Pencarian

Mbah Pete 2

Gento Guyon 16 Mbah Pete Bagian 2


tanduk kerbau. Walau wajah
si mayat dalam keadaan menggembung bengkak dan
sulit dikenali. Tapi melihat ciri pakaian serta topi yang dikenakan orang Roro
Centil masih ingat siapa gerangan mayat yang tergantung itu adanya.
"Gelombang Tangis Dalam Duka!" desis si gadis sambil meraba tengkuknya yang
terasa dingin bagaikan es. "Kau mengenal kakek itu?" tanya Mbah Petir dengan
suara bergetar. Saking kagetnya orang tua ini
tanpa sadar sampai terkencing dan terkentut-kentut.
"Dia adalah salah seorang tokoh yang seharus-
nya ikut hadir dalam pertemuan di Kiara Condong itu.
Siapapun tidak pernah menduga dia tewas dengan ca-
ra seperti ini." ujar Roro Centil.
"Mungkinkah dia mati menggantung diri?"
"Tidak mungkin Mbah." sahut si gadis tegas.
Roro Centil terdiam sejenak baru kemudian melan-
jutkan. "Aku banyak mengenal watak dan kebiasaan tokoh yang hadir dalam
pertemuan itu. Gelombang
Tangis Dalam Duka bukan manusia yang gampang pu-
tus asa dalam menghadapi persoalan atau musibah.
Seseorang pasti telah membunuhnya. Orang yang me-
miliki ilmu kesaktian yang luar biasa, lalu menggan-
tungnya dengan cara begini keji!"
"Aku jadi teringat dengan pengakuan Puteri
Pemalu. Barangkali Si Muka Setan seperti yang diceri-
takannya memang ada dan tinggal disekitar Telaga ini.
Paling tidak kita sudah sama mengetahui Si Muka Se-
tan yang asli telah meninggal dunia. Jadi siapapun
adanya Si Muka Setan yang palsu ini, pasti dia me-
nyimpan niat keji untuk mencelakakan kita semua!"
ujar Mbah Petir dengan suara perlahan.
Roro Centil anggukkan kepala.
Sejenak dia kembali memandang ke arah mayat
yang tergantung. Angin berhembus menebarkan bau
busuk juga menyingkapkan pakaian sebelah kanan si
mayat. Roro Centil melihat sesuatu.
"Mbah, sebaiknya mayat itu kita turunkan saja.
Aku melihat ada yang tidak beres!" kata si gadis.
"Kau betul. Pada pakaian mayat seperti ada pe-
san. Ditulis dengan semacam cat dengan warna putih!"
Mbah Petir menimpali. Kemudian si Mbah dengan di-
ikuti Roro Centil segera mendekati pohon dimana
mayat Gelombang Tangis Dalam Duka tergantung dis-
itu. Mbah Petir menunggu di bawah, sedangkan Roro
Centil mencabut salah satu dari dua pedang pendek
yang terselip di pinggang sebelah kiri.
Gadis itu lalu melompat, bergerak mendekati
tali, sedangkan pedang di tangan kanannya berkelebat
menyambar tali itu.
Teees! Satu tebasan dilakukan Roro Centil, tali putus
dan tubuh kaku tanpa nyawa itu meluncur deras jatuh
dalam pelukan Mbah Petir. Bau busuk yang menebar
dari diri si mayat membuat si kakek buru-buru mem-
baringkan mayat Gelombang Tangis Dalam Duka di-
atas rerumputan. Sedangkan Roro Centil yang sudah
jejakkan kakinya ke tanah segera masukkan pedang ke
tempat semula. Setelah itu tanpa menghiraukan bau
busuk yang menyesakkan dada, Roro Centil memerik-
sa pakaian si mayat.
Si gadis surut dua langkah ketika melihat satu
luka akibat pukulan beracun terdapat di bagian tubuh
Gelombang Tangis Dalam Duka. Luka itu berwarna hi-
tam, meninggalkan lima jari tangan. Pakaian yang ter-
kena pukulan hangus menghitam. Roro Centil jadi in-
gat, pukulan yang sama juga telah menewaskan Malai-
kat Kuku Seribu dan Si Burung Merak di dalam ruan-
gan rahasia. Semua ini merupakan suatu bukti bahwa
Gelombang Tangis Dalam Duka terbunuh di tangan
orang yang sama.
"Nenek Muka Setan" Siapapun dirimu, aku tak
mungkin bisa mengampuni jiwamu!" geram Roro Centil dengan wajah tegang dan
geraham bergemeletukan.
Mbah Petir sendiri tak mampu keluarkan sua-
ra, lidahnya terasa kelu, tubuh gemetaran.
Hati si kakek saat itu dicekam ketegangan yang
luar biasa, hingga kentut dan kencingnya terpancar silih berganti.
Roro Centil kemudian mendekati mayat Gelom-
bang Tangis. Dengan tangan gemetar dan mata mende-
lik dia menyingkapkan pakaian luar si mayat. Gadis ini tercenang begitu melihat
dua baris kalimat yang ditulis melintang dari bagian dada sampai ke bagian kaki.
Dengan bibir bergetar dia menyimak tulisan itu.
'Kematian akan menghampiri siapa saja yang datang ke tempat ini. Terkecuali bagi
mereka yang mau menjadi kaki tangan calon raja diraja rimba persilatan'.
"Manusia gila! Dia beranggapan dirinya malai-
kat pencabut nyawa hingga dapat memastikan kema-
tian setiap orang." gumam Roro Centil. Gadis ini kemudian kitarkan pandangan
matanya kesegenap pen-
juru sudut, memperhatikan setiap semak belukar, pe-
pohonan juga batu-batu di kanan kirinya. Tak ada sia-
papun yang terlihat. Suasana tetap lengang, seakan
memang tidak ada siapapun disitu terkecuali mereka
sendiri. "Mbah Petir! Rasanya kita tidak mungkin men-
guburkan mayat kakek ini. Menurutku ada baiknya
kalau kita memeriksa kawasan telaga secepatnya. Aku
yakin bangsat pembunuh itu bersembunyi di sekitar
sini!" terdengar suara Roro Centil memecahkan kehe-ningan suasana.
"Ee... Roro, ada baiknya kalau kita tinggalkan
tempat ini secepatnya. Perasaanku mengatakan ada
orang yang mengawasi segala gerak gerik kita. Aku
berfikir alangkah baiknya kalau kita mencari selamat.
Aku... aku takut sekali!" jawab Mbah Petir sambil dekap celananya yang basah
oleh air kening.
Melihat Mbah Petir yang tiba-tiba berubah jadi
penakut Roro Centil sangat geram sekali. "Sudah ku-duga sejak semula rasa
pengecutmu pasti segera mun-
cul begitu kau melihat kejadian seperti ini. Percuma
kau jadi laki-laki. Mana keberanianmu, mana kejanta-
nanmu sebagai lelaki heh?"
Dengan gugup Mbah Petir menyahut.
"Kejantananku....i....ini. Ada ditempatnya, ma-
lah membuat celanaku basah!"
"Mbah dukun gendeng. Bukan itu maksudku,
siapa perduli dengan barang bau pesing begitu?" damprat si gadis dengan muka
merah padam dan perasaan
jengkel. "He he he. Biar pesing tapi antik." kata Mbah Petir cengengesan.
Roro Centil gelengkan kepala. "Tidak Mbah, kita
tak mungkin tinggalkan tempat ini. Kita harus mencari nenek Muka Setan, aku
harus membuat perhitungan
dengannya. Sudah terlalu banyak nyawa yang me-
layang secara sia-sia. Kita harus membalaskan kema-
tian mereka agar arwah mereka tidak penasaran!" tegas Roro Centil.
Mbah Petir terdiam, sepasang matanya berke-
dap-kedip menerawang entah kemana.
"Kurasa kau benar. Kematian mereka hanya
suatu kesia-siaan saja jika kita yang hidup tidak melakukan sesuatu. Sekarang
apapun keputusanmu aku
akan ikut mendukung sepenuhnya. "ujar Mbah Petir.
"Dukungan yang membabi buta hanya akan
melahirkan penyesalan seumur hidup. Kalian akan
mati ditanganku. Hik hik hik!" teriak satu suara di sertai tawa tergelak-gelak.
Baik si gadis maupun si kakek sama tercekat
sama pula melengak kaget. Rasa kaget membuat Mbah
Petir terkentut-kentut. Kencingnya memancar tak ter-
tahankan. "Gawat... aduh Roro. Aku kencing lagi kentut
lagi." "Jangan ditahan Mbah keluarkan saja semua!"
sahut Roro Centil dengan perasaan tegang. Dengan ce-
pat si gadis memandang ke satu jurusan dimana suara
dan tawa tadi terdengar. Mendadak Roro Centil berte-
riak ditujukan pada si kakek.
"Mbah Petir menyingkir!"
Kalang kabut Mbah Petir selamatkan diri ber-
lindung di balik pohon begitu melihat belasan batu besar laksana dilontarkan
menerjang ke arah mereka.
Buum! Buuum! Batu bermentalan menghantam tempat kosong.
beberapa diantaranya hancur berkeping-keping setelah
membentur bebatuan lain yang terdapat di tempat itu.
"Kiamat... siapa yang melempari kita dengan
batu Roro!" dari tempat perlindungannya Mbah Petir ajukan pertanyaan pada si
gadis yang bersembunyi tak
jauh darinya. "Bukan demit bukan setan Mbah. Dia pasti
manusia, tapi terlalu pengecut untuk menunjukkan di-
ri!" sahut Roro Centil. Terhuyung-huyung dia bangkit,
lalu keluar dari balik pohon. Tapi gadis ini kemudian tercengang begitu melihat
suasana disekelilingnya dipenuhi asap hijau. Saat Roro menarik nafas, dia lang-
sung terbatuk. Roro Centil mengendus bau sesuatu
yang menyengat. Cepat dia tekab hidungnya.
"Astaga! Mengapa tiba-tiba ada asap hijau me-
menuhi tempat ini. Aku... aku seperti mencium bau...!"
Malu-malu tapi takut, Mbah Petir menyahuti.
"Asap hijau ini akibat aku terlalu banyak kentut, jangan marah Roro. Aku.. aku
tak sengaja!"
"Orang tua geblek, kentutmu sebesar apa kok
sampai bisa mengebul begini?" damprat si gadis marah. Belum sempat si kakek
menjawab. Dari arah
suara tadi kini terdengar makian disertai berkelebat-
nya satu sosok tubuh berpakaian serba kuning.
"Iblis dari mana kentutnya bau pete begini!"
Si kakek melengak, dalam kejutnya kentut dan
kencingnya terpancar saling susul menyusul, hingga
membuat suasana ditempat itu selain dipenuhi bau
pesing juga diwarnai bau pete yang menyengat.
