Pencarian

Pewaris Dendam Sesat 1

Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat Bagian 1


PEWARIS DENDAM SESAT
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Tufi S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Seriai Pendekar Naga Putih
dalam episode: Pewaris Dendam Sesat
128 hal. ; 12 x 18 cm
1 Suara roda pedati berderak ribut ketika melintasi jalan berbatu. Sesekali
terdengar suara ringkikan kuda, ditingkahi ledakan cambuk yang melecut punggung
binatang itu. "Hahhh...!"
Ctarrr! Dengan susah-payah kuda jantan berbulu hitam itu bergerak maju. Sengatan ujung
cambuk di punggungnya semakin kerap terdengar, membuat binatang itu menyentek-
nyentak. Enam orang berpakaian serba hitam termasuk kusir pedati, nampaknya menyadari
medan berat yang harus dilewati. Terbukti, empat orang dari mereka berlompatan
turun untuk mengurangi beban yang harus ditarik kuda pedati.
Perjalanan baru terasa agak lancar setelah keempat lelaki itu mendorong pedati
dari belakang. Sehingga beberapa saat kemudian, mereka sudah keluar dari jalan
berbatu, dan kini menyusuri jalan tanah merah yang rata.
"Cepat kalian naik! Kita harus segera tiba di Desa Babakan...!" teriak kusir
pedati ketika mereka sudah melewati jalan berbatu yang sulit dilalui itu.
"Tidak usah, Kakang Punjalu! Biar kami jalan kaki saja...," sahut seorang di
antara mereka. Dia bertubuh tegap dengan kulit wajah kemerahan, pertanda
kesehatannya sangat diperhatikan.
"Terserah kalianlah...," sahut kusir pedati berusia kira-kira empat puluh lima
tahun, yang dipanggil Punjalu.
Wajah laki-laki itu ditumbuhi bulu-bulu halus di sekitar dagu dan kedua sisi
wajah, membuatnya terlihat cukup berwibawa. Ditambah lagi dengan sorot matanya
yang tajam dengan alis mata tebal berbentuk golok. Sehingga, penampilannya
membuat orang menaruh hormat.
Pedati pun bergerak cepat melintasi jalanan tanah merah, hingga tak berapa lama
kemudian, mereka memasuki mulut Desa Babakan. Setelah menitipkan pedati di
sebuah muka kedai, keenam lelaki itu pun membaur dengan orang-orang desa yang
tampak ramai hilir-mudik. Rupanya di Desa Babakan saat itu tengah diadakan
pasar, yang hanya sekali dalam satu pekan.
Usai membeli segala keperluan, Ki Punjalu mengajak kawan-kawannya singgah di
kedai tempat mereka menitipkan pedati.
"Semua keperluan sudah kita dapatkan. Sekarang lebih baik kita beristirahat
untuk melepas lelah. Menjelang siang nanti, baru kita kembali," ujar Ki Punjalu
saat mengumpulkan kawan-kawannya. Kemudian, baru mereka masuk ke dalam kedai.
Belasan pasang mata menoleh saat Ki Punjalu dan kawan-kawannya memasuki kedai.
Beberapa di antaranya tampak memancarkan sinar mata mengejek. Tapi, semua itu
tidak dipedulikan. Ki Punjalu terus saja melangkah menuju dua buah meja kosong,
lalu memesan makanan dan minuman.
Tidak berapa lama kemudian, makanan yang mereka pesan pun tiba. Tapi, Ki Punjalu
mengerutkan kening saat melihat makanan yang mulai diatur pelayan di atas meja.
"Paman, bukankah kami tidak memesan ayam panggang?" tegur Ki Punjalu
menyembunyikan keheranan. "Mungkin Paman salah melihat orang."
"Lelaki di sebelah sana itu yang memesankannya untuk Tuan-tuan sekalian.
Katanya, sebagai tanda persahabatan...," sahut pelayan kedai seraya menoleh ke
bagian sudut kanan ruangan itu, di sana terlihat empat orang pengunjung yang
menoleh dan mengangguk ke arah Ki Punjalu dan kawan-kawannya.
"Hm... Katakan padanya, kami menerima uluran persahabatannya dengan tangan
terbuka. Tapi, katakan juga bahwa kami tidak bisa menerima pemberiannya," ujar
Ki Punjalu yang membalas anggukan persahabatan orang itu.
"Baik, akan kusampaikan padanya...," sahut pelayan kedai dan segera membawa dua
ekor ayam panggang itu meninggalkan meja Ki Punjalu.
"Hmh...."
Lelaki berkumis lebat yang memesankan ayam panggang sebagai tanda
persahabatan untuk Ki Punjalu tampak menggeram gusar. Kelihatan sekali dia
merasa tersinggung atas penolakan itu.
"Sombong sekali mereka tidak mau menerima pemberian kita! Jelas ini merupakan
suatu penghinaan...!" geram yang lainnya sambil mengepalkan tinju kuat-kuat.
Rupanya penolakan Ki Punjalu membuat mereka tak senang.
Setelah saling bertukar pandang sejenak, lelaki berkumis lebat itu melambaikan
tangannya memanggil pelayan yang sudah kembali ke tempatnya. Bergegas pelayan
itu datang menghampiri.
"Tolong sediakan sayur-mayur mentah untuk keledai kami...," pinta lelaki
berkumis lebat itu dengan suara lantang hingga terdengar oleh semua pengunjung
kedai. Pelayan kedai itu tertegun sejenak. Sepertinya dia merasa heran mendengar
pesanan yang aneh itu.
"Tapi...."
"Cepat sediakan! Keledai-keledai kami belum makan sejak kemarin malam!" sergah
lelaki berkumis lebat itu ketika melihat keraguan di wajah pelayan kedai.
"Baik..., Tuan...," sahut pelayan kedai itu takut jika lelaki berkumis lebat itu
menjadi marah. Cepat dia berlalu untuk menyiapkan pesanan itu.
"Kurang ajar! Mereka jelas telah menghina kita, Kakang! Agaknya orang-orang itu
tahu pasti tentang peraturan yang berlaku di perguruan kita. Kalau tidak, mana
mungkin mereka mengirimkan ayam panggang! Kemudian berteriak-teriak memesan
sayur-mayur mentah! Kurasa kitalah yang dimaksudkannya sebagai keledai-keledai
itu...!" geram rekan Ki Punjalu, merasa tersinggung dengan tingkah dan ucapan
lelaki berkumis lebat itu.
'Tidak perlu diladeni, Bolang. Sebaiknya, cepat selesaikan makanmu. Setelah itu
kita tinggalkan tempat ini...," ujar Ki Punjalu pada lelaki bernama Bolang.
Semula Bolang hendak membantah. Tapi ketika melihat sinar mata Ki Punjalu,
lelaki tegap berusa sekitar tiga puluh tujuh tahun itu merunduk, dan bergegas
menyelesaikan makannya.
Ki Punjalu melambaikan tangan memanggil pelayan kedai untuk menghitung harga
pesananannya. Setelah itu dia bergegas mengajak kawan-kawannya meninggalkan
kedai. "Kakang, apakah kau sudah mengikat keledai kita kuat-kuat" Sepertinya aku
mendengar suara langkah mereka yang hendak melarikan diri. Hhh... keledai-keledai
pengecut! Jelas binatang-binatang itu takut mendengar auman harimau...," ucapan
lelaki gemuk itu terdengar lantang. Kemudian dilanjutkan dengan suara tawa
berderai. Agaknya, keempat orang itu memang sengaja hendak mencari keributan
dengan kelompok Ki Punjalu.
"Bedebah! Aku tidak suka dihina sebagai keledai-ketedai pengecut!"
Bolang yang sejak tadi berusaha keras menahan amarahnya, menggeram murka.
Tanpa menoleh ke arah Ki Punjalu, lelaki tegap itu langsung bergerak menghampiri
meja lelaki berkumis lebat yang saat itu tengah tergelak bersama kawan-kawannya.
Ki Punjalu menghela napas panjang. Dia tidak dapat lagi mencegah tindakan
Bolang. Apalagi keempat kawannya yang lain kelihatan mendukung tindakan lelaki
tegap itu. Brakkk! Dengan kemarahan yang meluap-luap, Bolang menggebrak meja tempat keempat orang
itu berada. Tentu saja kejadian itu membuat seisi kedai kaget. Terutama keempat
lelaki yang tadi tertawa tergelak-gelak itu.
"Aku paling pantang dihina sebagai pengecut! Kalian rupanya sengaja hendak
mencari keributan dengan kami, bukan" Nah. Kalau begitu, hadapi aku dengan sikap
jantan! Jangan seperti perempuan nyinyir yang hanya bisa mengomel di balik
dinding!" bentak Bolang setelah menghancurkan meja dengan hantaman telapak tangannya.
"Kisanak! Apa yang membuatmu datang tanpa kami undang dan marah-marah tanpa
sebab" Kalau memang hendak menantang berkelahi, mengapa harus mencari alasan
segala" Kami tentu akan menerima baik tantanganmu...," ujar lelaki berkumis
lebat yang bertubuh tegap. Sepasang matanya mencorong tajam meneliti wajah
Bolang yang merah.
"Tim.... Sudah jelas kau yang sengaja mencari perkara. Mengapa sekarang hendak
memutarbalikkan kenyataan" Apa kau takut merasakan pukulanku...?" sahut Bolang
semakin jengkel melihat lelaki berkumis lebat itu menyalahkannya.
"Heh"! Dari mana kau menduga kami hendak mencari perkara dengan badut sepertimu"
Semua pengunjung kedai melihat dengan mata kepala sendiri, kau datang dan
langsung marah-marah serta menghancurkan meja kami. Apakah tidak boleh kami
berbicara di antara kawan sendiri?" kilah lelaki berkumis lebat itu.
Ucapan itu tentu saja membuat Bolang kaget. Apalagi ketika pandangannya
diedarkan ke sekeliling. Tampak semua pengujung terlihat mengangguk-angguk
membenarkan ucapan lelaki berkumis lebat itu. Karena mereka memang tidak tahu
mengapa Bolang begitu datang langsung marah-marah. Sehingga, mereka ikut
mendukung ucapan lelaki berkumis lebat itu. Akibatnya, Bolang menjadi tersudut.
"Bangsat licik! Kau memang pantas diberi pelajaran..!" bentak Bolang yang merasa
kalah dalam berdebat. Maka, dia langsung menerjang maju dengan tamparan bertubi-
tubi. "Hmh...!"
Lelaki berkumis lebat itu menarik mundur kursinya ketika melihat serangan
Bolang. Dan terus melompat menjauhi lawan.
"Kisanak! Orang-orang di dalam kedai ini menjadi saksi kalau kau yang memulai
perkelahian! Jadi, jangan salahkan aku kalau akan membalas bila kau tak mau
pergi...!"
ujar lelaki berkumis lebat itu mengancam. Seolah memang dirinyalah yang benar
dalam persoalan itu. Dan, para pengunjung kedai pun seperti berpihak kepadanya.
"Adi Bolang, tahan...!"
