Pencarian

Penggembala Mayat 1

Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat Bagian 1


Ebook by syauqy_arr
1 Siang itu Perguruan Perisai Baja tampak sibuk.
Beberapa orang dari rimba persilatan golongan putih berganti-gantian mengunjungi
perguruan itu. Rupanya, kedatangan mereka ke situ adalah untuk menyatakan bela
sungkawa atas musibah yang menimpa Perguruan Perisai Baja.
"Aneh! Padahal, baru kemarin aku bertemu Ki Jaladri. Dan waktu itu kulihat
beliau sehat-sehat saja.
Tak nampak sedikit pun kalau tengah menderita sakit. Wajahnya pun segar, dan tak
ada tanda-tanda kalau tengah menghadapi suatu masalah," bisik salah seorang tamu
yang mengenakan ikat kepala berwarna hitam, kepada seorang tokoh lain yang
berada di sebelahnya.
"Ya! Kalau saja aku tidak melihat mayatnya, tentu tidak akan mudah percaya
begitu saja. Selama ini aku mengenal beliau sebagai seorang yang tidak pernah
usil terhadap urusan orang lain," sahut orang yang diajak bicara.
Rupanya, kedua orang itu adalah sahabat baik Ketua Perguruan Perisai Baja yang
bernama Ki Jaladri. Wajah mereka tampak diliputi rasa penasaran.
"Hm.... Menurut salah seorang murid utama, Ki Jaladri tewas tanpa ada seorang
murid pun yang mengetahuinya. Untunglah ada seorang pelayan yang menemukan mayat
beliau di atas pembaringan, persis seperti orang tertidur saja layaknya. Dan
lebih aneh lagi, tak satu pun luka di tubuhnya. Bahkan
menderita keracunan pun tidak! Entah, kitanya yang kurang jeli, atau memang
orang tua itu meninggal sewajarnya?" celetuk tokoh lainnya. Dia memakai jubah
hijau, dan berikat kepala juga hijau.
Perkataan orang itu ditutup oleh sebuah pertanyaan yang membuat kedua orang yang
tengah berbicara itu terdiam dengan kening berkerut.
Sejenak suasana menjadi hening, terbawa oleh pikiran masing-masing.
"Sudahlah, Kisanak. Lebih baik kita menunggu perkembangan selanjutnya. Aku yakin
kejadian ini tidak akan berhenti begitu saja. Kematian Ki Jaladri pasti akan
berbuntut panjang," ujar tokoh yang mengenakan ikat kepala hitam, menyimpulkan.
"Maaf. Kami harus pergi, Kisanak. Dengan adanya kejadian ini, kami harus lebih
berhati-hati menjaga perguruan kami." Setelah berpamitan, orang itu melangkah
bersama kawannya meninggalkan
Perguruan Perisai Baja.
Tidak lama setelah kepergian kedua orang itu, tokoh berwajah gagah yang
menyandang pedang beronce merah juga segera berpamitan kepada tuan rumah. Dia
meninggalkan Perguruan Perisai Baja dengan berbagai pertanyaan di benaknya.
Satu persatu para tokoh persilatan itu mulai meninggalkan Perguruan Perisai
Baja. Wajah mereka membayangkan rasa penasaran. Memang, kematian ketua perguruan
itu merupakan sebuah teka-teki yang belum terungkapkan!
Menjelang sore, tempat itu pun kembali sepi.
Hanya ada satu dua orang tamu yang masih berbicara dengan murid-murid utama Ki
Jaladri. Sepertinya, mereka adalah para kerabat dekat ketua perguruan itu, dan
berniat untuk bermalam di situ.
Para murid perguruan pun mulai membereskan tempat itu. Sedangkan peti mati yang
menyimpan mayat Ki Jaladri, tetap berada di tempatnya. Tak seorang pun yang
berani memindahkan peti mati gurunya yang berada di beranda depan itu.
Bau wewangian menebar memenuhi halaman
depan Perguruan Perisai Baja. Peti mati yang berisi mayat Ki Jaladri tetap diam,
beku, dan mengandung misteri!
*** Malam mulai menampakkan kekuasaannya.
Perlahan-lahan kegelapan mulai menyelimuti permukaan bumi. Malam itu, sang
rembulan bersembunyi di balik gumpalan awan hitam. Angin dingin yang berhembus
kencang membuat suasana malam itu terasa semakin mencekam!
Keadaan malam yang menyimpan misteri itu membuat dua orang murid Perguruan
Perisai Baja yang ditugaskan menjaga peti mati gurunya menjadi gelisah. Sesekali
salah seorang yang bertubuh gemuk melirik ke arah tutup peti mati itu.
Sepertinya dia merasa khawatir kalau-kalau peti mati itu akan terbuka.
"Perasaanku kok tidak enak ya" Suasana malam ini terasa menyeramkan?" keluh
orang gemuk itu kepada kawannya yang tengah asyik melamun. Nada suaranya yang
berbisik itu terdengar agak gemetar.
Entah karena hawa dingin atau karena rasa takut yang menyelimuti hatinya.
"Ah! Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Kalau takut, pergilah tidur sana," ujar
kawannya, agak kesal karena lamunannya terputus akibat keluhan orang
itu. "Apa kau tidak merasa takut?" tanya si gemuk lagi.
Wajah orang itu tampak mulai memucat. Sepasang matanya semakin sering melirik ke
arah peti mati yang terpisah tiga tombak dari mereka. Jelas sekali kalau rasa
takutnya semakin memuncak.
"Tidak. Mengapa harus takut" Suasana seperti ini sudah sering terjadi. Apalagi
musim hujan akan segera datang. Jadi wajar saja kalau hari menjelang musim itu
suasana malam akan selalu begini," jawab temannya yang memiliki tubuh kurus,
acuh tak acuh. Sepertinya keadaan alam di sekelilingnya tidak begitu dipedulikannya.
"Aneh. Mengapa bulu kudukku tiba-tiba berdiri"
Hiiih...!"
Sambil berkata demikian, tubuh si gemuk meng-gelinjang gelisah. Kali ini bukan
lagi sekadar melirik ke arah peti mati gurunya, tapi matanya malah tak lepas
dari peti mati itu. Keringat dingin tampak mulai menitik membasahi keningnya.
"Ya! Karena sebentar lagi setan-setan akan berdatangan untuk mencekik batang
lehermu! Paling tidak agar mulutmu berhenti mengoceh!" bentak si kurus merasa
kesal karena kawannya masih saja bicara tak karuan. Namun suaranya tetap ditekan
rendah agar tidak terdengar yang lainnya.
"Aungngng...!"
Baru saja salah seorang penjaga yang bertubuh kurus itu selesai berkata,
terdengar lolongan serigala saling bersahutan mengusik perasaan. Hembusan angin
dingin bertiup keras hingga membuat tubuh kedua orang penjaga itu menggigil
kedinginan. Belum lagi lolongan serigala itu lenyap, terdengar suara kayu yang bergeser dari
tempatnya. Grrrkkk! Si penjaga bertubuh gemuk yang sejak tadi tengah memandangi peti mati itu
membelalakkan matanya.
Bahkan wajahnya pucat pasi. Penjaga itu menggosok-gosokkan matanya dengan
punggung tangan, seolah-olah tak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi.
"Penutup peti itu.... Penutup peti itu..., bergerak...!"
Sambil menunjuk ke arah peti mati Ki Jaladri, orang itu berkata terputus-putus.
Keringat dingin tampak semakin banyak membasahi wajah dan tubuhnya.
"Hm...!"
Si kurus yang memiliki keberanian, bergumam sambil melangkah mendekati peti mati
gurunya. Diperhatikannya tutup peti mati itu dengan teliti.
"Dasar penakut! Ke sini kau! Dan lihat baik-baik, apakah penutup peti mati ini
terbuka"!" umpat si kurus itu semakin kesal ketika tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan seperti yang dikatakan kawannya tadi.
