Pencarian

Rase Perak 1

Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak Bagian 1


RASE PERAK Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Rase Perak
128 hal. ; 12 x 18 cm
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Jilatan lidah api bergoyang pelan dipermainkan
hembusan angin lembut. Sesekali terdengar bunyi ge-
meretak suara ranting terbakar. Nyala api itu memang tidak terlalu besar. Namun,
cukup untuk menerangi
tempat sekitarnya dari kegelapan malam yang menye-
limuti. Bahkan, sanggup mengusir nyamuk-nyamuk
yang beterbangan mencari mangsa.
Di sekeliling jilatan api unggun itu tampak empat
sosok tubuh duduk bersila. Mereka terdiam menatap
kobaran api di depannya. Salah seorang dari mereka
menjulurkan ranting, menarik keluar benda berbentuk bulat panjang yang bagian
luarnya telah hangus terbakar.
"Hm.... Singkong bakar ini memang nikmat seka-
li...," gumam orang itu, yang wajahnya terhias kumis tipis. Lelaki itu tengah
mengunyah singkong bakar
yang baru saja dikeluarkan dari kobaran api. Terdengar suara berkecipak dari
mulutnya. Kendati mulutnya membuat gerakan lucu ke kiri kanan karena kepana-san,
namun terlihat jelas betapa ia sangat menikmati kehangatan dan kenikmatan
singkong bakar itu.
Kenikmatan yang diperlihatkan lelaki berkumis ti-
pis, mengundang kawan-kawannya untuk ikut menci-
cipi. Mereka menjulurkan ranting, menarik keluar
singkong lainnya. Kemudian mencicipinya setelah
membelahnya terlebih dulu. Mereka pun mengangguk-
kan kepala. Agaknya, yang dikatakan lelaki berkumis tipis itu bukan bualan
belaka. "Berapa lama lagi kita akan menempuh perjala-
nan...?" sambil menikmati makanan sederhana itu, salah satu dari mereka
mengeluarkan pertanyaan. Dari
tatapan matanya yang tertuju ke wajah lelaki berkumis
tipis, jelas pertanyaan itu ditujukan kepada kawan di depannya itu.
"Menurut perkiraanku, kita masih akan berjalan
kurang lebih setengah hari lagi. Itu pun kalau kita tidak mendapat halangan di
perjalanan...," sahut lelaki berkumis tipis, yang rupanya pimpinan rombongan
kecil itu. "Hm.... Kelihatannya Kakang Danaya mengkhawa-
tirkan sesuatu...?" gumam lelaki lainnya, yang berwajah kurus dan memiliki sinar
mata setajam burung
elang. Sikap dan pandangannya menunjukkan ia bu-
kan orang sembarangan. Sinar mata itu menyimpan
suatu kekuatan besar yang tersembunyi di dalam di-
rinya. "He he he...." Lelaki berkumis tipis bernama Danaya memperdengarkan tawa
perlahan. Setelah memperhatikan wajah ketiga orang di sekelilingnya, kemudian ia
menjawab. "Apa kalian kira cuma perkumpulan kita yang men-
dengar berita itu" Tidak demikian ringan tugas yang kita lakukan kali ini,
kawan-kawan. Bahkan, bukan tidak mungkin kita telah kedahuluan orang lain. Itu
sebabnya, mengapa aku sering mengingatkan kalian agar selalu waspada! Telinga
dan penciuman orang-orang
kaum rimba persilatan tidak ubahnya binatang buas.
Menurutku, berita ini pasti sudah didengar setengah dari tokoh-tokoh persilatan.
Dan bukan mustahil darah akan tumpah. Karena apa yang akan kita cari sangat
diidamkan oleh orang-orang persilatan. Baik itu dari golongan putih maupun
golongan hitam...," jelas Danaya seraya memperhatikan wajah kawan-kawannya.
"Wah.... Kalau benar demikian, alangkah beratnya
tugas yang kita emban ini, Kakang...," tukas salah satu dari ketiga lelaki itu.
Wajahnya menampakkan kete-
gangan setelah mendengar penjelasan Danaya. Bah-
kan, sepasang matanya mengerling ke sekitar tempat
itu. Ucapan Danaya telah menimbulkan kecurigaan
terhadap sekitarnya.
"Hm..., jangan terlalu tegang, Adi Kumbara. Justru
karena tugas kali ini sangat berat, maka guru telah mempersiapkan kita dari
jauh-jauh hari. Kita telah di-latih dengan ilmu khusus, yang sangat sulit dan
tangguh. Untuk itu, kita tidak boleh merasa kecil hati. Walaupun akan banyak
muncul saingan- saingan berat.
Dengan ilmu yang telah kita miliki, tidak mudah bagi lawan untuk merobohkan
kita...." Danaya yang melihat kecemasan dan ketegangan di
wajah kawannya mencoba menghibur. Tapi, bukan be-
rarti yang dikatakannya cuma omong kosong saja. Me-
reka memang telah dibekali sebuah ilmu tangguh un-
tuk melakukan tugas berat itu.
"Kau benar, Kakang!" sahut Kumbara mulai tenang.
Keyakinannya pun timbul setelah mendengar perka-
taan Danaya. Terdengar tarikan nafasnya yang pan-
jang, pertanda kelegaan hatinya.
Dua orang lainnya ikut menganggukkan kepala. Ke-
lihatannya mereka baru sadar setelah mendengar pen-
jelasan Danaya. Kini mereka merasa tenang. Ilmu yang mereka miliki adalah ilmu
tangguh yang baru akan
mereka peroleh lima tahun kemudian. Hanya karena
tugas berat itulah mereka mendapat keistimewaan un-
tuk mempelajarinya.
"Hhh.... Malam sudah semakin larut. Sebaiknya kita
beristirahat Aku akan membangunkan kawan-kawan
kita yang lain untuk ganti berjaga," suara Danaya me-mecah kebisuan yang hanya
beberapa saat Kemudian,
lelaki berkumis tipis itu bergerak bangkit dan menghampiri empat sosok tubuh
lainnya yang tengah terlelap dibuai mimpi. Rupanya, mereka bukan cuma be-
rempat. Ada empat orang kawan mereka yang lain.
Kumbara dan dua kawannya segera beranjak bang-
kit. Mereka merebahkan diri di atas rerumputan den-
gan berbantalan buntalan pakaian. Karena empat ka-
wan mereka yang lain sudah terbangun dari tidurnya.
Siap menggantikan mereka untuk berjaga-jaga.
"Oaaahm...."
Salah satu dari keempat lelaki itu menguap lebar
sambil menggeliat. Tubuhnya dijatuhkan di depan api unggun. Lelaki itu
menggosok-gosokkan kedua tangannya di dekat jilatan api. Udara menjelang dini
hari memang terasa semakin dingin menggigit. Apalagi, mereka bermalam di tempat
terbuka di tepi sebuah hu-
tan. "Sebentar lagi fajar akan terbit...," gumam lelaki
bertubuh kekar dengan sepasang mata besar. Sejenak
kepalanya tengadah menatap langit yang dihiasi ge-
mintang dan bulan sabit.
Tiga orang lainnya hanya mengangkat kepala mena-
tap langit. Tak satu pun dari mereka yang memberikan tanggapan. Karena ucapan
barusan memang tidak
memerlukan jawaban.
Tapi, baru saja ketiga lelaki itu menjatuhkan tu-
buhnya di atas rerumputan di depan api unggun, tiba-tiba datang tiupan angin
besar! Api unggun berkobar cepat dan nyaris padam. Tentu saja hal itu
mengejutkan mereka. Keempat orang itu saling melempar
pandang satu sama lain. Dan belum lagi salah satu da-ri mereka sempat berkata,
tiba-tiba.... "Hua ha ha...!"
Terdengar tawa berkumandang menggetarkan jan-
tung! Suara tawa itu bagai datang dari delapan penju-ru. Sehingga, sulit
ditentukan dari mana sebenarnya suara tawa itu datang.
'Tikus-tikus tak berguna! Kalian datang hanya un-
tuk mengantarkan nyawa...!" suara tawa itu tiba-tiba lenyap. Berganti dengan
gumaman kasar, namun terdengar jelas. Keempat lelaki itu tersentak bangkit dan
meraba gagang pedang!
Danaya dan ketiga kawannya yang baru saja mere-
bahkan diri langsung berlompatan bangkit Mereka
bergabung dengan kawan-kawannya yang masih bera-
da di dekat api unggun. Dan, ikut memperhatikan se-
kitar tempat itu dengan sikap tegang!
"Hm.... Siapa pun kau, kalau memang bukan seo-
rang pengecut segera tunjukkan dirimu...!"
Danaya berseru dengan mengerahkan tenaga da-
lam. Sehingga, suaranya bergema sampai beberapa
tombak ke sekitar tepi hutan. Sepertinya, lelaki berkumis tipis itu ingin
menunjukkan bahwa ia dan ka-
wan-kawannya bukan orang sembarangan, dan tidak
mudah digertak!
Seruan yang jelas-jelas bernada tantangan itu,
membuat suasana menjadi hening. Suara tawa mau-
pun ucapan bernada menghina lenyap. Suasana sepi
dan menegangkan. Danaya maupun kawan- kawannya
yakin pemilik suara tanpa wujud itu pasti belum pergi dari tempat ini. Namun,
mereka tidak tahu di mana dia bersembunyi. Dan mereka hanya bisa menunggu dengan
sikap penuh waspada. Tiba-tiba....
Whusss...! Serangkum angin keras berhembus. Danaya dan
kawan-kawannya berlompatan mundur dengan tangan
menggenggam gagang pedang, meski belum tercabut
dari sarungnya. Hembusan angin dingin yang keras
membuat mereka semakin tegang. Itu terlihat jelas pa-da wajah-wajah mereka dalam
pantulan cahaya api
unggun. "Hua ha ha...! Dasar, Tikus-tikus Tolol! Coba tengok ke belakang. Aku sudah
menunggu kalian...!"
Kaget bukan main kedelapan lelaki gagah itu. Da-
naya segera membalikkan tubuh dengan secepat kilat
Pedang di pinggangnya langsung dicabut keluar. Ia sudah siap berhadapan lebih
dulu dengan sosok yang di-tantangnya.
"Siapa kau, Kisanak..." Apa maksudmu menggang-
gu kami...?" tegur Danaya. Ditatapnya tajam- tajam sosok bayangan hitam yang
bersembunyi di balik
bayangan pohon. Danaya tidak bisa melihat wajah so-
sok tinggi besar itu dengan jelas.
"Kau ingin mengetahui siapa aku...?" tukas sosok
tinggi besar menyiratkan ejekan. "Dengar baik-baik.
Aku adalah Malaikat Maut yang datang untuk men-
gambil nyawa tikus-tikus busuk seperti kalian!" lanjutnya dengan suara berat dan
parau. Ucapan itu terdengar tidak main-main. Ada nada
kesungguhan di dalamnya, membuat Danaya dan ka-
wan-kawannya tersentak kaget.
"Keparat! Berani kau menghina murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih!" geram salah seorang kawan Da-
naya. Kemudian, menyeruak maju dengan senjata ter-
hunus. Dia tidak lain Kumbara. Lelaki itu tampaknya tidak bisa menerima
penghinaan sosok tinggi besar.
