Pencarian

Perempuan Berbisa 1

Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa Bagian 1


PEREMPUAN BERBISA
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Perempuan Berbisa 128 hal; 12x18 cm
1 Dua orang laki-laki berpakaian pemburu yang tengah beristirahat di dalam pondok
sebuah hutan, tersentak kaget ketika terdengar sebuah isak tangis lirih.
Demikian memilukan dan menyayat hati, mengundang iba bagi siapa saja yang
mendengar. Sesekali terdengar gumaman saat tangis terhenti. Gumaman penuh
keputusasaan yang menunjukkan jiwa yang guncang. Rasanya, orang ini tak sanggup
menghadapi cobaan hidup yang sangat berat. Suara rintihan jiwanya yang merana,
diwarnai sumpah dan kutuk menggidikkan.
"Kau dengar suara itu...?"
Salah seorang pemburu yang berjubah tinggi kurus, langsung menoleh ke arah
kawannya. Orang yang ditanya segera berpaling. Sepasang matanya tampak bergerak liar.
Wajahnya agak pucat, dengan keringat dingin mengalir di keningnya.
"Kau kenapa, Risman"!" tanya lelaki tinggi kurus itu, terkejut. "Kau...,
sakit...?"
"Aku.... Suara itu, Karma. Itu pasti suara hantu penunggu hutan ini...!" desis
laki-laki pemburu yang dipanggil Risman, gugup dan semakin pucat.
"Hhh...!" lelaki yang dipanggil Karman menghela napas penuh kejengkelan. Sikap
Risman mau tidak mau membuatnya terpengaruh, "Bodoh! Kalaupun benar hantu itu
ada, saat ini belum waktunya untuk keluar!"
Kata-kata Karma sekaligus dimaksudkan untuk menghibur diri sendiri.
"Tapi, Karma. Suara tangis perempuan itu, apakah bukan suara hantu penunggu
hutan ini..."!" bantah Risman. Dia berusaha mengingatkan kawannya bahwa apa yang
terdengar memang sangat ganjil.
"Hm..., mari kita buktikan!" sergah Karma. Tampaknya, laki-laki tinggi kurus itu
tidak begitu percaya akan segala macam takhayul. Segera dia melompat keluar dari
dalam pondok, kemudian mencari sumber suara tangis itu. Sementara kawannya
segera mengikuti.
Betapapun Karma yang berusia sekitar tiga puluh tahun ini berusaha meyakinkan
hati, tapi tak urung dadanya berdebar kian keras, saat suara tangis semakin
dekat dan jelas terdengar. Sambil melolos pedang di punggungnya, dia bergerak
maju dengan perasaan tegang. Tampak otot-otot wajah dan tangannya juga sudah
menegang, "Iii..., ittuu..."!"
Tunjuk Risman dengan suara parau. Telunjuk laki-laki itu menuding ke arah
sebatang pohon besar, kurang lebih dua tombak di depan. Wajahnya pucat bagai tak
dialiri darah! Mulutnya gemetar dengan sepasang mata nyaris keluar.
Sementara, Karma menarik tubuhnya ke belakang. Napasnya juga terdengar teratur.
Meski perasaannya terguncang dengan debaran dalam dada kian keras lelaki ini
memberanikan diri untuk maju lebih dekat.
Di depan sana, tampak sosok berambut panjang acak-acakan, menutupi hampir
seluruh wajahnya yang tersembunyi. Tangannya memeluk akar pohon erat-erat. Dan
ini memang gambaran yang menyeramkan bagi orang-orang pengecut. Terlebih suasana
dan tempat hutan ini begitu mendukung. Jelas, ini adalah sebuah pemandangan yang
sanggup merontokkan jantung!
Tapi, tidak demikian halnya Karma yang berwajah tirus dengan pedang telah
terhunus ini. Meski diakui sosok itu sempat menggetarkan jantungnya, tapi tetap
saja hatinya merasa penasaran. Dan hatinya hampir yakin, bahwa sosok perempuan
yang tengah terisak itu adalah manusia biasa seperti dirinya. Kini langkahnya
sudah terhenti kurang dari setengah tombak di belakang sosok itu.
"Hai, Nisanak. Siapakah kau" Suara tangismu telah mengganggu ketenangan
istirahat kami...," sapa lelaki berwajah tirus ini sambil menyentuh bahu sosok
yang diyakini adalah seorang perempuan dengan gagang pedangnya.
Teguran dan sentuhan gagang pedang itu membuat isak tangis perempuan ini
terhenti. Kepalanya yang menunduk, seketika terangkat dan berputar ke belakang.
Sepasang mata merah yang agak bengkak. Wajah bersimbah air mata, membuat trenyuh
hati orang yang memandangnya. Anehnya, semua itu sama sekali tidak memudarkan
kecantikan parasnya. Sehingga membuat kedua orang pemburu ini terpaku tak
sanggup menahan pesona kecantikannya.
"Siapa kalian. Dan, mau apa...?" Suara tersendat agak parau dan mata yang
berubah gelisah itu, membuat kedua orang pemburu ini saling bertukar pandang
sesaat. Kemudian, mereka kembali menatap wanita cantik yang kini sudah bangkit,
merapatkan tubuhnya pada batang pohon.
"Jangan khawatir. Kami bukan orang jahat...," kilah Karma dengan suara lembut
dan bibir tersenyum ramah.
"Betul, Nisanak," timpal Risman, yang tinggi besar namun bernyali kecil. "Suara
isak tangismu membuat kami terganggu. Dan mungkin kami berdua dapat
membantu...."
Perempuan cantik dengan bentuk tubuh indah ini kembali menutup wajah dengan
kedua tangannya.
Kedua bahunya terguncang lembut. Tak lama terdengar isak tangisnya kembali
terdengar. "Pergilah kalian. Tinggalkan aku sendiri! Biarlah aku mati dimangsa binatang
buas, daripada hidup tersiksa seperti ini...!" ujar wanita itu.
Dua orang pemburu ini kembali saling berpandangan. Mereka merasa ragu untuk
memenuhi permintaan perempuan cantik itu.
"Nisanak...," ujar Karma. "Tidak baik bersikap putus asa seperti itu. Setiap
kesulitan, pasti ada jalan keluarnya. Dan kalau kau tidak keberatan, kami berdua
siap membantu...."
"Ceritakanlah kesulitanmu, Nisanak...," timpal Risman.
"Tidak! Tak seorang pun yang dapat menolongku! Kalian hanya akan mengorbankan
nyawa sia-sia...,"
bantah perempuan cantik itu tetap menyembunyikan wajah di balik kedua telapak
tangannya. "Bagi kami kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti! Dan kami bersedia mati
demi menolongmu!" tegas Risman, sambil membusungkan dada dengan mata berkilat
penuh semangat. Padahal, waktu pertama mendengar isak tangis tadi, dialah yang
paling ciut nyalinya.
Isak tangis perempuan cantik ini berhenti. Kedua tangannya diturunkan dari
wajahnya. Kemudian ditatapnya kedua pemburu itu bergantian.
"Benarkah kalian berdua bersedia mati demi menolongku" Mengapa" Bukankah kalian
tidak mengenalku?" tanya wanita itu.
"Suara tangismu demikian sedih, Nisanak. Dan ini membuat kami berdua terseret
dan ikut merasakan betapa beratnya derita yang kau alami. Maka kami ingin
membantu untuk meringankan penderitaanmu itu,"
jawab Risman. Dia benar-benar sudah lupa betapa sebelumnya merasa takut bukan
main. Kini, sikapnya seolah-olah kalau dirinyalah yang paling gagah dan berani.
Perempuan cantik itu mencoba tersenyum. Tentu saja dengan wajah bersimbah air
mata seperti itu, senyumnya tampak lucu dan pahit. Meskipun demikian, senyumnya
sudah membuat lega hati kedua orang pemburu yang berjanji akan membantu.
"Mari ikut kami, Nisanak. Hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi, malam akan
turun. Sebaiknya kita berbicara di pondok tempat kami istirahat" ajak Risman,
yang lagi-lagi mendahului kawannya. Bahkan sudah bergeser sedikit, memberi jalan
kepada perempuan cantik itu.
*** "Beristirahatlah, Nisanak Kau kelihatannya lelah sekali. Mengenai persoalanmu,
besok saja dibicarakan," ujar pemburu bertubuh besar itu dengan sikap ramah.
"Terima kasih. Kalian berdua sangat baik, sehingga sudi menyusahkan diri demi
menolongku...," sahut perempuan cantik ini, yang kemudian duduk di tepi
pembaringan kayu.
Kedua pemburu ini hanya tersenyum penuh arti, yang sulit dijabarkan.
"Sementara kau beristirahat, kami akan menyiapkan makanan untuk kita bertiga,"
kata Risman. Kemudian tubuhnya berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu, diikuti
kawannya. Dan perempuan cantik ini pun merebahkan diri, ketika daun pintu ditutup rapat
dari luar. Sebentar saja, sudah terdengar suara dengkurnya yang halus.
Tapi belum berapa lama perempuan itu terlelap, napasnya sudah terasa sesak.
Tubuhnya langsung meronta, merasakan adanya suatu benda berat yang menindihnya.
Suara dengusan napas memburu berhawa panas, memaksa membuka matanya.
"Hei" Apa yang hendak kau perbuat.."!"
Perempuan cantik itu berteriak ketika mendapati sesosok tubuh penuh nafsu tengah
berusaha melepaskan kain yang dikenakannya, sekuat tenaga tubuhnya memberontak,
membuat keduanya terlempar dari atas pembaringan.
"Keparat busuk...!" maki perempuan cantik ini, ketika mengenali siapa orang yang
berusaha menodainya. Dalam kemarahan, tenaganya dikerahkan untuk menendang
selangkangan sosok yang kembali hendak menyergapnya.
Desss! Tendangan tak terduga yang keras dan telak itu, membuat sosok yang hendak
menerkamnya terjajar disertai lengking kesakitan. Memang, ia tak lain dari
Risman! "Rupanya kalian tidak sungguh-sungguh hendak menolongku! Kalian tak lebih dari
binatang-binatang menjijikkan...!" pekik perempuan cantik ini. Segera dia
menghambur menerobos pintu yang tertutup.
"He he he...! Tentu saja kami akan menolongmu. Tapi, mana ada pertolongan tanpa
imbalan" Dan sebelum menolong, kami meminta imbalannya dulu...," ujar Karma yang
sudah bergerak menghadang di depan pintu.