"Tapi.... Tapi, tadi...," bantah penjaga yang bertubuh gemuk terbata-bata ketika
melihat peti mati itu ternyata masih tetap seperti semula. Sehingga keheranannya
timbul. "Nah! Kau lihat sendiri 'kan! Makanya jangan terlalu terbawa pikiran yang bukan-
bukan," kata si kurus menasihati.
Dan baru saja mereka hendak melangkah kembali ke tempat semula, kembali
terdengar suara yang membuat jantung hampir copot!
"Suara itu.... Suara itu.... Datangnya dari dalam peti mati guru!" bisik si
gemuk, serak dan bergetar. Sambil berkata demikian, tangannya mencengkeram
pundak kawannya.
Kawannya yang semula merasa tak percaya, langsung tertegun. Karena, kali ini
yang didengarnya jelas suara yang memang datang dari dalam peti mati Ki Jaladri.
Tapi si kurus itu tak mau mempercayai begitu saja.
Dengan hati-hati kakinya melangkah mengitari peti mati gurunya. Diperiksanya
sekeliling peti mati gurunya itu. Dan ketika tidak menemukan sesuatu yang
mencurigakan, rasa takutnya mulai timbul.
"Tapi mustahil kalau ada mayat yang bisa bangkit lagi," ucap si kurus dalam
hati. Kata-kata itu dimaksudkan untuk menenangkan hatinya sendiri yang sempat
goyah. Pada saat kedua orang penjaga itu tengah memandangi peti mati gurunya,
mendadak... Brakkk! Penutup peti mati Ki Jaladri yang telah dipaku kuat-kuat itu, melambung setinggi
empat batang tombak! Kemudian penutup peti mati itu melayang-layang jatuh di
tanah dalam keadaan utuh!
Belum lagi mereka menyadari apa yang tengah terjadi, seketika itu sosok mayat
yang berada di dalam peti mati itu bangkit dan langsung berdiri tegak dan kaku.
"Aaah...!?"
Kedua penjaga itu berteriak kaget dengan wajah pucat pasi. Kedua kaki mereka
gemetar hebat hingga sukar untuk melangkah.
"Gggu.... ru...!" desis mereka bersamaan dengan suara serak dan bergetar.
Sepasang mata mereka membelalak lebar.
Tanpa berbicara sepatah kata pun, sosok mayat Ki Jaladri melangkah kaku
mendekati dua orang penjaga yang sebenarnya adalah muridnya itu.
Sepasang matanya memancarkan warna merah saga dan menyiratkan kematian.
"Tolooong...!!!"
Dua orang penjaga itu menjerit-jerit ketakutan ketika sepasang jari-jari tangan
Ki Jaladri terulur ke arah leher mereka. Dan....
Kreppp! Kreppp!
"Eeekh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kedua penjaga yang naas itu terangkat ke atas.
Wajah mereka tampak mulai membiru karena pernapasan ter-sumbat oleh jari-jari
tangan yang sekeras besi.
Beberapa murid yang tengah meronda, cepat berlari ketika mendengar jeritan
ketakutan itu. Bahkan tiga orang kerabat Ki Jaladri yang tengah menginap serentak berlari
menghambur ke arah yang sama.
*** "Aaah...!"
"Mustahil...!"
"Ki Jaladri! Tidak mungkin...!"
Berbagai seruan terdengar silih berganti ketika para murid dan tiga orang tokoh
persilatan itu menyaksikan apa yang terjadi. Serentak mereka surut ke belakang
dengan perasaan ngeri dan terkejut.
"Grrrh...!"
Terdengar erangan laksana binatang buas, keluar dari mulut Ki Jaladri. Nampak
air liur yang menebarkan bau busuk menetes dari mulutnya yang terbuka lebar.
Sesaat kemudian, tubuh dua orang penjaga yang sudah tidak bernyawa itu dilempar
ke arah orang- orang yang mengerumuninya.
"Ya, Tuhan... Musibah apa lagi yang akan menimpa perguruan kami?" ucap salah
seorang murid utama Perguruan Perisai Baja mengeluh sedih.
Dua orang murid utama perguruan itu cepat melesat menyambar dua sosok tubuh
penjaga yang dilemparkan oleh mayat hidup Ki Jaladri itu.
"Mereka.... Mereka telah tewas...!" desis dua orang murid utama perguruan itu,
terkejut sekaligus ngeri.
"Hm.... Pasti ada sesuatu yang tidak beres di perguruan ini?" duga salah seorang
tokoh persilatan yang merupakan kerabat dekat Ki Jaladri.
Ia benar-benar merasa heran dengan kejadian-kejadian aneh yang dialami perguruan
itu. Belum lagi misteri kematian Ki Jaladri terungkap, kini muncul lagi
persoalan baru.
"Pasti ada orang yang menggerakkannya, Kakang!
Tapi, apa maksud orang itu sebenarnya?" timpal tokoh lain.
"Mungkin saja ini ulah salah seorang musuh lama Ki Jaladri yang hendak membalas
dendam!" sahut yang lain.
"Hhh..., entahlah! Yang terpenting sekarang, apa yang harus kita lakukan
terhadap mayat hidup Ki Jaladri ini" Untuk melukainya, rasanya tidak tega.
Tapi kalau didiamkan, bisa-bisa kita yang akan dibunuhnya," kata seseorang.
Dia adalah tokoh persilatan yang merupakan sahabat lama Ki Jaladri. Bajunya
berwarna kuning, dan celananya hitam. Di kedua sisi pinggangnya tampak terselip
dua buah senjata trisula yang terbuat dari baja putih. Tokoh ini dijuluki si
Trisula Perak yang cukup terkenal di kalangan rimba persilatan. Itulah sebabnya,
mengapa dia menjadi bingung menghadapi
mayat hidup kawannya itu.
Saat itu mayat hidup Ki Jaladri sudah melangkah mendekati orang-orang yang
berada di depannya.
Gerak langkah kakinya nampak kaku dan berat.
Samar-samar tercium bau busuk yang memualkan perut. Rupanya tubuh mayat itu pun
sudah mulai membusuk.
"Awasss...!"
Si Trisula Perak berteriak memperingatkan yang lain ketika melihat mayat itu
melompat ke arah mereka. Kedua tangannya terulur ke depan, siap mencengkeram
siapa saja. "Aaa...!"
Terdengar jerit kematian yang merobek angkasa.
Tampak seorang murid yang tidak sempat
menghindar, langsung menjadi korban mayat hidup itu. Tubuh orang itu melambung
tinggi disertai percikan darahnya yang berhamburan ke segala arah.
Orang itu kontan ambruk dan tewas. Perutnya robek lebar. Rupanya jari-jari
tangan mayat hidup itu telah membeset kulit perutnya. Darah pun mulai meng-
genang membasahi halaman Perguruan Perisai Baja.
"Maafkan aku, Sahabat. Aku terpaksa melumpuh-kanmu!" gumam si Trisula Perak,
pelan. Setelah berkata demikian, tubuh pendekar itu langsung melesat mengirimkan
pukulan ke tubuh mayat hidup Ki Jaladri.
Meskipun dengan gerakan kaku, ternyata mayat hidup Ki Jaladri dapat menghindari
dua buah pukulan yang dilontarkan pendekar itu. Bahkan membalas serangan lawan
dengan tidak kalah ganas. Angin pukulannya yang disertai bau busuk, menderu
tajam hingga menimbulkan suara mencicit
Si Trisula Perak menjatuhkan tubuhnya sambil
melepaskan sebuah tendangan kilat. Tendangan itu terus meluncur deras mengancam
perut lawan. Desss! Tendangan si Trisula Perak tepat menghantam perut mayat hidup Ki Jaladri. Tapi,
bukan main terkejutnya hati pendekar itu ketika telapak kakinya terasa bagai
menghantam sebongkah besi baja!