"Heh he he...! Bagiku kalian tak ubahnya bangau-
bangau mau mati!" tandas sosok tinggi besar yang kelihatan sedikit pun tidak
merasa gentar mendengar
nama Perguruan Bangau Putih. Bahkan, kekurangaja-
rannya semakin menjadi-jadi.
"Keparat...!" gemetar sekujur tubuh Kumbara men-
dengar hinaan itu. "Kurobek mulutmu...!" bentaknya.
Serta-merta pedangnya diputar. Kumbara melesat
dengan serangan-serangan yang mematikan!
"Haaat...!"
"Adi Kumbara, hati-hati...!" Danaya yang terkejut
melihat tindakan gegabah kawannya segera berseru
memperingatkan. Bahkan, ia melesat menyusul Kum-
bara. Sosok tinggi besar yang tersembunyi di balik kege-
lapan bayang pepohonan hanya memperdengarkan
dengusan mengejek. Sambaran pedang Kumbara yang
datang bertubi-tubi tidak dapat melukainya. Bahkan, menyentuh ujung pakaiannya
pun tidak. Jelas, betapa hebat ilmu sosok tinggi besar itu. Bahkan....
"Minggat kau ke neraka...!"
Diiringi bentakan yang mengejutkan, sosok tinggi
besar melontarkan hantaman telapak tangan dengan
mendadak. Serangkum angin keras berhembus mengi-
ringi datangnya serangan itu. Dan....
Desss...! "Aaakh..."!"
Kumbara terpekik ngeri! Darah segar termuntah da-
ri mulutnya saat telapak tangan lawan singgah di dada kiri. Tubuh gemuk Kumbara
pun terlempar deras dan
jatuh ke tanah dengan nyawa putus!
"Iblis...! Kau harus menukarnya dengan nyawa-
mu...!" Danaya yang melihat hebatnya pukulan sosok tinggi
besar dapat menduga bahwa kawannya tidak bakal se-
lamat. Maka, dengan kemarahan yang meluap, Danaya
langsung melancarkan serangkaian bacokan dan tu-
sukan dengan kecepatan penuh!
Whuttt, bettt...!
Namun, semua serangan Danaya hanya disambut
dengan kelitan tubuh yang indah. Semua serangannya
kandas. Ketika ia nekat menyusuli dengan serangan
berputar, sosok tinggi besar itu memapakinya dengan tepisan telapak tangan.
Plaggg! "Uuuh..."!"
Kaget bukan main lelaki berkumis tipis itu. Seten-
gah lengannya terasa lumpuh untuk sesaat Kuda-
kudanya tergempur dan tubuhnya terhuyung mundur
beberapa langkah. Sadarlah Danaya bahwa sosok ting-
gi besar itu bukan orang sembarangan. Kekuatannya
berada jauh di atas dirinya. Kenyataan itu membuat
Danaya diliputi kecemasan!
"Seraaang...!"
Setelah sadar akan kekuatan dan ketangguhan la-
wan, Danaya segera memerintahkan kawan-kawannya


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk maju menggempur. Mereka menggunakan ilmu
pedang yang baru diturunkan, dan telah mereka sem-
purnakan dengan baik.
"Yeaaat...!"
"Haaat...!"
Disertai pekikan yang menggegap, Danaya memim-
pin enam orang kawannya menggempur maju. Cahaya
putih keperakan membersit menerangi kegelapan ma-
lam. Suara berdesingan membuat suasana yang semu-
la hening berubah hiruk-pikuk. Ditingkahi dengan
bentakan dan seruan yang mengejutkan.
Tapi, sosok tinggi besar itu ternyata memang tang-
guh. Ia masih mampu mengimbangi serangan Danaya
dan kawan-kawannya. Padahal, orang- orang Pergu-
ruan Bangau Putih telah menggunakan
'Ilmu Pedang Membelah Kabut', yang ketangguhan-
nya sudah dikenal oleh kalangan persilatan.
"Sekarang giliranku untuk mengambil nyawa tikus
kalian...!"
Di tengah kilatan cahaya pedang, sosok tinggi besar tiba-tiba berseru perlahan.
Suaranya terdengar jelas di telinga ketujuh orang lawannya. Dan....
"Haiiit...!"
Dibarengi pekikan menggetarkan jantung, sosok
tinggi besar bergerak menyelinap di antara sambaran mata pedang. Kemudian,
mengibaskan kedua tangan-
nya ke kiri kanan menyambut serangan dua batang
pedang yang mengancam tubuhnya.
Takkk, takkk! Dua orang kawan Danaya tersentak kaget! Mata pe-
dang mereka bagai bertemu dengan sepotong besi baja.
Mereka menjadi kehilangan kewaspadaan. Dan....
Bukkk, desss...!
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian berkumandang membelah
malam. Dua orang murid Perguruan Bangau Putih ter-
jungkal memuntahkan darah segar. Pukulan telapak
tangan sosok tinggi besar telah melepaskan nyawa mereka yang hanya satu-satunya.
"Keparat...!" Danaya benar-benar dibuat kalap den-
gan kematian kawan-kawannya. Tubuhnya melayang
ke udara. Danaya berlaku nekat, menerjang maju sela-gi lawan siap melepaskan
pukulan maut! "Pergilah ke neraka...!" disertai suara mendesis perlahan, sosok tinggi besar
mendorong tangan kanannya dengan telapak terbuka. Serangkum angin mencicit
keras menyambut datangnya tubuh Danaya. Sehing-
ga.... Bresh...! "Aaargh...!"
Danaya meraung bagai binatang luka. Tubuhnya
terpental keras dan membentur batang pohon di bela-
kangnya. Sudah dapat dipastikan pukulan keras itu
menewaskan murid Perguruan Bangau Putih itu.
Apa yang kemudian terjadi membuat keempat ka-
wan Danaya terbelalak. Tubuh yang remuk akibat
membentur pohon besar itu meregang sesaat. Kemu-
dian diam tak bergerak dengan mata terbelalak dan
wajah menyeringai. Lelehan darah mengalir dari mu-
lutnya. "Heh heh heh...! Tidak usah kaget, Tikus-tikus Tak
Berguna! Sebentar lagi kalian akan menyusulnya. Me-
mang tidak pantas orang-orang seperti kalian mempe-
rebutkan Rase Perak...!" ujar sosok tinggi besar seraya bergerak menghampiri
dengan langkah perlahan. Sepertinya, ia sengaja hendak membuat sisa-sisa
lawannya mati ketakutan sebelum disentuh.
"Keparat! Jangan kau kira kami takut menghadapi
kematian...!" salah seorang dari empat murid Pergu-
ruan Bangau Putih, menggeram marah. Rasa takut da-
lam hatinya dibuang jauh-jauh. Ia sadar cepat atau
lambat sosok tinggi besar itu pasti akan membunuh-
nya. "Haaat..!"
Dengan teriakan keras, lelaki itu menerjang maju.
Sambaran pedangnya terdengar berdesingan. Tiga ka-
wannya segera berlompatan menyusul. Rupanya, me-
reka hendak bertarung sampai titik darah penghabi-
san! Sosok tinggi besar itu sendiri hanya terkekeh. Tu-
buhnya sedikit pun tidak bergerak menghindar saat
empat senjata itu datang mengancam. Kelihatannya, ia begitu yakin akan kekuatan
tenaga dalamnya yang
mampu menahan bacokan mata pedang.
Dan saat keempat mata pedang menghujani tubuh-
nya, sosok tinggi besar hanya mendengus kasar. Apa
yang diyakininya memang benar-benar terjadi. Empat
batang pedang itu terpental lepas dari genggaman pe-miliknya. Kemudian....
Desss, bukkk, prakkk...!
Empat sosok tubuh itu terlempar ke kiri kanan.
Hantaman telapak tangan yang dialiri tenaga dalam
tingkat tinggi itu membuat mereka berkelojotan tewas.
Satu di antaranya menggeletak tak bernyawa dengan
batok kepala remuk. Jelas sudah betapa hebat kekua-
tan tenaga dalam sosok tinggi besar. Padahal, lawan-
lawannya bukanlah orang lemah. Danaya dan kawan-
kawannya merupakan murid-murid utama Perguruan
Bangau Putih. Kehebatan perguruan itu pun cukup
terkenal di kalangan persilatan. Tapi, bagi sosok tinggi besar itu mereka
sedikit pun tidak berarti. Demikian mudahnya ia menghabisi delapan orang murid
utama Perguruan Bangau Putih.
"Heh heh heh...! Ketua Perguruan Bangau Putih be-
nar-benar tolol. Ia sama saja dengan bermimpi kalau hendak mendapatkan binatang
keramat itu...," gumam
sosok tinggi besar seraya mengawasi mayat korban ke-ganasannya.
Malam mulai berganti fajar saat sosok tinggi besar
bergerak meninggalkan tubuh-tubuh korbannya. Ko-
kok ayam hutan mengiringi lenyapnya sosok bayangan
hitam berperawakan tinggi besar yang misterius itu.
*** 2 "Heaaa... heaaa...!"
Suara bentakan yang diselingi lecutan cambuk
mengiringi derap seekor kuda berbulu putih. Sosok
berperawakan sedang yang duduk di atas binatang
tunggangannya itu memasuki perbatasan sebuah desa.
Dan baru memperlambat lari kudanya begitu melintas
di atas jalan utama desa.
Suasana desa cukup ramai. Rumah-rumah berjajar
di kiri kanan jalan. Tampaknya, kehadiran penung-
gang kuda itu tidak banyak menarik perhatian. Hanya ada beberapa orang penduduk
yang menoleh. Itu pun
hanya sekilas. Selanjutnya, mereka kembali disibuk-
kan oleh pekerjaan masing-masing. Kelihatannya me-
reka tidak aneh dengan para pendatang. Desa itu me-
mang sering dilalui atau pun disinggahi orang-orang luar. Itu sebabnya,
kehadiran sosok bertubuh sedang yang menunggang kuda berbulu putih itu tidak
diper-hatikan. Penunggang kuda itu sendiri merasa lega melihat
ketidakpedulian penduduk desa. Sikap itu membuat-
nya bisa lebih tenang melintasi jalan utama desa. Dan baru membelokkan kudanya
saat melihat sebuah kedai makan di sebelah kiri jalan.
Segera ia menambatkan binatang tunggangannya.
Dan melangkah lebar memasuki kedai makan itu.
Beberapa pasang mata sempat menoleh dan mem-
perhatikan sosok bertubuh sedang. Tampaknya, pa-
kaian petani yang dikenakan sosok itu tidak membuat mereka tertarik. Sehingga,
beberapa pasang mata itu kembali berpaling dan melanjutkan makan serta mi-num
mereka. Sosok bertubuh sedang yang jelas bukan penduduk
setempat itu kelihatan ingin menampilkan sikap wajar.
Langkahnya terayun menghampiri sebuah meja ko-
song. Sambil melangkah, sepasang matanya bergerak
meneliti orang-orang yang ada di dalam ruangan.
Agaknya, sosok berpakaian petani itu tengah mencaricari sesuatu.
