Pencarian

Pewaris Dendam Sesat 2

Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat Bagian 2


"Maksudmu...?"
"Ya, aneh. Mengapa justru setelah setahun Bardewa tewas peristiwa ini baru
terjadi" Dan, mengapa pelakunya orang yang mirip Bardewa, bahkan memiliki ciri-
ciri yang serupa dengan Bardewa asli. Nah, apakah itu tidak aneh...?" ujar
Kenanga mengemukakan rasa herannya ketika mengingat semua ucapan Ki Genawang dan
Ki Gawung. Meskipun tidak ikut mencampuri pertengkaran kedua tokoh itu, tapi
Kenanga memperhatikan semua ucapan mereka dan mengingatnya dengan baik.
"Kau ini aneh, Kenanga. Justru di situlah letak persoalannya. Dan, kita harus
menyelidiki siapa sebenarnya orang yang diduga sebagai Bardewa oleh Ki Genawang
dan Ki Randita...," tukas Panji yang tiba-tiba menjadi genit dan mencubit pipi
kekasihnya dengan gemas.
Kenanga tertawa renyah penuh kemanjaan merasakan kemesraan yang memang jarang
mereka lakukan. Bahkan gadis itu menangkap tangan kekasihnya dan meletakkan di
wajahnya erat-erat. Bahagia sekali hati dara jelita itu membuat Panji terharu.
"Seharusnya gadis sejelita dirimu tidak berkeliaran mengembara seperti ini. Kau
lebih pantas tinggal di istana bermandikan kemewahan dan kebahagiaan di
sekelilingmu...," gumam Panji yang memang sadar kalau kekasihnya lebih pantas
menjadi putri keraton.
"Mulai lagi,..," rengek Kenanga, pura-pura marah. Ucapan itu memang sering
dikeluarkan Panji pada saat-saat seperti itu.
"Apa kau ingin bebas pergi ke mana-mana sendirian, dan dapat memikat setiap
gadis yang jatuh hati padamu. Enak saja mengatakan orang berkeliaran! Memangnya
aku binatang...?" Kenanga semakin merajuk, bahkan melepaskan pelukan tangan
Panji dari pinggangnya. Dan melangkah mendahului.
"Wah, ngambek..," cetus Panji tertawa perlahan. Kemudian tangannya terulur
menangkap tubuh dara jelita itu, dan diangkatnya ke atas bahu.
"Iiih! Kakang apa-apaan sih...?" Kenanga memekik kecil dan pura-pura memberontak
dari gendongan Panji. Namun pemuda itu hanya terbahak dan berlari cepat sambil
menggendong tubuh kekasihnya.
Kenanga terkekeh perlahan ketika tangan kekasihnya menggelitik tubuhnya. Saat-
saat seperti itu membuat mereka lupa bahwa mereka tokoh-tokoh besar yang
dihormati dan dipuja banyak orang. Tidak aneh, sebab mereka pun manusia biasa
yang tidak berbeda dengan manusia lainnya.
Kenanga meskipun seorang gadis pendekar yang mendapat gemblengan orang-orang
pandai, namun tidak melenyapkan sifat-sifat kewanitaannya, sebagaimana wanita-
wanita pada umumnya yang kadang membutuhkan perhatian lebih dan ingin bermanja-
manja dengan kekasihnya. Tapi, semua itu tertutup oleh kerasnya kehidupan yang
mereka jalani Karena, sebagai seorang pendekar dia harus selalu berhadapan
dengan maut Dan, sifat-sifat itu baru terlihat saat mereka berada di alam lepas
yang penuh dengan keindahan.
Demikian pula dengan Panji. Sejak kecil pemuda itu telah kehilangan orangtua,
dan hidup di tempat terpencil bersama gurunya. Segala kepahitan hidup telah
dirasakan pemuda itu hingga akhirnya berjumpa dengan Kenanga, gadis jelita yang
telah merebut hatinya. Semangat hidupnya pun semakin bertambah tinggi.
Kekosongan jiwanya telah terisi oleh sosok jelita yang juga mencintainya dengan
setulus hati. Hingga di saat-saaat tertentu, rasa ingin memanjakan sang kekasih
pun muncul dan tercetus begitu saja. Tapi, tentu saja kemesraan sepasang
pendekar itu mempunyai batas-batas tertentu yang mereka jaga berdua dengan
teguh. Meski demikian, kemesraan itu terasa lebih indah dan nikmat bagi mereka.
Ketika sang Mentari sudah semakin bergeser ke arah barat, Kenanga dan Panji
sudah menapakkan kakinya di Desa Babakan. Keduanya langsung menuju sebuah kedai
yang berada tak jauh dari mulut desa.
Seorang pelayan bertubuh kurus tinggi, menyambut kedatangan Panji dan Kenanga
dengan sikap ramah. Dan mengantarkan pasangan pendekar muda itu ke sebuah meja
yang masih kosong. Segera saja keduanya memesan makanan.
"Sebentar, Paman...."
Langkah pelayan itu terhenti, dan menoleh ke arah dara jelita berpakaian hijau
yang memanggilnya.
"Ada apa, Nisanak..?" tanya pelayan bertubuh tinggi kurus, membungkukkan tubuh
dengan sikap hormat.
"Mmm.... Apakah kedai ini juga menyediakan kamar untuk menginap?" tanya Kenanga
yang rupanya telah bersepakat dengan kekasihnya untuk melewatkan malam di desa
itu Karena saat itu hari sudah gelap.
"Betul, Nisanak..," sahut pelayan kedai cepat. Dan mengatakan akan merapikan
kamar yang akan digunakan Panji dan Kenanga yang memesan dua kamar.
Baru saja pelayan itu berbalik hendak meninggalkan meja pasangan pendekar muda
itu, tiba-tiba terdengar suara ribut. Lalu muncullah sosok-sosok tubuh yang
tampak gagah dengan pakaian merah bergaris-garis hitam yang memanjang ke bawah.
Suara ribut barusan ternyata berasal dari mereka, yang berbicara satu sama lain
sambil memasuki kedai. Tentu saja kedatangan delapan orang itu membuat para
pengunjung kedai menoleh dengan kening berkerut.
Kepala rombongan yang berjalan paling depan, menghentikan langkahnya sejenak dan
mengedarkan pandang matanya dengan tatapan tajam menusuk. Melihat raut wajahnya
yang gelap, jelas lelaki bertubuh tegap bercambang bauk itu tengah dilanda
kemarahan. Sehingga pengunjung kedai yang kebetulan bentrok dengan mata lelaki
itu, langsung menunduk atau mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. Mereka
tidak ingin menjadi sasaran kemarahan lelaki tegap itu.
Dengan langkah lebar lelaki tegap itu menghampiri dua buah meja kosong. Dan,
bersama dengan rombongannya mereka menempati meja itu. Kemudian melambaikan
tangannya memanggil pelayan kedai yang cepat-cepat mengangguk hormat. Tapi,
karena saat itu pelayan kedai sedang sibuk menyiapkan pesanan tamu-tamu lainnya
termasuk Panji dan Kenanga, pelayan kedai itu pun tidak bisa menyambut
kedatangan rombongan itu sebagaimana biasanya.
Merasa panggilannya tidak dipedulikan, wajah lelaki tegap itu tampak semakin
kelam. Sepasang matanya mencorong tajam bagai hendak menelan tubuh pelayan itu
bulat-bulat! "Hel, Pelayan! Apa kau tuli..."!" teriak lelaki tegap itu sambil menggebrak meja
di depannya. Tentu saja pengunjung kedai terkejut dengan suara ribut itu. Beberapa di
antaranya mengerling tak senang karena merasa terganggu oleh perbuatan lelaki
tegap itu. Tapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa kecuali menelan kedongkolan hatinya.
Sedangkan pelayan kedai tampak sangat terkejut. Wajahnya mendadak pucat karena
bentakan lelaki tegap berwajah brewok itu. Maka, pelayan itu segera menghampiri
setelah didesak pemilik kedai yang tidak ingin ada keributan di dalam kedainya.
Apalagi karena kesalahan pelayannya yang tidak bisa melayani tamu.
"Ada apa..., Tuan...?" tanya pelayan kedai seraya membungkukkan tubuh berkali-
kali, sebagai permintaan maafnya. Karena dia tidak ingin dipecat dari pekerjaan
hanya karena gara-gara tidak bisa melayani tamu dengan baik.
"Hm..., mengapa ketika kupanggil tadi kau tidak segera datang" Apa kau kira kami
tidak punya uang untuk membayar harga makanan yang akan kami pesan" Kau benar-
benar membuat aku marah!" geram lelaki berwajah brewok langsung mengulurkan
tangan mencengkeram leher baju pelayan itu dan menariknya ke bawah.
"Ampun..., Tuan...," pinta pelayan itu mengiba. Hampir saja tubuhnya tersungkur
mencium tanah. Untung lelaki brewok itu tidak melepaskan cengkeraman pada leher
bajunya. Sehingga, tubuh pelayan sial itu tertahan dan tidak sampai tersungkur
ke tanah. "Mengapa kau berbuat demikian pada kami, hah! Ayo, jawab"!" bentak lelaki gagah
berwajah brewok yang seperti mendapatkan tempat untuk menyalurkan kemarahan yang
terpendam di dadanya.
"Aku..., sedang sibuk menyiapkan pesanan untuk tamu-tamu lainnya, Tuan.
Jadi..., maaf kalau aku belum bisa melayani Tuan dengan baik. Maklumlah tanganku
cuma ada dua...," tukas pelayan itu membela diri.
"Keparat! Kau mau mempermainkan aku rupanya. Siapa yang bilang tanganmu ada
sepuluh, heh..."!" jawaban itu rupanya dianggap main-main, sehingga kemarahan
lelaki brewok itu semakin berkobar. Tangannya pun melayang melengkapi bentakan-
bentakannya yang menggelegar.
Plakkk! "Ahhh..."!"
Tubuh pelayan tinggi kurus itu langsung terpelanting mencium tanah. Tampak tanda
merah berupa garis-garis jari tangan pada pipi kiri pelayan kedai yang bergerak
bangkit sambil merintih kesakitan. Pada sudut bibirnya terlihat ada cairan
merah. Melihat ketidakadilan berlangsung di depan mata, Panji dan Kenanga bergerak
bangkit bersamaan ingin mencegah kejadian selanjutnya. Tapi, kedua pendekar muda
itu menahan langkahnya ketika tiba-tiba....
"Manusia kurang ajar dari mana yang berani mengacau di tempat ini?"
