Pencarian

Penculik Penculik Misterius 1

Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius Bagian 1


PENCULIK-PENCULIK MISTERIUS
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Turi S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Penculik-Penculik Misterius
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Sosok-sosok bayangan hitam itu berkelebatan cepat melintasi pepohonan. Bulan
sabit yang menggantung di langit kelam, tak mampu menerangi bumi. Gumpalan awan-
awan hitam menghalangi pancaran sinar redupnya, membuat suasana malam semakin
diliputi kepekatan. Sehingga, sosok-sosok tubuh itu dapat bergerak dengan
leluasa. Meskipun bergerak dalam gelap, dan dengan sedikit bantuan sinar bulan, sosok-
sosok tubuh itu sepertinya tidak menemui kesulitan. Mereka dapat mengenali jalan
dengan baik, dan bisa menentukan arah yang mereka tuju dengan tepat. Itu
menunjukkan mereka tidak terlalu asing dengan jalan-jalan yang dilalui.
Setelah menyeberangi sungai kecil yang membentang di bawah sebuah jembatan,
sosok-sosok tubuh itu berbelok ke arah jalan sebelah kanan. Melihat cara mereka
menyeberangi sungai dengan tanpa mengurangi kecepatan lari, jelas itu
membuktikan mereka bukan orang-orang sembarangan! Sebab, tidak mudah bagi orang
biasa untuk menyeberang dengan berlari. Padahal, jembatan yang harus dilalui
hanya berupa dua batang bambu, yang diikat jadi satu. Sungguh suatu kepandaian
yang mengagumkan!
Kali ini, sosok bayangan hitam yang berjumlah tiga orang itu, menyusuri jalan
berbatu yang turun naik. Bagi orang yang tidak memiliki ilmu lari cepat yang
baik, tidak akan berani melintas dengan kecepatan tinggi. Apalagi dalam suasana
yang gelap itu.
Tapi, tidak demikian dengan ketiga sosok tubuh berpakaian serba hitam itu.
Mereka tidak mengurangi kecepatan larinya, meskipun medan yang harus dilalui
cukup sulit dan berbahaya. Sekali saja mereka salah melangkah, sulit untuk dapat
dipastikan mereka bisa selamat. Sebab, selain jalanan terkadang menurun curam,
sebuah jurang menganga di kanan jalan.
Kenyataan, bahwa ketiga sosok berpakaian serba hitam dapat melewati medan berat
dengan baik, jelas merupakan bukti mereka memang memiliki kepandaian yang tidak
bisa diremehkan. Hanya orang-orang gemblengan dan telah terlatih dengan baik
saja yang mampu melakukannya.
Setelah medan berat itu dapat mereka lalui dengan baik, ketiga sosok bayangan
hitam bergerak mendekati sebuah bukit, yang terlihat cukup subur. Rupanya,
tempat itulah tujuan mereka. Sebab, ketiganya terlihat mulai mendaki lereng.
Bagai kelelawar-kelelawar besar yang keluar mencari mangsa, ketiga sosok tubuh
itu berloncatan susul-menyusul. Bahkan, tak jarang mereka menggunakan batang-
batang pohon sebagai jalan untuk naik. Rasanya, ketiga sosok bayangan hitam itu
tidak akan kalah dengan kera-kera liar dalam hal berloncatan dari satu pohon ke
pohon lain. Bahkan, gerakan mereka terlihat lebih gesit dibandingkan seekor
kera. Sehingga, dalam waktu yang tidak terlalu lama, mereka pun tiba di atas
bukit yang bertanah datar, dan banyak ditumbuhi rumput-rumput tebal.
Sosok terdepan yang tiba lebih dulu di atas bukit, tampak menghentikan
langkahnya, dan berdiri tegak menanti kedua kawannya. Setelah mereka kembali
berkumpul, sosok pertama yang bertubuh padat berisi, membayangkan kekuatan hebat
yang tersembunyi di dalam tubuhnya, menggerakkan tangan menunjuk ke arah sebelah
barat bukit. Dari sini, bisa diduga sosok pertama itu lebih mengetahui keadaan
puncak bukit daripada dua kawannya. Sehingga, dialah yang menjadi penunjuk jalan
bagi teman-temannya.
Setelah memastikan arah yang akan diambil, ketiganya kembali menyusuri tanah
berumput. Kali ini mereka hanya berlari-lari kecil. Sepertinya, mereka sangat
berhati-hati untuk bergerak maju.
Beberapa saat kemudian, di depan mereka dalam jarak sekitar enam tombak, tampak
sebuah bangunan besar berdiri kokoh. Di sekeliling bangunan itu terdapat kayu-
kayu bulat setinggi satu setengah tombak, yang membentuk pagar.
Ketiga sosok bayangan itu berhenti sejenak, kemudian merunduk merayapi bagian
atas dan setiap sudut sebelah atas bangunan. Agaknya, mereka hendak memastikan
keberadaan penjaga-penjaga bangunan pada pos-pos penjagaan di atas gerbang, dan
di sudut kiri-kanan bangunan.
"Tampaknya kehadiran kita tidak diketahui...," ujar sosok pertama yang bertugas
sebagai pemimpin kedua orang kawannya.
"Benar. Untuk itu kita harus bertindak cepat. Setiap penghadang harus kita
singkirkan! Dengan itu, jejak kita tidak akan dapat diketahui...," sahut sosok
kedua mengingatkan kawan-kawannya, yang mengangguk tanda mengerti.
Usai berunding, ketiganya bergerak dengan membungkuk mendekati bagian samping
kanan bangunan. Terkadang ketiganya bergulingan, agar kedatangan mereka tidak
sampai terlihat penjaga-penjaga bangunan besar itu. Dan, sambil merapatkan tubuh
ke pagar yang mengelilingi bangunan, mereka menggeser langkah mendekati sebatang
pohon besar yang tumbuh di samping kanan bangunan itu. Melalui pohon besar
itulah ketiganya bergerak masuk ke bagian dalam bangunan, dan terus melesat ke
samping bangunan utama.
Dua orang penghuni bangunan yang kebetulan keluar dari bagian samping, dan
memergoki mereka, langsung roboh tertotok salah seorang dari ketiga sosok
bayangan itu. Kemudian sosok itu mencabut pedang di pinggangnya. Tanpa rasa kasihan sedikit
pun senjatanya berkelebat menghabisi nyawa kedua orang yang malang itu. Setelah
itu, mereka kembali bergerak memasuki bagian dalam bangunan utama, yang
merupakan induk bangunan Perguruan Tongkat Sakti.
Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun yang kebetulan tengah
membaca di ruang perpustakaan, mengerutkan kening ketika menangkap ada gerak
langkah mencurigakan memasuki bangunan itu.
"Hmmm...," lelaki tua itu bergumam perlahan. Sepasang matanya tampak berkilat
tajam. Detik berikutnya, pelita di ruang perpustakaan dipadamkan. Sehingga,
ruangan itu seketika menjadi gelap.
Dengan langkah hati-hati, lelaki tua yang tidak lain Ketua Perguruan Tongkat
Sakti, bergegas keluar dari ruang perpustakaan. Dan pada saat yang bersamaan, ia
melihat tiga sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam, baru saja keluar dari
dalam kamarnya. Sadar bahwa ketiga orang itu tamu-tamu tak diundang, lelaki tua
bertubuh gagah itu langsung membentak!
"Maling-maling, Hina! Menyerahlah sebelum kukirim ke neraka!" sambil berkata
demikian, lelaki tua itu menerjang maju dengan tamparan yang menimbulkan desiran
angin tajam! Bwettt...! Ketiga sosok berpakaian serba hitam berlompatan menghindar. Kemudian, bergerak
mengepung dari tiga arah. Ketiga pasang mata mereka menatap tajam raut wajah
orang tua itu. "Hm.... Kiranya kau, Ki Adiwarsa. Bagus...! Memang tujuan kami ke
tempat ini ingin mencarimu...," ujar sosok bertubuh tegap dengan sorot mata
berkilat tajam.
Kelihatan sekali orang itu merasa gembira ketika melihat dan mengenali orang tua
yang menyerang mereka.
"Eh"! Rupanya, selain sudah mengenalku dengan baik, kalian pun mengetahui di
mana letak kamar tidurku. Siapa sebenarnya kalian, dan mau apa mencariku...?"
geram Ki Adiwarsa heran menyadari orang-orang berpakaian hitam itu mengenalnya.
Padahal keadaan saat itu cukup gelap.
"Mengenai untuk apa kami mencarimu, sebaiknya tidak kukatakan sekarang. Mari,
ikut kami secara baik-baik. Jika tidak, terpaksa kami akan menggunakan
kekerasan...,"
sahut sosok itu yang bertugas sebagai juru bicara dua orang temannya.
"Hm.... Aku tidak kenal dengan kalian bertiga. Tapi, melihat cara kalian datang
ke tempat ini, sudah dapat kupastikan kalian bukanlah orang baik-baik! Jadi,
sebaiknya memang kalian harus menggunakan kekerasan. Sebab jika tidak, aku yang
akan menggunakan kekerasan untuk membekuk kalian. Maling-maling Hina!" bentak Ki
Adiwarsa mendengar ancaman tamu tak diundang itu.
"Hmmm...," sosok berpakaian serba hitam itu menggereng perlahan. Kepalanya
bergerak memberi isyarat pada kedua kawannya untuk bertindak maju. Ia sendiri
sudah melangkah perlahan dari arah depan.
"Haaattt...!"
Ki Adiwarsa yang sudah marah kepada tamu-tamu kurang ajar itu, langsung
membentak sambil melontarkan serangan-serangan yang cepat dan kuat. Sehingga,
ketiga orang berpakaian serba hitam tak berani gegabah, untuk menghadapi secara
langsung gempuran Ketua Perguruan Tongkat Sakti itu.
"Whuuuttt...!"
Sambaran bacokan tangan kanan Ki Adiwarsa, dapat dihindari lawan dengan
membungkuk. Kemudian, terus melompat ke belakang sejauh setengah tombak, ketika
lelaki tua itu menyusuli serangannya dengan sebuah tendangan miring ke arah
ketiga lawannya.
Cukup kaget juga hati Ki Adiwarsa melihat kegesitan lawan. Dan, lelaki tua itu
terpaksa harus menunda serangannya. Ketika melihat dua sosok tubuh lain datang
menyerbu untuk membantu kawannya. Sebentar kemudian, Ki Adiwarsa telah bertarung
menghadapi ketiga lawannya, yang rata-rata berkepandaian tinggi.
"Haiiittt...!"
"Haaahhh...!"
Setelah sepuluh jurus berlalu, mendadak ketiga orang lawannya berloncatan
mundur, sambil mendorong kedua telapak tangan mereka masing-masing.
"Whuuusss...!"
"Celaka...!" Racun jahat.."!" pekik orang tua itu terkejut bukan main, ketika
mengetahui pukulan jarak jauh yang dilontarkan lawan, menebarkan bau harum yang
memabukkan. Pukulan jarak jauh itu sebenarnya, tidak berbahaya. Karena hanya
untuk mendorong bubuk-bubuk beracun di tangan mereka. Tapi bubuk-bubuk beracun
itulah yang berbahaya!