8 Hanya dalam waktu sekejapan mata saja dide-
pan mereka telah berdiri tegak sosok nenek tua be-
rambut putih panjang berpakaian serba kuning beren-
da putih. Wajah perempuan tua ini rusak mengerikan
seperti bekas di cacah. Berdiri tegak dengan segala
keangkerannya si nenek berwajah setan memandang
ke arah si kakek dan Roro Centil silih berganti.
Si nenek dongakkan kepala, sepasang matanya
yang mencorong tajam penuh kesombongan meman-
dang ke langit. Tak lama kemudian terdengar tawanya
yang melengking, menusuk telinga.
"Gadis cantik datang ke tempat kediamanku di
saat udara dingin begini. Sungguh kau datang pada
waktu yang tepat. Hik hik hik." kata Si Muka Setan disertai tawa mengikik
panjang. Tak lama setelah puas memperhatikan Roro Centil, dia alihkan
perhatiannya pada Mbah Petir sambil berkata. "Rasanya aku tidak membutuhkan tua bangka
penjujung dupa sepertimu.
Tubuh menebar bau pesing, kentut berasap disertai
busuknya bau pete. Jahanam sepertimu layak kukirim
ke neraka secepatnya!" dengus si nenek.
Dihina sedemikian rupa, jika semula Mbah Pe-
tir ketakutan setengah mati melihat keangkeran nenek
itu, maka kini timbul keberaniannya. Mbah Petir maju
selangkah, mulutnya mendamprat. "Manusia gila kesasar, rupanya kau baru datang
dari neraka. Pantas
ujudmu tak karuan rupa." kata Mbah Petir. Lalu dia melanjutkan. "Kudengar tadi
kau menghendaki sahabatku itu" Agaknya otakmu memang tak waras hingga
menyukai kaum sejenis. Tapi setelah melihat tam-
pangmu, jangankan Roro Centil kurasa binatang pun
tak sudi denganmu!"
"Kakek penjunjung dupa bau pesing pete. Gili-
ranmu akan tiba sebentar lagi. Sekarang aku ingin bi-
cara dengan gadis ini!" dengus nenek Muka Setan. Dia kemudian berpaling pada
Roro Centil. "Gadis cantik, namamu bagus sekali. Sangat sesuai dengan orangnya.
Nama bagus, kulit mulus wajah cantik. Sesuai
benar dengan seleraku. Aku akan mengajakmu ke sor-
ga, tapi sebelum itu biar kuhabisi dulu kakek penjun-
jung dupa bau pesing ini!" Selesai bicara si nenek balikkan badan sambil
mengangkat tangan siap dihan-
tamkan ke arah Mbah Petir. Si kakek tercekat, tapi dia sendiri sudah berlaku
waspada dari segala kemungkinan. Roro Centil yang berdiri tak jauh dari sebelah
kiri Mbah Petir melompat maju sambil berteriak.
"Manusia biadab, ternyata bukan perbuatanmu
saja yang keji. Tapi rupanya mulut dan hatimu me-
nyimpan kebiadapan. Katakan padaku siapa yang te-
lah membunuh kakek itu?" hardik Roro Centil sambil menunjuk mayat Gelombang
Tangis Dalam Duka yang
terbujur kaku didepannya.
Si Muka Setan melirik ke arah si mayat sekilas.
Kemudian dia tertawa. "Tua bangka yang suka menangis itu memang aku yang
membunuhnya agar dia da-
pat meneruskan tangisnya di akherat!" jawab Si Muka Setan. Mendengar jawaban si
nenek, Roro Centil diam-diam terkejut. Dia ingat dengan pukulan yang bersa-
rang didada si kakek. Pukulan itu yang telah mene-
waskannya. "Kau membunuhnya dengan pukulan Te-
lapak Beracun, bukankah begitu?" pancing si gadis.
"Ternyata selain cerdik matamu cukup jeli. Aku
memang membunuhnya dengan pukulan Beracun!"
sahut Si Muka Setan penuh rasa bangga.
Seketika wajah Roro Centil berubah merah pa-
dam, mata melotot penuh amarah. Dia jadi ingat den-
gan kejadian yang menimpa Si Burung Merak dan Ma-
laikat Kuku Seribu. Mereka semua adalah orang pent-
ing yang hadir dalam pertemuan para pendekar. Kedua
orang itu juga tewas akibat terkena pukulan yang sa-
ma. Dengan tubuh bergetar dilanda kemarahan si ga-
dis berteriak. "Jadi kau bangsatnya yang juga telah membu-
nuh orang-orang di dalam ruangan pertemuan rahasia
itu?" Meledaklah tawa si nenek mendengar perta-
nyaan Roro Centil. "Kau benar, memang aku yang telah membunuh mereka. Bukan


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hanya itu saja aku pu-
la yang telah memerintahkan Perampas Benak Kepala
membunuh para pengawal pertemuan juga seorang
nenek malang yang akan memimpin pertemuan itu.
Sayang Perampas Benak Kepala tidak kembali kesini,
bahkan seolah dia lenyap di telan bumi!"
Kagetlah Roro Centil mendengar pengakuan Si
Muka Setan. Dia tahu Perampas Benak Kepala bukan
manusia yang dapat dijatuhkan dengan mudah. Dia
dapat membunuh lawan dengan hantaman sinar maut
yang keluar dari kepalanya sebelum lawan dapat me-
nyentuhnya. Tapi nenek buruk didepannya malah
mampu menundukkan si penyedot otak bahkan men-
jadikannya sebagai kaki tangan. Siapapun adanya
orang yang memakai dandanan dan menyaru sebagai
Si Muka Setan ini pastilah memiliki ilmu serta kesak-
tian yang sulit dijajaki. Roro Centil sadar dirinya bera-dapan dengan lawan
tangguh, karena itu diapun ber-
laku waspada. "Aku yakin Perampas Benak Kepala telah ter-
bunuh di tangan seseorang. Orang yang sangat men-
ginginkan nyawamu!" pancing Mbah Petir.
Si Muka Setan berjingkrak kaget mendengar
ucapan si kakek. Cepat dia berpaling ke arah Mbah Pe-
tir. "Tua bangka bau pete" Siapa kau berani mengatakan budakku terbunuh. Siapa
yang membunuhnya"!"
hardik Si Muka Setan. Mbah Petir menyeringai.
"Siapa diriku tidak penting bagimu. Cukup kau
mengenalku sebagai si Mbah Dukun bau pete. Karena
aku dukun, maka aku tahu Perampas Benak Kepala
telah tewas di tangan seseorang!" sahut si kakek ber-bohong.
"Jahanam, dukun keparat. Di dunia ini tidak
ada manusia yang paling kubenci selain pemuda edan
Pendekar Sakti Gento Guyon. Tapi aku tidak yakin dia
mampu mengalahkan Perampas Benak Kepala, jan-
gankan lagi membunuhnya. Hik hik hik." kata si ne-
nek. "Pengakuanmu itu merupakan suatu bukti
bahwa kau sebenarnya bukan nenek Muka Setan. Kau
Muka Setan yang palsu. Karena Si Muka Setan yang
sebenarnya tidak punya silang sengketa dengan Gento
Guyon, bahkan kenalpun kurasa tidak!"
Sepasang mata si nenek membelalak lebar, dia
jadi kaget. Bukan saja karena orang mengetahui raha-
sianya, tapi juga tidak menyangka bahwa gadis itu ternyata kenal dengan musuh
besarnya. "Gadis cantik, apakah kau punya hubungan
tertentu dengan Pendekar Sakti Gento Guyon?" tanya Si Muka Setan disertai
pandangan penuh selidik.
"Apakah aku mengenalnya atau tidak, semua
itu bukan urusanmu.!" sahut Roro Centil tegas.
Merasa diremehkan Si Muka Setan menggerung
marah. "Gadis kurang ajar. Rupanya kau belum tahu siapa dirimu"!" teriak si
nenek. Sambil tertawa-tawa, Mbah Petir menyahuti.
"Kira-kiranya aku tahu. Menurut gadis gila Puteri Pemalu, engkau ini adalah
gurunya. Menurut panga-
kuannya pula kau mengalami guncangan di bagian
kepala, hingga otakmu jadi sinting. Kurang lebih gila-mu lebih hebat dari yang
diderita gadis itu. Karenanya dia memintaku untuk mengobati otakmu yang tidak
waras. Pengobatan seperti yang diminta gadis itu
hanya akan menimbulkan kekacauan dikemudian ha-
ri. Jadi menurutku pengobatan yang paling tepat ada-
lah dengan memenggal kepalamu. Ha ha ha!" kata si kakek disertai tawa tergelak-
gelak. Kedua pipi si nenek menggembung besar, bibir
terkatup sedangkan mata mencorong tajam. "Kau manusia rongsokan tidak berguna,
kau yang akan ku-
singkirkan terlebih dulu. Setelah itu hem, untuk gadis secantik sahabatmu itu
aku sudah punya rencana ter-
sendiri!" habis berkata begitu Si Muka Setan berkelebat ke arah si kakek, tangan
kanannya bergerak me-
nyambar bagian leher Mbah Petir dengan cengkeraman
lima kuku jari siap merobek leher orang tua itu. Kaget kakek itu bukan kepalang
membuat kentutnya terpancar bertalu-talu. Sambil terkentut-kentut si kakek
selamatkan diri dengan melompat kebelakang. Asap hi-
jau mengepul di udara menutupi pemandangan, mem-
buat Si Muka Setan kelabakan, sambil memaki dia ki-
baskan tangan kiri untuk mengusir asap kentut yang
menebar bau busuknya petai. Megap-megap Si Muka
Setan melompat mundur. Roro Centil sendiri yang me-
nyadari bau kentut si kakek dapat membuat kepalanya
jadi pusing jauh sebelumnya sudah menutup penci-
uman sambil menahan nafas.
Didepan sana si kakek memandang mendelik
sambil memperbaiki pendupaan diatas kepalanya yang
miring. "Manusia keparat" Busuk betul baumu. Tapi aku ingin melihat apakah kau
mampu menghindari
pukulan Telapak Beracunku!" dengus nenek Muka Setan. Perempuan itu diam-diam
kerahkan tenaga da-
lamnya ke bagian kedua tangan. Si kakek tercekat ke-
tika melihat betapa kedua tangan Si Muka Setan hing-
ga sampai sebatas siku nampak berubah menghitam
disertai menebarnya bau busuk menyengat.
"Mbah Petir! Harap kau berlaku hati-hati. Seka-
rang dia mengerahkan pukulan Telapak Beracun. Jan-
gan pula kau sampai menjadi korban berikutnya dari
keganasan pukulan itu!" melalui ilmu menyusupkan suara Roro Centil memberi
peringatan. "Aku sudah melihat. Kekejian itu paling tidak
harus dapat kuhentikan, andai terpaksa aku akan
mengadu jiwa dengan setan tua ini!" jawab Mbah Petir.