Ki Punjalu yang melihat sikap para pengujung kedai memihak lelaki berkumis lebat
itu, segera melayang ke arah kawannya. Maksudnya hendak membawa Bolang pergi
dari tempat itu.
"Hei, rupanya kalian hendak mengeroyokku!" teriak lelaki berkumis tebat, seolah
ingin memperlihatkan pada para pengunjung kedai bahwa tindakan Ki Punjalu bukan
untuk memisahkan perkelahian. Sebaliknya malah hendak membantu kawannya. Tentu
saja para pengunjung semakin memihak lelaki berkumis lebat itu, ketika melihat
seorang lelaki gagah melayang maju ke arah-perkelahian.
"Hajar saja mereka, Kakang Bardewa...!" seru salah seorang kawan lelaki berkumis
lebat, membuat para pengunjung kedai meneriakkan kata yang sama.
"Haaat..!"
Lelaki berkumis lebat bernama Bardewa yang sadar mendapat banyak dukungan bahwa
dirinya berada di pihak yang benar, langsung bergerak maju menerjang Ki Punjalu
yang saat itu masih melayang di udara.
"Licik...!" geram Ki Punjalu melihat Bardewa sudah melancarkan serangan yang
berbahaya. Kenyataan itu tidak bisa dibiarkan begitu saja.
"Haaat..!"
Ki Punjalu segera mengangkat kedua tangannya memapaki serangan Bardewa.
Dan.... Plak! Plak!
"Aihhh...!"
Terkejut bukan main hati Ki Punjalu. Sebab, tenaga lawan ternyata sangat kuat.
Sehingga tubuhnya terdorong balik dan terhuyung beberapa langkah, membuat dua
meja terlanggar jatuh.
Menyaksikan hal itu, kawan-kawan KI Punjalu pun kaget! Serentak mereka maju
untuk menolong lelaki gagah itu bangkit.
Lagi-lagi Bardewa melontarkan kata-kata liciknya. Kemudian mengajak kawan-
kawannya untuk menyambut kedatangan kawan-kawan Ki Punjalu yang sesungguhnya
tidak bermaksud ingin berkelahi.
"Celaka! Mereka hendak mengeroyok! Ayo, Kawan-kawan! Kita sambut mereka...!"
teriak Bardewa seraya memasang wajah kaget. Sedang dia sendiri sudah bergerak
maju dengan serangan yang lebih hebat dari semula.
Ki Punjalu dan kawan-kawannya semakin kaget. Sadar kalau perkelahian sudah tidak
mungkin bisa dihindari lagi, mereka pun bergegas menyambut serangan lawan-
lawannya. Sehingga sebentar saja pecahlah perkelahian itu.
Bolang yang kemarahannya sudah mencapai puncak, langsung menghunus
senjata. Kemudian merangsek maju dengan kelebatan pedang yang menimbulkan suara
berdesingan. Brakkk! Brakkk!
Beberapa buah meja dan kursi yang berada di dekat Bardewa, langsung
beterbangan patah terkena sabetan pedang Bolang.
Bardewa kelihatan sangat kaget dengan kejadian itu. Cepat kawan-kawannya
diperintahkan mundur, kemudian meneriakkan kata-kata liciknya.
"Celaka! Mereka mau membunuh kita..."!" serunya dan memerintahkan kawan-kawannya
untuk mencabut senjata.
Ki Punjalu pun kaget melihat tindakan Bolang. Namun dia tidak bisa berbuat apa-
apa. Karena saat itu Bardewa dan kawan-kawannya sudah menghunus senjata.
Demikian pula dengan keempat orang kawan Ki Punjalu. Mereka sudah menggenggam
senjata telanjang.
"Kalian orang-orang Perguruan Pedang Baja benar-benar tidak tahu diri dan sangat
kejam! Hanya karena persoalan sepele saja, kalian hendak mencabut nyawa kami!
Tapi, jangan harap kami akan mundur...!" seru Bardewa, kembali melontarkan
kesalahan pada Ki Punjalu dan kawan-kawannya yang ternyata murid-murid Perguruan
Pedang Baja. Dan sebelum Ki Punjalu menjawab ucapan itu. Bardewa sudah memerintahkan kawan-
kawannya untuk menyerbu. Tidak ada jalan lain bagi lelaki itu untuk menghindari
pertempuran. Satu-satunya jalan adalah menghadapi serangan lawan, kalau tidak
mau mati konyol!
"Haaat..!"
Bardewa menerjang maju mendahului kawan-kawannya. Pedang di tangannya
berkelebatan cepat membawa desingan angin tajam. Sebentar kemudian, pertempuran
pun sudah berlangsung sengit. Kedua belah pihak saling terjang dengan hebatnya.
Bahkan kali ini dengan senjata di tangan yang siap merenggut korban.
*** "Yeaaat...!"
"Haiitt..!"
Ki Punjalu yang berhadapan dengan Bardewa semakin kaget ketika merasakan
kehebatan lelaki berkumis lebat itu. Dalam jurus-jurus awal Ki Punjalu kelihatan
masih bisa mengimbangi permainan lawan. Tapi, setelah lewat tiga puluh jurus,
barulah Ki Punjalu sadar Bardewa bukan tandingannya. Dia pun mulai terdesak
hebat. Apa yang dirasakan Ki Punjalu juga dirasakan oleh murid-murid Perguruan Pedang
Baja lainnya. Meskipun lawan mereka hanya berjumlah tiga orang, tapi mereka
memiliki kemampuan tinggi. Sehingga, Bolang dan kawan-kawannya terpaksa harus
memperkuat benteng pertahanan. Meskipun begitu, mereka masih juga dapat didesak
mundur. Sehingga, pertempuran semakin bergeser ke luar ruangan kedai.
"Haaat..!"
"Ahhh..."!"
Salah seorang murid Perguruan Pedang Baja yang terakhir keluar dari ruangan
kedai, terkejut bukan main, melihat seorang lawannya datang dengan tusukan
pedang yang sulit dihindari. Sehingga....
Crab! "Aaa...!"
Darah segar menyembur keluar ketika ujung pedang yang runcing itu amblas hampir
separuhnya. Belum lagi murid Perguruan Pedang Baja itu menyadari apa yang
terjadi, lawan telah menarik keluar senjatanya. Sehingga, tubuh orang itu
langsung melorot jatuh dan tewas seketika.
Melihat kenyataan itu, Ki Punjalu menjadi kaget. Hatinya benar-benar sedih
sekali. Bagaimana dia harus melaporkan kejadian itu kepada gurunya bila kembali ke
perguruan nanti" Apalagi perkelahian itu mempunyai banyak saksi yang terdiri
dari penduduk Desa Babakan. Dan, penduduk desa itu tahu bahwa merekalah yang
memulai perkelahian lebih dulu. Dengan demikian, mereka berada di pihak yang
salah. Kelengahan karena memikirkan pertanggungjawaban di hadapan gurunya,
membuat Ki Punjalu harus menerima akibatnya. Sebuah tendangan lawan pada
tubuhnya, membuat lelaki itu terjungkal melanggar dinding ruangan kedai.
Brakkk! Dinding kedai yang terbuat dari kayu langsung jebol terlanggar tubuh Ki Punjalu


Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang terlempar ke luar. Sedangkan Bardewa tampaknya tidak ingin membiarkan
lawannya lolos. Lelaki berkumis lebat itu sudah mengejar dengan putaran
pedangnya, yang membuat Ki Punjalu berusaha mati-matian menyelamatkan diri dari
incaran senjata lawan.
Desss...! Lagi-lagi lelaki itu tidak dapat menghindarkan sebuah tendangan keras saat
tubuhnya melenting bangkit. Akibatnya, tubuh Ki Punjalu kembali terlempar dan
jatuh berguling-guling. Darah segar tampak meleleh keluar dari sela bibirnya.
"Aaa...!"
Kembali terdengar jerit kematian dari pertempuran lainnya. Ki Punjalu semakin
pucat ketika melihat Bolang tersungkur mandi darah. Sedangkan kawan-kawannya
yang lain sudah bergeletakan tewas! Jelas, Bolang merupakan orang terakhir yang
dibantai lawan-lawannya. Sehingga, hanya Ki Punjalu-lah yang masih selamat
sampai detik itu, kecuali hanya luka memar yang tidak begitu mengkhawatirkan.
Bardewa tidak melanjutkan serangannya. Lelaki berkumis lebat itu seperti hendak
memamerkan kalau dirinya orang gagah yang tidak ingin menyerang lawan yang tak
berdaya. Maka, dibiarkannya Ki Punjalu bangkit berdiri.
"Hm.... Kulihat kau lebih sabar dan bijaksana dari kawan-kawanmu yang lain.
Untuk itu aku memberi kelonggaran padamu. Biarlah kelima orang kawanmu saja yang
menebus kesalahan kalian. Kau sendiri akan kubebaskan...," ujar Bardewa.
Para penduduk yang berada di dalam kedai mengangguk-anggukkan kepala mendengar
ucapan itu. Mereka memuji kebesaran hati dan kegagahan Bardewa yang mau
mengampuni Ki Punjalu.
"Keparat! Mengapa kau tidak bunuh aku sekalian...!" geram Ki Punjalu marah
mendengar ucapan lawannya. Sayang, dia tidak bisa mengejar ketika Bardewa dan
ketiga kawannya bergerak meninggalkan tempat itu.
Ki Punjalu hanya bisa menggertakkan giginya kuat-kuat. Hatinya benar-benar
terpukul dengan kejadian itu, karena hanya dirinya yang selamat
Sudah pasti, dirinyalah yang harus mempertanggungjawabkan semua ini di hadapan
gurunya. Ki Punjalu menghela napas panjang. Sekilas kepalanya menoleh ke arah kerumunan
penduduk dan pengunjung kedai yang menatapnya dengan wajah sinis. Ketika melihat
pelayan kedai ada di antara para penonton, bergegas dihamplrinya.
"Kau tahu dari mana asal mereka...?" tanya Ki Punjalu tanpa basa-basi. Karena
disadari kalau pelayan kedai itu juga menyalahkan dirinya atas kejadian itu.
"Orang-orang Perguruan Merak Emas adalah laki-laki gagah yang berbudi. Mereka
mengganti kerusakan yang diderita kedai ini. Seharusnya kau berterima kasih
karena tidak dibunuhnya, Orang Tua...," ujar pelayan kedai yang tidak lagi
menyebut tuan pada Ki Punjalu. Sikapnya pun terlihat meremehkan dan menyalahkan
lelaki itu, membuat Ki Punjalu menahan kejengkelan hatinya. Karena dia tentu
akan semakin dipersalahkan bila menghajar pelayan kedai itu.
Dengan diiringi pandang mata mencemooh dari penduduk Desa Babakan, Ki Punjalu
menghela kudanya meninggalkan desa itu. Kelima kawannya dimasukkan ke dalam
pedati. Tidak dipedulikannya lagi darah kawan-kawannya telah mengotori dan
merusak segala keperluan yang dibelinya dari pasar di desa itu.
