Penggembala Mayat 2
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat Bagian 2
ucapan Panji. "Berapa jauhkah letak Perguruan Perisai Baja dari tempat ini, Ki?" tanya
Kenanga. Entah sekadar basa-basi, atau karena memang ingin mengetahuinya.
"Hm.... Tidak begitu jauh. Kalau kita menggunakan kuda, paling-paling hanya
sekitar setengah hari perjalanan. Kalau kalian berniat ingin mengunjungi-nya,
lebih baik tunggu saja dulu sampai ketujuh orang itu sembuh. Nanti kalian bisa
bersama-sama dengan mereka pergi ke sana. Bagaimana?" usul Ki Jonggol.
"Tentu saja, Ki. Lagi pula pengobatan terhadap ketujuh orang itu belum selesai,"
sahut Panji sambil tersenyum maklum. Pendekar Naga Putih sebenarnya tahu kalau
orang tua itu masih menginginkan ia dan Kenanga tinggal di rumahnya.
"Hm.... Kalau kalian ingin beristirahat, mari ku-antarkan!" ajak Ki Jonggol
seraya bangkit dari duduknya. Dan kini ketiga orang itu meninggalkan ruang
tengah. *** 4 Sang mentari pagi nampak begitu cerah. Kicauan burung bersahut-sahutan menyambut
datangnya pagi. Angin segar bertiup lembut mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan,
sehingga seperti menari-nari.
Seorang pemuda tampan berpakaian serba putih berjalan menyusuri sebuah taman.
Wajahnya nampak segar, sesegar udara di pagi ini. Langkahnya perlahan, seraya
menikmati suasana yang ceria itu.
Di sebelah kirinya, nampak seorang gadis cantik mengenakan pakaian serba hijau.
Wajahnya yang cantik tampak memerah di kedua pipinya, sehingga membuatnya
semakin mempesona. Angin pagi mempermainkan anak rambutnya yang terjuntai di
kening. "Kakang...," panggil gadis itu, lembut.
"Hm...," gumam pemuda berjubah putih itu seraya menoleh. "Ada apa, Kenanga?"
Pemuda tampan yang tidak lain adalah Panji itu menatap gadis yang memang
Kenanga. Saat itu keduanya tengah menikmati suasana pagi di kebun belakang rumah
Ki Jonggol. "Rasanya sudah terlalu lama kita tinggal di sini, lalu kapan mengunjungi
Perguruan Perisai Baja"
Bukankah ketujuh orang murid perguruan itu sudah sembuh" Jadi, apa lagi yang
Kakang tunggu?" tanya Kenanga seolah-olah mengingatkan kekasihnya tentang niat
mereka semula. "Sabarlah, Kenanga. Kita tunggu saja sampai kesehatan ketujuh orang itu benar-
benar pulih," sahut Panji sambil menggenggam erat jemari gadis jelita itu.
"Kapan itu, Kakang?" tanya Kenanga agak mendesak.
"Hm.... Mungkin siang ini kita sudah bisa mengunjungi Perguruan Perisai Baja
itu," kata Panji seraya tersenyum sabar.
"Betul itu, Kakang?" desak gadis jelita itu setengah berteriak.
"Mengapa harus membohongimu?"
"Aku sudah tidak sabar untuk melihat kebenaran cerita ketujuh orang itu. Rasanya
aku masih belum percaya kalau ada orang yang telah mati dapat bangkit kembali.
Apalagi menurut cerita mereka, mayat hidup Ki Jaladri itu mengamuk membantai
murid-murid dan sahabat-sahabatnya sendiri. Apakah kau juga percaya cerita itu,
Kakang?" "Agaknya aku bisa mempercayainya!" sahut Panji.
Kenanga agak terkejut mendengarnya. Betapa tidak" Sebab dia tahu betul kalau
Panji paling tidak suka pada cerita yang berbau takhayul.
"Oh! Jadi Kakang percaya dengan cerita takhayul itu?"
"Eyang Tirta Yasa telah banyak bercerita kepadaku tentang bermacam-macam ilmu
yang terdapat di rimba persilatan ini. Dan salah satunya, kurasa mempunyai
kaitan erat dengan kejadian yang menimpa Ketua Perguruan Perisai Baja," jelas
Panji seraya menghela napas. Kemudian dilangkahkan kakinya mengitari taman itu.
"Apakah Kakang tahu, ilmu apa itu?" tanya Kenanga sambil menggenggam erat lengan
Panji. "Tentu saja. Tapi kuingatkan kepadamu, Kenanga.
Jangan kau ceritakan kepada siapa pun termasuk Ki Jonggol!" bisik Panji di
telinga gadis jelita itu.
"Baik, Kakang. Aku berjanji!" jawab Kenanga begitu
mengetahui kalau kekasihnya bersungguh-sungguh.
Sambil melangkah perlahan, Panji menceritakan tentang ilmu hitam yang dapat
membangkitkan mayat. Wajah Kenanga terlihat agak pucat ketika mendengar cerita
kekasihnya. Berkali-kali mulutnya ditutup untuk menahan seruan yang keluar dari
mulutnya. Jelas sekali kalau Kenanga merasa ngeri mendengar cerita Panji.
"Ihhh.... Mengapa ada ilmu yang sekeji itu ya, Kakang" Entah seperti apa rupanya
orang yang memiliki ilmu mengerikan itu!" kata Kenanga sambil mengusap kuduknya
yang terasa meremang.
"Sama saja seperti kita dan orang-orang lainnya.
Hanya, yang membuat mereka berbeda adalah pancaran sinar matanya yang tajam dan
dapat membuat orang terpengaruh hingga menuruti perintah-nya," sahut Panji
seraya merangkul kekasihnya.
Kenanga menyandarkan kepalanya di dada
kekasihnya. Getar kasih sayang yang terpancar dari hati mereka membuat Kenanga
semakin dalam menyurukkan wajahnya di dada Panji. Sesaat kemudian, wajah cantik
itu menengadah, memancarkan pijar kasih lewat sepasang mata indahnya.
"Hm.... Sepertinya ada beberapa orang yang tengah menuju kemari, Kenanga," kata
Panji, lembut. Dilepaskan pelukannya dari tubuh gadis jelita itu.
Rupanya meskipun dalam keadaan terbuai, telinga Panji masih sempat menangkap
gerakan di sekitarnya.
Benar saja. Tidak berapa lama kemudian, tampak delapan orang laki-laki bergegas
menghampiri Panji dan Kenanga.
"Selamat pagi, Panji, Kenanga...," ucap orang yang melangkah paling depan, yang
tidak lain adalah Ki
Jonggol, Kepala Desa Keputih. "Wajah kalian cerah sekali pagi ini."
"Selamat pagi, Ki," sahut Panji membungkuk hormat disertai senyuman lebar.
"Selamat pagi, Tuan Pendekar.... Kami sudah merasa benar-benar sehat dan siap
mengantarkan Tuan Pendekar berdua," kata salah seorang dari tujuh laki-laki yang
datang bersama Ki Jonggol.
Sambil berkata demikian, orang itu membungkuk diikuti enam orang lainnya. Mereka
adalah tujuh murid Perguruan Perisai Baja yang telah sembuh karena pengobatan
Pendekar Naga Putih.
"Syukurlah. Kalau begitu kita bisa segera berangkat untuk melihat keadaan
perguruan kalian itu, Kisanak. Oh, ya. Panggil saja aku dengan nama Panji, dan
ini Kenanga," pinta Panji yang disambut oleh ketujuh orang itu dengan anggukan
kepala. "Baik.... Baik, Tuan..., eh, Panji," sahut orang itu agak kikuk.
Memang, biar bagaimanapun, mereka merasa tak enak menyebut pendekar muda itu
dengan nama saja. Tapi karena pemuda itu sendiri yang meminta, maka mereka pun
terpaksa menurutinya.
"Ah! Mengapa harus terburu-buru" Nanti siang sajalah kalian berangkat. Lebih
baik kita sarapan dulu, mari!" ajak Ki Jonggol.
Laki-laki tua itu sepertinya memang merasa berat untuk melepaskan kepergian
Pendekar Naga Putih yang amat dikaguminya itu. Makanya, dia berusaha mencari-
cari berbagai alasan untuk menahan pendekar muda itu.
"Terima kasih, Ki. Biarlah kami berangkat pagi ini saja. Makin cepat, makin
baik," sahut Panji meng-harapkan pengertian orang tua itu. Meskipun tidak
mengatakan apa-apa, tapi Pendekar Naga Putih dapat menduga kalau orang tua itu
masih merasa berat untuk melepaskannya.
Karena yang lain pun ikut pula mengatakan hal yang sama, maka Ki Jonggol pun tak
dapat menahan lagi.
"Baiklah kalau begitu. Akan kusuruh orang-orangku untuk menyiapkan kuda untuk
kalian. Yah, paling tidak untuk mempercepat perjalanan. Bukan begitu, Kisanak?"
Ki Jonggol menolehkan kepalanya kepada salah seorang murid Perguruan Perisai
Baja yang berada di sebelahnya.
"Memang betul, Panji, Kenanga. Kalau kita menempuh dengan jalan kaki, akan
memakan waktu sekitar dua hari. Jadi, sebaiknya terima saja bantuan Ki Jonggol,"
jelas orang itu, memperkuat kata-kata Ki Jonggol tadi.
"Yah.... Kalau memang harus begitu, apalagi yang kita tunggu?" sahut Panji
bergurau. Setelah segalanya dipersiapkan Ki Jonggol, rombongan kecil itu berangkat
meninggalkan Desa Keputih. Ki Jonggol dan kedua orang pembantu utamanya
mengantarkan hingga batas desa.
"Kalau persoalan itu sudah beres, singgahlah kembali ke tempatku, Pendekar Naga
Putih," pinta Ki Jonggol sambil melepaskan rombongan kecil itu. Ia sengaja
memanggil Panji dengan julukannya kembali.
Seolah-olah hal itu meninggalkan kesan yang lain dalam hatinya.
"Aku tidak bisa menjanjikannya, Ki. Tapi aku akan berusaha mencari kesempatan
untuk berkunjung ke desa yang ramah ini," sahut Panji sambil menggebah kudanya
menyusul yang lain.
Kepulan debu membumbung tinggi ketika kuda
yang ditunggangi Panji melesat meninggalkan mulut Desa Keputih. Makin lama,
bayangannya makin hilang ditelan kejauhan.
*** Menjelang siang, rombongan Panji pun mulai
memasuki sebuah hutan kecil yang cukup lebat.
Salah seorang murid Perguruan Perisai Baja yang berada di depan, menghentikan
lari kudanya. "Setelah melewati mulut hutan ini, kita akan segera sampai di Perguruan Perisai
Baja," jelas laki-laki itu seraya menolehkan kepalanya ke arah Panji dan
Kenanga. "Marilah kita percepat perjalanan. Sebelum hari gelap, kita harus sudah sampai
di perguruan kalian agar tidak mendapat kesulitan untuk memeriksanya,"
timpal Panji. "Ayolah! Heyaaa...!"
Murid Perguruan Perisai Baja yang menjadi petunjuk jalan itu bergegas menggebah
kudanya. Binatang tunggangan itu langsung melesat memasuki mulut hutan.
"Heyaaa...!"
Panji, Kenanga, dan enam orang lainnya bergegas pula menggebah kuda mereka yang
langsung melesat mengejar orang terdepan.
Tidak berapa lama kemudian, tembok bangunan Perguruan Perisai Baja mulai
terlihat. Mereka mulai memperlambat lari kuda begitu tempat yang dituju semakin
dekat. Pendekar Naga Putih dan yang lain segera menghentikan lari kuda, karena dari
jarak belasan tombak sudah tercium bau busuk yang menusuk hidung.
"Uhhh! Rasanya kita tidak bisa memasuki tempat ini, Panji. Dari sini saja aku
sudah tidak sanggup menahankan bau busuk yang menyengat itu. Jadi, bagaimana
kita akan dapat memeriksanya?" tanya murid yang menjadi penunjuk jalan, sambil
menutup hidung dengan selendang yang membelit pinggangnya.
"Yahhh! Sepertinya kita tidak dapat maju lagi, Kakang," kata Kenanga yang juga
sudah menutup hidungnya.
"Tidak. Kita harus tetap memeriksanya. Oleskanlah minyak ini di hidung kalian.
Mudah-mudahan bau busuk itu tidak mengganggu lagi," ujar Panji.
Segera diberikannya sebuah botol kecil yang berisikan cairan berwarna hijau.
Botol itu juga diberikan kepada yang lain.
"Wah, minyak ini benar-benar manjur. Apa nama minyak ini, Panji?" tanya salah
seorang murid Perguruan Perisai Baja gembira. Memang, bau harum yang menebar
dari minyak itu ternyata dapat mengalahkan bau busuk menyengat itu.
"Minyak itu adalah hasil ramuan guruku. Beliau menamakannya 'Minyak Tujuh
Bidadari', karena harum yang ditimbulkan laksana harum keringat bidadari. Tapi,
jangan tanyakan, mengapa guruku menamakannya demikian. Karena, aku sendiri tidak
mengetahuinya," sahut Panji sambil tersenyum.
"Hi hi hi.... Ada-ada saja nama minyak itu,"
Kenanga terkikik. "Eh, Kakang. Apakah kau sudah pernah mencium bau harum
keringat bidadari?"
"Wah! Kalau aku sih bukan saja sudah, bahkan seringkali bidadari itu datang
kepadaku," jawab Panji dengan wajah sungguh-sungguh.
"Eh, benarkah itu, Panji...?" tanya tiga orang murid
Perguruan Perisai Baja berbarengan.
Sementara itu yang lain memandang dengan setengah tak percaya. Memang,
sepengetahuan mereka, bidadari itu hanya ada dalam dongeng. Dan sampai saat ini,
belum pernah seorang pun yang menjumpainya. Tentu saja kalau orang lain yang
mengatakannya, mereka tak akan mempercayai begitu saja. Bahkan mungkin akan
memaki sebagai orang yang tak waras. Tapi yang berkata kali ini adalah Pendekar
Naga Putih yang kesaktiannya sangat tinggi. Apalagi wajah pemuda itu jelas-jelas
menampakkan kesungguhan. Apakah mungkin kalau pendekar besar itu akan berdusta"
Demikian pula dengan Kenanga. Tadinya, kekasihnya dikira sengaja menggoda. Tapi
ketika melihat wajah pemuda itu demikian bersungguh-sungguh, tentu saja gadis
jelita itu menjadi kebingungan.
Gadis itu memang sudah sering mendengar dari mulut kekasihnya tentang peristiwa-
peristiwa mustahil yang dialami pemuda itu. Tapi untuk bertemu dengan bidadari,
apakah itu mungkin" Dan sebenarnya, diam-diam Kenanga mulai dijalari
kecemburuan. "Tentu saja benar! Untuk apa aku berbohong kepada kalian" Apa pula untungnya
bagiku?" sahut Panji seolah-seolah tak senang ketika melihat sinar
ketidakpercayaan di wajah mereka.
"Wah! Sudah tentu kami tidak berani menuduhmu seperti itu, Panji. Tapi,
bagaimanakah caranya kau dapat bertemu bidadari itu?" tanya seorang murid
Perguruan Perisai Baja yang berkumis tipis. Orang itu menundukkan kepalanya
karena tak berani menen-tang tatapan Panji yang tajam menusuk itu.
"Kakang.... Kau bersungguh-sungguh...?" tanya
Kenanga seraya menyentuh lengan kekasihnya.
Suara gadis itu terdengar bergetar, menggambarkan perasaan hatinya yang kacau
saat itu. Panji tidak menjawab pertanyaan Kenanga, dan hanya mengangguk membenarkan
ucapannya. Lalu pandangannya dialihkan kepada tujuh orang murid Perguruan
Perisai Baja yang tengah menanti jawaban.