Tak berselang lama mulut si Mbah nampak komat-
kamit, kemudian terdengar gumaman tidak jelas. Ber-
samaan dengan suaranya yang terdengar, pendupaan
diatas kepala si kakek tampak menyala disertai me-
mancarnya cahaya yang merah terang disertai dengan
mengepulnya asap tebal yang bergulung-gulung. Asap
lalu menebar dan meluncur deras ke arah lawan. Pada
waktu bersamaan nenek Muka Setan melesat ke arah-
nya, dua tangan berkelebat. Satu menghantam pupus
asap sirapan yang mampu membuat si nenek pingsan,
sedangkan tangan yang satunya lagi menghantam ke
arah dada. Asap sirapan yang menebar dari pendu-
paan lenyap dihantam pukulan Si Muka Setan, se-
dangkan tangan nenek itu menyambar ke atas jan-
tung. Kejut Mbah Petir tidak terkira, kencing meman-
cang disertai suara kentut seperti petasan. Si kakek
melompat ke samping, tangan bergerak ke atas kepala.
Pendupaan melayang lalu diangsurkan ke arah tangan
Si Muka Setan yang seharusnya menghantam dada
Mbah Petir. Jross! Braak! "Waaakhh...!"
Si Muka Setan menjerit keras ketika pukulan-
nya menghantam pendupaan. Walau pendupaan han-
cur dan bara didalamnya bertaburan. Namun sebagian
punggung Telapak Tangan Si Muka Setan hangus me-
lepuh. Kenyataan ini membuat kemarahan dihati si
nenek makin berkobar-kobar. Sementara hancurnya
pendupaan membuat pendengaran Mbah Petir ter-
ganggu lagi. "Tua bangka mampuslah!" teriak si nenek. Laksana kilat dia kembali menyerbu,
merangsak ganas ke
arah lawan sedangkan tangan dan kakinya berkelebat
menyambar sedikitnya ke sepuluh bagian tubuh si ka-
kek. Beberapa saat lamanya Mbah Petir memang dapat
menghindari hujan serangan yang makin menghebat
itu. Tapi ketika si nenek merobah jurus-jurus silatnya, dalam waktu singkat si
kakek terdesak hebat.
"Hebat luar biasa, tapi siapa takut mati!" memuji si kakek setelah berhasil
meloloskan diri dari hujan serangan lawan yang sangat gencar itu.
"Ingin kulihat apakah kau memang tidak takut
mati!" dengus Si Muka Setan. Sekonyong-konyong Si Muka Setan berkelebat ke arah
si kakek, dua tangan
bergerak berbareng mencari sasaran didada dan perut
si kakek. "Ilmu Kutukan Mendera Bumi! Mbah Petir me-
nyingkir!" teriak Roro Centil yang rupanya mengenali pukulan lawan. Mbah Petir
tanpa pendupaan diatas
kepalanya tentu saja tidak dapat mendengar suara te-
riakan si gadis. Orang tua itu sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, dua
tangannya diangkat ke atas
menyambut serangan lawan.
Plak! Plak! Desss! Dua tangan bentrokan keras di udara membuat
Mbah Petir menjerit karena tangan yang dipergunakan
untuk menangkis laksana terbakar sedangkan tubuh-
nya terjengkang akibat satu hantaman berhasil me-
nyusup menghantam dada. Sebaliknya di depan sana
Si Muka Setan juga belalakkan matanya ketika melihat
bagaimana lengan baju kuningnya robek, dibalik baju
yang robek kini tersembul pakaian merah.
"Manusia setan siap kau?" teriak Roro Centil kaget. Gadis ini langsung mencabut
dua bilah pedang
yang terselip dipinggang kanan kiri. Tak jauh di sebelah kirinya dengan nafas
megap-megap Mbah Petir ber-
teriak. "Roro... hoek... aku percaya hanya dengan merobek-robek wajah setannya
kita baru bisa mengetahui
siapa bangsat yang menyamar sebagai Muka Setan ini.
Hayo tunggu apa lagi apakah kau tidak mau berga-
bung denganku berebut pahala melenyapkan nyawa
bangsat penipu ini"!"
"Hem, aku khawatir kau tak akan dapat melak-
sanakan keinginanmu itu tua bangka bau pete!" dengus Si Muka Setan. Dia lalu
melompat sambil berte-
riak. "Ini bagianmu!" bersamaan dengan suara teria-kannya itu si nenek kembali
melancarkan pukulan ke
arah Mbah Petir. Selarik sinar hitam membersit dari
tangan si nenek, bergerak bergulung-gulung kemudian
menghantam tubuh Mbah Petir. Dalam keadaan seper-
ti itu Mbah Petir coba selamatkan diri dengan bergu-
lingan ke samping. Tapi celakanya tubuh si kakek tak
dapat digerakkan sama sekali. Seakan bagian pung-
gungnya menempel dengan tanah. Tak menyangka ter-
jadi hal aneh diluar perhitungannya si kakek hanya
mampu belalakkan mata, sedangkan mulutnya komat-
kamit membaca mantra untuk menerapkan ilmu anda-
lannya. Didepan sana Roro Centil demi melihat bahaya
besar yang dialami oleh sahabatnya tidak tinggal diam.
Dua pedang dilemparkannya ke arah lawan. Satu
menghujam ke bagian punggung dan satunya lagi me-
luncur ke bagian rusuk.
Mendengar suara mendesing dari bagian sam-
pingnya, Si Muka Setan cepat berpaling. Dia tercekat, namun cepat mengambil
tindakan dengan mengi-baskan tangannya ke arah dua cahaya putih yang me-
luncur deras ke arahnya.
Bumm! Buuum! Tring! Tring! Terdengar suara berdentum disertai dentring
senjata yang berhasil di tangkis oleh Si Muka Setan.
Guncangan keras membuat Roro Centil tergetar. Gadis
itu cepat lakukan satu gerakan untuk menyambut pe-
dang yang berbalik menghantam dirinya.
Pedang kena ditangkap kembali. Tapi dia jadi
terkejut, ketika melihat bagaimana ujung kedua pe-
dangnya putus tidak ubahnya seperti membentur besi
baja. 9 Tak begitu jauh dari tempat tegaknya Roro Cen-
til, justru Si Muka Setan saat itu dibuat tercengang.
Pukulan yang dilepaskannya tadi jelas-jelas menghan-
tam tubuh lawan. Tapi mengapa mendadak tubuh
Mbah Petir raib tidak meninggalkan bekas" Kemana
perginya orang tua itu"
"Tidak mungkin pukulan yang kulepaskan
membuat tubuhnya hancur menjadi debu. Apa mung-
kin dukun bau pete itu mempunyai ilmu melenyapkan
diri?" fikir si nenek. Dia rupanya penasaran hingga kitarkan pandang disekitar
lubang bekas pukulan yang
masih mengepulkan asap hitam. Orang yang dicarinya
tetap tidak kelihatan.
"Hi hi hi! Kau heran, nenek setan?" satu suara berucap mengejutkan si nenek. Dia
langsung membalikkan tubuhnya. Melihat kedepan sana Roro Centil
tampak berdiri tegak dengan pedang disilangkan dide-
pan dada. Melihat pada gadis itu sekilas, si nenek
sunggingkan senyum. Tapi senyum itu hanya mem-
buat wajahnya semakin menyeramkan.
"Kau sahabatnya, kau pasti tahu apa yang dila-
kukan tua bangka tadi"!" ujar Si Muka Setan penuh curiga. Roro Centil tertawa.
"Mungkin dia mati akibat pukulanmu. Bisa jadi tubuhnya amblas kedalam bumi.
Perduli apa" Nenek setan, melihat kau melepaskan
pukulan 'Kutukan Mendera Bumi', aku rasanya pernah
mendengar ilmu pukulan itu. Hemm.. aku baru ingat
sekarang. Pukulan itu konon pernah membuat geger
rimba persilatan belasan tahun yang lalu. Kalau tak
salah pemilik pukulan keji itu adalah manusia keparat bergelar Begawan Panji
Kwalat. Ada hubungan apa kau
dengan manusia jahanam itu"!" teriak Roro Centil.
"Hik hik hik. Kau baru bisa mengetahui ada
hubungan apa antara aku dengannya setelah bersedia
menjadi pengantinku satu malam.!" sahut Si Muka Setan.
"Perempuan gila, otakmu benar-benar tidak wa-
ras! Setelah kau hancurkan rencana pertemuan para
pendekar, setelah kau bunuh para pendekar dunia
persilatan. Apakah kau mengira dirimu dapat melo-
loskan diri dari incaran maut?"
"Maut tak pernah mengincar diriku, karena dia
adalah sahabatku. Justeru sekarang ini maut sedang
mengintai dirimu. Tapi sebelum maut itu menjemput-


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mu, aku harus bersenang-senang dulu dengan diri-
mu!" kata si nenek disertai tawa terkekeh-kekeh.
"Sebelum kau melakukan niat gilamu, sebaik-
nya kau makan pedangku!" bentak Roro Centil. Suara bentakan lenyap, dua pedang
pendek yang telah buntung pada bagian ujungnya berkiblat, sinar putih lak-
sana kilatan cahaya bertabur di udara disertai suara berkesiuran. Ketika Roro
Centil merangsak kedepan,
maka sinar putih menyilaukan mata itu mengurung Si
Muka Setan. Mendapat serangan gencar dengan meng-
gunakan jurus andalan ini Si Muka Setan sama sekali
tidak menjadi jerih. Sebaliknya dia malah tertawa ter-bahak-bahak. Dengan tenang
pula si nenek kibaskan
tangannya lancarkan pukulan Telapak Beracun.
Wuuut! Dua tangan menyambar, satu ke bawah sa-
tunya lagi ke atas. Hawa dingin disertai menebarnya
cahaya hitam melabrak ke arah Roro Centil membuat
dua pedang yang siap menghantam dada dan kepala si
nenek tertahan di udara seolah ada satu kekuatan
yang menahannya. Selagi Roro Centil dibuat kaget atas kenyataan yang
dihadapinya, dua tangan Si Muka Setan kembali berkelebat dan tahu-tahu pedang di
tan- gan si gadis sudah kena dicekalnya.
Sekuat tenaga Roro Centil berusaha menarik
lepas pedangnya dari jepitan tangan lawan. Tapi kedua pedang sama sekali tidak
bergerak. Malah badan pedang yang berwarna putih mengkilap, kini berubah
menghitam. Dalam waktu sekejap seluruh badan pe-
dang menghitam keseluruhannya. Roro Centil tercekat,
terlebih-lebih ketika merasakan dua tangan yang me-
megang hulu pedang tiba-tiba terasa panas. Si gadis
sadar akan bahaya yang mengancam jiwanya andai dia
terus mempertahankan pedang itu. Tanpa fikir pan-
jang lagi pedangpun dilepaskannya, dia melompat
mundur sambil melepaskan pukulan tangan kosong.