2 Kedatangan Ki Punjalu dengan membawa luka-luka dan lima sosok mayat, membuat
murid-murid perguruan itu marah. Agaknya, mereka sudah dapat menduga kalau Ki
Punjalu dan kawan-kawannya telah bertarung dengan orang luar. Tak heran, jika di
antara murid-murid yang menyambut kedatangan lelaki itu, melontarkan pertanyaan
sebagai ungkapan rasa penasaran mereka.
"Apa yang terjadi, Kakang...?"
"Siapa yang melakukan perbuatan ini, Kakang...?"
Ki Punjalu tidak mempedulikan pertanyaan-pertanyaan yang memberondong dirinya.
Dia hanya melemparkan pandang dengan wajah berduka tanpa menjawab pertanyaan-
pertanyaan itu.
"Aku akan menghadap guru...," ujar Ki Punjalu setelah menghentikan pedati dan
melompat turun dari tempat duduknya. Setelah memerintahkan kawan-kawannya untuk
menurunkan mayat di dalam pedati, Ki Punjalu melangkah lunglai menuju bangunan
utama Perguruan Pedang Baja.
Meskipun hati mereka masih penasaran, murid-murid perguruan segera mematuhi
perintah Ki Punjalu. Mereka mengiringi langkah lelaki setengah baya itu sambil
membawa mayat-mayat kawan mereka.
Ki Genawang, Ketua Perguruan Pedang Baja yang mendengar ribut-ribut itu sudah
menanti di ruang pertemuan. Wajah lelaki tua bertubuh tinggi besar dengan kumis
lebat itu, tampak menggambarkan beribu pertanyaan ketika melihat Ki Punjalu
datang menghadap.
Di kiri dan kanan Ki Genawang berdiri dua orang lelaki gagah bermata tajam.
Wajah keduanya juga memancarkan rasa penasaran yang dalam. "Ceritakan apa yang
sudah terjadi, Punjalu...?" Begitu Ki Punjalu duduk bersimpuh di dekatnya, Ki
Genawang langsung melemparkan pertanyaan yang sejak tadi sudah berada di ujung
lidahnya. Jelas, lelaki tua itu sudah tidak sabar ingin segera mengetahui
kejadian yang dialami Ki Punjalu serta lima orang murid lainnya.
"Kami..., diserang oleh murid-murid Perguruan Merak Emas, Guru...," jawab Ki
Punjalu segera menceritakan kejadiannya. Sehingga, semua orang yang
mendengarkannya menggeram marah. Jelas sekali terlihat pancaran dendam dan
penasaran di wajah mereka.
"Hm.... Tidak mungkin mereka berani melontarkan hinaan-hinaan itu tanpa sesuatu
sebab. Jawab sejujurnya, apakah kalian yang memulai keributan itu...?" tanya Ki
Genawang lagi, ingin mengetahui secara jelas sebab kejadian itu.
"Kami sungguh tidak menginginkan keributan itu, Guru. Bahkan kami berusaha
menghindarinya. Tapi, mereka malah mengejek kami sebagai keledai pengecut.
Sehingga, Adi Bolang tidak dapat menahan kemarahannya. Selanjutnya..., keributan
tidak bisa dihindarkan lagi...," sahut Ki Punjalu dengan suara perlahan namun
terdengar jelas oleh orang-orang yang berada di dalam ruangan itu.
"Lalu..., kau biarkan kawan-kawanmu bertarung sedang kau hanya menyaksikan dari
jauh, begitu...?" ujar Ki Genawang membuat Ki Punjalu serta murid-murid lainnya
terkejut. Sebab, guru mereka ternyata malah menyalahkan Ki Punjalu. Tentu saja
mereka menjadi penasaran meskipun tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ampun, Guru...," salah seorang murid utama yang berdiri di sebelah kanan Ki
Genawang berkata perlahan sambil membungkukkan tubuhnya. "Tidak seharusnya Ki
Punjalu disalahkan dalam masalah ini. Rasanya pukulan batin yang dideritanya
sudah terlalu berat. Dan, bukan tidak mungkin murid-murid Perguruan Merak Emas
memang sengaja membebaskannya. Dengan demikian, Ki Punjalu akan dipersalahkan,
karena hanya dia sendiri yang selamat, sedang yang lainnya terbunuh. Untuk itu,
kami memohon kebijaksanaan Guru agar tidak menjatuhkan kesalahan pada Ki
Punjalu." Ucapan murid utama Perguruan Pedang Baja yang bernama Gumarta itu ternyata
mendapat dukungan murid-murid lainnya. Sehingga, Ki Genawang terdiam beberapa
saat lamanya. Seolah lelaki tua itu tengah memikirkan tindakan selanjutnya
sehubungan dengan kejadian itu.
"Baiklah. Aku tidak akan memberikan hukuman yang akan memberatkan Punjalu dan
membuat penasaran kalian semua," ujar Ki Genawang setelah menarik napas panjang
sejenak "Meskipun demikian, aku melarang Punjalu untuk meninggalkan perguruan
sampai ada keputusan berikutnya. Sedangkan mengenai perbuatan murid-murid
Perguruan Merak Emas aku akan meminta pertanggungjawaban ketuanya. Keputusan ini
sudah menjadi ketetapan mutlak dan tidak bisa diganggu gugat lagi...."
"Terima kasih atas kebijaksanaan Guru. Hukuman itu akan kuterima dengan hati
lapang...," ujar Ki Punjalu bersujud di hadapan gurunya.
"Bagus...," gumam Ki Genawang puas melihat sikap menerima Ki Punjalu.
Kemudian lelaki tua itu membubarkan pertemuan, dan memerintahkan untuk mengubur
kelima mayat itu.
"Apa yang akan kita lakukan atas tindakan murid-murid Perguruan Merak Emas yang
telah melampaui batas itu. Guru...?" tanya Gumarta setelah semua murid-murid
pergi, hingga hanya tinggal Ki Genawang serta dua orang murid utamanya termasuk
Gumarta. "Hm.... Aku akan mendatangi Perguruan Merak Emas bersama kakak
seperguruanmu. Kau sendiri kuberi tugas untuk mengawasi perguruan selama aku
pergi. Apakah kau sanggup, Gumarta...?" ujar Ki Genawang seraya menatap Gumarta lekat-
lekat. "Sanggup, Guru. Mudah-mudahan persoalan ini dapat diselesaikan tanpa pertumpahan
darah...," sahut Gumarta tanpa keraguan sedikit pun. Meski tugas yang
diterimanya sangat berat.
"Bagus...," puji Ki Genawang tersenyum tipis.
Kemudian, lelaki tua itu memerintahkan Ki Randita untuk menyiapkan perbekalan
selama perjalanan menuju Perguruan Merak Emas. Karena perjalanan itu memakan
waktu dua hari untuk tiba di tempat tujuan mereka.
*** Matahari sudah tinggi saat dua orang lelaki gagah bergerak memasuki mulut Desa
Babakan. Dari langkah mereka yang ringan dan mantap, dapat ditebak kalau kedua
orang itu bukanlah orang sembarangan. Mereka adalah Ki Genawang, Ketua Perguruan
Pedang Baja, dan Ki Randita murid utama dari lelaki gagah di sebelahnya.
Rupanya, mereka baru tiba di Desa Babakan setelah menempuh perjalanan selama
setengah hari penuh tanpa beristirahat.
"Menurut penuturan Ki Punjalu, di desa inilah mereka berselisih dengan murid-
murid Perguruan Merak Emas, Guru...," ujar Ki Randita yang berusia sekitar lima
puluh tahun. Ucapan itu dilontarkan saat mereka sudah memasuki mulut desa.
"Hm...."
Ki Genawang hanya bergumam sebagai jawaban atas ucapan muridnya. Sepasang
matanya yang tajam menusuk bergerak meneliti rumah-rumah penduduk yang terlihat
agak jarang. Sepertinya, Ki Genawang tengah mencari kedai tempat terjadinya
peristiwa yang membuat murid-muridnya menjadi korban.
"Ingat Randita. Kita tidak perlu bertanya mengenai kejadian itu. Karena menurut
dugaan Punjalu, orang-orang desa ini lebih berpihak pada murid-murid Perguruan
Merak Emas. Kalau sampai penduduk desa ini tahu kita orang-orang Perguruan
Pedang Baja, mungkin mereka akan bersikap memusuhi kira. Untuk itu, lebih baik
kita mengambil sikap diam dan mendengarkan bila ada pembicaraan yang menyinggung
peristiwa itu," ujar Ki Genawang sambil mengayunkan langkah menyusuri jalan
utama Desa Babakan. Mereka kemudian berbelok ke sebuah kedai makan yang juga
menyediakan penginapan bagi pendatang-pendatang yang kemalaman di jalan.
Dengan sikap tenang dan langkah dilambatkan, mereka memasuki kedai makan itu.
Kemudian memesan makanan, setelah mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan yang
hanya terdapat enam orang pengunjung. Mengingat saat itu hari sudah menjelang
malam, kedua orang itu pun menduga mereka orang-orang asing di Desa Babakan
seperti halnya mereka berdua.
"Kisanak, apakah masih ada kamar kosong untuk kami berdua menginap...?" tanya Ki
Genawang ketika pelayan kedai datang dan mengatur hidangan di atas meja.
"Masih, Tuan. Tapi, hanya ada satu kamar. Maklumlah, penginapan ini memang tidak
menyediakan banyak kamar. Karena desa ini jarang didatangi orang-orang dari
luar. Kebetulan malam ini ada enam orang pedagang yang hendak bermalam. Jadi hanya
tinggal satu kamar saja yang masih kosong," sahut pelayan kedai itu menjelaskan.
"Hm.... Ada berapa tempat tidur dalam kamar itu..." ' tanya Ki Genawang lagi.
"Satu, Tuan. Tapi, kalau Tuan berdua tidak keberatan menginap dalam satu kamar,
kami akan menyediakan satu tempat tidur lagi," jawab pelayan kedai, membuat Ki
Genawang dan muridnya saling berpandangan sesaat.
"Baiklah. Tolong kau rapikan kamar itu untuk kami...," ujar Ki Genawang setelah
mendapat kata sepakat untuk bermalam dalam satu kamar dengan muridnya.
Setelah memberi hormat pelayan kedai itu pun bergerak meninggalkan meja Ki
Genawang untuk membereskan kamar yang akan digunakan kedua orang tamunya itu.
Beberapa saat sepeninggal pelayan kedai, tampak empat orang lelaki berpakaian
serba hitam melangkah masuk. Salah seorang yang berkumis lebat mengedarkan
pandangannya ke sekeliling ruangan, dan berhenti pada sosok Ki Genawang dan Ki
Randita. Tatapan sepasang mata lelaki berkumis lebat itu terhenti agak lama.
Terlihat keningnya berkerut ketika melihat hidangan di atas meja guru dan murid
itu yang hanya terdiri dari sayur-sayuran. Orang-orang Perguruan Pedang Baja
memang pantang memakan barang bernyawa.
"Hm...," lelaki berkumis lebat bergumam sambil menyunggingkan senyum mengejek.
