Pencarian

Petualang Sakti 1

Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti Bagian 1


PETUALANG SAKTI Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Petualang Sakti
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Suara gemericik air terdengar menggoda telinga. Di-
tingkahi dengan celoteh manja gadis-gadis desa yang tengah mencuci dan
membersihkan tubuh di sungai.
Semua menyatu dengan kebeningan dan kesegaran
udara pagi itu.
Namun, keceriaan dan kebeningan pagi yang indah
itu tiba-tiba dirusak oleh suara tawa parau yang tidak enak didengar. Karuan
saja gadis-gadis yang tengah
berada di sungai terkejut! Mereka segera membenahi
cuciannya ke dalam keranjang dan bergegas melang-
kah meninggalkan tempat itu. Karena....
"Hua ha ha...!"
Bersamaan dengan suara tawanya yang kembali
terdengar, muncullah sesosok tubuh dari balik semak-semak. Dengan pongah, lelaki
berwajah kasar yang sebelah matanya tertutup kulit binatang dan diikatkan ke
kepalanya itu berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Matanya yang tinggal
sebelah memandang ke
arah gadis-gadis yang tengah berlarian seraya berteriak-teriak ketakutan.
"Gayatri, cepat benahi pakaianmu! Kita harus sege-
ra pergi sebelum orang jahat itu menghampiri tempat ini...!" seorang gadis yang
hendak berlari meninggalkan tempat itu berusaha mengingatkan kawannya akan
adanya bahaya. "Sebentar! Aduuuhhh...!"
Karena terburu-buru melangkah di atas bebatuan
yang licin berlumut, gadis bernama Gayatri itu terpele-set dan jatuh ke sungai.
"Tolooong...!"
Gayatri berteriak dan berusaha menggapai apa saja
yang terjangkau tangannya. Meskipun sungai itu tidak begitu dalam, hanya sebatas
pinggang, namun dasarnya berbatu licin. Hingga gadis desa itu sulit untuk
bangkit berdiri. Apalagi dalam keadaan panik seperti itu. Akibatnya, Gayatri
terseret arus yang cukup deras.
Tak satu pun dari kawan-kawannya yang mempe-
dulikan nasib Gayatri. Mereka sibuk menyelamatkan
diri masing-masing. Tinggallah gadis manis berkulit kuning langsat itu sendirian
terbawa arus. Nasib gadis desa itu rupanya masih cukup baik. Se-
telah terseret sejauh dua batang tombak, ia berhasil menjangkau sebuah batu yang
menonjol di atas permukaan air. Cepat gadis itu menarik tubuhnya dan
bersandar pada batu yang cukup besar itu.
Dengan napas terengah-engah dan tubuh terasa
lemas tak bertulang, Gayatri berpegangan erat meme-
luk batu itu. Sepasang matanya yang bening menatap
berkeliling mencari tumpuan agar bisa naik ke tepi.
Tapi.... "Ohhh..."!"
Gayatri menutup mulutnya menahan jeritan ketika
sepasang matanya membentur sesosok tubuh berwa-
jah beringas. Wajah gadis itu langsung pucat pasi! Sepasang matanya berputar
liar bagai seekor kelinci ketakutan!
"Naiklah, Gayatri. Aku akan menolongmu...," ujar
lelaki berwajah beringas dan bermata liar. Kendati matanya tinggal sebelah, tapi
kelihatan menakutkan. Lelaki itu mengulur tangannya hendak menolong Gayatri.
"Tidak! Jangan dekati aku...! Pergi...!"
Rasa takut Gayatri semakin memuncak ketika lelaki
itu mengulurkan tangannya. Gadis itu berteriak-teriak.
Langkahnya surut ke belakang. Kepalanya digeleng-
gelengkan dengan air mata mengalir turun membasahi
wajahnya yang sudah basah oleh air sungai. Kasihan
sekali gadis itu. Jelas ia sangat ketakutan dan hampir jatuh pingsan karena
hebatnya rasa takut yang me-nyergapnya.
Tapi, lelaki berwajah beringas itu tidak peduli. Ia tertawa-tawa seperti
mendapat mainan yang sangat
menyenangkan. Ketika melihat gadis itu menjauh, le-
laki itu pun turun ke sungai menghampiri gadis itu.
"Pergiii...! Pergiii...!"
Gayatri mengibas-ngibaskan tangannya mengusir
lelaki beringas itu. la merasa serba salah. Mundur ke belakang dan melepaskan
pegangannya pada batu itu
jelas tubuhnya akan terseret arus sungai. Gayatri tidak menginginkan hal itu
terjadi lagi. Sedangkan untuk
maju, lelaki beringas itu sudah menanti dan siap me-nerkamnya seperti seekor
harimau lapar! Akhirnya,
Gayatri hanya bisa diam menunggu apa yang akan
menimpa dirinya.
"Kena!"
Lelaki berwajah beringas itu berteriak kegirangan.
Ia berhasil mencekal lengan gadis malang itu. Tawa
paraunya terdengar saat lelaki itu menyeret tubuh
Gayatri ke tepi sungai.
"Jangan, Kakang...! Kasihani aku...!"
Sambil berusaha melepaskan lengannya dari ceka-
lan lelaki itu, Gayatri merintih memilukan. Untuk berteriak ia tidak sanggup
lagi. Suaranya sudah habis dan serak. Gadis malang itu hanya bisa merintih
dengan suara memelas mengharapkan lelaki itu mau mele-
paskannya. "Jangan menangis, Gayatri. Aku tidak akan menya-
kitimu. Aku sayang dan suka kepadamu. Kita akan
pergi ke dalam hutan agar tidak ada orang yang mengganggu...!" tanpa
mempedulikan isak tangis gadis itu,
dipondongnya tubuh Gayatri dan dibawa pergi dari
tempat itu. Dekapannya demikian kuat, membuat
usaha Gayatri untuk melepaskan diri sia-sia belaka.
Caranya bergerak dapat diketahui lelaki bermata
satu itu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Se-
lang beberapa saat saja sosoknya sudah merupakan
bayangan samar di kejauhan. Kemudian lenyap menu-
ju arah tenggara.
*** Serombongan penduduk Desa Jatilarang berlarian
melintasi jalan setapak yang di kiri dan kanannya ditumbuhi ilalang setinggi
lutut Kemudian mereka bergerak turun ke dataran yang lebih rendah. Terdengar
gemericik air yang menandakan kalau di tempat itu
terdapat sungai.
"Gayatriii...!"
Seorang anggota rombongan yang memegang golok
pada tangan kanannya melompat sambil memanggil
nama seorang gadis. Lalu berdiri tegak mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Namun, sosok yang dicarinya tidak terlihat.
"Di mana tadi kau meninggalkan putriku...?" karena
tidak juga menemukan orang yang dicarinya, lelaki
berwajah kehitaman itu mengalihkan pandangannya
kepada seorang gadis. Dan bertanya dengan nada ting-gi. "Tadi ia terjatuh ke
sungai...," sahut gadis itu sedikit terkejut dengan pertanyaan bernada tinggi
itu. Ia meremas jemari tangannya yang agak gemetar.
"Cepat menyebar ke timur! Barangkali Gayatri ter-
bawa arus...!" perintah itu datang dari laki-laki lain
yang berusia kira-kira empat puluh tahun. Tangan kanannya yang memegang pedang
menuding ke arah ti-
mur. Tanpa membuang-buang waktu, beberapa pendu-
duk bergerak menuju arah yang ditunjuk. Sedang se-
bagian lainnya melangkah ke arah yang berlawanan.
Sementara itu, ayah Gayatri melangkah turun ke
sungai. Diambilnya beberapa potong pakaian yang ter-cecer di atas bebatuan.
"Gayatri...," lelaki itu mengeluh pendek dengan sua-ra serak. Ia mengenali
pakaian yang dibawa putrinya.
Karena tidak juga menemukan tanda-tanda adanya
Gayatri di sungai itu, ia kembali bergerak naik. Kemudian mengedarkan
pandangannya ke atas tepian sun-
gai yang berupa hamparan semak belukar dan rerum-
putan. Ada gambaran putus asa dalam wajah tua yang
kehitaman itu. "Paman...," gadis yang datang bersama rombongan
penduduk menghampiri lelaki tua itu. "Mungkin Gaya-
tri dilarikan Mantara...," sambungnya takut-takut.
Jelas terlihat orang tua itu terkejut ketika gadis itu menyebutkan nama Mantra.
Dipandanginya gadis itu
lekat-lekat Membuat yang ditatap semakin dalam me-
nundukkan kepala.
Sebelum lelaki tua itu mengucapkan sesuatu, ter-
dengar langkah orang banyak mendatangi dari dua
arah. Pancaran wajah mereka menunjukkan Gayatri
belum diketemukan.
"Putri dibawa lari Mantara...!" ujar lelaki tua itu seolah hendak memberi
laporan kepada kawan- kawan-
nya. "Hm.... Benarkah orang gila itu muncul lagi di desa ini...?" laki-laki bertubuh
gagah yang memegang pedang bergumam dengan kening berkerut. Setelah ter-
diam sesaat, ia kembali melanjutkan ucapannya.
"Kalau benar Gayatri dilarikan Mantara, mari kalian semua ikut aku...."
Tanpa banyak cakap, rombongan penduduk itu pun
bergerak menuju arah tenggara. Tampaknya lelaki ga-
gah yang membawa pedang itu tahu di mana Mantara
tinggal. Sementara yang lainnya menuju sebuah hutan di
sebelah tenggara Desa Jatilarang, gadis berlesung pipit yang ikut dalam
rombongan diantar pulang oleh salah seorang penduduk.
Tanpa setahu rombongan penduduk Desa Jatila-
rang, ada sesosok tubuh tegap mengikuti mereka sejak dari desa. Rupanya ia
tertarik melihat rombongan
orang desa berlarian dengan sebagian besar membawa
senjata. Sosok itu mengikutinya sampai ke sungai.
Bahkan saat rombongan penduduk bergerak menuju
tenggara, ia masih mengikuti. Melihat gerakannya yang gesit, agaknya sosok
terbungkus pakaian merah darah itu bukan orang sembarangan!
*** "Hua ha ha...!"
Lelaki berwajah beringas dan bertubuh tinggi kekar
dengan sebelah mata tertutup itu memperdengarkan
tawanya yang parau. Langkahnya terdengar agak ber-
debum saat telapaknya yang besar bergantian menje-
jak tanah. Dan baru berhenti di sebuah gubuk seder-
hana tempat persinggahan para pemburu.
"Nah, kita sudah sampai, Adik Gayatri yang can-
tik...," ujar lelaki bermata satu dengan suara parau dan berat Kemudian melempar
tubuh Gayatri ke atas
tumpukan jerami kering.