"Aaah...!"
Tubuh pendekar itu terdorong deras ke belakang.
Secepat kilat tubuhnya berputar beberapa kali ke belakang untuk menjaga serangan
susulan. Kedua kaki pendekar berusia setengah baya itu mendarat empuk di atas
permukaan tanah. Terlihat seringai kesakitan di wajahnya.
Sedangkan tubuh mayat hidup Ki Jaladri hanya terdorong sejauh empat langkah. Dan
sepertinya, tendangan pendekar itu tidak berpengaruh sama sekali.
"Gila! Padahal semasa hidupnya Ki Jaladri pasti akan mengalami luka dalam cukup
parah akibat tendanganku tadi. Heran, dari mana kekuatan yang berlipat ganda itu
diperolehnya?" gumam si Trisula Perak, tak habis pikir.
Keheranan yang dialami pendekar itu memang beralasan. Karena sebagai seorang
sahabat yang terdekat, ia tahu betul sampai di mana kepandaian yang dimiliki Ki
Jaladri. Meskipun kepandaian satu sama lain tidak berbeda terlalu jauh, tapi
pendekar itu masih dapat mengunggulinya. Tapi sekarang, sepertinya mayat hidup
itu tidak mungkin dapat diatasi.
"Kakang Darbasena! Kau tidak apa-apa?" tanya salah seorang sahabatnya seraya
menghampiri pendekar itu disertai perasaan khawatir.
"Aku tidak apa-apa, Adi Kanjaran. Tapi, hati-hatilah!
Kekuatannya telah berlipat ganda. Bahkan kita bertiga pun belum tentu mampu
mengungguli kekuatannya," jelas si Trisula Perak yang ternyata bernama Darbasena
itu. "Wah, berbahaya sekali kalau begitu! Lalu, bagaimana kita harus mengatasinya?"
sahut tokoh yang dipanggil Kanjaran, bernada cemas.
"Kita terpaksa harus menggunakan senjata. Tidak ada jalan lain, Adi Kanjaran.
Sebab dia bukan lagi sahabat kita. Jadi, tidak perlu sungkan-sungkan lagi,"
tegas Darbasena mengambil keputusan.
Selesai berkata demikian, pendekar itu bergegas mencabut sepasang trisula


Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peraknya yang terselip di pinggang.
Sret! Sret! Sinar putih keperakan seketika berpendar saat sepasang trisula di tangan
pendekar itu tersiram cahaya obor. Dengan langkah kuda-kuda yang kokoh,
Darbasena melangkah mendekati mayat hidup Ki Jaladri.
Wut! Wut! Meskipun lawannya menggunakan senjata, namun mayat hidup itu sama sekali tidak
merasa gentar. Dua serangan trisula Darbasena malah dipapak dengan telapak
tangannya. Tentu saja pendekar itu terkejut, lalu cepat menarik pulang
serangannya. Sepasang trisula di tangan Darbasena berputar, lalu kembali meluncur mengancam
perut mayat hidup Ki Jaladri. Dari suara desingannya yang tajam, dapat diketahui
kalau pendekar itu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Pada saat yang sama, berkelebat dua bilah pedang ke arah mayat hidup itu. Dua
serangan itu berasal
dari dua orang pendekar lain. Kekuatan dan kecepatan dua batang pedang mereka
tidak kalah dengan sepasang trisula di tangan Darbasena.
Namun tanpa disangka-sangka, mayat hidup itu merebahkan tubuhnya ke belakang.
Meskipun gerakannya terlihat amat kaku, tapi serangan tiga orang pendekar itu
manis sekali dapat dihindarinya.
Begitu sambaran empat batang senjata itu lolos, tubuh mayat itu kembali bangkit
dalam posisi tegak lurus. Secepat kilat kedua tangannya menyambar ke arah dua
orang pendekar yang memegang pedang.
Bukkk! Plakkk! Sambaran tangan kanan mayat hidup Ki Jaladri tepat menghantam lambung salah
seorang pendekar, sehingga langsung terjengkang beberapa tombak.
Tampak darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Namun hebatnya, pendekar itu
langsung melenting bangkit berdiri.
Sedangkan pendekar lainnya lagi berhasil menangkis sambaran tangan kiri si mayat
hidup. Namun, tetap saja tubuhnya terjajar mundur sejauh delapan langkah, sambil
menyeringai kesakitan.
Rasanya, lengannya tadi bagaikan beradu dengan sebatang besi baja yang amat
keras. Tentu saja hal itu membuatnya semakin berhati-hati dalam menghadapinya.
"Bagaimana lukamu, Wijanarka?" tanya Kanjaran kepada kawannya yang terkena
hantaman mayat hidup Ki Jaladri itu.
"Uh.... Uh.... Tidak kusangka, ternyata tenaga pukulannya demikian kuat!" sahut
tokoh yang dipanggil Wijanarka itu sambil membungkuk memegangi perutnya yang
terkena hantaman keras tadi.
"Kepung...!" perintah Darbasena kepada murid-murid Perguruan Perisai Baja untuk
mengurung gurunya yang telah berubah menjadi mayat hidup.
Puluhan orang murid yang semula masih ragu-ragu itu cepat berloncatan mengurung
mayat hidup Ki Jaladri. Mereka semua sudah mencabut senjata masing-masing,
karena sudah menyadari kalau mayat hidup itu bukan lagi gurunya.
Sementara itu, mayat hidup Ki Jaladri pun telah menggenggam sebatang pedang
milik Wijanarka yang telah terlepas karena terkena pukulannya. Tentu saja hal
itu membuatnya semakin berbahaya!
"Yeaaat..!"
Disertai teriakan nyaring, puluhan orang murid Perguruan Perisai Baja
berlompatan sambil menyabetkan senjata ke arah mayat gurunya.
Sepertinya mayat hidup Ki Jaladri itu kali ini tidak akan lolos dari kematian
untuk yang kedua kalinya.
Namun, untuk kesekian kalinya tiga orang tokoh persilatan dan para murid
Perguruan Perisai Baja kembali terkejut Ternyata mayat hidup yang dipastikan
akan terpanggang puluhan batang pedang itu masih mampu menggerakkan pedang untuk
menangkis puluhan batang pedang. Meskipun dengan terpatah-patah, tapi gerakan
yang dilakukannya benar-benar menggetarkan.
Tubuh mayat hidup itu melonjak-lonjak bagai seekor kijang yang ketakutan. Setiap
kali bergerak, pedang lawan yang tertangkis pasti terpental lepas dari
genggaman. Dan sebelum para pengeroyok sempat berbuat sesuatu, mayat hidup itu
telah menyabetkan pedangnya dengan kecepatan kilat.
Bret! Bret! "Aaargh...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, para pengeroyok yang terkena sambaran pedangnya kontan
terjungkal mandi darah. Dalam satu gebrakan saja, enam orang murid Perguruan
Perisai Baja tewas tergeletak di tangan mayat gurunya. Tentu saja hal itu
membuat yang lainnya tersentak mundur dengan wajah pucat.
Mundurnya para pengeroyok itu ternyata tidak membuat mayat hidup itu berhenti
mengamuk. Tubuhnya yang bergerak kaku terus saja menerjang disertai ayunan pedang yang
berbau kematian.
Sehingga, para pengeroyok yang mulai gentar bergegas berloncatan menjauhi arena
maut itu. Cras! Cras...! "Aaa...!"
Lagi empat orang murid Perguruan Perisai Baja yang tak sempat menghindarkan diri
menjadi sasaran amukan pedang mayat hidup Ki Jaladri. Mereka langsung tewas
seketika dengan usus memburai!
"Heaaat..!"