Bersamaan dengan ucapan itu, seorang lelaki tinggi besar yang hanya mengenakan
rompi, memperlihatkan dada yang bidang dan berbulu lebat, bergerak maju
menghampiri rombongan lelaki berpakaian merah dengan garis-garis hitam memanjang
ke bawah itu. Bentakan keras itu membuat kepala rombongan dan anggotanya menolehkan kepala ke
arah asal suara. Mereka mengerutkan kening ketika melihat seorang lelaki tinggi
besar tengah bergerak menghampiri meja mereka. Rupanya mereka sudah dapat
menebak apa yang akan dilakukan lelaki tinggi besar itu.
Melihat ada sasaran lain untuk tempat menumpahkan kemarahannya, lelaki tegap
berwajah brewok bergerak bangkit dari kursinya. Kemudian melangkah menyambut
kedatangan lelaki tinggi besar yang masih lebih kekar dan lebih tinggi dari
tubuhnya. Bahkan, wajah lelaki tinggi besar yang usianya kurang lebih tiga puluh lima
tahun itu ditumbuhi bulu-bulu hitam yang lebat. Sehingga, penampilannya tampak
jantan dan kuat.
Kedua lelaki kekar itu saling berhadapan dalam jarak enam langkah. Dan, dua
pasang mata mereka saling tatap dengan sorot mata tajam menikam jantung.
Agaknya, keributan tidak bisa dihindari lagi.
"Hm.... Apa maumu, Kerbau Dungu..."!" desis lelaki berwajah brewok kepala
rombongan orang berpakaian merah. Kepalanya agak sedikit terangkat, karena tubuh
lawan lebih tinggi sedikit
"Hm.... Seharusnya akulah yang bertanya padamu, Orang Gila! Apa maksudmu membuat
keributan dengan menyiksa pelayan kedai yang tidak bersalah apa-apa itu" Kau
pikir dirimu siapa, sehingga minta dilayani lebih dulu" Sedangkan tamu-tamu lain
banyak yang masih menunggu pesanannya datang!" sergah lelaki tinggi besar yang
sosoknya laksana harimau muda jantan. Sepasang matanya menatap tak berkedip,
menentang pandang mata lawannya.
"Kurang ajar! Berani kau menghinaku seperti itu! Rupanya kau belum mengenali
siapa aku, heh!" geram kepala rombongan yang sudah mengepalkan tinjunya erat-
erat. Tanpa peringatan lebih dulu, kepalannya langsung melayang menuju dada lawan.
Lelaki tinggi besar yang agaknya penduduk desa itu tampak tidak berusaha untuk
mengelak. Rupanya, dia merasa yakin akan kekuatan daya tahan tubuhnya yang akan
mampu meredam pukulan keras itu. Dan...
Bukkk! "Uhhh..."!"
Lelaki tinggi besar yang wajahnya tertutup cambang bauk itu mengeluh kaget.
Tubuhnya terhuyung saat pukulan lawan menghajar dadanya. Dia kelihatan sangat
terkejut dan tidak mempercayai apa yang baru saja dialaminya. Karena tubuh yang
biasanya kebal terhadap pukulan, ternyata terasa sakit. Dan kulit dadanya yang
terpukul meninggalkan tanda merah yang nyata.
"Grrr...!"
Lelaki tinggi besar itu menggereng gusar. Sepasang matanya memerah sebagai tanda
kalau dia sangat marah. Maka, seiring dengan teriakannya yang parau, kepalannya
datang menyambar tubuh lawan bertubi-tubi.
Bettt, bettt, bettt..!
Sayang, tak satu pun kepalan sebesar kepala bayi itu mengenai sasaran. Karena
kepala rombongan itu sudah mengelak ke kiri dengan mengandalkan kegesitannya.
Sehingga, lelaki besar itu semakin bertambah murka.
"Hm...," kepala rombongan orang-orang berpakaian merah dengan garis-garis hitam
memanjang ke bawah menggeram perlahan ketika lawannya kembali melanjutkan
serangan. Kelihatan jelas betapa lelaki tinggi besar itu tidak memiliki kepandaian silat
dan hanya mengandalkan kekuatan otot-otot tubuhnya secara alami. Akibatnya,
lelaki tinggi besar itu tidak dapat berbuat banyak. Karena melihat dari caranya
mengelak, kepala rombongan itu jelas merupakan pesilat yang pandai.
"Heaaah...!"
Ketika kepalan-kepalan yang besar itu kembali datang menyambar, lelaki tegap itu
hanya perlu memiringkan tubuhnya dan menangkap pergelangan tangan lawan.
"Hiaaah...!"
Sambil membentak keras, diputarnya tangan lelaki tinggi besar itu hingga
menjerit kesakitan.
Kemudian kaki kanannya mencelat naik ke dagu lawan.
Desss! "Aaargh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki tinggi besar itu terjengkang ke belakang menimpa
meja yang langsung berderak patah. Sedangkan tubuh yang besar dan berat itu
terbanting ke lantai dengan kerasnya.
"Uuuh...!"
Terdengar lelaki tinggi besar itu mengeluh sambil memegangi dagu yang tulang-
tulangnya terasa patah. Barulah dia sadar bahwa lelaki tegap yang berangasan itu
bukan lawan yang sebanding dengannya. Karena dia hanya orang kasar yang bekerja
sebagai penebang kayu di hutan. Dan kekuatan tabunnya tidak mampu melawan lelaki
tegap berpakaian merah bergaris-garis hitam, yang ternyata memiliki ilmu silat
tinggi. "Bangun...!" bentak lelaki tegap yang rupanya masih belum puas melampiaskan
kemarahannya. Sosoknya telah berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Dan
kedua tangannya terkepal, siap memberikan hajaran selanjutnya.
"Tahan...!"
Baru saja kepala rombongan itu hendak mengayunkan kepalannya ke kepala lawan
yang tengah bergerak bangkit, terdengar bentakan nyaring yang membuat gerakan
lelaki tegap itu tertunda. Ada bias keheranan pada wajahnya. Karena bentakan
yang membuatnya menahan gerakan adalah suara wanita. Lelaki itu dapat
membedakannya, sebab suara itu bening dan halus.
Sepasang mata lelaki tegap itu terbelalak melihat dugaannya ternyata tidak
meleset. Ditatapnya sosok ramping terbungkus pakaian serba hijau yang berdiri
tegak, di belakangnya. Kemudian terus naik meneliti raut wajah sosok ramping
yang ternyata sangat cantik laksana bidadari. Tentu saja lelaki tegap itu
semakin bertambah heran.
"Siapa kau, Nisanak..?" tanya sosok tegap itu tanpa melewatkan kesempatan
menatap wajah wanita di depannya. Rupanya, lelaki itu merasa sayang jika harus
melewatkan begitu saja wajah yang demikian mempesona. Meski begitu, tidak
terlihat kekurangajaran dalam pandang matanya, yang terbatas hanya sekadar
mengagumi kejelitaan sosok dara berpakaian serba hijau itu.
Melihat tatapan mata lelaki tegap itu yang sedikit pun tidak menyiratkan maksud-
maksud kotor selain hanya mengagumi, Kenanga jadi agak ragu dan menduga kalau
lelaki tegap itu sebenarnya bukan orang jahat.
"Mungkin ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sehingga dia jadi cepat naik
darah...?" gumam batin dara jelita itu menduga-duga. Tapi, meskipun begitu
Kenanga tidak bisa membiarkan lelaki itu mengumbar kemarahannya pada setiap
orang. Dia harus menghentikannya.
"Aku sama sepertimu, pengunjung kedai ini yang juga belum dilayani. Bedanya aku
tidak marah-marah, karena aku sadar bukan aku seorang yang harus dilayani...,"
ujar Kenanga dengan sorot mata tajam menikam jantung lelaki tegap itu.
"Pelayan itu terlalu kurang ajar, dan tidak memandangku sedikit pun. Buktinya,
panggilanku tidak diperhatikan. Jadi, wajar saja jika aku memberi sedikit
pelajaran kepadanya agar lain kali bisa melayani orang lebih baik...," tandas
lelaki tegap itu masih tidak mau disalahkan. Jelas dia merasa tindakannya sudah
benar. Tentu saja kebenaran menurut dirinya sendiri, dan bukan menurut pandangan
umum. "Kau terlalu sombong dan keras kepala, Kisanak. Jelas perbuatanmu itu salah,
tapi kau belum juga mau mengakuinya. Apa sebenarnya yang kau inginkan...?" tukas
Kenanga dengan sikap menantang. Dia memang ingin memberi pelajaran pada lelaki
tegap itu, agar lain kali tidak berbuat sesuka hatinya.
"Hm.... Aku tidak sudi melawan seorang wanita, itu merupakan pantangan
bagiku...!" tegas lelaki tegap itu ingin mengungkapkan bahwa Kenanga tidak
pantas menghadapinya.
"Hhh.... Semula kuduga yang akan kuhadapi harimau garang. Nyatanya, hanya
seorang pengecut yang tidak berani mempertanggungjawabkan perbuatannya...,"
gumam Kenanga yang meskipun pelan tapi telak menusuk jantung, membuat wajah
lelaki tegap itu merah.
"Jangan memancing kemarahanku, Nisanak!" geram lelaki tegap berpakaian garis-


Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

garis hitam dengan nada mengancam.
"Hm.... Justru itulah yang kuinginkan. Cepatlah kau tunjukkan kebiasaanmu di
hadapanku...," tantang Kenanga lagi tanpa mempedulikan peringatan calon
lawannya. "Kurang ajar! Kalau dibiarkan, kau pasti akan semakin bertambah kurang ajar...!"
Lelaki tegap itu rupanya sudah tidak bisa menahan kemarahannya lagi, sepasang
matanya mencorong tajam. Telapak tangannya langsung bergerak ingin memberi
tamparan ke wajah Kenanga agar gadis itu jera. Tapi....
Whuuut..! "Eh..."!"
Bukan main kagetnya hati lelaki tegap itu melihat tubuh gadis itu lenyap seperti
asap terbawa angin! Sehingga, tamparannya mengenai tempat kosong!
"Hi hi hi... Apa yang kau cari, Manusia Pikun..."!" ejek Kenanga ketika melihat
lelaki tegap itu menoleh ke kiri dan kanan dengan wajah bodoh. Rupanya dia
merasa kehilangan lawan.
Mendengar suara tawa mengejek dari belakangnya, lelaki tegap itu langsung
menoleh. Dilihatnya dara jelita itu tengah menutupi mulutnya. Sadarlah lelaki
tegap itu kalau lawannya ternyata bukan wanita sembarangan.
"Hm.... Pantas kau berani menantangku! Rupanya kau mempunyai sedikit kepandaian!
Tapi, jangan harap kau bisa melepaskan diri dari si Tapak Maut!" geram lelaki
tegap itu membanggakan julukannya. Setelah berkata demikian, lelaki itu pun lalu
mempersiapkan jurusnya untuk menyerang.
