Pencarian

Petaka Kuil Tua 1

Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua Bagian 1


PETAKA KUIL TUA
Oleh T Hidayat Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tarech R.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 051 :
Petaka Kuil Tua
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Malam kian merambah. Kepekatan makin kental menyelimuti bumi. Suara nyanyian
binatang-binatang malam saling bersahutan. Desir angin mengalun perlahan
mempermainkan daun-daun pohon, sehingga menimbulkan gemerisik lembut di telinga.
Rembulan tersenyum malu di balik gumpalan awan kelabu. Semua itu makin menambah
keindahan suasana malam.
"Hm..., hari sudah semakin bertambah malam, Darmi.
Rasanya sudah waktunya aku pulang...."
Ucapan perlahan yang terasa agak berat itu meluncur dari bibir seorang pemuda
tampan. Meskipun wajahnya tampak agak kehitaman, namun sosoknya cukup menarik.
Sepasang matanya menatap lembut gadis manis berambut panjang yang duduk di
sebelahnya. Gadis manis berusia sembilan belas tahun yang dipanggil Darmi itu tampak
menunduk. Duduknya digeser semakin merapat. Bangku bambu yang mereka duduki
berderit perlahan, saat Darmi menggeser tubuhnya.
"Yahhh..., hari memang semakin bertambah malam, dan Kakang harus segera pulang.
Tapi, bagaimana dengan pertanyaanku tadi, Kang" Kapan kau akan melamarku...?"
tanya Darmi perlahan, mirip bisikan. Wajah yang semula tertunduk itu perlahan
terangkat, dan menatap wajah kekasihnya.
"Akan kuusahakan secepatnya, Darmi...," sahut pemuda tampan berkulit coklat itu
seraya melingkarkan lengannya ke tubuh kekasihnya. Darmi pun segera merebahkan
kepalanya di dada pemuda itu.
"Aku takut, Kang...," desah Darmi bernada cemas.
"Tuan Muda Wintarsa selalu menggangguku. Aku khawatir pemuda jahat yang sombong
itu akan berbuat yang tidak-tidak terhadap diriku. Hal itu tercermin dari cara
ia memandangku. Sepertinya aku bukan lagi melihat sosok manusia. Tapi, binatang
buas yang kelaparan..."
"Hm..., pemuda mata keranjang itu memang tak ubahnya setan berwajah manusia...!"
geram pemuda tampan itu sambil mengepalkan tinjunya erat-erat.
Sepasang matanya mencorong penuh kemarahan. Ia tahu persis, siapa yang
dimaksudkan kekasihnya. "Baiklah, aku pulang dulu, Darmi. Tentang pernikahan
kita, akan kubicarakan nanti dengan ayahku...."
"Betul...?" tanya Darmi agak ragu sambil mengikuti kekasihnya bangkit. Sepasang
mata gadis desa yang sederhana itu tampak berpijar penuh kebahagiaan.
"Tentu saja betul...," sahut pemuda itu melangkah dan merangkul tubuh Darmi.
Keduanya berjalan menuju pondok yang berada di depan mereka.
"Kutunggu kabar darimu, Kakang...," ucap Darmi seraya menatap wajah kekasihnya,
ketika ia berada di ambang pintu belakang rumahnya. Tapi, pemuda tampan itu sama
sekali tidak menyahut, sebab ia telah memeluk tubuh kekasihnya erat-erat, dan
melumat bibir merekah yang menantang itu.
"Aku pulang dulu...," pamit pemuda itu seraya
melepaskan pelukannya dan beranjak meninggalkan Darmi yang tersipu dengan napas
agak sesak. Namun, tampak seulas senyum bahagia terukir di bibirnya.
Dengan obor di tangan kanan, pemuda kekasih Darmi itu melangkah menerobos
kegelapan malam. Sebentar saja rumah kekasihnya telah tertinggal cukup jauh di
belakang. Melihat dari gerak-geriknya, jelas pemuda itu bukanlah orang lemah. Sepertinya,
ia pun memiliki ilmu meringankan tubuh yang lumayan.
"Hm..., kau benar-benar bandel, Suminta...!" tiba-tiba terdengar suara teguran
bernada penuh kegeraman.
Pemuda tampan itu pun menahan langkahnya dan menoleh ke arah asal suara. Kakinya
melangkah ke belakang ketika melihat tiga sosok tubuh muncul dari semak-semak di
pinggir jalan. "Kau..., Wintarsa..."!" desis pemuda tampan bernama Suminta itu. Ia terkejut
ketika obornya diangkat untuk mengenali wajah ketiga lelaki yang menghadangnya.
"Hm..., dari mana kau malam-malam begini, Suminta"
Apakah kau sudah lupa dengan peringatanku tempo hari...?" tegur pemuda pesolek
berwajah tampan, yang tubuhnya lebih tinggi sedikit dari Suminta. Sepasang mata
Wintarsa tampak menyiratkan kemarahan yang masih ditahan.
"Apa hakmu melarangku berhubungan dengan Darmi, Wintarsa" Sedangkan Darmi
sendiri menyukaiku. Dan, ia tidak suka kepadamu!" jawab Suminta dengan menyebut
Wintarsa begitu saja, tanpa embel-embel tuan muda. Hal itu membuat kening
Wintarsa menjadi berkerut tak senang.
"Keparat! Kau semakin besar kepala saja, Suminta!
Sudah berani melanggar laranganku, kau pun sudah tidak lagi menaruh hormat
kepadaku! Semua itu akan membuat kau sekeluarga menjadi celaka, Suminta!" bentak
Suminta. Pemuda pesolek itu menjadi geram ketika mendengar bantahan Suminta yang tidak
menaruh hormat lagi kepadanya. Wintarsa kemudian berpaling kepada dua orang di
kiri dan kanannya, dan memberikan isyarat.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua orang lelaki kekar berpakaian serba hitam, yang
menjadi tukang pukul Wintarsa, segera melompat dan mengepung Suminta.
Melihat hal itu, Suminta cepat bergerak mundur seraya mengebutkan obor di
tangannya ke kiri dan kanan.
Perbuatannya itu membuat kedua orang tukang pukul Wintarsa bergerak menghindar.
"Hm..., kau memang harus diberi peringatan keras, Kerbau Dungu!" ujar salah
seorang tukang pukul Wintarsa, geram. Kemudian laki-laki kasar itu pun segera
menyiapkan jurusnya guna menghadapi Suminta.
"Haaat...!"
Orang yang berada di sebelah kanan Suminta berteriak sambil melompat dan
melontarkan pukulan keras ke arah kepalanya. Suminta melangkah ke belakang,
kemudian membalas dengan sebuah tendangan kilat. Sebentar saja, ketiga orang itu
telah terlibat dalam sebuah pertarungan seru. Suminta berjuang keras untuk
menghadapi kedua orang lawannya yang memang terkenal sebagai jagoan-jagoan di
Desa Margaluyu itu.
"Heaaah...!"
Wrrr...! Lidah api kembali berkobar ketika Suminta mengebutkan obornya, guna menghadapi
serangan dari sebelah kanan. Sayang pemuda tampan itu kalah gesit, sehingga
sebuah tendangan keras dari sebelah kiri tidak dapat dihindarinya, dan menghajar
telak iganya. Bukkk! "Akh...!"
Suminta bergulingan menjauhi kedua orang lawannya.
Meskipun dengan wajah agak menyeringai, pemuda itu bergerak bangkit dan siap
melakukan perlawanan kembali.
Sedangkan obor dalam genggamannya telah terlepas, dan berada dalam genggaman
Wintarsa yang mengangkatnya ke atas sebagai penerangan
"Rasakan kepalanku...!" bentak lelaki berkumis tebal yang menjadi tukang pukul
Wintarsa sambil melontarkan kepalannya yang menimbulkan desiran angin tajam.
Whuttt...! Suminta merundukkan kepala, sehingga kepalan lawan lewat di atas kepalanya.
Sayang, ia tidak menduga sama sekali kalau serangan susulan lawan datang
demikian cepat. Akibatnya, tubuh Suminta kembali terpelanting ke belakang. Dan
belum lagi sempat bangkit dan merasakan akibat tendangan itu, tahu-tahu lawan di
sebelah kanannya sudah menendang iganya kuat-kuat.
"Aaakh...!"
Suminta kembali memekik kesakitan. Darah segar mulai menetes dari sudut
bibirnya. Meskipun demikian, pemuda bertubuh gagah itu berusaha merangkak
bangkit untuk melakukan perlawanan kembali.
"Hm...," kali ini Wintarsa sendiri yang sudah
melangkah maju. Kaki kanannya langsung mencelat ke wajah Suminta yang tengah
merangkak maju itu.
Desss! "Highhh...!"
Untuk kesekian kalinya, tubuh Suminta kembali terlempar akibat tendangan kuat
itu. Beberapa buah pukulan dan tendangan masih menerpa wajahnya. Tampak wajah
tampan itu babak belur berbaur dengan darah.
Sehingga, sulit untuk mengenalinya.
Suminta merintih kesakitan tanpa mampu bangkit lagi.
Sepertinya, Wintarsa dan kedua orang tukang pukulnya sama sekali tidak
menginginkan kematian pemuda itu.
Dalam penyiksaan mereka sengaja tidak mengerahkan tenaga terlalu kuat, agar
Suminta tidak jatuh pingsan.
Sehingga pemuda itu dapat merasakan penderitaan akibat pukulan dan tendangan
mereka. Hal itu menandakan bahwa Wintarsa dan kedua tukang pukulnya merupakan
orang-orang kejam yang tidak berperikemanusiaan.
"Hm..., ini merupakan peringatan terakhir, Suminta.
Sekali lagi kau berani mendekati Darmi, kepalamu akan kupatahkan...!" ancam
Wintarsa sambil menarik rambut Suminta ke atas. Sedangkan kakinya menekan
punggung pemuda itu dengan kasar.
Suminta hanya bisa merintih menahan sakit pada kepalanya yang dipaksa terangkat
ke belakang. Setelah berkata demikian, Wintarsa melepaskan kepala Suminta begitu
saja, sehingga wajah pemuda itu membentur tanah, membuat Suminta mengerang
kesakitan. Dari lubang hidungnya, darah segar kembali mengalir.
Wintarsa dan kedua orang tukang pukulnya bergerak
meninggalkan tubuh Suminta yang tergeletak di tanah.
Pemuda tampan pesolek itu melemparkan obor di tangannya, persis di depan wajah
Suminta. Pemuda malang itu menyeret tubuhnya ke belakang, karena wajahnya yang
berada dekat api obor terasa panas bagai terbakar.
Dengan susah payah, Suminta bergerak bangkit berdiri. Sambil menahan rasa sakit
yang luar biasa, pemuda itu bergerak menerobos kepekatan malam dengan langkah
tertatih-tatih.
