Penghuni Rimba Gerantang 2
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang Bagian 2
M asalahnya, dia sendiri tengah berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari
ancaman tangan maut Iblis Baju Hitam yang memang memiliki kepandaian tinggi.
Beberapa bagian tubuhnya tampak terluka dan mengeluarkan darah akibat jari-jari tangan lawan.
Dua orang berseragam putih yang memondong gadis
itu terus melarikan diri ke dalam hutan. Teriakan-teriakan gadis itu kian
melemah karena rasa takut dan ngeri
memenuhi hatinya.
"Ah, gadis itu cantik sekali. Sayang sekali ketua sangat membutuhkannya. Kalau
tidak... hm...," ujar salah seorang dari mereka yang rupanya merasa tergiur
melihat kecantikan gadis itu.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan, kalau kau masih menyayangi kepalamu!" bentak
kawannya yang membuat orang itu terdiam seketika.
Belum lagi jauh memasuki hutan, tiba-tiba keduanya
menghentikan langkah. Di hadapan mereka tampak
berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah
dan celana putih. Rambutnya yang panjang dibiarkan
tergerai lepas. Tampak sehelai kain yang juga berwarna putih menghias kepalanya.
Wajahnya terlihat tenang.
Sebuah senyuman ramah menghias wajahnya. Siapa lagi
pemuda itu kalau bukan Panji yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu hanya
berdiri bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
M ereka terkejut ketika melihat pakaian pemuda itu yang mirip dengan pakaian
para pemimpinnya. Kedua orang
itu menjadi ragu-ragu karena merasa khawatir kalau-
kalau pemuda itu adalah salah seorang pemimpin mereka.
M emang, selama ini mereka jarang sekali bertemu para pemimpinnya. Bahkan juga
tidak mengenal semuanya.
"Siapa... siapa kau, Kisanak...?" Tanya salah seorang dari mereka takut-takut.
Kelihatan sekali kalau dua orang itu begitu hormat kepada Panji.
Pendekar Naga Putih berpikir cepat. Ketika melihat
keraguan yang tergambar pada wajah kedua orang itu, ia segera dapat menerka
kalau kedua orang itu pastilah
anggota suatu perkumpulan yang selalu mengenakan
pakaian serba putih. Dan pastilah mereka, hanya anggota biasa yang tidak begitu
mengenal para pimpinannya.
M endapat pemikiran demikian, Panji segera merubah
sikap dan wajahnya. Sejurus kemudian, wajahnya yang
semula selalu tersenyum ramah itu mendadak dingin, den senyumnya seketika
lenyap. "Hm... Kalian tidak mengenali aku?" ujar Panji dengan suara serak dan mengandung
ancaman. Sepasang
matanya mencorong tajam menyiratkan hawa kematian.
"M aafkan kami, Tuan M uda..." Kami memang bodoh tidak tapit mengenali Tuan M
uda!" ucap kedua orang berpakaian serba putih itu langsung menjatuhkan dirinya
dan berkutut di hadapan Panji setelah terlebih dulu
meletakkan tubuh gadis itu ke atas tanah berumput.
M ereka memang sudah mengetahui kalau para
pimpinan mereka rata-rata kejam dan tak kenal ampun.
Tentu saja mereka khawatir kalau sosok berjubah putih itu adalah salah seorang
pimpinan mereka yang selalu menurunkan tangan kejam. M aka mereka langsung
berlutut dan meminta maaf.
"Tinggalkan gadis itu, dan teruskan pekerjaan kalian!
Cepat..!" sentak Panji menggelegar sehingga membuat kedua orang itu lari
terbirit-birit meninggalkan tawanan-nya.
Sepeninggal kedua orang itu, Panji tersenyum geli.
Sungguh tidak diduga sama-sekali kalau dua orang berseragam putih itu demikian
mudah dibohongi. Dengan
wajah masih tersenyum, pemuda itu membungkuk
memeriksa tubuh gadis itu. Hatinya menjadi lega ketika mendapati gads itu hanya
pingsan dan tidak mengalami luka sedikit pun.
"Uuuhhh...."
Gadis itu merintih lirih setelah Panji mengurut bagian belakang lehernya yang
disertai sedikit pengerahan
tenaga dalam. Pelahan-lahan matanya terbuka. Dan ketika pandangannya tertumbuk
pada seorang pemuda yang
tengah berjongkok di sisinya, dia bergegas bangkit.
Wajahnya kembali pucat dibayangi rasa takut.
"Oooh, tidak..! Jangan...!" Gadis itu melangkah mundur sambil berteriak-teriak
lemah. Air matanya
mengalir membasahi pipi yang halus itu.
"Jangan takut, Nini. Aku tidak akan menyakitimu.
Ceritakanlah apa yang terjadi denganmu" Aku menemukanmu tengah tergeletak pingsan di sini. Dan
kalau aku bermaksud jahat, mengapa harus menunggumu
sadar?" ujar Panji memberi alasan disertai senyum ramah.
Putri Ki Dewana itu tertegun sejenak ketika
mendengar keterangan pemuda tampan di hadapannya.
Ditatapnya wajah Panji seolah ingin menemukan
jawabannya di wajah itu. Keraguan mulai s irna di wajah gadis itu ketika melihat
bahwa wajah pemuda itu sama sekali tidak menggambarkan watak jahat.
'Tapi, mengapa kau ada di sini" Apalagi pakaianmu
sama dengan pakaian mereka!" sahut gadis itu gagap.
Biar bagaimanapun ia masih belum percaya akan
keterangan pemuda di depannya. Siapa tahu pemuda itu tengah bersiasat.
"Hm... baiklah! Sebenarnya begini...." Panji lalu menceritakan kejadian yang
sebenarnya. "Lalu, ke mana perginya ke dua orang itu?"
"Entahlah" Aku hanya menyuruh mereka untuk
meneruskan pekerjaannya."
"Kalau benar ceritamu, kau harus cepat menolong ayahku!" seru gadis itu
tersenyum di antara tangis dan kecemasan hatinya karena mendengar cerita Panji
yang lucu dalam menolongnya tadi.
* * * 4 Pendekar Naga Putih dan putri Ki Dewana bergegas
keluar dari dalam hutan. Panji diam saja ketika tangannya ditarik, lalu diajak
berlari oleh gadis itu. Diam-diam hatinya merasa suka kepada gadis yang periang
dan mudah bersahabat itu Namun dibalik itu semua tetap saja hatinya terpukul atas
musibah yang dialami ayahnya.
Sementara itu, suara-suara orang bertempur kian jelas terdengar. Denting senjata
ditingkahi suara teriakan-teriakan dan bentakan yang membahana, membuat gadis
itu semakin mempercepat larinya. Namun di antara suara-suara itu, terdengar
suara rintihan, yang cukup menyayat.
"Oooh...! Tolooonggg... lepaskan aku binatang!"
Perempuan cantik berusia sekitar empat puluh tahun
tengah berteriak-teriak dalam pelukan seorang berpakaian putih yang menciumi
penuh nafsu. Sebagian baju wanita itu sudah sobek di sana-sini, sehingga
menampakkan kulitnya yang putih mulus.
"Ibu...! Kakang Panji, tolong ibuku!" Teriak gadis itu yang rupanya sudah saling
berkenalan dengan Pendekar Naga Putih. Putri Ki Dewana benar-benar kalut melihat
ibunya tak berdaya dibawah cengkeraman laki-laki penuh nafsu iblis itu.
'Tenanglah, Adik Ratna. Diamlah di sini! Dan jangan
pergi dari tempat ini, sampai aku kembali!" Tegas Panji tenang. Sesat kemudian,
gadis yang ternyata bernama
Ratna ini hanya melihat sesosok bayangan putih yang
berkelebat dari sampingnya. Gadis itu terkejut, namun senakin kagum kepada
pemuda penolongnya itu.
Pendekar Naga Putih melesat cepat ke arah orang yang tengah liar menjelajahi
tubuh wanita itu.
"Aaahhh...!
Entah bagaimana, laki-laki yang tengah menindih istri Ki Dewana itu seketika
melambung dan terbanting keras di atas tanah berbatu. Orang itu langsung diam
tak bergerak karena lehernya patah akibat cengkeraman
tangan Panji yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Kejadian itu berlangsung hanya sekejap mata saja,
sehingga laki-laki yang berseragam putih yang tidak jauh dari situ menjadi
kebingungan. Ternyata tahu-tahu di dekat wanita yang hendak digagahi berdiri
seorang pemuda tampan, nengenakan jubah putih.
"M enepilah Nianak. Biar kuhadapi manusia-manusia buas ini," ujar Panji sambil
menatap orang di depannya lekat-lekat. Sinar matanya mencorong tajam menimbulkan
perbawa yang menggetarkan hati.
"Sssiaaapaa... Kau...?" Tanya orang itu gemetar karena telah melihat kedahsyatan
cengkeraman pemuda
berjubah putih. Apalagi saat itu Pendekar Naga Putih menatap tajam, begitu
menusuk. Orang itu pun juga
terkejut melihat pakaian pemuda itu yang mirip pakaian para pemimpin mereka.
"ru... Siapa aku, bukan urusanmu. Sekarang bersiaplah melawat ke neraka!" ucap
Pendekar Naga Putih dingin.
Setelah berkata demikian, tangan pemuda itu terulur
mengancam tenggorokan lawan. Gerakannya terlihat
lambat dan asal jadi saja. Namun tidak demikian yang dirasakan lawannya. Uluran
tangan Panji yang mengarah ke leher orang itu masih tetap mengancam meskipun
pedangnya telah beberapa kali menebas. Setiap kali
menebas, setiap kali itu pula lengan Pendekar Naga Putih berputar mengelak,
untuk kemudian meluncur kembali
mengancam leher. Hingga akhirnya, orang itu pasrah
ketika jari-jari tangan Panji mencengkeram lehernya.
Terdengar sebuah keluhan pendek ketika jari-jari
Pendekar Naga Putih meremas leher lawannya. M aka
orang itu pun tewas seketika karena tulang lehernya
patah! "Bangsat! Rupanya kau yang mengelabui kami, Anak M uda! Siapa kau sebenarnya"!
Dan di mana gadis itu
ctiambunyikan?"
Bentak salah seorang laki-laki berpakaian putih yang tadi berjumpa Panji pada saat
orang itu tengah melarikan putri Ki Dewana.
"Tidak perlu banyak bicara! M ajulah kalau memang berani!" tantang Panji
tersenyum tenang.
"Kurang ajar! Kau sengaja mencari mampus,
Kisanak! Nah, mampuslah! Hiaaatt...!"
Dibarengi teriakan keras, oraig itu segera menerjang Panji yang diikuti tiga
orang larinya. Rupanya ketiga orang centeng Ki Dewana telah tewas saat membela
majikannya. Dan kini keempat orang itu bergerak
mengeroyok Panji.
Tubuh Pendekar Naga Putih berkelebatan di antara
sambaran senjata lawan-lawan yang berdesingan di
sekitar tubuhnya. Pemuda itu tak ubahnya seekor naga putih yang sedang bermain-
main di angkasa. Tubuhnya
kadang-kadang merendah menghindari serangan lawan,
dan dilain saat melambung melampaui kepala lawan-
lawannya. Sehingga hampir sepuluh jurus berlalu, tak satu pun senjata lawan yang
berhasil menyentuh
tubuhnya. Tentu saja hal itu membuat enpat orang lawannya
semakin marah dan penasaran. Dan mereka pun semakin
mempercepat serangan-serangan.
Pada jurus kesepuluh, Panji berniat menyudahi
permainannya. Ketika dua buah jedang lawan membacok
dari atas ke bawah, tuluhnya cepat-cepat mengegos, lalu melangkah ke kiri.
Setelah itu, dijejakkan kedua kakinya ke tanah hingga tubuhnya seketika
melambung dengan
posisi kaki di atas. Dan sebelum kedua orang lawannya sadar akan apa yang
terjadi, tahu-tahu saja punggung mereka bagai dihantam sebuah palu godam yang
besar dan berat! Bukkk! Desss! "Huakkk..!"
Kedua orang itu tersungkur sambil memuntahkan
darah segar akibat hantaman tangan Panji. M ereka
berkelojotan sesaat, kemudian diam tak berkutik M ereka mati dengan tulang
punggung remuk.
Dua orang berseragam putih lainnya melompat
mundur ketika melihat kawan-kawan mereka telah tewas akibat pukulan pemuda itu.
Wajah keduanya memucat
karena tidak menyangka kalau pemuda yang dikeroyok
itu ternyata memiliki kepandaian tinggi.
M eskipun kegentaran telah menyelimuti hati, namun
mereka sudah bersiap menyerang kembali. Sambil
berteriak parau, keduanya segera menerjang Pendekar
Naga Putih. Bergegas pemuda itu menggerakkan
tubuhnya menyelinap di antara dua batang pedang yang hendak menebas. Dan pada
saat tubuhnya di antara kedua lawannya, Panji mengembangkan kedua tangan dengan
siku tertekuk yang telah mendarat di lambung lawan-
lawannya. Bukkk! Bukkk! "Hukkk...!"
Dua orang berseragam putih itu terhuyung ke depan
sambil meringis menahan sakit pada lambung. Cairan
merah mengalir dari celah-celah bibirnya. Dan selagi mereka terhuyung-huyung,
tubuh Panji berputar setengah lingkaran melepaskan sebuah tendangan terbang yang
sekaligus menghantam rahang lawan.
Seketika, dua orang berseragam putih yang naas itu
terjungkal akibat tendangan maut yang dilepaskan
Pendekar Naga Putih. M ereka meraung menahan sakit
yang luar biasa karena tulang rahang telah remuk. Sesaat kemudian mereka sudah
diam tak bergerak, pingsan!
Bruggg! Tiba-tiba sesosok tubuh tegap melayang dan hampir
menimpa tubuh Panji kalau saja tidak segera dihindarinya. Orang itu merintih
menahan sakit, karena tubuhnya telah dipenuhi tetesan darah di sana-sini. M
eskipun demikian, ia masih tetap berusaha untuk bangkit.
Ternyata dia adalah Laksa, kepala centeng Ki Dewana
yang bertarung melawan Ragapati atau Iblis Baju Hitam.
Rupanya meskipun mengetahui kalau kepandaian
Iblis Baju Hitam tidak mungkin dapat tertandingi, namun Laksa berusaha mati-
matian menyelamatkan nyawa
majikannya sekeluarga. Walaupun akhirnya dia hanya
menjadi bulan-bulanan Iblis Baju Hitam, kepala centeng itu tidak peduli. M
emang, Iblis Baju Hitam paling suka menyiksa lawan sebelum akhirnya terbunuh.
Itulah
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebabnya, mengapa sampai sejauh itu Laksa sampai saat ini masih saja belum
dibunuh Iblis Baju Hitam itu.
Panji bergegas membungkuk dan menekan pundak
Laksa agar tidak segera bangkit. Dari jari-jari tangannya keluar hawa murni yang
membuat luka-luka yang diderita Laksa tidak terlalu menyiksa.
"Telanlah pil ini, dan beristirahatlah Paman. Biar aku yang akan menghadapi
orang itu," kata Panji sambil menyerahkan sebutir pil yang berwarna putih
bagaikan kapur. Setelah berkata demikian Panji memalingkan
kepalanya, menatap tajam Iblis Baju Hitam.
"Hati-hatilah, Kisanak Iblis Baju Hitam memiliki kepandaian tinggi!" sahut Laksa
memperingatkan.
"Terima kasih, Paman. M udah-mudahan dapat ku-
atasi," jawab pemuda itu merendah. Kemudian, pemuda itu melangkah kakinya
menghampiri Ragapati yang
tengah memandang dalam jarak sekitar empat tombak
"Siapa kau, Anak M uda"! M enyingkirlah sebelum aku kehilangan kesabaranku!"
bentak Iblis Baju Hitam meremehkan keberadaan Panji.