Namun perempuan cantik ini nekad menerjang. Sehingga, keduanya roboh bersama
daun pintu yang jebol seketika. Tubuh mereka jatuh bergulingan, hingga ke
halaman depan pondok. Namun perempuan cantik ini bergegas bangkit, kemudian
melarikan diri menerobos kegelapan.
"Hei! Jangan lari...!" seru Karma.
Segera laki-laki kurus itu bangkit dan mengejar, selelah menyambar sebuah obor
di salah satu tiang penyangga pondok.
Sesaat kemudian, pemburu bertubuh besar muncul di ambang pintu. Wajahnya masih
meringis-ringis menggambarkan rasa sakit pada selangkangannya. Dengan tertatih-
tatih, dia pun berusaha mengejar perempuan cantik yang hendak dinikmatinya.
Malam yang gelap dan masih ditambah kelebatan pepohonan hutan, membuat kedua
orang pemburu itu kehilangan jejak buruannya. Setelah beberapa saat mengejar,
namun sosok perempuan cantik itu tak juga dapat ditemukan. Akhirnya, mereka
memutuskan untuk kembali ke pondok.
Tidak berapa lama setelah sosok kedua orang pemburu itu lenyap di kejauhan,
perempuan cantik yang dikejar pun muncul dari sebuah timbunan semak. Dengan
langkah tertatih-tatih dan diselingi isak tangisnya yang tertahan, perempuan ini
mengayunkan langkah tanpa tujuan. Yang pasti, ia melangkah menjauhi pondok.
Namun baru beberaa langkah berjalan....
"Hei" Tidak salahkah penglihatanku"! Benarkah yang kulihat ini seorang manusia"
Atau, peri penghuni hutan yang kesasar...?"!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengejutkan perempuan cantik itu.
Seruan itu berasal dari seorang lelaki bertampang garang dengan wajahnya
ditumbuhi brewok liar.
Sepasang matanya nyalang, menunjukkan kalau lelaki ini bukanlah orang baik-baik.
Dia berdiri tegak menghadang jalan, kurang lebih satu tombak di depan perempuan
yang pakaiannya kotor dan robek di beberapa tempat ini.
Sedangkann perempuan cantik ini hanya bisa menahan seruan kaget. Sementara
sebelah telapak tangannya menutupi mulutnya. Sepasang matanya tampak berputar
liar. "Kasihanilah aku, Tuan.... Jangan ganggu aku...!" rintih perempuan berambut
riap-riapan ini.
Meski keadaannya sudah mirip gelandangan, namun wanita ini tak bisa
menyembunyikan kecantikan serta kesempurnaan bentuk tubuhnya. Pengalamannya
terhadap sikap dua orang pemburu yang ternyata menyimpan niat kotor terhadap
dirinya, membuatnya harus bersikap waspada dengan bahaya yang tengah
mengincarnya. "He he he.... Siapa yang ingin mengganggumu, Manis. Jangan takut. Aku malah akan
menghancurkan kepala siapa saja yang berani mengganggumu."
Sambil berkata demikian, lelaki bertampang garang ini melompat maju. Dan tahu-
tahu, dia telah berada tepat di hadapan perempuan cantik ini.
"Tidak, pergi...! Jangan dekati aku...!" teriak perempuan cantik ini sambil
bergerak mundur ketakutan.
Namun, sekali laki-laki bertampang garang ini mengulur tangan, tubuh perempuan
itu teringkus. Bahkan langsung jatuh ke dalam pelukan lelaki ini.
"Tolooong.... Lepaskan aku...!" perempuan cantik ini menjerit-jerit dan meronta,
berusaha melepaskan diri. Namun usahanya sia-sia, karena sepasang lengan berbulu
itu memeluknya demikian kuat.
"Percuma berteriak minta tolong, Manis. Dalam hutan yang lebat dan sepagi ini,
mana ada orang yang dapat menolongmu. Lagi pula, aku tidak mungkin menyakitimu.
Justru aku akan menjadikanmu istri. Dan kau pasti bangga menjadi istri Golok
Tunggal, yang terkenal sebagai penguasa Rimba Kenara ini,",ujar lelaki brewok
ini. Pada pipi kiri laki-laki yang berjuluk Golok Tunggal itu terdapat bekas
luka memanjang. Sehingga membuat wajahnya semakin menyeramkan.
"Aku tidak mau...! Tidak sudi..!"
"Kau harus mau, Manis. Tidak ada seorang pun yang dapat menolak keinginan Golok
Tunggal...!"
tukas Golok Tunggal.
Segera laki-laki itu memondong tubuh perempuan itu. Kemudian tubuhnya berputar
melangkah lebar meninggalkan tempat itu disertai suara tawa bergelak. Namun
belum jauh dia melangkah....
"Tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan, yang disusul melayangnya sesosok bayangan putih.
Tahu-tahu saja, di hadapan Golok Tunggal telah berdiri seorang pemuda tampan
berjubah panjang berwarna putih.
"Siapa kau, hingga berani menghadang jalan Golok Tunggal! Rupanya kau belum
mengenal Penguasa Rimba Kenara ini?" bentak Golok Tunggal, langsung menunjukkan
wajah garangnya.
"Aku tidak peduli, apakah kau Golok Tunggal atau Kadal Buntung! Yang pasti, kau
harus lepaskan perempuan dalam pondonganmu itu!" tukas pemuda tampan berjubah
putih ini dengan sikap tetap tenang.
Bahkan dengan langkah tenang pula, pemuda itu mendekati Golok Tunggal. Sedikit
pun tidak terlihat adanya gambaran kegentaran pada wajahnya. Padahal, nama besar
Golok Tunggal sudah cukup terkenal sebagai seorang perampok tunggal, penguasa
Rimba Kenara. "Keparat! Bocah bosan hidup...!"
Golok Tunggal benar-benar murka mendengar hinaan pemuda tampan itu. Langsung
saja perempuan muda dalam pondongannya dilemparkan begitu saja ke atas tanah.
Kemudian kakinya melangkah maju, mencabut golok tunggal yang menjadi
kebanggaannya. "Hyaaattt...!"
Whuttt! Golok besar di tangan lelaki bertampang garang ini langsung menderu datang
dengan kecepatan menggetarkan. Sementara pemuda tampan berjubah putih itu hanya
perlu menggeser tubuhnya ke kanan. Lalu, dari samping kakinya mencelat
melepaskan tendangan ke perut Golok Tunggal. Gerakan ini tentu saja membuat
perampok ini terkejut melihatnya, ia berusaha menghindar dengan menarik mundur
tubuhnya. Tapi....
Bukkk! Meski tidak terlalu telak, namun tendangan pemuda tampan berjubah putih itu
tetap mengenai sasaran.
Akibatnya, Golok Tunggal tak dapat lagi mempertahankan kuda-kudanya. Tubuhnya
kontan terjajar melintir.
Sedang pemuda berjubah putih itu sudah menyusuli serangannya dengan sebuah
tamparan kilat.
"Yiaaah...!"
Golok Tunggal berusaha menyelamatkan diri dengan membabatkan senjata sekenanya.
Sambaran golok yang menderu, membuat pemuda tampan ini merobah gerakannya. Cepat
tendangannya berputar, dengan merubah tamparan menjadi tangkisan, yang kemudian


Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melibat pergelangan Golok Tunggal.
Krekkkh! Terdengar suara tulang lengan patah, yang membuat Golok Tunggal meraung
kesakitan. Golok besar di tangannya tak dapat dipertahankan lagi hingga jatuh ke
tanah. Tubuhnya sendiri tersentak ke depan, yang disambut lutut pemuda tampan
berjubah putih itu.
Bukkk! "Hukkhh...!"
Begitu telak lutut itu menghantam rusuk, membuat Golok Tunggal merasa napasnya
terhenti untuk sesaat. Darah segar kontan muncrat dari mulutnya. Tubuhnya pun
melorot jatuh bagai sehelai karung basah.
"Semoga hal ini menjadi pelajaran bagimu untuk tidak membanggakan kepandaian
sendiri, Golok Tunggal...," ujar pemuda tampan berjubah putih itu.
Lalu, pemuda itu segera meninggalkan lawannya. Dihampirinya perempuan cantik
yang masih terduduk di tanah dengan wajah pucat.
"Jangan pandangi aku seperti itu. Aku hanya ingin menolongmu dari cengkeraman
Golok Tunggal. Setelah sekarang bebas, boleh pergi sesukamu," ujar pemuda tampan berjubah putih
itu. Perempuan cantik ini tertegun. Untuk beberapa saat, ia tidak bisa berkata apa-
apa. Hanya dipandanginya sosok pemuda itu dengan wajah heran.
"Kau..., tidak mengharapkan imbalan atas pertolongan yang kau berikan
kepadaku..."!" tanya perumpuan cantik ini, langsung teringat pada dua orang
pemburu yang nyaris memperkosa dirinya.
Pemuda itu tersenyum dan menggeleng lemah.
"Terima kasih...," ujar perempuan cantik ini, "Namaku Anila. Kau siapakah, Anak
Muda?" "Namaku, Panji. Dan kau boleh memanggilku demikian," jawab pemuda berjubah
putih, yang memang Pendekar Naga Putih alias Panji. Dan Panji sendiri hampir
tertawa mendengar perempuan itu menyebutnya anak muda. Padahal, ia yakin kalau
usia perempuan itu hanya sedikit lebih tua darinya.
"Kau juga boleh memanggilku Anila saja," tukas Anila. Perempuan itu segera
bergerak bangkit. Dan kelihatannya, dia mulai menaruh kepercayaan terhadap
pemuda tampan penolongnya.
"Mengapa kau sampai berada di tempat ini, Anila" Ke mana sebenarnya tujuanmu?"
tanya Panji. Tentu saja Pendekar Naga Putih merasa heran. Apalagi dandanan Anila tidak
menunjukkan tanda-tanda kalau dia berasal dari rimba persilatan. Kebaya dan kain
yang dikenakan, menunjukkan kalau dugaan Panji tidak meleset.
Anila menghela napas panjang begitu bayangan kejadian yang lalu lenyap. Kemudian
kakinya melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara, Panji bergerak mengikuti,
setelah menoleh ke arah Golok Tunggal yang nampak bangkit dan bergegas
meninggalkan tempat itu dengan tatapan penuh dendam.