Kenanga sendiri tetap tenang tanpa mempersiapkan kuda-kuda. Sehingga Tapak Maut
menjadi semakin geram karena merasa dipandang remeh.
"Heaaat..!"
Disertai sebuah teriakan nyaring, tubuh Tapak Maut bergerak maju dengan langkah-
langkah cepat. Sepasang tangannya bergerak menyambar-nyambar dengan cepat dan
kuat Bettt! Bettt! Kenanga menarik mundur langkahnya dengan tubuh doyong ke belakang. Begitu
sambaran telapak tangan lawan lewat, kakinya langsung mencuat naik melakukan
tendangan kilat dalam kedudukan lurus ke depan.
Plakkk! "Uhhh..."!"
Begitu melihat gadis itu melontarkan tendangan. Tapak Maut langsung
memapakinya dengan hantaman telapak tangan. Maksudnya jelas hendak membuat kaki
dara itu cidera dengan tamparannya. Tapi, apa yang dirasakannya membuat lelaki
tegap itu hampir tidak percaya.
"Gila...!" desis Tapak Maut ketika merasa telapak tangannya nyeri akibat menahan
tendangan dara jelita itu.
Lelaki tegap itu semakin sadar kalau lawannya bukan gadis sembarangan. Selain
memiliki kecepatan yang mengagumkan dan sukar diikuti mata, tenaga dalam gadis
itu pun masih beberapa tingkat di atasnya.
"Mengapa berhenti, Kisanak" Apa kau sudah menyerah?" ejek Kenanga membuat wajah
Tapak Maut berubah gelap. Ucapan gadis jelita itu membuatnya sangat malu.
Kenanga sendiri tidak peduli. Niatnya memang hendak memberi pelajaran pada
lelaki tegap itu, agar lain kali tidak sembarangan mengumbar kemarahan.
6 "Haaat..!"
Tapak Maut kembali membuka serangan dengan menggunakan 'Ilmu Tapak
Maut'nya. Nampaknya kali ini lelaki itu benar-benar hendak merobohkan lawan,
tanpa ingat lagi akan perkataannya bahwa dirinya pantang bertarung dengan
wanita. Bahkan kelihatan sekali Tapak Maut sangat bernafsu.
Whuttt... whuttt..!
Sepasang telapak tangan lelaki tegap itu berkelebatan cepat disertai sambaran
angin kuat, membuat meja dan kursi terlempar ke kiri dan kanan terkena sambaran
tangannya. Tapi, meskipun serangan yang dilancarkan Tapak Maut demikian gencar, Kenanga
tetap tidak kelihatan repot. Hanya dengan mengandalkan kelincahannya, dara
jelita itu dapat menghindari setiap sambaran telapak tangan lawan. Bahkan
sesekali membalas dengan pukulan satu dua untuk menghambat gempuran yang semakin
gencar. "Heaaah...!"
Ketika pertarungan telah melewati jurus ketiga puluh, Kenanga tiba-tiba
mengeluarkan bentakan yang mengejutkan. Pukulan kanan lawan yang mengancam
pelipisnya dielakkan gadis itu dengan memiringkan tubuh. Kemudian, langsung
melepaskan sebuah pukulan dari bawah ke atas dengan kecepatan kilat.
Bukkk! "Hukkkh...!"
Terlambat bagi Tapak Maut untuk mengelak. Dadanya terkena hantaman kepalan
mungil yang mengandung tenaga dalam kuat. Membuat tubuh lelaki tegap itu
terjengkang ke belakang dan menimpa meja hingga pecah berantakan.
"Uhhh...."
Tapak Maut berusaha bangkit menyingkirkan pecahan meja di sekeliling tubuhnya.
Wajahnya tampak agak pucat. Karena pukulan yang mengenai dada itu sempat
membuatnya sulit bernapas. Cairan merah yang menetes di sudut bibir, menandakan
lelaki tegap itu mengalami luka dalam yang cukup mengganggu.
Sementara itu, ketujuh orang kawan Tapak Maut sudah bangkit dari kursi. Mereka
langsung menghunus senjata dan berloncatan mengepung Kenanga.
"Perempuan liar! Kau akan menyesali perbuatanmu......!" geram seorang kawan
Tapak Maut yang bertubuh pendek kekar. Pedang di tangannya diputar sedemikian
rupa hingga menimbulkan deraan angin tajam.
Panji yang sejak tadi hanya duduk memperhatikan jalannya pertarungan, ikut
bergerak bangkit dari kursi. Kemudian menggerakkan kepala ketika Kenanga menoleh
ke arahnya. Gerakan itu merupakan isyarat agar dara jelita itu keluar dari
ruangan kedai yang belum seluruhnya berantakan.
Melihat isyarat kekasihnya, Kenanga langsung melesat meninggalkan ruangan kedai.
Sekali menyentakkan kaki ke tanah, tubuh ramping terbungkus pakaian serba hijau
itu melayang keluar bagaikan seekor burung walet.
"Hei! Hendak lari ke mana kau, Perempuan Liar..."!" bentak lelaki pendek kekar
yang mengira gadis jelita itu hendak melarikan diri. Cepat tubuhnya bergerak
menyusul, diikuti keenam orang kawannya.
Tapak Maut pun tidak mau ketinggalan. Meski dadanya dirasakan masih agak nyeri,
lelaki tegap itu memaksakan diri untuk mengejar gadis jelita yang telah
merobohkannya. Panji yang lebih dulu tiba di luar kedai, segera mengisyaratkan agar Kenanga
mundur. Menurutnya, Kenanga sudah cukup memberi pelajaran pada lelaki tegap yang
berjuluk Tapak Maut. Dan sekarang pemuda itu hendak menyelesaikan persoalan ini
sendiri. Kenanga tidak membantah. Gadis itu merasa sudah cukup puas menghajar Tapak Maut
yang berangasan. Tanpa banyak cakap lagi, dara jelita itu melangkah mundur dan
berdiri di tepi jalan.
"Tunggu...!" Panji berteriak mencegah ketika lelaki pendek kekar bersama enam
orang kawannya hendak mengejar Kenanga. Sehingga ketujuh orang itu menahan
langkahnya, dan memandang pemuda tampan berjubah putih di depannya dengan sinar
mata mengancam.
"Minggir! Aku tidak mempunyai urusan denganmu...!" bentak lelaki pendek kekar
sambil mengacung-acungkan pedangnya, menakut-nakuti.
Tapak Maut yang tiba belakangan, tampak menatap sosok pemuda tampan
berjubah putih itu dengan kening berkerut. Dia sempat mengenali kalau pemuda itu
sebagai kawan gadis berpakaian serba hijau yang barusan bertarung dengannya.
Maka, kakinya melangkah menghampiri pemuda tampan berjubah putih itu.
"Kisanak, siapa kau sebenarnya" Dan dari mana asalmu...?" tanya Tapak Maut yang
rupanya menduga kalau pemuda itu pasti bukan orang sembarangan. Jika gadis
jelita itu sudah demikian tinggi kepandaiannya, tentu pemuda tampan itu memiliki
kepandaian yang lebih tinggi lagi.
"Tapak Maut aku bernama Panji. Sedangkan kawanku itu Kenanga. Kami berdua
perantau-perantau yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Karena di antara
kita tidak ada permusuhan sebelumnya, aku minta agar perselisihan ini kita
sudahi sampai di sini,"
jawab Panji memperkenalkan diri.
"Tidak bisa!" bentak Tapak Maut keras. "Setelah melukaiku, berarti di antara
kita telah ada persoalan! Dan, aku ingin menyelesaikannya sampai tuntas!"
"Dengar, Tapak Maut!" tegas Panji dengan sinar mata mencorong tajam, membuat
lelaki itu bergidik memandangnya. "Keributan di dalam kedai tadi karena ulahmu
yang sombong dan mau menang sendiri! Seharusnya kau bisa menahan sabar dan tidak
mengumbar kemarahanmu pada setiap orang yang kau temui. Itu jelas tidak benar!
Jadi, wajar jika kawanku terpaksa menghentikan kelakuanmu yang tidak pantas itu.
Kalau kau mempunyai persoalan yang membuat kepalamu pusing, tidak sepantasnya
kau tumpahkan pada orang lain. Itu tidak adil namanya...."
"Biarpun begitu, tidak seharusnya kawan wanitamu itu mempermalukan aku di depan
orang banyak'" bentak Tapak Maut terpaksa mengajukan alasan yang kurang tepat.
Karena lelaki tegap itu tidak tahu harus berkata apa setelah mendengar ucapan
pemuda tampan berjubah putih.
Panji tersenyum mendengar bantahan Tapak Maut Pendekar Naga Putih tahu kalau
alasan itu hanya dicari-cari dan tidak kuat.
"Tapak Maut. Kami berdua bukanlah orang-orang yang suka mencari keributan.
Bahkan, kami seringkali berusaha menghindarinya dengan mencari jalan damai.
Sekarang aku menawarkan jalan damai itu kepadamu. Terserah apa jawabanmu, kami
siap menerimanya," ujar Panji menyembunyikan tantangan, dan menyatakan secara
tidak langsung bahwa dia dan Kenanga tidak takut bertarung.
Mendengar tantangan tersembunyi itu. Tapak Maut kelihatan ragu. Sebab, jika
mendengar ucapan serta melihat sikap pemuda itu, jelas Panji bukan orang
sembarangan. "Hhh...."
Terdengar lelaki tegap itu menghela napas panjang sebagai tanda keresahan
hatinya. Rupanya dia merasa gentar juga dengan sikap tenang yang ditunjukkan
Panji. Karena dia mulai dapat menduga-duga siapa pemuda tampan berjubah putih itu.
Tapak Maut bukanlah orang asing dalam kalangan persilatan. Pengetahuannya
tentang tokoh-tokoh golongan putih maupun golongan hitam cukup luas. Itu tidak
aneh, karena Tapak Maut beserta rombongannya adalah pengantar barang yang sering
bepergian sampai ke tempat yang jauh sekali. Dan, dari pekerjaannya itu, dia
banyak mendapat pengetahuan. Baik mengenai tokoh-tokoh puncak sampai yang baru
muncul. Selain itu, Tapak Maut beserta anggotanya tidak pernah ketinggalan
mengikuti perkembangan yang terjadi di kalangan persilatan. Itu sebabnya mengapa
dia dapat menduga-duga siapa pemuda tampan berjubah putih yang berdiri di
hadapannya. Melihat Tapak Maut termenung mengikuti arus pikirannya yang melayang-layang,
Panji merasa lega. Karena menurutnya itu merupakan pertanda baik. Mungkin lelaki
itu tengah memikirkan jawaban apa yang akan diberikan atas tawaran Panji. Kalau
tidak, mana mungkin dia sampai termenung demikian lama"
"Kisanak, sebutkan julukanniu! Karena sepertinya aku sudah bisa menebak siapa
dirimu sebenarnya," ujar Tapak Maut tiba-tiba, begitu terbebas dari lamunannya.