Karena ruangan yang mereka gunakan untuk bertarung, tidak begitu luas, tentu
sulit bagi Ki Adiwarsa untuk tidak menghirup bau harum memabukkan itu. Meski
demikian, lelaki tua itu berusaha menahan napas sekuatnya. Sehingga, hanya
sedikit racun yang terhisap ke dalam tubuhnya.
Rupanya, ketiga lawan lelaki tua itu menyadari kecerdikan Ketua Perguruan
Tongkat Saka Terbukti, ketiganya bergegas mendesak dengan pukulan-pukulan jarak
jauh yang membuat orang tua itu kewalahan. Sebab, mana mungkin ia dapat menahan
napas selagi harus menghadapi gempuran yang mengandung tenaga dalam hebat. Tentu
saja itu tidak mungkin dapat dilakukannya.
Menyadari hal itu, Ki Adiwarsa akhirnya memutuskan untuk mengadu nyawa dengan
lawan-lawannya. Sambil mengeluarkan pekikan melengking tinggi, orang tua itu
menerjang lawan-lawannya dengan pukulan-pukulan maut.
Breeessshhh...!
Tanpa dapat dicegah lagi, terjadi benturan keras yang membuat bangunan itu
bergetar! Dan, tubuh Ki Adiwarsa maupun ketiga lawannya terdorong ke belakang
menabrak dinding ruangan.
Kejadian itu sangat merugikan Ki Adiwarsa. Sebab, dalam keadaan terengah, racun-
racun yang terdapat di ruangan itu tersedot hidung dan mulutnya. Akibatnya,
dalam sekejap saja tokoh itu sudah tidak bisa mengingat keadaan sekelilingnya.
Ki Adiwarsa jatuh pingsan!
Sedangkan ketiga sosok bayangan hitam itu sudah bangkit berdiri. Ketiganya
merasakan dada mereka agak sesak akibat benturan keras tadi. Meski demikian, itu
hanya luka dalam yang ringan dan tidak terlalu berbahaya.
"Bawa orang tua itu...!" perintah sosok bertubuh tegap.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua orang berpakaian serba hitam langsung
mengangkat tubuh Ki Adiwarsa, dan diletakkan ke bahu salah seorang dari mereka.
Kemudian, ketiga sosok itu bergerak meninggalkan bangunan perguruan.
"Hei...!"
Beberapa murid yang tadi mendengar pekikan melengking tinggi, terkejut melihat
tiga sosok bayangan hitam bergerak meninggalkan bangunan perguruan. Mereka
sempat melihat ada sosok tubuh yang dibawa lari ketiga orang berpakaian serba
hitam itu. "Berhenti...!"
Salah seorang murid Perguruan Tongkat Sakti yang merupakan murid utama Ki
Adiwarsa, segera melesat ke depan, dan menerjang dengan pedangnya.
"Haaahhh...!"
Sosok bertubuh tegap yang berlari paling belakang, langsung membentak sambil
mengibaskan lengannya ke belakang. Sehingga, terciumlah bau harum semerbak yang
menyengat hidung.
"Aaahhh..."!"
Bukan main terkejutnya hati lelaki jangkung itu, ketika melihat serbuk putih
yang menebarkan bau harum memabukkan, menghadang di depannya. Untuk menghindari
bubuk putih, yang ia tahu bubuk beracun, jelas tidak mungkin. Maka, lelaki itu
segera memutar senjatanya untuk mengurangi bahaya dari racun itu.
Tapi, serbuk beracun yang dilemparkan dengan dorongan tenaga dalam itu, ternyata
tidak mudah dihalau. Meskipun putaran pedang lelaki jangkung mampu menerbangkan
daun-daun kering, tapi bubuk beracun yang seperti asap tebal itu, terus meluncur
menerpa wajahnya. Sehingga...
"Aaa...!"
Rupanya, bubuk beracun yang kini digunakan, tidak sama dengan yang dipakai untuk
membius Ki Adiwarsa. Teriakan lelaki jangkung, menandakan bubuk beracun itu
sangat menyakitkan! Hingga lelaki jangkung itu melemparkan pedang di tangannya.
Dan bergulingan di atas tanah, sambil mendekap wajah dengan kedua tangannya.
Kenyataan itu, membuat murid-murid yang lainnya bergerak mundur. Dan, kesempatan
itu dipergunakan oleh tiga sosok berpakaian serba hitam untuk melarikan diri.
Tak seorang pun yang berani bertindak gegabah melakukan pengejaran. Karena
mereka sadar itu sangat berbahaya.
Sementara itu, lelaki jangkung yang wajahnya terkena bubuk putih, masih
bergulingan sambil tetap mendekapkan kedua telapak tangan ke wajah. Jerit
kesakitannya masih terdengar, membuat kawan-kawannya bertanya-tanya dalam hati.
Apa yang membuat lelaki jangkung itu berteriak-teriak kesakitan"
Jawabannya pun segera mereka peroleh. Lelaki jangkung itu terlihat berkelojotan.
Wajah yang sudah tak dilindungi telapak tangan itu, tampak hangus bagaikan
tersengat api. Seluruh kulit wajahnya rusak seperti terbakar. Dan, terlihat
cairan berbau busuk membasahi sekujur wajah lelaki itu Tak berapa lama kemudian,
napasnya putus.
Membuat orang-orang yang menyaksikannya terpekik ngeri.
"Kakang Malela...!"
Mendadak, seorang murid perguruan tampak berlari-lari dari dalam bangunan utama.
Kemudian bergegas menghampiri seorang lelaki gagah berusia sekitar dua puluh
lima tahun. Napasnya tersengal-sengal ketika tiba di depan lelaki gagah bernama
Malela. "Ada apa" Bagaimana keadaan guru kita" Apakah beliau selamat?" Malela langsung
memberondong orang itu dengan pertanyaan. Sehingga, lelaki yang datang dengan
napas tersengal itu menjadi gelagapan.
"Guru kita..., hilang...," lapornya setelah berusaha mengatur napas, agar bisa
menyampaikan apa yang diketahuinya.
"Jadi, sosok yang digendong mereka tubuh guru kita?" tanya Malela entah pada
siapa. Karena ucapan itu dikeluarkan mirip sebuah keluhan.
Semua murid-murid yang mendengar ucapan Malela terdiam. Mereka belum bisa
percaya guru besar mereka dapat diculik demikian mudahnya. Karena, mereka tahu
sampai di mana kehebatan Ki Adiwarsa.
Malela sendiri tak bisa berkata apa-apa. Pemuda itu segera melangkah menuju
bangunan induk perguruan, setelah memberi perintah kepada beberapa murid untuk
mengurus korban racun ganas.
Hati pemuda bertubuh tegap itu benar-benar kacau, ketika tidak menemukan sosok
gurunya di dalam bangunan induk. Sekarang ia mulai yakin, gurunya telah diculik
orang. Tapi, dirinya sungguh tak mengerti, mengapa mereka harus menculik
gurunya" Persoalan apa yang membuat mereka sampai menculik Guru Besar Perguruan Tongkat
Sakti" Dengan kepala dipenuhi berbagai macam pertanyaan, Malela bergegas keluar dari
bangunan utama. Setelah memerintahkan murid-murid untuk kembali ke tempat
masing-masing, Malela termenung di dalam kamarnya. Banyak hal yang membuat
kepalanya terasa berat. Kakak seperguruannya telah tewas akibat racun jahat yang
dilemparkan penculik gurunya. Sedangkan Ki Adiwarsa hanya mempunyai dua orang
murid utama, yang telah mewarisi ilmu Perguruan Tongkat Sakti. Sekarang, hanya
tinggal dia seorang yang harus bertanggung jawab atas perguruan.


Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau aku pergi, siapa yang akan mengurus dan menjaga perguruan?" desis Malela
dengan hati tak karuan. "Sebaliknya, kalau aku tinggal menjaga perguruan, lalu
siapa yang akan mencari guru?"
Malela benar-benar pusing dihadapkan pada pilihan yang sulit. Sehingga, sampai
pagi datang pemuda itu masih termenung di kamarnya, ia masih belum menemukan
pilihan yang baik untuk mengatasi persoalan itu.
*** Lenyapnya Ketua Perguruan Tongkat Sakti, membuat kaum persilatan gempar!
Kesaktian Ilmu Tongkat Ki Adiwarsa memang sudah terkenal di kalangan persilatan.
Jarang ada orang yang mampu menandingi kehebatan permainan tongkat tokoh itu.
Tapi, ketua perguruan itu ternyata dapat diculik orang dari dalam perguruannya.
Benar-benar sukar untuk dapat dipercaya.
Beberapa tokoh yang bertempat tinggal tidak jauh dari Perguruan Tongkat Sakti,
berdatangan hendak mencari keterangan yang lebih lengkap mengenai kebenaran
kabar itu. Sehingga, Malela menjadi bingung menghadapi berbagai macam pertanyaan
yang ditujukan kepadanya.
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya, Malela" Kami mendengar berita yang tersebar
di luar sebagai fitnah orang-orang yang tidak menyukai Ki Adiwarsa. Tapi,
rasanya akan lebih baik bila kami mendengar langsung dari mulutmu. Benarkah
gurumu telah diculik orang" Apa kau mengetahui siapa penculik yang berani mati
itu?" tanya seorang lelaki gagah bertubuh sedang yang di punggungnya terdapat
sepasang golok kembar.
Tokoh ini tidak lain Pendekar Golok Kembar, yang merupakan salah seorang sahabat
Ki Adiwarsa. Lelaki gagah itu kebetulan berada di sekitar daerah itu, dan
mendengar orang ramai membicarakan lenyapnya Ketua Perguruan Tongkat Sakti.
Sehingga, dirinya menyempatkan diri untuk menanyakan kebenaran berita itu.
Selain Pendekar Golok Kembar masih ada dua orang tokoh lainnya, yang
merupakan sahabat-sahabat Ki Adiwarsa. Mereka pun ingin mendapatkan jawaban yang
benar, agar dapat ikut memikirkan musibah yang menimpa Perguruan Tongkat Sakti.
"Harap kalian semua dapat memaafkan kebodohanku. Peristiwa itu memang benar
terjadi. Dan pencurinya berjumlah tiga orang. Kepandaian mereka sangat tinggi.
Sehingga kami gagal untuk membekuknya...," sahut Malela perlahan. Hatinya tidak
tenang mengingat peristiwa yang belum bisa dipercayainya itu.
"Jadi, benar Ki Adiwarsa diculik orang?" lelaki tinggi besar berambut panjang
yang semula belum percaya akan kebenaran berita itu kembali meminta ketegasan
Malela. "Benar Ki," sahut Malela tidak bersemangat.
"Apa kau tidak bisa menduga, siapa kira-kira penculik-penculik gila itu?" tanya
Pendekar Golok Kembar dengan wajah membayangkan rasa penasaran hatinya.
"Sayang, aku tak bisa menebaknya. Lagi pula, aku tak begitu banyak mengetahui
musuh-musuh guruku...," sahut Malela yang memang tak bisa mengenali penculik-
penculik itu. Sehingga, para tokoh yang berkumpul di ruang pertemuan itu, hanya
bisa saling bertukar pandang dengan wajah heran.