Tak menyangka lawan sempat melepaskan pu-
kulan ke arahnya, maka Si Muka Setan sambil cam-
pakkan pedang rampasan segera melompat sela-
matkan diri. Tapi tak urung bagian kakinya sempat
terkena hantaman pukulan lawan.
Si Muka Setan meraung, sambil berjingkrak
tangannya sibuk memadamkan api yang membakar
ujung kaki celakanya. Selagi nenek angker ini sibuk
memadamkan api, Roro Centil melompat tinggi di uda-
ra. Tubuhnya berputar sedangkan kaki melesat meng-
hantam si nenek disaat dirinya baru saja tegak berdiri.
Dess! Nenek muka setan meraung, sebagian kulit wa-
jahnya terkelupas tapi tak ada darah yang menetes.
Malah dibalik robekan wajahnya tersembul kulit-kulit
halus. Tendangan tadi membuat Si Muka Setan jatuh
terjengkang. Seakan tidak menghiraukan sakit yang
mendera wajahnya si nenek melompat bangkit. Den-
dam dan amarah membuat nenek ini menjadi gelap
mata. "Aku yakin wajahmu yang hancur itu hanya
palsu adanya. Aku ingin melihat wajah yang sesung-
guhnya. Baru kemudian kulucuti seluruh pakaianmu
hingga aku dapat melihat engkau laki-laki atau perem-
puan!" "Hik hik hik. Jika kau sudah tahu siapa diriku.
Aku takut kau terus merengak, mengemis cinta kasih-
ku, tapi apa perlunya kau lihat wajahku. Kau tak cu-
kup pantas untuk melihatnya. Gadis cantik bersiap-
siaplah untuk menikmati malam indahmu!" Si Muka
Setan menyahuti.
Sebelum si nenek mengambil suatu tindakan,
guna meringkus Roro Centil, maka pada saat itu pula
si gadis melompat ke arahnya dengan tangan terjulur
siap lancarkan cakaran ke bagian wajah lawan. Gera-
kan yang dilakukan gadis itu sungguh cepat luar bi-
asa, tahu-tahu kini tubuhnya hanya tinggal sejarak setengah langkah saja dari
hadapan lawannya. Di luar
dugaan Si Muka Setan dorongkan tangannya ke atas
menangkis sambaran tangan kanan lawan, sedangkan
tangan kiri meluncur me-remas bagian dada sebelah
kiri Roro Centil.
"Tua bangka kurang ajar!" pekik gadis itu. Dengan gugup dia lakukan gerakan
berjumpalitan kebela-
kang. Tapi gerakannya ini kalah cepat dengan gerakan
tangan lawan yang meremas dada.
Roro Centil menjerit tertahan. Dilain saat dia
merasa sekujur tubuhnya menjadi kaku. Tak ampun
lagi gadis ini jatuh terhempas, diam tidak berkutik tapi langsung memaki begitu
menyadari dirinya kena dito-
tok oleh lawan secara kurang ajar,
"Perempuan hina. Lepaskan totokan keparat
ini!!" Si Muka Setan datang menghampiri, berdiri tegak didepan Roro Centil.
Wajah di dongakkan ke atas,
sedangkan mulut mengumbar tawa. Dengan mata jela-
latan merayapi keelokan tubuh si gadis Si Muka Setan
berucap. "Tidak seorangpun perempuan yang sudah
berada dalam kekuasaanku kulepaskan. Terkecuali...
Hik hik hik." Si nenek tidak melanjutkan ucapannya.
Dia memandang lurus ke arah kegelapan di seberang
telaga. Di tempat itu dibawah kerapatan pepohonan
dia membangun sebuah pondok. Satu tempat peristi-
rahatan tersembunyi sekaligus merupakan tempat di-
rinya bersenang-senang dengan perempuan culikan-
nya. Dengan bibir menyunggingkan senyum penuh ar-
ti, Si Muka Setan langsung menyambar Roro Centil.
Gadis yang dalam keadaan tertotok kaku ini lalu dile-
takkan diatas panggulan dibahu sebelah kiri. Setelah
itu dia berlari cepat melewati bagian tepi telaga.
Sadar dengan bahaya besar yang mengancam-
nya, Roro Centil berteriak, "Nenek keparat lepaskan aku. Lepaskan...!"
Si Muka Setan sama sekali tidak menanggapi,
malah dia semakin mempercepat larinya.
Kembali pada Mbah Petir yang sempat terkena
pukulan si nenek. Ketika Si Muka Setan melepaskan
pukulan ke arah Mbah Petir. Orang tua ini memang ti-
dak sempat menghindar. Pukulan pertama ini telah
membuat Mbah Petir menderita luka di bagian dalam.
Luka dalam yang tidak dapat dianggap ringan. Disaat
seperti itulah Mbah Petir menyadari kalau tenaga da-
lam lawannya ternyata dua tingkat diatasnya. Yang dia khawatirkan bukan
perbedaan tenaga dalam yang mereka miliki. Tapi si kakek menyadari pukulan yang
di- lepaskan lawannya selain sangat berbahaya juga men-
gandung racun ganas. Melihat dari kenyataan yang
ada tidaklah mengherankan tokoh-tokoh seperti Ma-
laikat Kuku Seribu maupun Si Burung Merak dapat
dibunuh oleh nenek itu.
Sadar pula kalau dirinya tidak bakal sanggup
menghadapi Si Muka Setan ketika nenek itu mele-
paskan pukulan untuk yang kedua kalinya, maka
Mbah Petir pun dengan terpaksa menggunakan ajian
Panglemunan. Yaitu ilmu melenyapkan diri. Sehingga
ketika pukulan Si Muka Setan menghantam ke arah-
nya si kakek mendadak raib dari pandangan mata.
Lenyap dari penglihatan orang si kakek me-
nyingkir. Namun dia tidak pergi jauh apalagi melarikan diri. Bagaimanapun dia
sangat mengkhawatirkan keselamatan sahabatnya Roro Centil. Rasa cemasnya atas
keselamatan gadis itu kemudian terbukti. Roro Centil
bukan saja tak dapat menjatuhkan si nenek, malah dia
sendiri kena dicelakai dan ditotok oleh nenek Muka Setan itu. "Apa yang harus
aku lakukan kini. Aku seorang diri tak mungkin sanggup menyelamatkan Roro dari
cengkeraman nenek keparat itu. Hukh... celaka. Aku
sekarang mesti menyembuhkan luka dalamku dulu.
Biarlah untuk sementara aku berada dalam penerapan
ilmu Panglemunan, sehingga keberadaanku disini ti-
dak diketahui oleh siapapun!" kata si kakek.
Mbah Petir kemudian mengeluarkan sebuah
kantong kecil butut berwarna hitam dari balik pakaian hitamnya. Kantong lalu
dibuka, dia mengeluarkan tiga
buah benda berwarna putih, hitam dan merah. Ketiga
benda yang terjadi pel mujarab ini cepat dimasukkan-
nya kedalam mulut. Begitu obat memasuki tenggoro-
kannya, Mbah Petir merasakan adanya hawa panas
laksana membakar tenggorokan juga bagian lambung-
nya. Beberapa kejap kemudian hawa panas menjalar
ke sekujur tubuh Mbah Petir. Orang tua ini meraung
hebat. Sekujur tubuh Mbah Petir bergetar, keringat
membasahi wajah dan pakaian orang tua ini. Walau-
pun begitu hawa panas bukannya makin mereda, tapi
semakin menggila seolah membakar dibagian dalam
terlebih-lebih di bagian dada.
"Walah tobaat... Obat atau racun yang kumi-
num tadi. Walah... walah...!" Tubuh si kakek mengele-par wajahnya nampak merah,
sedangkan mata mende-
lik seperti mau melompat keluar.
Mbah Petir kemudian terpaksa mencekik leher-
nya sendiri agar tidak keluarkan suara teriakan begitu dia mendengar suara orang
bercakap-cakap menuju ke
arahnya. Dia yang saat itu tak jauh dari sebatang po-
hon segera palingkan wajahnya ke arah datangnya su-
ara. Si orang tua menahan nafas, mulut terkatub rapat untuk menjaga agar jangan
ada suaranya yang keluar
walaupun saat itu rasa sakit akibat obat yang dima-
kannya terus mendera tidak kunjung henti.
Tidak berapa lama kemudian di tempat itu
muncul seorang pemuda berambut gondrong, berwajah
tampan bertelanjang dada. Sedangkan dileher si gon-
drong yang suka tersenyum seperti orang sinting ini
tergantung seuntai kalung bermata batu dengan warna
putih buram agak kuning kecoklatan. Bersama si gon-
drong adalah seorang laki-laki setengah baya beram-
but klimis rapi. Orang ini berpakaian kuning diwarnai tambal-tambalan. Melihat
pada penampilan serta pakaian yang dikenakanya yang bersama si gondrong itu,
Mbah Petir paling tidak mengenali siapa dia adanya.
"Raja Pengemis ini bagaimana bisa muncul ber-
sama pemuda gondrong itu" Apakah dia pemuda yang
bernama Gento Guyon" Aku ingin tahu apa yang dica-
rinya di tempat ini?" kata Mbah Petir. Karena kebera-
daannya tidak dapat dilihat oleh siapapun, maka enak
saja dia mendengar pembicaraan orang.
Mula-mula yang membuka mulut adalah Raja
Pengemis. "Tadi aku seperti mendengar ada suara orang berteriak kesakitan
disini. Aneh mengapa suara
itu tiba-tiba lenyap?" kata orang tua itu, sedangkan matanya memandang liar
memperhatikan kesetiap sudut. Pemuda yang bersamanya menyeringai. "Aku
tidak mendengar suara apapun. Barangkali telingamu
sudah rusak, perlu diganti dengan telinga yang baru.
Orang tua seperti paman sebaiknya memakai telinga
gajah, jadi pendengaran bisa lebih terang. Ha ha ha!"
"Aku tidak bergurau, Gento. Jelas tadi aku
mendengar ada suara orang menjerit. Suara jeritan itu seperti orang yang
menderita sakit luar biasa."
Si gondrong Gento Guyon tidak menanggapi.
Matanya memandang ke depan. Kening murid kakek
gendut Gentong Ketawa berkerut ketika melihat tempat
itu berantakan seperti bekas terjadi perkelahian disitu.
10 Pendekar Sakti Gento Guyon sendiri tadi me-
mang sempat mendengar suara jeritan. Entah siapa
yang menjerit, yang jelas ditempat itu seperti pernah terjadi perkelahian hebat.