*** "Ohhh...," Suminta mengerang seraya menyandarkan tubuhnya di dinding rumah.
Saat ini sudah lewat tengah malam. Hembusan angin sudah semakin dingin ketika
Suminta tiba di rumahnya.
Pemuda malang itu langsung bergerak ke belakang rumah untuk membersihkan
wajahnya dengan air sumur.
"Akh..."!" Suminta menahan jeritannya ketika wajahnya dirasakan perih. Lalu
kakinya melangkah masuk ke dalam rumah melalui pintu belakang.
Sinar pelita yang temaram menerpa tubuhnya ketika ia berada di dalam rumah.
Suminta langsung menuju kamarnya, dan membaringkan tubuhnya disertai helaan
napas berat. "Keparat kau, Wintarsa...!" umpat Suminta sambil mengepalkan tinjunya kuat-kuat.
Suminta benar-benar geram sekali terhadap pemuda kaya yang sombong dan kejam
itu. Hatinya mengeluh bila
mengingat perbedaan kehidupannya dengan Wintarsa yang laksana bumi dan langit.
Pemuda putra tunggal seorang juragan terkaya di Desa Margaluyu itu memang
seringkali memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Apa yang diinginkannya
harus tercapai, meskipun dengan jalan kekerasan. Tidak sedikit orang yang telah
menjadi korban tindak kesewenang-wenangan pemuda jahat itu. Tapi, orangtua
Wintarsa selalu membela putranya, dan membungkam mulut orang-orang desa yang
menjadi korban putranya dengan sekantung uang.
Orang-orang desa tidak berani menuntut karena sudah ada beberapa penduduk yang
kedapatan tewas. Hal itu disebabkan karena mereka tidak mau menerima uang
pembungkam dari juragan kaya itu. Sedangkan Kepala Desa Margaluyu tidak berani
mengambil tindakan. Ia lebih suka menutup mata, dan tak mau melihat kejadian di
sekelilingnya. "Hhh...," Suminta kembali mengeluh bila teringat akan keadaan dirinya.
Suminta tahu, yang menjadi incaran Wintarsa adalah Darmi, kekasihnya. Dan juga
diketahuinya, Wintarsa tidak akan pernah berhenti sebelum mendapatkan Darmi.
Ingatan itu membuat Suminta bangkit dari tidurnya.
Otaknya bekerja cepat untuk mencari jalan keluar dari persoalan ini.
"Hm..., satu-satunya jalan, aku harus membawa lari Darmi meninggalkan desa
ini...," gumam Suminta mengambil keputusan, setelah mempertimbangkan segala
akibatnya. Semua itu dilakukan karena ia sangat mencintai
kekasihnya, dan tidak rela kalau Darmi jatuh ke tangan Wintarsa.
Berpikir demikian, Suminta bangkit dan mem-buntal beberapa pakaiannya. Kemudian
bergegas keluar dari dalam kamar. Sebelum meninggalkan rumah, kakinya melangkah
ke ruangan depan untuk melihat kedua orangtuanya yang menurut pikirannya pasti
masih terlelap.
"Eh..."!"
Kening Suminta berkerut ketika melihat ruangan depan berantakan. Meja kursi
tampak terbalik, seperti sengaja diobrak-abrik orang!
"Ayah..."!" Suminta tercekat ketika di dalam keremangan sinar pelita, dilihatnya
sesosok tubuh berlumuran darah tengah tergeletak di dekat meja yang terbalik.
Pemuda itu langsung melompat, dan memeriksa keadaan ayahnya.
Bukan main sedihnya hati Suminta ketika ia mendapat kenyataan bahwa lelaki tua
itu telah tewas. Beberapa luka bekas pukulan tampak membiru di sekujur tubuh
ayahnya. Jelas orang tua itu telah disiksa sampai tewas!
"Ibu..."!"
Seperti disengat kalajengking, Suminta melepaskan tubuh ayahnya. Cepat ia
melesat ke dalam ketika teringat akan ibunya. Dan, apa yang disaksikannya benar-
benar membuat hati pemuda itu hancur luluh.
Suminta meraung bagaikan seekor singa luka.
Wajahnya pucat. Kedua kakinya serasa gemetar karena tidak sanggup menyaksikan
pemandangan di depan matanya. Suminta jatuh dengan bertelekan kedua
lututnya. Lalu, sambil menangis sesenggukan, pemuda itu menekap wajahnya dengan
kedua telapak tangan.
"Ibu...!"
Suminta menguatkan hatinya untuk bergerak bangkit dan memasuki kamar
orangtuanya. Wajah pemuda yang sembab oleh bekas luka-luka pukulan, tampak pucat
berlinang air mata. Hatinya benar-benar hancur melihat tubuh ibunya tergantung
di tiang rumah dengan lidah terjulur!
Dengan kedua tangan gemetar, Suminta menurunkan tubuh ibunya. Angkin yang
biasanya melingkar di pinggang perempuan yang melahirkannya itu, tampak menjerat
leher. Sekilas pemuda itu menyangka kalau ibunya sengaja menggantung diri. Tapi
Suminta dapat meraba, apa yang membuat ibunya sampai gantung diri.
Dan, ia pun sudah mulai menduga apa yang menyebabkan kematian ayahnya.
"Hm..., tidak salah lagi. Ini pasti perbuatan si keparat Wintarsa. Mungkin ia
datang ke tempat ini untuk mencariku. Tapi, karena ayah tidak memberitahukannya,
maka ia pun menyiksanya sampai tewas. Sedangkan ibu, mungkin sengaja bunuh diri
ketika melihat ayah tewas!
Benar-benar biadab sekali pemuda laknat itu! Ia sepantasnya menjadi iblis...!"
geram Suminta dengan hati terselimut dendam membara.
Teringat akan Wintarsa, Suminta langsung saja melesat keluar dengan maksud untuk
meminta tanggung jawab Wintarsa atas kematian kedua orangtuanya. Tapi, langkah
pemuda itu tertahan ketika di depan rumahnya telah berkumpul beberapa orang
penduduk yang rumahnya
tidak berjauhan dengan tempat tinggal pemuda itu.
"Suminta, kau hendak ke mana...?" tanya salah seorang pemuda sambil melangkah
menghampiri Suminta yang berdiri dengan wajah pucat, dan sepasang mata merah
menyala terbakar api dendam.
"Akan kubunuh keparat keji itu...!" desis Suminta yang membuat tetangganya
bergetar ketika mendengar ucapan pemuda itu.
"Percuma, Suminta. Kalau kau pergi juga, itu sama saja dengan bunuh diri!
Sebaiknya tinggalkan saja desa ini.
Bawa kekasihmu pergi jauh-jauh. Kami tidak bisa berbuat lain kecuali
menasihatimu. Kau tahu sendiri, apa akibatnya orang yang berani mencampuri
urusan pemuda mata keranjang yang jahat itu...," ujar seorang lelaki setengah
baya. Menilik dari ucapan lelaki setengah baya itu, dapat diketahui kalau para
tetangga Suminta telah tahu tentang kematian orangtuanya. Hanya saja mereka


Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tidak bisa berbuat lain, kecuali mengutuk Wintarsa yang berhati iblis itu.
Kalaupun mereka kini memergoki Suminta, itu karena mereka sempat mendengar
raungan pemuda itu di saat melihat ibunya yang tewas tergantung.
"Tidak! Biarpun harus mati, aku tetap akan mendatangi pemuda iblis itu! Ia sudah
tidak pantas lagi untuk disebut sebagai manusia, Ki. Pemuda itu jelas merupakan
iblis berkedok manusia...!" bantah Suminta, tetap berkeras hendak membalas
kemati-an kedua orangtuanya.
"Kalau kau berkeras hendak membalas kematian orangtuamu sekarang juga,
terserahlah. Tapi, perlu kau ingat! Siapakah yang kelak akan membalaskan sakit
hati mereka, bila kau sampai tewas sebelum sempat menyentuh tubuh pemuda iblis itu"
Sampai hatikah kau membiarkan arwah kedua orangtuamu menjadi setan-setan
penasaran karena dendamnya tak terbalaskan" Hanya karena kecerobohan dan
ketololan putranya. Sadarlah, Suminta. Agar dendammu itu terlaksana, sebaiknya
menyingkirlah untuk sementara waktu. Ajaklah kekasihmu meninggalkan desa ini.
Carilah ilmu sebanyak-banyaknya untuk bekalmu membalas kematian orang tuamu.
Mengenai mayat kedua orangtuamu, biarlah kami yang urus."
Ucapan lelaki tua itu membuat hati Suminta lumer.
Kepalanya bagaikan tersiram air dingin. Kesadarannya pun pulih kembali ketika
orang tua itu menyebut-nyebut tentang setan-setan penasaran jelmaan ayah ibunya.
"Terima kasih, Ki. Juga saudara-saudara semua.
Baiklah, aku akan menyingkir dari desa ini sesuai anjuran kalian. Tolong urus
mayat kedua orangtuaku baik-baik.
Mudah-mudahan kelak aku bisa membalas kematian mereka. Agar arwah-arwah mereka
dapat tenang, dan tidak menjadi setan-setan penasaran...," ujar Suminta, setelah
terdiam beberapa saat lamanya.
Kemudian, setelah berpamitan kepada para tetangga, Suminta segera berlari
menerobos kegelapan malam menjelang fajar.
"Hhh...! Satu lagi korban kekejaman pemuda laknat itu. Entah keluarga mana yang
menjadi korban selanjutnya...?" desah lelaki tua berusia lima puluh tahun yang
baru saja menasihati Suminta.
Para penduduk Desa Margaluyu baru bergerak
mengurus mayat kedua orangtua Suminta, setelah bayangan pemuda malang itu lenyap
ditelan kegelapan malam.
*** 2 Tok, tok, tok...!
Ketukan di pintu kayu itu demikian kuat, sehingga membangunkan penghuninya yang
sedang terlelap tidur.
Seorang lelaki setengah baya bergerak ke pintu, setelah menyambar sebilah golok
yang terselip di dinding rumah.
"Siapa...?" tanya lelaki setengah baya itu dengan wajah tegang. Meskipun Desa
Margaluyu tidak pemah dijarah perampok atau sebangsanya, namun lelaki setengah
baya itu tetap saja curiga.
"Aku, Ki. Suminta...," sahut suara di balik pintu yang kedengarannya tegang dan
terburu-buru. Mendengar nama Suminta dan suaranya yang telah dikenal baik, lelaki setengah
baya itu segera membukakan pintu. Seketika wajahnya tampak kaget ketika melihat
wajah Suminta yang masih sembab, seperti habis berkelahi.
"Apa yang terjadi, Suminta..." Mengapa wajahmu penuh luka bekas pukulan...?"
tanya lelaki setengah baya yang bernama Ki Pawaka itu dengan wajah cemas.
Diajaknya Suminta masuk, namun pemuda itu menolak.
"Tidak ada waktu lagi untuk menjelaskannya, Ki. Aku harus segera membawa Darmi
meninggalkan desa ini.