"Aku adalah orang yang paling tidak suka melihat kejahatan
berlangsung didepan mataku. M aka, kusarankan agar secepatnya meninggalkan tempat ini
sebelum segalanya menjadi terlanjur," ujar Panji tak kalah gertak.
"Setan! Rupanya kau sengaja ingin mencari penyakit, Anak M uda!" malu Ragapati
geram. Sungguh tidak disangka kalau anak muda itu sedemikian berani
membalikkan kata-katanya.
"Hm.... Siapa yang ingin mencari penyakit" Kau atau aku, orang Tua?" Balas Panji
tersenyum membangkitkan kemarahan Ragapati.
"Heh! Tahukah kau, sekarang ini berhadapan dengan siapa?" Tanya Iblis Baju Hitam
memancing. Sementara dadanya sudah terasa panas bagaikan terbakar karena
menahan amarah.
"Ha ha ha...! Siapa yang tidak kenal Iblis Baju Hitam yang namanya tersohor di
kolong langit sebagai penjahat kelas rendah"!"
"Setan belang!" Bentak Ragapati murka. Kalau saja pemuda itu belum mengenal
namanya, itu masih bisa
dimaklumi. Tapi pemuda itu bukan saja telah mengenal, bahkan begitu berani
memaki sebagai penjahat rendah.
Dapat dibayangkan betapa murkanya Iblis Baju Hitam.
"Kurobek mulut lancangmu itu, Anak M uda!" Setelah berkata demikian tubuh
Ragapati melesat dengan sebuah serangan berbahaya.
Wuttt! Pendekar Naga Putih merendahkan kuda-kuda, maka
serangan itu lewat di atas kepalanya. Pemuda itu
langsung membalas dengan sebuah tamparan menuju
kepala lawannya. Iblis Baju Hitam menarik kepala ke
belakang sehingga tamparan Panji menyambar tempat
kosong. Namun sayang Iblis Baju Hitam terlalu
memandang rendah pemuda itu. M aka ketika Panji
menyusuli dengan sebuah tendangan, akibatnya....
Bukkk! M eskipun tendangan yang dilakukan Panji tidak
terlalu keras, tapi cukup membuat tubuh Ragapati terjajar sejauh enam langkah.
Iblis Baju Hitam meringis sambil mengusap lambungnya yang terasa nyeri.
"Huh! Pantas saja kau berani bersikap kurang ajar padaku. Rupanya kau memiliki
sedikit kepandaian!"
Geram Iblis Baju Hitam menahan sakit. Hatinya merasa penasaran sekali karena
dalam segebrakan saja telah
kecolongan. Dan itu benar-benar diluar dugaannya sama sekali.
"Hm...," gumam Panji pelan. Ia memang sudah tidak bernapsu untuk melayani ucapan
lawan. "Jangan merasa takabur dulu, Anak M uda! Aku
belum bersungguh-sungguh tadi. Nah, sekarang bersiaplah!" ancam Ragapati tegas.
Setelah berkata demikian, dipersiapkan ilmu andalan yang sangat dibanggakannya.
Ilmu 'M enghalau Barisan Seratus Golok ' itu.
Iblis Baju Hitam cepat menggerakkan golok panjang-
nya secara bersilangan hingga menimbulkan kilatan sinar putih. Kala kirinya
ditarik ke belakang sambil meng-acungkan golok di atas kepala. Disertai sebuah
teriakan parau, tubuhnya meluncur cepat melancarkan serangan
bertubi-tubi. Panji melebarkan senyum ketika melihat lawannya
ternyata memiliki ilmu yang cukup bermutu. M emang
diakui kalau ilmu itu cukup berbahaya. Hanya saja, ilmu itu tidak dilatih
sempurna hingga masih terlalu banyak kelemahan pada pertahanannya.
M eski gerakan Iblis Baju Hitam sangat cepat, tapi
masih kelihatan lambat di mata pemuda itu. Kedua
matanya yang memang sangat tajam itu mudah
menemukan beberapa kelemahan pada gerakan lawan.
Itulah sebabnya, mengapa serangan Ragapati yang
bertubi-tubi itu mudah sekali dielakan.
"Hm.... Sayang, gerakanmu masih terlalu lambat dan belum terlatih secara
sempurna, Iblis Baju Hitam!" Jelas Panji sejujurnya tanpa bermaksud menghina.
Sedangkan tubuhnya terus bergerak menghindari sebuah tebasan
yang mengancam lambung, dan langsung melancarkan
tamparan kilat ke bahu lawan.
Desss! "Uuuhhh...!" Tubuh Iblis Baju Hitam melintir ketika tamparan tangan itu mendarat
di bahunya. Untuk
beberapa saat, tangan kanannya itu sempat lumpuh dan tergantung lemas. Pada saat
itu juga tubuh Panji sudah melesat disertai tamparan ke pelipis.
Prakkk! "Aaahhhkkk...!"
Iblis Baju Hitam tak sempat lagi mengelakkan
tamparan maut itu. Ia memekik tertahan, dan terguling roboh. Ragapati atau Iblis
Baju Hitam tewas seketika karena
kepalanya pecah akibat tamparan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Seketika darah
menggenangi tanah berbatuan itu.
Setelah memastikan kalau lawannya benar-benar
tewas, Panji bergegas melangkah ke arah kereta berkuda.
Disana, Ki Dewana yang telah terluka parah dan tengah berkumpul menanti bersama
istri, anak dan pembantunya.
Wajah keempat orang itu mulai bersinar cerah ketika
melihat pemuda itu berhasil membunub iblis Baju Hitam yang terkenal sadis dan
kejam itu. "Terima kasih, Kakang Panji. Tidak dapat kubayang-
kan, apa yang akan terjadi pada diriku apabila Kakang tidak datang menolong. M
ungkin saat ini aku sudah
berada dalam cengkeraman Penghuni Rimba Gerantang
itu. Hiii...! Betapa mengerikan!" Ucap Ratna yang segera menyambut hangat
kedatangan Pendekar Naga Putih.
Gadis itu tidak malu-malu lagi menggandeng tangan
Panji, dan menuntun ke arah kedua orang tuanya.
Ki Dewana dan istrinya hanya dapat menggeleng-
gelengkan kepala melihat sikap putrinya. Sikap manja gadis itu benar-benar
membuat suasana di antara mereka menjadi kecanggungan. Diam-diam timbul niat di
hati saudagar kaya itu untuk menjodohkan anak gadisnya
dengan pemuda tampan yang menjadi penolongnya itu.
"Ayah! Ini Kakang Panji yang menolong kita.
Kepandaiannya tinggi sekali, Ayah! Pantas saja orang-orang jahat itu tidak ada
yang mampu melawannya,"
lapor gadis itu kepada Ki Dewana yang hendak bangkit menyambut pemuda itu.
"Beristirahatlah dulu, Paman Luka di punggung
Paman masih mengeluarkan darah. Kalau Paman tidak
keberatan, akan kucoba untuk mengobati luka itu," ujar Panji yang segera
mencegah Ki Dewana agar tetap duduk di tempatnya.
"Ah, terima kasih. Silakan, Nak Panji...."
Bergegas Panji mengeluarkan sebungkus obat bubuk
berwarna kuning dari dalam buntalan pakaian. Sigap
sekali Pendekar Naga Putih mengobati Ki Dewana dan
Laksa. Keduanya merasakan ada hawa dingin yang
menyelusup ketika bubuk berwarna kuning itu ditaburkan Panji di atas luka-luka
yang diderita. Beberapa saat kemudian mereka tidak lagi merasakan nyeri pada
luka itu. Tentu saja keduanya menjadi gembira, dan semakin bertambah kagum
terhadap pemuda itu.
"Wah! Obat lukamu mujarab sekali, Panji. Rupanya selain memiliki kepandaian
silat, kau juga ahli dalam pengobatan! Bukan main...," seru Laksa kagum.
"Wah, wah, wah...! Sudah, Paman. Sudah! Bisa-bisa kepalaku nanti menjadi besar
mendengar pujian yang
berlebihan itu. Oh, ya. Apakah Ki Dewana ingin
meneruskan perjalanan?" Tanya Panji mengalihkan percakapan, la tidak lagi
memanggil saudagar itu dengan sebutan Paman, ketika Ratna telah memperkenalkan
nama orang tuanya itu.
"Tentu saja akan tetap meneruskan perjalanan, Nak Panji. Karena biar
bagaimanapun, aku harus menyelamatkan Ratna dari jangkauan Penghuni Rimba
Gerantang yang biadab itu!" sahut Ki Dewana.
"Jadi, Ki Dewana sengaja mengungsi?" Tanya Panji ingin meminta penegasan.
"Ya! Karena di Desa M uara Bening tempat kami
tinggal, telah dikuasai pengaruh iblis. Dan pada setiap bulan purnama, penduduk
desa harus mempersembahkan
tiga orang perawan suci kepada Penghuni Rimba
Gerantang. M aka aku terpaksa mengungsi untuk me-
nyelamatkan anakku dari kebiadabannya. Tapi rupanya
iblis itu telah mengetahui, sehingga mengirimkan para pembantunya untuk merampas
anakku dan membunuhku.
Untunglah kedatanganmu tepat pada saatnya, Nak Panji.
Dan kini, kami sekeluarga dapat kau selamatkan. Aku
tidak tahu dengan apa harus membalas kebaikanmu ini,"
ungkap Ki Dewana menceritakan asal mulanya pertempuran tadi.
"Hm.... Jadi, mereka bukan sekadar perampok biasa,"
gumam Panji tak jelas. "Seperti apakah kira-kira orang yang disebut Penghuni
Rimba Gerantang itu, Ki?"
"Entahlah, Nak Panji. Tidak ada seorang pun yang pernah bertemu atau melihat
Penghuni Rimba Gerantang"
Entah berwujud manusia atukah Iblis."
"Jadi, Penghuni Rimba Gerantang tidak pernah
menampakkan diri" Dan yang melaksanakan segala
kejahatan selama ini hanya para pengikutnya saja" Begitu maksud Ki Dewana?"
Tanya Panji lagi semakin merasa penasaran.
"Begitulah kenyataannya!" Jawab Ki Dewana sambil menghela napas.
"Apakah Kepala Desa M uara Bening tidak berusaha melakukan perlawanan?" Tanya
pemuda itu yang rupanya semakin tertarik akan cerita tentang Penghuni Rimba
Gerantang yang penuh misteri itu.
"Tentu kami para penduduk desa telah berusaha
mencegah hal itu. Tapi jangankan berhadapan dengan
Penghuni Rimba Gerantang, baru menghadapi para
pembantunya saja sudah meminta korban banyak. Hingga akhirnya, penduduk dan
kepala desa menyetujui
mempersembahkan tiga orang perawan yang masih suci
pada tiap-tiap bulan purnama. Sesekali saja membantah, maka Desa M uara Bening
akan dimusnahkan iblis itu."
"Terima kasih atas keteranganmu, Ki. Kalau begitu,
aku permisi dulu karena hendak melanjutkan perjalanan,"
pamit Panji. Sebentar kemudian Pendekar Naga Putih
sudah melangkahkan kakinya tanpa menunggu jawaban
mereka. Ki Dewana dan Laksa bergegas bangkit untuk
mencegah kepergian pemuda tampan yang sederhana
namun memiliki kepandaian tinggi itu. Belum lagi
keduanya membuka suara, tiba-tiba Ratna berlari
mengejar pemuda penolongnya itu. Gadis itu memang
sudah terlanjur menyukai, sehingga merasa berat untuk ditinggalkan pemuda yang
sangat dikaguminya.
Panji menolehkan kepalanya ketika mendengar suara
langkah kaki yang lembut di belakangnya. Seketika
pemuda itu menahan langkahnya.
"Kakang.. tunggu...!" Teriak gadis itu sambil berlari mengejar Pendekar Naga
Putih. Sedang yang lain hanya memperhatikan dari kejauhan.
Ki Dewana sama sekali tidak berusaha untuk men-
cegah putrinya. Karena sudah terlanjur suka akan sikap dan kerendahan hati
pemuda itu. Laki-laki brewok itu seperti tidak merasa keberatan kalau putrinya
akan jatuh cinta kepada pendekar muda itu.
"Ada apa, Ratna?" Tanya Panji lembut. Sikap dan pandangannya seperti seorang
kakak yang memaklumi
sikap manja adiknya.
"Kakang, mengapa begitu terburu-buru" Ke mana
Kakang hendak pergi?" Tanya gadis cantik itu sendu, seraya kedua tangannya
memegang lengan Panji erat-erat.
Seakan-akan gadis itu ingin menunjukkan bahwa hatinya merasa berat untuk
berpisah. "Entahlah, Ratna. Aku tidak mempunyai tujuan
pasti," jawab Panji menutup keinginan yang sebenarnya.
Dia sudah bermaksud akan singgah di Desa M uara
Bening untuk menyingkap misteri Penghuni Rimba
Gerantang. M emang peristiwa di desa itu telah
menggugah jiwa kependekarannya.
Gadis itu termenung sejenak mendengar jawaban
Panji. Sesaat kemudian kepalanya kembali tegak, lalu menatap pemuda itu lekat-
lekat. "Kakang...," panggil Ratna setengah berbisik.
"Hm...."
"Bolehkah bertanya sesuatu?"
"Tentu saja boleh," jawab Panji mencoba menebak ke mana arah tujuan perkataan
gadis itu. "Apakah kakang tidak kasihan padaku?" Ringan sekali gadis itu bertanya sehingga
membuat Panji menjadi bingung sejenak
"Tentu saja, Ratna."
"Kalau begitu, aku ingin agar kau mengantarkan kami ke tempat tujuan. Siapa
tahu, di tengah jalan nanti aku diculik orang jahat!" Pinta gadis itu, sambil
menundukkan kepala menyembunyikan wajahnya yang merah
merona. "Ha ha ha.... Tentu saja aku bersedia, Ratna. Aku juga tak tega jika gadis
secantik dirimu hanya untuk
persembahan Penghuni Rimba Gerantang. Bisa ubanan
aku." Gurau Panji sambil melangkah ke arah kereta.
Tidak lama kemudian, mereka berangkat meninggalkan
tempat itu. * * *
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
5 Hari masih sangat pagi, dan matahari pun belum lagi
muncul. Kegelapan masih menyelimuti bumi. Hanya
suara kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan
menandai kedatangan sang pagi.
Sementara angin pagi bersilir lembut menebarkan
udara dingin menyejukkan, membuat tubuh terasa segar setelah beristirahat
panjang. Pintu-pintu rumah penduduk Desa M uara Bening tampak satu persatu mulai
terbuka. Tampak satu dua orang penduduk mulai keluar untuk
menyegarkan tubuh.
Ketika di sebelah Timur cahaya mulai tampak
kemerahan, seorang penunggang kuda menghela tunggangannya keluar dari mulut Desa M uara Bening
Binatang itu melesat menerobos suasana remang-remang yang menjelang terang.
Dari cara melarikan kudanya, jelas kalau ia begitu
tergesa-gesa, seolah-olah tengah berpacu dengan waktu.
Entah apa yang dikejarnya sepagi itu.
"Hiya...!"
Orang itu berteriak sambil menghentakkan tali
kekang agar kuda itu berlari lebih cepat lagi. Padahal binatang
itu telah mendengus-dengus
kelelahan. Sepertinya binatang itu, terpaksa melaju semakin cepat.
Setelah cukup jauh meninggalkan mulut desa, orang
itu mulai memperlambat lari kudanya. M emang jalan
yang dilalui tidak lagi semulus tadi. Rupanya ia tidak ingin menanggung resiko
kalau kaki kudanya akan
mengalami cidera.