Lalu Gento mencium adanya
bau bangkai. Cepat sekali pemuda itu memeriksa kea-
daan disekelilingnya. Jika Gento mengendus bau bu-
suk, sebaiknya Raja Pengemis yang berdiri tidak jauh
dari Mbah Petir mencium bau pesing petai.
"Bau pesing, orang yang terlibat perkelahian
disini rupanya sampai terkencing-kencing. Mungkin
dia menghadapi lawan yang tangguh!" Raja Pengemis
berkata perlahan.
"Ha ha ha. Ternyata bukan cuma telingamu sa-
ja yang tidak beres. Rupanya hidungmu juga menga-
lami gangguan. Siapa bilang bau pesing" Siapa bilang
bau pete" Aku malah mencium bau busuk!" sahut si pemuda sambil bersungut-sungut.
Di tempat duduknya Mbah Petir yang masih
menerapkan ilmu Panglemunan tak dapat menahan
senyum. "Yang bau pesing dan bau pete itu diriku, se-
dang yang bau busuk pasti bersumber dari mayat ka-
kek Gelombang Tangis!" kata Mbah Petir. Tapi dia masih tidak berani menunjukkan
diri. Di sebelah kiri sa-na Gento Guyon mendadak keluarkan seruan terta-
han. "Paman Raja Pengemis, aku menemukan mayat
seseorang disini!"
"Mayat... mayat siapa?" tanya Raja Pengemis.
Tergesa-gesa dia datang menghampiri. Tak lama ke-
mudian dia sudah berdiri disamping Gento. Dua orang
ini saling berpandangan.
"Kau mengenalnya?"
Gento anggukkan kepala. "Walaupun mayatnya
hampir membusuk, tapi aku tahu siapa orang ini. Be-
berapa hari yang lalu dia bertemu denganku setelah
membunuh sahabatku Rajo Penitis. Tak disangka se-
seorang telah membunuhnya di sini, kemudian mayat-
nya digantung. Paman lihatlah pesan itu"!" kata si gondrong sambil menunjuk ke
arah dua baris kalimat
yang tertera di bagian baju dan celana si mayat.
"Aku sama sekali tidak mengenali siapa yang
telah membuatnya?" ucap raja Pengemis disertai ge-lengan kepala.
"Yang kita lihat adalah suatu kesombongan."
gumam Gento. "Pemuda jahanam itu mungkinkah dia
orangnya?"
"Siapa maksudmu?"
"Aku belum dapat memastikan. Kita lihat saja
nanti, sebelum kutemukan bukti aku tidak bisa men-
duganya begitu saja. Seperti yang paman lihat ditem-
pat ini telah terjadi perkelahian, tapi aku melihat tidak ada korban disini."
"Mungkin mereka yang terlibat perkelahian sa-
ma-sama terluka dan sama melarikan diri."


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gento Guyon tersenyum. "Rupanya paman
menganggap mereka adalah orang-orang pengecut?"
"Kami bukan pengecut, tapi nenek jahanam itu
memang sangat tinggi sekali ilmunya!" satu suara menyahuti membuat Gento dan
Raja Pengemis melonjak
kaget. Mereka lalu memutar tubuh dan menghadap
langsung ke arah datangnya suara.
Kejut dihati Gento bukan kepalang ketika meli-
hat seorang kakek tua berpakaian serba hitam duduk
setengah rebah dengan tubuh bersandar pada batu tak
jauh dari tempat mereka berada. Sebaliknya Raja Pen-
gemis setelah memperhatikan dan meneliti wajah ka-
kek itu tak dapat lagi menahan tawanya.
"Kalau tak salah yang duduk rebahan disitu
bukankah dukun sakti yang selama ini dikenal dengan
julukan Mbah Petir" Apa saja yang kau lakukan disitu
Mbah, sedang kencing atau kentut" pantas tadi aku
mencium bau pesing. Rupanya kau sedang dalam kea-
daan ketakutan hingga secara pengecut menerapkan
ilmu menghilang untuk menghindari musuh.?" tanya Raja Pengemis disertai senyum
mengejek. "Rupanya siapa kakek bau pesing ini?" tanya Gento berbisik.
"Dia si dukun sakti yang hendak ditemui saha-
batmu Roro Centil!" jawab Raja Pengemis.
Di depan sana Mbah Petir yang baru saja sem-
buh dari luka dalam yang dia alami terbatuk-batuk
sambil memegangi dadanya. Terhuyung-huyung Mbah
Petir bangkit berdiri.
Si kakek yang menjadi budek kembali akibat
pendupaannya hancur dihantam nenek Muka Setan
jadi tersenyum-senyum. Bukannya menjawab perta-
nyaan Raja Pengemis, Mbah Petir malah ajukan perta-
nyaan. "Walah syukur sekali kau datang."
Setelah berkata begitu dia beralih pada Gento.
"Dan pemuda gondrong yang bersamamu itu siapa-
kah?" "Kau masih mengenaliku, Mbah. Bagus. Sahabatku pemuda gondrong itu adalah
Pendekar Sakti Gento Guyon." jawab Raja Pengemis. Mbah Petir
manggut-manggut.
"Mbah, mengapa kau sampai berada disini"
Dimana sahabatku Roro Centil. Apa dia belum bertemu
denganmu?" tanya si pemuda.
Si kakek entah mendengar pertanyaan Gento
atau sebaliknya, malah unjukkan wajah kaget. "Bagaimana kalian bisa mengetahui
Roro Centil di culik
nenek Muka Setan?"
Gento tercengang. "Paman Raja Pengemis. Ter-
nyata bicara dengannya tidak menyambung. Rupanya
Mbah Petir saking kelewat saktinya jadi tuli. Tak ku-
sangka Roro Centil malah mengagulkan kakek budek
ini." kata Gento pada Raja Pengemis.
"Tak usah mencaci kekurangan orang. Kau
dengar tadi katanya Roro Centil dilarikan nenek Muka
Setan. Kita harus mengejarnya!" kata Raja Pengemis pula. "Mau dikejar kemana?"
"Tanyakan pada Mbah Petir!" sahut Raja Pen-
gemis. Mesem-mesem sambil mengusap hidungnya
Gento ajukan pertanyaan pada kakek didepannya den-
gan suara keras. "Mbah budek.... nenek itu membawa Roro centil kemana?"
Suara menggeledek itu tentu saja didengar oleh
Mbah petir. Sebaliknya Raja Pengemis yang berada tak
begitu jauh dari Gento jadi pengang.
"Gondrong sialan, bicara jangan seperti geledek
begitu?" bentak Raja Pengemis sewot. Gento tertawa bergelak.
Di depan mereka Mbah Petir menyahuti.
"Gadis itu... celaka. Nenek Muka Setan mem-
bawanya ke seberang telaga."
"Sudah lama Mbah" Siapa saja yang dibawanya
kesana?" tanya Gento lembut perlahan.
"Gondrong tolol. Bicara dengannya harus den-
gan suara keras!"
"Raja Pengemis. Tadi aku sudah bicara keras
kau melarang, sekarang kau malah menyuruhku ber-
teriak?" "Maksudku yang jelas."
"Apa menurutmu suaraku tidak jelas" Sudah-
lah dari pada kita berdebat lebih baik kita susul nenek sialan itu!"
Selesai berkata sang pendekar cepat memutar
tubuh lalu berkelebat tinggalkan tempat itu. Raja Pengemis segera mengikuti.
Mbah Petir sempat termangu melihat kepergian
mereka. "Hei... tunggu...!" si kakek berteriak. Suara te-riakannya lenyap, tak
ada jawaban. Mbah Petir kemu-
dian mengejar ke arah lenyapnya Gento dan Raja Pen-
gemis. 11 Di atas sebuah balai kayu tubuh si gadis tergo-
lek kaku dalam keadaan tertotok. Suasana didalam
pondok yang terang temaram membuat Roro Centil
merasa sulit untuk mengenali keadaan didalam pon-
dok. Suasana pondok yang sunyi menyadarkan gadis
ini bahwa Si Muka Setan tidak berada di pondok saat
itu. "Nenek keparat itu pergi kemana" Apa yang
hendak dilakukannya terhadapku?" fikir gadis itu. Dalam keadaan dirinya tidak
berdaya Roro Centil jadi teringat pada Sriwidari. Gadis itu pernah mengatakan si
nenek pernah hendak berbuat keji terhadap dirinya.
Mungkinkah hal yang sama akan menimpa dirinya"
Berfikir sejauh itu membuat hati si gadis dilanda kere-sahan. Dia tahu Si Muka
Setan tidak berada di pon-
dok, entah pergi kemana dan entah apa pula yang di-
lakukannya diluaran sana. Namun Roro Centil menya-
dari lambat atau cepat dirinya juga pasti berada dalam incaran bahaya. Nenek itu
segera kembali ke pondok.
Jika dia memang ingin selamat dari aib besar dan se-
gala kekejian yang mungkin dilakukan Si Muka Setan
maka kesempatan itu sekarang adanya.
"Aku harus membebaskan diri dari pengaruh
totokan!" gumam Roro Centil. Lalu diam-diam si gadis pusatkan fikiran dan segera
mengerahkan tenaga dalamnya. Tenaga dalam selanjutnya disalurkan ke ba-
gian dada. Desss! Roro Centil mengeluh perlahan ketika merasa-
kan tenaga dalam yang dikerahkan kebagian dada
yang kena ditotok berbalik. Ternyata totokan Si Muka
Setan tak mudah untuk dipunahkan. Penasaran Roro
Centil kembali kerahkan tenaga saktinya.
Dess! Dees! Kembali hal yang sama terjadi. Dia bukan saja
gagal melenyapkan totokan orang, tapi juga akibat
benturan tenaga dalam dengan tenaga totokan yang
melumpuhkan seluruh tubuhnya menimbulkan rasa
sakit luar biasa di bagian dalam.
"Apa dayaku kini?" Roro Centil mengeluh putus asa. Gadis itu memandang ke
langit-langit pondok,
tapi kemudian perhatiannya beralih ke arah pintu
pondok begitu dia mendengar suara langkah kaki ber-
lari cepat menuju kepondok itu. Satu bayangan berke-
lebat melewati pintu yang terbuka. Dilain kesempatan
sosok Si Muka Setan telah berdiri tegak disamping ba-
lai ketiduran. Roro Centil tercekat, namun dia memang tidak
hendak bicara apapun dengan nenek bermuka seram
itu. Hanya sepasang matanya saja yang memandang
dengan mata mendelik ke arah orang tua itu.
"Hik hik hik. Aku sudah tahu kau tidak sabar
lagi menunggu saat malam pengantin itu. Kekasihku,
kau harus bersabar. Aku baru saja mempersiapkan di-
ri agar diriku menjadi lebih tangguh dibandingkan
dengan waktu-waktu sebelumnya!" kata Si Muka Se-
tan. "Tua bangka keparat, siapa sudi berbuat keji
denganmu. Lepaskan totokan ini. Man kita bertempur
sampai seribu jurus!" teriak Roro Centil marah.