Kedua orangtuaku telah tewas terbunuh. Sedangkan aku dihajar habis-habisan oleh
si keparat Wintarsa dan tukang pukulnya. Dugaanku, pemuda keparat itulah yang
telah membunuh kedua orangtuaku. Itulah sebabnya, aku datang malam-malam begini hendak
membawa Darmi pergi. Mana Darmi, Ki...?" jelas Suminta terburu-buru seraya
menorehkan kepalanya ke kiri dan kanan. Seolah-olah ia khawatir kedatangannya
diketahui orang lain.
"Kakang...! Ada apa..."!"
Seraut wajah manis yang tampak masih kusut, datang menghampiri kedua orang
lelaki itu. Suminta langsung saja menarik tangan Darmi yang tampak keheranan
itu. "Kita harus segera meninggalkan desa ini, Darmi.
Kalau tidak, cepat atau lambat Wintarsa pasti akan menculikmu. Ayolah kita
pergi...!" ajak Suminta.
Wajah Darmi langsung pucat mendengar ucapan kekasihnya. Apalagi ketika
dilihatnya wajah Suminta yang biru sembab seperti habis dipukuli orang.
"Tapi..."
"Nanti kujelaskan di perjalanan. Cepat berkemaslah!
Kita harus meninggalkan desa ini sebelum fajar...!" potong Suminta tanpa memberi
kesempatan kepada kekasihnya untuk bertanya-tanya lagi.
"Cepatlah, Darmi. Menurutku, ini memang merupakan jalan satu-satunya untuk
menghindari pemuda keparat itu...!" Ki Pawaka ikut pula menyuruh putrinya untuk
berkemas. Jelas orang tua itu setuju dengan tindakan Suminta. Karena ia sendiri
sudah merasa putus asa ketika mengetahui bahwa Wintarsa mengincar putrinya.
Tanpa banyak cakap lagi, Darmi segera berkemas.
Kemudian, keduanya berpamitan kepada Ki Pawaka yang mengantarkan kepergian
putrinya dengan mata berair.
"Hati-hatilah, semoga kalian bisa mendapatkan
ketenangan di tempat lain...," ucap Ki Pawaka. Hati lelaki setengah baya itu
sebenarnya sedih karena bagaimanapun juga, ia merasa berat melepas kepergian
putrinya. "Mudahan-mudahan kita dapat bertemu lagi, Ki...,"
ujar Suminta yang diam-diam merasa terharu mendapat kepercayaan dari Ki Pawaka
untuk membawa pergi putri tunggalnya.
Ki Pawaka baru menutup daun pintu rumahnya ketika bayangan Suminta dan Darmi
lenyap ditelan kegelapan.
Kini lelaki setengah baya itu harus memikirkan jalan keluar untuk selamat dari
tumpahan kemarahan Wintarsa, bila pemuda itu datang mencari Darmi.
*** Matahari belum begitu tinggi ketika lima orang penunggang kuda berpacu cepat
meninggalkan Desa Margaluyu. Sikap mereka tampak terburu-buru seperti tengah
mengejar sesuatu. Hal itu terlihat dari cara mereka memacu binatang tunggangan
masing-masing, yang berlari cepat bagaikan dikejar setan.
"Hea..., heaaa...!"
Penunggang kuda yang terdepan adalah seorang pemuda tampan pesolek. Melihat dari
raut wajahnya, usianya paling tidak sekitar dua puluh tahun lebih.
Sepasang matanya tampak seringkali meredup, membayangkan kelicikan dan
kekejaman. Siapa lagi pemuda tampan pesolek itu kalau bukan orang yang dipanggil
sebagai Tuan Muda Wintarsa oleh penduduk Desa Margaluyu.
Sedangkan empat orang lelaki penunggang kuda
lainnya, rata-rata bertubuh kekar dan bermata tajam menyeramkan. Wajah mereka
membayangkan sifat yang kasar dan bengis. Keempat orang itu adalah tukang pukul
Wintarsa. Mereka selalu menyertai ke mana pemuda itu pergi. Meskipun tidak
jarang pemuda itu hanya membawa dua orang dari mereka. Kalau kali ini keempat
tukang pukulnya dibawa, tentu ada sesuatu hal yang membuat pemuda itu marah.
Kelima ekor kuda yang tampak kekar dan kuat itu melesat bagaikan anak panah
membelah semak-semak yang menghalangi jalan. Mereka telah cukup jauh
meninggalkan Desa Margaluyu, dan mulai memasuki jalan berbatu yang tidak rata.
Meskipun demikian, kelima penunggang kuda itu sama sekali tidak memperlambat
lari kudanya. "Itu mereka, Tuan Muda...!" tiba-tiba salah seorang di antara tukang pukul
Wintarsa berseru sambil menudingkan jari telunjuknya ke depan, ke arah dua orang
yang tengah berjalan terburu-buru.
"Hm..., sudah kuduga mereka pasti belum pergi jauh...," gumam Wintarsa
menggeram, menekan kemarahan yang siap meledak
"Celaka...!"
Pemuda tampan berkulit kecoklatan yang berjalan sambil menggenggam tangan gadis
di sampingnya, berseru dengan wajah pucat. Jelas para penunggang kuda yang
berada di belakang mereka telah diketahuinya.
"Bagaimana ini, Kakang...?" terdengar suara gadis manis berkulit kuning langsat
itu penuh kecemasan.
Ternyata mereka adalah Suminta dan Darmi yang
meninggalkan Desa Margaluyu untuk menghindari kekejaman Wintarsa. Sayang, mereka
dapat ditemui oleh orang yang dikhawatirkan itu.
"Berhenti...!" seru Wintarsa keras ketika melihat Suminta dan Darmi berlari
menerobos hutan lebat di sebelah kanan mereka.
Sambil berkata demikian, pemuda itu cepat membedal kudanya yang langsung melesat
dengan kecepatan kilat. Di belakang, empat orang tukang pukulnya bergegas
mengejar dengan jalan menyebar. Jelas mereka hendak menghadang dua orang itu
dari depan. Meskipun Suminta dan Darmi berusaha berlari secepatnya, tapi mereka tak mampu
berpacu dengan kuda-kuda yang kokoh itu. Sebentar saja, dua orang tukang pukul
Wintarsa telah menghadang langkah mereka.
"He he he...! Mau lari ke mana kau, heh..."!" ujar salah seorang tukang pukul
Wintarsa yang berwajah brewok dengan bekas luka di pipi kanannya. Kemudian ia
segera melompat turun dari punggung kudanya, diikuti rekannya.
"Keparat! Kalian benar-benar iblis!" maki Suminta sambil mencabut senjata, siap
melindungi kekasihnya dari ancaman orang-orang kasar itu.
"Hm..., jangan sok berpura-pura sebagai pahlawan, Suminta! Berani sekali kau
membawa lari perempuan yang telah menjadi pilihan tuan muda kami! Rupanya kau
memang patut dibikin mampus...!" geram salah sseorang dari kedua tukang pukul
Wintarsa. "Surgala, tahan...!"
Tiba-tiba terdengar teriakan keras yang mencegah tindakan kedua orang tukang
pukul itu. Wintarsa langsung melompat turun dari atas punggung kudanya.
Kemudian, melangkah lebar dengan sikap sombong menghampiri Suminta dan Darmi.
"Kau benar-benar iblis berkedok manusia, Wintarsa!
Mengapa kau masih juga mengejar kami" Apakah nyawa kedua orangtuaku masih belum
membuatmu puas..."!"
geram Suminta yang benar-benar merasa benci sekali kepada pemuda pesolek di
depannya itu. "Kurang ajar! Apa maksudmu, Suminta" Aku sama sekali tidak mengerti dengan apa
yang kau katakan itu.
Sebaiknya cepat kau serahkan Darmi kepadaku. Dan, kau boleh pergi ke mana kau
suka...!" bentak Wintarsa yang menjadi berang ketika mendengar perkataan Suminta
yang memang tidak dimengerti olehnya, atau Wintarsa berpura-pura bodoh"
"Huh! Sandiwaramu sudah basi, Wintarsa! Semua orang Desa Margaluyu sudah tahu
akan sifatmu yang selalu ingin memiliki apa yang kau inginkan. Kau tidak peduli
apakah caramu itu kotor atau tidak, yang penting keinginanmu terlaksana.
Sekarang kau coba memungkiri perbuatanmu yang telah membunuh kedua orangtuaku
secara biadab!" ujar Suminta tidak kalah gertak.
Suminta kini kelihatan tidak lagi gentar terhadap Wintarsa dan tukang-tukang
pukulnya. Hal itu dikarenakan ia sadar kalau dirinya tak mungkin dapat selamat
lagi. Sehingga, rasa takut yang ada di hatinya segera ditepiskan.
"Keparat! Hajar pemuda bermulut besar itu...!"
perintah Wintarsa dengan wajah berang. Sebentar saja, dua di antara empat orang
tukang pukul pemuda itu telah menerjang Suminta.
"Heaaah...!"
Suminta tidak mau menyerah begitu saja. Cepat pedangnya dikibaskan memberi
perlawanan. Sebentar saja, ketiganya telah terlibat dalam pertarungan yang
sengit, tapi berat sebelah!
Bukkk! Sebuah pukulan keras mendarat tepat di dada Suminta!
Tubuh pemuda itu langsung terjengkang, dan dari mulutnya keluar darah segar!
Meskipun demikian, Suminta bergegas bangkit dan siap melanjutkan pertarungan.
"Kakang...!" seru Darmi seraya memburu tubuh Suminta yang tampak tengah berdiri
bergoyang-goyang merasakan dadanya yang sesak dan seperti remuk itu.
Wintarsa yang melihat gerakan Darmi, segera melesat dan menangkap tubuh gadis
desa itu. Kemudian, memeluknya erat-erat. Dara manis itu hanya bisa menangis
sedih melihat kekasihnya dihajar habis-habisan oleh dua orang tukang pukul
Wintarsa. "Jangan...! Lepaskan Kakang Suminta, biarkan dia pergi! Aku akan menuruti
perintahmu kalau kau mau melepaskannya, Wintarsa...!" seru Darmi di antara isak
tangisnya yang memilukan. Jelas Darmi tidak ingin melihat kekasihnya disiksa
sampai mati. Gadis itu lebih suka mengorbankan dirinya ketimbang melihat
kematian pemuda yang dicintainya.
"Betulkah ucapanmu itu, Darmi...?" tanya Wintarsa
seraya mendekatkan wajahnya ke wajah gadis manis itu.
"Aku memang sudah lama merindukanmu, Darmi. Dan, sebentar lagi kau akan menjadi
milikku. Untuk apa kau pilih Suminta yang bodoh dan miskin itu...?"
"Bebaskan dia, dan aku akan menuruti semua keinginanmu...," ujar Darmi sambil
menghindari ciuman pemuda yang sepertinya sudah kerasukan setan itu.