Orang itu adalah seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Wajahnya terlihat gagah dan cukup simpatik. Di pinggangnya nampak tersembul
sebuah gagang golok. Pakaian yang serba hitam membuatnya
semakin gagah. Pemuda itu tak lain Ragas yang menjadi pembantu
utama Ki Jatar. Hari itu ia mendapat tugas untuk
melaporkan kejadian yang menimpa penduduk Desa
M uara Bening ke kadipaten, dengan harapan sang adipati mengirimkan pasukan
untuk memberantas para perusuh
itu. Ragas menarik tali kekang kuda ketika sampai di petigaan jalan. Diedarkan
pandangannya, meneliti kedua jalan yang dapat membawanya ke tempat tujuan.
"Hm... Lebih baik aku mengujungi Guru lebih dahulu untuk mengabarkan kematian
Kakang Dumpa. Dan kalau
bisa, sekaligus meminta bantuan beliau untuk menumpas Penghuni Rimba Gerantang
dan para pengikutnya itu,"
gumam Ragas dalam hati. Segera dibelokkan kudanya ke arah kiri. Kedua jalan itu
kini tidak jadi dilalui. Karena menurut hematnya, melalui jalan hutan akan lebih
aman. Pemuda pembantu Kepala Desa M uara Bening itu
bergegas memacu kudanya menerobos semak belukar.
Tujuannya sekarang adalah kediaman gurunya, tempat
dia dulu dididik ilmu silat yaitu di Gunung Bulangkang.
Belum begitu jauh Ragas menempuh perjalanan
melalui hutan, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesosok tubuh berjubah putih
yang berdiri tegak menghadang
perjalanannya. Cepat-cepat Ragas menarik tali kekang kudanya untuk berbalik
menuju kedatangannya semula.
Pemuda itu menjadi tegang ketika beberapa tombak di
depannya berdiri sosok tubuh serupa. Ditolehkan kepalanya ke belakang Tampak
orang tadi menghadangnya
berjalan mendatangi. Begitu pula yang dilakukan orang yang di hadapannya. Kedua
penghadang itu mengenakan
pakaian serupa.
"Celaka! Utusan Penghuni Rimba Gerantang..!" bisik Ragas gentar, dan seketika
itu juga wajahnya memucat.
Cepat diputar kudanya ke arah samping untuk meng-
hindari diri dari kedua orang berjubah putih itu.
Namun Ragas kalah cepat! Dua orang berjubah putih
itu melenting, lalu beberapa kali bersalto di udara. Kaki mereka mendarat
beberapa langkah di hadapan kuda
Ragas. M ereka adalah Sepasang M ambang Lembah
M aut. "Ha ha ha.... Ingin lari ke mana kau keparat!" Ejek salah seorang dari mereka
bengis. "Kita permainkan dulu tikus ini, Kakang. Setelah itu baru dibunuh," umpat
Sepasang M ambang Lembah M aut yang bernama Jonggali.
M endengar ejekan dua orang bertopeng tengkorak itu, hati Ragas menjadi panas.
Namun, ia bukan orang bodoh yang hanya mau menurut napsunya saja. Dicarinya
jalan untuk menyelamatkan diri. Sebab biar bagaimanapun,
kedua orang itu tak akan dapat ditandingi. M enghadapi salah seorang dari mereka
saja, pemuda itu tidak mungkin menang. Apalagi keduanya. Bahkan malah jadi
bulan-bulanan mereka.
"Hiya...!"
Tiba-tiba Ragas mengeluarkan bentakan keras dan
sekaligus menggeprak tubuh kudanya. Binatang itu
menjadi terkejut, lalu menjadi liar dengan melompat ke depan. M aka kedua orang
bertopeng tengkorak itu mau tidak mau harus menghindar agar tidak tersepak kaki
kuda. Belum lagi jauh binatang itu berlari, mendadak
binatang itu meringkik keras, lalu roboh terguling.
Rupanya salah seorang dari Sepasang M ambang Lembah
M aut itu telah melemparkan sebuah batu kerikil dan
langsung mengenai kaki depan kuda yang ditunggangi
Ragas. M aka cepat-cepat pemuda itu melentingkan
tubuhnya agar tidak ikut terbanting, lalu mendarat empuk sejauh empat tombak
dari kudanya. "Hm.... Jangan harap lolos dari tanganku, tikus busuk!" Bentak Jonggala orang
tertua dari Sepasang M ambang Lembah M aut itu.
Setelah berkata demikian, tubuh Jonggala meluncur
ke arah Ragas dan langsung melontarkan sebuah pukulan yang menimbulkan desing
angin tajam. Ragas yang mengetahui kalau serangan itu amat
berbahaya, segera melempar tubuhnya bergulingan. M aka ia terhindar dari
serangan maut itu. Tapi dugaanya
ternyata keliru. Ternyata baru saja bisa bangkit berdiri, tahu-tahu saja sebuah
tendangan menghantam dadanya.
Bukkk! "Ouggghhh...!"
Tubuh Ragas terpental disertai darah segar yang
menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terguling-guling
sejauh tiga tombak. Sambil menekap dada yang terasa
remuk, Ragas berusaha bangkit dan mencabut golok yang terselip di pinggang.
"M ajulah kalian, masing-masing iblis! Aku tidak akan menyerah begitu saja!
Phuihhh...!" Teriak Ragas sambil menyemburkan air ludahnya bercampur darah.
Rupanya pemuda itu siap menantang maut!
Pemuda itu cepat menahan gejolak amarah yang
menggelora di dadanya. Ia teringat akan pesan gurunya agar berusaha bersikap
tenang dalam menghadapi
pertempuran Karena, kemarahan hanya akan membuat-
nya lengah dan mudah dikuasai lawan.
"Ha ha ha...! Lucu sekali! Seekor cacing ingin
bertingkah seperti naga! Kau memang patut mendapat
siksaan sebelum kubunuh!" Ujar Jonggala sambil
memperdengarkan tawa iblisnya. Begitu ucapannya
selesai, tubuhnya melesat melancarkan serangan berikut.
Sadar kalau dua lawannya memiliki kepandaian lebih
tinggi, Ragas mengelebatkan senjata untuk membuat
pertahanan. Sinar goloknya bergulung-gulung menye-
limuti tubuhnya sehingga menyulitkan lawan untuk
melontarkan pukulan.
Tapi kepandaian orang tertua dari Sepasang M am-
bang Lembah M aut itu memang jauh di atas Ragas.
M aka, ketika pertarungan memasuki jurus kelima,
pertahanan pemuda itu pun mulai jebol. Sebuah hantaman sisi telapak tangan
miring lawan telak menghantam
iganya. Dan selagi tubuh pemuda itu terjajar, kembali tangan kiri Jonggala
menggedor perut.
Desss! "Huakkk..!"
Tubuh Ragas seketika terlempar keras. Darah segar
kembali menyembur dari mulutnya. Pemuda itu
mengeluarkan rintihan lirih sambil berusaha bangkit.
Selagi matanya mencari-cari senjatanya yang terlem?par entah ke mana, dua buah
tamparan pada wajah kembali
membuatnya terguling-guling. Ragas merasakan bumi
yang dipijaknya bergoyang. Kepalanya bagaikan tertimpa palu godam. Darah pun
mengalir dari bibirnya yang telah pecah. Kedua pipinya membengkak, dan beberapa
buah giginya tanggal akibat tamparan keras itu.
Sambil memperdengarkan tawa iblisnya. Jonggala
dan Jonggali melangkah menghampiri tubuh lawan.
Sedang Ragas hanya dapat menanti apa yang akan
dilakukan kedua orang itu terhadap dirinya. Seperti
harinya memang sudah pasrah.
Tapi sebelum melangkah lebih dekat, tiba-tiba
Sepasang M ambang Lembah M aut melompat mundur.
Dan selagi tubuh berada di udara, sepasang lengan
mereka melakukan dorongan untuk mengusir getaran
gelombang tenaga dalam yang tak tampak.
Jonggala dan Jonggali mengerutkan keningnya ketika
tahu-tahu saja sosok tubuh jangkung telah berdiri dan tengah memeriksa tubuh
Ragas. Rambutnya yang sudah
memutih digulung ke atas. Pakaian yang dikenakan
hanyalah berupa kain putih yang dilibat-libatkan ke
seluruh tubuh. M elihat cara dandanan orang bertubuh jangkung itu, pasti dia
seorang pertapa.
"Guru...!" Panggil Ragas di antara rintihannya. Berbagai perasaan berkecamuk di
hati pemuda itu ketika
melihat kedatangan gurunya yang langsung menolong-
nya. "Tenanglah, muridku. Telanlah obat ini setelah itu, aturlah pernapasan agar
tenagamu cepat menjadi pulih,"
ujar orang tua itu lembut sambil menyerahkan sebutir pil kepada muridnya.
Setelah memeriksa bahwa keadaan
Ragas tidak terlalu mengkhawatirkan, orang tua yang
bernama Resi Bagawa itu membalikkan tubuhnya.
"Hm.... Apa yang telah diperbuat muridku hingga kalian begitu tega menyiksanya?"
Tanya Resi Bagawa masih tetap bernada lembut. Sepasang mata tuanya
menatap tajam, seolah-olah mencoba mengenali kedua
orang itu. "Ah...! Kalau mataku tak salah lihat, bukankah kalian yang berjuluk
Sepasang M ambang Lembah M aut"
Aneh, apa yang dilakukan muridku hingga kalian rela
meninggalkan Lembah M aut?"
"Tidak perlau banyak cakap, Orang Tua! Kau pikir aku akan gentar dengan nama
Resi Bagawa yang berjuluk Cambuk Hujan dan Badai"! Huh! Jangan harap, kakek
peot!" Tegas Jonggala takabur. "Nah, bersiaplah untuk kukiram ke neraka!
Hiaaattt....'"
"Hebat'" puji Resi Bagawa, tulus. Segera kakek itu menggerakkan tubuhnya secara
sembarangan tapi
membuat lawan memukul tempat kosong. Tubuh orang
tua sakti itu mencelat ke udara ketika Jonggali ikut pula mengeroyok. Resi
bagawa mendaratkan kakinya di tanah berumput, dan terpisah cukup jauh dari
lawannya. Dan tahu-tahu saja, tangan kanannya memegang sebuah
cambuk berwarna putih.
Sementara Sepasang M ambang Lembah M aut telah
pula mencabut senjata masing-masing, yaitu sepasang
golok berbentuk bulan sabit. Sepasang senjata Jonggala dan Jonggali itu
berbahaya sekali, karena dapat
digunakan tak ubahnya sebuah bumerang. Apalagi yang
menggunakan adalah tokoh sakti seperti mereka. Tentu saja senjata itu semakin
berbahaya! "Bersiaplah, Cambuk Hujan dan Badai! Hari ini
senjata kebanggaanmu tidak akan banyak menolong!"
Ejek Jonggali meremehkan lawan.
"Hiahhh...!" Sambil membentak keras, dua saudara kembar itu meluncur disertai
ayunan sepasang golok
bulan sabitnya.
Wunggg! Wunggg!
Dua pasang senjata di tangan Jonggala dan Jonggali
mengaung merobek udara pagi yang mulai terasa hangat.
Cahaya sinar matahari yang jatuh menimpa senjata-
senjata itu menimbulkan kilatan sinar yang menyilaukan mata.
Resi Bagawa bertindak cepat memutar cambuknya,
sehingga menimbulkan angin menderu yang membawa
udara dingin. Terkadang ujung cambuk itu meledak
memekakkan telinga. Tapi anehnya, ledakan cambuk itu bukan menimbulkan percikan
bunga api, melainkan
menimbulkan titik-titik air. Dan bila mengenai kulit lawan, titik-titik air itu
akan terasa perih. Mungkin itu yang menyebabkan Resi Bagawa dijuluki Cambuk
Hujan dan Badai oleh kaum persilatan.
Wunggg! Wunggg!
"Hm...!" Gumam kakek itu, tak jelas.
Resi Bagawa menggeser tubuhnya menghindari dua
buah serangan Jonggala. Belum lagi sempat membalas,
senjata di tangan Jonggali sudah mengancam perut dan lehernya. Resi Bagawa
menghindar ke belakang
dibarengi ayunan camtuk menuju ke pelipis orang
termuda dari Sepasang M ambang Lembah M aut.
"Iiihhh...!"
Jonggali cepat menarik tubuhnya sambil memiringkan
kepala, maka ujung cambuk itu hanya mengenai tempat
kosong. Kemudian dilempar tubuhnya ke atas, dan
melambung di udara. Segera dilepaskannya dua senjata yang langsung berputar ke
arah lawannya. Kedua senjata itu berputar bagaikan bumerang, sehingga
menimbulkan suara mengaung yang membuyarkan daya perhatian
lawan. Resi Bagawa cukup terkejut melihat kehebatan
sepasang senjata lawannya itu. Cepat tubuhnya berguling menyelamatkan diri dari
ancaman sepasang senjata itu.
Pada saat hendak bangkit, terdengar suara mengaung dari sebelah kiri. Segera
Resi Bagawa memutar tubuhnya
serendah mungkin, lalu sekaligus melakukan tangkisan dengan tangan kirinya.
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plakkk! "Aaahhh...!" Pekik Jonggala tertahan ketika tangkisan Resi Bagawa menghantam
sikunya. Tubuh Jonggala terjajar mundur karena kuda-kudanya
telah tergempur. Dirasakan tangannya lumpuh untuk
beberapa saat lamanya. Diam-diam harus diakui kalau
kepandaian orang tua itu memang tidak bisa dibuat main-main. Dialirkan hawa
murni ke lengan yang terasa
lumpuh itu, dan sesaat kemudian kembali diterjangnya Resi Bagawa yang tengah
bertarung sengit melawan
adiknya. Pertarungan kembali berlanjut. Semakin
lama semakin seru dan menegangkan! Sebenarnya secara
perorangan, Sepasang M ambang Lembah M aut itu tidak akan mampu bertahan lebih
dari dua puluh jurus dalam menghadapi gempuran Resi Bagawa. Tapi karena
keduanya maju secara bersama-sama dengan serangan
yang kompak dan rapi, maka cukup sibuk juga Resi
Bagawa dibuatnya.
Berkali-kali orang tua itu nyaris termakan senjata dua orang lawannya yang
berbentuk aneh itu. M aka Resi
Bagawa harus lebih berhati-hati dan memperhitungkan
gerakannya secara cermat. Kalau tidak, bukan mustahil tubuhnya akan terkoyak
senjata lawan yang berbentuk
bulan sabit itu.
Pada jurus yang kedua puluh dua, Jonggala dan
Jonggali melempar tubuh ke belakang secara ber-
barengan. Dan sebelum mendarat di tanah, mereka
melontarkan empat buah golok bulan sabit itu bersamaan.
Suatu cara bertempur yang sangat licik!
"Hm...," Resi Bagawa hanya bergumam ketika melihat gerakan lawan-lawannya.
Ketika senjata-sejata itu tiba di dekatnya, Resi
Bagawa segera menjejakkan kakinya. Tubuh orang tua itu melambung ke atas
menghindari dua buah senjata yang
lewat di bawah kakinya. Sedang, dua senjata lain nyaris melukai bahu dan
lambungnya kalau saja tidak cepat
dimiringkan tubuhnya. Tapi begitu keempat senjata itu tidak menemui sasaran,
senjata-senjata itu langsung
berbalik tanpa berkurang sedikit pun kece?patannya.
Crasss! Brettt!
