Pencarian

Petualang Sakti 2

Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti Bagian 2


bagai kilat Sehingga yang terlihat hanya bayangan samar yang kian menjauh.
Pendekar Naga Putih tidak lagi mempedulikan te-
riakan pemuda yang dianggapnya tidak waras itu.
Dengan membawa Kenanga tubuhnya terus melesat
secepat terbang. Kedua pasang kaki mereka bagai ti-
dak menyentuh tanah! Bahkan bayangannya pun su-
kar dilihat. Panji ingin membuktikan bahwa dirinya
dapat pergi bila memang menghendaki.
Dalam ilmu lari cepat, tampaknya Pendekar Naga
Putih memang sangat sukar dicari tandingannya. Buk-
tinya pemuda tegap itu tidak mampu mengejarnya. Pa-
dahal ilmu lari cepat pemuda tegap itu cukup tinggi.
Bahkan bisa dikatakan lebih tinggi dari Kenanga. Tapi bukan berarti ia dapat
menyamai Pendekar Naga Putih. Terlebih jalan yang dilalui agak berbelok-belok
dan tidak jarang mendaki. Akibatnya pemuda tegap itu kehilangan bayangan yang
dikejarnya. "Keparat..!"
Setelah beberapa belas tombak lagi berlari tidak ju-ga menemukan bayangan di
depannya, pemuda tegap
itu menghentikan larinya. Makiannya terlontar saat ia membanting kaki kanannya
ke tanah. Lalu melangkah
gontai sambil menyusut peluh yang membasahi wa-
jahnya. Nafasnya terdengar agak memburu. Tampak-
nya pemuda tegap itu telah mengerahkan seluruh ke-
mampuannya untuk mengejar Panji dan Kenanga.
'Tidak kusangka ilmu pemuda keparat itu demikian
tinggi...," desis pemuda tegap itu seraya melanjutkan langkahnya tanpa tujuan.
Jalan di depannya terpecah menjadi tiga. Dan ia tidak tahu ke mana jalan yang
diambil buruannya.
"Hik hik hik...!"
"Ehhh!"
Bukan main terkejutnya hati pemuda itu menden-
gar suara tawa perempuan. Sepasang matanya berpu-
tar liar mencari sumber suara itu. Kemarahannya
bangkit seketika. Ia mengira suara itu adalah tawa gadis jelita yang bersama
pemuda tampan berjubah pu-
tih. Dugaan itu membuat semangatnya bangkit kemba-
li. "Hm.... Pantas kalian begitu cepat menghilang. Rupanya bersembunyi di
sekitar tempat ini...," gumam
pemuda tegap tersenyum sinis. Tubuhnya berputar
mencari tempat persembunyian buruannya.
"Hik hik hik...!"
Kembali suara tawa itu terdengar, membuat kening
pemuda tegap itu berkerut dalam. Tubuhnya berputar.
Suara tawa itu seperti datang dari delapan penjuru.
Merasa dipermainkan, kemarahannya pun meledak!
"Hm.... Hendak kulihat apakah kalian masih tetap
bersembunyi!" geram pemuda tegap itu. Lalu menyedot udara banyak-banyak!
Maka.... Blarrr...! Semak belukar di kanan jalan berhamburan dengan
disertai ledakan keras saat pemuda tegap itu melon-
tarkan pukulan udara kosongnya. Berkali-kali pukulan itu dilakukan. Hingga....
"Hik hik hik...!"
Pemuda tampan bertubuh tegap itu berbalik secepat
kilat! Suara tawa kali ini datang dari belakangnya. Pukulannya siap terlontar.
Tapi.... 'Tunggu dulu sahabat yang tampan...!"
Pukulan jarak jauhnya tertahan. Di depannya ber-
diri seorang gadis cantik dengan senyum menggoda.
Wanita itu bukanlah orang yang dicarinya. Pemuda te-
gap itu tertegun. Pakaian yang dikenakan gadis cantik itu berwarna sama dengan
pakaiannya. "Siapa kau...?" tegur pemuda bertubuh tegap mena-
tap penuh selidik.
"Aku..." Ya tentu saja manusia! Apa kau pikir aku
ini kuntilanak" Atau memang rupaku begitu jelek,
hingga kau menyangka aku kuntilanak...?" enak saja
gadis cantik berpakaian serba merah itu menjawab.
Dan mengakhiri ucapannya dengan kekeh yang re-
nyah, membuat pemuda tegap gelagapan.
"Huh, aku tidak peduli siapa kau! Mau kuntilanak
kek, kuntilnenek kek. Aku tidak mau tahu!" balas pemuda tegap berpakaian serba
merah itu tidak mau ka-
lah. Ia menarik pulang tenaga pukulannya yang telah dipersiapkan. Kemudian
berbalik hendak meninggalkan tempat itu.
"Duh, galaknya. Apa kau tidak ingin tahu ke mana
perginya dua orang yang berlari secepat setan tadi...?"
tukas gadis cantik itu tidak meninggalkan senyum
manisnya. Bahkan sepasang mata beningnya menger-
jap berkali-kali saat pemuda tegap itu berbalik dan menatapnya dengan wajah
penasaran. "Hm.... Katakan ke mana mereka pergi...," ujar pe-
muda tegap itu berusaha menyembunyikan perasaan
hatinya yang agak tertarik pada gadis cantik yang lincah dan suka menggoda itu.
"Kau akan memberikan hadiah apa bila aku mem-
beritahukan ke mana mereka pergi...?" tukas gadis
cantik itu dengan sinar mata jenaka.
"Hadiah.:."!"
"Ya, hadiah. Kau tentu tahu setiap perbuatan harus
ada imbalannya, bukan...?" lanjut gadis cantik itu.
Pemuda tegap itu pun bingung seperti orang tolol. Ia tidak mengerti dengan sikap
gadis itu. Untuk beberapa
saat, pemuda itu tidak mampu menjawab. Hanya me-
mandang wajah cantik yang masih dihiasi senyum
manis. "Wah, tidak kusangka pemuda setampan dan sete-
gap ini ternyata sangat tolol! Padahal yang kukatakan tidak sulit untuk
dimengerti...."
Setelah berkata demikian, gadis cantik itu melang-
kah jenaka dan berbelok ke jalan sebelah kiri.
"Hei, tunggu...," pemuda tegap itu berseru mence-
gah. Rupanya ia baru sadar akan keadaan dirinya saat gadis cantik itu melangkah
pergi. Tapi gadis cantik itu tidak menghentikan langkah-
nya. Telapak kakinya yang mungil terus bergerak me-
nyusuri jalan berbatu. Seolah seruan itu tidak didengarnya. Bahkan menunjukkan
sikap tidak peduli saat
mendengar suara langkah orang mengejar di bela-
kangnya. "Nisanak, tungguuu..!" kembali pemuda tegap ber-
seru. Dan bergegas menghadang jalan gadis cantik
berpakaian serba merah itu.
"Hm.... Ada apa...?" tanya gadis cantik itu.
Sikapnya berubah jauh. Kali ini tampak tenang.
Bahkan hampir mendekati dingin dan tidak peduli.
Senyumnya pun tidak terlihat lagi. Sementara sepa-
sang mata beningnya menatap tajam pemuda di de-
pannya. Perubahan sikap gadis itu membuat pemuda dide-
pannya kelabakan. Tingkahnya jadi serba salah. Ru-
panya ia tidak menyangka akan mendapat sambutan
yang jauh berbeda.
Gila! Gadis itu benar-benar aneh dan sukar ditebak
perasaannya. Sikapnya tadi demikian hangat dan pe-
nuh godaan. Tapi sekarang..., gumam pemuda tegap
itu dalam hati. Tanpa sadar dia terbengong-bengong di
depan gadis cantik itu.
"Hik hik hik...!"
"Ehhh"!"
Pemuda bertubuh tegap itu tersadar ketika men-
dengar kekeh gadis cantik itu di depannya. Wajahnya bersemu merah.
"Kau ini benar-benar aneh! Aku tanya, kau kehera-
nan! Aku pergi malah mengejar. Apa sebenarnya yang
kau pikirkan" Kau tertarik padaku, ya?" ujar gadis itu tertawa renyah.
Gila...! Desis pemuda itu dalam hati. Gadis ini
sungguh luar biasa! Enak saja berkata demikian tanpa dipikir lagi! Siapa gadis
ini sebenarnya" Apa hadiah yang dimaksudkannya itu...."
"Nah, bengong lagi...."
"Eh! Oh.... Maaf...," ujar pemuda tegap itu tidak sadar kembali terbengong di
depan gadis cantik itu.
"Mmm.... Apa hadiah yang kau maksud tadi, Nisa-
nak?" tanya pemuda tegap itu mengalihkan pembica-
raan. "Namaku bukan Nisanak, tapi Savitri," tukas gadis
cantik itu memperkenalkan diri tanpa malu- malu.
"Eh.... Ya, Savitri. Mmm...."
"Apa yang ingin kau katakan" Sebutkan dulu na-
mamu. Bukankah aku sudah memperkenalkan nama-
ku...?" potong gadis cantik itu.
"Baik, baik. Namaku Kelana...," sahut pemuda tegap
terpaksa memperkenalkan namanya.
"Wah namamu aneh. Tapi terdengar gagah seperti
orangnya...," puji Savitri. Belum lagi pemuda itu sempat berkata, Savitri sudah
melanjutkan ucapannya.
"Aku tidak mendengar kau memuji namaku" Apa-
kah namaku jelek dan tidak enak didengar...?"
Deggg! Bukan main gadis cantik bernama Savitri ini, Kela-
na benar-benar tidak berdaya dibuatnya. Wajahnya
kembali dijalari warna merah. Ia tidak tahu harus
menjawab apa. "Namaku pasti jelek. Kau tidak suka mendengarnya,
kan?" Savitri kembali menyambung, membuat Kelana
semakin salah tingkah.
"Ah, tidak.... Tidak begitu...," potong Kelana serba salah.
"Maksudmu tentu tidak begitu bagus, bukan?"
"Bukan.... Bukan begitu maksudku...."
"Jadi...?" Savitri tersenyum manis melihat Kelana
kelabakan. Tapi, ia terus saja mendesaknya. Tampak-
nya ia memang ingin mendengar pengakuan Kelana.
"Namamu tentu saja bagus...," ucap Kelana meski
agak risi mengatakannya.
"Kalau begitu, kau menyukainya...?" desak Savitri
lagi. "Ya.... Aku menyukainya...."
"Jadi kau menyukaiku...?"
