Penggembala Mayat 3
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat Bagian 3
perampok itu dapat mengganggu ketenangan rakyat?" tanya Walanggata yang merasa
heran, karena para perampok dibiarkan merajalela begitu saja.
"Ah! Kau seperti tidak tahu saja, Walanggata. Para perampok itu tidak menetap di
tempat itu. Entah dari mana mereka datang" Beberapa bulan sebelum kau datang
untuk mengabdikan diri ke kadipaten, aku sudah pernah ditugaskan Gusti Adipati
untuk menumpas gerombolan perampok itu. Tapi, tak satu pun perampok yang
kutemukan. Entah ke mana perginya" Seolah-olah mereka telah mengetahui kalau
hari itu prajurit kadipaten akan mengadakan
pembersihan. Itulah yang membuatku heran," jelas Ki Kalianji menutup ceritanya.
"Hm.... Memang mengherankan," desis Walanggata bergumam pelan.
Setelah mendengar penuturan Ki Kalianji itu, Walanggata pun terdiam.
Selang beberapa waktu kemudian, kedua
pengawal pribadi Adipati Gamang Sati itu mulai menyusuri jalan setapak yang
cukup rata, sehingga dapat melarikan kuda meskipun tidak terlalu cepat.
Sebab tangan mereka kadang-kadang harus
menyibakkan ranting pohon yang menjulur ke arah jalan setapak itu. Dan baru saja
mereka akan mempercepat lari kudanya, tampak di tengah jalan ada sesuatu yang
mencurigakan. "Hm.... Ada apa pula itu" Mengapa orang itu menggeletak di tengah jalan?" gumam
Ki Kalianji yang berada di depan.
Sebagai tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman, kecurigaannya langsung
timbul. Ditarik-nya tali kekang untuk memperlambat lari kudanya.
"Ada apa, Ki?" tanya Walanggata yang segera memperlambat lari kudanya.
Sambil berkata demikian, kepalanya segera dijulurkan untuk memandang ke depan
melalui bahu Ki Kalianji.
"Eh, siapa pula orang yang tergeletak di tengah jalan itu?" tanya Walanggata
seraya mengerutkan kening, melihat pemandangan itu.
"Hati-hati, Walanggata! Siapa tahu ini merupakan jebakan. Ingat, kita tengah
menjalankan tugas! Jadi bukan tidak mungkin kalau lawan sudah mengetahui
kedatangan kita," Ki Kalianji menasihati kawan seperjalanannya. Orang tua itu
sengaja merendahkan
suaranya agar tidak terdengar orang lain.
"Apakah tempat Perguruan Perisai Baja sudah dekat, Ki?" tanya Walanggata yang
rupanya tidak mengetahui letak perguruan itu.
"Belum. Tempat itu masih cukup jauh. Tapi, siapa tahu orang-orang itu sengaja
menghadang kita di tempat ini agar tidak terlalu mencolok," jawab Ki Kalianji,
kali ini malah berbisik. Memang, jarak mereka dengan orang yang telentang itu
sudah semakin dekat Begitu jarak mereka sudah semakin dekat, Ki Kalianji menjadi
heran ketika melihat orang itu sama sekali tidak nampak terluka. Dengan kening
berkerut, laki-laki tua itu melompat dari atas punggung kudanya.
"Maaf, Kisanak. Berilah kami jalan untuk lewat,"
pinta Ki Kalianji sambil membungkuk sopan.
Laki-laki itu berkata demikian karena orang yang menghalangi jalannya tampak
memandangnya. Orang itu sama sekali tidak tertidur, apalagi terluka.
Tanpa sadar, Ki Kalianji melangkah mundur ketika matanya bertemu dengan sinar
mata yang berkilat tajam. Kilatan mata yang ternyata dipancarkan oleh seorang
kakek tua itu demikian berpengaruh, sehingga sempat membuat hati Ki Kalianji
berdebar tegang.
"He he he...! Boleh aku tahu, ke mana tujuan kalian, Kisanak?" tanya kakek itu.
Dia sama sekali tidak mempedulikan permintaan Ki Kalianji. Malah sambil terkekeh
menyeramkan, ia bertanya kepada tokoh Kadipaten Jagalan itu.
"Maaf. Kami hanyalah dua orang pengembara yang hanya kebetulan lewat. Dan kami
mohon Kisanak sudi memberi jalan untuk lewat," sahut Ki Kalianji.
Kali ini suaranya lebih tegas, karena sudah mulai
menduga kalau kakek tua itu sengaja mencari gara-gara.
"He he he...! Sombong sekali kau, anjing-anjing peliharaan Gamang Sati. Rupanya
kehidupan yang mewah membuat kalian tidak lagi memandang sebelah mata kepada
orang lain. Apakah kalian telah merasa paling hebat" Kalianji, Walanggata, jawab
pertanyaanku!" bentak kakek itu.
Bukan main terkejutnya Ki Kalianji dan
Walanggata ketika kakek itu menyebut nama mereka.
Sejenak keduanya meneliti wajah dan pakaian kakek itu. Dicobanya untuk
mengingat-ingat, siapa kakek tua itu sebenarnya.
Sebelum kedua orang jagoan kadipaten itu sempat mengenali kakek tua di
hadapannya, tiba-tiba seorang pemuda tampan dan jangkung muncul dari balik
semak-semak. *** 7 "Paman...!" tegur pemuda tampan itu menyapa Ki Kalianji dan Walanggata. Senyum
licik tampak membayang di wajahnya yang tampan.
"Tuan Muda Ganesha...!" seru kedua orang jagoan kadipaten itu terkejut.
Bergegas mereka membungkuk hormat, karena pemuda itu adalah putra kedua Adipati
Gamang Sati yang menjadi junjungan mereka.
"Apa..., apa yang Tuan Muda lakukan di tempat ini?" tanya Ki Kalianji yang
merasa heran melihat putra junjungannya berada di tempat yang sebenarnya sangat
jauh dari kadipaten.
"Guru, mari ajak mereka ke tempat kita," kata pemuda yang bernama Ganesha,
seraya menoleh kepada kakek tua yang masih telentang di tengah jalan. Dari sini
saja mudah diketahui kalau antara Ganesha dan kakek tua yang menyeramkan itu
terjalin hubungan yang cukup akrab.
"Baik, Tuan Muda," sahut si kakek seraya bangkit dari berbaringnya.
Jelas sekali kalau kakek tua itu sangat menghormati Ganesha. Meskipun pemuda itu
memanggilnya dengan sebutan guru.
"Mari, Paman...," ajak Ganesha.
Kemudian pemuda itu melangkah keluar dari jalan setapak. Sepertinya dia mengajak
kedua jagoan kadipaten memasuki wilayah hutan yang cukup lebat Meskipun
keheranan belum lenyap, tapi kedua jagoan itu melangkah juga mengikuti Ganesha
dan si kakek memasuki hutan.
Tidak berapa lama kemudian, keempat orang itu tiba di sebuah daerah pemukiman
yang hanya terdapat beberapa buah rumah yang dibuat asal jadi.
"Inilah tempat tinggalku, Paman," jelas Ganesha.
Dipersilakannya kedua orang itu memasuki sebuah rumah yang lebih bagus dari yang
lainnya. Beberapa orang bertampang kasar tampak memperhatikan kedua orang itu dengan
kening berkerut.
Tapi mereka tampak sangat menghormati Ganesha.
"Hm.... Tempat apa ini" Mengapa Tuan Muda Ganesha memilih tinggal di tempat ini
daripada di kadipaten?" gumam Ki Kalianji dalam hati. Sepasang matanya terus
merayapi curiga sekelilingnya.
"Apa maksudmu mengajak kami ke tempat ini, Tuan Muda?" tanya Ki Kalianji begitu
mereka telah duduk mengitari sebuah kayu yang terbuat dari batang pohon besar.
"Sebenarnya begini, Paman Kalianji dan Walanggata...."
Ganesha lalu menceritakan tentang rencananya kepada kedua orang jagoan kadipaten
yang kemudian menjadi terkejut setengah mati. Wajah keduanya nampak pucat bagai
tak dialiri darah, karena benar-benar tidak menyangka kalau Ganesha akan berbuat
seperti itu. "Tuan Muda! Sadarkah dengan apa yang kau ucapkan itu" Mengapa Tuan Muda sampai
hati mengkhianati Gusti Adipati yang begitu menyayangi-mu" Ini rencana gila! Dan
kuminta Tuan Muda memikirkannya sebelum bertindak. Ingat, Tuan Muda masih belum
terlambat untuk membatalkan rencana ini!" sergah Ki Kalianji menasihati putra
junjungannya itu dengan suara ditekan sehormat mungkin.
"Tidak! Rencana yang telah kususun bersama guruku tetap akan dijalankan.
Ketahuilah, Paman.
Aku hanyalah seorang putra tiri yang lahir dari salah seorang selir Adipati
Gamang Sati. Semua itu kuketahui ketika ayah tengah berbicara dengan bunda.
Katanya, Kakang Anggada akan diangkat sebagai adipati untuk menggantikan beliau.
Itu sama artinya dengan mencampakkan aku, Paman!" tegas Ganesha berapi-api.
Jelas sudah kalau pemuda itu akan melakukan pemberontakan untuk merebut
Kadipaten Jagalan.
"Tapi dengan diangkatnya Tuan Muda Anggada nanti, bukan berarti Gusti Adipati
akan mencampak-kanmu, Tuan Muda," Walanggata ikut angkat bicara.
"Sudahlah! Aku tidak ingin banyak bicara lagi.
Sekarang, Paman berdua boleh mengambil
keputusan. Ikut denganku, atau akan menjadi mayat hidup yang akan menggemparkan
Kadipaten Jagalan untuk kedua kalinya!" Ganesha mulai mengancam kedua orang
jagoan kadipaten itu.
"Jadi..., jadi rupanya Tuan Muda yang telah mengirimkan mayat hidup Ki Jaladri
untuk mengacau-kan Kadipaten Jagalan?" tebak Ki Kalianji kembali terkejut
mendengar ucapan yang keluar dari mulut putra tiri junjungannya itu.
"Ya! Dan kalau Paman berdua menolak ajakanku,.
maka akan bernasib sama dengan Ki Jaladri!" tegas Ganesha dengan sepasang
matanya yang mengancam.
"Keparat! Rupanya kau telah berubah menjadi iblis, Ganesha! Kau sengaja membunuh
dan mem-peralat Ketua Perguruan Perisai Baja agar niat busuk-mu terlaksana! Dan
kami pun tidak sudi berkomplot denganmu!" geram Ki Kalianji dengan wajah gelap.
Setelah berkata demikian, tubuh laki-laki tua itu segera melompat keluar,
diikuti Walanggata.
"Baiklah. Kalau itu sudah menjadi keputusan kalian, semoga saja tidak menyesal!"
desis Ganesha menampakkan sifat aslinya yang kejam.
Sesaat kemudian, tubuh pemuda jangkung itu pun melesat mengejar kedua orang
jagoan Kadipaten Jagalan itu. Ganesha tertawa terbahak-bahak ketika melihat Ki
Kalianji dan Walanggata sudah terkepung puluhan orang anak buahnya.
"Kau mimpi Ganesha! Pasukanmu yang kecil ini tidak mungkin mampu menghadapi
prajurit-prajurit Gusti Adipati yang berpuluh kali lebih banyak dari pasukanmu
ini!" ejek Walanggata ketika melihat jumlah pengikut pemuda itu yang hanya
beberapa puluh orang saja.
"Ha ha ha...! Jangan lupa, Walanggata! Guruku dengan mudah dapat membunuh
beberapa orang prajurit kadipaten dan membangkitkannya kembali untuk
menghancurkan pasukan junjunganmu itu!"
sahut Ganesha. Pemuda itu begitu yakin akan kepandaian gurunya yang berwajah lusuh itu.
Sepertinya orang tua itu tidak pernah terkena air selama hidupnya, sehingga
keadaannya demikian lusuh dan kotor.
"Hm.... Pantas saja selama ini ia tidak pernah suka belajar dengan kita. Rupanya
diam-diam telah men-dapatkan seorang guru yang jauh lebih pandai dari kita
berdua," gumam Ki Kalianji dengan suara rendah.
"Kurasa begitu, Ki. Dan kita harus berhati-hati untuk menghadapinya. Yang jelas,
kita belum mengetahui sampai sejauh mana pemuda keparat itu mempelajari ilmu
dari gurunya," kata Walanggata mengingatkan, kemudian bergegas mencabut
senjatanya. Ki Kalianji pun tidak ingin ayal-ayalan lagi. Cepat-cepat senjata yang berupa
sepasang tongkat hitam sepanjang tiga jengkal diloloskan.
Wungngng! Wungngng!
Sepasang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji bergerak saling bersilangan hingga
menimbulkan deruan angin tajam. Sadar kalau keadaan mereka berdua tengah
terancam, Ki Kalianji langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Demikian pula halnya Walanggata. Senjatanya yang berupa sebilah golok besar
bercagak pada ujungnya, sudah melintang di depan dada. Sepasang matanya bergerak
memutar memperhatikan gerak langkah para pengepungnya.
"Mundur kalian! Buat lingkaran agar dua ekor tikus itu tidak dapat lari ke mana-
mana!" perintah Ganesha sambil melangkah tegap ke tengah lingkaran menghampiri
kedua jagoan kelas satu Kadipaten Jagalan.
"Kau ingin menghadapi kami sendirian, Ganesha?"
tanya Ki Kalianji heran begitu melihat dan mendengar ucapan pemuda jangkung itu.
"Ha ha ha...! Aku hanya ingin membuktikan kalau ilmu yang kalian miliki itu
hanya ilmu pasaran yang rendah!" ejek pemuda jangkung itu sombong. "Nah, jagalah
pukulanku! Hiaaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, tubuh pemuda jangkung itu melayang disertai
kibasan tangannya yang menimbulkan sambaran angin kuat!
Ki Kalianji yang berada paling dekat dengan pemuda itu bergegas menggeser
tubuhnya menghindari pukulan lawan. Begitu mengetahui kalau yang dihadapi adalah
Ganesha, tokoh itu segera menyimpan senjatanya. Selama ini, dia tahu betul
kalau Ganesha tidak pernah berlatih silat. Lagi pula tokoh tua itu merasa malu
kalau menghadapi lawannya harus menggunakan senjata andalan.