"Hm.... Saat ini pun aku bisa memanggilnya. Kalau ingin menyaksikannya,
pejamkanlah mata kalian rapat-rapat. Kau juga, Kenanga. Dan jangan sekali-kali
membuka mata sebelum kuperintahkan," ujar Panji dengan suara yang berat dan
dalam. Tanpa banyak cakap lagi, ketujuh orang murid Perguruan Perisai Baja yang ingin
membuktikan ucapan Panji bergegas memejamkan mata. Demikian pula Kenanga. Gadis
jelita itu pun memejamkan matanya rapat-rapat meskipun hatinya berdebar penuh
ketegangan. Panji merapat dan memeluk tubuh kekasihnya erat-erat. Kemudian, dibisikkannya
kata-kata yang membuat Kenanga semakin tegang.
"Peluklah aku erat-erat, Kenanga. Agar bidadari itu tidak memelukku apabila
datang nanti," bisik Panji lirih hingga tidak terdengar oleh yang lainnya.
"Nah, sekarang bukalah mata kalian!" perintah Panji dengan suara yang berwibawa.
"Oh! Mana..., mana bidadari itu" Aku belum melihatnya, Panji?" tanya salah satu
dari ketujuh orang itu sambil mengedarkan pandangannya.
"Wah! Apakah kalian sudah buta" Bukankah saat ini aku tengah berpelukan dengan
seorang bidadari?"
jawab Panji seraya tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...!" meledaklah tawa ketujuh orang murid Perguruan Perisai Baja itu
ketika mendengar
penjelasan Panji.
"Ihhh, Kakang jahat! Kau hampir saja membuatku berhenti bernapas tadi. Padahal
aku sudah benar-benar percaya dengan ucapanmu!" teriak gadis jelita itu manja.
Seketika dipukulinya dada Panji dengan perasaan gemas.
"Hm, tanyalah kepada mereka kalau tidak percaya.
Kisanak, bukankah saat ini aku tengah memeluk bidadari?" tanya Panji kepada
ketujuh orang itu.
"Betul! Betul, Panji! Menurut penglihatanku, Nini Kenanga adalah seorang
bidadari," jawab laki-laki berkumis tipis sambil tertawa gembira.
"Ya! Kecantikan Nini Kenanga tak ubahnya seperti bidadari," seru yang lain
sambil tertawa-tawa.
"Nah! Betul, kan?" kata Panji sambil tersenyum.
"Ah, Kakang...," desah Kenanga manja. Meskipun mulutnya cemberut, tapi hati
gadis jelita itu berbunga-bunga. Perasaan bahagia semakin menggetarkan relung
hatinya. *** Panji, Kenanga, dan tujuh orang lainnya bergerak memasuki bangunan Perguruan
Perisai Baja. Bau busuk yang menyergap tidak lagi mengganggu mereka, karena
minyak yang dioleskan di bawah hidung mereka mengusir bau busuk itu.
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm.... Tempat ini benar-benar seperti neraka saja layaknya!" desis Kenanga
melihat begitu banyaknya mayat membusuk yang saling tumpang tindih. Diam-diam, hati gadis jelita itu mengutuk orang yang
telah berbuat keji dengan membangkitkan mayat Ki Jaladri.
"Entah apa maksud orang yang menjadi dalang kejadian ini" Rasanya, mustahil
kalau tidak mem-
punyai maksud-maksud tertentu?" gumam Panji.
Kaki pemuda itu terus melangkah di antara puluhan mayat yang bergeletakan. Hati
Pendekar Naga Putih menjadi geram melihat kekejaman yang terpampang di depan
matanya. "Entahlah, Panji. Peristiwa ini masih merupakan misteri bagi kami," sahut laki-
laki berkumis tipis yang berjalan di belakang pemuda itu. Rupanya ia sempat juga
mendengar gumaman pemuda di depannya.
Setelah memeriksa seluruh ruangan dalam
bangunan besar itu, rombongan kecil itu pun bergegas keluar.
"Lebih baik kita kuburkan mayat-mayat ini dalam sebuah lubang yang besar," usul
Panji. Pemuda itu menatap ketujuh orang murid
Perguruan Perisai Baja berganti-ganti, seolah-olah meminta pendapat tentang
usulnya. "Wah, bagaimana kita harus melakukannya, Panji"
Mayat-mayat ini sudah sedemikian membusuk. Jadi, bagaimana harus
memindahkannya?" bantah salah satu dari ketujuh orang itu.
Wajah orang itu tampak pucat ketika mem-
bayangkan harus mengangkat mayat-mayat busuk itu, dan memindahkannya ke dalam
lubang yang dimaksudkan Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam mendengar jawaban orang itu.
Ketika yang lain mengajukan alasan yang sama, pemuda itu terdiam sambil
mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Kami sudah tidak berniat untuk tinggal di tempat ini lagi. Jadi menurutku, biar
sajalah mayat-mayat ini habis dengan sendirinya," jawab si kumis tipis dengan
suara rendah. Memang, biar bagaimanapun ia masih merasa berat juga untuk meninggalkan tempat
itu, karena semenjak kecil telah berada di Perguruan Perisai Baja. Tapi
mengingat peristiwa yang telah dialami, membuat mereka berpikir dua kali untuk
tinggal di situ.
"Eh, nanti dulu!" seru Panji tiba-tiba. Seolah-olah pemuda itu teringat akan
sesuatu yang melintas dalam pikirannya. Keningnya seketika jadi berkerut
"Bukankah menurut keterangan kalian mayat Ki Jaladri berada di dalam peti" Lalu,
ke mana perginya peti mati Ki Jaladri?"
"Hm, benar! Bukankah peti mati itu diletakkan di depan ruangan gedung pusat"
Lalu, ke mana perginya peti mati guru?" tegas si kumis tipis begitu mendengar
kata-kata Panji. Bergegas kakinya melangkah ke tempat peti mati gurunya
diletakkan pada beberapa hari yang lalu.
Kesembilan orang itu menjadi terheran-heran ketika mengitari halaman gedung,
namun tidak juga menemukan peti mati Ki Jaladri. Berbagai pertanyaan melintas di
benak masing-masing. "
"Tidak ada lagikah murid-murid lainnya yang berhasil meloloskan diri pada malam
kejadian itu?" tanya Panji kepada si kumis tipis yang selalu berada di
belakangnya. "Tidak, Panji. Hanya kami bertujuh inilah yang berhasil meloloskan diri dari
pembantaian itu," jawab orang itu pasti.
"Hm.... Lalu ke mana perginya peti mati gurumu itu...?" gumam Panji berpikir
keras, mencari pemecahan atas kejadian yang penuh teka-teki itu.
"Ayolah kita keluar dari tempat ini, Kakang! Lama-lama aku tidak tahan juga
melihat mayat-mayat yang
berserakan itu."
Sambil berkata demikian, Kenanga melangkahkan kakinya menuju keluar bangunan
gedung perguruan itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Panji dan ketujuh orang
lainnya bergegas mengikuti langkah Kenanga.
Sambil melangkah, Panji terus berpikir tentang hilangnya peti mati Ki Jaladri.
Rasa penasaran membuat pemuda itu tidak menyerah begitu saja untuk mencari
jawaban. "Apa langkah kita selanjutnya, Panji?" tanya salah seorang murid Perguruan
Perisai Baja begitu sudah berada di tempat kuda-kuda mereka tertambat Mereka
semua langsung melompat ke punggung kuda masing-masing. Ringan sekali gerakan
mereka. Jelas, kalau rata-rata ilmu meringankan tubuh mereka telah tinggi.
"Hilangnya peti mati dan sekaligus mayat Ki Jaladri, pasti bukan dengan
sendirinya. Aku yakin kalau peristiwa ini akan berbuntut panjang. Dan yang harus
dicari sekarang adalah orang yang menjadi biang keladi semua kejadian ini.
Dugaanku, orang itu pulalah yang mencuri peti mati dan mayat guru kalian.
Sepertinya, mayat guru kalian masih diperlu-kan orang keji itu," Panji menduga-
duga. Dan apa yang dikatakan pemuda itu memang cukup masuk akal.
"Lalu, apa yang harus kita perbuat" Sedangkan kita sendiri tidak tahu, siapa dan
di mana adanya orang keji itu?" tanya si kumis tipis. Nada suaranya terdengar
putus asa. "Kembalilah kalian ke Desa Keputih. Dan tinggal-lah untuk sementara di desa itu.
Apabila sudah menemukan manusia keji itu, aku akan segera
memberi kabar kepada kalian. Maaf, bukan berarti aku meremehkan kapandaian
kalian," ucap Panji menutup kata-katanya.
"Tentu saja, Panji. Kami pun sadar kalau tidak akan mampu untuk menyingkap
misteri ini. Selamat tinggal Pendekar Naga Putih. Kami menunggu berita darimu,"
ucap salah seorang dari mereka yang langsung menggebah kudanya meninggalkan
Panji dan Kenanga. Enam orang lainnya bergegas menyusul kawannya meninggalkan
tempat itu. "Heyaaa...!"
Kepulan debu membumbung tinggi ketika tujuh orang murid Perguruan Perisai Baja
menggebah kuda-kuda mereka.
Panji dan Kenanga menatap kepergian ketujuh orang itu dengan perasaan haru.
"Kasihan mereka. Mereka tak ubahnya anak-anak ayam kehilangan induknya.
Sementara sang Induk yang telah tewas tidak diketahui di mana rimbanya?"
desah Panji lirih.
"Lalu, ke mana tujuan kita sekarang, Kakang"
Sebentar lagi hari sudah gelap. Tidakkah sebaiknya kita meninggalkan tempat
ini?" tanya Kenanga.
Ucapan kekasihnya tadi sebenarnya telah membangkitkan ingatan Kenanga kalau
dirinya tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini selain pemuda kekasihnya
itu. Panji menyadari ucapannya ketika melihat sepasang mata indah milik kekasihnya
tampak ber-kaca-kaca. Perlahan-lahan Panji mendekatkan kudanya ke kuda Kenanga.
Kuda-kuda itu kemudian merapat Pendekar Naga Putih lalu mengulurkan tangannya
mendekap kepala gadis jelita itu. Dibisikkannya kata-kata mesra untuk menghibur
hati Kenanga yang teringat akan keadaan dirinya.
"Maafkan aku, Kenanga. Aku tahu, apa yang tengah kau rasakan saat ini. Dan aku
berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi," bisik Panji lirih di telinga
kekasihnya. "Sungguh, Kakang...?" desah Kenanga serak.
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Dikecupnya kening gadis jelita itu.
Beberapa saat kemudian, Panji dan Kenanga telah memacu kudanya meninggalkan
tempat itu. *** 5 Malam telah larut. Hembusan angin dingin membuat orang enggan untuk ke luar
rumah. Gemerisik dedaunan yang dipermainkan angin, semakin menimbulkan
keseraman. Ditambah lagi dengan suara jatuhnya titik-titik air yang menimpa
atap-atap rumah, sehingga membuat suasana semakin menyeramkan.
Delapan orang prajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang Kadipaten Jagalan,
tampak berkumpul di gardu jaganya. Rupanya mereka merasa resah mendapati suasana
malam yang tidak seperti biasa-nya.
"Hhh.... Entah mengapa suasana malam ini membuat hatiku tidak tenteram" Ada apa,
ya...?" gumam salah seorang prajurit yang bertubuh gemuk, seraya melipat kedua
tangan di depan dada. Seolah-olah dengan berbuat demikian, diharapkan akan
mendapat ketenangan.
"Benar. Biasanya kalau suasana malam seperti ini, pasti ada suatu kejadian yang
menggemparkan. Tapi, mudah-mudahan saja kejadian itu tidak menimpa kita," timpal
prajurit lain. Sepertinya, dia punya perasaan yang serupa dengan prajurit gemuk
itu. "Ah, sudahlah! Tugas kita sebagai prajurit adalah menjaga keamanan. Dan kalau
ada apa-apa, kitalah yang harus bertanggung jawab. Jadi tidak ada alasan untuk
merasa takut atau memikirkan hal yang bukan-bukan!" bentak salah seorang
prajurit yang lebih tua dari mereka. Agaknya ia tak senang dengan pembicaraan
kedua orang temannya itu.
"Ah! Kami tidak mengatakan takut, Kakang. Hanya saja, perasaan kami mengatakan
kalau bakal ada sesuatu yang akan terjadi malam ini. Dan kami berharap agar
kejadian itu tidak berlangsung di Kadipaten Jagalan ini," bantah prajurit yang
bertubuh gemuk.
"Yah, mudah-mudahan saja prasangka kita itu salah!" sahut yang lain, kembali
mengharap. Di saat para prajurit itu tengah berdebat, sebentuk benda yang berbentuk kotak
persegi panjang tampak melayang-layang di atas gerbang kadipaten. Benda aneh
berwarna coklat tua itu terus bergerak menuju sebuah bangunan besar.
"Hei, lihat! Apa itu?" teriak seorang prajurit yang kebetulan saat itu tengah
memandang ke langit, sambil menunjuk ke atas.
"Seperti.... Seperti peti mati...!?" desis salah seorang prajurit dengan suara
bergetar dicekam kengerian.
"Hm.... Orang gila dari mana yang berani berbuat seperti itu di kadipaten?"
geram seorang laki-laki gagah. Kalau dilihat dari pakaiannya, pastilah memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari prajurit lain.
"Hei, benda itu meluncur turun!" seru prajurit yang pertama kali melihat peti
mati itu. "Bunyikan tanda bahaya...!" perintah laki-laki gagah itu cepat.
Rupanya sudah mulai bisa diduga kalau peti mati itu tidak bisa dibuat main-main.
Sebentar kemudian, tubuh laki-laki gagah itu segera melesat ke arah tempat di
mana peti mati akan turun.
Tujuh orang prajurit bergegas menyusul pemimpin-nya yang telah lebih dahulu
menghampiri peti mati itu. Sambil berlarian, tujuh orang prajurit itu bergegas
mencabut senjatanya. Dan belum lagi mereka sampai, tiba-tiba....
Blakkk! Begitu menyentuh permukaan tanah, peti mati itu langsung membuka. Tampak sesosok
tubuh yang kaku dan berbau busuk melompat keluar dari dalam peti mati.
"Ups...!"
Pemimpin jaga yang baru saja menjejakkan kakinya di dekat peti mati, langsung
melenting beberapa tombak ke belakang karena bau bangkai yang amat busuk
langsung menyergap hidungnya.
"Gila! Mayat hidup"!" teriak pemimpin jaga dengan wajah memucat
Laki-laki itu benar-benar terkejut ketika menyaksikan penampilan sesosok tubuh
yang menjijikkan itu.
Tadinya disangka kalau di dalam peti mati itu pasti terdapat seseorang yang
berniat mengacau kadipaten. Tapi ketika melihat apa yang disaksikannya itu,
matanya langsung terbelalak ngeri.
Saat itu tanda bahaya berbunyi melengking memecah kesunyian malam! Tak lama
kemudian, terdengar derap langkah kaki puluhan orang yang berlarian mendatangi
tempat itu. Beberapa di antaranya terdapat pemimpin-pemimpin pasukan kadipaten.
"Gila! Apa itu..."!" teriak seorang prajurit kepada kawannya. Meskipun
sebenarnya melihat dengan jelas, namun pertanyaannya itu terlontar juga dari
mulutnya. "Mayat... Mayat hidup"!" seru kawannya dengan suara bergetar. Sama sekali tidak
disangka kalau suasana malam seperti itu harus berhadapan dengan mayat hidup.