Saat langkahnya tiba di depan meja kosong, lelaki
bertubuh sedang itu berniat menghempaskan tubuh-
nya di kursi. Sambil berpegangan pada bagian bela-
kang kursi, sepasang matanya kembali mengawasi se-
kitar. Mendadak. Lelaki bertubuh sedang itu menghenti-
kan gerakannya dalam kedudukan membungkuk. Se-
pasang matanya membelalak lebar! Terlihat jelas beta-pa sorot mata itu
memancarkan perasaan gembira dan
lega. Namun, keraguan membuatnya terpaku beberapa
saat, seperti terkena sihir.
"Tidak salahkan penglihatanku..."!" desis lelaki bertubuh sedang. Punggung
tangannya digosok-gosokkan
ke kedua matanya. Seolah ia belum yakin dengan apa
yang dilihatnya.
Entah apa yang menjadi penyebabnya. Tiba-tiba le-
laki bertubuh sedang itu kelihatan tegang. Jalan nafasnya mulai tidak beraturan.
Hingga akhirnya, dengan menghela napas berat langkahnya terayun perlahan.
Sepasang matanya tak lepas memandang ke depan.
Suara langkah terseret dengan detak jantung yang
bekerja lebih cepat, rupanya telah membuat sosok berjubah putih di depannya agak
terganggu. Sosok itu
berpaling dengan gerak perlahan, namun jelas menyi-
ratkan kewaspadaan. Sepasang mata tajam berpenga-
ruh dari seraut wajah tampan itu ternyata merupakan awal kegaduhan yang kemudian
terjadi. Karena....
"Pendekar Naga Putih..."!" bagai orang menang lo-
tre, lelaki bertubuh sedang dan berpakaian petani itu berseru mengejutkan seisi
kedai. Tarikan wajahnya
menunjukkan ia sangat gembira tak terkira.
Setengah dari pengunjung kedai serentak menoleh
ke arah sosok sedang berpakaian petani. Sebab, lelaki itulah sumber suara seruan
keras barusan. Kemudian, mata mereka mengikuti arah pandang lelaki bertubuh
sedang. "Pendekar Naga Putih..."!"
Terdengar desis keheranan di sana-sini. Ulah lelaki berpakaian petani itu
membuat pemuda tampan berjubah putih menjadi pusat perhatian dari setengah
pengunjung kedai. Tatapan mereka menyiratkan keka-
guman dan keheranan. Kagum dengan sorot mata ta-
jam berpengaruh dari pemuda tampan itu. Dan heran
melihat kehadiran pendekar ternama itu di antara mereka, tanpa seorang pun yang
menyadarinya. Sadar bahwa dirinya tengah ditatap belasan pasang
mata, pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum
seraya menganggukkan kepala. Lalu, menoleh ke arah
sosok berpakaian serba hijau yang duduk di sebelah-
nya. "Dana Ruksa..."!" gumam sosok berpakaian serba
hijau ketika mengenali lelaki berpakaian petani. Keru-tan pada kening wajah
jelita laksana bidadari itu menandakan hati sang Dara tengah diliputi keheranan.
"Kenanga..."!"
Lelaki yang dipanggil dengan Dana Ruksa itu berse-
ru gembira. Tampak jelas ia sangat mengharapkan pertemuan itu. Sekarang dapat
ditebak mengapa saat
memasuki kedai, Dana Ruksa mengedarkan pandan-
gan. Rupanya, pasangan pendekar muda itu yang dica-
rinya. Pasangan muda yang memang tidak lain Panji dan
Kenanga saling bertukar pandang sesaat. Namun, se-
belum mereka sempat mengambil suatu tindakan, ti-
ba-tiba suasana menjadi gaduh! Setengah dari pen-
gunjung kedai berdiri satu persatu. Mereka melangkah ke arah Panji dan Kenanga.
Dari sikap dan penampilannya, agaknya mereka kaum rimba persilatan.
Tapi, baik Panji maupun Kenanga tidak kelihatan
terkejut. Sepertinya, mereka sudah tahu sebelumnya
kalau di dalam kedai itu banyak terdapat kaum rimba persilatan. Pasangan
pendekar muda itu segera bangkit dari duduknya. Siap menyambut tokoh-tokoh
persilatan yang datang menghampiri.
Panji menyambut salam kaum rimba persilatan itu
dengan bibir tersenyum dan sapa ramah penuh persa-
habatan. Demikian pula yang dilakukan Kenanga. Ga-
dis jelita itu tidak merasa terkucil. Meski ia tahu salam dan sapa tokoh-tokoh
persilatan itu kepadanya hanya sekadar basa-basi. Karena mereka lebih
memperhatikan Panji. Malah Kenanga merasa bangga. Panji ada-
lah bagian dari dirinya. Baginya, sanjungan untuk
Panji sama dengan menyanjung dirinya. Sehingga, Ke-
nanga tidak merasa tersisih oleh sikap tokoh-tokoh
persilatan itu.
"Maaf, sahabat-sahabat yang gagah. Aku mohon
pamit. Ada sesuatu yang harus segera kuurus...," pinta Panji setelah berbasa-
basi beberapa saat. Pemuda itu kemudian meninggalkan ruangan kedai, setelah
meninggalkan beberapa keping uang seharga makanan
yang ia pesan. Para tokoh persilatan itu tidak berani mencegah ke-
pergian Panji. Kelihatannya mereka cukup puas den-
gan sambutan ramah dari pendekar muda itu. Saat
Panji berpamitan, mereka segera menyingkir memberi
jalan. "Terima kasih...," ucap Panji beberapa kali seraya
memberi isyarat kepada Kenanga untuk mengikutinya.
Kenanga segera bergerak tanpa banyak tanya. Gadis
itu sudah tahu mengenai sesuatu yang hendak diurus
kekasihnya. "Ikuti kami, Dana Ruksa...," bisik Panji saat mele-
wati lelaki berpakaian petani, yang tidak mendapat kesempatan untuk menghampiri
pasangan pendekar
muda itu. Dana Ruksa kelihatan menyadari kesala-
hannya yang telah membuat gaduh seisi kedai.
Dana Ruksa mengangguk meski ia tahu Panji dan
Kenanga tidak melihat anggukannya. Lelaki itu bergegas mengikuti. Lalu, melompat
ke atas punggung ku-
da. Dan mengikuti pasangan pendekar muda itu yang
nampak melangkah agak cepat keluar desa.
Tinggallah tokoh-tokoh rimba persilatan bergerom-
bol di depan kedai. Mereka menatap sosok Panji dan
dara jelita berpakaian serba hijau yang semakin jauh.
Beberapa di antara mereka menggeleng-geleng takjub.
Meski hanya melangkah, tubuh Panji dan Kenanga ce-


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pat sekali menjauh. Padahal, mereka melihat jelas
langkah pasangan pendekar muda itu. Yang membuat
mereka takjub, hanya dengan melangkah agak cepat
sosok pasangan pendekar muda itu sudah jauh me-
ninggalkan kedai. Itu jelas membuktikan kepandaian Panji memang sangat hebat,
sebagaimana kabar yang
tersiar di kalangan rimba persilatan.
"Hm.... Mungkinkah kehadiran Pendekar Naga Putih
di desa ini juga tertarik dengan kabar adanya binatang keramat itu...?" gumam
seorang tokoh persilatan seraya memegang dagu dengan kening berkerut Terasa
ada suatu perasaan tersisih dalam ucapannya.
"Sepanjang yang kudengar, Pendekar Naga Putih
bukanlah orang yang tamak. Baik oleh senjata pusaka dan bertuah, maupun binatang
keramat yang kini beri-tanya telah tersebar luas di kalangan persilatan. Jadi,
menurutku pendekar muda itu tidak perlu dikhawatirkan...." Tokoh lainnya pun
yang pernah mendengar sifat-sifat Panji langsung menukas.
Hampir semua dari tokoh persilatan yang berdiri di
tempat itu menganggukkan kepala. Mereka kelihatan-
nya lebih setuju dengan perkataan yang terakhir. Tan-pa sadar, mereka menarik
napas lega ketika teringat bagaimana sikap Panji.
Saat sosok Panji dan Kenanga lenyap, satu persatu
kaum persilatan itu memasuki kedai. Hanya ada bebe-
rapa dari mereka yang beranjak pergi. Sehingga, se-
bentar saja bagian depan kedai makan itu kembali se-pi.
*** "Kau mempunyai suatu keperluan yang menyang-
kut paman dan bibiku, Dana Ruksa...?" Kenanga sege-
ra melontarkan pertanyaan kepada lelaki berpakaian
petani yang sudah melompat turun dewi punggung
kuda. Saat itu mereka sudah berada jauh di luar desa.
Dana Ruksa tidak segera menjawab. Ia membung-
kuk hormat kepada Panji yang berdiri di samping Ke-
nanga. Kelihatan sekali Dana Ruksa merasa menyesal
dengan kejadian di kedai tadi. Ia sungguh tidak me-
nyangka kehadirannya telah membuat sosok Panji
menjadi pusat perhatian.
"Tidak ada yang perlu kau sesali, Dana Ruksa...,"
ujar Panji tersenyum. Tampaknya, Panji sedikit pun tidak menganggap semua itu
merupakan kesalahan.
Ucapan Panji membuat Dana Ruksa merasa lega.
"Paman dan bibimu mengharapkan kalian berdua
datang ke Kadipaten Tumapel secepatnya. Hanya itu
pesan yang kubawa dari beliau. Mengenai kepentin-
gannya, aku tidak bisa menjelaskan...," Dana Ruksa
mengutarakan maksudnya kepada Kenanga dan Panji.
"Hm...." Kenanga hanya bergumam pelan. Gadis jeli-
ta itu kemudian berpaling menatap wajah Panji. Sejenak mereka saling bertukar
pandang. "Menempuh perjalanan jauh untuk mencari kami
benar-benar perbuatan nekat, Dana Ruksa. Untunglah
Tuhan mempertemukan kita. Entah sudah berapa la-
ma waktu kau habiskan untuk mencari kami?" ujar
Panji menatap Dana Ruksa penuh kagum.
Karena untuk mencari mereka memang bukan pe-
kerjaan mudah. Tapi, Dana Ruksa telah melakukan-
nya, meski dalam waktu yang tak pasti. Sebab, Panji dan Kenanga tidak mempunyai
tempat tinggal tetap.
Mereka adalah petualang-petualang yang selalu men-
gamalkan ilmunya untuk kepentingan orang banyak.
"Demi kepentingan Kadipaten Tumapel yang kucin-
tai, tugas seberat apa pun akan kujalankan. Termasuk mencari kalian berdua yang
kusadari memang bukanlah pekerjaan mudah. Hingga, aku sampai tidak bisa
mengendalikan kegembiraan saat melihat kalian di ke-
dai. Perjalanan panjang yang memakan waktu sebulan
lebih, lenyap tanpa rasa lelah tersisa. Apa yang sangat kuharapkan kini menjadi
kenyataan...," sahut Dana
Ruksa melebarkan senyumnya. Kelihatan sekali lelaki itu tidak berpura-pura.
"Hm.... Jadi kau tidak tahu alasan paman dan bibi-
ku mengharapkan kedatangan kami selekasnya...?"
