Pencarian

Rase Perak 2

Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak Bagian 2


Pertapa Goa Kelelawar terdiam sesaat. Pandangan-
nya dilemparkan ke arah dua orang dari Tiga Harimau Besi. Tidak sepatah pun
ucapan keluar dari mulutnya.
Sehingga, Panji agak gelisah menunggu ucapan kakek
itu. *** 5 Baswara dan Jiranta terlihat agak gelisah ketika ditatap tajam oleh Pertapa Goa
Kelelawar. Mereka tentu saja kenal betul siapa kakek bertubuh tinggi besar itu.
Kalau tokoh itu sampai berpihak kepada Pendekar Na-
ga Putih, celakalah mereka. Meski belum pernah melihat kakek itu bertarung,
namun kebesaran namanya
telah bergema ke pelosok-pelosok negeri. Baswara dan Jiranta sadar kalau Pertapa
Goa Kelelawar tidak bisa dibuat main-main.
"Sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi
kejujuran dan keadilan, aku ingin bertanya kepada kalian berdua. Apakah benar
yang barusan disampaikan
Pendekar Naga Putih kepadaku?" setelah beberapa
saat terdiam, pertanyaan itu pun meluncur dari mulut Pertapa Goa Kelelawar.
Mendengar ucapan kakek itu, Panji merasa lega.
Ucapan itu berarti Pertapa Goa Kelelawar tidak memihak kepada siapa pun dan
mengutamakan keadilan.
Sikap itu semakin membuat Panji kagum.
Tidak demikian halnya dengan Baswara dan Jiran-
ta. Orang pertama dan kedua dari Tiga Harimau Besi
itu kelihatan agak gelisah. Mereka memang tidak
mempunyai bukti yang kuat ketika menuduh Pendekar
Naga Putih. Sehingga, mereka mulai meragukan tudu-
hannya. "Pertapa Goa Kelelawar," ucap Baswara setelah
memutar otaknya mencari kata-kata yang tepat "Kami
melihat sendiri ia hendak menguburkan mayat-mayat
murid Perguruan Bangau Putih. Dan kami menduga ia
sengaja hendak menghilangkan jejak dari perbuatan-
nya...," lanjut Baswara tidak langsung menjawab pertanyaan Pertapa Goa
Kelelawar. "Hm.... Bukan itu yang kutanyakan kepada kalian"
Aku hanya bertanya tentang benar tidaknya cerita
Pendekar Naga Putih. Bukankah pertanyaan itu jelas
dan tidak sulit untuk menjawabnya?" kilah Pertapa
Goa Kelelawar yang tampaknya tidak menerima uca-
pan Baswara. Dan mengulang kembali pertanyaannya.
"Benar. Apa yang diceritakan Pendekar Naga Putih
memang tidak berlebihan." Akhirnya Baswara terpaksa menjawab, walau terasa
sangat berat "Bagus! Itu berarti kalian masih menjunjung tinggi
kegagahan dan kejujuran," tukas Pertapa Goa Kelela-
war tersenyum puas atas jawaban Baswara. Kemudian,
terdiam sesaat dan berpaling ke arah Panji. Dan, kembali menatap Baswara dan
Jiranta bergantian. Perta-
nyaannya kembali terlontar.
"Jadi, kalian bertiga menuduh secara paksa tanpa
mau mendengar penjelasan Pendekar Naga Putih?"
Baswara dan Jiranta saling bertatapan sesaat Ke-
duanya seperti tengah berembuk untuk menjawab per-
tanyaan itu. Dan Jiranta tetap menyerahkan jawaban-
nya kepada Baswara. Karena lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu tidak berani
menjawabnya. "Kami tetap menuduh Pendekar Naga Putih sebagai
pelaku pembunuhan itu!" tegas Baswara bersikeras.
Karena sudah telanjur basah. "Kalau kau hendak ber-
pihak kepada pendekar muda yang sombong itu, aku
sedikit pun tidak keberatan! Yang jelas, keputusan
kami tidak berubah!" tandas Baswara mengejutkan.
"Hm...."
Pertapa Goa Kelelawar pun bergumam sambil men-
gelus jenggot putihnya yang panjang. Sepasang ma-
tanya agak meredup. Sepertinya, kakek itu dapat menduga mengapa Baswara berkata
demikian. "Baswara," ujar Pertapa Goa Kelelawar dengan lem-
but penuh kearifan. "Aku tahu kau tidak berkata jujur.
Ketahuilah. Sebagai orang-orang yang menjunjung ke-
gagahan, tidak ada kata terlambat untuk mengakui
suatu kesalahan. Setiap manusia bisa berbuat khilaf.
Karena itu, sebaiknya kau pikirkanlah kembali uca-
panmu. Aku percaya Pendekar Naga Putih tidak
mungkin melakukan perbuatan tercela itu. Apa pun
alasannya!"
'Tapi dia melakukannya karena tidak ingin menda-
pat saingan untuk memperoleh Rase Perak! Itu sebab-
nya, Pendekar Naga Putih sampai berbuat sekeji itu!"
Jiranta rupanya tidak sabar juga untuk berdiam diri.
Sekali berbicara, ucapannya terdengar keras penuh ra-sa tidak suka. Bahkan,
nyata-nyata melemparkan tu-
duhannya kembali kepada Panji.
"Hm.... Mungkin benar Pendekar Naga Putih tengah
menuju Bukit Ular Emas, seperti tujuan banyak tokoh yang saat ini tengah
berlomba untuk mencapai tempat itu. Tapi, menurutku tidak semua tokoh datang
untuk mendapatkan Rase Perak. Tidak sedikit di antara mereka yang hanya ingin
membuktikan kebenaran
adanya Rase Perak. Salah satunya adalah aku. Dan
mungkin Pendekar Naga Putih pun mempunyai niat
sama denganku. Jadi, tuduhan kalian sama sekali ti-
dak berdasar!" tandas Pertapa Goa Kelelawar, kendati suaranya tetap lembut dan
tidak menyiratkan kemarahan.