Ki Genawang dan muridnya yang kebetulan menoleh saat keempat orang itu masuk,
juga menatap dengan kening berkerut. Karena sosok lelaki berkumis lebat itu
sangat cocok dengan penjelasan Ki Panjalu, tentang ciri-ciri orang yang
menyerang murid-muridnya. Tapi Ki Genawang segera memalingkan wajahnya. Dan
kembali menikmati hidangan tanpa mempedulikan kehadiran keempat orang itu.
"Hm.... Kiranya Ketua Perguruan Pedang Baja sendiri yang datang hendak menuntut
balas!" desis lelaki berkumis lebat yang tak lain Bardewa, orang yang telah
membunuh lima orang murid Ki Genawang.
Ucapan itu tentu saja membuat Ki Genawang kembali menoleh. Sepasang mata lelaki
tua itu tampak berkilat menyembunyikan kemarahan hatinya. Dia memang sudah
berusaha menghindari pandang mata lelaki berkumis lebat, karena siapa tahu hanya
ciri-cirinya saja yang mirip. Tapi, begitu mendengar ucapan bernada menyindir
dari lelaki berkumis lebat itu, tahulah Ki Genawang bahwa pelaku pembunuhan
murid-muridnya adalah empat orang yang baru datang itu. Kenyataan ini membuat
amarah Ketua Perguruan Pedang Baja bangkit. Andaikata benar muridnya yang
memulai perkelahian itu, tetap saja dia tidak senang, dan lebih suka memberi
hukuman sendiri daripada dibunuh oleh orang lain. Karena itu merupakan
penghinaan bagi kehormatannya sebagai Ketua Perguruan Pedang Baja.
Setelah mendengar perkataan itu, Ki Genawang langsung bangkit dari duduknya.
Ditatapnya sosok lelaki berkumis itu dan ketiga orang kawannya, yang juga
menentang pandang mata Ki Genawang tanpa rasa gentar sedikit pun. Perbuatan itu
saja sudah menyinggung kehormatan Ki Genawang. Sehingga, kemarahan orang tua itu
semakin menjadi-jadi.
"Rupanya kalian yang telah membantai murid-muridku secara kejam! Katakan, siapa
kalian sebenarnya" Dan mengapa begitu memusuhi orang-orang Perguruan Pedang
Baja" Padahal, seingatku kami tidak pernah mencari permusuhan dengan partai mana
pun!" desis Ki Genawang masih menekan kemarahannya ketika teringat yang
dihadapinya murid-murid biasa, yang menurutnya tidak terlalu pantas untuk
berhadapan dengannya.
"Mengenai siapa kami sebenarnya, aku yakin kau sudah tahu, Ki Genawang. Jadi
tidak usah berpura-pura lagi! Kalian orang-orang Perguruan Pedang Baja memang
angkuh dan terlalu memandang rendah orang lain! Selain itu, kau sebagai ketua
perguruan sepertinya tidak pantas untuk menduduki jabatan yang terhormat itu.
Karena kau tidak becus mendidik tata krama pada murid-muridmu yang pemberang
itu!" jawab Bardewa memutarbalikkan ucapan Ki Genawang.
"Hm.... Siapa kau, Kisanak" Sepanjang ingatanku, Ki Gawung tidak mempunyai murid
sepertimu. Karena kalau kau bisa mengalahkan Ki Punjalu, muridku, berarti kau
cukup menonjol di antara murid-murid Ki Gawung. Tapi aku tidak mengenalmu
seperti halnya aku mengenal murid-murid utama Perguruan Merak Emas. Mungkin kau
orang dari partai lain yang hendak memancing perselisihan antara aku dan Ki
Gawung"!" ujar Ki Genawang setelah memperhatikan dengan teliti sosok lelaki
bertubuh kokoh dan berkumis lebat itu. Kenyataan itu membuatnya ragu kalau
keempat orang itu adalah murid-murid Perguruan Merak Emas yang telah cukup lama
dikenalnya. "Boleh jadi kau belum mengenalku, Ki Genawang. Aku memang belum lama bergabung
dengan Perguruan Merak Emas. Meskipun begitu, bukan berarti aku tidak dikenal di
antara murid-murid Perguruan Merak Emas. Bahkan, aku terhitung murid utama Ki
Gawung. Beliau adalah seorang gagah yang bijaksana dan pandai mendidik muridnya.
Tidak seperti kau yang mendidik murid-muridmu dengan kemanjaan dan menjejali
mereka dengan kesombongan. Sehingga mereka tumbuh menjadi orang-orang berjiwa
angkuh dan memandang rendah orang lain!" sahut Bardewa dengan suara lantang,
membuat enam orang pedagang yang berada di ruangan itu bergegas meninggalkan
meja mereka menuju kamar masing-masing. Agaknya, mereka tidak ingin terlibat
dalam keributan yang sebentar lagi pasti akan terjadi.
Sedangkan pemilik dan pelayan kedai tampak meringkuk di sudut ruangan. Wajah
mereka kelihatan pucat, karena sudah dapat membayangkan kedai mereka pasti akan
mengalami kerusakan lagi.
"Kurahg ajar! Entah bagaimana cara Ki Gawung mendidikmu sehingga kau berani
berkata demikian di hadapanku! Melihat sikapmu yang sombong itu, aku dapat
menduga kaulah yang lebih dulu mencari gara-gara dengan muridku. Kau pantas
mendapatkan pelajaran atas kekurangajaranmu itu...!" geram Ki Genawang tidak
dapat menahan kemarahannya lagi.
"Guru, tahan...!"
Ki Randita yang sejak tadi hanya diam mendengarkan perdebatan itu, bergegas
mencegah gurunya. Lelaki bertubuh gagah itu sudah bergerak maju mendekati Ki
Genawang yang menoleh ke arah muridnya dengan tatapan penuh teguran. Jelas,orang
tua itu tidak senang mendengar seruan muridnya.
"Guru..., biar aku saja yang menghadapi mereka. Rasanya tidak pantas kalau Guru
sendiri yang harus turun-tangan memberi pelajaran pada orang-orang itu. Mereka
hanya murid-murid rendahan yang tidak patut melawan Guru...," jelas Ki Randita
dengan suara agak perlahan. Sehingga, Ki Genawang pun menyadari kedudukannya.


Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan, memang sudah sepantasnyalah jika Ki Randita yang turun tangan menghadapi
Bardewa dan kawan-kawannya.
"Hm.... Semakin nyata sudah kesombongan orang-orang Perguruan Pedang Baja!
Kalian jelas-jelas meremehkan kami. Dan itu merupakan penghinaan terhadap
perguruan kami!" geram Bardewa membuat Ki Randita agak tersentak kaget.
"Kisanak. Mulutmu sungguh tajam sekali. Sekarang, aku semakin yakin kaulah yang
memulai perselisihan dengan murid-murid perguruan kami. Kau pun telah
mempergunakan kelicikanmu untuk mempengaruhi orang-orang desa ini agar mereka
berpihak kepadamu. Benar-benar sangat berbahaya jika Perguruan Merak Emas
mempunyai murid sepertimu. Aku yakin tidak lama lagi Perguruan Merak Emas akan
runtuh, bila orang licik sepertimu masih bercokol di dalamnya...," ujar Ki
Randita berusaha tetap tenang, meskipun hatinya terbakar oleh ucapan-ucapan
Bardewa yang sangat licik dan pandai bicara itu.
"Satu lagi penghinaan telah kau lontarkan terhadap ketua perguruan kami,
Kisanak! Dengan menghinaku sebagai orang yang berwatak licik itu sama artinya
dengan menghina guruku sebagai orang yang tidak mampu mendidik murid-muridnya.
Aku tidak bisa menerima penghinaan itu!" geram Bardewa kembali menunjukkan
kelicikannya dengan memutarbalikkan ucapan Ki Randita. Padahal, dia sendiri yang
telah menghina Ki Genawang dengan mengatakan kalau Ketua Perguruan Pedang Baja
tidak mampu mendidik murid-muridnya dengan baik.
"Keparat licik..!" desis Ki Randita tak dapat lagi menahan kemarahannya demi
mendengar ucapan itu. Sadar kalau tidak akan menang dalam bersilat lidah, maka
Ki Randita segera mempersiapkan jurusnya untuk memberi pelajaran pada Bardewa
dan kawan-kawannya.
"Biar aku saja yang menghadapi orang tua sombong itu, Kakang," ujar salah
seorang kawan Bardewa yang sejak tadi hanya diam saja. Tapi ketika melihat Ki
Randita telah siap menyerang, dia langsung mengajukan diri untuk menghadapi
murid utama Perguruan Pedang Baja itu.
"Jangan gegabah, Adi Sungkana. Orang ini tidak bisa kau samakan dengan yang
lainnya. Biar aku saja yang menghadapinya," bantah Bardewa yang rupanya sadar
akan kepandaian Ki Randita setelah melihat gerakan yang ditunjukkan orang tua
itu. "Heaaah...!"
Bettt! Bardewa langsung melompat ke luar kedai, dan ketika telah bersiap siaga, Ki
Randita segera melontarkan serangan ke arahnya. Tendangan dan pukulan murid
utama Ki Genawang itu datang bertubi-tubi. Tapi, Bardewa masih dapat
menyelamatkan diri dari ancaman pukulan-pukulan yang kuat dan cepat itu.
"Yeaaat..!"
Bahkan Bardewa mampu melakukan serangkaian serangan balasan dengan
pukulan-pukulan dan tendangan yang tidak kalah kuatnya. Sehingga, Ki Genawang
yang menyaksikan perkelahian itu keningnya berkerut dalam. Lelaki tua itu merasa
heran melihat ketangkasan lelaki berkumis lebat yang bisa menandingi murid
utamanya. Sekarang, baru lelaki tua itu yakin Bardewa pasti bukan murid sembarangan.
Paling tidak, dia mendapat didikan langsung dari Ketua Perguruan Merak Emas.
Melihat kenyataan itu, maklumlah Ki Genawang kalau Ki Punjalu dan murid-muridnya
sampai tidak sanggup menghadapi Bardewa dan ketiga kawannya. Karena meski tanpa
dibantu sekalipun, dia yakin kalau lelaki berkumis lebat itu akan merobohkan Ki
Punjalu serta kelima orang muridnya yang lain.
"Hm... Melihat permainan Bardewa, jelas Ki Gawung telah menciptakan jurus-jurus
baru yang hebat. Pantas saja kalau Bardewa demikian sombong dan berani mencari
perkara dengan perguruan yang kupimpin. Mungkin ini memang dikehendaki Ki Gawung
sendiri, yang hendak menjajal ilmu ciptaannya...," gumam Ki Genawang, menduga-
duga penyebab perselisihan antara perguruannya dengan Perguruan Merak Emas.
Sementara itu pertarungan masih berjalan seimbang. Baik Ki Randita maupun
Bardewa sama-sama tangguh dalam jurus-jurus awal. Sampai dua puluh jurus lebih,
belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
Memasuki jurus ketiga puluh satu, terlihat Ki Randita mulai dapat menguasai
arena. Serangan-serangan orang tua gagah itu tampak semakin gencar. Sedangkan
Bardewa mulai menitikberatkan pada pertahanan. Karena untuk balas menyerang, dia
sudah tidak memiliki kesempatan, karena gencarnya serangan-serangan yang
dilontarkan Ki Randita.