Kenanga bertanya menimpali pembicaraan Panji dan
Dana Ruksa. Dara jelita itu tidak percaya kalau Dana Ruksa tidak mengetahui
maksud pencarian itu.
"Mmm.... Tentu saja aku tahu, Kenanga. Tapi, kare-
na paman maupun bibimu berpesan demikian, ku-
sampaikan apa adanya. Aku tidak berani membantah.
Yang jelas, kami sangat membutuhkan kehadiran ka-
lian di Kadipaten Tumapel...," sahut Dana Ruksa tetap tidak mengatakan
kepentingannya.
"Baiklah, Dana Ruksa. Kami pun tidak ingin men-
desakmu...," desah Kenanga. Benaknya mulai dipenuhi pertanyaan. Gadis itu
menoleh ke arah Panji. "Bagaimana ini, Kakang...?" tanya dara jelita itu meminta
pendapat kekasihnya.
Panji tak segera menjawab. Pemuda itu mengang-
guk beberapa kali disertai tarikan napas panjang. Ditatapnya Kenanga sesaat.
Lalu berpaling kepada Dana
Ruksa. Dan kembali pada kekasihnya.
"Perjalanan menuju Kadipaten Tumapel sangat jauh
dan memakan waktu cukup lama. Aku khawatir saat
kita tiba di kadipaten, darah sudah tumpah di Bukit Ular Emas. Menurut hematku,
sebaiknya kita membagi
tugas. Itu kalau kau tidak merasa keberatan...," ujar Panji menanggapi
pertanyaan kekasihnya.
Mereka memang hendak menuju ke Bukit Ular
Emas, yang kabarnya menjadi tempat binatang langka.
Kabar itu sudah tersebar luas di kalangan persilatan.
Itu sebabnya, saat di kedai Panji banyak melihat to-
koh-tokoh rimba persilatan.
"Kakang," ujar Kenanga. "Aku tidak ingin dianggap
mementingkan diri sendiri. Kakang pun pasti tahu ja-wabanku. Aku sadar kalau
kita telah dibebani kewajiban untuk menegakkan keadilan. Jadi, silakan utara-
kan apa yang menjadi keputusan Kakang. Aku tidak
akan membantahnya...."
"Baiklah, Kenanga. Meski ada rasa berat di dalam
hati, namun memang sebaiknya kita membagi tugas.
Aku akan melanjutkan perjalanan ke Bukit Ular Emas.
Sementara kau ikut bersama Dana Ruksa untuk me-
nemui paman dan bibimu. Aku percaya kau bisa me-
laksanakan apa pun keinginan mereka. Tapi, kalau
kau mempunyai pendapat lain, silakan katakan pada-
ku...," jelas Panji mengutarakan pikirannya setelah mendengar penuturan Kenanga.
"Lalu..., bagaimana kita dapat bertemu lagi, Ka-
kang...?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ke-
nanga. Berawal dari rasa cemas berjauhan dengan pe-
muda pujaannya. Pertanyaan itu jelas menunjukkan
betapa Kenanga merasa takut melalui hari-hari tanpa sang Kekasih menyertai.
Sehingga, tercetus begitu saja dari mulutnya.
Melihat sikap dan pandang mata pasangan pende-
kar muda itu, Dana Ruksa tahu diri. Ia tidak ingin
mengganggu mereka. "Maaf," ucap Dana Ruksa pelan.
"Sementara kalian berunding, aku hendak mencari
rumput untuk kudaku...," pamit Dana Ruksa yang
memutar binatang tunggangannya, hendak menjauhi
tempat itu. Panji dan Kenanga tentu saja merasa akan lebih le-
luasa jika bicara berdua. Maka, mereka pun tidak
mencegah kepergian Dana Ruksa. Keduanya segera
mengangguk dan tersenyum kepada lelaki yang penuh
pengertian itu.
Sepeninggal Dana Ruksa, Panji melingkarkan tan-
gannya ke bahu Kenanga. Mereka melangkah perlahan
menuju tepian sungai yang gemericik airnya terdengar dari tempat itu.
Kelihatannya, mereka merasa berat
untuk berpisah.
"Aku akan rindu sekali kepadamu, Kakang...," de-
sah Kenanga menyandarkan kepalanya di bahu Panji.
Ia tidak menolak saat pemuda itu membawanya menu-
ju tepi sungai.
"Demikian pula denganku, Kenanga. Jangankan un-
tuk berpisah dalam waktu lama. Sehari pun rasanya
akan sangat menyiksa. Sulit aku membayangkan hari-
hari tanpa senyum dan tatapanmu yang penuh kasih.
Rasanya..., saat ini pun aku sudah merasa rindu ke-
padamu. Tapi, demi kepentingan orang banyak dan
demi keadilan aku akan berusaha menekan semua pe-
rasaan yang menyiksa itu. Aku akan segera menemui-
mu di Kadipaten Tumapel setelah persoalan di Bukit
Ular Emas tuntas...."
Panji meremas dengan lembut bahu yang hangat
dan lunak itu. Hatinya sempat bergetar saat merasa-
kan betapa dalam tubuh kekasihnya ada kepasrahan
yang dalam. Panji menarik napas panjang dan mele-
pasnya bersama gemuruh yang bergelora di dalam da-
da. Ditekannya semua perasaan yang bergejolak itu.
Kenanga bukan tidak tahu mengapa kekasihnya
menghela napas panjang. Ia pun merasakan hal yang
sama. Tetapi, berbeda dengan Panji yang mencoba un-
tuk menekannya. Kenanga malah melepaskan begitu
saja semua gejolak yang ada dalam hatinya. Gadis itu menumpahkannya melalui
perbuatan. "Peluklah aku erat-erat, Kakang...," desah dara jelita itu yang sudah
menggayutkan kedua lengannya di leher Panji. Sehingga mereka saling berhadapan
dan lekat satu sama lain.
"Kenanga...," desis Panji melingkarkan kedua len-
gannya ke pinggang dara jelita itu. Diremasnya punggung Kenanga sebagai curahan
rasa cintanya yang be-
sar. Sesaat kemudian, pasangan pendekar muda itu sal-
ing berpelukan erat. Dan, menumpahkan rasa kasih
mereka melalui kecupan lembut. Terdengar erangan lirih dari kerongkongan dara
jelita itu. Pelukan lengannya pun semakin erat. Seolah ia hendak menyatukan
tubuh Panji ke dalam tubuhnya. Agar mereka tidak la-gi berpisah dan menyatu
selamanya. Saat bermesraan seperti itulah mereka baru merasa
lelah dengan petualangan-petualangan yang penuh
ancaman maut dan taruhan nyawa. Terbersit pikiran
untuk mencari kedamaian dan ketenangan, untuk me-
nyirami cinta kasih mereka yang memang hampir tidak sempat terpikirkan.
Sehingga, tidak aneh kalau keme-sraan itu membuat mereka berdua terlelap bagai
mu- safir haus di tengah gurun pasir yang luas.
Kenanga yang semakin terhanyut membalas dengan
panas ciuman kekasihnya. Bahkan, kemudian menarik
tubuh Panji hingga jatuh di atas rerumputan. Kendati demikian, Kenanga tidak
melepaskan pelukannya. Sepertinya dara jelita itu tidak pernah merasa puas. Dan
kesempatan itu membuatnya ingin mereguk sepuas-puasnya curahan cinta Panji.
Sebagai manusia biasa yang berdarah muda, Panji
dapat saja terseret oleh perasaan. Apalagi Kenanga
memang gadis satu-satunya yang sangat ia sayangi
dan cintai. Panji pun membalas cumbuan Kenanga
dengan tidak kalah hangatnya. Sampai akhirnya, Panji tersentak ketika mendengar
desah dara jelita itu.
"Lakukanlah, Kakang.... Aku tidak akan menyesa-
linya.... Biarlah hari ini menjadi kenangan terindah
yang akan menemani hari-hari ku esok...," desah Kenanga di antara gemuruh dada
dan deru nafasnya.
Wajah jelita yang kemerahan itu menatap sayu, pasrah akan apa yang dilakukan
pemuda itu selanjutnya.
Meski peperangan dalam batinnya demikian hebat,
Panji masih bisa berpikir jernih. Cepat ia menarik wajahnya agak menjauh.
Walaupun wajahnya telah ke-
merahan, pemuda itu masih merasa pantang untuk
memenuhi permintaan kekasihnya. Setelah menatap
tubuh Kenanga yang pakaiannya sudah tidak karuan
lagi, Panji menarik tubuhnya. Siap untuk bangkit berdiri. Namun, pemuda itu
tidak ingin melepaskan len-
gan Kenanga dengan kasar. Panji takut dara jelita itu tersinggung. Digenggamnya
lengan Kenanga dengan
lunak, mencoba untuk melepaskan pegangan pada le-
hernya. "Mengapa, Kakang...?" tegur Kenanga dengan mata
berkabut. Ditatapnya bola mata pemuda itu lekat-
lekat. "Untuk yang satu ini, ku mohon jangan sampai ter-
jadi pada saat-saat sekarang...," ujar Panji dengan suara perlahan, berusaha
mengingatkan. Karena perjala-
nan mereka masih panjang dan masih banyak yang
harus diselesaikan.
Tapi Kenanga tidak menyahuti. Butir-butir air mata
meluncur turun membasahi kedua pipinya yang halus.
Panji tentu saja terkejut. Apalagi, ketika Kenanga menarik kedua lengannya dan
menutupi wajah. Terden-
gar isak yang berusaha ditahan. Betapa tersiksanya
hati Panji melihat kesedihan kekasihnya.
"Aku tahu sekarang...," ucap dara jelita itu seraya tersedu-sedu, "Kakang tidak
pernah mau melakukannya karena merasa jijik dengan tubuhku..." lanjutnya tetap
menutup wajah dengan telapak tangan.
"Aaah.... Kenanga..., mengapa kau berprasangka
seperti itu...," keluh Panji melihat kekasihnya menangis sangat sedih.
Padahal, apa yang dilakukannya karena Panji terla-
lu mencintai gadis jelita itu. Kalau saja tidak ingat akan tugas-tugasnya, Panji
pasti tidak akan menolak-nya. Bahkan, akan melakukannya tanpa diminta. Se-
bagai lelaki normal tentu saja ia menginginkan hubungan yang lebih jauh. Tapi,
penolakan itu ternyata di-tanggapi lain oleh Kenanga. Gadis itu merasa terhina
karena Panji tidak mau melakukannya. Jelas, pemiki-ran gadis itu terbalik. Tapi
juga tidak bisa disalahkan.
Kenanga terlalu mencintai Panji dan tidak ingin kehilangan pemuda pujaannya itu.
Sedangkan Panji meno-
lak karena begitu menghormati dan menyayanginya
dengan tulus. *** 3 Panji benar-benar kehilangan kata-kata untuk men-
jelaskan semua itu. Pemuda itu menggeleng berkali-
kali. Panji berusaha melepaskan telapak tangan yang menyembunyikan wajah jelita
Kenanga. Namun, Kenanga mempertahankannya. Gadis itu tetap menyem-
bunyikan wajahnya yang telah basah oleh air mata. Itu terlihat dari lelehan di
sela-sela jari tangannya. Hingga, hati Panji semakin tak karuan.
