suara yang kudengar itu
teriakan dan dentingan senjata beradu...," jelas Panji.
Dan tanpa menunggu lagi, langsung saja Pendekar Naga Putih berkelebat ke arah
selatan hutan kecil itu.
Sementara, Kenanga yang melihat kekasihnya fidak mengerahkan tenaga sepenuhnya
dalam berlari, segera saja dapat menjajarinya. Kedua pendekar muda itu bergerak
ke arah selatan, seperti yang diinginkan Panji.
"Ahhh..."! Aku mulai dapat menangkap suara itu, Kakang.
Jelas ada orang yang tengah bertempur di sekitar daerah ini.
Mudah-mudahan saja gerombolan itulah yang diceritakan pedagang keliling
tadi...," seru Kenanga, gembira.
"Hm.... Coba, bawalah aku ke tempat asal suara itu...," ujar Panji, sengaja
hendak menguji ketajaman pendengaran kekasihnya.
"Baik...," sahut Kenanga, mantap dan penuh keyakinan.
Jelas, dara jelita itu telah yakin akan ketajaman indera pendengarannya. Segera
saja tubuhnya melesat ke arah kanan dengan kecepatan mengagumkan.
Sedangkan Panji bergerak mengikuti arah yang dituju kekasihnya. Diam-diam
hatinya dihinggapi rasa bangga melihat kemajuan dara jelita itu Latihan-latihan
yang sering dilakukan dalam perjalanan, membuat kepandaian Kenanga telah
meningkat pesat. Selain memiliki bakat yang cukup baik, latihannya pun sangat
tekun. Terutama melatih ilmu-ilmu yang diajarkan kekasihnya. Tidak heran kalau
kemajuannya kini cukup berarti.
"Itu dia, Kakang...!" desah Kenanga, gembira ketika melihat ada yang bertarung
di depan. Jarak mereka dengan pertarungan masih terpisah sekitar sepuluh tombak Namun,
mereka terus bergerak mendekat dan bersembunyi di balik semak-semak.
Panji dan Kenanga sama sekali belum memutuskan untuk bergerak, dan hanya menatap
perkelahian untuk beberapa
saat. Mereka hendak memastikan lebih dulu, pihak mana yang akan dibela.
Kedua pendekar muda itu seperti telah sepakat untuk membantu dua wanita yang
tengah dikeroyok belasan lelaki kasar berpakaian serba hitam. Dan Kenanga telah
lebih dulu berkelebat ke arena pertempuran.
"Jangan khawatir. Sahabat! Aku datang membantu kalian!
Mari kita gempur pengacau-pengacau kurang ajar ini...!" seru Kenanga.
Kenanga sudah bisa menduga kalau belasan lelaki itu adalah golongan sesat. Dari
cara mereka bertarung melawan kedua wanita itu sudah memperlihatkan sikap-sikap
yang tidak sopan.
Selain kata-kata kotor yang sesekali terlontar, serangan-serangan balasan orang
itu pun selalu tertuju ke arah dada yang membusung indah. Dan perbuatan itu
tentunya hanya dilakukan oleh orang-orang golongan sesat.
Dua wanita cantik berusia sekitar dua puluh empat tahun dan tiga puluh tahun itu
memandang Kenanga dengan penuh rasa terima kasih. Apalagi, saat itu mereka
memang sudah kewalahan menghadapi tekanan para pengeroyoknya.
Terutama dua pengeroyok yang kepandaiannya tampak lebih tinggi dari pengeroyok
lainnya. Tentu saja datangnya bantuan membuat mereka lega, begitu menyaksikan
dara jelita berpakaian hijau itu langsung dapat menghempaskan seorang
pengeroyok. Rasa syukur kedua wanita yang sama-sama berwajah cantik dan manis itu semakin
bertambah, ketika melihat seorang pemuda tampan berjubah putih melayang turun
dan ikut membantu. Sepak terjang pemuda yang seketika langsung merobohkan dua
pengeroyok, membuat kedua wanita itu
memandang kagum. Keduanya merasa yakin akan selamat karena pertolongan sepasang
tokoh muda yang sakti itu.
"Lari...!"
Salah satu lelaki yang merupakan pimpinan belasan orang berpakaian serba hitam
itu segera memberi perintah mundur.
Rupanya, dia sadar kalau sepasang pendekar muda yang baru tiba ini tidak mungkin
dapat dilawan. Melihat lawan-lawannya berlarian mundur. Kenanga dan Panji sama sekali tidak
berusaha mengejar. Mereka hanya menatap kepergian orang-orang berpakaian serba
hitam itu dengan senyuman.
"Sahabat-sahabat yang gagah, tolong jangan biarkan orang-orang jahat itu pergi!
Pedang Kiri 19 Pedang Asmara Karya Kho Ping Hoo Pendekar Penyebar Maut 16
^