Wut! Bet! Dua buah tamparan telapak tangan Ganesha mengenai tempat kosong, karena Ki
Kalianji sudah terlebih dahulu mengelak. Ki Kalianji langsung melakukan serangan
balasan yang tidak kalah dahsyat.
Ganesha sama sekali tidak berusaha menyingkir ketika pukulan lawan meluncur ke
tubuhnya. Pemuda jangkung itu mendengus kasar sambil mengangkat tangan kanan
untuk memapak pukulan tokoh kosen dari Kadipaten Jagalan. Rupanya Ganesha memang
sengaja hendak mengadu tenaga.
Wut! Plak! "Aaah...!"
Terdengar ledakan keras ketika telapak tangan pemuda jangkung itu bertumbukan
dengan kepalan Ki Kalianji. Tokoh tua dari Kadipaten Jagalan itu berseru
tertahan merasakan tenaga dalam yang tersembunyi di balik lengan pemuda itu
ternyata cukup tinggi. Sehingga pertemuan tenaga dalam itu sempat membuat
tubuhnya bergetar.
"Gila! Tidak kusangka tenaga dalam yang dimilikinya sangat kuat!" desis Ki
Kalianji terkejut.
Cepat kakek tua itu melompat ke belakang dan kembali bersiap.
"Ha ha ha...! Mengapa mundur, Orang Tua" Takut"
Nah! Kalau begitu, gunakanlah senjatamu!" ejek Ganesha yang sepertinya tidak
merasakan apa apa dalam pertemuan tenaga tadi.
"Huh! Jangan sombong dulu, Pemuda Iblis! Aku masih belum kalah!" bentak Ki
Kalianji yang menjadi geram mendengar ejekan pemuda yang pantas
menjadi cucunya itu.
"Lebih baik kalian maju berbarengan daripada akan menyesal nanti," ejek Ganesha
pongah. Sepertinya pemuda itu merasa yakin sekali dengan kepandaian yang dimilikinya.
Hal itu tidaklah terlalu berlebihan, karena Ganesha memang sudah
mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian kedua orang pembantu utama ayah
tirinya itu. Walanggata panas hatinya mendengar ejekan pemuda itu. Dengan wajah gelap,
kakinya melangkah menghampiri Ganesha.
"Kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah!
Tapi janganlah berteriak-teriak menyambat gurumu apabila terdesak atau terluka
nanti!" tegas Walanggata geram. Hatinya benar-benar panas melihat sikap pemuda
itu yang meremehkannya.
"Ha ha ha...! Kau gentar pada guruku, Walanggata"
Jangan khawatir, karena kedua tanganku masih sanggup menundukkan kalian. Nah!
Apa lagi yang ditunggu?" sahut Ganesha sambil tersenyum mengejek.
"Tuan Muda! Orang bijak mengatakan, jika ingin berhasil dalam suatu pekerjaan,
maka janganlah menunda-nuda pekerjaanmu. Nah, silakan Tuan Muda beristirahat.
Biarlah hamba yang akan menghadapi anjing-anjing peliharaan Adipati Jagalan
itu," tiba-tiba kakek tua berwajah kumuh berkata sambil melangkahkan kakinya ke
tengah arena. "Ah, Guru. Berilah kesempatan padaku untuk menguji sampai di mana kemajuan yang
telah kuperoleh. Rasanya, hanya kedua orang inilah yang cocok untuk menguji
kepandaian yang Guru turun-kan," Ganesha mencoba membantah ucapan kakek tua yang
menjadi gurunya itu.
"Tidak, Tuan Muda. Kita harus cepat-cepat membereskan mereka. Sebab, naluriku
merasakan adanya bahaya lain yang akan mengancam dan menghancurkan rencana kita.
Aku tidak dapat mengetahui secara pasti bahaya apa yang akan kita hadapi itu,"
tegas si kakek tidak menerima bantahan muridnya kali ini.
"Tapi.... Tapi, Guru...," Ganesha masih mencoba membantah alasan yang
dikemukakan gurunya.
Wajahnya yang tampan nampak menyiratkan
kekecewaan. "Maaf, Tuan Muda. Kali ini hamba terpaksa tidak bisa meluluskan permintaan Tuan
Muda. Biarlah di lain kesempatan hamba berjanji akan mencari lawan yang dapat
membuatmu tidak merasa sia-sia karena telah mempelajari ilmu-ilmu hamba," kakek
tua itu tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Yah! Kalau memang keputusan Guru tidak dapat ditarik lagi, biarlah kali ini aku
mengalah. Tapi Guru harus menepati janji untuk mencarikan lawan yang benar-benar
dapat membuat hatiku puas!"
Akhirnya Ganesha terpaksa menuruti perintah gurunya. Pemuda jangkung itu
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian bergegas melangkah mundur menjauhi arena.
Sementara itu, seluruh wajah Ki Kalianji dan Walanggata seketika merah mendengar
perdebatan guru dan murid itu. Kedua orang tokoh kosen Kadipaten Jagalan itu
benar-benar merasa terhina.
Betapa tidak" Karena, kedua orang guru dan murid itu enak saja membicarakan
nasib mereka. Seolah-olah, mereka dianggap orang pesakitan yang hukumannya
tengah diputuskan.
"Bangsat! Manusia sombong! Keparat!"
Walanggata yang usianya lebih muda daripada Ki
Kalianji tidak dapat lagi membendung kemarahan yang hampir-hampir meledakkan
dadanya itu. la memaki-maki marah sambil mencabut golok
bercagak yang tadi sudah disimpannya.
"Hiaaat..!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh tokoh Kadipaten Jagalan itu segera melompat
disertai tebasan golok besarnya.
Wut! Angin tajam berhembus keras mengiringi tebasan golok besar bercagak yang
diayunkan Walanggata sekuat tenaga.
"Hm...!"
Kakek berwajah kumuh itu mendengus kasar bernada mengejek. Tubuhnya bergeser ke
samping menghindari tebasan golok Walanggata. Sesaat setelah golok lawan
menyambar lewat, tangan kanan kakek itu cepat melakukan totokan jari-jari
tangannya yang membentuk paruh bangau. Kecepatan pukulan kakek itu hebat sekali,
hingga menimbulkan suara mencicit tajam.
Wusss! Bet! Walanggata melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindari totokan jari tangan
yang mengandung maut itu. Setelah melakukan salto beberapa kali, tokoh Kadipaten
Jagalan termuda itu mendaratkan kedua kakinya beberapa tombak dari lawannya
dengan manis. Rupanya kakek berwajah kumuh itu benar-benar ingin cepat-cepat menyelesaikan
pertarungan. Karena, pada saat tubuh Walanggata melompat ke udara, tubuh kakek itu pun segera
menyusulinya. Sepasang tangannya kali ini membentuk ceng-keraman melebar dan siap meremukkan
batok kepala lawan. "Aaah...!"
Bukan main terkejutnya Walanggata ketika melihat sepasang tangan lawan sudah
mencecar dengan serangan-serangan mematikan. Padahal, posisinya tidak
memungkinkan untuk menghindar. Maka tangan kirinya terpaksa diangkat untuk
memapak patukan tangan kanan lawan. Berbarengan dengan itu, golok bercagaknya
berkelebat membeset perut si kakek.
"Bagus...!" puji kakek lusuh itu.
Mau tak mau dia terpaksa memuji kegesitan dan kesigapan lawannya. Pujian yang
keluar dari mulut kakek itu bukanlah suatu pujian kosong ataupun ejekan. Karena,
apa yang dilakukan Walanggata memang benar-benar mengagumkan. Buktinya, di saat
dirinya terancam, ternyata tokoh itu masih juga sempat melontarkan serangan
berbahaya. Wut! Plak! Plak!
"Aaah...!"
Terdengar suara nyaring ketika sepasang lengan mereka saling bertumbukan. Tubuh
Walanggata terjajar mundur disertai seruan kagetnya. Sepasang tangannya terasa
seperti lumpuh ketika beradu tangan dengan kakek tua itu. Dan sebelum kuda-
kudanya sempat diperbaiki, tubuh lawannya kembali melompat disertai patukan-
patukan sepasang tangan ke seluruh tubuh Walanggata.
Pucat seluruh paras tokoh Kadipaten Jagalan itu.
Dia sadar sepenuhnya kalau kali ini tidak mungkin dapat lolos dari ancaman
sepasang tangan yang berbentuk paruh bangau itu. Walanggata hanya mampu
memejamkan matanya rapat-rapat menanti datangnya maut
"Yeaaat..!"
Pada saat yang berbahaya itu, sesosok bayangan tinggi kurus melesat ke tengah-
tengah arena pertarungan. Sepasang tangan sosok tubuh itu terdorong ke depan
dengan telapak tangan terbuka.
Wusss! Serangkum angin keras bertiup mengiringi dorongan sepasang telapak tangan yang
mengandung tenaga dalam tinggi itu. Gerakannya demikian cepat memotong gerak si
kakek yang tengah meluncur mengancam tubuh Walanggata. Dan....
Bresss! "Aaah...!"
Udara di sekitar arena pertarungan bergetar ketika sepasang tangan sosok tinggi
kurus bertemu telapak tangan guru Ganesha. Rupanya dia telah merubah gerakannya
begitu melihat sosok tubuh tinggi kurus memotong geraknya.
Akibatnya sungguh hebat, tubuh sosok tinggi kurus yang menyambut sepasang
telapak tangan kakek tua itu terlempar keras disertai jeritan kesakitan.
Tubuhnya terus meluncur menuju sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa
yang tumbuh di tepi arena.
Berbarengan dengan meluncurnya tubuh sosok tinggi kurus itu, sesosok bayangan
putih melesat dari arah yang berlawanan. Gerakannya demikian cepat hingga tak
ubahnya sebatang anak panah lepas dari busur.
Tappp! Sosok bayangan putih itu langsung mengulurkan tangannya menangkap sosok tinggi
kurus yang hampir menghantam sebatang pohon besar. Dan
dengan sebuah gerakan indah, bayangan putih itu melenting ke atas melakukan
beberapa kali salto di udara. Tanpa suara sedikit pun, sepasang kakinya mendarat
di atas permukaan tanah.
"Telanlah obat ini. Mudah-mudahan rasa nyeri pada bagian dadamu akan segera
lenyap. Dan beristirahatlah sejenak untuk memulihkan tenagamu yang buyar akibat
benturan keras tadi," ujar si bayangan putih sambil menyerahkan sebutir obat
pulung berwarna putih.
Cepat jari-jari tangan sosok berjubah putih itu bergerak menutup mulut sosok
tinggi kurus yang tak lain Ki Kalianji. Karena, dia melihat bibir orang yang
ditolongnya bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu.
Sementara itu, di arena pertarungan telah bertambah satu orang lagi. Di saat
Walanggata hampir tak mampu lagi melindungi tubuhnya dari ancaman serangan si
kakek, tahu-tahu saja sesosok tubuh ramping yang terbungkus pakaian serba hijau
melesat ke tengah pertarungan. Begitu tiba, dia langsung menusukkan pedangnya ke
arah lawan. "Aaah...!"
Tentu saja kakek itu menjerit kaget ketika tahu-tahu saja ujung pedang yang
mengeluarkan sinar putih keperakan mengancam beberapa bagian tubuhnya. Cepat
tubuhnya dilempar ke belakang, menghindari ujung pedang sosok tubuh yang baru
tiba itu. Cuiiit! Cuiiit!
Pedang di tangan sosok tubuh ramping itu terus mengejar tubuh si kakek yang
telah melompat beberapa tombak ke belakang. Guru Ganesha itu terus melakukan
beberapa kali salto ketika melihat ujung pedang sosok tubuh ramping itu terus
mengejarnya. "Siapa kau, Nisanak"! Mengapa mencampuri urusan kami?" bentak si kakek dengan
wajah gelap. Diam-diam ia merasa terkejut sekali melihat kehebatan ilmu pedang wanita jelita
yang datang-datang langsung menerjangnya itu.
Sosok tubuh ramping itu sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan si kakek.
Dengan sikap acuh, wajahnya dipalingkan kepada Walanggata yang saat itu juga
tengah menatapnya.
"Te... terima kasih.... Atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Walanggata agak
gugup. Sepasang mata laki-laki itu tampak menyiratkan kekaguman yang tak dapat
disembunyikan. Walanggata menjadi rikuh ketika melihat orang yang menolongnya ternyata adalah
seorang gadis yang memiliki paras sangat cantik.
"Hm...."
Sosok tubuh ramping yang ternyata adalah seorang dara jelita itu bergumam dan
tersenyum manis. Gadis itu baru tersadar dan senyumnya menghilang ketika melihat
orang yang ditolongnya semakin membelalakkan matanya bagaikan orang yang hilang
ingatan. "Maaf.... Maaf, bukan maksudku untuk bersikap kurang ajar. Tapi..., tapi....
Nisanak benar-benar mempesona," ucap Walanggata meminta maaf sambil
membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
"Hm.... Sudahlah!" sergah gadis jelita itu mengibaskan tangannya.
Untung saja Walanggata cepat menyadari
kesalahannya. Kalau tidak, mungkin gadis jelita itu akan menjadi marah melihat
sikapnya tadi. "Kakang, bagaimana luka orang tua itu?" tanya si gadis jelita sambil menolehkan
kepalanya ke arah pemuda tampan berjubah putih yang tadi menolong Ki Kalianji.
"Tidak apa-apa. Sebentar lagi kesehatannya segera pulih," sahut pemuda tampan
berjubah putih yang tak lain adalah Pendekar Naga Putih.
Pemuda itu berbasa-basi sejenak menanyakan keadaan Walanggata, kemudian kembali
memandang ke arah kakek tua yang melukai Ki Kalianji tadi.
"Hm...."
Kakek tua berwajah kumuh itu menatap tajam ke arah Panji. Sepasang matanya
meneliti sosok pemuda berjubah putih itu dari bawah ke atas.
Kemudian tanpa mengucapkan sepata kata pun, tubuh kakek itu melesat menerjang
Panji. Bet! Bet! "Eh...!"
Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget melihat serangan yang tak diduga itu.
Cepat-cepat tubuhnya digeser ke belakang sehingga serangan kakek itu gagal.
"Perlahan dulu, Kakek Tua...!" seru Panji sambil terus menghindari patukan
tangan si kakek yang terus saja memburunya.
Pendekar Naga Putih terpaksa memapak serangan kakek itu, karena kalau dibiarkan
bisa-bisa dirinya menjadi celaka.