"Haaat..!"
Pada jurus ketiga puluh lima, Ki Randita mengeluarkan pekikan nyaring! Seiring
dengan itu, tubuhnya bergerak cepat melontarkan sebuah hantaman ke dada lawan
yang terbuka. Akibatnya....
Bukkk! "Huakkkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Bardewa terjengkang ke belakang. Darah segar termuntah
dari mulutnya. Jelas, hantaman keras itu membuat isi dada Bardewa terguncang
keras. Melihat kejadian itu, ketiga kawan Bardewa bergegas melompat dengan senjata
terhunus. Mereka berdiri menghadang di depan lelaki berkumis lebat itu untuk
melindunginya dari serangan Ki Randita selanjutnya.
"Setan...!" Bardewa merangkak bangkit sambil mengumpat kasar. Kali ini gagang
pedang di pinggangnya diraba, dan langsung dicabut keluar dari sarungnya.
Srattt..! Dengan gerakan kepalanya, Bardewa memerintahkan kawan-kawannya untuk mengeroyok
Ki Randita. Sebentar kemudian, lelaki gagah murid utama Perguruan Pedang Baja
Itu telah terkurung dari empat penjuru.
"Haaat..." Seiring dengan pekikan itu, tubuh Ki Randita bergerak cepat melontarkan
sebuah hantaman ke dada lawan. Akibatnya....
"Huakkkh...!" Tanpa ampun lagi, tubuh Bardewa terjengkang ke belakang. Darah segar
termuntah dari mulutnya!
3 "Heaaat..!"
Diawali sebuah teriakan nyaring, Bardewa dan kawan-kawannya menerjang maju.
Sambaran pedang keempat lelaki berpakaian serba hitam itu berdesingan mengancam
tubuh Ki Randita.
"Haiiit..!"
Ki Randita sendiri masih belum menggunakan senjatanya yang tergantung di
punggung. Dia masih mengandalkan kegesitannya untuk menghadapi serbuan empat
batang pedang lawan. Dalam lima jurus awal memang Ki Randita masih sanggup
menyelamatkan diri dari incaran pedang lawan. Bahkan sesekali masih sempat
mengirimkan serangan balasan yang berbahaya. Tapi, pada jurus-jurus selanjutnya,
lelaki tua itu baru merasakan betapa beratnya menghadapi empat pengeroyoknya
yang memiliki permainan pedang yang cepat dan kuat. Maka, Ki Randita mulai
terdesak dan tidak mampu lagi melancarkan serangan balasan. Bahkan, beberapa
kali sambaran pedang lawan nyaris melukai tubuhnya.
Plakkk! Sebuah sambaran pedang yang mengancam lehernya berhasil ditepiskan Ki Randita.
Tapi serangan selanjutnya dari lawan yang lain, memaksa lelaki itu untuk
melompat jauh ke belakang.
Bettt..! Sambaran pedang yang dilancarkan Bardewa mengenai angin kosong. Karena lawan
telah berjumpalitan menjauhkan diri dari mata pedangnya.
"Haaat..!"
Rasa dendam dan penasaran membuat Bardewa tidak ingin memberi kesempatan pada
lawannya untuk bernapas lega. Lelaki itu langsung melesat dengan tusukan
pedangnya selagi tubuh Ki Randita berada di udara.
Ki Genawang yang menyaksikan kenyataan itu terperanjat kaget. Lelaki tua itu
sadar kalau keadaan muridnya tengah terancam maut. Maka, tanpa berpikir panjang
lagi, tubuhnya langsung melayang dengan tujuan menyelamatkan nyawa muridnya dari
ancaman ujung pedang Bardewa.
"Hiaaaah...!"
Plakkk! "Aihhh..."!"
Tamparan yang dilancarkan Ki Genawang sangat kuat. Sehingga, tubuh Bardewa
terpental ke samping! Untung lelaki bertubuh tegap itu masih sempat
menyelamatkan tubuhnya agar tidak terbanting ke tanah, dan dapat mendaratkan
kedua kakinya dengan selamat "Hm... Sudah kuduga kau tidak akan tinggal diam
melihat muridmu terancam maut! Tapi, jangan kira kami akan gentar meskipun harus
menghadapimu, Ki Genawang...!" geram Bardewa menggertakkan giginya sambil
memutar pedang dengan sekuat tenaga.
Demikian pula dengan tiga orang kawan Bardewa. Mereka sama sekali tidak
kelihatan gentar, meskipun yang harus mereka hadapi ini Guru Besar Perguruan
Pedang Baja. Bahkan, mereka kembali membentuk kepungan dari empat penjuru.
"Sebenarnya aku merasa malu menghadapi kalian, mengingat kalian hanya murid-
murid rendahan Perguruan Merak Emas. Tapi, kekurangajaran dan kesombongan kalian
membuat aku terpaksa harus melupakan hal itu Sebab, kalau tidak diberi
pelajaran, kalian pasti akan semakin sombong dan bertindak semena-mena...," ujar
Ki Genawang segera menyiapkan jurusnya untuk menghadapi keroyokan murid-murid
Perguruan Merak Emas.
"Keparat tua sombong! Rasakan tajamnya pedangku...!" bentak Bardewa marah
mendengar ucapan Ki Genawang yang jelas menghina mereka. Maka, dia pun langsung
mendahului kawan-kawannya menerjang Ketua Perguruan Pedang Baja.
Ki Genawang hanya perlu menggeser tubuhnya sedikit untuk menghindari tusukan
pedang yang mengancam jantungnya. Kemudian, langsung membalas dengan sebuah
tamparan yang mendatangkan sambaran angin kuat membuat Bardewa terhuyung.
Sehingga, tubuh lelaki itu terjajar mundur dan kehilangan keseimbangan.
Untung saat itu Sungkana dan dua orang lainnya datang membantu, kalau tidak,
bukan mustahil Ki Genawang akan menyusuli serangannya dan membuat Bardewa roboh.
Ketua Perguruan Pedang Baja terpaksa menunda serangan susulannya, ketika melihat
datangnya sambaran pedang ketiga pengeroyoknya itu.
"Haaah...!"
Dengan membungkukkan tubuhnya, ketiga sambaran mata pedang lawan lewat di
atasnya. Kemudian lelaki tua itu membentak sambil mengembangkan kedua lengannya
ke kiri dan kanan.
Desss! Desss! Dua orang penyerang di kiri dan kanannya terjungkal tanpa ampun. Nyawa mereka
langsung putus akibat kuatnya tenaga yang terkandung di dalam gebrakan Ki
Genawang. Sehingga, kejadian itu sempat membuat Bardewa dan Sungkana terbelalak gentar.
Mereka tidak menduga kalau Ketua Perguruan Pedang Baja ternyata memiliki
kepandaian yang hebat, dan mampu merobohkan dua orang kawan mereka hanya dengan
sekali gebrak. "Sungkana, lari...!"
Setelah melihat kenyataan itu, Bardewa sadar kalau Ki Genawang tidak mungkin
dapat mereka hadapi berdua saja. Maka, lelaki itu pun segera mengajak Sungkana
melarikan diri menerobos kegelapan malam.
"Mengapa tidak dikejar, Guru...?" tanya Ki Randita heran melihat gurunya hanya
berdiri memandang kepergian lawan-lawannya. Tidak sedikit pun terlihat tanda-
tanda kalau lelaki gagah itu hendak mengejar.
"Tidak perlu, Randita. Persoalan ini sudah berkembang terlalu jauh. Biarlah kita
tunggu saja apa yang akan terjadi selanjutnya...," gumam Ki Genawang pelan,
menyembunyikan kekecewaan hatinya.
Ki Randita pun tahu akan kegundahan hati gurunya. Maka dia tidak berkata-kata
lagi, dan mendiamkan saja lelaki tua itu terpaku menatap tempat di mana kedua
lawannya lenyap.
Ki Genawang benar-benar menyesali kejadian yang tidak diharapkannya itu.
Semula dia meninggalkan perguruan dengan maksud untuk menegur Ki Gawung, agar
menghukum murid-muridnya. Tapi, harapan untuk dapat menyelesaikan persoalan
dengan jalan damai musnah sudah. Kejadian barusan jelas akan semakin
memperuncing permusuhan di antara mereka. Hal itu membuat hati Ki Genawang
gundah dan termenung beberapa saat lamanya.
"Kita tunggu saja tanggapan Ki Gawung, Guru. Kalau jalan damai memang tidak
dapat ditempuh, kita layani saja kemauan mereka," ujar Ki Randita dengan nada
perlahan, seperti takut mengejutkan hati gurunya.
"Hhh..."
Terdengar helaan napas berat Ki Genawang yang menandakan keresahan hatinya.
Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, orang tua itu membalikkan tubuhnya dan
melangkah ke arah kedai tempat mereka melewatkan malam.
*** Ki Genawang dan Ki Randita yang tengah sarapan pagi di kedai tempat mereka
menginap, terkejut bukan main melihat kedatangan Gumarta yang dalam keadaan
luka-luka. Serentak keduanya melompat bangkit menyambut kedatangan lelaki tegap
itu. "Ada apa, Gumarta" Apa yang sudah terjadi...?" tanya Ki Genawang memapah tubuh
Gumarta yang kelihatannya sangat lelah. Rupanya, Gumarta telah melakukan
perjalanan dengan terburu-buru.
Gumarta tidak segera menjawab pertanyaan gurunya. Napasnya masih tersengal-
sengal. Sehingga, Ki Genawang segera mendudukkan tubuh muridnya di kursi. Lalu
memberinya segelas air putih, agar Gumarta jadi lebih teriang dan bisa
menceritakan kejadian yang menimpa Perguruan Pedang Baja.
Ki Genawang telah membatalkan niatnya untuk mendatangi Perguruan Merak Emas.
Kejadian semalam membuat orang tua itu merubah keputusannya. Karena tidak ada
gunanya lagi dia datang setelah membunuh dua orang murid Ki Gawung. Ketua
perguruan itu pasti tidak akan menerima mereka dengan baik. Bahkan, kemungkinan
besar kedatangan Ki Genawang ke Perguruan Merak Emas akan disambut dengan ujung
pedang. Itu sebabnya, mengapa Ki Genawang membatalkan niatnya semula.
Kini Ki Genawang dihadapkan lagi pada suatu masalah yang masih belum jelas.
Kedatangan muridnya dengan tubuh penuh luka, membuat hati lelaki itu berdebar
tegang. Sebab, Gumarta telah diberi amanat untuk menjaga perguruan selama dia pergi.
Dan, kalau sampai Gumarta berani meninggalkan tugas yang diembannya, sudah pasti
ada sesuatu yang hebat menimpa perguruan. Ki Genawang ingin segera mendengar
dari mulut Gumarta tentang keadaan perguruannya.