Mati aku! Desis Kelana dalam hati. Pertanyaan yang
sama sekali tidak diduganya itu membuat Kelana ter-
bengong tak tahu harus menjawab apa. Kalau ia bilang
'tidak', sudah pasti Savitri akan marah. Sedangkan untuk menjawab 'ya' jelas
tidak mudah. Meski ia tahu dirinya merasa tertarik dengan gadis yang tampak
demikian polos itu. Kelana kembali bengong seperti ayam sakit.
"Huh! Rupanya kau tidak suka kepadaku...!" meli-
hat Kelana terbengong-bengong seperti itu, Savitri me-rajuk dan memonyongkan
bibirnya yang tipis. Kemu-
dian melangkah meninggalkan Kelana yang semakin
kebingungan. Kelana sendiri tidak mengerti mengapa ia mau saja
diperlakukan demikian oleh gadis cantik itu. Pemuda itu belum sadar sepenuhnya
kalau ia sudah terpikat
oleh kecantikan dan keanehan sifat Savitri. Kalau tak, bagaimana mungkin Kelana
yang selalu bersikap dingin itu dapat dibuat kelabakan dan 'mati kutu'.
Melihat Savitri hendak pergi, Kelana mengembang-
kan kedua lengannya. Aneh" Ia yang selama hidupnya
hampir tidak pernah tersenyum, tiba-tiba bisa tersenyum begitu manisnya. Hingga
Savitri tertawa kecil.
"Aiiih.... Tidak kusangka kau memiliki senyum yang
manis seperti itu, Kelana...," ujarnya polos tanpa malu-malu.
"Kau cantik, Savitri. Aku..., menyukaimu...," Kelana akhirnya terpaksa
mengucapkan kalimat itu. Meski ia belum yakin benar akan perasaan hatinya. Kalau
kalimat itu ia ucapkan, karena ia tidak ingin melihat Savitri marah dan pergi
meninggalkannya. Padahal itu
memerlukan gadis cantik itu untuk mencari dua orang buruannya. Panji dan
Kenanga. "Hm.... Ucapan itu pasti terpaksa kau katakan, bu-
kan" Karena kau ingin mengetahui ke mana perginya
orang-orang yang kau cari itu...," tukas Savitri seperti bisa membaca jalan
pikiran Kelana. 'Tapi tidak apa.
Aku sudah cukup senang mendengar ucapanmu. Lagi
pula hadiah yang kuminta sudah kau berikan...," lanjut Savitri tersenyum.
"Ehhh..."!"
Lagi-lagi Kelana terheran-heran. Ia tidak merasa telah memberikan hadiah kepada
gadis cantik itu. Uca-
pannya semakin membuat Kelana yakin kalau gadis
cantik yang dihadapinya memang sulit ditebak, dan
mempunyai banyak keanehan yang tak terduga.
"Kau tentu merasa heran, bukan" Hadiah itu me-
mang sudah kau berikan. Aku sudah mengenal na-
mamu...," ujar gadis cantik itu tanpa peduli keheranan di wajah Kelana.
Kelana hanya bisa menghela napas mendengar pen-
gakuan Savitri. Anehnya, Kelana merasa semakin me-
nyukai gadis cantik berpakaian serba merah itu. Kare-na memang tidak sulit untuk
menyukai gadis cantik
dan selincah Savitri. Apalagi gadis itu pandai berbicara dan bertingkah memikat
Sehingga, Kelana yang bi-asanya selalu bersikap dingin terhadap siapa pun kini
dapat tertawa lepas. Semua itu karena Savitri.
"Sekarang mari ikut aku...," ajak Savitri melangkah mendahului pemuda tegap itu.
"Ke mana...?" tanya Kelana yang tanpa sadar men-
geluarkan pertanyaan bodoh itu.
"Wah, sifat ketololanmu masih belum hilang juga
rupanya...," ujar Savitri tanpa menghentikan langkahnya.
"Mengapa kau berkata demikian...?" tanya Kelana
berusaha menyejajari langkah gadis cantik itu.
"Nah, masih juga bertanya," tukas Savitri menoleh
dan tersenyum. "Bukankah kau ingin menemukan ke-
dua orang yang kau cari itu...?"
"Benar"!"
"Ketahuilah, sekarang aku hendak membawamu
bertemu dengan mereka. Aku melihat kedua orang
yang kau cari itu berlari melewati jalan ini Tentu saja mereka tidak tahu aku
bersembunyi di balik semak-semak. Aku curiga mereka tengah menghindari sesua-
tu. Habis lari mereka demikian cepat seperti setan...,"
jelas Savitri dengan manja. Bahkan enak saja me-
nyambar dan menggenggam jemari Kelana. Pemuda itu
terpaksa mendiamkan, takut gadis cantik itu marah
lagi. "Kau tahu siapa mereka...?" tanya Savitri tanpa
menghentikan langkahnya.


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak...."
"Pemuda berjubah putih yang sekelebatan kulihat
itu adalah Pendekar Naga Putih! Hanya pemuda itulah yang mampu berlari demikian
cepatnya...."
"Pendekar Naga Putih..."!" Kelana tampak tidak
menduga orang yang dikejarnya pendekar muda yang
saat itu namanya menggetarkan rimba persilatan.
Ucapan Savitri membuatnya terkejut!
"Kau terkejut.." Pendekar muda itu memang hebat
sekali. Jarang ada yang bisa menandinginya. Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu
bermusuhan dengan-
nya...?" tanya Savitri.
"Pemuda itu telah membunuh kedua orang- tua-
ku...," jawab Kelana yang merasa tidak perlu merahasiakan hal itu kepada
Savitri. Apalagi kini mereka telah saling mengenal.
"Jadi Pendekar Naga Putih telah membunuh kedua
orangtua mu...?" tanya Savitri setengah tak percaya.
'Tadinya aku tidak tahu pembunuh orangtua ku
orang yang berjuluk Pendekar Naga Putih. Kalau saja kau tidak memberitahu,
mungkin aku tidak akan pernah tahu...," jawab Kelana yang kelihatan agak tegang
ketika mengetahui siapa pemuda tampan berjubah putih yang menjadi musuhnya.
"Lalu, bagaimana kau bisa tahu pendekar muda itu
yang telah membunuh orangtua mu...?"
"Aku hanya mendapat keterangan tentang ciri-ciri si pembunuh. Dan, pemuda tampan
berjubah putih itu
mirip dengan gambaran pembunuh kedua orangtua
ku. Sayang dia berhasil lolos. Padahal sudah setahun lebih aku berkelana
mencarinya...," jawab Kelana menjelaskan dari mana ia tahu tentang pembunuh
orang- tuanya. "Hm.... Jangan khawatir, Kelana. Pendekar Naga
Putih memang sangat sombong! Aku akan memban-
tumu membalas sakit hati kedua orang- tuamu...!" tukas Savitri dengan suara
mengandung kemarahan dan
kebencian. Sehingga Kelana agak kaget
"Apakah kau juga mempunyai dendam pada Pende-
kar Naga Putih?" tanya Kelana menegasi.
"Ya, meskipun bukan dendam pribadi...," jawab Sa-
vitri tidak menyebutkan dendam yang ada dalam ha-
tinya. "Apa yang membuatmu mendendam pada Pendekar
Naga Putih, Savitri...?" Kelana mencoba menegasi apa yang membuat gadis cantik
itu kelihatan sangat mem-benci Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Kita sudah hampir sampai di perbatasan de-
sa. Sebaiknya kita jangan muncul terang- terangan."
Savitri dengan pandai mengalihkan pembicaraan.
"Sebaiknya kita tidak perlu sembunyi-sembunyi.
Aku akan langsung menghajarnya...!" tandas Kelana.
Tanpa diketahuinya Savitri tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu kemauanmu...," ujarnya me-
lanjutkan langkah memasuki batas desa.
*** 6 Savitri gadis yang lincah dan banyak akal itu lang-
sung bertanya pada seorang penduduk desa yang di-
temuinya. Ia yakin orang yang tengah duduk di depan rumahnya itu pasti melihat
bila ada orang asing lewat jalan utama desa itu. Dan perhitungannya tidak
meleset Savitri mendapat jawaban yang memuaskan!
"Memang belum lama ada pemuda tampan berjubah
putih dan seorang gadis seperti bidadari lewat di desa ini. Kelihatannya mereka
tidak berniat singgah...," jelas lelaki berusia empat puluh lima tahun itu
kepada Savitri. Tanpa mengucapkan terima kasih, Savitri segera menoleh ke arah
Kelana. Kemudian berkata agak perlahan.
"Mereka baru saja lewat di jalan ini. Ayo kita ke-
jar...!" Selesai berkata demikian, Savitri berkelebat menge-
rahkan ilmu lari cepatnya. Ternyata kepandaian gadis cantik itu sangat tinggi.
Ilmu lari cepatnya tidak kalah dengan Kelana. Hingga rasa suka dan kekaguman
pemuda tegap itu semakin bertambah.
"Gadis itu tidak saja cantik, tapi juga memiliki kepandaian tinggi. Jarang ada
gadis seperti dia. Beruntung sekali aku bertemu dan berkenalan dengannya.
Bantuannya jelas akan sangat berarti...," gumam Kela-na segera bergerak mengejar
Savitri. Sebentar saja ia dapat menyejajari langkah gadis cantik itu.
Tinggallah lelaki setengah baya kebingungan! Wa-
jahnya agak pucat ketika pasangan muda yang baru
saja berada di depannya tiba-tiba lenyap seperti menghilang. Tubuhnya tampak
gemetar! "Mereka pasti setan-setan penasaran...!" desisnya
segera bangkit dan bergegas masuk ke dalam rumah.
Kemudian mengunci pintu rapat-rapat.
Sementara itu Savitri dan Kelana hampir tiba di
perbatasan desa. Dari kejauhan keduanya melihat dua sosok bayangan tengah
melangkah meninggalkan desa
itu. Dari warna pakaiannya, Kelana langsung menge-
tahui kalau kedua orang itu adalah buruannya yang
sempat lolos. "Hei, mau lari ke mana pengecut...!" teriak Kelana
menambah kecepatan larinya untuk menyusul Kenan-
ga dan Panji. Sebenarnya Panji sudah mendengar suara langkah
orang berlari di belakangnya. Seruan itu membuat
Panji dan Kenanga menoleh. Kening keduanya tampak
berkerut. Mereka mengenali sosok pemuda tegap ber-
pakaian serba merah yang tengah berlari itu.