Sementara itu, Suminta sudah jatuh bangun dipermain-kan oleh dua orang tukang
pukul Wintarsa. Darah segar bercucuran dari mulut dan hidungnya. Meskipun
demikian, kedua orang tukang pukul itu belum juga berhenti menyiksanya.
Desss...! "Huakh...!"
Sebuah tendangan keras kembali menghantam tubuh Suminta. Tubuh pemuda itu
langsung terjengkang dan memuntahkan darah segar. Suminta terkapar tanpa mampu
bangkit lagi. "Hiaaa...!"
Desss...! Kembali sebuah tendangan keras menerpa wajah Suminta. Tubuh pemuda itu tersentak
ke atas, dan jatuh berdebuk ke tanah dengan suara keras. Terdengar suaranya
merintih lirih. Tubuhnya bergerak-gerak lemah, tidak mampu untuk berdiri.
"Kakang...!" Darmi menjerit keras ketika melihat tubuh Suminta terkapar
berlumuran darah. Gadis itu berontak sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari
dekapan Wintarsa. Tapi, tenaga Wintarsa yang kuat membuatnya tak berdaya. Darmi
akhirnya hanya bisa
merintih pilu melihat Suminta yang masih bergerak-gerak lemah di atas tanah.
"Habisi dia...!" Wintarsa kembali memerintah tukang pukulnya, sambil membawa
Darmi yang hanya mampu berteriak-teriak dengan wajah bersimbah air mata.
"Hm..., manusia-manusia kejam...!" Tiba-tiba terdengar teguran halus. Dan
bersamaan dengan itu, muncul sesosok pemuda tampan mengenakan jubah putih
panjang. Sepasang mata pemuda itu menyorot tajam menggetarkan jantung kedua orang tukang
pukul yang hendak menyelesaikan perintah tuannya.
"Siapa kau, Kisanak"! Harap jangan mencampuri urusan kami...!" bentak tukang
pukul berwajah brewok, seraya mengepalkan tinjunya yang besar dan tampak kuat.
Sepertinya ia hendak menggertak pemuda tampan itu, yang menurutnya akan segera
lari ketakutan.
Sayang, pemuda itu sama sekali tidak gentar. Kakinya malah melangkah perlahan
mendekati kedua tukang pukul Wintarsa yang menjadi marah melihat kebandelan
pemuda itu. "Hm..., rupanya kau pun ingin merasakan kerasnya kepalanku...!" geram lelaki
brewok yang bernama Surgala itu. Kemudian, ia melangkah menghampiri pemuda itu,
dan kepalannya langsung dilayangkan dengan separuh tenaga.
Bukkk! "Uuugh...!"
Pukulan keras Surgala mendarat telak di dada lawannya. Tapi, bukannya tubuh
pemuda itu yang terjengkang, melainkan tubuhnya sendiri yang terjajar
mundur. Lelaki kekar itu tampak memijat-mijat kepalan tangannya yang terasa
sakit. Wajahnya tampak dihantui keheranan besar.
Belum lagi keterkejutan Surgala hilang, tiba-tiba terdengar jerit kesakitan,
yang disusul melayangnya sesosok tubuh tegap ke arah mereka.
Brukkk! "Tuan Muda..."!" seru Suminta dan ketiga orang kawannya.
Mereka terkejut sekali ketika mengenali sosok tubuh yang terbanting di dekat
mereka itu. Cepat kepala mereka menoleh ke arah semak-semak, di mana majikan
mereka tadi menghilang. Dan, dari tempat itu muncul seorang dara jelita
berpakaian serba hijau sambil membimbing Darmi. Jelas dara jelita itulah yang
melemparkan tubuh Wintarsa.
"Siapa kalian sebenarnya...?" tanya Surgala bernada menuntut jawaban dari pemuda
tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau, yang telah berdiri
berdampingan mengapit Darmi.
"Hm..., mengenai jati diri kami tidaklah perlu. Yang jelas, kami adalah orang-


Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang membenci tindakan sewenang-wenang!" tegas pemuda tampan berjubah
putih itu dengan suara mantap.
Wintarsa yang baru saja bangkit berdiri, cepat mengebut-ngebutkan pakaiannya
yang terkena debu.
Wajahnya terangkat menatap seraut wajah jelita berpakaian serba hijau. Pemuda
pesolek itu tidak lagi melihat daya tarik Darmi ketika kedua wanita itu berdiri
berjejer. Sampai-sampai Wintarsa menelan air liurnya
melihat dara jelita yang sama sekali belum pernah dijumpainya dalam mimpi
sekalipun. Tak mengherankan kalau pemuda mata keranjang itu tidak bisa berbicara
untuk beberapa saat lamanya. Sepasang matanya yang berminyak, bergerak liar
menjelajahi sekujur tubuh dara jelita berpakaian serba hijau itu.
"Hm...," dara jelita berpakaian serba hijau itu tampak marah. Sepasang matanya
yang besar dan indah itu menyorot tajam. Agaknya ia tidak suka dengan sikap
Wintarsa yang dianggapnya tidak sopan. Dan, tahu-tahu saja tubuhnya melesat ke
arah Wintarsa dengan tamparan keras ke wajah pemuda pesolek itu.
Plakkk! Surgala yang melihat majikannya terancam, segera melesat menyambut datangnya
serangan dara jelita itu.
Akibatnya, tubuhnya terpental balik dan hampir terpelanting. Untunglah salah
seorang di antara kawannya bergerak menyelamatkannya.
"Gila! Kalian ini setan atau manusia..."!" pekik Surgala yang baru kali ini
merasa dipecundangi oleh seorang wanita dengan sekali gebrak! Dan ia sama sekali
tidak bisa mencegah ketika gadis itu melanjutkan serangannya ke arah Wintarsa.
Whuuut...! Tamparan keras yang mendatangkan angin berkesiutan itu luput ketika Wintarsa
menggeser langkahnya ke kiri, dan terus melompat ke belakang. Tentu saja gadis
berpakaian serba hijau itu menjadi penasaran. Maka, ia pun kembali mengejar
dengan serangan berikutnya.
Meskipun merasa gentar, Surgala segera
memerintahkan kawan-kawannya untuk melindungi majikan mereka. Cepat keempat
orang tukang pukul itu menghunus senjata, dan langsung mengeroyok dara jelita
itu. Namun, pemuda tampan berjubah putih itu rupanya tidak tinggal diam.
Tubuhnya langsung melayang, menghadang keempat orang tukang pukul Wintarsa.
"Biarkan mereka bermain-main sebentar. Kalau kalian merasa sudah gatal tangan,
biarlah aku yang akan menghadapi kalian...," ujar pemuda tampan yang berdiri
tegak dan menunggu datangnya serangan lawan.
"Keparat! Kucincang tubuhmu...!" pekik Surgala yang benar-benar jengkel melihat
pemuda tampan itu menghadangnya. Cepat pedangnya dibabatkan secara mendatar
dengan maksud hendak membabat putus tubuh pemuda itu.
Sementara itu, tiga orang tukang pukul lainnya tidak tinggal diam. Mereka
langsung bergerak mengeroyok pemuda tampan berjubah putih itu, yang berloncatan
menghindari sambaran empat pedang lawannya.
Plakkk! Desss...!
Salah seorang lawan yang membacokkan pedangnya dari atas ke bawah, dipapaki
telapak tangan pemuda itu.
Dan ia pun langsung mengirimkan hantaman telapak tangan kanannya ke dada lawan.
Akibatnya, tubuh orang itu terjengkang dan memuntahkan darah segar.
Kemudian, diam tak bergerak lagi. Pingsan!
Surgala dan ketiga orang kawannya menjadi marah bukan main. Mereka menerjang
pemuda tampan itu dengan serangan yang cepat dan kuat. Tapi, lagi-lagi salah
seorang dari pengeroyok itu terpaksa keluar dari arena pertarungan. Tendangan
pemuda tampan itu membuat lawannya langsung pingsan. Melihat dari gerakannya,
kelihatan sekali kalau pemuda itu sengaja tidak menurunkan tangan kejam kepada
lawan-lawannya.
Setelah tiga jurus berlalu, kedua orang lawan terjungkal. Surgala dan seorang
kawannya itu langsung terlempar akibat tamparan keras yang menghantam pelipis
dan perut mereka. Sebentar saja, keempat orang tukang pukul Wintarsa itu sudah
bergeletakan tak berdaya.
*** 3 Setelah menundukkan keempat orang lawannya, pemuda tampan berjubah putih yang
tak lain dari Panji, atau yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih itu
menoleh sekilas ke arah pertarungan lainnya. Menyaksikan betapa dara jelita
berpakaian hijau itu tengah menghajar lawannya hingga jatuh bangun, Panji
melangkah ke arah Suminta yang tengah ditangisi Darmi.
Darmi menyingkir sedikit, seolah-olah hendak memberikan peluang kepada
penolongnya untuk memeriksa kekasihnya. Tanpa banyak cakap lagi, Panji segera
memeriksa Suminta. Namun, pemuda tampan itu hanya bisa menghela napas ketika
mengetahui bahwa Suminta sudah tidak bernyawa lagi. Rupanya luka-luka di sekujur
tubuh pemuda desa itu telah banyak mengeluar-kan darah.
Akibatnya, Suminta menghembuskan napasnya yang terakhir sebelum Panji sempat
menolongnya. "Menyesal sekali, Nisanak. Kawanmu ini tidak bisa tertolong lagi. Relakanlah
kepergiannya...," ucap Panji seraya mengusap wajah Suminta yang tampak sepasang
matanya masih terbuka seperti menyimpan penasaran dan kebencian yang dalam.
"Kakang...," desis Darmi. Air matanya serasa telah habis karena terlalu banyak
menangis. Gadis itu hanya bisa merintih pilu menyaksikan kekasihnya tewas.
"Tabahkan hatimu, Nisanak...," ucap Panji perlahan.
Pendekar Naga Putih yang semula hendak mengangkat mayat Suminta, menjadi
terkejut ketika mendengar pekik kaget di belakangnya. Tentu saja Panji kenal
betul dengan suara kekasihnya. Maka, pemuda berjubah putih itu cepat membalikkan
badan, hendak mengetahui apa yang terjadi dengan kekasihnya.
"Eh"!"
Panji menahan seruannya ketika melihat kekasihnya tampak tersunat mundur dengan
wajah agak pucat. Cepat pemuda itu melesat ke arah pertempuran yang tengah
terhenti. "Hei...! Apa yang terjadi dengan pemuda itu...?" desis Panji yang juga menjadi
terkejut ketika telah berada di dekat Kenanga, yang saat itu tengah berhadapan
dengan Wintarsa.
"Aku tidak tahu, Kakang. Ketika ia terjatuh oleh pukulanku yang keras, tahu-tahu
saja pemuda itu menggereng seperti singa luka. Dan .., wajahnya berubah
mengerikan...!" desis Kenanga dengan wajah agak pucat.