"Terkalah olehmu. Tapak Maut...," tukas Panji tanpa menjawab pertanyaan tokoh itu.
"Hm... Kalau aku tidak salah lihat. Kau pasti Pendekar Naga Putih. Apakah dugaanku
keliru...?" ujar Tapak Maut yang rupanya dapat menebak dengan tepat. Sebab,
lelaki itu sebelumnya telah mendengar ciri-ciri tokoh muda berjuluk Pendekar
Naga Putih. "Matamu ternyata sangat tajam, Tapak Maut" puji Panji tulus. "Sekarang kita
kembali pada tawaranku tadi...."
"Dengan memandang nama besarmu, aku bersedia mengakhiri persoalan ini sampai di
sini...," jawab Tapak Maut memilih berdamai setelah mengetahui siapa pemuda
berjubah putih itu sebenarnya.
"Syukurlah. Aku merasa lega dengan jawabanmu..," ucap Panji menghembuskan napas
panjang sebagal tanda kelegaan hatinya. Kemudian menyalami lelaki tegap itu yang
langsung memeluk tubuh Panji. Rupanya, Tapak Maut pun sangat mengagumi pendekar
muda itu. Sehingga, lelaki itu segera mempergunakan kesempatan selagi pemuda itu
menyalaminya. "Terima kasih, Pendekar Naga Putih...," desah lelaki tegap itu terharu sekaligus
bertambah kagum.
Pendekar muda yang terkenal itu ternyata memiliki hati yang bijaksana dan
pandangan yang luas serta pemaaf. Tentu saja Tapak Maut merasa bangga dapat
berkenalan lebih dekat dengan Panji.
Suasana yang semula tegang berubah gembira. Tidak ada lagi rasa permusuhan atau
dendam di hati Tapak Maut maupun kawan-kawannya. Kegembiraan semakin lengkap
ketika lelaki tegap itu mengajak Panji dan Kenanga merayakan perdamaian itu di
kedai tempat mereka semula bertarung.
*** "Apa sebenarnya yang membuatmu tampak menahan marah ketika datang ke kedai ini?"
tanya Panji saat mereka telah berada di dalam kedai.
"Hhh.... Sebenarnya masalah itu memang tidak seharusnya membuatku lupa diri, dan
menumpahkannya pada orang lain," sesal Tapak Maut seraya menghela napas panjang.
Wajah lelaki tegap itu kelihatan murung dan menyimpan dendam serta kedukaan yang
dalam. Melihat perubahan wajah lelaki tegap itu. Panji jadi semakin ingin tahu apa
sebenarnya yang telah menimpanya. Setelah menunggu cukup lama namun tak juga ada
kata yang terucap dari bibir Tapak Maut, akhirnya terlontar pertanyaan dari
mulut Panji. "Boleh aku tahu, apa yang telah kau alami,..?" tanya Panji memandang wajah di
depannya. "Peristiwa ini benar-benar membuat hatiku penasaran!" ujar Tapak Maut, setelah
terdiam beberapa saat lamanya. "Beberapa waktu yang lalu empat orang kawanku
melakukan perjalanan untuk mengantarkan barang pesanan salah seorang pelanggan
kami. Ketika pada hari yang telah kuperhitungkan mereka sudah harus kembali,
ternyata tak seorang pun yang muncul. Karena keterlambatan itu sebelumnya tidak
pernah terjadi, timbul kecurigaanku. Dengan tujuh orang anggota yang tersisa,
kami pun melakukan penyelidikan. Apa yang kemudian kami temukan benar-benar
membuat penasaran!
Keempat kawan kami menggeletak tewas di tepi sebuah hutan. Kereta yang
seharusnya berisi barang pesanan, lenyap tanpa bekas. Jelasnya, kemungkinan
besar mereka telah dihadang perampok. Anehnya, sepanjang pengetahuan kami, di
daerah sekitar tempat itu tidak terdapat komplotan perampok. Sehingga, meskipun
kami telah menelusuri seluruh wilayah hutan hingga beberapa desa, tidak ada
tanda-tanda adanya gerombolan perampok Nah, itulah yang membuatku pening dan
mudah tersinggung." Tapak Maut termenung setelah menceritakan persoalannya pada
Panji. Sehingga pemuda itu mulai mengerti mengapa lelaki tegap itu bersikap aneh
ketika datang ke Desa Babakan. Tapi, keributan itu tidak sampai membawa korban.
Bahkan memberi hikmah yang membuat mereka bersyukur, kejadian itu telah
memperkenalkan mereka satu sama lain.
"Hm.... Jika demikian, kemungkinan besar mereka bukan perampok-perampok
biasa...," gumam Panji setelah terdiam beberapa saat dan mengkaji cerita Tapak
Maut. "Maksudmu...?" tanya Tapak Maut menegasi. Lelaki itu belum bisa menangkap ke
mana arah pembicaraan Panji.
"Begini. Kalau benar yang telah membunuh kawan-kawanmu gerombolan perampok,
pasti mereka mempunyai markas. Dan markas itu tentu sudah ditemukan, mengingat
seluruh daerah itu telah kau jelajahi. Tapi, ternyata mereka lenyap tanpa jejak
itu hanya berarti satu. Mereka bukan perampok yang sesungguhnya. Jelasnya,
mereka bukan perampok tapi tahu tentang barang yang tengah kalian kawal," ujar
Panji menjelaskan maksud perkataannya.
"Hm..., ya. Kemungkinan itu memang bisa terjadi. Tapi, siapa kira-kira yang
melakukan perbuatan biadab itu" Sebab, selama ini kami tidak mempunyai musuh dan
selalu mengikat tali persahabatan dengan tokoh-tokoh persilatan...?" ujar Tapak
Maut semakin bertambah bingung setelah mendengar ucapan Panji.
"Sebaiknya kita lihat saja nanti. Karena saat ini aku tengah mencari seorang
lelaki berkumis lebat yang bernama Bardewa," tukas Panji membuat Tapak Maut
menoleh dan memandang wajah pemuda itu, yang juga kebetulan tengah memandangnya.
"Apa hubungannya orang yang bernama Bardewa dengan terbunuhnya kawan-
kawanku...?" tanya Tapak Maut tidak mengerti ketika Panji menghubungkan
pembunuhan itu dengan orang yang dicarinya.
"Kemungkinan besar ada hubungannya. Karena Bardewa seorang manusia licik yang
sangat pandai menyamar. Beberapa hari yang lalu Bardewa telah mengelabui tokoh-
tokoh Perguruan Pedang Baja dan Perguruan Merak Emas. Sehingga, kedua perguruan
itu bentrok dan membawa korban nyawa yang tidak sedikit," jelas Panji membuat
Tapak Maut mengangguk-anggukkan kepala.
"Iblis Wajah Seribu..."!" desis Tapak Maut dengan wajah berubah. Sehingga
membuat Panji mengerutkan kening saat mendengar disebutnya nama tokoh sesat yang
menggetarkan itu.
"Iblis Wajah Seribu..."!" Panji menggumamkan julukan itu, karena sebelumnya


Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang pernah mendengarnya.
"Ya. Hanya tokoh sesat yang berjuluk Iblis Wajah Seribu satu-satunya manusia
yang bisa menirukan wajah siapa saja," tegas Tapak Maut dengan nada suara agak
kering. Jelas, lelaki tegap itu merasa gentar dengan tokoh sesat itu.
"Hm... Aku pun pernah mendengar nama tokoh sesat itu. Tapi.... Apa mungkin orang
itu yang melakukan semua ini" Setahuku tokoh itu telah lama menghilang di dunia
ramai. Kalaupun muncul kembali, mungkin usianya telah mencapai seratus tahun
lebih...!" ujar Pendekar Naga Putih teringat akan cerita gurunya mengenai tokoh
sesat yang pernah menggetarkan rimba persilatan dengan berbagai ulahnya.
Tapak Maut pun mengetahui hal itu. Sehingga, ikut-ikutan termenung memikirkan
kemungkinan yang sangat mustahil itu. Nama Iblis Seribu Wajah memang muncul pada
puluhan tahun yang lalu, dan saat itu dia telah berumur sekitar tujuh puluh
tahun. Jadi, bagaimana mungkin tokoh itu kini muncul dan membuat kekacauan"
"Yahhh..., memang sulit untuk dipastikan. Tapi, siapa tahu diam-diam tokoh sesat
itu telah mendapatkan seorang murid yang berbakat, dan mewarisi seluruh ilmu-
ilmunya...," ujar Panji menduga-duga, membuat Tapak Maut tercenung memikirkan
kemungkinan itu.
"Kemungkinan besar Bardewa murid tokoh sesat itu, Kakang," Kenanga yang sejak
tadi hanya diam mendengarkan, tiba-tiba ikut menimpali. Rupanya dara jelita itu
tertarik mendengar tokoh sesat yang berjuluk Iblis Wajah Seribu.
"Ya. Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Tapi, aku lebih suka berharap Bardewa
bukan murid Iblis Wajah Seribu. Sebab bila hal itu benar, celakalah dunia
persilatan. Ulahnya pasti akan membuat gempar!" ujar Panji.
"Demikian pula aku...." tukas Tapak Maut yang juga mengharapkan hal serupa
dengan Panji. "Biarpun demikian, kita harus segera bertindak, Kakang. Aku khawatir Bardewa
akan membuat ulah lagi...," ujar Kenanga yang merasa khawatir Bardewa akan
kembali membuat ulah dengan mengadu domba tokoh-tokoh persilatan.
"Benar. Kita harus mencari orang yang bernama Bardewa...," Tapak Maut juga
mengajukan usul serupa dengan Kenanga.
"Memang. Itu seharusnya kita lakukan secepat mungkin. Tapi kita belum menemukan
petunjuk yang pasti, di mana kira-kira Bardewa sekarang berada. Karena
kemungkinan besar dia sudah melarikan diri dari tempat ini, mengingat Ki
Genawang dan Ki Gawung telah mengenali wajahnya," ujar Panji membuat Kenanga dan
Tapak Maut bingung sesaat.
"Hm... Mudah-mudahan orang itu belum lari jauh, dan ingin melihat lebih dulu
hasil perbuatannya...," harap Kenanga dengan suara perlahan.