Si nenek tertawa cekikikan. Tawanya kemudian
lenyap berganti dengan seringai dikobari nafsu bejat.
"Kita memang akan bertempur. Tidak menung-
gu malam nanti, tapi sekarang. Pertempuran seru yang
tak mungkin dapat kau lupakan seumur hidup. Malah
kelak aku yakin kau pasti mencariku, lalu merengek-
rengek mengajak bertarung lagi! Hik hik hik!"
Sadar dengan maksud ucapan Si Muka Setan,
Roro Centil pun mendamprat. "Manusia keji, terkutuk.
Kau menyangka diriku serendah itu?"
"Disini aku yang berkuasa, disini aku yang me-
nentukan. Apa yang kau lihat tidak selalu seperti itu kenyataan yang
sebenarnya!" kata si nenek dengan senyum bermain dimulutnya.
Dengan penuh kegeraman Roro Centil yang ti-
dak dapat menggerakkan tubuhnya itu meludahi wa-
jah buruk si nenek. Si Muka Setan seka wajahnya
yang dipenuhi ludah. "Hem, ternyata bau ludahmu
semerbak, membuat aku tak tahan menunggu lebih
lama!" selesai berkata begitu si nenek tertawa bergelak.
Tawanya lalu terhenti, sedangkan tangan kanannya
berkelebat menyambar ke bagian dada.
Breet! Raaak! Pakaian yang menutupi bagian dada Roro Cen-
til robek besar, aurat si gadis tersibak. Roro Centil memaki memaki panjang
pendek. Melihat pada dada
yang putih mulus itu membuat si nenek semakin ber-
tambah beringas dilanda nafsu setan. Si nenek tidak
sampai disitu saja bertindak, digerakkan tangannya
lagi ke bawah. Breet! "Perempuan sundal, jahanam keparat! Aku ber-
sumpah pasti akan membunuhmu!" teriak Roro Centil.
"Aku tak percaya kau dapat melakukannya!"
sahut si nenek. Sekali lagi tangannya bergerak. Men-
dadak gerakan tangan yang hendak merobek pakaian
Roro Centil jadi tertahan ketika terdengar suara gelak tawa tak jauh dari pondok
itu. "Jika punya rejeki besar, jangan serakah sendi-
ri lupakan sahabat. Ha ha ha!"
Kemudian ada suara lain menimpali. "Dia me-
mang begitu, biar sudah tua tapi masih juga serakah.
Aku tidak yakin dia perempuan tua sungguhan!"
Belum lagi lenyap rasa kaget Si Muka Setan, ti-
ba-tiba saja dia mendengar suara menderu datang dari
dua arah. Tidak jelas apa yang menimbulkan suara de-
ru itu, tapi Si Muka Setan menduga deru angin itu
pasti bersumber dari pukulan sakti. Dugaannya tidak
meleset. Dua sinar panas menghantam pondok itu dari
dua arah. Braak! Buum! Buuum! Satu ledakan menggelegar terjadi berturut-
turut disertai makian dan jerit kesakitan seorang pe-
rempuan. Dua sosok tubuh terpental di udara. Salah
satu diantaranya berhasil melakukan gerakan sedemi-
kian rupa hingga dapat jatuhkan diri dengan kaki ter-
lebih dulu menyentuh tanah.
Wajah orang ini nampak pucat. Sedangkan sa-
tunya lagi melayang tak karuan, jatuh dengan kepala
membentur tanah. Satu sosok berkelebat menyela-
matkan dan menurunkan orang yang ditolong ke tem-
pat aman. Ternyata orang yang baru diselamatkan Raja
Pengemis bukan lain adalah Roro Centil.
Di depan sana pondok yang hancur dalam wak-
tu singkat telah lenyap dalam kobaran api. Kepingan
pondok yang hancur bertebaran dimana-mana.
"Ha ha ha! Rupanya kunyuk betina jelek ini
yang telah membuat kegegeran di rimba persilatan.
Sayang singgasananya telah hancur, hingga pesta pen-
gantin tidak dapat dilangsungkan seperti yang diha-
rapkan!" Terkejut Si Muka Setan cepat palingkan wajah
memandang ke arah orang yang baru saja bicara. Ter-
nyata orang itu bukan lain adalah seorang pemuda be-
rambut gondrong bertelanjang dada. Melihat siapa
adanya pemuda ini kejut Si Muka Setan bukan kepa-
lang. Rasa kejut kemudian lenyap berganti dengan
dendam dan amarah yang selama ini menyesakkan
dadanya. "Pendekar Sakti Gento Guyon. Beberapa waktu
yang lalu kau dan temanmu hampir membuat aku ce-
laka. Sekarang adalah saatnya pembalasan itu!" membatin si nenek. Perlahan dia
putar kepalanya ke sebe-
lah kanan di seberang pondok yang hancur dilamun
api. Dia melihat disana berdiri tegak seorang laki-laki berusia setengah baya.
Laki-laki itu berpakaian serba kuning, berambut kelimis. Melihat caranya
menyelamatkan Roro Centil tadi, si nenek dapat menduga sia-
papun adanya orang tua itu pasti dia bukan manusia
sembarangan. Tapi Si Muka Setan tidak takutkan dia.
Saat ini orang yang menjadi sasaran utamanya adalah
Pendekar Sakti Gento Guyon. Si gondrong itu harus di-
lenyapkan hingga dia dapat berbuat apa saja di dunia
persilatan kelak tanpa ada orang yang dapat mengha-
langi. "Nenek Muka Setan. Kulihat kau memandang-ku terus sejak tadi. Apakah kau
merasa jatuh cinta
padaku" Atau kau merasa terganggu atas kehadiran
kami" Kalau begitu mohon dimaafkan karena kami ti-
dak menyangka kau sedang berbulan madu didalam
pondok itu! Ha ha ha." kata Gento lalu tertawa tergelak-gelak.
"Apa betul dia sedang berbulan madu, Gento.
Semula aku menyangka dia dukun beranak dari nera-
ka. Tapi siapa yang hendak melahirkan. Kulihat perut
gadis sahabatmu ini kempes. Aneh... gadis ini bukan
bayi lagi. Mengapa dia hendak menelanjanginya?" cele-
tuk Raja Pengemis. Diapun kemudian ikut tertawa.
"Kalau begitu dia adalah perempuan gila yang
baru saja terlepas dari penjara neraka!" kata Gento


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bangsat jahanam bernama Gento Guyon. Ru-
panya kau datang sengaja hendak mencari mati! Aku
Si Muka Setan memang telah lama menunggumu.
Sayang kesempatan bertemu denganmu baru seka-
rang, setelah aku merasa lelah membunuh orang-
orang tolol yang mengaku dirinya sebagai manusia dari golongan lurus." dengus si
nenek disertai seringai sinis.
Tak menyangka orang mengenal siapa dirinya,
tentu saja Gento di buat kaget. Tapi rasa kaget itu
hanya berlangsung sesaat saja. Karena di lain saat dia sudah ajukan pertanyaan.
"Kuntilanak setan, bertemu denganmu rasanya baru kali ini. Bagaimana kau bisa
tahu namaku" Apa arwah Perampas Benak Kepala te-
lah datang menyambangimu dan memberi kabar pa-
damu bahwa junjunganmu ini akan datang menemui
dirimu?" Si Muka Setan berjingkrak kaget mendengar
ucapan Pendekar Sakti Gento Guyon. Dia tak pernah
menyangka Perampas Benak Kepala telah tewas bah-
kan tak pernah membayangkan pula terbunuh di tan-
gan orang yang sangat dia benci. Jika benar Gento
mampu membunuh kaki tangannya itu, berarti ilmu
kesaktian yang dimiliki lawan telah maju pesat. Si nenek melirik ke arah Gento.
Dia melihat sebuah kalung
bermata batu tergantung di leher Gento.
"Kalung itu, apakah mungkin suatu benda yang
menyimpan kesaktian" Lima purnama yang lalu dia ti-
dak memiliki benda itu" Akh... kurasa kalung batu itu hanya benda rongsokan yang
dipungutnya di tengah
jalan. Dasar pemuda edan" Buat apa aku takutkan
dia" Malah kini dia harus tunduk dan patuh kepada-
ku." kata si nenek dalam hati.
"Muka Setan, sejak tadi kau melirik terus kepa-
daku. Apakah kau merasa jatuh cinta" Atau kau se-
sungguhnya takut kepadaku karena sadar Perampas
Benak Kepala dapat kubunuh dengan mudah?" panc-
ing Gento. "Ha ha ha! Perampas Benak Kepala kuakui
memang telah membantuku selama ini. Tapi bagiku
dia bukan segalanya. Aku hanya memanfaatkan ke-
pandaian dan ilmu yang dia miliki sebagai alat. Jika
benar dia terbunuh ditanganmu apa hebatnya?"
"Gento, suara nenek itu. Apa kau yakin dia
memang seorang perempuan?" tanya Raja Pengemis
terkejut mendengar suara si nenek mendadak jadi be-
rubah. Pendekar Sakti Gento Guyon tertawa panjang.
"Raja Pengemis! Sayang aku tak dapat menja-
wab pertanyaanmu. Aku sama sekali belum memeriksa
perabotannya. Kau tadi yang mengintip dari belakang
pondok apa belum melihat bagaimana rupanya dia
punya" Putih atau burik bulat atau seperti bintang"
Ha ha ha!"
"Kalau tak salah seperti buah melon, itu juga
baru sebelahnya saja. Sedang yang sebelah lagi gelap.
Ha ha ha!" sahut Raja Pengemis sambil mengumbar
tawanya pula. "Keteranganmu membuat aku ragu. Mungkin
yang kau lihat milik orang lain. Sedang yang dia punya setahuku seperti golok
semar. Ha ha ha!"
Merah padam wajah cacat si nenek. Walaupun
begitu dia masih berusaha menahan diri. Sambil me-
nyeringai penuh keangkuhan Si Muka Setan membuka
mulut berucap. "Aku tidak akan heran, orang yang sudah mendekati ajal biasanya
memang suka bicara nga-
co. Aneh... orang lain banyak berdoa diakhir hidupnya, tapi kalian tidak. Malah
bicara ngaco belo tak ka-
ruan...!" "Muka Setan! Kau kira dirimu wakil malaikat
maut, hingga dengan seenaknya sendiri dapat memas-
tikan kematian orang?" kata Raja Pengemis.