"Aifihhh...!" Resi Bagawa berseru kaget!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah di antara senjata itu merobek baju dan
betisnya ketika berbalik. Kakek berjuluk Cambuk Hujan dan Badai terhuyung
beberapa langkah. Sementara dari luka di kaki kirinya telah
mengalir darah segar. Untunglah, luka itu tidak begitu dalam dan tidak terlalu
mengkhawatirkan. Ce?pat-cepat tangannya melakukan totokkan di beberapa jalan
aliran darah di kakinya untuk mencegah aliran darah.
"Hm.... Sungguh berbahaya!" Desah Resi Bagawa sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Begitu rasa nyeri dilukanya lenyap, kakek itu
menyedot udara sebanyak-banyaknya. Lalu cambuknya
diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara
menderu dan mendebarkan arena pertarungan itu.
Sepasang M ambang Lembah M aut langsung terkejut
ketika tiba-tiba saja bertiup angin keras yang membawa hawa dingin. Sama-samar
dirasakan ada titik-titik air yang menimpa tubuh mereka.
"Jurus Cambuk Hujan dan Badai...!" Seru Sepasang M ambang Lembah M aut takjub.
M enyadari kalau lawannya telah mengeluarkan jurus-
jurus andalannya pada tingkat yang lebih tinggi, Jonggala dan Jonggali segera
bersiap menghadapinya. Bergegas
keduanya mengeluarkan ilmu andalan pada tingkat
terakhir, yaitu jurus 'Golok Terbang M erenggut Sukma '.
Dalam jurus ini Sepasang M ambang Lembah M aut
mencampurinya dengan unsur tenaga gaib. Sehingga,
keempat golok terbang mereka terkadang bagaikan benda hidup dan dapat bergerak
sendiri. Hanya saja, tenaga dalam yang dipergunakan sangat banyak dan
melelahkan. M aka mau tak mau mereka harus menggunakannya
karena sadar kalau kepandaian Resi Bagawa sangat tinggi dan berbahaya.
"Hahhh!"
Sepasang M ambang Lembah M aut membentak keras
bagai hendak menggetarkan jagad. Keduanya segera
menjatuhkan diri duduk bersila berdampingan M ereka
berpegangan tangan kanan dan kiri satu sama lain,
sedangkan tangan yang satu terulur ke depan dengan jari-jari terbuka.
Sepasang M ambang Lembah M aut
memejamkan mata menyatukan tenaga dan pikiran untuk
menggerakkan senjata.
Resi Bagawa cukup terkejut ketika dua pasang senjata yang diletakkan didepan
mereka, tiba-tiba saja mulai bergerak naik bagaikan bernyawa. Kemudian, dua
pasang senjata itu berputar cepat dan meluncur ke arah Resi Bagawa. Kakek sakti
itu sampai ternganga takjub
dibuatnya! Sadar kalau dirinya terancam bahaya, segera
digerakkan cambuk putih di tangannya. Kali ini Resi
Bagawa harus mengerahkan hampir seluruh tenaganya.
Werrr! Werrr! Hebat sekali akibat yang ditimbulkan putaran cambuk
itu. Angin dingin bertiup keras hingga membuat beberapa batang pohon terdekat
tercabut. Dan dengan demikian
dua pasang golok bulan sabit yang tengah meluncur ke arahnya tertahan, untuk
kemudian terpental balik.
Sepasang M ambang Lembah M aut semakin memperkuat daya serang melalui senjata mereka. Namun setiap kali golok bulan
sabit itu menyerang, selalu
berbalik! M emang dinding badai yang diciptakan Resi Bagawa benar-benar sukar
ditembus. Peluh mulai
mengalir deras membasahi pakaian Jonggala dan
Jonggali. Wajah mereka memerah bagai udang rebus.
Nampaknya, mereka benar-benar harus mencurahkan
seluruh kemampuan dalam pertarungan itu.
Empat batang golok bulan sabit itu kembali meluncur
dengan kekuatan berlipat ganda. Kali ini senjata-senjata itu tidak sampai
terpental balik, tapi mengambang di udara berusaha menerobos dinding badai yang
kuat itu. Rupanya Jonggala dan Jonggali telah mengerahkan
seluruh kemampuannya. Demikian juga Resi Bagawa.
Ragas yang menyaksikan pertarungan dari tempat
tersembunyi, sampai ternganga kagum dibuatnya. Tidak disangka kalau kepandaian
Sepasang M ambang Lembah
M aut itu mampu mengimbangi gurunya. Kalau saja tidak disaksikannya sendiri,
tentu ia tidak akan percaya.
"Heaaahhh!?"
Ctarrr! Jterrr!
"Uuuggghhh...!"
Pada saat yang tepat Resi Bagawa membentak
nyaring sambil melecutkan cambuknya. M aka dua buah
senjata lawan yang terpukul ujung cambuk itu kontan
terpental jatuh. Berbarengan dengan jatuhnya dua buah senjata itu, dua saudara
dari Lembah M aut itu terdorong mental terguling-gulingan. Tampak dari mulut
mereka menyembur darah kental kehitaman!
Sedangkan Resi Bagawa sendiri hanya terjajar
mundur. Tangan kanannya yang memegang cambuk
terasa linu akibat berbenturan dengan dua senjata itu.
Orang tua berjuluk Cambuk Hujan dan Badai itu meng-
geleng-gelengkan kepala, karena kagum akan kehebatan tenaga lawan-lawannya.
Sepasang M ambang Lembah M aut bergerak bangkit
meski agak limbung. Kini keduanya mengalami luka
parah akibat senjata mereka dapat dilumpuhkan lawan.
M emang senjata-senjata itu telah disatukan dengan
tenaga mereka. Sehingga, apabila lawan mengetahui
kelemahannya dan memiliki tenaga lebih kuat, mereka
akan mudah dilumpuhkan. Dengan memukul jatuh
senjata-senjata itu, berarti sama saja dengan memukul tubuh mereka berdua.
"Hari ini kami mengaku kalah," ungkap Jonggala penuh dendam. Setelah berkata
demikian Sepasang
M ambang Lembah M aut bergegas meninggalkan tempat
itu setelah terlebih dahulu memungut senjata-senjata mereka.
Resi Bagawa hanya memandang kepergian mereka
tanpa mengucapkan separah kata pun. M emang diakui,
dia merasa sangat lelah setelah melakukan pertempuran tadi. Pelahan-lahan kakek
sakti itu melangkahkan kakinya mendekati tempat muridnya bersembunyi.
"Guru...!" Panggil Ragas yang langsung menjatuhkan dirinya berlutut di bawah
kaki Resi Bagawa.
"M ari kita mencari tempat yang lebih enak! Aku ingin mendengar keteranganmu!"
Ajak Resi Bagawa sambil menggandeng bahu Ragas.
* * * 6 M atahari pelahan-Iahan mulai tenggelam, setelah
menyelesaikan tugasnya menerangi mayapada ini. Dalam keremangan senja, tampak
Panji berlari menggunakan
ilmu meringankan tubuh agar dapat tiba di Desa Muara Bening sebelum gelap-
gulita. Tubuh pemuda itu
berkelebat di antara pohon besar, tak ubahnya sebuah bayangan hantu. Terkadang
tengah bermain-main di
angkasa raya. Beberapa waktu kemudian, Pendekar Naga Putih
telah mencapai jalan umum yang cukup lebar. Segera
dihentikan larinya di tepi jalan itu Dirayapi daerah itu untuk memastikan kalau
dirinya tidak menemui jalan
yang salah. M emang Panji sengaja memotong jalan lewat hutan sambil
mempergunakan ilmu meringankan tubuh
agar perjalanan menjadi lebih cepat.
Rupanya, begitu selesai mengantarkan keluarga Ki
Dewana ke tempat tujuan, Panji berpamitan untuk
melanjutkan perjalanan. Pemuda itu masih teringat ketika Ratna, anak gadis Ki
Dewana, melepaskan keberang-katannya dengan hati sangat berat. Setelah Panji
berjanji akan mengunjunginya kelak, barulah gadis itu rela
melepaskan pegangan tangannya. Panji jadi tersenyum
sendiri seraya menggelengkan kepalanya, jika mengingat hal itu.
Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya lambat-
lambat. M enurut keterangan Ki Dewana, letak desa itu tidak terlalu jauh dari
Hutan Jati. Dan apabila
menemukan jalan yang bersimpang tiga, Panji harus
mengambil jalan kiri. Dari situ, Panji akan menemukan jalan menuju Desa M uara
Bening. Tepat pada saat Panji tiba di persimpangan jalan, dari mulut hutan di depannya
muncul dua orang laki-laki yang tak lain Ragas dan Resi Bagawa. M ereka juga
hendak menuju ke Desa M uara Bening.
Ketika melihat seorang berjubah putih yang melang-
kah ke arah mereka, Ragas mencabut golok panjangnya.
Sambil melintangkan goloknya, pemuda itu berbisik
kepada Resi Bagawa.
"Guru. Tampaknya orang itu adalah salah satu pimpinan mereka yang hendak
menuntut balas atas kekalahan Sepasang M ambang Lembah M aut tadi!"
Wajah Ragas nampak tegang ketika membisikkan
kata-kata itu kepada gurunya. M enurut anggapannya,
pasti orang berjubah putih itu memiliki kepandaian yang lebih
tinggi dari Jonggala dan Jonggali yang dipecundangi gurunya.
Yakin kalau orang berjubah putih itu adalah salah
satu dari musuhnya, tanpa banyak cakap lagi Ragas
langsung menerjangnya. Goloknya diputar sedemikian
rupa hingga menimbulkan desing angin tajam.
"Hei!" Teriak Panji kaget sambil menghindar golok di tangan penyerangnya. Gila!
Orang sinting dari mana ini yang tanpa bertanya lagi langsung menyerang orang
demikian ganasnya" Namun Panji tidak bisa berpikir
lebih banyak lagi, karena serangan lawan begitu cepat datangnya.
Ketika golok di tangan lawan membabat ke arah
pinggang, Panji mengulur tangan kirinya bermaksud
merampas golok itu. Sedang, tangan kanannya melaku-
kan dorongan ke dada orang itu.
Ragas yang tengah melancarkan serangan bertubi-tubi
itu menjadi terkejut sekali melihat kecepatan gerak
lawan. Cepat-cepat ditarik pulang tangannya sambil
menggeser tubuh ke belakang, menghindari serangan
Panji. Tapi bukan main kagetnya hati Ragas ketika kedua tangan itu tetap saja
mengejarnya. Hingga akhirnya....
"Brettt! Buggg! "Aaahhhkkk...!"
M urid Resi Bagawa itu menjerit tertahan ketika tahutahu goloknya telah
terampas, ditambah tangan kanan
Panji yang telah menghantam dadanya. Tak ayal lagi,
tubuh Ragas pun terpental dan jatuh di hadapan gurunya.
Ragas merintih kesakitan, dan dari sela-sela bibirnya tampak cairan merah
mengalir pelarian.
Resi Bagawa cukup terkejut melihat cara orang
berjubah putih itu menjatuhkan muridnya. Dan secara
sepintas tadi telah dapat diukur tingkat kepandaian
pemuda berjubah putih itu. Orang tua itu hampir tak
percaya ketika melihat
orang yang menjatuhkan
muridnya itu masih muda sekali. Paling banyak, usianya baru sekitar dua puluh
atau dua puluh satu tahun.
"Hm.... Anak M uda! M eskipun kepandaianmu sangat tinggi, aku tidak akan mundur.
Dan, aku akan mencoba mengusirmu dari Desa M uara Bening, agar bencana yang
menimpa rakyat tidak berkepanjangan," setelah berkata demikian, Resi Bagawa
segera mencabut senjatanya.
Cambuk berwarna putih yang menebarkan hawa dingin
itu meledak-ledak menimbulkan percikan air yang terasa nyeri apabila menyentuh
permukaan kulit.
"Tahan dulu, Orang Tua! Aku tidak...," belum lagi Panji sempat menyelesaikan
ucapannya, serangan cambuk Resi Bagawa sudah meluncur datang.
Jtarrr! Jterrr!
"Haiiittt...!" seru Panji nyaring.
Pemuda berjubah putih itu segera melempar tubuhnya
dan melakukan salto sebanyak empat kali. Dan baru saja hendak berdiri tegak,
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu-tahu ujung cambuk lawan
sudah meluncur datang. Rasanya, tidak ada waktu lagi untuk menghindar. M aka
Panji segera menggerakkan
tangan kanannya menangkap ujung cambuk. Hampir
separuh dari tenaga dalamya digunakan untuk melindungi kulit tangan agar tidak
luka. Jeprattt! "Uuuhhh...!"
Panji berseru tertahan dan terdorong mundur sampai
beberapa langkah ke belakang ketika ujung cambuk itu meliuk menghantam
tangannya. Untunglah pemuda itu
telah berjaga-jaga melindungi tangannya sehingga tidak sampai terluka. Tapi tak
urung rasa nyeri menusuk juga menjalar hingga sebatas siku. Diam-diam Pendekar
Naga Putih memuji kekuatan tenaga dalam yang dimiliki orang tua yang menjadi
lawannya itu. Dan ternyata Resi Bagawa juga sangat terkejut ketika mendapat kenyataan kalau
cambuk yang selama ini
dibanggakan tidak mampu melukai kulit lawan. Segera
dia mencari alasan kalau dirinya belum menggunakan
seluruh tenaga.
"Jangan takabur dulu, Anak M uda! Bersiaplah menghadapi jurus 'Cambuk Hujan dan
Badai' ku!"
Setelah berkata demikian, Resi Bagawa memutar
cambuknya hingga menimbulkan angin ribut. Seketika
batu-batu kecil beterbangan akibat putaran angin kuat yang ditimbulkan cambuk di
tangannya. Panji cukup terkejut melihat kehebatan jurus
lawannya itu. M aka bergegas pemuda itu menyedot udara banyak-banyak. Rupanya
Pendekar Naga Putih mulai
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dahsyat itu. Sesaat kemudian, hawa
dingin me?nusuk menebar
dan bertiup keras. Tampak selapis kabut bersinar putih keperakan bergerak
menyelimuti tubuh pemuda itu.
"Pendekar Naga Putih...!?" Gumam Resi Bagawa ragu. M eskipun masih diliputi
keraguan, namun gerakannya segera dihentikan, sehingga badai yang diciptakannya
mendadak lenyap! 'Tunggu dulu, Anak M uda!"
"Hm.... Ada apa lagi, Orang Tua" M engapa
berhenti?" Sahut Panji yang masih bersiap menghadapi pertarungan.
"Sebentar, Aku ingin bertanya sesuatu," ungkap Resi Bagawa lagi.
"Silakan...!"
"Apakah kau..., Pendekar Naga Putih...?"
"Begitulah orang persilatan menyebutku!" Jawab Panji tanpa sedikit pun tersirat
nada kesombongan.
Ragas yang mendengar penegasan Panji, langsung
berubah wajahnya. Sungguh tak disangka kalau orang
berjubah putih itu adalah Pendekar Naga Putih.
"M aafkan aku yang bodoh ini, Pendekar Naga Putih,"
ucap Ragas di antara rintihan kesakitan.
"Lupakanlah," hanya itu yang diucapkan Panji
"Ahhh...! Kalau begitu kita telah salah paham,
Pendekar Naga Putih," jelas Resi Bagawa seraya menarik napas lega sekaligus
gembira. Lega karena tidak jadi bertarung melawan pemuda berkepandaian tinggi.
Hatinya juga gembira karena dengan hadirnya pendekar muda sakti itu, Resi Bagawa
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 29 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Kedele Maut 5
M asalahnya, dia sendiri tengah berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari
ancaman tangan maut Iblis Baju Hitam yang memang memiliki kepandaian tinggi.
Beberapa bagian tubuhnya tampak terluka dan mengeluarkan darah akibat jari-jari tangan lawan.
