Perempuan Berbisa 2
Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa Bagian 2
sekitar desa itu untuk mencari Anila. Namun usahanya sia-sia.
Pencarian dihentikan, setelah lebih dari setengah hari mengelilingi tanpa hasil.
Ada terselip rasa khawatir dan kasihan membayangkan Anila tertangkap oleh
prajurit yarig banyak berkeliaran di desa ini.
Panji berdiri gundah di atas sebuah dataran yang agak tinggi. Matanya memandang
berkeliling, menduga-duga ke mana kira-kira Anila pergi. Pandangan Panji
terhenti pada sebuah gundukan tanah berupa anak bukit, yang banyak ditumbuhi
pepohonan. Letaknya, di sebelah selatan desa, kira-kira seperempat hari
perjalanan biasa.
"Siapa tahu Anila pergi bersembunyi ke tempat itu...."
Setelah berpikir demikian, tanpa membuang waktu lagi Panji segera melesat menuju
anak bukit itu.
Bagi orang seperti dirinya, memang tidak membutuhkan waktu lama. Beberapa saat
saja, langkah Panji telah tiba di seputar kaki anak bukit yang ternyata memang
cukup baik sebagai tempat persembunyian. Pepohonan liar yang tumbuh rapat,
menjadikan anak bukit itu cocok sebagai sarang buronan. Rasa cemas melihat
tempat itu tidak cocok bagi perempuan, membuat Panji segera merambah semak
perdu. Ia mulai menjelajah sekitarnya.
Tapi mendadak saja....
Wrrrrt, wwrrttt!
Baru sekitar delapan tombak Panji melangkah, tiba-tiba kedua pergelangan kakinya
terjepit sesuatu.
Dan sebelum sempat menyadari, tahu-tahu tubuhnya tersentak ke atas, untuk
kemudian terhenti berjarak satu setengah tombak dari atas tanah. Kedua
pergelangan kakinya terjerat tali perangkap, membuat tubuhnya tergantung dan
terayun-ayun. "Hua ha ha...! Perangkapku ternyata benar-benar jitu! Semula kusangka harimau
gagah yang cerdik.
Tapi, nyatanya hanya seekor babi tolol!"
Terdengar tawa terbahak dan ucapan bernada menghina, yang disusul munculnya
sesosok tubuh bertampang garang. Wajahnya ditumbuhi berewok liar, dengan
sepasang mata berapi memancarkan dendam dan kebencian.
"Golok Tunggal..!" seru Panji agak terkejut begitu mengenali lelaki bertampang
garang yang pernah dipecundanginya.
"Bagus! Kau rupanya masih mengenaliku, Bocah Sombong! Itu berarti kau pun pasti
masih ingat perbuatanmu yang sok pahlawan tempo hari," balas Golok Tunggal, yang
mengaku sebagai Penguasa Rimba Kenara. Langkahnya terayun lambat, merasa yakin
kalau dendamnya akan segera terlampiaskan.
"Hm.... Kau rupanya masih belum kapok," tukas Panji tanpa menunjukkan rasa
gentar, meski dirinya telah tertawan.
Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu kalau kali ini Golok Tunggal tidak seorang
diri. Adanya suara langkah kaki lain, yang bermunculan dari semak sekitarnya,
membuat Parlji mengerti kalau Golok Tunggal memang sudah mempersiapkan
pembalasan dendamnya. Dalam hati, Pendekar Naga Putih menghitung jumlah orang
yang baru datang itu. Sembilan orang.
"Hm.... Masih juga hendak berlagak seperti harimau" Tahukah kau, Bocah! Tali
penjerat kakimu telah kulumuri racun?" ejek Golok Tunggal kembali
memperdengarkan gelak tawanya.
"Begitukah?" tukas Panji tersenyum sinis. "Biar kucoba, apakah racunmu dapat
melukaiku."
Usai berkata demikian, Panji menyentak naik separo tubuhnya, hendak menjangkau
tali dengan kedua tangannya.
Golok Tunggal dan kawan-kawannya yang berkumpul di bawah tubuh Pendekar Naga
Putih terus memperdengarkan gelak tawa ramai. Karena, sewaktu Panji hendak
menjangkau tali yang menjerat kedua lakinya, secara tiba-tiba tubuhnya meluncur
deras ke bawah. Akibatnya, niatnya tertunda. Pendekar Naga Putih sudah mengulur
tangan untuk menahan tubuhnya yang menurutnya akan terbanting ke tanah, tapi
lagi-lagi dibuat kaget. Karena sebelum kedua telapak tangannya menyentuh
permukaan tanah, tali yang menjerat kakinya cepat tertarik ke atas. Bisa
dimengertilah sekarang, mengapa Golok Tunggal tampak begitu yakin kalau Pendekar
Naga Putih tidak akan bisa membebaskan diri dari perangkap. Rupanya selain
sembilan orang yang dilihatnya, masih ada empat orang lagi yang bertugas
mempermainkan tali penjerat.
"Perangkapmu cukup mengagumkan, Golok Tunggal. Tapi sayang, kau terlalu sombong
dan meremehkan orang lain. Coba kau lihat, apakah tali-tali ini akan sanggup
menahan berat tubuhku," kata Panji.
Segera Pendekar Naga Putih mengerahkan ilmu memberatkan tubuh, membuat dirinya
lebih berat dari seekor gajah.
Sementara itu Golok Tunggal bersama sembilan orang kawannya terus tertawa
terbahak-bahak. Tapi, mulut-mulut yang terbuka lebar itu seketika menutup.
Sepuluh pasang mata itu terbelalak bagai hendak melompat dari rongganya.
Ternyata tubuh pemuda yang tengah tergantung tiba-tiba meluncur deras, disusul
teriakan-teriakan ngeri dari empat sosok tubuh yang tersentak naik, mengikuti
tali-tali yang masih dipegang.
Panji sengaja mengayun tubuhnya dengan gerakan berputar, kemudian meluncur turun
sekitar dua tombak lebih dari tempat Golok Tunggal dan sembilan orang kawannya
berada. Dan karena Pendekar Naga Putih masih belum melepaskan ilmu memberatkan
tubuhnya, maka keempat orang yang memegang tali penjerat ganti bergantungan
sambil berteriak-teriak ketakutan.
"Golok Tunggal! Tidakkah kau iri pada keempat lawanmu" Lihatlah! Mereka
bersorak-sorak kegirangan sambil bertepuk tangan. Dan sebentar lagi, mereka akan
saling berlomba melompat ke bawah!"
Setelah berkata demikian, Panji membungkuk. Langsung dilepaskannya ikatan pada
kedua pergelangan kakinya.
"Jangaaannn...! Tuan Pendekar. Ampuuun...!"
Keempat erang kawan Golok Tunggal yang tergantung setinggi tiga tombak dari
permukaan tanah, berteriak-teriak ketakutan. Wajah mereka pucat, bagai tak
berdarah dengan sekujur tubuh sudah dibasahi keringat dingin.
"Ah! Aku tidak yakin kalau kalian benar-benar takut!" ledek Panji sambil
menengadahkan kepalanya, memandang empat orang lelaki yang kehilangan tampang
bengisnya. "Kami tobat, Tuan Pendekar! Kami tidak ingin terbanting jatuh! Kami mengaku
salah, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan jahat lagi! Kami ingin hidup
dan menjadi orang baik-baik!"
Keempat orang itu bergantian berteriak meminta belas kasihan. Melihat
kesungguhan dalam ucapan dan wajah mereka, Pendekar Naga Putih yang memang tidak
sungguh-sungguh, segera mengulurkan perlahan-lahan tali yang telah dilepas dari
pergelangan kaki. Sehingga, keempat orang itu dapat tiba di tanah dengan
selamat. Tampak jelas, betapa tubuh mereka masih gemetar oleh rasa takut.
Panji tersenyum lega, dan balas mengangguk ketika keempat orang itu mengucapkan
terima kasih. Dan tanpa menghiraukan Golok Tunggal serta kawannya yang lain,
keempat lelaki itu bergegas meninggalkan tempat ini.
23 "Golok Tunggal," ujar Panji, menghadapi Golok Tunggal dan sembilan orang
kawannya. "Kalau kau mau jujur, sebenarnya di antara kita tidak pernah ada
permusuhan. Kalaupun ada, itu karena kesalahanmu. Dan aku..."
"Cukup!" tukas Golok Tunggal dengan bentakan keras. "Kau tidak perlu berkotbah
di depanku! Lebih baik, bersiaplah untuk merasakan pembalasan Golok Tunggal!"
Cring! Terdengar suara gemerincing sewaktu Golok Tunggal mencabut senjatanya. Kemudian,
diberikannya isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok Pendekar Naga Putih.
Golok Tunggal sendiri sudah bergerak maju sambil memutar senjatanya.
Panji, tersenyum pahit, melihat sikap keras kepala Golok Tunggal. Tubuhnya masih
belum bergeser, meski Golok Tunggal dan sembilan orang kawannya telah mengurung
membentuk lingkaran lebar.
"Seraaang...!"
Golok Tunggal langsung memberi perintah. Golok besar di tangannya berputar cepat
menimbulkan suara angin menderu-deru, dan langsung meluncur datang mengancam
tubuh Pendekar Naga Putih.
Whukkk! Senjata yang besar dan berat itu menderu lewat di samping tubuh Panji, yang
sudah bergeser seangkah.
Dan Pendekar Naga Putih terus melompat mundur, sewaktu dua senjata pengeroyok
lain berdesing datang.
"Hyaahhh...!"
Sambil melompat berputar, Panji membentak seiring tendangan yang membuat dua
orang penyerang di belakang terjungkal roboh. Kemudian serangannya kembali
menghentak dua penyerang dari samping.
"Hyaattt...!"
Golok Tunggal kembali menyerbu dengan tusukan golok, sewaktu Pendekar Naga Putih
baru saja menjejakkan kedua kaki di tanah. Namun tusukan itu kembali luput
karena Panji telah menekuk tubuhnya ke belakang sambil mengirimkan sebuah
tendangan lurus ke perut.
"Begh!"
"Hegh!"
Tendangan yang cepat dan tak terduga membuat Golok Tunggal memekik kesakitan.
Tubuhnya kontan terpelanting roboh. Rasa mual yang menyerang perut, membuatnya
tak mampu buru-buru bangkit.
Sementara itu lima pengeroyok yang tersisa bergegas menyerbu untuk menolong
Golok Tunggal. Senjata-senjata mereka berdesingan, meluncur mengancam tubuh Pendekar Naga
Putih. Tapi semua serangan dapat mudah dipatahkan Panji. Bahkan serangan
balasannya membuat tiga orang langsung berpelantingan yang disusul robohnya dua
orang lain, ketika terkena tendangan Panji.
Ketika sembilan pengeroyok masih bergeletakan di tanah sambil mengerang
kesakitan, Panji melangkah menghampiri Golok Tunggal yang masih belum bisa
menghilangkan rasa mualnya.
"Golok Tunggal," sebut Panji dengan sikap penuh perbawa. "Apakah untuk
menyadarkanmu dari kesesatan, aku harus mematahkan kedua kaki dan| tanganmu
terlebih dulu?"
Golok Tunggal tidak menjawab. Namun sorot matanya menentang tatapan Panji.
Terdengar suara menggereng dari kerongkongannya.
"Persetan denganmu. Mampuslah...!"
Diam-diam, rupanya Golok Tunggal tengah berusaha memulihkan kekuatan. Setelah
merasa cukup kuat, tubuhnya langsung melenting bangkit. Bahkan cepat senjatanya
ditusukkan sambil membentak.
Namun, Panji cepat menarik kaki kirinya sambil memiringkan tubuh. Begitu ujung
golok lewat dan tubuh Golok Tunggal berada di depan, tangannya langsung
menghantam punggung. Akibatnya, Golok Tunggal seketika terbanting keras.
Ngkk! "Uhh..."
Golok Tunggal merintih. Tebasan Pendekar Naga Putih membuat tulang punggungnya
terasa patah. Belum lagi rasa sakit itu lenyap, tahu-tahu kedua tangannya telah diputar ke
belakang. Krekk! "Aaakh...!"
Golok Tunggal menjerit kesakitan.
"Hendak kulihat, apakah kesesatanmu masih akan dilanjutkan setelah kubuat
cacat," geram Panji, siap mematahkan kedua tangan Golok Tunggal.
"Jangaaan...!" jerit Golok Tunggal ketakutan. Ngeri hatinya membayangkan cacat
yang akan diterima.
"Mengapa" Bukankah ini yang kau kehendaki?" tanya Pendekar Naga Putih sambil
melanjutkan perbuatannya.
"Ampuuunnn...!' Aku menyerah...! Jangan patahkan tanganku! Aku berjanji akan
meninggalkan kesesatan," jerit Golok Tunggal dengan napas tersengal dan wajah
semakin pucat. "Hm... Kau tidak bisa dipercaya!"
"Aku bersumpah...!" tukas Golok Tunggal buru-buru, karena Panji masih terus
memuntir kedua tangannya.
"Baiklah," ujar Panji, akhirnya melepaskan kedua tangan Golok Tunggal. "Untuk
kali ini, aku percaya sumpahmu. Tapi jika kudengar kau masih melanjutkan
perbuatan sesatmu, aku akan datangi untuk mematahkan kedua kaki dan tanganmu!"
"Baik, baik...," sambut Golok Tunggal terengah.
"Sekarang, jawab pertanyaanku. Aku sedang mencari wanita, yang pernah kau ganggu
di Rimba Kenar|. Apakah kau melihatnya di sekitar kaki anak bukit ini?" tanya
Pendekar Naga Putih.
Sementara ini Golok Tunggal sudah duduk di depan Panji.
"Bukankah ia bersamamu menginap di Desa Bajang?" Golok Tunggal balik, bertanya.
Panji menatap wajah Golok Tunggal beberapa saat, lalu menghela napas kecewa.
Golok Tunggal ternyata sama sekali tidak tahu tentang kepergian Anila. Panji
percaya, Golok Tunggal sama sekali tidak berdusta. Dan pertanyaan yang diajukan
kepadanya memang sungguh-sungguh.
"Sudahlah. Aku harus mencarinya ke tempat lain. Tapi kalau kau nanti melihatnya,
bawa perempuan itu pergi meninggalkan daerah ini," pesan Panji sambil bergerak
bangkit. Dan ketika melihat Golok Tunggal hendak bertanya, Panji segera mendahuluinya.
"Kau tidak perlu tahu mengapa! Jalankan saja, apa yang tadi kusampaikan! "
"Baik, baik, Tuan Pendekar...."
Golok Tunggal mengangguk berkali-kali. Dia masih terus mengangguk, tidak sadar
kalau Panji sudah melesat meninggalkan tempat ini.
*** Dua orang lelaki setengah tua tampak memperlambat lari kudanya, sewaktu tiba di
pinggir sebuah aliran sungai. Dan ketika kuda mereka hendak dibawa menyeberang,
tiba-tiba saja dihentikan. Rupanya, sosok perempuan gendut dan lelaki tinggi
kurus di seberang sungai, membuat kedua penunggang kuda ini berhenti dengan
kening berkerut. Sorot mata kedua penunggang kuda itu memancarkan kecurigaan,
sewaktu melihat adanya sosok tubuh lain dalam pondongan lelaki tinggi kurus di
sebelang sungai.
"Rasanya aku mengenal kedua orang di seberang itu, Kakang Bogantara...," desis
salah satu penunggang kuda, yang memiliki jenggot terpelihara rapi.
"Benar, Adi Sobaya. Perbedaan mereka satu sama lain sangat menyolok dan mudah
diingat. Kita harus berhati-hati! Kalau tidak salah, mereka adalah Iblis Kutub
Utara dan Setan Gurun Api, seperti yang kita duga.
Mereka merupakan tokoh-tokoh sinting yang sukar ditebak tingkah lakunya," bisik
laki-laki yang dipanggil Bogantara. Usianya tiga tahun lebih tua dari laki-laki
yang bernama Sobaya. Sewaktu berbicara, sepasang matanya tertuju lurus ke depan.
Dugaan Bogantara dan Sobaya memang tidak meleset. Dua sosok yang di seberang
sungai, yang kini sudah berloncatan menyeberang dengan gerakan ringan adalah
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api.
Sedangkan sosok dalam pondongan Setan Gurun Api jelas adalah Senapati Guptasena
yang berhasil diculik.
Bogantara dan Sobaya tersenyum menganggukkan kepala kepada suami-istri sinting
itu, ketika sudah tiba di dekat mereka. Kedua penunggang kuda ini mengambil
sikap pura-pura tidak mengenal. Mereka hanya menunjukkan sikap ramah,
sebagaimana dua perantau yang kebetulan berpapasan di jalan.
Setan Gurun Api menyeringai, memperlihatkan beberapa buah giginya yang tanggal.
Sedangan Iblis Kutub Utara tidak mempedulikan sikap ramah kedua penunggang kuda
itu. Sepasang matanya memang tertuju ke arah Bogantara dan Sobaya. Tapi, bukan
kedua orang itu yang menjadi perhatiannya. Justru, binatang tunggangan merekalah
yang menarik minatnya.
"Hai..."!" tiba-tiba Setan Gurun Api berseru mengejutkan sambil menoleh ke arah
istrinya. "Dinda!
Coba perhatikan baik-baik. Bukankah mereka Jago-jago Pedang dari Selatan?"
"Benar, Kanda," sahut Iblis Kutub Utara, setelah meneliti wajah Bogantara dan
Sobaya beberapa saat.
"Tapi, kabarnya mereka berdua telah mengabdikan diri pada kerajaan. Lantas,
mengapa sekarang bisa berkeliaran di tempat ini?"
"Eh..."!" Setan Gurun Api sedikit terkejut dengan keterangan istrinya.
Sementara itu Bogantara dan Sobaya tampak diliputi ketegangan. Mereka merasa
serba salah. Meneruskan niat untuk menyeberang, takut suami-istri itu tersinggung. Diam di
tempat dan mendengarkan pembicaraan mereka, sangat tersiksa rasanya. Mereka
khawatir, kedua tokoh akan mencari gara-gara. Memang, sudah banyak terdengar
sepak terjang sepasang suami-istri sinting itu, yang sering-kali membuat ulah
tanpa sebab. Tapi mereka tidak bisa berbuat lain, kecuali diam dan mendengarkan.
"Hei" Apakah kalian sengaja hendak mencari kami?" tanya Setan Gurun Api, mulai
menunjukkan ulah.
"Mencari kalian...?" Bogantara keheranan. "Untuk apa?"
Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan berpura-pura bodoh! Ayo, ngaku! Kalian pasti sengaja menghadang di
tempat ini, bukan"
Coba-coba hendak merebut senapati tolol ini dari kami!" desak Iblis Kutub Utara.
Perempuan gendut ini sudah melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Senapati tolol...?"
Bogantara dan Sobaya saling bertukar pandangan, berdesis berbarengan. Kemudian
mereka sama-sama berpaling menatap sosok tubuh yang tergantung di bahu Setan
Gurun Api. "Nah! Benar, kan" Kalian sengaja menghadang untuk membebaskan senapati tolol
ini?" tuduh Setan Gurun Api, begitu melihat Bogantara dan Sobaya memandang sosok
Senapati Guptasena yang tergantung di bahunya.
Anehnya, lelaki tinggi kurus ini menunjukkan sikap seperti anak kecil yang takut
mainannya direbut orang. Kakinya melangkah mundur, sambil menyilangkan kedua
tangan, melingkari tubuh Senapati Guptasena.
"Maaf, sahabat Setan Gurun Api. Kami benar-benar belum mengerti. Kami memang
benar diutus sang Prabu. Tapi, bukan untuk merebut orang yang kalian bawa itu.
Melainkan, untuk menggabungkan diri dengan pasukan Senapati Guptasena di benteng
perbatasan," jelas Bogantara.
Mata laki-laki ini tak lepas dari sosok di bahu Setan Gurun Api. Dia memang
penasaran mendengar ucapan suami-istri sinting itu, yang mengaku sebagai
penculik orang yang disebut sebagai senapati tolol. Tapi sosok yang hanya
terlihat punggungnya tidak bisa dikenali Bogantara. Dan ini membuatnya penasaran
ingin tahu siapa sebenarnya sosok di atas bahu Setan Gurun Api.