Kelihatan sekali kalau dara jelita itu sangat terkejut melihat perubahan pada
lawannya, yang sama sekali tidak pernah diduganya.
Wajar kalau Kenanga yang semula menghajar habis-habisan pemuda pesolek itu
menjadi terkejut. Ia memang merasa benci melihat perbuatan pemuda itu terhadap
gadis lemah yang ditolongnya. Karena itu, ia sengaja tidak memukul roboh
Wintarsa, tapi menjadikan tubuh pemuda itu bulan-bulanan agar ia kapok. Sungguh
tidak disangka kalau tiba-tiba pemuda pesolek itu berubah menakutkan!
"Grrrrg...!"
Kembali terdengar suara gerengan yang menggetarkan jantung. Suara itu keluar
dari kerongkongan Wintarsa.
Wajah pemuda itu tampak gelap seperti orang yang kehilangan ingatan. Bahkan,
sepasang matanya memancarkan sorot yang demikian menggetarkan jantung. Entah apa
yang sudah terjadi dengan pemuda pesolek itu.
"Hm..., jelas ada sesuatu yang tidak wajar pada diri pemuda itu. Aku belum tahu
apa penyebabnya. Yang pasti, kurasa ia sangat berbahaya sekali. Kau menyingkir
dulu, Kenanga. Biar aku yang akan mengatasinya...," ujar Panji yang sempat
tergetar juga hatinya melihat sorot wajah dan tatapan pemuda pesolek itu.
Namun, yang diincar Wintarsa ternyata bukan Panji.
Terbukti sepasang mata yang merah menyala itu bergerak mengikuti langkah
Kenanga, yang meninggalkan arena pertarungan. Kembali terdengar gerengannya yang
menggetarkan tempat itu.
Meskipun sadar bahwa dirinyalah yang diincar pemuda itu, Kenanga tetap saja
melanjutkan langkahnya. Dara jelita itu sama sekali tidak merasa khawatir kalau
tiba-tiba pemuda itu menyerangnya. Sebab, ia merasa yakin Panji tidak akan
tinggal diam. "Kreaaagh...!"
Mendadak Wintarsa memekik laksana binatang buas yang kesakitan. Berbarengan
dengan itu, tubuhnya yang tegap melayang ke arah Kenanga dengan jari-jari ter-
kembang, siap mencengkeram tubuh dara jelita berpakaian hijau itu.
"Hm...," Panji tentu saja tidak tinggal diam. Bagai kilat, tubuh pemuda tampan
itu melesat cepat memotong
gerak lawan yang hendak mencelakai kekasihnya.
Plakkk! Plakkk!
"Heh..."!"
Terdengar benturan keras dua kali berturut-turut yang memekakkan telinga. Dan,
kedua sosok tubuh yang saling berbenturan lengan itu sama-sama terdorong ke
belakang. Tentu saja Panji tidak menduga sama sekali kalau lawannya memiliki kekuatan yang
hebat. Dengan gerakan yang indah, tubuh Pendekar Naga Putih berputar dua kali di udara,
kemudian mendarat ringan di atas tanah. Namun, pemuda itu menjadi terkejut
ketika melihat tubuh lawannya kembali sudah melayang mengejar Kenanga.
"Gila...! Hebat sekali pemuda itu...!" desis Panji yang tentu saja jadi tidak
habis pikir. Kalau memang pemuda itu benar-benar memiliki kepandaian tinggi,
mengapa ketika Kenanga menolong Darmi, ia bisa dihajar dengan mudah"
Tapi, Panji tidak sempat lagi memikirkan keanehan itu lebih jauh. Sebab, saat
itu Kenanga telah bertarung dengan Wintarsa. Tampak Kenanga terdesak oleh
serangan-serangan ngawur, tapi berbahaya dari pemuda itu. Cepat Panji melesat
memasuki arena pertempuran.
"Hait...!"
Plakkk, plakkk.... Desss...!
Begitu memasuki arena pertarungan, Pendekar Naga Putih langsung memapaki
tamparan Wintarsa dan mengirimkan sebuah pukulan keras yang telak menghantam
dada kiri pemuda itu. Akibatnya, tubuh pemuda pesolek itu terpental ke belakang
sejauh satu tombak lebih. Namun, kembali Panji diliputi keheranan besar.
Hantaman telapak tangannya yang mampu meremukkan batu karang itu, ternyata sama
sekali tidak membuat tubuh lawannya luka. Bahkan, saat telapak tangannya
menyentuh dada pemuda aneh itu, Panji merasakan dari tubuh pemuda itu ada sebuah
kekuatan yang menolak hantaman telapak tangannya. Tentu saja Pendekar Naga Putih
menjadi semakin terkejut dan heran!
"Tahan...!" tiba-tiba Panji mengeluarkan bentakan nyaring ketika melihat pemuda
aneh itu sudah bersiap hendak menerjangnya kembali.
Pendekar Naga Putih memang sengaja mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya melalui
bentakan itu. Hal itu dilakukannya untuk melenyapkan pengaruh kekuatan sihir
yang mungkin berada dalam diri pemuda pesolek itu.
Tapi, bentakan itu sama sekali tidak membuat Wintarsa berubah. Sosoknya tetap
menggetarkan dengan sorot mata memerah!
Kenanga sendiri yang mendengar bentakan kekasihnya, terjajar limbung. Untunglah
tenaga saktinya cukup untuk melindungi isi dadanya dari guncangan hebat akibat
bentakan itu. Kalau tidak, gadis ini mungkin sudah jatuh pingsan.
Darmi, gadis desa yang tidak memiliki ilmu silat itu, merasakan akibat bentakan
yang dikeluarkan Panji. Gadis berwajah manis itu seperti diangkat dari tempat
duduknya. Sehingga, ia jatuh dan tak sadarkan diri.
Untung saja jarak Darmi dan Panji terpisah tiga tombak lebih. Kalau tidak sejauh
itu, mungkin Darmi terpaksa
harus merelakan nyawanya melayang dari badan.
Wintarsa sendiri menjawab bentakan Panji dengan sebuah gerengan yang tidak kalah
kuatnya. Bahkan angin berhembus keras ketika pemuda itu mengeluarkan gerengannya
yang panjang. Sehingga, Panji sendiri terpaksa mengerahkan tenaga saktinya untuk
melindungi dada.
"Kenanga, bawa gadis itu menjauhi tempat ini...!" seru Panji mengingatkan
kekasihnya akan bahaya yang menimpa Darmi. Untunglah gadis itu telah jatuh
pingsan. Kalau tidak, nasibnya tidak akan tertolong lagi!
Kenanga yang merasakan kedua kakinya hampir lumpuh akibat gerengan Wintarsa,
segera bergerak mendekati Darmi. Kemudian membawa tubuh gadis desa itu menjauhi
arena pertarungan yang benar-benar mengerikan itu.
"Hm..., kalau didiamkan, pemuda ini jelas sangat berbahaya. Ia sepertinya tidak
sadar dengan apa yang dilakukannya. Satu-satunya jalan, aku harus
menundukkannya...," gumam Panji seraya mengerahkan seluruh kekuatan 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan'.
Wintarsa kembali mengeluarkan gerengan menggetarkan ketika merasakan hawa dingin
yang menusuk tulang, berhembus menerpa tubuhnya. Kemudian, kakinya bergerak maju
dengan langkah-langkah aneh seperti orang mabuk. Bahkan gerakan kedua lengannya
terlihat sangat kacau dan tidak beraturan. Meskipun demikian, angin yang
ditimbulkan terdengar bercicitan menulikan telinga. Jelas, pada sepasang lengan
pemuda itu menyembunyikan kekuatan yang hebat.
"Gila...! Ilmu apa yang dipergunakannya..." Tampaknya demikian kacau dan tidak
beraturan. Tapi, kekuatannya jelas sangat berbahaya. Semua itu mudah ditebak
dari sambaran angin yang tercipta dari putaran lengannya.
Benar-benar aneh pemuda ini...!" gumam Panji sambil bergerak memutar ketika
melihat lawannya semakin mendekat.
"Keeekh...!"
Diiringi pekikan aneh yang sama sekali belum pernah didengar Panji sebelumnya,
tubuh pemuda aneh itu melayang ke arah lawannya dengan ca-karan-cakaran yang
bercicitan merobek udara. Jelas, sambaran yang menimbulkan angin dan menyakitkan
gendang telinga itu sangat berbahaya. Bahkan, samar-samar tercium bau racun
keluar dari sambaran tangannya.
"Heah...!"
Pendekar Naga Putih bergerak ke kanan dengan lompatan kecil, sehingga sambaran
cakar lawan dapat dielakkan. Kemudian, ia langsung membalas dengan sebuah
tamparan keras ke arah pelipis lawannya. Namun, ketika serangannya dapat
dihindari, Panji segera mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah perut
lawannya. Plakkk! Kembali keduanya terjajar ke belakang ketika tendangan Panji ditepiskan telapak
tangan lawannya.
Keduanya kembali saling terjang dengan hebatnya, membuat sekitar arena
pertarungan seperti dilanda angin topan yang keras. Pepohonan di sekitar tempat
itu berderak-derak bagaikan hendak patah.
Kenanga yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan, menjadi tegang hatinya.
Dara jelita itu benar-benar tidak mengerti, mengapa pemuda tampan yang semula
seperti tidak berdaya menghadapi serangannya tadi, kini terlihat sangat tangguh
sekali. Bahkan Panji sendiri kelihatan cukup sulit untuk menundukkannya cepat-
cepat. Kejadian itu benar-benar membuat Kenanga tidak mengerti.
Sementara itu, pertarungan sengit antara Panji dan Wintarsa masih terus
berlanjut. Panji sendiri menjadi penasaran ketika lewat dari enam puluh jurus,
ia belum juga mampu menundukkan lawannya. Bahkan, untuk mendesak pun sangat
sulit. Karena jurus-jurus aneh lawannya benar-benar sangat tangguh, dan
merupakan benteng pertahanan yang sangat kuat.
"Yeaaah...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan puluh, Pendekar Naga Putih
mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'
yang sangat jarang dipergunakannya. Karena hanya dengan suara pekikannya saja,
Panji dapat membunuh lawannya.
Lantaran pembuluh darah lawannya bisa pecah, akibat pekikan maut itu.
Tapi, untuk kesekian kalinya, Panji kembali harus memuji kehebatan lawan.
'Pekikan Naga Marah'nya sama sekali tidak menimbulkan pengaruh apa-apa pada
Wintarsa, yang juga mengeluarkan pekikan menggetarkan. Jelas, kali ini Pendekar
Naga Putih benar-benar menemui lawan yang sangat tangguh!
"Eaaarghhh...!"