Gayatri mengeluh pendek. Walau tubuhnya tidak
merasa sakit, namun hatinya terluka saat lelaki bermata satu itu melemparkannya
ke atas tumpukan je-
rami kering. "Kasihani aku, Kakang Mantara.... Jangan sakiti
aku...," Sambil menelungkupkan wajahnya di atas tumpu-
kan jerami, Gayatri terus merintih dengan air mata
berlinang membasahi wajahnya. Tapi, Mantara hanya
tertawa dan melompat-lompat seperti anak kecil. Melihat matanya yang liar serta
sikapnya yang kurang ajar, jelas Mantara agak kurang waras.
Dengan langkah lebar, Mantara bergerak meng-
hampiri Gayatri. Pakaian rompinya dilepaskan, sehing-ga memperlihatkan dadanya
yang kekar berotot dan ditumbuhi bulu-bulu halus. Kemudian tubuhnya dija-
tuhkan di samping gadis itu, yang menjadi semakin
ketakutan. Apalagi ketika lengan yang besar dan ber-bulu itu melingkari
tubuhnya. Gadis itu meronta dan berusaha melepaskan diri.
Perlawanan yang dilakukan Gayatri malah mem-
buat Mantara semakin bernafsu. Jari-jari tangannya
yang kasar menggerayangi tempat-tempat terlarang di tubuh gadis desa itu.
Pakaian Gayatri pun direnggut-nya!
Brettt..! "Auuuwww...!"
Gayatri berteriak ngeri merasakan pakaian pada
bagian dadanya terkoyak, menampakkan dua bukit
kembar yang putih mulus. Mantara pun semakin ber-
tambah ganas dan kasar. Tidak dipedulikannya teria-
kan maupun sumpah-serapah gadis malang itu. Man-
tara benar-benar telah kerasukan setan!
Apalah daya gadis lemah seperti Gayatri menghada-
pi Mantara yang bertubuh kekar dan memiliki tenaga
raksasa. Akhirnya gadis itu tak bisa lagi berteriak dan memberontak. Tubuhnya
terasa lemas oleh pelukan
Mantara. Suaranya pun sudah serak, nyaris tak ter-
dengar lagi. Tapi pada saat Mantara hampir berhasil memua-
skan nafsu setannya, tiba-tiba terdengar bentakan keras!
"Jahanam...!"
Bersamaan dengan bentakan itu, seorang lelaki tua
datang menerjang dengan golok telanjang! Senjata berkilat itu terayun deras ke
punggung Mantara!
Wuttt, crakkk...!
"Aaakh...!"
Mantara memekik kesakitan! Darah meleleh dari
luka akibat bacokan itu. Tapi, ketajaman golok itu se-pertinya tidak terlalu
berarti bagi Mantara. Luka yang diderita lelaki kekar itu tak ubahnya sayatan
pisau. Mirip sebuah goresan sepanjang setengah jengkal.
Meskipun luka bacokan di punggungnya tidak begi-
tu berarti, namun sudah cukup membuat Mantara me-
raung murka. Seketika itu juga nafsu iblisnya lenyap, berganti dengan kemarahan
yang menggelegak dan
menyesakkan dada. Mantara melompat bangkit dan
berbalik dengan wajah merah padam!


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayaaah..."!"
Gayatri yang nyaris menjadi korban kebiadaban
Mantara berseru lirih. Tubuhnya diseret merapat ke
dinding pondok. Kedua tangannya sibuk menaikkan
pakaiannya yang terkoyak. Gadis itu berhasil menutu-pi bagian dadanya yang
terbuka. Sedangkan orang tua itu sendiri tidak lagi memper-
hatikan putrinya. Ia benar-benar marah melihat per-
buatan lelaki kekar itu terhadap Gayatri. Dan tidak la-gi teringat akan rasa
takutnya pada orang gila itu.
"Kau sungguh biadab, Mantara! Rupanya keper-
gianmu selama ini bukannya membuat pikiranmu wa-
ras! Kegilaanmu malah semakin menjadi-jadi! Orang
sepertimu tidak pantas dibiarkan hidup di atas muka bumi ini...!" bantah ayah
Gayatri yang kemarahannya sudah mencapai ubun-ubun. Golok di tangan kanannya
tampak bergerak, dan siap dihujamkan ke tubuh
lelaki kekar yang kurang waras itu.
Mantara menggeram bagai banteng luka. Matanya
yang hanya sebelah berputar liar. Saat itu ia sudah terkurung oleh kurang lebih
dua puluh orang bersenja-ta! "Hmh...!"
Dengan menggeram keras, Mantara bergerak ke de-
pan mengayunkan kepalan kanannya ke arah orang
tua Gayatri. Rupanya ia ingin membalas perbuatan
orang tua itu. Namun, orang tua yang tengah dilanda kemarahan
hebat itu sedikit pun tidak merasa gentar. Disambutnya kepalan Mantara dengan
tebasan golok. Ia ingin
membabat putus lengan lelaki kekar itu. Dan....
Takkk! "Uhhh..."!"
Tebasan golok orang tua itu tepat mengenai perge-
langan tangan Mantara. Tapi yang terjadi kemudian
benar-benar membuat penduduk Desa Jatilarang ter-
peranjat dengan wajah pucat! Lengan Mantara tetap
utuh! Justru golok lawanlah yang terpental balik. Tubuh orang tua itu terjajar
mundur beberapa langkah!
"Gila...! Dia..., kebal terhadap senjata tajam..."!" se-ru salah seorang
penduduk yang bergerak mundur
dengan hati gentar!
"Kurang ajar...!" rupanya setelah menjalani kehidu-
pan liar di dalam hutan, tubuhnya bertambah kuat...!"
lelaki gagah yang memegang pedang pun terperanjat
kaget melihat kejadian yang tidak pernah disangkanya itu. Mantara sedikit pun
tidak mempedulikan seruan-seruan kaget pengepungnya. Ia segera menerkam tu-
buh lawan dengan sepasang lengan terkembang. Dan...
"Hekh !!.!"
Sepasang lengan berjari-jari kokoh itu mencekik ba-
tang leher lawan. Orang tua itu meleletkan lidah merasakan jalan nafasnya
tersumbat cekalan sekeras japi-tan baja!
"Hattt...!"
Untunglah lelaki gagah itu tidak tinggal diam. Pe-
dang di tangannya langsung disabetkan ke lengan
Mantara. Wuttt.., takkk!
Lagi-lagi lelaki gagah itu harus menerima kenyataan yang mengejutkan! Kendati
cekalan Mantara berhasil
lepas, namun lengan lelaki kekar itu tetap utuh! Hanya terdapat bilur-bilur
merah bekas tebasan mata pedang.
Jelas sudah Mantara memiliki kekebalan tubuh yang
hebat! Tapi meskipun kulit tubuhnya tidak mudah terluka,
terutama saat Mantara mengerahkan tenaga, tapi rasa sakit tetap dirasakannya.
Terbukti ia sempat mengusap lengannya yang terkena babatan pedang. Wajah-
nya pun berkerut seperti sedang menahan sakit
Mantara menatap garang lelaki gagah yang kini ber-
diri di hadapannya. Mulutnya bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu.
Tapi, yang terdengar
hanya geraman kemarahan.
Lelaki gagah itu rupanya tahu apa yang hendak di-
ucapkan Mantara. Sebab kemudian ia berkata kepada
lelaki kekar yang tidak waras itu.
"Kau masih ingat kepadaku, Mantara," tegur lelaki
gagah yang dijawab Mantara dengan menggeram keras!
Urat-urat wajah lelaki kekar itu tampak mengembung.
Sinar matanya memancarkan dendam yang dalam!
"Menyesal aku tidak membunuhmu pada waktu itu!
Aku sengaja membuangmu ke dalam hutan. Karena
aku masih berharap kau dapat sembuh dan kembali
hidup normal. Ternyata setelah berdiam di hutan se-
lama setahun lebih, kegilaanmu semakin menjadi-jadi!
Sifatmu yang suka mengganggu dan menyakiti orang
lain malah meningkat! Sekarang kau hendak menyakiti dan menodai kehormatan
Gayatri! Untuk perbuatan
biadab mu itu terpaksa kau harus dilenyapkan!" lanjut lelaki gagah itu yang
rupanya pernah mengalahkan
dan menghajar Mantara setahun yang silam, lalu
membuangnya ke dalam hutan.
Sebenarnya sosok Mantara tidak asing lagi bagi me-
reka. Lelaki kekar itu adalah penduduk Desa Jatilarang. Pada dasarnya lelaki
kekar itu memang sangat sombong dan sering berkelahi. Sehingga tidak ada satu
pun penduduk yang berani menentangnya. Terlebih setelah Mantara gila. Setelah
gagal mengikuti ujian menjadi perwira kerajaan. Meskipun kegilaannya hanya
kadang-kadang, namun sangat mengganggu ketente-
raman penduduk. Sehingga, lelaki gagah yang menjadi tangan kanan Kepala Desa
Jatilarang terpaksa turun
tangan. Lelaki tinggi kekar itu akhirnya dibuang ke dalam hutan, dan diancam
bila berani kembali ke desa.
Tapi setelah setahun lebih berdiam di dalam hutan,
kegilaan Mantara semakin menjadi-jadi. Tidak jarang ia menghadang orang-orang
yang lewat di pinggir hutan. Kemudian lari bersembunyi saat lelaki gagah itu
datang bersama penduduk. Siapa sangka kalau akhir-
nya Mantara berani memasuki desa. Malah menculik
Gayatri, dan nyaris menodai gadis malang itu. Bahkan kali ini ia tidak kelihatan
gentar menghadapi orang yang pernah menghajarnya. Selain itu, tubuh Mantara pun
bertambah kuat Sehingga, tidak mudah untuk di-lukai senjata tajam bila sedang
mengerahkan tena-
ganya. Kalau tadi punggungnya dapat terbeset golok, itu karena Mantara lengah.
Mantara tentu saja tidak lupa dengan orang yang
telah menghajarnya habis-habisan itu. Dendam di da-
lam dadanya semakin dalam ketika kembali berhada-
pan dengan lelaki gagah yang bernama Ki Kalayan. Lelaki gagah itulah yang telah
melenyapkan sebelah matanya setahun yang lalu. Maka tidak aneh jika saat ini
Mantara siap membalas perlakuan Ki Kalayan. Itu terlihat jelas pada tatapan
matanya. Kali ini Ki Kalayan kelihatan tidak berani meman-
dang remah Mantara. Ia telah merasakan kekebalan
tubuh laki-laki kekar itu. Sikapnya sangat hati-hati melihat pancaran dendam
dalam mata Mantara. Ki Kalayan dapat menduga Mantara siap membalas kekala-
hannya setahun silam.
"Grrmg...!"
Mantara kembali memperdengarkan geraman- nya
yang menakutkan. Wajahnya tampak beringas, dan
siap melumat Ki Kalayan. Kaki-kakinya bergeser mem-
bentuk kuda-kuda kokoh. Meski kegilaannya semakin
menjadi, Mantara tidak melupakan kepandaiannya.
Bahkan Ki Kalayan menduga Mantara sekarang telah
memiliki gerakan yang jauh lebih kokoh dan sempurna dibanding setahun silam.