Darbasena, Kanjaran, dan Wijanarka berteriak sambil menerjang berbarengan. Kali
ini mereka sudah tidak lagi memandang mayat hidup itu sebagai kawannya. Maka
serangan yang dilakukan pun tidak tanggung-tanggung lagi. Ayunan senjata ketiga
orang tokoh itu mengaung tajam membeset udara dingin malam itu.
Perbuatan ketiga orang tokoh itu pun segera diikuti empat orang murid utama Ki
Jaladri. Ternyata mereka juga tidak lagi melihat Ki Jaladri sebagai gurunya.
Karena, mayat hidup itu ternyata telah tega membunuh murid-muridnya sendiri.
Sehingga, rasa keraguan yang memang sudah menipis itu lenyap seketika. Dan kali
ini, keempat orang murid utama itu sudah bertekad untuk melenyapkannya.
2 "Haiiit..!"
Empat orang murid utama Perguruan Perisai Baja berseru nyaring secara bersamaan
sambil mengayunkan senjata ke tubuh mayat hidup guru mereka.
Wut! Wut...! Trang! Trang! "Aaah...!"
Namun serangan beruntun dari keempat murid Perguruan Perisai Baja dengan mudah
dapat ditangkis oleh pedang si mayat hidup. Tubuh mereka terjajar mundur
disertai seruan kagetnya. Sebelum posisi mereka sempat diatur kembali, si mayat
hidup sudah mengayunkan senjata mengancam keselamatan keempat orang murid utama
itu. Wut! Trak! Pada saat yang berbahaya itu, Wijanarka menyabetkan pedang untuk menyelamatkan
empat orang murid utama itu. Apa yang dilakukan tokoh itu memang berhasil,
meskipun pedangnya harus patah akibat kuatnya ayunan pedang si mayat hidup.
Buru-buru tokoh itu menggulingkan tubuhnya untuk menghindari serangan
berikutnya. "Uhhh...!"
Wijanarka berusaha bangkit sambil mendekap dadanya yang terasa sesak akibat
kuatnya pengaruh tangkisan senjata si mayat hidup. Kekuatannya yang masih kalah
jauh menyebabkan Wijanarka kembali terluka. Memang, lukanya akibat hantaman
mayat hidup itu kembali kambuh.
Sementara itu, Darbasena dan Kanjaran sudah bertarung sengit melawan mayat hidup
itu. Mereka memang merasa berkewajiban untuk melindungi Perguruan Perisai Baja
dari kehancuran. Makanya, kini si mayat hidup terus dicecar dengan serangan-
serangan hebat dan dahsyat
Trisula Perak dan Kanjaran mengerahkan seluruh kepandaian yang dimiliki.
Pengalaman yang telah dialami berkali-kali tadi, membuat mereka harus berhati-
hati untuk memapak setiap serangan balasan si mayat hidup. Kedua pendekar itu
terus mendesak tanpa berani beradu tangan atau beradu senjata dengan mayat hidup
Ki Jaladri. Sementara itu empat orang murid utama
Perguruan Perisai Baja yang lolos dari kematian, segera terjun ke dalam kancah
pertempuran. Tentu saja dengan hadirnya mereka, keadaan Darbasena dan Kanjaran
semakin bertambah kuat. Dan kini serangan yang dilakukan dua orang tokoh
persilatan itu semakin hebat saja.
Tapi, mayat hidup Ki Jaladri memang luar biasa!
Walaupun dikeroyok dua orang pendekar dan di-tambah empat orang murid utama,
tetap saja tidak merasa kewalahan. Malah, ayunan senjatanya semakin ganas dan
mengerikan. Pada jurus yang kedua puluh tiga, enam orang tokoh itu mengayunkan senjata
secara berbarengan.
Mereka menerjang dari enam penjuru. Kali ini, mereka semua yakin kalau tubuh
mayat hidup Ketua Perguruan Perisai Baja itu pasti akan tercincang.
Namun, dugaan enam orang tokoh itu kembali keliru. Dengan gerakan cepat luar
biasa, tubuh mayat hidup itu menyelinap di tengah-tengah dua penge-
royoknya. Kedua tangannya mengembang ke depan memapak serangan dua orang murid
utama Perguruan Perisai Baja.
Plak! Trang! Pedang di tangan kanan si mayat hidup berhasil menangkis senjata pengeroyoknya.
Sedangkan tangan kirinya menepiskan senjata yang mengancam leher. Maka
terciptalah celah untuknya meloloskan diri, karena tubuh dua orang pengeroyoknya
terjajar ke belakang.
Setelah berhasil menerobos kepungan, tubuh mayat hidup itu berputar setengah
lingkaran disertai sambaran pedang membabat perut dua orang murid utama itu.
Bret! Cras! "Aaa...!"
Tubuh dua orang itu melintir dan langsung ambruk ke tanah. Darah seketika
menyembur dari luka menganga di perut, sehingga langsung menewaskan dua orang
murid utama Perguruan Perisai Baja.
Belum lagi rasa terkejut para pengeroyok hilang, tubuh si mayat hidup sudah
melompat ke arah Wijanarka disertai ayunan pedangnya.
Wijanarka yang saat itu tengah melangkah tertatih-tatih, hanya dapat memandang
ngeri dengan sepasang mata terbelalak. la tak sempat lagi menghindari bacokan
pedang yang menuju batang lehernya itu.
"Hhhk...!"
Laki-laki berusia empat puluh tahun itu tak sempat lagi berteriak, karena batang
lehernya tertebas oleh si mayat hidup. Darah pun langsung menyembur dari batang
leher yang telah putus itu. Kepala pendekar itu menggelinding, lepas dari
tubuhnya. "Iblis...!" desis Trisula Perak marah melihat kekejaman yang terjadi di depan
matanya itu. Setelah memaki penuh kemarahan, tubuh pendekar setengah baya itu
melesat disertai tusukan trisula peraknya yang mengarah jantung si mayat hidup.
Saat itu si mayat hidup sudah kembali melompat ke arah kerumunan puluhan murid
yang tengah menyaksikan pertarungan berdarah itu. Bukan main pucatnya wajah
mereka ketika melihat tubuh mayat gurunya tengah meluncur ke arah mereka.
Terdengar jerit kematian yang saling susul ketika senjata di tangan si mayat
hidup kembali meminta korban! Dalam beberapa gebrak saja, tubuh belasan orang
murid Perguruan Perisai Baja bergelimpangan tumpang tindih. Darah semakin
membanjir, menebarkan bau amis yang memualkan perut. Belum lagi bau busuk yang
menebar dari tubuh mayat hidup Ki Jaladri. Yang jelas, bau di sekitar tempat itu
semakin tak karuan.
Trang! Trang! Dua kali sambaran pedang si mayat hidup berhasil digagalkan Darbasena. Meskipun
tubuh pendekar itu terdorong beberapa langkah ke belakang, namun tangkisannya
berhasil menyelamatkan beberapa orang murid yang nyaris hilang nyawanya.
Perbuatan Trisula Perak ternyata telah membuat si mayat hidup menjadi jengkel.
Sepasang matanya yang memerah saga menatap tajam ke arah
pendekar itu. Sesaat kemudian, tubuhnya melesat kaku ke arah lawannya.
Wut' Trang! Trang!
"Uhhh...!"
Darbasena berhasil menghindari sebuah sabetan yang mengancam lehernya. Dua buah
serangan berikutnya juga berhasil ditangkis. Namun karena kekuatan mayat hidup Ki Jaladri
memang lebih tinggi, maka tetap saja tubuh laki-laki setengah baya itu terdorong
dan terhuyung-huyung ke belakang.
Kanjaran dan dua orang murid utama Ki Jaladri yang masih selamat, bergegas
melompat untuk menolong Darbasena. Serentak mereka mengayunkan senjata
berbarengan ke arah si mayat hidup yang tengah memburu Darbasena.