"Kenanga..., kalau saja kau tahu betapa sangat in-


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gin aku melakukannya.... Tapi tidak sekarang, Adikku.
Pada saatnya nanti, tanpa kau minta pun aku akan
melakukannya. Jangan kau berkata seperti itu, Ke-
nanga. Sadarlah akan kewajiban kita untuk menga-
malkan kebajikan bagi orang banyak...," bujuk Panji seraya membelai rambut dara
jelita itu dengan penuh
kasih. "Kalau kau benar-benar mencintai ku dan tidak in-
gin melihat hatiku hancur, sekaranglah saatnya, Ka-
kang. Tidak perlu menunggu waktu yang tidak pas-
ti...," tukas Kenanga di sela isaknya.
"Kau tidak akan menyesal...?" karena tidak bisa di-
bujuk, akhirnya Panji mengalah.
"Aku malah akan sangat berbahagia, Kakang...,"
sahut Kenanga dengan sedikit terisak. Kali ini ia melepaskan telapak tangannya
dari wajah. Ada binar kebahagiaan dalam sinar mata yang masih basah itu.
Terdorong oleh rasa kasih dan tidak ingin melihat
kekasihnya sedih, Panji melucuti pakaian dara jelita itu dengan jari-jari
gemetar. Tubuh bagian atas dara jelita itu telah polos, memperlihatkan kulit
yang halus tak tercela. Wajah Panji tampak memerah. Iblis semakin mencengkeram
erat hati dan pikiran pemuda per-
kasa itu. Namun, sebelum segalanya terjadi, tiba-tiba Panji menyentakkan
tubuhnya dan melenting bangkit
"Tidak, Kenanga...! Aku tidak bisa...!" desis Panji dengan suara gemetar. "Kau
membuatku hampir gi-la...!"
Pemuda perkasa itu merintih dan menjatuhkan tu-
buhnya di atas rumput dengan bertelekan kedua lutut.
Wajahnya ditutupi dengan kedua telapak tangan. Panji berusaha keras melepaskan
diri dari cengkeraman iblis-iblis yang menggodanya. Panji benar-benar mendapat
ujian batin yang sangat berat
Semula Kenanga merasa kaget dan sangat kecewa.
Tapi, begitu ia melihat betapa kekasihnya sangat tersiksa, kekecewaan itu pun
tersapu lenyap. Berganti
dengan rasa iba yang dalam. Kenanga segera merapi-
kan pakaiannya., Kemudian, bergerak menghampiri
Panji dengan menyeret kedua lututnya di atas rumput.
Dipeluknya tubuh Panji dengan mata yang kembali ba-
sah. "Maafkan aku, Kakang.... Aku sungguh tidak me-
nyangka kau akan tersiksa seperti ini...," desah dara jelita itu merangkul erat
tubuh kekasihnya. Aneh benar sikap gadis itu. Belum lama ia yang dibujuk
setengah mati. Tapi sekarang malah balik membujuk dan
meminta maaf kepada Panji.
"Kau tidak salah, Adikku. Akulah yang salah dan te-
lah menyiksa perasaanmu selama ini. Padahal, aku ingin selalu membuatmu bahagia.
Tapi, yang kuberikan
hanya petualangan penuh bahaya dan taruhan nyawa.
Tidak seharusnya kau menjalani kehidupan seperti ini.
Maafkan aku...," tukas Panji menatap wajah yang ba-
sah oleh air mata. Di kecupnya bibir indah itu dengan penuh rasa cinta.
Kali ini Kenanga yang lebih dulu menarik diri. Ke-
cupan Panji membuatnya tersenyum sangat manis!
Sepasang matanya berbinar penuh kekaguman. Se-
hingga, Panji ganti menjadi heran.
"Sudahlah, Kakang. Kalau dilanjutkan bisa-bisa
aku terseret lagi," ujar Kenanga dengan menggenggam jemari Panji.
Tampaknya, dara jelita itu telah menyadari kekeli-
ruannya yang nyaris mendatangkan penyesalan di hati Panji. Kalau semua itu
sampai terjadi, mereka telah melanggar pesan guru-guru mereka. Mereka berdua
telah dipesankan agar mendahulukan kepentingan orang
banyak daripada kepentingan pribadi. Selain itu, setelah melakukannya sekali,
bukan mustahil akan men-
jadi dua kali, tiga kali dan seterusnya. Semua itu akan membuat tugas mereka
terhambat. "Hhh...."
Panji menghela napas lega. Ia benar-benar gembira
melihat Kenanga telah sadar dari kekeliruannya. Se-
nyum pemuda itu melebar dan menatap bangga wajah
yang kelihatan semakin jelita itu. Tapi, tindakan Panji selanjutnya membuat
Kenanga terpekik kecil. Karena....
"Biarlah kau terseret lagi. Sekarang aku benar- be-
nar ingin melakukannya...," sambil berkata demikian, Panji melesat menerkam
tubuh kekasihnya. Sehingga,
keduanya jatuh di atas rerumputan.
Namun Kenanga sudah dapat meraba. Ia tahu ke-
kasihnya tidak bersungguh-sungguh. Sehingga mem-
biarkan saja perlakuan Panji terhadapnya. Bahkan,
malah menunjukkan sikap menantang.
"He, mengapa berhenti...?" tegur Kenanga terse-
nyum tanpa berusaha bangkit Karena Panji yang me-
rasakan tidak adanya perlawanan dari gadis jelita itu segera menghentikan
gerakannya. Panji memang sengaja hendak memancing sambu-
tan Kenanga. Pemuda itu tertawa keras dan bangkit
berdiri. Tubuh molek yang masih rebah telentang itu langsung disambarnya. Lalu,
dipondongnya dengan
kedua tangan. "Kau benar-benar membuat aku gemas, Kenanga.
Untung saja gemblengan batin yang diberikan guruku
cukup kuat. Kalau tidak, kau sudah ku lalap habis-habisan!" ujar Panji tertawa
sambil menciumi wajah jelita itu.
"Memangnya aku ayam panggang...," sahut Kenan-
ga tertawa kecil penuh kebahagiaan. Saat seperti itu mereka tidak berbeda dengan
orang lain. Kegarangan
serta perbawa mereka sedikit pun tidak terlihat. Yang tampak hanyalah dua anak
manusia berlainan jenis
yang tengah terbuai indahnya cinta.
"Sekarang mari kita temui Dana Ruksa. Kasihan.
Mungkin ia sudah tidak sabar mendengar hasil pembi-
caraan kita...," ujar Panji, tiba-tiba teringat bahwa ada orang yang tengah
menanti keputusan mereka. Tubuh
dara jelita dalam pondongannya itu diturunkan. Mere-ka pun melangkah perlahan
menuju tempat semula, di
mana Dana Ruksa menunggu dengan sabar.
"Kalau sudah selesai dengan persoalanmu, cepatlah
datang menemuiku di kadipaten, Kakang...," ujar Ke-
nanga dengan tangan yang tak lepas dari jemari kekasihnya.
"Secepatnya aku akan datang setelah segalanya da-
pat kuselesaikan," janji Panji mantap.
"Di sana kita akan meminta paman dan bibi un-
tuk...," Kenanga tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia tersenyum malu-malu
mengerling ke arah Panji.
"Untuk apa...?" tanya Panji berpaling ketika Kenan-
ga tidak menyelesaikan ucapannya.
"Untuk mengawiniku...," jawab Kenanga yang kali
ini menatap wajah kekasihnya penuh harap.
"Kalau hanya untuk itu mengapa harus jauh- jauh
ke Kadipaten Tumapel...?" tukas Panji tersenyum
membuat Kenanga menaikkan sebelah alisnya yang
tebal dan indah. Sepasang mata beningnya menatap
Panji tak mengerti.
"Maksud Kakang bagaimana...?" tanya Kenanga in-
gin tahu. Ia menduga kekasihnya telah mempunyai
rencana lain. Gadis itu menunggu dengan hati berde-
bar. "Maksudku, kalau hanya sekadar mengawinimu se-
karang pun bisa kulakukan...," sahut Panji yang tentu saja menggoda kekasihnya.
"Iiih.... Kakang jorok...," sergah Kenanga menger-
nyit, tapi mata dan wajahnya jelas memancarkan ke-
bahagiaan. "Mmm.... Barusan kau memaksaku sampai nangis-
nangis. Kok sekarang malah mengatakan aku jorok?"
kilah Panji tertawa kecil.
"Biarin! Itu kan tadi! Tapi sekarang..., nggak janji
deh!" bantah Kenanga tak mau kalah, membuat tawa
Panji berkepanjangan.
Sementara beberapa belas tombak di depan pasan-
gan pendekar muda yang tengah bercanda itu, Dana
Ruksa mengawasi dengan bibir tersenyum. Nampak-
nya, ia ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar
pada wajah mereka. Dana Ruksa bergegas menyambut
sambil menuntun kudanya, saat pasangan pendekar
muda itu semakin dekat.
"Kami sudah mengambil keputusan bersama, Dana
Ruksa. Berhubung aku masih harus menyelesaikan
suatu masalah besar, biarlah nanti aku menyusul. Kau bersama Kenanga
berangkatlah lebih dulu ke kadipaten. Sampaikan salam dan maafku kepada paman
dan bibi Kenanga," Panji segera menjelaskan keputusan
yang telah diambilnya bersama Kenanga.
"Begitu pun baik, Panji. Kami akan menunggu keda-
tanganmu...," ujar Dana Ruksa menyetujui usul Panji.
"Kalau begitu, marilah kita segera berangkat...," tukas Kenanga melepaskan
jemari tangan Panji dari
genggamannya. Ditatapnya wajah tampan kekasihnya
untuk beberapa saat, "Susullah aku secepatnya, Ka-
kang...," pinta dara jelita itu memandang penuh kerin-duan. Padahal, mereka
belum lagi berpisah.
"Segera aku akan menyusulmu untuk...," Panji ti-
dak melanjutkan kalimatnya, la mengedipkan sebelah
matanya kepada dara jelita itu.
Kenanga hanya mencibirkan bibir. Gadis itu melesat
menyusul Dana Ruksa yang menjalankan kudanya
dengan perlahan. Panji tetap diam di tempatnya menatap sosok gadis pujaannya
yang semakin jauh dan sa-
mar. Kemudian lenyap di kejauhan.
Setelah bayangan kedua orang itu lenyap dari batas
pandangan mata, Panji menghela napas panjang dan
berat. Tiba-tiba ia merasa sepi sekali. Kepergian Ke-
nanga seolah telah membawa sebagian dari semangat-
nya. Alam sekitar yang semula indah dipandang kini
terasa gersang dan tandus. Saat itu ia baru menyadari betapa cintanya sangat
besar terhadap dara jelita itu.
"Tunggulah, Kenanga. Aku akan segera menyusul-
mu...," janji Panji pada diri sendiri. Kemudian berbalik dan melangkah perlahan
meninggalkan tempat itu.
*** Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai taraf sempurna, Panji melakukan perjalanan menuju Bukit Ular Emas.