"Kalau begitu, kami akan bantu mencari manusia-manusia keparat itu, Malela,"
ujar tokoh-tokoh itu sebelum meninggalkan Perguruan Tongkat Sakti. Malela hanya
bisa mengucapkan terima kasih, atas kesediaan sahabat-sahabat gurunya untuk
menolong menemukan penculik-penculik itu. Dan, mengantarkan mereka pergi sampai
ke pintu gerbang.
Sepeninggal kawan-kawan gurunya, Malela kembali dicekam keresahan. Pemuda itu
masih belum bisa mengambil keputusan. Apa yang akan dilakukannya" Jika ia pergi
mencari penculik gurunya, sudah pasti untuk sementara perguruan akan ditutup.
Sebab, tidak ada murid lain yang bisa diserahi tanggung jawab untuk menjaga
perguruan. Tapi, keputusan harus segera diambil, sebelum semuanya makin
bertambah parah. Tanpa Ki Adi-warsa, jelas murid-murid Perguruan Tongkat Sakti
akan selalu dilanda keresahan.
Untuk itu, ia harus berani mengambil keputusan!
2 "Heyaaa...!"
Kuda berbulu coklat itu melesat cepat bagai anak panah yang lepas dari busur.
Debu mengepul tinggi, saat binatang itu berderap melintasi jalan tanah merah
yang kering, terpanggang matahari.
Lelaki bertuljuh kurus yang duduk di atas punggung kuda, tampaknya demikian
bergegas. Terbukti, dari seringnya tali kekang dicambukkan ke tubuh binatang
tunggangannya. Bentakannya terus bergema, meningkahi suara hentakan kaki kuda.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah penunggang kuda itu di kaki sebuah bukit
kecil. Dari sini, lari kudanya baru diperlambat Karena selain jalan yang
dilaluinya tidak rata, juga banyak terdapat belokan. Sehingga, terlalu besar
risikonya jika ia masih nekat tidak mengurangi kecepatan lari binatang
tunggangannya. Jurang menganga lebar di sebelah kanannya, siap menelan tubuh
penunggang kuda itu dan binatang tunggangannya, bila ia salah melangkah.
Ketika jalan yang dilaluinya memecah dua arah, penunggang kuda itu mengambil
jalan ke kanan, yang kadang menurun. Tidak berapa lama sesudahnya, tibalah ia di
dekat sebuah rumah yang berhalaman cukup luas. Rumah itu berdiri di punggung
bukit. Dengan kesigapan yang cukup mengagumkan, lelaki bertubuh kurus itu melayang
turun dari atas punggung kuda. Kemudian, menambatkan binatang tunggangannya pada
sebuah batang pohon. Setengah berlari lelaki kurus itu memasuki halaman rumah.
"Ada berita apa, Ki Danara" Kelihatannya kau begitu tergesa?" tegur seorang
lelaki bertubuh tegap, yang saat itu tengah melatih seorang gadis remaja berusia
sekitar tujuh belas tahun. Kedatangan lelaki kurus yang bernama Ki Danara itu,
membuat lelaki tegap mengalihkan perhatiannya.
"Ampun, Guru. Berita yang kubawa kali ini memang sangat penting...," ujar Ki
Danara sambil mengatur napasnya yang agak tersengal. Lelaki kurus itu
menjatuhkan tubuhnya seraya mengangkat kedua tangan di atas kepala, dengan kedua
telapak menyatu.
"Hm... Coba katakan, berita apa yang kau anggap demikian penting itu, hingga kau
tidak membawa bahan makanan seperti biasanya. Ingin kutahu, seberapa pentingnya
berita itu bagiku...?" ujar lelaki bertubuh tegap yang menatap wajah Ki Danara
dengan sinar mata tajam.
"Ada apa, Ayah" Kelihatannya Paman Ki Danara demikian tergesa," gadis remaja
berwajah manis dengan senyum yang memikat, menghentikan latihannya, dan
melangkah menghampiri lelaki tegap yang tengah menghadapi Ki Danara. Kemudian,
sepasang matanya yang bersinar cerah beralih pada Ki Danara, "Apa aku boleh ikut
mendengarkan berita yang Paman bawa itu...?" tanyanya dengan suara agak manja.
"Tentu saja boleh, karena berita yang akan paman sampaikan ini bisa menambah
pengalamanmu, dalam mengikuti perkembangan kalangan persilatan dewasa ini...,"
sahut Ki Danara tersenyum, memandang wajah manis gadis itu. Kelihatan Ki Danara
sangat menyayangi dara manis itu. Dan, lelaki itu tidak berusaha
menyembunyikannya meski di depan, lelaki gagah, ayah gadis itu. Sebab, rasa
sayang Ki Danara tak ubahnya kasih seorang ayah terhadap putrinya. Usia Ki
Danara dan gadis itu terpaut jauh, sekitar dua puluh tahun lebih. Sehingga, rasa
sayang yang ditunjukkan Ki Danara, bukan rasa sayang seperti pada orang-orang
muda berlainan jenis.
Sehabis menanggapi ucapan gadis berwajah manis, Ki Danara kembali memandang
lelaki tegap yang masih menanti berita darinya. Terlihat lelaki gagah itu
menganggukkan kepala, menyetujui apa yang dikatakan Ki Danara pada gadis itu.
"Heyaaa...!" bentakannya terus bergema, meningkahi suara hentakan kaki kuda.
Kuda berbulu coklat itu melesat cepat bagai anak panah yang lepas dari busur.
Debu mengepul tinggi, saat binatang itu berderap melintasi jalan tanah merah
yang kering! "Begini, Guru. Pada saat ini, orang banyak tengah ramai membicarakan Penculik-
Penculik Misterius yang berkepandaian tinggi. Bukan hanya orang-orang biasa yang
dibuat gempar. Bahkan, kaum rimba persilatan pun dibuat cemas oleh kemunculan
penculik-penculik itu. Tahukah Guru, apa yang telah dilakukannya...?" Ki Danara
menghentikan ceritanya, menanti tanggapan lelaki bertubuh tegap, yang
mendengarkan penuturan Ki Danara dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Tidak perlu berteka-teki, Ki Danara. Kau tahu sendiri, aku sudah tidak pernah
lagi mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia ramai. Jadi, teruskan saja
ceritamu, dan jangan membuatku penasaran," ujar lelaki bertubuh tegap yang
kelihatan sudah tak sabar, ingin segera mengetahui berita yang dibawa Ki Danara
secara lengkap. Karena, apa yang disampaikan lelaki kurus itu memang sangat
menarik perhatiannya.
"Maaf, Guru...," ucap Ki Danara pelan. Setelah menarik napas sesaat, lelaki
kurus itu pun kembali melanjutkan ceritanya. Sehingga, membuat lelaki tegap itu
nampak kaget. "Tokoh-tokoh persilatan lenyap diculik orang..."! Benarkah berita yang kau bawa
ini, Ki Danara" Atau, kau hanya mendengar dari pembicaraan orang-orang yang
tidak mempunyai pekerjaan?" ujar lelaki bertubuh tegap belum percaya sepenuhnya
akan cerita muridnya itu Sehingga, ia merasa perlu menegasi. Sebab, bukan tidak
mungkin kabar itu sengaja disebarluaskan kaum golongan sesat, untuk membuat
resah orang banyak.
"Kalau belum mengetahui kebenarannya secara pasti, mana berani aku melaporkan
berita ini kepada, Guru. Sebelum kembali ke sini, aku telah menyelidiki
kebenaran berita ini. Hingga, aku harus bertanya langsung pada beberapa murid
Perguruan Tongkat Sakti, yang telah kehilangan ketuanya. Perguruan yang telah
cukup dikenal kalangan persilatan itu telah dibubarkan. Sebab, selain ketuanya
lenyap diculik, salah seorang dari dua murid utamanya, tewas terbunuh pada malam
kejadian. Sedangkan murid yang seorang lagi, pergi meninggalkan perguruan untuk
mencari ketuanya. Itu sebabnya, Perguruan Tongkat Sakti dibubarkan untuk
sementara...," jelas Ki Danara melanjutkan ceritanya.
"Gila!" desis lelaki bertubuh tegap dengan wajah menggambarkan gejolak di dalam
dadanya. "Kalau sampai Ki Adiwarsa diculik orang dari perguruannya, benar-benar
tidak bisa dipandang remeh kepandaian penculik-penculik itu!"
"Selain itu, aku khawatir Guru akan menjadi korban penculikan selanjutnya...,"
ucap Ki Danara terdengar mengandung kekhawatiran yang dalam. Rupanya, alasan
itulah salah satu penyebab, mengapa lelaki kurus itu melarikan kudanya seperti
orang dikejar setan.
"Mengapa kau menduga demikian, Ki Danara?" tegur lelaki bertubuh tegap menatap
Ki Danara dengan kening berkerut. Sepertinya, merasa heran atas ucapan muridnya
itu. "Paman. Mengapa kau sampai mempunyai pikiran demikian" Lagi pula, mana mungkin
mereka berani datang ke tempat ini" Kalau pun benar mereka berani datang, pedang
Ayah tentu akan dapat mengusir penculik-penculik keparat itu...," timpal gadis
manis putri lelaki tegap itu menambahi perkataan ayahnya. Agaknya, gadis remaja
itu sangat yakin akan kepandaian orangtuanya.
Keyakinan gadis manis bernama Pujawati itu memang tidak terlalu berlebihan.
Sebab, lelaki tegap itu, merupakan salah satu tokoh puncak dalam kalangan
persilatan. Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir, tokoh itu menghilang dari dunia
ramai, dan menetap di Bukit Kendal untuk mendidik putrinya. Lelaki itu mencari
tempat yang jauh dari keramaian, setelah kehilangan istrinya semenjak Pujawati
berumur tiga tahun.
Istrinya tewas dibunuh gerombolan perampok yang menjarah desa tempat tinggalnya
dulu. Meskipun kematian istrinya telah terbalas, tapi lelaki tegap itu tidak bisa
menetap lebih lama di desa itu. Sehingga, ia memutuskan untuk melewatkan hari
tuanya dengan mendidik Pujawati. Juga untuk menghapus semua kenangan yang pernah
terukir di hatinya. Lelaki gagah itu merupakan seorang jago pedang yang tiada
bandingnya dalam rimba persilatan. Kehebatan ilmu pedangnya, membuat ia dijuluki
Pedang Pemecah Langit.
Setelah sekian tahun hidup dalam kedamaian, tiba-tiba muncul persoalan yang
mungkin akan menyeretnya kembali ke dunia ramai. Karena, biar bagaimanapun ia
merasa ikut bertanggung jawab atas segala ketidakadilan yang sampai ke
telinganya. Ki Danara yang mendapat pertanyaan demikian dari kedua orang yang
dihormatinya itu, terdiam sesaat. Sepertinya, lelaki tua itu merasa berat untuk
mengemukakan perasaannya. Biar bagaimanapun, kabar yang dibawanya pasti akan
membuat hati mereka tidak akan tenteram seperti hari-hari kemarin.
"Maaf, Guru. Bukan aku menyangsikan kepandaian Guru. Tapi, penculik-penculik itu
memang mengincar tokoh-tokoh penting rimba persilatan. Sebab, Selain Ki
Adiwarsa, Pendekar Golok Kembar, Sepasang Naga Laut, masih banyak lagi tokoh-
tokoh lainnya yang lenyap tanpa jejak. Itu sebabnya, mengapa aku sangat
mengkhawatirkan keselamatan Guru...," jelas Ki Danara yang dengan sangat
terpaksa harus menyampaikan apa yang diketahuinya.