Dua orang berseragam putih yang memondong gadis
itu terus melarikan diri ke dalam hutan. Teriakan-teriakan gadis itu kian
melemah karena rasa takut dan ngeri
memenuhi hatinya.
"Ah, gadis itu cantik sekali. Sayang sekali ketua sangat membutuhkannya. Kalau
tidak... hm...," ujar salah seorang dari mereka yang rupanya merasa tergiur
melihat kecantikan gadis itu.
"Jangan berpikir yang bukan-bukan, kalau kau masih menyayangi kepalamu!" bentak
kawannya yang membuat orang itu terdiam seketika.
Belum lagi jauh memasuki hutan, tiba-tiba keduanya
menghentikan langkah. Di hadapan mereka tampak
berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan jubah
dan celana putih. Rambutnya yang panjang dibiarkan
tergerai lepas. Tampak sehelai kain yang juga berwarna putih menghias kepalanya.
Wajahnya terlihat tenang.
Sebuah senyuman ramah menghias wajahnya. Siapa lagi
pemuda itu kalau bukan Panji yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang itu hanya
berdiri bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
M ereka terkejut ketika melihat pakaian pemuda itu yang mirip dengan pakaian
para pemimpinnya. Kedua orang
itu menjadi ragu-ragu karena merasa khawatir kalau-
kalau pemuda itu adalah salah seorang pemimpin mereka.
M emang, selama ini mereka jarang sekali bertemu para pemimpinnya. Bahkan juga
tidak mengenal semuanya.
"Siapa... siapa kau, Kisanak...?" Tanya salah seorang dari mereka takut-takut.
Kelihatan sekali kalau dua orang itu begitu hormat kepada Panji.
Pendekar Naga Putih berpikir cepat. Ketika melihat
keraguan yang tergambar pada wajah kedua orang itu, ia segera dapat menerka
kalau kedua orang itu pastilah
anggota suatu perkumpulan yang selalu mengenakan
pakaian serba putih. Dan pastilah mereka, hanya anggota biasa yang tidak begitu
mengenal para pimpinannya.
M endapat pemikiran demikian, Panji segera merubah
sikap dan wajahnya. Sejurus kemudian, wajahnya yang
semula selalu tersenyum ramah itu mendadak dingin, den senyumnya seketika
lenyap. "Hm... Kalian tidak mengenali aku?" ujar Panji dengan suara serak dan mengandung
ancaman. Sepasang
matanya mencorong tajam menyiratkan hawa kematian.
"M aafkan kami, Tuan M uda..." Kami memang bodoh tidak tapit mengenali Tuan M
uda!" ucap kedua orang berpakaian serba putih itu langsung menjatuhkan dirinya
dan berkutut di hadapan Panji setelah terlebih dulu
meletakkan tubuh gadis itu ke atas tanah berumput.
M ereka memang sudah mengetahui kalau para
pimpinan mereka rata-rata kejam dan tak kenal ampun.
Tentu saja mereka khawatir kalau sosok berjubah putih itu adalah salah seorang
pimpinan mereka yang selalu menurunkan tangan kejam. M aka mereka langsung
berlutut dan meminta maaf.
"Tinggalkan gadis itu, dan teruskan pekerjaan kalian!
Cepat..!" sentak Panji menggelegar sehingga membuat kedua orang itu lari
terbirit-birit meninggalkan tawanan-nya.
Sepeninggal kedua orang itu, Panji tersenyum geli.
Sungguh tidak diduga sama-sekali kalau dua orang berseragam putih itu demikian
mudah dibohongi. Dengan
wajah masih tersenyum, pemuda itu membungkuk
memeriksa tubuh gadis itu. Hatinya menjadi lega ketika mendapati gads itu hanya
pingsan dan tidak mengalami luka sedikit pun.
"Uuuhhh...."
Gadis itu merintih lirih setelah Panji mengurut bagian belakang lehernya yang
disertai sedikit pengerahan
tenaga dalam. Pelahan-lahan matanya terbuka. Dan ketika pandangannya tertumbuk
pada seorang pemuda yang
tengah berjongkok di sisinya, dia bergegas bangkit.
Wajahnya kembali pucat dibayangi rasa takut.
"Oooh, tidak..! Jangan...!" Gadis itu melangkah mundur sambil berteriak-teriak
lemah. Air matanya
mengalir membasahi pipi yang halus itu.
"Jangan takut, Nini. Aku tidak akan menyakitimu.
Ceritakanlah apa yang terjadi denganmu" Aku menemukanmu tengah tergeletak pingsan di sini. Dan
kalau aku bermaksud jahat, mengapa harus menunggumu
sadar?" ujar Panji memberi alasan disertai senyum ramah.
Putri Ki Dewana itu tertegun sejenak ketika
mendengar keterangan pemuda tampan di hadapannya.
Ditatapnya wajah Panji seolah ingin menemukan
jawabannya di wajah itu. Keraguan mulai s irna di wajah gadis itu ketika melihat
bahwa wajah pemuda itu sama sekali tidak menggambarkan watak jahat.
'Tapi, mengapa kau ada di sini" Apalagi pakaianmu
sama dengan pakaian mereka!" sahut gadis itu gagap.
Biar bagaimanapun ia masih belum percaya akan
keterangan pemuda di depannya. Siapa tahu pemuda itu tengah bersiasat.
"Hm... baiklah! Sebenarnya begini...." Panji lalu menceritakan kejadian yang
sebenarnya. "Lalu, ke mana perginya ke dua orang itu?"
"Entahlah" Aku hanya menyuruh mereka untuk
meneruskan pekerjaannya."
"Kalau benar ceritamu, kau harus cepat menolong ayahku!" seru gadis itu
tersenyum di antara tangis dan kecemasan hatinya karena mendengar cerita Panji
yang lucu dalam menolongnya tadi.
* * * 4 Pendekar Naga Putih dan putri Ki Dewana bergegas
keluar dari dalam hutan. Panji diam saja ketika tangannya ditarik, lalu diajak
berlari oleh gadis itu. Diam-diam hatinya merasa suka kepada gadis yang periang
dan mudah bersahabat itu Namun dibalik itu semua tetap saja hatinya terpukul atas
musibah yang dialami ayahnya.
Sementara itu, suara-suara orang bertempur kian jelas terdengar. Denting senjata
ditingkahi suara teriakan-teriakan dan bentakan yang membahana, membuat gadis
itu semakin mempercepat larinya. Namun di antara suara-suara itu, terdengar
suara rintihan, yang cukup menyayat.
"Oooh...! Tolooonggg... lepaskan aku binatang!"
Perempuan cantik berusia sekitar empat puluh tahun
tengah berteriak-teriak dalam pelukan seorang berpakaian putih yang menciumi
penuh nafsu. Sebagian baju wanita itu sudah sobek di sana-sini, sehingga
menampakkan kulitnya yang putih mulus.
"Ibu...! Kakang Panji, tolong ibuku!" Teriak gadis itu yang rupanya sudah saling
berkenalan dengan Pendekar Naga Putih. Putri Ki Dewana benar-benar kalut melihat
ibunya tak berdaya dibawah cengkeraman laki-laki penuh nafsu iblis itu.
'Tenanglah, Adik Ratna. Diamlah di sini! Dan jangan
pergi dari tempat ini, sampai aku kembali!" Tegas Panji tenang. Sesat kemudian,
gadis yang ternyata bernama
Ratna ini hanya melihat sesosok bayangan putih yang
berkelebat dari sampingnya. Gadis itu terkejut, namun senakin kagum kepada
pemuda penolongnya itu.
Pendekar Naga Putih melesat cepat ke arah orang yang tengah liar menjelajahi
tubuh wanita itu.
"Aaahhh...!
Entah bagaimana, laki-laki yang tengah menindih istri Ki Dewana itu seketika
melambung dan terbanting keras di atas tanah berbatu. Orang itu langsung diam
tak bergerak karena lehernya patah akibat cengkeraman
tangan Panji yang mengandung tenaga dalam tinggi.
Kejadian itu berlangsung hanya sekejap mata saja,
sehingga laki-laki yang berseragam putih yang tidak jauh dari situ menjadi
kebingungan. Ternyata tahu-tahu di dekat wanita yang hendak digagahi berdiri
seorang pemuda tampan, nengenakan jubah putih.
"M enepilah Nianak. Biar kuhadapi manusia-manusia buas ini," ujar Panji sambil
menatap orang di depannya lekat-lekat. Sinar matanya mencorong tajam menimbulkan
perbawa yang menggetarkan hati.
"Sssiaaapaa... Kau...?" Tanya orang itu gemetar karena telah melihat kedahsyatan
cengkeraman pemuda
berjubah putih. Apalagi saat itu Pendekar Naga Putih menatap tajam, begitu
menusuk. Orang itu pun juga
terkejut melihat pakaian pemuda itu yang mirip pakaian para pemimpin mereka.
"ru... Siapa aku, bukan urusanmu. Sekarang bersiaplah melawat ke neraka!" ucap
Pendekar Naga Putih dingin.
Setelah berkata demikian, tangan pemuda itu terulur
mengancam tenggorokan lawan. Gerakannya terlihat
lambat dan asal jadi saja. Namun tidak demikian yang dirasakan lawannya. Uluran
tangan Panji yang mengarah ke leher orang itu masih tetap mengancam meskipun
pedangnya telah beberapa kali menebas. Setiap kali
menebas, setiap kali itu pula lengan Pendekar Naga Putih berputar mengelak,
untuk kemudian meluncur kembali
mengancam leher. Hingga akhirnya, orang itu pasrah
ketika jari-jari tangan Panji mencengkeram lehernya.
Terdengar sebuah keluhan pendek ketika jari-jari
Pendekar Naga Putih meremas leher lawannya. M aka
orang itu pun tewas seketika karena tulang lehernya
patah! "Bangsat! Rupanya kau yang mengelabui kami, Anak M uda! Siapa kau sebenarnya"!
Dan di mana gadis itu
ctiambunyikan?"
Bentak salah seorang laki-laki berpakaian putih yang tadi berjumpa Panji pada saat
orang itu tengah melarikan putri Ki Dewana.
"Tidak perlu banyak bicara! M ajulah kalau memang berani!" tantang Panji
tersenyum tenang.
"Kurang ajar! Kau sengaja mencari mampus,
Kisanak! Nah, mampuslah! Hiaaatt...!"
Dibarengi teriakan keras, oraig itu segera menerjang Panji yang diikuti tiga
orang larinya. Rupanya ketiga orang centeng Ki Dewana telah tewas saat membela
majikannya. Dan kini keempat orang itu bergerak
mengeroyok Panji.
Tubuh Pendekar Naga Putih berkelebatan di antara
sambaran senjata lawan-lawan yang berdesingan di
sekitar tubuhnya. Pemuda itu tak ubahnya seekor naga putih yang sedang bermain-
main di angkasa. Tubuhnya
kadang-kadang merendah menghindari serangan lawan,
dan dilain saat melambung melampaui kepala lawan-
lawannya. Sehingga hampir sepuluh jurus berlalu, tak satu pun senjata lawan yang
berhasil menyentuh
tubuhnya. Tentu saja hal itu membuat enpat orang lawannya
semakin marah dan penasaran. Dan mereka pun semakin
mempercepat serangan-serangan.
Pada jurus kesepuluh, Panji berniat menyudahi
permainannya. Ketika dua buah jedang lawan membacok
dari atas ke bawah, tuluhnya cepat-cepat mengegos, lalu melangkah ke kiri.
Setelah itu, dijejakkan kedua kakinya ke tanah hingga tubuhnya seketika
melambung dengan
posisi kaki di atas. Dan sebelum kedua orang lawannya sadar akan apa yang
terjadi, tahu-tahu saja punggung mereka bagai dihantam sebuah palu godam yang
besar dan berat! Bukkk! Desss! "Huakkk..!"
Kedua orang itu tersungkur sambil memuntahkan
darah segar akibat hantaman tangan Panji. M ereka
berkelojotan sesaat, kemudian diam tak berkutik M ereka mati dengan tulang
punggung remuk.
Dua orang berseragam putih lainnya melompat
mundur ketika melihat kawan-kawan mereka telah tewas akibat pukulan pemuda itu.
Wajah keduanya memucat
karena tidak menyangka kalau pemuda yang dikeroyok
itu ternyata memiliki kepandaian tinggi.
M eskipun kegentaran telah menyelimuti hati, namun
mereka sudah bersiap menyerang kembali. Sambil
berteriak parau, keduanya segera menerjang Pendekar
Naga Putih. Bergegas pemuda itu menggerakkan
tubuhnya menyelinap di antara dua batang pedang yang hendak menebas. Dan pada
saat tubuhnya di antara kedua lawannya, Panji mengembangkan kedua tangan dengan
siku tertekuk yang telah mendarat di lambung lawan-
lawannya. Bukkk! Bukkk! "Hukkk...!"
Dua orang berseragam putih itu terhuyung ke depan
sambil meringis menahan sakit pada lambung. Cairan
merah mengalir dari celah-celah bibirnya. Dan selagi mereka terhuyung-huyung,
tubuh Panji berputar setengah lingkaran melepaskan sebuah tendangan terbang yang
sekaligus menghantam rahang lawan.
Seketika, dua orang berseragam putih yang naas itu
terjungkal akibat tendangan maut yang dilepaskan
Pendekar Naga Putih. M ereka meraung menahan sakit
yang luar biasa karena tulang rahang telah remuk. Sesaat kemudian mereka sudah
diam tak bergerak, pingsan!
Bruggg! Tiba-tiba sesosok tubuh tegap melayang dan hampir
menimpa tubuh Panji kalau saja tidak segera dihindarinya. Orang itu merintih
menahan sakit, karena tubuhnya telah dipenuhi tetesan darah di sana-sini. M
eskipun demikian, ia masih tetap berusaha untuk bangkit.
Ternyata dia adalah Laksa, kepala centeng Ki Dewana
yang bertarung melawan Ragapati atau Iblis Baju Hitam.
Rupanya meskipun mengetahui kalau kepandaian
Iblis Baju Hitam tidak mungkin dapat tertandingi, namun Laksa berusaha mati-
matian menyelamatkan nyawa
majikannya sekeluarga. Walaupun akhirnya dia hanya
menjadi bulan-bulanan Iblis Baju Hitam, kepala centeng itu tidak peduli. M
emang, Iblis Baju Hitam paling suka menyiksa lawan sebelum akhirnya terbunuh.
Itulah
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebabnya, mengapa sampai sejauh itu Laksa sampai saat ini masih saja belum
dibunuh Iblis Baju Hitam itu.
Panji bergegas membungkuk dan menekan pundak
Laksa agar tidak segera bangkit. Dari jari-jari tangannya keluar hawa murni yang
membuat luka-luka yang diderita Laksa tidak terlalu menyiksa.
"Telanlah pil ini, dan beristirahatlah Paman. Biar aku yang akan menghadapi
orang itu," kata Panji sambil menyerahkan sebutir pil yang berwarna putih
bagaikan kapur. Setelah berkata demikian Panji memalingkan
kepalanya, menatap tajam Iblis Baju Hitam.
"Hati-hatilah, Kisanak Iblis Baju Hitam memiliki kepandaian tinggi!" sahut Laksa
memperingatkan.
"Terima kasih, Paman. M udah-mudahan dapat ku-
atasi," jawab pemuda itu merendah. Kemudian, pemuda itu melangkah kakinya
menghampiri Ragapati yang
tengah memandang dalam jarak sekitar empat tombak
"Siapa kau, Anak M uda"! M enyingkirlah sebelum aku kehilangan kesabaranku!"
bentak Iblis Baju Hitam meremehkan keberadaan Panji.