Melihat Mantara sudah mempersiapkan jurusnya,
Ki Kalayan pun bergerak ke kanan. Siap menghadapi
lelaki gila itu.
*** 2 "Hakhhh...!"
Dengan berteriak aneh, Mantara melesat menerjang
Ki Kalayan. Sepasang kepalanya yang besar dan mam-
pu meremukkan batu sebesar kepala kerbau mencari
sasaran dengan disertai sambaran angin menderu.
Ki Kalayan terkejut melihat kecepatan dan kekua-
tan Mantara. Cepat langkahnya digeser menghindari
kepalan maut itu. Kemudian langsung membalas den-
gan sambaran pedang yang tajam. Sebentar saja kedua orang itu telah saling
terjang dengan hebatnya!
Mantara kelihatan sangat bernafsu merobohkan la-
wan yang pernah mengalahkannya itu. Serangannya
datang bertubi-tubi mengancam bagian-bagian terle-
mah tubuh lawan. Sehingga, dalam lima belas jurus
saja Ki Kalayan mulai dibuat kewalahan. Hal itu tidak aneh. Ki Kalayan telah
bertambah tua. Sedangkan
Mantara yang hidup di alam liar semakin gesit dan
kuat Ki Kalayan tahu ia akan kalah juga akhirnya.
"Hei, mengapa kalian diam saja seperti patung"
Bantu aku melumpuhkan orang gila ini...!"
Sadar dirinya berada dalam ancaman maut, Ki Ka-
layan berteriak kepada penduduk yang hanya menon-
ton. Mereka pun segera bergerak memasuki arena
membantu Ki Kalayan.
Datangnya bantuan di pihak lawan, sempat mem-
buat tubuh Mantara dihujani beberapa bacokan. Meski tidak sampai melukai, namun
Mantara menjadi gusar.
Bacokan itu menimbulkan rasa nyeri. Bukan tidak
mungkin lama-lama kulitnya akan robek juga.
"Hahhh...!"
Rasa nyeri yang sedikit-sedikit itu membuat Manta-
ra bertambah gusar. Teriakannya kembali membaha-
na. Kepalan-kepalannya kali ini diselingi tendangan keras yang sanggup
menjebolkan dada.
Dan...! Bukk, desss...!
Dua orang pengeroyok yang terlambat menyela-
matkan diri terlempar deras terkena tendangan dan
pukulan Mantara yang bagaikan palu godam! Kedua
orang itu memutahkan darah segar. Nyawanya me-
layang seketika!
"Keparat...!"
Melihat kejadian itu, Ki Kalayan marah bukan main!
Pedangnya diputar sekuat tenaga, hingga mendatang-
kan deruan angin keras! Kemudian....
"Haaat..!"
Dibarengi teriakan keras, tubuh Ki Kalayan me-
layang ke udara! Pedangnya melancarkan serangkaian
serangan yang mendatangkan angin tajam!
Cwittt, cwittt, wuttt...!
Serangkaian serangan mematikan itu memaksa
Mantara berlompatan menyelamatkan diri. Kendati ku-
rang waras, namun pikirannya masih dapat digunakan
dengan baik. Ia merebut senjata seorang lawannya
yang dirobohkan dengan pukulan keras di kepala. Ka-
ruan saja orang itu jatuh ke tanah dan tewas tanpa
ampun! Trang! Trang! Dengan golok di tangan, Mantara berani menyam-
but serangan Ki Kalayan. Bahkan mampu melancar-
kan serangan balasan yang tidak kalah berbahaya. Ke-
cepatan geraknya pun pantas diperhitungkan Ki Ka-
layan. "Yeaaah...!"
"Haaat..!"
Dua orang penduduk melesat dengan babatan sen-
jatanya ketika melihat Ki Kalayan terdesak gempuran orang gila itu. Siapa sangka
perbuatannya malah mencelakakan dirinya sendiri. Mantara yang mendengar teriakan
itu langsung berbalik disertai kelebatan goloknya yang cepat bukan main!
Brettt, brettt..!
Dua orang malang itu menjerit lagi saat golok Man-
tara merobek perut dan lambung mereka. Darah segar
menyembur keluar seiring dengan robohnya tubuh me-
reka. Melihat kedua lawannya berkelojotan, Mantara ce-
pat berlari memburu. Dengan buas, ia mengayunkan
goloknya berkali-kali. Sehingga, kedua orang itu me-raung setinggi langit.
Mereka tewas dengan tubuh dipenuhi luka bacokan yang dalam, membuat wajah me-
reka tidak bisa dikenali lagi!
"Iblisss...! Kubunuh kauuu...!"
Melihat kekejaman Mantara, Ki Kalayan melupakan
keselamatan dirinya. Tubuhnya langsung melayang
dengan sambaran-sambaran mata pedangnya. Ki Ka-
layan telah bertindak nekat dan tidak lagi mempedulikan nyawanya untuk
melenyapkan lelaki gila itu.
"Heaaahhh .!"
Mantara yang memang sangat dendam kepada
orang tua itu sedikit pun tidak gentar. Ia bergerak ma-ju menyambut serangan Ki
Kalayan. Dan mampu
mendesak lelaki gagah itu. Ki Kalayan terpaksa ber-
main mundur. Gerakannya kalah cepat dengan orang
gila itu! Wuttt...! Golok Mantara melesat dengan kekuatan penuh.
Tampaknya kali ini Ki Kalayan sulit untuk menyela-
matkan diri. Kedudukannya sangat lemah!
"Aaahhh..."!"
Lelaki tua itu memekik ngeri melihat cahaya perak
datang mengancam tenggorokannya. Dan....
Plakkk, brettt...!
"Aaakh..."!"
Kejadian yang berlangsung sekejapan itu benar-
benar mengejutkan! Pada saat nyawa Ki Kalayan ham-
pir terbang, sesosok bayangan merah berkelebat lak-
sana sambaran kilat! Ia bukan saja dapat menggagal-
kan serangan Mantara. Bahkan sempat mengirimkan
sebuah gedoran telapak tangan ke dada lelaki kekar
itu. Akibatnya, tubuh Mantara terjengkang ke bela-
kang. "Haaahhh...!"
Begitu tubuhnya terbanting ke tanah, Mantara
langsung melenting bangkit. Wajahnya menyeringai
sambil menekan dada kirinya yang terasa sesak. Ge-
raman kemarahannya kembali terdengar. Mata yang
tinggal sebelah itu menatap ke depan, tempat sesosok bayangan merah meluncur
turun. Ki Kalayan menarik napas lega setelah sadar dirinya telah diselamatkan orang.
Sayang sosok berpakaian


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merah darah itu berdiri membelakangi. Sehingga, Ki
Kalayan tidak dapat melihat wajah penolongnya. Tapi, sosok penolongnya yang
tegap membuat Ki Kalayan
yakin orang itu berusia tidak lebih dari dua puluh lima tahun.
Dugaan Ki Kalayan tidak meleset jauh. Sosok ber-
pakaian merah darah itu memang masih muda dan
berwajah tampan. Alis matanya tebal dan hitam.
Sayang pemuda itu memiliki sinar mata yang dingin.
Hingga wajahnya terkesan murung dan agak suram.
Pemuda itu berdiri tegak menatap Mantara dengan se-
pasang mata esnya.
Mantara kelihatannya marah besar terhadap lelaki
muda berpakaian serba merah itu. Ia segera bergerak maju dengan golok di tangan.
Dan langsung melancarkan serangan bertubi-tubi. Sayang semua dapat di-
elakkan lawan tanpa mengalami kesulitan yang berarti.
Bahkan pemuda itu kembali menyarangkan sebuah
tendangan ke perut Mantara.
Desss...! "Hukh...!"
Tendangan yang cepat dan kuat itu melemparkan
tubuh Mantara dengan perut tertekuk. Sehingga, lelaki kekar itu tidak bisa lagi
menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan....
Gusrakkk! Tanpa ampun lagi, tubuh kekar itu jatuh berdebum
di tanah berumput Mantara menyeringai kesakitan.
Kemudian menggeliat bangkit dengan perut masih me-
nekuk. Agaknya tendangan barusan telah membuat-
nya mulas! "Setan keparat..!" karena marahnya, Mantara men-
geluarkan makian kasar. Lalu menyumpah-nyumpah
sambil menyemburkan ludah.
"Hm.... Rupanya kau belum merasa jera juga, Rak-
sasa Gila...?" desis pemuda tampan itu datar tanpa tekanan. Sinar matanya tetap
dingin membeku.
"Kisanak. Orang gila itu berbahaya sekali! Sebaik-
nya dilenyapkan saja agar tidak lagi mengganggu orang banyak...!" mendengar
ucapan penolongnya. Ki Kalayan segera datang mendekat. Ucapan orang berpa-
kaian merah itu menunjukkan ia tidak berniat mem-
bunuh Mantara. Tentu saja Ki Kalayan tidak mengin-
ginkan hal itu terjadi.
"Hm...."
Pemuda tampan itu bergumam tak jelas. Bahkan
tanpa tekanan. Hingga Ki Kalayan ragu.
"Kami sudah lama mengenalnya, Kisanak. Ia tidak
pernah jera mengganggu dan menyakiti siapa saja. Kalau hari ini dilepaskan,
besok pasti ia akan membuat ulah lagi...," tukas Ki Kalayan berusaha meyakinkan
penolongnya. Pemuda itu tetap tidak memberikan jawaban. Tapi
melihat kakinya melangkah mendekati Mantara, Ki Ka-
layan menduga penolongnya akan mengikuti anjuran-
nya. Dan ketika Mantara kembali menerjang maju, Ki
Kalayan bergerak menepi, la berdiri menonton bersama penduduk yang masih selamat
Kali ini pertarungan berlangsung lebih seru! Manta-
ra mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk me-
robohkan pemuda tampan berpakaian serba merah.
Serangan-serangannya datang demikian deras bagai
gelombang lautan yang tak pernah putus.
Tapi lawan dapat menghadapi dengan baik. Bahkan
beberapa kali pukulan pemuda berpakaian serba me-
rah mendarat di tubuh Mantara. Hebatnya, setiap kali terdorong atau terjatuh,
Mantara langsung bangkit dan kembali menerjang tanpa mengenal lelah! Rupanya
lelaki kekar itu hendak bertarung mati-matian!
Kebandelan dan kekuatan daya tahan Mantara
sempat menimbulkan rasa kagum pemuda tampan itu.
Tapi, di balik kekaguman itu ia merasa penasaran.
Sampai akhirnya kesabarannya habis! Pemuda itu
mengerahkan kekuatannya untuk merobohkan Manta-
ra! "Haaat...!"
Dengan sebuah teriakan keras yang menggetarkan
jantung, pemuda tampan berpakaian serba merah
mendorongkan kedua telapak tangannya saat Mantara
kembali menerjang ganas. Sehingga....
Bressshhh...! "Aaarghhh...!"
