Penjaga Alam Akhirat 1
Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat Bagian 1
Serial Pendekar Naga Putih
PENJAGAL ALAM AKHERAT
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Rusli
Gambar sampul oleh Pro's
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Siang itu matahari bersinar terik. Sesosok tubuh ramping berpakaian serba hijau
bergerak menaiki le-reng gunung.
Rambutnya yang panjang hingga ke ba-hu tampak bergoyang lembut mengiringi ayunan
lang-kahnya. Sosok tubuh ramping itu tidak lain adalah gadis bernama Kenanga. Ia bergerak
lincah melintasi lereng gunung yang banyak terdapat batu-batu menonjol. Gadis
jelita itu sama sekali tidak menemui kesukaran walaupun di atas bahunya terlihat
sesosok tubuh berpakaian serba putih yang tergantung lemah.
Wajah cantik bagai bidadari itu tampak pucat dan lelah.
Kecemasan atas keadaan Panji yang berada dalam pondongannya, telah membuat gadis
jelita itu tak menghiraukan lagi akan dirinya.
Pendekar Naga Putih atau Panji belum lagi siuman dari pingsannya. Padahal sudah
hampir dua hari Kenanga melakukan perjalanan. Namun, pemuda itu belum juga
sadar. Semenjak mereka meninggalkan Lembah Biru (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam
episode: "Raja Iblis dari Utara").
Rasa cemas itu membuat Kenanga menempuh perjalanan Jauh dan melelahkan tanpa
mengeluh sedikit pun. Gadis itu hampir tidak pemah berhenti dalam menempuh
perjalanan menuju tempat kedia-man Eyang Wiku Girting. Keadaan gadis itu tak
ubah-nya seorang gembel.
Setelah menempuh perjalanan berkelok-kelok dan berbatu terjal itu, Kenanga tiba
didepan sebuah pon-dok sederhana di sekitar puncak gunung itu.
"Eyang...!" panggil Kenanga lirih dan bergetar. Belum lagi ia dapat menjangkau
pintu pondok itu, ia pun terguling roboh.
Kenanga si bidadari jelita itu jatuh pingsan sebelum bertemu dengan si penghuni
pondok. Bunyi suara berdebuk agak keras itu membuat seorang kakek renta membuka pintu
pondoknya. Alis kakek tua bertubuh kurus itu berkerut ketika melihat dua sosok
tubuh tergeletak di depan pintu pondok-nya. Si kakek bergegas menghampiri dan
memeriksa kedua anak muda itu.
"Kasihan. Seorang gadis yang keras hati dan ta-bah!" Ucap kakek itu menggeleng-
gelengkan kepala-nya penuh kagum, ketika ia memeriksa tubuh Kenanga. "Entah
siapa pula pemuda itu, sampai-sampai gadis itu rela mengenyampingkan
kesehatannya sen-diri!" Sesaat setelah memeriksa keadaan Kenanga, lalu ia
mengangkat tubuh gadis itu ke pondoknya.
Diba-ringkan tubuh gadis itu di atas balai-balai yang ter-buat dari bambu dan
hanya beralaskan selembar tikar tua.
Begitu selesai merebahkan Kenanga, si kakek kembali keluar untuk mengambil tubuh
Panji. Si kakek membungkuk memeriksa tubuh Panji yang ter-geletak pingsan.
"Eh!"
Bagai disengat kalajengking, si kakek terlonjak ke belakang.
la menyeringai menahan rasa sakit pada jari tangannya. "Aneh, apa gerangan yang
ada dalam tubuh pemuda tampan ini"
Totokan jari-jari tanganku seolah-olah amblas ke dasar samudra yang amat dalam.
Tenagaku membalik bagai dilemparkan sebuah kekuatan yang hanya ada dalam
dongeng. Luar biasa! Aku tidak bisa menggunakan tenaga saktiku untuk memeriksa tubuhnya!"
Si kakek menggeleng-geleng-kan kepalanya tak habis mengerti. Pelahan-lahan si
kakek mengangkat tubuh pemuda tampan. Karena sedikit saja ia menggunakan tenaga
saktinya, maka celakalah ia!
Si kakek membaringkan tubuh Panji di atas balai-balai lainnya yang terletak
lebih ke dalam. Hati-hati sekali si kakek membaringkan tubuh pemuda itu. Da-
hinya sedikit berkeringat karena ketegangan yang menyelimuti hatinya. Hal itu
wajar. Kakek itu tidak lain adalah Eyang Wiku Ginting yang dicari-cari Ke-nanga.
Sebagai seorang tokoh sakti yang berpengala-man, ia pun tahu bahwa sedikit saja
ia melakukan kesalahan, maka bukan tidak mungkin nyawanya sendiri yang akan
melayang. "Heran, bagaimana mereka dapat sampai di tempat ini"
Kalau menurut pengamatanku, pemuda itu sudah tak sadarkan diri selama satu hari
lebih. Apa-kah gadis itu yang telah membawanya" Lalu bagai-mana cara gadis itu
membawanya"
Dan mengapa tidak terpengaruh oleh tenaga aneh yang bergolak liar di dalam tubuh
pemuda ini" Ahhh, membingungkan!" Desah si kakek yang segera mengusir pikiran-
pikiran yang membuat kepalanya pusing.
Tanpa mempedulikan pikirannya yang memusing-kan itu, si kakek bergegas memasak
air untuk kedua tamunya, terutama Kenanga. Ia tahu bahwa gadis itu baru saja
jatuh pingsan ketika tiba di pintu pondok-nya. Kemungkinan besar gadis jelita
itu pasti menge-tahui apa yang telah terjadi dengan pemuda itu.
Beberapa saat kemudian si kakek membawa air masak yang telah dicampur air dingin
sebelumnya, sehingga menjadi hangat. Dengan sehelai kain bersih, si kakek
mengusap wajah Kenanga yang kotor dan terlihat letih. Setelah membersihkan
wajahnya, si kakek mengurut pelahan bagian belakang lehernya. Wajah keriput itu
tersenyum ketika melihat Kenanga mulai siuman.
"Ohhh...," terdengar keluhan lirih keluar dari bibir yang indah itu. Eyang Wiku
Ginting menghentikan pi-jatnya, kemudian ia bangkit dan berjalan ke belakang.
Tidak lama sepeninggal Eyang Wiku Ginting, pe-lahan-lahan Kenanga membuka
matanya. Sejenak se-pasang mata bintang itu mengerjap-ngerjap mem-biasakan
penglihatannya. Ketika gadis jelita itu men-coba bangkit, sekujur tubuhnya
terasa nyeri dan sa-kit. la baru merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit setelah
di atas pembaringan.
"Jangan banyak bergerak dulu, Cucuku. Beristira-hatlah dan tenangkan hatirnu,
agar kesehatanmu cepat pulih," kata Eyang Wiku Ginting yang telah ber-diri di
sisi pembaringan Kenanga.
Di tangan kanan si kakek tampak sebuah gelas terbuat dari batang bambu. Bau
harum ramuan tercium dari asap yang mengepul dari mulut gelas bambu.
"Kakek, engkaukah yang bernama Eyang Wiku Ginting?"
Tanya Kenanga dengan suaranya yang masih lemah.
"Benar, Cucuku. Aku adalah Eyang Wiku Ginting. Nah, sekarang simpan pertanyaanmu
dulu sampai kau benar-benar sehat. Minum obat ini selagi masih hangat," jawab si
kakek lembut sambil mengangkat kepalanya hati-hati. Lalu ia dekatkan gelas bambu
ke mulut gadis itu.
Dengan tangan gemetar, Kenanga mencoba me-megang gelas bambu yang disodorkan ke
mulutnya. Pelahan-lahan ia menghirup ramuan obat yang terasa pahit mencekik
tenggorokannya. Kenanga menyeringai menahan rasa pahit yang amat sangat. Si
kakek kem-bali menyerahkan gelas lain sebagai penghilang rasa pahit. Cepat
diteguknya air yang disodorkan Eyang Wiku Ginting kepadanya.
"Nah, sekarang tidurlah dulu, Cucuku." Setelah itu baru nanti engkau boleh
menceritakan semua yang telah kau alami," ucap si kakek bahagia. Kemudian si
kakek pun bergegas meninggalkannya.
Sementara itu di luar pondok, senja sudah mulai nampak redup. Cahaya kemerahan
tampak di kaki la-ngit sebelah Barat.
Sang mentari kembali ke peraduan meninggalkan cahaya teriknya.
*** "Nah, sekarang ceritakan. Siapakah engkau sebe-narnya, Cucuku" Dan apa yang
telah terjadi pada ka-wanmu itu?"
Tanya Eyang Wiku Ginting pada keeso-kan harinya. Ketika Kenanga mulai agak sehat
Kedua-nya duduk berhadapan di ruang tengah pondok se-derhana itu.
"Eyang, aku adalah Kenanga murid dari Raja Pe-dang Pemutus Urat. Dan kedatangan
aku kemari un-tuk minta
pertolongan Eyang," sahut Kenanga ber-simpuh di depan si kakek Eyang Wiku
Ginting. "Hm... di manakah sekarang gurumu itu, Cucuku" Apakah ia baik-baik saja" Lama
kami tak saling jum-pa." Eyang Wiku Ginting menghela napas berat. Raja Pedang
Pemutus Urat adalah adik seperguruan kakek itu. Oleh karena itu Kenanga
mengetahui nama dan tempat tinggal kakek itu, karena ia pernah diceritakan oleh
Raja Pedang Pemutus Urat itu.
"Eyang, Guru sudah tewas beberapa waktu yang lalu di tangan seorang pemuda licik
yang bernama Ja-ya Sukma," kata Kenanga sedih. Kemudian ia pun menceritakan pula
tentang kematian Raja Pedang Pemutus Urat.
"Hm... jadi pemuda itu adalah Pendekar Naga Putih, yang telah membunuh Jaya
Sukma yang terkenal dengan Jari Mautnya itu?" Tanya Eyang Wiku Ginting terkejut
ketika Kenanga memperkenalkan siapa se-sungguhnya pemuda yang masih dalam
keadaan pingsan itu. Si kakek memang belum mengobati pemuda itu, karena ia ingin
mencari keterangan lebih dulu dari Kenanga.
"Benar, Eyang," tegas gadis jelita itu lagi. Kenanga kembali menceritakan awal
mula yang membuat pemuda itu sampai pingsan begitu lama.
"Luar biasa! Benar-benar sebuah kejadian yang amat langka dan tidak akan ditemui
orang lain!" Seru si kakek menggeleng-geleng kepalanya penuh keka-guman. Setelah
Kenanga selesai menceritakannya. "Jadi pendekar muda itu bangkit tepat pada saat
ger-hana bulan muncul?" Tanya si kakek.
"Begitulah yang aku saksikan, Eyang," jawab Kenanga.
"Tahukah engkau, Cucuku. Tenaga apakah yang dimiliki pemuda itu?" Tanya Eyang
Wiku Ginting penuh selidik.
Meskipun ia sudah menduga apa yang telah dialami Pendekar Naga Putih, namun
menurut-nya hal itu tak akan terjadi tanpa sebab yang jelas.
"Kalau tidak salah, Kakang Panji mempunyai sebuah ilmu yang bernama 'Tenaga
Sakti Gerhana Bu-tan'," sahut Kenanga.
"Hm... aku tahu sekarang! Sebenarnya inti tenaga sakti dalam gerhana bulan itu
tidak akan merasuk ke dalam tubuhnya kecuali pemuda itu tengah menge-rahkan
tenaganya. Menurut ceritamu, pemuda itu te-ngah dalam keadaan kalap ketika gerhana itu
terjadi. Marilah kita lihat, siapa tahu aku dapat membuat siuman dari
pingsannya," ajak si kakek seraya men-dekati tubuh Panji yang masih tergolek di
atas pembaringan bambu itu.
"Tolong, kau angkat pemuda itu keluar, Cucuku. Aku akan mencoba untuk
menyadarkannya. Nanti kalau dalam keadaan sadar aku akan lebih mudah
mengobatinya," ujar Eyang Wiku Ginting sambil me-langkah keluar.
Semula Kenanga merasa bingung mendengar perintah si kakek Dalam hati kecilnya
bukankah akan lebih baik kalau kakek itu sendiri yang membawanya keluar. Tapi
kakek itu kembali menyuruhnya, maka tanpa banyak cakap lagi Kenanga segera
mengangkat tubuh pemuda itu dan membawanya keluar. Gadis itu menjadi heran
ketika melihat Eyang Wiku Ginting me-mandanginya dengan kening berkerut setelah
berada di luar pondok.
"Cucuku, apakah kau pernah mempelajari 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'?" Tanya
Eyang Wiku Ginting, dengan rasa penasarannya.
"Mmm... pernah Eyang. Kakang Panji yang meng-ajarkannya. Itu pun hanya dasar-
dasarnya saja, E-yang," sahut Kenanga heran mendengar pertanyaan Eyangnya.
"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam tak jelas.
Kemudian ia menyuruh gadis itu untuk mele-takkan tubuh Panji di atas rerumputan.
"Kau me-nyingkirlah dulu, Cucuku!" ujar si kakek kepada Kenanga.
Setelah berkata demikian, Eyang Wiku Ginting mengambil jarak kira-kira lima
tombak di depan tubuh Panji. Sesaat kemudian, Eyang Wiku Ginting sudah duduk
bersila sambil memejamkan matanya.
"Hmhhh!"
Eyang Wiku Ginting mendengus agak panjang. Tubuhnya tampak bergetar karena ia
tengah menge-rahkan tenaga saktinya. Kedua tangannya terangkat dan terulur ke
arah tubuh Panji yang tergolek. Tiba-tiba angin keras berhembus ke arah Panji.
Whuuusss! Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu mulai bergerak pelahan, makin lama makln
berguncang keras. Dan secara tiba-tiba, tubuhnya bangkit karena inti 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'
yang mengendap di dalam tubuhnya tidak menerima hembusan tenaga yang dikerahkan
Eyang Wiku Ginting.
Sorot matanya tajam dan penuh curiga seolah di-rinya merasa terganggu akan
kehadiran si kakek. Na-mun hati nuraninya membisikkan bahwa kakek itu bukanlah
orang jahat, terjadilah perang batin di dalam hatinya. Perang antara suatu
kekuatan dahsyat membunuh si kakek dan kesadaran kebaikan.
Bebe-rapa saat lamanya Panji hanya berdiri tegak menatap Eyang Wiku Ginting.
"Kakang Panji...!" Tiba-tiba muncul suara merdu yang amat dikenalnya. Kenanga
menghampirinya.
"Adik Kenanga!" Panggil Panji tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Air
mukanya yang angker beru-bah tenang. Namun kekuatan tenaga liar dalam tubuhnya
tetap bergolak membutuhkan penyaluran. Eyang Wiku Ginting tahu hal itu. Ia cepat
komat-kamit membaca mantera ilmu 'Mengirim Suara dari Jauh'. Ucapan orang tua
itu hanya didengar oleh Kenanga tanpa sepengetahuan Panji.
Kenanga tertegun sejenak mendengar suara halus begitu dekat di telinganya. Tanpa
menolehnya ia sudah tahu siapa yang telah mengirimkan suara itu kepadanya.
Setelah jelas mengetahui apa yang dikata-kan si kakek itu, ia kembali mendekati
kekasihnya yang menatap dengan sorot mata tajam.
"Kakang, bukankah engkau merasakan suatu tenaga dahsyat bergolak di dalam
tubuhmu?" Tanya Kenanga setelah berada di hadapan Panji. Tatapan gadis itu
tampak lembut dan penuh rasa kerinduan.
"Eh, bagaimana kau tahu, Adik Kenanga?" Tanya Panji, heran mendengar gadis
pujaannya mengetahui secara pasti tentang apa yang tengah dialaminya saat itu.
"Nah, kalau begitu puaskanlah hatimu dengan ca-ra mengumbar pukulan-pukulanmu
sesuka hati. Tapi jangan sampai melukai seorang pun!" kata Kenanga tegas sambil
memperhatikan kekasihnya.
Panji bukanlah orang bodoh. Tapi karena baru si-uman dari pingsan, ia agak
linglung. Ketika ia mendengar ucapan kekasihnya, Panji teringat apa yang harus
dilakukannya untuk menjinakkan tenaga liar yang tengah bergolak dalam tubuhnya.
Tanpa me-ngucap sepatah kata, pemuda itu segera berbalik dan melepaskan
pandangannya ke sekitar tempat itu.
Kenanga bergegas menyingkir. Ia melihat Panji melangkah ke arah rerimbunan
pepohonan besar yang tumbuh di sekitar
tempat itu. Saat itu juga sekali ayun tangan Panji dengan tenaga dalamnya
menghantam pepohonan.
Wuuusss! Blarrr! Kraaakkkhhh! Empat pohon besar sekali pukul, berderak dan hancur menjadi beberapa bagian.
Luar biasa! Debu pun mengepul tinggi disusul hembusan angin. Ke-nanga dan Eyang
Wiku Ginting menggigil kedinginan. Tubuh mereka terasa beku sampal ke tulang
sum-sum. Itulah pengaruh tenaga dalam Panji yang telah ia keluarkan. Mereka
harus mundur beberapa lang-kah lagi untuk menghindari pengaruh angin gaib itu.
Sebenarnya bagi Eyang Wiku Ginting sendiri kejadian itu tidaklah terlalu
membahayakan. Tingkat ilmu tenaga dalam yang dimilikinya masih di atas ilmu
tenaga dalam Panji. Tapi bagi Kenanga, terpaan angin dingin itu dapat membekukan
tubuhnya. Untunglah si kakek cepat bertindak melindungi Kenanga.
"Luar biasa sekali tenaga gerhana bulan yang me-rasuk ke dalam tubuhnya! Tapi
sayang tenaga sakti yang dahsyat itu masih sangat liar dan dapat membahayakan
orang lain. Kalau saja pemuda itu dapat menjinakkannya rasanya tidak ada seorang
tokoh pun yang mampu menghadapinya," tukas Eyang Wiku Ginting dengan wajah
sedih. "Apakah Eyang tidak sanggup untuk menyembuh-kannya?"
Tanya Kenanga terkejut mendengar desah li-rih kakek sakti itu.
"Entahlah, Cucuku. Tapi Eyang akan berusaha se-kuat tenaga untuk
menyembuhkannya. Hanya satu pesan Eyang, janganlah hal ini kau beritahukan kepa-
danya. Biar Eyang
sendiri yang akan menyampaikan-nya nanti," kata Eyang Wiku Ginting sambil meman-
dang gadis jelita itu dalam-dalam.
"Baiklah, kalau itu yang Eyang inginkan," jawab Kenanga patuh.
Setelah berkata demikian, gadis jelita itu kembali mengalihkan pandangannya ke
arah pemuda yang di-cintainya belum juga berhenti mengumbar tenaganya itu.
Beberapa saat kemudian, Panji mulai lelah. Pukul-an-pukulan yang dilontarkannya
tak lagi sekuat dan sedahsyat semula. Ia menjatuhkan kedua lututnya di tanah
berumput, kemudian ia pun lemas tergeletak, karena aliran tenaga sakti liar yang
luar biasa itu telah terhenti. Napasnya memburu. Pakaian yang di-kenakannya
basah bermandikan keringat yang tak henti-hentinya mengalir. Eyang Wiku Ginting
cepat berlari menghampiri pemuda itu, diikuti Kenanga dari belakang. Begitu tiba
Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dekat Panji si kakek meme-rintahkan Kenanga mengangkat tubuh Panji, untuk
dibawa ke dalam pondoknya.
Setelah tubuh pemuda itu direbahkan di atas balai-balai, si kakek memberi
segelas air ramuan yang sudah disiapkan. Panji segera meneguk ramuan mi-numan
itu. Ramuan si kakek itu dimaksudkan untuk menghilangkan rasa lelah dan sakit
pada otot-otot aki-bat amukannya yang banyak mengeluarkan tenaga. Panji harus
banyak istirahat, tenaga yang dia umbar melebihi batas tenaga manusia biasa.
Eyang Wiku Ginting tersenyum melihat kedua mata Panji mulai terpejam. Itu
menandakan ramuan obatnya mulai bekerja. Ketika Panji telah terlena, si kakek
segera melakukan pemeriksaan secara teliti. Dan apa yang ditemukan sangat
mengagetkan! Wajah tua itu pun muram seketika.
"Ada apa, Eyang" Apakah Kakang Panji dapat disembuhkan?" Tanya Kenanga yang
berada agak jauh dari
tempat Panji berbaring itu sambil melangkah. Namun gadis itu segera menahan
langkahnya ketika melihat isyarat yang diberikan kakek itu.
Kemudian, si kakek mendekati Kenanga yang berada di ruang tengah yang terpisah
beberapa langkah dari tempat Panji berbaring.
"Maafkan Eyang, Cucuku. Setelah Eyang meme-riksanya secara lebih teliti, rasanya
apa yang diderita oleh pemuda itu tak dapat disembuhkan lagi," ujar Eyang Wiku
Ginting berat hati.
"Jadi... jadi, Eyang...," Kenanga tak mampu me-neruskan ucapannya. Sedetik
kemudian, terdengar isak tangis yang membuat si kakek menjadi terharu. Kenanga
menutupi wajah dengan kedua telapak ta-ngannya.
"Sudahlah, Cucuku. Semua ini hanya dugaan Eyang saja.
Siapa tahu Yang Maha Kuasa berkehen-dak lain sama sekali tidak kita ketahui,"
ujar Eyang Wiku Ginting menghibur.
"Berapa lama lagikah umur Kakang Panji, menu-rut Eyang?"
Tanya gadis itu dengan sinar mata minta jawaban sejujurnya.
"Hm... mungkin hanya sekitar enam bulan lagi, Cucuku. Tapi, entahlah! Kita
sebagai manusia hanya bisa menduga tanpa bisa menentukan."