"Haaa...! Alasan yang dicari-cari...!" kata Setan Gurun Api dengan suara sember,
sambil menuding wajah Bogantara.
Tapi sikap lucu ini tidak membuat Bogantara dan Sobaya tertawa. Bahkan mereka
malah semakin tegang.
Bogantara dan Sobaya saling bertukar pandangan sesaat. Ucapan-ucapan dan tuduhan
yang mencurigakan membuat mereka ingin mengetahui, siapa sebenarnya yang ada
dalam pondongan Setan Gurun Api itu.
"Bisakah kami..."
"Tidak bisaaa...!" potong Setan Gurun Api langsung.
Lelaki tinggi kurus ini menjebikkan bibirnya, sambil menggoyang-goyangkan
telapak tangan.
"Kalian boleh pergi dan bergabung dengan pasukan di benteng perbatasan itu.
Tapi, Senapati Guptasena tetap harus kami bawa. Bukan begitu, Dinda?" lanjut
Setan Gurun Api, menoleh kepada istrinya.
Perempuan gendut itu hanya mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu, kami terpaksa harus melupakan kebodohan sendiri...," kata
Bogantara langsung melompat turun dari atas punggung kudanya, begitu Setan Gurun
Api sudah menjelaskan secara tidak langsung.
Sobaya pun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya meluncur turun dengan ringan.
Sepasang pedang di punggungnya segera dicabut keluar, dan langsung disilangkan
di depan dada. "Serahkan Senapati Guptasena kepada kami...!" pinta Sobaya dengan sikap
mengancam. Rasa gentarnya lenyap, begitu tahu kalau suami-istri itu telah
menculik Senapati Guptasena.
"Wah! Jagoan-jagoan istana ini hendak jual lagak di depan kita, Dinda...," ujar
Setan Gurun Api, memandang remeh kedua orang jagoan istana itu.
"Biar aku yang menghadapinya, Kanda...!"
Baru saja perkataannya lenyap, Iblis Kutub Utara sudah menggelinding datang
disertai tebaran hawa dingin. Dan tahu-tahu, tamparannya sudah berada di depan
kepala Sobaya. Tentu saja Sobaya kaget bukan kepalang! Jago pedang pasangan ini
sempat gugup, sewaktu wajahnya terasa beku oleh sambaran angin pukulan wanita
gendut itu. Tapi, memang tidak percuma bila Sobaya terpilih sebagai salah satu jagoan
istana. Ancaman telapak tangan Iblis Kutub Utara pada kepalanya, segera disambut
gerakan sepasang pedangnya yang bersilangan. Siap menggunting putus lengan
perempuan gendut itu.
Tring! Sobaya mencelos hatinya, sewaktu guntingan sepasang pedangnya kehilangan
sasaran. Ternyata Iblis Kutub Utara sudah merobah gerakan, dan kini meluncur
datang mengancam dadanya yang terbuka!
"Haiiittt..!"
Untuk menyelamatkan diri Sobaya berseru nyaring lalu melemparkan tubuhnya untuk
berjumpalitan ke belakang. Kendati telah menginjakkan kaki dengan selamat, tak
urung wajah Sobaya menjadi agak pucat!
Dalam dua gebrakan saja, ia nyaris celaka di tangan perempuan gendut itu.
Sementara itu, Bogantara telah bergerak mendekati Setan Gurun Api. Pedang di
tangan kanannya bergulung-gulung, membentuk gundukan sinar putih. Tapi, niatnya
tidak tersampaikan, karena Iblis Kutub Utara datang menghalanginya. Terpaksa
Bogantara merobah serangan, dan kini ditujukan kepada perempuan gendut itu.
Sobaya yang baru saja lolos dari maut, tidak tinggal diam. Tahu betapa hebat dan
berbahayanya perempuan gendut itu, maka langsung saja menerjunkan diri ke dalam
kancah perkelahian untuk membantu rekannya. Kedua jago istana ini bekerja sama
dalam menghadapi Iblis Kutub Utara.
Dua puluh jurus telah lewat. Sejauh ini, Bogantara dan Sobaya masih bisa
mengimbangi serangan-serangan lawan. Tidak jarang ujung-ujung pedang mereka
sempat membuat Iblis Kutub Utara kewalahan. Dan hal ini membuat perempuan gendut
itu menjadi marah! Serangan-serangannya di tingkatkan, sehingga pada jurus-jurus
selanjutnya, Bogantara dan Sobaya terpaksa harus bermain mundur. Udara di
sekitar arena pertarungan yang semakin bertambah dingin, membuat gerakan mereka
menjadi agak lambat. Sedang, serangan perempuan gendut itu semakin bertambah
gencar. Akibatnya, Bogantara dan Sobaya terdesak hebat!
"Kena...!"
Tiba-tiba-Iblis Kutub Utara berteriak nyaring sambil menghantamkan telapak
tangan ke dada Sobaya.
Desss! "Uhkkk...!"
Perhatian Sobaya tadi memang terpecah oleh teriakan lawannya. Maka dia harus
merelakan telapak tangan lawan telak menghantam dadanya. Sehingga tubuhnya
terpental deras memuntahkan darah segar!
"Terima balasanku, Gajah Bengkak! Yiaaa...!"
Bogantara marah bukan main. Pedang di tangannya cepat meluncur membabat kepala
Iblis Kutub Utara yang baru menarik pulang tangannya. Tapi, sambaran pedang
Bogantara tertangkap pendengaran perempuan gendut itu.
Bogantara sempat dibuat kagum, karena perempuan gendut itu ternyata mampu
menjaga keseimbangan. Bahkan sama sekali tidak jatuh, sewaktu menghindari babatan pedang
dengan menarik tubuh atasnya hingga doyong ke belakang! Malah dalam kedudukan
demikian, masih juga sempat mengirimkan tendangan lurus!
Zebbb! Telapak kaki Iblis Kutub Utara lewat di samping bahu Bogantara, yang menghindar
dengan menekuk lutut kanan. Buru-buru Bogantara merobah kedudukannya disertai
bacokan pedang ke sambungan lutut Iblis Kutub Utara. Sayang sebelum serangannya
mendekati sasaran, tendangan yang luput dari perempuan gendut itu telah terayun
ke dadanya. Dukkk! Meski berhasil menyelamatkan dada dengan melintangkan tangan kiri, tak urung
kuda-kuda Bogantara tergempur. Tubuhnya terpental, akibat benturan keras. Dan
selagi tubuhnya melayang di atas tanah, Iblis Kutub Utara mengejar datang
disertai dorongan kedua telapak tangan.
Bresss! "Aaaa...!"
Bogantara menjerit ngeri. Tubuhnya kembali terpental deras, disertai muntahan
darah segar yang berceceran di tanah. Tapi sebelum tubuh jago istana ini
terbanting ke tanah, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat dan langsung
menangkap tubuh Bogantara.
Tappp! Luncuran tubuh Bogantara tertahan, ketika berhasil ditangkap bayangan putih itu.
Tapi jago istana ini sudah tidak ingat apa-apa lagi alias tak sadarkan diri.
Sementara orang yang menyelamatkan nyawanya meluncur turun dengan ringan.
"Hak hak hak..! Pendekar Naga Putih muncul lagi...!"
Setan Gurun Api yang mengikuti jalannya perkelahian, langsung memperdengarkan
tawa ganjil. Tokoh sinting ini malah kelihatan gembira, melihat kemunculan
bayangan putih yang ternyata Pendekar Naga Putih, dan yang menyelamatkan
Bogantara. Malah kakinya sudah melangkah lebar, menghampiri Panji.
"Kanda!"
Tiba-tiba sentakan nyaring menghentikan langkah Setan Gurun Api. Bergegas
tubuhnya diputar menghadapi istrinya, yang berkacak pinggang dengan sepasang
mata berkilat marah.
"Ayo kita pergi dari tempat ini!"
Sambil berkata demikian, Iblis Kutub Utara langsung menyambar lengan suaminya,
memaksanya meninggalkan tempat itu.
"Mengapa kau marah-marah, Dinda?" tanya Setan Gurun Api yang tidak menolak
dituntun pergi.
"Hm.... Kau pikir aku tidak tahu, ya" Otak kotormu sudah bisa kubaca! Kau
gembira melihat kemunculan Pendekar Naga Putih, karena perempuan genit yang dulu
bersamanya itu, kan" Hayo.... Ngaku atau tidak?" hardik Iblis Kutub Utara seraya
memindahkan tangannya ke telinga suaminya. Lalu dijewernya telinga laki-laki
kurus itu keras-keras, sampai menjerit kesakitan. Tapi perempuan gendut ini
tidak peduli. Terus dijewernya telinga itu dan dibawanya pergi meninggalkan
tempat ini. Sebelum tubuh jago istana itu terbanting ke tanah, tiba-tiba sesosok bayangan
putih berkelebat menangkap tubuh Bogantara.
Tappp! Tubuh Bogantara berhasil ditangkap.
"Hak hak hak..! Pendekar Naga Putih muncul lagi!" Setan Gurun Apa yang melihat
jalannya perkelahian, langsung memperdengarkan tawa ganjil.
"Hua ha ha...! Siapa sangka kedatanganku, telah membuat Iblis Kutub Utara dan
suaminya lari terbirit-birit...!"
Ucapan lantang itu membuat langkah Iblis Kutub Utara terhenti. Kemudian,
tubuhnya berputaran dengan tangan melekat erat di telinga suaminya. Dan ini
membuat Setan Gurun Api terpaksa ikut berbalik sambil meringis.
"Khek kek kek..!"
Setelah diam sebentar dengan mata menatap sosok Panji, Iblis Kutub Utara tertawa
berkakakan. Sama sekali tidak disadari kalau tangannya justru memuntir telinga
suaminya kuat-kuat!
"Aaooo...!" Setan Gurun Api menjerit kesakitan sekuat-kuatnya.
"Ada apa, Kanda..."!" tanya Iblis Kutub Utara dengan wajah tak berdosa.
"Ada apa, ada apa!" tukas Setan Gurun Api bersungut-sungut dengan wajah mirip
udang rebus, "Tanganmu ini, apa tidak bisa dilepaskan barang sebentar?"
"Oohh...!" seru perempuan gendut ini yang timbul kasihan melihat wajah suaminya
yang terlihat sangat kesakitan, langsung dielus-elusnya telinga suaminya.
"Kanda.... Ayo kita lihat dari dekat, seperti apa sih rupa orang yang mengatakan
kita lari terbirit-birit."
Setan Gurun Api yang masih mendongkol, tidak menyahut sepatah pun. Hanya
diikutinya langkah istrinya yang menghampiri Pendekar Naga Putih.
6 Panji tersenyum tipis, melihat pancingannya mengena, ia berdiri menunggu
sepasang suami-istri sinting itu mendekatinya. Beberapa tombak di samping kiri
Pendekar Naga Putih, tampak Sobaya memperhatikan. Jago istana yang lukanya tidak
terlalu parah ini, duduk di bawah sebatang pohon untuk menjaga Bogantara yang
masih tak sadarkan diri. Sobaya tidak mencemaskan keadaan rekannya, yang telah
diberi pertolongan sementara oleh Pendekar Naga Putih. Nama besar dan sepak
terjang Pendekar Naga Putih, membuatnya percaya penuh terhadap kemampuan
penolong rekannya. Apalagi, Pendekar Naga Putih meyakinkan dirinya kalau keadaan
rekannya tidak perlu terlalu dicemaskan. Sehingga, ucapan itu membuat hatinya
tenang. Pendekar Naga Putih sengaja memasang wajah seram, sewaktu sepasang suami-istri
sinting itu berhenti dua langkah di hadapannya. Sengaja Panji bersikap gila-
gilaan, untuk mengimbangi mereka. Dengan begitu, ia tidak terlalu jengkel oleh
ulah ganjil mereka.
"Hei, Iblis Gendut seperti gajah dan Iblis Kurus seperti cecak kering! Sewaktu
di benteng perbatasan, aku memang tidak sempat mengurusi kalian! Sehingga,
kalian berhasil menculik Senapati Guptasena.
Keberhasilan kalian secara tidak langsung, adalah karena bantuanku. Nah!
Sekarang, aku minta imbalan atas jasaku," hardik Panji sambil berkacak pinggang.
Kaget juga sepasang suami-istri sinting ini mendengar ucapan Pendekar Naga
Putih. Dan mereka saling bertukar pandang, lalu mengangguk-angguk. Seperti telah
mendapat kata sepakat, keduanya berpaling menatap Panji.
"Seharusnya kamilah yang menuntut imbalan darimu, Pendekar Naga Putih!" Iblis
Kutub Utara balik menuntut. "Karena kami, maka kau berhasil menculik putra
senapati tolol ini."
"Tidak bisa," sanggah Panji. "Tidak ada bukti kalau aku berhasil melakukan hal
itu. Coba buka mata kalian lebar-lebar. Apakah aku membawa bocah yang kalian
maksudkan itu?"
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api melangkah maju, lalu berjalan mengitari
tubuh Panji. Kepala mereka manggut-manggut, ketika tidak menemukan adanya putra
Senapati Guptasena pada sekujur tubuh Pendekar Naga Putih.
"Benar juga, ya...," desah keduanya manggut-manggut kebingungan.
"Sebaliknya, pada kalian bukti itu jelas terlihat," kata Panji merasa menang.
"Kalian telah berhasil menculik Senapati Guptasena. Dan itu karena jasaku."
"Lalu, apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Iblis Kutub Utara, menatap Panji
dengan wajah bodoh.
"Aku menginginkan bagian tubuh Senapati Guptasena," jawab Panji, berusaha keras
menahan tawa. Tidak disangkanya sedemikian mudah membodohi suami-istri sinting itu.
"Maksudmu.,.?" Setan Gurun Api menegasi.
"Senapati Guptasena terculik, karena kerja sama kita bertiga. Tentunya supaya
adil, kita bagi tiga saja tubuhnya...."
"Aku tidak setuju!" tukas Iblis Kutub Utara, langsung.
Demikian juga Setan Gurun Api. Keduanya menyatakan keberatan atas usul Pendekar
Naga Putih. Bahkan sikap ketololan mereka nyaris pupus, oleh sinar garang yang mulai nampak
di wajah keduanya.
"Bagaimana kalau kita adakan perlombaan...?" kata Panji buru-buru, melihat
keadaan mulai tegang.
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api hanya bergumam.
"Tubuh Senapati Guptasena kita ikat pada sebatang pohon dalam jarak kurang lebih
sepuluh tombak dari kita bertiga. Lalu, kita berlomba untuk membebaskannya.
Siapa yang melakukannya lebih dulu, dinyatakan sebagai pemenang. Dengan
demikian, Senapati Guptasena berhak menjadi miliknya tanpa boleh diganggu,"
Panji mengungkapkan usulnya.
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api tampaknya tidak keberatan. Sorot
kegarangan di wajah mereka perlahan pudar. Keduanya mengangguk, setelah saling
bertukar pandangan beberapa saat.
"Aku setuju!" ujar Iblis Kutub Utara.
"Aku juga!" sambung Setan Gurun Api.
Suami-istri sinting yang sakti ini tampak gembira sekali. Bahkan Setan Gurun
Api, yang memondong tubuh Senapati Guptasena, bergegas membawa dan mengikatnya
pada sebatang pohon. Kemudian buru-buru ia kembali dengan sepasang mata
bersinar-sinar.
"Apa lomba sudah bisa dimulai...?" tanya lelaki tinggi kurus ini, menatap
istrinya dan Pendekar Naga Putih bergantian.
"Sabar, Setan Gurun Api. Kita harus membuat peraturan dulu," ujar Panji, hampir
tak dapat menahan tawa melihat ketidaksabaran tokoh yang kini bersikap seperti
kanak-kanak itu.
"Wah! Aku tidak suka segala macam peraturan!"
Setan Gurun Api tampak tak senang. Lalu kepalanya menoleh ke arah istrinya,
meminta dukungan.
Tapi, perempuan gendut ini malah memandang Panji.
"Setan Gurun Api," panggil Panji setelah melihat wajah suami-istri sinting itu.
Kelihatannya, mereka beda pendapat satu sama lain, "Siapa tidak menuruti aturan,
tidak boleh mengikuti lomba ini!"
"Betul!" sambut Iblis Kutub Utara, berpihak kepada Panji. "Dan kalau kau masih
banyak mulut, aku akan melemparmu jauh-jauh!"
Setan Gurun Api tidak berani banyak cakap lagi. Tapi, bukan karena takut ancaman
istrinya, melainkan takut tidak diperbolehkan ikut berlomba. Ini yang membuatnya
Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menurut dan tak lagi bawel. Bahkan sewaktu Panji memanggilnya untuk bersiap
dalam garis sejajar yang telah dibuat, Setan Gurun Api hanya mengangguk dengan
mata bersinar-sinar. Kini ketiganya siap berlomba! "Hei, tunggu...! Aku ikut..!"
Panji dan suami-istri sinting ini sama-sama menoleh ke arah asal suara. Wajah
Pendekar Naga Putih menampakkan kegembiraan ketika mengenali siapa adanya orang
yang berteriak dan melesat menghampiri mereka. Sebaliknya, Iblis Kutub Utara dan
Setan Gurun Api memperlihatkan kemarahan. Bahkan keduanya terdengar menggereng.
"Heh heh heh..., Pendekar Naga Putih! Mengapa kau tidak memberitahukan aku,
kalau hari ini ada lomba yang menyenangkan...."
Begitu tiba, sosok yang tingginya hanya sebahu Panji dan bertubuh kurus ini,
langsung saja mengomel panjang-pendek. Kemudian tanpa meminta persetujuan dari
Panji ataupun Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api, sosok yang ternyata seorang
kakek ini langsung saja mengambil tempat, siap ikut sebagai peserta lomba!
"Tidak bisa!"
Sebelum Panji sempat buka suara, terdengar bentakan Iblis Kutub Utara yang
keras. "Eh! Mengapa" Apa hakmu melarangku" Seharusnya, kaulah yang tidak boleh
mengikuti perlombaan ini," dengus kakek yang baru datang ini, tidak mau kalah.
"Haaa...!"
Bantahan ini membuat kemarahan Iblis Kutub Utara berubah menjadi keheranan
besar! Mengapa malah dirinya yang seharusnya tidak boleh ikut"
"Mengapa..."!" tanya Iblis Kutub Utara, akhirnya.
"Ya! Karena, kau sedang hamil!" jawab kakek ini, enteng.
Rupanya, kakek kerdil itu tidak kalah sewotnya dengan Iblis Kutub Utara dan
Setan Gurun Api!
Namun, kelihatannya ia lebih cerdik!
Iblis Kutub Utara tersentak kaget! Ucapan kakek itu membuatnya melirik perutnya
yang memang buncit, persis seperti orang hamil. Tapi, sebentar kemudian baru
disadari. "Boangsaaattt...!"
Iblis Kutub Utara berteriak melengking sekuat-kuatnya. Kemarahannya sudah tidak
bisa ditahan lagi mendengar hinaan kakek bertongkat kayu hitam yang butut itu.
Seketika perempuan gendut merangsek maju, seperti orang kesetanan!
"Ada gajah bunting mengamuuuk..!" teriak kakek bertubuh pendek itu,
memperlihatkan wajah seperti orang ketakutan.
Kemudian dia berlari menyembunyikan diri di belakang tubuh Pendekar Naga Putih.
"Whaaaa....!"
Iblis Kutub Utara berteriak keras! Cengkeramannya kini tertuju ke tubuh Panji!
"Kakek Peramal Sinting, kau benar-benar gila...!" desis Panji, mengumpat pada
kakek yang bersembunyi di belakang tubuhnya. Kemudian bergegas dihindarinya
cengkeraman maut yang telah didahului sambaran angin yang dingin menusuk tulang.
Kegagalan serangan membuat Iblis Kutub Utara semakin bertambah kalap. Tubuhnya
cepat melesat mengejar kedua orang itu. Cengkeraman yang kali ini masih ditambah
lontaran pukulan jarak jauh yang sanggup membekukan urat-urat tubuh datang
bertubi-tubi laksana amukan badai salju. Panji terpaksa harus terus berlompatan
menyelamatkan diri. Sementara, kakek yang ternyata berjuluk Kakek Peramal
Sinting tidak melepaskan pegangan pada pakaian belakang Pendekar Naga Putih.