"Aku adalah orang yang paling tidak suka melihat kejahatan
berlangsung didepan mataku. M aka, kusarankan agar secepatnya meninggalkan tempat ini
sebelum segalanya menjadi terlanjur," ujar Panji tak kalah gertak.
"Setan! Rupanya kau sengaja ingin mencari penyakit, Anak M uda!" malu Ragapati
geram. Sungguh tidak disangka kalau anak muda itu sedemikian berani
membalikkan kata-katanya.
"Hm.... Siapa yang ingin mencari penyakit" Kau atau aku, orang Tua?" Balas Panji
tersenyum membangkitkan kemarahan Ragapati.
"Heh! Tahukah kau, sekarang ini berhadapan dengan siapa?" Tanya Iblis Baju Hitam
memancing. Sementara dadanya sudah terasa panas bagaikan terbakar karena
menahan amarah.
"Ha ha ha...! Siapa yang tidak kenal Iblis Baju Hitam yang namanya tersohor di
kolong langit sebagai penjahat kelas rendah"!"
"Setan belang!" Bentak Ragapati murka. Kalau saja pemuda itu belum mengenal
namanya, itu masih bisa
dimaklumi. Tapi pemuda itu bukan saja telah mengenal, bahkan begitu berani
memaki sebagai penjahat rendah.
Dapat dibayangkan betapa murkanya Iblis Baju Hitam.
"Kurobek mulut lancangmu itu, Anak M uda!" Setelah berkata demikian tubuh
Ragapati melesat dengan sebuah serangan berbahaya.
Wuttt! Pendekar Naga Putih merendahkan kuda-kuda, maka
serangan itu lewat di atas kepalanya. Pemuda itu
langsung membalas dengan sebuah tamparan menuju
kepala lawannya. Iblis Baju Hitam menarik kepala ke
belakang sehingga tamparan Panji menyambar tempat
kosong. Namun sayang Iblis Baju Hitam terlalu
memandang rendah pemuda itu. M aka ketika Panji
menyusuli dengan sebuah tendangan, akibatnya....
Bukkk! M eskipun tendangan yang dilakukan Panji tidak
terlalu keras, tapi cukup membuat tubuh Ragapati terjajar sejauh enam langkah.
Iblis Baju Hitam meringis sambil mengusap lambungnya yang terasa nyeri.
"Huh! Pantas saja kau berani bersikap kurang ajar padaku. Rupanya kau memiliki
sedikit kepandaian!"
Geram Iblis Baju Hitam menahan sakit. Hatinya merasa penasaran sekali karena
dalam segebrakan saja telah
kecolongan. Dan itu benar-benar diluar dugaannya sama sekali.
"Hm...," gumam Panji pelan. Ia memang sudah tidak bernapsu untuk melayani ucapan
lawan. "Jangan merasa takabur dulu, Anak M uda! Aku
belum bersungguh-sungguh tadi. Nah, sekarang bersiaplah!" ancam Ragapati tegas.
Setelah berkata demikian, dipersiapkan ilmu andalan yang sangat dibanggakannya.
Ilmu 'M enghalau Barisan Seratus Golok ' itu.
Iblis Baju Hitam cepat menggerakkan golok panjang-
nya secara bersilangan hingga menimbulkan kilatan sinar putih. Kala kirinya
ditarik ke belakang sambil meng-acungkan golok di atas kepala. Disertai sebuah
teriakan parau, tubuhnya meluncur cepat melancarkan serangan
bertubi-tubi. Panji melebarkan senyum ketika melihat lawannya
ternyata memiliki ilmu yang cukup bermutu. M emang
diakui kalau ilmu itu cukup berbahaya. Hanya saja, ilmu itu tidak dilatih
sempurna hingga masih terlalu banyak kelemahan pada pertahanannya.
M eski gerakan Iblis Baju Hitam sangat cepat, tapi
masih kelihatan lambat di mata pemuda itu. Kedua
matanya yang memang sangat tajam itu mudah
menemukan beberapa kelemahan pada gerakan lawan.
Itulah sebabnya, mengapa serangan Ragapati yang
bertubi-tubi itu mudah sekali dielakan.
"Hm.... Sayang, gerakanmu masih terlalu lambat dan belum terlatih secara
sempurna, Iblis Baju Hitam!" Jelas Panji sejujurnya tanpa bermaksud menghina.
Sedangkan tubuhnya terus bergerak menghindari sebuah tebasan
yang mengancam lambung, dan langsung melancarkan
tamparan kilat ke bahu lawan.
Desss! "Uuuhhh...!" Tubuh Iblis Baju Hitam melintir ketika tamparan tangan itu mendarat
di bahunya. Untuk
beberapa saat, tangan kanannya itu sempat lumpuh dan tergantung lemas. Pada saat
itu juga tubuh Panji sudah melesat disertai tamparan ke pelipis.
Prakkk! "Aaahhhkkk...!"
Iblis Baju Hitam tak sempat lagi mengelakkan
tamparan maut itu. Ia memekik tertahan, dan terguling roboh. Ragapati atau Iblis
Baju Hitam tewas seketika karena
kepalanya pecah akibat tamparan yang mengandung tenaga dalam tinggi. Seketika darah
menggenangi tanah berbatuan itu.
Setelah memastikan kalau lawannya benar-benar
tewas, Panji bergegas melangkah ke arah kereta berkuda.
Disana, Ki Dewana yang telah terluka parah dan tengah berkumpul menanti bersama
istri, anak dan pembantunya.
Wajah keempat orang itu mulai bersinar cerah ketika
melihat pemuda itu berhasil membunub iblis Baju Hitam yang terkenal sadis dan
kejam itu. "Terima kasih, Kakang Panji. Tidak dapat kubayang-
kan, apa yang akan terjadi pada diriku apabila Kakang tidak datang menolong. M
ungkin saat ini aku sudah
berada dalam cengkeraman Penghuni Rimba Gerantang
itu. Hiii...! Betapa mengerikan!" Ucap Ratna yang segera menyambut hangat
kedatangan Pendekar Naga Putih.
Gadis itu tidak malu-malu lagi menggandeng tangan
Panji, dan menuntun ke arah kedua orang tuanya.
Ki Dewana dan istrinya hanya dapat menggeleng-
gelengkan kepala melihat sikap putrinya. Sikap manja gadis itu benar-benar
membuat suasana di antara mereka menjadi kecanggungan. Diam-diam timbul niat di
hati saudagar kaya itu untuk menjodohkan anak gadisnya
dengan pemuda tampan yang menjadi penolongnya itu.
"Ayah! Ini Kakang Panji yang menolong kita.
Kepandaiannya tinggi sekali, Ayah! Pantas saja orang-orang jahat itu tidak ada
yang mampu melawannya,"
lapor gadis itu kepada Ki Dewana yang hendak bangkit menyambut pemuda itu.
"Beristirahatlah dulu, Paman Luka di punggung
Paman masih mengeluarkan darah. Kalau Paman tidak
keberatan, akan kucoba untuk mengobati luka itu," ujar Panji yang segera
mencegah Ki Dewana agar tetap duduk di tempatnya.
"Ah, terima kasih. Silakan, Nak Panji...."
Bergegas Panji mengeluarkan sebungkus obat bubuk
berwarna kuning dari dalam buntalan pakaian. Sigap
sekali Pendekar Naga Putih mengobati Ki Dewana dan
Laksa. Keduanya merasakan ada hawa dingin yang
menyelusup ketika bubuk berwarna kuning itu ditaburkan Panji di atas luka-luka
yang diderita. Beberapa saat kemudian mereka tidak lagi merasakan nyeri pada
luka itu. Tentu saja keduanya menjadi gembira, dan semakin bertambah kagum
terhadap pemuda itu.
"Wah! Obat lukamu mujarab sekali, Panji. Rupanya selain memiliki kepandaian
silat, kau juga ahli dalam pengobatan! Bukan main...," seru Laksa kagum.
"Wah, wah, wah...! Sudah, Paman. Sudah! Bisa-bisa kepalaku nanti menjadi besar
mendengar pujian yang
berlebihan itu. Oh, ya. Apakah Ki Dewana ingin
meneruskan perjalanan?" Tanya Panji mengalihkan percakapan, la tidak lagi
memanggil saudagar itu dengan sebutan Paman, ketika Ratna telah memperkenalkan
nama orang tuanya itu.
"Tentu saja akan tetap meneruskan perjalanan, Nak Panji. Karena biar
bagaimanapun, aku harus menyelamatkan Ratna dari jangkauan Penghuni Rimba
Gerantang yang biadab itu!" sahut Ki Dewana.
"Jadi, Ki Dewana sengaja mengungsi?" Tanya Panji ingin meminta penegasan.
"Ya! Karena di Desa M uara Bening tempat kami
tinggal, telah dikuasai pengaruh iblis. Dan pada setiap bulan purnama, penduduk
desa harus mempersembahkan
tiga orang perawan suci kepada Penghuni Rimba
Gerantang. M aka aku terpaksa mengungsi untuk me-
nyelamatkan anakku dari kebiadabannya. Tapi rupanya
iblis itu telah mengetahui, sehingga mengirimkan para pembantunya untuk merampas
anakku dan membunuhku.
Untunglah kedatanganmu tepat pada saatnya, Nak Panji.
Dan kini, kami sekeluarga dapat kau selamatkan. Aku
tidak tahu dengan apa harus membalas kebaikanmu ini,"
ungkap Ki Dewana menceritakan asal mulanya pertempuran tadi.
"Hm.... Jadi, mereka bukan sekadar perampok biasa,"
gumam Panji tak jelas. "Seperti apakah kira-kira orang yang disebut Penghuni
Rimba Gerantang itu, Ki?"
"Entahlah, Nak Panji. Tidak ada seorang pun yang pernah bertemu atau melihat
Penghuni Rimba Gerantang"
Entah berwujud manusia atukah Iblis."
"Jadi, Penghuni Rimba Gerantang tidak pernah
menampakkan diri" Dan yang melaksanakan segala
kejahatan selama ini hanya para pengikutnya saja" Begitu maksud Ki Dewana?"
Tanya Panji lagi semakin merasa penasaran.
"Begitulah kenyataannya!" Jawab Ki Dewana sambil menghela napas.
"Apakah Kepala Desa M uara Bening tidak berusaha melakukan perlawanan?" Tanya
pemuda itu yang rupanya semakin tertarik akan cerita tentang Penghuni Rimba
Gerantang yang penuh misteri itu.
"Tentu kami para penduduk desa telah berusaha
mencegah hal itu. Tapi jangankan berhadapan dengan
Penghuni Rimba Gerantang, baru menghadapi para
pembantunya saja sudah meminta korban banyak. Hingga akhirnya, penduduk dan
kepala desa menyetujui
mempersembahkan tiga orang perawan yang masih suci
pada tiap-tiap bulan purnama. Sesekali saja membantah, maka Desa M uara Bening
akan dimusnahkan iblis itu."
"Terima kasih atas keteranganmu, Ki. Kalau begitu,
aku permisi dulu karena hendak melanjutkan perjalanan,"
pamit Panji. Sebentar kemudian Pendekar Naga Putih
sudah melangkahkan kakinya tanpa menunggu jawaban
mereka. Ki Dewana dan Laksa bergegas bangkit untuk
mencegah kepergian pemuda tampan yang sederhana
namun memiliki kepandaian tinggi itu. Belum lagi
keduanya membuka suara, tiba-tiba Ratna berlari
mengejar pemuda penolongnya itu. Gadis itu memang
sudah terlanjur menyukai, sehingga merasa berat untuk ditinggalkan pemuda yang
sangat dikaguminya.
Panji menolehkan kepalanya ketika mendengar suara
langkah kaki yang lembut di belakangnya. Seketika
pemuda itu menahan langkahnya.
"Kakang.. tunggu...!" Teriak gadis itu sambil berlari mengejar Pendekar Naga
Putih. Sedang yang lain hanya memperhatikan dari kejauhan.
Ki Dewana sama sekali tidak berusaha untuk men-
cegah putrinya. Karena sudah terlanjur suka akan sikap dan kerendahan hati
pemuda itu. Laki-laki brewok itu seperti tidak merasa keberatan kalau putrinya
akan jatuh cinta kepada pendekar muda itu.
"Ada apa, Ratna?" Tanya Panji lembut. Sikap dan pandangannya seperti seorang
kakak yang memaklumi
sikap manja adiknya.
"Kakang, mengapa begitu terburu-buru" Ke mana
Kakang hendak pergi?" Tanya gadis cantik itu sendu, seraya kedua tangannya
memegang lengan Panji erat-erat.
Seakan-akan gadis itu ingin menunjukkan bahwa hatinya merasa berat untuk
berpisah. "Entahlah, Ratna. Aku tidak mempunyai tujuan
pasti," jawab Panji menutup keinginan yang sebenarnya.
Dia sudah bermaksud akan singgah di Desa M uara
Bening untuk menyingkap misteri Penghuni Rimba
Gerantang. M emang peristiwa di desa itu telah
menggugah jiwa kependekarannya.
Gadis itu termenung sejenak mendengar jawaban
Panji. Sesaat kemudian kepalanya kembali tegak, lalu menatap pemuda itu lekat-
lekat. "Kakang...," panggil Ratna setengah berbisik.
"Hm...."
"Bolehkah bertanya sesuatu?"
"Tentu saja boleh," jawab Panji mencoba menebak ke mana arah tujuan perkataan
gadis itu. "Apakah kakang tidak kasihan padaku?" Ringan sekali gadis itu bertanya sehingga
membuat Panji menjadi bingung sejenak
"Tentu saja, Ratna."
"Kalau begitu, aku ingin agar kau mengantarkan kami ke tempat tujuan. Siapa
tahu, di tengah jalan nanti aku diculik orang jahat!" Pinta gadis itu, sambil
menundukkan kepala menyembunyikan wajahnya yang merah
merona. "Ha ha ha.... Tentu saja aku bersedia, Ratna. Aku juga tak tega jika gadis
secantik dirimu hanya untuk
persembahan Penghuni Rimba Gerantang. Bisa ubanan
aku." Gurau Panji sambil melangkah ke arah kereta.
Tidak lama kemudian, mereka berangkat meninggalkan
tempat itu. * * *
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
5 Hari masih sangat pagi, dan matahari pun belum lagi
muncul. Kegelapan masih menyelimuti bumi. Hanya
suara kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan
menandai kedatangan sang pagi.
Sementara angin pagi bersilir lembut menebarkan
udara dingin menyejukkan, membuat tubuh terasa segar setelah beristirahat
panjang. Pintu-pintu rumah penduduk Desa M uara Bening tampak satu persatu mulai
terbuka. Tampak satu dua orang penduduk mulai keluar untuk
menyegarkan tubuh.
Ketika di sebelah Timur cahaya mulai tampak
kemerahan, seorang penunggang kuda menghela tunggangannya keluar dari mulut Desa M uara Bening
Binatang itu melesat menerobos suasana remang-remang yang menjelang terang.
Dari cara melarikan kudanya, jelas kalau ia begitu
tergesa-gesa, seolah-olah tengah berpacu dengan waktu.
Entah apa yang dikejarnya sepagi itu.
"Hiya...!"
Orang itu berteriak sambil menghentakkan tali
kekang agar kuda itu berlari lebih cepat lagi. Padahal binatang
itu telah mendengus-dengus
kelelahan. Sepertinya binatang itu, terpaksa melaju semakin cepat.
Setelah cukup jauh meninggalkan mulut desa, orang
itu mulai memperlambat lari kudanya. M emang jalan
yang dilalui tidak lagi semulus tadi. Rupanya ia tidak ingin menanggung resiko
kalau kaki kudanya akan
mengalami cidera.
Orang itu adalah seorang pemuda yang berusia sekitar dua puluh lima tahun.