Dukkk! "Uhhh...!"
Tubuh mereka terjajar mundur ketika tangan masing-masing saling berbenturan.
Tampak keduanya sama-sama terkejut mengetahui kalau tenaga mereka boleh dibilang
berimbang. "Siapa kau, Anak Muda?" tanya si kakek semakin penasaran ketika mendapat
kenyataan kalau tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi.
*** 8 "Namaku Panji. Lalu, siapa dirimu, Kisanak?" jawab Panji yang juga menanyakan
lawannya. Keduanya saling menatap dengan sinar mata berkilat tajam.
"Kakang! Menurut keterangan dua orang itu, kakek inilah yang telah membunuh dan
membangkitkan mayat Ki Jaladri!" bisik gadis jelita yang tak lain adalah
Kenanga. Rupanya selagi Panji berhadapan dengan kakek tua itu, Kenanga bertanya kepada
Walanggata dan Ki Kalianji yang tenaganya sudah pulih akibat pertolongan Panji
tadi. "Eh, benarkah...?" tanya Panji sambil menatap Ki Kalianji dan Walanggata
bergantian. Pemuda itu seolah-olah ingin mendapat kepastian dari dua orang yang
ditolongnya itu.
"Benar, Anak Muda. Dan aku juga bisa menduga, siapa dirimu. Bukankah kau yang
berjuluk Pendekar Naga Putih?" kata kedua orang tokoh kosen Kadipaten Jagalan,
seakan-akan meminta kepastian.
Ki Kalianji lalu menceritakan secara singkat, dari mulai kejadian di Kadipaten
Jagalan hingga akhirnya ditolong Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
"Hm.... Kalau begitu, kami pun mempunyai urusan dengan kakek itu," gumam Panji
setelah mendengar keterangan dari Ki Kalianji. Sepasang mata pemuda itu
mencorong tajam menatap kakek tua di hadapannya.
"Ha ha ha...! Jangan kau pikir aku akan gentar.
mendengar namamu, Pendekar Naga Putih!" tegas
kakek itu. Dia memang menjadi lebih yakin ketika mendengar Ki Kalianji menyebut pemuda itu
dengan julukan yang memang telah diduganya.
"Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Saat ini kau tengah berhadapan dengan si
Penggembala Mayat'"
lanjut kakek tua itu terpaksa menyebut julukannya untuk membuat lawan-lawannya
gentar. "Penggembala Mayat..!" seru keempat orang pendekar itu terkejut, karena pernah
mendengar nama tokoh itu dari guru masing-masing.
"Huh! Jangan coba-coba membohongi kami, Kakek Tua. Tokoh yang kau sebutkan itu
telah ada semenjak aku masih muda. Jadi kalaupun masih ada, mungkin sudah
berusia seratus tahun lebih. Nah, jangan coba-coba menakut-nakuti kami!" sahut
Ki Kalianji sambil melontarkan senyum mengejek.
"He he he...! Itulah aku, Kalianji. Walaupun usiaku telah lebih dari seratus
tahun, tapi tetap awet muda berkat ilmu-ilmu yang kupelajari. Percaya atau
tidak, itu terserah kalian. Sekarang, bersiaplah untuk melayat ke akhirat!"
tegas kakek yang berjuluk si Penggembala Mayat itu. Sepasang matanya tampak
mengandung ancaman maut
"Kepung dan bunuh mereka...!" teriak Ganesha yang mulai memerintahkan anak
buahnya untuk mengepung keempat orang pendekar itu.
Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu pun melompat sambil mencabut
senjatanya. "Kalian hadapi yang lainnya. Biar aku yang akan mencoba menghadapi kakek yang
berjuluk si Penggembala Mayat itu!" ujar Panji sambil melompat ke arah si
Penggembala Mayat yang saat itu tengah menatap tajam ke arahnya.
"Heaaah...!"
Si Penggembala Mayat menggeram sambil mengangkat sepasang tangannya ke atas.
Sesaat kemudian, kedua tangan itu perlahan-lahan turun dan terkembang di depan
dadanya. Terlihat uap tipis mengepul dari sepasang lengan kakek tua itu.
Seketika bau kemenyan pun menebar memenuhi tempat itu.
Panji melompat, seolah-olah mengajak kakek itu untuk menjauhi pertarungan lain.
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Pendekar Naga Putih?" ejek Penggembala Mayat
ketika melihat tubuh Panji melesat meninggalkannya.
"Hm.... Tidak akan kulakukan perbuatan pengecut itu, Penggembala Mayat! Aku
hanya ingin agar pertarungan kita tidak terganggu," sahut Panji yang sudah
menghentikan larinya. Tubuh pemuda tampan itu berdiri tegak di sebuah tanah
lapang yang cukup luas.
"Nah! Tempat ini rasanya cukup memadai, bukan?"
kata Panji, kalem. Pendekar Naga Putih menanti kedatangan tokoh sesat yang
berusia seratus tahun lebih itu.
"Hm.... Sambutlah jurus 'Mayat Hidup'ku ini!
Hiaaat..!"
Setelah berkata demikian, tubuh si Penggembala Mayat meluncur maju menerjang
Panji. Meskipun gerakannya terlihat patah-patah, namun kecepatan dan
keganasannya malah semakin menggetarkan.
"Uts!"
Panji berseru kaget. Bergegas tubuhnya dilempar ke belakang. Sedikit saja
terlambat, sudah dapat dibayangkan kalau tubuh pemuda itu pasti akan terhantam
jari-jari tangan yang berkuku panjang itu.
"Gila! Ilmu kakek ini ternyata dapat mengaburkan pandangan! Hm.... Pastilah ilmu
'Mayat Hidup' itu telah digabungkan dengan sejenis ilmu sihir. Aku harus lebih
berhati-hati untuk menghadapinya!" desis Pendekar Naga Putih, terkejut Memang
gerak lawannya ternyata mampu mengaburkan pandangannya.
Wettt! Wettt! Saat itu si Penggembala Mayat sudah melangkah maju. Sepasang tangannya bergerak-
gerak kaku, seperti terlonjak-lonjak. Dan setiap kali tangannya menyambar,
selalu saja membuat bulu kuduk Panji meremang. Seolah-olah hawa yang keluar dari
sepasang tangan kakek itu berasal dari alam lain.
"Hmh...!"
Dengan sebuah geraman menggetarkan, sepasang tangan Panji bergerak turun naik.
Jari-jari tangannya tampak bergetar karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
mulai mengalir ke seluruh urat-urat tubuhnya. Sesaat kemudian, selapis kabut
tipis yang bersinar putih keperakan pun mulai menyelimuti sekujur tubuhnya.
Wusss! Hawa dingin yang menusuk tulang berhembus ketika Panji mendorongkan sepasang
telapak tangannya ke depan. Dalam sekejap saja, sekitar arena pertarungan itu
telah dipenuhi hawa yang amat dingin.
"Heaaat..!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melompat memapaki serangan
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan. Sepasang tangannya yang sudah membentuk cakar naga mulai menyambar-nyambar
ganas. Setiap sambarannya, serangkum hawa dingin ikut pula menyertai.
Tak lama kemudian, kedua tokoh sakti itu telah saling menerjang dahsyat.
Sambaran angin pukulan kedua tokoh itu menerbangkan apa saja yang ada di
sekitarnya. Pohon-pohon di dekatnya langsung ber-tumbangan menimbulkan suara
gemuruh ketika pukulan-pukulan nyasar menghantamnya. Sehingga, suasana di
sekitar arena pertempuran sudah sedemikian semrawut, tak terurus.
"Yeaaat..!"
Bet! Bet! Memasuki jurus kelima puluh satu, tubuh si Penggembala Mayat tiba-tiba meliuk
disertai teriakan yang mengejutkan. Sepasang tangannya menyambar ganas mengancam
bagian perut Pendekar Naga Putih. Pemuda itu bergerak cepat menggeser tubuhnya hingga serangan jari-jari tangan
lawan lewat beberapa jari di sampingnya. Begitu serangan lawan luput, cakar naga
Panji berkelebat cepat mengancam dada dan ubun-ubun lawan.
Si Penggembala Mayat memutar kaki kirinya dengan gerakan amat kaku. Tapi
anehnya, serangan Panji tidak berhasil mengenai sasarannya. Bahkan tiba-tiba
saja tubuh kakek itu terjatuh dalam posisi tengkurap. Dan sesaat kemudian,
tubuhnya melenting bangkit dan meluncur ke arah lawan bagai sebatang bambu yang
dilontarkan. Panji yang sama sekali tidak menduga gerakan lawan, sempat terkejut dibuatnya.
Bergegas tubuhnya melompat ke samping sejauh satu tombak. Namun kembali Pendekar
Naga Putih terkejut untuk yang kedua kalinya. Karena, tubuh yang tengah meluncur
kaku dengan kaki berada di bagian depan itu, mendadak berputar dan kembali
mengancamnya. Sadar kalau tidak mungkin harus menghindari
terus-menerus, maka Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya memapak sepasang
kaki yang mengancam tubuhnya. Segenap tenaga saktinya segera disalurkan. Memang,
Pendekar Naga Putih tahu betul kalau tenaga dalam lawan pasti sangat tinggi.
Dukkk! Plakkk! "Uuuh...!"
Terdengar letukan yang menggetarkan ketika dua gelombang tenaga sakti yang maha
dahsyat saling berbenturan keras. Beberapa batang pohon di dekat arena
pertarungan berderak ribut. Daun-daunnya seketika berguguran akibat kerasnya
getaran yang ditimbulkan pertemuan dua tenaga raksasa itu.
Akibat benturan itu, sempat pula mengejutkan Panji. Tubuhnya terjajar mundur
beberapa langkah ke belakang. Telapak tangan dan tulang lengannya terasa nyeri
dan linu. Diam-diam hati pemuda itu semakin terkejut dengan kekuatan tenaga
dalam yang dimiliki kakek tua itu.
Meskipun tangkisan Pendekar Naga Putih tadi sempat menghentikan daya luncur
tubuh lawan, tapi tidak berarti ancaman itu sudah lewat. Sebab tubuh kaku
laksana mayat itu kini kembali meluncur mengancamnya. Bahkan kecepatannya
semakin pesat. Des! Des! "Ugh...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah terjajar mundur itu terlonjak keras ke
belakang. Karena sepasang telapak kaki lawan telak menghantam dada dan perutnya.
Darah seketika menyembur dari mulut pemuda itu! Dan tubuhnya yang meluncur
beberapa tombak langsung menghantam sebatang pohon
sebesar sepelukan orang dewasa. Pemuda itu melorot ke atas tanah berbarengan
dengan tumbang-nya pohon.
Pada saat itu juga si Penggembala Mayat kembali menerjang dan siap meremukkan
tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah terduduk itu. Sepasang telapak kakinya
yang tengah dialiri tenaga dahsyat siap menjejak tubuh Panji.
Blarrr! Tanah dan bebatuan berhamburan disertai
kepulan debu yang membumbung tinggi. Diduga, tubuh Pendekar Naga Putih pasti
telah hancur bersama kepulan debu tadi. Namun, untung Panji sempat melempar
tubuhnya bergulingan menghindari jejakan kaki lawannya.
"Gila...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih terbelalak ngeri melihat sebuah lubang sebesar kubangan
kerbau, tempat tadi tubuhnya berada. Dan hal itu semakin membuatnya sadar kalau
lawannya kali ini benar-benar tidak bisa dibuat main-main.
Panji menarik napas dalam-dalam dan berulang-ulang untuk menghilangkan rasa
nyeri yang menyerang dadanya. Di sudut bibirnya, tampak cairan merah yang
menetes perlahan. Begitu rasa nyerinya berkurang, Pendekar Naga Putih bergegas
bangkit dan siap melanjutkan pertarungan yang menentukan itu.
Sesaat kemudian, keduanya kembali terlibat dalam pertarungan mati-matian. Mereka
saling menyerang dahsyat. Suasana di sekitar tempat pertarungan tak ubahnya
bagai dilanda angin topan dahsyat Pertarungan kedua orang tokoh sakti itu benar-
benar dahsyat dan mengerikan sekali.
Di arena lain, Kenanga, Ki Kalianji, dan Walanggata tengah berupaya
mempertahankan selembar nyawa mereka. Ganesha yang dibantu hampir tiga puluh
orang pengikutnya menerjang ketiga orang pendekar itu tanpa ampun.
Kenanga yang mengetahui kalau kekuatan
pengeroyoknya terletak pada pemuda jangkung itu, bergegas melompat menghadapi
Ganesha. Pedang Sinar Rembulan yang berada di tangannya berkelebat cepat
mengancam tubuh lawan.
Wut! "Aaakh...!"
Bukan main terkejutnya Ganesha ketika tiba-tiba saja serangkum angin tajam yang
berhawa dingin menyambar perutnya. Bergegas ditinggalkannya Ki Kalianji dan
tubuhnya segera dilempar ke belakang untuk menghindari serangan berbahaya itu.
"Nisanak! Mengapa kau membela kedua orang tak tahu diuntung itu" Bukankah lebih
baik ikut denganku" Percayalah, aku akan mengangkatmu menjadi permaisuriku yang
paling kusayangi. Marilah ikut denganku. Aku berjanji tidak akan menyia-
nyiakanmu," bujuk Ganesha.
Sinar mata pemuda itu memang mengandung
kekuatan sihir. Meskipun ilmu sihirnya belum sempurna, namun sepasang matanya
sudah dapat melumpuhkan semangat lawan yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi.
"Nisanak! Jangan pandang matanya! Pemuda itu telah menggunakan ilmu sihir untuk
merayumu!" Ki Kalianji berteriak memperingatkan ketika melihat gadis jelita itu
terpaku mendengar kata-kata Ganesha.
"Ah...! Bangsat keji! Rupanya kau benar-benar
pemuda bejat!" teriak Kenanga yang segera tersadar begitu mendengar teriakan Ki
Kalianji. Gadis itu cepat-cepat memutar pedangnya hingga membentuk gulungan sinar yang
menyelimuti seluruh tubuh. Tanpa membuang-buang waktu lagi tubuh Kenanga melesat
disertai sambaran pedangnya yang menggiriskan.
"Keparat kau, Kalianji! Tunggulah bagianmu nanti!"
ancam Ganesha yang semakin membenci tokoh tua Kadipaten Jagalan itu.
Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu bergegas melompat menghindari
sambaran pedang Kenanga.