"Hm.... Rupanya sekarang ia membawa teman...,"
gumam Panji tidak berusaha melarikan diri. Pasangan pendekar muda itu hendak
melihat apa yang akan dilakukan pemuda tegap berpakaian serba merah itu.
"Hm.... Kalian pikir dapat lolos begitu saja dari tan-ganku...!" geram Kelana
begitu tiba dan menghentikan langkahnya satu tombak di hadapan Panji dan
Kenanga. "Kisanak, apa sebenarnya yang kau inginkan dari kami" Setahuku di
antara kita tidak pernah berjumpa.
Apa lagi mempunyai permusuhan...?" kembali Panji
menegur ingin mendapat penjelasan tentang sikap pe-
muda tegap itu.
'Tidak perlu banyak bicara! Sebaiknya kau bersiap-
siap menyusul kedua orangtua ku di akherat..!" kemudian Kelana melompat dengan
serangan mautnya yang
datang bertubi-tubi laksana gelombang lautan!
"Orang gila...!" desis Panji jengkel merasa tidak
mempunyai permusuhan dengan Kelana. Namun ka-
rena serangan itu tidak bisa dibuat main-main, Panji segera menggeser langkahnya
ke kiri dan kanan
menghindari. Kalau pada pertemuan pertama, sewaktu di Desa
Alur, Panji tidak mau meladeni sebelum mendapat
penjelasan, kali ini ia bersikap lain. Serangan Kelana langsung dibalas dengan
jurus-jurus ampuhnya. Se-
hingga, sebentar saja kedua pemuda tampan itu sudah terlibat perkelahian yang
seru dan mendebarkan!
"Haiiittt..!"
Kelana yang kelihatan sangat mendendam terhadap
Panji tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk
membangun serangan. Gempuran-gempurannya yang
mendatangkan sambaran angin tajam membuktikan
pemuda tegap berpakaian serba merah itu mengingin-
kan kematian Panji. Tentu saja Panji tidak sudi menyerahkan tubuhnya untuk
dijadikan sasaran lawan.
Sehebat apa pun serangan Kelana selalu dapat di-
atasi Panji dengan baik. Bahkan sesekali Panji melontarkan serangan balasan.
Tapi Kelana dapat melaya-
ninya dengan baik. Kelana memang bukan pemuda
sembarangan! "Yeaaahhh...!"
Sadar kalau lawan menginginkan nyawanya, Panji
tidak tinggal diam. Apalagi ketika serangan lawan semakin ganas. Jurus-jurus
yang digunakan Kelana ada-
lah jurus-jurus ampuh yang sangat hebat! Sayang,
Pendekar Naga Putih tidak bisa menebak dari mana
asal ilmu silat itu. Panji melihat jurus-jurus lawan campuran dari berbagai
sumber. Agaknya Kelana telah mempelajari banyak jenis ilmu silat. Tidak aneh
bila kepandaiannya sukar dicari tandingannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus kelima puluh
tiga, Panji menggunakan jurus 'Ilmu Silat Naga Sak-
ti'nya. Sebab serangan lawan semakin berbahaya. Dan Panji tidak ingin tubuhnya
dijadikan sasaran pukulan lawan.
Plakkk...! Suatu saat, lengan keduanya berbenturan keras
hingga menimbulkan suara berdentang nyaring, seper-
ti benturan dua batang besi.
"Uhhh."!"
Tubuh Kelana terjajar mundur sejauh enam lang-
kah. Wajahnya tampak menggambarkan keheranan
besar. Ia tidak menyangka tenaga dalam lawan demi-
kian kuat! Demikian pula dengan Panji. Benturan keras itu
membuat kuda-kudanya tergempur! Tubuhnya terjajar
sejauh empat langkah! Ia pun tidak menduga kekuatan pemuda tegap berpakaian
serba merah itu sangat hebat. Tidak banyak tokoh persilatan yang sanggup me-
nandingi tenaga dalamnya.
"Hm.... Kau masih tidak mau menyebutkan masa-
lahmu, Kisanak...?" tanya Panji penasaran. Karena
sampai sejauh ini belum mengetahui penyebab pemu-
da tegap itu demikian dendam kepadanya.
"Jangan berpura-pura bodoh, Pendekar Naga Putih!
Sebelum mayatmu mencium tanah, aku tidak akan te-
nang menjalani hidup di dunia ini...!" geram Kelana tidak juga mengatakan
penyebab kebenciannya terha-
dap pendekar muda itu. Tampaknya ia menghendaki
lawannya tewas dengan penasaran.
"Hm...."
Melihat lawan sudah menyiapkan ilmu-ilmunya
yang lebih tinggi, Panji tidak bertanya lagi. Ia tahu itu hanya akan menambah
rasa penasaran di hatinya.
Dan bukan mustahil ia bisa lengah karena memikirkan penyebab pertarungan itu.
Tentu saja Panji tidak menginginkan hal itu terjadi.
'"Tenaga Sakti Gerhana Bulan'..."!" desis Kelana.
Rupanya Kelana telah mendengar tentang tenaga muk-
jizat Pendekar Naga Putih. Sosok Panji tampak diseli-muti lapisan kabut bersinar
putih keperakan. Itu adalah ciri-ciri 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'!
"Hm. .. Mari kita buktikan, apakah tenaga sakti
mukjizatmu mampu mengungguli 'Tenaga Sakti Ge-
lombang Samudera' milikku ini...!"
Setelah berkata demikian, Kelana menghirup napas
banyak-banyak, angin keras berhembus saat sepasang
lengan Kelana berputar ke kiri dan kanan. Kemudian
dilanjutkan dengan gerakan seperti ombak berkejaran ke pantai. Jelas kekuatan
yang dimiliki Kelana merupakan tenaga dalam pilihan. Panji sadar akan hal itu.
Pemuda berpakaian serba merah ini memang hebat
sekali...! Kelihatannya ia memiliki pengalaman yang sangat luas. Mungkinkah ia
yang dijuluki orang Petualang Sakti..."! Tapi, apa yang membuatnya demikian
mendendam kepadaku" Mengapa ia menuduhku seba-
gai pembunuh kejam..." Panji segera menepiskan se-
mua pertanyaan yang mengganggu pikirannya. Saat
itu Kelana telah datang dengan serangan mautnya!
"Haaat..!"
Bettt, bettt, bettt..!
Serangan Kelana datang disertai gulungan angin ke-
ras yang membuat arena pertarungan laksana diamuk
badai lautan. Sepasang tangannya yang selalu beru-
bah-ubah bergerak cepat mencari sasaran. Memang
hebat serangan yang dilancarkan Kelana. Rasanya ju-
lukan Petualang Sakti bukan nama kosong belaka!
Tapi Panji bukanlah pemuda sembarangan! Julukan
Pendekar Naga Putih yang disandangnya merupakan
salah satu bukti ketangguhan pemuda berjubah putih
itu. Serangan Kelana sedikit pun tidak membuatnya
berkecil hati. Tubuhnya mencelat menyambut seran-
gan lawan. "Hiyaaat..!"
Dengan ilmu 'Silat Naga Putih'nya yang telah ba-
nyak menjatuhkan lawan, Panji bergerak maju. Sepa-
sang tangannya yang memiliki kecepatan gerak luar
biasa merupakan benteng ampuh, yang sekaligus se-
bagai tangan-tangan maut perenggut nyawa! Pertarun-
gan pun berjalan semakin hebat dan mengerikan!
Jurus demi jurus berlalu cepat Menginjak jurus ke-
delapan puluh sembilan, Pendekar Naga Putih meme-
kik keras! Tubuhnya bergerak bagai baling-baling,
yang terlihat hanya kilauan sinar putih keperakan. Da-ri lingkaran sinar itu
mencuat cakar-cakar dan telapak tangan yang menimbulkan deruan angin dingin
menu-suk tulang! Hingga Kelana terkejut dibuatnya!
"Yeaaahhh...!"
Plakkk! Mata Kelana rupanya cukup tajam, dan dapat meli-
hat serangan telapak tangan yang mengancam da-
danya. Cepat pemuda tegap itu menepiskan serangan
itu. Sayang gerakan lawan terlampau cepat. Sehing-
ga.... Desss, desss...!
Cakar Panji yang melenceng kembali berputar cepat
dan langsung bersarang di bahu lawan. Tidak cukup
hanya dengan tangan kiri, tangan kanannya menyusul
dengan hantaman yang mengenai lambung Kelana!
"Hukhhh...!"
Tubuh Kelana terlempar deras sejauh dua tombak
lebih. Semburan darah segar membasahi permukaan
tanah. Kendati demikian, pemuda tegap itu masih
sanggup mempertahankan keseimbangan tubuhnya
dengan berputar dua kali di udara. Tapi, tubuhnya
terhuyung delapan langkah ketika menjejak tanah.
Dan baru berhenti karena ditahan oleh Savitri.
"Pemuda itu benar-benar hebat, Savitri.... Rasanya
kau tidak mungkin dapat melawannya...," ujar Kelana sambil menyeringai menahan
sakit "Mungkin Pendekar Naga Putih terlalu kuat untuk-
mu, Kelana. Tapi belum tentu bagi kita berdua...," ujar Savitri. Sepasang
matanya memancarkan kemarahan.
"Sebaiknya kita pergi saja," Savitri. Gadis berpa-
kaian serba hijau itu tidak mungkin akan tinggal diam bila kita mengeroyoknya.
Kurasa kepandaian gadis itu sangat tinggi," bantah Kelana tidak ingin


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melanjutkan perkelahian.
"Belum tentu, Kelana. Kita lihat saja...," Savitri melangkah maju menghadapi
Panji, yang menatap gadis
cantik itu dengan kening berkerut.
"Hm.... Siapa lagi gadis berpakaian serba merah
itu..." Persoalan apa pula yang membuatnya memusu-
hiku...?" gumam Panji seraya meneliti sosok gadis cantik di hadapannya.
Melihat gadis cantik berpakaian serba merah ikut
maju ke arena, Kenanga segera mendekati kekasihnya.
Tangan dara jelita itu sudah gatal, ingin segera turun tangan.
"Yang ini biar menjadi bagianku, Kakang...," pinta
dara jelita itu menatap kekasihnya dengan pandangan memohon.
"Sabar, Kenanga. Aku ingin tahu lebih dulu apa
yang membuat gadis itu memusuhiku...," ujar Panji belum mau menyerahkan gadis
itu kepada Kenanga.
"Pendekar Naga Putih! Bersiaplah untuk menerima
kematianmu...!" begitu kata-katanya terucap....
Srattt...! Pedang bersinar kemerahan yang menerbitkan hawa
panas tercabut keluar dari sarungnya, dan tergenggam di tangan Savitri.