Wajahnya terlihat gagah dan cukup simpatik. Di pinggangnya nampak tersembul
sebuah gagang golok. Pakaian yang serba hitam membuatnya
semakin gagah. Pemuda itu tak lain Ragas yang menjadi pembantu
utama Ki Jatar. Hari itu ia mendapat tugas untuk
melaporkan kejadian yang menimpa penduduk Desa
M uara Bening ke kadipaten, dengan harapan sang adipati mengirimkan pasukan
untuk memberantas para perusuh
itu. Ragas menarik tali kekang kuda ketika sampai di petigaan jalan. Diedarkan
pandangannya, meneliti kedua jalan yang dapat membawanya ke tempat tujuan.
"Hm... Lebih baik aku mengujungi Guru lebih dahulu untuk mengabarkan kematian
Kakang Dumpa. Dan kalau
bisa, sekaligus meminta bantuan beliau untuk menumpas Penghuni Rimba Gerantang
dan para pengikutnya itu,"
gumam Ragas dalam hati. Segera dibelokkan kudanya ke arah kiri. Kedua jalan itu
kini tidak jadi dilalui. Karena menurut hematnya, melalui jalan hutan akan lebih
aman. Pemuda pembantu Kepala Desa M uara Bening itu
bergegas memacu kudanya menerobos semak belukar.
Tujuannya sekarang adalah kediaman gurunya, tempat
dia dulu dididik ilmu silat yaitu di Gunung Bulangkang.
Belum begitu jauh Ragas menempuh perjalanan
melalui hutan, tiba-tiba matanya tertumbuk pada sesosok tubuh berjubah putih
yang berdiri tegak menghadang
perjalanannya. Cepat-cepat Ragas menarik tali kekang kudanya untuk berbalik
menuju kedatangannya semula.
Pemuda itu menjadi tegang ketika beberapa tombak di
depannya berdiri sosok tubuh serupa. Ditolehkan kepalanya ke belakang Tampak
orang tadi menghadangnya
berjalan mendatangi. Begitu pula yang dilakukan orang yang di hadapannya. Kedua
penghadang itu mengenakan
pakaian serupa.
"Celaka! Utusan Penghuni Rimba Gerantang..!" bisik Ragas gentar, dan seketika
itu juga wajahnya memucat.
Cepat diputar kudanya ke arah samping untuk meng-
hindari diri dari kedua orang berjubah putih itu.
Namun Ragas kalah cepat! Dua orang berjubah putih
itu melenting, lalu beberapa kali bersalto di udara. Kaki mereka mendarat
beberapa langkah di hadapan kuda
Ragas. M ereka adalah Sepasang M ambang Lembah
M aut. "Ha ha ha.... Ingin lari ke mana kau keparat!" Ejek salah seorang dari mereka
bengis. "Kita permainkan dulu tikus ini, Kakang. Setelah itu baru dibunuh," umpat
Sepasang M ambang Lembah M aut yang bernama Jonggali.
M endengar ejekan dua orang bertopeng tengkorak itu, hati Ragas menjadi panas.
Namun, ia bukan orang bodoh yang hanya mau menurut napsunya saja. Dicarinya
jalan untuk menyelamatkan diri. Sebab biar bagaimanapun,
kedua orang itu tak akan dapat ditandingi. M enghadapi salah seorang dari mereka
saja, pemuda itu tidak mungkin menang. Apalagi keduanya. Bahkan malah jadi
bulan-bulanan mereka.
"Hiya...!"
Tiba-tiba Ragas mengeluarkan bentakan keras dan
sekaligus menggeprak tubuh kudanya. Binatang itu
menjadi terkejut, lalu menjadi liar dengan melompat ke depan. M aka kedua orang
bertopeng tengkorak itu mau tidak mau harus menghindar agar tidak tersepak kaki
kuda. Belum lagi jauh binatang itu berlari, mendadak
binatang itu meringkik keras, lalu roboh terguling.
Rupanya salah seorang dari Sepasang M ambang Lembah
M aut itu telah melemparkan sebuah batu kerikil dan
langsung mengenai kaki depan kuda yang ditunggangi
Ragas. M aka cepat-cepat pemuda itu melentingkan
tubuhnya agar tidak ikut terbanting, lalu mendarat empuk sejauh empat tombak
dari kudanya. "Hm.... Jangan harap lolos dari tanganku, tikus busuk!" Bentak Jonggala orang
tertua dari Sepasang M ambang Lembah M aut itu.
Setelah berkata demikian, tubuh Jonggala meluncur
ke arah Ragas dan langsung melontarkan sebuah pukulan yang menimbulkan desing
angin tajam. Ragas yang mengetahui kalau serangan itu amat
berbahaya, segera melempar tubuhnya bergulingan. M aka ia terhindar dari
serangan maut itu. Tapi dugaanya
ternyata keliru. Ternyata baru saja bisa bangkit berdiri, tahu-tahu saja sebuah
tendangan menghantam dadanya.
Bukkk! "Ouggghhh...!"
Tubuh Ragas terpental disertai darah segar yang
menyembur dari mulutnya. Tubuhnya terguling-guling
sejauh tiga tombak. Sambil menekap dada yang terasa
remuk, Ragas berusaha bangkit dan mencabut golok yang terselip di pinggang.
"M ajulah kalian, masing-masing iblis! Aku tidak akan menyerah begitu saja!
Phuihhh...!" Teriak Ragas sambil menyemburkan air ludahnya bercampur darah.
Rupanya pemuda itu siap menantang maut!
Pemuda itu cepat menahan gejolak amarah yang
menggelora di dadanya. Ia teringat akan pesan gurunya agar berusaha bersikap
tenang dalam menghadapi
pertempuran Karena, kemarahan hanya akan membuat-
nya lengah dan mudah dikuasai lawan.
"Ha ha ha...! Lucu sekali! Seekor cacing ingin
bertingkah seperti naga! Kau memang patut mendapat
siksaan sebelum kubunuh!" Ujar Jonggala sambil
memperdengarkan tawa iblisnya. Begitu ucapannya
selesai, tubuhnya melesat melancarkan serangan berikut.
Sadar kalau dua lawannya memiliki kepandaian lebih
tinggi, Ragas mengelebatkan senjata untuk membuat
pertahanan. Sinar goloknya bergulung-gulung menye-
limuti tubuhnya sehingga menyulitkan lawan untuk
melontarkan pukulan.
Tapi kepandaian orang tertua dari Sepasang M am-
bang Lembah M aut itu memang jauh di atas Ragas.
M aka, ketika pertarungan memasuki jurus kelima,
pertahanan pemuda itu pun mulai jebol. Sebuah hantaman sisi telapak tangan
miring lawan telak menghantam
iganya. Dan selagi tubuh pemuda itu terjajar, kembali tangan kiri Jonggala
menggedor perut.
Desss! "Huakkk..!"
Tubuh Ragas seketika terlempar keras. Darah segar
kembali menyembur dari mulutnya. Pemuda itu
mengeluarkan rintihan lirih sambil berusaha bangkit.
Selagi matanya mencari-cari senjatanya yang terlem?par entah ke mana, dua buah
tamparan pada wajah kembali
membuatnya terguling-guling. Ragas merasakan bumi
yang dipijaknya bergoyang. Kepalanya bagaikan tertimpa palu godam. Darah pun
mengalir dari bibirnya yang telah pecah. Kedua pipinya membengkak, dan beberapa
buah giginya tanggal akibat tamparan keras itu.
Sambil memperdengarkan tawa iblisnya. Jonggala
dan Jonggali melangkah menghampiri tubuh lawan.
Sedang Ragas hanya dapat menanti apa yang akan
dilakukan kedua orang itu terhadap dirinya. Seperti
harinya memang sudah pasrah.
Tapi sebelum melangkah lebih dekat, tiba-tiba
Sepasang M ambang Lembah M aut melompat mundur.
Dan selagi tubuh berada di udara, sepasang lengan
mereka melakukan dorongan untuk mengusir getaran
gelombang tenaga dalam yang tak tampak.
Jonggala dan Jonggali mengerutkan keningnya ketika
tahu-tahu saja sosok tubuh jangkung telah berdiri dan tengah memeriksa tubuh
Ragas. Rambutnya yang sudah
memutih digulung ke atas. Pakaian yang dikenakan
hanyalah berupa kain putih yang dilibat-libatkan ke
seluruh tubuh. M elihat cara dandanan orang bertubuh jangkung itu, pasti dia
seorang pertapa.
"Guru...!" Panggil Ragas di antara rintihannya. Berbagai perasaan berkecamuk di
hati pemuda itu ketika
melihat kedatangan gurunya yang langsung menolong-
nya. "Tenanglah, muridku. Telanlah obat ini setelah itu, aturlah pernapasan agar
tenagamu cepat menjadi pulih,"
ujar orang tua itu lembut sambil menyerahkan sebutir pil kepada muridnya.
Setelah memeriksa bahwa keadaan
Ragas tidak terlalu mengkhawatirkan, orang tua yang
bernama Resi Bagawa itu membalikkan tubuhnya.
"Hm.... Apa yang telah diperbuat muridku hingga kalian begitu tega menyiksanya?"
Tanya Resi Bagawa masih tetap bernada lembut. Sepasang mata tuanya
menatap tajam, seolah-olah mencoba mengenali kedua
orang itu. "Ah...! Kalau mataku tak salah lihat, bukankah kalian yang berjuluk
Sepasang M ambang Lembah M aut"
Aneh, apa yang dilakukan muridku hingga kalian rela
meninggalkan Lembah M aut?"
"Tidak perlau banyak cakap, Orang Tua! Kau pikir aku akan gentar dengan nama
Resi Bagawa yang berjuluk Cambuk Hujan dan Badai"! Huh! Jangan harap, kakek
peot!" Tegas Jonggala takabur. "Nah, bersiaplah untuk kukiram ke neraka!
Hiaaattt....'"
"Hebat'" puji Resi Bagawa, tulus. Segera kakek itu menggerakkan tubuhnya secara
sembarangan tapi
membuat lawan memukul tempat kosong. Tubuh orang
tua sakti itu mencelat ke udara ketika Jonggali ikut pula mengeroyok. Resi
bagawa mendaratkan kakinya di tanah berumput, dan terpisah cukup jauh dari
lawannya. Dan tahu-tahu saja, tangan kanannya memegang sebuah
cambuk berwarna putih.
Sementara Sepasang M ambang Lembah M aut telah
pula mencabut senjata masing-masing, yaitu sepasang
golok berbentuk bulan sabit. Sepasang senjata Jonggala dan Jonggali itu
berbahaya sekali, karena dapat
digunakan tak ubahnya sebuah bumerang. Apalagi yang
menggunakan adalah tokoh sakti seperti mereka. Tentu saja senjata itu semakin
berbahaya! "Bersiaplah, Cambuk Hujan dan Badai! Hari ini
senjata kebanggaanmu tidak akan banyak menolong!"
Ejek Jonggali meremehkan lawan.
"Hiahhh...!" Sambil membentak keras, dua saudara kembar itu meluncur disertai
ayunan sepasang golok
bulan sabitnya.
Wunggg! Wunggg!
Dua pasang senjata di tangan Jonggala dan Jonggali
mengaung merobek udara pagi yang mulai terasa hangat.
Cahaya sinar matahari yang jatuh menimpa senjata-
senjata itu menimbulkan kilatan sinar yang menyilaukan mata.
Resi Bagawa bertindak cepat memutar cambuknya,
sehingga menimbulkan angin menderu yang membawa
udara dingin. Terkadang ujung cambuk itu meledak
memekakkan telinga. Tapi anehnya, ledakan cambuk itu bukan menimbulkan percikan
bunga api, melainkan
menimbulkan titik-titik air. Dan bila mengenai kulit lawan, titik-titik air itu
akan terasa perih. Mungkin itu yang menyebabkan Resi Bagawa dijuluki Cambuk
Hujan dan Badai oleh kaum persilatan.
Wunggg! Wunggg!
"Hm...!" Gumam kakek itu, tak jelas.
Resi Bagawa menggeser tubuhnya menghindari dua
buah serangan Jonggala. Belum lagi sempat membalas,
senjata di tangan Jonggali sudah mengancam perut dan lehernya. Resi Bagawa
menghindar ke belakang
dibarengi ayunan camtuk menuju ke pelipis orang
termuda dari Sepasang M ambang Lembah M aut.
"Iiihhh...!"
Jonggali cepat menarik tubuhnya sambil memiringkan
kepala, maka ujung cambuk itu hanya mengenai tempat
kosong. Kemudian dilempar tubuhnya ke atas, dan
melambung di udara. Segera dilepaskannya dua senjata yang langsung berputar ke
arah lawannya. Kedua senjata itu berputar bagaikan bumerang, sehingga
menimbulkan suara mengaung yang membuyarkan daya perhatian
lawan. Resi Bagawa cukup terkejut melihat kehebatan
sepasang senjata lawannya itu. Cepat tubuhnya berguling menyelamatkan diri dari
ancaman sepasang senjata itu.
Pada saat hendak bangkit, terdengar suara mengaung dari sebelah kiri. Segera
Resi Bagawa memutar tubuhnya
serendah mungkin, lalu sekaligus melakukan tangkisan dengan tangan kirinya.
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Plakkk! "Aaahhh...!" Pekik Jonggala tertahan ketika tangkisan Resi Bagawa menghantam
sikunya. Tubuh Jonggala terjajar mundur karena kuda-kudanya
telah tergempur. Dirasakan tangannya lumpuh untuk
beberapa saat lamanya. Diam-diam harus diakui kalau
kepandaian orang tua itu memang tidak bisa dibuat main-main. Dialirkan hawa
murni ke lengan yang terasa
lumpuh itu, dan sesaat kemudian kembali diterjangnya Resi Bagawa yang tengah
bertarung sengit melawan
adiknya. Pertarungan kembali berlanjut. Semakin
lama semakin seru dan menegangkan! Sebenarnya secara
perorangan, Sepasang M ambang Lembah M aut itu tidak akan mampu bertahan lebih
dari dua puluh jurus dalam menghadapi gempuran Resi Bagawa. Tapi karena
keduanya maju secara bersama-sama dengan serangan
yang kompak dan rapi, maka cukup sibuk juga Resi
Bagawa dibuatnya.
Berkali-kali orang tua itu nyaris termakan senjata dua orang lawannya yang
berbentuk aneh itu. M aka Resi
Bagawa harus lebih berhati-hati dan memperhitungkan
gerakannya secara cermat. Kalau tidak, bukan mustahil tubuhnya akan terkoyak
senjata lawan yang berbentuk
bulan sabit itu.
Pada jurus yang kedua puluh dua, Jonggala dan
Jonggali melempar tubuh ke belakang secara ber-
barengan. Dan sebelum mendarat di tanah, mereka
melontarkan empat buah golok bulan sabit itu bersamaan.
Suatu cara bertempur yang sangat licik!
"Hm...," Resi Bagawa hanya bergumam ketika melihat gerakan lawan-lawannya.
Ketika senjata-sejata itu tiba di dekatnya, Resi
Bagawa segera menjejakkan kakinya. Tubuh orang tua itu melambung ke atas
menghindari dua buah senjata yang
lewat di bawah kakinya. Sedang, dua senjata lain nyaris melukai bahu dan
lambungnya kalau saja tidak cepat
dimiringkan tubuhnya. Tapi begitu keempat senjata itu tidak menemui sasaran,
senjata-senjata itu langsung
berbalik tanpa berkurang sedikit pun kece?patannya.
Crasss! Brettt!