Bukan main kagetnya hati Pedang Pemecah Langit ketika mendengar nama-nama yang
disebutkan Ki Danara. Sebab, beberapa di antaranya memiliki tingkat kepandaian
yang tidak berselisih jauh dengannya. Bahkan, Sepasang Naga Laut merupakan
seorang tokoh puncak yang sangat ditakuti lawan dan disegani kawan. Tingkat
kepandaian tokoh itu boleh dibilang masih setingkat di atas kepandaiannya. Tentu
saja lelaki tegap itu menjadi kaget.
"Hm.... Kalau begitu, persoalan ini jelas tidak bisa didiamkan begitu saja.
Kekhawatiranmu memang beralasan, Ki Danara. Terima kasih atas kesetiaanmu
padaku. Dan, bisa jadi penculik-penculik itu pun tengah mengincarku. Tapi, biar
bagaimanapun aku tidak akan mundur. Sebab, kalau benar mereka menghendaki
diriku, ke mana saja aku bersembunyi pasti akan dapat mereka temukan...," ujar
Pedang Pemecah Langit dengan suara lantang dan gagah.
"Benar, Pedang Pemecah Langit! Ke mana pun kau pergi bersembunyi, kami akan
datang mencarimu. Bagus, kalau kau berniat menunggu kedatangan kami. Dan kau
tidak perlu menunggu lama. Karena hari ini juga kami akan membawamu pergi...!"
tiba-tiba terdengar suara yang bergema di sekitar tempat kediaman Pedang Pemecah
Langit. "Siapa kau..." Tunjukkan rupamu kalau kau benar-benar seorang yang jantan! Aku
tidak suka dengan orang-orang pengecut yang bisanya hanya bersembunyi...!"
bentak Pedang Pemecah Langit yang diam-diam terkejut mendengar suara yang
didorong kekuatan tenaga dalam tingkat tinggi itu. Terlebih lagi kehadiran si
empunya suara tidak diketahuinya. Kenyataan itu menandakan orang-orang yang
datang tanpa diundang itu, memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh.
Setelah berkata demikian, Pedang Pemecah Langit mencabut senjatanya dan
melintangkan di depan dada. Kemudian menoleh ke arah Ki Danara dan putri
tunggalnya. "Ki Danara. Kalau terjadi apa-apa, bawalah Pujawati pergi dari tempat ini,
selagi aku bertarung. Aku akan memberikan isyarat kapan kalian harus pergi...,"
bisik Pedang Pemecah Langit khawatir akan keselamatan putrinya. Lelaki itu sadar
lawan yang kali ini harus dihadapi bukan lawan-lawan enteng. Itu sebabnya, ia
segera berpesan pada Ki Danara.
"Tidak! Aku akan membantu Ayah menghadapi orang-orang jahat itu! Aku tidak takut
mati! Biar bagaimanapun, aku tidak mau lari seperti seorang pengecut!" bantah
Pujawati berkeras tidak mau meninggalkan tempat itu, dan hendak membantu ayahnya
menghadapi penculik-penculik yang datang.
"Jangan membantah, Anakku. Semua ini Ayah lakukan demi kebaikan kita berdua.
Kalau sampai kita berdua tertangkap, lalu siapa yang akan membebaskanku" Tapi
jika kau pergi untuk sementara waktu dan menyempurnakan semua ilmu yang ayah
ajarkan padamu. Dengan demikian, ayah bisa mengharapkan bantuanmu bila sampai
tertangkap dan dibawa pergi oleh mereka...," bujuk Pedang Pemecah Langit mencoba
memberikan alasan yang dapat diterima Pujawati.
"Tapi..., bagaimana kalau Ayah tewas di tangan mereka. Jika itu sampai terjadi,
bukankah aku bisa dituduh orang sebagai anak durhaka...?" Pujawati masih mencoba
membantah ucapan ayahnya, meskipun dengan suara lemah.
"Tidak, Anakku. Justru dengan menuruti kata-kata ayah, kau sudah menunjukkan
baktimu. Jangan membantah lagi. Karena rasanya lawan terlalu kuat bagi kita...,"
bisik Pedang Pemecah Langit yang sudah membalikkan tubuh dan memandang
berkeliling. Sebab, hingga saat itu ia belum mengetahui di mana lawannya berada.
Pedang Pemecah Langit tidak perlu menunggu terlalu lama. Karena, orang yang
ditunggunya telah meluncur turun dari atas pohon di tiga tempat. Kemudian,
ketiga sosok tubuh itu melangkah perlahan membentuk kepungan.
"Sebenarnya kami tidak ingin menggunakan kekerasan. Pedang Pemecah Langit!
Tapi, kalau kau menghendaki, apa boleh buat...," desis salah seorang dari ketiga
lelaki berpakaian serba hitam itu. Wajah mereka memancarkan sifat licik. Tapi,
tak seorang pun dari ketiga lelaki berpakaian serba hitam itu dapat dikenalinya.
"Hm... aku sudah tahu tujuan kalian datang ke tempat ini! Tidak perlu berbasa-
basi lagi! Kalau memang mempunyai kesanggupan, lakukan saja apa yang telah
kalian perbuat terhadap tokoh-tokoh persilatan lainnya...!" geram Pedang Pemecah
Langit yang kini telah memutar pedangnya sedemikian rupa, hingga menimbulkan
suara bercicitan tajam.
"Bagus...! Sudah kukatakan sejak pertama tadi, bahwa apa pun yang kau minta akan
kami turuti...," ujar salah seorang dari mereka, yang wajahnya terdapat bekas
luka memanjang.
"Mengapa kalian tidak menggunakan senjata...?" tegur Pedang Pemecah Langit


Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika melihat tangan ketiga lawannya tampak kosong. Tidak ada tanda-tanda
sedikit pun mereka akan menggunakan senjata. Sehingga, Pedang Pemecah Langit
menjadi ragu. "Tidak perlu banyak cakap, Pedang Pemecah Langit! Waktu kami sangat singkat.
Bersiaplah...!" sosok yang bertindak sebagai pimpinan, berkata dengan nada
dingin dan memandang ringan Pedang Pemecah Langit. Rupanya sikap Penculik-
Penculik Misterius semakin sombong, setelah tugas-tugasnya selalu berhasil
dengan baik. Tapi, yang kali ini dihadapi mereka adalah Pedang Pemecah Langit, yang terkenal
sangat berhati-hati dalam mengambil tindakan. Tokoh ini selalu mempertimbangkan
dengan cermat setiap gerak langkahnya. Dan, tidak pernah memandang remeh, meski
lawannya hanya seorang maling kecil sekali pun. Apalagi menghadapi tiga
Penculik-Penculik Misterius, yang telah berhasil menculik tokoh-tokoh digdaya
seangkatan. Tentu saja Pedang Pemecah Langit lebih berhati-hati lagi.
Wrrr... wrrr...!
Pedang di tangan lelaki tegap berwajah jantan, berusia sekitar lima puluh tahun
itu, berputaran menimbulkan dengungan tajam. Sepasang matanya yang tajam
bergerak lincah, meneliti langkah kaki ketiga lawannya yang mulai melangkah
maju. Dan... "Haaattt...!"
Ketika lawannya yang berada di depan menyerang, Pedang Pemecah Langit masih
belum bergeser dari tempatnya. Lelaki tegap itu bersikap demikian tenang,
menunggu serangan lawan tiba. Baru kemudian menarik mundur langkahnya dan
langsung bergerak ke samping, menghindari sebuah pukulan yang meluncur datang
mengancam dada!
Beeettt...! Pedang Pemecah Langit kelihatan belum berminat untuk melontarkan serangan
balasan. Terbukti, setelah berhasil menghindari serangan pertama, ia langsung
melompat sejauh beberapa langkah, dan terus menjauh saat serangan lawan yang
lain datang mengancam. Agaknya, lelaki tegap itu hendak mempelajari gerakan
ketiga pengeroyok.
Setelah itu, baru ia dapat memperhitungkan langkah penyerangan untuk melumpuhkan
lawan-lawannya.
Tindakan yang dilakukan Pedang Pemecah Langit memang sangat tepat. Sayang, tokoh
itu tidak tahu lawan-lawannya ahli racun yang tangguh. Dan, berkat racun-racun
pelumpuh itulah, mereka dapat menundukkan tokoh-tokoh besar golongan putih. Jika
bukan karena itu, belum tentu mereka dapat berhasil dengan baik melakukan
penculikan. Setelah sepuluh jurus berlalu, Pedang Pemecah Langit kelihatan mulai
mempersiapkan jurus andalannya untuk menghadapi lawan. Cepat bukan main gerakan
yang dilakukan lelaki tegap itu dalam memainkan senjatanya. Sehingga, ketiga
lawannya kelihatan agak terkejut, dan merenggangkan kepungan.
"Haiiittt...!"
Dengan sebuah lengkingan panjang menggetarkan jantung, Pedang Pemecah Langit
bergerak maju menerjang lawan-lawannya. Senjata di tangannya berubah banyak, dan
tidak kelihatan bentuk aslinya lagi. Terdengar suara berciutan saat mata pedang
mulai mengincar korbannya satu persatu.
Swingngng...! "Aiiih..."!"
Lawan pertama yang menjadi incaran ujung pedang lelaki tegap, berseru kaget.
Hampir saja tenggorokannya tersayat ujung pedang. Untung ia masih sempat
memiringkan tubuhnya. Sehingga, ujung senjata maut itu lewat setengah jengkal di
sisi leher. "Shaaah...!"
Tapi, serangan Pedang Pemecah Langit tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu
serangannya luput, senjata itu bergerak balik dengan kecepatan tinggi. Yang
menjadi sasaran tetap tenggorokan lawan.
"Hiaaah...!"
Di sini, para Penculik-Penculik Misterius itu mulai memperlihatkan kecurangan.
Sambil melempar tubuh bergulingan menghindari kejaran pedang lawan, tangannya
mengibas menebarkan bubuk-bubuk beracun, yang bila sampai tersedot bisa membuat
lawan lumpuh dan roboh pingsan.
"Licik...!"
Mendapat serangan gelap yang sebelumnya tidak diduga itu, terkejut juga hati
Pedang Pemecah Langit. Cepat lelaki tegap itu melempar tubuh bergulingan ke
belakang, sambil mengibaskan senjatanya dengan kecepatan tinggi.
"Haaahhh...!"
Tapi, begitu kedua kaki Pedang Pemecah Langit menyentuh tanah, lawan yang sudah
berada di belakangnya langsung membentak, sambil mendorong sepasang telapak
tangannya ke punggung lelaki tegap itu. Hingga....
Breeesssh...! "Aaakhhh..."!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Pedang Pemecah Langit terjerembab ke depan. Dan, asap
beracun yang berada di depannya langsung terhisap tanpa sengaja. Sehingga, tubuh
lelaki tegap itu terhuyung limbung. Darah segar tampak meleleh di sudut
bibirnya. "Hmmm...."
Sadar dirinya telah mengisap udara beracun, Pedang Pemecah Langit bergegas
mengempos semangat, dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk bertahan.