"Ki Kalianji! Hadapilah begundal-begundal pemuda itu, berdua dengan Walanggata.
Biar keparat ini menjadi bagianku!" teriak Kenanga sambil menyabetkan senjatanya
berulang-ulang. Sepertinya gadis jelita itu menjadi marah sekali ketika hampir
saja termakan ilmu sihir pemuda itu.
Wut! Wut! Ganesha menggeser tubuhnya ke samping menghindari dua buah tusukan yang
mengancam ulu hati dan tenggorokannya. Kemudian, secepat kilat diberikannya
serangan balasan dengan tidak kalah ganasnya.
Trang! Bunga api berpijar ketika Kenanga menangkis pedang lawan yang mengancam
tubuhnya. Keduanya terjajar mundur dan memeriksa pedang masing-masing. Setelah
yakin kalau tidak mengalami kerusakan, keduanya kembali saling serang dengan
hebatnya. Sementara itu, Ki Kalianji dan Walanggata sangat terkejut ketika mendapat
kenyataan kalau para
pengeroyoknya itu ternyata sangat gesit dan lincah.
Sehingga dalam beberapa jurus saja kedua tokoh kosen Kadipaten Jagalan itu harus
menguras tenaga untuk dapat melindungi dirinya.
Ki Kalianji dan Walanggata benar-benar dibuat kewalahan oleh kerjasama
pengeroyoknya yang sangat kompak. Sepertinya para pengikut Ganesha telah dilatih
sedemikian rupa sehingga dapat bekerja sama dengan baik.
"Yeaaat..!"
Rasa penasaran yang kian memuncak membuat Ki Kalianji menjadi geram. Sambil
berteriak keras, dia melompat disertai ayunan sepasang tongkat pendek-nya.
Wut! Wut! Dua batang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji berkelebat cepat menimbulkan deru
angin keras. Dua senjata kembar itu meluncur deras mengancam dua orang lawan
yang berada di samping kiri.
Melihat dua orang kawannya terancam, para pengeroyok lain segera berlompatan
sambil mem-babatkan pedang ke tubuh Ki Kalianji. Paling tidak, mereka berharap
kakek itu akan menunda serangan untuk menyambut ancaman senjata mereka.
Tapi kali ini rupanya Ki Kalianji telah mem-pertimbangkan serangannya secara
masak. Sebab, begitu enam batang golok lain meluncur mengancamnya, tubuh kakek
itu tiba-tiba melenting ke belakang enam penyerangnya. Sambil berputaran di
udara, sepasang tongkat hitam di tangannya menyambar kepala empat orang
penyerang. Wut! Wut..! Prak! Prak! Crok...!
Tanpa sempat menjerit lagi, empat orang
pengeroyok itu kontan roboh dengan kepala pecah.
Darah yang bercampur otak, seketika berhamburan membasahi arena pertarungan.
Tentu saja hal itu membuat para pengeroyok lain menjadi terkejut setengah mati.
Amukan Ki Kalianji tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu kedua
kakinya menyentuh tanah, tubuhnya kembali melenting ke arah dua orang lainnya.
Sepasang tongkatnya terayun ke arah punggung mereka.
Buk! Buk...! "Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika tongkat hitam di tangan kakek itu tepat
menghantam punggung dua orang lawannya. Tubuh mereka langsung tersungkur
disertai semburan darah segar dari mulut. Dua orang itu kontan tewas dengan
tulang punggung remuk.
Berbarengan dengan itu, terdengar jerit kematian yang menyayat hati. Empat orang
pengikut Ganesha terjungkal mandi darah. Rupanya Walanggata tidak mau
ketinggalan oleh kawannya. Golok bercagaknya telah pula memakan korban.
Di tengah ramainya pertempuran berlangsung, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
datang ke arah pertempuran. Menilik suaranya yang bergemuruh, dapat dipastikan
kalau rombongan berkuda itu tidak kurang dari dua puluh orang. Tentu saja hal
itu membuat orang-orang yang tengah bertempur menjadi cemas. Karena, mereka
belum dapat menerka kawan atau lawan.
"Tuan Muda Anggada...!" Ki Kalianji dan Walanggata berteriak gembira begitu
dapat mengenali orang yang berada di barisan paling depan dan telah dekat dengan
arena pertempuran.
"Paman...!" seru pemuda yang memang Anggada adanya itu.
Wajah pemuda itu menjadi heran ketika melihat kedua orang pengawal setia ayahnya
tampak tengah dikeroyok puluhan orang kasar. Bergegas pemuda itu memerintahkan
para pengikutnya untuk membantu kedua orang tokoh Kadipaten Jagalan itu.
Kedua orang tokoh kosen itu langsung menghampiri tuan mudanya. Setelah memberi
hormat, Ki Kalianji lalu menceritakan duduk persoalannya secara singkat. Kening
Anggada seketika berkerut mendengar penuturan kedua orang kepercayaan ayahnya
itu. "Hm.... Kalau saja aku tidak menyaksikannya sendiri, pastilah aku belum dapat
menerima keterangan Paman ini," desah Anggada yang segera memalingkan wajah ke
arah yang ditunjuk Ki Kalianji.
Wajah pemuda itu berubah pucat ketika melihat adiknya tengah bertarung dengan
seorang gadis cantik.
"Ganesha...!" desis Anggada hampir tak terdengar.
Wajah tampan itu mendadak murung. Karena biarpun Ganesha bukan adik kandungnya,
namun sangat disayanginya. Dan tentu saja kejadian itu membuatnya sangat
terpukul. "Tuan Muda, marilah kita tangkap dia hidup-hidup sebelum gadis jelita itu
membunuhnya," usul Walanggata ketika melihat kemurungan menyelimuti wajah putra
junjungannya. Sekilas saja dia tahu kalau Anggada merasa berat untuk melakukan
tindakan kejam terhadap adiknya.
"Paman berdua sajalah yang melakukannya. Aku tidak sampai hati melakukan hal
itu," sahut Anggada sambil membalikkan tubuhnya melangkah ke arah
pertempuran yang berkecamuk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, tubuh pemuda itu bergegas melompat ke dalam kancah
pertempuran membantu para prajuritnya. Kedukaan membuat pemuda itu mengamuk
hebat, sehingga dalam beberapa jurus saja enam orang lawan telah tergeletak
tewas. Sepertinya Anggada bermaksud menumpahkan kekecewaan hatinya kepada para
pengikut adiknya.
Sementara itu, pertarungan Panji melawan si Penggembala Mayat sudah semakin
memuncak. Jurus-jurus andalan telah digunakan untuk menundukkan satu sama lain. Tapi
sampai sejauh itu, keduanya masih berimbang meskipun di pihak Pendekar Naga
Putih telah menderita luka dalam akibat hantaman lawan.
"Hm.... Ternyata nama Pendekar Naga Putih bukan sekadar nama kosong belaka. Aku
benar-benar kagum dengan kepandaian yang kau miliki, Anak Muda. Tapi, kali ini
kau terpaksa harus melepaskan nyawa dan gelarmu di tangan si Penggembala Mayat!"
kata kakek itu yang diam-diam merasa kagum dengan kehebatan Panji.
"Hiaaah...!"
Dibarengi bentakan menggemuruh, tubuh
Penggembala Mayat tiba-tiba berputar cepat bagai sebuah gangsing. Sesekali jari-
jari tangannya menyembul dari balik lingkaran yang diciptakannya itu.
Panji melempar tubuhnya, lalu bergulingan ketika tahu-tahu saja jari-jari tangan
lawan telah berada di depan tubuhnya. Pemuda itu langsung berputaran beberapa
kali ke belakang karena serangan-serangan lawan terus saja mengejar.
Des! Buk!' "Huakkk...!"
Darah segar muncrat keluar dari mulut Pendekar Naga Putih ketika hantaman sisi
dan telapak tangan lawan singgah di lambung dan perutnya. Tubuh pemuda itu
terjungkal bergulingan hingga beberapa tombak jauhnya. Panji berusaha bangkit
sambil mendekap dadanya yang terasa sesak. Lebih-lebih perut dan punggungnya
yang terasa remuk akibat hantaman lawan.
Selagi tubuh Pendekar Naga Putih bergerak bangkit, si Penggembala Mayat kembali
meluruk menerjang lawannya. Sepertinya kakek tua itu memang benar-benar hendak
menghabisi nyawa Panji.
Pada saat yang gawat itu, Panji teringat akan pedang pusaka yang tersampir di
punggungnya. Tangan kanannya cepat bergerak meraba gagang pedang.
"Yeaaa...!"
Desss! Crak! "Ugh...!"
"Aaargh...!"
Terdengar keluhan yang keluar dari mulut Panji.
Berbarengan dengan itu, si Penggembala Mayat meraung setinggi langit. Ternyata
pada saat telapak tangannya menghantam dada, Panji memiringkan tubuhnya.
Sehingga, hantaman telapak tangan kakek itu hanya menyerempet bahu Pendekar Naga
Putih. Pada saat itu juga, Panji membarengi dengan sabetan Pedang Naga Langit yang
membabat pinggang si Penggembala Mayat hingga tubuh kakek itu terbelah menjadi
dua bagian. Darah segar seketika memercik membasahi tanah.
Tubuh si Penggembala Mayat terbanting di atas tanah dalam keadaan terpisah.
Perlahan-lahan tubuh kakek itu mengerut, seolah-olah darahnya terhisap oleh
sesuatu yang tak tampak. Si Penggembala Mayat kini tewas dalam keadaan yang
sangat mengerikan.
Panji menatap pedang di tangannya dengan sepasang mata membelalak. Ternyata noda
darah yang terdapat di badan pedang, perlahan menguap untuk kemudian hilang
tanpa bekas. Pedang Naga Langit kembali bersih dan berkilau, seolah-olah tidak
pernah terkena darah. Bergegas pedangnya disimpan kembali di punggung.
Pertempuran lain pun sepertinya telah pula usai.
Semua pengikut Ganesha telah dapat dibinasakan.
Sedangkan pemuda itu sendiri telah dapat ditakluk-kan oleh Kenanga. Tubuhnya
tertotok sehingga harus digotong oleh beberapa prajurit. Kenanga, Ki Kalianji,
Walanggata, dan seorang pemuda tampan melangkah menghampiri Panji yang masih
terduduk lemah.
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakang, kau tidak apa-apa....?" tanya Kenanga cemas. Bergegas gadis jelita itu
menubruk kekasihnya yang belum juga bangkit itu.
"Ah! Aku tidak apa-apa, Kenanga. Hanya luka biasa. Sebentar juga kesehatanku
sudah pulih seperti biasa," sahut Panji seraya tersenyum, untuk melega-kan
perasaan kekasihnya itu.
"Pendekar Naga Putih, kami mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu yang telah
menyelamatkan dua orang pamanku ini. Ingin sekali aku mengajakmu untuk menghadap
ayahku. Tapi, semua itu terserah dirimu," ujar Anggada yang rupanya sudah diberi
tahu kalau pemuda yang menolong dua orang pembantu ayahnya itu adalah Pendekar
Naga Putih. "Ah, terima kasih atas kebaikan Tuan Muda. Tapi sayang, kali ini kami tidak bisa
memenuhi permintaan Tuan Muda. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan,"
sahut Panji menolak halus ajakan pemuda tampan itu.
"Baiklah kalau begitu, Pendekar Naga Putih. Dan kini kami pergi dulu. Dan jangan
lupa, kalau ada kesempatan singgahlah di tempat kami. Kami menanti
kedatanganmu," ucap Anggada seraya melompat ke atas punggung kudanya.
Dan kini rombongan itu kembali ke kadipaten dengan membawa Ganesha yang telah
berhasil ditawan.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga memandangi kepergian rombongan berkuda itu.
Kesunyian pun mulai terasa ketika rombongan berkuda itu telah lenyap dari
pandangan. Sejenak kemudian, kedua orang itu pun saling berpandangan mesra. Kenanga
mengerutkan keningnya ketika melihat wajah kekasihnya meringis menahan sakit.
"Kakang...! Kau... kau kenapa...!" tanya Kenanga ketika melihat wajah Pendekar
Naga Putih tampak semakin memucat. Bergegas dirangkulnya tubuh pemuda itu ketika
terlihat hendak roboh.
Kenanga semakin kalang-kabut ketika melihat kekasihnya tak sadarkan diri.
Diraihnya tubuh Panji ke dalam pelukannya, seolah-olah dengan berbuat begitu
kekasihnya diharapkan segera tersadar.
Tapi mendadak saja Panji membuka kedua matanya dan langsung memeluk tubuh gadis
cantik itu erat-erat.
"Kakang jahat!" teriak Kenanga sambil berusaha melepaskan pelukan kekasihnya.
Gadis jelita itu sama sekali tidak berusaha melepaskan diri dari pelukan
kekasihnya. Dan kini malah merebahkan kepalanya di dada pemuda pujaannya.
"Mengapa Kakang selalu saja menggodaku?" bisik gadis itu lirih, sambil
menengadahkan wajahnya memandang Panji.
Panji hanya tertawa mendengar pertanyaan kekasihnya itu. Dikecupnya sepasang
mata indah itu.
"Ayolah. Bukankah kita harus ke Desa Keputih untuk memberitahukan kepada tujuh
orang murid Ki Jaladri kalau tugas kita sudah selesai," ajak Panji diiringi
senyum manis. Tak berapa lama kemudian, keduanya melangkah meninggalkan hutan itu. Sinar
kemerahan tampak menyemburat di kaki langit sebelah Barat. Sebentar lagi, senja
akan turun mengiringi langkah sepasang pendekar itu.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Mbah Pete 2 Lauw Pang Vs Hang Ie Kejatuhan Dinasti Cin Dan Kebangkitan Dinasti Han Pedang Dan Kitab Suci 4
perampok itu dapat mengganggu ketenangan rakyat?" tanya Walanggata yang merasa
heran, karena para perampok dibiarkan merajalela begitu saja.
"Ah! Kau seperti tidak tahu saja, Walanggata. Para perampok itu tidak menetap di
tempat itu. Entah dari mana mereka datang" Beberapa bulan sebelum kau datang
untuk mengabdikan diri ke kadipaten, aku sudah pernah ditugaskan Gusti Adipati
untuk menumpas gerombolan perampok itu. Tapi, tak satu pun perampok yang
kutemukan. Entah ke mana perginya" Seolah-olah mereka telah mengetahui kalau
hari itu prajurit kadipaten akan mengadakan
pembersihan. Itulah yang membuatku heran," jelas Ki Kalianji menutup ceritanya.