"Ohhh... Kakang Panji...," gadis itu menangis sejadi-jadinya begitu ia mendengar
keterangan Eyang Wiku Ginting.
* * * 2 Pagi belum lagi datang. Kegelapan masih menye-limuti alam sekitarnya. Semenrara
kokok ayam hutan mulai terdengar bersahut-sahutan, suara jangkrik pun masih
terdengar menyemarak.
Di tengah keremangan fajar yang mulai merekah, sesosok bayangan putih berkelebat
cepat menuruni lereng gunung.
Gerakannya yang ringan dan gesit me-nandakan sosok tubuh itu memiliki ilmu
kepandaian yang sulit diukur. Terkadang sosok tubuh itu mela-yang bagai seekor
burung besar yang tengah bermain di angkasa luas. Jubahnya yang putih melambai-
lambai diterpa angin gunung.
Bayangan putih itu terus meluncur bagaikan dike-jar setan.
Sepertinya bayangan itu memang tengah menghindari sesuatu.
Sesekali ia menolehkan kepala ke belakang seolah ia merasa khawatir kalau-kalau
ada yang mengejarnya.
Di kaki langit sebelah Timur tampak cahaya keme-rahan.
Namun sosok bayangan putih itu masih terus berlari seolah-olah ia sama sekali
tidak mengenal rasa lelah sedikit pun.
Disaat matahari telah beranjak se-makin tinggi, barulah sosok bayangan putih itu
meng-hentikan latinya.
Sosok tubuh berpakaian putih itu ternyata adalah Panji atau yang lebih dikenal
sebagai Pendekar Naga Putih. Peluh mengalir deras membasahi wajah dan tubuhnya.
Pemuda tampan itu menjatuhkan dirinya di atas hamparan rerumputan hijau di tepi
kali yang berair jernih.
Pelahan-lahan diciduknya air jernih itu dengan kedua tangannya. Air itu
disapukan ke wajahnya dengan penuh
perasaan. Lama... pemuda itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Kemudian, pelahan-lahan telapak tangan itu turun disertai helaan napas beratnya.
Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Adik Kenanga, maafkan aku. Aku terpaksa me-ninggalkanmu. Karena aku telah
mendengar tentang pembicaraanmu dengan kakek itu. Aku tidak ingin membuatmu
lebih menderita, karena memikirkan pe-nyakitku ini Maafkan aku, Adik Kenanga,"
ucap Panji lirih. Wajah pemuda sakti itu terlihat dingin dan kaku. Senyum yang
biasanya selalu menghias wajah tampan itu Wni tidak terlihat lagi.
"Hhh...," keluh Panji kembali menutup wajah dengan kedua tangannya. Jelas sekali
kalau ia merasa berat untuk meninggalkan wanita yang sangat dicin-tainya itu.
Rupanya pada saat Eyang Wiku Ginting dan Kenanga membicarakan dirinya, rupanya
Panji belum terlelap benar. Ia mendengar pembicaraan mereka. Itulah sebabnya
mengapa pemuda itu mening-galkan tempat kediaman Eyang. Wiku Ginting pada waktu
dini hari. la telah mengambil keputusan untuk tidak menyusahkan orang lain.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya pemuda itu bangkit dari duduk.
Ia bermaksud untuk kembali ke Gua Bukit Harimau untuk menemani gu-runya. Ia
ingin menghabiskan sisa-sisa hidupnya itu untuk membaktikan diri kepada sang
guru. Setelah berpikir sesaat Pendekar Naga Putih me-neruskan perjalanan, dan
menyeberangi sungai. Pemuda itu gesit meloncat dari batu yang satu ke batu
lainnya yang banyak tersebar di tengah sungai. Lalu ia masuk menyusuri hutan.
Hari mulai gelap ketika pemuda itu tiba di sekitar bukit. Ia memutuskan untuk
beristirahat semalam di tempat itu. Baru
saja ia mencari ranting untuk membuat api unggun, tiba-tiba badannya menggjgil
kedi-nginan. "Aaargh...!"
Panji meraung kesakitan, sakit yang luar biasa. Tubuh pemuda itu berguling di
atas tanah berumput halus. Sesaat kekuatan yang sangat dahsyat melon-jak-lonjak
di dalam tubuhnya, sehingga tubuh pe-muda itu terbanting-banting di atas tanah.
Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit yang menyiksa, tu-buhnya tiba-tiba
terangkat bangkit. Untuk kemudian terhempas ke belakang bagai dihentakkan oleh
sesuatu kekuatan yang tak tampak.
Bukkk! Kraaakkk!
"Aaakh...!"
Panji meraung keras ketika tubuhnya menghan-tam sebatang pohon besar yang
langsung berderak patah. Karena tak sanggup menahan azab yang me-nyiksa dirinya
itu, Pendekar Naga Putih pun jatuh tak sadarkan diri. Di wajahnya masih terlihat
seringai kesakitan. Tubuh Pendekar Naga Putih tergeletak lemah di bawah batang
pohon yang tumbang akibat ben-turan tubuhnya.
*** "Uhhh...," keluh Panji. Sinar matahari pagi yang hangat membuat ia terbangun.
Pemuda itu meringis menahan sakit pada sekujur tubuhnya. Pelahan-lahan ia
memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Wajahnya terlihat pucat dan lebam
kebiruan. Rupanya hawa sakti yang merasuki tubuhnya mempengaruhi kulit-nya.
Keadaan Panji sangat menyedihkan.
Tak ubah-nya gembel gila penuh daki, dengan tertatih-tatih di-carinya sungai
terdekat. Suara gemericik air sungai di balik bukit itu membuat Panji makin mempercepat
langkahnya. la langsung menceburkan dirinya ke dalam air tanpa mem-buka
pakaiannya. Setelah merasa tubuhnya agak segar, ia pun melompat naik.
"Hhh... tampaknya kekuatan aneh yang merasuk ke dalam tubuhku ini mulai
menunjukkan akibat bu-ruknya," gumam Panji sambil menghda napas dalam-dalam.
Setelah mengganti pakaiannya, pemuda itu pun kembali meneruskan perjalanan.
Panji yang telah me-lihat kulit wajahnya berwarna agak kebiruan, ia segera
menutup kepalanya sampai ke lutut agar tidak diketahui orang lain.
Setelah agak lama berjalan, tampak di depannya perbatasan desa. Panji
mempercepat langkahnya me-masuki perbatasan desa itu. la berniat singgah se-
bentar guna mengisi perutnya, karena sejak kemarin perutnya belum diisi.
"Aneh, mengapa desa ini tampak sepi" Tak ada seorang petani pun yang tampak
bekerja di sawah. Juga tak ada satu pun warga di jalan," gumam Panji seraya
berhenti sejenak. la mulai curiga dilangkahkan kakinya pelahan-lahan sambil
memperhatikan sekeli-lingnya.
Pendekar Naga Putih mengerutkan kening ketika matanya menangkap beberapa sosok
tubuh menggele-tak di tengah jalan. Dihampirinya enam sosok tubuh itu penuh
curiga. "Darah!" gumam Panji menyaksikan genangan da-rah di antara sosok-sosok tubuh
yang menjadi mayat itu. "Kalau melihat dari mayat orang-orang ini, peristiwanya
belum begitu lama terjadi," kata Panji yang hanya bisa menduga.
Panji mengalihkan perhatiannya pada sebuah rumah sederhana yang letaknya paling
dekat dengan mulut desa itu.
Ia segera menghampiri, dan menarik pintu rumah yang telah rusak itu. Beberapa
percikan darah mengotori daun pintu.
"Gila!" Panji memaki kasar ketika melihat apa yang disaksikannya. Lima sosok
mayat yang terdiri dari wanita dan anak-anak bergelimpangan di ruang te-ngah
yang porak-poranda itu, di antaranya ada kepala yang terpisah dari anggota
badannya. Panji bergegas lari keluar. Lalu diperiksanya selu-ruh rumah lainnya di sekitar
mulut desa. Sungguh mengerikan! Apa yang ditemuinya benar-benar mem-buat darah
pemuda itu mendidih!
Seluruh penghuni rumah yang berada dekat mulut desa itu tewas tanpa tersisa satu
pun! "Biadab! Iblis dari mana yang telah mengamuk di desa ini"
Kesalahan apa yang telah dibuat oleh pen-duduk desa ini sehingga begitu tega
menghabisi mereka"!" geram Panji.
Wajah pemuda itu memerah menahan rasa marah yang bergelora dalam dadanya. Panji
marah sekali! Entah apa yang telah mengakibat-kan seluruh penduduk desa itu
dibantai habis.
Siapa pula yang telah melakukan perbuatan keji ini, pikir Panji tak habis
mengerti. Akhirnya Pendekar Naga Putih itu meninggalkan desa yang telah dilanda musibah.
la sama sekali tidak memperoleh satu petunjuk pun, karena semua warga desa ini
telah dibantai habis!
Kurang lebih setengah hari berjalan, Panji pun tiba di desa lainnya. Beberapa
orang petani yang ber-siap-siap hendak pulang, menoleh ke arah Panji. Me-reka
terheran-heran melihat cara berpakaian pemuda itu. Tapi Panji tidak peduli
diperhatikan para petani. Ia terus berjalan memasuki kedai
makanan yang tidak terlalu ramai pengunjungnya. Orang-orang yang se-dang duduk
memandangnya dengan curiga, tapi Panji tetap tenang memasuki ruangan kedai itu,
dan ia memilih tempat duduk di bangku kosong yang berada di pojok ruangan.
Pemuda itu makan dengan lahapnya, karena sangat lapar. Ia acuh tak acuh
diperhatikan orang, dan nasi pesanannya habis dinikmatinya.
"Tidak salah lagi, pasti dialah si iblis keparat itu!" Bisik seorang tamu yang
berkumis tebal kepada te-man di sampingnya.
Kawarmya yang diajak bicara menatap Panji sema-kin tajam.
Kedua alisnya bertaut, seolah ia tengah berusaha untuk mengingat-ingat tentang
seseorang yang pernah dilihatnya.
"Rasanya sulit aku memastikan dia. Lagipula pe-ristiwa pembantaian itu terjadi
pada malam hari. Aku sendiri berada agak jauh ketika si iblis itu beraksi," kata
temannya ragu-ragu.
Panji duduk tenang di pojok kedai sambil melepas-kan lelah.
Pada saat itulah seorang lelaki berperawa-kan gemuk bersama dua orang temannya
mendekati Panji dengan wajah sinis.
"Jangan biarkan lolos iblis keparat itu. Kaulah pembunuh yang kami cari," bentak
lelaki gemuk lan-tang seraya mengayunkan pedangnya ke arah Panji yang tengah
bersantai itu. Brakkk! Panji cepat mengelak, sehingga ayunan pedangnya melesat, menghantam meja.
Makanan di meja jadi berantakan.
"Sabar, Kisanak. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan itu," Panji berusaha
menyabarkan orang yang naik pitam itu.
"Jangan berlagak bodoh, iblis Biadab! Heaaat...!" Dua orang kawan laki-laki
gendut itu serentak ikut maju menyerang Panji.
Senjata tajam mereka ber-sinar-sinar siap mengancam Panji.
Panji terkesiap Wajahnya pucat pasi. Tenaga dalam dirinya kembali bergejolak.
Tidak disangka-sangka para penyerang itu sudah terlempar sebelum mereka mulai
menyerang. Semua isi yang ada di kedai berantakan.
Bukan main kagetnya mereka menyaksikan perubahan aneh pada diri Panji itu.
Sekujur tubuh pemuda itu bersinar putih keperakan disertai hawa dingin. Pengaruh
hawa dingin yang dikeluarkan Panji membuat mereka kedinginan sampai gigi mereka
bergemeletuk. "Aaahhh...!?"
Panji sendiri terkejut melihat perubahan tubuh-nya. la sadar bahwa kekuatan aneh
dalam dirinya bisa mencelakakan orang lain, maka ia segera keluar meninggalkan
kedai. "Itu dia! Serbu...!"
Para penyerang itu berteriak-teriak mengepung Panji yang sudah berada di luar
kedai. Lelaki gemuk menyuruh mereka untuk membekuk Panji.
"Hei, berhenti! Jangan serang aku! Kalian telah salah menuduh orang!" Seru Panji
sambil mengangkat kedua tangannya dengan maksud memberi tanda agar belasan orang
itu tidak menyerang.
Celaka! Maksud baik Panji dengan cara mengangkat kedua tangannya justru
menimbulkan kesulitan baru bagi dirinya.
Melalui kedua tangannya hem-busan deru angin keluar sendiri tanpa kemauan Panji.
Para penyerang berjumpalitan dibuatnya.
"Iblis biadab! Terimalah pembalasan ini! Heaaat..!" Seorang laki-laki tinggi
gagah dan berwibawa, melesat menusukkan ujung tombak ke tubuh Panji. Tombak itu
sampai berdesing, menandakan bahwa dorongan tombak itu tidak dapat di anggap
remeh. Siuttt! Tukkk! "Ahhh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika ujung tombak tepat mengenai tubuh Panji. Tubuh
laki-laki tinggi gagah itu terpental ke belakang. Wajahnya terlihat pucat.
Sedang tombaknya sendiri telah patah menjadi tiga bagian.
"Hm...!"
Penyerang itu menggeram mengerahkan tenaga dalamnya guna mengusir hawa dingin
luar biasa yang merasuk ke dalam tubuhnya.
"Gila! Ilmu iblis apa lagi yang dipergunakan ma-nusia biadab itu?" teriak si
tinggi gagah penasaran bercampur gentar. "Ayo, kepung! Hati-hati dengan pu-
kulannya yang dingin menusuk tulang itu!" Perintah laki-laki gagah itu sambil
memperingatkan teman-temannya.
Tubuh Panji saat itu tengah bergemetar hebat! Rupanya pengaruh ujung tombak
laki-laki itu telah membuat tenaga yang mengendap di dalam tubuhnya semakin
bergerak liar. "Heeeaaa...!"
Panji meraung keras kesakitan yang menusuk-nu-suk di dalam tubuhnya. Para
penyerang ketakutan melihat perubahan itu. Belasan orang terlempar dan jatuh
bergulingan di tanah!
Empat orang dari mereka yang memiliki ilmu kepandaian paling
rendah, lang-sung menggelepar tewas! Dari mulut, hidung dan telinga mereka
mengeluarkan darah segar. Rupanya raungan dahsyat Panji menyebabkan pembuluh
darah di dalam tubuh korban pecah seketika. Dua belas orang lainnya yang
memiliki kepandaian tinggi, ber-gulingan menjauhkan diri. Mereka diam-diam
sangat kecut menghadapi Panji yang bukan tandingannya itu.
"Gila! Bagaimana mungkin dalam dua hari saja ilmu kepandaian iblis ini sudah
meningkat demikian pesat! Aku jadi meragukannya, Kakang?" Ucap seorang laki-laki
tinggi kurus kepada si tinggi gagah ber-getar.
"Hm... aku pun mulai meragukannya, Adi Palasa" Tapi bagaimana mungkin kalau dia
bukan dari kelom-pok iblis itu"
Lihat saja cara berpakaiannya! Bukan-kah jarang sekali orang-orang persilatan
yang menge-nakannya?" Sahut si tinggi gagah meyakinkan teman-nya yang bernama
Adi Palasa itu.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Kakang" Jelas kita tidak akan mampu
untuk mengha-dapinya. Karena ilmu kepandaian yang dimiliki orang berkerudung itu
rasanya tidak mungkin dapat tertan-dingi!" Ujar Palasa kepada kawannya bagaikan
orang yang putus asa.
Kedua orang itu segera menghentikan pembica-raannya ketika mereka melihat Panji
yang mereka ke-pung itu telah menggerak-gerakkan tangannya ke arah mereka.
"Awaaasss...!"
Duaaarrr! Terdengar ledakan dahsyat disusul robohnya seba-tang pohon yang tumbuh di tepi
jalan didepan kedai. Untunglah laki-laki tinggi gagah yang rupanya me-mimpin
Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belasan orang itu sempat memperingatkan kawan-kawannya, sehingga kedua
belas orang itu dapat terhindar dari pukulan maut yang dapat men-cerai-beraikan
tubuh mereka. Peristiwa itu sangat mengerikan! Mereka terpaku dicekam ketakutan.
Sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri tanpa mengucap sepatah
kata pun. "Kakang, bagaimana ini" Tidak mungkin kita me-lawannya?"
Bisik Palasa yang lebih dulu tersadar me-ngingatkan laki-laki tinggi besar itu
bahwa keadaan mereka benar-benar berbahaya!
"Lebih balk kita sembunyi saja sekarang. Nanti kalau orang berkerudung itu
meninggalkan tempat ini, baru kita ikuti dari jauh!" Jawab laki-laki gagah itu
terpaksa mengambil keputusan yang amat berten-tangan dengan kebiasaan pada
dirinya. Setelah ber-kata demikian, ia pun bergegas hendak meninggalkan tempat itu.
Paji yang pandangannya mulai samar karena pe-ngaruh kekuatan yang menguasainya,
kembali men-dorongkan telapak tangannya. Kembali deru angin dingin berhembus
keras. Whuuusss! Brooolll!
Kesadaran Panji yang telah dipengaruhi kekuatan dahsyat membuat ia tidak dapat
lagi melihat dengan baik. Sehingga sasaran pukulannya pun tidak lagi ter-arah.
Kali ini pukulan mautnya menghantam sebuah pondok kayu yang langsung berderak
karena tiang penyangganya telah patah akibat pukulan jarak jauh pemuda itu.
Betapa luar biasanya tenaga sakti yang mengendap dalam tubuh pemuda itu.
"Luar biasa! Kalau begini caranya, siapa pula yang akan sanggup menghadapi
manusia iblis itu?" kata Palasa sedih.
"Hhh...," gumam laki-laki tinggi gagah yang ber-sembunyi di sebelah Palasa
menghela napas berat. Rupanya ia juga
memikirkan hal yang sama dengan kawannya itu. "Eh, lihat!
Iblis itu muntah darah! Wah, rupanya ia menderita luka dalam yang cukup parah.
Entah siapa manusia sakti yang melukai pemuda itu," suaranya terperangah.
Dari jauh tampak Panji temuyung-huyung mende-kap dadanya la terbatuk-batuk
dengan mulut me-nyemburkan darah.
"Ouuuh... uhuk... uhuk...!"
Sambil terbatuk-batuk, Panji berlari meninggalkan desa itu.
Gerakan pemuda itu terlihat goyah karena kedua kakinya agak gemetar.
"Hei, dia melarikan diri! Ayo kejar!" teriak laki-laki tinggi gagah itu kepada
kawan-kawannya. la langsung melesat memburu Panji yang melarikan diri, dan
diikuti teman yang lainnya.
*** 3 Sinar rembulan yang biasanya mcnerangi malam, bersembunyi di balik gumpalan
awan. Angin dingin berhembus keras disertai gerimis. Suasana malam kian
mencekam. Sesekali tampak kilat bersinar terang disusul gelegar sambaran petir!
Sehingga suasana malam itu demikian sunyi dan mencekam.
Jalan utama di Desa Jati Alur, tampak lengang dan sepi. Tak seorang penduduk pun
terlihat melintas di jalan itu Sepertinya
mereka enggan keluar pada saat seperti ini. Rupanya mereka lebih suka tinggal di
dalam rumah bersama istri dan anaknya.
Namun tak seorang pun yang akan menyangka kalau pada malam ini sesosok tubuh
berkerudung berjalan seorang diri di tengah gerimisnya malam. Langkah kakinya
tampak tenang dan tidak terlihat terburu-buru. Seperti, ia sama sekali tidak
merasa terganggu oleh cuaca yang buruk itu.
Sosok tubuh tinggi sedang dan berkerudung itu terus menyusuri jalan utama Desa
Jati Alur. Wajah-nya yang tersembunyi di balik kerudung tampak dingin dan kaku.
Sorot matanya tajam dan menakut-kan! Seandainya ada seorang penduduk desa yang
kebetulan melihatnya, pastilah orang itu akan lari terbirit-birit.
Orang berkerudung itu terus berjalan dengan tegar tanpa menoleh sedikit pun.
Tiba-tiba ia berhenti sejenak di depan sebuah bangunan tembok yang kokoh.
Bangunan tembok itu letaknya hampir di de-kat perbatasan Desa Jati Alur. Sesaat
diperhatikannya papan nama yang tergantung di atas pintu gerbang bangunan itu.
Kemudian, tubuh berkerudung itu melayang bagaikan seekor burung rajawali. Dalam
seke-jap tubuhnya menghilang di balik tembok bangunan yang kokoh itu.
Begitu tubuhnya mendarat di tanah pekarangan perguruan itu, sepasang matanya
bergerak kaku me-rayapi sekitarnya.
Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menuju gedung perguruan itu. Sikapnya
tam-pak tenang sekali, ia sama sekali tidak peduli kalau kedatangannya akan
diketahui penghuni gedung itu.
Baru saja beberapa langkah ia bergerak, tiba-tiba terdengar bentakan keras
disusul munculnya empat orang bersenjata tombak.
"Hei, berhenti! Siapa kau?" Gertak salah seorang dari empat orang itu galak.
Tapi si orang berkerudung sama sekali tidak mem-pedulikan teguran itu. Kakinya
terus saja melangkah seolah-olah ia tidak mendengar teguran mereka. Sehingga
membuat mereka menjadi marah.
"Hei, keparat! Apakah kau tuli" Berhenti atau sen-jataku yang akan berbicara!"
Bentak yang lain. Siap menodongkan mata tombaknya.
Si orang berkerudung terus... dan terus berjalan. Sosok tubuhnya yang tegar
memperlihatkan dirinya tidak gentar ancaman salah seorang penjaga!
"Keparat! Lihat serangan!" teriak seorang penjaga seraya menusukkan mata tombak
ke perut lawannya.
Wuuut! Tappp! "Aaah...!"