Suasana pun berubah hening. Ketiga orang itu termenung mengikuti arus pikiran
masing-masing. 7 Matahari baru saja muncul di kaki langit sebelah timur. Serombongan penunggang
kuda tampak bergerak melewati mulut Desa Babakan. Suara derap dan ringkikan kuda
serta bentakan-bentakan penunggangnya, membuat penduduk setempat mengerutkan
kening tak senang. Namun, mereka hanya bisa memandang dengan hati jengkel tanpa
mampu berbuat apa-apa.
Rombongan penunggang kuda yang kurang lebih berjumlah dua belas orang itu
berlompatan turun dan menambatkan kudanya di muka kedai. Salah seorang yang
bertindak sebagai pimpinan, langsung menuju pintu kedai dengan langkah lebar,
dan menyeruak masuk ke dalam.
"Hei! Coba tunjukkan di mana Ki Kuntala! Aku dengar orang itu menginap di kedai
ini semalam..."!" teriak lelaki pendek gemuk berkepala botak sambil bertolak
pinggang. Sepasang matanya beredar ke sekeliling, ruangan, menyapu wajah-wajah pengunjung
kedai. Tapak Maut yang saat itu tengah menikmati hidangan, segera berdiri dari
kursinya. Dengan wajah tenang, lelaki itu melangkah menghampiri lelaki gemuk berkepala
botak. Panji, Kenanga, dan tujuh orang kawan Tapak Maut hanya diam melihat kelanjutan
tindakan lelaki gemuk berkepala botak.
"Siapa kau, Kisanak" Ada apa mencariku...?" tegur Tapak Maut yang bernama Ki
Kuntala dengan sikap jumawa. Sepasang matanya meneliti sosok lelaki gemuk pendek
dari bawah ke atas.
"Hm.... Kaukah Ki Kuntala yang mengepalai rombongan pengawal barang...?" tanya
lelaki gemuk itu lagi sambil meneliti wajah Tapak Maut. Menilik sikapnya, jelas
lelaki gemuk pendek itu belum pernah berjumpa dengan Ki Kuntala dan hanya tahu
namanya saja. "Ada apa mencariku..."!" tukas Ki Kuntala setengah membentak.
Rupanya dia sudah tidak sabar melihat tongkah lelaki botak itu yang seperti
tengah memeriksa pesakitan.
"Hm.... Beberapa hari yang lalu majikan kami menitipkan barang kepadamu. Lalu,
mengapa sampai hari ini barang itu belum tiba pada yang berhak menerimanya?"
ujar lelaki gemuk pendek itu seraya memperlihatkan pandangan mengejek.
Merah wajah Ki Kuntala, karena tatapan itu demikian menghina. Seakan-akan
menuduh dirinya telah menyalahgunakan kepercayaan majikan lelaki gemuk itu, dan
mempergunakan barang kiriman itu untuk kepentingannya sendiri.
"Dengar, Kisanak! Sebenarnya barang itu sudah kukirim dengan dikawal empat orang
anggotaku. Malang, mereka kutemukan tewas dan harta itu lenyap tanpa jejak di
tepi Hutan Ngarai. Itu sebabnya, mengapa sekarang aku berada di Desa Babakan
ini. Karena sampai saat ini aku masih menyelidiki siapa orang yang telah melakukan
perampokan itu. Kelak, bila barang-barang itu sudah kutemukan, akan kukembalikan
pada majikanmu, dan memberikan ganti rugi sepantasnya," jawab Ki Kuntala menahan
kegeraman hati. Karena itu merupakan kesalahannya, maka dirinya tidak bisa
berbuat apa-apa.
"Ha ha ha...!" lelaki pendek gemuk itu tertawa terbahak-bahak diikuti sebelas
orang kawannya. Rupanya, dia tidak percaya akan keterangan Ki Kuntala yang
berjuluk Tapak Maut.
"Diam!" bentak Ki Kuntala yang merasa tersinggung karena suara tawa itu demikian
menyakitkan. Bentakan yang keras dan mengejutkan itu membuat suara tawa lelaki gemuk
terhenti. Sementara, sebelas orang lelaki di belakangnya sudah menghunus
senjata. Agaknya, mereka marah terhadap Ki Kuntala yang telah membuat mereka terkejut.
Melihat kenyataan itu, tujuh orang kawan Ki Kuntala langsung berlompatan bangkit
dari kursi. Mereka segera mencabut senjata dan siap membela pimpinan mereka.
Ki Kuntala segera menahan orang-orangnya.
Persoalan ini ingin diselesaikannya sendiri karena menjadi tanggung jawabnya.
Maka, dihadapinya lelaki pendek gemuk itu dengan sikap tenang.
"Katakan pada majikanmu, dalam beberapa hari ini aku akan datang untuk mengganti
barangnya yang hilang. Sekarang, sebaiknya kau pulang dan jaga majikanmu baik-
baik..," ujar Ki Kuntala menatap tajam wajah lelaki gemuk itu lekat-lekat.
Sikapnya terlihat tegas dan tidak bisa ditawar lagi.
"Enak saja kau bicara! Kalau memang kau mampu mengganti barang majikanku, ayo
berikan sekarang juga! Aku tidak ingin kembali dengan tangan kosong!" tukas
lelaki gemuk ?tu memaksakan kehendaknya.
"Hm.... Sudah kukatakan aku akan datang sendiri mengantarkan pada majikanmu, dan
bukan kepadamu yang hanya seekor anjing penjaga...!" geram Ki Kuntala terpaksa
harus menahan kemarahannya. Meskipun dadanya saat itu hampir meledak.
"Kalau begitu aku akan memaksamu...!" tandas lelaki gemuk yang sepertinya akan
segera bertindak membuktikan ucapannya.
Tapak Maut sebenarnya memiliki sikap berangasan dan mudah tersinggung. Tapi,
kali ini lelaki itu mengambil sikap mengalah, itu karena dia tahu kalau dirinya
berada di pihak yang salah. Sehingga, dia hanya bisa menunggu apa yang akan
dilakukan lelaki gemuk itu.
"Hm...."
Lelaki pendek gemuk itu terlihat mempermainkan dua kepalan tangannya hingga
menimbulkan suara berkerotokan. Jelas, maksudnya hendak menakut-nakuti Ki
Kuntala. "Untuk apa kau tunjukkan permainan anak kecil, Kisanak. Kalau memang kau tidak
bisa menerima usulku, aku siap menghadapi keinginanmu...," tantang Ki Kuntala.
"Kurang ajar...!"
Setelah mendesis marah, lelaki gemuk itu segera melepaskan sebuah tamparan ke
pelipis Ki Kuntala. Maksudnya hendak memberi peringatan pada lelaki tinggi tegap
itu agar tidak menyepelekan dirinya.
Whuuut..! Ki Kuntala menggeser langkahnya dua tindak, kemudian mendoyongkan tubuh.
Hingga serangan lelaki gemuk itu tidak mencapai sasaran.
"Jangan terlalu memaksa, Kisanak..!" ujar Ki Kuntala seakan mengingatkan untuk
tidak melanjutkan serangan.
Tapi lelaki gemuk itu tidak mau berhenti. Begitu serangan pertamanya gagal,
langsung disusul dengan serangan-serangan berikutnya yang lebih hebat lagi.
Sehingga, Ki Kuntala harus menggunakan kelincahannya untuk menghindar.
Setelah menghindar terus-menerus selama kurang lebih lima jurus, Ki Kuntala
merasa tidak bisa berdiam diri lagi. Maka, ketika pukulan lawan kembali datang
mengancam dada, lelaki tegap itu segera mengangkat tangan kanan memapaki
serangan. Sekaligus mengirimkan sebuah hantaman dengan telapak tangan ke tubuh lawan.
Dukkk! Desss...! Gerakan Ki Kuntala yang kelihatan masih jauh lebih cepat dari lawan, membuat
lelaki gemuk tidak dapat menghindari hantaman telapak tangan Ki Kuntala.
Akibatnya, tubuh gemuk itu langsung terpental ke belakang dan terbanting ke luar
kedai. Sebelas orang kawan lelaki gemuk itu segera berlompatan ke luar. Kemudian,
mengepung Ki Kuntala yang saat itu telah melesat keluar ruangan kedai.
Ketujuh orang anggota Tapak Maut ikut melesat ke luar dengan senjata di tangan.
Rupanya mereka khawatir jika pimpinan mereka sampai celaka di tangan kedua belas
orang itu. "Katakan pada majikanmu apa yang tadi kukatakan..!" ujar Ki Kuntala kembali
mengingatkan agar lelaki gemuk itu segera meninggalkan Desa Babakan dan
melaporkan pada majikannya tentang janji lelaki tegap itu.
"Hm...!"
Namun, lelaki gemuk itu tidak mempedulikan ucapan Ki Kuntala. Bahkan, saat itu
senjata yang tergantung di pinggangnya telah dicabut. Dan memerintahkan sebelas
orang kawannya untuk mengeroyok lelaki tegap itu.
Ki Kuntala tetap bersikap tenang, tanpa mencabut senjatanya. Namun, ketujuh
orang anggotanya tidak bisa berdiam diri. Mereka sudah berlompatan dan menerjang
sebelas orang kawan lelaki gemuk itu.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang membuat orang-orang itu menghentikan
gerakan. Mereka menoleh ke arah suara bentakan yang membuat hati mereka berdebar
keras. Bahkan, wajah mereka pun kelihatan agak pucat. Jelas, bentakan itu telah
mempengaruhi ketegaran hati mereka.
Panji yang mengeluarkan bentakan keras itu melangkah maju ke tengah arena.
Ditatapnya wajah lelaki gemuk pimpinan sebelas orang itu yang hendak bertarung
dengan Ki Kuntala dan kawan-kawannya.
"Kisanak," ujar Panji seraya menatap tajam sosok lelaki gemuk pendek itu. "Apa
yang dikatakan Ki Kuntala adalah hal yang sebenarnya. Dan janjinya bisa
dipercaya. Untuk itu, kuharap kau mau melaporkan semua ini pada majikanmu...."
"Tidak bisa! Majikanku telah memerintahkan agar jika aku kembali harus membawa
barang miliknya. Jika tidak, aku akan diusir pergi dari tempatku bekerja selama
ini...," lelaki gemuk itu tetap bersikeras meminta kembali barang yang
dititipkan majikannya pada Ki Kuntala. Dan, rupanya hal itu tidak bisa ditawar
lagi. "Hm.... Katakan pada majikanmu, Pendekar Naga Putih yang akan datang
mengantarkan barang titipannya...," karena sulit mencari alasan lain, akhirnya
Panji mempertaruhkan nama besarnya sebagai jaminan.
"Pendekar..., Naga Putih..."!" desis lelaki gemuk itu dengan wajah pucat ketika
Panji menyebutkan julukannya.
Dan, sebelas orang lainnya pun tidak kalah terkejutnya dengan lelaki pendek
gemuk itu. Mereka saling bertukar pandang satu sama lain dengan wajah tegang.