Tempat itu diduganya akan
menjadi ajang pertumpahan darah. Karena berita yang telah tersebar luas di
kalangan persilatan, sudah pasti akan membuat bukit yang biasanya tidak pernah
diin-jak manusia itu akan dibanjiri tokoh-tokoh rimba persilatan. Hal itulah
yang ingin dicegahnya, meski ia belum tahu dengan cara bagaimana.
Saat itu hari baru menjelang sore. Panji yang semu-
la menempuh perjalanan dengan mengandalkan kece-
patan larinya kini mengurangi kecepatan gerak tubuhnya. Sepasang matanya
menyorot tajam ke depan. Ke-
ningnya berkerut ketika semakin melihat jelas benda-benda yang berserakan di
tepi sebuah hutan. Sesaat
kemudian, pemuda itu tampak terkejut.
"Hm.... Rupanya korban sudah mulai berjatuhan"
Siapa yang melakukan kekejaman ini...?" gumam Panji berdiri tegak memperhatikan
delapan sosok mayat
yang bergeletakan.
Kendati sudah menduga mayat-mayat itu adalah
kaum rimba persilatan yang hendak menuju Bukit
Ular Emas, Panji ingin tahu lebih jelas siapa dan dari mana orang-orang yang
menjadi korban pertama dari
berita celaka itu.
Setelah memperhatikan delapan sosok mayat itu sa-
tu persatu, Panji menemukan sesuatu yang cukup
mengejutkan. Ia dapat mengenali kalau mayat-mayat
itu berasal dari Perguruan Bangau Putih.
"Gila! Pendekar Bangau Sakti tentu tidak akan ting-
gal diam bila sampai mengetahui kejadian ini.
Ini pasti perbuatan tokoh-tokoh golongan hitam.
Mereka mungkin hendak membuat suasana menjadi
rusuh dan panas...," gumam Panji khawatir jika ke-
murkaan Pendekar Bangau Sakti akan membuat Bukit
Ular Emas menjadi kubangan darah.
Kekhawatiran Panji memang beralasan. Siapa tokoh
yang tidak mengenal Pendekar Bangau Sakti. Ketua
perguruan yang terkenal berwatak keras dan beringa-
san itu cukup disegani oleh kawan dan ditakuti lawan.
Kematian murid-muridnya tentu akan membuat pen-
dekar itu marah besar. Dan akan melabrak siapa saja tanpa pandang bulu. Kendati
dari golongan sendiri.
Sudah pasti kalau pendekar itu sampai mengetahui
tentang kematian murid-muridnya, ia akan membuat
gaduh di Bukit Ular Emas. Dan bisa jadi melabrak
penghuni bukit itu tanpa banyak bicara lagi. Sepak-
terjang ketua perguruan itulah yang dikhawatirkan
Panji. "Hm.... Tapi bisa saja semua ini perbuatan tokoh
segolongan yang tidak ingin mendapat banyak saingan.
Jika benar demikian, besar kemungkinan perjalanan
tokoh-tokoh persilatan yang lain pun dibayangi bahaya maut. Kalau sudah begini,
sulit aku mengatasinya...,"
gumam Panji bergerak bangkit dan bermaksud men-
guburkan mayat-mayat itu.
"Pendekar Naga Putih..."!"
Panji yang baru saja membuat sebuah lubang besar
dan telah menurunkan dua dari delapan mayat itu
menoleh terkejut ke arah asal suara. Dari nada sua-
ranya Panji tahu ia akan terlibat dalam kesulitan. Tapi,
Panji berusaha tetap tenang. Meskipun tiga sosok tubuh yang tengah
menghampirinya menyaksikan per-
buatannya. "Apa yang kau lakukan, Pendekar Naga Putih...?"
tegur salah satu dari ketiga lelaki gagah itu curiga.
Bahkan, keningnya berkerut menuntut jawaban.
"Aku hendak memakamkan mereka dengan
layak...," sahut Panji dengan perasaan yang mulai tidak enak. Ia sadar ketiga
tokoh itu menaruh curiga
terhadap dirinya.
"Hei, lihat baik-baik, Kakang Baswara! Bukankah
mereka murid-murid Perguruan Bangau Putih..."!"
orang kedua yang berkening lebar berseru kaget Ru-
panya, ia mengenali ciri-ciri enam sosok mayat yang belum sempat diturunkan


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panji ke dalam lubang.
"Benar! Mereka adalah murid-murid Pendekar Ban-
gau Sakti!" seru lelaki ketiga yang tubuhnya tinggi kurus dan kelihatan seperti
orang penyakitan. Sepasang matanya yang semula redup terbelalak lebar. Jelas, ia
pun terkejut ketika mengetahui siapa mayat-mayat itu.
Orang pertama yang bernama Baswara bergegas
meneliti enam sosok mayat di dekat kakinya.
Kemudian ganti menatap Panji dengan sinar mata
minta penjelasan. Kelihatannya, ia semakin bertambah curiga terhadap Panji.
"Siapa yang telah berani membunuh mereka, Pen-
dekar Naga Putih...?" tanya Baswara mengamati wajah Panji. Seolah ia ingin tahu
apakah wajah tampan itu akan menggambarkan dusta sewaktu menjawab pertanyaannya.
"Aku tidak tahu, Baswara. Kalau saja aku sempat
menyaksikannya, tentu tidak akan kubiarkan pembu-
nuh itu pergi dari hadapanku dalam keadaan sela-
mat...," sahut Panji sejujurnya seraya menentang pandang mata lelaki botak
berwajah berewok itu. Sehing-
ga, Baswara memalingkan pandangannya. Tak sang-
gup melawan tatapan tajam penuh perbawa dari seo-
rang pendekar yang memiliki tingkat kedigdayaan ting-gi. "Hm...." Baswara
bergumam pelan. Kemudian ber-
paling ke arah kawan-kawannya. Dan saling bertukar
pandang sesaat. Lalu, kembali menatap Panji.
Baswara dan dua orang kawannya bukanlah orang-
orang sembarangan. Panji tahu siapa mereka. Ketiga
lelaki gagah itu mendapat julukan Tiga Harimau Besi.
Nama ketiganya telah bergaung menggetarkan rimba
persilatan. Jarang ada orang yang berani mencari per-kara dengan tiga tokoh itu.
Bahkan, di kalangan go-
longan hitam nama Tiga Harimau Besi sanggup mem-
buat para perampok tunggang-langgang bila berjumpa
dengan ketiga tokoh itu. Nampaknya, mereka pun ter-
tarik dengan kabar yang tersebar di kalangan persilatan. Dan kini mereka telah
ada di hadapan Panji.
"Jadi, maksudmu kau menemukan mereka dalam
keadaan sudah tidak bernyawa, begitu...?" Baswara
kembali bertanya menegasi setelah terdiam agak lama.
"Tepatnya memang begitu...," sahut Panji berpura-
pura bodoh. Meski ia sadar Baswara telah nyata-nyata menunjukkan sikap curiga.
"Hm.... Aku tidak percaya, Kakang!" tiba-tiba lelaki yang bertubuh kurus dengan
wajah pucat dan mata
sayu menukas tajam. "Kalau benar demikian, mengapa
harus susah-susah menguburkan mayat mereka" Ten-
tu maksudnya hendak menghilangkan jejak. Agar per-
buatannya tidak diketahui orang lain...,"
Tajam benar tuduhan yang dilontarkan orang ketiga
dari Tiga Harimau Besi. Panji pun sampai menarik napas panjang untuk menekan
gemuruh dalam dadanya.
Tuduhan itu jelas tanpa dasar yang kuat Dan merupa-
kan fitnah keji yang bisa menyulitkan Panji di kemu-
dian hari. "Jiranta," ucap Panji yang memang sudah mengenal
nama maupun julukan ketiga tokoh itu. "Untuk apa
aku membunuh mereka" Sedangkan di antara aku dan
orang-orang Perguruan Bangau Putih tidak ada per-
musuhan. Jelas tuduhan itu tidak berdasar. Seharus-
nya kau sadar kalau tuduhan itu bisa menjadi perpe-
cahan di antara sesama golongan.
Tenang sekali Panji berkata mengingatkan tokoh
itu. Sehingga, wajah kurus Jiranta menjadi kemera-
han. Rupanya, ia merasa tersinggung dengan jawaban
Panji. Panji sendiri tetap tenang dan siap menghadapi segala kemungkinan yang
bisa terjadi. *** 4 Jiranta, Baswara, dan Kunda Lawing menatap Panji
dengan pandangan tak senang. Kemudian, Baswara
orang tertua dari Tiga Harimau Besi, melangkah beberapa tindak mendekati Panji.
"Pendekar Naga Putih...," ujar Baswara. Ditatapnya
wajah pendekar muda di depannya lekat-lekat "Kepen-
tingan apa yang membuatmu berada di tempat ini?"
tanya Baswara dengan sikap yang tidak enak dilihat.
Mendengar pertanyaan itu, Panji malah tersenyum.
Seolah pemuda itu menganggapnya sebagai sesuatu
yang lucu. Panji melangkah menjauhi lubang kubur
yang dibuatnya.
"Baswara," sahut Panji dengan tersenyum sabar.
"Adakah larangan bagi seseorang untuk berada di
tempat ini" Ataukah kalian bertiga telah sedemikian kaya dan membeli seluruh
tanah di hutan ini" Jika
memang demikian, tentu wajar kalian marah kepadaku
yang telah melanggar tempat ini tanpa seizin kalian bertiga. Biarlah sekarang
juga aku meminta maaf kepada Tiga Harimau Besi yang gagah perkasa dan ber-
hati bijak...," lanjut Panji. Perkataannya jelas menunjukkan pemuda itu merasa
tersinggung dengan sikap
dan pertanyaan-pertanyaan Tiga Harimau Besi.
"Hm.... Jangan main-main, Pendekar Naga Putih!
Kendati nama besarmu menjulang tinggi menggetarkan
rimba persilatan, tapi kami Tiga Harimau Besi sedikit pun tidak merasa gentar.
Kami tidak segan-segan untuk bertindak kasar kepadamu!" Baswara menyahuti
gusar. Wajahnya dijalari warna merah. Kelihatan sekali lelaki berewok itu tengah
menahan kegeraman hatinya.
"Tiga Harimau Besi, dengarlah baik-baik," tiba-tiba Panji merubah sikapnya.
Kalau tadi ia masih tersenyum dan menjawab sekenanya, kini tidak lagi. Wa-
jahnya mengeras. Sepasang matanya menyorot tajam
merayapi wajah ketiga tokoh itu dengan penuh perba-
wa. "Sebenarnya apa yang kalian kehendaki dari diri-ku" Jawablah, dan jangan
berbelit-belit!" lanjut Panji mengejutkan Tiga Harimau Besi.
Perubahan sikap Panji memang terasa sekali. Mere-
ka tergetar juga melihat kuatnya perbawa yang menyelimuti sosok pemuda tampan
berjubah putih itu. Se-
hingga, tanpa sadar Baswara yang berada paling dekat dengan pemuda itu bergerak
mundur. Bahkan, wajahnya terlihat agak pucat. Terasa benar betapa hebatnya
pengaruh sosok Panji.
"Kau tidak melihat pembunuh murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih karena mereka semua tewas di
tanganmu, Pendekar Naga Putih! Dan aku yakin kau
pun mempunyai tujuan yang sama dengan mereka.