Si penjaga berteriak kaget ketika tahu-tahu saja tombaknya telah ditangkap si
orang berkerudung. Bersamaan dengan itu si penjaga terangkat ke atas. Kemudian
diputar-putamya tombak itu.
"Haiii..., Kakang tolong...!" si penjaga berteriak-teriak ketakutan memangil
kawan-kawannya.
Tapi sebelum kawannya sempat menolong, tahu-tahu saja mata tombak telah merobek
perutnya. "Hhhkkk...!"
Darah mengalir dari mulut dan perutnya. Matanya terbeliak bagaikan hendak
keluar. Seluruh wajahnya menegang menahan rasa sakit!
'Iblis keji! Rupanya kau sengaja membuat ke-onaran di sini!"
Teriak seorang penjaga lainnya. Tanpa banyak cakap lagi ia pun menerjang si
orang berke-rudung yang masih berdiri tegak memegang ujung tombak.
Dan pada saat penjaga berikut menyerang lagi dengan ketiga mata tombaknya, si
orang berkerudung segera melemparkan mayat si penjaga yang tertembus tombak ke
arah kawan-kawannya.
"Aaah...!"
Cappp! Jreppp! Tanpa dapat dicegah lagi, tiga mata tombak itu pun menancap tubuh si penjaga
yang telah menjadi mayat itu. Para penjaga sampai tidak menyadari keadaannya, si
orang berkerudung sudah melesat dengan sekali tamparan menyapu kepala mereka.
Ketiga orang penjaga itu tak sempat lagi berteriak karena kepala mereka pecah
akibat tamparan maut si orang berkerudung yang amat kuat. Mereka pun roboh
bermandikan darah. Malang sekali nasib keempat orang penjaga itu.
"Kurang ajar! Kita terlambat, Kakang!" Kata seorang penjaga dengan suara berat
menemukan teman-temannya telah menjadi mayat. Di belakangnya ber-diri pula para
penjaga lain. "Ahhh... benar-benar keparat sekali manusia ini!" Seru yang lainnya terkejut
ketika melihat mayat ke-empat orang penjaga yang bernasib sial itu. Wajahnya
terlihat menegang karena emosinya telah bangkit begitu melihat mayat-mayat itu.
"Hm..., Penjagal Alam Akherat! Hari ini kau tidak akan lolos dari tanganku!
Lihatlah di sekelilingmu!" Ujar seorang laki-laki pendek kekar bemada geram.
Mendengar perkataan itu si orang berkerudung tertawa dingin. Ia menganggap
ucapan orang itu hanya gertak sambal.
Namun, si orang berkerudung agak gentar melihat di sekeliling tempat itu telah
muncul puluhan api obor. Suasana di sekitar pekara-ngan perguruan tampak terang
benderang. "Ha ha ha... lebih baik engkau menyerah secara baik-baik, manusia haus darah.
Agar kami dapat me-menggal kepalamu sekaligus!" Ejek laki-laki pendek kekar
tertawa keras. Sejenak orang yang dijuluki Penjagal Alam Akhe-rat ragu melihat demikian
banyaknya orang yang mengurung tempat itu. Sepasang matanya mulai liar mencari
jalan keluar. Tapi belum lagi ia sempat akan kabur, mendadak belasan orang
muncul dari dalam gedung.
"Serang...!" Seru si lelaki gagah mengibaskan tangannya kedepan. Setelah berkata
demikian, ia pun segera melesat mengayun-ayunkan pedang disertai slutan-siutan
tajam. Wuttt! Dengan gerakan gesit si orang berkerudung berha-sil mengelakkan, lalu ia balas
pula dengan tamparan mautnya ke kepala lawan. Si lelaki gagah memiring-kan
kepalanya sambil melepaskan pukulan tangan kirinya ke arah lambung si orang
berkerudung itu.
Bukkk! "Uuuhhh...!"
Pukulan si lelaki gagah tepat menghantam lambung lawan.
Anehnya tubuh lawannya tidak apa-apa, malah ia sendiri
berbalik yang terjajar mundur sambil memekik kesakitan! Jari-jari tangannya
terlihat agak sedikit membengkak, akibat kalah kuat beradu de-ngan si orang
berkerudung. "Gila! Tubuh si iblis keparat itu tak ubahnya se-batang besi baja panas! Hati-
hati, kawan-kawan! Berita tentang kesaktian Penjagal Alam Akherat itu benar!"
Teriak laki-laki gagah memperingatkan kepada teman-temannya.
"Jangan khawatir, Adi Salangi! Aku ingin melihat sampai di mana kekuatan tubuh
iblis ini" Apakah ia akan mampu menahan ilmu pukulanku yang ber-nama 'Tapak
Pembeku Darah' ini!?" Sahut laki-laki pendek bertubuh kekar geram.
Setelah berkata demi-kian si pendek kekar yang berjuluk Tapak Maut itu memutar
kedua tangannya hingga menimbulkan deru angin tajam menggebu-gebu.
"Iblis, sambutlah! Hiaaattt...!"
Disertai teriakan yang mengguntur, si tubuh pendek melesat sambil membentangkan
kedua tangannya Hebat sekali orang yang dijuluki Pendekar Tapak Maut. Meski pun
tubuhnya pendek, namun gerakannya demikian gesit dan lincah.
Wuttt! Wuttt! Dua buah tamparan yang dilancarkan si Pendekar Tapak Maut mengenai tempat kosong
karena Penjagal Alam Akherat sudah lebih dahulu menghindarkan dirinya ke arah
samping. Secepatnya menghindar, secepat itu pula tangan kanannya terulur menjambret wajah
lawan. Angin pukulan orang berkerudung itu terdengar mencicit tajam dan
menebarkan bau harum yang memabukkan.
"Bangsat licik!" Teriak si Pendekar Tapak Maut terkejut ketika ia mencium bau
racun yang memabuk-kan itu. Cepat ia
mengibaskan tangan kanannya memapaki serangan si orang berkerudung.
Dukkk! "Aiiihhh...!"
Si Pendekar Tapak Maut memang berhasil mene-pis pergelangan tangan lawan
sehingga serangan cakar lawan melenceng ke samping. Tapi tenaganya masih kalah
kuat oleh si orang berkerudung, maka tubuh pendek itu pun terlempar ke belakang
sejauh empat tombak. Dari bibirnya tampak mengalir darah segar.
"Setan! Tenaga dalam iblis itu ternyata masih dua tingkat diatas tenagaku. Hm..
Benar-benar lihai sekali kepandaian Penjagal Alam Akherat itu Entah siapa dia
sebenarnya" Dan apa pula maksudnya mengacaukan dunia persilatan?" Ujar Pendekar
Tapak Maut. Pena-saran karena ilmu yang dibangga-banggakan selama ini ternyata
tidak ada artinya di hadapan Penjagal Alam Akherat.
"Sudahlah, Kakang Jarga Lawa. Lebih baik cepat kita bereskan iblis itu sebelum
ia berhasil meloloskan diri dari kepungan kita!" Ajak orang tinggi gagah yang
bemama Salangi mengingatkan betapa berbahaya jika orang berkerudung itu sampai
meloloskan diri.
"Hm... baiklah! Anak-anak, cepat siapkan jaring dan tali!"
Perintah Jarga Lawa atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Tapak Maut kepada
orang-orang yang memegang obor.
Sementara itu, si orang berkerudung masih ber-tarung sengit menghadapi belasan
pengeroyoknya. Gerakan gerakan kelima belas orang laki-laki itu sepertinya
memang sengaja hanya untuk memancing kemarahan si orang berkerudung. Kelima
belas orang itu sesekali melakukan balasan kalau dalam
keadaan benar-benar terdesak. Mereka hanya menghindar dan saling melindungi
dengan maksud agar lama kela-maan si orang berkerudung akan semakin melemah
tenaganya. Namun, meskipun si orang berkerudung selalu melancarkan serangan-serangan maut
yang mem-butuhkan banyak tenaga.
Anehnya kekuatan daya serangnya sama sekali tidak berkurang, seolah-olah
Penjagal Alam Akherat itu memiliki sumber tenaga yang tak pernah habis. Hingga
lama-kelamaan para pengeroyok itu merasa kelelahan.
"Gila! Tenaga si iblis itu tak ada habisnya!" seru salah seorang pengeroyok itu
dengan napas tersengal-sengal.
Kawan-kawannya tidak ada yang menyahut. Karena saat itu mereka benar-benar
kerepotan mengha-dapi gempuran-gempuran si orang berkerudung yang semakin
gencar. "Mundurrr...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras menyuruh ke lima belas orang itu mundur.
Ketika mereka berlom-patan mundur, sebuah benda hitam halus menebar jatuh ke
arah si orang berkerudung.
"Heaaat..!"
Whuuus! Melihat adanya sesuatu benda halus yang menebar di sekelilingnya, orang
berkerudung itu pun ber-gegas mendorong, sepasang telapak tangannya ke atas.
Serangkum angin pukulan yang amat kuat keluar.
Empat buah jala halus yang ditebarkan itu mem-balik dan menutupi tubuh ke empat
orang yang me-lemparkannya.
Keempat orang itu berteriak dan me-ronta-ronta melepaskan dirinya yang terkurung
dalam jala. Tolong... tolong,.. tolooong...!"
Keempat orang itu menjerit-jerit ketakutan karena tak mampu melepaskan diri
dalam kurungan jala itu.
Berbarengan dengan membaliknya keempat jala halus itu, kaki orang berkerudung
itu langsung men-jejakkan kakinya. Ia berjumpalitan beberapa kali di udara, dan
terus meluncur menuju atas tembok perguruan itu. Si orang berkerudung berusaha
me-loloskan diri dari kepungan.
"Hujani dengan panah...!" Si Pendekar Tapak Maut berteriak memberi perintah.
Setelah itu tubuhnya langsung melesat diikuti Salangi dan empat orang lainnya
mengejar si orang berkerudung.
Werrr! Werrr! Werrr!
Puluhan anak panah menghujani Penjagal Alam Akherat yang melayang di udara.
Secepat itu pula ia menangkis serangan anak panah dengan kibasan ju-bahnya.
"Hiah!"
Trak! Trak! Trak!
Puluhan batang anak panah berjatuhan ke tanah akibat kibasan jubah si orang
berkerudung. Belum habis menarik napas Iega, datang lagi serangan beri-kut. Dua
anak panah yang lebih kuat dari puluhan batang anak panah sebelumnya melesat.
Dan.... Jreppp! Jrebbb!
"Aaakh...!"
Si penjagal Alam Akherat terpekik kesakitan ketika dua anak panah yang terakhir
menancap pangkal le-ngan dan dada kirinya. Seketika ia terjungkal ke bawah.
Namun dengan gesit
tubuhnya berputar-putar dan mendarat di luar bangunan perguruan itu.
Sambil mengigit bibirnya kuat-kuat, panah itu berhasil dicabut dan langsung
dilemparkan ke arah dua orang yang mengejarnya. Tak pelak lagi, panah itu
menewaskan mereka seketika. la segera melesat melarikan diri meninggalkan tempat
itu. Tubuhnya berkelebat cepat melintasi jalan utama Desa Jati Alur.
"Kejar...! Dia sudah terluka. Tidak mungkin dapat bertari jauh!" teriak si
Pendekar Tapak Maut mengo-barkan semangat kawan-kawannya.
Suasana malam yang semula gelap dan sunyi menjadi ramai.
Jalan utama Desa Jati Alur terang benderang oleh puluhan api obor, hingga
suasana malam itu menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan-teriakan puluhan orang tokoh
persilatan yang melakukan pe-ngejaran terhadap si orang berkerudung atau
Penjagal Alam Akherat itu.
Si orang berkerudung terus mempercepat larinya dengan gerakan ringan berloncatan
dari satu pohon ke pohon lain yang banyak tumbuh di desa itu. Lari-nya agak
terganggu karena lukanya cukup parah dan banyak mengeluarkan darah.
Kemudian, ia berhenti sejenak, tangan kanannya bergerak cepat melakukan totokan
Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada bagian lukanya guna mengurangi luka-nya yang terus-menerus mengeluarkan
darah. Setelah ia yakin Iuka yang dideritanya berhenti mengeluarkan darah, ia
meneruskan larinya lagi. Karena di bela-kangnya terdengar langkah-langkah kaki
beberapa orang yang berlari mendekatinya.
Sementara itu di tengah sebuah hutan kecil yang letaknya tidak jauh dari Desa
Jati Alur, seorang pemuda sedang menghangatkan tubuhnya di dekat api unggun.
Pemuda itu tidak lain adalah Panji, ia ber-maksud ingin bermalam di dalam hutan. la terme-
nung memikirkan kejadian yang terus saja dialami-nya. Keningnya berkerut dalam
la mencoba untuk mencari-cari apa yang menyebabkan orang-orang itu menganggapnya
sebagai iblis pembunuh.
"Hm.. Mungkin kejadian yang kualami tadi ada kaitannya dengan peristiwa
terbantainya seluruh penduduk kampung yang kulewati kemarin. Kalau begitu, dunia
persilatan saat ini sedang tercemar dengan seorang pembunuh keji," gumam Panji
menyimpul-kan. Mendadak Panji bangkit berdiri dari duduknya. Pendengarannya yang
terlatih itu mendengar langkah-langkah kaki yang terseok-seok mendekati ke
arahnya. Kemudian Panji bergegas memadamkan api unggunnya agar tidak terlihat
oleh suara yang men-curigakan itu. Tubuh pemuda itu pun sudah melen-ting ke atas
pohon yang berdaun rimbun. la melepas-kan pandangannya ke arah datangnya suara
itu Tidak berapa lama kemudian, terlihat seorang berkerudung lari terseok-seok
menuju anak bukit. Panji menduga orang berkerudung itu menderita luka, karena
berjalan susah payah.
Melihat ciri-ciri orang itu, Panji teringat akan pengalamannya ketika dikeroyok
belasan orang di kedai yang disangka ia adalah pem-bunuhnya karena berpakaian
seperti itu. la langsung melesat mengejar sosok berkerudung itu.
"Orang itu pastilah ada hubungannya dengan pembunuh keji, serta buronan penduduk
desa," gumam Panji bergegas turun dari pohon. Teka-teki itu harus dipecahkan.
Panji tidak mau kehilangan jejak, ia pun mengejarnya.
"Sahabat, berhentilah...!" Seru Panji hampir dekat. Orang berkerudung itu
terkejut setengah mati ketika mendengar ada orang yang menegurnya di tengah
hutan. la berhenti sejenak
lalu pelahan-lahan membalik-kan badannya dan menatap ke arah orang yang
menegurnya. Jelas sekali terlihat kalau si orang berkerudung itu semakin terkejut ketika
melihat pakaian yang dike-nakan Panji.
Sepasang mata yang semula menyipit terbuka lebar-lebar.
Diperhatikannya sosok tubuh Panji dari atas hingga ke bawah penuh selidik.
"Siapa kau"!" Tegur si orang berkerudung dingin, dan parau.
Panji melepaskan kerudungnya, dan dibi-arkan terjuntai di bawah lehernya.
Sehingga wajah pemuda itu tampak terlihat agak jelas. Apalagi saat itu sang
rembulan pun sudah mulai muncul mene-rangi permukaan bumi. Wajah Panji yang
dingin dan kaku itu membuat si orang berkerudung meragu sejenak.
"Hm... seharusnya akulah yang bertanya kepada-mu! Apa maksudmu menyembunyikan
wajah dengan memakai kerudung di kepala itu! Apa pula keperluanmu berkeliaran
pada malam-malam begini?" Tanya Panji dengan suara berat dan dingin.
Kedua orang itu saling memandang dengan sikap penuh waspada. Keduanya membisu
beberapa saat *** 4 Tanpa mengucapkan sepatah kata pun si orang berkerudung mulai mengulurkan
tangannya ke depan. Serangkum angin keras berkesiutan ke arah Panji. Rupanya
Penjagal Alam Akherat itu bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali pukul!
Panji terkejut merasa sambaran yang begitu kuat ditimbulkan oleh pukulan orang
berkerudung itu. la pun bangkit melawan dengan tenaga sakti yang masih liar itu
dalam dirinya yang mulai bergolak menyerang-nya itu.
Blubbb! "Aaa...!"
Terdengar suara letupan kecil ketika dua gelom-bang tenaga sakti itu bertemu di
tengah-tengah. Si orang berkerudung berseru terpatah-patah. la terjajar mundur
sejauh empat langkah. Sejenak seolah ia tak percaya dengan apa yang dirasakannya
saat itu. Se-dangkan tubuh Panji kembali dibalut kabut bersinar putih keperakan.
Hawa malam berhembus semakin dingin, sehingga membuat orang berkerudung itu
menggigil sesaat Namun, dinginnya udara malam sudah tidak mengganggunya lagi.
Sebenarnya tenaga sakti yang dimiliki a orang berkerudung sangat hebat! Kalau
saja Pendekar Naga Putih alias Panji belum dirasuki tenaga sakti yang masih liar
itu, pastilah ia tidak akan sanggup menangkal dorongan telapak tangan si orang
berkerudung yang dijuluki Penjagal Alam Akherat itu.
"Hm!"
Panji mendengus gusar. Tenaga liar yang berge-jolak di dalam tubuhnya semakin
kuat melonjak-lonjak, sehingga Panji menyeringai sejenak menahan rasa nyeri yang
mengigit la cepat menjulurkan kedua tangannya melakukan dorongan untuk
melumpuhkan si orang berkerudung itu.
Wusss! "Aaahhh...!"
Si orang berkerudung menghindar ke samping ketika mendapat serangan dari Panji.
Dan secepat kilat ia melancarkan serangan balasan ke leher Panji. Desis angin
pukulan yang mencicit tajam menandakan kalau tenaga sakti yang dimiliki orang
itu memang sangat kuat dan mematikan!
Mendapat serangan balasan yang berbahaya, Panji segera mengegoskan kepalanya dan
langsung melon-tarkan tamparan telapak tangannya ke kepala orang berkerudung
itu. Wuttt! Brakkk! Sebatang pohon sebesar tubuh orang dewasa, ber-derak patah ketika tamparan Panji
berhasil dielakkan lawannya lalu menghantam pohon itu keras. Si orang
berkerudung sudah melompat mundur dan mempersi-apkan serangan berikutnya.
"Kreeeaaa...!"
Sambil meraung bagaikan binatang buas yang murka, tubuh orang berkerudung itu
melesat melakukan serangan maut ke arah Panji. Sambaran-samba-ran angin
pukulannya berkesiutan hingga menimbul-kan hembusan angin kencang. Panji
meloncat rneng-hindari serangan yang mengancam jalan darah di tubuhnya. Sesekali
terlihat dibalasnya pukulan-puku-lan maut itu. Pertarungan dua orang sakti itu
mem-buat daerah sekitar hutan kecil itu menjadi porak-poranda bagaikan diamuk
angin topan yang hebat!
"Heaaat..!"
Tiba-tiba Panji memekik nyaring hingga di sekitar tempat itu bagai dilanda
gempa. Tubuhnya melesat dengan kecepatan yang luar biasa ke arah orang
berkerudung itu. Kedua
tangannya terayun silih berganti melontarkan pukulan-pukulan.
Si orang berkerudung sama sekali tidak menyangka kalau di dalam hutan kecil itu
ia menemui lawan yang sangat tangguh dan tegar! la sempat dibuat kalang-kabut,
melihat sera-ngan yang tak mungkin dapat dihindarinya itu, Pen-jagal Alam
Akherat mengangkat kedua tangannya menangkis serangan Panji. Dan....
Dukkk! Dukkk! "Aaakh...!"
Suara benturan yang ditimbulkan beradunya dua pasang lengan itu telah membuat
tanah di sekitar tempat itu bergetar.
Sehingga menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga.
Si orang berkerudung menjerit. Tubuhnya terlem-par deras bagaikan sehelai daun
kering yang diter-bangkan angin. Darah segar menyembur dari mulut-nya. Dan
terbanting di tanah berumput sambil meng-gigil bagaikan orang terserang demam
hebat! Gigi-giginya bergemelutuk tanpa dapat di cegah. Panji berdiri tegak
memandangi tubuh orang berkerudung yang masih berusaha membebaskan dirinya dari
serangan hawa dingin yang hampir tak tertahankan oleh nya itu.
"Hm...," gumam Panji, seraya diangkat tangannya pelahan-lahan ke atas. Rupanya
pemuda itu berniat menghabisi nyawa si orang berkerudung itu yang hanya
memandang pasrah.
"Tahan...!"
Tiba-tiba Panji dikagetkan bentakan keras, yang membuat Panji menahan
gerakannya. Belum lagi ge-ma suara itu lenyap, tahu-tahu beberapa sosok tubuh
berlompatan ke tempat itu.
Mereka adalah Pendekar Tapak Maut dan kawan-kawannya yang tengah me-ngejar si
orang berkerudung itu. Jarga Lawa
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Tapak Maut terpaku sejenak ketika melihat
raut wajah Panji yang dingin dan kaku itu. Tanpa sadar ia mundur selangkah de-
ngan wajah agak pucat.
"Ki.... Kisanak, siapakah kau...?" Tanya Pendekar Tapak Maut ragu. Dikiranya
Panji adalah kelompok Penjagal Alam Akherat. Karena melihat cara berpa-kaian
pemuda itu memang mirip dengan si orang berkerudung. Hanya saja saat itu
kerudung Panji tergan-tung di belakang lehernya.
"Namaku Panji. Dan orang-orang menjuluki aku sebagai Pendekar Naga Putih,"
selama berkecimpung dalam dunia ramai, baru kali inilah Panji menyebut-kan
sendiri gelarnya Hal itu dilakukan guna meng-hindarkan kesalahpahaman di antara
mereka. "Pendekar Naga Putih...!" Gumam Jarga Lawa dan tujuh orang kawan-kawannya
terkejut. "Aku sedang bermalam di hutan kecil ini ketika orang aneh itu kulihat berlari
seperti menghindari sesuatu Aku terpaksa menghentikannya karena aku
mencurigainya," lanjut Panji menerangkan duduk per-soalannya.