"Pertapa Goa Kelelawar!" Baswara menimpali agak
keras. "Kalau kau memang hendak memihak Pendekar
Naga Putih, kami tidak merasa keberatan. Tapi, jangan coba-coba menyuruh kami
percaya dengan kebersihan
pendekar muda itu. Siapa tahu dalam hatinya tersim-
pan suatu niat busuk yang orang lain tidak tahu. Termasuk kita semua!"
"Hm.... Kelak aku akan membuktikan bahwa aku
bukanlah orang yang tamak dan buta hati. Untuk kali ini kalian boleh berpuas
hati dengan menuduhku se-maunya. Aku memang tidak mempunyai bukti atau
saksi yang dapat membuktikan bahwa aku bukan
pembunuh!" tak sabar Panji menyelak. Sikap kedua
orang itu dianggapnya sudah keterlaluan dan sangat
keras kepala. Pertapa Goa Kelelawar mengangkat kedua tangan-
nya ketika melihat Baswara dan Jiranta masih hendak membantah. Sehingga, kedua
belah pihak terdiam dan
tidak lagi mengeluarkan suara.
"Persoalan ini tidak akan pernah selesai jika kalian dikuasai amarah. Untuk itu,
biarlah ku putuskan.
Tentunya jika kalian masih sudi memandangku seba-
gai orang tua. Sebaiknya, kita tunda saja persoalan ini.
Siapa tahu waktu akan segera mengungkapkannya...."
Akhirnya Pertapa Goa Kelelawar memutuskan. Ia tidak melihat adanya sisi yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah itu.
Panji tampak tidak merasa keberatan dengan kepu-
tusan Pertapa Goa Kelelawar. Karena ia pun ingin
membuktikan bahwa pelaku pembunuhan itu bukan-
lah dirinya. Untuk itu, ia memerlukan waktu.
"Baiklah. Kami bisa menerima keputusan itu. Tapi
kami tidak bisa menjamin kalau Pendekar Bangau
Sakti mencarimu, Pendekar Naga Putih!" ujar Baswara yang secara tidak langsung
telah mengancam Panji.
Panji hanya tersenyum mendengar ancaman Bas-
wara. Dan menatap kepergian Tiga Harimau Besi yang
membawa salah seorang rekannya, Kunda Lawing. To-
koh ketiga itu masih belum sadar dari pingsannya.
Pertapa Goa Kelelawar tidak berusaha mencegah-
nya. Sepertinya, kakek itu maklum kalau Tiga Hari-
mau Besi merasa malu untuk menarik kembali tudu-
hannya. Ia pun hanya bisa berharap agar sang Waktu
dapat melunakkan kekeraskepalaan ketiga tokoh itu.
*** "Bagaimana, Pendekar Naga Putih" Apakah kau
masih akan melanjutkan perjalananmu ke Bukit Ular
Emas?" tanya Pertapa Goa Kelelawar setelah kepergian Tiga Harimau Besi. Mereka
berdua masih belum beranjak dari tempat itu.
"Aku tetap akan menuju ke Bukit Ular Emas,
Eyang. Karena aku khawatir ada pihak ketiga yang
membuat kerusuhan di tempat itu," sahut Panji tidak mengubah rencananya.
"Jadi, kau tidak tertarik dengan kabar tentang Rase Perak yang langka itu?"
tanya Pertapa Goa Kelelawar meminta ketegasan.
Padahal, tadi Pertapa Goa Kelelawar menduga pe-
muda itu hendak ikut menyaksikan bagaimana rupa
Rase Perak. Tapi, dugaannya ternyata meleset Dan kakek itu semakin kagum akan
keluhuran budi Pendekar
Naga Putih. Maksud kedatangan pemuda itu ternyata
hanya untuk melihat suasana, agar tidak terjadi keri-butan yang menimbulkan
bencana bagi tokoh-tokoh
persilatan. "Tidak, Eyang. Meskipun kabarnya Rase Perak me-
rupakan binatang langka, tapi aku sedikit pun tidak tertarik untuk
memperebutkannya...," jawab Panji sejujurnya. Niatnya memang bukan tertuju pada
kabar tentang akan munculnya Rase Perak. Panji hanya ingin agar pertemuan itu tidak
menimbulkan pertumpahan
darah. "Hm.... Padahal binatang itu sangat langka. Sulit
sekali untuk mencari jejaknya. Kemunculannya sendiri hanya pada waktu-waktu
tertentu," gumam Pertapa
Goa Kelelawar yang rupanya tahu banyak tentang Rase Perak yang menghebohkan itu.
"Apakah binatang langka itu tidak ada yang meme-
liharanya, Eyang?" tanya Panji ingin tahu. Sebab, biasanya benda atau binatang
langka adalah peliharaan orang-orang sakti.
"Ada. Tokoh itu berjuluk Pendekar Rase Perak. Tapi, namanya sudah lama
menghilang dari dunia persilatan. Itu sebabnya aku merasa tertarik dan
meninggalkan tempat pertapaanku. Sebab, kalau benar Rase Pe-
rak yang menghebohkan itu binatang peliharaan saha-
batku, bisa lain persoalannya. Ia akan murka kalau
binatang kesayangannya itu diburu tokoh-tokoh persilatan. Binatang langka itu
telah berumur seratus tahun lebih. Selain darahnya dapat membuat tubuh kita
menjadi kebal terhadap segala jenis racun, juga bisa menambah kekuatan tenaga
dalam menjadi berlipat
ganda. Kabar tentang binatang itu telah mengheboh-
kan dunia persilatan!" jelas Pertapa Goa Kelelawar.