Darbasena memucat wajahnya karena saat itu sudah tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk menyelamatkan diri. Untunglah, saat itu ketiga orang kawannya berhasil
mendahului gerakan si mayat hidup.
Trang! Trang! Brettt! Pedang di tangan Kanjaran dan salah seorang murid utama berhasil menggunting
senjata si mayat hidup. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, tiga buah senjata
itu mengapung di udara.
Pada saat yang bersamaan, pedang di tangan salah seorang murid utama tepat
membeset tubuh si mayat hidup, sehingga terjajar beberapa langkah ke belakang.
Ketiga orang itu bergegas berlompatan mundur menjauhi si mayat hidup. Ternyata
dari luka di perutnya keluar cairan hijau yang menebarkan bau busuk yang sangat
menusuk hidung.
"Hoeeek...!"
Seketika ketiga orang itu memuntahkan isi perutnya karena pengaruh bau busuk
itu. Kini mereka semua tak kuasa lagi menahan isi perutnya yang mendadak ingin
keluar. Luka yang diderita si mayat hidup itu sebenarnya
cukup parah. Tapi sepertinya sama sekali tidak ada pengaruhnya. Dan selagi
keempat orang itu tengah tak berdaya, si mayat hidup melesat mengayunkan
senjatanya. Crak! Crak...! Kematian demi kematian saling susul ketika pedang di tangan si mayat hidup
membacok ke tubuh empat orang tokoh itu. Darah segar kembali muncrat membanjiri
pelataran Perguruan Perisai Baja.
Setelah menewaskan keempat orang tokoh itu, si mayat hidup kembali berpaling ke
arah murid Perguruan Perisai Baja yang tinggal dua puluh tujuh orang.
"Aaah...!"
Wajah dua puluh tujuh orang murid itu pun pucat seketika. Rasanya nyawa mereka
telah lepas sebelum sempat terkena senjata si mayat hidup. Bahkan beberapa orang
di antaranya langsung jatuh pingsan karena rasa takut yang hebat.
"Aaa...!"
Korban kembali berjatuhan ketika mayat hidup Ki Jaladri mulai membantai murid-
muridnya sendiri.
Darah memercik memenuhi halaman perguruan itu.
Namun demikian, beberapa orang murid nekat melakukan perlawanan sebisanya.
Namun, apalah artinya perlawanan itu" Dan memang akhirnya mereka mati tanpa
mampu melukai si mayat hidup sedikit pun juga. Sementara itu beberapa orang
lainnya langsung melarikan diri tanpa mempedulikan kawan-kawannya.
Kini tempat itu kembali jadi hening. Puluhan mayat bergelimpangan tumpang-
tindih. Bau anyir darah menebar tertiup hembusan angin malam yang semakin
dingin. Mayat hidup Ki Jaladri melangkah kembali ke arah peti matinya. Sekali lompat
saja, tubuh yang kaku itu kembali terbaring di dalamnya. Sedangkan golok di
tangannya masih tetap tergenggam erat Sementara penutup peti mati itu kembali
bergerak menutupinya.
Perlahan-lahan peti mati Ki Jaladri terangkat naik bagai digerakkan tenaga gaib,
lalu terus melayang meninggalkan Perguruan Perisai Baja. Sesaat kemudian, peti
mati itu lenyap ditelan kegelapan sang malam.
*** Malam baru saja berganti pagi ketika kegemparan pecah di Desa Keputih. Para
petani yang sedianya hendak berangkat ke sawah, lari tunggang-langgang kembali
ke desa. Wajah mereka rata-rata terpancar rasa ketakutan hebat.
Ternyata kegemparan itu disebabkan oleh datangnya tujuh orang laki-laki yang
berteriak-teriak histeris sambil mengacung-acungkan pedangnya. Wajah mereka
rata-rata kotor tak terawat. Begitu juga dengan pakaian mereka yang compang-
camping tak ubahnya pakaian pengemis gila.
"Tolong...! Tolong...! Ada orang gila ngamuk...!"
Sambil berlari-lari para petani laki-laki dan perempuan berteriak-teriak
ketakutan.

Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hei, siapa kalian"! Apa maksudnya menakut-nakuti penduduk desa kami?" tegur
seseorang. Dia adalah laki-laki brewok mengenakan baju putih dan celana berwarna hitam.
Tahu-tahu, laki-laki itu telah berdiri menghadang. Tampak di kiri kanannya
berdiri masing-masing seorang laki-laki lain yang juga bersikap galak. Yang di
sebelah kiri bertubuh tinggi
tegap, dan berusia sekitar tiga puluh tahun.
Pakaiannya ketat berwarna biru. Sedangkan yang di sebelah kanan bertubuh sedang,
berusia sekitar dua puluh dua tahun.
Pakaiannya ketat, berwarna hijau. Sepertinya, mereka adalah keamanan desa itu.
Tujuh orang laki-laki bertubuh kotor itu menatap si brewok dengan pandangan
kosong dan ketakutan.
Melihat dari cara memandang, dapat diduga kalau mereka memang tidak waras.
Si brewok dan dua orang kawannya terkejut melihat cara memandang tujuh orang
itu. Sejenak mereka menjadi bingung karena tak tahu harus berbuat apa.
"Kakang, kelihatannya mereka tidak waras!" tegas laki-laki berbaju biru yang
berada di sebelah kiri si brewok.
"Ya! Sepertinya memang begitu, Adi. Entah harus bagaimana kita menghadapinya?"
sahut si brewok terlihat agak bingung begitu mengetahui kalau yang dihadapi
adalah orang-orang yang tidak waras.
"Hm.... Dari mana mereka datang?" gumam laki-laki berbaju hijau, seperti
bertanya pada dirinya sendiri.
"Coba dekati dan tanya baik-baik, Kakang," usul laki-laki berbaju biru. Wajahnya
yang cukup bersih dan tampan itu terlihat agak khawatir.
"Hm...," si brewok hanya bergumam mendengar usul salah seorang kawannya. Setelah
berpikir sejenak, kakinya melangkah perlahan mendekati ketujuh orang itu.
Belum lagi si brewok sempat melontarkan
pertanyaan, ketujuh orang laki-laki tak waras itu berteriak-teriak ketakutan.
"Jangan.... Jangan bunuh kami.... Ampun...!" ratap salah seorang dari tujuh
laki-laki gila itu dengan wajah ketakutan.
Ketujuh laki-laki gila itu bergerak mundur. Mata mereka tampak bergerak liar,
penuh rasa takut. Jelas sekali kalau rasa ketakutan itu tidak dibuat-buat.
Tentu saja hal itu membuat si brewok menjadi semakin heran.
"Tenanglah, Kisanak. Kami tidak bermaksud melukai atau membunuh kalian," bujuk
laki-laki brewok. Sambil berkata demikian, si brewok meneruskan langkahnya
mendekati mereka.
"Tidaaak...! Jangaaan...!"
Wajah yang semakin pucat bagaikan dilanda rasa takut yang hebat itu terus
bergerak mundur.
Beberapa saat kemudian, mereka berhenti. Namun tiba-tiba tubuh mereka menegang
dan kemudian bergetar bagai tengah menderita demam yang hebat!
"Keparat kau, Iblis! Kubunuh kau...! Heaaat..!"
Tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak marah. Rupanya rasa takut yang
memuncak, membuatnya nekat. Sambil berteriak-teriak kalap, laki-laki gila yang
berada paling depan melompat menerjang si brewok disertai ayunan pedang.
"Kubunuh kau...! Kubunuh kau...!"
Sambil terus berteriak-teriak kalap, laki-laki gila itu menyabetkan pedangnya
berkali-kali. Si brewok yang tidak menyangka akan mendapat perlakuan demikian, bergegas
menghindari bacokan pedang si gila. Kemudian, ia melompat mundur jauh ke
belakang ketika serangan itu semakin cepat dan ganas!