Raungan Mantara meningkahi suara pukulan yang
menghantam tubuhnya. Tanpa dapat ditahan lagi, tu-
buh kekar itu terdorong ke belakang membentur po-
hon besar di belakangnya, yang langsung berderak roboh!
Tubuh Mantara menggelepar sejenak bersandar pa-
da patahan batang pohon. Lalu kepalanya terkulai.
Nyawa lelaki tinggi kekar itu pergi meninggalkan ra-ganya dengan dada remuk.
Dapat dibayangkan betapa
dahsyatnya pukulan pemuda tampan berpakaian serba
merah. "Kisanak, tunggu...!"
Ki Kalayan segera berteriak mencegah ketika meli-
hat pemuda berpakaian serba merah beranjak pergi
tanpa berkata sepatah pun. Langkah pemuda itu tam-
pak terhenti. Kendati demikian, tubuhnya tidak berbalik. Ia menunggu Ki Kalayan
datang menghampiri.
"Mengapa begitu terburu-buru, Kisanak" Tidakkah
sebaiknya singgah sebentar di desa kami" Kami ingin mengucapkan terima kasih
atas pertolongan Kisanak
kepada penduduk Desa Jatilarang," ujar Ki Kalayan
menghadang pemuda itu.
"Aku tidak membutuhkan ucapan terima kasih ka-
lian. Selain itu aku sudah singgah di Desa Jatilarang.
Kuminta biarkan aku lewat...," tukas pemuda tampan
berpakaian serba merah dingin. Matanya menatap lu-
rus ke depan. Kaget juga hati Ki Kalayan mendengar jawaban yang
sedikit pun tidak menunjukkan sikap bersahabat. Tapi karena pemuda itu telah
menyelamatkan nyawanya, Ki
Kalayan berusaha tetap tersenyum untuk menyembu-
nyikan kejengkelannya.
"Kisanak hendak pergi ke mana...?"
"Ke mana saja kakiku melangkah. Aku tidak mem-
punyai tujuan...," sahut pemuda tampan itu tanpa tekanan. Keramahan Ki Kalayan
tidak merubah, baik si-
kap maupun suaranya.
"Mmm.... Kalau boleh kami tahu, siapakah nama
besar Kisanak yang gagah...?" kembali Ki Kalayan bertanya tanpa memperlihatkan
sikap tersinggung sedikit pun.
"Panggil saja aku Kelana," jawab pemuda itu singkat
"Aku harus pergi sekarang...."
"Kelana...," gumam Ki Kalayan mengerutkan kening
mendengar nama yang cukup aneh itu. Lelaki tua itu
kemudian menepi dan membiarkan Kelana lewat
"Mungkin nama itu diambil karena dirinya yang se-
lalu berpetualang" Bukankah Kelana berarti petua-
lang" Hm...," Ki Kalayan termenung sambil bergumam
seorang diri. Kemudian berbalik dan memandang so-
sok Ki Kalayan yang semakin menjauh.
"Kalau begitu, aku akan menyebutmu Petualang
Sakti...!"
Pemuda berpakaian serba merah menghentikan
langkahnya sejenak. Lalu kembali mengayunkan lang-
kah tanpa menoleh sekejap pun.
"Petualang Sakti...," gumamnya mengulang julukan
yang diberikan Ki Kalayan. 'Terserah kau sajalah,
Orang Tua...," lanjutnya tersenyum tipis. Rupanya julukan itu cukup mengena di
hatinya. Ki Kalayan masih berdiri menatap tempat sosok Pe-
tualang Sakti menghilang. Beberapa saat kemudian, ia
membalikkan tubuh dan mengajak kawan- kawannya
kembali ke desa. Hatinya merasa lega karena peng-
ganggu ketenteraman penduduk Desa Jatilarang su-
dah tiada. *** "Berhenti! Hendak lari ke mana kau, Setan Beti-
na...!" Belasan orang prajurit yang dipimpin seorang per-
wira berteriak marah sambil berlari mengejar seorang gadis muda berwajah cantik.
Tentu saja peristiwa itu membuat orang-orang menyingkir dan menatap heran.
Beberapa di antaranya menatap tak senang kepada be-
lasan prajurit itu. Karena yang mereka kejar seorang perempuan muda berwajah
cantik. Orang-orang yang
menyaksikan kejar-mengejar itu lebih berpihak kepada perempuan cantik itu.
Gadis cantik itu terus mempercepat larinya. Teria-
kan-teriakan di belakangnya yang bagai tidak pernah berhenti sama sekali tidak
dipedulikan. Gadis itu terus berlari menuju gerbang kadipaten.
"Tangkap setan betina itu...!"
Perwira berkumis lebat itu kembali berteriak saat
buruannya hendak keluar kadipaten. Teriakan itu di-
tujukan kepada para penjaga pintu gerbang.
Enam orang penjaga pintu gerbang timur pun sege-
ra bergerak. Tombaknya ditodongkan ke arah sosok
gadis muda yang dua tombak lagi melewati gerbang.
"Kurang ajar...!"
Terdengar gadis muda itu menyumpah. Enam orang
prajurit berjajar menutup jalan keluarnya. Sadar kalau ia tidak mungkin dapat
lolos tanpa jalan kekerasan,
gadis itu memperlambat larinya. Senyum sinis meng-
hias wajahnya yang cantik. Tampaknya ia mendapat
jalan keluar yang baik untuk menghadapi para penjaga pintu gerbang.
"Berhenti...!" salah seorang dari keenam penjaga
membentak. Tombaknya tetap disiapkan untuk berja-
ga-jaga jika gadis muda itu melakukan perlawanan.
Apa yang diperkirakan prajurit-prajurit itu ternyata meleset! Gadis itu tidak
menunjukkan tanda-tanda
akan melawan. Malah larinya berhenti sama sekali.
Wajah cantiknya terlihat muram. Dan langkahnya te-
rayun lesu. Tiga di antara keenam prajurit penjaga bergerak
mendekat. Tombak mereka siap memanggang tubuh
gadis itu bila ia melawan.
"Mengapa kau melarikan diri seperti pencuri, Nisa-
nak" Kesalahan apa yang telah kau perbuat sampai
diburu kawan-kawan kami..?" tegur salah seorang prajurit mewakili dua kawannya.
Mereka berdiri berhadapan dalam jarak kurang dari satu tombak.
"Mereka hendak berbuat kurang ajar kepadaku!
Tentu saja aku tidak terima dan terpaksa melawan.
Habis mereka terlalu memaksa...," kata gadis muda itu dengan manja sambil
menggoyang-goyangkan tubuhnya ke kiri dan kanan. Kepalanya ditundukkan. Dan
jari-jari tangannya mempermainkan ujung baju. Kela-
kuan itu membuat tiga orang prajurit yang mengha-
dangnya menjadi heran, dan saling bertukar pandang
satu sama lain.
"Kami bisa memaklumi sikap mereka, Nisanak. Kau
terlalu cantik dan menggairahkan...," ujar prajurit itu.
Keisengannya timbul ketika melihat sikap manja gadis muda itu. Sambil berkata
begitu, ia melangkah maju
dan mengulurkan tangannya hendak menyentuh dagu
gadis itu. "Aaa...."
Gadis cantik merengek manja dan menggeser tu-
buhnya ke samping. Sehingga prajurit itu penasaran.
Melihat sikap manja itu, ketiganya tertawa menye-
ringai. Kewaspadaan mereka hilang. Begitu pula tiga penjaga yang berdiri di
depan pintu gerbang. Mereka tertawa melihat perbuatan kawan-kawannya.
"Hei, hati-hati...!"
Perwira yang hampir tiba di tempat itu berseru
memperingatkan kawan-kawannya. Sayang peringatan
itu terlambat! Karena tiba-tiba....
"Haiiit..!"
Laksana seekor burung camar, gadis cantik itu me-
layang dengan tamparan yang cepat dan mendatang-
kan angin keras!
Plakkk, plakkk, plakkk!
Karena tidak menduga gadis manja itu bisa berubah
ganas, ketiga prajurit itu tidak sempat menyelamatkan diri. Tubuh mereka
terlontar ke kiri dan kanan. Jatuh mencium tanah dengan wajah bengkak.
Perwira yang berada dua tombak di belakang gadis
muda itu terkejut! Apalagi saat gadis berpakaian serba merah itu melayang ke
arah tiga penjaga lainnya, yang juga tidak bersiaga. Sehingga....
"Hiyaaat..!"
Gadis cantik itu membagi-bagi tamparannya, mem-
buat ketiga prajurit itu terpelanting roboh! Hebat dan cepat bukan main gerakan
gadis cantik yang lincah
dan banyak akal itu. Padahal kalau keenam penjaga
itu tidak terpengaruh sikap gadis itu belum tentu mereka dapat dirobohkan
semudah itu. Paling tidak gadis itu memerlukan lima enam jurus untuk merobohkan
lawan-lawannya. Dan itu berarti pengejarnya sudah
keburu tiba. Kemungkinan itu yang hendak dihindar-
kan gadis cantik berpakaian serba merah.
"Sampai jumpa lagi...!'" gadis cantik itu masih sempat melambaikan tangan
sebelum lenyap di kejauhan.
"Bodoh...! Mengapa kalian sampai dapat diakali ga-
dis setan itu!" perwira berkumis tebal yang tiba di pintu gerbang memaki dengan
geram. Bukan cuma mu-
lutnya saja yang berbicara. Tangannya pun melayang
berkali-kali. Plakkk, plakkk, plakkk!
Keenam prajurit itu masing-masing mendapat ba-
gian di wajahnya. Mereka mengaduh kesakitan. Bekas
tamparan gadis berpakaian serba merah tadi belum la-gi hilang. Kini ditambah
dengan tamparan perwira mereka. Karuan saja prajurit itu menyumpah-nyumpah
gadis kurang ajar itu. Tapi tentu saja sumpah-serapah itu hanya mereka sendiri
yang dengar. Karena dite-riakkan di dalam hati.
"Kalau lain kali kalian masih juga melakukan kesa-
lahan seperti tadi, aku akan memecat kalian semua!
Mengerti...!"
"Mengerti...."
Keenam prajurit itu menjawab serempak sambil
menyeringai menahan sakit di wajahnya.
"Ketahuilah. Perempuan cantik tadi telah membu-
nuh pemilik kedai di persimpangan jalan, tempat ka-
lian biasa singgah! Jadi bila lain kali kalian melihatnya, langsung tangkap saja
tidak perlu banyak tanya lagi...!" lanjut perwira itu menumpahkan kejengkelan
hatinya. Setelah berkata begitu, perwira berkumis lebat itu memerintahkan mereka


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali bertugas. Ia
sendiri meninggalkan tempat itu bersama belasan prajurit yang datang bersamanya
tadi. Tinggallah keenam prajurit pintu gerbang menyum-
pahi nasibnya yang sial. Tak ada orang lain, yang bisa disalahkan kecuali diri
mereka, yang kena diakali oleh seorang gadis muda. Itu merupakan pelajaran agar
lain kali tak mudah tergoda wajah cantik atau sikap manja yang memikat
*** 3 Siang yang teriak. Matahari memancar garang men-
jilati permukaan bumi. Hembusan angin yang sesekali keras membawa hawa pengap,
membuat orang berpe-luh. Jalan utama Desa Alur tampak sepi. Hanya satu
dua orang saja yang terlihat melintas di jalan itu. Ke-banyakan penduduk lebih
suka tinggal di dalam ru-
mah atau beristirahat di kedai minum.