Sehingga, ke mana Panji melompat menghindar, Kakek Peramal Sinting tidak pernah
ketinggalan. Tubuhnya melekat erat bagai seekor lintah!
"Iblis Kutub Utara! Tahan seranganmu...!" seru Panji yang masih belum mau
membalas sungguh-sungguh. "Kalau kau masih belum juga berhenti, perlombaan akan
kubatalkan...!"
"Berlombalah kau dengan kakek gila itu di akherat...!" sahut Iblis Kutub Utara
dengan kemarahan yang tak juga surut.
Plakkk! Karena tidak berhasil membujuk, terpaksa Panji mengangkat sebelah tangannya
untuk memapak sewaktu pukulan perempuan gendut itu datang mengancam. Benturan
keras membuat mereka sama-sama terjajar mundur!
"Jangan menganggap remeh perempuan bunting itu, Pendekar Naga Putih," Kakek
Peramal Sinting terkekeh memperingatkan Panji.
"Mengapa kau masih saja belum kapok, Kakek Peramal Sinting" Hentikan hinaanmu.
Atau, kau memang ingin tubuhmu dilumatnya?" tukas Panji. Hatinya agak jengkel
juga, dijadikan tameng kakek itu.
"Siapa bilang aku menghina"!" bantah Kakek Peramal Sinting setengah berteriak.
"Lalu, apa menurutmu kalau itu bukan merupakan hinaan?" tukas Panji, ketika
Kakek Peramal Sinting menyangkal.
"Aku tidak menghina. Aku tahu. Iblis Kutub Utara memiliki tubuh seperti gajah
bengkak. Tapi, aku juga tahu kalau saat ini ia sedang dalam keadaan hamil!"
"Hahhh..."!"
"Aku berkata yang sebenarnya, Pendekar Naga Putih...,'' lanjut Kakek Peramal
Sinting sambil terkekeh gembira bisa membuat Panji kaget.
Panji tidak mempedulikan Kakek Peramal Sinting lagi. Karena, saat itu sambaran
angin dingin kembali datang. Bukan hanya Iblis Kutub Utara yang melanjutkan
serangannya. Namun, suaminya kini ikut membantu!
"Tahan serangan! Aku hendak menyampaikan sebuah berita besar untuk kalian
berdua...!" cegah Panji pada suami-istri sinting itu sambil mengangkat kedua
tangannya. "Tidak perlu...!" Iblis Kutub Utara terus maju.
"Whaaa...!"
Panji terpaksa harus melompat, demi menyelamatkan diri.
"Iblis Kutub Utara, Kakek Peramal Sinting! Bukan hendak menghinamu. Tapi, ia
bilang kau memang benar-benar hamil! Kalian berdua akan segera mempunyai seorang
keturunan...!" seru Panji, selagi Iblis Kutub Utara yang mengejarnya meluncur
datang. Seruan Panji begitu jelas terdengar di telinga Iblis Kutub Utara. Hatinya tampak
meragu untuk melanjutkan serangan. Lalu gerakannya dihentikan. Dipandanginya
Panji yang berada satu tombak di depan.
Sementara itu Setan Gurun Api, yang juga mendengar seruan Panji, segera berlari
menghampiri istrinya. Lelaki kurus ini tertawa-tawa sambil menepuk-nepuk perut
buncit istrinya perlahan-lahan.
"Pendekar Naga Putih! Sebagai seorang tokoh muda yang bernama besar, tentunya
kau pantang berdusta! Katakanlah, apakah ucapanmu itu bukan dusta?" tanya Iblis
Kutub Utara, dengan mimik wajah aneh.
Wajah wanita itu berkerut-kerut bagai hendak menangis. Karena, ia tengah
berusaha menguasai perasaannya, siap menerima kenyataan pahit kalau Panji
ternyata berdusta. Padahal, apa yang dikatakan Panji dan Kakek Peramal Sinting
itu merupakan harapan yang selama belasan tahun didambakan. Tidak heran, betapa
perempuan gemuk ini terlihat agak tersiksa menunggu jawaban Panji.
"Aku tidak berdusta, Iblis Kutub Utara," jawab Panji mantap, setelah menoleh ke
arah Kakek Peramal Sinting yang menganggukkan kepala.
"Bodoh kalau kau tidak mengetahuinya, perempuan gendut!" Kakek Peramal Sinting
kembali memaki, membuat Panji kembali menjadi tegang!
Tapi, Iblis Kutub Utara kali ini tidak marah. Bahkan makian Kakek Peramal
Sinting mungkin tidak didengarnya, karena ia tengah mengelus perutnya penuh
kasih sayang. Kedua pipinya tampak basah oleh air mata. Perempuan gendut yang
tingkahnya ganjil dan terlihat tak berperasaan ini, merasa bahagia dan terharu
mendapatkan kenyataan kalau dirinya hamil.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih! Juga kau, Kakek Peramal Sinting," ucap Iblis
Kutub Utara yang mendadak saja berubah lembut. Kemudian kepalanya berpaling
kepada suaminya. "Kanda, sebaiknya kita kembali dan menetap di utara untuk
menunggu kelahiran anak kita."
Setan Gurun Api mengangguk. Dibelainya wajah gemuk istrinya penuh kasih.
Kemudian dibimbingnya lengan istrinya, pergi meninggalkan tempat itu, setelah
berpesan kepada Panji.
"Sampaikan kepada Senapati Guptasena, bahwa segala yang pernah terjadi telah
kami lupakan. Dosanya kami maafkan...," kata Setan Gurun Api.
Panji tidak bertanya apa-apa. Hanya kepalanya mengangguk, dan berjanji akan
menyampaikannya kepada Senapati Guptasena.
"Heh heh heh...! Rahasia Tuhan memang sangat sulit. Iblis Kutub Utara yang
terkenal kejam dan kurang waras, bisa berubah lembut tak beda dengan perempuan-
perempuan lemah. Benar-benar sukar dipercaya...," desah Kakek Peramal Sinting.
Kakek bertubuh kecil itu belum melepaskan pandangannya ke sosok Iblis Kutub
Utara dan Setan Gurun Api yang semakin jauh dan samar, untuk kemudian lenyap
sama sekali. Panji mengangguk-angguk, merasakan kebenaran ucapan Kakek Peramal Sinting.
Kemudian diajak kakek itu ke tempat Senapati Guptasena terikat, dalam keadaan
tak sadarkan diri.
7 Senapati Guptasena mengeluh begitu sadar dari pingsannya. Meski totokan pada
tubuhnya telah dibebaskan Panji, namun tubuhnya masih terasa lemah. Matanya
terbuka perlahan, dan langsung melihat seorang pemuda tampan tengah membungkuk
di samping tubuhnya. Keningnya lantas berkerut, seraya mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Ketika tidak melihat adanya suami-istri sinting yang menculiknya,
tahulah Senapati Guptasena kalau pemuda tampan berjubah putih itu telah
menyelamatkannya.
"Siapakah kau, Anak Muda...?" tanya Senapati Guptasena, setelah menatap Kakek
Peramal Sinting sekilas. Sepasang matanya menatap Panji penuh selidik.
"Nama hamba Panji, Tuan Senapati," jawab Panji mengangguk hormat.
"Hm.... Ke mana perginya Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api.."!" tanya
senapati gagah ini lagi.
"Mereka telah pergi dengan meninggalkan pesan kepada hamba, untuk menyampaikan
permintaan maaf. Juga mereka berpesan kalau telah memaafkan dosa Tuan Senapati.
Mereka tidak mengatakan sebab-sebabnya, karena Tuan Senapati sudah mengerti.
Begitu kata mereka," jelas Panji.
"Syukur kalau mereka telah menyadarinya...," desah Senapati Guptasena
menggambarkan perasaan lega di hati. Kemudian tubuhnya bergerak bangkit,
disertai helaan napas panjang.
Panji ikut bangkit, dan tetap berdiri di samping Senapati Guptasena. Dadanya
sedikit berdebar, sewaktu menyadari kalau sepasang mata Senapati Guptasena
memperhatikan dirinya.
"Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api menculikku dengan maksud untuk membalas
dendam atas kematian murid mereka...."
Tanpa diminta, Senapati Guptasena menjelaskan persoalannya dengan suami-istri
sinting yang menculiknya.
Panji tidak menanggapi. Demikian juga Kakek Peramal Sinting yang sudah membawa
Bogantara dan Sobaya ke tempat Senapati Guptasena dan Panji berada.
Bogantara dan Sobaya langsung memberi hormat kepada Senapati Guptasena. Mereka
berdua menyatakan kelegaan hatinya karena senapati gagah itu telah terbebas dari
cengkeraman penculik-penculiknya.
Kemudian, diceritakannya secara singkat tentang keperluan mereka, yang diutus
sang Prabu. "Untunglah pada saat kami terancam maut, Pendekar Naga Putih datang
menyelamatkan kami berdua...."
Bogantara yang juga mengisahkan tentang usaha mereka menyelamatkan senapati
gagah itu, mengakhiri kalimatnya.
"Pendekar Naga Putih..."!" desis Senapati Guptasena, mengulang julukan Panji.
Kemudian kepalanya berpaling, menatap Panji dengan sorot mata tajam. Wajahnya
benar-benar menggambarkan kemarahan yang siap meledak!
"Maaf, Tuan Senapati. Hamba terpaksa melakukannya...."
Tahu apa yang membuat Senapati Guptasena tiba-tiba menatap marah kepadanya,
Panji buru-buru minta maaf.
"Sejak sadar dan melihat wajah serta dandananmu, aku memang sudah curiga!" cetus
Senapati Guptasena dengan rahang mengeras dan wajah membesi.
Bogantara dan Sobaya tentu saja menjadi heran. Mereka bertukar pandangan satu
sama lain, tak mengerti mengapa panglima gagah itu mendadak marah setelah
mendengar Pendekar Naga Putih disebut. Tapi, keduanya tidak berkata apa-apa.
Mereka hanya menduga kalau antara Pendekar Naga Putih dan Senapati Guptasena ada
sesuatu yang tidak diketahui.
Kakek Peramal Sinting pun tidak berbuat apa-apa. Ia hanya senyum-senyum sambil
menyandarkan tubuh pada sebatang pohon. Sedikit pun tak terlihat tanda-tanda
akan mencampuri persoalan itu.
"Pendekar Naga Putih...!" lanjut Senapati Guptasena dengan suara bergetar
menahan marah, "Selama ini, kita belum pernah bertemu, bukan" Apa salahku
kepadamu" Mengapa kau begitu tega melakukan tindakan keji dengan menculik
putraku" Bahkan bekerja sama dengan kedua orang tokoh sesat yang menculikku! Apa
artinya semua ini, Pendekar Naga Putih" Dan, di mana kau sembunyikan Paridesta,
putraku itu?"
"Tuan Senapati," kata Panji mengangkat kepalanya dengan wajah agak pucat. "Hamba
memang mengakui telah melakukan penculikan. Tapi, sama sekali tidak bekerja sama
dengan suami-istri sinting itu.
Kebetulan saja, kami datang pada waktu yang bersamaan. Dan mereka mengetahui
kehadiran hamba," jelas Panji.
Lalu Pendekar Naga Putih menceritakan pertemuannya dengani Anila, termasuk Iblis
Kutub Utara dan Setan Gurun Api. Apa yang pernah didengarnya dari Anila,
diceritakannya kepada Senapati Guptasena. Juga, tentang penderitaan dan
keinginan perempuan itu untuk berkumpul bersama putranya.
Disinggungnya nama Anila, membuat Senapati Guptasena menunduk lemas. Wajah
berangnya lenyap, berganti kedukaan. Terdengar tarikan napas panjangnya, sewaktu
mengangkat kepala memandang Pendekar Naga Putih.
"Kau..., kau telah ditipunya, Pendekar Naga Putih...," desah Senapati Guptasena
tidak lagi menunjukkan kemarahan.
"Maksud, Tuan Senapati...?" Panji minta penjelasan.
"Cerita Anila tidak seluruhnya benar. Sebagian, justru merupakan kebalikannya.
Benar, Anila adalah istri, pertamaku. Tapi, aku sama sekali tidak membuangnya ke
hutan. Dan lagi justru Cindarani-lah yang memberi keturunan kepadaku. Bukan
Anila, seperti yang diceritakannya kepadamu. Karena tidak bisa memberi
keturunan, Anila merasa iri. Bahkan berusaha bertindak jahat pada Cindarani.
Anila-lah yang merasa terpukul oleh kelahiran Paridesta. Ia terpaksa
kukembalikan ke desa kelahirannya. Sementara Jamantara memang kekasih gelap
Anila. Anila telah mempengaruhi dan membujuknya, untuk bekerja sama
menyingkirkan Cindarani dan Paridesta..."
Senapati Guptasena berhenti sebentar untuk menarik napas.
"Lalu..., tentang dukun sihir dan Racun Kecubung Biru...?"
Panji mempergunakan kesempatan itu untuk bertanya. Wajahnya jadi agak pucat dan
muram, teringat kesalahan yang dilakukannya. Hatinya juga menyesal, telah begitu
mudah terjebak oleh cerita Anila, hingga mempercayai kemalangannya. Bahkan
menolongnya untuk melakukan penculikan.
"Tentang dukun sihir itu, aku tidak begitu jelas. Yang kutahu, Anila memang
nyaris berhasil membunuh Cindarani dengan menggunakan Racun Kecubung Biru. Tapi,
aku telah lama menaruh kecurigaan padanya. Kulihat, tingkah-lakunya semakin
aneh. Maka beberapa orang kepercayaanku kutugaskan untuk terus mengawasinya.
Ternyata, dua orang dayang telah bersekongkol dengannya. Mereka berhasil
kutangkap, dan kumintai keterangan. Dari sini, keterlibatan Jamantara terungkap.
Dia dijebloskan ke dalam tahanan, dan Anila dikembalikan ke desanya. Hhh...,
sama sekali tak kusangka kalau ia masih tetap menaruh dendam...," sesal Senapati
Guptasena atas sikap istri pertamanya yang pernah disayanginya.
"Hamba mengaku salah, Tuan Senapati," sesal Panji menghela napas berat, "Dan
hamba siap menerima hukuman...."
"Di mana putraku sekarang, Pendekar Naga Putih...?" tanya Senapati Guptasena,
tak begitu memperhatikan perkataan Panji.
Lemas seluruh tubuh Panji mendengar pertanyaan itu. Dengan suara lemah,
diceritakannya tentang kepergian Anila. Dan sekarang baru disadari kalau Anila
telah membawa pergi Paridesta. Jadi, bukan untuk melihat-lihat desa seperti
cerita pelayan kedai waktu itu.
"Celaka...!" desis Senapati Guptasena memukulkan tinju ke telapak tangannya
sendiri, "Entah apa yang akan dilakukannya terhadap Paridesta..."!"
"Hamba..., hamba akan mencarinya, Tuan Senapati," ujar Panji, langsung ingin
menebus kesalahannya.
Senapati Guptasena memandang Panji beberapa saat, lalu menganggukkan kepala.
"Baiklah, Pendekar Naga Putih. Aku pun akan mengerahkan orang-orangku untuk
mencari Anila. Jika kau dapat menemukannya, bawalah ke benteng. Katakan, aku
akan memaafkan segala kesalahannya. Dan dia masih kuharap agar mau sadar.
Seandainya ingin kembali, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Aku memang
belum menceraikannya," jelas Senapati Guptasena.
Setelah berbasa-basi sebentar, senapati itu berpamit kepada Panji, diikuti
Bogantara dan Sobaya.
Sementara, niatnya untuk berpamit kepada Kakek Peramal Sinting dibatalkan karena
orang tua aneh itu tengah tertidur pulas, bersandar pada batang pohon. Senapati
Guptasena tersenyum menggelengkan kepala melihat kelakuan kakek itu.
Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** "Kek...," panggil Panji sambil menyentuh tubuh Kakek Peramal Sinting,
sepeninggal Senapati Guptasena dan kedua orang jagoan istana.
"Hmmm...."
Kakek Peramal Sinting menggeliat sebentar, mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Eh"! Mengapa sepi sekali..."!" seru kakek itu keheranan, sewaktu tidak melihat
adanya Senapati Guptasena dan kedua orang jagoan istana.
"Aku perlu pertolonganmu...," ujar Panji, setelah menjelaskan tentang kepergian
ketiga orang itu.
"Pertolongan..."!" ulang Kakek Peramal Sinting keheranan.
Kakek itu lantas tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
"Hei, pohon-pohon dan seluruh makhluk yang ada di tempat ini! Dengarlah!
Bukankah sangat lucu jika seorang tokoh muda yang membuat datuk sesat lari
terbirit-birit, kini meminta pertolongan seorang kakek jompo sepertiku...?"
"Aku sungguh-sungguh, Kek," tegas Panji.
Pendekar Naga Putih tidak mempedulikan ucapan Kakek Peramal Sinting, yang bagi
sebagian orang dianggap tidak waras. Panji sendiri tidak menganggap demikian,
karena tahu kalau kesintingan kakek itu merupakan ciri seorang tokoh persilatan,
yang kebanyakan memang cenderung tidak lumrah manusia.
Kakek Peramal Sinting menghentikan ocehan dan tawanya, ketika melihat
kesungguhan di wajah Pendekar Naga Putih.
"Bukankah kakek sendiri yang meramalkan tentang peristiwa yang bakal terjadi di
daerah ini" Malah sempat menasihatkan, agar aku berpisah dengan Kenanga untuk
sementara waktu, yang harus mengikuti pertemuan para pendekar di daerah barat?"
tflntut Panji kepada Kakek Peramal Sinting.
Sebelumnya, Panji memang telah bertemu Kakek Peramal Sinting, sewaktu tengah
bersama Kenanga.
Lalu, ia menasihatkan agar Panji dan Kenanga berpisah untuk berbagi tugas.
Kenanga pergi untuk mengikuti pertemuan para pendekar, sedang Panji ke selatan,
mengikuti petunjuk Kakek Peramal Sinting. Itu sebabnya, mengapa Panji tidak
terlihat bersama Kenanga.
"Ingat kembali, apa yang diceritakan Anila kepadamu, Pendekar Naga Putih. Lalu,
carilah tempat yang kau anggap baik untuk Anila menyembunyikan diri.... Nah,
selamat tinggal...!"
"Kek..."!" panggil Panji agak kaget melihat Kakek Peramal Sinting melesat pergi
meninggalkannya.
"Kau tidak memerlukan aku lagi, Pendekar Naga Putih! Selesaikanlah sendiri.
Setelah itu, baru susul kekasihmu...!" cegah suara Kakek Peramal Sinting, yang
sosoknya lenyap ditelan kelebatan pohon.
Panji hanya bisa menghela napas, kemudian melangkah pergi sambil mengingat-ingat
cerita Anila. Dan Pendekar Naga Putih lantas menduga-duga tempat persembunyian
Anila. 8 "Celaka! Bukankah bocah itu putra kesayangan Senapati Guptasena"! Mengapa kau
membawanya ke sini, Anila"! Ulahmu bisa membuatku susah! Kalau sampai mereka
menemukanmu, aku bisa digantung!"
Anila hanya tersenyum mengejek, tak peduli ucapan dukun sihir yang pernah
dimintakan tolong itu.
Dengan sikap tetap tenang, tubuh Paridesta direbahkan di atas pembaringan kayu,
berlapis selembar tikar pandan. Baru kemudian ia berbalik menghadapi kakek Dukun
Sihir itu. "Aku telah membayar mahal kepadamu. Secara tidak langsung kau pun terlibat dalam
urusan ini. Kini, aku belum mempunyai rencana untuk pergi ke mana-mana. Satu-
satunya tempat yang kuanggap aman adalah gubuk jelekmu ini! Untuk sementara, aku
akan tinggal di sini! Tapi, ingat jangan berpikir yang bukan-bukan!
Sebab, aku bisa menyeretmu ke tiang gantungan lebih cepat daripada yang kau
perkirakan!" tandas Anila, membuat Kakek Dukun Sihir itu menggeram jengkel.
"Gila...!" desis kakek itu sambil memutar tubuh, melangkah keluar pondok.
"Kau mau ke mana...?" tanya Anila ketus.
"Aku mau pergi dari sini!" jawab kakek berjubah hitam ini, tanpa menoleh.