"Hm.... Memang mengherankan," desis Walanggata bergumam pelan.
Setelah mendengar penuturan Ki Kalianji itu, Walanggata pun terdiam.
Selang beberapa waktu kemudian, kedua
pengawal pribadi Adipati Gamang Sati itu mulai menyusuri jalan setapak yang
cukup rata, sehingga dapat melarikan kuda meskipun tidak terlalu cepat.
Sebab tangan mereka kadang-kadang harus
menyibakkan ranting pohon yang menjulur ke arah jalan setapak itu. Dan baru saja
mereka akan mempercepat lari kudanya, tampak di tengah jalan ada sesuatu yang
mencurigakan. "Hm.... Ada apa pula itu" Mengapa orang itu menggeletak di tengah jalan?" gumam
Ki Kalianji yang berada di depan.
Sebagai tokoh persilatan yang sudah banyak pengalaman, kecurigaannya langsung
timbul. Ditarik-nya tali kekang untuk memperlambat lari kudanya.
"Ada apa, Ki?" tanya Walanggata yang segera memperlambat lari kudanya.
Sambil berkata demikian, kepalanya segera dijulurkan untuk memandang ke depan
melalui bahu Ki Kalianji.
"Eh, siapa pula orang yang tergeletak di tengah jalan itu?" tanya Walanggata
seraya mengerutkan kening, melihat pemandangan itu.
"Hati-hati, Walanggata! Siapa tahu ini merupakan jebakan. Ingat, kita tengah
menjalankan tugas! Jadi bukan tidak mungkin kalau lawan sudah mengetahui
kedatangan kita," Ki Kalianji menasihati kawan seperjalanannya. Orang tua itu
sengaja merendahkan
suaranya agar tidak terdengar orang lain.
"Apakah tempat Perguruan Perisai Baja sudah dekat, Ki?" tanya Walanggata yang
rupanya tidak mengetahui letak perguruan itu.
"Belum. Tempat itu masih cukup jauh. Tapi, siapa tahu orang-orang itu sengaja
menghadang kita di tempat ini agar tidak terlalu mencolok," jawab Ki Kalianji,
kali ini malah berbisik. Memang, jarak mereka dengan orang yang telentang itu
sudah semakin dekat Begitu jarak mereka sudah semakin dekat, Ki Kalianji menjadi
heran ketika melihat orang itu sama sekali tidak nampak terluka. Dengan kening
berkerut, laki-laki tua itu melompat dari atas punggung kudanya.
"Maaf, Kisanak. Berilah kami jalan untuk lewat,"
pinta Ki Kalianji sambil membungkuk sopan.
Laki-laki itu berkata demikian karena orang yang menghalangi jalannya tampak
memandangnya. Orang itu sama sekali tidak tertidur, apalagi terluka.
Tanpa sadar, Ki Kalianji melangkah mundur ketika matanya bertemu dengan sinar
mata yang berkilat tajam. Kilatan mata yang ternyata dipancarkan oleh seorang
kakek tua itu demikian berpengaruh, sehingga sempat membuat hati Ki Kalianji
berdebar tegang.
"He he he...! Boleh aku tahu, ke mana tujuan kalian, Kisanak?" tanya kakek itu.
Dia sama sekali tidak mempedulikan permintaan Ki Kalianji. Malah sambil terkekeh
menyeramkan, ia bertanya kepada tokoh Kadipaten Jagalan itu.
"Maaf. Kami hanyalah dua orang pengembara yang hanya kebetulan lewat. Dan kami
mohon Kisanak sudi memberi jalan untuk lewat," sahut Ki Kalianji.
Kali ini suaranya lebih tegas, karena sudah mulai
menduga kalau kakek tua itu sengaja mencari gara-gara.
"He he he...! Sombong sekali kau, anjing-anjing peliharaan Gamang Sati. Rupanya
kehidupan yang mewah membuat kalian tidak lagi memandang sebelah mata kepada
orang lain. Apakah kalian telah merasa paling hebat" Kalianji, Walanggata, jawab
pertanyaanku!" bentak kakek itu.
Bukan main terkejutnya Ki Kalianji dan
Walanggata ketika kakek itu menyebut nama mereka.
Sejenak keduanya meneliti wajah dan pakaian kakek itu. Dicobanya untuk
mengingat-ingat, siapa kakek tua itu sebenarnya.
Sebelum kedua orang jagoan kadipaten itu sempat mengenali kakek tua di
hadapannya, tiba-tiba seorang pemuda tampan dan jangkung muncul dari balik
semak-semak. *** 7 "Paman...!" tegur pemuda tampan itu menyapa Ki Kalianji dan Walanggata. Senyum
licik tampak membayang di wajahnya yang tampan.
"Tuan Muda Ganesha...!" seru kedua orang jagoan kadipaten itu terkejut.
Bergegas mereka membungkuk hormat, karena pemuda itu adalah putra kedua Adipati
Gamang Sati yang menjadi junjungan mereka.
"Apa..., apa yang Tuan Muda lakukan di tempat ini?" tanya Ki Kalianji yang
merasa heran melihat putra junjungannya berada di tempat yang sebenarnya sangat
jauh dari kadipaten.
"Guru, mari ajak mereka ke tempat kita," kata pemuda yang bernama Ganesha,
seraya menoleh kepada kakek tua yang masih telentang di tengah jalan. Dari sini
saja mudah diketahui kalau antara Ganesha dan kakek tua yang menyeramkan itu
terjalin hubungan yang cukup akrab.
"Baik, Tuan Muda," sahut si kakek seraya bangkit dari berbaringnya.
Jelas sekali kalau kakek tua itu sangat menghormati Ganesha. Meskipun pemuda itu
memanggilnya dengan sebutan guru.
"Mari, Paman...," ajak Ganesha.
Kemudian pemuda itu melangkah keluar dari jalan setapak. Sepertinya dia mengajak
kedua jagoan kadipaten memasuki wilayah hutan yang cukup lebat Meskipun
keheranan belum lenyap, tapi kedua jagoan itu melangkah juga mengikuti Ganesha
dan si kakek memasuki hutan.
Tidak berapa lama kemudian, keempat orang itu tiba di sebuah daerah pemukiman
yang hanya terdapat beberapa buah rumah yang dibuat asal jadi.
"Inilah tempat tinggalku, Paman," jelas Ganesha.
Dipersilakannya kedua orang itu memasuki sebuah rumah yang lebih bagus dari yang
lainnya. Beberapa orang bertampang kasar tampak memperhatikan kedua orang itu dengan
kening berkerut.
Tapi mereka tampak sangat menghormati Ganesha.
"Hm.... Tempat apa ini" Mengapa Tuan Muda Ganesha memilih tinggal di tempat ini
daripada di kadipaten?" gumam Ki Kalianji dalam hati. Sepasang matanya terus
merayapi curiga sekelilingnya.
"Apa maksudmu mengajak kami ke tempat ini, Tuan Muda?" tanya Ki Kalianji begitu
mereka telah duduk mengitari sebuah kayu yang terbuat dari batang pohon besar.
"Sebenarnya begini, Paman Kalianji dan Walanggata...."
Ganesha lalu menceritakan tentang rencananya kepada kedua orang jagoan kadipaten
yang kemudian menjadi terkejut setengah mati. Wajah keduanya nampak pucat bagai
tak dialiri darah, karena benar-benar tidak menyangka kalau Ganesha akan berbuat
seperti itu. "Tuan Muda! Sadarkah dengan apa yang kau ucapkan itu" Mengapa Tuan Muda sampai
hati mengkhianati Gusti Adipati yang begitu menyayangi-mu" Ini rencana gila! Dan
kuminta Tuan Muda memikirkannya sebelum bertindak. Ingat, Tuan Muda masih belum
terlambat untuk membatalkan rencana ini!" sergah Ki Kalianji menasihati putra
junjungannya itu dengan suara ditekan sehormat mungkin.
"Tidak! Rencana yang telah kususun bersama guruku tetap akan dijalankan.
Ketahuilah, Paman.
Aku hanyalah seorang putra tiri yang lahir dari salah seorang selir Adipati
Gamang Sati. Semua itu kuketahui ketika ayah tengah berbicara dengan bunda.
Katanya, Kakang Anggada akan diangkat sebagai adipati untuk menggantikan beliau.
Itu sama artinya dengan mencampakkan aku, Paman!" tegas Ganesha berapi-api.
Jelas sudah kalau pemuda itu akan melakukan pemberontakan untuk merebut
Kadipaten Jagalan.
"Tapi dengan diangkatnya Tuan Muda Anggada nanti, bukan berarti Gusti Adipati
akan mencampak-kanmu, Tuan Muda," Walanggata ikut angkat bicara.
"Sudahlah! Aku tidak ingin banyak bicara lagi.
Sekarang, Paman berdua boleh mengambil
keputusan. Ikut denganku, atau akan menjadi mayat hidup yang akan menggemparkan
Kadipaten Jagalan untuk kedua kalinya!" Ganesha mulai mengancam kedua orang
jagoan kadipaten itu.
"Jadi..., jadi rupanya Tuan Muda yang telah mengirimkan mayat hidup Ki Jaladri
untuk mengacau-kan Kadipaten Jagalan?" tebak Ki Kalianji kembali terkejut
mendengar ucapan yang keluar dari mulut putra tiri junjungannya itu.
"Ya! Dan kalau Paman berdua menolak ajakanku,.
maka akan bernasib sama dengan Ki Jaladri!" tegas Ganesha dengan sepasang
matanya yang mengancam.
"Keparat! Rupanya kau telah berubah menjadi iblis, Ganesha! Kau sengaja membunuh
dan mem-peralat Ketua Perguruan Perisai Baja agar niat busuk-mu terlaksana! Dan
kami pun tidak sudi berkomplot denganmu!" geram Ki Kalianji dengan wajah gelap.
Setelah berkata demikian, tubuh laki-laki tua itu segera melompat keluar,
diikuti Walanggata.
"Baiklah. Kalau itu sudah menjadi keputusan kalian, semoga saja tidak menyesal!"
desis Ganesha menampakkan sifat aslinya yang kejam.
Sesaat kemudian, tubuh pemuda jangkung itu pun melesat mengejar kedua orang
jagoan Kadipaten Jagalan itu. Ganesha tertawa terbahak-bahak ketika melihat Ki
Kalianji dan Walanggata sudah terkepung puluhan orang anak buahnya.
"Kau mimpi Ganesha! Pasukanmu yang kecil ini tidak mungkin mampu menghadapi
prajurit-prajurit Gusti Adipati yang berpuluh kali lebih banyak dari pasukanmu
ini!" ejek Walanggata ketika melihat jumlah pengikut pemuda itu yang hanya
beberapa puluh orang saja.
"Ha ha ha...! Jangan lupa, Walanggata! Guruku dengan mudah dapat membunuh
beberapa orang prajurit kadipaten dan membangkitkannya kembali untuk
menghancurkan pasukan junjunganmu itu!"
sahut Ganesha. Pemuda itu begitu yakin akan kepandaian gurunya yang berwajah lusuh itu.
Sepertinya orang tua itu tidak pernah terkena air selama hidupnya, sehingga
keadaannya demikian lusuh dan kotor.
"Hm.... Pantas saja selama ini ia tidak pernah suka belajar dengan kita. Rupanya
diam-diam telah men-dapatkan seorang guru yang jauh lebih pandai dari kita
berdua," gumam Ki Kalianji dengan suara rendah.
"Kurasa begitu, Ki. Dan kita harus berhati-hati untuk menghadapinya. Yang jelas,
kita belum mengetahui sampai sejauh mana pemuda keparat itu mempelajari ilmu
dari gurunya," kata Walanggata mengingatkan, kemudian bergegas mencabut
senjatanya. Ki Kalianji pun tidak ingin ayal-ayalan lagi. Cepat-cepat senjata yang berupa
sepasang tongkat hitam sepanjang tiga jengkal diloloskan.
Wungngng! Wungngng!
Sepasang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji bergerak saling bersilangan hingga
menimbulkan deruan angin tajam. Sadar kalau keadaan mereka berdua tengah
terancam, Ki Kalianji langsung mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Demikian pula halnya Walanggata. Senjatanya yang berupa sebilah golok besar
bercagak pada ujungnya, sudah melintang di depan dada. Sepasang matanya bergerak
memutar memperhatikan gerak langkah para pengepungnya.
"Mundur kalian! Buat lingkaran agar dua ekor tikus itu tidak dapat lari ke mana-
mana!" perintah Ganesha sambil melangkah tegap ke tengah lingkaran menghampiri
kedua jagoan kelas satu Kadipaten Jagalan.
"Kau ingin menghadapi kami sendirian, Ganesha?"
tanya Ki Kalianji heran begitu melihat dan mendengar ucapan pemuda jangkung itu.
"Ha ha ha...! Aku hanya ingin membuktikan kalau ilmu yang kalian miliki itu
hanya ilmu pasaran yang rendah!" ejek pemuda jangkung itu sombong. "Nah, jagalah
pukulanku! Hiaaat..!"
Dibarengi sebuah bentakan keras, tubuh pemuda jangkung itu melayang disertai
kibasan tangannya yang menimbulkan sambaran angin kuat!
Ki Kalianji yang berada paling dekat dengan pemuda itu bergegas menggeser
tubuhnya menghindari pukulan lawan. Begitu mengetahui kalau yang dihadapi adalah
Ganesha, tokoh itu segera menyimpan senjatanya. Selama ini, dia tahu betul
kalau Ganesha tidak pernah berlatih silat. Lagi pula tokoh tua itu merasa malu
kalau menghadapi lawannya harus menggunakan senjata andalan.
Wut! Bet! Dua buah tamparan telapak tangan Ganesha mengenai tempat kosong, karena Ki
Kalianji sudah terlebih dahulu mengelak. Ki Kalianji langsung melakukan serangan
balasan yang tidak kalah dahsyat.
Ganesha sama sekali tidak berusaha menyingkir ketika pukulan lawan meluncur ke
tubuhnya. Pemuda jangkung itu mendengus kasar sambil mengangkat tangan kanan
untuk memapak pukulan tokoh kosen dari Kadipaten Jagalan. Rupanya Ganesha memang
sengaja hendak mengadu tenaga.
Wut! Plak! "Aaah...!"