"Panji! Apakah kau ingin mendengar kisah hidupku?" tanya Anila, saat keduanya
melangkah menyusuri jalan setapak.
"Kalau kau tidak keberatan, dan menganggapku cukup pantas untuk mengetahui,"
ujar Panji, menyerahkan keputusannya kepada perempuan cantik itu.
"Ceritaku cukup panjang. Dan mungkin, akan membuatmu bosan...," tukas Arula agak
ragu. "Aku adalah seorang pendengar yang baik."
Anila, tersenyum mendengar jawaban Panji. Saat itu, mereka berdua telah keluar
dari Rimba Kenara.
Anila mengajak Panji menuju aliran sungai, lalu bersama-sama duduk di tepi
sungai menatapi riak air di bawahnya.
"Aku sebenarnya adalah istri pertama Senapati Guptasena," tutur wanita itu
memulai ceritanya.
"Karena pengaruh istri mudanya, aku dibuang ke hutan ini, setelah diberi Racun
Cubung Biru yang diramu oleh seorang penyihir tua."
Sejenak Anila menghentikan ceritanya, untuk melihat tanggapan Pendekar Naga
Putih. "Itu terjadi setelah suamiku, Senapati Guptasena, mendapatkan istri kedua yang
bernama Cindarani.
Padahal, aku berhasil memberi keturunan padanya setelah satu setengah tahun
suamiku mengambil istri kedua.
Bahkan aku dituduh berhubungan gelap dengan seorang perwira muda yang bernama
Jamantara...."
Anila tidak bisa menahan tangisnya. Bagai bendungan jebol, air mata kontan
berderai membasahi pipinya.
Ingatan Anila langsung kembali pada kejadian yang menimpa dirinya. Memang
kendati tubuhnya dirasuki Racun Kecubung Biru hingga menjadi seperti tidak
waras, tapi Anila masih mampu mengingat kejadian demi kejadian yang menimpa
dirinya. Masih diingat, bagaimana Jamantara membawanya dengan kerangkeng pada
malam itu. Ternyata, Jamantara tidak membawanya ke tebing jurang, seperti apa yang
diperintahkan Senapati Guptasena. Para bawahannya malah diajak memasuki sebuah
hutan yang terletak cukup jauh dari benteng.
Sebenarnya, Jamantara merasa kasihan melihat perempuan itu. Apalagi, dia juga
tahu rencana busuk yang disusun Cindarani. Maka entah kenapa, timbul rasa
kasihannya Perwira Muda Jamantara lantas mengeluarkan botol kecil berisi cairan
kuning, yang merupakan penangkal Racun Kecubung Biru.
Dengan mengandalkan kepandaiannya, Jamantara melemparkan botol kecil itu.
Seketika, botol itu meluncur pesat dan masuk ke dalam mulut Anila yang tengah
meraung-raung. Sengaja lemparannya disertai pengerahan tenaga dalam, sehingga
kepala Anila sampai terdongak, dan tubuhnya terjajar membentur dinding
kerangkeng. Sedang botol yang masuk ke dalam mulutnya, langsung pecah setelah
membentur langit-langit.
Maka cairan kuning itu seketika tumpah dalam mulut Anila.
Setelah berpesan kepada enam orang prajuritnya agar menyimpan rahasia rapat-
rapat, Jamantara bergerak meninggalkan kereta di dalam hutan. Keenam prajurit
itu tentu saja paham. Dan mereka pun merasa iba atas apa yang telah terjadi
terhadap istri pertama Senapati Guptasena.
2 Panji tidak berusaha mencegah Anila yang menangis sedih, melepaskan semua
kedukaannya melalui air mata. Perlahan-lahan tangis Anila berhenti, kendati
sesekali isaknya masih terdengar.
"Setelah sembuh dari pengaruh racun, aku berusaha bertemu suami dan anak. Tapi,
semua usahaku sia-sia. Para penjaga gerbang mengusirku. Rupanya, aku yang
dianggap mempunyai penyakit, telah tersebar dan diketahui seluruh penghuni
benteng. Mereka menganggapku sebagai sumber penyakit. Sehingga jangankan untuk
dapat bertemu suami dan anakku, untuk mendekati benteng saja tidak
diperbolehkan. Aku ditangkap dan kembali dibuang sejauh-jauhnya," tutur Anila,
mengakhiri ceritanya.
"Apakah suamimu tidak pernah mendengar tentang kedatanganmu?" tanya Panji,
sewaktu melihat Anila termenung setelah bercerita.
"Kemungkinan tidak. Karena Cindarani mungkin telah semakin berkuasa" Bisa saja
dia berpesan kepada penjaga gerbang, agar menangkap dan membuangku sejauh-
jauhnya, apabila aku muncul mendekati benteng," jelas Anila tanpa menoleh kepada
Panji. "Kalau begitu, aku akan mencoba menemui Jamantara. Dan aku akan...."
"Jangan...!" potong Anila.
"Mengapa?" tanya Panji agak heran. "Bukankah Jamantara merupakan kunci dari
semua kejadian yang kau alami" Apabila dia kupaksa untuk menceritakannya di
hadapan Senapati Guptasena, ada kemungkinan kebahagiaanmu akan kau dapatkan
kembali." "Selain Jamantara memiliki kepandaian tinggi yang tentu sulit ditangkap, suamiku
pun belum tentu percaya begitu saja. Lagi pula, aku sudah merasa kecewa terhadap
sikap suamiku yang mau percaya pada istri mudanya. Saat ini, aku hanya mempunyai
satu keinginan saja. Dapat berkumpul bersama putraku saja, itu sudah cukup,"
ungkap Anila. "Apakah kau menghendaki agar aku menculiknya?"
"Terserah kau, Panji. Yang jelas, saat ini hanya itu yang kuinginkan," tukas
Anila. Kali ini, ditatapnya wajah Panji dengan memelas, menggambarkan
keinginannya yang besar untuk dapat berkumpul bersama putranya.
Panji tidak segera memberi jawaban. Malah, pemuda itu termenung memikirkan
keinginan Anila yang tentu saja bukan hal yang mudah. Karena untuk mewujudkan
keinginan itu, Pendekar Naga Putih ini harus menyelusup ke dalam benteng yang
merupakan suatu pekerjaan sulit dan berbahaya. Apalagi benteng perbatasan yang
harus dimasuki dijaga ketat. Sehingga, sulit untuk dapat menyelundup ke dalam
benteng tanpa diketahui. Dan hal ini disadari betul oleh Pendekar Naga Putih,
karena sudah pernah melihat benteng yang dimaksud Anila.
"Untuk mengambil putraku memang bukan pekerjaan muda, Panji. Tapi, aku pun tidak
ingin kau tewas hanya karena ingin menolongku," desah Anila. Suaranya terdengar
perlahan, menggambarkan rasa putus asa.
"Aku tidak memikirkan tentang keselamatan diriku, Anila. Tapi, sedang berpikir
bagaimana caranya masuk dan keluar dari benteng tanpa diketahui penjaga-
penjaganya," tukas Panji.
"Jadi, kau tetap ingin menolongku, meski bahaya maut mengancam..."!" tanya
Anila, dengan sepasang mata berbinar penuh harap.
"Aku memang bermaksud menolongmu, Anila. Tapi, jangan terlalu berharap. Karena,
kemungkinan untuk berhasil sangat kecil"
"Tidak, Panji! Aku akan merasa berdosa jika kau sampai tewas! Kuucapkan terima
kasih atas perhatianmu yang begitu besar kepadaku. Biarlah.... Ini memang sudah
garis nasibku, harus berpisah dengan suami dan anakku," sentak Anila. Akhirnya,
diputuskan untuk tidak menerima pertolongan Panji.
"Aku tetap akan menolongmu, Anila. Untuk itu, aku memerlukan keterangan darimu
tentang keadaan di dalam benteng. Juga, tempat anakmu berada, sehingga akan
mempermudah usahaku," tukas Panji mantap.
Anila langsung menatap pemuda di sampingnya penuh keharuan.
Karena Panji tetap berkeras hendak menolongnya, maka Anila segera memberi
gambaran tentang keadaan dalam benteng, serta memberitahukan letak kamar
putranya. "Baiklah, Anila. Nanti malam aku akan mencobanya," desah Panji, setelah
mendapatkan keterangan agar bisa mempermudah penyelusupan ke dalam benteng.
Baru saja kata-kata itu habis, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih melenting
bangkit dari duduknya.
Telinganya yang tajam menangkap adanya suara mencurigakan. Tindakan Panji
seketika membuat Anila terkejut!
"Ada apa, Panji...?" tanya Anila, mengikuti arah pandangan mata Panji yang
tengah meneliti sekitarnya.
"Rupanya ada orang lain yang ikut mendengar pembicaraan kita...," bisik Panji.
"Apakah orang itu berniat jahat..?" tanya Anila lagi, sambil merapatkan tubuhnya
ke tubuh Panji.
Dalam ketegangannya, tanpa sadar lengan Panji dicekal erat-erat.
"Entahlah..," desah Panji.
Pendekar Naga Putih tetap mendiamkan perbuatan Anila, sambil terus mengawasi
sekitarnya. Hatinya merasa heran ketika tidak menemukan sepotong manusia pun.
Padahal, tadi jelas-jelas terdengar adanya suara orang saling berbisik.
"Hm.... Sepertinya ada orang yang sengaja mempermainkan aku. Jika demikian
berarti orang itu mengenali aku...," gumam Panji dalam hati, seraya menoleh
kepada Anila. Segera diajaknya wanita itu pergi meninggalkan tempat ini.
Namun baru beberapa tindak keduanya melangkah, lagi-lagi Panji mendengar suara
orang saling berbisik. Rasa penasaran dan jengkel, membuat Panji bergegas
memutar tubuhnya. Kemudian dilemparkannya dua batang ranting sepanjang setengah
jengkal yang diambil dari atas tanah. Maka seketika dua batang ranting itu
melesat dengan suara berdesing, tak ubahnya dua bilah pisau terbang.
"Kurang ajar...!" desis Panji, sewaktu dua ranting yang dilepaskannya tidak
membawa hasil. Suara desing ranting seketika lenyap seperti tertelan benda lunak. Kenyataan itu
membuat Pendekar Naga Putih semakin sadar kalau orang yang menurutnya sengaja
hendak mempermainkannya, memang bukan orang sembarangan. Padahal, dua batang
ranting yang dilepaskan tidak bisa dihadapi sembarang orang.