"Ki Danara...! Pergi...!" desis Pedang Pemecah Langit dengan tubuh terhuyung
limbung. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa untuk memberikan kesempatan
Ki Danara dan Pujawati meninggalkan tempat itu.
"Ayah...!" Pujawati merintih ketika melihat ayahnya terluka. Namun, kata-kata
ayahnya membuat gadis remaja itu harus mengeraskan hati, dan membiarkan
tangannya ditarik Ki Danara dan pergi.
Ketiga Penculik-Penculik Misterius itu agaknya tidak begitu memperhatikan dua
orang yang berlari meninggalkan tempat itu. Sebab, tujuan mereka hanya satu,
menangkap dan menawan Pedang Pemecah Langit!
3 "Hm.... Sungguh alot sekali! Rupanya, kau masih juga hendak melawan, Pedang
Pemecah Langit...?" geram salah seorang dari ketiga penculik, yang bertubuh
paling tinggi di antara kedua kawannya yang lain. Meskipun mulutnya berkata
demikian, tapi sepasang matanya tampak menyiratkan kekaguman atas kekuatan daya
tahan tubuh Pedang Pemecah Langit, yang belum juga roboh meski telah menghirup
udara beracun yang mereka sebarkan.
"Sampai mati pun aku tidak akan sudi menyerah, Iblis Keji! Entah apa tujuan
kalian sebenarnya, dengan melakukan penculikan terhadap tokoh-tokoh golongan
putih...?" desis Pedang Pemecah Langit yang dalam keadaan payah, masih juga
berbicara, mengemukakan rasa penasaran di hatinya.
"Cerewet...!" geram lelaki berwajah codet tidak sabar, melihat Pedang Pemecah
Langit tetap berusaha melakukan perlawanan.
"Yeaaattt..!"
Dengan nekat dan tidak peduli akan pengaruh racun di dalam tubuhnya, Pedang
Pemecah Langit kembali menerjang maju dengan tusukan dan sambaran pedangnya,
yang ternyata masih sangat berbahaya. Tentu saja ketiga Penculik-Penculik
Misterius itu tidak berani bertindak gegabah.
Cwiiittt... cwiiittt...!
Ketiga pengeroyok itu melangkah mundur, ketika ujung pedang lelaki tegap itu
bergerak cepat mencari sasaran. Meskipun gerakan itu sudah tidak begitu terarah,
tapi masih sangat berbahaya, dan bisa merenggut nyawa lawan.
"Hm...," lelaki tinggi besar yang menjadi pimpinan Penculik-Penculik Misterius
menggeram gusar. Dan, ketika serangan pedang lawan kembali datang untuk yang
kesekian kali, lelaki tinggi besar itu malah bergerak maju dengan mengandalkan
kelincahannya. Lalu....
"Hiaaah...!"
Diiringi sebuah bentakan keras, lelaki tinggi besar melontarkan sebuah tamparan
ke pelipis lawan. Tidak terlalu kuat, tapi sanggup membuat Pedang Pemecah Langit
roboh tak berkutik!
Plakkk! "Oughhh...!"
Tubuh lelaki tegap itu langsung terbanting ke tanah berumput. Dan, pingsan
seketika. Tamparan lelaki tinggi besar itu tepat mengenai bagian jalan darah
kelemahan di kepala.
"Hm.... Sungguh hebat sekali tokoh yang berjuluk Pedang Pemecah Langit ini.
Rasanya, ia tidak kalah jika dibandingkan dengan Sepasang Naga Laut, tokoh
pantai selatan itu...," gumam lelaki tinggi besar pada kedua orang kawannya yang
agaknya sependapat dengannya.
"Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini...," usul lelaki bertubuh sedang
yang berwajah codet. Setelah berkata demikian, tubuh Pedang Pemecah Langit
segera digendongnya. Sebentar kemudian, terlihat ketiga Penculik Misterius itu
menuruni lereng Bukit Kendal. Dan terus lenyap di kejauhan.
*** "Aaah, aku sungguh seorang anak durhaka! Mengapa kubiarkan ayah tertawan oleh
orang-orang jahat itu...?" sambil berlari dengan setengah terpaksa, Pujawati
terus merintih menyebut-nyebut nama ayahnya. Kelihatan gadis remaja itu sangat
terpukul dengan peristiwa yang baru saja dialaminya.
Pukulan batin yang dialami Pujawati tidaklah aneh. Sejak kecil gadis itu telah
digembleng ayahnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi. Sekian belas tahun mereka
hidup dalam kebahagiaan dan ketenteraman. Selama itu, mereka tidak pernah
berpisah, meskipun hanya untuk satu hari. Maka, betapa berat dirasakan Pujawati
saat ia harus berpisah dengan orangtua yang sangat dicintainya itu. Bahkan,
mungkin tidak akan pernah bertemu lagi untuk selamanya.
Ki Danara, lelaki tua berusia sekitar empat puluh lima tahun, berusaha menghibur
putri tunggal gurunya. Meskipun sebenarnya lelaki tua itu bukan murid resmi,
tapi baktinya demikian besar pada keluarga Pedang Pemecah Langit. Ki Danara
sendiri sebenarnya seorang pedagang keliling, yang kebetulan berjumpa dengan
Pedang Pemecah Langit di sebuah desa, sebelum pendekar itu menetap di Bukit
Kendal. Karena hampir tiap dua minggu sekali Ki Danara mengunjungi Bukit Kendal,
dengan membawa barang-barang yang diperlukan keluarga itu, akhirnya Pedang
Pemecah Langit berkenan menurunkan beberapa ilmu untuk menjaga diri. Sejak
itulah, Ki Danara menganggap Pedang Pemecah Langit bukan lagi seorang sahabat.
Tapi, sebagai guru yang harus dihormati dan dibela. Itu sebabnya, mengapa lelaki
tua itu mau bersusah-payah membawa Pujawati melarikan diri, agar tidak diganggu
Penculik-Penculik Misterius.
"Semua ini sudah menjadi kehendak ayahmu. Jadi tidak perlu kau sesali. Kalaupun
ada yang harus kita pikirkan, bagaimana cara kita mengetahui tempat ayahmu
ditahan. Dengan begitu, kita bisa mencari jalan untuk membebaskannya," hibur Ki Danara
tanpa menghentikan larinya. Khawatir jika para penculik itu akan mengejar
mereka. Ki Danara terus membawa lari Pujawati melalui tempat-tempat yang jarang dilewati
orang. Itu dimaksudkan agar Penculik-Penculik Misterius itu kehilangan jejak
bila masih terus mengejar mereka. Hingga, keduanya melintasi hutan liar, yang
hanya didatangi pemburu-pemburu kawakan.
"Hiaaah...!"
Setelah setengah hutan mereka tempuh, tiba-tiba terdengar bentakan mengejutkan,
disusul munculnya sosok-sosok tubuh dari dalam tanah. Tahu-tahu mereka telah
terkurung belasan sosok tubuh menyeramkan!
"Kawanan Perampok Ular Tanah..."!" desis Ki Danara terkejut, ketika mengenali
orang-orang kasar yang mengurung mereka berdua. Sebagai pedagang keliling yang
banyak melakukan perjalanan jauh, tentu Ki Danara banyak mengenal gerombolan
perampok dan sebangsanya. Maka, tidak aneh kalau orang tua itu langsung dapat
mengenali para pengepungnya dengan baik, setelah memperhatikan beberapa saat
lamanya. "He he he...! Bagus kalau kau sudah mengenal kami. Orang Tua. Nah, kalau kau
ingin selamat tinggalkan gadis itu dan sedikit harta yang kau bawa. Setelah itu,
kau boleh meninggalkan tempat ini tanpa diganggu...," ujar seorang lelaki
berwajah hitam dan berkulit kasar.
Pujawati menahan seruannya ketika lelaki itu menyeringai ke arahnya. Giginya
yang besar-besar dan kotor membuat Pujawati merasa jijik melihatnya. Sehingga,
tanpa sadar gadis manis itu mundur beberapa langkah ke belakang. Itu bukan
berarti Pujawati seorang gadis penakut. Gadis itu hanya kaget sesaat untuk
kemudian, kembali tenang seperti biasa.
"Raja Ular Tanah. Harap kau biarkan kami lewat. Untuk kebaikanmu itu, aku akan
memberikan harta yang cukup banyak," ujar Ki Danara mencoba berdamai dengan
gerombolan yang terkenal buas dan kejam. Bahkan, tidak jarang memakan daging
manusia, yang menurut keyakinan mereka dapat membuat tubuh menjadi kebal.
Mengingat hal itu, bergidik hati Ki Danara. Tapi, lelaki itu berusaha untuk
bersikap setenang mungkin.
"Keparat! Berani kau melakukan penawaran atas permintaanku! Apa kau belum
mengenal baik siapa kami...?" bentak Raja Ular Tanah, pemimpin gerombolan
manusia liar itu.
Mendengar bentakan itu, Ki Danara pun sadar tidak ada jalan lain untuk
melepaskan diri dari Gerombolan Ular Tanah, selain harus bertarung. Maka,
dicabutnya pedang yang tergantung di pinggang. Sebagai murid Pedang Pemecah
Langit, tentu saja Ki Danara telah dibekali ilmu-ilmu yang cukup untuk digunakan
membela diri. "Kurang ajar! Kau hendak melawan, heh...!" geram Raja Ular Tanah ketika melihat
gerakan tangan Ki Danara yang kini telah menggenggam pedang telanjang.
"Kaulah yang memaksa, Raja Ular Tanah...!" sahut Ki Danara yang siap
mengorbankan nyawa demi keselamatan putri gurunya.
Pujawati sendiri tidak tinggal diam. Meskipun gadis itu hampir tidak pernah
mendapat pengalaman seperti itu, namun dari cerita-cerita ayahnya, ia sudah
banyak mendengar tentang orang-orang jahat yang berkeliaran di atas muka bumi
ini. Ketika melihat Ki Danara mencabut senjata, gadis itu pun meloloskan pedang
yang tergantung di pinggangnya.
Sraaat...! Cahaya putih berkilau saat pedang di tangan Pujawati berkelebat menyilang dengan
suara berdesing tajam. Melihat kenyataan itu, Raja Ular Tanah tampak terbelalak
dengan wajah menyeringai. Kelihatan lelaki itu makin tertarik dengan sosok
ramping yang memegang senjata.
"He he he...! Sungguh hebat sekali. Hari ini aku akan mendapat seorang
permaisuri yang gagah perkasa dan liar. Aku sungguh sedang beruntung...," gumam
lelaki tinggi besar berperut gendut itu terkekeh serak.
Pujawati yang meski hanya dengan nalurinya, mampu menangkap makna ucapan Raja
Ular Tanah. Maka, gadis itu pun bersiap melakukan pertarungan.
"Kita lawan saja mereka, Paman...," ujar gadis manis itu dengan suara serak,
karena terlalu banyak menangis selama perjalanan.
"Memang sebaiknya kita lawan mereka. Kalau tidak, mereka akan semakin
beringas...," sahut Ki Danara yang sudah melintangkan pedangnya di depan dada.
Ternyata, meskipun bukan murid resmi Pedang Pemecah Langit, gerakan Ki Danara
terlihat cukup gesit dan mantap.