Ketika pertarungan menginjak jurus yang kedelapan
puluh lima, mendadak Wintarsa mengeluarkan gerengan aneh mirip raung singa yang
sekarat. Berbarengan dengan itu, ia segera menerjang lawan dengan gerakan-
gerakan yang semakin bertambah cepat Dan Panji sendiri menjadi repot dibuatnya.
Desss...! "Hukkkh...!"
Panji tidak sempat lagi mengelakkan sebuah tendangan kuat yang singgah di
perutnya. Akibatnya, tubuh pemuda tampan berjubah putih itu terpental ke
belakang, sejauh satu setengah tombak.
Untunglah tubuhnya telah dilindungi lapisan kabut bersinar putih keperakan,
sehingga tidak membuat pemuda itu terluka parah. Dan, ketika tubuh lawan sudah
meluncur dengan kecepatan kilat hendak menghabisi nyawanya, Panji bergerak ke
kiri sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran. Dari sebelah bawah, sepasang
telapak tangannya yang berisikan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan', langsung
menghantam tubuh Wintarsa dengan telak!


Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Desss...! "Huakhhh...!"
Kali ini Panji yakin bahwa lawannya tidak mungkin selamat lagi. Sebab,
pukulannya itu dikerahkan dengan seluruh kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Tapi, apa yang diduga Pendekar Naga Putih ternyata meleset. Meskipun lawannya
memuntahkan darah segar, namun tetap saja belum mampu membuat pemuda aneh itu
tewas. Dan, Panji hampir tidak mempercayai kenyataan yang berada di hadapannya
itu. "Gila...! Bagaimana mungkin ia masih dapat selamat dari pukulanku..." Seberapa
kebal pun tubuhnya, paling tidak tulang-tulangnya pasti remuk..."!" desis Panji
sambil menggeleng-gelengkan kepala penuh kekaguman. Tapi, sebelum Pendekar Naga
Putih sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba Wintarsa berseru seraya mengibaskan
kedua tangan kearahnya.
"Heh..."!" Panji berseru kaget ketika dari kedua telapak tangan Wintarsa
menyebar bubuk-bubuk beracun berwarna merah muda.
Pendekar Naga Putih cepat melompat ke belakang sambil memutar sepasang lengannya
untuk menghalau bubuk-bubuk beracun, yang menutupi pandangannya.
Panji terpaksa harus berhati-hati dengan racun yang ditebarkan lawannya. Sebab,
dengan kepandaian lawannya yang sangat tinggi, bukan tidak mungkin racun yang
digunakannya dapat mematikan.
"Keparat...!" geram Panji ketika tidak melihat sosok lawannya.
Memang, pada saat Pendekar Naga Putih sibuk menghalau bubuk-bubuk beracun itu,
Wintarsa telah lenyap.
Bahkan, keempat sosok lelaki berpakaian hitam yang menjadi tukang pukul pemuda
pesolek itu pun lenyap entah ke mana.
"Ke mana perginya pemuda aneh itu, Kakang...?" tegur Kenanga yang melangkah
menghampiri Panji ketika melihat pertempuran telah berakhir. Gadis itu heran
ketika tidak menemukan sosok pemuda aneh yang menjadi lawan kekasihnya.
"Hhh..., aku sendiri tidak tahu. Karena khawatir
dengan bubuk beracun yang berbahaya itu, maka aku melompat menjauhi racun yang
menuju ke arahku.
Apakah kau tidak sempat melihatnya tadi...?" Panji balik bertanya karena mungkin
saja dara jelita itu melihatnya.
"Arena pertarungan terlalu gelap dipehuni asap merah muda. Sehingga aku tidak
bisa melihatnya...," jawab Kenanga yang juga tidak sempat melihat sosok pemuda
aneh itu. "Hm..., kalau begitu, tinggal satu-satunya orang yang tahu siapa sebenarnya
pemuda itu. Dan, kita harus menanyakan kepadanya...," gumam Panji setelah
berpikir beberapa saat lamanya. Kemudian, kakinya melangkah bersama Kenanga ke
arah tempat di mana gadis itu meninggalkan Darmi.
Namun, setibanya di tempat persembunyian Kenanga tadi, keduanya tidak menemukan
sosok Darmi. Tentu saja kenyataan itu membuat Panji dan Kenanga menjadi
kebingungan. Sebab mereka sama sekali tidak melihat ataupun mendengar langkah
kaki orang yang melarikan diri.
"Aneh..., ke mana perginya gadis desa yang malang itu...?" desis Panji yang
menjadi tidak mengerti dengan apa yang telah dialaminya. Sebab, mana mungkin
keduanya dikecoh oleh seorang gadis desa yang lemah itu.
"Mayat pemuda kawannya itu pun sudah tidak ada di tempatnya semula, Kakang...,"
ujar Kenanga setelah mengedarkan pandangannya, dan tidak menemukan mayat pemuda
desa yang disiksa empat orang berpakaian hitam tadi. "Apa sebenarnya yang telah
terjadi di tempat ini...?"
Panji termenung seolah hendak mencari jawaban dari
semua kejadian aneh yang dialaminya barusan. Namun, meskipun telah memeras
otaknya, tetap saja apa yang baru saja dialaminya itu belum terpecahkan.
Sehingga, pemuda tampan itu hanya terdiam, tidak menjawab pertanyaan kekasihnya.
"Apakah semua ini hanya merupakan tipuan dari seorang ahli sihir, Kakang...?"
tanya Kenanga lagi yang sepertinya belum bisa melenyapkan semua keanehan itu
dari pikirannya.
"Tidak mungkin, Kenanga. Kalau benar semua ini hanya permainan sihir, pasti
sudah punah ketika aku berteriak dengan menggunakan tenaga dalam tadi. Tapi,
nyatanya tidak. Bahkan pemuda aneh itu sanggup membalas pekikanku dengan tidak
kalah hebatnya. Hanya yang menjadi pertanyaan bagiku sekarang, mengapa gadis
desa dan mayat pemuda itu juga lenyap" Apakah mungkin kalau gadis desa yang
kelihatan lemah dan hanya bisa menangis itu sanggup membawa mayat pemuda itu"
Atau..., mungkin juga ada seorang tokoh sakti yang telah menyelamatkannya tanpa
setahu kita...," hanya itu yang terpikirkan oleh Panji. Sebab, memang tidak ada
jalan lain yang bisa digunakan sebagai pemecahan masalah itu.
"Yahhh..., mungkin dugaan itulah yang paling benar untuk saat ini, Kakang...,"
desah Kenanga, menyetujui dugaan Panji.
"Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini, Kenanga.
Dan, kita harus dapat mencari jawaban dari semua kejadian aneh ini...," ujar
Panji, mengajak Kenanga meninggalkan tempat itu untuk mencari kunci jawaban dari
semua keanehan yang baru saja dialami mereka.
4 Hari masih pagi. Matahari baru saja menampakkan cahayanya yang kuning keemasan.
Kehangatan segera menyapu permukaan bumi. Namun, penduduk Desa Margaluyu tampak
berduyun-duyun menuju balai desa.
Wajah mereka tampak diliputi tanda tanya besar.
Apa yang menimbulkan rasa penasaran di hati para penduduk desa barulah terjawab
setelah mereka tiba di balai desa. Sebab, di depan pintu gerbang bangunan itu
terdapat dua sosok mayat manusia yang digantung secara biadab,
"Iblis...!" desis seorang lelaki setengah baya dengan wajah membayangkan
kengerian yang amat sangat. "Hanya iblislah yang tega melakukannya...."
"Hei...! Bukankah itu Suminta dan Darmi..."!" seru seorang laki-laki bertubuh
gemuk, berusia sekitar empat puluh tahun. Jari telunjuknya ditudingkan ke arah
dua sosok mayat itu. Jelas, mayat-mayat yang digantung di depan gerbang balai
desa itu dikenalinya.
Beberapa orang lelaki yang tampaknya kawan dari lelaki gemuk itu tidak berani
menyahut sama sekali.
Wajah-wajah mereka tampak pucat karena merasa ketakutan ketika mendengar ucapan
kawannya yang agak keras itu.
"Jangan mencari perkara. Sebaiknya, kita berpura-pura tidak mengenali mayat-
mayat itu. Apa kau ingin bernasib
seperti mereka...?" bisik salah seorang kawannya, yang rupanya mengkhawatirkan
nasib lelaki gemuk itu.
Sehingga, lelaki gemuk itu menjadi bungkam seperti baru menyadari kesalahannya.
Saat itu matahari semakin naik tinggi. Penduduk Desa Margaluyu tampak semakin
banyak yang berdatangan.
Desa itu pun menjadi gempar menyaksikan kejadian yang benar-benar membuat hati
mereka resah itu.
Seorang lelaki kekar berusia sekitar empat puluh tahun tampak berusaha mendekat
dengan jalan menyeruak kerumunan para penduduk desa. Melihat dari sikapnya yang
tegas dan gagah, serta beberapa orang berseragam hitam yang menyertainya, jelas
lelaki gagah itu merupakan seorang yang berpengaruh di Desa Margaluyu.
"Hayo..., hayo menyingkir! Beri jalan untuk Ki Dungkala...!" terdengar salah
seorang dari enam lelaki berseragam hitam itu berteriak-teriak sambil
mengibaskan lengannya ke kiri dan kanan. Orang-orang desa yang berkerumun itu
pun segera menyisih, memberi jalan kepada lelaki gagah yang bernama Ki Dungkala
itu. "Hm..., benar-benar keji sekali... Entah siapa yang demikian tega melakukan hal
ini...?" desis lelaki gagah itu seraya menatap mayat yang tergantung di atas
pintu gerbang balai desa.
Kepala Ki Dungkala menggeleng-geleng melihat keadaan mayat wanita muda yang
pakaiannya tidak karuan itu. Sekali pandang saja, dapat diduga apa yang telah
terjadi dengan gadis itu sebelum terbunuh. Sedangkan mayat lelaki muda di
sebelahnya tampak seperti telah menerima siksaan sebelum kematiannya. Benar-
benar sebuah perbuatan yang sangat keji dan tidak berperikemanusiaan.
Setelah memperhatikan kedua sosok mayat itu, Ki Dungkala menatap kerumunan
penduduk. Kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling.
"Saudara-saudara sekalian, siapa di antara kalian yang mengenali kedua mayat
yang malang ini..."!" terdengar suara Ki Dungkala mengatasi suara bising yang
bagaikan dengungan lebah itu.
Sebentar saja suasana menjadi sunyi. Para penduduk desa itu saling berpandangan
satu sama lain. Seolah hendak mencari siapa di antara mereka yang bisa mengenali
mayat-mayat itu.
Cukup lama Ki Dungkala menunggu jawaban dari para penduduk desa. Namun, tak
seorang pun yang terlihat dapat mengenali kedua sosok mayat itu. Melihat hal
itu, Ki Dungkala kembali mengulangi pertanyaannya dengan suara yang lebih keras.