"Jangan ada yang bergerak! Kita lihat dulu apa yang akan dilakukannya!" perintah
salah seorang perwira kadipaten, lantang.
Si mayat hidup melangkah kaku menuju gedung utama kadipaten. Sepertinya ia akan
memasuki bangunan utama yang menjadi tempat kediaman Adipati Gamang Sari.
"Mundur...! Siapkan pasukan panah!" kembali sang Perwira memerintahkan.
Tanpa diperintah dua kali, dua puluh orang prajurit segera mempersiapkan anak
panah dan busurnya.
Sesaat kemudian, puluhan batang anak panah sudah tertuju ke arah si mayat hidup.
Sedangkan si mayat hidup terus saja melangkah mendekati bangunan utama
kadipaten. Sepertinya sama sekali tidak dipedulikan teriakan-teriakan yang
mencegah langkahnya.
Si perwira yang melihat mayat hidup itu terus saja melangkah maju, segera
berteriak kepada prajuritnya untuk melepaskan anak panah. Sesaat kemudian, dua
puluh batang anak panah sudah berdesing menuju mayat hidup.
Zingngng! Zingngng!
Trak! Trak! Begitu puluhan batang anak panah itu meluncur ke arahnya, si mayat hidup
bergegas memutar pedang yang tergenggam di tangannya. Belasan batang anak panah
langsung runtuh ke tanah dalam keadaan patah. Sedangkan beberapa batang lainnya
menancap di tubuh si mayat hidup. Namun sungguh di luar dugaan, anak panah itu
seperti tidak berarti apa-apa bagi tubuhnya. Walaupun terluka, tapi tidak
merasakan sakit.
Para prajurit kadipaten yang hanya terpisah
beberapa tombak dari si mayat hidup, bergegas berloncatan mundur! Ternyata luka
akibat anak panah di tubuh si mayat hidup mengeluarkan cairan berwarna kuning
bercampur kehijauan. Cairan itu menebarkan bau busuk yang sangat memualkan perut
"Hoekkk...!"
Beberapa orang prajurit yang tak sanggup menahan rasa mual, langsung memuntahkan
isi perutnya. Wajah mereka seketika berubah, karena isi perut terus saja
melompat keluar.
"Mundur...! Jauhi mayat hidup itu!" si perwira bertindak cepat memerintahkan
pasukannya untuk mundur menjauhi mayat hidup yang menjijikkan itu.
"Bagaimana ini, Kakang Wanasa" Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi
mayat hidup itu?"
tanya salah seorang yang juga berpangkat perwira.
Sepertinya orang itu juga merasa bingung ketika melihat mayat hidup itu tidak
roboh meskipun tubuhnya tertembus belasan anak panah.
"Hm.... Coba terus hujani dengan anak panah.
Kalau seluruh tubuhnya sudah dipenuhi anak panah, masak tidak roboh juga?" ujar
perwira yang dipanggil Wanasa, penasaran.
Setelah berkata demikian, ia pun kembali memerintahkan prajuritnya untuk
melepaskan anak panah.
Zingngng! Zingngng!
Puluhan batang anak panah kembali berdesingan mengancam tubuh si mayat hidup.
Belum lagi puluhan batang anak panah itu mengenai sasaran, para prajurit itu
kembali melepaskan anak panah berikut.
Tapi kali ini si mayat hidup tidak hanya sekadar
bertahan. Begitu anak panah gelombang pertama hampir mendekati, pedangnya
diputar sambil melompat ke arah barisan pasukan panah itu.
Meskipun dengan gerakan kaku, ternyata tubuh si mayat hidup dapat berputar
melakukan beberapa kali salto di udara. Beberapa batang anak panah yang
mengancam tubuh langsung runtuh terpukul sambaran pedangnya. Sedangkan anak
panah yang lainnya lewat beberapa jengkal di bawah kakinya.
Si perwira yang bernama Wanasa itu terkejut ketika melihat gerakan si mayat
hidup. Benar-benar tidak disangka kalau tubuh kaku itu dapat berjumpalitan di
udara. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera melesat disertai ayunan
pedangnya. Melihat Wanasa sudah melesat memapak si mayat hidup, empat orang perwira lainnya
bergegas mencabut senjatanya. Tubuh mereka segera melesat menyusul.
"Yeaaat..!"
Wut! Wuk...! Kelima orang perwira itu menyabetkan senjatanya secara susul-menyusul dari
berbagai arah. Mendapat serangan yang susul-menyusul dari lima orang perwira itu, ternyata
tidak membuat mayat hidup menjadi gentar. Gulungan sinar pedangnya tampak
semakin melebar menyelimuti seluruh tubuhnya. Sambaran angin pedangnya menderu
tajam ketika mayat hidup itu memapak sabetan senjata lawan-lawannya.
Trang! Trak! Trang...!
"Akh...!"
Kelima orang perwira itu terpental balik ketika pedang mereka tertangkis pedang
si mayat hidup.
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dengan gerakan indah, tubuh mereka berputar beberapa kali di udara, lalu
mendarat manis beberapa tombak dari mayat hidup. Wajah mereka tampak menyeringai
sambil memijat-mijat tangan kanannya yang terasa linu.
"Bedebah! Tenaga mayat hidup itu ternyata sangat kuat!" maki Wanayasa semakin
penasaran. "Hm.... Kita harus lebih berhati-hati untuk menghadapinya!" timpal perwira
lainnya yang juga merasakan hal yang sama.
"Hm.... Ada apa ini ribut-ribut"!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang meng-guncangkan dada. Belum lagi gema
suara bentakan itu lenyap, dua sosok tubuh berjumpalitan dan mendaratkan kakinya
dengan manis di dekat kelima orang perwira yang tengah kebingungan itu.
"Ki Panggitan.... Ki Badaran...!" seru kelima perwira begitu mengenali dua sosok
tubuh itu. Bergegas mereka membungkuk hormat kepada kedua orang laki-laki yang
baru tiba itu. "Eh! Siapa yang mengirimkan mayat hidup itu ke tempat ini, Wanasa?" tanya salah
satu dari kedua orang gagah itu sambil menatap si mayat hidup penuh selidik.
"Kakang Panggitan! Apakah kau tidak mengenali siapa mayat hidup itu?" seru laki-
laki setengah baya yang bernama Ki Badaran. Sepasang matanya menatap tajam ke
arah si mayat hidup. Keningnya tampak berkerut meneliti wajah mayat hidup yang
saat itu tersiram pantulan sinar obor.
"Hm.... Bukankah dia Ki Jaladri, Ketua Perguruan Perisai Baja" Heran, apa yang
telah terjadi dengannya" Dan mengapa mayatnya kesasar sampai ke tempat ini?"
desis laki-laki berusia enam puluh tahun
yang bernama Ki Panggitan itu.
Ki Panggitan dan Ki Badaran adalah tokoh kelas satu yang menjadi tangan kanan
Adipati Gamang Sari. Dan kedatangan mereka atas perintah sang Adipati sendiri
karena mendengar ribut-ribut yang mengganggu tidurnya.
"Wanasa. Sementara aku dan Ki Badaran menghadapi si mayat hidup itu, kau siapkan
tali yang kuat dan beberapa buah obor!" perintah Ki Panggitan yang rupanya
memiliki pengalaman yang sangat luas dalam menghadapi berbagai pertarungan.
Memang, sebelum menjadi pengawal pribadi adipati, Ki Panggitan dan Ki Radian
adalah tokoh persilatan yang sangat terkenai dan jarang menemui tandingan.
Itulah sebabnya Ki Panggitan langsung saja menyuruh Wanasa untuk menyiapkan
peralatan. Setelah memberi beberapa petunjuk kepada Wanasa dan empat orang lainnya, Ki
Panggitan dan Ki Badaran melangkah mendekati mayat hidup.
Kedua tokoh itu menghentikan langkahnya dalam jarak tiga tombak di hadapan mayat
hidup Ki Jaladri.
"Hm.... Tampaknya ia dikendalikan seseorang, Adi Badaran," jelas Ki Panggitan,
pelan. Karena saat itu wajahnya telah tertutup oleh selembar kain hitam. Hal itu
dilakukan agar perhatiannya tidak terganggu oleh bau busuk yang menebar dari
tubuh mayat hidup itu.
"Betul, Kakang. Entah apa maksud orang itu mengirim mayat hidup ini ke Kadipaten
Jagalan?" sahut Ki Badaran yang juga telah menutup sebagian wajahnya dengan kain berwarna
hitam. Perlahan-lahan kedua tokoh kelas satu Kadipaten Jagalan itu melangkah berpencar.
Sepasang mata mereka tetap tak lepas dari wajah si mayat hidup.
Terlihat Ki Panggitan menganggukkan kepalanya
kepada Ki Badaran.
Sementara itu, Wanasa dan beberapa anak buahnya telah datang membawa tali untuk
menangkap mayat hidup itu.
"Hiaaat..!"
Diiringi bentakan nyaring, kedua tokoh itu mulai menggerakkan kedua tangannya.
Sepasang kaki mereka membentuk kuda-kuda silang yang terlihat sangat kokoh dan
kuat. Sesaat kemudian, kedua pasang tangan mereka mendorong ke depan meng-gencet
tubuh si mayat hidup dari dua arah.
Wusss! Dua buah gelombang tenaga dalam yang amat kuat berhembus dari telapak tangan
kedua tokoh itu.
Tampak kedua tangan Ki Panggitan dan Ki Badaran bergetar kuat. Jelas, mereka
telah mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.
Mendapat tekanan dua gelombang tenaga dari arah yang berlawanan itu, ternyata
membuat tubuh si mayat hidup bergetar hebat. Sehingga keadaannya tak ubahnya
bagai orang terserang demam tinggi.
Tepat pada saat tubuh si mayat hidup tengah tak berdaya, Wanasa dan empat orang
lainnya bergerak cepat. Dilemparkannya tali-tali itu sehingga langsung melibat
tubuh mayat hidup. Dan begitu tali-tali yang dilepaskan kelima orang perwira itu
melibat ketat, tubuh si mayat hidup langsung diseret ke arah sebuah tiang.
Sesaat sebelum tubuh si mayat hidup diseret, Ki Panggitan dan Ki Badaran berseru
keras sambil menarik pulang tenaga mereka. Tubuh keduanya langsung melenting ke
belakang mayat hidup itu.
"Yaaat..!"
Sambil membentak keras, Ki Panggitan dan Ki
Badaran mendorongkan telapak tangan mereka, melakukan pukulan jarak jauh.
Wusss! Desss! Tubuh si mayat hidup kontan tersuruk ke depan ketika dua pasang telapak tangan
tokoh-tokoh sakti itu menghantam tubuh bagian belakangnya.
Pada saat yang tepat, Wanasa dan empat orang perwira lainnya bergegas menyeret
tubuh si mayat hidup ke tiang hukuman. Jarak antara mereka dengan tiang tempat
hukuman itu terpisah sekitar empat tombak.
Namun belum lagi mereka berhasil menyeret tubuh si mayat hidup ke tiang itu,
keanehan terjadi.
Tubuh kaku itu mendadak bangkit dan langsung berjumpalitan ke depan. Kedua
kakinya mendarat tepat dua tombak di depan Wanasa dan empat perwira lainnya.
Wut! Tasss! Tasss! Tasss!
"Aaah...!"
Sebelum para perwira kadipaten itu menyadari apa yang terjadi, mayat hidup itu
sudah membabat putus tali-tali yang mengikat tubuhnya. Tak ayal lagi, tubuh
kelima orang perwira itu terjajar ke belakang.
"Gila! Bagaimana mungkin ia masih bisa melakukan hal itu?" kata Ki Badaran
seperti bertanya pada diri sendiri.
Laki-laki tua itu menjadi terkejut setengah mati melihat mayat hidup dapat
membebaskan dirinya.
Padahal, menurutnya mayat hidup itu pasti sudah lemah akibat pukulan mereka
berdua tadi. Ki Panggitan juga tidak kalah terkejutnya.
Sepasang matanya membelalak tak percaya melihat kekuatan lawan. Padahal, jarang
sekali terdapat
tokoh persilatan yang mampu menahan pukulannya tadi. Apalagi itu dilakukan
berbarengan dengan Ki Badaran yang boleh dibilang memiliki kepandaian yang
setingkat dengannya.
"Guru...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan yang disusul munculnya seorang pemuda tampan dan
gagah. Pakaian berwarna kuning gading yang dikenakannya membuat pemuda itu semakin
gagah dan menarik.
"Tuan Muda, mengapa kemari?" tanya Ki Panggitan menegur pemuda tampan yang
rupanya adalah putra Adipati Gamang Sati itu.
"Aku terbangun dari tidurku ketika mendengar ribut-ribut di luar. Dan
kedatanganku ke sini untuk melihat apa yang terjadi," sahut pemuda tampan yang
dipanggil tuan muda itu cepat.
Rupanya putra adipati yang tampan itu adalah murid dari Ki Panggitan dan Ki
Badaran. Hal itu terlihat jelas dari sikapnya yang amat menghormati dua orang
tokoh itu. Apalagi pemuda itu memanggil keduanya dengan sebutan guru.
"Hm.... Lebih baik kembali ke tempatmu, Tuan Muda. Di sini terlalu berbahaya
buatmu," kata Ki Badaran menasihati muridnya yang juga putra majikannya itu.
"Tidak perlu khawatir, Guru. Aku hanya ingin melihat saja. Hitung-hitung untuk
menambah pengalaman. Apakah hanya melihat saja tidak boleh, Guru?" bantah pemuda
tampan itu dengan suara membujuk.
Mendengar jawaban itu, Ki Badaran dan Ki Panggitan hanya dapat saling pandang
sambil menggelengkan kepalanya. Dan mereka tak dapat berkata apa-apa lagi ketika
melihat pemuda itu sudah
berdiri di antara para prajurit kadipaten.
Ki Panggitan dan Ki Badaran bergegas melompat ketika mendengar jerit kematian.
Ternyata, jeritan itu disusul dengan jatuhnya salah seorang perwira dalam
keadaan terluka parah. Kedua tokoh sakti itu bergegas melompat ke arena
pertempuran. Gerakan mereka sungguh ringan dan indah. Jelas, kepandaian mereka
tidak bisa dianggap enteng.
Saat itu empat orang perwira lainnya tengah berusaha mati-matian menyelamatkan
diri dari terjangan mayat hidup. Sambaran pedang si mayat hidup yang menderu-
deru itu membuat mereka terdesak hebat.
Trang! "Uhhh...!"
Begitu tiba, Ki Panggitan langsung memapak senjata lawan dengan senjatanya
sendiri yang dicabut dari pinggang. Meskipun tubuh tokoh itu terjajar mundur,
namun sempat menyelamatkan salah seorang perwira dari kematian.
*** 6 Sesaat setelah benturan itu, serangan Ki Badaran meluncur datang. Sepasang
pedang pendek di tangannya berkesiutan menyambar tubuh mayat hidup Ki Jaladri.
Wuk! Trang! Bret! Tusukan pedang pendek di tangan kanan Ki Badaran berhasil ditangkis lawan. Tapi
pada saat yang hampir bersamaan, pedang di tangan kirinya menyambar cepat
membeset perut si mayat hidup.
Tubuh kaku itu terbanting roboh disertai semburan cairan kehijauan yang
menyembur dari luka di perutnya.
"Aaah...!"
Ki Badaran langsung melempar tubuhnya ke belakang dengan beberapa kali salto di
udara. Wajah laki-laki tua yang bersembunyi di balik kain hitam itu tampak
menyeringai menahan rasa jijik. Tampak beberapa tetes cairan yang berbau busuk
itu telah menodai pakaiannya. Bergegas napasnya disedot untuk menahan rasa mual
yang menyerang.