Karena nama pendekar besar itu bukan suatu yang asing di telinga mereka. Bahkan,
mereka sangat kagum dan bangga akan kegagahan Pendekar Naga Putih.
"Pendekar Naga Putih. Mengingat nama besarmu, biarlah kami akan menanggung semua
akibatnya nanti di hadapan majikan kami. Dan kuharap kau mau memaafkan tindakan
kami tadi...," ujar lelaki gemuk itu, mengalah setelah mendengar Pendekar Naga
Putih yang kelak akan datang mengantarkan barang milik majikannya.
"Terima kasih atas pengertian kalian semua...," ujar Panji merasa lega meskipun
untuk itu nama besarnya harus dipertaruhkan sebagai jaminan.
Sepeninggal lelaki gemuk bersama sebelas orang kawannya. Panji dan Kenanga minta
diri pada Ki Kuntala dan anggotanya. Pemuda itu berjanji akan ikut mencari para
perampok yang tengah dicari Ki Kuntala. Lelaki tegap itu hanya bisa mengucapkan
terima kasih atas segala bantuan yang telah didapatnya dari pemuda tampan
berjubah putih itu.
Ki Kuntala dan tujuh orang kawannya masih tetap berdiri sampai bayangan Pendekar
Naga Putih dan Kenanga lenyap dari pandangan. Setelah itu mereka meninggalkan
Desa Babakan mengambil arah yang berlawanan dengan Panji dan Kenanga.
*** Panji dan kekasihnya melangkah mengambil jalan ke utara Desa Babakan. Sengaja
mereka mengambil jalan yang jarang dilalui orang. Karena selain sulit, arah
sebelah utara Desa Babakan banyak ditumbuhi pepohonan lebat itu salah satu sebab
mengapa jalan itu jarang dilalui orang.
"Kakang,.., kau dengar suara itu...?" ujar Kenanga saat mereka sudah menapakkan
kaki memasuki sebuah mulut hutan lebat.
Sebenarnya Kenanga tidak perlu menanyakan Panji, karena pemuda itu telah
mendengarnya lebih dulu. Hanya saja Panji hendak memastikan betul suara yang
didengarnya itu.
"Suara orang bertempur. Mari kita lihat..!"
Baru saja ucapan itu selesai, Pendekar Naga Putih langsung melesat ke arah asal
suara dentang senjata dan bentakan-bentakan yang didengarnya. Sebentar saja,
tubuh sepasang pendekar muda itu sudah saling berkejaran menerobos semak
belukar. Jalan-jalan yang sebenarnya sangat sulit untuk dilalui orang, tidak
membuat lari keduanya terganggu, meskipun tidak jarang mereka harus berloncatan
dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuh.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka pada sebuah lapangan berumput yang
cukup luas dan dikelilingi pepohonan besar. Tapi, suasana di tempat itu terlihat
sunyi. Sehingga, begitu Panji dan Kenanga tiba, mereka hanya mendapatkan enam
sosok tubuh yang bergeletakan dengan sekujur tubuh bermandikan darah segar.
"Celaka! Kita terlambat, Kakang...!" sesal Kenanga, karena pertempuran ternyata
telah usai. Panji tidak menjawab. Pemuda itu memeriksa sosok-sosok tubuh yang bergeletakan
di atas rumput dengan harapan dapat menemukan sosok yang masih bernapas di
antara mayat-mayat itu.
Harapan Panji terkabul. Salah satu dari keenam sosok itu tampak masih bernapas,
meskipun satu-satu. Cepat pemuda itu menotok beberapa bagian tubuh sosok itu.
Sehingga, lelaki berusia sekitar empat puluh tahun itu membuka matanya perlahan.
"Katakan, siapa yang melakukan semua ini, Paman...?" tanya Panji begitu melihat
mata lelaki itu terbuka dan menatapnya dengan sayu.
"Iblis... Wajah... Se... ribu...!" ucap lelaki itu dengan susah payah.
"Iblis Wajah Seribu..?" gumam Panji seolah tak mempercayai pendengarannya.
"Lalu..., kalian ini siapa" Dan mengapa berada di dalam hutan ini...?"
"Kami., murid-murid Perguruan Merak Emas yang merasa penasaran dan ingin mencari
Kakang Bardewa...," sosok lelaki tua itu menjilati bibirnya yang terasa kering.
Sehingga, jawabannya terhenti sampai di situ.
"Jadi, Bardewa yang melakukan semua ini..?" desak Panji, karena diketahuinya
kalau lelaki itu tidak akan dapat bertahan lama. Untuk itu dia harus mencari
keterangan sebanyak-banyaknya.
"Bukan... tapi... tapi... Murid Perguruan Pedang Ba... ja... aaah...!"
Setelah menjawab pertanyaan Panji, lelaki itu menghembuskan napasnya yang
penghabisan, diawali dengan suara mengorok panjang.
"Murid Perguruan Pedang Baja...?" desis Panji seperti tidak mempercayai ucapan
terakhir orang itu. Tapi, mana mungkin orang yang sudah sekarat masih hendak
berdusta" Mungkin orang itu berkata benar, pikir pemuda itu tercenung sesaat.
"Kakang. Bukankah menurut Ki Genawang semua murid-muridnya telah tewas dibantai
Iblis Wajah Seribu yang menyamar sebagai Ki Gawung" Jadi.., bagaimana mungkin
ini bisa terjadi..?" tanya Kenanga penasaran mendengar keterangan orang itu.
"Benar. Dan kemungkinan besar yang melakukan semua ini adalah Iblis Wajah Seribu
yang menyamar sebagai murid Ki Genawang," tukas Panji perlahan sambil merenung.


Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Atau bisa juga Ki Genawang berbohong sewaktu mengatakan semua muridnya telah
tewas terbantai...," sergah Kenanga, membuat Panji mengerutkan kening.
"Hhh.... Persoalan ini semakin bertambah rumit..," gumam Panji dengan helaan
napas panjang. "Kalau begitu, sebaiknya kita mendatangi Perguruan Merak Emas.
Aku khawatir Iblis Wajah Seribu akan mendatangi perguruan itu...."
"Mengapa Kakang berpikiran demikian...?" tanya Kenanga heran dengan usul
kekasihnya. "Kita lihat saja nanti. Tapi menurut dugaanku, iblis keji itu akan mendatangi
Perguruan Merak Emas. Kemungkinan besar mereka pun akan dibantai seperti murid-
murid Perguruan Pedang Baja...," jawab Panji membuat Kenanga terkejut. Gadis itu
tidak sampai berpikir ke arah itu.
"Kalau begitu tunggu apa lagi, Kakang. Ayo, kita segera menuju Perguruan Merak
Emas...!" sergah Kenanga yang langsung berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Tanpa banyak cakap lagi. Panji pun segera menjejakkan kakinya ke tanah.
Sehingga tubuhnya melayang di udara dan jatuh tepat di sisi kekasihnya yang
sedang berlari. Kemudian menjajari langkah dara jelita itu menuju Perguruan
Merak Emas. 8 Serombongan penunggang kuda bergerak melintasi jalan berdebu. Suara derapnya
bagai hendak mengguncang bumi. Itu tidak terlalu aneh, karena jumlah penunggang
kuda itu sangat besar, kira-kira enam puluh orang lebih. Sehingga, kepulan debu
yang ditinggalkannya terlihat bagai letusan gunung berapi yang membentuk bulatan
di angkasa. Dengan diiringi derap yang menggetarkan bumi, rombongan itu terus bergerak
mendekati sebuah bangunan perguruan yang berada di depannya.
Penjaga-penjaga yang berada di atas gerbang bangunan perguruan tentu saja kaget
melihat kedatangan serombongan orang berkuda dalam jumlah yang cukup besar.
Merasa gelagat tidak baik, penjaga itu langsung melompat turun dan berlari
tergesa-gesa menuju bangunan utama perguruan.
"Guru...! Guru..!"
Sambil berlarian penjaga itu berteriak-teriak, membuat murid-murid yang lainnya
menatap heran. Belum lagi penjaga itu tiba di depan pintu bangunan utama perguruan, tiba-tiba
seorang lelaki gagah telah berdiri tegak di ambang pintu. Lelaki itu tidak lain
Ki Gawung yang diapit dua orang murid utamanya.
"Ada apa...?" tegur Ki Gawung dengan suara tegas dan mengandung perbawa kuat.
"Ampun, Guru...."
Penjaga itu langsung menjatuhkan tubuhnya dan berlutut. Kemudian menceritakan
apa yang dilihatnya di luar bangunan. Meskipun dengan napas tersengal-sengal,
namun semua terdengar jelas oleh Ki Gawung. Sehingga, lelaki gagah itu
mengerutkan keningnya dalam-dalam.
"Hm... Ada apa lagi ini" Siapa mereka, dan apa maksud kedatangannya ke sini...?"
gumam Ki Gawung segera melangkah diikuti dua orang murid utamanya.
Baru saja lelaki gagah itu bergerak hendak mendekati pintu gerbang, tiba-tiba
terdengar suara berderak ribut. Dan..., pintu gerbang yang baru saja diganti itu
hancur berantakan! Bersamaan dengan itu, belasan sosok tubuh yang menunggang
kuda bergerak masuk menerobos kepingan kayu yang beterbangan.
Penunggang kuda terdepan yang ternyata seorang lelaki gagah berusia lima puluh
tahun, langsung melompat turun setelah melemparkan bungkusan besar ke tanah,
tepat di depan kaki Ki Gawung, Ketua Perguruan Merak Emas.
Langsung saja lelaki gagah itu melompat mundur dan menghunus pedang. Ki Gawung
mengira orang yang baru datang itu telah melakukan serangan gelap.
"Ha ha ha...! Bukalah bingkisan itu yang kuhadiahkan padamu, Ki Gawung..!" ujar
lelaki berwajah brewok seraya memperdengarkan tawanya yang parau dan besar.
Terkejut bukan main hati Ki Gawung merasakan adanya getaran tenaga dalam yang
kuat dalam suara tawa lelaki brewok itu. Ditelitinya wajah di depannya itu
dengan sorot mata tajam. Kemudian memerintahkan dua orang muridnya untuk membuka
bungkusan besar yang tergeletak di atas tanah.
"Hahhh..."!"
Kedua murid utama Ki Gawung melompat mundur dengan wajah pucat! Betapa tidak"
Bungkusan besar itu ternyata berisi tiga buah kepala yang telah dipisahkan dari
badan. Tentu saja mereka kaget bukan main.
"Biadab...!" Ki Gawung mendesis pucat ketika melihat tiga kepala yang masih
berdarah pada bagian batang lehernya. Melihat darah itu masih menetes segar, Ki
Gawung pun tahu kalau kepala-kepala itu belum lama dipisahkan dari lehernya.