"Dia bukan wakil malaikat maut, manusia den-
gan rupa seperti dirinya pasti wakil dari nafsunya sendiri!" kata Gento
menimpali. 12 Untuk beberapa saat lamanya kawasan di tepi
Telaga Tengkorak Hantu itu diwarna gelak suara tawa
Raja Pengemis dan Gento Guyon. Nenek Muka Setan
kertakkan rahang, dua bola matanya memandang
mendelik pada Gento dan Raja Pengemis, kemudian
sambil melompat maju Si Muka Setan berucap. "Dua manusia calon puntung neraka.
Aku muak mendengar
tawa kalian. Karena itu kau dan kawanmu boleh me-
neruskannya di neraka!"
Gento hentikan tawanya, sedangkan Raja Pen-
gemis diseberang pondok yang telah berubah menjadi
bara masih juga mengumbar tawanya. Sang pendekar
kemudian berkata. "Rupanya kau penjaga di neraka"
Tapi mengapa bisa kesasar kemari" Kalau tak kebera-
tan sebaiknya tolong carikan tempat untuk kami di ne-
raka sana. Jangan lupa carikan yang ada tempat pe-
mandiannya, sebab kawanku Raja Pengemis sudah se-
tahun lebih tidak mandi! Ha ha ha."
"Sekalian tukang urutnya. Kalau bisa gadis
yang cantik. Bukan nenek berwajah setan sepertimu!"
kata Raja Pengemis menimpali.
Tampang angker si nenek berubah tegang, din-
gin menggidikkan. Secara tak terduga dia menghantam
Raja Pengemis dengan pukulan jarak jauh. Kemudian
laksana kilat dia berbalik, berkelebat cepat ke arah
Gento sambil kibaskan kedua tangannya ke arah pe-
muda itu. Di sebelah sana segulung angin laksana topan
prahara melabrak habis tubuh Raja Pengemis. Orang
tua itu sempat tercekat, namun segera sadar bahaya
besar mengancam nyawanya. Tidak membuang waktu
lagi Raja Pengemis melompat ke sebelah kiri, lalu jatuhkan tubuh terus
bergulingan hingga dia selamat
dari terjangan pukulan lawan. Di belakang orang tua
itu terdengar suara ledakan berdentum. Batu bertabu-
ran di udara, pepohonan rambas seperti diterjang sen-
jata tajam. Raja Pengemis leletkan lidah, muka pucat, sedangkan tengkuk tidak
rasa tengkuk lagi, dingin bagaikan es.
"Nenek Muka Setan ini entah siapa dia adanya.
Tapi kurasa dua atau tiga orang berkepandaian seper-
tiku belum tentu sanggup menjatuhkannya!" gumam
orang tua itu. Sementara itu ketika mendapat serangan dari
Muka Setan, Gento cepat melangkah mundur satu tin-
dak kebelakang. Setelah tangan kanan digerakkan ke
atas menangkis serangan lawan, sedangkan tangan ki-
ri melesat menghantam perut si nenek.
Duduk! Duuk! Dess! Bentrokan keras akibat tangkisan Gento, serta
hantaman tangan kiri yang berhasil perut si nenek
membuat Muka Setan terpental, jatuh dengan kedua
kaki ditekuk. Terhuyung-huyung Muka Setan memaki.
Tapi pada saat itu Gento telah mencecarnya dengan
serangkaian tendangan beruntun. Dua tangannya juga
berkelebat menyambar ke bagian wajah si nenek.
Si Muka Setan keluarkan suara raungan dah-
syat. Dia memutar tubuhnya ke belakang selamatkan
wajah dari sembaran jemari lawan. Sambil berbalik
tangan kirinya menyambar kebelakang menyambut
tendangan Gento.
Breet! Bukan hanya sambaran tangan Gento saja
yang tidak mengenai sasaran. Sebaliknya kaki kiri
sang pendekar yang melepaskan tendangan kena di-
hantam lawannya. Sambil berjingkrak menahan sakit
dan mata terbelalak ketika melihat bagaimana ujung
kaki celananya hangus menjadi bubuk terkena samba-
ran tangan si nenek, Gento Guyon selamatkan diri ke
samping. "Jadi kau manusianya yang memiliki pukulan
Telapak Beracun" Berarti kau pula orangnya yang te-
lah membunuh beberapa tokoh golongan putih cabang
atas!" teriak Gento marah.
Si nenek tertawa bergelak sambil bertolak ping-
gang. Sesungging seringai mengejek bermain dibibir-
nya. "Kalau sudah tahu mengapa tidak cepat berlutut dihadapanku" Jiwamu pasti
kuampuni, tapi kau harus
menyalak seperti anjing! Hik hik hik!"
"Kalau aku anjing, kau pantas menjadi nenek-
nya. Nah sekarang nenek anjing katakan padaku ba-
gaimana caranya berlutut. Apakah dengan posisi me-
nungging, atau pantatku harus menghadap ke arah-
mu. Kalau caranya seperti terakhir yang kusebutkan
yang bisa melakukannya hanya Mbah Petir. Karena
cuma dia yang bisa kentut, sayang orangnya tidak ada
disini! Ha ha ha!" kata Gento dengan nada mengejek.
"Paling tidak kau harus membuka celanamu,
Gento. Dengan begitu dia bisa sekalian bercermin di-
pantatmu!" celetuk Raja Pengemis menimpali.
Mendengar ucapan kedua lawannya darah si
nenek laksana mendidih, sepasang mata berkilat dipe-
nuhi nafsu membunuh.
"Dua manusia jahanam. Pertama kali aku akan
membereskan monyet gondrong ini dulu!" teriak si nenek. Kemudian dia melanjutkan
ucapannya ditujukan
pada Raja Pengemis. "Setelah itu baru giliranmu pengemis keparat. Untuk
kematianmu aku telah memilih-
kan jalan yang paling sulit!" Tanpa memberi kesempatan lagi bagi lawan-lawannya
untuk bicara. Didahului
teriakan keras si nenek menyerbu ke arah Gento. Kali
ini dia menghantamkan dua tangannya sekaligus. Dua
larik cahaya putih menyilaukan mata berkiblat. Hawa
panas menyambar disertai suara gemuruh hebat.
"Pukulan Kutukan Mendera Bumi! Bangsat ja-
hanam jadi kiranya kau Panji Anom murid kakek ke-
parat Begawan Panji Kwalat?" seru Gento kaget begitu mengenali pukulan lawan.
Si nenek tertawa bergelak. "Bagus kalau kau
sudah tahu siapa diriku. Bersiaplah untuk mati!" kata si nenek yang ternyata
adalah Panji Anom Penggetar
Jagad. Sadar dengan siapa dirinya berhadapan, Gento
Guyon tak mau mengambil resiko. Dengan cepat dia
menangkis serangan lawan dengan pukulan Iblis Ke-
tawa Dewa Menangis.
Segulung angin menderu disertai melesatnya
selarik sinar tujuh warna seperti pelangi. Dua pukulan bentrok di udara
menimbulkan ledakan berdentum.
Dua sosok tubuh terlempar kebelakang. Gento jatuh
bergulingan, dadanya serasa remuk, nafas megap-
megap namun cepat bangkit kembali.
Didepannya sana dengan terhuyung-huyung, Si
Muka Setan sudah berdiri kembali. Baju dibagian dada
robek besar, hangus menjadi bubuk. Dibalik baju yang
hangus terlihat pakaian lain berwarna merah. Pada
bagian pakaian didepan dada terlihat sulaman ber-
gambar bumi berwarna hijau juga lintasan kilat ber-
warna putih. "Panji Anom manusia jahanam, jadi rupanya
kau orangnya yang menjadi dalang dari peristiwa yang
mengerikan itu" Sejak semula aku memang sudah
menduga. Sayang aku berada dalam keraguan!" den-
gus Gento Guyon.
Di depannya si nenek robek topeng kulit tipis
yang menutupi wajah aslinya. Begitu kedok dibuka
maka terlihatlah seraut wajah tampan seorang pemu-
da. Wajah yang membayangkan kelicikan serta kesom-
bongan. Raja Pengemis terperangah. Dia sama sekali tak
pernah menyangka kalau wajah sosok nenek Muka Se-
tan yang dilihatnya sejak tadi sesungguhnya hanya
kedok belaka. "Jadi ini bangsatnya yang bernama Panji Anom.
Pantas saja dia hendak berlaku keji pada setiap gadis yang diculiknya!" kata
Raja Pengemis sambil gelengkan kepala penuh rasa tak percaya.
Panji Anom tertawa lebar. Tanpa menghiraukan
Raja Pengemis kini dia menyerang. Tidak kepalang
tanggung untuk serangan kedua ini dia menghantam
lawannya dengan pukulan Kutukan Mendera Bumi ju-
ga pukulan Tiga Petaka Bumi. Begitu dia menghantam
kedepan, kemudian laksana kilat Panji Anom jatuhkan
diri dengan posisi berlutut, sedangkan tangan dihan-
tamkan ke tanah. Apa yang terjadi kemudian sungguh
mengerikan. Dari atas menderu sinar putih yang lang-
sung melibas Gento. Sedangkan dari tanah mendadak
terdengar suara bergemuruh disertai melesatnya sela-
rik sinar merah yang langsung memecah menjadi tiga
bagian. Tiga sinar itu satu diantaranya menghantam
bagian kaki Gento, satunya lagi melesat tak terduga ke arah Raja Pengemis. Orang
tua itu melompat ke udara.
Sedangkan Gento nampak repot sekali. Tak urung pe-
muda ini kemudian lesatkan tubuhnya ke udara. Tapi
sinar putih masih sempat menghantam bagian ka-
kinya. Buuum! Murid kakek Gendut Gentong Ketawa jatuh
bergulingan. Kedua kaki celananya hangus robek sam-
pai sebatas lutut. Jika Raja Pengemis dapat menghin-
dari serangan lawan. Maka begitu jatuh Gento merasa
sulit untuk berdiri. Dua kakinya yang kena dihantam
pukulan lawan selain panas bukan main juga terasa
lumpuh. Dia mencoba berdiri tapi jatuh lagi. Melihat
hal ini Panji Anom sang musuh bebuyutan tak tinggal
diam. Sambil melompat ke arah Gento dia lepaskan
tendangan ke wajah lawannya.
Nampaknya sang pendekar merasa sulit meng-
hindari serangan itu, tapi dia tetap bergulingan ke
samping mencari selamat. Raja Pengemis melihat sa-
habatnya berada dalam ancaman bahaya besar segera


Gento Guyon 16 Mbah Pete di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melompat sambil melepaskan pukulan Penyedot Raga.
Wuuut! Selarik sinar kebiruan menderu menghantam
Panji Anom dari arah samping. Merasakan ada angin
dingin menyambar ke arahnya, Panji Anom terpaksa
batalkan tendangan ke arah Gento. Tubuhnya berpu-
tar, tangan kanan lalu dihantamkan melepas pukulan
Prahara Perut Bumi.