"Para Kisanak yang gagah.... Harap tunjukkanlah diri kalian kepadaku yang bodoh
ini...!" seru Panji sambil menatap ke satu arah. Tempat itu diduga menjadi
persembunyian dua orang yang dicarinya.
Tiba-tiba.... "Hak hak hak..!"
"Khek kek kek...!"
Terdengar suara tawa ganjil yang berbeda satu sama lain. Tawa yang terdengar
berat dan sumbar, bisa dibayangkan kalau pemiliknya bertubuh tinggi besar dan
berwatak kasar. Sedang yang terdengar melengking tinggi dan membuat gendang
telinga terasa saka, bisa diduga kalau pemiliknya memiliki perawakan kecil dan
kurus. Malah kemungkinan besar adalah seorang nenek nyinyir.
"Hak hak hak..! Kau dengar, Dinda" Ternyata seorang pendekar muda gagah yang
ditakuti banyak orang, sekarang mengaku bodoh di depan kita! Bukankah ini berita
besar bagi kaum persilatan...!"
Terdengar suara berat dan parau, membuat wajah Panji agak kemerahan.
"Khek kek kek...! Kau benar, Kanda! Pengakuan Pendekar Naga Putih benar-benar
membuatku merasa sangat tinggi dan hebat! Mari kita menemuinya. Ingin kulihat
dia bersujud di depan kita berdua...!" timpal suara melengking yang menusuk
gendang telinga.
Dengan menahan kejengkelan, Pendekar Naga Putih menunggu kemunculan dua orang
yang hendak mempermainkannya. Tapi, diam-diam hatinya berdebar tegang. Karena
baik dari suara tawa maupun nada bicaranya, kedua orang yang bersembunyi
merupakan orang-orang tangguh bertenaga dalam tinggi. Dan Panji tahu, mereka
sengaja menunjukkan kehebatannya melalui suara.
Agak lama juga Pendekar Naga Putih itu berdiri menunggu, namun belum seorang pun
yang menampakkan batang hidungnya. Padahal, hatinya sudah mulai tak sabar.
Demikian pula Anila yang tubuhnya merapat ke tubuh Panji. Dari wajahnya yang
agak pucat dan deru napas yang boros, jelas menunjukkan betapa hatinya tengah
dilanda ketegangan!
"Kurang ajar! Rupanya mereka masih juga mempermainkan diriku...!"
Panji menggeram jengkel sewaktu kedua sosok yang ditunggunya tak juga
menunjukkan diri.
"Biar kubuka mata mereka agar tidak terlalu menganggap remeh...."
Ucapan terakhir Pendekar Naga Putih disusul gerakan tangan yang tampak bergetar,
disertai kabut bersinar putih keperakan yang melapisi telapak hingga
pergelangan. "Sekarang, kalian harus benar-benar keluar...," desis Panji.
Seketika Pendekar Naga Putih menghentakkan kedua tangannya, melontarkan pukulan
jarak jauhnya ke sebatang pohon berdaun lebat di depan, sekitar tiga tombak dari
tempatnya berdiri.
Whusss! Serangkum angin dingin laksana hembusan topan, menderu datang. Namun berbarengan
dengan itu, dari arah pohon juga meluncur angin pukulan yang mendesis-desis,
menerbitkan hawa dingin luar biasa ke arah Pendekar Naga Putih.
Bummm! Tanpa dapat dicegah lagi, dua pukulan maha dahsyat yang sama-sama mengandung
hawa dingin luar biasa saling berbenturan. Begitu kerasnya, sampai-sampai tanah
di sekitar tempat itu bergetar keras. Sedang pohon besar yang menjadi ajang
pertemuan dua tenaga raksasa itu tampak berderak ribut dan langsung patah pada
bagian tengahnya.
Kejadian yang sama sekali tak disangka, membuat Panji tersentak kaget. Bahkan
benturan keras itu membuat tubuhnya terjajar mundur dan agak menggigil.
Sementara, rasa dingin sudah menjalar ke tubuh Anila yang memang berdiri rapat
ke tubuh Panji. Meski tidak berbahaya, namun cukup membuat Panji terkejut.
Diawali suara tawa ganjil yang saling bersahutan, meluncurlah dua sosok tubuh
dari atas batang pohon yang tumbang. Dan dua sosok itu lantas melayang turun,
kurang lebih dua tombak di hadapan Panji.
Diawali suara tawa ganjil yang bersahutan, meluncurlah dua sosok tubuh dari atas
batang pohon yang tumbang. Sosok pertama seorang laki-laki tinggi kurus seperti
bambu, sekilas terlihat ringkih dan penyakitan.
Sosok kedua seorang perempuan gemuk berusia empat puluh tahun. Tubuhnya yang
gemuk dan bundar ditutupi pakaian berlapis-lapis!
Sosok pertama adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bagaikan sebatang
bambu. Sekilas memang terlihat ringkih dan penyakitan. Tapi bagi Pendekar Naga
Putih, sosok bertelanjang baju dan berkulit kemerahan seperti terbakar itu
membuat Panji terkejut. Betapa tidak" Udara saat ini tidaklah terlalu panas.
Namun, sekujur tubuh lelaki tinggi kurus itu tampak dibanjiri peluh. Tahulah
Panji kalau lelaki tinggi kurus yang selalu, mendesis-desis kepanasan ini
memiliki tenaga dalam yang berhawa panas.


Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sementara sosok kedua adalah seorang perempuan berusia kira-kira empat puluh
tahun. Tubuhnya setinggi bahu lelaki di sampingnya. Perempuan ini demikian
gemuk, dan terlihat bundar bagaikan bola.
Anehnya, tubuh yang sudah bulat itu, masih ditutupi pakaian berlapis-lapis.
Meski demikian, dia masih saja kelihatan seperti orang kedinginan. Wajahnya
pucat, dan bibirnya terlihat pucat. Kedua tangannya selalu dilipat di depan
dada. Semakin terkejut hari Pendekar Naga Putih melihat sosok perempuan yang seperti
gajah bengkak itu.
Sekali pandang saja bisa dimengerti kalau perempuan itu memiliki tenaga dalam
berhawa dingin yang tidak kalah dengan kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
milik Pendekar Naga Putih. Dan hal ini sudah dirasakan Panji, sewaktu dipapak
pukulan perempuan gendut itu.
"Khek kek kek...! Inilah kami, Pendekar Naga Putih. Dan kau tidak perlu sungkan
untuk bersujud kepada kami berdua...," ujar perempuan gendut dengan suara
melengking menusuk gendang telinga.
"Benar, Pendekar Naga Putih! Kau tidak perlu sungkan seperti kata istriku! Tidak
enak rasanya kalau hanya bersujud, mesti dipaksa segala...," timpal lelaki kurus
bermuka merah sambil memperdengarkan tawanya yang bagai burung gagak. Besar dan
sember. Panji berusaha menekan rasa terkejutnya. Ucapan kedua orang tokoh ganjil dan
seperti kurang waras ini tidak begitu dipedulikannya, karena tengah berusaha
keras mengingat-ingat siapa adanya mereka. Tapi meski telah menguras seluruh
ingatannya tetap saja tidak dapat mengingatnya.
Sementara itu, Anila sendiri semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Panji.
Penampilan kedua sosok tubuh itu memang cukup menggetarkan hatinya. Terlebih
suara tawa mereka yang terasa sangat menyakitkan telinganya. Dan ini membuat
selebar wajah Anila menjadi pucat.
"Apa yang mereka kehendaki dari kita, Panji...?" tanya Anila berbisik.
"Entahlah. Yang jelas, mereka itu orang-orang yang pikirannya telah terganggu,
akibat terlalu memaksakan diri dalam mempelajari ilmu-ilmu tinggi," jawab Panji
sambil memeluk tubuh Anila sejenak, untuk memberi ketabahan.
Pendekar Naga Putih memang merasakan kalau tubuh Anila menggigil, bagai orang
terserang demam.
Dan Anila memang merasakan adanya rasa tenang di hatinya, meski pelukan Panji
hanya berlangsung sesaat.
"Terima kasih, Panji...," bisik Anila lirih. Wanita ini tidak menjadi marah,
karena tahu apa maksud pelukan Pendekar Naga Putih. Sedang Panji hanya tersenyum
tipis, kemudian kembali menatap dua sosok tubuh ganjil di hadapannya.
"Maaf.... Pengetahuanku terlalu dangkal, hingga tidak mengenal siapa kalian
berdua. Kuharap, kalian tidak terlalu pelit memperkenalkan nama dan julukan...,"
ujar Panji seraya merangkapkan kedua tangan dengan tubuh sedikit membungkuk,
sebagai tanda hormat kepada kedua orang tokoh itu. Namun, Pendekar Naga Putih
tak mempedulikan permintaan mereka yang menghendaki dirinya agar bersujud.
Dua tokoh aneh itu kembali memperdengarkan tawa ganjilnya. Yang lelaki melangkah
ke depan. Tapi, tubuhnya ternyata meluncur demikian cepat. Panji jadi terkejut,
karena tahu-tahu saja jari-jari tangan lelaki kurus itu sudah berada di atas
kepalanya. "Berlututlah, Pendekar Naga Putih...!" seru orang tua kurus itu. Rupanya, ia
hendak memaksakan kehendak terhadap Panji.
Panji tentu saja tidak sudi dirinya dipaksa berlutut. Kakinya cepat melangkah ke
samping, sambil membawa Anila. Tapi, ternyata jari-jari tangan lelaki tinggi
kurus itu masih terus mengejar. Bahkan tak ubahnya bagai bayangan yang mengikuti
ke mana arah geraknya. Dan ini membuat Panji menjadi jengkel. Cepat tangannya
diangkat sewaktu jari-jari tangan kurus itu kembali datang mengikuti gerakan
tubuhnya. Plakkk! Meski sudah menduga kekuatan lawan, tak urung tubuh Pendekar Naga PCtrih
terdorong sewaktu memapak jari-jari tangan kurus itu. Ada hawa hangat yang
mengalir ke dalam lengannya. Untungnya, Panji masih dapat menyelamatkan diri
hingga tidak sampai terbanting ke tanah. Meski demikian, kenyataan ini
membuatnya sadar kalau 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang digunakannya tidak
sanggup membendung kekuatan tenaga panas lelaki tinggi kurus itu.