Kini Panji semakin mengerti tokoh-tokoh persilatan
seperti berlomba untuk mendapatkan binatang itu. Kiranya, demikian besar
khasiatnya. "Kalau begitu, siapa yang membawa kabar tentang
adanya binatang langka yang sangat berkhasiat itu,
Eyang?" tanya Panji kalau-kalau Pertapa Goa Kelela-
war mengetahui orang pertama yang membawa kabar
menghebohkan itu.
"Aku tidak tahu pasti, Pendekar Naga Putih. Ke-
mungkinan besar pemburu tua yang dahulu sempat
bertemu dengan binatang langka itu. Karena tidak ada lagi dugaan lain dalam
kepalaku. Mungkin pemburu
tua itu menceritakan kepada keturunannya. Yang ke-
mudian menceritakan lagi kepada orang lain, dan terus sampai menyebar luas di
kalangan persilatan. Tapi,
siapa pun orang itu yang jelas kita harus mencegah-
nya. Aku khawatir Pendekar Rase Perak tidak dapat
menahan diri bila tokoh-tokoh persilatan memburu binatang kesayangannya. Bisa
saja pendekar itu tewas di tangan tokoh-tokoh persilatan yang banyak jumlah-
nya...," urai Pertapa Goa Kelelawar.
"Hm.... Kalau begitu, kita harus secepatnya tiba dan mengabarkan kepada Pendekar
Rase Perak. Jika sampai terlambat, bisa-bisa tempat itu akan menjadi ajang
pertumpahan darah...," ujar Panji yang terlihat sangat khawatir kalau dugaannya
sampai terjadi.
"Aku pun mengkhawatirkan hal itu, Pendekar Naga
Putih. Tapi, sebaiknya kita berpisah di sini saja. Kau
masih mempunyai kewajiban untuk mencari pembu-
nuh murid-murid Perguruan Bangau Putih," timpal
Pertapa Goa Kelelawar mengingatkan Panji akan tudu-
han Tiga Harimau Besi.
"Memang sebaiknya begitu, Eyang. Selain hendak
menyelidiki pembunuh biadab itu, aku pun ingin men-
cari apakah masih ada tokoh-tokoh lain yang menjadi korban pembunuhan gelap
itu," ujar Panji menyetujui usul Pertapa Goa Kelelawar. Ia sendiri sebenarnya
ingin mengajukan usul itu. Tapi merasa enggan. Takut
dituduh sombong. Untung, Pertapa Goa Kelelawar ke-
buru mengajukan usul itu. Sehingga, Panji merasa le-ga. "Nah, selamat berpisah,
Pendekar Naga Putih. Kita berjumpa di Bukit Ular Emas...," usai berkata, Pertapa
Goa Kelelawar melesat meninggalkan tempat itu. Sebentar saja sosok kakek tinggi
besar itu sudah berada jauh dan lenyap ditelan lebatnya dedaunan.
Panji berdiri mematung. Sesaat kemudian, melan-
jutkan pekerjaannya yang tertunda. Dihampiri- nya
mayat-mayat murid Perguruan Bangau Putih. Dan
menguburkannya menjadi satu dalam sebuah lubang
besar. Setelah selesai, Panji segera melesat pergi.
Arah yang diambil Panji berlawanan dengan Pertapa
Goa Kelelawar. Panji memang berniat untuk menyeli-
diki pelaku pembunuhan itu lebih dahulu. Untuk itu, perjalanannya ke Bukit Ular
Emas ditunda. Jalan sa-tu-satunya untuk menemukan jejak pembunuh itu
adalah dengan mengikuti perjalanan tokoh-tokoh per-
silatan. Panji yakin kejadian itu masih akan berlanjut.
*** Dengan langkah tenang, Panji menyusuri jalan
utama sebuah desa. Menurutnya, desa itu akan men-
jadi tempat persinggahan kaum rimba persilatan. Un-
tuk menuju ke Bukit Ular Emas, orang harus melalui
desa itu terlebih dulu. Karena, Panji berniat akan
menginap di Desa Eretan ini. Dan berharap dapat me-
nemukan tokoh-tokoh persilatan yang akan mengun-
jungi Bukit Ular Emas. Panji juga berharap agar pembunuh misterius muncul untuk
mencari korban beri-
kutnya. Setelah menemukan beberapa kelompok tokoh-
tokoh persilatan yang tengah beristirahat, Panji segera mencari penginapan untuk
bermalam. Di dalam kamar
tempatnya menginap, Panji bersemadi untuk meng-
himpun tenaga agar saat bergerak malam nanti tu-
buhnya terasa segar. Panji tidak keluar dari dalam
kamarnya sampai malam datang menyapa persada.
Saat malam semakin larut dalam keheningan den-


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gan ditemani nyanyian satwa, Panji menyelinap keluar melalui jendela kamarnya.
Lalu, bergerak meninggalkan penginapan setelah menutup jendela rapat-rapat
Pemuda itu melesat berlarian di atas atap rumah-
rumah penduduk Desa Eretan.
Cahaya bulan redup yang muncul setengah meng-
gantung di langit kelam, menemani gerak Pendekar
Naga Putih yang berharap dapat menemukan pembu-
nuh misterius. Meski di bawah sana peronda-peronda
desa berkeliling memeriksa keamanan desa, namun
tak seorang pun yang tahu malam itu mereka dibantu
oleh seorang pemuda perkasa. Walau kepentingan
Panji dan peronda- peronda desa itu berlainan, pada dasarnya tetap sama. Karena
secara tidak langsung
Panji telah ikut meronda desa. Kendati niatnya hendak memergoki pembunuh
misterius yang telah membuatnya dimusuhi Tiga Harimau Besi.
Waktu itu belum lagi tengah malam. Panji yang me-
ronda desa dari atas atap rumah-rumah penduduk
melihat sosok-sosok bayangan hitam mengendap-
endap. Jumlah mereka kurang lebih tujuh orang. So-
sok-sosok itu bergerak hati-hati mendekati sebuah
rumah penginapan, yang diketahui Panji sebagai tem-
pat menginap sekelompok tokoh-tokoh persilatan. Ka-
rena sebelum mencari tempat untuk menginap, Panji
telah mengikuti orang-orang rimba persilatan. Sehing-ga, ia dapat mengetahui di
mana tokoh-tokoh persilatan itu bermalam.