"He he he...! Anak-anak, kalian bereskan orang tua itu. Biar gadis manis ini
bagianku...," perintah Raja Ular Tanah terkekeh seraya melangkah ke arah
Pujawati. Kelihatannya, lelaki tinggi besar berperut gendut itu, sudah tidak sabar untuk
segera memeluk tubuh ramping di depannya.
"Hm..."
Pujawati bukanlah keturunan orang sembarangan. Gadis itu tidak merasa gentar,
menghadapi lelaki kasar yang tampak seperti hendak melahap tubuhnya. Pedang di
tangannya bergerak menyilang beberapa kali memperdengarkan suara berkesiutan.
"He he he...!" Permainan pedangmu bagus sekali, permaisuriku. Ayo, terus
tunjukkan padaku...," sambil melangkah ke arah Pujawati, mulut Raja Ular Tanah
tak henti-hentinya mengoceh.
Pujawati menggeser langkahnya menjauh, ketika mencium bau yang tak sedap dari
tubuh dan mulut Raja Ular Tanah. Diam-diam hatinya bergidik, membayangkan
tubuhnya dalam rangkulan lelaki menjijikkan itu.
"Haaah...!"
Melihat Pujawati bergerak mundur. Raja Ular Tanah yang takut kehilangan gadis
itu langsung melompat sambil mengembangkan kedua tangannya, siap merangkul tubuh
mungil dara remaja itu.
"Shaaattt..!"
Dengan sebuah bentakan mengejutkan, Pujawati mengelebatkan pedangnya untuk
menyambut luncuran tubuh lawan. Dan....
Takkk! Pedang gadis itu telak menghajar perut gendut Raja Ular Tanah. Tapi, bukan main
kagetnya hati data manis itu ketika pedangnya malah berbalik. Bahkan, lengannya
terasa panas. Sadarlah Pujawati, tubuh lawan tidak mudah untuk dilukai oleh
tebasan pedang.
Whuuuttt...!

Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sepasang lengan yang besar dan kuat meluncur datang hendak meringkus tubuh
mungil Pujawati. Untunglah gadis itu cepat sadar dari keterpakuannya. Cepat
gadis itu melesat ke belakang dan terus berjumpalitan di udara.
"He he he...! Bagus..., bagus...!"
Raja Ular Tanah terlihat gembira bukan main menyaksikan ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Pujawati. Semua ketangkasan yang dimiliki gadis itu membuat Raja
Ular Tanah makin bernafsu untuk segera meringkusnya.
Pujawati yang sadar akan kekuatan tubuh dan tenaga lawan, terpaksa harus
menggunakan kelincahannya, untuk menghindari terkaman-terkaman sepasang lengan
yang berbulu lebat itu. Sesekali ia balas menyerang, mengincar bagian-bagian
terlemah tubuh lawan yang tidak dilindungi kekebalan.
Raja Ular Tanah pun tidak bodoh. Lelaki itu tahu daerah sasaran serangan
Pujawati adalah bagian-bagian terlemah tubuhnya yang tidak dilindungi kekebalan.
Maka, Raja Ular Tanah tidak berani menerima serangan pedang Pujawati pada bagian
terlemah itu. Terpaksa lengannya harus menepis, bila ujung pedang gadis itu
meluncur datang, mengincar jalan darah kematian di tubuhnya.
"Haiiit..!"
Untuk yang kesekian kalinya, Pujawati kembali menusukkan ujung pedangnya pada
bagian belakang telinga lawan. Suara berdesing yang ditimbulkannya, membuktikan
dara itu telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang.
"Hmmmhhh...!" Raja Ular Tanah menggeram gusar. Cepat tangan kanannya bergerak
menepis pedang lawan.
Plakkk! "Aaaihhh...!"
Serangan pedang gadis remaja itu terpental balik akibat tepisan kuat. Tapi,
sepertinya gerakan itu sudah termasuk dalam perhitungannya. Terbukti, pedang
yang melenceng itu tiba-tiba berputar kembali, dan menyambar tenggorokan Raja
Ular Tanah! Benar-benar sebuah serangan yang hebat dan tak terduga!
Raja Ular Tanah tidak gugup menghadapi serangan itu. Dengan memiringkan tubuh,
diterimanya sambaran mata pedang gadis itu dengan dadanya. Dan....
Takkk! Pujawati yang tak sempat menarik pulang serangannya, mengeluh tertahan. Belum
lagi ia menyadari keadaannya, tiba-tiba gadis itu merasa pergelangan tangannya
bagai dijepit jepitan baja.
"Aaahhh..."!"
Ketika teringat lawannya, Pujawati menahan jeritan. Jepitan yang sangat kuat itu
ternyata jari-jari tangan Raja Ular Tanah! Dara remaja itu pun tidak bisa lagi
menyembunyikan kengerian hatinya.
Raja Ular Tanah memperdengarkan suara tawa yang parau. Sambil menyeringai lebar,
lelaki tinggi besar berwajah kehitaman itu menyentakkan tangan Pujawati.
Sehingga, tubuh gadis itu ikut tersentak maju.
"Aaawww...!"
Bukan main takut dan ngerinya hati Pujawati, ketika wajah Raja Ular Tanah begitu
dekat dengan wajahnya. Sehingga, dara remaja itu menjerit kuat-kuat. Jeritan itu
bukan karena Pujawati takut mati. Tapi, rasa ngeri yang tak bisa ditahannya
ketika Raja Ular Tanah hendak menciumi wajahnya.
"Lepaskan gadis itu..!" tiba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring, disusul
berkelebatnya sesosok bayangan putih. Begitu tiba, sosok itu langsung
melayangkan tamparannya ke kepala Raja Ular Tanah!
Plakkk! "Ouuughhh..."!"
Tamparan yang kelihatan perlahan itu, ternyata berakibat luar biasa bagi Raja
Ular Tanah! Tubuh tinggi besar itu terhuyung melintir, kemudian jatuh terduduk
di tanah berumput.
Bagaikan orang tolol, Raja Ular Tanah terbengong seolah tak percaya dengan apa
yang dialaminya. Dan beberapa saat lamanya, lelaki itu belum juga bergerak
bangkit. Sedangkan sosok berjubah putih yang muncul menyelamatkan Pujawati, tampak
berdiri tegak menatap sosok gadis remaja itu dengan mulut tersenyum.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak..?" tanya sosok berjubah putih yang ternyata seorang
pemuda tampan. Untuk beberapa saat, Pujawati seperti orang yang baru terbangun dari mimpi.
Sepasang matanya yang bening dan bulat, menatap sosok pemuda tampan yang
menolongnya dari cengkeraman Raja Ular Tanah. Pujawati tidak bisa menyembunyikan
rasa kagum dan herannya, terhadap sosok pemuda tampan berjubah putih. Kagum akan
ketampanan pemuda itu, dan heran melihat pemuda itu dapat merobohkan seorang
bertenaga kuat seperti Raja Ular Tanah. Gadis remaja itu tidak tahu, apa yang
dilakukan penolongnya hingga Raja Ular Tanah terhuyung roboh.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak...?" sosok berjubah putih kembali mengulangi
pertanyaannya. Karena gadis yang ditolongnya hanya diam membisu.
"Eh, oh.... Tidak... aku tidak apa-apa. Terima kasih atas pertolonganmu,
Kakang...,"
ucap Pujawati terputus-putus menyadari kebodohannya. Gadis itu segera menyebut
kakang karena melihat usia pemuda itu lebih tua darinya.
"Hm.... Syukurlah kalau begitu...," ujar pemuda tampan berjubah putih menghela
napas lega, setelah mendapat kepastian dari dara remaja itu.
Setelah terdiam sesaat, Pujawati teringat Ki Danara yang dikeroyok pengikut Raja
Ular Tanah. Meskipun keningnya tampak berkerut melihat ada sesosok bayangan
hijau yang membantu Ki Danara, tapi tarikan napas panjangnya menandakan kelegaan
hatinya. Karena keadaan Ki Danara tidak perlu dicemaskan lagi.
Ayahmukah orang tua itu...?" tanya sosok berjubah putih, ketika melihat
pandangan dara remaja itu terpusat ke arah pertandingan yang masih berlangsung
seru. "Bukan, ia pamanku...," sahut Pujawati pelan mirip sebuah gumaman.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang sudah pasti Panji, menoleh ketika
mendengar suara langkah berat. Rupanya, Raja Ular Tanah telah bangkit, dan
melangkah ke arah Panji dan Pujawati. Kemurkaan terpancar jelas pada sepasang
matanya yang seperti hendak melompat keluar.
"Siapa yang membokongku dengan curang...?" bentak Raja Ular Tanah. Meski
mulutnya bertanya demikian, tapi sepasang matanya tertuju ke sosok Panji.
Rupanya Raja Ular Tanah sudah menduga, yang menyerangnya pemuda tampan berjubah
putih itu. "Aku yang melakukannya! Tapi, bukan berarti aku sudah berbuat curang. Kau
sendiri telah bertindak kasar terhadap seorang gadis muda. Dan hukumannya sudah
kau terima barusan...," sahut Panji membalas tatapan mata Raja Ular Tanah tanpa
rasa gentar sedikit pun.
Terdengar lelaki liar itu menggerang murka. Sepasang matanya semakin melotot
keluar seolah hendak melompat dari tempatnya. Sedangkan pemuda itu tetap tenang
tanpa memperlihatkan gerakan sedikit pun.
"Hmmmhhh.... Kau akan mendapat hukuman yang setimpal untuk perbuatanmu tadi...!"
geram Raja Ular Tanah segera bersiap untuk meremukkan tulang-tulang tubuh Panji.
"Hati-hati, Kakang! Manusia jahat itu kuat sekali. Bahkan, tubuhnya kebal
terhadap senjata tajam..," bisik Pujawati yang mau tidak mau sangat
mengkhawatirkan pemuda penolongnya. Sebab, jika ia bandingkan sosok penolongnya
dengan lelaki liar itu, jelas kelihatan betapa pemuda itu demikian lemah, tidak
seperti Raja Ular Tanah yang garang dan perkasa. Rasanya, sekali remas saja
tulang-tulang pemuda itu pasti akan remuk. Membayangkan hal itu, ngeri hati
Pujawati. Dugaan itu membuat wajahnya agak pucat. "Benar. Manusia ini memang
kuat sekali. Tapi, kalau kita tahu kelemahannya, ia tidak terlalu menakutkan
seperti yang terlihat..," ujar Panji dengan suara tetap tenang, membuat dara
remaja itu terpana. Rupanya, Pujawati merasa heran melihat ketenangan pemuda
tampan itu, dalam menghadapi Raja Ular Tanah yang diketahuinya sangat kuat dan
kebal. "Heaaahhh...!"
Raja Ular Tanah yang sudah tidak bisa menahan kemarahannya, langsung
menggereng sambil mengembangkan kedua tangannya, siap menerkam tubuh Panji yang
kelihatan kecil dan lemah.
Whuuuttt..! Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat sepasang mata Pujawati terbelalak
kagum. Sebab, ketika sepasang lengan yang besar dan kuat itu hampir mencengkeram
tubuh penolongnya, tiba-tiba pemuda itu lenyap dari pandangan. Dan, muncul
begitu saja di belakang Raja Ular Tanah.