Terdengar ledakan keras ketika telapak tangan pemuda jangkung itu bertumbukan
dengan kepalan Ki Kalianji. Tokoh tua dari Kadipaten Jagalan itu berseru
tertahan merasakan tenaga dalam yang tersembunyi di balik lengan pemuda itu
ternyata cukup tinggi. Sehingga pertemuan tenaga dalam itu sempat membuat
tubuhnya bergetar.
"Gila! Tidak kusangka tenaga dalam yang dimilikinya sangat kuat!" desis Ki
Kalianji terkejut.
Cepat kakek tua itu melompat ke belakang dan kembali bersiap.
"Ha ha ha...! Mengapa mundur, Orang Tua" Takut"
Nah! Kalau begitu, gunakanlah senjatamu!" ejek Ganesha yang sepertinya tidak
merasakan apa apa dalam pertemuan tenaga tadi.
"Huh! Jangan sombong dulu, Pemuda Iblis! Aku masih belum kalah!" bentak Ki
Kalianji yang menjadi geram mendengar ejekan pemuda yang pantas
menjadi cucunya itu.
"Lebih baik kalian maju berbarengan daripada akan menyesal nanti," ejek Ganesha
pongah. Sepertinya pemuda itu merasa yakin sekali dengan kepandaian yang dimilikinya.
Hal itu tidaklah terlalu berlebihan, karena Ganesha memang sudah
mengetahui sampai di mana tingkat kepandaian kedua orang pembantu utama ayah
tirinya itu. Walanggata panas hatinya mendengar ejekan pemuda itu. Dengan wajah gelap,
kakinya melangkah menghampiri Ganesha.
"Kalau memang itu yang kau inginkan, baiklah!
Tapi janganlah berteriak-teriak menyambat gurumu apabila terdesak atau terluka
nanti!" tegas Walanggata geram. Hatinya benar-benar panas melihat sikap pemuda
itu yang meremehkannya.
"Ha ha ha...! Kau gentar pada guruku, Walanggata"
Jangan khawatir, karena kedua tanganku masih sanggup menundukkan kalian. Nah!
Apa lagi yang ditunggu?" sahut Ganesha sambil tersenyum mengejek.
"Tuan Muda! Orang bijak mengatakan, jika ingin berhasil dalam suatu pekerjaan,
maka janganlah menunda-nuda pekerjaanmu. Nah, silakan Tuan Muda beristirahat.
Biarlah hamba yang akan menghadapi anjing-anjing peliharaan Adipati Jagalan
itu," tiba-tiba kakek tua berwajah kumuh berkata sambil melangkahkan kakinya ke
tengah arena. "Ah, Guru. Berilah kesempatan padaku untuk menguji sampai di mana kemajuan yang
telah kuperoleh. Rasanya, hanya kedua orang inilah yang cocok untuk menguji
kepandaian yang Guru turun-kan," Ganesha mencoba membantah ucapan kakek tua yang
menjadi gurunya itu.
"Tidak, Tuan Muda. Kita harus cepat-cepat membereskan mereka. Sebab, naluriku
merasakan adanya bahaya lain yang akan mengancam dan menghancurkan rencana kita.
Aku tidak dapat mengetahui secara pasti bahaya apa yang akan kita hadapi itu,"
tegas si kakek tidak menerima bantahan muridnya kali ini.
"Tapi.... Tapi, Guru...," Ganesha masih mencoba membantah alasan yang
dikemukakan gurunya.
Wajahnya yang tampan nampak menyiratkan
kekecewaan. "Maaf, Tuan Muda. Kali ini hamba terpaksa tidak bisa meluluskan permintaan Tuan
Muda. Biarlah di lain kesempatan hamba berjanji akan mencari lawan yang dapat
membuatmu tidak merasa sia-sia karena telah mempelajari ilmu-ilmu hamba," kakek
tua itu tetap bersikeras mempertahankan pendapatnya.
"Yah! Kalau memang keputusan Guru tidak dapat ditarik lagi, biarlah kali ini aku
mengalah. Tapi Guru harus menepati janji untuk mencarikan lawan yang benar-benar
dapat membuat hatiku puas!"
Akhirnya Ganesha terpaksa menuruti perintah gurunya. Pemuda jangkung itu
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kemudian bergegas melangkah mundur menjauhi arena.
Sementara itu, seluruh wajah Ki Kalianji dan Walanggata seketika merah mendengar
perdebatan guru dan murid itu. Kedua orang tokoh kosen Kadipaten Jagalan itu
benar-benar merasa terhina.
Betapa tidak" Karena, kedua orang guru dan murid itu enak saja membicarakan
nasib mereka. Seolah-olah, mereka dianggap orang pesakitan yang hukumannya
tengah diputuskan.
"Bangsat! Manusia sombong! Keparat!"
Walanggata yang usianya lebih muda daripada Ki
Kalianji tidak dapat lagi membendung kemarahan yang hampir-hampir meledakkan
dadanya itu. la memaki-maki marah sambil mencabut golok
bercagak yang tadi sudah disimpannya.
"Hiaaat..!"
Dibarengi teriakan mengguntur, tubuh tokoh Kadipaten Jagalan itu segera melompat
disertai tebasan golok besarnya.
Wut! Angin tajam berhembus keras mengiringi tebasan golok besar bercagak yang
diayunkan Walanggata sekuat tenaga.
"Hm...!"
Kakek berwajah kumuh itu mendengus kasar bernada mengejek. Tubuhnya bergeser ke
samping menghindari tebasan golok Walanggata. Sesaat setelah golok lawan
menyambar lewat, tangan kanan kakek itu cepat melakukan totokan jari-jari
tangannya yang membentuk paruh bangau. Kecepatan pukulan kakek itu hebat sekali,
hingga menimbulkan suara mencicit tajam.
Wusss! Bet! Walanggata melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindari totokan jari tangan
yang mengandung maut itu. Setelah melakukan salto beberapa kali, tokoh Kadipaten
Jagalan termuda itu mendaratkan kedua kakinya beberapa tombak dari lawannya
dengan manis. Rupanya kakek berwajah kumuh itu benar-benar ingin cepat-cepat menyelesaikan
pertarungan. Karena, pada saat tubuh Walanggata melompat ke udara, tubuh kakek itu pun segera
menyusulinya. Sepasang tangannya kali ini membentuk ceng-keraman melebar dan siap meremukkan
batok kepala lawan. "Aaah...!"
Bukan main terkejutnya Walanggata ketika melihat sepasang tangan lawan sudah
mencecar dengan serangan-serangan mematikan. Padahal, posisinya tidak
memungkinkan untuk menghindar. Maka tangan kirinya terpaksa diangkat untuk
memapak patukan tangan kanan lawan. Berbarengan dengan itu, golok bercagaknya
berkelebat membeset perut si kakek.
"Bagus...!" puji kakek lusuh itu.
Mau tak mau dia terpaksa memuji kegesitan dan kesigapan lawannya. Pujian yang
keluar dari mulut kakek itu bukanlah suatu pujian kosong ataupun ejekan. Karena,
apa yang dilakukan Walanggata memang benar-benar mengagumkan. Buktinya, di saat
dirinya terancam, ternyata tokoh itu masih juga sempat melontarkan serangan
berbahaya. Wut! Plak! Plak!
"Aaah...!"
Terdengar suara nyaring ketika sepasang lengan mereka saling bertumbukan. Tubuh
Walanggata terjajar mundur disertai seruan kagetnya. Sepasang tangannya terasa
seperti lumpuh ketika beradu tangan dengan kakek tua itu. Dan sebelum kuda-
kudanya sempat diperbaiki, tubuh lawannya kembali melompat disertai patukan-
patukan sepasang tangan ke seluruh tubuh Walanggata.
Pucat seluruh paras tokoh Kadipaten Jagalan itu.
Dia sadar sepenuhnya kalau kali ini tidak mungkin dapat lolos dari ancaman
sepasang tangan yang berbentuk paruh bangau itu. Walanggata hanya mampu
memejamkan matanya rapat-rapat menanti datangnya maut
"Yeaaat..!"
Pada saat yang berbahaya itu, sesosok bayangan tinggi kurus melesat ke tengah-
tengah arena pertarungan. Sepasang tangan sosok tubuh itu terdorong ke depan
dengan telapak tangan terbuka.
Wusss! Serangkum angin keras bertiup mengiringi dorongan sepasang telapak tangan yang
mengandung tenaga dalam tinggi itu. Gerakannya demikian cepat memotong gerak si
kakek yang tengah meluncur mengancam tubuh Walanggata. Dan....
Bresss! "Aaah...!"
Udara di sekitar arena pertarungan bergetar ketika sepasang tangan sosok tinggi
kurus bertemu telapak tangan guru Ganesha. Rupanya dia telah merubah gerakannya
begitu melihat sosok tubuh tinggi kurus memotong geraknya.
Akibatnya sungguh hebat, tubuh sosok tinggi kurus yang menyambut sepasang
telapak tangan kakek tua itu terlempar keras disertai jeritan kesakitan.
Tubuhnya terus meluncur menuju sebatang pohon sebesar dua pelukan orang dewasa
yang tumbuh di tepi arena.
Berbarengan dengan meluncurnya tubuh sosok tinggi kurus itu, sesosok bayangan
putih melesat dari arah yang berlawanan. Gerakannya demikian cepat hingga tak
ubahnya sebatang anak panah lepas dari busur.
Tappp! Sosok bayangan putih itu langsung mengulurkan tangannya menangkap sosok tinggi
kurus yang hampir menghantam sebatang pohon besar. Dan
dengan sebuah gerakan indah, bayangan putih itu melenting ke atas melakukan
beberapa kali salto di udara. Tanpa suara sedikit pun, sepasang kakinya mendarat
di atas permukaan tanah.
"Telanlah obat ini. Mudah-mudahan rasa nyeri pada bagian dadamu akan segera
lenyap. Dan beristirahatlah sejenak untuk memulihkan tenagamu yang buyar akibat
benturan keras tadi," ujar si bayangan putih sambil menyerahkan sebutir obat
pulung berwarna putih.
Cepat jari-jari tangan sosok berjubah putih itu bergerak menutup mulut sosok
tinggi kurus yang tak lain Ki Kalianji. Karena, dia melihat bibir orang yang
ditolongnya bergerak seperti hendak mengucapkan sesuatu.
Sementara itu, di arena pertarungan telah bertambah satu orang lagi. Di saat
Walanggata hampir tak mampu lagi melindungi tubuhnya dari ancaman serangan si
kakek, tahu-tahu saja sesosok tubuh ramping yang terbungkus pakaian serba hijau
melesat ke tengah pertarungan. Begitu tiba, dia langsung menusukkan pedangnya ke
arah lawan. "Aaah...!"
Tentu saja kakek itu menjerit kaget ketika tahu-tahu saja ujung pedang yang
mengeluarkan sinar putih keperakan mengancam beberapa bagian tubuhnya. Cepat
tubuhnya dilempar ke belakang, menghindari ujung pedang sosok tubuh yang baru
tiba itu. Cuiiit! Cuiiit!
Pedang di tangan sosok tubuh ramping itu terus mengejar tubuh si kakek yang
telah melompat beberapa tombak ke belakang. Guru Ganesha itu terus melakukan
beberapa kali salto ketika melihat ujung pedang sosok tubuh ramping itu terus
mengejarnya. "Siapa kau, Nisanak"! Mengapa mencampuri urusan kami?" bentak si kakek dengan
wajah gelap. Diam-diam ia merasa terkejut sekali melihat kehebatan ilmu pedang wanita jelita
yang datang-datang langsung menerjangnya itu.
Sosok tubuh ramping itu sama sekali tidak mempedulikan pertanyaan si kakek.
Dengan sikap acuh, wajahnya dipalingkan kepada Walanggata yang saat itu juga
tengah menatapnya.
"Te... terima kasih.... Atas pertolonganmu, Nisanak," ucap Walanggata agak
gugup. Sepasang mata laki-laki itu tampak menyiratkan kekaguman yang tak dapat
disembunyikan. Walanggata menjadi rikuh ketika melihat orang yang menolongnya ternyata adalah
seorang gadis yang memiliki paras sangat cantik.
"Hm...."
Sosok tubuh ramping yang ternyata adalah seorang dara jelita itu bergumam dan
tersenyum manis. Gadis itu baru tersadar dan senyumnya menghilang ketika melihat
orang yang ditolongnya semakin membelalakkan matanya bagaikan orang yang hilang
ingatan. "Maaf.... Maaf, bukan maksudku untuk bersikap kurang ajar. Tapi..., tapi....
Nisanak benar-benar mempesona," ucap Walanggata meminta maaf sambil
membungkukkan tubuhnya dalam-dalam.
"Hm.... Sudahlah!" sergah gadis jelita itu mengibaskan tangannya.
Untung saja Walanggata cepat menyadari
kesalahannya. Kalau tidak, mungkin gadis jelita itu akan menjadi marah melihat
sikapnya tadi. "Kakang, bagaimana luka orang tua itu?" tanya si gadis jelita sambil menolehkan
kepalanya ke arah pemuda tampan berjubah putih yang tadi menolong Ki Kalianji.
"Tidak apa-apa. Sebentar lagi kesehatannya segera pulih," sahut pemuda tampan
berjubah putih yang tak lain adalah Pendekar Naga Putih.
Pemuda itu berbasa-basi sejenak menanyakan keadaan Walanggata, kemudian kembali
memandang ke arah kakek tua yang melukai Ki Kalianji tadi.
"Hm...."
Kakek tua berwajah kumuh itu menatap tajam ke arah Panji. Sepasang matanya
meneliti sosok pemuda berjubah putih itu dari bawah ke atas.
Kemudian tanpa mengucapkan sepata kata pun, tubuh kakek itu melesat menerjang
Panji. Bet! Bet! "Eh...!"
Tentu saja Pendekar Naga Putih kaget melihat serangan yang tak diduga itu.
Cepat-cepat tubuhnya digeser ke belakang sehingga serangan kakek itu gagal.
"Perlahan dulu, Kakek Tua...!" seru Panji sambil terus menghindari patukan
tangan si kakek yang terus saja memburunya.
Pendekar Naga Putih terpaksa memapak serangan kakek itu, karena kalau dibiarkan
bisa-bisa dirinya menjadi celaka.
Dukkk! "Uhhh...!"
Tubuh mereka terjajar mundur ketika tangan masing-masing saling berbenturan.