Kelihatannya senjata gadis itu bukan pedang sembarangan.
"Harap bersabar dulu, Nisanak!" ujar Panji perlahan dengan sorot mata setajam
pisau. "Hm.... Kau ingin meninggalkan pesan terakhir se-
belum kematianmu?" tukas Savitri tajam.
"Anggaplah begitu. Kuharap kau bersedia menjawab
pertanyaanku," jawab Panji sambil tetap meneliti sosok Savitri. Kalau-kalau ia
pernah bertemu sebelumnya
dengan gadis cantik itu.
"Cepat katakan...!" tandas Savitri tajam.
"Apa sebenarnya yang membuatmu demikian den-
dam terhadapku...?" tanya Panji menunggu jawaban.
"Hm.... Cukup kau ketahui bahwa kita bersilangan
jalan. Titik!" sahut Savitri membuat Panji tak mengerti.
Ia sama sekali tidak mengenal gadis cantik itu. Selain itu, alasan yang
dikemukakan Savitri tidak kuat Meski sudah bisa diraba, namun semua itu belum
dapat di-pastikan.
"Bisakah kau jelaskan lebih jauh, Nisanak...?"
'Tidak! Jawaban itu sudah lebih dari cukup! Kau
pasti mengerti ke mana arah jawabanku...!" tegas Savitri tidak ingin berpanjang
kata lagi. Kelana yang telah berada di samping Savitri tidak
berkata apa-apa. Sepasang matanya menatap Panji
dengan penuh dendam. Tangan pemuda itu menggeng-
gam sebilah pedang yang kelihatannya juga merupa-
kan senjata pilihan. Karena pemegangnya seorang ahli ilmu silat
"Kakang, mereka hendak mengeroyokmu...," bisik
Kenanga khawatir ketika melihat kedua orang itu su-
dah siap untuk menghadapi Panji.
'Tidak, usah khawatir. Aku masih sanggup menga-
tasi mereka berdua...," jawab Panji membuat Kenanga terdiam. Ia tahu akan
percuma memaksa kekasihnya
untuk mundur atau menyerahkan salah seorang lawan
kepadanya. Kenanga menelan kedongkolan hatinya.
Savitri yang cerdik segera menggunakan kesempa-
tan itu. Terdengar ucapannya yang tajam, dan mem-
buat selebar wajah Kenanga menjadi merah.
"Hm.... Mengapa harus ragu untuk maju berdua,
Pendekar Naga Putih" Biarkanlah kekasihmu mem-
bantu, agar kau tidak terlalu sulit menghadapi ka-
mi...," kendati mulutnya berkata demikian, namun hati Savitri berkata lain. Ia
memang hanya ingin memanc-ing pasangan pendekar muda itu.
Mendengar ucapan itu, Kenanga tidak dapat lagi
menahan kedongkolan hatinya. Dengan mata berapi-
api ditudingnya wajah Savitri yang menyunggingkan
senyum mengejek.
"Huh! Jangan kau kira kami suka mengandalkan
keroyokan seperti yang kau lakukan, Perempuan Liar!
Tanpa kubantu pun kalian tidak akan dapat berbuat
banyak! Kalau kalian tidak percaya, silakan membuk-
tikannya sendiri! Aku tidak akan turun ke arena...!" tegas Kenanga membuat hati
Savitri lega. Biar bagaima-napun ia menganggap lebih baik hanya menghadapi
Pendekar Naga Putih, daripada gadis jelita itu ikut terjun ke arena dan
menyulitkan mereka berdua.
"Bagus! Seorang gagah pasti akan memegang jan-
jinya sampai mati! Aku percaya kepadamu, Perempuan
Gagah...," tandas Savitri menyunggingkan senyum
puas di bibirnya. Tubuhnya kemudian bergerak ke ka-
nan. Sedang Kelana bergeser ke kiri. Mereka menge-
pung Pendekar Naga Putih dari dua arah yang berla-
wanan. "Kalau kalian masih tetap bersikeras tidak ingin
memberitahukan penyebab permusuhan ini, jangan
salahkan aku bila kalian meninggalkan dunia dengan
hati penasaran...!" ujar Panji
Kuda-kudanya direndahkan tanpa menggeser lang-
kahnya. Sepasang matanya bergerak meneliti langkah-
langkah kedua lawannya. Panji siap menghadapi ke-
royokan mereka dengan mengandalkan tangan kosong.
Ia memang jarang sekali menggunakan senjata pusa-
kanya kalau tidak dalam keadaan terdesak atau
menghadapi lawan yang benar-benar tangguh dan sulit ditaklukkan.
*** 7 "Bersiaplah menerima kematianmu, Pendekar Naga
Putih...!"
Dibarengi bentakan nyaring membahana, Savitri
melesat ke depan. Pedang di tangannya membentuk
gulungan sinar merah yang memancarkan hawa panas
menyengat. Sebentar saja tempat itu bagai dipenuhi ji-latan api.
Wuttt, wuttt...!
Serangan yang dilancarkan Savitri ternyata tidak
bisa dipandang remeh. Ilmu pedang gadis cantik ber-
pakaian serba merah itu jelas ilmu pilihan. Panji tidak berani bertindak gegabah
dalam mengatasi serangan
itu. "Haiiit!"
Belum lagi serangan pedang Savitri tiba, Kelana te-
lah menyusuli dengan putaran pedangnya. Terdengar
suara mengaung tajam seperti ratusan lebah marah!
Sadar akan kehebatan kedua serangan lawan, Panji
menghimpun tenaga. Seketika itu juga tubuhnya dila-
pisi kabut bersinar putih keperakan. Hawa dingin yang menyebar membuat tubuhnya
tidak merasakan hawa
panas yang datang dari pedang Savitri.
"Yeaaahhh...!"
Cwittt...! Dengan memiringkan tubuhnya, Pendekar Naga Pu-
tih berhasil menghindari tusukan pedang Savitri. Kemudian langsung menepis
dengan tangan kirinya saat
senjata itu berputar ke atas mengancam leher
Plakkk...! Tangkisan Pendekar Naga Putih yang dilakukan
dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
mendorong tubuh Savitri beberapa langkah. Namun
gadis-cantik itu mampu mengatasi keseimbangan tu-
buhnya. Bahkan kembali melesat dengan sambaran
pedangnya yang bergerak menyilang dari bawah ke
atas! Gerakan itu menunjukkan betapa tangguh dan
cekatannya gadis cantik itu.
Panji yang saat itu tengah menghadapi gempuran
Kelana terpaksa melompat jauh ke belakang. Kemu-
dian mempersiapkan ilmu 'Silat Naga Sakti'nya yang
ampuh dan jarang menemui tandingan.
"Heaaat...!"
Dengan 'Pekikan Naga Marah', tubuh Pendekar Na-
ga Putih melesat ke depan. Sepasang tangannya bergerak susul-menyusul dengan
kecepatan yang sukar di-
tangkap mata. Sehingga, baik Savitri maupun Kelana
harus menguras seluruh kepandaiannya untuk men-
gimbangi kehebatan Pendekar Naga Putih yang terken-
al kepandaiannya itu.
Kenanga yang menyaksikan perkelahian itu dari
tempat agak jauh sempat menggeleng kagum. Ia sedikit pun tidak menyangka orang-
orang muda yang mengeroyok kekasihnya, adalah tokoh-tokoh tangguh rimba
persilatan. Sehingga, pertarungan berjalan seru dan mendebarkan.
"Hm.... Mungkinkah Kakang Panji terpaksa meng-
gunakan Pedang Naga Langit untuk menghadapi kedua
orang itu...?" gumam Kenanga menduga-duga. Karena
meski telah memasuki jurus ketujuh puluh, bellum
tampak tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai
pemenang. Ternyata bukan hanya Kenanga yang merasa ka-
gum akan kehebatan Kelana dan Savitri. Panji sendiri yang bertarung lebih dari
tujuh puluh jurus harus
mengakui ketangguhan kedua lawannya. Mereka dapat
bekerja sama dengan baik dan saling menutupi kele-
mahan lawan setiap kali serangan Panji datang men-
gancam. Kerja sama mereka membuat Panji sulit un-
tuk mendesak. Karena mereka selalu dapat menanggu-
langi setiap serangannya.
Ketika pertarungan menginjak jurus kedelapan pu-
luh, timbul rasa penasaran di hati Panji. Apalagi kedua lawannya kelihatan
sangat menginginkan kematian-nya. Panji harus mengerahkan seluruh kekuatan tena-
ga dalamnya. Itu kalau ia masih ingin selamat dari
kematian. "Hiyaaat..!"
Dengan didahului lengkingan panjang, Pendekar
Naga Putih melesat ke belakang. Begitu kakinya me-
nyentuh tanah, secepat itu pula tubuhnya kembali melayang ke depan dengan
teriakan yang menggetarkan jantung!
Wusss...!.. . ,
Badai salju yang membawa hawa dingin luar biasa
tercipta saat Panji mendorongkan sepasang telapak
tangannya ke depan.
Hebat luar biasa serangan yang kali ini dilancarkan Panji! Pepohonan di
sekitarnya berderak ribut bagai hendak tumbang! Dedaunan berguguran saat pemuda
itu lewat di bawahnya. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya gempuran Panji!
"Savitri, hati-hati...!"
Kelana sadar akan kedahsyatan serangan Pendekar
Naga Putih. Cepat ia berseru memperingatkan gadis
cantik berpakaian merah yang berada satu tombak di
sebelah kirinya. Savitri terlihat mengangguk. Rupanya gadis cantik itu pun
maklum akan bahaya yang tengah datang mengancam mereka berdua.
"Kelana, pusatkan seluruh kekuatanmu ke badan
pedang! Kita sambut serangan bersamaan...!" Savitri mengajukan usul. Kelana
hanya mengangguk tipis. Ia
juga mengerti bagaimana cara mengatasi serangan
dahsyat itu. "Yeaaa...!"
"Haiiit...!"
Saat hembusan angin dingin membekukan itu se-
makin dekat, Kelana dan Savitri berteriak melengking merobek angkasa. Tubuh
keduanya meluncur dengan
putaran pedang yang. tidak lagi terlihat bentuknya, namun mendatangkan angin
ribut yang sangat hebat.
Sehingga.... Bressshhh...! Tanpa dapat dicegah lagi, terjadilah benturan dahsyat yang merontokkan dedaunan.
Arena pertarungan
bergoyang laksana dilanda gempa!
"Aiii..."!"