Bukit Ular Emas! Nah, salahkah dugaanku?" kali ini
yang menyahuti Jiranta. Lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu kelihatan paling
kuat melemparkan tuduhan
kepada Panji. Kini kembali menyerang Panji dengan
kata-kata tajam dan jelas-jelas merupakan tuduhan
berat. "Hm.... Dugaanmu yang pertama kujawab sejujur-
nya bahwa itu tidak benar, Jiranta. Tujuanku memang benar hendak ke Bukit Ular
Emas. Lalu, apakah ada
larangan bagiku untuk pergi ke Bukit Ular Emas?" tukas Panji tegas dan penuh
perbawa. Pemuda itu men-
ganggap Tiga Harimau Besi bukan lagi sekadar curiga.
Mereka terang-terangan menuduhnya sebagai pembu-
nuh murid-murid Perguruan Bangau Putih. Jelas, ka-
lau sampai tersebar di luaran Panji akan menghadapi kesulitan.
"Tidak salah lagi! Maksudmu mendatangi Bukit Ular
Emas tentu mempunyai satu kepentingan, bukan?"
Kunda Lawing, orang termuda dari Tiga Harimau Besi
ikut menimpali. Sama seperti kedua saudaranya, ia
pun menuduh Panji sebagai pelaku pembunuhan itu.
"Tiga Harimau Besi! Bukan hanya kalian saja yang
berhak datang ke Bukit Ular Emas, dan berniat memi-
liki Rase Perak yang mukjizat itu! Aku pun memiliki hak yang sama dengan kalian
bertiga. Bedanya, aku
tidak berniat untuk memiliki Rase Perak. Bukan tidak memerlukannya. Tapi aku
bukanlah manusia-manusia
tamak yang haus akan kekuatan. Selamat tinggal...!"
Setelah berkata demikian, yang membuat Tiga Ha-
rimau Besi tertegun, Panji melesat meninggalkan tempat itu. Karena menurutnya
tidak ada gunanya mela-
deni orang-orang yang tengah dipengaruhi rasa curiga dan iri. Panji tidak
menyalahkan ketiga lelaki gagah itu kalau mereka merasa iri pada dirinya.
Kemunculan Panji memang telah membuat nama besar Tiga Hari-
mau Besi tergeser, dan hampir tidak pernah disebut-
sebut orang lagi. Sebagai manusia biasa, wajar saja kalau mereka merasa iri.
Tapi, Tiga Harimau Besi tidak mau membiarkan
Panji pergi begitu saja dari hadapan mereka. Cepat bagai kilat ketiganya
melesat. Maksudnya, untuk mencegah kepergian Panji!
"Berhenti...!"
Baswara yang melejit paling depan segera mengelu-
arkan bentakan keras disertai pengerahan tenaga da-
lam. Sehingga, gema suaranya menggeletar ke segenap pelosok hutan. Dari sini
dapat dilihat betapa hebat tenaga dalam Baswara.
Panji rupanya tidak mau lagi meladeni mereka. Pe-
muda itu terus melesat tanpa mempedulikan peringa-
tan Baswara. Sehingga, tokoh pertama dari Tiga Harimau Besi itu kian bertambah
gusar. Hingga...
"Haaat..!"
Baswara membentak keras. Kemudian, melepaskan
pukulan jarak jauh dengan kedua tangannya bergan-
tian. Lelaki berewok itu melakukannya tanpa meng-
hentikan pengejaran.
Whusss...! Angin keras menderu mengancam tubuh bagian be-
lakang Pendekar Naga Putih. Tampaknya, Baswara ti-
dak main-main lagi. Ia memang hendak mencelakakan
pendekar muda itu. Tapi....
Duarrr...! Panji yang tentu saja sadar akan datangnya bahaya
bergegas melambung ke udara menghindarinya. Aki-
batnya, semak belukar di depan pemuda itu berham-
buran disertai ledakan keras yang menggetarkan tanah di sekitarnya. Sedangkan
tubuh Panji yang menjadi
sasaran meluncur turun beberapa tombak dari semak
belukar yang malang itu. Kemudian, kembali melesat
tanpa mempedulikan Tiga Harimau Besi yang semakin
bertambah dekat.
"Yeaaa...!"
Untuk kesekian kalinya Baswara memperdengarkan
bentakan mengguntur. Kedua tangannya bergerak su-
sul-menyusul melepaskan pukulan-pukulan jarak
jauh. "Haiiit...!"
Dan kembali pula Pendekar Naga Putih meluncur ke
udara. Tapi, kali ini keselamatan Panji tidak bisa dija-min. Saat tubuhnya
berputaran di udara terdengar suara angin keras susul-menyusul mengancam tubuh-
nya. "Gila...! Mereka benar-benar tidak main-main..."!"
gumam Panji yang tahu betul kalau pukulan jarak
jauh itu dapat membunuh lawan. Meski belum tentu
dapat membuatnya terluka. Maka....
"Haaahhh...!"
Sadar bahwa perbuatan Tiga Harimau Besi tidak bi-
sa didiamkan terus-menerus, Panji pun mengambil
tindakan. Tubuhnya berputar seiring dengan benta-
kannya yang mengguntur. Kemudian, dengan menge-
rahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang mukjizat,
Panji mengibaskan lengan kanannya menyambut se-
rangan itu. Dan....
Bresh...! Tidak tanggung-tanggung lagi, Panji mengerahkan
sepertiga bagian dari kekuatannya untuk menyambut
serangan jarak jauh itu. Karena selain penyerangnya bukan orang sembarangan,
pukulan jarak jauh itu dilakukan Jiranta dan Kunda Lawing secara serempak.
Sehingga, kehebatannya tidak bisa diragukan lagi.
Kedahsyatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' kembali
menunjukkan keunggulannya. Tubuh Jiranta dan
Kunda Lawing terjajar mundur. Mereka tampak tidak
terlalu kaget. Kehebatan Pendekar Naga Putih memang telah lama terdengar di
telinga mereka.
Tapi, kenyataan yang dialami Panji cukup menge-
jutkan! Benturan tadi membuat lengannya tergetar. Itu merupakan tanda bahwa
tenaga dalam lawan memang
tidak bisa dibilang rendah. Panji pun cukup maklum.
Nama besar Tiga Harimau Besi memang telah tersebar.
Dan kehebatan tenaga dalam mereka membuat Panji
tertarik. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja ia tidak ingin melewatkan
kesempatan itu. Keputusan yang diambilnya, membuat Panji tidak lagi berniat
melarikan diri. Pemuda itu berdiri tegak menunggu Tiga Harimau Besi tiba.
"Kabar tentang dirimu ternyata bukan sekadar bua-
lan saja, Pendekar Naga Putih! Sayang, tanganmu terlalu ringan untuk mencelakai
murid-murid Perguruan
Bangau Putih. Untuk itu, kau harus menanggung aki-
batnya...," Kunda Lawing yang merasa penasaran ber-
kata memuji sekaligus menekankan kembali tuduhan-
nya. 'Terima kasih atas pujianmu, Kunda Lawing.
Sayangnya aku sama sekali tidak melakukan perbua-
tan yang kau tuduhkan itu. Mau percaya atau tidak,
itu terserah kepada kalian...," tegas Panji seraya menatap tajam Kunda Lawing.
Panji benar-benar menyayangkan tindakan orang-
orang gagah itu yang main tuduh tanpa mau menden-
gar penjelasannya. Rupanya, kebaikan Panji yang hendak menguburkan mayat-mayat
murid Perguruan
Bangau Putih telah ditafsirkan lain oleh ketiga tokoh itu. "Kami tetap belum
bisa percaya! Bukti-bukti telah jelas menunjukkan bahwa kaulah pelaku pembunuhan
itu...." Baswara menimpali bantahan Panji.
"Sudah kubilang terserah kepada kalian. Mau per-
caya atau tidak, yang jelas aku bukanlah pembu-
nuh...," bantah Panji lagi, tetap tidak bergeming dari pendiriannya. Karena ia
memang tidak melakukan apa
yang dituduhkan mereka.
"Hm...."
Baswara bergumam tak peduli. Kemudian bergerak
maju dari sebelah depan. Kelihatannya, pertarungan
memang tidak bisa dihindarkan lagi. Baswara telah
mempersiapkan jurusnya untuk menggempur Pende-
kar Naga Putih.
Jiranta dan Kunda Lawing bergerak dari kiri dan
kanan mengurung Pendekar Naga Putih. Mereka pun
telah membuka jurus andalannya masing- masing. Ka-


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rena sadar bahwa lawan yang kini mereka hadapi bu-
kanlah orang sembarangan. Mereka berdua telah me-
rasakan betapa hebatnya tenaga dalam pendekar mu-
da itu. "Jangan kau anggap kami pengecut kalau harus
melakukan keroyokan terhadapmu, Pendekar Naga Pu-
tih. Kami bertiga memang selalu bersama dalam
menghadapi setiap pertarungan. Bagi kami, satu atau pun seribu orang sama saja.
Kami tetap maju bersama-sama...," ujar Baswara yang kelihatannya agak risih
untuk mengeroyok pendekar muda yang pantas
menjadi putranya itu. Tapi, karena ia terbiasa bertarung bertiga, maka Baswara
pun mengusir rasa tidak
enak itu. Dan siap melancarkan serangan.
Panji menggeser langkahnya saat ketiga lawannya
serentak bergerak maju dari tiga jurusan. Sadar kalau lawan yang dihadapinya
merupakan tokoh- tokoh tingkat tinggi, Panji langsung membuka jurus 'Ilmu Silat
Naga Sakti' yang menjadi andalannya.
"Heaaat..!"
Baswara membuka serangan dengan sebuah teria-
kan keras. Tubuh lelaki kekar itu meluncur dengan
disertai sambaran angin keras berkesiutan. Tampak-
nya, Baswara tidak ingin berlama-lama. Dalam seran-
gan pertama, ia telah menggunakan hampir seluruh
tenaganya. Hal itu dapat ditebak Panji dari sambaran angin pukulan yang menderu
tajam. "Yeaaat...!"
Sebelum serangan Baswara tiba, Jiranta sudah me-
luncur dengan cakar-cakar mautnya. Serangannya ti-
dak kalah hebat dengan Baswara. Bahkan, dari angin
pukulannya Panji tahu Jiranta memiliki ilmu tenaga
dalam yang lebih tinggi dari dua saudaranya.
Bettt, bettt! Sepasang tangan kurus itu datang susul-menyusul
disertai sambaran angin mencicit tajam. Rupanya, Jiranta pun ingin segera
merobohkan Panji. Ia telah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Kunda Lawing pun tidak mau ketinggalan. Dibaren-
gi lengkingan panjang menggetarkan jantung tubuh lelaki berkening lebar itu
meluruk maju. Gaya seran-
gannya tampak agak kaku dan lebih lambat. Tapi, ju-
stru Panji melihat betapa serangan Kunda Lawing-lah yang paling berbahaya.
Gerakan sepasang lengan tokoh ketiga dari Tiga Harimau Besi itu lebih rumit dan
banyak perubahan yang mengejutkan! Sehingga, Panji
lebih memperhitungkan serangan Kunda Lawing dari-
pada Baswara maupun Jiranta.