Berbarengan dengan mundurnya si brewok, enam orang laki-laki gila lainnya
melompat menerjang si
brewok yang saat itu sudah dekat dengan dua orang kawannya.
Sadar kalau pertarungan tak mungkin dapat dihindari, si brewok dan dua orang
temannya bergegas mencabut senjata masing-masing. Karena tidak melihat jalan
lain, maka ketiga orang keamanan desa itu menggerakkan senjata untuk melakukan
perlawanan. Wuk! Wut..! "Aaah...!"
Tiga orang keamanan Desa Keputih itu saling menghindari serangan tujuh orang
laki-laki gila itu.
Mereka terkejut sekali ketika sadar kalau tujuh orang gila itu ternyata bukan
orang sembarangan. Bahkan sepertinya memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah!
Tentu saja hal ini membuat tiga orang keamanan desa itu terdesak hebat.
Pertarungan yang tidak seimbang dan men-
debarkan itu terus berlangsung sengit. Beberapa orang penduduk yang menyaksikan
dari tempat-tempat tersembunyi seketika menjadi cemas. Karena, tiga orang
keamanan desa itu tampak terdesak.
"Cepat laporkan kepada Ki Jonggol sebelum mereka terbunuh oleh gerombolan laki-
laki gila itu!"
perintah seorang laki-laki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun kepada
laki-laki muda yang hanya menonton di sebelahnya.
"Baik, Ki!" jawab si pemuda bergegas keluar dari persembunyiannya.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera berlari untuk melaporkan
peristiwa itu kepada orang yang bernama Ki Jonggol.
Sekitar sepuluh tombak dari tempat pertempuran, tampak seorang pemuda tampan
berjubah putih berdiri tegak mengawasi jalannya pertarungan.
Wajahnya yang bersih dan tampan itu tampak tenang mengawasi pertempuran yang
berlangsung seru itu.
"Hm...."
Pemuda tampan itu hanya bergumam lirih ketika lagi-lagi ketiga orang keamanan
desa itu harus bergulingan menghindari sabetan pedang ketujuh orang gila itu.
Meskipun serangan tujuh orang gila itu tampak sembarangan, namun cukup
mengandung tenaga dalam. Akibatnya, ketiga orang keamanan desa itu sepertinya
tak mampu mengatasi. Dan kini, keselamatan mereka semakin terancam.
"Hm.... Gerakan ketujuh orang gila itu sepertinya telah terlatih baik. Meskipun
kacau, namun tenaga serangan mereka tetap mantap dan membahayakan,"
gumam pemuda tampan berjubah putih, memberikan penilaian terhadap ketujuh orang
gila itu. "Ya. Tapi kalau saja ketujuh orang itu bertarung satu lawan satu, rasanya si
brewok belum tentu akan kalah, Kakang," timpal seorang gadis cantik laksana
bidadari. Gadis jelita itu mengenakan pakaian serba hijau.
Demikian juga dengan kepalanya yang terikat selembar kain yang juga berwarna
hijau. Sudah bisa diduga kalau kedua orang itu adalah Panji dan Kenanga.
"Lihat, Kenanga! Sepertinya ketiga orang itu sudah semakin parah keadaannya.
Rasanya tak lama lagi pasti akan terluka!" sentak Panji yang membuat gadis
jelita itu kembali menolehkan wajah ke arah pertempuran.
Memang benar apa yang dikatakan Panji. Saat itu ketiga orang keamanan Desa
Keputih tampaknya
sudah tidak sanggup bertahan lagi. Karena, ketujuh orang gila itu bagai memiliki
sumber tenaga yang tak pernah habis. Buktinya, walaupun pertempuran sudah
berlangsung cukup lama, namun orang-orang gila itu masih saja nampak segar bagai
tak merasa lelah.
Des! Buk! "Aaakh...!"
Tubuh dua orang teman si brewok terjungkal ketika sebuah tendangan dan pukulan
lawan tepat menghantam tubuh mereka. Cepat-cepat kedua orang itu bergulingan
menjauhi tempat itu.
Wut! Wut! Sabetan pedang dua laki-laki gila yang mengejar dua orang keamanan desa itu
berhasil dihindari.
Kemudian tubuh dua orang keamanan desa itu melenting ke atas, lalu mendarat
manis beberapa tombak dari dua penyerangnya.
"Kubunuh kau! Kubunuh kau...!"
Sambil terus berteriak-teriak, dua orang laki-laki gila itu terus mengejar
lawannya. Wajah mereka tampak semakin beringas bagai binatang buas kelaparan.
Wajah dua orang keamanan desa itu semakin pucat. Saat itu dua bilah pedang lawan
sudah meluncur ke arah tubuhnya. Dengan gerakan yang semakin melemah, kedua
keamanan desa itu mengangkat senjata untuk menangkis serangan.
Trang! Trang! "Aaah...!"
Serangan itu memang berhasil digagalkan. Namun karena tenaga sudah semakin
lemah, maka kedua senjata mereka terpental setelah menangkis bacokan yang
didorong tenaga dalam tinggi itu. Dua orang itu
hanya dapat memejamkan matanya penuh
kepasrahan. Karena, pada saat itu pedang di tangan lawan-lawannya sudah kembali
berkelebat mengancam tubuh mereka.
Wut! Wut! Tak! Tak! "Aaargh...!"
Terdengar jeritan keras yang berasal dari mulut kedua orang gila itu. Tubuh
mereka langsung mundur sambil memegangi tangan kanan yang tergantung lumpuh.
Sedangkan pedang mereka terjatuh ke atas tanah.
Rupanya pada saat yang gawat bagi kedua orang keamanan desa itu, tiba-tiba
meluncur dua buah batu kecil yang melesat dengan kecepatan kilat. Dua buah batu
itu tepat menghantam pergelangan kedua orang gila yang sudah beringas itu,
sehingga senjatanya terlepas dari genggaman. Dengan demikian, selamat-lah nyawa
dua orang keamanan desa itu.
"Eh...!"
Dua orang keamanan desa itu seketika heran saat sambaran pedang lawan tak juga
datang. Mereka semakin heran ketika melihat dua orang gila yang semula hendak
membunuh, tampak tengah
menyeringai menahan sakit. Dua orang gila itu menatap dua orang keamanan desa
dengan wajah agak gentar.
Sementara itu, si brewok yang tengah dikeroyok lima laki-laki gila lainnya,
tengah mati-matian menyelamatkan diri. Tubuhnya terus bergulingan menghindari
sambaran pedang lawan-lawannya. Namun, karena gerakannya sudah semakin lemah dan
lambat, maka dia tak dapat lagi menghindari sabetan pedang lawan.
Laki-laki brewok itu telentang pasrah menanti datangnya maut yang siap
menjemput. Wut! Pedang salah seorang lawan menderu tajam siap membelah tubuh laki-laki brewok
itu. Pada saat yang berbahaya itu, sesosok bayangan putih berkelebat laksana
sambaran kilat. Maka....
Plak! "Aaah...!"
Tubuh orang gila yang siap merajam tubuh si brewok itu terjengkang ke belakang
akibat tepisan tangan bayangan putih yang berkelebat tadi. Dan sebelum kelima
laki-laki gila itu menyadari apa yang terjadi, tubuh bayangan putih itu kembali
berkelebat laksana hantu.
Terdengar suara tamparan lima kali berturut-turut yang disusul robohnya kelima
laki-laki gila itu, sehingga diam tak bergerak-gerak lagi. Tamparan itu rupanya
telah membuat mereka roboh pingsan.
"Heaaah...!"
Dua orang lain yang tadi menyerang dua teman si brewok berteriak marah! Mereka
meraung keras bagai harimau luka, lalu serentak melompat menerjang sosok berbaju
putih yang tengah berdiri menatapi lima orang yang telah pingsan tadi.