"Orang tua," ujar Panji, setelah kembali dapat berdiri tegak. Sementara, lengan
kanannya masih melingkar di pinggang Anila, "Tak baik memaksakan kehendak kepada
orang lain. Kuharap, kau tidak melanjutkan seranganmu."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan bila aku menghentikan serangan?" tanya lelaki
tinggi kurus itu dengan wajah bodoh.
Panji tertegun mendengar pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan aneh, sehingga
membuatnya terdiam beberapa saat.
"Kanda," potong istri lelaki tinggi kurus itu sebelum Panji mendapat jawaban.
"Untuk apa menghentikan serangan" Yang jelas ia harus bersujud dulu dan mengaku
kalah kepada kita. Baru kemudian, kita berunding untuk bekerja sama dengannya."
"Ah! Kau betul sekali, Dinda!" seru lelaki tinggi kurus itu sambil menampar
keningnya perlahan.
"Mengapa aku sampai lupa dengan tujuan kita semula?"
"Kerja sama..."!" desis Panji disertai kerutan kening dan wajah heran.
Kemudian Pendekar Naga Putih menoleh kepada Anila. Kini baru disadari kalau saat
itu lengannya masih melingkar di pinggang perempuan cantik itu. Bergegas Panji
melepaskan lengannya, dan meminta maaf kepada Anila. Sementara, wanita ini hanya
tersenyum tipis, memaklumi sikap Panji yang memang memeluk tubuhnya sewaktu
berlompatan menghindari serangan lelaki tinggi kurus itu.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Kami, Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api,
mengajak bekerja sama untuk menyelundup ke dalam benteng. Karena, kami pun
mempunyai keperluan di tempat itu," jelas perempuan gendut yang mengaku berjuluk
Iblis Kutub Utara.
"Ada keperluan apa kalian berdua hendak menyelundup ke dalam benteng itu?" kini
Anila yang bertanya. Perempuan cantik yang rambutnya masih awut-awutan ini tak
dapat menahan rasa keingintahuannya.
"Hm.... Kau tidak perlu tahu, Perempuan Buangan! Kami tidak mempunyai keperluan
denganmu!"
bentak Iblis Kutub Utara pada Anila.
Wajah perempuan gendut itu berubah garang. Sepasang matanya berkilat,
merpancarkan hawa dingin.
Melihat hal ini, tubuh Anila jadi menggigil. Seketika pandangannya dibuang ke
arah lain. Panji menggeser langkahnya, melindungi Anila sewaktu melihat Iblis Kutub Utara
melangkah maju dengan kedua tangan terkembang. Agak heran juga hati Pendekar
Naga Putih melihat adanya sorot kebencian pada sinar mata perempuan gendut itu.
"Hmhh.... Di mana-mana laki-laki sama saja! Begitu melihat perempuan cantik,
langsung saja berlagak sok pahlawan! Berlagak hendak melindungilah, menolonglah.
Agar dikatakan baik hati dan gagah! Benci aku!
Muak aku! Chuihh...!"
Panji menahan tawanya melihat perempuan gendut itu mencak-mencak, memuntahkan
kemarahannya. Mengertilah Panji. Rupanya, Iblis Kutub Utara yang gendut dan wajahnya dipenuhi
bintik-bintik hitam itu sangat benci pada kecantikan. Penyebabnya, tentu saja
karena wajahnya yang buruk dan tidak menarik.
"Ibjis Kutub Utara," panggil Panji, "Perempuan ini kubela bukan karena
kecantikan wajahnya. Tapi, karena memang sangat memerlukan pertolongan. Bukankah
kau dan suamimu sudah mendengar tentang kisah hidupnya yang menyedihkan?"
"Haaahh...! Perempuan cantik di mana-mana sama saja! Apabila berjumpa pemuda
tampan dan menarik, pasti akan merengek-rengek dan menceritakan kisah hidupnya
yang penuh penderitaan. Padahal, itu hanya alasan saja agar bisa bersama-sama
lebih lama. Menurutku, perempuan cantik yang bersamamu adalah ulat betina yang
berbahaya!"
Rupanya Iblis Kutub Utara masih belum puas juga menumpahkan kedongkolannya
kepada Anila. Tentu saja ini membuat bekas istri Senapati Guptasena berang.
"Hei, Iblis Kutub Utara!" seru Anila, lantang. "Aku tahu, mengapa kau
membenciku. Karena, aku memang cantik dan menarik. Tidak sepertimu yang gendut
seperti gajah bengkak. Bahkan wajahmu pun tak menarik. Mana ada laki-laki yang
sudi mendekatimu" Masih untung tengkorak hidup itu mau mergadi suamimu.
Padahal, kau lebih pantas bersuamikan gajah yang lebih bengkak!"
"Booaangsaaattt...!"
Iblis Kutub Utara meraung bagai binatang luka mendengar balasan Anila yang
melampiaskan kemarahannya. Kedua kakinya menggedor-gedor tanah, membuat sekitar
tempat itu bergetar. Wajah perempuan gendut itu terlihat semakin pucat. Bahkan
dari ubun-ubun kepalanya, keluar asap tipis berwarna putih.
Kelihatannya, Iblis Kutub Utara benar-benar murka!
"Akan kuremukkan tubuhmu, perempuan setaaann...!"
Disertai teriakan menggemuruh, Iblis Kutub Utara menerjang ke depan dengan kedua
tangan terkembang. Kaki-kakinya yang besar dan berat berdebum-debum menggetarkan
jantung. "Anila, menyindirlah...!" seru Panji.
Pendekar Naga Putih menjadi kaget bukan main. Sama sekali tak disangka kalau
Iblis Kutub Utara akan sedemikian marah oleh hinaan Anila.
Panji cepat melompat ke samping, sewaktu terjangan Iblis Kutub Utara beralih
mengancamnya. Deru angin dingin yang datang menyertai cengkeraman jari-jari
Iblis Kutub Utara, sempat membuat tubuhnya goyah sewaktu mendarat di tanah.
Kenyataan itu membuat Pendekar Naga Putih sadar, bahwa dalam kemarahan Iblis
Kutub Utara telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya. Untungnya,
pemuda ini pun memiliki dasar tenaga sakti berhawa dingin. Jika tidak, bisa
dibayangkan kalau tubuhnya akan terbujur kaku bagai batang pohon, tak sanggup
menahan hawa dingin luar biasa.
"Kulumat tubuhmu kali ini, Pendekar Naga Putih...!" pekik Iblis Kutub Utara.
Kembali perempuan gendut menggelinding datang. Kali ini, kedua telapak tangannya
yang terbuka melancarkan pukulan jarak jauh bergantian.
"Hm...."
Deru angin dingin yang datang bagai badai salju, membuat Panji menggeram.
Seketika kedua kakinya dipancangkan ke tanah, hingga melesak sebatas mata kaki.
Sekujur tubuhnya telah terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Melihat dari
pendaran sinarnya yang lebar, dapat diketahui kalau Pendekar Naga Putih
mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sepenuhnya!
"Hyaaattt...!"
Dibarengi sebuah pekik mengguntur, tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke depan,
menyambut terjangan Iblis Kutub Utara. Dua gelombang angin dingin laksana badai
salju langsung menggemuruh datang.
Bummm...! Ledakan keras mengguntur bagai gunung runtuh tercipta, menandai benturan dua
gelombang tenaga raksasa. Tanah di sekitar tempat itu berguncang laksana
digoyang gempa. Beberapa batang pohon berderak, langsung tumbang tercabut sampai
ke akar-akarnya. Jelas, betapa dahsyat dan mengerikannya benturan yang terjadi!
Sementara, tubuh Panji dan Iblis Kutub Utara sama-sama terpental balik dengan
derasnya. Tubuh mereka terus terbanting ke tanah, dan terguling-guling sampai
lima tombak lebih. Meski demikian, keduanya terlihat sama-sama bergerak bangkit
dan langsung bersila, untuk menenangkan bagian dalam tubuh yang terguncang
keras! Wajah mereka tampak sama-sama pucat kebiruan tanda mengalami luka dalam.
Kenyataan ini membuktikan kalau tenaga sakti mereka seimbang.
Anila yang terpelanting akibat benturan dua tenaga sakti, bergegas bangkit dan
berlari menghampiri Panji. Wanita cantik ini sampai melupakan keselamatan diri
sendiri, saking khawatir terhadap nasib pemuda itu.
Melihat Panji tengah tenggelam dalam semadinya, Anila segera berdiri di belakang
seperti menjaga agar pemuda itu tidak ada yang mengganggu.
Sementara itu, Setan Gurun Api tampak seperti tidak mempedulikan keadaan
istrinya. Kepalanya malah manggut-manggut sambil tak lepas menatap wajah Anila.
Sesekali Setan Gurun Api menggerak-gerakkan kedua alisnya sambil memamerkan
senyum yang dianggap paling manis, sewaktu Anila kebetulan memandang ke arahnya.
Sedangkan Anila menjadi sebal melihat kegenitan lelaki tua itu. Tapi, ia tidak
berkata apa-apa kecuali membuang pandangan. Jijik rasanya meladeni Setan Gurun
Api, yang sepertinya menggunakan kesempatan untuk menggoda.
3 Panji lebih cepat bangkit daripada Iblis Kutub Utara. Semua itu tentu saja tidak
terlepas dari 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang bekerja membakar luka dalam
tubuhnya. "Panji.... Kau tidak apa-apa...?" tanya Anila, ketika melihat Panji telah
membuka matanya.
Wajah perempuan cantik ini terlihat cemas. Dan ia sudah berjongkok di samping
Panji, memandangi dari samping.
"Aku tidak apa-apa, Anila," jawab Panji, membuat kekhawatiran Anila berkurang
banyak. "Sebaiknya kita segera pergi dari sini."
Panji langsung bangkit berdiri. Dengan mencekal lengan Anila, tubuhnya melesat
cepat pergi meninggalkan tempat ini.
"Pendekar Naga Putih! Hendak kau bawa ke mana perempuan cantik itu...?" Tiba-
tiba terdengar seruan berat dan parau, yang disusul berkelebatnya sesosok
bayangan. Dan tahu-tahu Setan Gurun Api telah berdiri menghadang Panji.