"Setan keparat! Menjijikkan!" maki Ki Badaran sambil membuka penutup wajahnya
dan meludah berkali-kali.
Meskipun telah terluka pada bagian perutnya, namun mayat hidup Ki Jaladri itu
masih saja bangkit seolah-olah tidak merasakan luka itu. Bau busuk semakin
menebar memenuhi halaman depan gedung kadipaten. Memang, cairan kehijauan dan
ke- kuningan itu terus saja mengalir dari luka di perut si mayat hidup.
"Gila! Mayat hidup itu sepertinya tidak merasakan luka yang dideritanya," kata
Wanasa dengan wajah menyeringai menahankan rasa jijik.
"Berikan obor-obor itu kepadaku!" pinta Ki Panggitan.
Tangannya segera saja terulur menyambar dua batang obor yang dipegang seorang
prajurit. Kakek itu kembali menyambar dua batang obor lainnya setelah lebih dulu
melemparkan dua batang obor pertama kepada Ki Badaran.
"Adi Badaran, kita coba menerjang mayat hidup itu dengan menggunakan api!"
lanjut orang tua itu lagi
"Ah! Betul, Kakang! Mengapa aku sampai me-lupakannya!" sahut Ki Badaran berseri
setelah menerima dua batang obor yang tadi dilemparkan sahabatnya itu.
"Heaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, dua orang tokoh itu bergegas menerjang si mayat
hidup. Wrrr! Wrrr...! Empat batang obor itu berkelebat menyambar-nyambar cepat. Tampak lidah api
menjilat-jilat mengancam tubuh si mayat hidup.
"Ha ha ha...! Lihat, Kakang Panggitan! Sepertinya si keparat itu merasa takut
terhadap api!" tegas Ki Badaran semakin bersemangat.
"Betul, Adi! Ayo kita bakar mayat pengacau ini!"
sahut Ki Panggitan yang menjadi agak lega karena telah menemukan titik kelemahan
mayat hidup yang mengerikan itu.
Berrr! Prattt! "Aaargh...!"
Terdengar raungan mengerikan ketika lidah api obor di tangan Ki Panggitan
menjilat tubuh si mayat hidup. Seketika itu juga, bagian tubuh yang terjilat
lidah api itu menciut dan menebarkan bau sangit!
"Ha ha ha...! Ayo, tunjukkan keganasanmu tadi itu, Mayat Keparat! Ha ha ha...!"
Ki Panggitan tertawa-tawa gembira ketika melihat si mayat hidup semakin
bertambah ketakutan. Kedua kakinya terus melangkah mundur menjauhi kedua orang
tokoh yang semakin gencar menerjangnya itu.
Sekali pun ia tak berani melakukan serangan balasan, karena empat batang obor
itu tak henti-hentinya menyambar. Terpaksa mayat hidup itu terus mundur menjauhi
jilatan lidah api.
"Mengapa kau tidak berani membalas serangan kami, Mayat Keparat! Apakah takut
dengan api obor ini?" ejek Ki Badaran sambil terus mencecar si mayat hidup
dengan sambaran-sambaran api obornya.
"Yeaaat..!"
Pada jurus ketiga puluh, Ki Panggitan dan Ki Badaran berteriak berbarengan.
Tubuh mereka melompat tinggi sambil mengulurkan kedua pasang tangan yang
menggenggam obor. Kedua tokoh kelas satu Kadipaten Jagalan itu berjumpalitan
melewati kepala si mayat hidup. Begitu tubuh mereka berada di atas kepala si
mayat hidup, empat batang obor itu segera dilemparkan disertai dorongan tenaga
dalam sepenuhnya.
"Aaa...!"
Si mayat hidup menjerit setinggi langit ketika empat batang obor itu menyambar
dari empat penjuru. Sesaat kemudian, tubuh mayat hidup itu langsung terbakar
oleh empat batang obor.
"Aaaurgh....!"
Kembali si mayat hidup meraung mengerikan.
Tubuhnya yang sudah terjilat api itu nampak semakin mengecil.
"Mundur...!" teriak Ki Panggitan memerintahkan para prajurit untuk menjauhi
tubuh mayat hidup yang tengah terhuyung-huyung sambil meraung-raung keras.
Tidak berapa lama kemudian, tubuh si mayat hidup itu ambruk ke atas tanah.
Kobaran api yang membakar tubuhnya semakin mengecil untuk kemudian hilang sama
sekali. Dan pada tanah tempat mayat terbakar, hanya ada sedikit cairan yang
berbau sangit. Sementara, tubuh si mayat hidup sudah habis termakan api.
"Hhh.... Untunglah kau cukup tanggap menghadapi kelihaian mayat hidup itu. Kalau
tidak, entah bagaimana harus mengalahkannya. Hhh, benar-benar berbahaya...!"
desah Ki Badaran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas lega.
"Eh, bagaimana kau tahu kalau mayat hidup itu takut dengan api, Kakang?"
"Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak mengetahuinya, Adi. Semula hanya
sekadar mencobanya saja. Bukankah tidak ada salahnya" Lagi pula, aku baru
teringat akan hal itu pada saat kau telah melukai tubuhnya. Dan lagi kalau orang
yang menggunakan obor tidak memiliki tenaga dalam tinggi, rasanya mustahil akan
dapat merobohkannya.
Buktinya dengan dorongan angin pukulannya saja ia sudah dapat memadamkan api
obor yang ditujukan ke tubuhnya," jelas Ki Panggitan.
"Ah! Pantas saja kau tadi menyuruhku untuk mengerahkan tenaga untuk membantu
serangan obor itu. Jadi, itu maksudnya?" kata Ki Badaran,
sambil tersenyum. Diam-diam tokoh ini semakin mengagumi sahabatnya yang memang
memiliki banyak pengalaman.
"Wah! Hebat sekali, Guru! Kalian memang benar-benar pendekar hebat!"
Sambil berkata demikian pemuda tampan putra Adipati Jagalan itu melangkah
menghampiri kedua gurunya. Jelas sekali kalau pujian yang dilontar-kannya itu
bukan sekadar basa-basi.
"Ah, Tuan Muda terlalu memuji," ucap Ki Panggitan sambil tersenyum simpul.
Meskipun sebenarnya pemuda itu adalah murid kedua tokoh sakti ini, namun tetap
saja mereka menyebutnya dengan panggilan tuan muda. Karena, memang merasa risih
kalau harus memanggil putra majikannya itu dengan hanya nama saja.
"Lebih baik Tuan Muda kembali ke kamar sekarang, karena sudah tidak ada lagi
tontonan yang dapat dilihat," ujar Ki Badaran menimpali.
"Ah! Biarlah aku di sini saja, menemani Guru berdua. Lagi pula sebentar lagi
pagi akan datang,"
kilah pemuda itu.
"Yahhh, kalau memang begitu kemauanmu...," Ki Panggitan tak meneruskan
ucapannya. Kakek itu hanya mengangkat bahunya tanda menyerah.
Malam pun kembali hening setelah para prajurit membersihkan tempat itu dari
mayat-mayat yang bergeletakan.
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** "Jadi yang menyebabkan kekacauan semalam hanya sesosok mayat?" tanya seorang
laki-laki agak gemuk.
Dengan pakaian serba merah, laki-laki setengah baya itu berjalan hilir-mudik
sambil menggendong kedua tangannya di belakang. Wajahnya tampak menyiratkan
ketidaksenangan atas kejadian yang menimpa kediamannya semalam.
"Betul, Gusti. Hanya sesosok mayat hidup," jawab salah seorang laki-laki
berpakaian biru gelap yang bersimpuh beberapa tombak di hadapan laki-laki
berpakaian mewah yang tengah marah itu.
"Hm.... Menurut keterangan salah seorang perwira, kau mengenali mayat itu. Coba
katakan kepadaku, Ki Panggitan. Siapa nama mayat hidup itu" Dan apakah kau tahu
di mana tempat tinggalnya semasa hidup?"
tanya laki-laki yang tak lain adalah Adipati Gamang Sati yang menjadi penguasa
di seluruh wilayah Kadipaten Jagalan.
"Dia adalah mayat Ki Jaladri yang menjadi Ketua Perguruan Perisai Baja. Hamba
mengenalnya semasa masih mengembara di dunia persilatan, Gusti Adipati.
Dan belakangan ini, hamba baru mengetahuinya kalau dia telah mendirikan sebuah
perguruan," sahut orang tua yang memang Ki Panggitan.
Sementara itu, bersimpuh di sebelah Ki Panggitan adalah Ki Badaran. Kedua
pembantu utama Adipati Gamang Sati itu rupanya tengah dimintai keterangan
sehubungan dengan peristiwa semalam.
"Apakah Ki Kalianji dan Walanggata juga mengetahui di mana letak Perguruan
Perisai Baja itu?" tanya Adipati Gamang Sati lebih lanjut
"Hamba yakin mereka pasti tahu, Gusti. Seperti juga hamba, mereka juga telah
lama mengenal Ki Jaladri," jawab Ki Panggitan cepat
"Hm.... Kalau begitu aku akan menugaskan mereka berdua untuk menyelidiki
Perguruan Perisai
Baja. Berani sekali mereka membuat kekacauan di kadipaten ini!" geram Adipati
Gamang Sati dengan wajah merah.
Setelah berkata demikian, adipati itu memerintahkan dua orang prajurit untuk
memanggil dua orang pembantu utamanya yang lain.
Adipati Gamang Sati memang mempunyai empat orang pembantu utama yang tidak
tergabung dalam keprajuritan. Meskipun demikian, kedudukan mereka lebih tinggi
dari para perwira kadipaten. Memang, mereka merupakan pengawal khusus yang
tugasnya menjaga keselamatan seluruh keluarga Adipati Jagalan.
Keempat orang pembantu utama adipati itu adalah tokoh persilatan terkemuka.
Bahkan boleh dikatakan merupakan tokoh tingkat tinggi yang sulit dicari
tandingannya. Itulah sebabnya, mengapa mereka mengenal hampir seluruh tokoh
persilatan, termasuk Ki Jaladri di antaranya. Dan karena mereka-lah sehingga
Kadipaten Jagalan tidak ada yang berani mengganggu. Banyak orang yang merasa
enggan untuk mencari permusuhan dengan keempat tokoh kosen itu.
Tidak berapa lama kemudian, prajurit yang ditugaskan untuk memanggil Ki Kalianji
dan Walanggata telah kembali menghadap. Di belakang mereka tampak seorang laki-
laki berusia lima puluh tahun lebih, dan seorang lagi berusia sekitar tiga puluh
lima tahun. Langkah mereka tampak tegap dan berisi.
Adipati Gamang Sati mengibaskan tangan untuk menyuruh dua orang prajuritnya
meninggalkan tempat itu. Sedangkan dua orang tokoh itu sudah bersimpuh di
samping Ki Panggitan dan Ki Badaran.
Dan mereka saling berteguran sekejap.
Setelah pintu ruangan kembali ditutup oleh dua orang penjaga tadi, Adipati
Gamang Sati mulai mengutarakan maksudnya.
"Ampun, Gusti. Hamba berdua siap melaksanakan perintah!" sahut Ki Kalianji
setelah mendengar penuturan sang Adipati.
"Kapan kami harus berangkat, Gusti?" tanya Walanggata hormat.
Suara laki-laki gagah itu terdengar berat dan dalam. Wajahnya pun tampak selalu
menyiratkan ketenangan, sebagaimana layaknya orang yang memiliki kepercayaan
penuh pada dirinya.
"Pagi ini juga kalian harus berangkat. Selidiki apa maksudnya Perguruan Perisai
Baja mengirimkan mayat hidup ketuanya ke kadipaten ini?" perintah Adipati
Jagalan. "Ampun, Gusti. Menurut dugaan hamba, Perguruan Perisai Baja belum tentu
terlibat. Harap Gusti jangan mengambil tindakan keras terhadap mereka lebih
dulu, karena belum tentu bersalah," jelas Ki Badaran mengajukan permohonan.
"Tentu saja, Ki Badaran. Aku tidak akan begitu mudah menjatuhkan hukuman kalau
memang kesalahannya belum terbukti. Itulah sebabnya mereka berdua kusuruh
menyelidikinya. Tapi biar bagaimanapun, aku berterima kasih kepadamu, Ki
Badaran. Paling tidak, kau telah mengingatkan aku,"
jawab Adipati Gamang Sati seraya tersenyum lembut.
"Ayah! Apakah aku boleh menyertai Ki Kalianji dan Paman Walanggata?" pinta
seorang pemuda tampan yang sejak tadi hanya terduduk diam mendengarkan
pembicaraan antara ayahnya dengan guru-gurunya itu.
"Tidak, Anggada. Pekerjaan ini terlalu berbahaya untukmu. Lebih baik kau di
rumah saja untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diajarkan kedua gurumu. Oh,
ya. Di mana adikmu Ganesha?"
tanya Adipati Gamang Sati mengalihkan pembicaraan.
"Entahlah, Ayah. Sejak pagi tadi aku belum melihatnya," sahut Anggada dengan
suara mengandung kekecewaan, karena permintaannya tidak dikabulkan.
"Nah! Ki Kalianji, Walanggata, kalian boleh menyiapkan segala keperluan dalam
perjalanan nanti. Dan kau Ki Panggitan dan Ki Badaran, kalian boleh
beristirahat," ujar Adipati Gamang Sati mem-persilakan.
"Baik, Gusti. Kami mohon pamit," ucap keempat tokoh itu serentak.
Setelah membungkuk hormat, keempat tokoh itu melangkah meninggalkan ruangan
pertemuan rahasia.
Beberapa saat kemudian, Adipati Gamang Sati dan putranya pun meninggalkan tempat
itu. *** Dua ekor kuda putih melesat cepat melewati pintu gerbang Kadipaten Jagalan.
Derap dua ekor kuda yang melesat bagai anak panah itu meninggalkan kepulan debu
yang membumbung tinggi di angkasa.
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"
Dua orang laki-laki yang berada di atas punggung kuda terus menggebah kudanya ke
luar wilayah kadipaten. Mereka tak lain adalah Ki Kalianji dan Walanggata yang
ditugaskan Adipati Gamang Sati
untuk menyelidiki Perguruan Perisai Baja.
Tidak berapa lama kemudian, mereka mulai memperlambat lari kudanya, karena saat
itu harus melewati daerah perbukitan. Memang, jalan yang dilewati agak sukar.
Tentu saja mereka tidak ingin kalau kaki kudanya akan cedera akibat sukarnya
jalan yang dilalui.
"Mengapa kita tidak mengambil jalan yang lain saja, Ki?" tanya Walanggata yang
sepertinya tidak suka melewati jalan yang sukar itu.
"Hm.... Hanya jalan inilah satu-satunya yang terdekat, Walanggata. Lagi pula,
kalau kita melewati jalan yang di sebelah Selatan sana akan memakan waktu lama.
Belum lagi kalau nasib kita sedang sial, sehingga harus berhadapan dengan
perampok-perampok yang kadang-kadang berkeliaran di tempat itu," sahut Ki
Kalianji yang rupanya lebih tahu arah jalan yang dapat menyingkat perjalanan.
"Kalau tahu di daerah Selatan itu kadang-kadang terjadi perampokan, mengapa
Gusti Adipati tidak mengirimkan pasukan untuk menumpasnya" Bukankah perampok-
Pendekar Kidal 24 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Kisah Si Rase Terbang 10
ucapan Panji. "Berapa jauhkah letak Perguruan Perisai Baja dari tempat ini, Ki?" tanya
Kenanga. Entah sekadar basa-basi, atau karena memang ingin mengetahuinya.