Kelana maupun Savitri berteriak ngeri! Tubuh me-
reka terlempar deras bagai dilontarkan tangan- tangan raksasa yang tak nampak!
Dan jatuh bergulingan di
tanah berdebu. "Huakhhh...!"
"Hoekhhh...!"
Hampir berbarengan, Savitri dan Kelana memun-
tahkan darah kental kehitaman. Sadarlah mereka ka-
lau benturan itu telah menyebabkan luka dalam yang
cukup parah! Kendati tidak sampai mencemaskan,
namun paling tidak mereka harus beristirahat selama beberapa belas hari.
Panji pun tidak luput dari bahaya. Tubuhnya yang
juga terdorong akibat benturan dua gelombang tenaga dalam berputaran dan
meluncur turun ke tanah. Tubuh Panji bergoyang-goyang beberapa saat. Dari kedua
lengannya menetes cairan merah.
"Kakang;.."!"
Kenanga terkejut melihat tetesan darah keluar dari
kedua lengan kekasihnya. Cepat ia melesat memburu
Panji. Dara jelita itu tidak tahu seberapa parah luka kekasihnya, dan apa yang
membuat Panji terluka.
'Tidak perlu cemas, Kenanga. Aku hanya tergores
mata pedang mereka...," Jelas Panji seraya memperlihatkan garis sepanjang
setengah jengkal pada bagian luar kedua lengannya. Rupanya pada saat berbenturan
kedua pedang lawan sempat menggores, kendati tidak
terlalu dalam. Tenaga gabungan Kelana dan Savitri
dapat menembus lapisan 'Tenaga Sakti Gerhana Bu-
lan'! Tanpa banyak bicara, Kenanga segera melepas ikat
pinggangnya. Lalu dipotong menjadi dua dan diba-
lutkan ke kedua lengan Panji yang terluka. Panji sendiri tidak berusaha menolak.
Ia tidak ingin membuat da-ra jelita itu semakin cemas.
"Biar kuhabisi mereka sekarang juga, Kakang...!"
geram dara jelita itu selesai membalut kedua luka di lengan kekasihnya. Kenanga
bergerak menghampiri
Kelana dan Savitri yang tengah menatap pasangan
pendekar muda itu dengan sorot dendam yang sema-
kin parah! "Kali ini kami terpaksa mengakui kehebatanmu,
Pendekar Naga Putih, lain kali kami akan membalas
kekalahan ini...!" ancaman itu keluar dari mulut Kelana. Tampaknya kekalahan itu
membuatnya semakin
dendam kepada Pendekar Naga Putih.
"Benar. Lain kali kami akan mencarimu untuk
membuat perhitungan!" timpal Savitri dengan sorot
mata menyala bagai bara api.
"Jangan harap ada kesempatan lain bagi kalian...!"
geram Kenanga seraya melangkah maju dan melo-
loskan Pedang Sinar Bulan yang melilit di pinggang-
nya. Terdengar suara mengaung saat pedang berhawa


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dingin itu berputar dengan kecepatan mengagumkan!
"Hm.... Jadi kau hendak membunuh lawan yang
sudah tidak berdaya" Hebat sekali...! Mari. Majulah, Perempuan Haus Darah!
Silakan bunuh kami berdua...!" tantang Savitri sedikit pun tidak kelihatan
gentar. Ucapan itu membuat langkah Kenanga tertahan.
Diam-diam Kenanga mengutuk kelicikan gadis cantik
berpakaian serba merah itu. Karena untuk membunuh
lawan yang sudah tidak berdaya merupakan pantan-
gan bagi orang-orang gagah. Rupanya Savitri cukup
tahu akan peraturan tak tertulis itu. Hingga tidak merasa takut dengan ancaman
dara jelita berpakaian ser-ba hijau itu.
"Apa yang dikatakannya benar, Kenanga...," ujar
Panji melangkah dan berdiri di samping kekasihnya.
"Kita tidak bisa berbuat apa-apa kalau mereka tidak melakukan perlawanan...."
'Tidak!" bantah Kenanga dengan mata berapi-api.
"Ingin kulihat apakah mereka benar-benar pasrah me-
nerima tusukan pedangku...!"
Baru saja ucapan itu selesai, tubuh Kenanga men-
celat ke . depan. Sinar putih keperakan berkilauan
dengan ditandai suara mengaung tajam laksana ratu-
san lebah marah! Dan. ..
Wuttt...! Ujung pedang Kenanga meluncur dengan kecepatan
kilat Panji terlambat mencegah. Ia hanya bisa me-
nunggu apa yang akan terjadi.
Tapi, Savitri memang seorang gadis yang memiliki
kepandaian dan keberanian tidak lumrah, di samping keanehannya; Ancaman ujung
pedang Kenanga sedikit
pun tidak berusaha dielakkan. Bahkan sepasang ma-
tanya tidak berkedip. Dan senyum mengejek tersungg-
ing di bibirnya yang tipis menggemaskan!
"Aaah..."!"
Sikap pasrah Savitri membuat Kenanga terkejut se-
tengah mati! Ujung pedangnya terhenti setengah jengkal dari sasaran. Kenanga
tidak sanggup melakukan
perbuatan itu. Savitri memang tidak melakukan gera-
kan perlawanan sedikit pun!
"Setan licik...!" Kenanga hanya bisa mengumpat
jengkel. Pedang Sinar Bulan kembali ditarik pulang
dan tergantung lemas di sisi tubuhnya.
"Mari kita pergi, Kelana...," ajak Savitri yang sempat mendengus ke arah
Kenanga. Kemudian bergerak meninggalkan tempa itu dengan mengajak Kelana yang
tentu saja semakin kagum dan suka pada Savitri.
"Biarkan mereka pergi Kenanga. Siapa tahu di ten-
gah jalan mereka berubah pikiran dan melupakan
permusuhan ini...," hibur Panji menepuk perlahan ba-hu dara jelita itu, yang
tidak mengalihkan pandangannya dari sosok Kelana dan Savitri yang kian menjauh.
'Tapi mereka merupakan ancaman bagi kita, Ka-
kang...," keluh Kenanga menghela napas panjang. Ia
sadar pasangan orang muda musuh yang tangguh dan
licik. Perjalanan mereka selanjutnya pasti akan selalu dibayangi maut!
"Yahhh.... Tapi yang lebih berbahaya gadis berpa-
kaian serba merah itu. Ia jelas-jelas dari golongan sesat Ilmu silat yang
dimilikinya sangat keji dan mengandung tipuan-tipuan jahat Tampaknya gadis itu
mu- rid seorang tokoh sesat tingkat tinggi. Namun yang
membuatku heran. Pemuda berpakaian serba merah
itu mempunyai kepandaian yang beragam dan sulit di-
tebak. Tidak sedikit ilmu-ilmu sesat mewarnai gera-
kannya. Entah dari golongan mana sebenarnya pemu-
da tampan dan tegap itu" Sayang ia tidak menjelaskan mengapa sampai demikian
menaruh dendam kepadaku...?"
"Mengapa ia tidak mengatakannya kepada kita, Ka-
kang...?" "Hm.... Mungkin ia ingin membuatku penasaran.
Dengan begitu, ia berharap dapat mengganggu kete-
nangan pikiranku. Bahkan mungkin ia akan tetap me-
rahasiakannya meski aku sampai tewas di tangannya.
Dari menjadi hantu penasaran...," jelas Panji dapat menebak apa yang diinginkan
pemuda tegap berpakaian serba merah itu.
"Kalau benar begitu, jelas ia sama kejam dan jahat-
nya dengan kuntilanak berpakaian merah itu...," tukas Kenanga semakin geram.
Sebab teka-teki kedua orang
musuhnya itu masih juga belum terjawab.
"Sudahlah. Untuk apa memikirkan orang-orang gila
seperti mereka. Kita harus segera melanjutkan perjalanan. Dengan adanya kejadian
ini, kemungkinan besar
maut akan selalu membayangi. Sebaiknya kita mencari tempat bermalam di
perkampungan...," ujar Panji yang menyadari sejak kejadian ini, kehidupan mereka
terancam. Kelana dan Savitri telah mengucapkan anca-
man itu. Tanpa banyak tanya, Kenanga segera mengayun
langkah menjajari Panji. Keduanya bergerak menjauhi perbatasan desa. Untuk
menginap di desa yang telah
mereka lewati jelas tidak mungkin. Bukan mustahil
kedua lawannya bermalam di desa itu. Mereka tentu
tidak menginginkan hal itu sampai terjadi.
*** Setelah beberapa hari melakukan perjalanan, hati
Kenanga dan Panji mulai terasa tenang. Apa yang me-
reka khawatirkan ternyata tidak terbukti. Gangguan-
gangguan yang mereka sangka akan muncul tidak
pernah datang. Sehingga, keduanya menduga sepa-
sang orang muda berpakaian serba merah itu telah
melupakan dendamnya.
"Kurang ajar...! Mereka benar-benar membuatku
penasaran dan tak bisa tidur nyenyak...!" Kenanga merasa kesal dengan ancaman
yang tidak pernah terbukti itu. Rupanya ia sangat mengharapkan orang-orang itu
muncul mencari mereka berdua.
"Sudah kukatakan sebaiknya lupakan saja tentang
mereka. Menurutku ucapan itu terlontar karena ama-
rah yang tidak terkendali. "Mungkin saat ini mereka sudah melupakannya...,"
tukas Panji menenangkan
Kenanga. "Belum tentu, Kakang. Siapa tahu mereka tengah
mempersiapkan kekuatan untuk mencelakakan kita.
Kalau mereka datang terang-terangan, jelas aku tidak takut menghadapinya. Yang
aku khawatirkan kelicikan gadis berpakaian serba merah itu. Ia akan melakukan
kecurangan-kecurangan untuk mencelakakan kita...,"
bantah Kenanga merasa yakin musuh-musuh mereka
masih menyimpan dendam. Kendati sampai hari ini be-
lum terbukti, tapi suatu hari kelak Kenanga yakin mereka akan datang untuk
melenyapkan mereka berdua.
"Hm...."
Pendekar Naga Putih kelihatannya mulai dapat me-
nerima kekhawatiran dara jelita itu. Mengingat gadis berpakaian merah itu
golongan sesat, bukan mustahil perbuatannya akan diwarnai dengan kelicikan dan
tipu muslihat serta segala macam cara untuk membalas
dendamnya. Bisa jadi mereka akan muncul bersama
tokoh-tokoh lain yang juga menaruh dendam pada
Pendekar Naga Putih.
"Apa yang kau khawatirkan mungkin ada benarnya.