"Aifihhh...!" Resi Bagawa berseru kaget!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua buah di antara senjata itu merobek baju dan
betisnya ketika berbalik. Kakek berjuluk Cambuk Hujan dan Badai terhuyung
beberapa langkah. Sementara dari luka di kaki kirinya telah
mengalir darah segar. Untunglah, luka itu tidak begitu dalam dan tidak terlalu
mengkhawatirkan. Ce?pat-cepat tangannya melakukan totokkan di beberapa jalan
aliran darah di kakinya untuk mencegah aliran darah.
"Hm.... Sungguh berbahaya!" Desah Resi Bagawa sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Begitu rasa nyeri dilukanya lenyap, kakek itu
menyedot udara sebanyak-banyaknya. Lalu cambuknya
diputar sedemikian rupa, sehingga menimbulkan suara
menderu dan mendebarkan arena pertarungan itu.
Sepasang M ambang Lembah M aut langsung terkejut
ketika tiba-tiba saja bertiup angin keras yang membawa hawa dingin. Sama-samar
dirasakan ada titik-titik air yang menimpa tubuh mereka.
"Jurus Cambuk Hujan dan Badai...!" Seru Sepasang M ambang Lembah M aut takjub.
M enyadari kalau lawannya telah mengeluarkan jurus-
jurus andalannya pada tingkat yang lebih tinggi, Jonggala dan Jonggali segera
bersiap menghadapinya. Bergegas
keduanya mengeluarkan ilmu andalan pada tingkat
terakhir, yaitu jurus 'Golok Terbang M erenggut Sukma '.
Dalam jurus ini Sepasang M ambang Lembah M aut
mencampurinya dengan unsur tenaga gaib. Sehingga,
keempat golok terbang mereka terkadang bagaikan benda hidup dan dapat bergerak
sendiri. Hanya saja, tenaga dalam yang dipergunakan sangat banyak dan
melelahkan. M aka mau tak mau mereka harus menggunakannya
karena sadar kalau kepandaian Resi Bagawa sangat tinggi dan berbahaya.
"Hahhh!"
Sepasang M ambang Lembah M aut membentak keras
bagai hendak menggetarkan jagad. Keduanya segera
menjatuhkan diri duduk bersila berdampingan M ereka
berpegangan tangan kanan dan kiri satu sama lain,
sedangkan tangan yang satu terulur ke depan dengan jari-jari terbuka.
Sepasang M ambang Lembah M aut
memejamkan mata menyatukan tenaga dan pikiran untuk
menggerakkan senjata.
Resi Bagawa cukup terkejut ketika dua pasang senjata yang diletakkan didepan
mereka, tiba-tiba saja mulai bergerak naik bagaikan bernyawa. Kemudian, dua
pasang senjata itu berputar cepat dan meluncur ke arah Resi Bagawa. Kakek sakti
itu sampai ternganga takjub
dibuatnya! Sadar kalau dirinya terancam bahaya, segera
digerakkan cambuk putih di tangannya. Kali ini Resi
Bagawa harus mengerahkan hampir seluruh tenaganya.
Werrr! Werrr! Hebat sekali akibat yang ditimbulkan putaran cambuk
itu. Angin dingin bertiup keras hingga membuat beberapa batang pohon terdekat
tercabut. Dan dengan demikian
dua pasang golok bulan sabit yang tengah meluncur ke arahnya tertahan, untuk
kemudian terpental balik.
Sepasang M ambang Lembah M aut semakin memperkuat daya serang melalui senjata mereka. Namun setiap kali golok bulan
sabit itu menyerang, selalu
berbalik! M emang dinding badai yang diciptakan Resi Bagawa benar-benar sukar
ditembus. Peluh mulai
mengalir deras membasahi pakaian Jonggala dan
Jonggali. Wajah mereka memerah bagai udang rebus.
Nampaknya, mereka benar-benar harus mencurahkan
seluruh kemampuan dalam pertarungan itu.
Empat batang golok bulan sabit itu kembali meluncur
dengan kekuatan berlipat ganda. Kali ini senjata-senjata itu tidak sampai
terpental balik, tapi mengambang di udara berusaha menerobos dinding badai yang
kuat itu. Rupanya Jonggala dan Jonggali telah mengerahkan
seluruh kemampuannya. Demikian juga Resi Bagawa.
Ragas yang menyaksikan pertarungan dari tempat
tersembunyi, sampai ternganga kagum dibuatnya. Tidak disangka kalau kepandaian
Sepasang M ambang Lembah
M aut itu mampu mengimbangi gurunya. Kalau saja tidak disaksikannya sendiri,
tentu ia tidak akan percaya.
"Heaaahhh!?"
Ctarrr! Jterrr!
"Uuuggghhh...!"
Pada saat yang tepat Resi Bagawa membentak
nyaring sambil melecutkan cambuknya. M aka dua buah
senjata lawan yang terpukul ujung cambuk itu kontan
terpental jatuh. Berbarengan dengan jatuhnya dua buah senjata itu, dua saudara
dari Lembah M aut itu terdorong mental terguling-gulingan. Tampak dari mulut
mereka menyembur darah kental kehitaman!
Sedangkan Resi Bagawa sendiri hanya terjajar
mundur. Tangan kanannya yang memegang cambuk
terasa linu akibat berbenturan dengan dua senjata itu.
Orang tua berjuluk Cambuk Hujan dan Badai itu meng-
geleng-gelengkan kepala, karena kagum akan kehebatan tenaga lawan-lawannya.
Sepasang M ambang Lembah M aut bergerak bangkit
meski agak limbung. Kini keduanya mengalami luka
parah akibat senjata mereka dapat dilumpuhkan lawan.
M emang senjata-senjata itu telah disatukan dengan
tenaga mereka. Sehingga, apabila lawan mengetahui
kelemahannya dan memiliki tenaga lebih kuat, mereka
akan mudah dilumpuhkan. Dengan memukul jatuh
senjata-senjata itu, berarti sama saja dengan memukul tubuh mereka berdua.
"Hari ini kami mengaku kalah," ungkap Jonggala penuh dendam. Setelah berkata
demikian Sepasang
M ambang Lembah M aut bergegas meninggalkan tempat
itu setelah terlebih dahulu memungut senjata-senjata mereka.
Resi Bagawa hanya memandang kepergian mereka
tanpa mengucapkan separah kata pun. M emang diakui,
dia merasa sangat lelah setelah melakukan pertempuran tadi. Pelahan-lahan kakek
sakti itu melangkahkan kakinya mendekati tempat muridnya bersembunyi.
"Guru...!" Panggil Ragas yang langsung menjatuhkan dirinya berlutut di bawah
kaki Resi Bagawa.
"M ari kita mencari tempat yang lebih enak! Aku ingin mendengar keteranganmu!"
Ajak Resi Bagawa sambil menggandeng bahu Ragas.
* * * 6 M atahari pelahan-Iahan mulai tenggelam, setelah
menyelesaikan tugasnya menerangi mayapada ini. Dalam keremangan senja, tampak
Panji berlari menggunakan
ilmu meringankan tubuh agar dapat tiba di Desa Muara Bening sebelum gelap-
gulita. Tubuh pemuda itu
berkelebat di antara pohon besar, tak ubahnya sebuah bayangan hantu. Terkadang
tengah bermain-main di
angkasa raya. Beberapa waktu kemudian, Pendekar Naga Putih
telah mencapai jalan umum yang cukup lebar. Segera
dihentikan larinya di tepi jalan itu Dirayapi daerah itu untuk memastikan kalau
dirinya tidak menemui jalan
yang salah. M emang Panji sengaja memotong jalan lewat hutan sambil
mempergunakan ilmu meringankan tubuh
agar perjalanan menjadi lebih cepat.
Rupanya, begitu selesai mengantarkan keluarga Ki
Dewana ke tempat tujuan, Panji berpamitan untuk
melanjutkan perjalanan. Pemuda itu masih teringat ketika Ratna, anak gadis Ki
Dewana, melepaskan keberang-katannya dengan hati sangat berat. Setelah Panji
berjanji akan mengunjunginya kelak, barulah gadis itu rela
melepaskan pegangan tangannya. Panji jadi tersenyum
sendiri seraya menggelengkan kepalanya, jika mengingat hal itu.
Pendekar Naga Putih melangkahkan kakinya lambat-
lambat. M enurut keterangan Ki Dewana, letak desa itu tidak terlalu jauh dari
Hutan Jati. Dan apabila
menemukan jalan yang bersimpang tiga, Panji harus
mengambil jalan kiri. Dari situ, Panji akan menemukan jalan menuju Desa M uara
Bening. Tepat pada saat Panji tiba di persimpangan jalan, dari mulut hutan di depannya
muncul dua orang laki-laki yang tak lain Ragas dan Resi Bagawa. M ereka juga
hendak menuju ke Desa M uara Bening.
Ketika melihat seorang berjubah putih yang melang-
kah ke arah mereka, Ragas mencabut golok panjangnya.
Sambil melintangkan goloknya, pemuda itu berbisik
kepada Resi Bagawa.
"Guru. Tampaknya orang itu adalah salah satu pimpinan mereka yang hendak
menuntut balas atas kekalahan Sepasang M ambang Lembah M aut tadi!"
Wajah Ragas nampak tegang ketika membisikkan
kata-kata itu kepada gurunya. M enurut anggapannya,
pasti orang berjubah putih itu memiliki kepandaian yang lebih
tinggi dari Jonggala dan Jonggali yang dipecundangi gurunya.
Yakin kalau orang berjubah putih itu adalah salah
satu dari musuhnya, tanpa banyak cakap lagi Ragas
langsung menerjangnya. Goloknya diputar sedemikian
rupa hingga menimbulkan desing angin tajam.
"Hei!" Teriak Panji kaget sambil menghindar golok di tangan penyerangnya. Gila!
Orang sinting dari mana ini yang tanpa bertanya lagi langsung menyerang orang
demikian ganasnya" Namun Panji tidak bisa berpikir
lebih banyak lagi, karena serangan lawan begitu cepat datangnya.
Ketika golok di tangan lawan membabat ke arah
pinggang, Panji mengulur tangan kirinya bermaksud
merampas golok itu. Sedang, tangan kanannya melaku-
kan dorongan ke dada orang itu.
Ragas yang tengah melancarkan serangan bertubi-tubi
itu menjadi terkejut sekali melihat kecepatan gerak
lawan. Cepat-cepat ditarik pulang tangannya sambil
menggeser tubuh ke belakang, menghindari serangan
Panji. Tapi bukan main kagetnya hati Ragas ketika kedua tangan itu tetap saja
mengejarnya. Hingga akhirnya....
"Brettt! Buggg! "Aaahhhkkk...!"
M urid Resi Bagawa itu menjerit tertahan ketika tahutahu goloknya telah
terampas, ditambah tangan kanan
Panji yang telah menghantam dadanya. Tak ayal lagi,
tubuh Ragas pun terpental dan jatuh di hadapan gurunya.
Ragas merintih kesakitan, dan dari sela-sela bibirnya tampak cairan merah
mengalir pelarian.
Resi Bagawa cukup terkejut melihat cara orang
berjubah putih itu menjatuhkan muridnya. Dan secara
sepintas tadi telah dapat diukur tingkat kepandaian
pemuda berjubah putih itu. Orang tua itu hampir tak
percaya ketika melihat
orang yang menjatuhkan
muridnya itu masih muda sekali. Paling banyak, usianya baru sekitar dua puluh
atau dua puluh satu tahun.
"Hm.... Anak M uda! M eskipun kepandaianmu sangat tinggi, aku tidak akan mundur.
Dan, aku akan mencoba mengusirmu dari Desa M uara Bening, agar bencana yang
menimpa rakyat tidak berkepanjangan," setelah berkata demikian, Resi Bagawa
segera mencabut senjatanya.
Cambuk berwarna putih yang menebarkan hawa dingin
itu meledak-ledak menimbulkan percikan air yang terasa nyeri apabila menyentuh
permukaan kulit.
"Tahan dulu, Orang Tua! Aku tidak...," belum lagi Panji sempat menyelesaikan
ucapannya, serangan cambuk Resi Bagawa sudah meluncur datang.
Jtarrr! Jterrr!
"Haiiittt...!" seru Panji nyaring.
Pemuda berjubah putih itu segera melempar tubuhnya
dan melakukan salto sebanyak empat kali. Dan baru saja hendak berdiri tegak,
Pendekar Naga Putih 06 Penghuni Rimba Gerantang di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu-tahu ujung cambuk lawan
sudah meluncur datang. Rasanya, tidak ada waktu lagi untuk menghindar. M aka
Panji segera menggerakkan
tangan kanannya menangkap ujung cambuk. Hampir
separuh dari tenaga dalamya digunakan untuk melindungi kulit tangan agar tidak
luka. Jeprattt! "Uuuhhh...!"
Panji berseru tertahan dan terdorong mundur sampai
beberapa langkah ke belakang ketika ujung cambuk itu meliuk menghantam
tangannya. Untunglah pemuda itu
telah berjaga-jaga melindungi tangannya sehingga tidak sampai terluka. Tapi tak
urung rasa nyeri menusuk juga menjalar hingga sebatas siku. Diam-diam Pendekar
Naga Putih memuji kekuatan tenaga dalam yang dimiliki orang tua yang menjadi
lawannya itu. Dan ternyata Resi Bagawa juga sangat terkejut ketika mendapat kenyataan kalau
cambuk yang selama ini
dibanggakan tidak mampu melukai kulit lawan. Segera
dia mencari alasan kalau dirinya belum menggunakan
seluruh tenaga.
"Jangan takabur dulu, Anak M uda! Bersiaplah menghadapi jurus 'Cambuk Hujan dan
Badai' ku!"
Setelah berkata demikian, Resi Bagawa memutar
cambuknya hingga menimbulkan angin ribut. Seketika
batu-batu kecil beterbangan akibat putaran angin kuat yang ditimbulkan cambuk di
tangannya. Panji cukup terkejut melihat kehebatan jurus
lawannya itu. M aka bergegas pemuda itu menyedot udara banyak-banyak. Rupanya
Pendekar Naga Putih mulai
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang dahsyat itu. Sesaat kemudian, hawa
dingin me?nusuk menebar
dan bertiup keras. Tampak selapis kabut bersinar putih keperakan bergerak
menyelimuti tubuh pemuda itu.
"Pendekar Naga Putih...!?" Gumam Resi Bagawa ragu. M eskipun masih diliputi
keraguan, namun gerakannya segera dihentikan, sehingga badai yang diciptakannya
mendadak lenyap! 'Tunggu dulu, Anak M uda!"
"Hm.... Ada apa lagi, Orang Tua" M engapa
berhenti?" Sahut Panji yang masih bersiap menghadapi pertarungan.
"Sebentar, Aku ingin bertanya sesuatu," ungkap Resi Bagawa lagi.
"Silakan...!"
"Apakah kau..., Pendekar Naga Putih...?"
"Begitulah orang persilatan menyebutku!" Jawab Panji tanpa sedikit pun tersirat
nada kesombongan.
Ragas yang mendengar penegasan Panji, langsung
berubah wajahnya. Sungguh tak disangka kalau orang
berjubah putih itu adalah Pendekar Naga Putih.
"M aafkan aku yang bodoh ini, Pendekar Naga Putih,"
ucap Ragas di antara rintihan kesakitan.
"Lupakanlah," hanya itu yang diucapkan Panji
"Ahhh...! Kalau begitu kita telah salah paham,
Pendekar Naga Putih," jelas Resi Bagawa seraya menarik napas lega sekaligus
gembira. Lega karena tidak jadi bertarung melawan pemuda berkepandaian tinggi.
Hatinya juga gembira karena dengan hadirnya pendekar muda sakti itu, Resi Bagawa
Kembalinya Sang Pendekar Rajawali 29 Pendekar Laknat Pendekar 3 Jaman Karya S D Liong Kedele Maut 5