"Hufff.... Panas sekali siang ini...."
Seorang dara jelita berpakaian serba hijau menge-
luh pendek sambil menyusut lelehan peluh yang mem-
basahi kening dan lehernya. Wajahnya yang mempeso-
na tampak kemerahan. Dalam keadaan seperti itu, ke-
cantikannya justru terlihat semakin menonjol.
Dara jelita itu rupanya tidak sendiri. Di sebelahnya melangkah sosok lain.
Seorang pemuda tampan bertubuh sedang, namun tegap dan berisi. Pakaiannya yang
berupa jubah terbuat dari kain sederhana dan berwarna putih. Langkahnya tenang
dengan sorot mata tajam menatap lurus ke depan. Ia hanya bergumam pelan
menimpali keluhan dara jelita di sebelahnya.
Saat itu keduanya tengah bergerak memasuki mu-
lut Desa Alur. Jalan desa yang sepi tidak membuat
mereka heran. Udara siang itu memang sangat panas.
"Kita singgah di kedai minum itu...," ujar pemuda
tampan berjubah putih menunjuk sebuah kedai di se-
belah kiri jalan.
Gadis jelita itu mengangguk, dan mengikuti langkah
kawannya. Mereka berhenti di ambang pintu kedai,
memperhatikan ruangan kedai yang tampak dipadati
pengunjung. "Wah, kelihatannya tidak ada tempat lagi untuk ki-
ta, Kakang...," gumam dara jelita berpakaian serba hijau kecewa. Semua kursi
telah terisi. Tidak ada lagi tempat yang kosong.
Kelihatannya begitu...," sahut pemuda tampan ber-
jubah putih setelah memperhatikan ruangan kedai.
"Mari kita cari kedai lain...," lanjutnya. Lalu berbalik dan meninggalkan kedai.
Tapi, baru saja keduanya melangkah setindak seo-
rang pelayan kedai berlari-lari kecil menghampiri pasangan muda itu. Terdengar
ia berteriak mencegah.
"Kisanak, Tungguuu...!"
Tahu kalau teriakan itu ditujukan kepada mereka,
keduanya segera berbalik. Kemudian menunggu pe-
layan itu tiba.
'Tidak perlu tergesa-gesa. Bukankah Kisanak ber-
dua hendak singgah di sini...?" tegur pelayan itu tersenyum ramah. Lalu bergerak
menyisi memberikan jalan
kepada kedua orang tamunya.
"Hm.... Kulihat semua kursi sudah terisi, Paman"
Di mana kami akan duduk...?" ujar pemuda berjubah
putih dengan kening agak berkerut Kendati demikian, nada bicaranya tenang dan
tidak tinggi. "Ha ha ha.... Jangan khawatir! Kami menyediakan
tempat lain yang bisa kalian pergunakan. Mari ikut
aku...," tukas pelayan kedai kemudian melangkah di-
ikuti kedua tamunya.
Beberapa pasang mata yang semula sibuk dengan
hidangannya, menyempatkan diri memperhatikan pa-
sangan muda itu. Wajah dan penampilan keduanya
terlalu menarik. Terutama gadis berpakaian serba hijau. Parasnya yang jelita
seperti bidadari mengundang mata laki-laki untuk menikmati dan mengaguminya.
Meskipun secara sembunyi- sembunyi.
Pasangan muda itu tahu mereka diperhatikan.
Tapi keduanya tetap melangkah tenang, tidak mem-
pedulikan pandangan yang tertuju ke arah mereka.
Dan terus mengikuti langkah pelayan kedai menuju
ruangan lain. Rupanya kedai minum itu menyediakan
dua ruangan yang dibatasi sebuah pintu tertutup kain bercorak kembang-kembang
dengan warna dasar merah. Ke ruangan itulah si pelayan membawa kedua ta-
munya. Tapi baru saja pasangan muda itu duduk, tiba-tiba
dari luar terdengar ribut-ribut Suara bentakan-
bentakan kasar itu membuat keduanya saling berpan-
dangan. Lalu menoleh ke arah pelayan yang juga kelihatan terkejut
"Sepertinya di luar ada keributan, Paman...?" ujar
pemuda tampan berjubah putih menatap pelayan ke-
dai yang kebingungan. Ia tidak tahu apa yang menye-
babkan keributan itu.
"Kisanak berdua tidak perlu khawatir. Tetaplah di
sini. Biar aku yang melihatnya sekalian mengambilkan pesanan kalian...," sahut
pelayan kedai agak terburu-buru. Kemudian bergegas pergi sebelum pasangan
muda itu kembali bertanya.
Pasangan muda yang tidak lain Kenanga yang lebih
dikenal sebagai Dewi Kipas Emas dan Panji yang juga lebih dikenal berjuluk
Pendekar Naga Putih bertukar pandang sejenak. Seperti telah mendapat kata
sepakat, mereka bangkit hendak melihat penyebab keributan
dan bentakan kasar tadi.
Apa yang kemudian terlihat di ruangan depan kedai
membuat kening Kenanga dan Panji berkerut Mereka
melihat seorang lelaki berkepala botak dan bertubuh tinggi besar membentak-
bentak pemilik kedai. Dua
buah meja yang terbalik menumpahkan hidangan di
atasnya ke lantai. Sudah pasti itu perbuatan lelaki berkepala botak. Bahkan
salah seorang pelayan kedai tergeletak di sudut dengan wajah biru dan berdarah!
"Hei, Peot! Apa kau ingin aku mengusir semua
orang yang berada di dalam ruangan ini! Ayo, jawab!"
bentakan lelaki botak bertubuh tinggi besar itu kembali terdengar. Hingga tubuh
pemilik kedai terlonjak sak-ing kagetnya.
"Jangan, Tuan.... Jangan...."
Pemilik kedai berkata terbata-bata dengan tubuh
menggigil dan wajah seputih kertas. Kemudian tubuh-
nya dijatuhkan dan berlutut memeluk sebelah kaki lelaki tinggi besar itu.
"Kalau begitu, cepat berikan apa yang kuingin-
kan...!" bentak lelaki berkepala botak tanpa memperlihatkan rasa kasihan sedikit
pun. Sikap lelaki berkepala botak yang semakin beringas
membuat beberapa pengunjung ketakutan dan siap
meninggalkan tempat itu. Sedang yang lainnya hanya
memandang dengan gelisah. Rupanya mereka telah
mengenal lelaki botak itu, dan tahu apa yang diingin-kannya. Terbukti mereka
tidak bergerak dari kursinya.
Menunggu kelanjutan sikap lelaki tinggi besar itu.
"Berhenti! Mau ke mana kalian...!"
Bentakan menggelegar yang sanggup membuat
orang berpenyakit jantung tewas seketika itu juga
menghentikan langkah pengunjung yang hendak me-
ninggalkan tempat itu. Lalu menoleh takut-takut ke
arah lelaki tinggi besar berkepala botak.
"Kami sudah selesai, Tuan.... Dan..., kami hendak
melanjutkan perjalanan...," salah seorang dari mereka menjawab takut-takut
"Hm...."
Lelaki berkepala botak menggumam dengan nada
mengejek dan tersenyum sinis. Langkahnya terayun
menghampiri orang-orang itu, yang semakin ketaku-
tan. "Jadi kalian bukan penduduk desa ini...?" tanya le-
laki botak sambil merayapi wajah mereka satu persatu, membuat yang dipandang
menjadi pucat dan gemetar.
"Be..., tul..., Tuan...," kembali orang yang barusan berkata menyahuti.
"Apakah kalian sudah membayar pesanan ka-
lian...?" "Su..., dah. Kami sudah membayarnya, Tuan...," le-
laki bertubuh kurus itu kembali menjawab gugup.
"Kalau begitu, kuminta kalian tinggalkan uang se-
besar pembayaranmu untukku...," ujar lelaki botak
menadahkan tangannya dengan telapak membuka le-
bar. 'Tapi..., kami sudah membayarnya tadi..."!" sambil
menjawab, lelaki kurus melemparkan pandangan ke
arah pemilik kedai. Seperti ingin meminta dukungan
pemilik kedai itu. Tapi, yang ditatapnya malah mema-lingkan wajah tanpa berani
menjawab. "Hm.... Cepat lakukan apa yang kuminta! Siapa saja
yang berani membantah, akan tahu akibatnya...!" an-
cam lelaki botak dengan sepasang mata berkilat tajam.
Jari-jari tangan kirinya mengusap gagang pedang yang tersembul di pinggang.
Seolah ia siap membuktikan
ucapannya. Melihat gelagat tidak baik, beberapa di antaranya
langsung menyiapkan permintaan lelaki botak. Jelas
mereka lebih sayang nyawa daripada uang yang tidak
seberapa. Karena uang dapat mereka cari. Sedangkan
nyawa, tak seorang pun yang menjualnya.
Lelaki botak bertubuh tinggi besar itu memperden-
garkan tawanya dengan sombong. Tangan kanannya
tetap menadah. Sedangkan kepalanya mendongak me-
natap langit-langit. Sebelah kakinya bergerak-gerak,-
membuat tubuhnya bergoyang- goyang.
Tapi.... Sebelum lelaki botak menerima uang itu, ti-ba-tiba....
'Tunggu...!"
Terdengar bentakan halus, namun berpengaruh he-
bat! Karena meskipun terdengar pelan, tapi membuat
jantung orang-orang di ruangan kedai itu berdetak lebih cepat. Langsung saja
seluruh mata di ruangan kedai itu menoleh ke arah asal suara. Dan....
Hampir setengah pengunjung kedai menggelengkan
kepala sambil membuang napas berat Yang mengelua-
rkan bentakan tadi hanya seorang pemuda tampan.
Meskipun tubuh pemuda itu kelihatan padat berisi,
tapi bila dibandingkan dengan lelaki botak masih jauh berbeda. Pemuda itu
kelihatan kurus dan lemah. Sepertinya akan jatuh hanya dengan sekali pukul saja.
Lain yang dipikirkan sebagian pengunjung kedai,
lain pula pikiran lelaki botak itu. Yang menjadi perha-tiannya bukanlah pemuda
tampan berjubah putih
yang mencegah tindakannya. Tapi, sosok di samping
pemuda tampan itu yang membuat matanya melotot
dan mulutnya menyeringai seperti singa lapar. Lelaki botak sampai menelan air
liur berkali- kali!