Bukan mustahil gadis licik itu akan mempergunakan
tangan orang lain untuk menghadapi kita...," ujar Panji akhirnya menyetujui
dugaan kekasihnya.
"Itu berarti kita belum terbebas dari ancaman sam-
pai mereka dapat kita lenyapkan dari atas muka bumi ini...," tukas Kenanga.
Suaranya terdengar demikian geram seperti mena-
ruh dendam kepada kedua musuhnya itu. Ancaman
orang-orang itu membuat perjalanan mereka selalu diwarnai kewaspadaan. Terutama
saat malam datang.
Saat ini cahaya bulan memancar redup. Bulan sabit
menggantung di langit kelam. Panji dan Kenanga yang terjebak di dalam hutan,
saat malam datang, terpaksa melewati malam di tempat itu. Mereka memilih daerah
yang agak terbuka dan jarang ditumbuhi pepohonan.
"Hm...., Di tempat seperti inilah mungkin kedua
orang jahat itu akan memulai ancamannya...," sebelum membaringkan tubuhnya
dengan berbantalkan bunta-lan pakaian,, dara; jelita itu bergumam mengingatkan
Panji. "Sebaiknya kau. beristirahat Kenanga. Buang piki-
ran itu jauh-jauh agar tidurmu tidak terganggu. Men-
genai ancaman itu, kalau benar terbukti, biar aku yang menghadapi...," hibur
Panji yang sudah menyalakan
api untuk mengusir dingin dan nyamuk-nyamuk hu-
tan. Kenanga hanya menghela napas perlahan. Kemu-
dian mencoba membuang segala ancaman yang meng-
hantui pikirannya. Matanya terpejam rapat ingin me-
nikmati waktu istirahat dengan sebaik-baiknya.
Pendekar Naga Putih menoleh sekilas dan terse-
nyum melihat dara jelita itu telah memejamkan ma-
tanya. Beberapa saat kemudian, terdengar dengkurnya yang halus. Melihat jalan
napas gadis itu, Panji yakin kekasihnya telah terlelap. Kenanga telah mematuhi
pe-tunjuknya. Dan mempercayakan segala sesuatu kepa-
da kekasihnya. Pendekar Naga Putih yang tetap berjaga-jaga sese-
kali menambah kayu bakar agar tetap menyala. Sejauh itu ia tidak mendengar
sesuatu yang mencurigakan.
Kendati demikian, pendengarannya dikerahkan agar
dapat menangkap suara dalam jarak puluhan tombak.
Malam terus beranjak tenang tanpa ada sesuatu yang
dikhawatirkan Kenanga.
Tapi, saat menjelang tengah malam Panji menang-
kap langkah-langkah halus menghampiri tempatnya
bermalam. Kening pemuda itu berkerut ketika sadar
langkah-langkah itu datang dari sekelilingnya. Tahulah Panji kalau tempat itu
akan langsung terkepung saat pemilik langkah datang menampakkan diri.
"Hm.... Mendengar suara langkah kakinya, mereka
pasti tidak kurang dari lima puluh orang. Anehnya,
suara langkah mereka tidak menggambarkan ilmu
yang tinggi. Kepandaian orang-orang itu hanya bertaraf lumayan, meski cukup
terlatih untuk bergerak di malam hari. Mungkinkah mereka pengikut-pengikut se-
pasang orang muda yang dendam kepadaku...?" gu-
mam Panji tetap memasang indera pendengarannya
untuk berjaga-jaga. Kemudian bergerak perlahan
menghampiri kekasihnya yang sedang terlelap.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga tersentak ka-
get ketika Panji membangunkannya.
"Waspadalah. Kita akan kedatangan tamu yang ti-
dak diundang...," jawab Panji segera memberikan isyarat agar dara jelita itu
tidak menimbulkan gerakan
yang mencurigakan. Dan menunggu kemunculan pe-
milik suara langkah-langkah itu.
*** 8 Suara burung malam terdengar saling bersahutan.
Seolah-olah memberi pertanda tidak baik bagi pasan-
gan pendekar muda itu. Hembusan angin malam yang
dingin menyentuh kulit sesekali bertiup keras meng-
goyangkan ranting-ranting pohon. Namun suara geme-
risik dedaunan tidak mengganggu pendengaran Panji.
Telinganya tetap dapat membedakan suara langkah
kaki. yang didengarnya.
"Hm.... Sepertinya jumlah mereka cukup banyak,
Kakang. Jangan-jangan mereka hanya gerombolan pe-
rampok tengik...," bisik Kenanga ketika telinganya mulai mendengar suara langkah
kaki orang banyak itu.
"Ku perkirakan jumlah mereka tidak kurang dari
lima puluh orang. Rata-rata memiliki kepandaian yang lumayan...," ujar Panji
menduga-duga. Kenanga tidak berkata apa-apa. Demikian pula Pan-
ji. Keduanya tetap waspada menanti kemunculan ge-
rombolan yang diduganya lawan. Mereka baru me-
layang ke atas sebuah pohon besar saat langkah kaki itu terdengar semakin dekat.
Tidak berapa lama kemudian yang dinantikan pun
muncul. Satu persatu sosok-sosok bayangan hitam
bermunculan dari sekeliling tempat Panji dan Kenanga bermalam. Panji yakin
mereka berdualah yang dituju orang-orang itu. Terbukti mereka seperti tengah
mencari-cari sesuatu.
''Aneh.!." Ke mana perginya kedua orang itu..." Pa-
dahal jelas-jelas bermalam di tempat ini. Buktinya api itu belum dipadamkan.
Mungkinkah mereka telah pergi...?" terdengar salah satu dari sosok-sosok tubuh
itu berkata dengan heran.
'Tidak mungkin mereka dapat pergi tanpa setahu ki-
ta. Sekitar tempat ini telah terkurung...!" bantah sosok lainnya tak setuju.
Meskipun demikian ada keraguan
dalam ucapannya. Orang yang mereka cari memang ti-
dak terlihat di sekitar tempat itu.
"Percuma! Mereka pasti telah pergi. Sebaiknya kita
segera kembali. Tidak ada gunanya membuang-buang
waktu...!" sosok bayangan hitam bertubuh tinggi kurus memerintah dengan suara
lantang. Kemudian mengge-rakkan tangan kanannya memberi isyarat untuk pergi
dari tempat itu.
Tanpa banyak cakap, sosok-sosok bayangan hitam
yang jumlahnya ternyata hanya belasan orang itu bergerak pergi. Dalam sekejapan
tempat itu kembali sepi.
Hanya suara binatang malam dan siliran angin yang
sesekali keras mengisi keheningan malam.
"Hm.... Mungkinkah pendengaranku salah" Padahal
ku perkirakan jumlah mereka paling tidak lima puluh orang" Mengapa yang muncul
cuma beberapa belas sa-ja...?" desis Panji heran. Pemuda itu termenung bebe-
rapa saat lamanya.
"Kelihatannya memang ada yang tidak wajar...," de-
sis Kenanga sependapat dengan Panji.
"Kalau begitu, kau tetaplah di sini. Aku akan turun memeriksanya...," ujar Panji
menatap kenanga menunggu jawaban.
"Baiklah, Kakang. Hati-hati.,.."
Setelah mendapat jawaban dari kekasihnya, Panji
meluncur turun dari tempat persembunyian. Tubuh-
nya mendarat ringan tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun. Setelah berdiam sesaat
memperhatikan sekelilingnya, Panji melangkah perlahan. Tapi....
Wuttt, wuttt, wuttt...!
Pendekar Naga Putih menahan langkahnya ketika
mendengar suara desingan menuju ke arahnya. Suara
itu datang dari empat penjuru! Cepat ia menoleh untuk mengetahui benda apa yang
menimbulkan suara deruan angin itu. Dan....
"Haiiit..!"
Dengan gerakan yang sukar diikuti mata, tubuh
Pendekar Naga Putih melenting ke udara. Ia sempat
menangkap adanya benda-benda panjang seperti ular


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

meluncur ke arahnya. Pemuda itu baru bergerak turun setelah yakin benda-benda
panjang itu tidak akan dapat menjangkaunya. Baru saja kedua kakinya menyen-
tuh tanah, tiba-tiba....
Rrrt, rrrt, rrt..!
Terkejut bukan main hati Panji ketika merasakan
ada sesuatu melilit kedua kakinya. Lalu kedua tan-
gannya pun tak luput dari lilitan benda panjang itu.
"Kurang ajar...!" desis Panji ketika menyadari di-
rinya memang telah ditunggu-tunggu lawan-lawannya
yang bersembunyi. Ia telah masuk ke dalam perangkap lawan.
Kendati kaki dan tangannya telah terlilit benda-
benda panjang yang ternyata tali-tali sebesar ibu jari.
Pendekar Naga Putih tidak panik Yang pertama dila-
kukannya adalah menyentakkan tali yang melilit ke-
dua tangannya. "Heaaah...!"
Dua sosok tubuh yang bersembunyi di atas pepo-
honan langsung tersentak keluar dari tempat persem-
bunyian. Tapi hal itu tampaknya memang disengaja.
Sosok-sosok tubuh yang tersentak keluar itu terus
menyeberang melewati tubuh Panji.
"Hm...."
Pendekar Naga Putih bergumam jengkel. Dengan
lompatan-lompatan orang-orang itu, tubuhnya sema-
kin erat terlibat tali. Sadarlah Panji kalau orang-orang itu hendak mengikat
tubuhnya. "Haiiit..!"
Belum lagi Panji sempat melakukan gerakan kem-
bali terdengar suara teriakan. Disusul kemudian dengan tubuh-tubuh yang
berloncatan melewati kepa-
lanya. Panji kagum. Mereka rata-rata memiliki ilmu meringankan tubuh cukup
tinggi. Sehingga, apa yang
mereka kehendaki menunjukkan hasil yang baik!
Semula Pendekar Naga Putih tidak khawatir. Ia
mengira tali yang mengikat dirinya tidak memiliki keis-timewaan apa-apa. Tapi
saat hendak memberontak
memutuskan tali-tali itu betapa terkejut Pendekar Na-ga Putih. Meski mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' tali itu tidak mampu diputuskan! Tahulah Panji kalau tali itu terbuat
dari jalinan kulit binatang yang telah direndam sejenis ramuan hingga tidak
dapat diputuskan dengan senjata tajam sekalipun.
"Gila...! Mengapa aku bertindak seceroboh ini...!"
desis Panji segera mempertahankan kedua kakinya
agar tidak terikat seperti kedua tangannya yang tidak lagi dapat digerakkan.