"Haiiit...!"
Panji berkelit saat serangan Baswara mengancam
tubuhnya. Sehingga, tiga buah serangan beruntun
yang dilancarkan lelaki berewok itu kandas tanpa hasil. Bahkan, Panji langsung
membalas dengan dua
buah tamparan yang cepat bukan main.
Bwettt, bwettt..!
Sayang, serangan balasan Panji menemui kegaga-
lan. Baswara sudah bergerak mundur ketika serangan
pertamanya gagal. Dan Jiranta-lah yang menggantikan tempatnya. Lelaki tinggi
kurus berwajah pucat itu
mengirimkan cakaran-cakaran maut yang bercuitan
tajam. "Haaah...!"
Kali ini Panji tidak berusaha mengelak. Disambut-
nya serangan Jiranta dengan dua kali tamparan keras.
Sehingga, benturan pun tidak bisa dihindarkan lagi!
Plakkk, plakkk!
"Aaah...!"
Tangkisan Panji membuat Jiranta terjajar mundur.
Sepasang mata sayu itu sedikit terbelalak. Nampak-
nya, Jiranta terlalu yakin akan kekuatan tenaganya.
Sehingga ketika merasakan lengannya tergetar keras
dan kuda-kudanya tergempur mundur, ia tidak bisa
menerima begitu saja.
Semula Panji berniat menyusuli tangkisannya den-
gan sambaran cakar naga yang memang telah diper-
siapkannya sejak tadi. Tapi, niat itu segera ditunda ketika melihat serangan
Kunda Lawing datang. Cepat
Panji berkelit dan mengimbangi serangan yang datang beruntun itu.
Bwettt, bwettt!
Apa yang diduga Panji tentang kehebatan gerak
Kunda Lawing memang tidak berlebihan. Kendati dua
buah serangan pertama lelaki berkening lebar itu dapat dielakkannya, serangan
itu malah berubah arah!
Kali ini dengan gerak menyamping membentuk baco-
kan-bacokan. Bahkan, sepasang lengan itu mampu
menggunakan tenaga tangkisan lawan untuk kembali
menyerang. Kenyataan itu membuat Panji merasa ka-
gum bukan main kepada orang ketiga dari Tiga Hari-
mau Besi. "Hebat...!" puji Panji seraya mengelakkan dua buah
serangan lawan. Kemudian, melancarkan serangkaian
serangan balasan yang membuat Kunda Lawing kela-
bakan. "Aiiih..."!
" Whuttt..!
Kunda Lawing mencoba menepis cengkeraman Pen-
dekar Naga Putih dengan bacokan lengan. Namun,
tangan itu telah bergerak setengah lingkaran ke dalam.
Dan langsung mengincar dada lawan. Karuan saja
Kunda Lawing kaget bukan main!
Tapi, nasib baik masih menyertai Kunda Lawing.
Saat dirinya terancam bahaya, Baswara dan Jiranta
datang membantu. Sehingga, lelaki berkening lebar itu dapat menarik napas lega.
Meski keningnya dibasahi
titik-titik keringat Dan wajahnya terlihat agak pucat. Ia nyaris celaka di
tangan Pendekar Naga Putih.
Pertarungan berjalan semakin seru. Tiga Harimau
Besi yang ternyata memiliki kerja sama yang sangat
baik, sempat membuat Panji berkali-kali mengeluarkan pujian. Ketiga lawannya
dapat saling melindungi dengan baik. Sehingga, kesempatan menyerang bagi Panji
mereka tutup sebaik-baiknya.
"Hattt...!"
Setelah lewat enam puluh jurus, tiba-tiba Pendekar
Naga Putih mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'! Tu-
buhnya melambung ke udara secepat sambaran kilat.
Dari atas Panji membagi-bagikan serangannya.
Whuttt, whuttt!
Kali ini mata Tiga Harimau Besi benar-benar dibuka
lebar-lebar! Kecepatan yang diperlihatkan Pendekar
Naga Putih membuat pandangan mereka menjadi ka-
bur. Dan sulit untuk menangkap ke mana arah seran-
gan yang diincar lawan. Sergapan hawa dingin yang
memenuhi arena pertarungan membuat ketiga orang
itu gelagapan, hingga gerak mereka terhambat.
"Celaka..."!" desis Baswara menyadari bahaya yang
mengancam. "Kurang ajar..."!" lain halnya dengan Jiranta. Lelaki kurus itu mengeluarkan
sumpah serapah. Ia benar-
benar tidak berdaya menghadapi balutan hawa dingin
menggigit tulang. Dan....
Bukkk, desss...!
Tanpa, dapat dicegah lagi, dua buah pukulan yang
dilancarkan Pendekar Naga Putih telak mengenai sasaran. Tubuh Baswara dan
Jiranta terlempar dari arena pertarungan.
Kerasnya pukulan yang mengenai tubuh mereka
membuat kedua tokoh itu terjerembab ke tanah. Darah segar termuntah dari mulut
mereka. Agaknya, pukulan itu telah mendatangkan luka dalam.
"Bangsat...!"
Kunda Lawing marah besar melihat dua saudaranya
dirobohkan Pendekar Naga Putih. Dengan kemarahan
yang menggelegak, lelaki berkening lebar itu mendesak maju dengan mengerahkan
seluruh tenaga dan kece-patannya. Tapi....
"Yeaaah...!"
Mempergunakan kelitan manis, tubuh Pendekar
Naga Putih berputar melingkar menghindari dua puku-
lan yang mengancam kepala dan dadanya. Dan lang-
sung mengirimkan tendangan kilat ke tubuh Kunda
Lawing yang doyong ke depan.
Desss...! "Huakh...!"
Darah segar langsung termuntah keluar dari mulut
Kunda Lawing. Tubuh lelaki itu terpental ke belakang sejauh satu setengah
tombak. Untunglah pada saat terakhir telapak kakinya menyentuh tubuh lawan,
Panji telah mengurangi tenaga tendangannya. Kalau tidak,
bukan mustahil Kunda Lawing seketika akan menemui
ajalnya. Tapi, bukan itu maksud Panji meladeni mere-ka. Kunda Lawing terbanting
jatuh dan tak sadarkan
diri setelah kembali memuntahkan darah segar. Ke-
nyataan itu sangat mengejutkan Baswara dan Jiranta.
Mereka menatap penuh dendam kepada Pendekar
Bangau Sakti. Panji yang sadar semua ini akan terus berkelanju-
tan segera membalikkan tubuh. Sebelumnya ia berpa-
mitan dan meminta maaf.
"Aku tidak ingin melanjutkan perkelahian tak ber-
guna ini. Cukuplah pelajaran yang telah kalian berikan padaku. Untuk itu aku
minta maaf. Sekali lagi kukatakan aku bukanlah pembunuh murid-murid Perguruan
Bangau Putih. Nah, selamat tinggal...."
*** Baswara dan Jiranta hanya bisa menggeram mena-
tap kepergian Pendekar Naga Putih. Mereka tidak
mungkin dapat mengejar pemuda itu. Keadaan tubuh
mereka tidak mengizinkan.
Tapi, belum lagi tubuh Panji bergerak jauh, menda-
dak berkelebat sesosok bayangan. Terdengar seruan-
nya yang mengguntur mencegah kepergian Pendekar
Naga Putih. "Pendekar Naga Putih, tunggu...!"
Seiring dengan suara seruannya, sosok bayangan
itu berputaran di udara. Kemudian meluncur turun
satu tombak di hadapan Pendekar Naga Putih. Melihat sosok bayangan itu sanggup
mengejar Panji, dapat ditebak betapa hebat ilmu lari cepat sosok bayangan itu.
"Perlahan sedikit, Pendekar Naga Putih...!" ujar sosok tinggi besar itu, berdiri
tegak menghadang jalan.
Sepasang matanya menatap tajam sosok Pendekar Na-
ga Putih di depannya.
Panji bergegas menghentikan langkah. Ditatapnya
sosok di hadapannya dengan penuh selidik. Kening
pemuda itu berkerut berusaha mengenali sosok tinggi besar itu.
"Pertapa Goa Kelelawar..."!" desis Panji terkejut ketika mengenali siapa sosok
tinggi besar yang berdiri menghadang jalan.
"Benar. Aku adalah Pertapa Goa Kelelawar...," sahut sosok tinggi besar yang
berusia sekitar enam puluh li-ma tahun.
Kendati usianya terbilang tua, namun air muka Per-
tapa Goa Kelelawar tampak segar kemerahan. Sepa-
sang matanya demikian bening. Seolah Panji melihat
lautan yang tidak berdasar dalam bola mata tokoh
tingkat tinggi itu. Perbawa yang terpancar dari wajah kakek itu pun demikian
kuat, membuat hati Panji bergetar.
"Maaf, kalau aku telah bersikap kurang hormat ke-
pada Eyang. Itu karena aku belum tahu siapa
Eyang...," ujar Panji seraya membungkuk hormat.
Nada suaranya terdengar demikian halus. Menun-
jukkan budi pekerti yang sopan.
"Hm...."
Pertapa Goa Kelelawar bergumam. Dan tersenyum
sambil mengelus jenggotnya yang menjuntai hingga ke dada. Kepalanya terangguk-
angguk merasa terkesan
dengan sikap santun pemuda tampan berjubah putih
itu. "Malaikat Petir benar-benar boleh berbangga hati melihat pewarisnya
demikian sopan dan perkasa.
Hhh.... Betapa aku merasa iri dengan gurumu, Pende-
kar Naga Putih...," ujar Pertapa Goa Kelelawar tersenyum arif. Sikapnya
mencerminkan hati yang bijak
dan penuh kasih. Gambaran seorang pertapa tulen terlihat jelas dalam sosok kakek
itu. 'Terima kasih atas pujian Eyang. Kalau boleh aku
bertanya, adakah sesuatu yang Eyang perlukan dari-
ku...?" tanya Panji yang semakin tunduk melihat sikap kakek itu demikian bijak
dan mencerminkan sikap pe-
nuh kasih. 'Tidak ada sesuatu yang penting, Pendekar Naga Pu-
tih. Aku hanya merasa heran melihat kau bertarung
dengan Tiga Harimau Besi. Persoalan apa yang mem-
buat kalian saling adu otot?" ujar Pertapa Goa Kelelawar. Tidak terlihat
gambaran rasa curiga atau tidak suka pada wajahnya. Malah, kakek itu terkesan
menaruh kekaguman yang dalam kepada Panji. Dan perta-
nyaan itu demikian wajar tanpa kesan buruk.
Panji yang menyadari Pertapa Goa Kelelawar hanya
sekadar ingin tahu menghela napas panjang. Ditatap-
nya sosok kakek itu dengan sorot mata penuh hormat
dan segan. Kemudian, diceritakannya persoalannya
dengan singkat dan jelas.
"Demikianlah, Eyang. Mereka tetap menuduhku se-
bagai pembunuhnya...," Panji menutup ceritanya den-
gan wajah tenang. Kendati dari helaan nafasnya mem-
bersit perasaan sesal atas sikap dan tindakan Tiga Harimau Besi.
Di Sini Ada Iblis 2 Pendekar Latah Karya Liang Ie Shen Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 2 3
^