"Tidak bisa!" tandas Anila mencegah, "Kau harus membantuku! Jaga tempat ini.
Cegah siapa saja yang datang, kecuali Senapati Guptasena. Kalau dia datang, aku
sendiri yang akan menghadapinya!"
"Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Anila?" tanya Kakek Dukun Sihir, menunda
langkahnya. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Anila dengan sorot mata tajam.
"Kelak kau akan mengetahuinya jika Senapati Guptasena datang," jawab Anila.
Kemudian wanita itu memutar tubuhnya, masuk ke dalam kamar. "Ingat pesanku!"
Kakek Dukun Sihir mendengus jengkel, lantas melangkah keluar dengan perasaan tak
karuan. Baru saja sebelah kakinya menginjak anak tangga terakhir, matanya
menangkap sesosok bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu, di hadapannya telah
berdiri seorang pemuda tampan berjubah panjang berwarna putih. Siapa lagi kalau
bukan Panji, si Pendekar Naga Putih.
"Hm... Kau mengejutkan aku, Anak Muda!" ujar Kakek Dukun Sihir meneliti sosok
Panji. "Apakah kau hendak minta bantuanku untuk mencarikan kekasihmu yang
hilang?" "Maaf kalau aku telah membuatmu terkejut, Kek," ujar Panji, sambil meneliti
sekitar pondok "Aku memang mempunyai sedikit keperluan. Dan aku memang sedang
mencari seorang perempuan yang berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tapi, ia
bukan kekasihku. Hanya saja, aku mempunyai satu urusan dengannya.
Kau pasti mengenalnya. Perempuan itu bernama Anila," Kini mata Pendekar Naga
Putih menatap tajam kakek itu.
"Mencari seorang perempuan yang bernama Anila"! Mengapa kau datang ke tempat
ini, Anak Muda..."
Dan mengapa pula kau menduga aku mengenalnya?" tukas Kakek Dukun Sihir, menatap
tak senang kepada Panji.
"Kau tidak perlu menyangkal, Kek! Anila sudah bercerita banyak kepadaku. Dan ia
juga pernah menyinggung tentang dirimu. Dan kuharap, jangan mempersulit. Aku
adalah kawan baik Anila. Dan aku juga tahu tentang apa saja yang pernah
dialaminya. Bahkan, aku juga yang telah menolongnya dalam menculik putra
Senapati Guptasena," tandas Panji, tak mempercayai ucapan Kakek Dukun Sihir itu.
Kakek Dukun Sihir itu termenung sebentar. Keterangan Panji membuatnya ragu.
Terlebih, pengakuan Panji yang mengatakan telah membantu Anila melakukan
penculikan. "Maaf.... Aku tidak bisa membantumu, Anak Muda...," tegas Kakek Dukun Sihir,
ketika teringat pesan Anila kepadanya. "Sebaiknya, carilah di tempat orangtuanya
yang bernama...."
"Ki Wanagung maksudmu?" potong Panji, membuat Kakek Dukun Sihir agak kaget. "Aku
sudah menemuinya. Dan ternyata, Anila tidak berada di sana. Bahkan orang tua itu
sama sekali tidak tahu tentang apa yang sudah terjadi terhadap putri tunggalnya.
Aku tidak menjelaskannya, sebab hanya akan membuatnya sedih."
"Lalu, mengapa kau menduga Anila berada di tempatku?" tukas Kakek Dukun Sihir
ketus, menunjukkan ketidaksenangannya.
"Karena ada kemungkinan Anila bersembunyi di tempat ini," tandas Panji mulai tak
sabar. Pendekar Naga Putih semakin menaruh curiga melihat Kakek Dukun Sihir itu
berdiri, menghalangi pintu. Dan Panji menduga kalau kakek itu menyembunyikan
sesuatu. "Carilah di tempat lain, Anak Muda! Jangan sampai kesabaranku habis!" usir Kakek
Dukun Sihir, setengah mengancam.
Panji terdiam sesaat. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.
"Baiklah, Kek. Terima kasih atas nasihatmu," ujar Panji mengalah.
Kemudian Pendekar Naga Putih memutar tubuhnya, dan melesat meninggalkan tempat
itu. Sementara Kakek Dukun Sihir itu menghela napas lega. Kemudian kakinya melangkah
masuk ke dalam pondok, setelah bayangan Panji lenyap di kejauhan. Tapi begitu
tubuhnya lenyap di balik pintu yang ditutupnya, sosok Panji kembali muncul.
Rupanya, Pendekar Naga Putih tidak sungguh-sungguh hendak meninggalkan tempat
itu. Bahkan kemudian melesat mendekati pondok dengan jalani memutar, melalui
belakang. Kemudian dengan tubuh mengendap-endap, didekatinya pondok itu.
"Hm.... Mengapa kau kembali lagi, Anak Muda?"
Suara berat dan parau itu membuat langkah Panji terhenti. Pendekar Naga Putih
mengenali suara si Kakek Dukun Sihir, hingga sempat kaget juga. Sama sekali
tidak disangka kalau kehadirannya sampai bisa diketahui.
"Aku terpaksa, Kek," aku Panji, memandang kagum sosok Kakek Dukun Sihir yang
muncul dari pintu belakang pondok, "Dan aku harus memeriksa bagian dalam pondok
" "Sombong sekali kau, Anak Muda! Apa kau pikir aku akan membiarkanmu masuk?"
tukas Kakek Dukun Sihir, menampakkan wajah berang. "Kau harus belajar
menghormati orang tua...!"
Setelah berkata demikian, Kakek Dukun Sihir itu mengangkat tangan kanannya
dengan jari-jari terbuka. Kemudian ia membentak keras menggetarkan dada!
"Lihatlah! Pohon di belakangmu akan roboh menimpamu. Mereka tak suka melihat
sikapmu yang kurang ajar kepadaku...!" bentak Kakek Dukun Sihir itu dengan sorot
mata tajam berpengaruh.
Mendengar suara berderak ribut di belakangnya, Panji menoleh. Kaget bukan main
hatinya, ketika melihat pohon di belakangnya meluncur hendak menimpa tubuhnya.
Cepat Pendekar Naga Putih melompat ke samping menyelamatkan diri.
"Pohon itu akan terus mengejarmu, Anak Muda! Dia tidak akan pemah berhenti
sebelum melumat tubuhmu...!"
Kembali Kakek Dukun Sihir membentak dengan tangan tetap terulur ke arah batang
pohon yang tengah roboh itu.
"Sihir..."!" seru Panji.
Pendekar Naga Putih baru menyadari perbuatan Kakek Dukun Sihir, sewaktu melihat
batang pohon besar itu melayang ke arahnya. Cepat ditariknya napas dalam-dalam
untuk mengumpulkan hawa murni. Lalu Pendekar Naga Putih membentak mengguntur,
untuk melenyapkan pengaruh sihir kakek berjubah hitam itu.
"Aaahhh..."!"
Kakek Dukun Sihir terkejut! Bentakan Pendekar Naga Putih membuat isi dadanya
berguncang, hingga tubuhnya terjajar mundur sejauh setengah tombak. Sedang pohon
besar yang tengah meluncur ke arah Panji, mendadak lenyap tanpa bekas!
Sementara, pohon yang sesungguhnya masih tetap berdiri kekar di tempatnya
semula. "Pantas kau bersikap demikian sombong, Anak Muda. Kiranya kau memiliki
kepandaian yang cukup hebat...!" puji Kakek Dukun Sihir itu. Kemudian kedua
matanya dipejamkan. Lantas kedua tangannya dengan telapak terbuka digosokkan
satu sama lain.
"Hm.... Kau hendak mempertontonkan permainan anak kecil, Kakek Tua...!" ejek
Panji dengan suara mengandung tekanan tenaga dalam.
Sebentar kemudian, sekujur tubuh Pendekar Naga Putih telah terbungkus sinar
kuning keemasan.
Memang Panji telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' untuk melawan
pengaruh sihir lawannya.
Lagi-lagi tubuh Kakek Dukun Sihir ini terjajar mundur disertai pekik
kekagetannya. Kobaran api yang tercipta melalui gesekan kedua telapak tangannya,
mendadak sirna. Wajahnya tampak agak pucat. Napasnya tersengal, tanda kalau
telah mengerahkan banyak tenaga dalam saat mempergunakan ilmu sihirnya. Tapi,
pancaran sinar kuning keemasan yang keluar dari tubuh Pendekar Naga Putih,
membuat Kakek Dukun Sihir merasa kedua matanya sakit dan panas.
"Ilmu Iblisss..."!" rutuk Kakek Dukun Sihir itu. Kakek itu kaget bukan main,
ketika merasakan betapa sinar kuning keemasan itu membuat kekuatan sihirnya
lenyap. Sadar kalau ilmu sihirnya tidak lagi berguna, kakek ini lantas
mempergunakan cara lain. Seketika ia melompat menerjang Panji dengan sambaran
tongkat. Whuuuttt..! Panji menggeser tubuhnya dua langkah ke samping, menghindari babatan tongkat di
kepala. Dan ketika tongkat itu menusuk ke belahan dada, tangan kanannya cepat
dikibaskan untuk menangkis.
Dukkk! Kakek Dukun Sihir memekik kesakitan! Tangkisan Panji membuat tongkatnya terlepas
dari pegangan. Tubuhnya kontan terpental dan terbanting ke tanah. Tampak dari sela bibirnya
cairan merah merembes turun.
Panji yang tak menyangka kalau kepandaian silat kakek itu jauh berada di
bawahnya, merasa agak sedikit menyesal. Tapi, hatinya juga bersyukur tidak
menggunakan tenaga terlalu berlebihan. Sehingga, Kakek Dukun Sihir itu hanya
terguncang sedikit bagian dalam tubuhnya.
"Keparat...!" desis Kakek Dukun Sihir.
Ia lantas bergerak bangkit sambil melepaskan kantung sebesar telapak tangan
berwarna merah.
"Kali ini kau tidak akan luput dari kematian!"
Setelah berkata demikian, tangan kakek itu dikibaskan, menebarkan bubuk berwarna
merah ke tubuh Panji.
"Percuma kau buang racunmu sia-sia, Kek! Sebaiknya, katakan saja di mana Anila
bersembunyi!" ujar Panji mengibaskan kedua tangannya.
Terdengar letupan-letupan kecil di udara, sewaktu sinar kuning keemasan yang
keluar dari kibasan tangan Panji, membakar musnah bubuk beracun itu.
"Gila..."!"
Lagi-lagi Kakek Dukun Sihir mengumpat hampir tak percaya dengan apa yang
disaksikan. Menyadari kalau pemuda yang menjadi lawannya tidak mungkin dapat
ditundukkannya, maka tanpa banyak cakap lagi Kakek Dukun Sihir ini memutar
tubuhnya, berlari meninggalkan tempat itu.
"Tunggu...!" cegah Panji.
Pendekar Naga Putih langsung melenting berputaran di udara. Sekejap kemudian,
tubuhnya telah berdiri, kurang lebih satu setengah tombak di depan Kakek Dukun
Sihir itu. "Tunjukkan, di mana Anila bersembunyi..?" tanya Panji dengan sorot mata
mengancam. "Kau mencariku, Panji...?"
Tiba-tiba terdengar suara halus, Panji menoleh. Tampak Anila berdiri di depan
pintu belakang pondok sambil menggendong Paridesta. Bergegas Panji meninggalkan
Kakek Dukun Sihir, untuk menemui Anila.
"Panji...," panggil Anila dengan suara bergetar penuh kedukaan. Sorot matanya
demikian sayu, menimbulkan rasa iba bagi orang yang melihatnya.
"Aku sudah tahu semuanya, Anila...," tukas Panji, ketika melihat bibir perempuan
itu bergerak hendak mengatakan sesuatu.
"Lalu..., kau ingin merebut anak ini dariku?" tanya Anila.
Wajah perempuan itu sempat berubah, ketika mendengar ucapan Panji. Terdengar
keluhan putus asa ketika Pendekar Naga Putih mengangguk tegas.
"Anila...."
"Berhenti!" bentak Anila dengan wajah berlinang air mata. "Kalau kau teruskan
niatmu, aku akan membunuh anak ini. Lalu, nyawaku sendiri akan kuhabisi.
Sehingga, kau hanya akan membawa bangkai kami ke hadapan suamiku!"
Panji terkejut. Seketika langkahnya terhenti. Ditatapnya Anila dengan hati
tegang! "Anila...," panggil Panji pelan. "Aku bukan hanya akan membawa anak itu, tapi
juga dirimu. Dan...."
"Tidak! Kau boleh pilih. Tinggalkan tempat ini, atau melihat kami berdua menjadi
bangkai!" tandas Anila. Wanita itu sudah melingkarkan jari-jari tangannya di
leher Paridesta.
Panji tertegun. Disadari kalau Anila bukan sekadar menggertak. Memang, dalam
keputusasaan, orang bisa berlaku nekat. Dan Pendekar Naga Putih tidak
menginginkan hal itu sampai terjadi. Kini otaknya berputar mencari jalan keluar.
"Aku tidak bisa berbuat lain, Anila."
Akhirnya Panji berkata tegas, setelah berpikir sambil memandang wajah Anila.
Melihat perempuan itu bungkam dan menangis terisak, Panji buru-buru mencecarnya.
"Senapati Guptasena tidak akan menghukummu. Malah ia masih mengakui kalau kau
adalah istrinya, ia menghendaki agar kau sadar dari kesesatanmu. Madumu,
Cindarani, juga berharap agar kau kembali. Paridesta bukan hanya putranya, tapi
juga putramu. Begitu yang dikatakan Senapati Guptasena, mengenai sikap
Cindarani"
Panji berhenti sebentar untuk melihat tanggapan Anila.
Sementara itu, Anila semakin terisak sedih. Didekap dan diciuminya anak dalam
pelukannya. "Jangan berbuat bodoh, yang kelak akan membuatmu menyesal seumur hidup, Anila,"
lanjut Panji ketika melihat perbuatan Anila terhadap Paridesta.
Sikap itu membuat Panji tahu kalau Anila pun menaruh rasa sayang terhadap putra
tirinya. "Ikutlah bersamaku, Anila. Perkataan seorang senapati, sama dengan nyawanya. Dan
aku tahu, Senapati Guptasena sungguh-sungguh akan menerimamu. Asalkan, kau sadar
akan kesalahanmu selama ini.
Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beliau akan memaafkan dan mengampunimu, Anila..."
"Jangan membohongiku, Panji" ujar Anila di sela isak tangisnya. "Dosaku terlalu
besar kepada mereka berdua. Aku perempuan jahat! Mustahil rasanya kalau mereka
akan sudi mengampuni!"
"Aku tidak membohongimu, Anila!" sangkal Panji. "Nyawaku taruhannya! Dan kau
tidak perlu khawatir. Kalau Senapati Guptasena dan istrinya berdusta, aku akan
membelamu, Anila! Tapi, aku percaya mereka tidak akan melakukan hal itu."
"Kau bersungguh-sungguh, Panji" Benar kau akan membelaku, apabila mereka
berdusta" Sadarkah kau kalau yang kau bela adalah perempuan jahat berlurhur
dosa?" "Aku bersumpah, Anila!" jawab Panji mantap. "Benar kau telah membuat banyak
kesalahan. Tapi, setiap orang berhak kembali ke jalan kebaikan. Dan itu berarti,
kau telah membela kebenaran!"
Anila terdiam beberapa saat. Ia sudah cukup tahu banyak tentang Panji. Dia tahu,
bagaimana pendirian dan sikap pemuda itu. Pemuda yang mau menolong siapa saja
tanpa mengharap jasa. Dan setelah berpikir beberapa saat, Anila melangkah
menghampiri. Lalu diserahkannya anak dalam pondongannya.
"Biarlah Paridesta tetap dalam pondonganmu," ujar Panji tersenyum lega. "Kau
lihat, ia begitu tenang dalam tidurnya. Itu karena, ia tahu kalau dirinya berada
dalam pondongan ibunya yang tulus menyayanginya.
Tidakkah kau bahagia, Anila...?"
"Terima kasih, Panji. Kau masih saja percaya kepadaku. Padahal, aku pernah
mendustaimu...," ujar Anila tersenyum penuh keharuan. Kembali didekap erat dan
diciuminya Paridesta dengan air mata bercucuran.
"Maafkan kalau Ibu telah membuatmu susah, anakku...."
Ketiganya bergegas meninggalkan tempat itu, diiringi pandang mata Kakek Dukun
Sihir, yang sedikit banyak merasa lega. Kakek ini masih tegak berdiri sampai
bayangan Panji dan Anila lenyap di kejauhan.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. TIGA IBUS GUNUNG TANDUR
56. PEMBUNUH BAYARAN
2. DEDEMIT BUKIT IBLIS
57. PEMBURU NYAWA
3. ALGOJO GUNUNG SUTRA
58. MAJIKAN PULAU SETAN
4. PARTAI RIMBA HITAM
59. SEPASANG PEDANG IBLIS
5. JARI MAUT P. NYAWA
60. GOA LARANGAN
6. PENGHUNI R. GERANTANG
61. PEWARIS DENDAM SESAT
7. RAJA IBUS DARI UTARA
62. PENCULIK-PENCULIK MISTERIUS
8. PENJAGAL ALAM AKHERAT
63. DUEL JAGO-JAGO PERSILATAN
9. MENCARI JEJAK PEMBUNUH
64. GEROMBOLAN SETAN MERAH
10 BUNGA ABADI DI GUNUNG K
65. BERUANG GUNUNG ES
11. MEMBURU HARTA KARUN
66. SILUMAN GURUN SETAN
12. KELABANG HITAM
67. JERAT PERI KEMBANGAN
13. PENGGEMBALA MAYAT
68. WARISAN TERKUTUK
14. PUSAKA BERNODA DARAH
69. TOKOH BURONAN
15. PENDEKAR MURTAD
70. GENDRUWO RIMBA DANDANA
16. KECAPI PERAK D. SELATAN
71. PETUALANG SAKTI
17. SERIGALA SILUMAN
72. PERTARUNGAN DUA NAGA
18. DEWI BAJU MERAH
73. RASE PERAK 19. ASMARA DI UJUNG PEDANG
74. MISTERI DI B. ULAR EMAS
20. BENCANA DARI ALAM KUBUR
75. PEREMPUAN LEMBAH HITAM
21. HILANGNYA P. KERAJAAN
76. NERAKA BUMI
22. TRAGEDI G. LANGKENG
77. ALTAR SETAN
23. DEWA TANGAN API
78. TINJU TOPAN DAN BADAI
24. MACAN TUTUL L. DARU
79. TONGKAT DELAPAN NAGA
25. MALAIKAT GERBANG NERAKA
80. IBLIS ANGKARA MURKA
26. RAHASIA PEDANG N. LANGIT
81. BUDAK NAFSU TERKUTUK
27. SENGKETA JAGO J. PEDANG
82. TUJUH SATRIA PERKASA
28. LABA-LABA HITAM
83. PEREMPUAN BERBISA
29. TERSESAT DI L. KEMATIAN
84. NAGINA (PUTRI ULAR)
30. DENDAM PENDEKAR CACAT
31. TERDAMPAR DIPULAU ASING
32. KUMBANG MERAH
33. BIDADARI IBLIS
34. MUSTIKA NAGA HIJAU
35. PENDEKAR GILA
36. MISTERI DESA SILUMAN
37. KETURUNAN D. PERSILATAN
38. TEWASNYA R. RACUN MERAH
39. PUTRA HARIMAU
40. SEPASANG M. L MAUT
41. HANTU LAUT PAJANG
42. TERJEBAK DI PERUT BUMI
43. DARAH PERAWAN SUCI
44. PENGEMBAN DOSA TURUNAN
45. BADAI RIMBA PERSILATAN
46. PETUALANGAN DI ALAM ROH
47. BANGKITNYA MALAIKAT PETIR 48. MISTERI SELENDANG BIRU
49. TUMBAL PERKAWINAN 50. SANG PENGHANCUR 51. PETAKA KUIL TUA
52. PENYEMBAH DEWI MATAHARI
53. PASUKAN PEMBUNUH
54. RACUN ULAR KARANG
55. PANGGUNG KEMATIAN
Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 1 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Balada Di Karang Sewu 2
sekitar desa itu untuk mencari Anila. Namun usahanya sia-sia.