"Heaaahhh...!"
"Hahhh...!"
Empat sosok tubuh yang melibatkan tali ke paha
dan pergelangan kaki Panji bergerak memutari tubuh
pemuda itu. Mereka hendak mengikat kedua kaki Pen-
dekar Naga Putih, agar pemuda itu lumpuh dan terikat seluruh tubuhnya.
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak ingin mengu-
lang kecerobohannya. Ia merendahkan kuda-kudanya
dan menekuk kedua lututnya. Sehingga meski tali-tali itu melibat kedua kakinya,
namun tidak mampu me-nyatukan kedua kaki pemuda itu. Tubuh Panji berdiri dengan
kedua kaki menekuk.
Saat Panji tengah mempertahankan diri agar tidak,
dapat dilumpuhkan lawan, tiba-tiba terdengar sebuah jeritan. Terkejut bukan main
pemuda itu. Jeritan itu sangat dikenalinya dengan baik!
"Kenanga..."!" desis Panji. Wajahnya berubah. Dari
jeritannya, Pendekar. Naga Putih tahu kekasihnya tengah terdesak atau dalam
bahaya. Seketika itu juga
kemarahannya timbul.
Sadar kekasihnya tengah terancam, Panji segera
memejamkan mata rapat-rapat Jalan satu-satunya un-
tuk membebaskan diri hanyalah dengan menggunakan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'. Tinggal kekuatan mukjizat berhawa panas itulah
harapannya. Maka....
"Hiyaaat..!"
Dibarengi 'Pekikan Naga Marah', muncullah sinar
kuning keemasan membungkus tubuh Panji. Seketika
itu juga.... Brrrlll...! Tali-tali yang mengikat tubuh Pendekar Naga Putih
memperdengarkan bunyi berkeretekan terbakar. Bah-
kan menjalar dengan cepat ke tangan pemiliknya. Se-
hingga.... "Aaa...!"
Delapan lelaki yang berada di sekeliling Panji langsung melepaskan tali yang
tergenggam di tangannya.
Mereka berlompatan mundur dengan wajah pucat
sambil meniup-niup telapak tangannya yang terjilat
api. "Ilmu setan ..!"
"Iblisss..!"
Terdengar desisan kedelapan orang itu, Kelihatan
sekali pancaran kegentaran pada wajah-wajah mereka.
Apa yang dilakukan Panji sangat mustahil!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mempedulikan
kedelapan orang. itu. Yang dipikirkannya hanya keselamatan Kenanga. Maka
seketika itu juga tubuhnya
melayang meninggalkan tempat itu. Ia memang telah
terseret jauh dari tempat semula.
Zing, zing, zing...!"
Gerakan Panji dihalangi suara berdesingan yang da-
tang dari segala penjuru. Mendengar suara desingan-
nya, sadarlah Pendekar Naga Putih kalau dirinya dihujani anak panah. Cepat ia
mengibaskan kedua lengan-
nya ke kiri dan kanan. Hembusan angin keras berhawa panas membakar bertiup!
"Heaaa...!"
Hebat sekali akibat pengerahan 'Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi' itu! Puluhan batang anak panah yang da-
tang mengancam runtuh dalam keadaan hangus ter-
bakar. Padahal jaraknya masih setengah tombak dari
tubuh Panji. Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya
kekuatan tenaga mukjizat itu!
Tanpa mempedulikan anak-anak panah yang run-
tuh ke tanah, Pendekar Naga Putih terus melanjutkan niatnya hendak melihat
keadaan kekasihnya. Meski tidak mengerti mengapa Kenanga sampai berada jauh
dari tempat persembunyiannya, semua itu tidak lagi
dipikirkan. Yang penting ia harus segera tahu bagaimana keadaan dari jelita itu.
*** "Haaat..!"
Tapi, lagi-lagi Pendekar Naga Putih harus menahan
kegeraman Hatinya. Dari semak-semak di sekitar tem-
pat itu, berlompatan sosok-sosok tubuh dengan men-
genggam senjata terhunus! Mereka langsung mener-
jang pemuda itu.
"Kurang ajar...!"
Lagi-lagi Panji hanya bisa mengumpat geram. Tu-
buhnya berkelebatan di antara sambaran pedang la-
wan. Sehingga, tak satu pun mata pedang dapat me-
nyentuh tubuhnya. Para pengeroyok menjadi penasa-
ran! 'Terima ini...!"
Merasa jengkel dengan sikap keras kepala lawan-
lawannya, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan ke-
sabaran. Tangan dan kakinya bergerak menghajar la-
wan. Sebentar saja empat sosok tubuh terjungkal tewas mencium tanah. Dalam
kecemasannya akan nasib
Kenanga, Pendekar Naga Putih telah menggunakan se-
tengah dari tenaga mukjizatnya untuk menghajar la-
wan. Karuan saja tubuh keempat orang itu terpang-
gang hangus! Tapi meskipun korban telah berjatuhan, semangat
serta keberanian para pengeroyok itu tidak berkurang.
Mereka tetap nekat mencegah tubuh pemuda itu yang
hendak melewati mereka. Sehingga, mengamuklah
Pendekar Naga Putih dengan pukulan-pukulan mau-
pun tendangannya yang membawa hawa panas mem-
bakar! "Aaa...!"
Lagi tiga orang lawan terjungkal dengan tubuh han-
gus! Kepalan serta tamparan Pendekar Naga Putih te-
lah mengirim mereka ke neraka. Dan, hal itu terus ber-lanjut
"Haiiit...!"
Di saat Panji tengah mengamuk bagai naga murka
terdengar pekikan melengking. Disusul suara ledakan memekakkan telinga!
Jtarrr, ctarrr...!
Pendekar Naga Putih melompat ke samping meng-
hindari sebuah patukan benda panjang yang mengan-
cam pelipisnya. Dari sambaran anginnya yang laksana dengung lebah marah, Panji
tahu penyerangnya bukanlah orang sembarangan! Ia tidak berani bertindak gegabah
sebelum mengetahui benda yang digunakan
lawan untuk menyerang dirinya.
Darrr...! "Haiiit..!"
Kembali Pendekar Naga Putih melompat jauh ke be-
lakang. Untunglah gerakannya masih lebih cepat dari sambaran benda berbentuk
mata tombak itu. Kalau tidak, besar kemungkinan tubuhnya berlubang seperti
tanah tempatnya semula berpijak.
"Gila...!-' desis Panji takjub melihat kehebatan senjata lawan. Kepalanya
tengadah hendak melihat pemi-
lik senjata yang belum diketahui bentuk keseluruhannya itu.
"Kau...! Bukankah kau yang berjuluk Cambuk Pe-
nakluk Naga..."!" seru Panji rupanya telah mengenal baik lawannya.. Itu
diketahuinya setelah melihat cambuk yang pada bagian ujungnya berbentuk mata
tom- bak. Siapa lagi tokoh itu kalau bukan Cambuk Penak-
luk Naga! "Heh heh heh...! Sudah lama aku ingin merasakan
kehebatanmu yang telah mengguncangkan rimba per-
silatan! Tidak tahunya kabar itu bukan isapan jempol belaka! Kau memang pantas
menyandang gelar itu.
Pendekar Naga Putih! Tapi, kali ini nagamu akan sege-ra bertekuk lutut oleh
ujung cambukku...!"
Terdengar suara tawa menggelegar dan suara parau
tokoh berusia kira-kira tujuh puluh tahun itu. Tubuhnya tidak terlalu tinggi.
Bercambang bauk yang meng-hiasi hampir seluruh wajahnya. Memang pantas kalau
kakek berpenampilan menyeramkan itu menyandang
julukan Cambuk Penakluk Naga. Permainan cambuk-
nya sulit dicari tandingannya.
"Hm ... Mengapa kau memusuhiku, Cambuk Penak-
luk Naga" Bukankah di antara kita tidak mempunyai
urusan...?" tegur Panji dengan sorot mata mencorong tajam, membuat kakek itu
bergidik juga menatapnya.
"Heh heh heh.... Mengapa masih bertanya lagi, Pen-
dekar Naga Putih" Bukankah jalan kita bertentangan"
Jadi tidak mungkin kita dapat hidup berdampingan,
bukan", Nah, salahkah kalau aku hendak mele-
nyapkanmu...?" tukas Cambuk Penakluk Naga mem-
perdengarkan tawanya yang menyebalkan.
"Jadi kedatanganmu dengan membawa pengikut
bukan atas kehendak orang lain...?" tegas Panji ingin mengetahui apakah ada
orang yang berdiri di belakang tokoh sesat itu.
"Cukup, Pendekar Naga Putih! Aku datang ke tem-
pat ini bukan untuk melayani pertanyaanmu! Sebaik-
nya kau bersiaplah agar kematianmu tidak sia-sia...!"
tandas Cambuk Penakluk Naga tak mau menjawab
pertanyaan Panji. Tampaknya ia ingin melenyapkan
Pendekar Naga Putih secepatnya.
Mendengar ucapan itu, Panji kembali teringat akan
kekasihnya yang belum diketahui nasibnya. Maka tan-
pa membuang-buang waktu lagi, segera dipersiapkan-
nya serangan untuk menghadapi Cambuk Penakluk
Naga yang telah ia dengar kehebatannya.
"Haaat..!"
Begitu membuka serangan, Panji langsung menge-
rahkan lebih dari tiga perempat ketaatan mukjizatnya.
Sepasang tangannya mendorong ke depan dengan pu-
kulan jarak jauh!
Wusss.... Bummm...!
Tanah di sekitar arena pertarungan bergoncang ba-
gai terjadi gempar! Untunglah Cambuk Penakluk Naga
telah lebih dulu meninggalkan tempatnya berpijak. Kalau tidak, niscaya tubuhnya
hancur berkeping-keping oleh pukulan maut Pendekar Naga Putih.
Sebelum kepulan debu tebal itu menipis dan hilang
terbawa hembusan angin malam, Panji berkelebat ke
arah pertempuran lain yang tertangkap pendengaran-
nya. Tentu saja perbuatan pemuda itu tidak didiamkan lawannya.
"Hendak lari ke mana kau, Pendekar Naga Putih...!"
seru Cambuk Penakluk Naga segera melesat melaku-
kan pengejaran. Dari belakang, cambuk mata tombak-
nya meluncur dengan cepat!
Sadar ada serangan yang datang mengancam dari
belakang, Panji mengibaskan lengan kanannya dengan
sepenuh tenaga tanpa menoleh. Sehingga....