"Hm.... Tidak begitu jauh. Kalau kita menggunakan kuda, paling-paling hanya
sekitar setengah hari perjalanan. Kalau kalian berniat ingin mengunjungi-nya,
lebih baik tunggu saja dulu sampai ketujuh orang itu sembuh. Nanti kalian bisa
bersama-sama dengan mereka pergi ke sana. Bagaimana?" usul Ki Jonggol.
"Tentu saja, Ki. Lagi pula pengobatan terhadap ketujuh orang itu belum selesai,"
sahut Panji sambil tersenyum maklum. Pendekar Naga Putih sebenarnya tahu kalau
orang tua itu masih menginginkan ia dan Kenanga tinggal di rumahnya.
"Hm.... Kalau kalian ingin beristirahat, mari ku-antarkan!" ajak Ki Jonggol
seraya bangkit dari duduknya. Dan kini ketiga orang itu meninggalkan ruang
tengah. *** 4 Sang mentari pagi nampak begitu cerah. Kicauan burung bersahut-sahutan menyambut
datangnya pagi. Angin segar bertiup lembut mempermainkan pucuk-pucuk dedaunan,
sehingga seperti menari-nari.
Seorang pemuda tampan berpakaian serba putih berjalan menyusuri sebuah taman.
Wajahnya nampak segar, sesegar udara di pagi ini. Langkahnya perlahan, seraya
menikmati suasana yang ceria itu.
Di sebelah kirinya, nampak seorang gadis cantik mengenakan pakaian serba hijau.
Wajahnya yang cantik tampak memerah di kedua pipinya, sehingga membuatnya
semakin mempesona. Angin pagi mempermainkan anak rambutnya yang terjuntai di
kening. "Kakang...," panggil gadis itu, lembut.
"Hm...," gumam pemuda berjubah putih itu seraya menoleh. "Ada apa, Kenanga?"
Pemuda tampan yang tidak lain adalah Panji itu menatap gadis yang memang
Kenanga. Saat itu keduanya tengah menikmati suasana pagi di kebun belakang rumah
Ki Jonggol. "Rasanya sudah terlalu lama kita tinggal di sini, lalu kapan mengunjungi
Perguruan Perisai Baja"
Bukankah ketujuh orang murid perguruan itu sudah sembuh" Jadi, apa lagi yang
Kakang tunggu?" tanya Kenanga seolah-olah mengingatkan kekasihnya tentang niat
mereka semula. "Sabarlah, Kenanga. Kita tunggu saja sampai kesehatan ketujuh orang itu benar-
benar pulih," sahut Panji sambil menggenggam erat jemari gadis jelita itu.
"Kapan itu, Kakang?" tanya Kenanga agak mendesak.
"Hm.... Mungkin siang ini kita sudah bisa mengunjungi Perguruan Perisai Baja
itu," kata Panji seraya tersenyum sabar.
"Betul itu, Kakang?" desak gadis jelita itu setengah berteriak.
"Mengapa harus membohongimu?"
"Aku sudah tidak sabar untuk melihat kebenaran cerita ketujuh orang itu. Rasanya
aku masih belum percaya kalau ada orang yang telah mati dapat bangkit kembali.
Apalagi menurut cerita mereka, mayat hidup Ki Jaladri itu mengamuk membantai
murid-murid dan sahabat-sahabatnya sendiri. Apakah kau juga percaya cerita itu,
Kakang?" "Agaknya aku bisa mempercayainya!" sahut Panji.
Kenanga agak terkejut mendengarnya. Betapa tidak" Sebab dia tahu betul kalau
Panji paling tidak suka pada cerita yang berbau takhayul.
"Oh! Jadi Kakang percaya dengan cerita takhayul itu?"
"Eyang Tirta Yasa telah banyak bercerita kepadaku tentang bermacam-macam ilmu
yang terdapat di rimba persilatan ini. Dan salah satunya, kurasa mempunyai
kaitan erat dengan kejadian yang menimpa Ketua Perguruan Perisai Baja," jelas
Panji seraya menghela napas. Kemudian dilangkahkan kakinya mengitari taman itu.
"Apakah Kakang tahu, ilmu apa itu?" tanya Kenanga sambil menggenggam erat lengan
Panji. "Tentu saja. Tapi kuingatkan kepadamu, Kenanga.
Jangan kau ceritakan kepada siapa pun termasuk Ki Jonggol!" bisik Panji di
telinga gadis jelita itu.
"Baik, Kakang. Aku berjanji!" jawab Kenanga begitu
mengetahui kalau kekasihnya bersungguh-sungguh.
Sambil melangkah perlahan, Panji menceritakan tentang ilmu hitam yang dapat
membangkitkan mayat. Wajah Kenanga terlihat agak pucat ketika mendengar cerita
kekasihnya. Berkali-kali mulutnya ditutup untuk menahan seruan yang keluar dari
mulutnya. Jelas sekali kalau Kenanga merasa ngeri mendengar cerita Panji.
"Ihhh.... Mengapa ada ilmu yang sekeji itu ya, Kakang" Entah seperti apa rupanya
orang yang memiliki ilmu mengerikan itu!" kata Kenanga sambil mengusap kuduknya
yang terasa meremang.
"Sama saja seperti kita dan orang-orang lainnya.
Hanya, yang membuat mereka berbeda adalah pancaran sinar matanya yang tajam dan
dapat membuat orang terpengaruh hingga menuruti perintah-nya," sahut Panji
seraya merangkul kekasihnya.
Kenanga menyandarkan kepalanya di dada
kekasihnya. Getar kasih sayang yang terpancar dari hati mereka membuat Kenanga
semakin dalam menyurukkan wajahnya di dada Panji. Sesaat kemudian, wajah cantik
itu menengadah, memancarkan pijar kasih lewat sepasang mata indahnya.
"Hm.... Sepertinya ada beberapa orang yang tengah menuju kemari, Kenanga," kata
Panji, lembut. Dilepaskan pelukannya dari tubuh gadis jelita itu.
Rupanya meskipun dalam keadaan terbuai, telinga Panji masih sempat menangkap
gerakan di sekitarnya.
Benar saja. Tidak berapa lama kemudian, tampak delapan orang laki-laki bergegas
menghampiri Panji dan Kenanga.
"Selamat pagi, Panji, Kenanga...," ucap orang yang melangkah paling depan, yang
tidak lain adalah Ki
Jonggol, Kepala Desa Keputih. "Wajah kalian cerah sekali pagi ini."
"Selamat pagi, Ki," sahut Panji membungkuk hormat disertai senyuman lebar.
"Selamat pagi, Tuan Pendekar.... Kami sudah merasa benar-benar sehat dan siap
mengantarkan Tuan Pendekar berdua," kata salah seorang dari tujuh laki-laki yang
datang bersama Ki Jonggol.
Sambil berkata demikian, orang itu membungkuk diikuti enam orang lainnya. Mereka
adalah tujuh murid Perguruan Perisai Baja yang telah sembuh karena pengobatan
Pendekar Naga Putih.
"Syukurlah. Kalau begitu kita bisa segera berangkat untuk melihat keadaan
perguruan kalian itu, Kisanak. Oh, ya. Panggil saja aku dengan nama Panji, dan
ini Kenanga," pinta Panji yang disambut oleh ketujuh orang itu dengan anggukan
kepala. "Baik.... Baik, Tuan..., eh, Panji," sahut orang itu agak kikuk.
Memang, biar bagaimanapun, mereka merasa tak enak menyebut pendekar muda itu
dengan nama saja. Tapi karena pemuda itu sendiri yang meminta, maka mereka pun
terpaksa menurutinya.
"Ah! Mengapa harus terburu-buru" Nanti siang sajalah kalian berangkat. Lebih
baik kita sarapan dulu, mari!" ajak Ki Jonggol.
Laki-laki tua itu sepertinya memang merasa berat untuk melepaskan kepergian
Pendekar Naga Putih yang amat dikaguminya itu. Makanya, dia berusaha mencari-
cari berbagai alasan untuk menahan pendekar muda itu.
"Terima kasih, Ki. Biarlah kami berangkat pagi ini saja. Makin cepat, makin
baik," sahut Panji meng-harapkan pengertian orang tua itu. Meskipun tidak
mengatakan apa-apa, tapi Pendekar Naga Putih dapat menduga kalau orang tua itu
masih merasa berat untuk melepaskannya.
Karena yang lain pun ikut pula mengatakan hal yang sama, maka Ki Jonggol pun tak
dapat menahan lagi.
"Baiklah kalau begitu. Akan kusuruh orang-orangku untuk menyiapkan kuda untuk
kalian. Yah, paling tidak untuk mempercepat perjalanan. Bukan begitu, Kisanak?"
Ki Jonggol menolehkan kepalanya kepada salah seorang murid Perguruan Perisai
Baja yang berada di sebelahnya.
"Memang betul, Panji, Kenanga. Kalau kita menempuh dengan jalan kaki, akan
memakan waktu sekitar dua hari. Jadi, sebaiknya terima saja bantuan Ki Jonggol,"
jelas orang itu, memperkuat kata-kata Ki Jonggol tadi.
"Yah.... Kalau memang harus begitu, apalagi yang kita tunggu?" sahut Panji
bergurau. Setelah segalanya dipersiapkan Ki Jonggol, rombongan kecil itu berangkat
meninggalkan Desa Keputih. Ki Jonggol dan kedua orang pembantu utamanya
mengantarkan hingga batas desa.
"Kalau persoalan itu sudah beres, singgahlah kembali ke tempatku, Pendekar Naga
Putih," pinta Ki Jonggol sambil melepaskan rombongan kecil itu. Ia sengaja
memanggil Panji dengan julukannya kembali.
Seolah-olah hal itu meninggalkan kesan yang lain dalam hatinya.
"Aku tidak bisa menjanjikannya, Ki. Tapi aku akan berusaha mencari kesempatan
untuk berkunjung ke desa yang ramah ini," sahut Panji sambil menggebah kudanya
menyusul yang lain.
Kepulan debu membumbung tinggi ketika kuda
yang ditunggangi Panji melesat meninggalkan mulut Desa Keputih. Makin lama,
bayangannya makin hilang ditelan kejauhan.
*** Menjelang siang, rombongan Panji pun mulai
memasuki sebuah hutan kecil yang cukup lebat.
Salah seorang murid Perguruan Perisai Baja yang berada di depan, menghentikan
lari kudanya. "Setelah melewati mulut hutan ini, kita akan segera sampai di Perguruan Perisai
Baja," jelas laki-laki itu seraya menolehkan kepalanya ke arah Panji dan
Kenanga. "Marilah kita percepat perjalanan. Sebelum hari gelap, kita harus sudah sampai
di perguruan kalian agar tidak mendapat kesulitan untuk memeriksanya,"
timpal Panji. "Ayolah! Heyaaa...!"
Murid Perguruan Perisai Baja yang menjadi petunjuk jalan itu bergegas menggebah
kudanya. Binatang tunggangan itu langsung melesat memasuki mulut hutan.
"Heyaaa...!"
Panji, Kenanga, dan enam orang lainnya bergegas pula menggebah kuda mereka yang
langsung melesat mengejar orang terdepan.
Tidak berapa lama kemudian, tembok bangunan Perguruan Perisai Baja mulai
terlihat. Mereka mulai memperlambat lari kuda begitu tempat yang dituju semakin
dekat. Pendekar Naga Putih dan yang lain segera menghentikan lari kuda, karena dari
jarak belasan tombak sudah tercium bau busuk yang menusuk hidung.
"Uhhh! Rasanya kita tidak bisa memasuki tempat ini, Panji. Dari sini saja aku
sudah tidak sanggup menahankan bau busuk yang menyengat itu. Jadi, bagaimana
kita akan dapat memeriksanya?" tanya murid yang menjadi penunjuk jalan, sambil
menutup hidung dengan selendang yang membelit pinggangnya.
"Yahhh! Sepertinya kita tidak dapat maju lagi, Kakang," kata Kenanga yang juga
sudah menutup hidungnya.
"Tidak. Kita harus tetap memeriksanya. Oleskanlah minyak ini di hidung kalian.
Mudah-mudahan bau busuk itu tidak mengganggu lagi," ujar Panji.
Segera diberikannya sebuah botol kecil yang berisikan cairan berwarna hijau.
Botol itu juga diberikan kepada yang lain.
"Wah, minyak ini benar-benar manjur. Apa nama minyak ini, Panji?" tanya salah
seorang murid Perguruan Perisai Baja gembira. Memang, bau harum yang menebar
dari minyak itu ternyata dapat mengalahkan bau busuk menyengat itu.
"Minyak itu adalah hasil ramuan guruku. Beliau menamakannya 'Minyak Tujuh
Bidadari', karena harum yang ditimbulkan laksana harum keringat bidadari. Tapi,
jangan tanyakan, mengapa guruku menamakannya demikian. Karena, aku sendiri tidak
mengetahuinya," sahut Panji sambil tersenyum.
"Hi hi hi.... Ada-ada saja nama minyak itu,"
Kenanga terkikik. "Eh, Kakang. Apakah kau sudah pernah mencium bau harum
keringat bidadari?"
"Wah! Kalau aku sih bukan saja sudah, bahkan seringkali bidadari itu datang
kepadaku," jawab Panji dengan wajah sungguh-sungguh.
"Eh, benarkah itu, Panji...?" tanya tiga orang murid
Perguruan Perisai Baja berbarengan.
Sementara itu yang lain memandang dengan setengah tak percaya. Memang,
sepengetahuan mereka, bidadari itu hanya ada dalam dongeng. Dan sampai saat ini,
belum pernah seorang pun yang menjumpainya. Tentu saja kalau orang lain yang
mengatakannya, mereka tak akan mempercayai begitu saja. Bahkan mungkin akan
memaki sebagai orang yang tak waras. Tapi yang berkata kali ini adalah Pendekar
Naga Putih yang kesaktiannya sangat tinggi. Apalagi wajah pemuda itu jelas-jelas
menampakkan kesungguhan. Apakah mungkin kalau pendekar besar itu akan berdusta"
Demikian pula dengan Kenanga. Tadinya, kekasihnya dikira sengaja menggoda. Tapi
ketika melihat wajah pemuda itu demikian bersungguh-sungguh, tentu saja gadis
jelita itu menjadi kebingungan.
Gadis itu memang sudah sering mendengar dari mulut kekasihnya tentang peristiwa-
peristiwa mustahil yang dialami pemuda itu. Tapi untuk bertemu dengan bidadari,
apakah itu mungkin" Dan sebenarnya, diam-diam Kenanga mulai dijalari
kecemburuan. "Tentu saja benar! Untuk apa aku berbohong kepada kalian" Apa pula untungnya
bagiku?" sahut Panji seolah-seolah tak senang ketika melihat sinar
ketidakpercayaan di wajah mereka.
"Wah! Sudah tentu kami tidak berani menuduhmu seperti itu, Panji. Tapi,
bagaimanakah caranya kau dapat bertemu bidadari itu?" tanya seorang murid
Perguruan Perisai Baja yang berkumis tipis. Orang itu menundukkan kepalanya
karena tak berani menen-tang tatapan Panji yang tajam menusuk itu.
"Kakang.... Kau bersungguh-sungguh...?" tanya
Kenanga seraya menyentuh lengan kekasihnya.
Suara gadis itu terdengar bergetar, menggambarkan perasaan hatinya yang kacau
saat itu. Panji tidak menjawab pertanyaan Kenanga, dan hanya mengangguk membenarkan
ucapannya. Lalu pandangannya dialihkan kepada tujuh orang murid Perguruan
Perisai Baja yang tengah menanti jawaban.