Pencarian dihentikan, setelah lebih dari setengah hari mengelilingi tanpa hasil.
Ada terselip rasa khawatir dan kasihan membayangkan Anila tertangkap oleh
prajurit yarig banyak berkeliaran di desa ini.
Panji berdiri gundah di atas sebuah dataran yang agak tinggi. Matanya memandang
berkeliling, menduga-duga ke mana kira-kira Anila pergi. Pandangan Panji
terhenti pada sebuah gundukan tanah berupa anak bukit, yang banyak ditumbuhi
pepohonan. Letaknya, di sebelah selatan desa, kira-kira seperempat hari
perjalanan biasa.
"Siapa tahu Anila pergi bersembunyi ke tempat itu...."
Setelah berpikir demikian, tanpa membuang waktu lagi Panji segera melesat menuju
anak bukit itu.
Bagi orang seperti dirinya, memang tidak membutuhkan waktu lama. Beberapa saat
saja, langkah Panji telah tiba di seputar kaki anak bukit yang ternyata memang
cukup baik sebagai tempat persembunyian. Pepohonan liar yang tumbuh rapat,
menjadikan anak bukit itu cocok sebagai sarang buronan. Rasa cemas melihat
tempat itu tidak cocok bagi perempuan, membuat Panji segera merambah semak
perdu. Ia mulai menjelajah sekitarnya.
Tapi mendadak saja....
Wrrrrt, wwrrttt!
Baru sekitar delapan tombak Panji melangkah, tiba-tiba kedua pergelangan kakinya
terjepit sesuatu.
Dan sebelum sempat menyadari, tahu-tahu tubuhnya tersentak ke atas, untuk
kemudian terhenti berjarak satu setengah tombak dari atas tanah. Kedua
pergelangan kakinya terjerat tali perangkap, membuat tubuhnya tergantung dan
terayun-ayun. "Hua ha ha...! Perangkapku ternyata benar-benar jitu! Semula kusangka harimau
gagah yang cerdik.
Tapi, nyatanya hanya seekor babi tolol!"
Terdengar tawa terbahak dan ucapan bernada menghina, yang disusul munculnya
sesosok tubuh bertampang garang. Wajahnya ditumbuhi berewok liar, dengan
sepasang mata berapi memancarkan dendam dan kebencian.
"Golok Tunggal..!" seru Panji agak terkejut begitu mengenali lelaki bertampang
garang yang pernah dipecundanginya.
"Bagus! Kau rupanya masih mengenaliku, Bocah Sombong! Itu berarti kau pun pasti
masih ingat perbuatanmu yang sok pahlawan tempo hari," balas Golok Tunggal, yang
mengaku sebagai Penguasa Rimba Kenara. Langkahnya terayun lambat, merasa yakin
kalau dendamnya akan segera terlampiaskan.
"Hm.... Kau rupanya masih belum kapok," tukas Panji tanpa menunjukkan rasa
gentar, meski dirinya telah tertawan.
Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu kalau kali ini Golok Tunggal tidak seorang
diri. Adanya suara langkah kaki lain, yang bermunculan dari semak sekitarnya,
membuat Parlji mengerti kalau Golok Tunggal memang sudah mempersiapkan
pembalasan dendamnya. Dalam hati, Pendekar Naga Putih menghitung jumlah orang
yang baru datang itu. Sembilan orang.
"Hm.... Masih juga hendak berlagak seperti harimau" Tahukah kau, Bocah! Tali
penjerat kakimu telah kulumuri racun?" ejek Golok Tunggal kembali
memperdengarkan gelak tawanya.
"Begitukah?" tukas Panji tersenyum sinis. "Biar kucoba, apakah racunmu dapat
melukaiku."
Usai berkata demikian, Panji menyentak naik separo tubuhnya, hendak menjangkau
tali dengan kedua tangannya.
Golok Tunggal dan kawan-kawannya yang berkumpul di bawah tubuh Pendekar Naga
Putih terus memperdengarkan gelak tawa ramai. Karena, sewaktu Panji hendak
menjangkau tali yang menjerat kedua lakinya, secara tiba-tiba tubuhnya meluncur
deras ke bawah. Akibatnya, niatnya tertunda. Pendekar Naga Putih sudah mengulur
tangan untuk menahan tubuhnya yang menurutnya akan terbanting ke tanah, tapi
lagi-lagi dibuat kaget. Karena sebelum kedua telapak tangannya menyentuh
permukaan tanah, tali yang menjerat kakinya cepat tertarik ke atas. Bisa
dimengertilah sekarang, mengapa Golok Tunggal tampak begitu yakin kalau Pendekar
Naga Putih tidak akan bisa membebaskan diri dari perangkap. Rupanya selain
sembilan orang yang dilihatnya, masih ada empat orang lagi yang bertugas
mempermainkan tali penjerat.
"Perangkapmu cukup mengagumkan, Golok Tunggal. Tapi sayang, kau terlalu sombong
dan meremehkan orang lain. Coba kau lihat, apakah tali-tali ini akan sanggup
menahan berat tubuhku," kata Panji.
Segera Pendekar Naga Putih mengerahkan ilmu memberatkan tubuh, membuat dirinya
lebih berat dari seekor gajah.
Sementara itu Golok Tunggal bersama sembilan orang kawannya terus tertawa
terbahak-bahak. Tapi, mulut-mulut yang terbuka lebar itu seketika menutup.
Sepuluh pasang mata itu terbelalak bagai hendak melompat dari rongganya.
Ternyata tubuh pemuda yang tengah tergantung tiba-tiba meluncur deras, disusul
teriakan-teriakan ngeri dari empat sosok tubuh yang tersentak naik, mengikuti
tali-tali yang masih dipegang.
Panji sengaja mengayun tubuhnya dengan gerakan berputar, kemudian meluncur turun
sekitar dua tombak lebih dari tempat Golok Tunggal dan sembilan orang kawannya
berada. Dan karena Pendekar Naga Putih masih belum melepaskan ilmu memberatkan
tubuhnya, maka keempat orang yang memegang tali penjerat ganti bergantungan
sambil berteriak-teriak ketakutan.
"Golok Tunggal! Tidakkah kau iri pada keempat lawanmu" Lihatlah! Mereka
bersorak-sorak kegirangan sambil bertepuk tangan. Dan sebentar lagi, mereka akan
saling berlomba melompat ke bawah!"
Setelah berkata demikian, Panji membungkuk. Langsung dilepaskannya ikatan pada
kedua pergelangan kakinya.
"Jangaaannn...! Tuan Pendekar. Ampuuun...!"
Keempat erang kawan Golok Tunggal yang tergantung setinggi tiga tombak dari
permukaan tanah, berteriak-teriak ketakutan. Wajah mereka pucat, bagai tak
berdarah dengan sekujur tubuh sudah dibasahi keringat dingin.
"Ah! Aku tidak yakin kalau kalian benar-benar takut!" ledek Panji sambil
menengadahkan kepalanya, memandang empat orang lelaki yang kehilangan tampang
bengisnya. "Kami tobat, Tuan Pendekar! Kami tidak ingin terbanting jatuh! Kami mengaku
salah, dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan jahat lagi! Kami ingin hidup
dan menjadi orang baik-baik!"
Keempat orang itu bergantian berteriak meminta belas kasihan. Melihat
kesungguhan dalam ucapan dan wajah mereka, Pendekar Naga Putih yang memang tidak
sungguh-sungguh, segera mengulurkan perlahan-lahan tali yang telah dilepas dari
pergelangan kaki. Sehingga, keempat orang itu dapat tiba di tanah dengan
selamat. Tampak jelas, betapa tubuh mereka masih gemetar oleh rasa takut.
Panji tersenyum lega, dan balas mengangguk ketika keempat orang itu mengucapkan
terima kasih. Dan tanpa menghiraukan Golok Tunggal serta kawannya yang lain,
keempat lelaki itu bergegas meninggalkan tempat ini.
23 "Golok Tunggal," ujar Panji, menghadapi Golok Tunggal dan sembilan orang
kawannya. "Kalau kau mau jujur, sebenarnya di antara kita tidak pernah ada
permusuhan. Kalaupun ada, itu karena kesalahanmu. Dan aku..."
"Cukup!" tukas Golok Tunggal dengan bentakan keras. "Kau tidak perlu berkotbah
di depanku! Lebih baik, bersiaplah untuk merasakan pembalasan Golok Tunggal!"
Cring! Terdengar suara gemerincing sewaktu Golok Tunggal mencabut senjatanya. Kemudian,
diberikannya isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok Pendekar Naga Putih.
Golok Tunggal sendiri sudah bergerak maju sambil memutar senjatanya.
Panji, tersenyum pahit, melihat sikap keras kepala Golok Tunggal. Tubuhnya masih
belum bergeser, meski Golok Tunggal dan sembilan orang kawannya telah mengurung
membentuk lingkaran lebar.
"Seraaang...!"
Golok Tunggal langsung memberi perintah. Golok besar di tangannya berputar cepat
menimbulkan suara angin menderu-deru, dan langsung meluncur datang mengancam
tubuh Pendekar Naga Putih.
Whukkk! Senjata yang besar dan berat itu menderu lewat di samping tubuh Panji, yang
sudah bergeser seangkah.
Dan Pendekar Naga Putih terus melompat mundur, sewaktu dua senjata pengeroyok
lain berdesing datang.
"Hyaahhh...!"
Sambil melompat berputar, Panji membentak seiring tendangan yang membuat dua
orang penyerang di belakang terjungkal roboh. Kemudian serangannya kembali
menghentak dua penyerang dari samping.
"Hyaattt...!"
Golok Tunggal kembali menyerbu dengan tusukan golok, sewaktu Pendekar Naga Putih
baru saja menjejakkan kedua kaki di tanah. Namun tusukan itu kembali luput
karena Panji telah menekuk tubuhnya ke belakang sambil mengirimkan sebuah
tendangan lurus ke perut.
"Begh!"
"Hegh!"
Tendangan yang cepat dan tak terduga membuat Golok Tunggal memekik kesakitan.
Tubuhnya kontan terpelanting roboh. Rasa mual yang menyerang perut, membuatnya
tak mampu buru-buru bangkit.
Sementara itu lima pengeroyok yang tersisa bergegas menyerbu untuk menolong
Golok Tunggal. Senjata-senjata mereka berdesingan, meluncur mengancam tubuh Pendekar Naga
Putih. Tapi semua serangan dapat mudah dipatahkan Panji. Bahkan serangan
balasannya membuat tiga orang langsung berpelantingan yang disusul robohnya dua
orang lain, ketika terkena tendangan Panji.
Ketika sembilan pengeroyok masih bergeletakan di tanah sambil mengerang
kesakitan, Panji melangkah menghampiri Golok Tunggal yang masih belum bisa
menghilangkan rasa mualnya.
"Golok Tunggal," sebut Panji dengan sikap penuh perbawa. "Apakah untuk
menyadarkanmu dari kesesatan, aku harus mematahkan kedua kaki dan| tanganmu
terlebih dulu?"
Golok Tunggal tidak menjawab. Namun sorot matanya menentang tatapan Panji.
Terdengar suara menggereng dari kerongkongannya.
"Persetan denganmu. Mampuslah...!"
Diam-diam, rupanya Golok Tunggal tengah berusaha memulihkan kekuatan. Setelah
merasa cukup kuat, tubuhnya langsung melenting bangkit. Bahkan cepat senjatanya
ditusukkan sambil membentak.
Namun, Panji cepat menarik kaki kirinya sambil memiringkan tubuh. Begitu ujung
golok lewat dan tubuh Golok Tunggal berada di depan, tangannya langsung
menghantam punggung. Akibatnya, Golok Tunggal seketika terbanting keras.
Ngkk! "Uhh..."
Golok Tunggal merintih. Tebasan Pendekar Naga Putih membuat tulang punggungnya
terasa patah. Belum lagi rasa sakit itu lenyap, tahu-tahu kedua tangannya telah diputar ke
belakang. Krekk! "Aaakh...!"
Golok Tunggal menjerit kesakitan.
"Hendak kulihat, apakah kesesatanmu masih akan dilanjutkan setelah kubuat
cacat," geram Panji, siap mematahkan kedua tangan Golok Tunggal.
"Jangaaan...!" jerit Golok Tunggal ketakutan. Ngeri hatinya membayangkan cacat
yang akan diterima.
"Mengapa" Bukankah ini yang kau kehendaki?" tanya Pendekar Naga Putih sambil
melanjutkan perbuatannya.
"Ampuuunnn...!' Aku menyerah...! Jangan patahkan tanganku! Aku berjanji akan
meninggalkan kesesatan," jerit Golok Tunggal dengan napas tersengal dan wajah
semakin pucat. "Hm... Kau tidak bisa dipercaya!"
"Aku bersumpah...!" tukas Golok Tunggal buru-buru, karena Panji masih terus
memuntir kedua tangannya.
"Baiklah," ujar Panji, akhirnya melepaskan kedua tangan Golok Tunggal. "Untuk
kali ini, aku percaya sumpahmu. Tapi jika kudengar kau masih melanjutkan
perbuatan sesatmu, aku akan datangi untuk mematahkan kedua kaki dan tanganmu!"
"Baik, baik...," sambut Golok Tunggal terengah.
"Sekarang, jawab pertanyaanku. Aku sedang mencari wanita, yang pernah kau ganggu
di Rimba Kenar|. Apakah kau melihatnya di sekitar kaki anak bukit ini?" tanya
Pendekar Naga Putih.
Sementara ini Golok Tunggal sudah duduk di depan Panji.
"Bukankah ia bersamamu menginap di Desa Bajang?" Golok Tunggal balik, bertanya.
Panji menatap wajah Golok Tunggal beberapa saat, lalu menghela napas kecewa.
Golok Tunggal ternyata sama sekali tidak tahu tentang kepergian Anila. Panji
percaya, Golok Tunggal sama sekali tidak berdusta. Dan pertanyaan yang diajukan
kepadanya memang sungguh-sungguh.
"Sudahlah. Aku harus mencarinya ke tempat lain. Tapi kalau kau nanti melihatnya,
bawa perempuan itu pergi meninggalkan daerah ini," pesan Panji sambil bergerak
bangkit. Dan ketika melihat Golok Tunggal hendak bertanya, Panji segera mendahuluinya.
"Kau tidak perlu tahu mengapa! Jalankan saja, apa yang tadi kusampaikan! "
"Baik, baik, Tuan Pendekar...."
Golok Tunggal mengangguk berkali-kali. Dia masih terus mengangguk, tidak sadar
kalau Panji sudah melesat meninggalkan tempat ini.
*** Dua orang lelaki setengah tua tampak memperlambat lari kudanya, sewaktu tiba di
pinggir sebuah aliran sungai. Dan ketika kuda mereka hendak dibawa menyeberang,
tiba-tiba saja dihentikan. Rupanya, sosok perempuan gendut dan lelaki tinggi
kurus di seberang sungai, membuat kedua penunggang kuda ini berhenti dengan
kening berkerut. Sorot mata kedua penunggang kuda itu memancarkan kecurigaan,
sewaktu melihat adanya sosok tubuh lain dalam pondongan lelaki tinggi kurus di
sebelang sungai.
"Rasanya aku mengenal kedua orang di seberang itu, Kakang Bogantara...," desis
salah satu penunggang kuda, yang memiliki jenggot terpelihara rapi.
"Benar, Adi Sobaya. Perbedaan mereka satu sama lain sangat menyolok dan mudah
diingat. Kita harus berhati-hati! Kalau tidak salah, mereka adalah Iblis Kutub
Utara dan Setan Gurun Api, seperti yang kita duga.
Mereka merupakan tokoh-tokoh sinting yang sukar ditebak tingkah lakunya," bisik
laki-laki yang dipanggil Bogantara. Usianya tiga tahun lebih tua dari laki-laki
yang bernama Sobaya. Sewaktu berbicara, sepasang matanya tertuju lurus ke depan.
Dugaan Bogantara dan Sobaya memang tidak meleset. Dua sosok yang di seberang
sungai, yang kini sudah berloncatan menyeberang dengan gerakan ringan adalah
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api.
Sedangkan sosok dalam pondongan Setan Gurun Api jelas adalah Senapati Guptasena
yang berhasil diculik.
Bogantara dan Sobaya tersenyum menganggukkan kepala kepada suami-istri sinting
itu, ketika sudah tiba di dekat mereka. Kedua penunggang kuda ini mengambil
sikap pura-pura tidak mengenal. Mereka hanya menunjukkan sikap ramah,
sebagaimana dua perantau yang kebetulan berpapasan di jalan.
Setan Gurun Api menyeringai, memperlihatkan beberapa buah giginya yang tanggal.
Sedangan Iblis Kutub Utara tidak mempedulikan sikap ramah kedua penunggang kuda
itu. Sepasang matanya memang tertuju ke arah Bogantara dan Sobaya. Tapi, bukan
kedua orang itu yang menjadi perhatiannya. Justru, binatang tunggangan merekalah
yang menarik minatnya.
"Hai..."!" tiba-tiba Setan Gurun Api berseru mengejutkan sambil menoleh ke arah
istrinya. "Dinda!
Coba perhatikan baik-baik. Bukankah mereka Jago-jago Pedang dari Selatan?"
"Benar, Kanda," sahut Iblis Kutub Utara, setelah meneliti wajah Bogantara dan
Sobaya beberapa saat.
"Tapi, kabarnya mereka berdua telah mengabdikan diri pada kerajaan. Lantas,
mengapa sekarang bisa berkeliaran di tempat ini?"
"Eh..."!" Setan Gurun Api sedikit terkejut dengan keterangan istrinya.
Sementara itu Bogantara dan Sobaya tampak diliputi ketegangan. Mereka merasa
serba salah. Meneruskan niat untuk menyeberang, takut suami-istri itu tersinggung. Diam di
tempat dan mendengarkan pembicaraan mereka, sangat tersiksa rasanya. Mereka
khawatir, kedua tokoh akan mencari gara-gara. Memang, sudah banyak terdengar
sepak terjang sepasang suami-istri sinting itu, yang sering-kali membuat ulah
tanpa sebab. Tapi mereka tidak bisa berbuat lain, kecuali diam dan mendengarkan.
"Hei" Apakah kalian sengaja hendak mencari kami?" tanya Setan Gurun Api, mulai
menunjukkan ulah.
"Mencari kalian...?" Bogantara keheranan. "Untuk apa?"
Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jangan berpura-pura bodoh! Ayo, ngaku! Kalian pasti sengaja menghadang di
tempat ini, bukan"
Coba-coba hendak merebut senapati tolol ini dari kami!" desak Iblis Kutub Utara.
Perempuan gendut ini sudah melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Senapati tolol...?"
Bogantara dan Sobaya saling bertukar pandangan, berdesis berbarengan. Kemudian
mereka sama-sama berpaling menatap sosok tubuh yang tergantung di bahu Setan
Gurun Api. "Nah! Benar, kan" Kalian sengaja menghadang untuk membebaskan senapati tolol
ini?" tuduh Setan Gurun Api, begitu melihat Bogantara dan Sobaya memandang sosok
Senapati Guptasena yang tergantung di bahunya.
Anehnya, lelaki tinggi kurus ini menunjukkan sikap seperti anak kecil yang takut
mainannya direbut orang. Kakinya melangkah mundur, sambil menyilangkan kedua
tangan, melingkari tubuh Senapati Guptasena.
"Maaf, sahabat Setan Gurun Api. Kami benar-benar belum mengerti. Kami memang
benar diutus sang Prabu. Tapi, bukan untuk merebut orang yang kalian bawa itu.
Melainkan, untuk menggabungkan diri dengan pasukan Senapati Guptasena di benteng
perbatasan," jelas Bogantara.
Mata laki-laki ini tak lepas dari sosok di bahu Setan Gurun Api. Dia memang
penasaran mendengar ucapan suami-istri sinting itu, yang mengaku sebagai
penculik orang yang disebut sebagai senapati tolol. Tapi sosok yang hanya
terlihat punggungnya tidak bisa dikenali Bogantara. Dan ini membuatnya penasaran
ingin tahu siapa sebenarnya sosok di atas bahu Setan Gurun Api.
"Haaa...! Alasan yang dicari-cari...!" kata Setan Gurun Api dengan suara sember,
sambil menuding wajah Bogantara.