"Hm.... Mungkinkah mereka pembunuh-pembunuh
yang telah membantai delapan murid Perguruan Ban-
gau Putih" Tapi, kalau melihat gerakan mereka ra-
sanya tidak mungkin. Kepandaian tujuh orang itu terlalu rendah untuk
mencelakakan murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih. Aku tahu betul orang-orang yang
dikirim Perguruan Bangau Putih telah melalui pilihan yang ketat. Sehingga, baru
dipercaya untuk melakukan tugas itu setelah dipersiapkan dengan matang.
Aku meragukan kemampuan ketujuh orang itu...,"
gumam Panji yang bergerak hati-hati mengikuti sosok-sosok bayangan hitam yang
saat itu sudah memasuki
rumah penginapan melalui jalan belakang.
Karena percaya akan kemampuan tokoh-tokoh per-
silatan yang bermalam di dalam rumah penginapan
itu, Panji tidak mengikuti ketujuh sosok itu sampai ke dalam, la menunggu
kelanjutan perbuatan mereka.
Dan hanya mendekam di atas atap rumah salah seo-
rang penduduk yang agak berdekatan dengan pengi-
napan. "Hm.... Sepertinya ketujuh orang itu tertangkap ba-
sah oleh tokoh-tokoh persilatan...," gumam Panji ketika mendengar suara bentakan
dan dentang senjata be-
radu. Panji dapat memastikan kalau di dalam rumah
penginapan telah terjadi perkelahian. Semua itu diketahui dari pendengarannya.
Tapi, itu cukup jelas dan sedikit sekali kemungkinannya meleset.
"Hei, jangan lari kau, Pengecut Busuk...!" tiba-tiba terdengar bentakan. Panji
menatap lebih teliti ke arah bagian belakang penginapan.
Dari bagian belakang tempat itu tampak lima sosok
tubuh bergerak ke luar. Disusul dengan dua orang
lainnya yang rupanya bertindak untuk menahan se-
rangan, sementara kawan-kawannya bergerak pergi.
Semua dapat dilihat Panji dengan jelas. Karena pada bagian belakang rumah
penginapan terdapat obor yang menerangi tempat itu.
"Haaat...!"
Satu dari dua orang yang melindungi kawan-
kawannya melarikan diri tiba-tiba memekik keras.
Dan, mempergencar putaran pedangnya hingga me-
nimbulkan deruan angin tajam. Empat orang yang se-
mula mendesaknya segera berlompatan mundur. Me-
reka tidak ingin mendapat luka.
"Cepat pergi...!" teriak sosok tinggi kekar kepada
kawan-kawannya. Ia jelas tidak mungkin dapat mela-
kukan hal itu lebih lama lagi. Dan perbuatan itu pun dilakukannya dengan nekat
demi keselamatan kawan-kawannya.
Enam sosok tubuh berpakaian serba hitam itu sege-
ra melesat tanpa banyak cakap lagi. Kendati ilmu meringankan tubuh mereka tidak
terlalu tinggi, namun
suasana malam yang gelap membantu usaha mereka
untuk melarikan diri.
"Hm.... Kau tidak akan kubiarkan pergi, Keparat
Busuk...!" bentak salah satu dari empat lelaki gagah yang marah karena
istirahatnya diganggu orang-orang misterius. Wajah mereka ditutup oleh penutup
wajah berwarna hitam, sehingga tidak bisa dikenali. Tapi....
Syuttt, syuttt syuttt...!
Terdengar sambaran angin berkesiutan. Diterangi
sinar obor, terlihat belasan benda berkilau meluncur
ke arah arena pertarungan. Tampaknya, serangan itu
memberi kesempatan kepada lelaki tinggi kekar untuk melarikan diri.
Lelaki kekar berpakaian serba hitam itu rupanya
tahu maksud kawan-kawannya. Ia segera melesat ke
kanan sambil mengibaskan pedangnya menyambut
sambaran pedang salah seorang lawan.
Trangngng! Seiring dengan benturan keras itu, tubuh lelaki
tinggi kekar terdorong beberapa langkah. Dengan sangat liciknya, lelaki itu
membantu daya dorong benturan dengan lompatan panjang. Kemudian, melesat per-
gi meninggalkan penginapan.
"Keparat, jangan harap dapat lepas dari tangan-
ku...!" salah seorang berteriak marah. Ia tidak sempat melakukan pengejaran.
Karena saat itu ia dan tiga kawannya disibukkan oleh datangnya pisau-pisau ter-
bang yang mengancam mereka.
Pisau-pisau terbang itu memang dapat dilumpuh-
kan. Tapi, mereka telah kehilangan buruannya. Tokoh-tokoh persilatan itu tidak
berani bertindak gegabah untuk melakukan pengejaran. Dalam kegelapan malam
seperti itu sangat berbahaya bagi keselamatan mereka.
Sehingga, mereka hanya dapat membanting kaki den-
gan jengkel. Dan membiarkan musuh-musuhnya be-
bas meninggalkan tempat itu.
*** 6 Tujuh orang lelaki berpakaian serba hitam yang
menutup wajahnya dengan kain hitam itu melesat me-
nerobos kegelapan malam. Wajah mereka dibasahi ke-
ringat yang turun membasahi pakaian. Suara deru na-
fasnya yang memburu menandakan ketujuh orang itu
tengah didera rasa lelah. Tiba-tiba langkah mereka
terhenti seketika. Di depan mereka, dalam jarak dua tombak lebih, tampak sesosok
bayangan putih berdiri tegak menghadang jalan.
"Hah"!"