Darrr...! Ujung cambuk bertemu dengan lengan Panji me-
nimbulkan ledakan keras! Tubuh Cambuk Penakluk
Naga terlempar mundur sejauh satu tombak. Namun,
tokoh sesat itu dapat menggunakan keseimbangan tu-
buhnya dengan baik. Dan mendarat dengan kedua ka-
ki lebih dulu. Kendati demikian, wajahnya terlihat agak pucat Nafasnya pun agak
memburu. Pendekar Naga Putih sendiri tidak mempedulikan
lengannya yang terasa nyeri. Tubuhnya terus melun-
cur ke depan. Apa yang dilihatnya kemudian benar-
benar membuat pemuda itu menggeram marah! Pen-
dekar Naga Putih menyaksikan Kenanga tengah dide-
sak habis-habisan oleh dua orang tubuh berpakaian
serba merah. Siapa lagi kedua orang itu kalau bukan Kelana dan Savitri.
"Hiyaaat..!"
Tanpa membuang-buang waktu, Pendekar Naga Pu-
tih mengeluarkan pekikan naga marah! Tubuhnya me-
lesat dengan kecepatan laksana sambaran kilat di
angkasa. Sepasang tangannya bergerak susul-
menyusul menyambut sebuah pukulan berbahaya
yang saat itu mengancam tubuh kekasihnya!
Breshhh...! "Aaakh...!"


Pendekar Naga Putih 71 Petualang Sakti di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Savitri yang pukulannya nyaris mengenai sasaran
terpekik kaget! Tubuhnya terlempar dan jatuh bergu-
lingan di atas tanah. Pendekar Naga Putih telah mengerahkan seluruh kekuatan
tenaga dalamnya untuk
menyelamatkan nyawa kekasihnya.
"Kakang...!"
Kenanga berseru lemah dengan napas memburu.
Keringat membasahi tubuh dan wajah dara jelita itu.
Kelihatan sekali betapa dara jelita itu sudah sangat kepayahan. Untunglah Panji
datang pada saat yang tepat!
"Kenanga. ...... Kau tidak apa-apa...?" tanya Panji
memeluk tubuh kekasihnya dengan lengan kiri. Wajah
pemuda itu kelihatan cemas ketika mendapati lelehan darah pada sudut bibir
kekasihnya. Kenanga telah
menerima beberapa pukulan lawan. Hal itu menda-
tangkan kemarahan di hati Panji.
"Kalian benar-benar manusia tak tahu diri! Rasanya
hanya kematian yang dapat menyadarkan kalian dari
kesesatan...!" geram Panji melepas rangkulan pada tubuh Kenanga. Kemudian
mempersiapkan jurus meng-
hadapi lawan-lawannya.
Saat itu Cambuk Penakluk Naga telah mendaratkan
kakinya di arena pertempuran. Tampaknya kakek itu
membantu Kelana dan Savitri untuk membalaskan
dendamnya kepada Pendekar Naga Putih. Tapi Panji
tidak tahu ada hubungan apa antara kedua orang mu-
da berpakaian serba merah itu dengan Cambuk Penak-
luk Naga. Panji menatap lawan-lawannya satu persatu. Ketiga
orang itu jelas tidak bisa dipandang remeh. Belum lagi para pengikut Cambuk
Penakluk Naga yang bukan
mustahil akan berbuat curang saat ia bertempur
menghadapi pemimpin mereka. Ia harus memperhi-
tungkan segalanya dengan cermat.
"Kali ini riwayatmu akan tamat, Pendekar Naga Pu-
tih..!" geram pemuda tampan bertubuh tegap yang ti-
dak lain Kelana. "Dengan begitu dendam ku terluna-si...!"
"Persetan dengan dendammu, Kisanak! Tapi, jangan
harap kalian dapat menundukkan ku...!" tukas Panji merasa tidak perlu lagi
bertanya tentang penyebab
dendam pemuda tegap itu. Ia tahu itu sia-sia saja. Kelana tidak akan pernah
menjawabnya. "Hm...!"
Begitu ucapannya selesai, Pendekar Naga Putih me-
lipat kedua tangan dengan telapak melekat di dada.
Sepasang matanya terpejam rapat memanggil senjata
mukjizatnya. Untuk menghadapi ketiga lawannya yang
berbahaya itu, ia harus menggunakan Pedang Naga
Langit! "Hahhh...!"
Dibarengi bentakan menggelegar yang membuat la-
wan-lawannya terlongong, di tangan Pendekar Naga
Putih tahu-tahu tercipta sebilah pedang terbungkus
sinar kuning keemasan.
"Pedang Naga Langit..."!"
Cambuk Penakluk Naga dan Savitri berseru kaget
Sedangkan Kelana hanya memandang penuh takjub.
Pemuda tegap itu memang belum mengetahui menge-
nai pedang mukjizat itu.
"Hm.... Sekarang bersiaplah untuk melayat ke akhe-
rat...!" ujar Panji memutar pedangnya dengan gerakan menyilang. Terdengar suara
mengaung disertai hawa
panas membakar memenuhi arena pertarungan.
"Haaat.!"
Ketika melihat lawan-lawannya telah merenggang
mengepung dirinya, Pendekar Naga Putih membuka
serangan dengan lengkingan menggeledek! Tubuhnya
melayang disertai sambaran pedang mukjizatnya.
Dan.... "Aaa...!"
Enam orang pengikut Cambuk Penakluk Naga me-
mekik ngeri saat. tubuhnya terpapas mata pedang
Pendekar Naga Putih. Sedangkan ketiga lawan Panji telah berlompatan menjauh,
Mereka cukup sadar akan
kelebatan Pedang Naga Langit.
Wukkk, wukkk...!
Pendekar Naga Putih memutar pedangnya di atas
kepala. Dedaunan langsung berguguran hangus bagai
terbakar. Menyaksikan kejadian itu semakin gentarlah hati lawan-lawannya.
Cambuk Penakluk Naga menggeser langkahnya
mendekati Kelana. Terdengar bisikannya kepada pe-
muda tegap beralis tebal itu.
"Rasanya kita tidak bisa mengatasi pemuda gila itu, Kelana. Sebaiknya kita cari
bantuan lebih banyak untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih...."
"Tapi, kelihatannya ia tidak akan membiarkan kita
pergi begitu saja...," bantah Kelana setuju dengan pendapat Cambuk Penakluk
Naga. 'Tidak perlu khawatir. Sebaiknya kau pergi bersama
yang lain. Aku menyusul belakangan. Jangan cemas.
Aku pasti dapat mengelabuinya...," ujar Cambuk Pe-
nakluk Naga membuat Pemuda itu menganggukkan
kepala. "Hei! Mau pergi ke mana kalian, Manusia- manusia
Pengecut..!" seru Panji ketika melihat lawan-lawannya bergerak mundur. Tahulah
Pendekar Naga Putih kalau
mereka hendak melarikan diri.
"Jangan hiraukan mereka Pendekar Naga Putih! Se-
baiknya kau sambut seranganku...!"
Cambuk Penakluk Naga segera mengalihkan perha-
tian Panji. Kakek itu memutar cambuknya sedemikian
rupa hingga menimbulkan suara mengaung bagai ra-
tusan lebah marah. Dan....
Jdarrr...! Pendekar Naga Putih melompat ke belakang ketika
ujung cambuk berbentur mata tombak itu mengancam
tubuhnya. Tanah tempat ia berpijak berhamburan,
membuat arena pertarungan gelap seketika.
"Jaga kekasihmu, Pendekar Naga Putih...!"
Pendekar Naga Putih tersentak kaget mendengar se-
ruan Cambuk Penakluk Naga! Telinganya menangkap
suara berdesir menuju ke arah Kenanga. Sementara
dara jelita itu tengah bersandar kelelahan pada sebatang pohon besar.
"Keparat licik" Sambil mengumpat marah, Pendekar
Naga Putih melesat ke arah kekasihnya. Pedang di
pangannya, mengibas dengan raungan tajam. Bebera-
pa jarum halus yang dilepaskan Cambuk Penakluk
Naga jatuh ke tanah. Tapi....
"Aaakh..."!"
"Kenanga...!"
Bukan main terkejut hati Panji mendengar teriakan
kekasihnya. Jeritan itu menunjukkan ada beberapa
batang jarum mengenai sasaran.
"Kenanga...!" panggil Panji cemas. Tidak dipeduli-
kannya Cambuk Penakluk Naga yang melesat pergi
sambil memperdengarkan tawa. Pendekar Naga Putih
lebih mementingkan keselamatan kekasihnya. Lawan-
lawannya dapat dicari kemudian.
"Kakang...," rintih Kenanga dengan bibir mulai me-
mucat. Panji terlihat kaget melihat cara kerja racun itu yang sangat cepat
Tanpa ragu-ragu, Pendekar Naga Putih menempel-
kan kedua telapak tangannya ke punggung Kenanga.
Kemudian mengerahkan tenaga dalamnya untuk men-
geluarkan jarum-jarum halus itu. Hal itu tidak sulit dilakukan Panji. Tenaga
dalamnya telah mencapai taraf sempurna. Sebentar saja jarum-jarum yang menancap
di beberapa bagian tubuh Kenanga berlompatan ke-
luar. Kemudian Pendekar Naga Putih memberikan pil
penawar racun kepada dara jelita itu.
"Hm....Kelak aku akan mencari kalian Manusia-
manusia Durjana...!" tekad Panji segera memondong
tubuh kekasihnya, dan melesat pergi ke arah yang ber-
lawanan dengan Cambuk Penakluk Naga dan teman-
temannya. Sebentar saja tubuh Pendekar Naga Putih lenyap di-
telan kegelapan malam....
Sampai di sini episode: "Petualang Sakti". Untuk
mengetahui penyebab dendam Kelana, Savitri dan to-
koh berjuluk Cambuk Penakluk Naga, serta rahasia-
rahasia lainnya, silakan ikuti episode selanjutnya yang berjudul : "Pertarungan
Dua Naga".
Siapakah sebenarnya pemuda bernama Kelana yang
berjuluk Petualang Sakti" Dari mana pemuda itu be-
rasal" Benarkah orang tuanya dibunuh Pendekar Naga
Putih" Lalu, apa penyebabnya" Semua itu akan terja-
wab dalam episode: "Pertarungan Dua Naga".
SELESAI Scan by Clickers
Edited by Culan Ode
PDF by Abu Keisel
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
Document Outline
1 *** *** *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** 6 *** 7 *** *** 8 *** SELESAI Pendekar Laknat 9 Pahlawan Harapan Karya Tang Fei Jeratan Ilmu Iblis 2
^