"Hm...," gumam Jarga Lawa. la belum yakin apa yang dikatakan Panji. Namun, ia
juga tidak mau te-rang-terangan menuduh Panji musuhnya. Sebab, ia sadar orang
yang diajak bicara bukan orang sem-barangan.
"Aku tahu, para sahabat pasti mencurigaiku karena pakaianku mirip dengan orang
ini. Tapi percaya-lah. aku berkata apa adanya," ujar Panji lagi me-yakinkan
mereka. "Hhh... maafkan kami, Kisanak. Kami harus ber-hati-hati dalam menghadapi setiap
orang asing yang kami temui. Apalagi pakaian Kisanak sangat mirip dengan orang-
orang berkerudung
yang belakangan ini seringkali melakukan pembunuhan yang kekejaman-nya melebihi
iblis," tukas Jarga Lawa merasa tak enak mendengar ucapan Panji.
"Eh, jadi orang berkerudung itu tidak cuma satu?" Tanya Panji heran.
"Itu baru dugaan kami saja, Kisanak. Pernah ter-jadi beberapa pembunuhan. Dalam
waktu bersamaan. Menurut orang-orang yang melihatnya, pembunuh-nya adalah orang-
orang yang mengenakan kerudung seperti itu," ujar Jarga Lawa dengan nada sedih.
"Nantilah aku ceritakan seluruhnya, Pendekar Naga Putih. Sekarang sebaiknya
orang itu kita bawa ke perguruan guna mendapat kepastian, untuk kita usut,"
lanjut laki-laki pendek kekar itu sambil memerintah-kan para pengawalnya untuk
mengangkat si orang bertopeng yang kini dalam keadaan pingsan. Belum lagi dua
pengawal Jarga Lawa akan mengangkat tubuh si orang berkerudung, tiba-tiba dua
sosok bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh orang berkerudung yang tergolek
pingsan itu. Sambil me-nyambar tubuh orang pingsan itu, tangan mereka mengibas
ke kiri dan kanan.
Wuttt! Wuttt! "Aaahhh...!"
Hebat sekali serangan yang ditimbulkan oleh kibasan tangan sosok bayangan hitam
itu. Jarga Lawa dan kawan-kawannya terpental didorong oleh kekuatan dahsyat yang
tak tampak Tubuh kedelapan orang itu bergulingan guna mematahkan kibasan
serangan gelap yang dilakukan oleh orang berkerudung itu yang amat kuat.
Kedua sosok bayangan yang juga berkerudung itu, terus melesat tanpa mempedulikan
Jarga Lawa dan para pengawal.
Kedua sosok bayangan itu berlari sambil membawa tubuh temannya yang sekarat itu.
"Hei, berhenti...!"
Panji berteriak sambil memburu kedua sosok ba-yangan itu.
Tubuh Panji melayang. Sehingga dalam beberapa kali lompatan, tubuh pemuda itu
mendarat didepan dua orang berkerudung yang menjadi terke-jut setengah mati,
tidak disangka kalau mereka akan terkejar.
"Hm... mau lari ke mana kalian?" Seru Panji ber-usaha mencegah buronan itu
kabur. Kedua buronan salmg berpandangan satu sama lain, dan keduanya mengangguk
berbarengan. Mereka berbalik ke arah Panji serempak seraya berseru Ian-tang.
"Hiaaat!"
Wusss! Angin keras menderu tajam ketika dua orang berkerudung itu mendorong telapak
tangan mereka ma-sing-maang, Pemuda itu pun mengangkat kedua tangannya yang
langsung didorong menyambut dorongan dua orang berkerudung itu. Sehingga....
Blarrr! "Aaa...!"
Terdengar suara ledakan dahsyat yang bagaikan hendak meruntuhkan gunung.
Beberapa batang pohon yang tumbuh dekat mereka roboh seketika dan
memperdengarkan suara ribut! Benar-benar hebat se-kali pertemuan dua gelombang
tenaga sakti yang maha dahsyat itu!
Jarga Lawa dan kawan-kawannya yang telah sampai itu dapat menyaksikan dari
kejauhan terdorong mundur dengan wajah pucat pasi. Dada mereka bagaikan digedor
oleh sesuatu kekuatan raksasa yang tak tampak! Cepat mereka menjatuhkan diri dan ber-semadi
guna menenangkan debaran dalam dada mereka.
Sedangkan tubuh kedua orang berkerudung itu terhempas ke belakang beserta sosok
tubuh yang di-bawanya terpental dengan kerasnya sehingga darah segar menyembur
dari mulut kedua orang berkerudung itu. Untunglah kedua orang berkerudung itu
dalam melakukan penyerangan dibarengi penyatuan tenaga dalam saktinya. Kalau
tidak, pastilah tulang-tulang tubuh kedua sosok berkerudung itu akan remuk,
akibat dahsyatnya tenaga sakti liar yang mengeram dalam tubuh Panji. Secepatnya
dua orang berkerudung berbalik menghampiri tubuh kawannya yang tergeletak
pingsan itu langsung membopongnya serta melakukan beberapa kali salto di udara
dan terus menghilang dalam kegelapan malam yang mulai beranjak dini hari.
Panji sendiri, tidak menderita cidera. Pemuda itu hanya tergempur kuda-kudanya.
Sehingga tubuhnya hanya terdorong mundur sejauh delapan tindak. Wajahnya yang
tetap dingin dan kaku tanpa emosi se-dikit pun membuat ia tidak sempat mengejar
lawan-nya karena keburu menghilang.
Didepan Panji terlihat Jarga Lawa bersama kawan-kawannya.
Panji melangkah pelahan menghampiri de-lapan laki-laki gagah yang tengah
melakukan semadi. Ditatapinya wajah orang-orang itu satu persatu seolah ia ingin
menegaskan kalau-kalau ada di antara me-reka yang telah dikenalnya. Pemuda sakti
itu menghela napas berat ketika melihat tidak satu pun di antara kedelapan orang
pendekar itu yang dikenalnya. Akibat dari tenaga sakti liar itu membuat dirinya
menjadi linglung.
Pemuda tampan itu pun melangkah menjauh dan
menyenderkan tubuhnya pada sebatang pohon. Dila-yangkan pandangannya ke arah
orang-orang berkerudung yang
melarikan diri. Ia terpaksa harus me-nunggu tokoh-tokoh itu menyelesaikan
semadinya. Karena ia ingjn memperoleh keterangan secara lebih jelas mengenai
orang-orang berkerudung yang ber-juluk Penjagal Alam Akherat itu.
Panji menoleh ketika mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arahnya. Tampak
seorang laki-laki pendek gemuk dan kekar tengah menghampiri-nya. Laki-laki itu
tak lain adalah Jarga Lawa. Setelah menyelesaikan semadinya dan melihat Pendekar
Naga Putih masih berada di tempat itu, maka ia pun bergegas mendekatinya.
"Kau tidak apa-apa, Pendekar Naga Putih?" Tegur Jarga Lawa agak sedikit
khawatir. 'Terima kasih, Paman. Aku tidak apa-apa. Kuha-rap Paman sudi memanggilku dengan
nama Panji saja," sahut Panji tersenyum. Pemuda itu tidak sadar kalau senyumnya
itu lebih mirip seringai daripada se-nyum yang dimaksudnya.
"Hm...," gumam Jarga Lawa. "Aneh, mengapa pen-dekar muda yang sangat sakti ini
seperti orang sedang menderita sakit" Wajah tampan itu begitu pucat dingin dan
kaku. Hm... Pasti ada sesuatu yang di-sembunyikan. Dan tampaknya ia tidak ingin melibat-kan
orang lain dalam persoalannya itu," kata Pende-kar Tapak Maut dalam hati. Ia
juga tidak mau mengu-tarakan kepada Panji karena ia tidak ingin melibatkan
dirinya dalam persoalan pendekar ini yang sepertinya tidak ingin diketahui orang
lain. "Marilah singgah di tempatku, Nak Panji. Bukan-kah aku sudah berjanji akan
menceritakan persoalan yang masih gelap ini kepadamu," ajak Pendekar Ta-ngan
Maut ramah kepada Panji.
"Baiklah, Paman!" sahut Panji singkat mengikuti pendekar itu yang juga telah
mengajak kawan-kawannya.
Lalu mereka pergi meninggalkan hutan. Sinar bulan keperakan menerangi rombongan
pendekar. Dari kejauhan lapat-lapat terdengar kokok ayam hutan bersahut-sahutan
menyambut pagi.
Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** "Sabarlah, Cucuku. Jangan kau turuti kata hati-mu," ujar si kakek menghibur
kepada seorang gadis jelita berpakaian serba hijau.
Gadis jelita itu tidak Iain adalah Kenanga. la me-nunduk sedih dihadapan kakek
yang tidak lain adalah Eyang Wiku Ginting. Kakek sakti itu membelai rambut
kepala gadis yang sudah dianggapnya sebagai cucu-nya sendiri.
'Tapi, Eyang, saya harus menyusul Kakang Panji. Saya khawatir akan
keselamatannya," kata Kenanga yang telah mengetahui kepergian kekasihnya tanpa
pamit. Kini ia bersikeras hendak menyusul.
"Cucuku. Eyang tidak akan melarangmu untuk menyusul kekasihmu itu. Tapi,
tenangkanlah dulu hatimu. Setelah itu, baru Eyang akan mengijinkanmu untuk
menyusulnya," ucap Eyang Wiku Ginting de-ngan lembut. Walaupun ia baru pertama
kali bertemu dengan murid keponakannya itu, ia amat menyayangi-nya.
"Menurut Eyang, apakah yang telah menyebab-kan Kakang Panji nekad minggat"
Apakah ia marah padaku, Eyang?" Tanya Kenanga lirih dengan nada se-dih.
'Tidak. Eyang rasa ia pergi bukan karena marah kepadamu, Cucuku. Tapi
kemungkinan ia mendengar pembicaraan kita.
Dan ketika Eyang mengatakan bahwa penyakitnya itu tak bisa disembuhkan, mungkin
ia menjadi putus asa. Lalu ia mengambil keputusan un-tuk meninngalkanmu karena
ia tidak ingin kau ikut menderita karena memikirkan penyakitnya itu.
Hhh... Sayang ia tidak mendengar pembicaraan kita seluruhnya Kalau saja ia
mendengarnya, pastilah ia tidak melakukan hal yang bodoh seperti itu," kata
Eyang Wiku Ginting menghela napas berat. la pun kecewa atas kepergian pendekar
muda yang diam-diam amat dikaguminya itu.
"Ya! Oleh karena itulah saya harus menyusulnya, Eyang. Dan saya akan
menyampaikan perkataan Eyang yang belum sempat didengarnya itu. Ahhh..., Kakang
Panji, mengapa kita harus berpisah lagi?" keluh gadis jelita itu. Sepasang mata
yang indah me-nerawang ke cakrawala biru.
"Pergilah, Cucuku. Semoga engkau dapat bertemu kembali dengan pemuda idamanmu
itu. Ahhh... be-tapa bodohnya dia.
Apakah ia tidak melihat kecanti-kan Cucuku ini. Atau ia memang seorang pemuda
yang bodoh," ucap Eyang Wiku Ginting mencoba menghilangkan rasa sedih di antara
mereka. "Ahhh, Eyang...," desah Kenanga tertunduk dengan wajah kemerahan. "Sudahlah!
Saya mohon pa-mit, Eyang," seru gadis itu sambil membungkuk mem-beri hormat
kepada si kakek yang menjadi paman gu-runya itu.
"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam lirih. Senyum menghias di wajah
tuanya. Padahal ia sendiri merasa berat melepaskan murid keponakan-nya itu
pergi, yang baru beberapa hari dikenalnya.
Belum jauh Kenanga melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara tawa
berkepanjangan. Kenanga cepat memejamkan matanya guna melawan kekuatan dahsyat
yang menyerangnya. Karena suara tawa itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat.
"Ha ha ha...."
Suara tawa itu terus bergema memenuhi seluruh pelosok puncak gunung tempat
kediaman Eyang Wiku Ginting. Kenanga yang semula akan menuruni lereng gunung,
terpaksa menunda kepergiannya. Gadis itu kembali berlari ke arah pondok gurunya,
menurut firasatnya bahwa suara tawa itu menyebarkan hawa maut yang tersembunyi.
"Eyang...!" Kenanga berlari menghampiri si kakek yang tengah berdiri didepan
pintu pondok. Wajah Eyang Wiku Ginting yang biasanya selalu tenang itu. Kini
tampak tegang dan gelisah. Hingga membuat Kenanga terheran-heran.
"Aihhh, Cucuku, apa yang telah terjadi?" Tegur Eyang Wiku Ginting cemas.
"Aku terpaksa kembali, Eyang. Di tengah jalan aku mendengar orang cekakakan.
Siapakah gerangan orang yang mengeluarkan suara tawa yang demikian menyeramkan
itu, Eyang?" Tanya Kenanga tanpa mempedulikan pandangan kakek tua itu.
"Entahlah, Cucuku" Tapi yang jelas orang itu pas-tilah berilmu tinggi, karena
suara tawa itu dikeluar-kan dari tempat yang cukup jauh," sahut si kakek kecut.
Sebagai pendekar yang sangat berpengalaman, Eyang Wiku Ginting sudah dapat
menduga bahwa orang yang tertawa aneh itu dapat mengancam ke-selamatan dirinya
dan Kenanga. "Lebih baik kau cepat tinggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang dan
melihatmu, Cucuku. Cepatlah! Sebelum terlambat!" pinta Eyang Wiku Ginting tegas.
Terlambat! Dari kejauhan dua orang berpakaian hitam dan berkerudung muncul,
terlihat gelagat mereka datang dengan maksud jahat.
"Cepat pergilah Cucuku. Biar Eyang yang akan menghadapi mereka. Tampaknya mereka
tidak bermaksud baik," bisik Eyang Wiku Ginting lagi. Tapi Kenanga tetap tidak
berajak dari tempatnya berdiri. Ia enggan meninggalkan kakek seorang diri.
*** 47 'Tidak, Eyang. Biarlah aku tetap di sini bersama Eyang. Aku ingin tahu apa
maksud mereka kemari," tegas Kenanga.
Eyang Wiku Ginting terdiam mendengar bantahan gadis itu.
Ia dengan was-was memperhatikan kedua orang berkerudung itu datang mendekat.
"Siapakah kalian! Ada keperluan apa denganku?" Tanya si kakek ramah. Namun
sepasang matanya ta-jam penuh selidik memandang kedua orang tamu yang tak
diundang itu. "Hm... benarkah aku berhadapan dengan Eyang Wiku Ginting?" Salah seorang
berkerudung balik ber-tanya yang seharusnya ia jawab teguran si kakek itu. Ia
sebenarnya tidak pantas mengeluarkan kata-kata kasar kepada seorang kakek
seperti Eyang Wiku Ginting.
"Kurang ajar!" maki Kenanga marah. Gadis itu sangat tersinggung melihat kakeknya
diperlakukan demikian. Kedua
tamu ini tidak tahu sopan santun menyapa kakeknya. Gadis itu cepat naik pitam,
di-cabut pedang hitamnya dan bersiap menerjang orang-orang berkerudung itu.
Eyang Wiku Ginting cepat menahan Kenanga yang siap dengan pedangnya. Hingga
gadis jelita itu ter-paksa menahan langkahnya. Si kakek memberi isya-rat dengan
mengedipkan sebelah matanya agar kenanga menahan diri.
"Kau tenanglah, Cucuku. Biar Eyang saja yang membereskan mereka," bisik Eyang
Wiku Ginting pelan.
"Benar! Akulah yang bernama Eyang Wiku Ginting. Ada keperluan apakah sahabat
berdua menca-riku?" Tanya si kakek tersenyum ramah.
"Kami adalah Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Maksud kedatangan kami adalah untuk
mengambil nyawamu! Nah, bersiaplah!" ucap orang berkerudung yang satunya lagi.
"Hm..., Penjagal Alam Akherat..?" gumam si kakek sambil mengerutkan kening. la
mengingat-ingat s-suatu yang berhubungan dengan dua orang tamu berkerudung itu.
"Aku pernah mendengar nama dan sepak terjang kalian di daerah Selatan baru-baru
ini Tidak kusangka hari ini kalian sampai di daerah Barat ini. Dan karena aku
tinggal di perbatasan antara Selatan dan Barat maka sasaran pertama kalian
adalah aku. Boleh aku tahu, apa maksud kalian menebarkan bencana di kalangan dunia
persilatan" Apakah, kalian mencari seseorang untuk membalas dendam, atau ingin
menguasai dunia persilatan?"
Kedua tamu berkerudung itu diam membisu. Sorot mata mereka menatap tajam
menyiratkan hawa maut yang menggetarkan hah siapa saja yang beradu pandang
dengan mereka. Pelahan-lahan tangan me-reka terangkat ke atas.
Angin dingin menebar meng-gigit kulit.
"Hm!"
Disertai sebuah dengus kasar, tubuh salah seorang dari kedua orang berkerudung
itu dengan geram menerjang Eyang Wiku Ginting dan Kenanga. Serangkum angin tajam
berhembus keras mengiringi sambaran sepasang tangannya yang bertenaga kuat itu.
"Menyingkirlah, Cucuku!" Seru Eyang Wiku Ginting mendorong Kenanga hingga
terdorong beberapa langkah ke sampingnya.
Wuttt! "Hm..."
Eyang Wiku Ginting memiringkan badannya ke kanan sehingga bacokan telapak tangan
lawan lewat di sampingnya.
Kemudian si kakek melompat ke belakang menghindari tusukan tangan lawan yang
menyusul serangan pertamanya yang gagal.
Sambaran jari-jari tangan yang menimbulkan suara mencicit tajam itu berhasil
pula dihindari kakek itu.
Orang berkerudung yang mengaku Penjagal Alam Akherat itu melompat mengejar tubuh
lawannya. Kedua tangannya kembali menyambar berkesiutan me-ngancam keselamatan
kakek itu yang menjadi cukup kerepotan dibuatnya.
Beberapa kali serangan si orang berkerudung itu berhasil dihindari Eyang Wiku
Ginting dengan me-lukkan tubuh maupun geseran kaki. Akhirnya kakek itu terpaksa
mengangkat tangan kanannya menangkis serangan lawannya yang kali ini tak mungkin
dapat dihindari. Selain itu pun ingin menjajaki sampai di mana kira-kira
kekuatan tenaga dalam lawannya yang mengaku mempunyai julukan mendirikan bulu
roma itu. "Hm...!"
Dukkk! "Aaahhh...!"
Eyang Wiku Ginting sangat terkejut ketika mera-sakan tangannya bagaikan
berbenturan dengan se-bongkah salju yang keras bagaikan baja. Tubuh kakek tua
itu terjajar mundur sejauh empat tombak. Wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri
yang mengigit pada pergelangan tangannya.
"Gila! Tenaga dalam orang berkerudung ini luar biasa!
Untunglah aku sebelumnya telah menggunakan lebih dari separuh tenagaku sewaktu
menangkis se-rangannya. Kalau tidak, bisa-bisa remuk tulang-tu-lang lenganku
dibuatnya,"
desah Eyang Wiku Ginting terkejut.
Si orang berkerudung pun tidak kalah terkejutnya dengan tenaga dalam kakek itu.
Tubuhnya tergetar mundur sejauh enam tombak ke belakang. Wajah di balik kerudung
itu terlihat meringis menahan rasa sakit.
"Eyang...!" Teriak Kenanga sambil berlari membu-ru ke arah Eyang Wiku Ginting la
cemas menyaksikan Eyang Wiku Ginting mengerang kesakitan.
"Tenanglah, Cucuku. Eyang Hdak apa-apa. Seba-iknya engkau cepat-cepat
meninggalkan tempat ini. Engkau sudah lihat betapa dahsyatnya tenaga yang
dimiliki orang yang satunya Itu, hingga membuat Eyang kewalahan seperti ini.
Entah apa jadinya bila mereka berdua mengeroyok Eyang.
Rasanya Eyang tidak akan mampu menghadapi gempuran kedua orang berkerudung itu,"
Eyang Wiku Ginting kembali mengingatkan gadis itu, akan bahaya yang mengan-cam.
'Tidak, Eyang Aku akan tetap di sini menemani Eyang!"
bantah gadis jelita itu. Pedang hitam yang masih berada di dalam genggamannya
itu, sudah me-lintang didepan dada.
Rupanya tekad gadis itu sudah benar-benar tak dapat dibantah lagi.
"Dengarlah, Cucuku. Kematian bukanlah meru-pakan sesuatu yang mengerikan bagiku.
Lagi pula usiaku yang memang sudah demikian lanjut. Sedang-kan engkau, masih
sangat muda sekali, Cucuku. Bagaimana dengan Pendekar Naga Putih"
Bukankah engkau hendak mencarinya" Lalu, bagaimana mungkin kamu dapat
menemukannya kalau kamu tidak segera pergi untuk mencarinya" Mungkin saat ini
ke-kasihmu dalam keadaan sekarat, entah di mana dan tidak ada seorang pun yang
berada di sisinya yang dapat meringankan penderitaannya," kata Eyang Wiku
Ginting, merasa kewalahan menghadapi kekerasan hati gadis itu, terpaksa
menggunakan akalnya untuk membujuk Kenanga.
Mendengar ucapan Eyang Wiku Ginting yang me-ngingatkan niatnya semula untuk
Pendekar Remaja 12 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 2
Serial Pendekar Naga Putih
PENJAGAL ALAM AKHERAT
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Rusli
Gambar sampul oleh Pro's
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Siang itu matahari bersinar terik. Sesosok tubuh ramping berpakaian serba hijau
bergerak menaiki le-reng gunung.