Lelaki terdepan yang memimpin enam orang ka-
wannya terperangah! Sepasang matanya terbelalak le-
bar. Sosok serba putih di depannya benar-benar mem-
buat hatinya tergetar untuk beberapa saat.
"Sssetankah... itu...?" desis orang kedua yang berdi-ri pucat dua langkah di
belakang lelaki pertama. Jelas terlihat lelaki itu pun dilanda ketakutan.
Tak satu pun yang menjawab pertanyaan itu. Mere-
ka semua merasa takut dan tegang. Apalagi, ketika
melihat sosok serba putih itu bergerak maju dengan
perlahan. Mereka menunggu dengan hati berdebar ke-
ras. "Tidak! Ia pasti manusia seperti kita. Lihat! Ia melangkah tak bedanya dengan
manusia. Jelas, sosok
serba putih itu bukan hantu atau sebangsanya." Lelaki tinggi besar yang menjadi
pemimpin berkata keras-keras kepada yang lainnya. Ucapan itu sekaligus di-
maksudkan untuk mengusir rasa takut dalam da-
danya. "Aku memang bukan sebangsa makhluk halus. Ta-
pi, sama seperti kalian semua...." Sosok serba putih itu menyahuti dengan
tenang. Sementara langkahnya terus mendekat
"Siapa kau" Katakan, apa maksudmu menghadang
perjalanan kami?" kegarangan lelaki tinggi kekar itu muncul kembali. Rupanya,
pengakuan sosok serba putih telah memupus rasa takut di hatinya. Keberanian
serta kegalakannya pun kembali muncul.
"Mengenai siapa aku, rasanya tidak begitu penting.
Yang jelas, maksud kehadiranku di tempat ini adalah untuk meminta penjelasan
tentang perbuatan kalian
yang memasuki penginapan. Apa yang akan kalian la-
kukan sebenarnya" Kulihat kalian telah menemui ke-
gagalan tadi...," ujar sosok serba putih yang tidak lain Panji. Ia sengaja
menghadang ketujuh lelaki berpakaian serba hitam itu untuk mencari keterangan
dari mereka. "Hm.... Sama seperti tidak pentingnya namamu bagi
kami, apa yang kami lakukan juga tidak penting bagi-mu! Kami minta kau segera
menyingkir dan membiar-
kan kami lewat," tukas lelaki tinggi kekar. Sepasang matanya tampak menyiratkan
kemarahan dan ancaman. Bahkan, jari-jari tangan kanannya sudah meraba gagang
pedang. Agaknya, ia hendak menggertak Panji
agar segera meninggalkan tempat itu.
Panji menggeleng dan menghentikan langkahnya
dalam jarak satu tombak. Sepasang matanya menatap
tajam wajah tujuh lelaki yang sebagian tertutup kain hitam.
"Gerak-gerik kalian terlalu mencurigakan. Selain
itu, untuk apa kalian menyembunyikan wajah" Hanya
orang-orang yang hendak melakukan kejahatan yang
tidak berani menampakkan diri. Jadi, jangan harap
kalian dapat meninggalkan tempat ini sebelum mem-
beri penjelasan atas pertanyaanku tadi," tegas Panji tandas. Ia bertekad tidak
akan melepaskan ketujuh
orang itu, yang mungkin saja dapat membawanya ke
hadapan pembunuh yang dicarinya.
"Kurang ajar! Kau benar-benar tidak bisa diberi ha-
ti!" geram lelaki tinggi kekar. Digenggamnya gagang pedang, kendati belum
tercabut keluar. "Sekali lagi kuperingatkan kepadamu, Kisanak! Pergilah! Jangan
campuri urusan kami. Atau kau akan menyesal seu-
mur hidup!"
'Terima kasih atas peringatanmu, Kisanak yang ga-
gah. Tapi maaf, aku tidak akan pergi sebelum kalian menjawab pertanyaanku,"
tandas Panji bersikeras pa-da pendiriannya.
"Keparat..!"
Salah satu dari enam lelaki yang berada agak di be-
lakang terdengar memaki gusar. Kemudian, melangkah
lebar mendekati Panji dengan pedang terhunus. "Kau
memang pantas dibunuh!"
Usai berkata, lelaki berperawakan gemuk dengan
pakaian terbuka di bagian depannya mengangkat pe-
dang tinggi-tinggi. Dan....
"Haaah...!"
Sambil membentak geram, lelaki gemuk itu men-
gayunkan senjatanya ke batok kepala Pendekar Naga
Putih. Agaknya, ia hendak membuat pemuda itu tewas
seketika dengan tubuh terbelah. Senjata yang diayunkannya mengincar bagian
tengah kepala Panji!
Whukkk...! Terdengar suara berdesing ketika pedang itu te-
rayun deras, siap membelah tubuh Pendekar Naga Pu-
tih. Tapi Panji tidak berusaha menghindarinya. Pemu-da itu mengerahkan tenaga
mukjizatnya yang mem-
buat sekujur tubuhnya terbungkus lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan.
Krakkk...! "Aaah..."!"
Lelaki gemuk itu terpekik kaget! Pedang yang telak
membacok bagian tengah kepala pemuda itu patah
menjadi dua. Sedangkan kepala pemuda itu tetap utuh tanpa cacat sedikit pun.
Bahkan, tubuh lelaki gemuk itu terangkat ke atas. Lalu, jatuh terbanting dengan
kerasnya. Ia tidak bisa segera bangkit Karena tangan kanannya teras linu.
"Kurang ajar! Kepung pemuda keparat itu...!" meli-
hat kenyataan yang mengejutkan itu, lelaki tinggi kekar segera memberi perintah
pada kawan- kawannya.
Tanpa banyak cakap, enam lelaki berpakaian serba
hitam bergerak maju menerjang Pendekar Naga Putih.
Suara desingan pedang terdengar susul-menyusul. Ke-
lima batang senjata itu siap mencincang tubuh Panji yang kelihatannya tidak akan
memberikan perlawanan. Tapi....