Tampak keduanya sama-sama terkejut mengetahui kalau tenaga mereka boleh dibilang
berimbang. "Siapa kau, Anak Muda?" tanya si kakek semakin penasaran ketika mendapat
kenyataan kalau tenaga dalam pemuda itu sangat tinggi.
*** 8 "Namaku Panji. Lalu, siapa dirimu, Kisanak?" jawab Panji yang juga menanyakan
lawannya. Keduanya saling menatap dengan sinar mata berkilat tajam.
"Kakang! Menurut keterangan dua orang itu, kakek inilah yang telah membunuh dan
membangkitkan mayat Ki Jaladri!" bisik gadis jelita yang tak lain adalah
Kenanga. Rupanya selagi Panji berhadapan dengan kakek tua itu, Kenanga bertanya kepada
Walanggata dan Ki Kalianji yang tenaganya sudah pulih akibat pertolongan Panji
tadi. "Eh, benarkah...?" tanya Panji sambil menatap Ki Kalianji dan Walanggata
bergantian. Pemuda itu seolah-olah ingin mendapat kepastian dari dua orang yang
ditolongnya itu.
"Benar, Anak Muda. Dan aku juga bisa menduga, siapa dirimu. Bukankah kau yang
berjuluk Pendekar Naga Putih?" kata kedua orang tokoh kosen Kadipaten Jagalan,
seakan-akan meminta kepastian.
Ki Kalianji lalu menceritakan secara singkat, dari mulai kejadian di Kadipaten
Jagalan hingga akhirnya ditolong Pendekar Naga Putih dan Kenanga.
"Hm.... Kalau begitu, kami pun mempunyai urusan dengan kakek itu," gumam Panji
setelah mendengar keterangan dari Ki Kalianji. Sepasang mata pemuda itu
mencorong tajam menatap kakek tua di hadapannya.
"Ha ha ha...! Jangan kau pikir aku akan gentar.
mendengar namamu, Pendekar Naga Putih!" tegas
kakek itu. Dia memang menjadi lebih yakin ketika mendengar Ki Kalianji menyebut pemuda itu
dengan julukan yang memang telah diduganya.
"Ketahuilah, Pendekar Naga Putih. Saat ini kau tengah berhadapan dengan si
Penggembala Mayat'"
lanjut kakek tua itu terpaksa menyebut julukannya untuk membuat lawan-lawannya
gentar. "Penggembala Mayat..!" seru keempat orang pendekar itu terkejut, karena pernah
mendengar nama tokoh itu dari guru masing-masing.
"Huh! Jangan coba-coba membohongi kami, Kakek Tua. Tokoh yang kau sebutkan itu
telah ada semenjak aku masih muda. Jadi kalaupun masih ada, mungkin sudah
berusia seratus tahun lebih. Nah, jangan coba-coba menakut-nakuti kami!" sahut
Ki Kalianji sambil melontarkan senyum mengejek.
"He he he...! Itulah aku, Kalianji. Walaupun usiaku telah lebih dari seratus
tahun, tapi tetap awet muda berkat ilmu-ilmu yang kupelajari. Percaya atau
tidak, itu terserah kalian. Sekarang, bersiaplah untuk melayat ke akhirat!"
tegas kakek yang berjuluk si Penggembala Mayat itu. Sepasang matanya tampak
mengandung ancaman maut
"Kepung dan bunuh mereka...!" teriak Ganesha yang mulai memerintahkan anak
buahnya untuk mengepung keempat orang pendekar itu.
Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu pun melompat sambil mencabut
senjatanya. "Kalian hadapi yang lainnya. Biar aku yang akan mencoba menghadapi kakek yang
berjuluk si Penggembala Mayat itu!" ujar Panji sambil melompat ke arah si
Penggembala Mayat yang saat itu tengah menatap tajam ke arahnya.
"Heaaah...!"
Si Penggembala Mayat menggeram sambil mengangkat sepasang tangannya ke atas.
Sesaat kemudian, kedua tangan itu perlahan-lahan turun dan terkembang di depan
dadanya. Terlihat uap tipis mengepul dari sepasang lengan kakek tua itu.
Seketika bau kemenyan pun menebar memenuhi tempat itu.
Panji melompat, seolah-olah mengajak kakek itu untuk menjauhi pertarungan lain.
"He he he...! Mau lari ke mana kau, Pendekar Naga Putih?" ejek Penggembala Mayat
ketika melihat tubuh Panji melesat meninggalkannya.
"Hm.... Tidak akan kulakukan perbuatan pengecut itu, Penggembala Mayat! Aku
hanya ingin agar pertarungan kita tidak terganggu," sahut Panji yang sudah
menghentikan larinya. Tubuh pemuda tampan itu berdiri tegak di sebuah tanah
lapang yang cukup luas.
"Nah! Tempat ini rasanya cukup memadai, bukan?"
kata Panji, kalem. Pendekar Naga Putih menanti kedatangan tokoh sesat yang
berusia seratus tahun lebih itu.
"Hm.... Sambutlah jurus 'Mayat Hidup'ku ini!
Hiaaat..!"
Setelah berkata demikian, tubuh si Penggembala Mayat meluncur maju menerjang
Panji. Meskipun gerakannya terlihat patah-patah, namun kecepatan dan
keganasannya malah semakin menggetarkan.
"Uts!"
Panji berseru kaget. Bergegas tubuhnya dilempar ke belakang. Sedikit saja
terlambat, sudah dapat dibayangkan kalau tubuh pemuda itu pasti akan terhantam
jari-jari tangan yang berkuku panjang itu.
"Gila! Ilmu kakek ini ternyata dapat mengaburkan pandangan! Hm.... Pastilah ilmu
'Mayat Hidup' itu telah digabungkan dengan sejenis ilmu sihir. Aku harus lebih
berhati-hati untuk menghadapinya!" desis Pendekar Naga Putih, terkejut Memang
gerak lawannya ternyata mampu mengaburkan pandangannya.
Wettt! Wettt! Saat itu si Penggembala Mayat sudah melangkah maju. Sepasang tangannya bergerak-
gerak kaku, seperti terlonjak-lonjak. Dan setiap kali tangannya menyambar,
selalu saja membuat bulu kuduk Panji meremang. Seolah-olah hawa yang keluar dari
sepasang tangan kakek itu berasal dari alam lain.
"Hmh...!"
Dengan sebuah geraman menggetarkan, sepasang tangan Panji bergerak turun naik.
Jari-jari tangannya tampak bergetar karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
mulai mengalir ke seluruh urat-urat tubuhnya. Sesaat kemudian, selapis kabut
tipis yang bersinar putih keperakan pun mulai menyelimuti sekujur tubuhnya.
Wusss! Hawa dingin yang menusuk tulang berhembus ketika Panji mendorongkan sepasang
telapak tangannya ke depan. Dalam sekejap saja, sekitar arena pertarungan itu
telah dipenuhi hawa yang amat dingin.
"Heaaat..!"
Dibarengi teriakan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih melompat memapaki serangan
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
lawan. Sepasang tangannya yang sudah membentuk cakar naga mulai menyambar-nyambar
ganas. Setiap sambarannya, serangkum hawa dingin ikut pula menyertai.
Tak lama kemudian, kedua tokoh sakti itu telah saling menerjang dahsyat.
Sambaran angin pukulan kedua tokoh itu menerbangkan apa saja yang ada di
sekitarnya. Pohon-pohon di dekatnya langsung ber-tumbangan menimbulkan suara
gemuruh ketika pukulan-pukulan nyasar menghantamnya. Sehingga, suasana di
sekitar arena pertempuran sudah sedemikian semrawut, tak terurus.
"Yeaaat..!"
Bet! Bet! Memasuki jurus kelima puluh satu, tubuh si Penggembala Mayat tiba-tiba meliuk
disertai teriakan yang mengejutkan. Sepasang tangannya menyambar ganas mengancam
bagian perut Pendekar Naga Putih. Pemuda itu bergerak cepat menggeser tubuhnya hingga serangan jari-jari tangan
lawan lewat beberapa jari di sampingnya. Begitu serangan lawan luput, cakar naga
Panji berkelebat cepat mengancam dada dan ubun-ubun lawan.
Si Penggembala Mayat memutar kaki kirinya dengan gerakan amat kaku. Tapi
anehnya, serangan Panji tidak berhasil mengenai sasarannya. Bahkan tiba-tiba
saja tubuh kakek itu terjatuh dalam posisi tengkurap. Dan sesaat kemudian,
tubuhnya melenting bangkit dan meluncur ke arah lawan bagai sebatang bambu yang
dilontarkan. Panji yang sama sekali tidak menduga gerakan lawan, sempat terkejut dibuatnya.
Bergegas tubuhnya melompat ke samping sejauh satu tombak. Namun kembali Pendekar
Naga Putih terkejut untuk yang kedua kalinya. Karena, tubuh yang tengah meluncur
kaku dengan kaki berada di bagian depan itu, mendadak berputar dan kembali
mengancamnya. Sadar kalau tidak mungkin harus menghindari
terus-menerus, maka Pendekar Naga Putih mengangkat tangannya memapak sepasang
kaki yang mengancam tubuhnya. Segenap tenaga saktinya segera disalurkan. Memang,
Pendekar Naga Putih tahu betul kalau tenaga dalam lawan pasti sangat tinggi.
Dukkk! Plakkk! "Uuuh...!"
Terdengar letukan yang menggetarkan ketika dua gelombang tenaga sakti yang maha
dahsyat saling berbenturan keras. Beberapa batang pohon di dekat arena
pertarungan berderak ribut. Daun-daunnya seketika berguguran akibat kerasnya
getaran yang ditimbulkan pertemuan dua tenaga raksasa itu.
Akibat benturan itu, sempat pula mengejutkan Panji. Tubuhnya terjajar mundur
beberapa langkah ke belakang. Telapak tangan dan tulang lengannya terasa nyeri
dan linu. Diam-diam hati pemuda itu semakin terkejut dengan kekuatan tenaga
dalam yang dimiliki kakek tua itu.
Meskipun tangkisan Pendekar Naga Putih tadi sempat menghentikan daya luncur
tubuh lawan, tapi tidak berarti ancaman itu sudah lewat. Sebab tubuh kaku
laksana mayat itu kini kembali meluncur mengancamnya. Bahkan kecepatannya
semakin pesat. Des! Des! "Ugh...!"
Tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah terjajar mundur itu terlonjak keras ke
belakang. Karena sepasang telapak kaki lawan telak menghantam dada dan perutnya.
Darah seketika menyembur dari mulut pemuda itu! Dan tubuhnya yang meluncur
beberapa tombak langsung menghantam sebatang pohon
sebesar sepelukan orang dewasa. Pemuda itu melorot ke atas tanah berbarengan
dengan tumbang-nya pohon.
Pada saat itu juga si Penggembala Mayat kembali menerjang dan siap meremukkan
tubuh Pendekar Naga Putih yang tengah terduduk itu. Sepasang telapak kakinya
yang tengah dialiri tenaga dahsyat siap menjejak tubuh Panji.
Blarrr! Tanah dan bebatuan berhamburan disertai
kepulan debu yang membumbung tinggi. Diduga, tubuh Pendekar Naga Putih pasti
telah hancur bersama kepulan debu tadi. Namun, untung Panji sempat melempar
tubuhnya bergulingan menghindari jejakan kaki lawannya.
"Gila...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih terbelalak ngeri melihat sebuah lubang sebesar kubangan
kerbau, tempat tadi tubuhnya berada. Dan hal itu semakin membuatnya sadar kalau
lawannya kali ini benar-benar tidak bisa dibuat main-main.
Panji menarik napas dalam-dalam dan berulang-ulang untuk menghilangkan rasa
nyeri yang menyerang dadanya. Di sudut bibirnya, tampak cairan merah yang
menetes perlahan. Begitu rasa nyerinya berkurang, Pendekar Naga Putih bergegas
bangkit dan siap melanjutkan pertarungan yang menentukan itu.
Sesaat kemudian, keduanya kembali terlibat dalam pertarungan mati-matian. Mereka
saling menyerang dahsyat. Suasana di sekitar tempat pertarungan tak ubahnya
bagai dilanda angin topan dahsyat Pertarungan kedua orang tokoh sakti itu benar-
benar dahsyat dan mengerikan sekali.
Di arena lain, Kenanga, Ki Kalianji, dan Walanggata tengah berupaya
mempertahankan selembar nyawa mereka. Ganesha yang dibantu hampir tiga puluh
orang pengikutnya menerjang ketiga orang pendekar itu tanpa ampun.
Kenanga yang mengetahui kalau kekuatan
pengeroyoknya terletak pada pemuda jangkung itu, bergegas melompat menghadapi
Ganesha. Pedang Sinar Rembulan yang berada di tangannya berkelebat cepat
mengancam tubuh lawan.
Wut! "Aaakh...!"
Bukan main terkejutnya Ganesha ketika tiba-tiba saja serangkum angin tajam yang
berhawa dingin menyambar perutnya. Bergegas ditinggalkannya Ki Kalianji dan
tubuhnya segera dilempar ke belakang untuk menghindari serangan berbahaya itu.
"Nisanak! Mengapa kau membela kedua orang tak tahu diuntung itu" Bukankah lebih
baik ikut denganku" Percayalah, aku akan mengangkatmu menjadi permaisuriku yang
paling kusayangi. Marilah ikut denganku. Aku berjanji tidak akan menyia-
nyiakanmu," bujuk Ganesha.
Sinar mata pemuda itu memang mengandung
kekuatan sihir. Meskipun ilmu sihirnya belum sempurna, namun sepasang matanya
sudah dapat melumpuhkan semangat lawan yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi.
"Nisanak! Jangan pandang matanya! Pemuda itu telah menggunakan ilmu sihir untuk
merayumu!" Ki Kalianji berteriak memperingatkan ketika melihat gadis jelita itu
terpaku mendengar kata-kata Ganesha.
"Ah...! Bangsat keji! Rupanya kau benar-benar
pemuda bejat!" teriak Kenanga yang segera tersadar begitu mendengar teriakan Ki
Kalianji. Gadis itu cepat-cepat memutar pedangnya hingga membentuk gulungan sinar yang
menyelimuti seluruh tubuh. Tanpa membuang-buang waktu lagi tubuh Kenanga melesat
disertai sambaran pedangnya yang menggiriskan.