"Saudara-saudara sekalian! Kalau kejadian ini kita biarkan, bukan mustahil bisa
terulang lagi. Dan, bukan tidak mungkin kalau yang menjadi korban selanjutnya
adalah diri saudara ataupun putra dan putri kalian.
Kuharap kalian jangan merasa takut untuk mengadu bagi siapa yang mengenali kedua
mayat ini. Aku yang akan bertanggung jawab atas keselamatan kalian. Sebagai
kepala keamanan di Desa Margaluyu ini, aku mengharapkan bantuan dari kalian
semua...!" ujar Ki Dungkala, yang rupanya dapat menduga mengapa tidak ada
seorang penduduk pun yang berani menyahuti pertanyaannya.
Ki Dungkala menunggu beberapa saat lamanya seraya
mengedarkan pandang matanya berkeliling. Sepertinya ia tidak perlu lagi menunggu
lama, karena seorang lelaki berusia enam puluh lima tahun tampak menyeruak
kerumunan penduduk. Lelaki itu kemudian mendekati tempat Ki Dungkala berada.
"Tuan. Aku sudah tua, dan tinggal menunggu mati saja. Untuk itu aku tidak lagi
merasa takut terhadap ancaman ataupun siksaan. Aku kenal kedua mayat itu.
Mereka adalah Suminta dan Darmi. Keduanya semalam melarikan diri dari desa ini
untuk menyelamatkan diri.
Karena gadis yang bernama Darmi itu diincar oleh putra tunggal Ki Sama Tungga,
orang paling kaya dan berpengaruh di Desa Margaluyu ini. Sedangkan mengenai
siapa yang melakukan hal ini, aku tidak tahu persis. Tapi, semalam kedua
orangtua Suminta telah tewas terbunuh...," bisik lelaki tua itu perlahan.
Rupanya ia tidak ingin ada orang lain yang mendengar keterangannya itu.
"Maksudmu..., Tuan Muda Wintarsa..."!" tegas Ki Dungkala dengan kening berkerut.
Lelaki gagah itu memang sering mendengar selentingan tentang perbuatan Wintarsa.
Tapi, karena tidak pernah mendapatkan bukti yang kuat, Ki Dungkala tidak bisa
bertindak untuk menangkap pemuda itu.
Sedangkan seluruh anggota keluarga sampai para pembantu keluarga Ki Sama Tungga
selalu bisa memberikan kesaksian tentang keberadaan pemuda itu di rumah, saat
peristiwa terjadi. Sehingga Ki Dungkala tidak bisa berbuat apa-apa. Apalagi
kepala desanya selalu memperingatkan agar ia tidak mengganggu keluarga Ki Sama
Tungga "Hm...."
Ki Dungkala terdengar menggumam perlahan ketika melihat anggukan kepala kakek
itu. Wajahnya tampak memerah. Jelas lelaki gagah itu tengah dilanda kemarahan
hebat. "Terima kasih atas keteranganmu, Ki. Aku akan berusaha untuk menangani kejadian
ini sebaik-baiknya...,"
ujar Ki Dungkala seraya menepuk-nepuk bahu lelaki tua itu perlahan. Kemudian,
kepala keamanan desa itu memerintah para pembantunya untuk menurunkan dan
menguburkan kedua mayat Suminta dan Darmi.
Para penduduk desa mulai meninggalkan tempat itu satu persatu. Mereka saling
berbicara satu sama lain.
Seolah masih mempertanyakan tentang siapa mayat yang malang itu. Namun, suasana
menjadi semakin gaduh ketika terdengar jerit kematian yang melengking tinggi
bagaikan merobek angkasa. Teriakan kematian itu membuat sebagian penduduk
melarikan diri berserabutan tanpa arah. Sedangkan sebagian yang lain menoleh ke
arah asal jeritan melengking tinggi itu.
Ki Dungkala yang mendengar teriakan itu segera berkelebat cepat ke arah asal
suara. Hati lelaki gagah itu terkejut bukan main ketika melihat lelaki tua yang
barusan berbicara kepadanya, telah tergeletak tewas. Tubuh lelaki tua itu tampak
menghitam seperti keracunan. Di perutnya tampak tertancap sebilah belati. Jelas
senjata itulah yang telah merenggut nyawanya.
"Biadab...!" desis Ki Dungkala seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling,
seolah hendak mencari orang yang dicurigainya.
Sepasang mata Kepala Keamanan Desa Margaluyu ini kemudian kembali tertuju kepada
mayat lelaki tua yang malang itu. Perlahan tangannya terulur, mencabut belati
yang tertancap di perut mayat itu. Digunakannya sehelai kain agar telapak
tangannya tidak terkena racun, yang mungkin terdapat pada gagang belati itu.
"Urus mayat ini...," perintah Ki Dungkala kepada dua orang lelaki berpakaian
serba hitam yang menjadi bawahannya.
Kemudian, kepala keamanan desa itu melangkah sambil mengamati balati di
tangannya. Keningnya tampak berkerut dalam. Sepertinya ia ingin mengenali belati
itu. Namun, meskipun Ki Dungkala memeras otaknya, tetap saja ia tidak bisa mengenali
belati yang tidak mempunyai tanda-tanda khusus itu. Kemudian, Ki Dungkala
membungkus belati itu dengan kain hitam, dan menyimpannya.
Sepertinya ia merasa belati itu mungkin ada gunanya kelak.
*** Seorang pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian serba hijau,
melangkah lebar memasuki mulut Desa Margaluyu. Keduanya sama sekali tidak
mempedulikan pandangan orang-orang desa yang berpapasan dengan mereka. Keduanya
tetap melangkah tenang, meski pun orang-orang desa itu menatap mereka dengan
rasa curiga. "Hm..., mereka tampaknya seperti tidak menyukai kehadiran kita, Kakang...,"
bisik dara jelita berpakaian
hijau, tanpa menolehkan kepalanya. Pandangan matanya tertuju lurus ke depan.
Sehingga tidak seorang pun yang menyangka ia berbicara. Apalagi bibirnya tidak
kelihatan bergerak.
"Sepertinya begitu," sahut pemuda tampan berjubah putih, juga tanpa menoleh.
Langkahnya tenang dan tetap terayun perlahan. "Tapi, kita tidak perlu
mempedulikannya. Itu hak mereka...."
Setelah agak jauh berjalan, keduanya membelok memasuki sebuah kedai makan yang
menyediakan tempat untuk menginap. Saat itu senja telah datang. Perlahan
keremangan mulai menyelimuti Desa Margaluyu.
Kedua orang muda itu sama sekali tidak mempedulikan tatapan curiga dari beberapa
orang pengunjung kedai, yang menoleh serentak saat keduanya masuk.
Delapan pasang mata itu baru beralih ketika pemuda tampan dan dara jelita itu
mengedarkan pandangan mereka ke sekeliling ruangan. Keduanya duduk dengan
tenang, lalu memesan makanan dan minuman kepada seorang pelayan yang datang
menghampiri. "Penduduk desa ini benar-benar aneh. Lama-lama aku bisa jengkel dengan sikap
mereka yang tidak menyenangkan itu...," gerutu dara jelita berpakaian hijau itu.
Rupanya, ia mulai merasa terganggu dengan pandangan penduduk desa yang jelas-
jelas menaruh rasa curiga dan tidak senang terhadap kehadiran mereka.
Pemuda tampan berjubah putih itu hanya tersenyum mendengar gerutuan kawannya,
yang meskipun pelan namun terdengar cukup jelas. Pemuda itu tampak menghela
napas panjang. "Kenanga..., kita tidak tahu apa yang menyebabkan sikap mereka demikian aneh dan
menjengkelkan. Menurut firasatku, sepertinya di desa ini telah terjadi sesuatu
yang membuat mereka resah. Sehingga, setiap orang asing yang datang ke sini
selalu dicurigai. Jadi, kuharap kau bisa menahan kemarahanmu dan memaklumi sikap
mereka. Biarlah nanti kutanyakan kepada pelayan kedai ini, agar kau tidak penasaran...,"
janji pemuda tampan berjubah putih yang tak lain dari Panji itu. Suaranya agak
berbisik, agar tidak sampai terdengar orang lain.
"Hhh..., terserah Kakang sajalah...," sahut Kenanga seraya melemparkan senyum
untuk menyenangkan hati kekasihnya.
Tidak berapa lama kemudian, pelayan pun datang membawakan pesanan mereka.
Kemudian, menatanya di atas meja dengan rapi. Namun, ketika hendak meninggalkan
meja, Panji menahannya dengan halus.
"Maaf, Paman. Kami ada perlu sebentar...," ujar Panji seraya menatap wajah
pelayan yang sepertinya agak kurang senang. Namun, Panji tidak mempedulikannya
dan melanjutkan ucapannya. "Kami memerlukan dua buah kamar untuk menginap.
Dapatkah Paman menyediakan-nya?"
"Bisa. Kisanak lihat sendiri tulisan di depan kedai ini, bukan?" sahut pelayan
bertubuh kurus itu, tanpa menampakkan kesan yang ramah, sebagaimana seorang
pelayan. Setelah berkata demikian, pelayan itu kembali hendak meninggalkan
Panji. Namun, pemuda itu menahannya.
"Mmm..., ada satu hal lagi yang hendak kami
tanyakan, Paman. Nampaknya ada sesuatu yang meresahkan penduduk desa ini,
dapatkah Paman menjelaskannya...?" tanya Panji lagi.
Pertanyaan pemuda tampan berjubah putih itu ternyata membuat sikap pelayan itu


Pendekar Naga Putih 51 Petaka Kuil Tua di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berubah. Wajahnya yang kurus tampak pucat. Sepasang matanya bergerak liar,
seolah ada sesuatu yang sangat ditakutinya. Bahkan, pada keningnya mulai menitik
butir-butir keringat. Jelas, pelayan itu sangat ketakutan.
"Maaf, aku masih banyak pekerjaan...," ujarnya dengan suara gemetar. Kemudian,
pelayan itu langsung beranjak meninggalkan Panji dan Kenanga yang menjadi
keheranan. Pemuda itu tidak berusaha mencegah. Karena ia bisa memaklumi rasa takut yang
menyelimuti diri pelayan itu.
"Hm..., jelas ada sesuatu yang aneh di desa ini. Kita harus menyelidikinya,
Kakang...," bisik Kenanga sepeninggal pelayan kedai itu. Sepertinya dara jelita
ini penasaran ketika melihat sikap pelayan itu benar-benar mencurigakan.
"Yah..., sepertinya memang begitu. Tapi, entah apa yang telah membuat pelayan
itu demikian ketakutan...?"
sahut Panji dengan nada rendah.
Sesaat kemudian, mereka segera menikmati makanan yang telah terhidang di atas
meja. Sesekali, Kenanga mencuri pandang ke sekelilingnya, seolah hendak
menangkap basah bilamana ada orang yang memperhatikannya. Namun, ternyata tak
seorang pun yang memperhatikan mereka lagi.