Rambutnya yang panjang hingga ke ba-hu tampak bergoyang lembut mengiringi ayunan
lang-kahnya. Sosok tubuh ramping itu tidak lain adalah gadis bernama Kenanga. Ia bergerak
lincah melintasi lereng gunung yang banyak terdapat batu-batu menonjol. Gadis
jelita itu sama sekali tidak menemui kesukaran walaupun di atas bahunya terlihat
sesosok tubuh berpakaian serba putih yang tergantung lemah.
Wajah cantik bagai bidadari itu tampak pucat dan lelah.
Kecemasan atas keadaan Panji yang berada dalam pondongannya, telah membuat gadis
jelita itu tak menghiraukan lagi akan dirinya.
Pendekar Naga Putih atau Panji belum lagi siuman dari pingsannya. Padahal sudah
hampir dua hari Kenanga melakukan perjalanan. Namun, pemuda itu belum juga
sadar. Semenjak mereka meninggalkan Lembah Biru (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam
episode: "Raja Iblis dari Utara").
Rasa cemas itu membuat Kenanga menempuh perjalanan Jauh dan melelahkan tanpa
mengeluh sedikit pun. Gadis itu hampir tidak pemah berhenti dalam menempuh
perjalanan menuju tempat kedia-man Eyang Wiku Girting. Keadaan gadis itu tak
ubah-nya seorang gembel.
Setelah menempuh perjalanan berkelok-kelok dan berbatu terjal itu, Kenanga tiba
didepan sebuah pon-dok sederhana di sekitar puncak gunung itu.
"Eyang...!" panggil Kenanga lirih dan bergetar. Belum lagi ia dapat menjangkau
pintu pondok itu, ia pun terguling roboh.
Kenanga si bidadari jelita itu jatuh pingsan sebelum bertemu dengan si penghuni
pondok. Bunyi suara berdebuk agak keras itu membuat seorang kakek renta membuka pintu
pondoknya. Alis kakek tua bertubuh kurus itu berkerut ketika melihat dua sosok
tubuh tergeletak di depan pintu pondok-nya. Si kakek bergegas menghampiri dan
memeriksa kedua anak muda itu.
"Kasihan. Seorang gadis yang keras hati dan ta-bah!" Ucap kakek itu menggeleng-
gelengkan kepala-nya penuh kagum, ketika ia memeriksa tubuh Kenanga. "Entah
siapa pula pemuda itu, sampai-sampai gadis itu rela mengenyampingkan
kesehatannya sen-diri!" Sesaat setelah memeriksa keadaan Kenanga, lalu ia
mengangkat tubuh gadis itu ke pondoknya.
Diba-ringkan tubuh gadis itu di atas balai-balai yang ter-buat dari bambu dan
hanya beralaskan selembar tikar tua.
Begitu selesai merebahkan Kenanga, si kakek kembali keluar untuk mengambil tubuh
Panji. Si kakek membungkuk memeriksa tubuh Panji yang ter-geletak pingsan.
"Eh!"
Bagai disengat kalajengking, si kakek terlonjak ke belakang.
la menyeringai menahan rasa sakit pada jari tangannya. "Aneh, apa gerangan yang
ada dalam tubuh pemuda tampan ini"
Totokan jari-jari tanganku seolah-olah amblas ke dasar samudra yang amat dalam.
Tenagaku membalik bagai dilemparkan sebuah kekuatan yang hanya ada dalam
dongeng. Luar biasa! Aku tidak bisa menggunakan tenaga saktiku untuk memeriksa tubuhnya!"
Si kakek menggeleng-geleng-kan kepalanya tak habis mengerti. Pelahan-lahan si
kakek mengangkat tubuh pemuda tampan. Karena sedikit saja ia menggunakan tenaga
saktinya, maka celakalah ia!
Si kakek membaringkan tubuh Panji di atas balai-balai lainnya yang terletak
lebih ke dalam. Hati-hati sekali si kakek membaringkan tubuh pemuda itu. Da-
hinya sedikit berkeringat karena ketegangan yang menyelimuti hatinya. Hal itu
wajar. Kakek itu tidak lain adalah Eyang Wiku Ginting yang dicari-cari Ke-nanga.
Sebagai seorang tokoh sakti yang berpengala-man, ia pun tahu bahwa sedikit saja
ia melakukan kesalahan, maka bukan tidak mungkin nyawanya sendiri yang akan
melayang. "Heran, bagaimana mereka dapat sampai di tempat ini"
Kalau menurut pengamatanku, pemuda itu sudah tak sadarkan diri selama satu hari
lebih. Apa-kah gadis itu yang telah membawanya" Lalu bagai-mana cara gadis itu
membawanya"
Dan mengapa tidak terpengaruh oleh tenaga aneh yang bergolak liar di dalam tubuh
pemuda ini" Ahhh, membingungkan!" Desah si kakek yang segera mengusir pikiran-
pikiran yang membuat kepalanya pusing.
Tanpa mempedulikan pikirannya yang memusing-kan itu, si kakek bergegas memasak
air untuk kedua tamunya, terutama Kenanga. Ia tahu bahwa gadis itu baru saja
jatuh pingsan ketika tiba di pintu pondok-nya. Kemungkinan besar gadis jelita
itu pasti menge-tahui apa yang telah terjadi dengan pemuda itu.
Beberapa saat kemudian si kakek membawa air masak yang telah dicampur air dingin
sebelumnya, sehingga menjadi hangat. Dengan sehelai kain bersih, si kakek
mengusap wajah Kenanga yang kotor dan terlihat letih. Setelah membersihkan
wajahnya, si kakek mengurut pelahan bagian belakang lehernya. Wajah keriput itu
tersenyum ketika melihat Kenanga mulai siuman.
"Ohhh...," terdengar keluhan lirih keluar dari bibir yang indah itu. Eyang Wiku
Ginting menghentikan pi-jatnya, kemudian ia bangkit dan berjalan ke belakang.
Tidak lama sepeninggal Eyang Wiku Ginting, pe-lahan-lahan Kenanga membuka
matanya. Sejenak se-pasang mata bintang itu mengerjap-ngerjap mem-biasakan
penglihatannya. Ketika gadis jelita itu men-coba bangkit, sekujur tubuhnya
terasa nyeri dan sa-kit. la baru merasakan sekujur tubuhnya terasa sakit setelah
di atas pembaringan.
"Jangan banyak bergerak dulu, Cucuku. Beristira-hatlah dan tenangkan hatirnu,
agar kesehatanmu cepat pulih," kata Eyang Wiku Ginting yang telah ber-diri di
sisi pembaringan Kenanga.
Di tangan kanan si kakek tampak sebuah gelas terbuat dari batang bambu. Bau
harum ramuan tercium dari asap yang mengepul dari mulut gelas bambu.
"Kakek, engkaukah yang bernama Eyang Wiku Ginting?"
Tanya Kenanga dengan suaranya yang masih lemah.
"Benar, Cucuku. Aku adalah Eyang Wiku Ginting. Nah, sekarang simpan pertanyaanmu
dulu sampai kau benar-benar sehat. Minum obat ini selagi masih hangat," jawab si
kakek lembut sambil mengangkat kepalanya hati-hati. Lalu ia dekatkan gelas bambu
ke mulut gadis itu.
Dengan tangan gemetar, Kenanga mencoba me-megang gelas bambu yang disodorkan ke
mulutnya. Pelahan-lahan ia menghirup ramuan obat yang terasa pahit mencekik
tenggorokannya. Kenanga menyeringai menahan rasa pahit yang amat sangat. Si
kakek kem-bali menyerahkan gelas lain sebagai penghilang rasa pahit. Cepat
diteguknya air yang disodorkan Eyang Wiku Ginting kepadanya.
"Nah, sekarang tidurlah dulu, Cucuku." Setelah itu baru nanti engkau boleh
menceritakan semua yang telah kau alami," ucap si kakek bahagia. Kemudian si
kakek pun bergegas meninggalkannya.
Sementara itu di luar pondok, senja sudah mulai nampak redup. Cahaya kemerahan
tampak di kaki la-ngit sebelah Barat.
Sang mentari kembali ke peraduan meninggalkan cahaya teriknya.
*** "Nah, sekarang ceritakan. Siapakah engkau sebe-narnya, Cucuku" Dan apa yang
telah terjadi pada ka-wanmu itu?"
Tanya Eyang Wiku Ginting pada keeso-kan harinya. Ketika Kenanga mulai agak sehat
Kedua-nya duduk berhadapan di ruang tengah pondok se-derhana itu.
"Eyang, aku adalah Kenanga murid dari Raja Pe-dang Pemutus Urat. Dan kedatangan
aku kemari un-tuk minta
pertolongan Eyang," sahut Kenanga ber-simpuh di depan si kakek Eyang Wiku
Ginting. "Hm... di manakah sekarang gurumu itu, Cucuku" Apakah ia baik-baik saja" Lama
kami tak saling jum-pa." Eyang Wiku Ginting menghela napas berat. Raja Pedang
Pemutus Urat adalah adik seperguruan kakek itu. Oleh karena itu Kenanga
mengetahui nama dan tempat tinggal kakek itu, karena ia pernah diceritakan oleh
Raja Pedang Pemutus Urat itu.
"Eyang, Guru sudah tewas beberapa waktu yang lalu di tangan seorang pemuda licik
yang bernama Ja-ya Sukma," kata Kenanga sedih. Kemudian ia pun menceritakan pula
tentang kematian Raja Pedang Pemutus Urat.
"Hm... jadi pemuda itu adalah Pendekar Naga Putih, yang telah membunuh Jaya
Sukma yang terkenal dengan Jari Mautnya itu?" Tanya Eyang Wiku Ginting terkejut
ketika Kenanga memperkenalkan siapa se-sungguhnya pemuda yang masih dalam
keadaan pingsan itu. Si kakek memang belum mengobati pemuda itu, karena ia ingin
mencari keterangan lebih dulu dari Kenanga.
"Benar, Eyang," tegas gadis jelita itu lagi. Kenanga kembali menceritakan awal
mula yang membuat pemuda itu sampai pingsan begitu lama.
"Luar biasa! Benar-benar sebuah kejadian yang amat langka dan tidak akan ditemui
orang lain!" Seru si kakek menggeleng-geleng kepalanya penuh keka-guman. Setelah
Kenanga selesai menceritakannya. "Jadi pendekar muda itu bangkit tepat pada saat
ger-hana bulan muncul?" Tanya si kakek.
"Begitulah yang aku saksikan, Eyang," jawab Kenanga.
"Tahukah engkau, Cucuku. Tenaga apakah yang dimiliki pemuda itu?" Tanya Eyang
Wiku Ginting penuh selidik.
Meskipun ia sudah menduga apa yang telah dialami Pendekar Naga Putih, namun
menurut-nya hal itu tak akan terjadi tanpa sebab yang jelas.
"Kalau tidak salah, Kakang Panji mempunyai sebuah ilmu yang bernama 'Tenaga
Sakti Gerhana Bu-tan'," sahut Kenanga.
"Hm... aku tahu sekarang! Sebenarnya inti tenaga sakti dalam gerhana bulan itu
tidak akan merasuk ke dalam tubuhnya kecuali pemuda itu tengah menge-rahkan
tenaganya. Menurut ceritamu, pemuda itu te-ngah dalam keadaan kalap ketika gerhana itu
terjadi. Marilah kita lihat, siapa tahu aku dapat membuat siuman dari
pingsannya," ajak si kakek seraya men-dekati tubuh Panji yang masih tergolek di
atas pembaringan bambu itu.
"Tolong, kau angkat pemuda itu keluar, Cucuku. Aku akan mencoba untuk
menyadarkannya. Nanti kalau dalam keadaan sadar aku akan lebih mudah
mengobatinya," ujar Eyang Wiku Ginting sambil me-langkah keluar.
Semula Kenanga merasa bingung mendengar perintah si kakek Dalam hati kecilnya
bukankah akan lebih baik kalau kakek itu sendiri yang membawanya keluar. Tapi
kakek itu kembali menyuruhnya, maka tanpa banyak cakap lagi Kenanga segera
mengangkat tubuh pemuda itu dan membawanya keluar. Gadis itu menjadi heran
ketika melihat Eyang Wiku Ginting me-mandanginya dengan kening berkerut setelah
berada di luar pondok.
"Cucuku, apakah kau pernah mempelajari 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'?" Tanya
Eyang Wiku Ginting, dengan rasa penasarannya.
"Mmm... pernah Eyang. Kakang Panji yang meng-ajarkannya. Itu pun hanya dasar-
dasarnya saja, E-yang," sahut Kenanga heran mendengar pertanyaan Eyangnya.
"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam tak jelas.
Kemudian ia menyuruh gadis itu untuk mele-takkan tubuh Panji di atas rerumputan.
"Kau me-nyingkirlah dulu, Cucuku!" ujar si kakek kepada Kenanga.
Setelah berkata demikian, Eyang Wiku Ginting mengambil jarak kira-kira lima
tombak di depan tubuh Panji. Sesaat kemudian, Eyang Wiku Ginting sudah duduk
bersila sambil memejamkan matanya.
"Hmhhh!"
Eyang Wiku Ginting mendengus agak panjang. Tubuhnya tampak bergetar karena ia
tengah menge-rahkan tenaga saktinya. Kedua tangannya terangkat dan terulur ke
arah tubuh Panji yang tergolek. Tiba-tiba angin keras berhembus ke arah Panji.
Whuuusss! Sesaat kemudian, tubuh pemuda itu mulai bergerak pelahan, makin lama makln
berguncang keras. Dan secara tiba-tiba, tubuhnya bangkit karena inti 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'
yang mengendap di dalam tubuhnya tidak menerima hembusan tenaga yang dikerahkan
Eyang Wiku Ginting.
Sorot matanya tajam dan penuh curiga seolah di-rinya merasa terganggu akan
kehadiran si kakek. Na-mun hati nuraninya membisikkan bahwa kakek itu bukanlah
orang jahat, terjadilah perang batin di dalam hatinya. Perang antara suatu
kekuatan dahsyat membunuh si kakek dan kesadaran kebaikan.
Bebe-rapa saat lamanya Panji hanya berdiri tegak menatap Eyang Wiku Ginting.
"Kakang Panji...!" Tiba-tiba muncul suara merdu yang amat dikenalnya. Kenanga
menghampirinya.
"Adik Kenanga!" Panggil Panji tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Air
mukanya yang angker beru-bah tenang. Namun kekuatan tenaga liar dalam tubuhnya
tetap bergolak membutuhkan penyaluran. Eyang Wiku Ginting tahu hal itu. Ia cepat
komat-kamit membaca mantera ilmu 'Mengirim Suara dari Jauh'. Ucapan orang tua
itu hanya didengar oleh Kenanga tanpa sepengetahuan Panji.
Kenanga tertegun sejenak mendengar suara halus begitu dekat di telinganya. Tanpa
menolehnya ia sudah tahu siapa yang telah mengirimkan suara itu kepadanya.
Setelah jelas mengetahui apa yang dikata-kan si kakek itu, ia kembali mendekati
kekasihnya yang menatap dengan sorot mata tajam.
"Kakang, bukankah engkau merasakan suatu tenaga dahsyat bergolak di dalam
tubuhmu?" Tanya Kenanga setelah berada di hadapan Panji. Tatapan gadis itu
tampak lembut dan penuh rasa kerinduan.
"Eh, bagaimana kau tahu, Adik Kenanga?" Tanya Panji, heran mendengar gadis
pujaannya mengetahui secara pasti tentang apa yang tengah dialaminya saat itu.
"Nah, kalau begitu puaskanlah hatimu dengan ca-ra mengumbar pukulan-pukulanmu
sesuka hati. Tapi jangan sampai melukai seorang pun!" kata Kenanga tegas sambil
memperhatikan kekasihnya.
Panji bukanlah orang bodoh. Tapi karena baru si-uman dari pingsan, ia agak
linglung. Ketika ia mendengar ucapan kekasihnya, Panji teringat apa yang harus
dilakukannya untuk menjinakkan tenaga liar yang tengah bergolak dalam tubuhnya.
Tanpa me-ngucap sepatah kata, pemuda itu segera berbalik dan melepaskan
pandangannya ke sekitar tempat itu.
Kenanga bergegas menyingkir. Ia melihat Panji melangkah ke arah rerimbunan
pepohonan besar yang tumbuh di sekitar
tempat itu. Saat itu juga sekali ayun tangan Panji dengan tenaga dalamnya
menghantam pepohonan.
Wuuusss! Blarrr! Kraaakkkhhh! Empat pohon besar sekali pukul, berderak dan hancur menjadi beberapa bagian.
Luar biasa! Debu pun mengepul tinggi disusul hembusan angin. Ke-nanga dan Eyang
Wiku Ginting menggigil kedinginan. Tubuh mereka terasa beku sampal ke tulang
sum-sum. Itulah pengaruh tenaga dalam Panji yang telah ia keluarkan. Mereka
harus mundur beberapa lang-kah lagi untuk menghindari pengaruh angin gaib itu.
Sebenarnya bagi Eyang Wiku Ginting sendiri kejadian itu tidaklah terlalu
membahayakan. Tingkat ilmu tenaga dalam yang dimilikinya masih di atas ilmu
tenaga dalam Panji. Tapi bagi Kenanga, terpaan angin dingin itu dapat membekukan
tubuhnya. Untunglah si kakek cepat bertindak melindungi Kenanga.
"Luar biasa sekali tenaga gerhana bulan yang me-rasuk ke dalam tubuhnya! Tapi
sayang tenaga sakti yang dahsyat itu masih sangat liar dan dapat membahayakan
orang lain. Kalau saja pemuda itu dapat menjinakkannya rasanya tidak ada seorang
tokoh pun yang mampu menghadapinya," tukas Eyang Wiku Ginting dengan wajah
sedih. "Apakah Eyang tidak sanggup untuk menyembuh-kannya?"
Tanya Kenanga terkejut mendengar desah li-rih kakek sakti itu.
"Entahlah, Cucuku. Tapi Eyang akan berusaha se-kuat tenaga untuk
menyembuhkannya. Hanya satu pesan Eyang, janganlah hal ini kau beritahukan kepa-
danya. Biar Eyang
sendiri yang akan menyampaikan-nya nanti," kata Eyang Wiku Ginting sambil meman-
dang gadis jelita itu dalam-dalam.
"Baiklah, kalau itu yang Eyang inginkan," jawab Kenanga patuh.
Setelah berkata demikian, gadis jelita itu kembali mengalihkan pandangannya ke
arah pemuda yang di-cintainya belum juga berhenti mengumbar tenaganya itu.
Beberapa saat kemudian, Panji mulai lelah. Pukul-an-pukulan yang dilontarkannya
tak lagi sekuat dan sedahsyat semula. Ia menjatuhkan kedua lututnya di tanah
berumput, kemudian ia pun lemas tergeletak, karena aliran tenaga sakti liar yang
luar biasa itu telah terhenti. Napasnya memburu. Pakaian yang di-kenakannya
basah bermandikan keringat yang tak henti-hentinya mengalir. Eyang Wiku Ginting
cepat berlari menghampiri pemuda itu, diikuti Kenanga dari belakang. Begitu tiba
Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
di dekat Panji si kakek meme-rintahkan Kenanga mengangkat tubuh Panji, untuk
dibawa ke dalam pondoknya.
Setelah tubuh pemuda itu direbahkan di atas balai-balai, si kakek memberi
segelas air ramuan yang sudah disiapkan. Panji segera meneguk ramuan mi-numan
itu. Ramuan si kakek itu dimaksudkan untuk menghilangkan rasa lelah dan sakit
pada otot-otot aki-bat amukannya yang banyak mengeluarkan tenaga. Panji harus
banyak istirahat, tenaga yang dia umbar melebihi batas tenaga manusia biasa.
Eyang Wiku Ginting tersenyum melihat kedua mata Panji mulai terpejam. Itu
menandakan ramuan obatnya mulai bekerja. Ketika Panji telah terlena, si kakek
segera melakukan pemeriksaan secara teliti. Dan apa yang ditemukan sangat
mengagetkan! Wajah tua itu pun muram seketika.
"Ada apa, Eyang" Apakah Kakang Panji dapat disembuhkan?" Tanya Kenanga yang
berada agak jauh dari
tempat Panji berbaring itu sambil melangkah. Namun gadis itu segera menahan
langkahnya ketika melihat isyarat yang diberikan kakek itu.
Kemudian, si kakek mendekati Kenanga yang berada di ruang tengah yang terpisah
beberapa langkah dari tempat Panji berbaring.
"Maafkan Eyang, Cucuku. Setelah Eyang meme-riksanya secara lebih teliti, rasanya
apa yang diderita oleh pemuda itu tak dapat disembuhkan lagi," ujar Eyang Wiku
Ginting berat hati.
"Jadi... jadi, Eyang...," Kenanga tak mampu me-neruskan ucapannya. Sedetik
kemudian, terdengar isak tangis yang membuat si kakek menjadi terharu. Kenanga
menutupi wajah dengan kedua telapak ta-ngannya.
"Sudahlah, Cucuku. Semua ini hanya dugaan Eyang saja.
Siapa tahu Yang Maha Kuasa berkehen-dak lain sama sekali tidak kita ketahui,"
ujar Eyang Wiku Ginting menghibur.
"Berapa lama lagikah umur Kakang Panji, menu-rut Eyang?"
Tanya gadis itu dengan sinar mata minta jawaban sejujurnya.
"Hm... mungkin hanya sekitar enam bulan lagi, Cucuku. Tapi, entahlah! Kita
sebagai manusia hanya bisa menduga tanpa bisa menentukan."
"Ohhh... Kakang Panji...," gadis itu menangis sejadi-jadinya begitu ia mendengar
keterangan Eyang Wiku Ginting.
* * * 2 Pagi belum lagi datang. Kegelapan masih menye-limuti alam sekitarnya. Semenrara
kokok ayam hutan mulai terdengar bersahut-sahutan, suara jangkrik pun masih
terdengar menyemarak.
Di tengah keremangan fajar yang mulai merekah, sesosok bayangan putih berkelebat
cepat menuruni lereng gunung.