"Menjelang pagi tadi, saat fajar baru saja terbit, datang serombongan murid-
murid Perguruan Merak Emas yang dipimpin langsung oleh ketuanya sendiri. Mereka
langsung mengamuk dan membunuhi murid-murid kita. Aku berusaha melawan sekuat
tenaga, tapi mereka terlalu kuat. Sehingga, aku mengambil keputusan untuk
meninggalkan pertarungan dan menyusul Guru serta Kakang Randita," jelas Gumarta
dengan suara terputus-putus, membuat wajah kedua orang itu jadi merah bagai
terbakar api. "Seharusnya kau tetap memimpin murid-murid untuk menghadapi mereka, Gumarta.
Bukannya melarikan diri seperti pengecut!" geram Ki Genawang tidak setuju dengan
tindakan muridnya.
"Keadaan perguruan sudah tidak bisa dipertahankan lagi, Guru. Kalau aku tidak
meninggalkan perguruan, lalu siapa yang akan melaporkan kejadian itu" Guru dan
Kakang Randita tentu tidak akan tahu siapa yang telah menghancurkan perguruan
kita. Alasan itulah yang membuatku memberanikan diri meninggalkan perguruan dan
menyusul kemari...."
Setelah berkata begitu, Gumarta terbatuk dan memuntahkan darah segar, membuat Ki
Genawang dan Ki Randita terkejut. Mereka baru menyadari betapa parahnya luka
yang diderita Gumarta.
"Gumarta..."!"
Ki Genawang dan Ki Randita berteriak kaget melihat lelaki tegap itu terpelanting
roboh dari kursi. Cepat keduanya berusaha untuk menangkapnya agar tidak
terbanting ke tanah. Tapi, betapa kaget dan murkanya hati mereka ketika
mendapati Gumarta sudah tak bernyawa!
"Keparat! Rupanya jahanam itu telah lebih dulu mendatangi perguruan kita!
Bahkan langsung membunuhi orang-orang kita tanpa menanyakan lebih dulu persoalan
yang sebenarnya! Hm..., mereka benar-benar tidak bisa didiamkan! Kita harus
menuntut balas atas kejadian ini!" geram Ki Genawang murka bukan main setelah
mendengar penuturan Gumarta yang tewas di depan matanya.
"Mereka pasti mengambil jalan lain, Guru. Kalau tidak, mana mungkin mereka dapat
tiba demikian cepat" Sekarang mereka pasti belum kembali. Kita harus
mencegatnya!" usul Ki Randita dengan wajah merah. Hatinya sungguh tidak bisa
menerima perbuatan orang-orang Perguruan Merak Emas yang menurutnya sudah
melewati batas.
"Tidak Sebaiknya kita langsung saja menuju Perguruan Merak Emas. Kalau mereka
belum kembali, kita langsung menyerbu dan membasmi murid-murid yang masih
tinggal di dalam perguruan! Dengan begitu, sedikit banyak kita telah membalas
perbuatan kejam yang telah mereka lakukan..!" ujar Ki Genawang.
Setelah meminta penduduk desa agar menguburkan mayat Gumarta dengan baik, Ki
Genawang melesat bersama muridnya menuju Perguruan Merak Emas. Diam-diam hati
mereka diliputi keheranan besar. Bagaimana mungkin Ki Gawung dan murid-muridnya
dapat tiba demikian cepat di Perguruan Pedang Baja" Sedangkan semalam empat


Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang murid perguruan itu telah bertarung dengan mereka. Dugaan pun jatuh, Ki
Gawung sengaja mengirimkan empat orang muridnya untuk memancing keributan dengan
Ki Genawang dan Ki Randita. Sehingga, kedua tokoh Perguruan Pedang Baja itu
tidak akan menduga kalau pada saat itu Ki Gawung tengah bergerak menuju
Perguruan Pedang Baja.
"Bedebah!" Ki Genawang memaki geram sambil berlari mengerahkan seluruh tenaganya
agar dapat segera tiba di tempat tujuan. Seolah dia hendak berlomba dengan
rombongan Ki Gawung yang diduganya tengah dalam perjalanan pulang.
Setelah berlari tanpa henti, lewat tengah hari, kedua tokoh itu pun tiba di
Perguruan Merak Emas. Tanpa merasa lelah sedikit pun, Ki Genawang dan Ki Randita
segera mendekati bangunan yang di sekelilingnya dipagari kayu-kayu bulat
setinggi satu setengah tombak.
Sebelum penjaga gerbang sempat menyadari kehadiran kedua orang itu, Ki Genawang
langsung mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendobrak pintu gerbang.
Brakkk..! Pukulan yang dilandasi kekuatan hebat dan kemarahan menggelegak, membuat pintu
gerbang Perguruan Merak Emas berderak roboh berkeping-keping!
Tanpa menunggu serpihan kayu berjatuhan ke tanah, Ki Genawang dan Ki Randita
langsung menerobos masuk ke dalam bangunan. Tapi, langkah keduanya tertahan oleh
puluhan murid Perguruan Merak Emas yang menghadang dengan senjata terhunus.
Rupanya, ledakan di pintu gerbang itu membuat mereka langsung bersiap dengan
pedang di tangan. Sebab, hanya pengacaulah yang datang dengan menjebol pintu
gerbang. Tanpa banyak bicara lagi, Ki Genawang dan Ki Randita segera meloloskan senjata
masing-masing! Kemudian menerjang maju dengan hebatnya.
"Haaat..!"
Meskipun telah bersiap sebelumnya, tetap saja murid-murid Perguruan Merak Emas
terkejut. Apalagi kedua tamu tak diundang itu langsung menerjang ganas, dan
merobohkan siapa saja yang menghalangi mereka. Tentu saja keadaan menjadi gaduh.
Jeritan kematian terdengar susul-menyusul! Darah segar memercik membasahi tanah.
Dan, tubuh-tubuh bersimbah darah berjatuhan satu persatu dengan napas putus.
Pedang di tangan Ki Genawang dan Ki Randita tak ubahnya tangan-tangan malaikat
maut, membuat murid-murid Perguruan Merak Emas menjadi gentar.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan menggelegar yang mengatasi suara jeritan dan
dentingan senjata. Bersamaan dengan teriakan itu sesosok tubuh gagah melayang
turun ke tengah arena, membuat murid-murid Perguruan Merak Emas berlompatan
mundur. Rupanya mereka telah mengenal baik suara bentakan itu. Sehingga, mereka langsung
memberi tempat bagi sosok yang baru tiba.
"Hm.... Bagus kau cepat datang, Ki Gawung!" geram Ki Genawang dengan sorot mata
penuh dendam dan kebencian. Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, pedangnya
langsung diputar dengan sekuat tenaga. Sehingga menciptakan putaran angin tajam.
"Tunggu dulu, Ki Genawang! Apa yang membuatmu seperti kesetanan dan hendak
membantai murid-muridku...?" cegah Ki Gawung bergeser mundur setelah melihat
jurus yang hendak digunakan lawannya. Sebab, jurus itu dikenalinya sebagai jurus
andalan Ketua Perguruan Pedang Baja.
Ki Genawang tidak mempedulikan teriakan lawannya. Dibarengi pekikan marah,
tubuhnya segera melayang dengan sambaran pedang yang berdesingan.
Bettt! Whuttt! "Hel.."!"
Ki Gawung yang masih belum mengerti alasan kemarahan Ketua Perguruan Pedang
Baja, segera melompat ke belakang untuk menghindari serangan maut itu.
"Haaat...!"
Tapi Ki Genawang memang sudah tidak bisa diajak bicara lagi. Begitu serangan
pertama gagal, langsung disusuli dengan serangan berikutnya. Sehingga dengan
terpaksa Ki Gawung mencabut senjatanya karena tahu serangan lawan memang tidak
main-main. Trang! Trang! Begitu senjata tercabut dari sarungnya, terdengar benturan keras dua kali yang
menulikan telinga. Akibatnya, tubuh Ki Genawang maupun Ki Gawung, terjajar
mundur sejauh enam langkah.
"Coba jelaskan, apa yang membuatmu seperti kesetanan dan datang-datang membuat
keributan, Ki Genawang?"
Kembali Ki Gawung berusaha mencari keterangan penyebab kemarahan Ki
Genawang yang memang telah dikenalnya dengan baik.
Lagi-lagi Ki Genawang tidak mempedulikan pertanyaan Ketua Perguruan Merak Emas
itu. Serangannya kembali datang, membuat Ki Gawung terpaksa harus meladeninya
dengan sungguh-sungguh. Jika tidak, sudah pasti dirinya akan celaka di tangan
lawan yang diketahuinya memiliki kepandaian tinggi. Sehingga pertempuran sengit
kembali pecah. Kedua tokoh tingkat tinggi itu saling gempur dengan hebatnya
laksana dua ekor harimau kelaparan yang memperebutkan mangsa.
Di bagian lain, Ki Randita pun telah bertarung sengit dengan dua orang lelaki
gagah, yang merupakan murid-murid utama Ki Gawung. Berbeda dengan gurunya yang
mendapat lawan seimbang, Ki Randita harus mengerahkan seluruh kepandaiannya
untuk mengimbangi permainan dua pengeroyoknya. Meski demikian, lelaki itu tetap
tidak mampu mendesak mereka. Karena lawan-lawannya memiliki kepandaian yang
tinggi atau mungkin setingkat dengannya. Untuk menghadapi keroyokan murid-murid
utama Perguruan Merak Emas, Ki Randita harus menguras tenaga dan kecepatannya.
"Heaaah...!
Berkali-kali Ki Randita berusaha mendesak mereka. Namun, selalu saja serangannya
kandas dan dapat diatasi lawan dengan baik. Bahkan ketika pertempuran memasuki
jurus kedua puluh, terlihat Ki Randita mulai terkurung oleh serangan pedang
lawan. Sehingga, orang kedua dalam Perguruan Pedang Baja itu hanya mampu
bertahan, tanpa bisa membalas serangan lawan-lawannya.
"Haaat..!"
Brettt..!"
"Akh...!"
Suatu saat, Ki Randita tidak sempat lagi menyelamatkan tubuhnya dari incaran
pedang lawan. Karena pada saat yang bersamaan tubuhnya harus dilindungi dari
serangan lawan yang satunya lagi. Akibatnya, tubuh lelaki tua yang masih gagah
itu terhuyung limbung! Pangkal lengannya tampak berdarah dan terdapat luka yang
cukup panjang. "Yeaaat...!"
Kedua lawannya kembali meluncur datang dengan tusukan pedang yang
mengancam tenggorokan dan lambung lelaki tua itu. Sedangkan saat itu Ki Randita
belum sempat memperbaiki kedudukan kuda-kudanya. Sehingga, dia hanya dapat
berusaha menghindari kematian dengan semampunya.
"Haaaat...!"
Pada saat yang sangat gawat itu, tiba-tiba terdengar pekikan merdu yang
melengking tinggi. Disusul dengan berkelebatnya sosok bayangan hijau yang
langsung memapaki tusukan pedang dua murid Ki Gawung.
Trang! Trang! Sinar putih keperakan yang berkelebat cepat itu langsung membentur pedang dua
lawan Ki Randita, hingga kedua pedang itu terlepas dari tangan pemegangnya.