"Setan Gurun Api! Kuharap jangan mengganggu kami lagi! Ke mana pun Anila kubawa,
bukan urusanmu. Maka harap kau menyingkir! Biarlah kami pergi!" tegas Panji,
setengah mengancam.
"Panji! Kalau setan kurus itu berani macam-macam, lebih baik kita tunggu sampai
istrinya selesai bersemadi. Akan kuadukan kalau suaminya sangat genit. Dia
menggodaku, selagi istrinya semadi," kata Anila.
Wanita itu menduga kalau Ki Rampak takut kepada istrinya. Makanya, dia mencoba
memancing. "Hus! Hus! Jangan...!" seru Setan Gurun Api, setengah berbisik sambil
menempelkan jari telunjuk ke mulut. "Kalau kalian ingin pergi, pergilah cepat!
Aku tidak akan menghalangi...."
Hampir meledak tawa Panji, melihat sikap Setan Gurun Api langsung berubah ketika
digertak Anila.
Namun Pendekar Naga Putih tak menyia-nyia-kan kesempatan itu. Tubuhnya cepat
melesat pergi, meninggalkan tempat ini dengan membawa Anila.
"Lain kali kita bertemu lagi..., An...!"
Begg! Ki Rampak sampai terjerunuk, akibat gebukan pada punggungnya. Seruannya
terputus, dan langsung dilanjutkan dengan suara batuk yang sambung-menyambung.
"Siapa yang akan kau temui pada lain kali itu, ha"! Dan, ke mana perginya
Pendekar Naga Putih serta perempuan genit itu"!"
"Mereka..., mereka sudah pergi jauh..,," jawab Setan Gurun Api agak gugup.
Rupanya perempuan seperti gajah bengkak inilah yang memukul punggung suaminya.
Sehingga, Setan Gurun Apa merasa beruntung, ucapannya tidak sampai selesai.
"Hm.... Mengapa mereka pergi kau diamkan saja, hah"! Kau kasihan ya, kepada
perempuan ular itu"
Kau takut tubuhnya yang molek kuremukkan" Dasar lelaki mata keranjang!
Hiihh...!"
"Aaoo...!"
Setan Gurun Api langsung menjerit-jerit kesakitan, karena daun telinganya telah
dijewer keras-keras oleh istrinya. Tapi, lelaki tinggi kurus ini sama sekali
tidak berani memberontak.
"Ayo! Tunjukkan, ke mana mereka pergi...!" bentak Iblis Kutub Utara sambil
menarik-narik daun telinga suaminya.
Tindakan itu membuat telaki tinggi kurus ini berjalan terbungkuk-bungkuk,
menunjukkan arah lari Panji dan Anila.
*** Sang Malam kini menunjukkan kekuasaannya. Bulan yang hanya sepotong, menggantung
di langit kelam. Cahayanya yang samar, berpendar berusaha menerobos kegelapan.
Namun semua itu tidak menghalangi sesosok tubuh yang tampak bergerak mendekati
sebuah bangunan benteng tapal batas kerajaan.
Sosok itu tak lain dari Panji, yang bermaksud menyelundup masuk ke dalam benteng
tempat tinggal Senapati Guptasena. Petunjuk-petunjuk Anila memang diakui sangat
banyak membantu.
Melalui sudut kiri bagian belakang, Pendekar Naga Putih melayang naik ke atas
tembok. Bagian ini memang paling lemah penjagaannya. Tembok yang lebih tinggi
dari bagian lain dan penerangan yang cukup, jelas tidak memungkinkan bagi musuh
untuk menyelundup masuk. Tapi sayang perhitungan itu tidak berlaku bagi tokoh-
tokoh persilatan tingkat tinggi. Tentu saja mereka akan dapat melayang naik
tanpa kesulitan berarti.
Terlebih, bagi Panji yang mendapat bantuan dari orang yang tahu banyak tentang
keadaan di luar maupun di dalam benteng.
Pendekar Naga Putih melayang turun dengan gerakan ringan. Tubuhnya terus


Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melesat, dan merapat pada dinding bangunan pada bagian yang agak gelap, ia
berhenti sesaat, sambil memperhatikan bangunan yang banyak terdapat di dalam
benteng, sampai akhirnya menemukan induk bangunan yang menjadi tempat tinggal
Senapati Guptasena. Baru kemudian, tubuhnya bergerak menyelinap dari satu
bangunan ke bangunan lain, mendekati tempat yang menjadi tujuan. Dan bukan main
kagetnya pemuda itu sewaktu tengah bergerak, telinganya menangkap suara desir
halus menuju ke arahnya.
Tappp! Tidak terlalu sulit bagi Pendekar Naga Putih untuk menangkap sebuah benda bulat
sebesar ibu jari yang datang mengancam tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Panji
makin terkejut ketika benda yang ternyata berupa sebutir kerikil itu membuat
lengannya bergetar.
"Khekkekkek... Selamat bertemu lagi, Pendekar Naga Putih...!"
Sebuah suara disertai tawa ganjil, memasuki gendang telinga Pendekar Naga Putih.
Panji terkesiap, menyadari siapa adanya manusia yang mengirimkan suara dari jauh
itu. Kepalanya menengadah, mencari sosok pemilik suara dan tawa ganjil yang
memang Iblis Kutub Utara itu.
"Kurang ajar...! Sepasang suami-istri iblis sinting itu pasti telah menguntitku
sejak tadi...!" geram Panji, ketika mendapati dua sosok tubuh di atas atap salah
satu bangunan yang terdapat dalam benteng ini.
"Terima kasih kau telah menuntun kami masuk ke dalam benteng ini tanpa
kesulitan...."
Suara berat dan parau disertai tawa seperti pekik burung gagak yang mengiang di
gendang telinga, membuat Panji menggertakkan giginya menahan geram. Hatinya
sungguh menyesal telah menganggap remeh kedua orang suami-istri sinting itu.
Sehingga tanpa disadari telah digunakan sebagai petunjuk jalan masuk ke dalam
benteng. Apalagi, adanya kedua orang tokoh aneh itu, membuat Panji sadar kalau
keadaannya sangat berbahaya. Terutama, jika mereka membuat ulah dan sampai
diketahui penghuni benteng.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih, Kita mempunyai urusan berlainan, meski
masih ada sangkut pautnya. Kalau kau tidak menyusahkan, kami pun tidak akan
membuatmu susah," suara ganjil Iblis Kutub Utara kembali terdengar di telinga
Panji. *** Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api melesat meninggalkan Panji. Dari atas
bangunan induk, mereka meluncur turun di halaman samping.
Di sini, rupanya mereka telah dihadang oleh empat orang prajurit peronda. Namun
hanya sekali berkelebat, keempat orang prajurit itu langsung diselesaikan dengan
tamparan-tamparan yang membuat kepala remuk. Sedikit pun tak terdengar suara
dari mulut keempat prajurit peronda itu. Memang, gerakan sepasang suami-istri
sinting ini demikian cepat dan mematikan!
Kini, Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Apa tiba di depan pintu sebuah kamar
yang diduga merupakan tempat Senapati Guptasena beristirahat. Dan dengan gerakan
dahsyat, kedua tokoh sinting ini langsung saja mendobrak pintu, seperti tak lagi
peduli kalau perbuatan itu dapat mengundang bahaya.
"Keparat! Siapa berani mati membuat keributan di tempat ini...!"
Terdengar bentakan menggelegar. Lalu seorang lelaki gagah dalam keadaan setengah
telanjang, melenting bangkit dari atas pembaringannya. Sedang wanita cantik yang
berbaring di sebelahnya, bergegas menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang
juga dalam keadaan setengah telanjang. Terdengar jeritannya yang halus menandai
keterkejutan hatinya.
"Kedatangan kami untuk membawamu, Senapati Guptasena!"
Setan Gurun Api yang menyahuti bentakan lelaki gagah yang tak lain dari Senapati
Guptasena. Kemudian, laki-laki tua itu bergerak maju. Kecepatannya bagai kilat sambil
mengulur tangannya untuk mencengkeram leher senapati itu.
Iblis Kutub Utara pun tidak mau ketinggalan. Seperti berlomba dengan suaminya,
tubuhnya yang bulat menggelinding datang dengan kedua tangan terkembang.
Kaget bukan kepalang hati Senapati Guptasena, ketika merasakan adanya sambaran
angin panas dan dingin menerpa tubuhnya. Akibatnya, untuk sesaat tubuhnya
seperti terserang demam hebat. Sadar kalau kedua perusuh yang menyerangnya
merupakan tokoh-tokoh pandai, ia cepat melompat ke belakang untuk menyelamatkan
diri. Tapi untuk kedua kalinya, panglima gagah ini kembali dibuat terkejut! Serangan
kedua orang perusuh ternyata masih terus mengejar dan mengancam, membuat jengkel
Senapati Guptasena. Maka dengan seluruh tenaga, kedua lengannya dikibaskan untuk
memapak sergapan yang masih terus mengikutinya.
Plakk, plakkk! "Aaaakh..."!"
Senapati Guptasena terpekik kesakitan. Tubuhnya langsung terlempar, hingga
membentur dinding di belakangnya hingga jebol. Jelas, betapa hebatnya tenaga
serangan Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api!
Namun, sepasang suami istri sinting ini pun tidak bisa melanjutkan serangan,
karena prajurit-prajurit Senapati Guptasena telah datang menyelamatkan
junjungannya. Sedang Senapati Guptasena sendiri telah ditolong dua orang perwira
tinggi. Sementara itu, sekitar tiga puluh orang prajurit telah siaga dengan
senjata di tangan. Mereka langsung mengepung Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun
Api! "Hm.... Tidak disangka kalau tempat ini kedatangan manusia-manusia yang sudah
bosan hidup...!"
Kata-kata bernada ancaman itu terucap dari mulut seorang perwira tinggi kurus,
berwajah agak pucat.
Selain perwira ini, masih terdapat empat orang perwira lain termasuk dua orang
yang menolong Senapati Guptasena.
Sepasang suami-istri sinting memperdengarkan tawanya yang ganjil. Kelihatannya,
kepungan itu sama sekali tidak membuat mereka gentar. Malah, tawa keduanya
semakin keras dan panjang. Sehingga, membuat para pengepung serentak menutup
telinga. "Serbuuu...!"