"Keparat kau, Kalianji! Tunggulah bagianmu nanti!"
ancam Ganesha yang semakin membenci tokoh tua Kadipaten Jagalan itu.
Setelah berkata demikian, pemuda jangkung itu bergegas melompat menghindari
sambaran pedang Kenanga.
"Ki Kalianji! Hadapilah begundal-begundal pemuda itu, berdua dengan Walanggata.
Biar keparat ini menjadi bagianku!" teriak Kenanga sambil menyabetkan senjatanya
berulang-ulang. Sepertinya gadis jelita itu menjadi marah sekali ketika hampir
saja termakan ilmu sihir pemuda itu.
Wut! Wut! Ganesha menggeser tubuhnya ke samping menghindari dua buah tusukan yang
mengancam ulu hati dan tenggorokannya. Kemudian, secepat kilat diberikannya
serangan balasan dengan tidak kalah ganasnya.
Trang! Bunga api berpijar ketika Kenanga menangkis pedang lawan yang mengancam
tubuhnya. Keduanya terjajar mundur dan memeriksa pedang masing-masing. Setelah
yakin kalau tidak mengalami kerusakan, keduanya kembali saling serang dengan
hebatnya. Sementara itu, Ki Kalianji dan Walanggata sangat terkejut ketika mendapat
kenyataan kalau para
pengeroyoknya itu ternyata sangat gesit dan lincah.
Sehingga dalam beberapa jurus saja kedua tokoh kosen Kadipaten Jagalan itu harus
menguras tenaga untuk dapat melindungi dirinya.
Ki Kalianji dan Walanggata benar-benar dibuat kewalahan oleh kerjasama
pengeroyoknya yang sangat kompak. Sepertinya para pengikut Ganesha telah dilatih
sedemikian rupa sehingga dapat bekerja sama dengan baik.
"Yeaaat..!"
Rasa penasaran yang kian memuncak membuat Ki Kalianji menjadi geram. Sambil
berteriak keras, dia melompat disertai ayunan sepasang tongkat pendek-nya.
Wut! Wut! Dua batang tongkat hitam di tangan Ki Kalianji berkelebat cepat menimbulkan deru
angin keras. Dua senjata kembar itu meluncur deras mengancam dua orang lawan
yang berada di samping kiri.
Melihat dua orang kawannya terancam, para pengeroyok lain segera berlompatan
sambil mem-babatkan pedang ke tubuh Ki Kalianji. Paling tidak, mereka berharap
kakek itu akan menunda serangan untuk menyambut ancaman senjata mereka.
Tapi kali ini rupanya Ki Kalianji telah mem-pertimbangkan serangannya secara
masak. Sebab, begitu enam batang golok lain meluncur mengancamnya, tubuh kakek
itu tiba-tiba melenting ke belakang enam penyerangnya. Sambil berputaran di
udara, sepasang tongkat hitam di tangannya menyambar kepala empat orang
penyerang. Wut! Wut..! Prak! Prak! Crok...!
Tanpa sempat menjerit lagi, empat orang
pengeroyok itu kontan roboh dengan kepala pecah.
Darah yang bercampur otak, seketika berhamburan membasahi arena pertarungan.
Tentu saja hal itu membuat para pengeroyok lain menjadi terkejut setengah mati.
Amukan Ki Kalianji tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Begitu kedua
kakinya menyentuh tanah, tubuhnya kembali melenting ke arah dua orang lainnya.
Sepasang tongkatnya terayun ke arah punggung mereka.
Buk! Buk...! "Aaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika tongkat hitam di tangan kakek itu tepat
menghantam punggung dua orang lawannya. Tubuh mereka langsung tersungkur
disertai semburan darah segar dari mulut. Dua orang itu kontan tewas dengan
tulang punggung remuk.
Berbarengan dengan itu, terdengar jerit kematian yang menyayat hati. Empat orang
pengikut Ganesha terjungkal mandi darah. Rupanya Walanggata tidak mau
ketinggalan oleh kawannya. Golok bercagaknya telah pula memakan korban.
Di tengah ramainya pertempuran berlangsung, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
datang ke arah pertempuran. Menilik suaranya yang bergemuruh, dapat dipastikan
kalau rombongan berkuda itu tidak kurang dari dua puluh orang. Tentu saja hal
itu membuat orang-orang yang tengah bertempur menjadi cemas. Karena, mereka
belum dapat menerka kawan atau lawan.
"Tuan Muda Anggada...!" Ki Kalianji dan Walanggata berteriak gembira begitu
dapat mengenali orang yang berada di barisan paling depan dan telah dekat dengan
arena pertempuran.
"Paman...!" seru pemuda yang memang Anggada adanya itu.
Wajah pemuda itu menjadi heran ketika melihat kedua orang pengawal setia ayahnya
tampak tengah dikeroyok puluhan orang kasar. Bergegas pemuda itu memerintahkan
para pengikutnya untuk membantu kedua orang tokoh Kadipaten Jagalan itu.
Kedua orang tokoh kosen itu langsung menghampiri tuan mudanya. Setelah memberi
hormat, Ki Kalianji lalu menceritakan duduk persoalannya secara singkat. Kening
Anggada seketika berkerut mendengar penuturan kedua orang kepercayaan ayahnya
itu. "Hm.... Kalau saja aku tidak menyaksikannya sendiri, pastilah aku belum dapat
menerima keterangan Paman ini," desah Anggada yang segera memalingkan wajah ke
arah yang ditunjuk Ki Kalianji.
Wajah pemuda itu berubah pucat ketika melihat adiknya tengah bertarung dengan
seorang gadis cantik.
"Ganesha...!" desis Anggada hampir tak terdengar.
Wajah tampan itu mendadak murung. Karena biarpun Ganesha bukan adik kandungnya,
namun sangat disayanginya. Dan tentu saja kejadian itu membuatnya sangat
terpukul. "Tuan Muda, marilah kita tangkap dia hidup-hidup sebelum gadis jelita itu
membunuhnya," usul Walanggata ketika melihat kemurungan menyelimuti wajah putra
junjungannya. Sekilas saja dia tahu kalau Anggada merasa berat untuk melakukan
tindakan kejam terhadap adiknya.
"Paman berdua sajalah yang melakukannya. Aku tidak sampai hati melakukan hal
itu," sahut Anggada sambil membalikkan tubuhnya melangkah ke arah
pertempuran yang berkecamuk.
Tanpa berkata apa-apa lagi, tubuh pemuda itu bergegas melompat ke dalam kancah
pertempuran membantu para prajuritnya. Kedukaan membuat pemuda itu mengamuk
hebat, sehingga dalam beberapa jurus saja enam orang lawan telah tergeletak
tewas. Sepertinya Anggada bermaksud menumpahkan kekecewaan hatinya kepada para
pengikut adiknya.
Sementara itu, pertarungan Panji melawan si Penggembala Mayat sudah semakin
memuncak. Jurus-jurus andalan telah digunakan untuk menundukkan satu sama lain. Tapi
sampai sejauh itu, keduanya masih berimbang meskipun di pihak Pendekar Naga
Putih telah menderita luka dalam akibat hantaman lawan.
"Hm.... Ternyata nama Pendekar Naga Putih bukan sekadar nama kosong belaka. Aku
benar-benar kagum dengan kepandaian yang kau miliki, Anak Muda. Tapi, kali ini
kau terpaksa harus melepaskan nyawa dan gelarmu di tangan si Penggembala Mayat!"
kata kakek itu yang diam-diam merasa kagum dengan kehebatan Panji.
"Hiaaah...!"
Dibarengi bentakan menggemuruh, tubuh
Penggembala Mayat tiba-tiba berputar cepat bagai sebuah gangsing. Sesekali jari-
jari tangannya menyembul dari balik lingkaran yang diciptakannya itu.
Panji melempar tubuhnya, lalu bergulingan ketika tahu-tahu saja jari-jari tangan
lawan telah berada di depan tubuhnya. Pemuda itu langsung berputaran beberapa
kali ke belakang karena serangan-serangan lawan terus saja mengejar.
Des! Buk!' "Huakkk...!"
Darah segar muncrat keluar dari mulut Pendekar Naga Putih ketika hantaman sisi
dan telapak tangan lawan singgah di lambung dan perutnya. Tubuh pemuda itu
terjungkal bergulingan hingga beberapa tombak jauhnya. Panji berusaha bangkit
sambil mendekap dadanya yang terasa sesak. Lebih-lebih perut dan punggungnya
yang terasa remuk akibat hantaman lawan.
Selagi tubuh Pendekar Naga Putih bergerak bangkit, si Penggembala Mayat kembali
meluruk menerjang lawannya. Sepertinya kakek tua itu memang benar-benar hendak
menghabisi nyawa Panji.
Pada saat yang gawat itu, Panji teringat akan pedang pusaka yang tersampir di
punggungnya. Tangan kanannya cepat bergerak meraba gagang pedang.
"Yeaaa...!"
Desss! Crak! "Ugh...!"
"Aaargh...!"
Terdengar keluhan yang keluar dari mulut Panji.
Berbarengan dengan itu, si Penggembala Mayat meraung setinggi langit. Ternyata
pada saat telapak tangannya menghantam dada, Panji memiringkan tubuhnya.
Sehingga, hantaman telapak tangan kakek itu hanya menyerempet bahu Pendekar Naga
Putih. Pada saat itu juga, Panji membarengi dengan sabetan Pedang Naga Langit yang
membabat pinggang si Penggembala Mayat hingga tubuh kakek itu terbelah menjadi
dua bagian. Darah segar seketika memercik membasahi tanah.
Tubuh si Penggembala Mayat terbanting di atas tanah dalam keadaan terpisah.
Perlahan-lahan tubuh kakek itu mengerut, seolah-olah darahnya terhisap oleh
sesuatu yang tak tampak. Si Penggembala Mayat kini tewas dalam keadaan yang
sangat mengerikan.
Panji menatap pedang di tangannya dengan sepasang mata membelalak. Ternyata noda
darah yang terdapat di badan pedang, perlahan menguap untuk kemudian hilang
tanpa bekas. Pedang Naga Langit kembali bersih dan berkilau, seolah-olah tidak
pernah terkena darah. Bergegas pedangnya disimpan kembali di punggung.
Pertempuran lain pun sepertinya telah pula usai.
Semua pengikut Ganesha telah dapat dibinasakan.
Sedangkan pemuda itu sendiri telah dapat ditakluk-kan oleh Kenanga. Tubuhnya
tertotok sehingga harus digotong oleh beberapa prajurit. Kenanga, Ki Kalianji,
Walanggata, dan seorang pemuda tampan melangkah menghampiri Panji yang masih
terduduk lemah.
Pendekar Naga Putih 13 Penggembala Mayat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kakang, kau tidak apa-apa....?" tanya Kenanga cemas. Bergegas gadis jelita itu
menubruk kekasihnya yang belum juga bangkit itu.
"Ah! Aku tidak apa-apa, Kenanga. Hanya luka biasa. Sebentar juga kesehatanku
sudah pulih seperti biasa," sahut Panji seraya tersenyum, untuk melega-kan
perasaan kekasihnya itu.
"Pendekar Naga Putih, kami mengucapkan terima kasih atas kesediaanmu yang telah
menyelamatkan dua orang pamanku ini. Ingin sekali aku mengajakmu untuk menghadap
ayahku. Tapi, semua itu terserah dirimu," ujar Anggada yang rupanya sudah diberi
tahu kalau pemuda yang menolong dua orang pembantu ayahnya itu adalah Pendekar
Naga Putih. "Ah, terima kasih atas kebaikan Tuan Muda. Tapi sayang, kali ini kami tidak bisa
memenuhi permintaan Tuan Muda. Masih banyak tugas yang harus diselesaikan,"
sahut Panji menolak halus ajakan pemuda tampan itu.
"Baiklah kalau begitu, Pendekar Naga Putih. Dan kini kami pergi dulu. Dan jangan
lupa, kalau ada kesempatan singgahlah di tempat kami. Kami menanti
kedatanganmu," ucap Anggada seraya melompat ke atas punggung kudanya.
Dan kini rombongan itu kembali ke kadipaten dengan membawa Ganesha yang telah
berhasil ditawan.
Pendekar Naga Putih dan Kenanga memandangi kepergian rombongan berkuda itu.
Kesunyian pun mulai terasa ketika rombongan berkuda itu telah lenyap dari
pandangan. Sejenak kemudian, kedua orang itu pun saling berpandangan mesra. Kenanga
mengerutkan keningnya ketika melihat wajah kekasihnya meringis menahan sakit.
"Kakang...! Kau... kau kenapa...!" tanya Kenanga ketika melihat wajah Pendekar
Naga Putih tampak semakin memucat. Bergegas dirangkulnya tubuh pemuda itu ketika
terlihat hendak roboh.
Kenanga semakin kalang-kabut ketika melihat kekasihnya tak sadarkan diri.
Diraihnya tubuh Panji ke dalam pelukannya, seolah-olah dengan berbuat begitu
kekasihnya diharapkan segera tersadar.
Tapi mendadak saja Panji membuka kedua matanya dan langsung memeluk tubuh gadis
cantik itu erat-erat.
"Kakang jahat!" teriak Kenanga sambil berusaha melepaskan pelukan kekasihnya.
Gadis jelita itu sama sekali tidak berusaha melepaskan diri dari pelukan
kekasihnya. Dan kini malah merebahkan kepalanya di dada pemuda pujaannya.
"Mengapa Kakang selalu saja menggodaku?" bisik gadis itu lirih, sambil
menengadahkan wajahnya memandang Panji.
Panji hanya tertawa mendengar pertanyaan kekasihnya itu. Dikecupnya sepasang
mata indah itu.
"Ayolah. Bukankah kita harus ke Desa Keputih untuk memberitahukan kepada tujuh
orang murid Ki Jaladri kalau tugas kita sudah selesai," ajak Panji diiringi
senyum manis. Tak berapa lama kemudian, keduanya melangkah meninggalkan hutan itu. Sinar
kemerahan tampak menyemburat di kaki langit sebelah Barat. Sebentar lagi, senja
akan turun mengiringi langkah sepasang pendekar itu.
SELESAI Created ebook by
Scan & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (paulustjing)
Weblog, http://hanaoki.wordpress.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=B97228
Mbah Pete 2 Lauw Pang Vs Hang Ie Kejatuhan Dinasti Cin Dan Kebangkitan Dinasti Han Pedang Dan Kitab Suci 4