Tapi sikap lucu ini tidak membuat Bogantara dan Sobaya tertawa. Bahkan mereka
malah semakin tegang.
Bogantara dan Sobaya saling bertukar pandangan sesaat. Ucapan-ucapan dan tuduhan
yang mencurigakan membuat mereka ingin mengetahui, siapa sebenarnya yang ada
dalam pondongan Setan Gurun Api itu.
"Bisakah kami..."
"Tidak bisaaa...!" potong Setan Gurun Api langsung.
Lelaki tinggi kurus ini menjebikkan bibirnya, sambil menggoyang-goyangkan
telapak tangan.
"Kalian boleh pergi dan bergabung dengan pasukan di benteng perbatasan itu.
Tapi, Senapati Guptasena tetap harus kami bawa. Bukan begitu, Dinda?" lanjut
Setan Gurun Api, menoleh kepada istrinya.
Perempuan gendut itu hanya mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu, kami terpaksa harus melupakan kebodohan sendiri...," kata
Bogantara langsung melompat turun dari atas punggung kudanya, begitu Setan Gurun
Api sudah menjelaskan secara tidak langsung.
Sobaya pun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya meluncur turun dengan ringan.
Sepasang pedang di punggungnya segera dicabut keluar, dan langsung disilangkan
di depan dada. "Serahkan Senapati Guptasena kepada kami...!" pinta Sobaya dengan sikap
mengancam. Rasa gentarnya lenyap, begitu tahu kalau suami-istri itu telah
menculik Senapati Guptasena.
"Wah! Jagoan-jagoan istana ini hendak jual lagak di depan kita, Dinda...," ujar
Setan Gurun Api, memandang remeh kedua orang jagoan istana itu.
"Biar aku yang menghadapinya, Kanda...!"
Baru saja perkataannya lenyap, Iblis Kutub Utara sudah menggelinding datang
disertai tebaran hawa dingin. Dan tahu-tahu, tamparannya sudah berada di depan
kepala Sobaya. Tentu saja Sobaya kaget bukan kepalang! Jago pedang pasangan ini
sempat gugup, sewaktu wajahnya terasa beku oleh sambaran angin pukulan wanita
gendut itu. Tapi, memang tidak percuma bila Sobaya terpilih sebagai salah satu jagoan
istana. Ancaman telapak tangan Iblis Kutub Utara pada kepalanya, segera disambut
gerakan sepasang pedangnya yang bersilangan. Siap menggunting putus lengan
perempuan gendut itu.
Tring! Sobaya mencelos hatinya, sewaktu guntingan sepasang pedangnya kehilangan
sasaran. Ternyata Iblis Kutub Utara sudah merobah gerakan, dan kini meluncur
datang mengancam dadanya yang terbuka!
"Haiiittt..!"
Untuk menyelamatkan diri Sobaya berseru nyaring lalu melemparkan tubuhnya untuk
berjumpalitan ke belakang. Kendati telah menginjakkan kaki dengan selamat, tak
urung wajah Sobaya menjadi agak pucat!
Dalam dua gebrakan saja, ia nyaris celaka di tangan perempuan gendut itu.
Sementara itu, Bogantara telah bergerak mendekati Setan Gurun Api. Pedang di
tangan kanannya bergulung-gulung, membentuk gundukan sinar putih. Tapi, niatnya
tidak tersampaikan, karena Iblis Kutub Utara datang menghalanginya. Terpaksa
Bogantara merobah serangan, dan kini ditujukan kepada perempuan gendut itu.
Sobaya yang baru saja lolos dari maut, tidak tinggal diam. Tahu betapa hebat dan
berbahayanya perempuan gendut itu, maka langsung saja menerjunkan diri ke dalam
kancah perkelahian untuk membantu rekannya. Kedua jago istana ini bekerja sama
dalam menghadapi Iblis Kutub Utara.
Dua puluh jurus telah lewat. Sejauh ini, Bogantara dan Sobaya masih bisa
mengimbangi serangan-serangan lawan. Tidak jarang ujung-ujung pedang mereka
sempat membuat Iblis Kutub Utara kewalahan. Dan hal ini membuat perempuan gendut
itu menjadi marah! Serangan-serangannya di tingkatkan, sehingga pada jurus-jurus
selanjutnya, Bogantara dan Sobaya terpaksa harus bermain mundur. Udara di
sekitar arena pertarungan yang semakin bertambah dingin, membuat gerakan mereka
menjadi agak lambat. Sedang, serangan perempuan gendut itu semakin bertambah
gencar. Akibatnya, Bogantara dan Sobaya terdesak hebat!
"Kena...!"
Tiba-tiba-Iblis Kutub Utara berteriak nyaring sambil menghantamkan telapak
tangan ke dada Sobaya.
Desss! "Uhkkk...!"
Perhatian Sobaya tadi memang terpecah oleh teriakan lawannya. Maka dia harus
merelakan telapak tangan lawan telak menghantam dadanya. Sehingga tubuhnya
terpental deras memuntahkan darah segar!
"Terima balasanku, Gajah Bengkak! Yiaaa...!"
Bogantara marah bukan main. Pedang di tangannya cepat meluncur membabat kepala
Iblis Kutub Utara yang baru menarik pulang tangannya. Tapi, sambaran pedang
Bogantara tertangkap pendengaran perempuan gendut itu.
Bogantara sempat dibuat kagum, karena perempuan gendut itu ternyata mampu
menjaga keseimbangan. Bahkan sama sekali tidak jatuh, sewaktu menghindari babatan pedang
dengan menarik tubuh atasnya hingga doyong ke belakang! Malah dalam kedudukan
demikian, masih juga sempat mengirimkan tendangan lurus!
Zebbb! Telapak kaki Iblis Kutub Utara lewat di samping bahu Bogantara, yang menghindar
dengan menekuk lutut kanan. Buru-buru Bogantara merobah kedudukannya disertai
bacokan pedang ke sambungan lutut Iblis Kutub Utara. Sayang sebelum serangannya
mendekati sasaran, tendangan yang luput dari perempuan gendut itu telah terayun
ke dadanya. Dukkk! Meski berhasil menyelamatkan dada dengan melintangkan tangan kiri, tak urung
kuda-kuda Bogantara tergempur. Tubuhnya terpental, akibat benturan keras. Dan
selagi tubuhnya melayang di atas tanah, Iblis Kutub Utara mengejar datang
disertai dorongan kedua telapak tangan.
Bresss! "Aaaa...!"
Bogantara menjerit ngeri. Tubuhnya kembali terpental deras, disertai muntahan
darah segar yang berceceran di tanah. Tapi sebelum tubuh jago istana ini
terbanting ke tanah, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat dan langsung
menangkap tubuh Bogantara.
Tappp! Luncuran tubuh Bogantara tertahan, ketika berhasil ditangkap bayangan putih itu.
Tapi jago istana ini sudah tidak ingat apa-apa lagi alias tak sadarkan diri.
Sementara orang yang menyelamatkan nyawanya meluncur turun dengan ringan.
"Hak hak hak..! Pendekar Naga Putih muncul lagi...!"
Setan Gurun Api yang mengikuti jalannya perkelahian, langsung memperdengarkan
tawa ganjil. Tokoh sinting ini malah kelihatan gembira, melihat kemunculan
bayangan putih yang ternyata Pendekar Naga Putih, dan yang menyelamatkan
Bogantara. Malah kakinya sudah melangkah lebar, menghampiri Panji.
"Kanda!"
Tiba-tiba sentakan nyaring menghentikan langkah Setan Gurun Api. Bergegas
tubuhnya diputar menghadapi istrinya, yang berkacak pinggang dengan sepasang
mata berkilat marah.
"Ayo kita pergi dari tempat ini!"
Sambil berkata demikian, Iblis Kutub Utara langsung menyambar lengan suaminya,
memaksanya meninggalkan tempat itu.
"Mengapa kau marah-marah, Dinda?" tanya Setan Gurun Api yang tidak menolak
dituntun pergi.
"Hm.... Kau pikir aku tidak tahu, ya" Otak kotormu sudah bisa kubaca! Kau
gembira melihat kemunculan Pendekar Naga Putih, karena perempuan genit yang dulu
bersamanya itu, kan" Hayo.... Ngaku atau tidak?" hardik Iblis Kutub Utara seraya
memindahkan tangannya ke telinga suaminya. Lalu dijewernya telinga laki-laki
kurus itu keras-keras, sampai menjerit kesakitan. Tapi perempuan gendut ini
tidak peduli. Terus dijewernya telinga itu dan dibawanya pergi meninggalkan
tempat ini. Sebelum tubuh jago istana itu terbanting ke tanah, tiba-tiba sesosok bayangan
putih berkelebat menangkap tubuh Bogantara.
Tappp! Tubuh Bogantara berhasil ditangkap.
"Hak hak hak..! Pendekar Naga Putih muncul lagi!" Setan Gurun Apa yang melihat
jalannya perkelahian, langsung memperdengarkan tawa ganjil.
"Hua ha ha...! Siapa sangka kedatanganku, telah membuat Iblis Kutub Utara dan
suaminya lari terbirit-birit...!"
Ucapan lantang itu membuat langkah Iblis Kutub Utara terhenti. Kemudian,
tubuhnya berputaran dengan tangan melekat erat di telinga suaminya. Dan ini
membuat Setan Gurun Api terpaksa ikut berbalik sambil meringis.
"Khek kek kek..!"
Setelah diam sebentar dengan mata menatap sosok Panji, Iblis Kutub Utara tertawa
berkakakan. Sama sekali tidak disadari kalau tangannya justru memuntir telinga
suaminya kuat-kuat!
"Aaooo...!" Setan Gurun Api menjerit kesakitan sekuat-kuatnya.
"Ada apa, Kanda..."!" tanya Iblis Kutub Utara dengan wajah tak berdosa.
"Ada apa, ada apa!" tukas Setan Gurun Api bersungut-sungut dengan wajah mirip
udang rebus, "Tanganmu ini, apa tidak bisa dilepaskan barang sebentar?"
"Oohh...!" seru perempuan gendut ini yang timbul kasihan melihat wajah suaminya
yang terlihat sangat kesakitan, langsung dielus-elusnya telinga suaminya.
"Kanda.... Ayo kita lihat dari dekat, seperti apa sih rupa orang yang mengatakan
kita lari terbirit-birit."
Setan Gurun Api yang masih mendongkol, tidak menyahut sepatah pun. Hanya
diikutinya langkah istrinya yang menghampiri Pendekar Naga Putih.
6 Panji tersenyum tipis, melihat pancingannya mengena, ia berdiri menunggu
sepasang suami-istri sinting itu mendekatinya. Beberapa tombak di samping kiri
Pendekar Naga Putih, tampak Sobaya memperhatikan. Jago istana yang lukanya tidak
terlalu parah ini, duduk di bawah sebatang pohon untuk menjaga Bogantara yang
masih tak sadarkan diri. Sobaya tidak mencemaskan keadaan rekannya, yang telah
diberi pertolongan sementara oleh Pendekar Naga Putih. Nama besar dan sepak
terjang Pendekar Naga Putih, membuatnya percaya penuh terhadap kemampuan
penolong rekannya. Apalagi, Pendekar Naga Putih meyakinkan dirinya kalau keadaan
rekannya tidak perlu terlalu dicemaskan. Sehingga, ucapan itu membuat hatinya
tenang. Pendekar Naga Putih sengaja memasang wajah seram, sewaktu sepasang suami-istri
sinting itu berhenti dua langkah di hadapannya. Sengaja Panji bersikap gila-
gilaan, untuk mengimbangi mereka. Dengan begitu, ia tidak terlalu jengkel oleh
ulah ganjil mereka.
"Hei, Iblis Gendut seperti gajah dan Iblis Kurus seperti cecak kering! Sewaktu
di benteng perbatasan, aku memang tidak sempat mengurusi kalian! Sehingga,
kalian berhasil menculik Senapati Guptasena.
Keberhasilan kalian secara tidak langsung, adalah karena bantuanku. Nah!
Sekarang, aku minta imbalan atas jasaku," hardik Panji sambil berkacak pinggang.
Kaget juga sepasang suami-istri sinting ini mendengar ucapan Pendekar Naga
Putih. Dan mereka saling bertukar pandang, lalu mengangguk-angguk. Seperti telah
mendapat kata sepakat, keduanya berpaling menatap Panji.
"Seharusnya kamilah yang menuntut imbalan darimu, Pendekar Naga Putih!" Iblis
Kutub Utara balik menuntut. "Karena kami, maka kau berhasil menculik putra
senapati tolol ini."
"Tidak bisa," sanggah Panji. "Tidak ada bukti kalau aku berhasil melakukan hal
itu. Coba buka mata kalian lebar-lebar. Apakah aku membawa bocah yang kalian
maksudkan itu?"
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api melangkah maju, lalu berjalan mengitari
tubuh Panji. Kepala mereka manggut-manggut, ketika tidak menemukan adanya putra
Senapati Guptasena pada sekujur tubuh Pendekar Naga Putih.
"Benar juga, ya...," desah keduanya manggut-manggut kebingungan.
"Sebaliknya, pada kalian bukti itu jelas terlihat," kata Panji merasa menang.
"Kalian telah berhasil menculik Senapati Guptasena. Dan itu karena jasaku."
"Lalu, apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Iblis Kutub Utara, menatap Panji
dengan wajah bodoh.
"Aku menginginkan bagian tubuh Senapati Guptasena," jawab Panji, berusaha keras
menahan tawa. Tidak disangkanya sedemikian mudah membodohi suami-istri sinting itu.
"Maksudmu.,.?" Setan Gurun Api menegasi.
"Senapati Guptasena terculik, karena kerja sama kita bertiga. Tentunya supaya
adil, kita bagi tiga saja tubuhnya...."
"Aku tidak setuju!" tukas Iblis Kutub Utara, langsung.
Demikian juga Setan Gurun Api. Keduanya menyatakan keberatan atas usul Pendekar
Naga Putih. Bahkan sikap ketololan mereka nyaris pupus, oleh sinar garang yang mulai nampak
di wajah keduanya.
"Bagaimana kalau kita adakan perlombaan...?" kata Panji buru-buru, melihat
keadaan mulai tegang.
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api hanya bergumam.
"Tubuh Senapati Guptasena kita ikat pada sebatang pohon dalam jarak kurang lebih
sepuluh tombak dari kita bertiga. Lalu, kita berlomba untuk membebaskannya.
Siapa yang melakukannya lebih dulu, dinyatakan sebagai pemenang. Dengan
demikian, Senapati Guptasena berhak menjadi miliknya tanpa boleh diganggu,"
Panji mengungkapkan usulnya.
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api tampaknya tidak keberatan. Sorot
kegarangan di wajah mereka perlahan pudar. Keduanya mengangguk, setelah saling
bertukar pandangan beberapa saat.
"Aku setuju!" ujar Iblis Kutub Utara.
"Aku juga!" sambung Setan Gurun Api.
Suami-istri sinting yang sakti ini tampak gembira sekali. Bahkan Setan Gurun
Api, yang memondong tubuh Senapati Guptasena, bergegas membawa dan mengikatnya
pada sebatang pohon. Kemudian buru-buru ia kembali dengan sepasang mata
bersinar-sinar.
"Apa lomba sudah bisa dimulai...?" tanya lelaki tinggi kurus ini, menatap
istrinya dan Pendekar Naga Putih bergantian.
"Sabar, Setan Gurun Api. Kita harus membuat peraturan dulu," ujar Panji, hampir
tak dapat menahan tawa melihat ketidaksabaran tokoh yang kini bersikap seperti
kanak-kanak itu.
"Wah! Aku tidak suka segala macam peraturan!"
Setan Gurun Api tampak tak senang. Lalu kepalanya menoleh ke arah istrinya,
meminta dukungan.
Tapi, perempuan gendut ini malah memandang Panji.
"Setan Gurun Api," panggil Panji setelah melihat wajah suami-istri sinting itu.
Kelihatannya, mereka beda pendapat satu sama lain, "Siapa tidak menuruti aturan,
tidak boleh mengikuti lomba ini!"
"Betul!" sambut Iblis Kutub Utara, berpihak kepada Panji. "Dan kalau kau masih
banyak mulut, aku akan melemparmu jauh-jauh!"
Setan Gurun Api tidak berani banyak cakap lagi. Tapi, bukan karena takut ancaman
istrinya, melainkan takut tidak diperbolehkan ikut berlomba. Ini yang membuatnya
Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menurut dan tak lagi bawel. Bahkan sewaktu Panji memanggilnya untuk bersiap
dalam garis sejajar yang telah dibuat, Setan Gurun Api hanya mengangguk dengan
mata bersinar-sinar. Kini ketiganya siap berlomba! "Hei, tunggu...! Aku ikut..!"
Panji dan suami-istri sinting ini sama-sama menoleh ke arah asal suara. Wajah
Pendekar Naga Putih menampakkan kegembiraan ketika mengenali siapa adanya orang
yang berteriak dan melesat menghampiri mereka. Sebaliknya, Iblis Kutub Utara dan
Setan Gurun Api memperlihatkan kemarahan. Bahkan keduanya terdengar menggereng.
"Heh heh heh..., Pendekar Naga Putih! Mengapa kau tidak memberitahukan aku,
kalau hari ini ada lomba yang menyenangkan...."
Begitu tiba, sosok yang tingginya hanya sebahu Panji dan bertubuh kurus ini,
langsung saja mengomel panjang-pendek. Kemudian tanpa meminta persetujuan dari
Panji ataupun Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api, sosok yang ternyata seorang
kakek ini langsung saja mengambil tempat, siap ikut sebagai peserta lomba!
"Tidak bisa!"
Sebelum Panji sempat buka suara, terdengar bentakan Iblis Kutub Utara yang
keras. "Eh! Mengapa" Apa hakmu melarangku" Seharusnya, kaulah yang tidak boleh
mengikuti perlombaan ini," dengus kakek yang baru datang ini, tidak mau kalah.
"Haaa...!"
Bantahan ini membuat kemarahan Iblis Kutub Utara berubah menjadi keheranan
besar! Mengapa malah dirinya yang seharusnya tidak boleh ikut"
"Mengapa..."!" tanya Iblis Kutub Utara, akhirnya.
"Ya! Karena, kau sedang hamil!" jawab kakek ini, enteng.
Rupanya, kakek kerdil itu tidak kalah sewotnya dengan Iblis Kutub Utara dan
Setan Gurun Api!
Namun, kelihatannya ia lebih cerdik!
Iblis Kutub Utara tersentak kaget! Ucapan kakek itu membuatnya melirik perutnya
yang memang buncit, persis seperti orang hamil. Tapi, sebentar kemudian baru
disadari. "Boangsaaattt...!"
Iblis Kutub Utara berteriak melengking sekuat-kuatnya. Kemarahannya sudah tidak
bisa ditahan lagi mendengar hinaan kakek bertongkat kayu hitam yang butut itu.
Seketika perempuan gendut merangsek maju, seperti orang kesetanan!
"Ada gajah bunting mengamuuuk..!" teriak kakek bertubuh pendek itu,
memperlihatkan wajah seperti orang ketakutan.
Kemudian dia berlari menyembunyikan diri di belakang tubuh Pendekar Naga Putih.
"Whaaaa....!"
Iblis Kutub Utara berteriak keras! Cengkeramannya kini tertuju ke tubuh Panji!
"Kakek Peramal Sinting, kau benar-benar gila...!" desis Panji, mengumpat pada
kakek yang bersembunyi di belakang tubuhnya. Kemudian bergegas dihindarinya
cengkeraman maut yang telah didahului sambaran angin yang dingin menusuk tulang.
Kegagalan serangan membuat Iblis Kutub Utara semakin bertambah kalap. Tubuhnya
cepat melesat mengejar kedua orang itu. Cengkeraman yang kali ini masih ditambah
lontaran pukulan jarak jauh yang sanggup membekukan urat-urat tubuh datang
bertubi-tubi laksana amukan badai salju. Panji terpaksa harus terus berlompatan
menyelamatkan diri. Sementara, kakek yang ternyata berjuluk Kakek Peramal
Sinting tidak melepaskan pegangan pada pakaian belakang Pendekar Naga Putih.
Sehingga, ke mana Panji melompat menghindar, Kakek Peramal Sinting tidak pernah
ketinggalan. Tubuhnya melekat erat bagai seekor lintah!