"Haihhh.... Tidak kusangka hari ini aku menerima
karunia yang sangat besar! Siapa sangka kedai jelek
seperti ini menjadi tempat persinggahan seorang bidadari...! Benar-benar
merupakan hari baikku
Setelah berkata demikian, lelaki botak mengayun-
kan langkahnya. Rupanya sosok Kenanga yang mem-
buatnya demikian gembira.
Kenanga sendiri tidak berbuat apa-apa. Pendekar
Naga Putih telah mengingatkannya agar jangan men-
gambil tindakan, dan menyerahkan persoalan itu ke-
padanya. Maka meskipun hatinya panas dan dadanya
sesak oleh kemarahannya, Kenanga diam saja.
Lelaki botak mengayunkan langkahnya lebar-lebar
tanpa mengalihkan pandangannya dari sosok Kenan-
ga. Tapi pada saat hendak melewati Pendekar Naga Putih, pemuda itu langsung
mengangkat tangan kanan-
nya menghadang jalan. Tentu saja perbuatan itu
membuat kening lelaki botak berkerut tak senang!
"Menyingkirlah, Bocah! Kalau saja tidak mengingat
peruntunganku hari ini, lenganmu akan kupatahkan.
Tapi, untuk hari ini aku akan memaafkan tindakanmu.
Nah, menyingkirlah sebelum kau menyesali perbua-
tanmu!" ujar lelaki botak tanpa mengalihkan pandan-
gan matanya dari sosok Kenanga yang sangat mempe-
sona. Bahkan sekejap pun matanya tidak berkedip!
Seolah khawatir Kenanga akan lenyap bila ia menge-
japkan matanya, meski hanya sekali.
"Kisanak," sahut Panji tenang dengan tatapan lurus
ke depan, tanpa melihat wajah lelaki botak. "Kalau kau memang ingin lewat,
singkirkanlah sendiri olehmu.
Menurutku kau pasti tak akan mampu melakukan-
nya...." "Hua ha ha...!"
Ucapan Pendekar Naga Putih membuat lelaki botak
tergelak! Baginya apa yang dikatakan pemuda itu tera-sa sangat lucu. Mana
mungkin ia tidak sanggup me-
nyingkirkan lengan yang menghadang jalannya itu"
Jangankan lengan, tubuh pemuda itu pun sanggup ia
lemparkan keluar kedai. Apalagi cuma sebatang lengan yang menurutnya sekali
cekal dapat dipatahkannya
itu. "Kau jangan main-main, Bocah! Sekali lagi kuperingatkan! Menyingkirlah!
Atau aku terpaksa mematah-
kan lenganmu...!"
"Hm.... Tidak perlu mengumbar kesombongan. Se-
baiknya perlihatkan saja kekuatanmu. Kalau kau me-
mang sanggup menyingkirkan lenganku, lakukanlah!
Kalau tidak, segera tinggalkan tempat ini, dan jangan perlihatkan lagi wajahmu
di depanku...!" tukas Panji tanpa memandang wajah lelaki botak di hadapannya.
"Kurang ajar! Kau mencari penyakit, Bocah...!" me-
rah padam wajah lelaki botak mendengar tantangan
Panji. Terdengar geramannya yang menggetarkan jan-
tung. Membuat semua orang yang berada di dalam ke-
dai menjadi tegang!
Perbuatan Pendekar Naga Putih yang bagi sebagian
pengunjung dianggap sangat berani telah mendatang-
kan berbagai pendapat Beberapa di antara langsung
berpihak kepada pemuda tampan berjubah putih itu,
dan berharap agar lelaki botak dapat ditaklukkan. Sedang sebagian mencemooh, dan
menyayangkan tinda-
kan pemuda itu yang mereka anggap hanya mencari
penyakit Meskipun demikian, semua pengunjung ingin
segera menyaksikan kelanjutan peristiwa itu.
"Hmh...!"
Lelaki botak mendengus kasar. Lengan kirinya teru-
lur dan mencekal pergelangan tangan Panji. Tapi....
"Ehhhh..."!"
Sepasang mata lelaki botak tampak terbelalak! Len-


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan itu tidak dapat digesernya. Lengan yang memalan-
gi jalannya itu seperti sebuah palang baja yang sangat berat. Hingga lelaki
botak menjadi penasaran!
Kali ini lelaki bertubuh tinggi besar itu menambah-
kan kekuatannya. Kemudian menyentakkan lengan
pemuda berjubah putih ke atas dengan dibarengi ben-
takan keras dan menulikan telinga!
"Hahhh...!"
Apa yang terjadi kemudian benar-benar membuat
para pengunjung terbelalak! Mereka yang semula
membayangkan lengan pemuda itu akan terlepas dari
sambungan bahunya ternyata salah! Lengan itu tetap
terbentang. Tidak bergeming sedikit pun! Padahal lelaki botak sudah menambah
kekuatannya. Kenyataan
itu membuat pengunjung kedai ternganga heran!
"Keparat...!"
Lelaki botak gusar bukan main! Sayang kenyataan
itu tak membuatnya sadar kalau yang dihadapinya
bukan pemuda sembarangan! Rasa malu mendengar
beberapa pengunjung kedai tertawa, membuat wajah-
nya semakin merah padam! Sehingga kali ini ia tidak menggunakan sebelah
tangannya. "Hahhh...!"
Sambil membentak keras, lelaki botak menyentak-
kan tangan kirinya yang mencekal pergelangan Pende-
kar Naga Putih. Bersamaan dengan itu, tangan kanan-
nya bergerak memukul dari atas ke bawah! Karuan sa-
ja para pengunjung kedai berseru kaget!
"Habislah pemuda itu sekarang..."!" gumam seorang
pengunjung yang tegang bukan main! Ia tidak tega
membayangkan lengan pemuda tampan itu patah. Apa
yang dilakukan lelaki botak membuatnya menahan
napas! Dan.... Wuttt, desss...!
"Aaa...!"
Semua mata memandang tidak percaya ketika tu-
buh lelaki berkepala botak terpental diiringi jerit kesakitan. Bahkan beberapa
di antaranya sampai menger-
japkan mata berulang-ulang. Kenyataan itu benar-
benar di luar dugaan!
"Luar biasa...!"
"Mustahil...!"
Terdengar seruan-seruan pengunjung yang me-
nyaksikan kejadian aneh itu. Betapa tidak" Apa yang mereka khawatirkan justru
terjadi sebaliknya! Pemuda tampan berjubah putih tetap berdiri tegak dengan
lengan kanan terkembang ke samping. Sedang tubuh le-
laki botak yang memukul lengannya terpental seperti dilempar tangan-tangan
raksasa yang tidak tampak!
Padahal mereka melihat dengan jelas pemuda berjubah putih itu sama sekali tidak
melakukan apa-apa saat
lengannya disentakkan dan dipukul! Jelas itu sangat mustahil!
*** "Ilmu setan...!"
Lelaki berkepala botak memaki sambil bergerak
bangkit dengan pinggang serasa hampir patah! Tu-
buhnya jatuh di atas meja, yang langsung patah ber-
keping-keping! Wajahnya kelihatan pucat! Bahkan lengan kanannya yang tadi
digunakan untuk memukul,
membengkak dan berwarna merah. Hingga mulut lela-
ki botak itu tidak henti-hentinya berdesis menahan
sakit "Apa.... Apa yang kau lakukan padaku, Bocah Kepa-
rat..!" geram lelaki botak yang rupanya tidak tahu bagaimana ia dapat terlempar
sampai menimpa meja di
belakangnya. Pendekar Naga Putih tersenyum tipis menanggapi
pertanyaan bodoh lelaki botak. Sebab Panji yakin
orang itu tahu ia tidak melakukan apa-apa. Orang-
orang yang berada di dalam kedai pun melihatnya
dengan jelas. Meskipun begitu, Panji tetap menjawabnya dengan tenang.
"Hm.... Kau lihat sendiri bukan" Aku sama sekali
tidak melakukan gerakan apa-apa. Justru kau sendirilah yang telah memukul dan
menyentakkan lenganku
ke atas. Nah, mengapa masih bertanya...?"
"Bohong...!" bentak lelaki botak yang kini sudah
berdiri dan menatap Panji lekat-lekat.
Rupanya ia belum menyadari kebodohan dirinya.
Padahal seharusnya lelaki botak itu tahu kalau yang dihadapinya bukanlah pemuda
sembarangan, dan
memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Tapi, semua tertutup oleh
kesombongan dan kemarahannya.
Apalagi peristiwa itu terjadi di hadapan orang banyak.
Ia tidak bisa menerima kenyataan itu.
"Hm.... Terserah bagaimana pendapatmu, Kisa-
nak...," tukas Panji seraya menatap tajam lelaki botak itu. Karena orang itu
belum juga menyadari kebodo-hannya.
"Keparat! Hendak kulihat sampai di mana keheba-
tan ilmu setanmu itu...!"
Rupanya lelaki botak itu masih penasaran! Setelah
berkata demikian, tangannya, bergerak. Dan....
Srattt...! Seberkas sinar putih berkilauan ketika pedang di
pinggang lelaki botak itu tercabut keluar dari sarungnya. Perbuatan itu membuat
pengunjung kedai keta-
kutan! Beberapa di antara mereka berhamburan ke-
luar meninggalkan tempat itu. Mereka tidak ingin men-
jadi sasaran kemarahan lelaki botak yang telah kalap itu. "Hm...."
Pendekar Naga Putih hanya bergumam pelan. Sedi-
kit pun ia tidak khawatir, meski lawannya kali ini
menggunakan senjata. Panji tahu lelaki botak itu
hanya orang biasa yang memiliki tenaga besar. Untuk menghadapi orang seperti itu
Pendekar Naga Putih dapat mengatasinya tanpa harus mencelakai orang lain.
*** 4 "Kakang, lelaki itu sudah melewati batas! Kuminta
Kakang menyingkir. Biar aku memberi pelajaran kepa-
danya...!" Kenanga marah melihat lelaki botak itu
mencabut pedang. Gadis itu melangkah maju hendak
melewati Panji.
'Tahan amarahmu, Kenanga...," karena tidak ingin
persoalan semakin berlarut, Panji menghadang jalan
Kenanga dengan memalangkan lengannya. Sehingga
langkah dara jelita itu tertunda.
Sadar Panji tidak dapat menyerahkan persoalan itu
kepadanya, Kenanga bergerak mundur. Tapi sepasang
matanya tetap menyorot tajam ke arah lelaki botak di depannya.
Sementara lelaki botak bertubuh tinggi besar itu telah menggeser langkahnya ke
kanan. Sepasang ma-
tanya berkilat memancarkan hawa membunuh. Pedang
di tangannya bergerak menyilang menimbulkan kilatan sinar putih yang mengaung
tajam. Meja di kiri dan kanannya dihempaskan agar ia dapat bergerak lebih le-
luasa. Sesaat kemudian....
"Haaattt...!"
Disertai geraman keras, lelaki botak itu melompat
ke depan. Pedang di tangannya menyambar cepat den-
gan kedudukan mendatar!