Begitu dua orang itu tiba di dekatnya, sosok baju putih itu langsung berbalik.
Dua kali tangannya bergerak melakukan tamparan perlahan. Tanpa dapat dicegah
lagi, tubuh kedua orang itu pun roboh pingsan menyusul yang lainnya.
*** 3 "Terima kasih atas pertolonganmu, Kisanak," ucap laki-laki brewok sambil
membungkuk hormat, diikuti dua orang temannya.
"Ah! Janganlah terlalu sungkan, Kisanak. Ini memang sudah menjadi kewajiban
kita," sambut pemuda berjubah putih, seraya membalas peng-hormatan ketiga orang
keamanan desa itu.
"Kakang, mengapa tidak dibunuh saja orang-orang gila itu" Bukankah setelah sadar
nanti mereka akan membuat keonaran kembali?" kata gadis jelita yang berpakaian
serba hijau sambil menghampiri sosok berjubah putih yang tidak lain Panji atau
lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih.
"Kurasa tidak perlu, Kenanga. Kulihat mereka sepertinya bukan orang gila
sungguhan. Dari sikap dan tingkah laku mereka tadi, aku menduga kalau mereka
telah mengalami suatu kejadian yang membuat jiwa dan pikiran terguncang. Aku
akan mencoba memeriksanya. Siapa tahu mereka belum terlambat untuk disembuhkan,"
sahut Panji tidak menyetujui usul yang diajukan kekasihnya.
"Apakah Kisanak bertiga tidak kenal ketujuh orang gila ini?" tanya Kenanga
mengalihkan pandangannya kepada ketiga orang keamanan Desa Keputih itu.
"Sayang sekali kami tidak mengenalnya, Nisanak.
Sepertinya mereka berasal dari tempat yang cukup jauh," jawab laki-laki brewok
yang kelihatannya merupakan Ketua Keamanan Desa Keputih.
Panji dan Kenanga serta yang lain menolehkan
kepala ketika mendengar derap kaki kuda mendatangi tempat itu. Tidak lama
kemudian, tampak tiga ekor kuda yang ditunggangi tiga orang laki-laki gagah.
"Siapakah mereka?" tanya Kenanga pelan.
Sambil berkata demikian, kepala gadis itu menoleh ke arah si brewok. Jelas
pertanyaan itu ditujukan kepada si brewok.
"Orang tua yang berada di tengah adalah kepala desa kami. la dipanggil dengan Ki
Jonggol. Sedangkan dua orang yang berada di kiri kanannya adalah para pembantu
utamanya," jawab laki-laki brewok itu menerangkan.
Setelah menjawab pertanyaan Kenanga, si brewok bergegas menyambut kepala desa
itu bersama dengan dua orang pembantunya.
Begitu tiba di tempat kejadian, laki-laki berusia setengah baya yang bernama Ki
Jonggol itu bergegas melompat turun dari atas kudanya. Ringan sekali gerakannya.
Menandakan kalau kepala desa itu tidak bisa dianggap enteng. Sementara dua orang
pembantu utamanya ikut melompat turun dari atas punggung kuda masing-masing.
"Ada apa ini, Gedaran?" tanya Ki Jonggol kepada si brewok yang ternyata bernama
Gedaran, sambil sepasang matanya berkeliling merayapi sekitar tempat itu.
Kepala desa itu mengerutkan kening ketika pandangannya bertemu dengan Panji dan
Kenanga. la menganggukkan kepalanya ketika melihat pemuda berjubah putih itu mengangguk
hormat ke arahnya.
"Begini, Ki...."
Laki-laki brewok yang bernama Gedaran itu pun segera menceritakan kejadian yang
dialami. Sesekali kedua orang temannya ikut pula membantu, me-
lengkapi keterangan si brewok.
"Untunglah kami ditolong pemuda tampan berjubah putih itu, Ki. Kalau tidak,
mungkin kami sudah tewas," kata Gedaran menutup keterangannya.
"Hm.... Jadi pemuda berjubah putih itu juga yang telah merobohkan ketujuh orang
gila itu?" tanya Ki Jonggol sambil mengarahkan pandangannya kepada Panji dan
Kenanga. Setelah mendapat keterangan dari Gedaran, Ki Jonggol segera melangkahkan kakinya
mendekati Panji dan Kenanga. Langkah kepala desa itu terlihat ringan dan mantap.
Ini satu bukti lagi kalau kepala desa itu memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
"Terima kasih atas pertolonganmu kepada ketiga orang pembantuku itu. Bolehkah
aku tahu, siapa nama kalian berdua?" ucap Ki Jonggol sambil menganggukkan
kepalanya kepada Panji dan Kenanga.
"Ah! Hanya suatu kebetulan saja, Ki. Namaku Panji. Sedangkan gadis ini adalah
tunanganku yang bernama Kenanga," sahut Panji memperkenalkan diri kepada kepala
desa itu. "Hm.... Panji... Rasanya nama itu sudah pernah kudengar" Panji seorang pemuda
tampan yang selalu mengenakan jubah putih dengan sebilah pedang lentur yang
selalu melingkar di pinggangnya. Anak Muda, salahkah dugaanku?" tanya Ki Jonggol
meminta ketegasan dari pemuda tampan berjubah putih yang tengah berdiri di
hadapannya. "Hm.... Menurutku, banyak sekali pemuda yang memiliki ciri-ciri seperti itu, Ki.
Dan lagi...."
"Kalau yang Ki Jonggol maksudkan adalah Pendekar Naga Putih, ya dia inilah
orangnya!" potong Kenanga cepat sambil menyunggingkan senyum menggoda di
bibirnya ke arah Panji yang hanya
melongo karena ucapannya terputus.
"Ah! Sudah kuduga kalau aku berhadapan dengan pendekar muda yang tersohor itu.
Maafkanlah sikap-ku yang kurang hormat tadi, Pendekar Naga Putih.
Dan selamat datang di Desa Keputih ini," ucap Ki Jonggol.
Wajah kepala desa itu langsung berseri gembira.
Padahal, semula agak angkuh.
Panji menjadi tidak enak hatinya mendengar Ki Jonggol memuji-muji dirinya


Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedemikian rupa.
Pemuda itu mengerling ke arah Kenanga dengan sinar mata mengancam.
"Awas kau...!" desis Panji perlahan, karena tidak ingin kata-katanya didengar
orang lain. "Hi hi hi...!" Kenanga hanya tertawa menggoda mendengar ancaman kekasihnya itu.
Cepat-cepat tubuhnya digeser menjauhi pemuda itu.
"Hm.... Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap ketujuh orang gila itu,
Pendekar Naga Putih?" tanya Ki Jonggol meminta pendapat pemuda itu.
"Panggilah aku dengan nama Panji saja, Ki!" pinta Panji yang merasa risih
mendengar kepala desa itu memanggil julukannya.
"Ha ha ha...! Baiklah, Nak Panji," sahut Ki Jonggol sambil tertawa terbahak-
bahak. "Memang tidak salah cerita-cerita yang kudengar di dunia persilatan.
Pendekar Naga Putih adalah seorang pendekar yang tidak ingin menonjolkan nama
julukannya. Kau membuatku semakin bertambah kagum, Panji. Baiklah.
Kalau begitu, apa tindakan yang akan kau ambil terhadap ketujuh orang gila itu?"
"Hm.... Apakah Ki Jonggol tidak dapat mengenali siapa mereka?" tanya Panji
sebelum mengambil keputusan langkah apa yang akan diambil.
"Tidak. Aku tidak kenal tujuh laki-laki gila itu,"
sahut kepala desa itu cepat
Nampak di wajah Pendekar Naga Putih tersirat kekecewaan, karena Ki Jonggol tidak
mengenali tujuh laki-lagi gila itu.
"Tapi..., eh! Nanti dulu!" sentak Ki Jonggol begitu sepasang matanya menangkap
sesuatu yang membuatnya mengerutkan kening.