Baru saja Panji dan Kenanga menyelesaikan makannya, masuk seorang lelaki gagah
yang ditemani empat orang
lelaki berseragam hitam. Sikap lelaki gagah itu tampak angker dan berwibawa.
Ditambah lagi wajahnya terhias kumis lebat, yang membuat wajahnya semakin
berwibawa bagi orang-orang yang memandangnya.
Baik Panji maupun Kenanga hanya menoleh sekilas ke arah rombongan kecil itu.
Mereka tidak menaruh curiga sama sekali terhadap kelima orang lelaki yang
tampaknya sangat dihormati oleh penduduk setempat. Terbukti pelayan kedai yang
ketakutan tadi, terlihat membungkuk hormat kepada lelaki itu. Demikian pula
dengan beberapa orang pengunjung kedai yang lain. Rata-rata mereka menyapa
dengan nada hormat. Tentu saja hal itu membuat Panji dan Kenanga menjadi
tertarik. Tapi, rupanya Kenanga dan Panji tidak perlu mencari tahu tentang jati diri
lelaki gagah itu. Sebab, mereka langsung melangkah ke meja pasangan pendekar
muda itu. "Maaf, kalau kedatanganku mengganggu Kisanak berdua," ujar lelaki gagah yang tak
lain dari Ki Dungkala.
"Boleh aku duduk bersama kalian...?"
"Tidak mengapa, Paman. Silakan...," sambut Panji yang sedikit heran, dan mulai
menduga-duga apa kira-kira maksud kedatangan lelaki gagah yang langsung
menemuinya itu.
"Aku adalah Ki Dungkala, kepala keamanan desa ini.
Kalau boleh kutahu, siapakah Kisanak berdua ini?" tanya Ki Dungkala seraya
memperkenalkan dirinya kepada Panji dan Kenanga.
"Namaku Panji. Sedang kawanku ini bernama Kenanga. Kami berdua adalah orang-
orang yang biasa melakukan perjalanan jauh, sekadar untuk meluaskan
pengalaman. Harap maafkan kalau kehadiran kami telah merepotkan Paman...," jawab
Panji memperkenalkan diri kepada lelaki gagah itu.
"Hm..., apakah kalian berdua tidak mempunyai keluarga di desa ini...?" tanya Ki
Dungkala lagi sambil menatap wajah Panji, seolah hendak menilai pemuda tampan
berjubah putih itu.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum ditatap seperti itu. Pemuda berjubah putih
ini tidak merasa tersinggung atas pertanyaan Ki Dungkala yang jelas-jelas
bersifat menyelidik.
"Sama sekali tidak, Paman. Kami kebetulan singgah dan akan menginap di desa ini
karena tidak ingin kemalaman di jalan. Apakah Paman merasa keberatan dengan
keberadaan kami di desa ini...?" tanya Panji langsung membuka diri, membuat Ki
Dungkala terpaksa memperlihatkan senyumnya sambil menggelengkan kepala perlahan.
"Sama sekali tidak, Panji. Tapi..., maaf kalau kemungkinan ada sesuatu yang
tidak enak di desa ini.
Karena desa kami tengah menghadapi masalah misterius.
Harap kalian bisa memaklumi sikapku maupun sikap penduduk desa yang mungkin
kurang berkenan di hati kalian. Pagi tadi, baru saja ada peristiwa yang
menggemparkan desa ini. Dua orang penduduk desa kami kedapatan tewas tergantung
di atas pintu gerbang balai desa. Meskipun kejadian-kejadian aneh telah banyak
yang kudengar, tapi baru kali ini ada kejadian yang demikian jelas. Sepertinya
orang-orang jahat itu mulai bertambah berani dalam menteror penduduk desa ini.
Entah apa maksud dari semua ini...?" ujar Ki Dungkala yang sepertinya sudah mempercayai Panji dan Kenanga.
"Hm..., jadi benar dugaan kami kalau penduduk desa ini tengah dilanda
kegelisahan. Siapa kira-kira orang jahat itu, Paman" Apakah tidak pernah ada
yang memergokinya...?" tanya Panji. Pendekar Naga Putih langsung saja
memanfaatkan kesempatan itu untuk mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi
di Desa Margaluyu.
"Hhh..., itulah yang sampai saat ini membuat hatiku penasaran, Panji. Selama
ini, tak ada seorang pun yang berani melaporkan apa yang mereka alami. Sebab,
penjahat itu sepertinya berada di sekitar desa ini, atau paling tidak banyak
menyusupkan anggotanya ke dalam desa. Pagi tadi, di depan mataku ada seorang
warga desa yang mati terbunuh. Orang itu baru saja memberi keterangan padaku
mengenai keberadaan mayat laki-laki dan perempuan yang digantung di gerbang
balai desa. Hm..., benar-benar membuat hatiku penasaran...!" geram Ki Dungkala mengakhiri
ceritanya. "Ah..., sayang kami tiba agak terlambat. Kalau boleh kami tahu, berapakah kira-
kira usia kedua mayat yang digantung itu?" tanya Panji hati-hati. Kemudian,
Pendekar Naga Putih menceritakan kejadian yang pernah dialaminya di luar desa
itu. Sehingga, Ki Dungkala menjadi terkejut setengah mati.
"Hm..., tidak salah lagi. Pastilah pemuda dan gadis itu yang kalian lihat.
Sedangkan pemuda pesolek yang ditemani empat orang laki-laki berseragam hitam,
jelas Wintarsa. Ia adalah putra tunggal juragan kaya itu. Kali ini
mereka tidak bisa mungkir lagi. Hm..., bersediakah kalian berdua memberikan
kesaksian, dan menunjukkan pemuda pesolek yang kalian maksud itu...?" tanya Ki
Dungkala penuh harap.
"Kalau memang diperlukan, kami siap membantu...,"
Kenanga langsung saja menyanggupi, sebelum Panji menjawabnya. Sepertinya dara
jelita itu memang sudah tidak bisa menahan rasa penasaran di hatinya.
"Kalau begitu, marilah ikut aku...," sambut Ki Dungkala dengan wajah cerah.
Hati Ki Dungkala menjadi gembira bukan main.
Selama ini tidak pernah ada orang yang berani membantunya untuk mengungkap
keanehan-keanehan yang terjadi di desa itu. Maka, tanpa banyak cakap lagi, ia
pun segera mengajak Panji dan Kenanga meninggalkan kedai.
*** 5 "Paman, apakah tidak sebaiknya kita tunda dulu rencana ini...?" ujar Panji tiba-
tiba, saat mereka tengah melangkah menuju tempat kediaman Ki Sama Tungga.
Ki Dungkala menahan langkahnya ketika mendengar ucapan Panji. Kenanga serta
empat orang berseragam hitam yang menjadi pengikut Ki Dungkala menghentikan pula
langkahnya. Mereka menatap ke arah pemuda tampan berjubah putih itu dengan
kening berkerut.
"Mengapa, Panji..." Apa yang membuatmu tiba-tiba berubah pikiran?" tanya Ki
Dungkala seraya menatap wajah pemuda itu lekat-lekat. Seolah lelaki gagah itu
hendak membaca apa yang ada dalam pikiran pemuda tampan yang baru saja
dikenalnya itu. Sedangkan Panji sendiri hanya tersenyum, tanpa mengalihkan
tatapan matanya dari wajah Ki Dungkala.
"Apakah perbuatan kita ini tidak terlalu terburu-buru, Paman" Tidakkah sebaiknya
kita pergoki saja pembunuh itu di saat tengah melakukan aksinya" Dengan begitu,
kita bisa menangkapnya langsung, dan sekaligus menghukum-nya...," jelas Panji,
mengajukan alasan.
"Tidak bisa, Panji. Dengan adanya kau dan Kenanga, sudah cukup sebagai saksi
hidup atas kejahatan pemuda sombong itu. Kalau mereka melawan, aku akan
mengerahkan seluruh anak buahku untuk membekuknya, dan sekaligus menghancurkan
tempat tinggal mereka...!
Perbuatan mereka sudah keterlaluan, dan kita tidak bisa mengulur waktu lagi...!"
ujar Ki Dungkala yang sepertinya telah bulat mengambil keputusan untuk membekuk
penjahat yang selama ini menteror desanya.
"Hm... Begini, Paman. Kalau benar dugaan Paman bahwa mereka banyak memiliki anak
buah yang menjadi mata-mata, bukan tidak mungkin rencana kita diketahui oleh
mereka. Dan, kemungkinan kita tidak akan berjumpa dengan pemuda yang bernama
Wintarsa itu. Bisa saja mereka mengatakan pemuda itu tengah pergi mengunjungi
sanak keluarganya di desa lain. Kalau sudah begitu, apa yang bisa kita lakukan"
Apalagi kepandaian pemuda itu sangat tinggi, dan pandai dalam menggunakan racun.
Siapa tahu mereka telah bersiap menyambut kedatangan kita. Menghadapi pemuda itu
saja sudah sangat sulit, apalagi kalau di tempat itu masih ada ayahnya, yang
bukan tidak mungkin memiliki kesaktian lebih tinggi dari Wintarsa. Nah, bukankah
hal itu akan berbahaya...?"
bantah Panji yang rupanya tengah menimbang-nimbang langkah mereka sepanjang
perjalanan. Dan, baru menyampaikannya setelah diperhitungkan masak-masak.
"Wintarsa memiliki kepandaian yang sangat tinggi..."
Aneh" Mungkin kau salah melihat orang, Panji. Setahuku, meskipun Wintarsa
memiliki kepandaian, tapi rasanya tidak mungkin lebih tinggi dari kepandaianku.
Sedangkan Ki Sama Tungga masih lebih tinggi sedikit dari kepandaian putranya.
Itu pun mungkin hanya setingkat di atasku.
Dan, kalau selama ini Wintarsa berbuat sesuka hatinya, itu karena kepala desa
merasa segan terhadap keluarga kaya yang selalu memberikan bantuan, baik berupa
uang atau hal-hal lainnya. Itulah yang membuat aku selama ini belum bisa mengambil
tindakan. Karena kepala desa selalu menyarankan agar aku tidak mengganggu
keluarga itu. Jadi, jelas kau mungkin salah mengenali orang, Panji...,"
jelas Ki Dungkala. Laki-laki gagah ini menjadi ragu ketika mendengar keterangan
Panji tentang kesaktian Wintarsa.
Diketahuinya betul sampai di mana kepandaian yang dimiliki pemuda pesolek itu.
Panji tampak mengerutkan keningnya. Mungkin saja ia memang telah salah melihat
orang, karena belum pernah melihat Wintarsa. Kalaupun ciri-ciri yang
ditunjukkannya mungkin ada persamaan dengan pemuda kaya itu, bisa saja ada orang
Korban Kitab Leluhur 1 Jaka Sembung 10 Mahligai Cinta Sepasang Pendekar Manusia Harimau Jatuh Cinta 5
^