Bwettt...! Untuk menghindari serangan itu, Pendekar Naga
Putih hanya memiringkan tubuh dengan menarik kaki
kanannya ke belakang. Bersamaan dengan itu, tangan
kirinya menampar pergelangan tangan lawan. Meski-
pun sebenarnya gerakan itu hanya perlahan, tapi lain bagi pandangan lawan.
Sehingga.... Plakkk! "Uhhh..."!"
Bukan main kagetnya hati lelaki botak ketika mata
pedangnya membalik dan mengancam tenggorokan-
nya. Cepat ia melompat mundur. Wajahnya terlihat
pucat dengan butir-butir keringat dingin mengalir di keningnya. Hampir saja
nyawanya terbang. Kejadian
itu membuat kemarahannya semakin menjadi-jadi!
"Keparat! Kubunuh kauuu...!"
Sambil memekik marah, lelaki botak kembali me-
nerjang membabi buta! Serangan pedangnya tidak lagi terarah. Hal itu justru
membuat Panji semakin mudah menundukkannya.
Ancaman mata pedang yang datang bertubi-tubi itu
hanya dielakkan Panji dengan geseran tubuhnya ke ki-ri dan kanan. Kemudian
mengirimkan sebuah tampa-
ran keras ke bahu.
Pakkk...! "Aaakh..."!"
Tamparan Pendekar Naga Putih berakibat cukup
parah! Tubuh tinggi besar itu melintir dan jatuh menimpa meja di belakangnya.
Meskipun masih mampu
bangkit, namun wajahnya menggambarkan rasa sakit
yang dideritanya. Tamparan Pendekar Naga Putih
membuat bahunya terasa ngilu. Bahkan lengan ka-
nannya sukar digerakkan.
"Kuharap peringatan itu sudah lebih dari cukup,
Kisanak. Sebaiknya tinggalkanlah pekerjaan burukmu
selama ini yang hanya membuat susah orang lain. Ku-
kira masih banyak pekerjaan baik yang dapat kau la-
kukan...," ujar Panji menentang pandangan mata la-
wannya yang sibuk memijat-mijat bahu.
"Hmh...! Keparat sombong! Kau kira aku sudah da-
pat kau taklukkan! Kau salah besar, Bocah! Aku baru menyerah kalau nyawaku sudah
meninggalkan badan...!"
Benar-benar keras kepala lelaki botak itu. Peringa-
tan Pendekar Naga Putih tidak membuatnya jera. Bah-
kan ia masih belum mau menyerah. Terbukti dari si-
kapnya yang telah siap melanjutkan perkelahian.
"Kerbau tolol...!"
Kenanga mengumpat jengkel melihat sikap keras
kepala lelaki itu. Hatinya benar-benar kesal. Lelaki botak itu masih juga tak
sadar kalau lawannya jauh lebih kuat Tapi dara jelita itu tak bisa berbuat apa-
apa. Lain halnya dengan Panji. Pemuda tampan itu
hanya tersenyum. Sikapnya sedikit pun tidak berubah.
Tenang dan tanpa kemarahan. Panji ingin melihat
sampai di mana kebandelan lelaki botak itu.
Para pengunjung kedai yang menyaksikan perkela-
hian itu menggelengkan kepala. Mereka menyesalkan
tindakan lelaki botak yang belum juga mau mengakui
kekalahannya. Padahal jelas kelihatan pemuda tampan berjubah putih itu bersikap
mengalah. Kebandelan lelaki botak membuat mereka menunggu apa yang akan
dilakukan pemuda tampan itu selanjutnya.
"Heiii..."!"
Beberapa pengunjung terpekik kaget! Pendekar Na-
ga Putih sama sekali tidak mengelakkan serangan la-
wan! Tubuhnya berkali-kali menjadi sasaran pukulan.
Dan.... "Aaah..."!"
Kembali terdengar teriakan-teriakan pengunjung.
Kali ini kekagetan mereka bercampur keheranan besar!
Mata mereka terbelalak menyaksikan kejadian yang
sukar dapat diterima akal! Tubuh pemuda berjubah
putih yang menurut mereka akan babak belur oleh
pukulan dan tendangan lelaki botak ternyata yang terjadi justru kebalikannya!
"Kau.... Menggunakan ilmu setan...!" lagi-lagi lelaki botak itu mengumpat
lawannya. Tangan dan kakinya
yang digunakan memukul dan menendang bengkak-
bengkak dan sakit bukan main! Lelaki botak itu tak
henti-hentinya berdesis dengan wajah berkerut-kerut menahan sakit.
"Hm.... Kau sudah puas memukuli tubuhku, bu-
kan" Nah, sekarang aku yang akan memukulmu se-
puas hati...."
"Hahhh..."!"
Lelaki botak terperangah. Langkahnya tersurut
mundur. Kemudian menoleh ke kiri dan kanan hendak
mencari selamat. Namun, sepasang matanya memben-
tur wajah-wajah mencemooh, yang membuat harga di-
rinya bangkit seketika.
"Apa.... Apa yang akan kau lakukan...?" pertanyaan
bodoh itu meluncur begitu saja.
"Sama seperti yang baru saja kau perbuat kepada-
ku...," jawab Panji tanpa senyum sedikit pun. Kakinya melangkah perlahan. Dan
sinar matanya mengancam,
siap membuktikan ucapannya.
Bayangan wajah-wajah mencemooh pengunjung ke-
dai membuat lelaki botak mencoba bersikap tenang.
Dadanya dibusungkan dengan bibir menyunggingkan
senyum mengejek. Lelaki botak itu tidak mau meneri-
ma pukulan lawan begitu saja. Ia menyiapkan jurus
untuk menghadapi serangan Panji.
Pendekar Naga Putih sendiri tampak tidak peduli
dengan persiapan lawan. Ia terus melangkah dengan
tenang. Kedua tangannya dikepalkan. Hingga wajah lelaki botak itu kembali
dijalari ketegangan. Dan....
"Awaaas...!"
Sambil membentak mengingatkan, Panji datang
dengan pukulan pertamanya. Lelaki botak mencoba
menggelak. Tapi....
Bukkk! "Aaakh..."!"
Meskipun serangan itu hanya menggunakan kece-
patan, namun lelaki botak berteriak kesakitan. Tu-
buhnya terjajar empat langkah ke belakang. Saat itu pukulan kedua Pendekar Naga
Putih kembali meluncur datang!
Lagi-lagi lelaki botak berteriak keras kesakitan! Pukulan tanpa pengerahan
tenaga dalam itu terasa se-
perti sengatan lebah. Serangan itu sangat sukar di-
elakkan maupun ditangkis. Sampai akhirnya lelaki botak menjatuhkan diri berlutut
di hadapan Pendekar
Naga Putih. "Ampun.... Aku menyerah.... Aku menyerah...!" lela-
ki botak merintih menghiba. Berkali-kali keningnya di-benturkan ke lantai dengan
kedua tangan dirangkap-
nya di atas kepala.
"Hm...."
Panji hanya bergumam perlahan. Ia tidak melan-


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jutkan serangannya. Langkahnya berhenti tepat di de-
pan kepala lelaki botak.
"Bangkitlah!"
Lelaki botak mengangkat kepalanya mendengar pe-
rintah Pendekar Naga Putih. Lalu bergerak bangkit
dengan perlahan. Dan saat tubuhnya tegak di hadapan Panji, kepalanya ditundukkan
menekuri lantai.
"Angkat kepalamu dan pandang aku...!" kembali
Panji memberi perintah dengan suara mengandung
perbawa kuat Kepala lelaki botak itu pun terangkat
Sepasang matanya menatap wajah Panji dengan ragu-
ragu dan menyembunyikan kegentaran hatinya.
"Benar kau sudah mengaku kalah...?"
"Be..., nar...," sahut lelaki botak itu kembali me-
nundukkan kepala, la tidak sanggup berlama-lama
menentang pandangan mata pemuda tampan berjubah
putih itu. "Hm.... Apakah pengakuanmu itu juga berarti kau
tidak akan mengulangi segala perbuatan jahatmu...?"
kembali Pendekar Naga Putih melontarkan pertanyaan.
Lelaki botak itu mengangguk pasti. Tapi Panji belum puas dengan jawaban itu.
"Jawab pertanyaanku...," desak Panji menuntut ja-
waban yang lebih pasti.
"Aku tidak akan mengulangi perbuatan jahat lagi.
Dan akan mencoba mencari pekerjaan yang lebih
baik...," akhirnya lelaki botak itu menyahut dan memandang wajah Panji sekilas.
Kemudian kembali me-
nekuri lantai. "Bisakah ucapanmu itu dipertanggungjawabkan...?"
"Nyawaku sebagai taruhannya...," sahut lelaki botak itu yang rupanya sudah
benar-benar takluk.
"Bagus! Jika demikian, kembalikanlah uang yang
telah kau minta dari pengunjung kedai. Kemudian,
mintalah maaf kepada pemilik kedai dan pelayan yang
telah kau sakiti...," perintah Panji ingin menguji kesa-daran lelaki botak.
Kelihatannya tukang peras itu memang benar- be-
nar hendak meninggalkan kejahatannya. Perintah
Pendekar Naga Putih langsung dipatuhi. Uang pengun-
jung yang tadi dirampas, dikembalikannya tanpa diku-rangi sepeser pun. Dan tanpa
ragu-ragu ia meminta
maaf kepada pemilik kedai serta pelayan kedai. Melihat itu Panji tersenyum lega
dan puas. "Mulai hari ini carilah pekerjaan yang baik. Aku yakin banyak orang bersedia
menerimamu. Satu hal yang perlu kau ingat! Bila kudengar kau kembali melakukan
perbuatan seperti ini, nyawamulah yang menjadi taruhannya...!" ujar Panji tegas,
saat lelaki botak itu kembali menghampirinya.
"Aku berjanji...!" ujar lelaki botak itu tanpa keraguan sedikit pun.
"Hm...."
Pendekar Naga Putih bergumam pelan. Kemudian
bergerak meninggalkan kedai bersama Kenanga, den-
gan diiringi pandangan mata kagum dan penuh terima
kasih semua orang yang berada di dalam kedai.
"Kisanak, tungguuu...!"
Pendekar Naga Putih menoleh ke arah lelaki botak.
Dilihatnya orang itu berlari mengejar. Panji dan Kenanga yang baru beberapa
langkah meninggalkan pin-
tu kedai menghentikan langkahnya dan menunggu.
"Ada apa lagi, Kisanak...?" tanya Panji begitu lelaki botak itu tiba di
hadapannya. "Kau pasti seorang pendekar. Bolehkah aku menge-
tahui julukanmu, agar dapat mengingat mu...?" tanya lelaki botak itu menatap
Panji dengan sorot mata kagum dan tunduk.