Sedangkan tubuh mereka terpelanting roboh tanpa dapat dicegah lagi.
Sesosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau berdiri tegak
membelakangi Ki Randita!
4 Sementara itu, pertarungan yang berlangsung antara Ki Genawang dan Ki Gawung
sudah semakin meningkat. Serangan-serangan yang dilancarkan Ki Genawang memang
benar-benar hebat! Sehingga, Ketua Perguruan Merak Emas itu harus mengeluarkan
seluruh kemampuannya untuk mengimbangi serangan lawan.
"Heaaat..!"
Lagi-lagi Ki Genawang memekik keras seraya melepaskan sebuah bacokan dari atas
ke bawah! Andai saja sampai terkena tubuh lawan, pastilah tubuh itu akan
terbelah menjadi dua.
Tapi, Ki Gawung pun bukan lawan yang mudah untuk ditundukkan. Melihat dahsyatnya
serangan lawan, lelaki itu memutar senjatanya dengan mengerahkan seluruh tenaga.
Kemudian bersiap menyambutnya.
Namun, sesaat sebelum kedua tokoh itu saling beradu, mendadak berkelebat sesosok
bayangan putih yang langsung meluncur turun di antara keduanya. Dan...
"Heaaah...!"
Seiring dengan bentakan keras, sosok berpakaian serba putih itu mengibaskan
lengannya ke kiridan kanan.
Plak! Plak! "Aaah..."!"
"Hei..."!"
Terkejut bukan main hati kedua tokoh itu ketika merasakan lengan mereka bagai
terbentur sebuah logam keras yang sangat dingin. Akibatnya, tubuh Ki Genawang
dan Ki Gawung terdorong ke belakang hingga jatuh bergulingan. Dapat dibayangkan
betapa hebatnya kekuatan yang dimiliki sosok bayangan putih itu!
"Hentikan pertempuran...!"
Setelah merobohkan Ki Genawang dan Ki Gawung, sosok berjubah putih
mengeluarkan teriakan keras yang menggelegar. Akibatnya, pertarungan yang
berlangsung di tempat itu pun terhenti, karena bentakan itu telah merobohkan
mereka. Kecuali, sosok tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Hampir berbarengan, Ki Genawang dan Ki Gawung berseru ketika melihat tubuh sosok
berjubah putih itu terbungkus lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
memancarkan hawa dingin menggigit itulah ciri-ciri Pendekar Naga Putih!
Dugaan kedua orang ketua perguruan itu tidak salah! Sosok itu memang Pendekar
Naga Putih yang muncul bersama kekasihnya, Kenanga.
"Sepengetahuanku, Perguruan Pedang Baja dan Perguruan Merak Emas adalah tempat
orang-orang gagah. Persoalan apa yang telah membuat kalian harus saling gempur?"
tegur Panji seraya menghampiri Ki Genawang dan Ki Gawung. Sepasang mata pendekar
muda itu menyorot tajam membuat hati kedua tokoh tingkat tinggi itu berdebar.
"Sebenarnya Perguruan Merak Emas tidak mempunyai persoalan dengan orang-orang
Perguruan Pedang Baja. Tapi, bila ada orang yang hendak mengacau tempat ini,
kami akan melindungi dengan taruhan nyawa," jawab Ki Gawung seraya melirik ke
arah Ki Genawang dengan sinar mata mengejek.
"Keparat! Enak saja kau bilang tidak mempunyai persoalan! Kemarin lima orang
muridku tewas terbunuh di tangan murid-muridmu. Tapi, rupanya kau masih belum
puas hanya dengan lima nyawa saja. Lalu, kau datang membasmi seluruh murid-murid
perguruanku selagi aku hendak mencari jalan damai dan persoalan ini, yang
mungkin hanya sebuah kekeliruan! Nah, masihkah semua itu kau anggap bukan
persoalan?" geram Ki Genawang. Kemarahan ketua Perguruan Pedang Baja itu kembali
bangkit ketika mendengar ucapan Ki Gawung yang mengatakan kalau di antara mereka
tidak ada persoalan.
Merah wajah Ki Gawung mendengar perkataan Ki Genawang. Selain ucapan itu suatu
fitnah keji. Juga dikeluarkan di hadapan murid-muridnya.
Tentu saja Ketua Perguruan Merak Emas tidak dapat berdiam diri mendengar hinaan
itu. Bukan hanya ketuanya saja yang merasa terhina. Tapi, hampir semua murid
Perguruan Merak Emas terdengar memaki dan menyumpah-nyumpah. Sehingga suasana
kembali menjadi ribut dan kedua belah pihak pun sudah siap bertempur.
"Jangan kau kira aku akan diam saja mendengar fitnah dan hinaanmu itu, Ki
Genawang! Kalau memang aku melakukan perbuatan yang kau tuduhkan itu, tentu aku
akan bertanggung jawab! Tapi, karena aku tidak melakukannya, dugaanku kau hanya
mencari-cari persoalan denganku. Sebagai seorang laki-laki, aku tidak akan
mundur meskipun harus bertarung sampai seribu jurus!"
Ki Gawung tampaknya tidak kalah berang dengan Ki Genawang. Bahkan, lelaki tua
bertubuh tegap itu sudah melintangkan senjatanya di depan dada, siap bertarung
habis-habisan. "Tahan...!"
Panji yang melihat ketegangan di antara kedua belah pihak kembali memuncak dan
tampaknya akan terjadi pertarungan lagi, segera bertindak menengahi. Pemuda itu
melangkah dan berdiri di antara tokoh puncak dua perguruan itu.
Tinggallah Ki Genawang dan Ki Gawung saring pandang dengan mata
memancarkan dendam dan kebencian. Kalau saja Panji tidak berada di antara
mereka, bukan mustahil mereka akan kembali saling gebrak! Tapi, karena melihat
siapa Pendekar Naga Putih, mereka hanya bisa saling pandang dengan urat-urat
tubuh menegang.
"Hm... Kalian berdua tidak ubahnya anak kecil! Kalau kalian tetap menuruti hawa
nafsu dan hati panas, mana mungkin persoalan ini bisa selesai" Sebagai ketua
dari partai yang terhormat, seharusnya sikap kalian harus lebih bijaksana.
Setiap persoalan bisa dibicarakan dengan kepala dingin. Baru kemudian kita bisa
menemukan jalan keluarnya!"
tandas Panji yang mau tak mau terpaksa harus memberi nasihat dan pengarahan pada
Ki Ge nawang dan Ki Gawung, yang usianya hampir tiga kali lipat dari usianya
sendiri. Tapi, yang dilihatnya bukan usia. Melainkan cara berpikir dan pandangan
yang luas. Ki Genawang dan Ki Gawung pun terdiam dan mengendurkan urat-uratnya.
Apa yang dikatakan Pendekar Naga Putih adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa
dibantah. "Hm..... Kalau begitu, coba kau jawab pertanyaanku," gumam Ki Genawang dengan
wajah yang masih gelap, meskipun suaranya tidak lagi bernada tinggi. Agaknya,
ucapan Pendekar Naga Putih membuatnya merasa malu dan berusaha menekan dendam
dan penasaran di hatinya.
"Tanyakanlah! Aku akan menjawab seadanya berdasarkan apa yang kuketahui...,"
tukas Ki Gawung, juga dengan nada rendah. Hanya sepasang matanya saja yang masih
menggambarkan kejengkelan hatinya.
"Apa kesalahan murid-muridku hingga kau demikian kejam membantai mereka tanpa
ampun?" tanya Ki Genawang seraya menatap tajam wajah Ketua Perguruan Merak Emas.
"Sudah kukatakan sejak semula kalau aku tidak pernah membantai murid-muridmu!
Jangankan sampai puluhan orang. Satu orang muridmu pun tidak pernah kuganggu.
Kau hanya mencari-cari persoalan dengan fitnah busukmu itu!" jawab Ki Gawung
kembali merasa geram, karena Ketua Perguruan Pedang Baja masih tetap
menyalahkannya.
"Dengar, Ki Gawung! Aku tidak mencari-cari perkara denganmu. Tapi, dengan mata
kepalaku sendiri aku melihat dan berjumpa dengan muridmu di Desa Babakan. Dengan
sangat kurang ajar muridmu menantangku dan melontarkan kata-kata hinaan yang
membuat darahku mendidih! Nah, apakah kau masih menyalahkanku dan mengatakan aku
hanya menuduh tanpa bukti?" Ki Genawang tidak mau kalah, karena mengalami
sendiri semua kejadian itu. Sehingga tetap bersikeras dengan tuduhannya.
"Kurang ajar! Aku tidak pernah mendidik muridku untuk bersikap sombong.
Apalagi sampai berani menghina seorang ketua perguruan. Jelas tuduhanmu tidak
masuk akal. Nah, sekarang coba kau tunjukkan, siapa muridku yang telah berani
berbuat kurang ajar dan menghinamu itu?" bantah Ki Gawung seraya membalikkan
tubuhnya dan mengedarkan pandang matanya merayapi wajah-wajah muridnya.
"He he he...! Kau anggap aku anak kecil yang bisa dibodohi! Mana mungkin orang
itu berada di antara murid-muridmu sekarang. Dia pasti sudah kau sembunyikan
dari mataku,'' Ki Genawang malah tertawa mengejek ketika Ki Gawung memintanya
agar menunjukkan orang yang telah menghinanya.
Gusar bukan main hati Ki Gawung mendengar suara tertawa bernada mengejek itu.
Namun, lagi-lagi dia tidak bisa bertindak lebih jauh. Karena di antara mereka
berdua berdiri Pendekar Naga Putih yang sampai sejauh itu masih bertindak
sebagai pendengar.
Mungkin pemuda itu ingin mendengar lebih dulu persoalan yang sebenarnya. Baru
kemudian mengambil tindakan setelah semuanya menjadi jelas.
"Baiklah. Sekarang, aku akan menceritakan persoalan yang kedua," ujar Ki
Genawang setelah terdiam beberapa saat lamanya sambil merayapi wajah murid-murid
Perguruan Merak Emas, dan tidak menemukan sosok yang dicarinya. "Pagi tadi,
Gumarta, salah seorang murid utama yang ku tugaskan untuk mengurus perguruan
selama aku pergi, datang menemuiku di Desa Babakan dengan sekujur tubuh penuh
luka. Setelah menceritakan bahwa kau memimpin orang-orangmu untuk membantai
murid-muridku, Gumarta menghembuskan napas terakhir di hadapanku. Muridku itu
orang yang jujur dan kata-katanya bisa dipercaya. Kalau tidak, mana mungkin aku
akan memberikan tugas untuk mengurus perguruan. Nah, apa jawabmu sekarang, Ki
Gawung" Apa kau masih ingin membantah tuduhan itu lagi?"
"Dusta! Itu fitnah keji! Aku belum pernah meninggalkan perguruan selama lebih
dari sepuluh tahun, termasuk pagi tadi! Jadi, jelas tuduhan itu tidak betul!"
bantah Ki Gawung berang bukan main. Sebab Ki Genawang masih tetap bersikeras
menuduhnya. Sehingga darahnya kembali mendidih.