Trakkk, trakkk, krakkk...!
Terdengar teriakan-teriakan kaget dari lima lelaki
berpakaian serba hitam. Senjata mereka satu pun ti-
dak ada yang utuh. Semua berpatahan ketika bertemu
dengan tubuh Pendekar Naga Putih. Padahal, ketaja-
man pedang-pedang itu sudah tidak diragukan lagi.
Tapi, ternyata tidak mampu melukai tubuh Pendekar
Naga Putih yang terdiri dari tulang dan daging. Kenyataan itu sangat sukar
dipercaya. Melihat kenyataan itu, lelaki tinggi kekar menjadi
kalap dan cemas. Ia baru sadar kalau sosok pemuda
tampan berjubah putih itu ternyata bukan orang sem-
barangan. Tapi, karena belum merasakannya sendiri, ia masih juga belum percaya.
Maka, dengan bentakan
keras lelaki kekar itu merangsek maju.
"Jaga seranganku...!" seru lelaki kekar menya-
betkan pedangnya dengan kekuatan penuh.
Panji hanya bergumam pelan. Pemuda itu masih ti-
dak bergeser dari tempatnya. Kelihatannya, Panji sengaja hendak melumpuhkan
lawan-lawannya dengan
mengandalkan kekebalan tubuh.
Trakkk! Tenaga 'Sakti Gerhana Bulan' kembali menunjuk-
kan keampuhannya. Bacokan pedang lelaki berewok
tidak membuat Panji terluka. Malah, pedang itu patah tiga. Dan ketika Panji
menghentakkan tubuh, lelaki
tinggi kekar itu terpekik ngeri! Tubuhnya terlempar de-
ras ke belakang.
Brukkk! Tubuh tinggi kekar itu jatuh berdebuk di tanah
yang mulai dibasahi embun. Sesaat lelaki itu menge-
rang kesakitan. Dan berusaha merangkak bangkit
"Sekarang katakan sejujurnya! Apa maksud kalian
menyatroni penginapan tokoh-tokoh persilatan itu?"
tanya Panji dengan berwibawa.
"Kisanak, tahukah kau siapa kami sebenarnya. Sa-
darkah kau kalau bentrok dengan kami berarti kau telah bosan hidup?" tukas
lelaki tinggi kekar yang menggunakan cara lain untuk mengusir pemuda tampan
yang ternyata memiliki kepandaian menggetarkan itu.
"Hm.... Kau hendak mengancamku rupanya...?" sa-


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hut Panji yang tentu saja tidak takut dengan gertakan lelaki tinggi besar.
Malah, sengaja memancing ucapan selanjutnya dari lelaki tinggi kekar itu.
"Kisanak, perlu kau ketahui kami adalah orang-
orang Partai Serigala Hitam! Siapa saja yang berani mencampuri urusan kami
berarti mati! Dan kau akan
menerima kematian itu!" lanjut lelaki tinggi kekar dengan penuh kebanggaan saat
menyebutkan nama par-
tainya yang kedengaran seram.
"Partai Serigala Hitam..."!" desis Panji mengulang
nama perkumpulan lelaki berpakaian serba hitam.
Bagi kaum rimba persilatan, nama Partai Serigala
Hitam bukan merupakan nama baru. Nama itu sudah
sangat terkenal dan ditakuti orang. Selain banyak terdapat tokoh tingkat tinggi
tergabung di dalamnya, Partai Serigala Hitam tidak mempunyai golongan.
Sepak-terjang anggota maupun tokoh-tokoh partai
itu tidak bisa dijadikan ukuran. Suatu ketika partai itu seperti memihak
golongan putih. Karena suka memberikan pertolongan pada orang-orang lemah dan
tera- niaya. Tapi, anehnya mereka meminta bayaran atas
pertolongan yang telah diberikan. Juga tidak jarang anggota partai yang besar
itu melakukan aksi kejahatan sampai membunuh orang. Kendati orang itu hanya
mempunyai perselisihan pendapat dengan Partai Seri-
gala Hitam. Hingga, tak seorang pun yang tahu di golongan mana sebenarnya partai
itu berdiri. "Hm.... Kalau begitu, aku bisa menebak apa yang
baru saja kalian perbuat terhadap tokoh-tokoh persilatan di rumah penginapan
itu. Kalian hendak mele-
nyapkan mereka agar tidak mendapat banyak saingan
dalam melakukan perburuan di Bukit Ular Emas. Nah,
kalian tentu tidak bisa membantah lagi sekarang!" ujar Panji setelah terdiam
beberapa saat Lelaki tinggi kekar itu kelihatan agak kaget ketika mendengar ucapan pemuda
tampan berjubah putih.
Dari ucapan itu ia bisa menebak kalau pemuda itu tidak merasa gentar saat ia
menyebutkan nama per-
kumpulannya. Kenyataan itu tentu saja menimbulkan
keheranan besar di hatinya.
"Rupanya kau memang hendak mencari mati, Kisa-
nak! Biasanya, jangankan seorang bocah seusiamu,
tokoh-tokoh terkemuka rimba persilatan pun tidak berani bersikap kurang ajar
setelah mengetahui siapa
kami. Kau benar-benar memiliki nyali naga, Kisa-
nak...," tukas lelaki tinggi kekar yang kini sadar bahwa ia dan kawan-kawannya
tidak mungkin dapat lolos da-ri pemuda tampan itu. Karena pemuda itu sedikit pun
tidak gentar ketika mendengar nama partainya.
"Aku bukan tengah mencari kematian. Tapi hendak
mencari pelaku pembunuhan terhadap murid-murid
Perguruan Bangau Putih. Dan tuduhanku jatuh kepa-
da kalian semua...," Panji melanjutkan ucapannya
yang sangat mengejutkan lawan-lawannya.