"Iblis Kutub Utara! Tahan seranganmu...!" seru Panji yang masih belum mau
membalas sungguh-sungguh. "Kalau kau masih belum juga berhenti, perlombaan akan
kubatalkan...!"
"Berlombalah kau dengan kakek gila itu di akherat...!" sahut Iblis Kutub Utara
dengan kemarahan yang tak juga surut.
Plakkk! Karena tidak berhasil membujuk, terpaksa Panji mengangkat sebelah tangannya
untuk memapak sewaktu pukulan perempuan gendut itu datang mengancam. Benturan
keras membuat mereka sama-sama terjajar mundur!
"Jangan menganggap remeh perempuan bunting itu, Pendekar Naga Putih," Kakek
Peramal Sinting terkekeh memperingatkan Panji.
"Mengapa kau masih saja belum kapok, Kakek Peramal Sinting" Hentikan hinaanmu.
Atau, kau memang ingin tubuhmu dilumatnya?" tukas Panji. Hatinya agak jengkel
juga, dijadikan tameng kakek itu.
"Siapa bilang aku menghina"!" bantah Kakek Peramal Sinting setengah berteriak.
"Lalu, apa menurutmu kalau itu bukan merupakan hinaan?" tukas Panji, ketika
Kakek Peramal Sinting menyangkal.
"Aku tidak menghina. Aku tahu. Iblis Kutub Utara memiliki tubuh seperti gajah
bengkak. Tapi, aku juga tahu kalau saat ini ia sedang dalam keadaan hamil!"
"Hahhh..."!"
"Aku berkata yang sebenarnya, Pendekar Naga Putih...,'' lanjut Kakek Peramal
Sinting sambil terkekeh gembira bisa membuat Panji kaget.
Panji tidak mempedulikan Kakek Peramal Sinting lagi. Karena, saat itu sambaran
angin dingin kembali datang. Bukan hanya Iblis Kutub Utara yang melanjutkan
serangannya. Namun, suaminya kini ikut membantu!
"Tahan serangan! Aku hendak menyampaikan sebuah berita besar untuk kalian
berdua...!" cegah Panji pada suami-istri sinting itu sambil mengangkat kedua
tangannya. "Tidak perlu...!" Iblis Kutub Utara terus maju.
"Whaaa...!"
Panji terpaksa harus melompat, demi menyelamatkan diri.
"Iblis Kutub Utara, Kakek Peramal Sinting! Bukan hendak menghinamu. Tapi, ia
bilang kau memang benar-benar hamil! Kalian berdua akan segera mempunyai seorang
keturunan...!" seru Panji, selagi Iblis Kutub Utara yang mengejarnya meluncur
datang. Seruan Panji begitu jelas terdengar di telinga Iblis Kutub Utara. Hatinya tampak
meragu untuk melanjutkan serangan. Lalu gerakannya dihentikan. Dipandanginya
Panji yang berada satu tombak di depan.
Sementara itu Setan Gurun Api, yang juga mendengar seruan Panji, segera berlari
menghampiri istrinya. Lelaki kurus ini tertawa-tawa sambil menepuk-nepuk perut
buncit istrinya perlahan-lahan.
"Pendekar Naga Putih! Sebagai seorang tokoh muda yang bernama besar, tentunya
kau pantang berdusta! Katakanlah, apakah ucapanmu itu bukan dusta?" tanya Iblis
Kutub Utara, dengan mimik wajah aneh.
Wajah wanita itu berkerut-kerut bagai hendak menangis. Karena, ia tengah
berusaha menguasai perasaannya, siap menerima kenyataan pahit kalau Panji
ternyata berdusta. Padahal, apa yang dikatakan Panji dan Kakek Peramal Sinting
itu merupakan harapan yang selama belasan tahun didambakan. Tidak heran, betapa
perempuan gemuk ini terlihat agak tersiksa menunggu jawaban Panji.
"Aku tidak berdusta, Iblis Kutub Utara," jawab Panji mantap, setelah menoleh ke
arah Kakek Peramal Sinting yang menganggukkan kepala.
"Bodoh kalau kau tidak mengetahuinya, perempuan gendut!" Kakek Peramal Sinting
kembali memaki, membuat Panji kembali menjadi tegang!
Tapi, Iblis Kutub Utara kali ini tidak marah. Bahkan makian Kakek Peramal
Sinting mungkin tidak didengarnya, karena ia tengah mengelus perutnya penuh
kasih sayang. Kedua pipinya tampak basah oleh air mata. Perempuan gendut yang
tingkahnya ganjil dan terlihat tak berperasaan ini, merasa bahagia dan terharu
mendapatkan kenyataan kalau dirinya hamil.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih! Juga kau, Kakek Peramal Sinting," ucap Iblis
Kutub Utara yang mendadak saja berubah lembut. Kemudian kepalanya berpaling
kepada suaminya. "Kanda, sebaiknya kita kembali dan menetap di utara untuk
menunggu kelahiran anak kita."
Setan Gurun Api mengangguk. Dibelainya wajah gemuk istrinya penuh kasih.
Kemudian dibimbingnya lengan istrinya, pergi meninggalkan tempat itu, setelah
berpesan kepada Panji.
"Sampaikan kepada Senapati Guptasena, bahwa segala yang pernah terjadi telah
kami lupakan. Dosanya kami maafkan...," kata Setan Gurun Api.
Panji tidak bertanya apa-apa. Hanya kepalanya mengangguk, dan berjanji akan
menyampaikannya kepada Senapati Guptasena.
"Heh heh heh...! Rahasia Tuhan memang sangat sulit. Iblis Kutub Utara yang
terkenal kejam dan kurang waras, bisa berubah lembut tak beda dengan perempuan-
perempuan lemah. Benar-benar sukar dipercaya...," desah Kakek Peramal Sinting.
Kakek bertubuh kecil itu belum melepaskan pandangannya ke sosok Iblis Kutub
Utara dan Setan Gurun Api yang semakin jauh dan samar, untuk kemudian lenyap
sama sekali. Panji mengangguk-angguk, merasakan kebenaran ucapan Kakek Peramal Sinting.
Kemudian diajak kakek itu ke tempat Senapati Guptasena terikat, dalam keadaan
tak sadarkan diri.
7 Senapati Guptasena mengeluh begitu sadar dari pingsannya. Meski totokan pada
tubuhnya telah dibebaskan Panji, namun tubuhnya masih terasa lemah. Matanya
terbuka perlahan, dan langsung melihat seorang pemuda tampan tengah membungkuk
di samping tubuhnya. Keningnya lantas berkerut, seraya mengedarkan pandangan ke
sekeliling. Ketika tidak melihat adanya suami-istri sinting yang menculiknya,
tahulah Senapati Guptasena kalau pemuda tampan berjubah putih itu telah
menyelamatkannya.
"Siapakah kau, Anak Muda...?" tanya Senapati Guptasena, setelah menatap Kakek
Peramal Sinting sekilas. Sepasang matanya menatap Panji penuh selidik.
"Nama hamba Panji, Tuan Senapati," jawab Panji mengangguk hormat.
"Hm.... Ke mana perginya Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api.."!" tanya
senapati gagah ini lagi.
"Mereka telah pergi dengan meninggalkan pesan kepada hamba, untuk menyampaikan
permintaan maaf. Juga mereka berpesan kalau telah memaafkan dosa Tuan Senapati.
Mereka tidak mengatakan sebab-sebabnya, karena Tuan Senapati sudah mengerti.
Begitu kata mereka," jelas Panji.
"Syukur kalau mereka telah menyadarinya...," desah Senapati Guptasena
menggambarkan perasaan lega di hati. Kemudian tubuhnya bergerak bangkit,
disertai helaan napas panjang.
Panji ikut bangkit, dan tetap berdiri di samping Senapati Guptasena. Dadanya
sedikit berdebar, sewaktu menyadari kalau sepasang mata Senapati Guptasena
memperhatikan dirinya.
"Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api menculikku dengan maksud untuk membalas
dendam atas kematian murid mereka...."
Tanpa diminta, Senapati Guptasena menjelaskan persoalannya dengan suami-istri
sinting yang menculiknya.
Panji tidak menanggapi. Demikian juga Kakek Peramal Sinting yang sudah membawa
Bogantara dan Sobaya ke tempat Senapati Guptasena dan Panji berada.
Bogantara dan Sobaya langsung memberi hormat kepada Senapati Guptasena. Mereka
berdua menyatakan kelegaan hatinya karena senapati gagah itu telah terbebas dari
cengkeraman penculik-penculiknya.
Kemudian, diceritakannya secara singkat tentang keperluan mereka, yang diutus
sang Prabu. "Untunglah pada saat kami terancam maut, Pendekar Naga Putih datang
menyelamatkan kami berdua...."
Bogantara yang juga mengisahkan tentang usaha mereka menyelamatkan senapati
gagah itu, mengakhiri kalimatnya.
"Pendekar Naga Putih..."!" desis Senapati Guptasena, mengulang julukan Panji.
Kemudian kepalanya berpaling, menatap Panji dengan sorot mata tajam. Wajahnya
benar-benar menggambarkan kemarahan yang siap meledak!
"Maaf, Tuan Senapati. Hamba terpaksa melakukannya...."
Tahu apa yang membuat Senapati Guptasena tiba-tiba menatap marah kepadanya,
Panji buru-buru minta maaf.
"Sejak sadar dan melihat wajah serta dandananmu, aku memang sudah curiga!" cetus
Senapati Guptasena dengan rahang mengeras dan wajah membesi.
Bogantara dan Sobaya tentu saja menjadi heran. Mereka bertukar pandangan satu
sama lain, tak mengerti mengapa panglima gagah itu mendadak marah setelah
mendengar Pendekar Naga Putih disebut. Tapi, keduanya tidak berkata apa-apa.
Mereka hanya menduga kalau antara Pendekar Naga Putih dan Senapati Guptasena ada
sesuatu yang tidak diketahui.
Kakek Peramal Sinting pun tidak berbuat apa-apa. Ia hanya senyum-senyum sambil
menyandarkan tubuh pada sebatang pohon. Sedikit pun tak terlihat tanda-tanda
akan mencampuri persoalan itu.
"Pendekar Naga Putih...!" lanjut Senapati Guptasena dengan suara bergetar
menahan marah, "Selama ini, kita belum pernah bertemu, bukan" Apa salahku
kepadamu" Mengapa kau begitu tega melakukan tindakan keji dengan menculik
putraku" Bahkan bekerja sama dengan kedua orang tokoh sesat yang menculikku! Apa
artinya semua ini, Pendekar Naga Putih" Dan, di mana kau sembunyikan Paridesta,
putraku itu?"
"Tuan Senapati," kata Panji mengangkat kepalanya dengan wajah agak pucat. "Hamba
memang mengakui telah melakukan penculikan. Tapi, sama sekali tidak bekerja sama
dengan suami-istri sinting itu.
Kebetulan saja, kami datang pada waktu yang bersamaan. Dan mereka mengetahui
kehadiran hamba," jelas Panji.
Lalu Pendekar Naga Putih menceritakan pertemuannya dengani Anila, termasuk Iblis
Kutub Utara dan Setan Gurun Api. Apa yang pernah didengarnya dari Anila,
diceritakannya kepada Senapati Guptasena. Juga, tentang penderitaan dan
keinginan perempuan itu untuk berkumpul bersama putranya.
Disinggungnya nama Anila, membuat Senapati Guptasena menunduk lemas. Wajah
berangnya lenyap, berganti kedukaan. Terdengar tarikan napas panjangnya, sewaktu
mengangkat kepala memandang Pendekar Naga Putih.
"Kau..., kau telah ditipunya, Pendekar Naga Putih...," desah Senapati Guptasena
tidak lagi menunjukkan kemarahan.
"Maksud, Tuan Senapati...?" Panji minta penjelasan.
"Cerita Anila tidak seluruhnya benar. Sebagian, justru merupakan kebalikannya.
Benar, Anila adalah istri, pertamaku. Tapi, aku sama sekali tidak membuangnya ke
hutan. Dan lagi justru Cindarani-lah yang memberi keturunan kepadaku. Bukan
Anila, seperti yang diceritakannya kepadamu. Karena tidak bisa memberi
keturunan, Anila merasa iri. Bahkan berusaha bertindak jahat pada Cindarani.
Anila-lah yang merasa terpukul oleh kelahiran Paridesta. Ia terpaksa
kukembalikan ke desa kelahirannya. Sementara Jamantara memang kekasih gelap
Anila. Anila telah mempengaruhi dan membujuknya, untuk bekerja sama
menyingkirkan Cindarani dan Paridesta..."
Senapati Guptasena berhenti sebentar untuk menarik napas.
"Lalu..., tentang dukun sihir dan Racun Kecubung Biru...?"
Panji mempergunakan kesempatan itu untuk bertanya. Wajahnya jadi agak pucat dan
muram, teringat kesalahan yang dilakukannya. Hatinya juga menyesal, telah begitu
mudah terjebak oleh cerita Anila, hingga mempercayai kemalangannya. Bahkan
menolongnya untuk melakukan penculikan.
"Tentang dukun sihir itu, aku tidak begitu jelas. Yang kutahu, Anila memang
nyaris berhasil membunuh Cindarani dengan menggunakan Racun Kecubung Biru. Tapi,
aku telah lama menaruh kecurigaan padanya. Kulihat, tingkah-lakunya semakin
aneh. Maka beberapa orang kepercayaanku kutugaskan untuk terus mengawasinya.
Ternyata, dua orang dayang telah bersekongkol dengannya. Mereka berhasil
kutangkap, dan kumintai keterangan. Dari sini, keterlibatan Jamantara terungkap.
Dia dijebloskan ke dalam tahanan, dan Anila dikembalikan ke desanya. Hhh...,
sama sekali tak kusangka kalau ia masih tetap menaruh dendam...," sesal Senapati
Guptasena atas sikap istri pertamanya yang pernah disayanginya.
"Hamba mengaku salah, Tuan Senapati," sesal Panji menghela napas berat, "Dan
hamba siap menerima hukuman...."
"Di mana putraku sekarang, Pendekar Naga Putih...?" tanya Senapati Guptasena,
tak begitu memperhatikan perkataan Panji.
Lemas seluruh tubuh Panji mendengar pertanyaan itu. Dengan suara lemah,
diceritakannya tentang kepergian Anila. Dan sekarang baru disadari kalau Anila
telah membawa pergi Paridesta. Jadi, bukan untuk melihat-lihat desa seperti
cerita pelayan kedai waktu itu.
"Celaka...!" desis Senapati Guptasena memukulkan tinju ke telapak tangannya
sendiri, "Entah apa yang akan dilakukannya terhadap Paridesta..."!"
"Hamba..., hamba akan mencarinya, Tuan Senapati," ujar Panji, langsung ingin
menebus kesalahannya.
Senapati Guptasena memandang Panji beberapa saat, lalu menganggukkan kepala.
"Baiklah, Pendekar Naga Putih. Aku pun akan mengerahkan orang-orangku untuk
mencari Anila. Jika kau dapat menemukannya, bawalah ke benteng. Katakan, aku
akan memaafkan segala kesalahannya. Dan dia masih kuharap agar mau sadar.
Seandainya ingin kembali, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Aku memang
belum menceraikannya," jelas Senapati Guptasena.
Setelah berbasa-basi sebentar, senapati itu berpamit kepada Panji, diikuti
Bogantara dan Sobaya.
Sementara, niatnya untuk berpamit kepada Kakek Peramal Sinting dibatalkan karena
orang tua aneh itu tengah tertidur pulas, bersandar pada batang pohon. Senapati
Guptasena tersenyum menggelengkan kepala melihat kelakuan kakek itu.
Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
*** "Kek...," panggil Panji sambil menyentuh tubuh Kakek Peramal Sinting,
sepeninggal Senapati Guptasena dan kedua orang jagoan istana.
"Hmmm...."
Kakek Peramal Sinting menggeliat sebentar, mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Eh"! Mengapa sepi sekali..."!" seru kakek itu keheranan, sewaktu tidak melihat
adanya Senapati Guptasena dan kedua orang jagoan istana.
"Aku perlu pertolonganmu...," ujar Panji, setelah menjelaskan tentang kepergian
ketiga orang itu.
"Pertolongan..."!" ulang Kakek Peramal Sinting keheranan.
Kakek itu lantas tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
"Hei, pohon-pohon dan seluruh makhluk yang ada di tempat ini! Dengarlah!
Bukankah sangat lucu jika seorang tokoh muda yang membuat datuk sesat lari
terbirit-birit, kini meminta pertolongan seorang kakek jompo sepertiku...?"
"Aku sungguh-sungguh, Kek," tegas Panji.
Pendekar Naga Putih tidak mempedulikan ucapan Kakek Peramal Sinting, yang bagi
sebagian orang dianggap tidak waras. Panji sendiri tidak menganggap demikian,
karena tahu kalau kesintingan kakek itu merupakan ciri seorang tokoh persilatan,
yang kebanyakan memang cenderung tidak lumrah manusia.
Kakek Peramal Sinting menghentikan ocehan dan tawanya, ketika melihat
kesungguhan di wajah Pendekar Naga Putih.
"Bukankah kakek sendiri yang meramalkan tentang peristiwa yang bakal terjadi di
daerah ini" Malah sempat menasihatkan, agar aku berpisah dengan Kenanga untuk
sementara waktu, yang harus mengikuti pertemuan para pendekar di daerah barat?"
tflntut Panji kepada Kakek Peramal Sinting.
Sebelumnya, Panji memang telah bertemu Kakek Peramal Sinting, sewaktu tengah
bersama Kenanga.
Lalu, ia menasihatkan agar Panji dan Kenanga berpisah untuk berbagi tugas.
Kenanga pergi untuk mengikuti pertemuan para pendekar, sedang Panji ke selatan,
mengikuti petunjuk Kakek Peramal Sinting. Itu sebabnya, mengapa Panji tidak
terlihat bersama Kenanga.
"Ingat kembali, apa yang diceritakan Anila kepadamu, Pendekar Naga Putih. Lalu,
carilah tempat yang kau anggap baik untuk Anila menyembunyikan diri.... Nah,
selamat tinggal...!"
"Kek..."!" panggil Panji agak kaget melihat Kakek Peramal Sinting melesat pergi
meninggalkannya.
"Kau tidak memerlukan aku lagi, Pendekar Naga Putih! Selesaikanlah sendiri.
Setelah itu, baru susul kekasihmu...!" cegah suara Kakek Peramal Sinting, yang
sosoknya lenyap ditelan kelebatan pohon.
Panji hanya bisa menghela napas, kemudian melangkah pergi sambil mengingat-ingat
cerita Anila. Dan Pendekar Naga Putih lantas menduga-duga tempat persembunyian
Anila. 8 "Celaka! Bukankah bocah itu putra kesayangan Senapati Guptasena"! Mengapa kau
membawanya ke sini, Anila"! Ulahmu bisa membuatku susah! Kalau sampai mereka
menemukanmu, aku bisa digantung!"
Anila hanya tersenyum mengejek, tak peduli ucapan dukun sihir yang pernah
dimintakan tolong itu.
Dengan sikap tetap tenang, tubuh Paridesta direbahkan di atas pembaringan kayu,
berlapis selembar tikar pandan. Baru kemudian ia berbalik menghadapi kakek Dukun
Sihir itu. "Aku telah membayar mahal kepadamu. Secara tidak langsung kau pun terlibat dalam
urusan ini. Kini, aku belum mempunyai rencana untuk pergi ke mana-mana. Satu-
satunya tempat yang kuanggap aman adalah gubuk jelekmu ini! Untuk sementara, aku
akan tinggal di sini! Tapi, ingat jangan berpikir yang bukan-bukan!
Sebab, aku bisa menyeretmu ke tiang gantungan lebih cepat daripada yang kau
perkirakan!" tandas Anila, membuat Kakek Dukun Sihir itu menggeram jengkel.
"Gila...!" desis kakek itu sambil memutar tubuh, melangkah keluar pondok.
"Kau mau ke mana...?" tanya Anila ketus.
"Aku mau pergi dari sini!" jawab kakek berjubah hitam ini, tanpa menoleh.
"Tidak bisa!" tandas Anila mencegah, "Kau harus membantuku! Jaga tempat ini.