"Heh"!"
Raja Ular Tanah sendiri tampak kebingungan, ketika kedua lengannya hanya
menangkap angin kosong. Padahal, jelas ia melihat tubuh pemuda itu masih berada
di depannya saat kedua tangannya siap menerkam. Tapi, kenyataannya tubuh pemuda
itu telah lenyap, seperti asap yang terbawa angin.
"Apa yang kau cari, Raksasa Tolol...?" tegur Panji membuat Raja Ular Tanah
membalikkan tubuh, dan langsung menerkam ketika sudut matanya melihat sosok
bayangan putih di belakangnya.
Whuuuttt...! Lagi-lagi, Raja Ular Tanah hanya menerkam angin kosong. Sebab, tubuh pemuda itu
sudah lenyap tanpa bekas! Membuat kemurkaan lelaki itu makin menjadi-jadi.
Terdengar suara gerengannya yang mirip harimau kelaparan!
4 "Kurang ajar! Apa kau tidak mempunyai kepandaian lain kecuali mengelak"
Rupanya kau takut menghadapiku, heh!" geram Raja Ular Tanah dengan tubuh
menggigil karena marah.
"Hm..., lalu, apa yang kau inginkan, Kerbau Dungu...?" tanya Panji bersikap
menantang, membuat Raja Ular Tanah menyeringai merasa pancingannya berhasil
baik. "Kalau kau memang jantan, ayo hadapi aku. Jangan hanya mengelak dengan ilmu
silumanmu itu!" tantang Raja Ular Tanah yang sudah bersiap hendak menerkam, dan
meremukkan tubuh pemuda tampan berjubah putih.
"Kalau demikian keinginanmu, baiklah. Aku terima tantanganmu," sambut Panji
tanpa ragu sedikit pun. Bahkan, senyumnya masih tampak menghias wajah tampannya.
"Kakang, jangan mau diperdaya Raja Ular Tanah! Lebih baik kita keroyok dia...,"
Pujawati yang merasa khawatir, ketika mendengar penolongnya menerima tantangan
lelaki liar itu segera mencegah.
"Biarlah, Nisanak. Kita lihat saja sampai di mana kekuatan yang dimiliki kerbau
dungu itu...," ujar Panji tersenyum membuat Pujawati tidak bisa berkata apa-apa
lagi, kecuali menghela napas panjang sebagai tanda kegundahan hatinya.
"He he he...! Itu baru orang gagah. Nah, sekarang bersiaplah, Bocah...."
Raja Ular Tanah terlihat demikian gembira, ketika mendengar Panji menolak usul
gadis manis itu. Lelaki liar itu sudah membayangkan, betapa dirinya akan melumat
tulang-tulang pemuda itu sampai hancur, dengan kedua belah tangannya yang kokoh
itu. "Hm.... Silakan, Raja Ular Tanah. Aku sudah siap sejak tadi," tantang Panji yang
sudah berdiri tegak menunggu serangan lelaki buas itu.
"Heaaahhh...!"
Dibarengi bentakan mengguntur, Raja Ular Tanah menerkam maju dengan kedua tangan
terkembang. Menilik suara bentakannya, jelas lelaki itu telah mengeluarkan
seluruh tenaganya untuk melumat tubuh Panji.
Greeeppp! "Aaahhh..."!"
Pujawati memekik ngeri, ketika melihat sepasang telapak tangan Raja Ular Tanah,
mencengkeram kedua bahu penolongnya. Gadis remaja itu sampai menutup mata, tidak
ingin menyaksikan tubuh pemuda yang dikaguminya hancur lumat.
"Heeehhh"!"
Raja Ular Tanah tampak sangat terkejut Sepasang matanya membelalak lebar,
menatap wajah tampan di depannya yang masih saja tersenyum. Lelaki gendut itu
tidak mengerti, mengapa tubuh pemuda yang kecil itu tidak dapat terangkat oleh
sentakannya. "Aaahhh...!"
Raja Ular Tanah meraung, mengerahkan seluruh kekuatan yang ada untuk
mengangkat tubuh Panji. Namun, meski wajah tubuhnya telah dibanjiri keringat
akibat pengerahan tenaga yang dilakukannya, tapi tubuh pemuda berjubah putih itu
tetap tidak dapat terangkat. Bahkan, bergeser dari tempatnya pun tidak! Tentu
saja Raja Ular Tanah menjadi bingung!
"Ahhh, mengapa harus sungkan-sungkan, Raja Ular Tanah" Cepatlah kau lumat
tubuhku yang kecil ini...," ujar Panji memancing kemarahan lelaki itu. Sehingga,
Raja Ular Tanah mencoba lagi mengangkat tubuh Panji.
Tapi, meskipun seluruh kekuatan yang dimilikinya telah dikeluarkan, tetap saja
lelaki itu tidak berhasil mengangkatnya. Raja Ular Tanah tidak mengerti, mengapa
hal itu bisa terjadi"
Pujawati yang sejak tadi telah memejamkan mata, kini membukanya dengan perlahan.
Gadis itu mendengar suara Raja Ular Tanah yang tengah kepayahan. Dan, ketika
Pujawati membuka kedua matanya lebar-lebar, baru ia terkejut. Dilihatnya Raja
Ular Tanah tengah berusaha keras mengangkat tubuh Panji dengan kedua tangannya.
Wajah lelaki itu tampak semakin kelam. Urat-urat tubuhnya bertonjolan, pertanda
lelaki liar itu tengah mengerahkan seluruh tenaganya. Peluh sudah membanjiri
tubuh, wajah, dan kepala lelaki itu. Tentu saja Pujawati heran. Sadarlah dara
itu, pemuda penolongnya tentu seorang yang memiliki kepandaian luar biasa!
Raja Ular Tanah menjadi sangat penasaran. Mengira kekuatannya sudah musnah,
mendadak lelaki liar itu melepaskan cengkeramannya, dan melangkah ke arah pohon
besar yang berada tidak jauh dari tempatnya. Kemudian, dicekalnya batang pohon
itu dengan kedua tangan. Dan....
"Heaaahhh...!"
Brooolll...! Pohon besar itu langsung terangkat, tercabut hingga ke akar-akarnya. Jelas bahwa
kekuatan Raja Ular Tanah belum musnah. Buktinya pohon besar itu dapat tercabut
dengan mudah. "Setan! Ilmu apa yang dimiliki pemuda tampan itu hingga aku tidak mampu
mengangkat tubuhnya" Mungkinkah pemuda itu bukan manusia biasa...?" gumam Raja
Ular Tanah heran memikirkan kejadian yang dialaminya. Karena kenyataan itu
sangat sukar diterima akalnya.
"Jangan heran, Raja Ular Tanah. Tenagamu memang tidak akan mampu mengangkat
tubuhku yang kecil ini...," ujar Panji membuat wajah Raja Ular Tanah semakin
kelam. Lelaki itu merasa terhina dengan ucapan yang dikeluarkan Panji.
"Hmmmhhh...!"
Terdengar gerengannya yang menggetarkan hutan. Sesaat kemudian, lelaki gendut
itu sudah menerjang maju dengan kepalan-kepalannya yang besar.
Beeettt! Beeettt!
Kepalan yang besar dan berat itu datang bertubi-tubi mengancam tubuh Panji.
Tapi, pemuda itu dapat dengan mudah menghindari setiap kepalan lawan.
Plakkk! Ketika serangan itu terus datang tanpa henti, Panji terpaksa mengangkat tangan
untuk menangkis pukulan yang mengarah ke kepalanya. Akibatnya, tubuh Raja Ular
Tanah terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Dan sebelum lelaki itu
sempat memperbaiki kedudukannya, sebuah hantaman telapak tangan Panji, membuat
Raja Ular Tanah jatuh terguling-guling!
Deeesss...! Pujawati hampir bersorak menyaksikan kejadian itu. Sungguh tak disangkanya
pemuda tampan itu mampu memukul roboh Raja Ular Tanah yang sangat kuat. Bahkan,
sampai jatuh terguling-guling. Benar-benar sukar dipercaya.
"Hm.... Jelas, pemuda tampan itu seorang yang memiliki kepandaian luar biasa.
Dan, mungkin hanya dirinya yang mampu menyelamatkan ayahku dari Penculik-
Penculik Misterius itu...," gumam Pujawati yang teringat akan ayahnya ketika
melihat kehebatan Panji.
Sementara itu, Raja Ular Tanah telah dibuat jatuh bangun oleh Panji. Berkali-
kali pemuda itu menyarangkan pukulannya ke tubuh Raja Ular Tanah, membuat lelaki
gendut mengaduh kesakitan. Beberapa bagian tubuhnya tampak membiru. Rupanya,
Panji sengaja hendak memberi pelajaran pada kepala rampok itu, agar tidak lagi
menggunakan kekebalan dan kekuatannya untuk menindas orang.
"Ampun, Tuan Pendekar... ampun...."
Akhirnya, Raja Ular Tanah benar-benar jera, dan tak sanggup menerima pukulan dan
tendangan pemuda tampan berjubah putih itu. Lelaki gendut yang semula garang,
kini meratap-ratap meminta ampun sambil bersujud di depan Panji.
"Hm.... Kuharap mulai saat ini kau sadar, Raja Ular Tanah. Meskipun kau memiliki
kekuatan dan kekebalan, tapi janganlah kelebihan itu kau pergunakan untuk
menekan dan menyakiti orang lain. Alangkah baiknya, jika kepandaian itu kau
pergunakan untuk menolong dan membela yang lemah dan tertindas...," Panji
menasihati Raja Ular Tanah yang kelihatan benar-benar telah bertobat.
"Baik, Tuan Pendekar. Aku janji akan mengubah sikapku yang keliru selama
ini...," jawab Raja Ular Tanah seraya mengangguk-anggukkan kepalanya hingga membentur
tanah. "Bagus, aku senang mendengar janjimu. Nah, sekarang perintahkan pengikut-


Pendekar Naga Putih 62 Penculik Penculik Misterius di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengikutmu untuk kembali ke jalan yang benar. Percayalah. Kau akan menemukan
kedamaian dan kebahagiaan," tukas Panji lagi sambil melemparkan pandang ke arah
pertempuran yang tampaknya sudah akan berakhir.
"Hentikan pertempuran...!" Raja Ular Tanah berteriak memerintahkan para
pengikutnya untuk menghentikan serangan. Sehingga, mereka yang memang sudah
merasa gentar dengan sepak-terjang gadis jelita berpakaian serba hijau, langsung
melompat mundur.
Kenanga yang hanya bertangan kosong dalam menghadapi lawan-lawannya, tidak
berusaha untuk mengejar. Dara jelita itu menghentikan gerakannya, dan menoleh ke
arah lelaki tua yang tengah duduk kelelahan di dekat sebatang pohon Di beberapa
bagian tubuh lelaki yang tidak lain Ki Danara, tampak ada noda darah. Agaknya
lelaki kurus itu mengalami luka-luka ringan.
"Kau tidak apa-apa, Paman?" tanya Kenanga menegur orang tua yang tengah mengatur
napas. Ki Danara mengangkat wajahnya, menatap seraut wajah jelita yang ia tahu telah
menyelamatkan nyawanya dari kematian. Lelaki tua itu segera menganggukkan kepala
dengan sikap hormat
"Terima kasih, Nisanak. Tanpa pertolonganmu, mungkin aku sudah jadi mayat...,"
ucap Ki Danara mencoba untuk bangkit berdiri. Tapi Kenanga cepat-cepat mencegah.