"Apalah arti sebuah julukan, Kisanak. Kami berdua
pengembara yang tidak memiliki kelebihan apa-apa...,"
sahut Panji merendah dan tidak ingin menyebutkan
julukannya. Lelaki botak itu tersenyum kecut. Ia tidak berani
memaksa. Mungkin saja jawaban pemuda tampan ber-
jubah putih itu benar, pikirnya. Sehingga saat Pendekar Naga Putih dan Kenanga
berbalik dan melangkah
pergi, lelaki botak itu hanya bisa memandang sampai bayangan pasangan pendekar
muda itu lenyap dari
pandangan. *** "Kisanak, harap perlahan sedikit..!"
Pendekar Naga Putih dan Kenanga yang baru saja
melewati perbatasan desa menunda langkahnya. Mata
keduanya bergerak mencari sumber suara tadi. Dan
berhenti ketika membentur sosok yang tengah duduk
di atas sebuah batu sebesar rumah di sebelah kanan jalan.
"Kaukah yang menegur kami, Kisanak...?" tanya
Panji meneliti sosok yang bergerak bangkit tanpa mengalihkan pandangan matanya
dari sosok Pendekar Na-
ga Putih. Tahulah Panji kalau dirinya yang dituju sosok pemuda tegap dan menarik
itu. Pemuda tampan berwajah dingin itu meluncur tu-
run dengan ringan. Dan mendarat tanpa menimbulkan
suara di hadapan Panji dan Kenanga. Melihat hal itu pasangan pendekar muda itu
maklum kalau pemuda
tampan beralis mata tebal itu ahli dalam ilmu meringankan tubuh.
"Siapa kau, Kisanak" Ada perlu apa menghadang
perjalanan kami...?" tanya Panji lagi.
Tapi, pemuda bermata dingin itu tidak menghirau-
kan pertanyaan Pendekar Naga Putih. Kakinya me-
langkah sambil meneliti sosok Panji dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Ciri-cirimu sangat mirip dengan orang yang kucari-
cari selama ini...," gumam pemuda tampan beralis teb-al tanpa senyum sedikit
pun. Bahkan sikapnya kelihatan meremehkan Panji. Padahal sepanjang ingatan
Pendekar Naga Putih, ia belum pernah berjumpa den-
gan pemuda beralis tebal itu.
"Maaf kalau aku tidak ingat kepadamu, Kisanak.
Tapi, rasanya kita belum pernah berjumpa...," ujar
Panji tetap tenang. Meskipun setiap pertanyaan yang dilontarkannya tidak pernah
mendapat jawaban.
"Memang belum...," sahut pemuda tegap itu dingin.
Kenanga tentu saja tidak bisa terima ada orang
yang meremehkan kekasihnya. Tanpa sempat dicegah
Pendekar Naga Putih, dara jelita itu melangkah maju sambil menudingkan
telunjuknya yang runcing.
"Heh, Orang Gila! Seenaknya kau menghadang per-
jalanan orang! Mulutmu pun bicara tanpa tujuan!
Apakah kau tuli hingga tidak mendengar pertanyaan
yang diajukan kepadamu" Atau kau memang sengaja
hendak mencari gara-gara dengan kami...!" bentak Kenanga. Sepasang matanya
berkilat marah. Kalau tidak bersama Panji, Kenanga sudah menerjang pemuda tegap
yang tidak tahu sopan-santun itu.
"Hm.... Cantik bagai bidadari, namun galak seperti
perempuan liar...," gumam pemuda bertubuh tegap se-
raya meneliti sosok Kenanga dengan pandang matanya
yang dingin. Kali ini bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Kata-katanya itu
demikian pedas didengar telinga. Hingga wajah Kenanga menjadi merah.
"Kurang ajar...!"
"Kenanga, tahan...!"
Panji segera menangkap lengan kekasihnya yang
siap menghajar pemuda tegap itu. Tapi dara jelita itu mencoba melepaskan cekalan
kekasihnya. Kenanga
benar-benar jengkel oleh tingkah dan ucapan pemuda
tampan bertubuh tegap itu. Tapi hal itu tidak dibiarkan Pendekar Naga Putih.
Ditatapnya dengan tajam
dara jelita itu saat menoleh kepadanya.
"Tenanglah. Kita belum tahu apa yang diinginkan
orang itu. Kelihatannya ia mempunyai persoalan den-
ganku," bisik Panji di telinga kekasihnya. Akhirnya Kenanga terpaksa mengalah
dan membiarkan kekasihnya
menangani persoalan itu.
"Hm.... Sungguh pasangan yang sangat serasi, dan
patut dijadikan contoh. Sayang kalian orang-orang
yang berhati kejam. Meskipun aku tahu kalian berdua bukan orang sembarangan...,"
ujar pemuda tampan
bertubuh tegap dengan nada yang sangat menyakitkan
dan tidak enak didengar.
"Apa sebenarnya maksudmu, Kisanak...?" tanya
Panji masih tetap bersabar. Karena ia belum tahu
maksud pemuda tegap itu menghadang jalannya.
"Kepandaianmu memang mengagumkan, Kisanak.
Aku telah menyaksikan sewaktu kau mempermainkan
lelaki botak di kedai tadi," kembali pemuda bertubuh tegap itu berkata tanpa
menjawab pertanyaan Panji.
Ucapan pemuda itu tidak membuat Pendekar Naga
Putih heran. Ia memang tidak memperhatikan orang-
orang yang singgah di kedai. Satu hal yang membuat-
nya waspada. Pemuda tegap itu tiba lebih dulu di luar desa tanpa diketahuinya.
Meskipun ia dan Kenanga
hanya berjalan biasa saat meninggalkan Desa Alur.
Setelah beberapa kali bertanya, namun tidak men-
dapat sambutan seperti yang diharapkannya, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan
senyumnya. Sesabar-
sabarnya manusia tentu mempunyai batas. Dan Panji
mulai kehilangan kesabaran. Pemuda itu tidak peduli lagi dengan lawan bicaranya.
Diajaknya Kenanga segera melanjutkan perjalanan.
"Berhenti...!"
Pemuda tampan bertubuh tegap itu membentak
saat melihat Pendekar Naga Putih dan Kenanga berge-
rak tanpa mempedulikan dirinya. Tubuhnya langsung
melayang dengan kecepatan mengagumkan. Dan me-
luncur turun satu tombak lebih di hadapan pasangan
pendekar muda itu setelah berputar beberapa kali di udara.
Tapi langkah Pendekar Naga Putih dan Kenanga ti-
dak terhenti. Keduanya bergeser ke tepi. Dan terus melangkah seolah bentakan itu
tidak didengar mereka.
Bahkan sosok di depannya tidak ditoleh sekejap pun!
"Kurang ajar...!"
Pemuda tampan beralis tebal itu menjadi jengkel.
Merasa dirinya disepelekan, tubuhnya kembali mence-
lat ke kiri menghadang jalan pasangan pendekar muda itu. Namun, Pendekar Naga
Putih tetap tidak mempedulikan. Saat pemuda tegap itu melompat menghadang,
Panji langsung menjejak tanah sambil menggenggam
lengan kekasihnya. Seketika itu juga, tubuh pasangan pendekar muda itu melayang
melewati kepala pengha-dangnya. Kemudian meluncur turun tiga tombak dari
tempat semula, dan terus melangkah tanpa menoleh
sedikit pun! "Setan...!"
Pemuda bertubuh tegap menggeram marah. Cepat
ia melesat mengejar. Namun begitu jarak mereka tinggal satu tombak lagi,
Pendekar Naga Putih kembali me-lambung ke udara bersama kekasihnya. Kemudian me-
luncur turun dalam jarak semula. Sehingga, wajah
dingin pemuda bertubuh tegap menjadi kemerahan.
Sinar matanya berkilat marah.
"Haaat...!"
Dibarengi sebuah teriakan nyaring, tubuh pemuda
tegap itu melayang ke udara. Kemudian berputaran
beberapa kali. Begitu menjejak tanah, kembali melambung tinggi. Gerakan itu
dilakukan berulang-ulang.
Hingga akhirnya....
Jliggg! "Hm.... Jangan bermimpi dapat pergi begitu saja da-
riku..!" desis pemuda tegap yang telah berdiri satu setengah tombak di hadapan
Panji dan Kenanga.
"Apa sebenarnya yang kau kehendaki dari kami, Ki-
sanak...?" tanya Panji. Akhirnya menghentikan lang-
kah, dan menatap sosok di depannya dengan sorot ma-
ta mencorong tajam.
Untuk sesaat pemuda tegap itu terkejut melihat so-
rot mata Pendekar Naga Putih. Namun sikapnya kem-
bali biasa. Rupanya ia dapat melawan pengaruh yang
terpancar dari mata Pendekar Naga Putih. Itu mem-
buktikan bahwa pemuda tampan bertubuh tegap itu
memang bukan orang sembarangan. Sebab, tidak ba-
nyak orang yang mampu berlama-lama menentang
pandang mata Panji.
"Huh! Rupanya kau ingin lari dari tanggung jawab,
Pengecut!" desis pemuda itu lagi-lagi tidak menjawab pertanyaan Panji.
Ucapan pemuda tegap itu pembuat Pendekar Naga
Putih menghela napas menekan kemarahan dalam da-
danya. Kendati demikian, suaranya terdengar biasa
saat ia berbicara.
"Kisanak. Kalau aku hendak menghindar darimu,
apa kau kira dapat mencegah kepergianku" Jika seka-
rang kau bisa menghadang, itu karena aku menghen-
dakinya. Kalau tidak, jangan harap kau dapat menyu-
sulku...!" karena merasa harga dirinya tersinggung.
Pendekar Naga Putih terpaksa mengucapkan kata-kata
yang belum pernah diucapkannya. Ucapan itu menyi-
ratkan kesombongan. Padahal Panji hanya ingin pe-
muda tegap itu tahu apa yang dilakukannya. Tapi pe-
muda tegap itu seperti buta, dan tetap merasa lebih tinggi dari Panji. Itu yang
Pendekar Naga Putih tidak suka.
"Hua ha ha...!"
Mendengar ucapan Panji, pemuda tegap itu tertawa
terbahak-bahak. Seolah ucapan itu sebuah lelucon.
Sikap itu membuat Pendekar Naga Putih ingin mem-
buktikan ucapannya. Dan....
*** 5 "Heiii..."!"
Pemuda tampan bertubuh tegap itu berseru kaget!
Tawanya langsung lenyap. Tahu-tahu saja tubuh pa-
sangan pendekar muda yang ada di hadapannya le-
nyap dengan tiupan angin besar yang membuat ram-
butnya berkibar!
"Kurang ajar...!" lagi-lagi pemuda tegap itu men-
gumpat marah. Begitu kepalanya menoleh, tampak
dua sosok bayangan samar berada beberapa belas
tombak di depannya. Tahulah ia kalau kedua orang
yang dihadangnya telah melarikan diri.
"Jangan harap kalian dapat lolos dariku...!"
Sambil berteriak-teriak, pemuda tegap itu menge-
rahkan seluruh ilmu lari cepatnya untuk mengejar
Panji dan Kenanga. Sebentar saja tubuhnya melesat


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hamukti Palapa 5 Joko Sableng Tabir Asmara Hitam Pendekar Latah 16
^