Perwira tinggi kurus berwajah pucat itu segera mengambil keputusan. Sepertinya,
ia sadar kalau keadaan dibiarkan berlarut-larut, pihaknyalah yang bakal mendapat
celaka. Seketika ujung-ujung tombak puluhan prajurit itu membuat tawa Iblis Kutub Utara
dan Setan Gurun Api terhenti. Mereka sudah mengamuk, membagi-bagi tamparan dan
tendangan. Akibatnya prajurit-prajurit yang datang menyerbu berpentalan tak
tentu arah. Beberapa orang malah ada yang langsung menggeletak tewas.
Tapi biar bagaimanapun lihainya, Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api tetaplah
manusia-manusia biasa yang terdiri dari tulang dan daging. Sehingga, meski telah
belasan prajurit bergeletakan menjadi korban kekejaman mereka, puluhan prajurit
lain datang menyerbu bagaikan tak pernah habis. Bahkan perkelahian yang telah
bergeser ke luar bangunan induk, membuat sepasang suami-istri sinting ini jadi
kewalahan. Seolah, seluruh penghuni benteng telah tumpah keluar untuk mencincang
tubuh mereka berdua. Mau tidak mau, Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api merasa
bergidik juga menghSdapi keroyokan yang semakin menyemut ini.
"Tahan senjata...!"
Di tengah teriakan marah dan pekik para prajurit, Iblis Kutub Utara tiba-tiba
berseru melengking merobek kegelapan malam. Kedua tangan perempuan gendut ini
mengibas, membuat pengeroyok terdepan terdorong mundur dan berjatuhan menimpa
prajurit-prajurit di belakang. Maka pertempuran pun terhenti seketika.
"Kau tidak punya waktu lagi untuk meminta ampun, Iblis Gendut! Tidak ada kata
menyerah bagimu, kecuali mati dengan tubuh tercincang!" hardik Senapati
Guptasena yang kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun.
"Khek kek kek..!"
Iblis Kutub Utara masih sempat juga tertawa, kendati ucapan Senapati Guptasena
membuatnya ngeri.
"Tubuh kami berdua boleh kau cincang sepuasmu, Senapati Guptasena. Tapi perlu
kau ketahui, bahwa bukan hanya kami berdua yang malam ini menyusup ke dalam
bentengmu. Ada seorang tokoh besar yang berjuluk Pendekar Naga Putih, saat ini
mungkin sudah berhasil menculik putramu yang semata wayang!"
"Hm.... Jangan dikira kami bisa diperdaya, Iblis Gendut! Sebaiknya, bualanmu itu
kau bawa saja menghadap malaikat penjaga neraka...!" ejek Senapati Guptasena,
tak menggubris perkataan Iblis Kutub Utara.
"Buat apa kami berdusta! Kami tidak takut menghadapi kematian!" tukas Setan
Gurun Api. "Apa yang dikatakan istriku sama sekali tidak bohong. Tapi kalau
memang kau ingin kehilangan putramu yang hanya satu-satunya, silakan saja ini
dianggap bualan!"
Ucapan Setan Gurun Api membuat Senapati Guptasena bungkam. Wajah kedua orang
tokoh itu memang tidak menunjukkan tanda-tanda kebohongan. Maka segera
diperintahkannya dua orang perwira bersama puluhan prajurit untuk membuktikan
perkataan kedua orang ini.
*** Sementara itu, Pendekar Naga Putih hanya bisa menghela napas menyesali
keteledorannya. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa, selain membiarkan sepasang
suami istri-sinting itu melesat pergi. Saat ini, Panji sudah berkelebat memasuki
tempat kediaman Senapati Guptasena melalui sebuah jalan rahasia.
Jalan itu memang sengaja dibuat, atas perintah Senapan Guptasena untuk tempat
persembunyian bagi keluarganya jika dalam keadaan terdesak. Lorong-lorong jalan
rahasia yang agak gelap, ternyata membawa Panji tiba di kamar perpustakaan.
Penjagaan di dalam bangunan induk yang tidak terlalu ketat, memudahkan Pendekar
Naga Putih menyelinap ke kamar Paridesta, putra tunggal Senapati Guptasena yang
menjadi tujuannya. Beruntung ia tidak menemui kesulitan. Karena, kamar itu sama
sekali tidak terjaga. Setelah mengurut dua bagian tubuh bocah berusia kurang
dari dua tahun itu agar tidak terjaga dan tidak menangis, Panji segera mengikat
ke punggungnya.
Kemudian bergegas dia keluar dari dalam kamar.
Tapi bukan main kagetnya hati Pendekar Naga Putih ketika berada di luar kamar.
Ternyata dirinya telah terkepung oleh sedikitnya dua puluh orang prajurit dan
dua orang perwira dengan senjata di tangan!
"Celaka..."!" desis Panji agak cemas.
Memang Pendekar Naga Putih tidak menghendaki adanya pertempuran. Tapi melihat
keadaan yang dihadapinya, jelas harapannya tidak mungkin terwujud.
Memang, inilah kelicikan Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api, sehingga Panji
terkepung. Dan Pendekar Naga Putih sendiri memang telah menduganya.
4 "Tahan...!"
Panji berseru sambil mengangkat tangan kanannya. Seketika langkah maju puluhan
prajurit dan dua orang perwira yang mengepungnya terhenti.
"Penculik hina! Jangan harap dapat keluar hidup-hidup dari tempat ini!" bentak
salah seorang perwira, yang kulit wajahnya berwarna kemerahan.
"Menyerahlah! Serahkan putra junjungan kami. Jika menurut, hukumanmu akan
diperingan," tambah perwira yang berperut buncit.
"Hm.... Putra junjungan kalian ada di tanganku. Akulah yang seharusnya memberi
pilihan. Bukan kalian, Tuan Perwira," sahut Panji tersenyum tipis.
Dua orang perwira itu saling berpandangan sesaat. Tampaknya, mereka baru sadar
kalau pemuda tampan berjubah putih itu berada di pihak yang menang. Karena,
putra junjungan mereka berada dalam kekuasaannya.
"Nah! Sekarang, aku minta kalian menyingkir. Senjata kalian bisa membuat bocah
ini terluka. Kalau itu sampai terjadi, Senapati Guptasena akan menggantung
kalian semua!" lanjut Panji, sehingga membuat wajah pengepungnya berubah pucat!
"Keparat! Tahukah kau bahwa perbuatanmu akan membuat dirimu menjadi musuh
kerajaan! Kau akan menjadi buronan! Tidak akan ada lagi ketenangan dalam
hidupmu. Ingat itu baik-baik! Pikir lebih mendalam, sebelum terlambat menyesali
perbuatanmu malam ini!" gertak perwira yang bermuka merah.
Memang, perwira itu merasa serba salah. Membiarkan Panji pergi membawa putra
junjungannya, sudah pasti ia akan mendapat marah besar. Sebaliknya, Senapati
Guptasena tentu akan mendampratnya habis-habisan, apabila mencegah kepergian
Panji dengan menggunakan kekerasan.
"Anak muda," panggil perwira yang berperut buncit sambil melangkah maju empat
tindak. Sepasang matanya menyorot tajam, meneliti sosok Panji. "Benarkah kau
yang berjuluk Pendekar Naga Putih?"
Pertanyaan itu tidak membuat Panji kaget. "Mengapa kau menduga demikian, Tuan
Perwira?" "Ketahuilah. Bukan hanya kau saja yang menyelundup ke dalam benteng malam ini.
Masih ada sepasang orang tua sinting yang mengganggu atasan kami. Dalam keadaan
terjepit, mereka mengatakan kalau seorang tokoh berjuluk Pendekar Naga Putih
akan menculik putra panglima kami," jelas perwira berperut buncit itu, membuat
Panji tersenyum masam.
"Semestinya kalian tidak perlu mendengarkan ocehan sepasang iblis sinting itu.
Ucapan mereka memang tidak salah. Tapi, aku menculik bukan tanpa alasan," tukas
Panji, langsung teringat kalau perbuatannya karena tidak sampai hati melihat
penderitaan Anila, ibu bocah yang diculiknya.
"Hm.... Jadi, kau berjuluk Pendekar Naga Putih"!"
Kali ini perwira bermuka merah yang menegasi. Sepasang matanya tampak
menyiratkan keheranan besar. Kalau tidak melihat sendiri, ia tidak akan percaya
Pendekar Naga Putih melakukan penculikan.
"Sudahlah.... Aku tidak ingin berpanjang kata lagi...," tukas Panji cepat, tidak
mempedulikan keheranan mereka. "Ingat! Putra Senapati Guptasena bisa celaka jika
kalian menghalangi kepergianku,"
Pendekar Naga Putih langsung melangkah lebar sambil menyibakkan kedua tangannya.
Hawa dingin yang keluar membuat para prajurit berlompatan mundur, saling
berbenturan satu sama lain.
"Tunggu...!"
Seruan itu dibarengi lesatan tubuh dua perwira yang langsung menghadang jalan.
Tapi, Panji tidak peduli. Tubuhnya sudah melompat tinggi melampaui kepala dua
orang perwira, dan terus melesat menerobos kegelapan.
"Kejaaarrr...!"
Panji yang yakin kalau pengejarnya tidak akan menggunakan senjata, terus berlari
meninggalkan tempat itu. Sementara tempat prajurit penjaga gerbang yang
menghadang langsung dirobohkan dengan totokan.
Dan saat hendak melewati gerbang, telinganya menangkap suara lengkingan panjang
yang menggetarkan dada.
Panji kenal betul, siapa pemilik suara itu. Tapi, ia tidak mau ambil pusing.
Pendekar Naga Putih terus berlari meninggalkan benteng tapal batas itu.
*** Senapati Guptasena kaget bukan main! Lengkingan yang mengandung tenaga dahsyat
membuat dirinya terpelanting jatuh! Padahal, tenaga dalamnya telah dikerahkan
untuk melindungi dada dan menutup telinga dengan kedua tangannya. Tapi, pengaruh
lengkingan itu ternyata tidak dapat ditahannya.
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api terus memperdengarkan lengkingan, membuat
para pengepung terdekat berpelantingan roboh. Suasana pun menjadi kacau! Dan
kesempatan itu pun digunakan suami-istri sinting ini untuk menotok Senapati
Guptasena dan membawanya pergi. Tak seorang pun yang dapat mencegahnya, karena
sepanjang jalan Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api masih saja memperdengarkan
lengkingan. "Khek kek kek... Akhirnya kita berhasil juga, Kanda...," ujar Iblis Kutub Utara.