"Guru.... Itu... itu kepala Ketua Perguruan Pedang Baja..."!" desis salah
seorang murid utama Ki Gawung sambil menunjuk sebuah kepala.
Sebenarnya, tanpa diberi tahu pun Ki Gawung telah tahu. Bukan hanya kepala Ki
Genawang saja yang dikenalinya. Bahkan, dua buah kepala lainnya pun telah dapat
dikenali dengan baik. Dua kepala itu adalah kepala Ki Randita, murid utama Ki
Genawang, serta kepala Ki Kuntala atau Tapak Maut yang dikenal Ki Gawung sebagai
pengawal pengantar barang. Dan, Tapak Maut merupakan salah seorang sahabatnya.
Lelaki gagah itu tampak semakin bertambah pucat!
"Apa maksudmu dengan semua kebiadaban ini...?" desis Ki Gawung sambil meneliti
wajah di depannya. Dia merasa pernah melihat wajah lelaki brewok itu. Sayang Ki
Gawung tidak begitu ingat di mana pernah melihatnya.
"He he he...!"
Tiba-tiba terdengar kekeh serak yang membuat Ki Gawung mengalihkan
perhatiannya, dan rupa akan pertanyaannya yang belum terjawab. Dan..., wajah
lelaki tua itu kian memucat ketika pemilik tawa serak itu menghentikan
langkahnya di samping lelaki berwajah brewok yang merupakan pimpinan rombongan
penunggang kuda.
"Bardewa..."! Tidak salahkah penglihatanku..."!" desis Ki Gawung serak dengan
tubuh menggigil seperti orang terserang demam. Karena pemilik suara tawa serak
itu adalah Bardewa, muridnya yang ditemukan tewas sepuluh tahun yang lalu.
Bahkan, dia sendiri ikut menguburkan jenazah muridnya itu.
Lelaki kekar berkumis lebat itu memang Bardewa. Sedangkan lelaki berwajah brewok
di sebelahnya adalah Ki Punjalu, murid Perguruan Pedang Baja, yang menjadi
kepala bagian dapur di perguruan milik Ki Genawang itu.
Bardewa tetap memperdengarkan tawanya yang serak. Tanpa mempedulikan wajah-wajah
heran dan terkejut di hadapannya, lelaki kekar berkumis lebat itu enak saja
menarik kulit wajahnya. Dan...
"Ahhh..."!"
Ki Gawung dan dua orang murid utamanya kembali tersurut mundur ketika Bardewa
menunjukkan wajah aslinya. Kiranya lelaki kekar berkumis lebat itu mengenakan
sebuah topeng karet yang sangat tipis, hingga tidak berbeda dengan kulit asli.
Di samping terkejut, Ki Gawung pun merasa lega. Sebab, orang itu bukan Bardewa
yang sesungguhnya. Dengan begitu, rasa bersalah di dalam hatinya lenyap bersama
dengan terbukanya wajah asli lelaki kekar berkumis lebat, yang ternyata cukup
tampan dan menarik, meskipun pada pipi kirinya terdapat luka memanjang.
"Kami berdua adalah murid-murid langsung Iblis Wajah Seribu yang tewas di tangan
para pendekar. Guru-guru kalian semualah yang telah mengeroyoknya secara licik.
Untuk membalas sakit hati itu aku dan adik seperguruanku, Galiang, menyelundup
masuk ke dalam perguruanmu dan perguruan Ki Genawang," jelas lelaki berwajah
brewok, membuat Ki Gawung segera teringat siapa sebenarnya lelaki brewok yang
tadi tak dapat diingatnya itu.
"Kau..., Ki Punjalu..."!" desis Ki Gawung mulai dapat mengenali lelaki brewok
itu ketika mengatakan dirinya menyelundup ke dalam Perguruan Pedang Baja.
"Hm.... Kiranya kalian berdua telah mengadu domba kami dengan menyamar sebagai
Bardewa...!"
"He he he...! Berteriaklah sepuas hatimu, Ki Gawung. Sebab, sebentar lagi kau
akan menemani ketiga kepala tanpa tubuh itu. Dan, aku akan menguasai perguruan-
perguruan besar di negeri ini. Ha ha ha...!" Ki Punjalu tertawa bergelak seraya
menengadahkan kepalanya ke angkasa yang mulai diwarnai cahaya matahari pagi.
"Keparat! Jangan kau kira aku takut menghadapi kematian...!" geram Ki Gawung
segera menyilangkan pedangnya di depan dada dan siap bertarung mati-matian.
Demikian pula dengan dua orang murid utama di kiri dan kanan lelaki gagah itu.
Mereka pun telah menghunus senjata. Dan siap mempertaruhkan nyawa demi
kehormatan perguruan mereka.
"Hm...."
Ki Punjalu hanya bergumam melihat lawan-lawannya telah siap bertarung. Setelah
terdiam sesaat, tangannya segera terangkat ke atas dan mengibas ke depan sebagai
isyarat bagi pengikut-pengikutnya untuk menyerbu.
"Heaaat..!"
"Haaat..!"
Dibarengi teriakan-teriakan ribut, puluhan pengikut Ki Punjalu bergerak menyerbu
murid-murid Perguruan Merak Emas yang juga telah siap dengan senjata terhunus.
"Heaaa...!"
Tanpa rasa gentar sedikit pun, murid-murid Perguruan Merak Emas yang berjumlah
sekitar tiga puluh orang itu langsung bergerak maju menyambut kedatangan lawan.
Sebentar kemudian, pertempuran pun berkobar.
Dentang senjata terdengar memecah keheningan pagi. Jeritan kematian yang disusul
tubuh-tubuh bersimbah darah, yang roboh termakan senjata lawan, mewarnai
pertempuran seru itu.
Ki Gawung yang melihat murid-muridnya bertempur mati-matian, segera memutar
pedangnya dengan sepenuh tenaga. Sebab, sebagai murid Iblis Wajah Seribu, Ki
Punjalu pasti memiliki kepandaian yang tinggi dan belum tentu dirinya dapat
menandingi tokoh itu. Sehingga, lelaki itu langsung mengeluarkan jurus-jurus
andalannya untuk menggempur lawan.
"Haaat..!"
Dengan sebuah pekikan nyaring, tubuh Ki Gawung meluncur ke arah lawan.
Pedang di tangannya bergerak cepat membentuk gulungan sinar berpendar laksana
ular bermain-main di angkasa.
Cwittt, cwittt cwittt..!
Sekali bergerak, Ki Gawung telah melontarkan tiga buah serangan sekaligus. Ujung
senjatanya bergerak menusuk dan membacok dengan kecepatan yang mengagumkan.
Ki Punjalu yang telah bersiap menghadapi Ketua Perguruan Merak Emas, hanya
bergumam pelan ketika melihat datangnya serangan lawan. Tubuh lelaki itu
bergerak ke kiri dan kanan dengan lincahnya, menghindari incaran mata pedang
lawan. Kemudian langsung membalas dengan tamparan dan tendangan yang cepat bukan
main! Sehingga, Ki Gawung yang selama ini hanya mengenal Ki Punjalu sebagai
kepala bagian dapur kaget dibuatnya.
Whuttt...! "Ahhh..."!"
Sebuah hantaman telapak tangan kanan lawan meluncur datang dengan kecepatan yang
sulit ditangkap mata. Untunglah pada saat terakhir pukulan itu tiba, lelaki
gagah itu sempat memiringkan tubuhnya. Sehingga telapak tangan yang mengandung
kekuatan hebat itu lewat di sampingnya.
Tapi perubahan gerak yang dilakukan Ki Punjalu sama sekali di luar dugaan lawan.
Telapak tangan yang berputar itu langsung menggedor dada Ki Gawung.
Desss! "Hugkhhh...!"
Ki Gawung terhuyung mundur terkena hantaman keras pada dadanya. Meskipun
demikian, lelaki gagah itu ternyata dapat mempertahankan kuda-kudanya. Sehingga
tidak sampai terjatuh.
"Haiiit..!"
Ki Punjalu kelihatannya ingin segera menyelesaikan pertarungan. Terbukti, lelaki
itu tidak memberi kesempatan sedikit pun bagi lawannya untuk memperbaiki
kedudukan Saat lawan masih terhuyung, Ki Punjalu langsung menyusuli serangannya
dengan dorongan dua telapak tangannya yang menerbitkan suara menderu keras.
Whuuut..! Bresssh! "Hei..."!"
Pada saat yang berbahaya bagi keselamatan Ki Gawung, sesosok bayangan putih
melesat dengan kecepatan tinggi, dan langsung menyambut dorongan dua telapak
tangan Ki Punjalu. Akibatnya, tubuh lelaki berwajah brewok itu terdorong enam
langkah ke belakang.
"Gila..."!" umpat lelaki itu segera menjejakkan kakinya ke tanah kuat-kuat.
Sehingga daya dorong itu terhenti dan Ki Punjalu dapat memperbaiki kuda-kudanya.
"Pendekar Naga Putih..."!" desis Ki Punjalu kaget ketika melihat seorang pemuda
tampan berjubah putih, yang sekeliling tubuhnya terlapisi kabut bersinar putih
keperakan, telah berdiri di depan Ki Gawung. Jelas, pemuda itulah yang telah
menggagalkan pukulannya.
Di bagian lain pun telah terjadi perubahan besar. Galiang, murid kedua Iblis
Wajah Seribu yang berhadapan dengan dua orang murid utama Ki Gawung, juga
dilanda keterkejutan hebat. Lelaki itu baru saja hendak menghabisi kedua
lawannya, ketika mendadak terpukul mundur oleh seorang dara jelita yang memasuki
arena pertempuran.
"Keparat'" maki Galiang dengan wajah dilanda kemarahan hebat. Tanpa peduli siapa
lawannya, lelaki kekar itu segera menyerbu dengan jurus-jurus andalannya yang
sangat hebat dan mengerikan.
"Bagus...!" puji dara jelita berpakaian serba hijau yang tidak lain Kenanga.
Setelah berkata demikian, tubuh rampingnya bergerak ke depan menyambut terjangan
lawan. Sebentar, saja keduanya telah terlibat dalam pertarungan sengit.
Sedangkan kedua murid utama Ki Gawung segera menggabungkan diri dengan murid-
murid lainnya. Keduanya mengamuk merobohkan para pengikut Ki Punjalu dengan
sambaran pedangnya. Sehingga, murid-murid Perguruan Merak Emas yang semula
terdesak kini ganti mendesak lawan. Kehadiran dua murid utama guru mereka
membuat semangat yang semula pudar kembali menyala. Dan, menggempur musuh dengan
semangat berapi-api.