"Bersemadilah, Paman. Agar tenagamu cepat pulih...," ujar dara jelita itu
kemudian beranjak meninggalkan Ki Danara, dan menghampiri Panji yang tengah
berhadapan dengan Raja Ular Tanah, yang tampak tidak segarang dan sebuas semula.
"Nah, sekarang kau boleh pergi. Raja Ular Tanah. Ingat pergunakanlah
kepandaianmu untuk menolong sesama...," pesan Panji sebelum melepaskan Raja Ular
Tanah dan para pengikutnya.
"Tuan Pendekar. Kini kami benar-benar akan merubah cara hidup kami yang sesat
selama ini. Tapi, sebagaimana kenangan bagi kami, dapatkah Tuan Pendekar
memperkenalkan nama besar. Tuan...?" pinta Raja Ular Tanah sebelum meninggalkan
tempat itu. "Baiklah, Raja Ular Tanah. Kalau kau memang membutuhkannya sebagai kenangan.
Panggil aku Pendekar Naga Putih. Begitulah, kaum rimba persilatan memberi
julukan padaku...," jawab Panji terpaksa memperkenalkan julukannya pada Raja
Ular Tanah. "Aaahhh"!"
Mendengar disebutkannya nama itu, bukan hanya Raja Ular Tanah dan para
pengikutnya yang berseru kaget Pujawari pun menahan rasa terkejutnya. Sebab,
nama besar pendekar itu sering disebut-sebut ayahnya.
"Kau..., benarkah Kakang yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya gadis
manis itu seraya melangkah ke arah Panji, dan meneliti wajah pemuda tampan yang
telah menolongnya dari marabahaya itu.
"Begitulah orang-orang memberi julukan padaku...," jawab Panji singkat tanpa
menunjukkan kesan sombong. Apalagi bangga akan julukan itu.
Raja Ular Tanah yang kini mengetahui siapa pemuda yang telah mengalahkannya,
tidak begitu merasa terpukul. Bahkan, ia bangga kalah di tangan pendekar besar
yang dihormati dan dipuja banyak orang.
"Pendekar Naga Putih, kini aku semakin mantap untuk merubah jalan hidupku.
Semoga lain kali kita dapat bertemu lagi...," pamit Raja Ular Tanah yang kini
wajahnya terhias senyum gembira. Setelah berkata demikian, ia pun mengajak para
pengikutnya untuk meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal gerombolan Raja Ular Tanah, Panji berniat hendak berpamitan. Karena sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukannya di
tempat itu. "Kami pun harus pergi untuk melanjutkan perjalanan...," pamit Panji singkat pada
Pujawati yang hanya berdiri mematung tanpa mampu bersuara.
Gadis itu merasa malu untuk meminta bantuan pendekar muda yang tersohor itu.
Takut jika Pendekar Naga Putih menolak permintaannya. Sehingga, Pujawati hanya
bisa memandang kepergian pasangan pendekar itu dengan perasaan tak menentu, ia
menoleh sekilas ke arah Ki Danara yang masih tenggelam dalam semadinya. Dan,
kembali menatap kedua sosok tubuh yang semakin menjauh itu.
*** "Pendekar Naga Putih, tunggu...!"
Saat kedua sosok bayangan tubuh pendekar itu hampir tidak terlihat, Pujawati
berseru tertahan. Meskipun suara panggilannya terdengar pelan dan penuh
keraguan, tak urung Panji dapat menangkapnya dengan baik. Terbukti kedua sosok
itu tampak berhenti.
Pujawati meremas-remas tangannya dengan hati dipenuhi keraguan. Sehingga, gadis
itu hanya berdiri mematung, dengan tatapan masih tetap tertuju ke arah dua sosok
bayangan pendekar muda itu.
Sedangkan Panji dan Kenanga saling berpandangan sejenak. Sesaat kemudian,
keduanya kembali melemparkan pandang ke sosok Pujawati yang masih juga berdiri
mematung. Setelah menanti sejenak, akhirnya pasangan pendekar muda itu
melambaikan tangan. Kemudian, kembali bergerak menjauh.
"Aaahhh...," Pujawati mengeluh kecewa. Kini bayangan Pendekar Naga Putih dan
gadis jelita yang mendampinginya telah lenyap dari pandangan. Musnahlah sudah
harapan dara remaja itu, untuk dapat menolong ayahnya dengan bantuan Pendekar
Naga Putih. Ki Danara yang baru menyelesaikan semadinya, merasa heran melihat Pujawati
tengah termenung menatap ke satu arah. Segera lelaki tua itu melangkah
menghampiri gadis manis itu.
"Ke mana perginya pendekar-pendekar yang telah menolong kita, Pujawati?" tanya
Ki Danara perlahan. Tapi membuat Pujawati tersentak kaget.
"Mereka... telah pergi, Paman...," sahut Pujawati dengan suara lemah tak
bersemangat. Menangkap ada nada kekecewaan dalam ucapan Pujawati, Ki Danara mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Sebentar kemudian, senyumnya tampak membayang. Agaknya,
orang tua itu dapat menduga apa yang sedang dipikirkan gadis manis itu.
"Gadis berpakaian serba hijau yang menyelamatkan aku, memiliki kecantikan yang
luar biasa. Rasanya... hanya bidadari dari kayangan saja yang dapat menandingi
kejelitaannya...," gumam Ki Danara seolah hendak memancing pendapat Pujawati.
"Aku tahu, Paman. Penolongku memang sangat tampan dan memiliki kepandaian yang
sukar dicari bandingnya. Tapi..., bukan itu yang kupikirkan...," desah Pujawati
yang rupanya menyadari dugaan Ki Danara. Sehingga, orang tua itu menjadi malu.
Sebab terkaannya ternyata meleset.
"Lalu...?" Ki Danara menggantungkan ucapannya.
"Dia seorang pendekar besar yang dipuja dan dihormati kaum rimba persilatan,
Paman. Dapatkah kau menduga siapa pemuda tampan berjubah putih itu, Paman?" ujar
Pujawati masih dengan suara perlahan, dan pandangan menerawang jauh ke depan.
"Maksudmu..., pemuda tampan berjubah putih itu Pendekar Naga Putih...?" sahut Ki
Danara yang kelihatan tegang ketika menyebutkan nama itu.
"Benar, Paman. Pendekar besar itulah yang telah menyelamatkan kita...," tandas
Pujawati seraya menolehkan kepala dan memandang Ki Danara dengan wajah sayu.
"Aaahhh..."! Kalau begitu, mengapa kau tidak mencegah kepergiannya" Mengapa kau
tidak meminta bantuannya untuk menyelamatkan ayahmu dari penculik-penculik
biadab itu, Pujawati?" tegur Ki Danara yang langsung mempunyai pikiran demikian,
seperti juga gadis manis itu, saat mengetahui siapa pemuda penolongnya.
"Aku... aku takut pendekar itu akan menolaknya, Paman...," sahut Pujawati
mengungkapkan perasaannya, mengapa ia tidak mengutarakan perihal Penculik-
Penculik Misterius itu pada Pendekar Naga Putih.
"Haiiihhh.... Betapa kelirunya pemikiranmu itu, Pujawati. Pendekar Naga Putih
adalah seorang pemuda yang berjiwa agung, dan selalu bersedia mengulurkan
tangannya pada siapa saja yang memerlukan pertolongan. Tanpa kita minta pun ia
akan mengorbankan dirinya untuk menolong orang banyak. Kalau kau meminta
pendekar itu untuk menyelamatkan ayahmu, tentu ia tidak akan pergi begitu
saja...," sesal Ki Danara yang menjelaskan perihal budi dan sifat Pendekar Naga
Putih yang selama ini di dengarnya.
"Entahlah, Paman. Aku tidak tahu, mengapa sampai mempunyai pikiran demikian...,"
desah Pujawati semakin merasa menyesal atas dugaannya yang sangat keliru.
Sayang, penyesalannya sudah terlambat. Pendekar muda yang terkenal itu telah
pergi entah ke mana.
"Hm.... Mungkin kau merasa tidak enak untuk meminta pertolongan pada pendekar
itu, karena ada dara jelita berpakaian serba hijau itu, bukan...,?" terka Ki
Danara memaklumi perasaan Pujawati, yang mungkin merasa dirinya tidak akan
diperhatikan Pendekar Naga Putih. Sebab dara pendamping pendekar muda itu
memiliki kecantikan yang luar biasa. Sehingga, Pujawati menjadi rendah diri.
Pujawati tidak menjawab. Gadis manis itu hanya menundukkan wajahnya yang
tertutup mendung. Sikap itu jelas membuktikan dugaan Ki Danara tidak meleset.
Sehingga, orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala tanda memahami perasaan
Pujawati. "Sudahlah. Tidak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Sebaiknya, sekarang
kita susul pasangan pendekar itu. Mudah-mudahan kita masih dapat berjumpa
dengannya...," usul Ki Danara membuat Pujawati mengangkat kepala. Terlihat jelas
binar harapan terpendar pada sepasang matanya yang bulat dan bening.
"Paman akan berbicara dan meminta pertolongannya...?" tanya Pujawati dengan
wajah penuh harap.
"Tentu saja aku akan meminta pertolongannya. Kalau tidak, untuk apa kita
bersusah-payah menyusulnya...," tegas Ki Danara membuat wajah mendung itu
seketika cerah. Senyum dara itu pun melebar membuat Ki Danara terharu.
"Terima kasih, Paman...," ucap Pujawati yang tanpa ragu-ragu, langsung memeluk
tubuh Ki Danara sebagai tanda terima kasihnya.
Ki Danara yang memang menganggap Pujawati seperti keponakannya sendiri, segera
mengelus rambut gadis manis itu. Ada getar kehangatan yang dirasakan lelaki tua
itu. Karena selama hidupnya ia memang tidak pernah menikah. Apalagi mempunyai
seorang anak. Itu sebabnya, mengapa lelaki tua itu sangat sayang pada putri
tunggal gurunya itu.
"Ayo, Paman...," sahut dara manis itu dengan wajah riang. Kemurungan lenyap
seketika, membuat Ki Danara tersenyum bahagia.
5 Kedua sosok tubuh itu melangkah tenang melintasi jalan utama, menuju Desa
Kenikir. Sinar matahari yang memancar lembut, membawa hembusan angin segar yang
mempermainkan pakaian dan rambut kedua sosok tubuh itu. Sebentar saja, keduanya
telah menapakkan kaki di Desa Kenikir.
Namun, betapa terkejutnya hati kedua sosok tubuh itu, ketika menyaksikan mayat-
mayat bergeletakan di atas tanah, di jalan utama desa. Melihat ceceran darah
yang masih basah, mudah ditebak kalau orang-orang itu belum lama tewas.
Pertarungan Digunung Tengkorak 1 3 Kehidupan 3 Dunia 10 Mil Bunga Persik Three Lives Three Worlds Ten Miles Of Peach Blossoms Karya Tangqi Gongzi Dewi Penyebar Maut V I 2
^