'Tidak! Itu bukan fitnah! Kau iri dengan kemajuan perguruan yang kupimpin!
Hingga membuatmu mata gelap dan melakukan perbuatan-perbuatan keji yang
sepatutnya tidak dilakukan oleh orang-orang gagah!" bentak Ki Genawang keras,
karena merasa yakin sepenuhnya bahwa orang yang melakukan semua perbuatan itu
adalah Ki Gawung dan murid-muridnya.
"Keparat!"


Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Gawung sudah kehilangan kesabaran. Pedang di tangannya berputar, siap
menerjang Ki Genawang.
"Tunggu..!"
Panji mengangkat kedua belah tangannya ke atas. Suara bentakannya yang
menggelegar dan berpengaruh, membuat suasana bising hening seketika. Suasana pun
sunyi untuk beberapa saat lamanya.
"Dengar...!" seru Panji keras.
Ucapan Pendekar Naga Putih yang disertai pengerahan tenaga dalam itu
berkumandang jelas, hingga terdengar oleh semua orang yang berada di tempat itu.
"Sekarang aku sudah mengerti persoalan yang kalian ributkan ini! Menurutku,
kalian telah diadu domba oleh orang-orang yang ingin menghancurkan Perguruan
Pedang Baja dan Perguruan Merak Emas! Melihat ketegasan dan keteguhan Ki Gawung
yang tetap mempertahankan pendiriannya tidak mengakui perbuatan itu, jelas suah
ada orang lain yang melakukannya. Kita harus mencari manusia licik itu sampai
dapat!" Mendengar ucapan Pendekar Naga Putih yang lagi-lagi sukar untuk dibantah, semua
yang ada di tempat itu, terdiam. Murid-murid Perguruan Merak Emas saling
berpandangan dan beberapa di antaranya saling berbisik membicarakan kemungkinan
yang disebutkan Pendekar Naga Putih. Banyak di antara mereka yang mulai percaya
akan dugaan pemuda tampan berjubah putih itu.
Ki Genawang pun sepertinya ikut terpengaruh oleh ucapan Panji barusan. Terbukti,
lekaki gagah itu termenung beberapa saat seperti tengah memikirkan sesuatu untuk
mencari jawaban permasalahan itu.
"Ki Gawung....!"
Beberapa saat kemudian, Ki Genawang memanggil nama Ketua Perguruan Merak Emas
yang sejak tadi memandang wajah Ki Genawang yang tertunduk.
"Kau masih tetap menuduhku...?" tanya Ki Gawung yang masih saja belum hilang
rasa jengkelnya. Ditatapnya wajah Ketua Perguruan Pedang Baja itu lekat-lekat
seolah ingin membaca pikiran di dalam kepala Ki Genawang.
"Apakah kau mempunyai seorang murid bernama Bardewa yang bertubuh tinggi tegap
dan berkumis lebat..?" tanya Ki Genawang meminta ketegasan Ketua Perguruan Merak
Emas. "Hm..., ya. Bardewa adalah muridku. Apa maksudmu menanyakan tentang dia...?"
Ki Gawung balik bertanya setelah memberikan jawaban yang membuat wajah Ki
Genawang berseri-seri. Rupanya, lelaki gagah itu yakin kalau kali ini Ki Gawung
tidak akan bisa berkelit lagi.
"Nah! Kau sudah mengakuinya, bukan" Muridmu yang bernama Bardewa itulah yang
membunuh lima orang muridku. Bahkan, dia berani menantangku bertarung...," ujar
Ki Genawang lagi sambil melemparkan senyum mengejek, membuat hati Ki Gawung
menjadi tidak enak
"Kau tidak keliru...?"
Tapi, Ki Gawung terlihat tidak merasa terkejut apalagi ketakutan setelah
mendengar nama Bardewa disebut yang menurut Ki Genawang adalah pelaku semua
peristiwa itu. "Tentu saja aku yakin! Nah, sekarang coba kau tunjukkan mana muridmu yang
bernama Bardewa itu...?"
"Hm..., Ketahuilah, Ki Genawang. Orang yang kau cari itu sudah cukup lama
meninggal. Dia tewas terbunuh tanpa kami tahu siapa pelakunya. Kami telah berusaha menyelidiki dengan diam-diam. Karena tidak
juga membawa hasil, maka penyelidikan kami hentikan. Itu terjadi setahun yang
lalu. Bukan tidak mungkin kalau pelakunya adalah murid-muridmu. Lalu, arwah
Bardewa yang penasaran muncul membalas dendam dan membantai murid-muridmu!"
Kali ini giliran Ki Gawung yang menyunggingkan senyum mengejek. Puas hati lelaki
gagah itu dapat membalas hinaan dan fitnahan Ki Genawang dengan tidak kalah
menyakitkan. Ganti Ki Genawang dan Ki Randita yang menjadi merah wajahnya. Mereka benar-benar
terkejut, tidak menyangka jika pertanyaan Ki Genawang akan mengakibatkan pukulan
yang cukup telak bagi Ketua Perguruan Pedang Baja.
Panji yang melihat ketegangan mulai terasa, segera mengangkat kedua tangannya.
Dan berujar lantang.
"Orang yang sudah mati tidak mungkin dapat bangkit kembali, apalagi sampai
membalas dendam dan membunuh orang yang telah menganiayanya semasa hidup. Kalau
itu benar terjadi, maka semua murid-murid Perguruan Pedang Baja yang tewas
terbantai akan bangkit dan bergentayangan mencari pembunuhnya! Nah, coba kalian
pikirkan baik-baik Apakah hal itu mungkin terjadi...?"
Suasana tegang dan bising itu pun mereda. Banyak di antaranya merasa ngeri jika
apa yang dikatakan Pendekar Naga Putih benar-benar terjadi. Tentu saja tak
seorang pun yang percaya serta menginginkan peristiwa itu terjadi, termasuk Ki
Gawung yang barusan memulai ucapan takhayul itu.
"Kalau begitu, persoalan kita selesai sampai di sini. Mari sama-sama kita
selidiki siapa sebenarnya orang yang menyamar sebagai Bardewa maupun Ki Gawung.
Aku yakin manusia licik itu masih akan melanjutkan aksinya...," Panji kembali
melanjutkan ucapannya saat suasana masih tenang.
"Baiklah. Aku akan mencoba menyelidikinya...," ujar Ki Genawang akhirnya
menerima keputusan Pendekar Naga Putih. Demikian juga dengan Ki Gawung.
Sehingga, perselisihan mereda untuk sementara.
Melihat semuanya telah dapat diselesaikan dengan baik. Panji mengajak Kenanga
meninggalkan tempat itu. Mereka pun berpamitan dan berjanji akan membantu
menyelesaikan persoalan yang menimpa Perguruan Pedang Baja dan Perguruan Merak
Emas. Ki Genawang pun mengajak Ki Randita meninggalkan Perguruan Merak Emas.
Guru dan murid itu tidak kembali ke perguruannya, tapi merantau untuk mencari
orang ketiga yang diduga Pendekar Naga Putih sebagai penyebab timbulnya
persoalan itu. 5 "Hampir saja terjadi pertumpahan darah...," desah dara jelita berpakaian serba
hijau dengan helaan napas panjang tanda kelegaan hatinya.
"Yahhh... Untunglah kita tidak terlambat dan dapat membuat mereka mengerti...,"
timpal pemuda tampan berjubah putih, juga dengan desahan panjang.
Langkah keduanya terus terayun menyusuri jalan yang dipenuhi batu-batu kecil.
Semakin lama jalan yang mereka lalui kian melebar. Di kiri dan kanan jalan
terlihat perkebunan milik penduduk. Tampak beberapa orang petani tengah sibuk
mengerjakan ladangnya.
"Ke mana kita, Kakang?" tanya dara jelita yang tidak lain Kenanga. Dan, siapa
lagi pemuda tampan berjubah putih di sebelahnya kalau bukan Panji atau yang
berjuluk Pendekar Naga Putih.
Keduanya tampak tengah terlibat pembicaraan mengenai pertengkaran antara
Perguruan Pedang Baja dengan Perguruan Merak Emas. Mereka merasa lega karena
persoalan yang semula rumit dan hampir menyebabkan pertumpahan darah dapat
dicegah. Kedua belah pihak sama-sama bisa mengerti, membuat pasangan pendekar
muda itu merasa bersyukur. Dan, berjanji akan membantu menyelesaikan persoalan
itu semampu mereka.
Panji tidak segera menjawab pertanyaan kekasihnya. Matanya berputar mengawasi
sekelilingnya yang kira dipenuhi hamparan sawah dengan padi yang menguning
segar. Baru kemudian menoleh menatap wajah jelita itu dari samping.
"Mengingat kejadian berawal dari Desa Babakan, maka sebaiknya kita memulai
penyelidikan dari sana," jawab Panji, mengalihkan perhatiannya menatap jalan di
sebelah depannya yang kini berupa tanah lembab dan tidak rata.
"Hm...," Kenanga hanya bergumam menanggapi jawaban kekasihnya. Kemudian terdiam,
seolah tengah memikirkan tempat yang bernama Desa Babakan.
Cukup lama keduanya dicekam kebisuan. Sehingga, tanpa disadari mereka mulai
merasakan betapa sejuknya hembusan angin siang menjelang sore. Suara gemerisik
dedaunan terasa indah terdengar di telinga. Kebisuan untuk beberapa lama itu
membuat dua pendekar muda itu kembali merasakan keindahan alam.
"Kakang...."
Suara Kenanga memecah kebisuan di antara mereka. Panji yang menangkap panggilan
lembut itu sejenak terpana. Seolah merasakan suara itu merupakan bagian dari
keindahan alam. Hati Panji tergetar, dan mengulurkan tangannya yang segera
memeluk pinggang ramping dara jelita itu.
"Hm...," setelah beberapa saat kemudian, baru terdengar jawaban Panji yang hanya
berupa gumaman pelan.
Kenanga yang merasakan lengan kekasihnya melingkar di pinggangnya,
menggenggam telapak tangan pemuda yang dicintainya itu dengan penuh kehangatan.
Sejenak mereka menoleh dan tersenyum dengan pandangan penuh kasih.
"Apa Kakang percaya orang yang bernama Bardewa itu benar-benar telah tewas
seperti yang dikatakan Ki Gawung?" tanya Kenanga kembali mengalihkan
perhatiannya ke ujung jalan yang masih cukup panjang.
"Mengapa kau berkata demikian" Apa kau tidak memperhatikan betapa bersungguh-
sungguhnya wajah Ki Gawung saat mengucapkan perkataan itu. Aku percaya ucapannya
benar," jawab Panji sambil mengetatkan pelukannya pada pinggang dara jelita itu.
"Bukan aku tidak percaya, Kakang. Tapi, kedengarannya agak aneh...," tukas
Kenanga menoleh sejenak dan kembali memandang ke depan.
Kereta Berdarah 12 Pendekar Bayangan Sukma 14 Serikat Kupu Kupu Hitam Harpa Iblis Jari Sakti 12
^