"Hm.... Saat ini pun aku bisa memanggilnya. Kalau ingin menyaksikannya,
pejamkanlah mata kalian rapat-rapat. Kau juga, Kenanga. Dan jangan sekali-kali
membuka mata sebelum kuperintahkan," ujar Panji dengan suara yang berat dan
dalam. Tanpa banyak cakap lagi, ketujuh orang murid Perguruan Perisai Baja yang ingin
membuktikan ucapan Panji bergegas memejamkan mata. Demikian pula Kenanga. Gadis
jelita itu pun memejamkan matanya rapat-rapat meskipun hatinya berdebar penuh
ketegangan. Panji merapat dan memeluk tubuh kekasihnya erat-erat. Kemudian, dibisikkannya
kata-kata yang membuat Kenanga semakin tegang.
"Peluklah aku erat-erat, Kenanga. Agar bidadari itu tidak memelukku apabila
datang nanti," bisik Panji lirih hingga tidak terdengar oleh yang lainnya.
"Nah, sekarang bukalah mata kalian!" perintah Panji dengan suara yang berwibawa.
"Oh! Mana..., mana bidadari itu" Aku belum melihatnya, Panji?" tanya salah satu
dari ketujuh orang itu sambil mengedarkan pandangannya.
"Wah! Apakah kalian sudah buta" Bukankah saat ini aku tengah berpelukan dengan
seorang bidadari?"
jawab Panji seraya tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...!" meledaklah tawa ketujuh orang murid Perguruan Perisai Baja itu
ketika mendengar
penjelasan Panji.
"Ihhh, Kakang jahat! Kau hampir saja membuatku berhenti bernapas tadi. Padahal
aku sudah benar-benar percaya dengan ucapanmu!" teriak gadis jelita itu manja.
Seketika dipukulinya dada Panji dengan perasaan gemas.
"Hm, tanyalah kepada mereka kalau tidak percaya.
Kisanak, bukankah saat ini aku tengah memeluk bidadari?" tanya Panji kepada
ketujuh orang itu.
"Betul! Betul, Panji! Menurut penglihatanku, Nini Kenanga adalah seorang
bidadari," jawab laki-laki berkumis tipis sambil tertawa gembira.
"Ya! Kecantikan Nini Kenanga tak ubahnya seperti bidadari," seru yang lain
sambil tertawa-tawa.
"Nah! Betul, kan?" kata Panji sambil tersenyum.
"Ah, Kakang...," desah Kenanga manja. Meskipun mulutnya cemberut, tapi hati
gadis jelita itu berbunga-bunga. Perasaan bahagia semakin menggetarkan relung
hatinya. *** Panji, Kenanga, dan tujuh orang lainnya bergerak memasuki bangunan Perguruan
Perisai Baja. Bau busuk yang menyergap tidak lagi mengganggu mereka, karena
minyak yang dioleskan di bawah hidung mereka mengusir bau busuk itu.
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm.... Tempat ini benar-benar seperti neraka saja layaknya!" desis Kenanga
melihat begitu banyaknya mayat membusuk yang saling tumpang tindih. Diam-diam, hati gadis jelita itu mengutuk orang yang
telah berbuat keji dengan membangkitkan mayat Ki Jaladri.
"Entah apa maksud orang yang menjadi dalang kejadian ini" Rasanya, mustahil
kalau tidak mem-
punyai maksud-maksud tertentu?" gumam Panji.
Kaki pemuda itu terus melangkah di antara puluhan mayat yang bergeletakan. Hati
Pendekar Naga Putih menjadi geram melihat kekejaman yang terpampang di depan
matanya. "Entahlah, Panji. Peristiwa ini masih merupakan misteri bagi kami," sahut laki-
laki berkumis tipis yang berjalan di belakang pemuda itu. Rupanya ia sempat juga
mendengar gumaman pemuda di depannya.
Setelah memeriksa seluruh ruangan dalam
bangunan besar itu, rombongan kecil itu pun bergegas keluar.
"Lebih baik kita kuburkan mayat-mayat ini dalam sebuah lubang yang besar," usul
Panji. Pemuda itu menatap ketujuh orang murid
Perguruan Perisai Baja berganti-ganti, seolah-olah meminta pendapat tentang
usulnya. "Wah, bagaimana kita harus melakukannya, Panji"
Mayat-mayat ini sudah sedemikian membusuk. Jadi, bagaimana harus
memindahkannya?" bantah salah satu dari ketujuh orang itu.
Wajah orang itu tampak pucat ketika mem-
bayangkan harus mengangkat mayat-mayat busuk itu, dan memindahkannya ke dalam
lubang yang dimaksudkan Panji.
"Hm...," Panji hanya bergumam mendengar jawaban orang itu.
Ketika yang lain mengajukan alasan yang sama, pemuda itu terdiam sambil
mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu.
"Kami sudah tidak berniat untuk tinggal di tempat ini lagi. Jadi menurutku, biar
sajalah mayat-mayat ini habis dengan sendirinya," jawab si kumis tipis dengan
suara rendah. Memang, biar bagaimanapun ia masih merasa berat juga untuk meninggalkan tempat
itu, karena semenjak kecil telah berada di Perguruan Perisai Baja. Tapi
mengingat peristiwa yang telah dialami, membuat mereka berpikir dua kali untuk
tinggal di situ.
"Eh, nanti dulu!" seru Panji tiba-tiba. Seolah-olah pemuda itu teringat akan
sesuatu yang melintas dalam pikirannya. Keningnya seketika jadi berkerut
"Bukankah menurut keterangan kalian mayat Ki Jaladri berada di dalam peti" Lalu,
ke mana perginya peti mati Ki Jaladri?"
"Hm, benar! Bukankah peti mati itu diletakkan di depan ruangan gedung pusat"
Lalu, ke mana perginya peti mati guru?" tegas si kumis tipis begitu mendengar
kata-kata Panji. Bergegas kakinya melangkah ke tempat peti mati gurunya
diletakkan pada beberapa hari yang lalu.
Kesembilan orang itu menjadi terheran-heran ketika mengitari halaman gedung,
namun tidak juga menemukan peti mati Ki Jaladri. Berbagai pertanyaan melintas di
benak masing-masing. "
"Tidak ada lagikah murid-murid lainnya yang berhasil meloloskan diri pada malam
kejadian itu?" tanya Panji kepada si kumis tipis yang selalu berada di
belakangnya. "Tidak, Panji. Hanya kami bertujuh inilah yang berhasil meloloskan diri dari
pembantaian itu," jawab orang itu pasti.
"Hm.... Lalu ke mana perginya peti mati gurumu itu...?" gumam Panji berpikir
keras, mencari pemecahan atas kejadian yang penuh teka-teki itu.
"Ayolah kita keluar dari tempat ini, Kakang! Lama-lama aku tidak tahan juga
melihat mayat-mayat yang
berserakan itu."
Sambil berkata demikian, Kenanga melangkahkan kakinya menuju keluar bangunan
gedung perguruan itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, Panji dan ketujuh orang
lainnya bergegas mengikuti langkah Kenanga.
Sambil melangkah, Panji terus berpikir tentang hilangnya peti mati Ki Jaladri.
Rasa penasaran membuat pemuda itu tidak menyerah begitu saja untuk mencari
jawaban. "Apa langkah kita selanjutnya, Panji?" tanya salah seorang murid Perguruan
Perisai Baja begitu sudah berada di tempat kuda-kuda mereka tertambat Mereka
semua langsung melompat ke punggung kuda masing-masing. Ringan sekali gerakan
mereka. Jelas, kalau rata-rata ilmu meringankan tubuh mereka telah tinggi.
"Hilangnya peti mati dan sekaligus mayat Ki Jaladri, pasti bukan dengan
sendirinya. Aku yakin kalau peristiwa ini akan berbuntut panjang. Dan yang harus
dicari sekarang adalah orang yang menjadi biang keladi semua kejadian ini.
Dugaanku, orang itu pulalah yang mencuri peti mati dan mayat guru kalian.
Sepertinya, mayat guru kalian masih diperlu-kan orang keji itu," Panji menduga-
duga. Dan apa yang dikatakan pemuda itu memang cukup masuk akal.
"Lalu, apa yang harus kita perbuat" Sedangkan kita sendiri tidak tahu, siapa dan
di mana adanya orang keji itu?" tanya si kumis tipis. Nada suaranya terdengar
putus asa. "Kembalilah kalian ke Desa Keputih. Dan tinggal-lah untuk sementara di desa itu.
Apabila sudah menemukan manusia keji itu, aku akan segera
memberi kabar kepada kalian. Maaf, bukan berarti aku meremehkan kapandaian
kalian," ucap Panji menutup kata-katanya.
"Tentu saja, Panji. Kami pun sadar kalau tidak akan mampu untuk menyingkap
misteri ini. Selamat tinggal Pendekar Naga Putih. Kami menunggu berita darimu,"
ucap salah seorang dari mereka yang langsung menggebah kudanya meninggalkan
Panji dan Kenanga. Enam orang lainnya bergegas menyusul kawannya meninggalkan
tempat itu. "Heyaaa...!"
Kepulan debu membumbung tinggi ketika tujuh orang murid Perguruan Perisai Baja
menggebah kuda-kuda mereka.
Panji dan Kenanga menatap kepergian ketujuh orang itu dengan perasaan haru.
"Kasihan mereka. Mereka tak ubahnya anak-anak ayam kehilangan induknya.
Sementara sang Induk yang telah tewas tidak diketahui di mana rimbanya?"
desah Panji lirih.
"Lalu, ke mana tujuan kita sekarang, Kakang"
Sebentar lagi hari sudah gelap. Tidakkah sebaiknya kita meninggalkan tempat
ini?" tanya Kenanga.
Ucapan kekasihnya tadi sebenarnya telah membangkitkan ingatan Kenanga kalau
dirinya tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini selain pemuda kekasihnya
itu. Panji menyadari ucapannya ketika melihat sepasang mata indah milik kekasihnya
tampak ber-kaca-kaca. Perlahan-lahan Panji mendekatkan kudanya ke kuda Kenanga.
Kuda-kuda itu kemudian merapat Pendekar Naga Putih lalu mengulurkan tangannya
mendekap kepala gadis jelita itu. Dibisikkannya kata-kata mesra untuk menghibur
hati Kenanga yang teringat akan keadaan dirinya.
"Maafkan aku, Kenanga. Aku tahu, apa yang tengah kau rasakan saat ini. Dan aku
berjanji tidak akan meninggalkanmu lagi," bisik Panji lirih di telinga
kekasihnya. "Sungguh, Kakang...?" desah Kenanga serak.
Pendekar Naga Putih tidak menjawab. Dikecupnya kening gadis jelita itu.
Beberapa saat kemudian, Panji dan Kenanga telah memacu kudanya meninggalkan
tempat itu. *** 5 Malam telah larut. Hembusan angin dingin membuat orang enggan untuk ke luar
rumah. Gemerisik dedaunan yang dipermainkan angin, semakin menimbulkan
keseraman. Ditambah lagi dengan suara jatuhnya titik-titik air yang menimpa
atap-atap rumah, sehingga membuat suasana semakin menyeramkan.
Delapan orang prajurit yang bertugas menjaga pintu gerbang Kadipaten Jagalan,
tampak berkumpul di gardu jaganya. Rupanya mereka merasa resah mendapati suasana
malam yang tidak seperti biasa-nya.
"Hhh.... Entah mengapa suasana malam ini membuat hatiku tidak tenteram" Ada apa,
ya...?" gumam salah seorang prajurit yang bertubuh gemuk, seraya melipat kedua
tangan di depan dada. Seolah-olah dengan berbuat demikian, diharapkan akan
mendapat ketenangan.
"Benar. Biasanya kalau suasana malam seperti ini, pasti ada suatu kejadian yang
menggemparkan. Tapi, mudah-mudahan saja kejadian itu tidak menimpa kita," timpal
prajurit lain. Sepertinya, dia punya perasaan yang serupa dengan prajurit gemuk
itu. "Ah, sudahlah! Tugas kita sebagai prajurit adalah menjaga keamanan. Dan kalau
ada apa-apa, kitalah yang harus bertanggung jawab. Jadi tidak ada alasan untuk
merasa takut atau memikirkan hal yang bukan-bukan!" bentak salah seorang
prajurit yang lebih tua dari mereka. Agaknya ia tak senang dengan pembicaraan
kedua orang temannya itu.
"Ah! Kami tidak mengatakan takut, Kakang. Hanya saja, perasaan kami mengatakan
kalau bakal ada sesuatu yang akan terjadi malam ini. Dan kami berharap agar
kejadian itu tidak berlangsung di Kadipaten Jagalan ini," bantah prajurit yang
bertubuh gemuk.
"Yah, mudah-mudahan saja prasangka kita itu salah!" sahut yang lain, kembali
mengharap. Di saat para prajurit itu tengah berdebat, sebentuk benda yang berbentuk kotak
persegi panjang tampak melayang-layang di atas gerbang kadipaten. Benda aneh
berwarna coklat tua itu terus bergerak menuju sebuah bangunan besar.
"Hei, lihat! Apa itu?" teriak seorang prajurit yang kebetulan saat itu tengah
memandang ke langit, sambil menunjuk ke atas.
"Seperti.... Seperti peti mati...!?" desis salah seorang prajurit dengan suara
bergetar dicekam kengerian.
"Hm.... Orang gila dari mana yang berani berbuat seperti itu di kadipaten?"
geram seorang laki-laki gagah. Kalau dilihat dari pakaiannya, pastilah memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari prajurit lain.
"Hei, benda itu meluncur turun!" seru prajurit yang pertama kali melihat peti
mati itu. "Bunyikan tanda bahaya...!" perintah laki-laki gagah itu cepat.
Rupanya sudah mulai bisa diduga kalau peti mati itu tidak bisa dibuat main-main.
Sebentar kemudian, tubuh laki-laki gagah itu segera melesat ke arah tempat di
mana peti mati akan turun.
Tujuh orang prajurit bergegas menyusul pemimpin-nya yang telah lebih dahulu
menghampiri peti mati itu. Sambil berlarian, tujuh orang prajurit itu bergegas
mencabut senjatanya. Dan belum lagi mereka sampai, tiba-tiba....
Blakkk! Begitu menyentuh permukaan tanah, peti mati itu langsung membuka. Tampak sesosok
tubuh yang kaku dan berbau busuk melompat keluar dari dalam peti mati.
"Ups...!"
Pemimpin jaga yang baru saja menjejakkan kakinya di dekat peti mati, langsung
melenting beberapa tombak ke belakang karena bau bangkai yang amat busuk
langsung menyergap hidungnya.
"Gila! Mayat hidup"!" teriak pemimpin jaga dengan wajah memucat
Laki-laki itu benar-benar terkejut ketika menyaksikan penampilan sesosok tubuh
yang menjijikkan itu.
Tadinya disangka kalau di dalam peti mati itu pasti terdapat seseorang yang
berniat mengacau kadipaten. Tapi ketika melihat apa yang disaksikannya itu,
matanya langsung terbelalak ngeri.
Saat itu tanda bahaya berbunyi melengking memecah kesunyian malam! Tak lama
kemudian, terdengar derap langkah kaki puluhan orang yang berlarian mendatangi
tempat itu. Beberapa di antaranya terdapat pemimpin-pemimpin pasukan kadipaten.
"Gila! Apa itu..."!" teriak seorang prajurit kepada kawannya. Meskipun
sebenarnya melihat dengan jelas, namun pertanyaannya itu terlontar juga dari
mulutnya. "Mayat... Mayat hidup"!" seru kawannya dengan suara bergetar. Sama sekali tidak
disangka kalau suasana malam seperti itu harus berhadapan dengan mayat hidup.
"Jangan ada yang bergerak! Kita lihat dulu apa yang akan dilakukannya!" perintah
salah seorang perwira kadipaten, lantang.