Gerakannya yang ringan dan gesit me-nandakan sosok tubuh itu memiliki ilmu
kepandaian yang sulit diukur. Terkadang sosok tubuh itu mela-yang bagai seekor
burung besar yang tengah bermain di angkasa luas. Jubahnya yang putih melambai-
lambai diterpa angin gunung.
Bayangan putih itu terus meluncur bagaikan dike-jar setan.
Sepertinya bayangan itu memang tengah menghindari sesuatu.
Sesekali ia menolehkan kepala ke belakang seolah ia merasa khawatir kalau-kalau
ada yang mengejarnya.
Di kaki langit sebelah Timur tampak cahaya keme-rahan.
Namun sosok bayangan putih itu masih terus berlari seolah-olah ia sama sekali
tidak mengenal rasa lelah sedikit pun.
Disaat matahari telah beranjak se-makin tinggi, barulah sosok bayangan putih itu
meng-hentikan latinya.
Sosok tubuh berpakaian putih itu ternyata adalah Panji atau yang lebih dikenal
sebagai Pendekar Naga Putih. Peluh mengalir deras membasahi wajah dan tubuhnya.
Pemuda tampan itu menjatuhkan dirinya di atas hamparan rerumputan hijau di tepi
kali yang berair jernih.
Pelahan-lahan diciduknya air jernih itu dengan kedua tangannya. Air itu
disapukan ke wajahnya dengan penuh
perasaan. Lama... pemuda itu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Kemudian, pelahan-lahan telapak tangan itu turun disertai helaan napas beratnya.
Sepertinya ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
"Adik Kenanga, maafkan aku. Aku terpaksa me-ninggalkanmu. Karena aku telah
mendengar tentang pembicaraanmu dengan kakek itu. Aku tidak ingin membuatmu
lebih menderita, karena memikirkan pe-nyakitku ini Maafkan aku, Adik Kenanga,"
ucap Panji lirih. Wajah pemuda sakti itu terlihat dingin dan kaku. Senyum yang
biasanya selalu menghias wajah tampan itu Wni tidak terlihat lagi.
"Hhh...," keluh Panji kembali menutup wajah dengan kedua tangannya. Jelas sekali
kalau ia merasa berat untuk meninggalkan wanita yang sangat dicin-tainya itu.
Rupanya pada saat Eyang Wiku Ginting dan Kenanga membicarakan dirinya, rupanya
Panji belum terlelap benar. Ia mendengar pembicaraan mereka. Itulah sebabnya
mengapa pemuda itu mening-galkan tempat kediaman Eyang. Wiku Ginting pada waktu
dini hari. la telah mengambil keputusan untuk tidak menyusahkan orang lain.
Setelah berpikir beberapa saat lamanya, akhirnya pemuda itu bangkit dari duduk.
Ia bermaksud untuk kembali ke Gua Bukit Harimau untuk menemani gu-runya. Ia
ingin menghabiskan sisa-sisa hidupnya itu untuk membaktikan diri kepada sang
guru. Setelah berpikir sesaat Pendekar Naga Putih me-neruskan perjalanan, dan
menyeberangi sungai. Pemuda itu gesit meloncat dari batu yang satu ke batu
lainnya yang banyak tersebar di tengah sungai. Lalu ia masuk menyusuri hutan.
Hari mulai gelap ketika pemuda itu tiba di sekitar bukit. Ia memutuskan untuk
beristirahat semalam di tempat itu. Baru
saja ia mencari ranting untuk membuat api unggun, tiba-tiba badannya menggjgil
kedi-nginan. "Aaargh...!"
Panji meraung kesakitan, sakit yang luar biasa. Tubuh pemuda itu berguling di
atas tanah berumput halus. Sesaat kekuatan yang sangat dahsyat melon-jak-lonjak
di dalam tubuhnya, sehingga tubuh pe-muda itu terbanting-banting di atas tanah.
Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit yang menyiksa, tu-buhnya tiba-tiba
terangkat bangkit. Untuk kemudian terhempas ke belakang bagai dihentakkan oleh
sesuatu kekuatan yang tak tampak.
Bukkk! Kraaakkk!
"Aaakh...!"
Panji meraung keras ketika tubuhnya menghan-tam sebatang pohon besar yang
langsung berderak patah. Karena tak sanggup menahan azab yang me-nyiksa dirinya
itu, Pendekar Naga Putih pun jatuh tak sadarkan diri. Di wajahnya masih terlihat
seringai kesakitan. Tubuh Pendekar Naga Putih tergeletak lemah di bawah batang
pohon yang tumbang akibat ben-turan tubuhnya.
*** "Uhhh...," keluh Panji. Sinar matahari pagi yang hangat membuat ia terbangun.
Pemuda itu meringis menahan sakit pada sekujur tubuhnya. Pelahan-lahan ia
memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Wajahnya terlihat pucat dan lebam
kebiruan. Rupanya hawa sakti yang merasuki tubuhnya mempengaruhi kulit-nya.
Keadaan Panji sangat menyedihkan.
Tak ubah-nya gembel gila penuh daki, dengan tertatih-tatih di-carinya sungai
terdekat. Suara gemericik air sungai di balik bukit itu membuat Panji makin mempercepat
langkahnya. la langsung menceburkan dirinya ke dalam air tanpa mem-buka
pakaiannya. Setelah merasa tubuhnya agak segar, ia pun melompat naik.
"Hhh... tampaknya kekuatan aneh yang merasuk ke dalam tubuhku ini mulai
menunjukkan akibat bu-ruknya," gumam Panji sambil menghda napas dalam-dalam.
Setelah mengganti pakaiannya, pemuda itu pun kembali meneruskan perjalanan.
Panji yang telah me-lihat kulit wajahnya berwarna agak kebiruan, ia segera
menutup kepalanya sampai ke lutut agar tidak diketahui orang lain.
Setelah agak lama berjalan, tampak di depannya perbatasan desa. Panji
mempercepat langkahnya me-masuki perbatasan desa itu. la berniat singgah se-
bentar guna mengisi perutnya, karena sejak kemarin perutnya belum diisi.
"Aneh, mengapa desa ini tampak sepi" Tak ada seorang petani pun yang tampak
bekerja di sawah. Juga tak ada satu pun warga di jalan," gumam Panji seraya
berhenti sejenak. la mulai curiga dilangkahkan kakinya pelahan-lahan sambil
memperhatikan sekeli-lingnya.
Pendekar Naga Putih mengerutkan kening ketika matanya menangkap beberapa sosok
tubuh menggele-tak di tengah jalan. Dihampirinya enam sosok tubuh itu penuh
curiga. "Darah!" gumam Panji menyaksikan genangan da-rah di antara sosok-sosok tubuh
yang menjadi mayat itu. "Kalau melihat dari mayat orang-orang ini, peristiwanya
belum begitu lama terjadi," kata Panji yang hanya bisa menduga.
Panji mengalihkan perhatiannya pada sebuah rumah sederhana yang letaknya paling
dekat dengan mulut desa itu.
Ia segera menghampiri, dan menarik pintu rumah yang telah rusak itu. Beberapa
percikan darah mengotori daun pintu.
"Gila!" Panji memaki kasar ketika melihat apa yang disaksikannya. Lima sosok
mayat yang terdiri dari wanita dan anak-anak bergelimpangan di ruang te-ngah
yang porak-poranda itu, di antaranya ada kepala yang terpisah dari anggota
badannya. Panji bergegas lari keluar. Lalu diperiksanya selu-ruh rumah lainnya di sekitar
mulut desa. Sungguh mengerikan! Apa yang ditemuinya benar-benar mem-buat darah
pemuda itu mendidih!
Seluruh penghuni rumah yang berada dekat mulut desa itu tewas tanpa tersisa satu
pun! "Biadab! Iblis dari mana yang telah mengamuk di desa ini"
Kesalahan apa yang telah dibuat oleh pen-duduk desa ini sehingga begitu tega
menghabisi mereka"!" geram Panji.
Wajah pemuda itu memerah menahan rasa marah yang bergelora dalam dadanya. Panji
marah sekali! Entah apa yang telah mengakibat-kan seluruh penduduk desa itu
dibantai habis.
Siapa pula yang telah melakukan perbuatan keji ini, pikir Panji tak habis
mengerti. Akhirnya Pendekar Naga Putih itu meninggalkan desa yang telah dilanda musibah.
la sama sekali tidak memperoleh satu petunjuk pun, karena semua warga desa ini
telah dibantai habis!
Kurang lebih setengah hari berjalan, Panji pun tiba di desa lainnya. Beberapa
orang petani yang ber-siap-siap hendak pulang, menoleh ke arah Panji. Me-reka
terheran-heran melihat cara berpakaian pemuda itu. Tapi Panji tidak peduli
diperhatikan para petani. Ia terus berjalan memasuki kedai
makanan yang tidak terlalu ramai pengunjungnya. Orang-orang yang se-dang duduk
memandangnya dengan curiga, tapi Panji tetap tenang memasuki ruangan kedai itu,
dan ia memilih tempat duduk di bangku kosong yang berada di pojok ruangan.
Pemuda itu makan dengan lahapnya, karena sangat lapar. Ia acuh tak acuh
diperhatikan orang, dan nasi pesanannya habis dinikmatinya.
"Tidak salah lagi, pasti dialah si iblis keparat itu!" Bisik seorang tamu yang
berkumis tebal kepada te-man di sampingnya.
Kawarmya yang diajak bicara menatap Panji sema-kin tajam.
Kedua alisnya bertaut, seolah ia tengah berusaha untuk mengingat-ingat tentang
seseorang yang pernah dilihatnya.
"Rasanya sulit aku memastikan dia. Lagipula pe-ristiwa pembantaian itu terjadi
pada malam hari. Aku sendiri berada agak jauh ketika si iblis itu beraksi," kata
temannya ragu-ragu.
Panji duduk tenang di pojok kedai sambil melepas-kan lelah.
Pada saat itulah seorang lelaki berperawa-kan gemuk bersama dua orang temannya
mendekati Panji dengan wajah sinis.
"Jangan biarkan lolos iblis keparat itu. Kaulah pembunuh yang kami cari," bentak
lelaki gemuk lan-tang seraya mengayunkan pedangnya ke arah Panji yang tengah
bersantai itu. Brakkk! Panji cepat mengelak, sehingga ayunan pedangnya melesat, menghantam meja.
Makanan di meja jadi berantakan.
"Sabar, Kisanak. Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan itu," Panji berusaha
menyabarkan orang yang naik pitam itu.
"Jangan berlagak bodoh, iblis Biadab! Heaaat...!" Dua orang kawan laki-laki
gendut itu serentak ikut maju menyerang Panji.
Senjata tajam mereka ber-sinar-sinar siap mengancam Panji.
Panji terkesiap Wajahnya pucat pasi. Tenaga dalam dirinya kembali bergejolak.
Tidak disangka-sangka para penyerang itu sudah terlempar sebelum mereka mulai
menyerang. Semua isi yang ada di kedai berantakan.
Bukan main kagetnya mereka menyaksikan perubahan aneh pada diri Panji itu.
Sekujur tubuh pemuda itu bersinar putih keperakan disertai hawa dingin. Pengaruh
hawa dingin yang dikeluarkan Panji membuat mereka kedinginan sampai gigi mereka
bergemeletuk. "Aaahhh...!?"
Panji sendiri terkejut melihat perubahan tubuh-nya. la sadar bahwa kekuatan aneh
dalam dirinya bisa mencelakakan orang lain, maka ia segera keluar meninggalkan
kedai. "Itu dia! Serbu...!"
Para penyerang itu berteriak-teriak mengepung Panji yang sudah berada di luar
kedai. Lelaki gemuk menyuruh mereka untuk membekuk Panji.
"Hei, berhenti! Jangan serang aku! Kalian telah salah menuduh orang!" Seru Panji
sambil mengangkat kedua tangannya dengan maksud memberi tanda agar belasan orang
itu tidak menyerang.
Celaka! Maksud baik Panji dengan cara mengangkat kedua tangannya justru
menimbulkan kesulitan baru bagi dirinya.
Melalui kedua tangannya hem-busan deru angin keluar sendiri tanpa kemauan Panji.
Para penyerang berjumpalitan dibuatnya.
"Iblis biadab! Terimalah pembalasan ini! Heaaat..!" Seorang laki-laki tinggi
gagah dan berwibawa, melesat menusukkan ujung tombak ke tubuh Panji. Tombak itu
sampai berdesing, menandakan bahwa dorongan tombak itu tidak dapat di anggap
remeh. Siuttt! Tukkk! "Ahhh...!"
Terdengar jerit kesakitan ketika ujung tombak tepat mengenai tubuh Panji. Tubuh
laki-laki tinggi gagah itu terpental ke belakang. Wajahnya terlihat pucat.
Sedang tombaknya sendiri telah patah menjadi tiga bagian.
"Hm...!"
Penyerang itu menggeram mengerahkan tenaga dalamnya guna mengusir hawa dingin
luar biasa yang merasuk ke dalam tubuhnya.
"Gila! Ilmu iblis apa lagi yang dipergunakan ma-nusia biadab itu?" teriak si
tinggi gagah penasaran bercampur gentar. "Ayo, kepung! Hati-hati dengan pu-
kulannya yang dingin menusuk tulang itu!" Perintah laki-laki gagah itu sambil
memperingatkan teman-temannya.
Tubuh Panji saat itu tengah bergemetar hebat! Rupanya pengaruh ujung tombak
laki-laki itu telah membuat tenaga yang mengendap di dalam tubuhnya semakin
bergerak liar. "Heeeaaa...!"
Panji meraung keras kesakitan yang menusuk-nu-suk di dalam tubuhnya. Para
penyerang ketakutan melihat perubahan itu. Belasan orang terlempar dan jatuh
bergulingan di tanah!
Empat orang dari mereka yang memiliki ilmu kepandaian paling
rendah, lang-sung menggelepar tewas! Dari mulut, hidung dan telinga mereka
mengeluarkan darah segar. Rupanya raungan dahsyat Panji menyebabkan pembuluh
darah di dalam tubuh korban pecah seketika. Dua belas orang lainnya yang
memiliki kepandaian tinggi, ber-gulingan menjauhkan diri. Mereka diam-diam
sangat kecut menghadapi Panji yang bukan tandingannya itu.
"Gila! Bagaimana mungkin dalam dua hari saja ilmu kepandaian iblis ini sudah
meningkat demikian pesat! Aku jadi meragukannya, Kakang?" Ucap seorang laki-laki
tinggi kurus kepada si tinggi gagah ber-getar.
"Hm... aku pun mulai meragukannya, Adi Palasa" Tapi bagaimana mungkin kalau dia
bukan dari kelom-pok iblis itu"
Lihat saja cara berpakaiannya! Bukan-kah jarang sekali orang-orang persilatan
yang menge-nakannya?" Sahut si tinggi gagah meyakinkan teman-nya yang bernama
Adi Palasa itu.
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan, Kakang" Jelas kita tidak akan mampu
untuk mengha-dapinya. Karena ilmu kepandaian yang dimiliki orang berkerudung itu
rasanya tidak mungkin dapat tertan-dingi!" Ujar Palasa kepada kawannya bagaikan
orang yang putus asa.
Kedua orang itu segera menghentikan pembica-raannya ketika mereka melihat Panji
yang mereka ke-pung itu telah menggerak-gerakkan tangannya ke arah mereka.
"Awaaasss...!"
Duaaarrr! Terdengar ledakan dahsyat disusul robohnya seba-tang pohon yang tumbuh di tepi
jalan didepan kedai. Untunglah laki-laki tinggi gagah yang rupanya me-mimpin
Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
belasan orang itu sempat memperingatkan kawan-kawannya, sehingga kedua
belas orang itu dapat terhindar dari pukulan maut yang dapat men-cerai-beraikan
tubuh mereka. Peristiwa itu sangat mengerikan! Mereka terpaku dicekam ketakutan.
Sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka hanya berdiri tanpa mengucap sepatah
kata pun. "Kakang, bagaimana ini" Tidak mungkin kita me-lawannya?"
Bisik Palasa yang lebih dulu tersadar me-ngingatkan laki-laki tinggi besar itu
bahwa keadaan mereka benar-benar berbahaya!
"Lebih balk kita sembunyi saja sekarang. Nanti kalau orang berkerudung itu
meninggalkan tempat ini, baru kita ikuti dari jauh!" Jawab laki-laki gagah itu
terpaksa mengambil keputusan yang amat berten-tangan dengan kebiasaan pada
dirinya. Setelah ber-kata demikian, ia pun bergegas hendak meninggalkan tempat itu.
Paji yang pandangannya mulai samar karena pe-ngaruh kekuatan yang menguasainya,
kembali men-dorongkan telapak tangannya. Kembali deru angin dingin berhembus
keras. Whuuusss! Brooolll!
Kesadaran Panji yang telah dipengaruhi kekuatan dahsyat membuat ia tidak dapat
lagi melihat dengan baik. Sehingga sasaran pukulannya pun tidak lagi ter-arah.
Kali ini pukulan mautnya menghantam sebuah pondok kayu yang langsung berderak
karena tiang penyangganya telah patah akibat pukulan jarak jauh pemuda itu.
Betapa luar biasanya tenaga sakti yang mengendap dalam tubuh pemuda itu.
"Luar biasa! Kalau begini caranya, siapa pula yang akan sanggup menghadapi
manusia iblis itu?" kata Palasa sedih.
"Hhh...," gumam laki-laki tinggi gagah yang ber-sembunyi di sebelah Palasa
menghela napas berat. Rupanya ia juga
memikirkan hal yang sama dengan kawannya itu. "Eh, lihat!
Iblis itu muntah darah! Wah, rupanya ia menderita luka dalam yang cukup parah.
Entah siapa manusia sakti yang melukai pemuda itu," suaranya terperangah.
Dari jauh tampak Panji temuyung-huyung mende-kap dadanya la terbatuk-batuk
dengan mulut me-nyemburkan darah.
"Ouuuh... uhuk... uhuk...!"
Sambil terbatuk-batuk, Panji berlari meninggalkan desa itu.
Gerakan pemuda itu terlihat goyah karena kedua kakinya agak gemetar.
"Hei, dia melarikan diri! Ayo kejar!" teriak laki-laki tinggi gagah itu kepada
kawan-kawannya. la langsung melesat memburu Panji yang melarikan diri, dan
diikuti teman yang lainnya.
*** 3 Sinar rembulan yang biasanya mcnerangi malam, bersembunyi di balik gumpalan
awan. Angin dingin berhembus keras disertai gerimis. Suasana malam kian
mencekam. Sesekali tampak kilat bersinar terang disusul gelegar sambaran petir!
Sehingga suasana malam itu demikian sunyi dan mencekam.
Jalan utama di Desa Jati Alur, tampak lengang dan sepi. Tak seorang penduduk pun
terlihat melintas di jalan itu Sepertinya
mereka enggan keluar pada saat seperti ini. Rupanya mereka lebih suka tinggal di
dalam rumah bersama istri dan anaknya.
Namun tak seorang pun yang akan menyangka kalau pada malam ini sesosok tubuh
berkerudung berjalan seorang diri di tengah gerimisnya malam. Langkah kakinya
tampak tenang dan tidak terlihat terburu-buru. Seperti, ia sama sekali tidak
merasa terganggu oleh cuaca yang buruk itu.
Sosok tubuh tinggi sedang dan berkerudung itu terus menyusuri jalan utama Desa
Jati Alur. Wajah-nya yang tersembunyi di balik kerudung tampak dingin dan kaku.
Sorot matanya tajam dan menakut-kan! Seandainya ada seorang penduduk desa yang
kebetulan melihatnya, pastilah orang itu akan lari terbirit-birit.
Orang berkerudung itu terus berjalan dengan tegar tanpa menoleh sedikit pun.
Tiba-tiba ia berhenti sejenak di depan sebuah bangunan tembok yang kokoh.
Bangunan tembok itu letaknya hampir di de-kat perbatasan Desa Jati Alur. Sesaat
diperhatikannya papan nama yang tergantung di atas pintu gerbang bangunan itu.
Kemudian, tubuh berkerudung itu melayang bagaikan seekor burung rajawali. Dalam
seke-jap tubuhnya menghilang di balik tembok bangunan yang kokoh itu.
Begitu tubuhnya mendarat di tanah pekarangan perguruan itu, sepasang matanya
bergerak kaku me-rayapi sekitarnya.
Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya menuju gedung perguruan itu. Sikapnya
tam-pak tenang sekali, ia sama sekali tidak peduli kalau kedatangannya akan
diketahui penghuni gedung itu.
Baru saja beberapa langkah ia bergerak, tiba-tiba terdengar bentakan keras
disusul munculnya empat orang bersenjata tombak.
"Hei, berhenti! Siapa kau?" Gertak salah seorang dari empat orang itu galak.
Tapi si orang berkerudung sama sekali tidak mem-pedulikan teguran itu. Kakinya
terus saja melangkah seolah-olah ia tidak mendengar teguran mereka. Sehingga
membuat mereka menjadi marah.
"Hei, keparat! Apakah kau tuli" Berhenti atau sen-jataku yang akan berbicara!"
Bentak yang lain. Siap menodongkan mata tombaknya.
Si orang berkerudung terus... dan terus berjalan. Sosok tubuhnya yang tegar
memperlihatkan dirinya tidak gentar ancaman salah seorang penjaga!
"Keparat! Lihat serangan!" teriak seorang penjaga seraya menusukkan mata tombak
ke perut lawannya.
Wuuut! Tappp! "Aaah...!"
Si penjaga berteriak kaget ketika tahu-tahu saja tombaknya telah ditangkap si
orang berkerudung. Bersamaan dengan itu si penjaga terangkat ke atas. Kemudian
diputar-putamya tombak itu.
"Haiii..., Kakang tolong...!" si penjaga berteriak-teriak ketakutan memangil
kawan-kawannya.