Bergegas orang tua itu membungkuk di dekat salah seorang dari tujuh laki-laki
gila itu. Perlahan-lahan tangannya terulur menyibak pakaian yang compang-camping
itu. "Perguruan Perisai Baja...!" desis Ki Jonggol terkejut begitu mengenali lambang
yang terdapat di dada kiri pakaian orang itu. Sejenak laki-laki tua itu termangu
tanpa berkata sepatah pun.
"Kau mengenali mereka, Ki?" tanya Panji ketika melihat orang tua itu terdiam.
"Aku tidak kenal mereka. Tapi aku kenal dengan guru mereka yang bernama Ki
Jaladri. Tapi, bagaimana murid-murid orang tua itu sampai berkeliaran ke tempat
ini" Bahkan dalam keadaan kurang waras.
Hm.... Apa yang telah menimpa mereka?" tanya orang tua itu dengan suara berdesah
agak pelan. Sepertinya, pertanyaan itu ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Menurut pengamatanku, mereka sepertinya telah mengalami suatu peristiwa hebat
yang membuat jiwa dan pikiran terguncang. Entah peristiwa apa sehingga
sedemikian hebat akibatnya," duga Panji memberi gambaran tentang keadaan tujuh
orang gila yang ternyata adalah murid Perguruan Perisai Baja.
"Panji. Dapatkah kau menolong mengembalikan ingatan mereka" Mungkin kita akan
mendapat keterangan lebih jelas apabila mereka dapat berpikir waras kembali," pinta Ki
Jonggol seraya bergegas bangkit dan menatap pemuda itu penuh harap.
"Entahlah, Ki. Tapi aku akan berusaha menyem-buhkan mereka'" sahut Panji.
Pendekar Naga Putih memang tak berani menjanjikan apa-apa, karena memang belum
melakukan pemeriksaan terhadap ketujuh orang itu.
"Kalau begitu, mari singgah di tempatku. Biar orang-orangku yang akan membawa
tujuh orang itu,"
usul Ki Jonggol seraya menatap Panji dan Kenanga bergantian.
"Baiklah, Ki. Mari," kata Panji menerima ajakan Ki Jonggol untuk mengobati
ketujuh orang itu di tempat kediamannya.
Dengan wajah berseri, Ki Jonggol segera
memerintahkan pembantunya untuk menyiapkan dua ekor kuda. Panji dan Kenanga diam
saja tidak berusaha mencegah niat baik Kepala Desa Keputih itu, karena tidak
ingin membuat kegembiraan Ki Jonggol terganggu.
Sambil tak henti-hentinya bercerita, Ki Jonggol menjalankan kudanya perlahan-
lahan diapit Panji dan Kenanga. Sedangkan dua orang pembantu utamanya berada di
belakang mengikuti.
*** "Bagaimana keadaan mereka, Panji" Apakah masih bisa disembuhkan?" tanya Ki
Jonggol ketika melihat pemuda itu keluar dari kamar tempat tujuh orang murid
Perguruan Perisai Baja dirawat
"Untunglah belum terlalu parah, Ki. Sehingga tidak terlalu sulit untuk
mengobatinya," jawab Panji sambil
melangkah menghampiri Ki Jonggol yang duduk bersama Kenanga di ruang tengah.
Panji menjatuhkan tubuhnya di atas sebuah kursi yang terbuat dari kayu jati. Di
atas meja tampak telah terhidang segelas teh hangat dan juga beberapa jenis
penganan. Bergegas pemuda itu meneguk minuman yang telah disediakan begitu
dipersilakan tuan rumah.
"Apakah mereka sudah sadar dari pingsannya?"
tanya Ki Jonggol lebih lanjut. Sepertinya laki-laki tua itu sudah tidak sabar
untuk segera mengetahui apa yang telah terjadi dengan tujuh orang murid
sahabatnya itu.
"Sudah, Ki. Tapi mereka masih memerlukan waktu beberapa hari untuk memulihkan
tenaga. Sebab begitu ingatan mereka sudah pulih, mereka masih merasa lelah. Tapi
kita tidak dapat mengorek keterangan tentang apa saja yang telah dilakukan
selama kehilangan ingatan. Hanya kejadian sebelum ingatan mereka hilang itulah
yang dapat diketahui.
Oh, ya. Apakah Ki Jonggol tidak pernah berkunjung ke Perguruan Perisai Baja?"
tanya pemuda itu begitu teringat kalau Ketua Perguruan Perisai Baja itu adalah
salah seorang sahabat Kepala Desa Keputih.
"Pernah, beberapa hari yang lalu. Saat itu, kedatanganku untuk menyatakan bela
sungkawa atas wafatnya Ketua Perguruan Perisai Baja yang bernama Ki Jaladri,
sahabatku itu. Tapi di sana tidak kutemui kejadian-kejadian aneh. Kalau hanya
sekadar ber-sedih, wajarlah. Karena mereka telah kehilangan guru yang dicintai,"
jawab Ki Jonggol yang memang pada saat kematian Ki Jaladri ikut hadir di
perguruan itu. "Hm, jadi Ketua Perguruan Perisai Baja sudah meninggal" Apakah meninggalnya
karena terbunuh
dalam perkelahian atau karena menderita sakit?"
tanya Panji lagi, yang sempat terkejut ketika mendengar penjelasan Ki Jonggol.
"Pertanyaan itulah yang belum terjawab oleh sahabat-sahabat Ki Jaladri, termasuk
aku. Karena, kematiannya memang aneh sekali. Menurut
keterangan muridnya, ia tidak menderita sakit apa-apa. Bahkan tak ada luka
sedikit pun, karena dia memang tidak tewas dalam perkelahian. Cobalah kau pikir,
Panji. Apakah orang yang begitu sehat, bisa mendadak meninggal begitu saja"
Sedangkan pagi harinya, para murid masih bertemu dengannya.
Bahkan pelayan yang menyiapkan makanan untuknya pun mengatakan kalau pagi itu Ki
Jaladri masih segar bugar. Selesai makan, Ki Jaladri masuk ke kamarnya.
Dan ketika si pelayan mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban," Ki Jonggol
berhenti sejenak dan meneguk minumannya.
"Lalu, bagaimana seterusnya, Ki?" tanya Kenanga yang sudah tidak sabar ingin
segera mendengar penyelesaian cerita itu.
"Sabarlah, Kenanga. Biarkanlah Ki Jonggol beristirahat sejenak," kata Panji
sambil menggenggam jemari kekasihnya yang terasa hangat itu.
"Hm.... Sampai di mana ceritaku tadi?" tanya Ki Jonggol setelah meneguk habis
air minumnya. "Sampai si pelayan yang mengetuk-ngetuk pintu kamar Ki Jaladri," sahut Kenanga
tak sabar. Nada suara gadis itu terdengar agak jengkel, karena merasa seolah-
olah Ki Jonggol memang sengaja hendak menggodanya.
"Oh, ya. Setelah lama mengetuk tapi tak juga mendapat sahutan, pelayan itu
memberanikan dirinya membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci.
Dia menjadi heran ketika melihat majikannya tertidur.
Namun Ki Jaladri ternyata telah tertidur untuk selama-lamanya," sampai di situ,
Ki Jonggol mengakhiri ceritanya.
"Apakah tidak ada tanda-tanda keracunan?" tanya Panji begitu kepala desa itu
terdiam. "Seperti yang kukatakan tadi, Ki Jaladri tak ubahnya meninggal secara wajar,"
jawab Ki Jonggol me-nekankan.
"Aneh...!" gumam Panji, heran.
"Ya, memang sangat aneh!" sahut Ki Jonggol dengan suara mendesah mengulangi
Lentera Maut 3 Pedang Kayu Cendana Karya Gan K H Kilas Balik Merah Salju 4
^