Si mayat hidup melangkah kaku menuju gedung utama kadipaten. Sepertinya ia akan
memasuki bangunan utama yang menjadi tempat kediaman Adipati Gamang Sari.
"Mundur...! Siapkan pasukan panah!" kembali sang Perwira memerintahkan.
Tanpa diperintah dua kali, dua puluh orang prajurit segera mempersiapkan anak
panah dan busurnya.
Sesaat kemudian, puluhan batang anak panah sudah tertuju ke arah si mayat hidup.
Sedangkan si mayat hidup terus saja melangkah mendekati bangunan utama
kadipaten. Sepertinya sama sekali tidak dipedulikan teriakan-teriakan yang
mencegah langkahnya.
Si perwira yang melihat mayat hidup itu terus saja melangkah maju, segera
berteriak kepada prajuritnya untuk melepaskan anak panah. Sesaat kemudian, dua
puluh batang anak panah sudah berdesing menuju mayat hidup.
Zingngng! Zingngng!
Trak! Trak! Begitu puluhan batang anak panah itu meluncur ke arahnya, si mayat hidup
bergegas memutar pedang yang tergenggam di tangannya. Belasan batang anak panah
langsung runtuh ke tanah dalam keadaan patah. Sedangkan beberapa batang lainnya
menancap di tubuh si mayat hidup. Namun sungguh di luar dugaan, anak panah itu
seperti tidak berarti apa-apa bagi tubuhnya. Walaupun terluka, tapi tidak
merasakan sakit.
Para prajurit kadipaten yang hanya terpisah
beberapa tombak dari si mayat hidup, bergegas berloncatan mundur! Ternyata luka
akibat anak panah di tubuh si mayat hidup mengeluarkan cairan berwarna kuning
bercampur kehijauan. Cairan itu menebarkan bau busuk yang sangat memualkan perut
"Hoekkk...!"
Beberapa orang prajurit yang tak sanggup menahan rasa mual, langsung memuntahkan
isi perutnya. Wajah mereka seketika berubah, karena isi perut terus saja
melompat keluar.
"Mundur...! Jauhi mayat hidup itu!" si perwira bertindak cepat memerintahkan
pasukannya untuk mundur menjauhi mayat hidup yang menjijikkan itu.
"Bagaimana ini, Kakang Wanasa" Apa yang harus kita lakukan untuk menghadapi
mayat hidup itu?"
tanya salah seorang yang juga berpangkat perwira.
Sepertinya orang itu juga merasa bingung ketika melihat mayat hidup itu tidak
roboh meskipun tubuhnya tertembus belasan anak panah.
"Hm.... Coba terus hujani dengan anak panah.
Kalau seluruh tubuhnya sudah dipenuhi anak panah, masak tidak roboh juga?" ujar
perwira yang dipanggil Wanasa, penasaran.
Setelah berkata demikian, ia pun kembali memerintahkan prajuritnya untuk
melepaskan anak panah.
Zingngng! Zingngng!
Puluhan batang anak panah kembali berdesingan mengancam tubuh si mayat hidup.
Belum lagi puluhan batang anak panah itu mengenai sasaran, para prajurit itu
kembali melepaskan anak panah berikut.
Tapi kali ini si mayat hidup tidak hanya sekadar
bertahan. Begitu anak panah gelombang pertama hampir mendekati, pedangnya
diputar sambil melompat ke arah barisan pasukan panah itu.
Meskipun dengan gerakan kaku, ternyata tubuh si mayat hidup dapat berputar
melakukan beberapa kali salto di udara. Beberapa batang anak panah yang
mengancam tubuh langsung runtuh terpukul sambaran pedangnya. Sedangkan anak
panah yang lainnya lewat beberapa jengkal di bawah kakinya.
Si perwira yang bernama Wanasa itu terkejut ketika melihat gerakan si mayat
hidup. Benar-benar tidak disangka kalau tubuh kaku itu dapat berjumpalitan di
udara. Tanpa membuang-buang waktu lagi, tubuhnya segera melesat disertai ayunan
pedangnya. Melihat Wanasa sudah melesat memapak si mayat hidup, empat orang perwira lainnya
bergegas mencabut senjatanya. Tubuh mereka segera melesat menyusul.
"Yeaaat..!"
Wut! Wuk...! Kelima orang perwira itu menyabetkan senjatanya secara susul-menyusul dari
berbagai arah. Mendapat serangan yang susul-menyusul dari lima orang perwira itu, ternyata
tidak membuat mayat hidup menjadi gentar. Gulungan sinar pedangnya tampak
semakin melebar menyelimuti seluruh tubuhnya. Sambaran angin pedangnya menderu
tajam ketika mayat hidup itu memapak sabetan senjata lawan-lawannya.
Trang! Trak! Trang...!
"Akh...!"
Kelima orang perwira itu terpental balik ketika pedang mereka tertangkis pedang
si mayat hidup.
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun dengan gerakan indah, tubuh mereka berputar beberapa kali di udara, lalu
mendarat manis beberapa tombak dari mayat hidup. Wajah mereka tampak menyeringai
sambil memijat-mijat tangan kanannya yang terasa linu.
"Bedebah! Tenaga mayat hidup itu ternyata sangat kuat!" maki Wanayasa semakin
penasaran. "Hm.... Kita harus lebih berhati-hati untuk menghadapinya!" timpal perwira
lainnya yang juga merasakan hal yang sama.
"Hm.... Ada apa ini ribut-ribut"!"
Tiba-tiba terdengar suara bentakan yang meng-guncangkan dada. Belum lagi gema
suara bentakan itu lenyap, dua sosok tubuh berjumpalitan dan mendaratkan kakinya
dengan manis di dekat kelima orang perwira yang tengah kebingungan itu.
"Ki Panggitan.... Ki Badaran...!" seru kelima perwira begitu mengenali dua sosok
tubuh itu. Bergegas mereka membungkuk hormat kepada kedua orang laki-laki yang
baru tiba itu. "Eh! Siapa yang mengirimkan mayat hidup itu ke tempat ini, Wanasa?" tanya salah
satu dari kedua orang gagah itu sambil menatap si mayat hidup penuh selidik.
"Kakang Panggitan! Apakah kau tidak mengenali siapa mayat hidup itu?" seru laki-
laki setengah baya yang bernama Ki Badaran. Sepasang matanya menatap tajam ke
arah si mayat hidup. Keningnya tampak berkerut meneliti wajah mayat hidup yang
saat itu tersiram pantulan sinar obor.
"Hm.... Bukankah dia Ki Jaladri, Ketua Perguruan Perisai Baja" Heran, apa yang
telah terjadi dengannya" Dan mengapa mayatnya kesasar sampai ke tempat ini?"
desis laki-laki berusia enam puluh tahun
yang bernama Ki Panggitan itu.
Ki Panggitan dan Ki Badaran adalah tokoh kelas satu yang menjadi tangan kanan
Adipati Gamang Sari. Dan kedatangan mereka atas perintah sang Adipati sendiri
karena mendengar ribut-ribut yang mengganggu tidurnya.
"Wanasa. Sementara aku dan Ki Badaran menghadapi si mayat hidup itu, kau siapkan
tali yang kuat dan beberapa buah obor!" perintah Ki Panggitan yang rupanya
memiliki pengalaman yang sangat luas dalam menghadapi berbagai pertarungan.
Memang, sebelum menjadi pengawal pribadi adipati, Ki Panggitan dan Ki Radian
adalah tokoh persilatan yang sangat terkenai dan jarang menemui tandingan.
Itulah sebabnya Ki Panggitan langsung saja menyuruh Wanasa untuk menyiapkan
peralatan. Setelah memberi beberapa petunjuk kepada Wanasa dan empat orang lainnya, Ki
Panggitan dan Ki Badaran melangkah mendekati mayat hidup.
Kedua tokoh itu menghentikan langkahnya dalam jarak tiga tombak di hadapan mayat
hidup Ki Jaladri.
"Hm.... Tampaknya ia dikendalikan seseorang, Adi Badaran," jelas Ki Panggitan,
pelan. Karena saat itu wajahnya telah tertutup oleh selembar kain hitam. Hal itu
dilakukan agar perhatiannya tidak terganggu oleh bau busuk yang menebar dari
tubuh mayat hidup itu.
"Betul, Kakang. Entah apa maksud orang itu mengirim mayat hidup ini ke Kadipaten
Jagalan?" sahut Ki Badaran yang juga telah menutup sebagian wajahnya dengan kain berwarna
hitam. Perlahan-lahan kedua tokoh kelas satu Kadipaten Jagalan itu melangkah berpencar.
Sepasang mata mereka tetap tak lepas dari wajah si mayat hidup.
Terlihat Ki Panggitan menganggukkan kepalanya
kepada Ki Badaran.
Sementara itu, Wanasa dan beberapa anak buahnya telah datang membawa tali untuk
menangkap mayat hidup itu.
"Hiaaat..!"
Diiringi bentakan nyaring, kedua tokoh itu mulai menggerakkan kedua tangannya.
Sepasang kaki mereka membentuk kuda-kuda silang yang terlihat sangat kokoh dan
kuat. Sesaat kemudian, kedua pasang tangan mereka mendorong ke depan meng-gencet
tubuh si mayat hidup dari dua arah.
Wusss! Dua buah gelombang tenaga dalam yang amat kuat berhembus dari telapak tangan
kedua tokoh itu.
Tampak kedua tangan Ki Panggitan dan Ki Badaran bergetar kuat. Jelas, mereka
telah mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya.
Mendapat tekanan dua gelombang tenaga dari arah yang berlawanan itu, ternyata
membuat tubuh si mayat hidup bergetar hebat. Sehingga keadaannya tak ubahnya
bagai orang terserang demam tinggi.
Tepat pada saat tubuh si mayat hidup tengah tak berdaya, Wanasa dan empat orang
lainnya bergerak cepat. Dilemparkannya tali-tali itu sehingga langsung melibat
tubuh mayat hidup. Dan begitu tali-tali yang dilepaskan kelima orang perwira itu
melibat ketat, tubuh si mayat hidup langsung diseret ke arah sebuah tiang.
Sesaat sebelum tubuh si mayat hidup diseret, Ki Panggitan dan Ki Badaran berseru
keras sambil menarik pulang tenaga mereka. Tubuh keduanya langsung melenting ke
belakang mayat hidup itu.
"Yaaat..!"
Sambil membentak keras, Ki Panggitan dan Ki
Badaran mendorongkan telapak tangan mereka, melakukan pukulan jarak jauh.
Wusss! Desss! Tubuh si mayat hidup kontan tersuruk ke depan ketika dua pasang telapak tangan
tokoh-tokoh sakti itu menghantam tubuh bagian belakangnya.
Pada saat yang tepat, Wanasa dan empat orang perwira lainnya bergegas menyeret
tubuh si mayat hidup ke tiang hukuman. Jarak antara mereka dengan tiang tempat
hukuman itu terpisah sekitar empat tombak.
Namun belum lagi mereka berhasil menyeret tubuh si mayat hidup ke tiang itu,
keanehan terjadi.
Tubuh kaku itu mendadak bangkit dan langsung berjumpalitan ke depan. Kedua
kakinya mendarat tepat dua tombak di depan Wanasa dan empat perwira lainnya.
Wut! Tasss! Tasss! Tasss!
"Aaah...!"
Sebelum para perwira kadipaten itu menyadari apa yang terjadi, mayat hidup itu
sudah membabat putus tali-tali yang mengikat tubuhnya. Tak ayal lagi, tubuh
kelima orang perwira itu terjajar ke belakang.
"Gila! Bagaimana mungkin ia masih bisa melakukan hal itu?" kata Ki Badaran
seperti bertanya pada diri sendiri.
Laki-laki tua itu menjadi terkejut setengah mati melihat mayat hidup dapat
membebaskan dirinya.
Padahal, menurutnya mayat hidup itu pasti sudah lemah akibat pukulan mereka
berdua tadi. Ki Panggitan juga tidak kalah terkejutnya.
Sepasang matanya membelalak tak percaya melihat kekuatan lawan. Padahal, jarang
sekali terdapat
tokoh persilatan yang mampu menahan pukulannya tadi. Apalagi itu dilakukan
berbarengan dengan Ki Badaran yang boleh dibilang memiliki kepandaian yang
setingkat dengannya.
"Guru...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan yang disusul munculnya seorang pemuda tampan dan
gagah. Pakaian berwarna kuning gading yang dikenakannya membuat pemuda itu semakin
gagah dan menarik.
"Tuan Muda, mengapa kemari?" tanya Ki Panggitan menegur pemuda tampan yang
rupanya adalah putra Adipati Gamang Sati itu.
"Aku terbangun dari tidurku ketika mendengar ribut-ribut di luar. Dan
kedatanganku ke sini untuk melihat apa yang terjadi," sahut pemuda tampan yang
dipanggil tuan muda itu cepat.
Rupanya putra adipati yang tampan itu adalah murid dari Ki Panggitan dan Ki
Badaran. Hal itu terlihat jelas dari sikapnya yang amat menghormati dua orang
tokoh itu. Apalagi pemuda itu memanggil keduanya dengan sebutan guru.
"Hm.... Lebih baik kembali ke tempatmu, Tuan Muda. Di sini terlalu berbahaya
buatmu," kata Ki Badaran menasihati muridnya yang juga putra majikannya itu.
"Tidak perlu khawatir, Guru. Aku hanya ingin melihat saja. Hitung-hitung untuk
menambah pengalaman. Apakah hanya melihat saja tidak boleh, Guru?" bantah pemuda
tampan itu dengan suara membujuk.
Mendengar jawaban itu, Ki Badaran dan Ki Panggitan hanya dapat saling pandang
sambil menggelengkan kepalanya. Dan mereka tak dapat berkata apa-apa lagi ketika
melihat pemuda itu sudah
berdiri di antara para prajurit kadipaten.
Ki Panggitan dan Ki Badaran bergegas melompat ketika mendengar jerit kematian.
Ternyata, jeritan itu disusul dengan jatuhnya salah seorang perwira dalam
keadaan terluka parah. Kedua tokoh sakti itu bergegas melompat ke arena
pertempuran. Gerakan mereka sungguh ringan dan indah. Jelas, kepandaian mereka
tidak bisa dianggap enteng.
Saat itu empat orang perwira lainnya tengah berusaha mati-matian menyelamatkan
diri dari terjangan mayat hidup. Sambaran pedang si mayat hidup yang menderu-
deru itu membuat mereka terdesak hebat.
Trang! "Uhhh...!"
Begitu tiba, Ki Panggitan langsung memapak senjata lawan dengan senjatanya
sendiri yang dicabut dari pinggang. Meskipun tubuh tokoh itu terjajar mundur,
namun sempat menyelamatkan salah seorang perwira dari kematian.
*** 6 Sesaat setelah benturan itu, serangan Ki Badaran meluncur datang. Sepasang
pedang pendek di tangannya berkesiutan menyambar tubuh mayat hidup Ki Jaladri.
Wuk! Trang! Bret! Tusukan pedang pendek di tangan kanan Ki Badaran berhasil ditangkis lawan. Tapi
pada saat yang hampir bersamaan, pedang di tangan kirinya menyambar cepat
membeset perut si mayat hidup.
Tubuh kaku itu terbanting roboh disertai semburan cairan kehijauan yang
menyembur dari luka di perutnya.
"Aaah...!"
Ki Badaran langsung melempar tubuhnya ke belakang dengan beberapa kali salto di
udara. Wajah laki-laki tua yang bersembunyi di balik kain hitam itu tampak
menyeringai menahan rasa jijik. Tampak beberapa tetes cairan yang berbau busuk
itu telah menodai pakaiannya. Bergegas napasnya disedot untuk menahan rasa mual
yang menyerang.