"Kurang ajar! Jangan sembarangan menuduh
orang, Kisanak. Rupanya, kau sengaja mencari-cari
alasan untuk memusuhi orang-orang Partai Serigala
Hitam. Itu tidak akan membuat hidupmu tenang. Me-
musuhi partai kami berarti mati!" geram lelaki tinggi kekar tidak terima dengan
tuduhan yang dilontarkan
Panji. "Hm.... Sudah tertangkap basah masih juga hendak
mengelak. Orang-orang seperti kalian memang semes-
tinya diberi pelajaran...!" tandas Panji. Kemudian melangkah maju dengan sikap
mengancam. Sorot mata
pemuda itu demikian tajam mengiriskan.
Tujuh lelaki berpakaian serba hitam itu terkejut dan tampak gentar. Mereka
bergerak mundur dengan wajah gelisah. Pemuda itu telah membuktikan keheba-
tannya dengan menerima begitu saja bacokan pedang
mereka. Kini ia melangkah maju dengan sikap men-
gancam. Sadarlah mereka bahaya akan datang dari
pemuda tampan berjubah putih.
Ucapan Panji memang bukan sekadar gertakan.
Meski lawan-lawannya bergerak mundur dengan hati
tegang, tangan pemuda itu tetap terulur menyambar
salah seorang yang terdepan. Dan yang menjadi sasa-
ran pertamanya adalah lelaki tinggi kekar!
"Aaakh..."!"
Lelaki tinggi kekar itu kaget bukan main. Tangan
dengan jari-jari terbuka yang siap menerkam tubuhnya itu sebisa mungkin
dielakkan. Kedua tangannya digunakan sebagai pelindung. Tampak jelas lelaki itu
kalap menghadapi serangan Panji. Dan....
Kreppp! Meskipun lelaki tinggi kekar berusaha menghindar
dan menangkis, leher baju bagian depannya tetap terkena cengkeraman Panji.
"Huppp!"
Dengan sedikit menyentakkan tangan, tubuh lelaki
tinggi kekar terangkat naik dari tanah. Kemudian, Pan-
ji melemparkannya hingga tubuh itu melambung se-
tinggi tiga tombak!
"Aaa...!"
Rasa takut yang muncul seketika membuat lelaki
tinggi besar menjerit ketakutan. Dan seperti orang
yang tidak memiliki kepandaian silat, lelaki tinggi besar meluruk turun dengan
kepala lebih dulu. Ngeri
bukan main hatinya ketika merasakan hal itu. Wajah-
nya berubah pucat bagai tidak teraliri darah. Butir-butir keringat sebesar biji
jagung membasahi wajahnya.
Tapi, perbuatan itu hanya sekadar gertakan. Panji
mengulurkan tangannya menyambut tubuh tinggi be-
sar yang siap terbanting ke tanah. Dan....
Apa yang kemudian dilakukan Pendekar Naga Putih
benar-benar membuat lawan-lawannya terbelalak tak-
jub. Meskipun tangan pemuda itu belum menyentuh
tubuh pimpinan mereka, lelaki tinggi besar itu kembali terlempar ke udara.
Rupanya, Panji hendak mempermainkan lelaki itu dengan menggunakan kekuatan te-
naga dalam. Ia melemparkan tubuh itu ke udara setiap kali meluncur turun.
Padahal, telapak tangannya tidak menyentuh tubuh lawan. Panji mempergunakan
tenaga angin pukulannya.
Tidak bisa dibayangkan lagi betapa takutnya lelaki
tinggi kekar. Sekujur tubuhnya bermandikan keringat.
Teriakan-teriakan ngeri terdengar setiap kali tubuhnya meluncur ke bawah. Untuk
kemudian dilambungkan
lagi ke udara oleh dorongan angin pukulan Panji. Perbuatan pemuda itu membuat
lawannya benar-benar
tersiksa. "
"Hm.... Jangan pertontonkan permainan anak kecil
itu di depan kami, Pendekar Naga Putih...!"
Ucapan yang perlahan namun menggeletar dan me-
nyusup ke dalam dada itu membuat Panji terkejut. Ada
orang yang tengah menghampiri tempat itu! Panji bergegas menyudahi permainannya.
Saat itu, tubuh lelaki tinggi kekar tengah meluncur deras ke bawah. Panji
berniat menyambutnya agar tubuh itu tidak sampai terbanting di tanah. Tapi....
Panji sempat tertegun ketika melihat daya luncur
tubuh itu tiba-tiba tertahan oleh suatu kekuatan hebat. Sehingga, tubuh tinggi
kekar itu bergantung di udara dengan kepala di bawah. Kemudian tubuh itu
berputar, dipaksa oleh suatu kekuatan yang tak tam-
pak, sehingga kepalanya berada di atas. Lelaki tinggi kekar itu seperti tengah
berdiri mengambang di udara.
Sadar kalau ada orang yang sengaja hendak me-
nunjukkan kekuatan tenaga dalamnya, Panji merasa
tertantang. Sepasang tangannya berputaran sesaat,
kemudian terulur ke atas. Dengan menggunakan ke-
kuatan tenaga dalamnya yang tinggi, Panji kembali
memutar tubuh lelaki yang tergantung di udara itu
hingga terbalik seperti semula.
"Hm...."
Panji yang sekujur tubuhnya telah dilapisi kabut
putih keperakan 'mengerahkan tenaga dalamnya. Pe-
muda itu menunjukkan kalau ia pun sanggup memu-
tar tubuh yang mengambang itu menjadi terbalik.
"Hebat...!"
Terdengar seruan memuji. Kemudian, lelaki tinggi
kekar yang tergantung itu kembali berputar. Ia kembali berdiri di udara dengan
kepala di atas. Tapi, Panji segera memutarnya kembali. Sehingga, lelaki tinggi
kekar yang tubuhnya dijadikan ajang pertarungan tenaga dalam tingkat tinggi itu
tersiksa sekali. Tubuhnya terasa dihimpit dua tangan raksasa yang tak terlihat
Dan itu membuatnya sukar bernapas.