Sinar putih kuning dan merah berkiblat dari
tangan si pemuda. Tapi kejut si pemuda bukan kepa-
lang ketika melihat bagaimana pukulan yang dile-
paskannya amblas tersedot oleh serangan lawan. Bu-
kan hanya itu saja, tubuhnya sendiri kemudian ikut
tertarik ke arah lawan. Tak mau konyol dan celaka di-
hantam pukulan lawannya. Panji Anom gerakkan tan-
gan kanan ke atas, tangan yang bergetar dan menebar
bau busuk itu lalu didorongnya ke arah Raja Penge-
mis. Wuuut! "Ilmu Kutukan Dalam Pusara!" seru Raja Pen-
gemis kaget. Sadar betapa ganasnya pukulan lawan,
Raja Pengemis tarik balik serangannya. Dengan cepat
dia melompat mundur selamatkan diri. Sayang gera-
kan yang dilakukannya kalah cepat dengan serangan
Panji Anom. Hanya dalam waktu sekejap tubuhnya mencelat
lima tombak terkena pukulan lawannya. Raja Penge-
mis menjerit, tubuhnya jatuh tenanting, dari mulut
dan hidungnya menyemburkan darah, sedangkan se-
kujur tubuh orang tua itu nampak membiru, nafas
megap-megap mata mendelik.
"Manusia keparat! Kau telah mencelakai saha-
batku! Kubunuh kau!" teriak Gento yang kini sudah dapat berdiri. Panji Anom
balikkan badan menghadap
langsung ke arah si pemuda.
"Ha ha ha! Kau bisa apa Gento. Dengan ilmuku
yang sekarang kau tidak akan lolos dari kematian!" ka-ta Panji Anom bangga.
Gento tersenyum. "Aku tidak percaya dengan segala bualanmu, Panji Keparat! Ha ha
ha!" sahut Gento.
Merasa diri diremehkan lawannya. Panji Anom
sambil keluarkan suara menggerung melesat kedepan,
selagi melesat di udara dia lakukan gerakan aneh. Tu-
buhnya dibungkukkan sedemikian rupa sedangkan
tangannya terjulur menghantam dada Gento. Si gon-
drong coba menangkis, tangkisan luput karena kini
tangan bergerak ke bawah menghantam perut.
Desss! Satu hantaman yang sangat keras mendera pe-
rut Gento membuat pemuda ini jatuh terduduk, me-
nyeringai kesakitan sambil pegangi perutnya yang
mendadak terasa beku dan menimbulkan sakit luar
biasa. Memandang kebagian perutnya mata Gento
mendelik besar begitu melihat bagaimana bagian pe-
rutnya nampak membiru.
Cepat pemuda ini mengambil dua butir pel
berwarna hitam dan menelannya. Begitu obat ditelan si pemuda merasakan adanya
hawa panas menyebar kebagian perut, hawa dingin akibat pukulan berangsur
lenyap. Sambil menyeringai Gento bangkit berdiri. Pan-ji Anom terkejut melihat
lawan dapat menyembuhkan
diri dari pukulan Kutukan Dalam Pusara secepat itu.
Tapi dia nampaknya tidak perduli. Saat itu dia sangat bernafsu sekali untuk
menghabisi lawannya. Didahului
dengan bentakan keras dia melompat kedepan siap
lancarkan tendangan dan pukulan. Tapi pada saat itu
Gento telah mengerahkan salah satu ilmu andalannya,
yaitu ilmu Menitis Bayangan Raga warisan manusia
setengah roh setengah manusia Kakek Seribu Tahun.
Gerakan Panji Anom sekonyong-konyong jadi tertahan
ketika melihat bagaimana tubuh dan sosok Gento kini
telah mengembar menjadi lima orang.
"Jahanam keparat! Pemuda edan ini punya il-
mu apa" Mengapa aku dulu tidak melihatnya"!" kejut si pemuda. Walaupun hatinya
sempat menjadi jerih
melihat lawannya yang bisa berubah menjadi lima
orang itu. Namun Panji Anom adalah manusia penuh
kesombongan. Dengan penuh rasa percaya diri dia li-
pat gandakan tenaga dalamnya lalu menghantam den-
gan dua pukulan berturut-turut ke lima arah.
Wuuut! Wuuut! Udara dingin dan panas datang silih berganti
menderu dan langsung menghantam kelima sosok
Gento. Di depan sana kelima sosok Gento kerahkan
tenaga kebagian kalung. Kemudian mata Kalung Raja
Langit diusap tiga kali. Dari kelima masing-masing ma-ta kalung yang tergantung
dileher lima kembaran Gen-
to membersit sinar putih yang langsung menyambar
kedepan menyambat pukulan Panji Anom.
Buuum! Satu ledakan menggelegar laksana menggun-
cang seluruh bumi. Panji Anom menjerit. Tubuhnya
terpental, pakaian dikobari api. Di depan sana sosok
Gento tergontai, empat kembarannya lenyap. Asap teb-
al menutupi pemandangan. Dalam gelap Gento me-
lompati lubang besar dikobari api yang terjadi akibat ledakan tadi. Dia memburu
ke arah jatuhnya Panji
Anom. Tapi Gento akhirnya menjadi kaget ketika men-
dapati Panji Anom telah lenyap meninggalkan tempat
itu. Pemuda ini hanya melihat ceceran darah dan
serpihan pakaian yang hangus di tempat jatuhnya
Panji Anom. Gento menarik nafas. Saat itu asap tebal
telah sirna dan suasana menjadi terang seperti semula.
Gento memandang ke sebelah kiri.
"Pemuda jahanam itu telah melarikan diri!" ka-ta Raja Pengemis yang saat itu
sudah dapat duduk
kembali, namun beberapa bagian tubuhnya nampak
masih membiru. "Ya, ini sangat kusesalkan. Harusnya pemuda
itu tak kubiarkan lolos agar kelak tidak menimbulkan
malapetaka lagi!" sesal Gento.
"Sudahlah. Sebaiknya kau bebaskan dulu gadis
sahabatmu itu dari pengaruh totokan." ujar Raja Pengemis. "Tidak usah, aku sudah
membebaskannya!" sa-tu suara menyahuti. Lalu Gento dan Raja Pengemis
mencium adanya bau pesing dan bau kentut. Mereka
cepat menoleh ke arah Roro Centil. Keduanya melen-
gak ketika melihat Mbah Petir sudah duduk disamping
si gadis dan nampak sibuk mengganti pakaian gadis
itu dengan pakaian yang baru.
"Mbak Pesing, bagaimana kau bisa ada disitu!"
desis Gento heran.
"Ha ha ha. Sebenarnya aku sudah disini sejak
tadi. Tapi aku tidak berani menolong, tidak pula berani membantu. Jadi aku
bersembunyi saja di batu itu."
Mbah Petir sambil menunjuk ke arah batu besar seja-
rak dua langkah dibelakangnya.
"Dasar manusia pengecut, orang tua sepertimu
buat apa hidup jika tidak berguna"!" damprat Raja Pengemis.
"Ingat, aku seorang dukun. Bukan jago silat. He
he he!" sahut Mbah Petir tenang.
"Dukun gila, mengobati sakit kentut dan ken-
cingmu sendiri saja tidak becus. Sebenarnya Mbah le-
bih pantas menjadi penjaja pete" kata Gento bersungut-sungut. Pemuda itu
kemudian menghampiri Raja
Pengemis. Melihat keadaan orang tua itu dia gelengkan kepala. Kemudian tanpa
bicara apa-apa dia sumpalkan
tiga butir pel kemulut Raja Pengemis.
"Hoek, apa ini?" teriak Raja Pengemis sambil berusaha muntahkan obat pemberian
Gento. Pemuda itu sambil terkekeh-kekeh ketuk tenggorokan Raja
Pengemis. Akibatnya obat tadi masuk kedalam perut
Raja Pengemis. "Aku suka lupa. Yang kuberikan padamu tadi
entah obat entah racun, paling tidak salah satu diantaranya. Ha ha ha! Tunggu
satu hari, kalau paman sehat
berarti yang kuberikan adalah obat, jika sebaliknya berarti yang paman makan
tadi racun.!"
"Pemuda edan, tega betul kau!" teriak Raja Pengemis. Gento tidak ambil perduli.
Dia melirik ke arah Roro Centil. Si gadis dengan tatap mata berbinar seperti
hendak mengucapkan sesuatu, tapi tidak jadi ke-
tika melihat Gento kedipkan mata ke arahnya.
"Sebaiknya untuk sementara kau bersama
Mbah bau pete itu Roro. Siapa tahu kelak kau berjo-
doh dengannya. Tapi jika boleh aku memberi saran,
sebaiknya kau memilih aku saja. Ha ha ha." kata Gento sambil tertawa. Tak lama
dia berpaling pada Raja Pengemis. "Paman, paling tidak kau membutuhkan
waktu satu hari untuk beristirahat disini. Aku berjanji akan mencari muridmu."
"Kalau begitu aku ikut"!" kata Raja Pengemis.
Gento gelengkan kepala.
"Tak usah. Jika kau ikut berarti aku harus
menggendongmu. Menggendong tua bangka dan pen-
gemis sepertimu aku takut ketularan jadi kere. Ha ha
ha!" "Bocah sialan. Berani sekali kau menghinaku!"
damprat Raja Pengemis.
Yang dimaki terkesan tidak perduli. Masih den-
gan tertawa-tawa dia hampiri Roro Centil. Ditoelnya
dagu gadis itu. Wajah Roro Centil berubah kemerahan.
"Pemuda kurang ajar kubunuh kau!" teriak si gadis.
Mulutnya membentak marah, tapi sebenarnya hati si
gadis merasa berbunga-bunga.
Tawa Gento makin melebar. Tepat disamping
Mbah Petir dia hentikan langkah, tubuhnya mem-
bungkuk mulut didekatkan ke telinga Mbah Petir. Tapi
tiba-tiba dia tegak kembali.
"Mbah budek Mbah Pete, tadinya aku mau
mengucapkan selamat tinggal padamu. Tapi tak jadi,
telingamu ternyata selain culean juga bau pete. Ha ha ha!" kata Gento sambil
berkelebat pergi.
Mbah Petir yang tidak mendengar ucapan Gen-
to hanya senyum-senyum saja. Mulutnya berucap. "Terima kasih. Kau memang pemuda
hebat. Ha ha ha!!!"
Roro Centil tersenyum.
"Kakek geblek, orang menghina dirinya dia ma-
lah berterima kasih! Dasar tolol!" dengus laki-laki itu lalu tertawa tergelak-
gelak. TAMAT EPISODE SELANJUTNYA!!!
- SETAN SABLENG -
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Pengelana Rimba Persilatan 1 Pendekar Tongkat Dari Liongsan Liong-san Tung-hiap Karya Kho Ping Hoo Tusuk Kondai Pusaka 10
^