"Setan keparat! Menjijikkan!" maki Ki Badaran sambil membuka penutup wajahnya
dan meludah berkali-kali.
Meskipun telah terluka pada bagian perutnya, namun mayat hidup Ki Jaladri itu
masih saja bangkit seolah-olah tidak merasakan luka itu. Bau busuk semakin
menebar memenuhi halaman depan gedung kadipaten. Memang, cairan kehijauan dan
ke- kuningan itu terus saja mengalir dari luka di perut si mayat hidup.
"Gila! Mayat hidup itu sepertinya tidak merasakan luka yang dideritanya," kata
Wanasa dengan wajah menyeringai menahankan rasa jijik.
"Berikan obor-obor itu kepadaku!" pinta Ki Panggitan.
Tangannya segera saja terulur menyambar dua batang obor yang dipegang seorang
prajurit. Kakek itu kembali menyambar dua batang obor lainnya setelah lebih dulu
melemparkan dua batang obor pertama kepada Ki Badaran.
"Adi Badaran, kita coba menerjang mayat hidup itu dengan menggunakan api!"
lanjut orang tua itu lagi
"Ah! Betul, Kakang! Mengapa aku sampai me-lupakannya!" sahut Ki Badaran berseri
setelah menerima dua batang obor yang tadi dilemparkan sahabatnya itu.
"Heaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, dua orang tokoh itu bergegas menerjang si mayat
hidup. Wrrr! Wrrr...! Empat batang obor itu berkelebat menyambar-nyambar cepat. Tampak lidah api
menjilat-jilat mengancam tubuh si mayat hidup.
"Ha ha ha...! Lihat, Kakang Panggitan! Sepertinya si keparat itu merasa takut
terhadap api!" tegas Ki Badaran semakin bersemangat.
"Betul, Adi! Ayo kita bakar mayat pengacau ini!"
sahut Ki Panggitan yang menjadi agak lega karena telah menemukan titik kelemahan
mayat hidup yang mengerikan itu.
Berrr! Prattt! "Aaargh...!"
Terdengar raungan mengerikan ketika lidah api obor di tangan Ki Panggitan
menjilat tubuh si mayat hidup. Seketika itu juga, bagian tubuh yang terjilat
lidah api itu menciut dan menebarkan bau sangit!
"Ha ha ha...! Ayo, tunjukkan keganasanmu tadi itu, Mayat Keparat! Ha ha ha...!"
Ki Panggitan tertawa-tawa gembira ketika melihat si mayat hidup semakin
bertambah ketakutan. Kedua kakinya terus melangkah mundur menjauhi kedua orang
tokoh yang semakin gencar menerjangnya itu.
Sekali pun ia tak berani melakukan serangan balasan, karena empat batang obor
itu tak henti-hentinya menyambar. Terpaksa mayat hidup itu terus mundur menjauhi
jilatan lidah api.
"Mengapa kau tidak berani membalas serangan kami, Mayat Keparat! Apakah takut
dengan api obor ini?" ejek Ki Badaran sambil terus mencecar si mayat hidup
dengan sambaran-sambaran api obornya.
"Yeaaat..!"
Pada jurus ketiga puluh, Ki Panggitan dan Ki Badaran berteriak berbarengan.
Tubuh mereka melompat tinggi sambil mengulurkan kedua pasang tangan yang
menggenggam obor. Kedua tokoh kelas satu Kadipaten Jagalan itu berjumpalitan
melewati kepala si mayat hidup. Begitu tubuh mereka berada di atas kepala si
mayat hidup, empat batang obor itu segera dilemparkan disertai dorongan tenaga
dalam sepenuhnya.
"Aaa...!"
Si mayat hidup menjerit setinggi langit ketika empat batang obor itu menyambar
dari empat penjuru. Sesaat kemudian, tubuh mayat hidup itu langsung terbakar
oleh empat batang obor.
"Aaaurgh....!"
Kembali si mayat hidup meraung mengerikan.
Tubuhnya yang sudah terjilat api itu nampak semakin mengecil.
"Mundur...!" teriak Ki Panggitan memerintahkan para prajurit untuk menjauhi
tubuh mayat hidup yang tengah terhuyung-huyung sambil meraung-raung keras.
Tidak berapa lama kemudian, tubuh si mayat hidup itu ambruk ke atas tanah.
Kobaran api yang membakar tubuhnya semakin mengecil untuk kemudian hilang sama
sekali. Dan pada tanah tempat mayat terbakar, hanya ada sedikit cairan yang
berbau sangit. Sementara, tubuh si mayat hidup sudah habis termakan api.
"Hhh.... Untunglah kau cukup tanggap menghadapi kelihaian mayat hidup itu. Kalau
tidak, entah bagaimana harus mengalahkannya. Hhh, benar-benar berbahaya...!"
desah Ki Badaran sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas lega.
"Eh, bagaimana kau tahu kalau mayat hidup itu takut dengan api, Kakang?"
"Hm.... Sebenarnya aku sama sekali tidak mengetahuinya, Adi. Semula hanya
sekadar mencobanya saja. Bukankah tidak ada salahnya" Lagi pula, aku baru
teringat akan hal itu pada saat kau telah melukai tubuhnya. Dan lagi kalau orang
yang menggunakan obor tidak memiliki tenaga dalam tinggi, rasanya mustahil akan
dapat merobohkannya.
Buktinya dengan dorongan angin pukulannya saja ia sudah dapat memadamkan api
obor yang ditujukan ke tubuhnya," jelas Ki Panggitan.
"Ah! Pantas saja kau tadi menyuruhku untuk mengerahkan tenaga untuk membantu
serangan obor itu. Jadi, itu maksudnya?" kata Ki Badaran,
sambil tersenyum. Diam-diam tokoh ini semakin mengagumi sahabatnya yang memang
memiliki banyak pengalaman.
"Wah! Hebat sekali, Guru! Kalian memang benar-benar pendekar hebat!"
Sambil berkata demikian pemuda tampan putra Adipati Jagalan itu melangkah
menghampiri kedua gurunya. Jelas sekali kalau pujian yang dilontar-kannya itu
bukan sekadar basa-basi.
"Ah, Tuan Muda terlalu memuji," ucap Ki Panggitan sambil tersenyum simpul.
Meskipun sebenarnya pemuda itu adalah murid kedua tokoh sakti ini, namun tetap
saja mereka menyebutnya dengan panggilan tuan muda. Karena, memang merasa risih
kalau harus memanggil putra majikannya itu dengan hanya nama saja.
"Lebih baik Tuan Muda kembali ke kamar sekarang, karena sudah tidak ada lagi
tontonan yang dapat dilihat," ujar Ki Badaran menimpali.
"Ah! Biarlah aku di sini saja, menemani Guru berdua. Lagi pula sebentar lagi
pagi akan datang,"
kilah pemuda itu.
"Yahhh, kalau memang begitu kemauanmu...," Ki Panggitan tak meneruskan
ucapannya. Kakek itu hanya mengangkat bahunya tanda menyerah.
Malam pun kembali hening setelah para prajurit membersihkan tempat itu dari
mayat-mayat yang bergeletakan.
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** "Jadi yang menyebabkan kekacauan semalam hanya sesosok mayat?" tanya seorang
laki-laki agak gemuk.
Dengan pakaian serba merah, laki-laki setengah baya itu berjalan hilir-mudik
sambil menggendong kedua tangannya di belakang. Wajahnya tampak menyiratkan
ketidaksenangan atas kejadian yang menimpa kediamannya semalam.
"Betul, Gusti. Hanya sesosok mayat hidup," jawab salah seorang laki-laki
berpakaian biru gelap yang bersimpuh beberapa tombak di hadapan laki-laki
berpakaian mewah yang tengah marah itu.
"Hm.... Menurut keterangan salah seorang perwira, kau mengenali mayat itu. Coba
katakan kepadaku, Ki Panggitan. Siapa nama mayat hidup itu" Dan apakah kau tahu
di mana tempat tinggalnya semasa hidup?"
tanya laki-laki yang tak lain adalah Adipati Gamang Sati yang menjadi penguasa
di seluruh wilayah Kadipaten Jagalan.
"Dia adalah mayat Ki Jaladri yang menjadi Ketua Perguruan Perisai Baja. Hamba
mengenalnya semasa masih mengembara di dunia persilatan, Gusti Adipati.
Dan belakangan ini, hamba baru mengetahuinya kalau dia telah mendirikan sebuah
perguruan," sahut orang tua yang memang Ki Panggitan.
Sementara itu, bersimpuh di sebelah Ki Panggitan adalah Ki Badaran. Kedua
pembantu utama Adipati Gamang Sati itu rupanya tengah dimintai keterangan
sehubungan dengan peristiwa semalam.
"Apakah Ki Kalianji dan Walanggata juga mengetahui di mana letak Perguruan
Perisai Baja itu?" tanya Adipati Gamang Sati lebih lanjut
"Hamba yakin mereka pasti tahu, Gusti. Seperti juga hamba, mereka juga telah
lama mengenal Ki Jaladri," jawab Ki Panggitan cepat
"Hm.... Kalau begitu aku akan menugaskan mereka berdua untuk menyelidiki
Perguruan Perisai
Baja. Berani sekali mereka membuat kekacauan di kadipaten ini!" geram Adipati
Gamang Sati dengan wajah merah.
Setelah berkata demikian, adipati itu memerintahkan dua orang prajurit untuk
memanggil dua orang pembantu utamanya yang lain.
Adipati Gamang Sati memang mempunyai empat orang pembantu utama yang tidak
tergabung dalam keprajuritan. Meskipun demikian, kedudukan mereka lebih tinggi
dari para perwira kadipaten. Memang, mereka merupakan pengawal khusus yang
tugasnya menjaga keselamatan seluruh keluarga Adipati Jagalan.
Keempat orang pembantu utama adipati itu adalah tokoh persilatan terkemuka.
Bahkan boleh dikatakan merupakan tokoh tingkat tinggi yang sulit dicari
tandingannya. Itulah sebabnya, mengapa mereka mengenal hampir seluruh tokoh
persilatan, termasuk Ki Jaladri di antaranya. Dan karena mereka-lah sehingga
Kadipaten Jagalan tidak ada yang berani mengganggu. Banyak orang yang merasa
enggan untuk mencari permusuhan dengan keempat tokoh kosen itu.
Tidak berapa lama kemudian, prajurit yang ditugaskan untuk memanggil Ki Kalianji
dan Walanggata telah kembali menghadap. Di belakang mereka tampak seorang laki-
laki berusia lima puluh tahun lebih, dan seorang lagi berusia sekitar tiga puluh
lima tahun. Langkah mereka tampak tegap dan berisi.
Adipati Gamang Sati mengibaskan tangan untuk menyuruh dua orang prajuritnya
meninggalkan tempat itu. Sedangkan dua orang tokoh itu sudah bersimpuh di
samping Ki Panggitan dan Ki Badaran.
Dan mereka saling berteguran sekejap.
Setelah pintu ruangan kembali ditutup oleh dua orang penjaga tadi, Adipati
Gamang Sati mulai mengutarakan maksudnya.
"Ampun, Gusti. Hamba berdua siap melaksanakan perintah!" sahut Ki Kalianji
setelah mendengar penuturan sang Adipati.
"Kapan kami harus berangkat, Gusti?" tanya Walanggata hormat.
Suara laki-laki gagah itu terdengar berat dan dalam. Wajahnya pun tampak selalu
menyiratkan ketenangan, sebagaimana layaknya orang yang memiliki kepercayaan
penuh pada dirinya.
"Pagi ini juga kalian harus berangkat. Selidiki apa maksudnya Perguruan Perisai
Baja mengirimkan mayat hidup ketuanya ke kadipaten ini?" perintah Adipati
Jagalan. "Ampun, Gusti. Menurut dugaan hamba, Perguruan Perisai Baja belum tentu
terlibat. Harap Gusti jangan mengambil tindakan keras terhadap mereka lebih
dulu, karena belum tentu bersalah," jelas Ki Badaran mengajukan permohonan.
"Tentu saja, Ki Badaran. Aku tidak akan begitu mudah menjatuhkan hukuman kalau
memang kesalahannya belum terbukti. Itulah sebabnya mereka berdua kusuruh
menyelidikinya. Tapi biar bagaimanapun, aku berterima kasih kepadamu, Ki
Badaran. Paling tidak, kau telah mengingatkan aku,"
jawab Adipati Gamang Sati seraya tersenyum lembut.
"Ayah! Apakah aku boleh menyertai Ki Kalianji dan Paman Walanggata?" pinta
seorang pemuda tampan yang sejak tadi hanya terduduk diam mendengarkan
pembicaraan antara ayahnya dengan guru-gurunya itu.
"Tidak, Anggada. Pekerjaan ini terlalu berbahaya untukmu. Lebih baik kau di
rumah saja untuk menyempurnakan ilmu-ilmu yang telah diajarkan kedua gurumu. Oh,
ya. Di mana adikmu Ganesha?"
tanya Adipati Gamang Sati mengalihkan pembicaraan.
"Entahlah, Ayah. Sejak pagi tadi aku belum melihatnya," sahut Anggada dengan
suara mengandung kekecewaan, karena permintaannya tidak dikabulkan.
"Nah! Ki Kalianji, Walanggata, kalian boleh menyiapkan segala keperluan dalam
perjalanan nanti. Dan kau Ki Panggitan dan Ki Badaran, kalian boleh
beristirahat," ujar Adipati Gamang Sati mem-persilakan.
"Baik, Gusti. Kami mohon pamit," ucap keempat tokoh itu serentak.
Setelah membungkuk hormat, keempat tokoh itu melangkah meninggalkan ruangan
pertemuan rahasia.
Beberapa saat kemudian, Adipati Gamang Sati dan putranya pun meninggalkan tempat
itu. *** Dua ekor kuda putih melesat cepat melewati pintu gerbang Kadipaten Jagalan.
Derap dua ekor kuda yang melesat bagai anak panah itu meninggalkan kepulan debu
yang membumbung tinggi di angkasa.
"Hiyaaa...! Hiyaaa...!"
Dua orang laki-laki yang berada di atas punggung kuda terus menggebah kudanya ke
luar wilayah kadipaten. Mereka tak lain adalah Ki Kalianji dan Walanggata yang
ditugaskan Adipati Gamang Sati
untuk menyelidiki Perguruan Perisai Baja.
Tidak berapa lama kemudian, mereka mulai memperlambat lari kudanya, karena saat
itu harus melewati daerah perbukitan. Memang, jalan yang dilewati agak sukar.
Tentu saja mereka tidak ingin kalau kaki kudanya akan cedera akibat sukarnya
jalan yang dilalui.
"Mengapa kita tidak mengambil jalan yang lain saja, Ki?" tanya Walanggata yang
sepertinya tidak suka melewati jalan yang sukar itu.
"Hm.... Hanya jalan inilah satu-satunya yang terdekat, Walanggata. Lagi pula,
kalau kita melewati jalan yang di sebelah Selatan sana akan memakan waktu lama.
Belum lagi kalau nasib kita sedang sial, sehingga harus berhadapan dengan
perampok-perampok yang kadang-kadang berkeliaran di tempat itu," sahut Ki
Kalianji yang rupanya lebih tahu arah jalan yang dapat menyingkat perjalanan.
"Kalau tahu di daerah Selatan itu kadang-kadang terjadi perampokan, mengapa
Gusti Adipati tidak mengirimkan pasukan untuk menumpasnya" Bukankah perampok-
Pendekar Kidal 24 Laron Pengisap Darah Karya Huang Yin Kisah Si Rase Terbang 10