Cegah siapa saja yang datang, kecuali Senapati Guptasena. Kalau dia datang, aku
sendiri yang akan menghadapinya!"
"Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Anila?" tanya Kakek Dukun Sihir, menunda
langkahnya. Ia berdiri di ambang pintu, menatap Anila dengan sorot mata tajam.
"Kelak kau akan mengetahuinya jika Senapati Guptasena datang," jawab Anila.
Kemudian wanita itu memutar tubuhnya, masuk ke dalam kamar. "Ingat pesanku!"
Kakek Dukun Sihir mendengus jengkel, lantas melangkah keluar dengan perasaan tak
karuan. Baru saja sebelah kakinya menginjak anak tangga terakhir, matanya
menangkap sesosok bayangan berkelebat. Dan tahu-tahu, di hadapannya telah
berdiri seorang pemuda tampan berjubah panjang berwarna putih. Siapa lagi kalau
bukan Panji, si Pendekar Naga Putih.
"Hm... Kau mengejutkan aku, Anak Muda!" ujar Kakek Dukun Sihir meneliti sosok
Panji. "Apakah kau hendak minta bantuanku untuk mencarikan kekasihmu yang
hilang?" "Maaf kalau aku telah membuatmu terkejut, Kek," ujar Panji, sambil meneliti
sekitar pondok "Aku memang mempunyai sedikit keperluan. Dan aku memang sedang
mencari seorang perempuan yang berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tapi, ia
bukan kekasihku. Hanya saja, aku mempunyai satu urusan dengannya.
Kau pasti mengenalnya. Perempuan itu bernama Anila," Kini mata Pendekar Naga
Putih menatap tajam kakek itu.
"Mencari seorang perempuan yang bernama Anila"! Mengapa kau datang ke tempat
ini, Anak Muda..."
Dan mengapa pula kau menduga aku mengenalnya?" tukas Kakek Dukun Sihir, menatap
tak senang kepada Panji.
"Kau tidak perlu menyangkal, Kek! Anila sudah bercerita banyak kepadaku. Dan ia
juga pernah menyinggung tentang dirimu. Dan kuharap, jangan mempersulit. Aku
adalah kawan baik Anila. Dan aku juga tahu tentang apa saja yang pernah
dialaminya. Bahkan, aku juga yang telah menolongnya dalam menculik putra
Senapati Guptasena," tandas Panji, tak mempercayai ucapan Kakek Dukun Sihir itu.
Kakek Dukun Sihir itu termenung sebentar. Keterangan Panji membuatnya ragu.
Terlebih, pengakuan Panji yang mengatakan telah membantu Anila melakukan
penculikan. "Maaf.... Aku tidak bisa membantumu, Anak Muda...," tegas Kakek Dukun Sihir,
ketika teringat pesan Anila kepadanya. "Sebaiknya, carilah di tempat orangtuanya
yang bernama...."
"Ki Wanagung maksudmu?" potong Panji, membuat Kakek Dukun Sihir agak kaget. "Aku
sudah menemuinya. Dan ternyata, Anila tidak berada di sana. Bahkan orang tua itu
sama sekali tidak tahu tentang apa yang sudah terjadi terhadap putri tunggalnya.
Aku tidak menjelaskannya, sebab hanya akan membuatnya sedih."
"Lalu, mengapa kau menduga Anila berada di tempatku?" tukas Kakek Dukun Sihir
ketus, menunjukkan ketidaksenangannya.
"Karena ada kemungkinan Anila bersembunyi di tempat ini," tandas Panji mulai tak
sabar. Pendekar Naga Putih semakin menaruh curiga melihat Kakek Dukun Sihir itu
berdiri, menghalangi pintu. Dan Panji menduga kalau kakek itu menyembunyikan
sesuatu. "Carilah di tempat lain, Anak Muda! Jangan sampai kesabaranku habis!" usir Kakek
Dukun Sihir, setengah mengancam.
Panji terdiam sesaat. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.
"Baiklah, Kek. Terima kasih atas nasihatmu," ujar Panji mengalah.
Kemudian Pendekar Naga Putih memutar tubuhnya, dan melesat meninggalkan tempat
itu. Sementara Kakek Dukun Sihir itu menghela napas lega. Kemudian kakinya melangkah
masuk ke dalam pondok, setelah bayangan Panji lenyap di kejauhan. Tapi begitu
tubuhnya lenyap di balik pintu yang ditutupnya, sosok Panji kembali muncul.
Rupanya, Pendekar Naga Putih tidak sungguh-sungguh hendak meninggalkan tempat
itu. Bahkan kemudian melesat mendekati pondok dengan jalani memutar, melalui
belakang. Kemudian dengan tubuh mengendap-endap, didekatinya pondok itu.
"Hm.... Mengapa kau kembali lagi, Anak Muda?"
Suara berat dan parau itu membuat langkah Panji terhenti. Pendekar Naga Putih
mengenali suara si Kakek Dukun Sihir, hingga sempat kaget juga. Sama sekali
tidak disangka kalau kehadirannya sampai bisa diketahui.
"Aku terpaksa, Kek," aku Panji, memandang kagum sosok Kakek Dukun Sihir yang
muncul dari pintu belakang pondok, "Dan aku harus memeriksa bagian dalam pondok
" "Sombong sekali kau, Anak Muda! Apa kau pikir aku akan membiarkanmu masuk?"
tukas Kakek Dukun Sihir, menampakkan wajah berang. "Kau harus belajar
menghormati orang tua...!"
Setelah berkata demikian, Kakek Dukun Sihir itu mengangkat tangan kanannya
dengan jari-jari terbuka. Kemudian ia membentak keras menggetarkan dada!
"Lihatlah! Pohon di belakangmu akan roboh menimpamu. Mereka tak suka melihat
sikapmu yang kurang ajar kepadaku...!" bentak Kakek Dukun Sihir itu dengan sorot
mata tajam berpengaruh.
Mendengar suara berderak ribut di belakangnya, Panji menoleh. Kaget bukan main
hatinya, ketika melihat pohon di belakangnya meluncur hendak menimpa tubuhnya.
Cepat Pendekar Naga Putih melompat ke samping menyelamatkan diri.
"Pohon itu akan terus mengejarmu, Anak Muda! Dia tidak akan pemah berhenti
sebelum melumat tubuhmu...!"
Kembali Kakek Dukun Sihir membentak dengan tangan tetap terulur ke arah batang
pohon yang tengah roboh itu.
"Sihir..."!" seru Panji.
Pendekar Naga Putih baru menyadari perbuatan Kakek Dukun Sihir, sewaktu melihat
batang pohon besar itu melayang ke arahnya. Cepat ditariknya napas dalam-dalam
untuk mengumpulkan hawa murni. Lalu Pendekar Naga Putih membentak mengguntur,
untuk melenyapkan pengaruh sihir kakek berjubah hitam itu.
"Aaahhh..."!"
Kakek Dukun Sihir terkejut! Bentakan Pendekar Naga Putih membuat isi dadanya
berguncang, hingga tubuhnya terjajar mundur sejauh setengah tombak. Sedang pohon
besar yang tengah meluncur ke arah Panji, mendadak lenyap tanpa bekas!
Sementara, pohon yang sesungguhnya masih tetap berdiri kekar di tempatnya
semula. "Pantas kau bersikap demikian sombong, Anak Muda. Kiranya kau memiliki
kepandaian yang cukup hebat...!" puji Kakek Dukun Sihir itu. Kemudian kedua
matanya dipejamkan. Lantas kedua tangannya dengan telapak terbuka digosokkan
satu sama lain.
"Hm.... Kau hendak mempertontonkan permainan anak kecil, Kakek Tua...!" ejek
Panji dengan suara mengandung tekanan tenaga dalam.
Sebentar kemudian, sekujur tubuh Pendekar Naga Putih telah terbungkus sinar
kuning keemasan.
Memang Panji telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' untuk melawan
pengaruh sihir lawannya.
Lagi-lagi tubuh Kakek Dukun Sihir ini terjajar mundur disertai pekik
kekagetannya. Kobaran api yang tercipta melalui gesekan kedua telapak tangannya,
mendadak sirna. Wajahnya tampak agak pucat. Napasnya tersengal, tanda kalau
telah mengerahkan banyak tenaga dalam saat mempergunakan ilmu sihirnya. Tapi,
pancaran sinar kuning keemasan yang keluar dari tubuh Pendekar Naga Putih,
membuat Kakek Dukun Sihir merasa kedua matanya sakit dan panas.
"Ilmu Iblisss..."!" rutuk Kakek Dukun Sihir itu. Kakek itu kaget bukan main,
ketika merasakan betapa sinar kuning keemasan itu membuat kekuatan sihirnya
lenyap. Sadar kalau ilmu sihirnya tidak lagi berguna, kakek ini lantas
mempergunakan cara lain. Seketika ia melompat menerjang Panji dengan sambaran
tongkat. Whuuuttt..! Panji menggeser tubuhnya dua langkah ke samping, menghindari babatan tongkat di
kepala. Dan ketika tongkat itu menusuk ke belahan dada, tangan kanannya cepat
dikibaskan untuk menangkis.
Dukkk! Kakek Dukun Sihir memekik kesakitan! Tangkisan Panji membuat tongkatnya terlepas
dari pegangan. Tubuhnya kontan terpental dan terbanting ke tanah. Tampak dari sela bibirnya
cairan merah merembes turun.
Panji yang tak menyangka kalau kepandaian silat kakek itu jauh berada di
bawahnya, merasa agak sedikit menyesal. Tapi, hatinya juga bersyukur tidak
menggunakan tenaga terlalu berlebihan. Sehingga, Kakek Dukun Sihir itu hanya
terguncang sedikit bagian dalam tubuhnya.
"Keparat...!" desis Kakek Dukun Sihir.
Ia lantas bergerak bangkit sambil melepaskan kantung sebesar telapak tangan
berwarna merah.
"Kali ini kau tidak akan luput dari kematian!"
Setelah berkata demikian, tangan kakek itu dikibaskan, menebarkan bubuk berwarna
merah ke tubuh Panji.
"Percuma kau buang racunmu sia-sia, Kek! Sebaiknya, katakan saja di mana Anila
bersembunyi!" ujar Panji mengibaskan kedua tangannya.
Terdengar letupan-letupan kecil di udara, sewaktu sinar kuning keemasan yang
keluar dari kibasan tangan Panji, membakar musnah bubuk beracun itu.
"Gila..."!"
Lagi-lagi Kakek Dukun Sihir mengumpat hampir tak percaya dengan apa yang
disaksikan. Menyadari kalau pemuda yang menjadi lawannya tidak mungkin dapat
ditundukkannya, maka tanpa banyak cakap lagi Kakek Dukun Sihir ini memutar
tubuhnya, berlari meninggalkan tempat itu.
"Tunggu...!" cegah Panji.
Pendekar Naga Putih langsung melenting berputaran di udara. Sekejap kemudian,
tubuhnya telah berdiri, kurang lebih satu setengah tombak di depan Kakek Dukun
Sihir itu. "Tunjukkan, di mana Anila bersembunyi..?" tanya Panji dengan sorot mata
mengancam. "Kau mencariku, Panji...?"
Tiba-tiba terdengar suara halus, Panji menoleh. Tampak Anila berdiri di depan
pintu belakang pondok sambil menggendong Paridesta. Bergegas Panji meninggalkan
Kakek Dukun Sihir, untuk menemui Anila.
"Panji...," panggil Anila dengan suara bergetar penuh kedukaan. Sorot matanya
demikian sayu, menimbulkan rasa iba bagi orang yang melihatnya.
"Aku sudah tahu semuanya, Anila...," tukas Panji, ketika melihat bibir perempuan
itu bergerak hendak mengatakan sesuatu.
"Lalu..., kau ingin merebut anak ini dariku?" tanya Anila.
Wajah perempuan itu sempat berubah, ketika mendengar ucapan Panji. Terdengar
keluhan putus asa ketika Pendekar Naga Putih mengangguk tegas.
"Anila...."
"Berhenti!" bentak Anila dengan wajah berlinang air mata. "Kalau kau teruskan
niatmu, aku akan membunuh anak ini. Lalu, nyawaku sendiri akan kuhabisi.
Sehingga, kau hanya akan membawa bangkai kami ke hadapan suamiku!"
Panji terkejut. Seketika langkahnya terhenti. Ditatapnya Anila dengan hati
tegang! "Anila...," panggil Panji pelan. "Aku bukan hanya akan membawa anak itu, tapi
juga dirimu. Dan...."
"Tidak! Kau boleh pilih. Tinggalkan tempat ini, atau melihat kami berdua menjadi
bangkai!" tandas Anila. Wanita itu sudah melingkarkan jari-jari tangannya di
leher Paridesta.
Panji tertegun. Disadari kalau Anila bukan sekadar menggertak. Memang, dalam
keputusasaan, orang bisa berlaku nekat. Dan Pendekar Naga Putih tidak
menginginkan hal itu sampai terjadi. Kini otaknya berputar mencari jalan keluar.
"Aku tidak bisa berbuat lain, Anila."
Akhirnya Panji berkata tegas, setelah berpikir sambil memandang wajah Anila.
Melihat perempuan itu bungkam dan menangis terisak, Panji buru-buru mencecarnya.
"Senapati Guptasena tidak akan menghukummu. Malah ia masih mengakui kalau kau
adalah istrinya, ia menghendaki agar kau sadar dari kesesatanmu. Madumu,
Cindarani, juga berharap agar kau kembali. Paridesta bukan hanya putranya, tapi
juga putramu. Begitu yang dikatakan Senapati Guptasena, mengenai sikap
Cindarani"
Panji berhenti sebentar untuk melihat tanggapan Anila.
Sementara itu, Anila semakin terisak sedih. Didekap dan diciuminya anak dalam
pelukannya. "Jangan berbuat bodoh, yang kelak akan membuatmu menyesal seumur hidup, Anila,"
lanjut Panji ketika melihat perbuatan Anila terhadap Paridesta.
Sikap itu membuat Panji tahu kalau Anila pun menaruh rasa sayang terhadap putra
tirinya. "Ikutlah bersamaku, Anila. Perkataan seorang senapati, sama dengan nyawanya. Dan
aku tahu, Senapati Guptasena sungguh-sungguh akan menerimamu. Asalkan, kau sadar
akan kesalahanmu selama ini.
Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Beliau akan memaafkan dan mengampunimu, Anila..."
"Jangan membohongiku, Panji" ujar Anila di sela isak tangisnya. "Dosaku terlalu
besar kepada mereka berdua. Aku perempuan jahat! Mustahil rasanya kalau mereka
akan sudi mengampuni!"
"Aku tidak membohongimu, Anila!" sangkal Panji. "Nyawaku taruhannya! Dan kau
tidak perlu khawatir. Kalau Senapati Guptasena dan istrinya berdusta, aku akan
membelamu, Anila! Tapi, aku percaya mereka tidak akan melakukan hal itu."
"Kau bersungguh-sungguh, Panji" Benar kau akan membelaku, apabila mereka
berdusta" Sadarkah kau kalau yang kau bela adalah perempuan jahat berlurhur
dosa?" "Aku bersumpah, Anila!" jawab Panji mantap. "Benar kau telah membuat banyak
kesalahan. Tapi, setiap orang berhak kembali ke jalan kebaikan. Dan itu berarti,
kau telah membela kebenaran!"
Anila terdiam beberapa saat. Ia sudah cukup tahu banyak tentang Panji. Dia tahu,
bagaimana pendirian dan sikap pemuda itu. Pemuda yang mau menolong siapa saja
tanpa mengharap jasa. Dan setelah berpikir beberapa saat, Anila melangkah
menghampiri. Lalu diserahkannya anak dalam pondongannya.
"Biarlah Paridesta tetap dalam pondonganmu," ujar Panji tersenyum lega. "Kau
lihat, ia begitu tenang dalam tidurnya. Itu karena, ia tahu kalau dirinya berada
dalam pondongan ibunya yang tulus menyayanginya.
Tidakkah kau bahagia, Anila...?"
"Terima kasih, Panji. Kau masih saja percaya kepadaku. Padahal, aku pernah
mendustaimu...," ujar Anila tersenyum penuh keharuan. Kembali didekap erat dan
diciuminya Paridesta dengan air mata bercucuran.
"Maafkan kalau Ibu telah membuatmu susah, anakku...."
Ketiganya bergegas meninggalkan tempat itu, diiringi pandang mata Kakek Dukun
Sihir, yang sedikit banyak merasa lega. Kakek ini masih tegak berdiri sampai
bayangan Panji dan Anila lenyap di kejauhan.
SELESAI Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. TIGA IBUS GUNUNG TANDUR
56. PEMBUNUH BAYARAN
2. DEDEMIT BUKIT IBLIS
57. PEMBURU NYAWA
3. ALGOJO GUNUNG SUTRA
58. MAJIKAN PULAU SETAN
4. PARTAI RIMBA HITAM
59. SEPASANG PEDANG IBLIS
5. JARI MAUT P. NYAWA
60. GOA LARANGAN
6. PENGHUNI R. GERANTANG
61. PEWARIS DENDAM SESAT
7. RAJA IBUS DARI UTARA
62. PENCULIK-PENCULIK MISTERIUS
8. PENJAGAL ALAM AKHERAT
63. DUEL JAGO-JAGO PERSILATAN
9. MENCARI JEJAK PEMBUNUH
64. GEROMBOLAN SETAN MERAH
10 BUNGA ABADI DI GUNUNG K
65. BERUANG GUNUNG ES
11. MEMBURU HARTA KARUN
66. SILUMAN GURUN SETAN
12. KELABANG HITAM
67. JERAT PERI KEMBANGAN
13. PENGGEMBALA MAYAT
68. WARISAN TERKUTUK
14. PUSAKA BERNODA DARAH
69. TOKOH BURONAN
15. PENDEKAR MURTAD
70. GENDRUWO RIMBA DANDANA
16. KECAPI PERAK D. SELATAN
71. PETUALANG SAKTI
17. SERIGALA SILUMAN
72. PERTARUNGAN DUA NAGA
18. DEWI BAJU MERAH
73. RASE PERAK 19. ASMARA DI UJUNG PEDANG
74. MISTERI DI B. ULAR EMAS
20. BENCANA DARI ALAM KUBUR
75. PEREMPUAN LEMBAH HITAM
21. HILANGNYA P. KERAJAAN
76. NERAKA BUMI
22. TRAGEDI G. LANGKENG
77. ALTAR SETAN
23. DEWA TANGAN API
78. TINJU TOPAN DAN BADAI
24. MACAN TUTUL L. DARU
79. TONGKAT DELAPAN NAGA
25. MALAIKAT GERBANG NERAKA
80. IBLIS ANGKARA MURKA
26. RAHASIA PEDANG N. LANGIT
81. BUDAK NAFSU TERKUTUK
27. SENGKETA JAGO J. PEDANG
82. TUJUH SATRIA PERKASA
28. LABA-LABA HITAM
83. PEREMPUAN BERBISA
29. TERSESAT DI L. KEMATIAN
84. NAGINA (PUTRI ULAR)
30. DENDAM PENDEKAR CACAT
31. TERDAMPAR DIPULAU ASING
32. KUMBANG MERAH
33. BIDADARI IBLIS
34. MUSTIKA NAGA HIJAU
35. PENDEKAR GILA
36. MISTERI DESA SILUMAN
37. KETURUNAN D. PERSILATAN
38. TEWASNYA R. RACUN MERAH
39. PUTRA HARIMAU
40. SEPASANG M. L MAUT
41. HANTU LAUT PAJANG
42. TERJEBAK DI PERUT BUMI
43. DARAH PERAWAN SUCI
44. PENGEMBAN DOSA TURUNAN
45. BADAI RIMBA PERSILATAN
46. PETUALANGAN DI ALAM ROH
47. BANGKITNYA MALAIKAT PETIR 48. MISTERI SELENDANG BIRU
49. TUMBAL PERKAWINAN 50. SANG PENGHANCUR 51. PETAKA KUIL TUA
52. PENYEMBAH DEWI MATAHARI
53. PASUKAN PEMBUNUH
54. RACUN ULAR KARANG
55. PANGGUNG KEMATIAN
Pertikaian Tokoh Tokoh Persilatan 1 Pertempuran Di Lembah Bunga Hay Tong Karya Okt Balada Di Karang Sewu 2