Perempuan itu segera menghentikan larinya, setelah yakin kalau tidak akan
terkejar. Napasnya terdengar tersengal-sengal kelelahan. Wajah yang biasanya
pucat, terlihat agak kemerahan. Tubuh gendutnya dihempaskan telentang di atas
tanah berumput.
Keadaan Setan Gurun Api tidak berbeda jauh dengan istrinya. Kendati tawa ganjil
masih bisa terdengar, namun tetap saja tersendat-sendat. Sekujur tubuhnya yang
memang tak pernah kering, terlihat semakin kuyup. Dengus napasnya terdengar
kasar seperti seekor kuda pacu. Tubuh yang mirip batang bambu ini juga
menggeletak di tanah, bersebelahan dengan istrinya.
"Biang kunyuk! Kekuatan pasukan di dalam benteng itu memang bukan isapan jempol!
Bagusnya, kita memiliki tenaga dalam sempurna. Jika tidak, mungkin sekarang
telah menghadap penjaga neraka," runtuk Setan Gurun Api.
"Heh"! Kita sudah setengah mati dan kehabisan tenaga seperti ini, masih kau
bilang bagus! Dasar cecak kering! Kau senang ya, kalau aku mampus?" Iblis Kutub
Utara memiringkan kepala, memandang suaminya dengan mata melotot marah.
"Wah! Kau jangan salah tangkap, Gajah Bengkak. Apa aku salah ucap?" Setan Gurun
Api juga berpaling memandang istrinya.
"Lagi pula, mana mungkin ada perempuan lain yang lebih cantik dan montok
sepertimu, Dinda. Sudah, jangan berpikir yang bukan-bukan! Lebih baik, kita
istirahat sambil menghimpun tenaga," ujar Setan Gurun Api.
Muka berang Iblis Kutub Utara perlahan memudar. Pujian suaminya nyatanya membuat
bibirnya tersenyum.
"Benar, tidak ada perempuan lain yang lebih cantik dariku?" tanya perempuan
gendut itu bernada manja.
"Benar, Dinda. Kaulah perempuan tercantik dan termontok di jagad ini," jawab


Pendekar Naga Putih 83 Perempuan Berbisa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setan Gurun Api, juga tersenyum. Kemudian, kata-katanya dilanjutkan dalam hati.
"Tentu saja kau paling cantik dan montok di antara gajah-gajah perempuan di
jagad ini. Dasar perempuan gila pujian!"
Iblis Kutub Utara yang tidak tahu kelanjutan perkataan suaminya, tersenyum
semakin manis. Sementara, Senapati Guptasena yang tergeletak di sampingnya hanya bisa
menyumpah-nyumpah suami-istri sinting itu dalam hati. Memang urat suaranya
tertotok kuat, sehingga tidak bisa bersuara. Tubuhnya pun tidak bisa digerakkan,
akibat totokan perempuan gendut di sampingnya.
*** "Ooh, anakku...!"
Air mata Anila runtuh, begitu membuka pintu kamar penginapan. Didapatinya Panji
tengah berdiri sambil menggendong seorang bocah laki-laki berusia kurang dari
dua tahun. Bagai orang hilang ingatan, direbutnya bocah itu dari gendongan
Panji. Dipeluk dan diciuminya dengan air mata bercucuran.
Panji yang masih berdiri di ambang pintu, menarik napas panjang. Luapan
kegembiraan Anila yang telah mendapatkan kembali putranya, membuat hatinya
terharu. Tindakan menculik yang sedikit banyak membuat dirinya telah berbuat
kesalahan, terhapus seketika. Malah, hatinya merasa bersyukur dapat membuat
Anila berkumpul kembali bersama putranya.
"Oh! Maaf, Panji. Aku sampai lupa mengucapkan terima kasih kepadamu!" seru
Anila, tersadar dari luapan kegembiraannya. Bergegas dihampirinya Pendekar Naga
Putih. "Aku tidak ingin mengganggu kegembiraanmu, Anila. Aku akan beristirahat di kamar
sebelah," kata Panji.
Anila tidak segera menanggapi. Tubuhnya segera berbalik, dan melangkah menuju
pembaringan. Sebentar saja, wanita itu telah kembali menemui Panji, setelah merebahkan
putranya yang telah terbebas dari totokan dan masih terlelap seperti waktu Panji
membawanya. Seolah, tidak pernah terjadi apa-apa pada dirinya.
"Panji," panggil Anila menengadahkan wajahnya, menatap pemuda di depannya. "Aku
tidak tahu, bagaimana harus menyatakan rasa terima kasihku. Rasanya, seluruh apa
yang ada pada diriku pun belum cukup untuk membalas kebaikanmu. Tetapi aku tidak
mempunyai apa-apa, kecuali diri ini. Kau boleh meminta apa saja kepadaku. Kau
boleh ambil apa saja yang kau inginkan dariku. Terserahmu. Semalam, sebulan,
setahun, atau selamanya. Aku rela melayanimu sampai kapan pun!"
"Anila..."!" desis Panji kaget.
"Panji...."
Kekagetan Panji ditanggapi lain oleh Anila. Tanpa ragu-ragu lagi, tubuhnya
dijatuhkan ke dalam pelukan Panji. Terdengar desahan halus dari mulut Anila,
yang merebahkan kepalanya di dada Panji.
"Anila, sadarlah...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih jadi kebingungan. Tak disangka kalau pertolongan yang
diberikannya akan berbuntut seperti ini. Tapi untuk melepaskan pelukan Anila
begitu saja, ia takut perempuan itu akan tersinggung. Sehingga, Panji jadi serba
salah. "Apa aku kurang cantik, Panji" Atau, tubuhku sudah tidak padat lagi karena telah
melahirkan seorang anak?"
"Bukan begitu, Anila."
Panji jadi agak gugup merasakan betapa tubuh hangat Anila semakin ketat merapat
ke tubuhnya. Hatinya berdebar semakin keras, sewaktu dengan pandainya Anila membelai dadanya.
Khawatir dirinya semakin terbakar lupa, Panji menangkap tangan Anila. Lalu,
segera didorongnya perlahan-lahan tubuh yang sudah panas itu.
"Aku tidak mengharapkan balasan apa pun darimu, Anila. Semua kulakukan dengan
ikhlas," tolak Panji halus, dengan wajah memerah dan napas agak memburu.
Setelah berkata demikian, Panji memutar tubuhnya, meninggalkan Anila yang masih
termangu tak mengerti.
Anila memang terlalu cantik. Tubuhnya yang indah dan hangat, sanggup meruntuhkan
lelaki mana pun.
Dan kalau saja tadi bayangan Kenanga tidak melintas di depan mata, Panji tidak
yakin dirinya masih sanggup bertahan. Hatinya merasa bersyukur, bayangan
kekasihnya datang menyelamatkannya dari godaan.
"Heran"! Apa yang membuat pemuda itu sanggup bertahan" Padahal, aku dapat
merasakan betapa ia sudah hampir tak berdaya?" gumam Anila, masih terpaku di
ambang pintu. Sementara itu, sosok Panji sudah meninggalkan tempat ini.
*** Ketukan pada pintu kamar, membuat Panji menggeliat bangkit dan turun dari
pembaringan. Tampak pelayan rumah penginapan yang sudah berusia setengah baya
berdiri di ambang pintu meneliti wajahnya.
"Tuan yang bernama Panji?"
"Benar. Ada apa?" sahut Panji disertai kerutan kening.
"Ada pesan dari Nisanak yang menginap di kamar sebelah. Katanya, Tuan tidak
perlu menunggunya untuk sarapan pagi. Karena, ia akan mengajak putranya untuk
melihat-lihat desa ini...," lapor wanita setengah baya itu.
"Apa dia mengatakan tujuannya?" potong Panji tak sabar.
"Tidak, Tuan. Tapi, katanya, Tuan tidak perlu khawatir. Ia akan segera kembali
menemui Tuan...,"
sahut pelayan itu.
Merasa semua amanat telah disampaikan, pelayan itu berpamit kepada Panji. Lalu
tubuhnya ber-balik meninggalkan Pendekar Naga Putih yang masih berdiri di ambang
pintu. Panji yang lupa menyampaikan pesan kepada Anila agar jangan dulu memperlihatkan
putranya di depan umum, bergegas hendak menyusul. Ia khawatir. Senapati
Guptasena telah menyebar orang-orangnya untuk mencari putranya yang hilang.
Tapi, kaki kanannya yang baru melangkah keluar dari pintu rumah penginapan,
kembali ditarik.
Bahkan Pendekar Naga Putih terpaksa kembali ke kamarnya, karena serombongan
kecil prajurit kerajaan tengah bergerak menuju tempatnya menginap. Sebuah
penginapan yang juga berupa kedai pada bagian depannya.
*** "Heran! Tidak biasanya ada prajurit yang berkeliaran di desa ini...?" gumam
Panji, memancing tanggapan pelayan yang membawakan makanan pesanannya.
Terpaksa niat untuk mencari Anila ditunda. Dan agar bisa mendapatkan keterangan,
Panji sengaja duduk di dalam kedai dan memesan makanan.
"Memang, Tuan," sahut pelayan kedai tanpa diminta. "Apa Tuan belum mendengar
kalau benteng perbatasan dibuat gempar semalam?"
Keterangan ini, tidak segera dilanjutkan. Dia seperti sengaja membuat Panji
penasaran. Tapi sewaktu melihat tamunya diam saja, pelayan itu meneruskan
ceritanya sampai selesai.
"Senapati Guptasena dan putranya hilang diculik orang!" tutur pelayan itu.
Kali ini Panji benar-benar dibuat terkejut! Panji tidak merasa perlu lagi
mendengar tentang siapa penculik Senapati Guptasena. Tanpa menyelesaikan
makannya, bergegas Pendekar Naga Putih bangkit dan memberikan uang pembayaran
kepada pelayan yang masih terus nyerocos.
Melihat tidak adanya prajurit yang berkeliaran di jalan, bergegas Panji melesat
meninggalkan penginapan yang juga telah dilunasi. Secara sembunyi-sembunyi, agar
tidak sampai bertemu prajurit-prajurit kerajaan, Pendekar Naga Putih menjelajahi
Medali Wasiat 10 Joko Sableng Jejak Darah Masa Lalu Hina Kelana 11
^