Tapi sebelum kawannya sempat menolong, tahu-tahu saja mata tombak telah merobek
perutnya. "Hhhkkk...!"
Darah mengalir dari mulut dan perutnya. Matanya terbeliak bagaikan hendak
keluar. Seluruh wajahnya menegang menahan rasa sakit!
'Iblis keji! Rupanya kau sengaja membuat ke-onaran di sini!"
Teriak seorang penjaga lainnya. Tanpa banyak cakap lagi ia pun menerjang si
orang berke-rudung yang masih berdiri tegak memegang ujung tombak.
Dan pada saat penjaga berikut menyerang lagi dengan ketiga mata tombaknya, si
orang berkerudung segera melemparkan mayat si penjaga yang tertembus tombak ke
arah kawan-kawannya.
"Aaah...!"
Cappp! Jreppp! Tanpa dapat dicegah lagi, tiga mata tombak itu pun menancap tubuh si penjaga
yang telah menjadi mayat itu. Para penjaga sampai tidak menyadari keadaannya, si
orang berkerudung sudah melesat dengan sekali tamparan menyapu kepala mereka.
Ketiga orang penjaga itu tak sempat lagi berteriak karena kepala mereka pecah
akibat tamparan maut si orang berkerudung yang amat kuat. Mereka pun roboh
bermandikan darah. Malang sekali nasib keempat orang penjaga itu.
"Kurang ajar! Kita terlambat, Kakang!" Kata seorang penjaga dengan suara berat
menemukan teman-temannya telah menjadi mayat. Di belakangnya ber-diri pula para
penjaga lain. "Ahhh... benar-benar keparat sekali manusia ini!" Seru yang lainnya terkejut
ketika melihat mayat ke-empat orang penjaga yang bernasib sial itu. Wajahnya
terlihat menegang karena emosinya telah bangkit begitu melihat mayat-mayat itu.
"Hm..., Penjagal Alam Akherat! Hari ini kau tidak akan lolos dari tanganku!
Lihatlah di sekelilingmu!" Ujar seorang laki-laki pendek kekar bemada geram.
Mendengar perkataan itu si orang berkerudung tertawa dingin. Ia menganggap
ucapan orang itu hanya gertak sambal.
Namun, si orang berkerudung agak gentar melihat di sekeliling tempat itu telah
muncul puluhan api obor. Suasana di sekitar pekara-ngan perguruan tampak terang
benderang. "Ha ha ha... lebih baik engkau menyerah secara baik-baik, manusia haus darah.
Agar kami dapat me-menggal kepalamu sekaligus!" Ejek laki-laki pendek kekar
tertawa keras. Sejenak orang yang dijuluki Penjagal Alam Akhe-rat ragu melihat demikian
banyaknya orang yang mengurung tempat itu. Sepasang matanya mulai liar mencari
jalan keluar. Tapi belum lagi ia sempat akan kabur, mendadak belasan orang
muncul dari dalam gedung.
"Serang...!" Seru si lelaki gagah mengibaskan tangannya kedepan. Setelah berkata
demikian, ia pun segera melesat mengayun-ayunkan pedang disertai slutan-siutan
tajam. Wuttt! Dengan gerakan gesit si orang berkerudung berha-sil mengelakkan, lalu ia balas
pula dengan tamparan mautnya ke kepala lawan. Si lelaki gagah memiring-kan
kepalanya sambil melepaskan pukulan tangan kirinya ke arah lambung si orang
berkerudung itu.
Bukkk! "Uuuhhh...!"
Pukulan si lelaki gagah tepat menghantam lambung lawan.
Anehnya tubuh lawannya tidak apa-apa, malah ia sendiri
berbalik yang terjajar mundur sambil memekik kesakitan! Jari-jari tangannya
terlihat agak sedikit membengkak, akibat kalah kuat beradu de-ngan si orang
berkerudung. "Gila! Tubuh si iblis keparat itu tak ubahnya se-batang besi baja panas! Hati-
hati, kawan-kawan! Berita tentang kesaktian Penjagal Alam Akherat itu benar!"
Teriak laki-laki gagah memperingatkan kepada teman-temannya.
"Jangan khawatir, Adi Salangi! Aku ingin melihat sampai di mana kekuatan tubuh
iblis ini" Apakah ia akan mampu menahan ilmu pukulanku yang ber-nama 'Tapak
Pembeku Darah' ini!?" Sahut laki-laki pendek bertubuh kekar geram.
Setelah berkata demi-kian si pendek kekar yang berjuluk Tapak Maut itu memutar
kedua tangannya hingga menimbulkan deru angin tajam menggebu-gebu.
"Iblis, sambutlah! Hiaaattt...!"
Disertai teriakan yang mengguntur, si tubuh pendek melesat sambil membentangkan
kedua tangannya Hebat sekali orang yang dijuluki Pendekar Tapak Maut. Meski pun
tubuhnya pendek, namun gerakannya demikian gesit dan lincah.
Wuttt! Wuttt! Dua buah tamparan yang dilancarkan si Pendekar Tapak Maut mengenai tempat kosong
karena Penjagal Alam Akherat sudah lebih dahulu menghindarkan dirinya ke arah
samping. Secepatnya menghindar, secepat itu pula tangan kanannya terulur menjambret wajah
lawan. Angin pukulan orang berkerudung itu terdengar mencicit tajam dan
menebarkan bau harum yang memabukkan.
"Bangsat licik!" Teriak si Pendekar Tapak Maut terkejut ketika ia mencium bau
racun yang memabuk-kan itu. Cepat ia
mengibaskan tangan kanannya memapaki serangan si orang berkerudung.
Dukkk! "Aiiihhh...!"
Si Pendekar Tapak Maut memang berhasil mene-pis pergelangan tangan lawan
sehingga serangan cakar lawan melenceng ke samping. Tapi tenaganya masih kalah
kuat oleh si orang berkerudung, maka tubuh pendek itu pun terlempar ke belakang
sejauh empat tombak. Dari bibirnya tampak mengalir darah segar.
"Setan! Tenaga dalam iblis itu ternyata masih dua tingkat diatas tenagaku. Hm..
Benar-benar lihai sekali kepandaian Penjagal Alam Akherat itu Entah siapa dia
sebenarnya" Dan apa pula maksudnya mengacaukan dunia persilatan?" Ujar Pendekar
Tapak Maut. Pena-saran karena ilmu yang dibangga-banggakan selama ini ternyata
tidak ada artinya di hadapan Penjagal Alam Akherat.
"Sudahlah, Kakang Jarga Lawa. Lebih baik cepat kita bereskan iblis itu sebelum
ia berhasil meloloskan diri dari kepungan kita!" Ajak orang tinggi gagah yang
bemama Salangi mengingatkan betapa berbahaya jika orang berkerudung itu sampai
meloloskan diri.
"Hm... baiklah! Anak-anak, cepat siapkan jaring dan tali!"
Perintah Jarga Lawa atau yang lebih dikenal sebagai Pendekar Tapak Maut kepada
orang-orang yang memegang obor.
Sementara itu, si orang berkerudung masih ber-tarung sengit menghadapi belasan
pengeroyoknya. Gerakan gerakan kelima belas orang laki-laki itu sepertinya
memang sengaja hanya untuk memancing kemarahan si orang berkerudung. Kelima
belas orang itu sesekali melakukan balasan kalau dalam
keadaan benar-benar terdesak. Mereka hanya menghindar dan saling melindungi
dengan maksud agar lama kela-maan si orang berkerudung akan semakin melemah
tenaganya. Namun, meskipun si orang berkerudung selalu melancarkan serangan-serangan maut
yang mem-butuhkan banyak tenaga.
Anehnya kekuatan daya serangnya sama sekali tidak berkurang, seolah-olah
Penjagal Alam Akherat itu memiliki sumber tenaga yang tak pernah habis. Hingga
lama-kelamaan para pengeroyok itu merasa kelelahan.
"Gila! Tenaga si iblis itu tak ada habisnya!" seru salah seorang pengeroyok itu
dengan napas tersengal-sengal.
Kawan-kawannya tidak ada yang menyahut. Karena saat itu mereka benar-benar
kerepotan mengha-dapi gempuran-gempuran si orang berkerudung yang semakin
gencar. "Mundurrr...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras menyuruh ke lima belas orang itu mundur.
Ketika mereka berlom-patan mundur, sebuah benda hitam halus menebar jatuh ke
arah si orang berkerudung.
"Heaaat..!"
Whuuus! Melihat adanya sesuatu benda halus yang menebar di sekelilingnya, orang
berkerudung itu pun ber-gegas mendorong, sepasang telapak tangannya ke atas.
Serangkum angin pukulan yang amat kuat keluar.
Empat buah jala halus yang ditebarkan itu mem-balik dan menutupi tubuh ke empat
orang yang me-lemparkannya.
Keempat orang itu berteriak dan me-ronta-ronta melepaskan dirinya yang terkurung
dalam jala. Tolong... tolong,.. tolooong...!"
Keempat orang itu menjerit-jerit ketakutan karena tak mampu melepaskan diri
dalam kurungan jala itu.
Berbarengan dengan membaliknya keempat jala halus itu, kaki orang berkerudung
itu langsung men-jejakkan kakinya. Ia berjumpalitan beberapa kali di udara, dan
terus meluncur menuju atas tembok perguruan itu. Si orang berkerudung berusaha
me-loloskan diri dari kepungan.
"Hujani dengan panah...!" Si Pendekar Tapak Maut berteriak memberi perintah.
Setelah itu tubuhnya langsung melesat diikuti Salangi dan empat orang lainnya
mengejar si orang berkerudung.
Werrr! Werrr! Werrr!
Puluhan anak panah menghujani Penjagal Alam Akherat yang melayang di udara.
Secepat itu pula ia menangkis serangan anak panah dengan kibasan ju-bahnya.
"Hiah!"
Trak! Trak! Trak!
Puluhan batang anak panah berjatuhan ke tanah akibat kibasan jubah si orang
berkerudung. Belum habis menarik napas Iega, datang lagi serangan beri-kut. Dua
anak panah yang lebih kuat dari puluhan batang anak panah sebelumnya melesat.
Dan.... Jreppp! Jrebbb!
"Aaakh...!"
Si penjagal Alam Akherat terpekik kesakitan ketika dua anak panah yang terakhir
menancap pangkal le-ngan dan dada kirinya. Seketika ia terjungkal ke bawah.
Namun dengan gesit
tubuhnya berputar-putar dan mendarat di luar bangunan perguruan itu.
Sambil mengigit bibirnya kuat-kuat, panah itu berhasil dicabut dan langsung
dilemparkan ke arah dua orang yang mengejarnya. Tak pelak lagi, panah itu
menewaskan mereka seketika. la segera melesat melarikan diri meninggalkan tempat
itu. Tubuhnya berkelebat cepat melintasi jalan utama Desa Jati Alur.
"Kejar...! Dia sudah terluka. Tidak mungkin dapat bertari jauh!" teriak si
Pendekar Tapak Maut mengo-barkan semangat kawan-kawannya.
Suasana malam yang semula gelap dan sunyi menjadi ramai.
Jalan utama Desa Jati Alur terang benderang oleh puluhan api obor, hingga
suasana malam itu menjadi hiruk-pikuk oleh teriakan-teriakan puluhan orang tokoh
persilatan yang melakukan pe-ngejaran terhadap si orang berkerudung atau
Penjagal Alam Akherat itu.
Si orang berkerudung terus mempercepat larinya dengan gerakan ringan berloncatan
dari satu pohon ke pohon lain yang banyak tumbuh di desa itu. Lari-nya agak
terganggu karena lukanya cukup parah dan banyak mengeluarkan darah.
Kemudian, ia berhenti sejenak, tangan kanannya bergerak cepat melakukan totokan
Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada bagian lukanya guna mengurangi luka-nya yang terus-menerus mengeluarkan
darah. Setelah ia yakin Iuka yang dideritanya berhenti mengeluarkan darah, ia
meneruskan larinya lagi. Karena di bela-kangnya terdengar langkah-langkah kaki
beberapa orang yang berlari mendekatinya.
Sementara itu di tengah sebuah hutan kecil yang letaknya tidak jauh dari Desa
Jati Alur, seorang pemuda sedang menghangatkan tubuhnya di dekat api unggun.
Pemuda itu tidak lain adalah Panji, ia ber-maksud ingin bermalam di dalam hutan. la terme-
nung memikirkan kejadian yang terus saja dialami-nya. Keningnya berkerut dalam
la mencoba untuk mencari-cari apa yang menyebabkan orang-orang itu menganggapnya
sebagai iblis pembunuh.
"Hm.. Mungkin kejadian yang kualami tadi ada kaitannya dengan peristiwa
terbantainya seluruh penduduk kampung yang kulewati kemarin. Kalau begitu, dunia
persilatan saat ini sedang tercemar dengan seorang pembunuh keji," gumam Panji
menyimpul-kan. Mendadak Panji bangkit berdiri dari duduknya. Pendengarannya yang
terlatih itu mendengar langkah-langkah kaki yang terseok-seok mendekati ke
arahnya. Kemudian Panji bergegas memadamkan api unggunnya agar tidak terlihat
oleh suara yang men-curigakan itu. Tubuh pemuda itu pun sudah melen-ting ke atas
pohon yang berdaun rimbun. la melepas-kan pandangannya ke arah datangnya suara
itu Tidak berapa lama kemudian, terlihat seorang berkerudung lari terseok-seok
menuju anak bukit. Panji menduga orang berkerudung itu menderita luka, karena
berjalan susah payah.
Melihat ciri-ciri orang itu, Panji teringat akan pengalamannya ketika dikeroyok
belasan orang di kedai yang disangka ia adalah pem-bunuhnya karena berpakaian
seperti itu. la langsung melesat mengejar sosok berkerudung itu.
"Orang itu pastilah ada hubungannya dengan pembunuh keji, serta buronan penduduk
desa," gumam Panji bergegas turun dari pohon. Teka-teki itu harus dipecahkan.
Panji tidak mau kehilangan jejak, ia pun mengejarnya.
"Sahabat, berhentilah...!" Seru Panji hampir dekat. Orang berkerudung itu
terkejut setengah mati ketika mendengar ada orang yang menegurnya di tengah
hutan. la berhenti sejenak
lalu pelahan-lahan membalik-kan badannya dan menatap ke arah orang yang
menegurnya. Jelas sekali terlihat kalau si orang berkerudung itu semakin terkejut ketika
melihat pakaian yang dike-nakan Panji.
Sepasang mata yang semula menyipit terbuka lebar-lebar.
Diperhatikannya sosok tubuh Panji dari atas hingga ke bawah penuh selidik.
"Siapa kau"!" Tegur si orang berkerudung dingin, dan parau.
Panji melepaskan kerudungnya, dan dibi-arkan terjuntai di bawah lehernya.
Sehingga wajah pemuda itu tampak terlihat agak jelas. Apalagi saat itu sang
rembulan pun sudah mulai muncul mene-rangi permukaan bumi. Wajah Panji yang
dingin dan kaku itu membuat si orang berkerudung meragu sejenak.
"Hm... seharusnya akulah yang bertanya kepada-mu! Apa maksudmu menyembunyikan
wajah dengan memakai kerudung di kepala itu! Apa pula keperluanmu berkeliaran
pada malam-malam begini?" Tanya Panji dengan suara berat dan dingin.
Kedua orang itu saling memandang dengan sikap penuh waspada. Keduanya membisu
beberapa saat *** 4 Tanpa mengucapkan sepatah kata pun si orang berkerudung mulai mengulurkan
tangannya ke depan. Serangkum angin keras berkesiutan ke arah Panji. Rupanya
Penjagal Alam Akherat itu bermaksud membunuh pemuda itu dengan sekali pukul!
Panji terkejut merasa sambaran yang begitu kuat ditimbulkan oleh pukulan orang
berkerudung itu. la pun bangkit melawan dengan tenaga sakti yang masih liar itu
dalam dirinya yang mulai bergolak menyerang-nya itu.
Blubbb! "Aaa...!"
Terdengar suara letupan kecil ketika dua gelom-bang tenaga sakti itu bertemu di
tengah-tengah. Si orang berkerudung berseru terpatah-patah. la terjajar mundur
sejauh empat langkah. Sejenak seolah ia tak percaya dengan apa yang dirasakannya
saat itu. Se-dangkan tubuh Panji kembali dibalut kabut bersinar putih keperakan.
Hawa malam berhembus semakin dingin, sehingga membuat orang berkerudung itu
menggigil sesaat Namun, dinginnya udara malam sudah tidak mengganggunya lagi.
Sebenarnya tenaga sakti yang dimiliki a orang berkerudung sangat hebat! Kalau
saja Pendekar Naga Putih alias Panji belum dirasuki tenaga sakti yang masih liar
itu, pastilah ia tidak akan sanggup menangkal dorongan telapak tangan si orang
berkerudung yang dijuluki Penjagal Alam Akherat itu.
"Hm!"
Panji mendengus gusar. Tenaga liar yang berge-jolak di dalam tubuhnya semakin
kuat melonjak-lonjak, sehingga Panji menyeringai sejenak menahan rasa nyeri yang
mengigit la cepat menjulurkan kedua tangannya melakukan dorongan untuk
melumpuhkan si orang berkerudung itu.
Wusss! "Aaahhh...!"
Si orang berkerudung menghindar ke samping ketika mendapat serangan dari Panji.
Dan secepat kilat ia melancarkan serangan balasan ke leher Panji. Desis angin
pukulan yang mencicit tajam menandakan kalau tenaga sakti yang dimiliki orang
itu memang sangat kuat dan mematikan!
Mendapat serangan balasan yang berbahaya, Panji segera mengegoskan kepalanya dan
langsung melon-tarkan tamparan telapak tangannya ke kepala orang berkerudung
itu. Wuttt! Brakkk! Sebatang pohon sebesar tubuh orang dewasa, ber-derak patah ketika tamparan Panji
berhasil dielakkan lawannya lalu menghantam pohon itu keras. Si orang
berkerudung sudah melompat mundur dan mempersi-apkan serangan berikutnya.
"Kreeeaaa...!"
Sambil meraung bagaikan binatang buas yang murka, tubuh orang berkerudung itu
melesat melakukan serangan maut ke arah Panji. Sambaran-samba-ran angin
pukulannya berkesiutan hingga menimbul-kan hembusan angin kencang. Panji
meloncat rneng-hindari serangan yang mengancam jalan darah di tubuhnya. Sesekali
terlihat dibalasnya pukulan-puku-lan maut itu. Pertarungan dua orang sakti itu
mem-buat daerah sekitar hutan kecil itu menjadi porak-poranda bagaikan diamuk
angin topan yang hebat!
"Heaaat..!"
Tiba-tiba Panji memekik nyaring hingga di sekitar tempat itu bagai dilanda
gempa. Tubuhnya melesat dengan kecepatan yang luar biasa ke arah orang
berkerudung itu. Kedua
tangannya terayun silih berganti melontarkan pukulan-pukulan.
Si orang berkerudung sama sekali tidak menyangka kalau di dalam hutan kecil itu
ia menemui lawan yang sangat tangguh dan tegar! la sempat dibuat kalang-kabut,
melihat sera-ngan yang tak mungkin dapat dihindarinya itu, Pen-jagal Alam
Akherat mengangkat kedua tangannya menangkis serangan Panji. Dan....
Dukkk! Dukkk! "Aaakh...!"
Suara benturan yang ditimbulkan beradunya dua pasang lengan itu telah membuat
tanah di sekitar tempat itu bergetar.
Sehingga menimbulkan suara nyaring yang memekakkan telinga.
Si orang berkerudung menjerit. Tubuhnya terlem-par deras bagaikan sehelai daun
kering yang diter-bangkan angin. Darah segar menyembur dari mulut-nya. Dan
terbanting di tanah berumput sambil meng-gigil bagaikan orang terserang demam
hebat! Gigi-giginya bergemelutuk tanpa dapat di cegah. Panji berdiri tegak
memandangi tubuh orang berkerudung yang masih berusaha membebaskan dirinya dari
serangan hawa dingin yang hampir tak tertahankan oleh nya itu.
"Hm...," gumam Panji, seraya diangkat tangannya pelahan-lahan ke atas. Rupanya
pemuda itu berniat menghabisi nyawa si orang berkerudung itu yang hanya
memandang pasrah.
"Tahan...!"
Tiba-tiba Panji dikagetkan bentakan keras, yang membuat Panji menahan
gerakannya. Belum lagi ge-ma suara itu lenyap, tahu-tahu beberapa sosok tubuh
berlompatan ke tempat itu.
Mereka adalah Pendekar Tapak Maut dan kawan-kawannya yang tengah me-ngejar si
orang berkerudung itu. Jarga Lawa
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Tapak Maut terpaku sejenak ketika melihat
raut wajah Panji yang dingin dan kaku itu. Tanpa sadar ia mundur selangkah de-
ngan wajah agak pucat.
"Ki.... Kisanak, siapakah kau...?" Tanya Pendekar Tapak Maut ragu. Dikiranya
Panji adalah kelompok Penjagal Alam Akherat. Karena melihat cara berpa-kaian
pemuda itu memang mirip dengan si orang berkerudung. Hanya saja saat itu
kerudung Panji tergan-tung di belakang lehernya.
"Namaku Panji. Dan orang-orang menjuluki aku sebagai Pendekar Naga Putih,"
selama berkecimpung dalam dunia ramai, baru kali inilah Panji menyebut-kan
sendiri gelarnya Hal itu dilakukan guna meng-hindarkan kesalahpahaman di antara
mereka. "Pendekar Naga Putih...!" Gumam Jarga Lawa dan tujuh orang kawan-kawannya
terkejut. "Aku sedang bermalam di hutan kecil ini ketika orang aneh itu kulihat berlari
seperti menghindari sesuatu Aku terpaksa menghentikannya karena aku
mencurigainya," lanjut Panji menerangkan duduk per-soalannya.