Sementara itu, sosok berjubah putih yang tidak lain Panji telah bertarung
melawan Ki Punjalu.
Sedangkan Ki Gawung ikut menggabungkan diri dengan murid-muridnya untuk
menggempur musuh.
Ki Punjalu kelihatan sangat dendam sekali pada Pendekar Naga Putih. Hal itu
terlihat dari gempuran-gempurannya yang datang laksana air bah. Sambaran angin
pukulannya bersuitan menerbitkan putaran angin laksana badai topan. Ternyata
kepandaian bekas kepala bagian dapur itu sangat hebat. Rupanya, kali ini lelaki
itu menunjukkan siapa dirinya. Sebagai murid Iblis Wajah Seribu tentu Ki Punjalu
telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi yang sangat hebat.
"Haiiit...!"
Untuk kesekian kalinya, pada jurus kedelapan puluh Ki Punjalu kembali
mengeluarkan pekikan yang menggetarkan tempat itu. Pukulan-pukulannya meluncur
datang dengan kecepatan kilat.
Dukkk, plak...!
"Uhhh..."!"
Tapi, yang harus dihadapi Ki Punjalu adalah seorang pendekar muda yang sangat
hebat kepandaiannya. Bahkan, pengalaman bertarungnya tidak kalah oleh Ki
Punjalu. Malah Pendekar Naga Putih telah menghadapi lawan-lawan yang jauh lebih tinggi
ilmu silatnya. Sehingga, sehebat apa pun lawan melancarkan serangan, selalu
dapat dihindari dan ditepiskannya.
Saat tubuh Ki Punjalu terjajar mundur. Panji langsung melayang ke depan dengan
serangkaian serangan jurus 'Ilmu Silat Naga Sakti.'
"Yeaaat..!"
Bagaikan seekor naga sakti yang sedang murka, tubuh Panji bergerak cepat dan
meliuk di udara. Kemudian meluncur turun dengan kecepatan laksana sambaran kilat
di angkasa. Dan ...
Desss! "Aaakh...!"
Ki Punjahi tidak sempat lagi menghindari serangan Pendekar Naga Putih. Tubuhnya
terlempar seperti selembar daun kering diterbangkan angin. Darah segar menyembur
keluar dari mulutnya. Jelas, gempuran telapak tangan Panji telah membuat tokoh
itu terluka dalam.
Brakkk! Luncuran tubuh Ki Punjalu masih terus menghantam sebatang pohon yang cukup
besar, yang langsung berderak tumbang bersama tubuh lelaki tegap itu.
Panji sendiri sudah melayang menyusuli tubuh Ki Punjalu. Pendekar Naga Putih
tidak ingin kehilangan lawan, yang bisa saja langsung melarikan diri. Karena
terlempar keluar dari dalam perguruan.
Ketika tiba di dekat tubuh Ki Punjalu, Panji hanya memperhatikan lawannya yang
tengah berusaha berdiri tegak.
"Uhhh...."
Ki Punjalu mengeluh dan terhuyung limbung. Rupanya, pukulan yang mengenai
tubuhnya demikian hebat. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya lelaki itu masih
belum bisa meredakan rasa sakit yang dideritanya.
Tapi... "Heaaah...!"
Mendadak tubuh Ki Punjalu yang terhuyung-huyung itu meluncur ke depan disertai


Pendekar Naga Putih 61 Pewaris Dendam Sesat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dorongan kedua telapak tangannya. Benar-benar licik sekali serangan itu!
Sayangnya Panji telah memiliki pengalaman yang cukup dengan berbagai macam
kelicikan lawan. Sehingga, saat serangan mendadak itu datang Panji sudah siap
dengan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang tersalur ke kedua lengannya. Dan...
Bresssh...! Desss! "Aaakh...!" Ki Panjalu tidak sempat lagi menghindari serangan Pendekar Naga Putih.
Tubuhnya terlempar deras ke balakang.
Brakkk! Luncuran tubuh Ki Panjalu baru terhenti setelah menghantam sebatang pohon besar.
Hebat sekali gempuran yang dilakukan Panji kali ini. Tanah di sekitar tempat itu
bergetar! Bahkan pepohonan berderak ribut bagai dilanda angin topan! Sedangkan
tubuh Ki Punjalu terlempar sejauh dua tombak, dan terbanting ke tanah tanpa bisa
bergerak lagi. Tulang-tulang tubuh lelaki itu remuk terkena hantaman keras Pendekar Naga Putih.
Pada saat yang hampir bersamaan, Kenanga pun telah menyelesaikan
pertarungannya. Kedua orang itu telah bertarung dengan menggunakan senjata,
hingga Galiang terpaksa harus merelakan nyawanya terbang. Sambaran pedang dara
jelita itu membuat perutnya robek dan ususnya berhamburan keluar. Galiang pun
tersungkur tewas dengan tubuh bermandikan darah.
"Hentikan pertempuran...!" Setelah kedua gembong penjahat itu tewas, Panji
berteriak menghentikan pertarungan antara Perguruan Merak Emas dengan para
pengikut Ki Punjalu dan Galiang.
'"Pemimpin kalian telah tewas! Sebaiknya kalian menyerah daripada kami
bunuh...!" kembali Panji berteriak lantang ketika pertempuran terhenti dan kedua
belah pihak bergerak mundur.
Tanpa banyak cakap lagi, para pengikut Ki Punjalu dan Galiang langsung
melemparkan senjatanya ke tanah. Kemudian mereka duduk bersimpuh mohon ampunan
pendekar muda itu
"Bagaimana, Ki Gawung...?" tanya Panji meminta pendapat Ketua Perguruan Merak
Emas. Pemuda itu tidak ingin mengambil keputusan sendiri selagi masih ada orang
yang lebih tua darinya.
"Hm...," Ki Gawung bergumam sambil mengelus jenggotnya yang berwarna dua.
"Jika mereka bersedia menjadi muridku, aku akan memberi ampunan atas kesalahan
yang telah dilakukan"
"Nah! Kalian dengar sendiri, bukan! Ketua Perguruan Merak Emas berkenan menerima
kalian sebagai murid-murid perguruan ini seandainya kalian bertobat dan
meninggalkan jalan sesat!" seru Panji setelah mendengar keputusan Ki Gawung.
Tanpa berpikir panjang lagi, para pengikut Ki Gawung langsung menyatakan
kesediaannya. Sehingga, Panji dan yang lainnya menjadi lega. Kemudian pemuda itu
memanggil salah seorang pengikut Ki Punjalu, dan menanyakan tentang perampokan
di Hutan Ngarai. Panji menduga pelaku perampokan itu pastilah Ki Punjalu dan
Galiang beserta kawan-kawannya.
Dugaan Panji ternyata tidak meleset. Orang itu langsung mengakui bahwa
perampokan itu memang perbuatan mereka. Lalu, menunjukkan di mana harta rampokan
itu disimpan. "Ki Gawung. Karena kami berdua masih ada kepentingan lain, harap kau sudi
memaafkan bila kami tidak bisa lebih lama," pamit Panji dan Kenanga kepada Ki
Gawung, setelah mendapatkan keterangan jelas dari anak buah Ki Punjalu.
Ketua Perguruan Merak Emas tidak bisa berbuat lain. Lelaki tua itu melepas
kepergian pasangan pendekar muda itu dengan tatapan mata penuh haru. Karena
berkat jasa merekalah perguruannya tidak sampai musnah.
Setelah bayangan Panji dan Kenanga hilang dari pandangan, Ki Gawung
memerintahkan murid-muridnya untuk membereskan tempat itu. Ketua Perguruan Merak
Emas pun melangkah masuk ke dalam bangunan utama.
Pembuat Ebook :
Scan buku ke djvu : Abu Keisel
Convert : Abu Keisel
Editor : Fujidenkikagawa
Ebook oleh : Dewi KZ
http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
http://kangzusi.info/ http://ebook-dewikz.com/
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. TIGA IBUS GUNUNG TANDUR
24. MACAN TUTUL L. DARU
2. DEDEMIT BUKIT IBLIS
25. MALAIKAT GERBANG NERAKA
3. ALGOJO GUNUNG SUTRA
26. RAHASIA PEDANG N. LANGIT
4. PARTAI RIMBA HITAM
27. SENGKETA JAGO J. PEDANG
5. JARI MAUT P. NYAWA
28. LABA-LABA HITAM
6. PENGHUNI R. GERANTANG
29. TERSESAT DI L. KEMATIAN
7. RAJA IBUS DARI UTARA
30. DENDAM PENDEKAR CACAT
8. PENJAGAL ALAM AKHERAT
31. TERDAMPAR DIPULAU ASING
9. MENCARI JEJAK PEMBUNUH
32. KUMBANG MERAH
10 BUNGA ABADI DI GUNUNG K
33. BIDADARI IBLIS
11. MEMBURU HARTA KARUN
34. MUSTIKA NAGA HIJAU
12. KELABANG HITAM 35. PENDEKAR GILA 13. PENGGEMBALA MAYAT
36. MISTERI DESA SILUMAN
14. PUSAKA BERNODA DARAH
37. KETURUNAN D. PERSILATAN
15. PENDEKAR MURTAD
38. TEWASNYA R. RACUN MERAH
16. KECAPI PERAK D. SELATAN
39. PUTRA HARIMAU
17. SERIGALA SILUMAN
40. SEPASANG M. L MAUT
18. DEWI BAJU MERAH
41. HANTU LAUT PAJANG
19. ASMARA DI UJUNG PEDANG
42. TERJEBAK DI PERUT BUMI
20. BENCANA DARI ALAM KUBUR
43. DARAH PERAWAN SUCI
21. HILANGNYA P. KERAJAAN
44. PENGEMBAN DOSA TURUNAN
22. TRAGEDI G. LANGKENG
45. BADAI RIMBA PERSILATAN
23. DEWA TANGAN API
46. PETUALANGAN DI ALAM ROH
47. BANGKITNYA MALAIKAT PETIR
57. PEMBURU NYAWA
48. MISTERI SELENDANG BIRU
58. MAJIKAN PULAU SETAN
49. TUMBAL PERKAWINAN 59. SEPASANG PEDANG IBLIS 50. SANG PENGHANCUR
60. GOA LARANGAN
51. PETAKA KUIL TUA
61. PEWARIS DENDAM SESAT
52. PENYEMBAH DEWI MATAHARI
53. PASUKAN PEMBUNUH
54. RACUN ULAR KARANG
55. PANGGUNG KEMATIAN
56. PEMBUNUH BAYARAN
Geger Topeng Sang Pendekar 2 Pendekar Bayangan Malaikat Lanjutan Pendekar Bayangan Setan Karya Khu Lung Siasat Yang Biadab 2
^