"Hm...," gumam Jarga Lawa. la belum yakin apa yang dikatakan Panji. Namun, ia
juga tidak mau te-rang-terangan menuduh Panji musuhnya. Sebab, ia sadar orang
yang diajak bicara bukan orang sem-barangan.
"Aku tahu, para sahabat pasti mencurigaiku karena pakaianku mirip dengan orang
ini. Tapi percaya-lah. aku berkata apa adanya," ujar Panji lagi me-yakinkan
mereka. "Hhh... maafkan kami, Kisanak. Kami harus ber-hati-hati dalam menghadapi setiap
orang asing yang kami temui. Apalagi pakaian Kisanak sangat mirip dengan orang-
orang berkerudung
yang belakangan ini seringkali melakukan pembunuhan yang kekejaman-nya melebihi
iblis," tukas Jarga Lawa merasa tak enak mendengar ucapan Panji.
"Eh, jadi orang berkerudung itu tidak cuma satu?" Tanya Panji heran.
"Itu baru dugaan kami saja, Kisanak. Pernah ter-jadi beberapa pembunuhan. Dalam
waktu bersamaan. Menurut orang-orang yang melihatnya, pembunuh-nya adalah orang-
orang yang mengenakan kerudung seperti itu," ujar Jarga Lawa dengan nada sedih.
"Nantilah aku ceritakan seluruhnya, Pendekar Naga Putih. Sekarang sebaiknya
orang itu kita bawa ke perguruan guna mendapat kepastian, untuk kita usut,"
lanjut laki-laki pendek kekar itu sambil memerintah-kan para pengawalnya untuk
mengangkat si orang bertopeng yang kini dalam keadaan pingsan. Belum lagi dua
pengawal Jarga Lawa akan mengangkat tubuh si orang berkerudung, tiba-tiba dua
sosok bayangan hitam berkelebat menyambar tubuh orang berkerudung yang tergolek
pingsan itu. Sambil me-nyambar tubuh orang pingsan itu, tangan mereka mengibas
ke kiri dan kanan.
Wuttt! Wuttt! "Aaahhh...!"
Hebat sekali serangan yang ditimbulkan oleh kibasan tangan sosok bayangan hitam
itu. Jarga Lawa dan kawan-kawannya terpental didorong oleh kekuatan dahsyat yang
tak tampak Tubuh kedelapan orang itu bergulingan guna mematahkan kibasan
serangan gelap yang dilakukan oleh orang berkerudung itu yang amat kuat.
Kedua sosok bayangan yang juga berkerudung itu, terus melesat tanpa mempedulikan
Jarga Lawa dan para pengawal.
Kedua sosok bayangan itu berlari sambil membawa tubuh temannya yang sekarat itu.
"Hei, berhenti...!"
Panji berteriak sambil memburu kedua sosok ba-yangan itu.
Tubuh Panji melayang. Sehingga dalam beberapa kali lompatan, tubuh pemuda itu
mendarat didepan dua orang berkerudung yang menjadi terke-jut setengah mati,
tidak disangka kalau mereka akan terkejar.
"Hm... mau lari ke mana kalian?" Seru Panji ber-usaha mencegah buronan itu
kabur. Kedua buronan salmg berpandangan satu sama lain, dan keduanya mengangguk
berbarengan. Mereka berbalik ke arah Panji serempak seraya berseru Ian-tang.
"Hiaaat!"
Wusss! Angin keras menderu tajam ketika dua orang berkerudung itu mendorong telapak
tangan mereka ma-sing-maang, Pemuda itu pun mengangkat kedua tangannya yang
langsung didorong menyambut dorongan dua orang berkerudung itu. Sehingga....
Blarrr! "Aaa...!"
Terdengar suara ledakan dahsyat yang bagaikan hendak meruntuhkan gunung.
Beberapa batang pohon yang tumbuh dekat mereka roboh seketika dan
memperdengarkan suara ribut! Benar-benar hebat se-kali pertemuan dua gelombang
tenaga sakti yang maha dahsyat itu!
Jarga Lawa dan kawan-kawannya yang telah sampai itu dapat menyaksikan dari
kejauhan terdorong mundur dengan wajah pucat pasi. Dada mereka bagaikan digedor
oleh sesuatu kekuatan raksasa yang tak tampak! Cepat mereka menjatuhkan diri dan ber-semadi
guna menenangkan debaran dalam dada mereka.
Sedangkan tubuh kedua orang berkerudung itu terhempas ke belakang beserta sosok
tubuh yang di-bawanya terpental dengan kerasnya sehingga darah segar menyembur
dari mulut kedua orang berkerudung itu. Untunglah kedua orang berkerudung itu
dalam melakukan penyerangan dibarengi penyatuan tenaga dalam saktinya. Kalau
tidak, pastilah tulang-tulang tubuh kedua sosok berkerudung itu akan remuk,
akibat dahsyatnya tenaga sakti liar yang mengeram dalam tubuh Panji. Secepatnya
dua orang berkerudung berbalik menghampiri tubuh kawannya yang tergeletak
pingsan itu langsung membopongnya serta melakukan beberapa kali salto di udara
dan terus menghilang dalam kegelapan malam yang mulai beranjak dini hari.
Panji sendiri, tidak menderita cidera. Pemuda itu hanya tergempur kuda-kudanya.
Sehingga tubuhnya hanya terdorong mundur sejauh delapan tindak. Wajahnya yang
tetap dingin dan kaku tanpa emosi se-dikit pun membuat ia tidak sempat mengejar
lawan-nya karena keburu menghilang.
Didepan Panji terlihat Jarga Lawa bersama kawan-kawannya.
Panji melangkah pelahan menghampiri de-lapan laki-laki gagah yang tengah
melakukan semadi. Ditatapinya wajah orang-orang itu satu persatu seolah ia ingin
menegaskan kalau-kalau ada di antara me-reka yang telah dikenalnya. Pemuda sakti
itu menghela napas berat ketika melihat tidak satu pun di antara kedelapan orang
pendekar itu yang dikenalnya. Akibat dari tenaga sakti liar itu membuat dirinya
menjadi linglung.
Pemuda tampan itu pun melangkah menjauh dan
menyenderkan tubuhnya pada sebatang pohon. Dila-yangkan pandangannya ke arah
orang-orang berkerudung yang
melarikan diri. Ia terpaksa harus me-nunggu tokoh-tokoh itu menyelesaikan
semadinya. Karena ia ingjn memperoleh keterangan secara lebih jelas mengenai
orang-orang berkerudung yang ber-juluk Penjagal Alam Akherat itu.
Panji menoleh ketika mendengar suara langkah kaki yang menuju ke arahnya. Tampak
seorang laki-laki pendek gemuk dan kekar tengah menghampiri-nya. Laki-laki itu
tak lain adalah Jarga Lawa. Setelah menyelesaikan semadinya dan melihat Pendekar
Naga Putih masih berada di tempat itu, maka ia pun bergegas mendekatinya.
"Kau tidak apa-apa, Pendekar Naga Putih?" Tegur Jarga Lawa agak sedikit
khawatir. 'Terima kasih, Paman. Aku tidak apa-apa. Kuha-rap Paman sudi memanggilku dengan
nama Panji saja," sahut Panji tersenyum. Pemuda itu tidak sadar kalau senyumnya
itu lebih mirip seringai daripada se-nyum yang dimaksudnya.
"Hm...," gumam Jarga Lawa. "Aneh, mengapa pen-dekar muda yang sangat sakti ini
seperti orang sedang menderita sakit" Wajah tampan itu begitu pucat dingin dan
kaku. Hm... Pasti ada sesuatu yang di-sembunyikan. Dan tampaknya ia tidak ingin melibat-kan
orang lain dalam persoalannya itu," kata Pende-kar Tapak Maut dalam hati. Ia
juga tidak mau mengu-tarakan kepada Panji karena ia tidak ingin melibatkan
dirinya dalam persoalan pendekar ini yang sepertinya tidak ingin diketahui orang
lain. "Marilah singgah di tempatku, Nak Panji. Bukan-kah aku sudah berjanji akan
menceritakan persoalan yang masih gelap ini kepadamu," ajak Pendekar Ta-ngan
Maut ramah kepada Panji.
"Baiklah, Paman!" sahut Panji singkat mengikuti pendekar itu yang juga telah
mengajak kawan-kawannya.
Lalu mereka pergi meninggalkan hutan. Sinar bulan keperakan menerangi rombongan
pendekar. Dari kejauhan lapat-lapat terdengar kokok ayam hutan bersahut-sahutan
menyambut pagi.
Pendekar Naga Putih 08 Penjaga Alam Akhirat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** "Sabarlah, Cucuku. Jangan kau turuti kata hati-mu," ujar si kakek menghibur
kepada seorang gadis jelita berpakaian serba hijau.
Gadis jelita itu tidak Iain adalah Kenanga. la me-nunduk sedih dihadapan kakek
yang tidak lain adalah Eyang Wiku Ginting. Kakek sakti itu membelai rambut
kepala gadis yang sudah dianggapnya sebagai cucu-nya sendiri.
'Tapi, Eyang, saya harus menyusul Kakang Panji. Saya khawatir akan
keselamatannya," kata Kenanga yang telah mengetahui kepergian kekasihnya tanpa
pamit. Kini ia bersikeras hendak menyusul.
"Cucuku. Eyang tidak akan melarangmu untuk menyusul kekasihmu itu. Tapi,
tenangkanlah dulu hatimu. Setelah itu, baru Eyang akan mengijinkanmu untuk
menyusulnya," ucap Eyang Wiku Ginting de-ngan lembut. Walaupun ia baru pertama
kali bertemu dengan murid keponakannya itu, ia amat menyayangi-nya.
"Menurut Eyang, apakah yang telah menyebab-kan Kakang Panji nekad minggat"
Apakah ia marah padaku, Eyang?" Tanya Kenanga lirih dengan nada se-dih.
'Tidak. Eyang rasa ia pergi bukan karena marah kepadamu, Cucuku. Tapi
kemungkinan ia mendengar pembicaraan kita.
Dan ketika Eyang mengatakan bahwa penyakitnya itu tak bisa disembuhkan, mungkin
ia menjadi putus asa. Lalu ia mengambil keputusan un-tuk meninngalkanmu karena
ia tidak ingin kau ikut menderita karena memikirkan penyakitnya itu.
Hhh... Sayang ia tidak mendengar pembicaraan kita seluruhnya Kalau saja ia
mendengarnya, pastilah ia tidak melakukan hal yang bodoh seperti itu," kata
Eyang Wiku Ginting menghela napas berat. la pun kecewa atas kepergian pendekar
muda yang diam-diam amat dikaguminya itu.
"Ya! Oleh karena itulah saya harus menyusulnya, Eyang. Dan saya akan
menyampaikan perkataan Eyang yang belum sempat didengarnya itu. Ahhh..., Kakang
Panji, mengapa kita harus berpisah lagi?" keluh gadis jelita itu. Sepasang mata
yang indah me-nerawang ke cakrawala biru.
"Pergilah, Cucuku. Semoga engkau dapat bertemu kembali dengan pemuda idamanmu
itu. Ahhh... be-tapa bodohnya dia.
Apakah ia tidak melihat kecanti-kan Cucuku ini. Atau ia memang seorang pemuda
yang bodoh," ucap Eyang Wiku Ginting mencoba menghilangkan rasa sedih di antara
mereka. "Ahhh, Eyang...," desah Kenanga tertunduk dengan wajah kemerahan. "Sudahlah!
Saya mohon pa-mit, Eyang," seru gadis itu sambil membungkuk mem-beri hormat
kepada si kakek yang menjadi paman gu-runya itu.
"Hm...," Eyang Wiku Ginting hanya bergumam lirih. Senyum menghias di wajah
tuanya. Padahal ia sendiri merasa berat melepaskan murid keponakan-nya itu
pergi, yang baru beberapa hari dikenalnya.
Belum jauh Kenanga melangkahkan kakinya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara tawa
berkepanjangan. Kenanga cepat memejamkan matanya guna melawan kekuatan dahsyat
yang menyerangnya. Karena suara tawa itu didorong oleh tenaga sakti yang amat kuat.
"Ha ha ha...."
Suara tawa itu terus bergema memenuhi seluruh pelosok puncak gunung tempat
kediaman Eyang Wiku Ginting. Kenanga yang semula akan menuruni lereng gunung,
terpaksa menunda kepergiannya. Gadis itu kembali berlari ke arah pondok gurunya,
menurut firasatnya bahwa suara tawa itu menyebarkan hawa maut yang tersembunyi.
"Eyang...!" Kenanga berlari menghampiri si kakek yang tengah berdiri didepan
pintu pondok. Wajah Eyang Wiku Ginting yang biasanya selalu tenang itu. Kini
tampak tegang dan gelisah. Hingga membuat Kenanga terheran-heran.
"Aihhh, Cucuku, apa yang telah terjadi?" Tegur Eyang Wiku Ginting cemas.
"Aku terpaksa kembali, Eyang. Di tengah jalan aku mendengar orang cekakakan.
Siapakah gerangan orang yang mengeluarkan suara tawa yang demikian menyeramkan
itu, Eyang?" Tanya Kenanga tanpa mempedulikan pandangan kakek tua itu.
"Entahlah, Cucuku" Tapi yang jelas orang itu pas-tilah berilmu tinggi, karena
suara tawa itu dikeluar-kan dari tempat yang cukup jauh," sahut si kakek kecut.
Sebagai pendekar yang sangat berpengalaman, Eyang Wiku Ginting sudah dapat
menduga bahwa orang yang tertawa aneh itu dapat mengancam ke-selamatan dirinya
dan Kenanga. "Lebih baik kau cepat tinggalkan tempat ini sebelum mereka itu datang dan
melihatmu, Cucuku. Cepatlah! Sebelum terlambat!" pinta Eyang Wiku Ginting tegas.
Terlambat! Dari kejauhan dua orang berpakaian hitam dan berkerudung muncul,
terlihat gelagat mereka datang dengan maksud jahat.
"Cepat pergilah Cucuku. Biar Eyang yang akan menghadapi mereka. Tampaknya mereka
tidak bermaksud baik," bisik Eyang Wiku Ginting lagi. Tapi Kenanga tetap tidak
berajak dari tempatnya berdiri. Ia enggan meninggalkan kakek seorang diri.
*** 47 'Tidak, Eyang. Biarlah aku tetap di sini bersama Eyang. Aku ingin tahu apa
maksud mereka kemari," tegas Kenanga.
Eyang Wiku Ginting terdiam mendengar bantahan gadis itu.
Ia dengan was-was memperhatikan kedua orang berkerudung itu datang mendekat.
"Siapakah kalian! Ada keperluan apa denganku?" Tanya si kakek ramah. Namun
sepasang matanya ta-jam penuh selidik memandang kedua orang tamu yang tak
diundang itu. "Hm... benarkah aku berhadapan dengan Eyang Wiku Ginting?" Salah seorang
berkerudung balik ber-tanya yang seharusnya ia jawab teguran si kakek itu. Ia
sebenarnya tidak pantas mengeluarkan kata-kata kasar kepada seorang kakek
seperti Eyang Wiku Ginting.
"Kurang ajar!" maki Kenanga marah. Gadis itu sangat tersinggung melihat kakeknya
diperlakukan demikian. Kedua
tamu ini tidak tahu sopan santun menyapa kakeknya. Gadis itu cepat naik pitam,
di-cabut pedang hitamnya dan bersiap menerjang orang-orang berkerudung itu.
Eyang Wiku Ginting cepat menahan Kenanga yang siap dengan pedangnya. Hingga
gadis jelita itu ter-paksa menahan langkahnya. Si kakek memberi isya-rat dengan
mengedipkan sebelah matanya agar kenanga menahan diri.
"Kau tenanglah, Cucuku. Biar Eyang saja yang membereskan mereka," bisik Eyang
Wiku Ginting pelan.
"Benar! Akulah yang bernama Eyang Wiku Ginting. Ada keperluan apakah sahabat
berdua menca-riku?" Tanya si kakek tersenyum ramah.
"Kami adalah Penjagal-Penjagal Alam Akherat. Maksud kedatangan kami adalah untuk
mengambil nyawamu! Nah, bersiaplah!" ucap orang berkerudung yang satunya lagi.
"Hm..., Penjagal Alam Akherat..?" gumam si kakek sambil mengerutkan kening. la
mengingat-ingat s-suatu yang berhubungan dengan dua orang tamu berkerudung itu.
"Aku pernah mendengar nama dan sepak terjang kalian di daerah Selatan baru-baru
ini Tidak kusangka hari ini kalian sampai di daerah Barat ini. Dan karena aku
tinggal di perbatasan antara Selatan dan Barat maka sasaran pertama kalian
adalah aku. Boleh aku tahu, apa maksud kalian menebarkan bencana di kalangan dunia
persilatan" Apakah, kalian mencari seseorang untuk membalas dendam, atau ingin
menguasai dunia persilatan?"
Kedua tamu berkerudung itu diam membisu. Sorot mata mereka menatap tajam
menyiratkan hawa maut yang menggetarkan hah siapa saja yang beradu pandang
dengan mereka. Pelahan-lahan tangan me-reka terangkat ke atas.
Angin dingin menebar meng-gigit kulit.
"Hm!"
Disertai sebuah dengus kasar, tubuh salah seorang dari kedua orang berkerudung
itu dengan geram menerjang Eyang Wiku Ginting dan Kenanga. Serangkum angin tajam
berhembus keras mengiringi sambaran sepasang tangannya yang bertenaga kuat itu.
"Menyingkirlah, Cucuku!" Seru Eyang Wiku Ginting mendorong Kenanga hingga
terdorong beberapa langkah ke sampingnya.
Wuttt! "Hm..."
Eyang Wiku Ginting memiringkan badannya ke kanan sehingga bacokan telapak tangan
lawan lewat di sampingnya.
Kemudian si kakek melompat ke belakang menghindari tusukan tangan lawan yang
menyusul serangan pertamanya yang gagal.
Sambaran jari-jari tangan yang menimbulkan suara mencicit tajam itu berhasil
pula dihindari kakek itu.
Orang berkerudung yang mengaku Penjagal Alam Akherat itu melompat mengejar tubuh
lawannya. Kedua tangannya kembali menyambar berkesiutan me-ngancam keselamatan
kakek itu yang menjadi cukup kerepotan dibuatnya.
Beberapa kali serangan si orang berkerudung itu berhasil dihindari Eyang Wiku
Ginting dengan me-lukkan tubuh maupun geseran kaki. Akhirnya kakek itu terpaksa
mengangkat tangan kanannya menangkis serangan lawannya yang kali ini tak mungkin
dapat dihindari. Selain itu pun ingin menjajaki sampai di mana kira-kira
kekuatan tenaga dalam lawannya yang mengaku mempunyai julukan mendirikan bulu
roma itu. "Hm...!"
Dukkk! "Aaahhh...!"
Eyang Wiku Ginting sangat terkejut ketika mera-sakan tangannya bagaikan
berbenturan dengan se-bongkah salju yang keras bagaikan baja. Tubuh kakek tua
itu terjajar mundur sejauh empat tombak. Wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri
yang mengigit pada pergelangan tangannya.
"Gila! Tenaga dalam orang berkerudung ini luar biasa!
Untunglah aku sebelumnya telah menggunakan lebih dari separuh tenagaku sewaktu
menangkis se-rangannya. Kalau tidak, bisa-bisa remuk tulang-tu-lang lenganku
dibuatnya,"
desah Eyang Wiku Ginting terkejut.
Si orang berkerudung pun tidak kalah terkejutnya dengan tenaga dalam kakek itu.
Tubuhnya tergetar mundur sejauh enam tombak ke belakang. Wajah di balik kerudung
itu terlihat meringis menahan rasa sakit.
"Eyang...!" Teriak Kenanga sambil berlari membu-ru ke arah Eyang Wiku Ginting la
cemas menyaksikan Eyang Wiku Ginting mengerang kesakitan.
"Tenanglah, Cucuku. Eyang Hdak apa-apa. Seba-iknya engkau cepat-cepat
meninggalkan tempat ini. Engkau sudah lihat betapa dahsyatnya tenaga yang
dimiliki orang yang satunya Itu, hingga membuat Eyang kewalahan seperti ini.
Entah apa jadinya bila mereka berdua mengeroyok Eyang.
Rasanya Eyang tidak akan mampu menghadapi gempuran kedua orang berkerudung itu,"
Eyang Wiku Ginting kembali mengingatkan gadis itu, akan bahaya yang mengan-cam.
'Tidak, Eyang Aku akan tetap di sini menemani Eyang!"
bantah gadis jelita itu. Pedang hitam yang masih berada di dalam genggamannya
itu, sudah me-lintang didepan dada.
Rupanya tekad gadis itu sudah benar-benar tak dapat dibantah lagi.
"Dengarlah, Cucuku. Kematian bukanlah meru-pakan sesuatu yang mengerikan bagiku.
Lagi pula usiaku yang memang sudah demikian lanjut. Sedang-kan engkau, masih
sangat muda sekali, Cucuku. Bagaimana dengan Pendekar Naga Putih"
Bukankah engkau hendak mencarinya" Lalu, bagaimana mungkin kamu dapat
menemukannya kalau kamu tidak segera pergi untuk mencarinya" Mungkin saat ini
ke-kasihmu dalam keadaan sekarat, entah di mana dan tidak ada seorang pun yang
berada di sisinya yang dapat meringankan penderitaannya," kata Eyang Wiku
Ginting, merasa kewalahan menghadapi kekerasan hati gadis itu, terpaksa
menggunakan akalnya untuk membujuk Kenanga.
Mendengar ucapan Eyang Wiku Ginting yang me-ngingatkan niatnya semula untuk
Pendekar Remaja 12 Kitab Ilmu Silat Kupu Kupu Hitam Naga Bumi 3 Karya Seno Gumira Sang Fajar Bersinar Di Bumi Singasari 2