7 Panji yang melihat wajah lelaki tinggi kekar itu telah menjadi merah dengan mata
terbelalak bagai hendak
melompat keluar dari tempatnya, menjadi tidak tega.
Cepat pemuda itu menarik pulang kekuatan tenaga da-
lamnya. Dan melompat ke belakang satu setengah
tombak untuk menghindari kekuatan tersembunyi
yang menyerangnya.
Sikap mengalah Panji rupanya disalahtafsirkan la-
wan. Terdengar suara tawa bergema bernada keme-
nangan. Sesaat kemudian, suara berat dan parau ber-
gaung disertai hembusan angin keras.
'Ternyata, orang yang di dewa-dewakan kaum rimba
persilatan hanya begitu saja kepandaiannya...!"
Panji sedikit pun tidak marah kendati ucapan itu jelas-jelas menghina dan
merendahkan dirinya. Pemuda
itu merasa belum kalah. Panji hanya tidak merasa per-lu untuk meributkan soal
itu. Satu keinginannya yang diharapkan segera terwujud, melihat rupa tokoh
tersembunyi yang telah bertarung dengannya.
"Sahabat yang gagah! Jika memang wajahmu tidak
cacat, mengapa harus malu untuk menunjukkan ru-
pamu" Aku tentu akan senang sekali dapat berjumpa
dan berkenalan denganmu...!" ujar Panji mengerahkan tenaga dalam. Sehingga, gema
suaranya menyebar ke
seluruh pelosok tempat itu.
Panji berdiri tegak dengan sikap waspada. Pandan-
gannya beredar ke sekitar tempat itu. Ditunggunya
dengan sabar kemunculan tokoh yang belum juga me-
nampakkan diri itu. Tiba-tiba....
"Hua ha ha...!"
Suara tawa menggelegar terdengar berkumandang.
Angin bertiup keras membuat dahan-dahan pohon
berderak ribut. Agaknya, tokoh tersembunyi itu hen-
dak memamerkan kekuatan tenaga dalamnya melalui
getaran suara tawa.
Terkejut bukan main hati Panji ketika melihat aki-
bat yang ditimbulkan. Tujuh lelaki berpakaian serba hitam yang kepandaiannya
masih terlalu rendah bagi
Panji terpaksa harus merasakan akibatnya. Mereka
bergulingan sambil mendekap dada dan kedua telinga.
Suara tawa itu membuat mereka tersiksa. Kalau saja
masih terus berlanjut, bukan tidak mungkin mereka
akan tewas dengan bagian dalam tubuh hancur!
Panji tidak sampai hati melihat penderitaan mereka
yang semula menjadi lawan-lawannya. Kendati ia sen-
diri harus mengerahkan tenaga dalam untuk melawan
pengaruh suara tawa itu. Panji berniat memberikan
perlawanan. Karena tokoh tersembunyi itu seperti sengaja hendak menguji kekuatan
tenaga dalamnya yang
memang terkenal di kalangan persilatan. Tapi....
"Hia ha ha...!"
Lengkingan panjang yang semula siap meluncur da-
ri kerongkongan Panji segera tertunda. Saat itu terdengar suara tawa lain yang
tidak kalah hebatnya. Dan
semakin membuat ketujuh lelaki berpakaian hitam
meraung menahan sakit yang bagai hendak meledak-
kan dada mereka. Panji kelihatan sangat terkejut
"Hebat...! Rupanya, berita tentang Rase Perak be-
nar-benar telah memaksa tokoh-tokoh tingkat tinggi
keluar dari sarangnya. Tawa itu jelas menunjukkan
kalau kepandaian kedua tokoh tersembunyi ini benar-
benar luar biasa. Rasanya mereka tidak kalah hebat
dengan Pertapa Goa Kelelawar, yang juga terpaksa meninggalkan tempat
pertapaannya untuk melihat kebe-
naran berita mengenai binatang langka yang bernama
Rase Perak itu...," gumam Panji. Pemuda itu merasa
bahwa tugasnya kali ini sangat berat Apalagi, ia belum
mengetahui di pihak mana kedua tokoh tersembunyi
itu berdiri. Suara tawa dua orang tanpa wujud itu membuat
Panji harus menambah kekuatan tenaga dalamnya un-
tuk melindungi isi dada. Kalau tidak, besar kemungkinan Panji akan mengalami
luka dalam. Tentu saja hal itu tidak diinginkannya.
"Hm...."
Panji berdiri tegak mengatur jalan napas. Wajahnya
tampak agak pucat. Tekanan dari dua suara tawa yang terus berkumandang itu
membuat dadanya bergun-cang semakin keras. Panji harus bertindak cepat jika
tidak ingin celaka. Maka....
"Yeaaa...!"
Setelah menggabungkan dua kekuatan mukjizat-
nya, Panji mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'! Aki-
batnya sungguh hebat bukan main! Karena Panji men-
gerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi' sekaligus. Sehingga, timbullah badai yang bagaikan hendak
merobohkan semua pepohonan di tempat itu.
Suara tawa yang semula berkumandang mengge-
tarkan jantung tertindih lengkingan panjang Pendekar Naga Putih. Sampai
akhirnya, suara tawa itu lenyap.
Agaknya, kedua orang itu harus memusatkan perha-
tian untuk melindungi bagian dalam tubuhnya yang
terguncang akibat 'Pekikan Naga Marah', yang kehebatannya luar biasa karena
dikerahkan dengan tenaga
gabungan. Ketika menyadari kedua suara tawa itu telah le-
nyap, Panji segera menghentikan lengkingannya. Se-
hingga, angin ribut yang laksana topan prahara itu
terhenti seketika. Alam pun kembali tenang. Bekas-
bekas kehebatan Jengkingan dahsyat Panji terlihat jelas dengan tumbangnya
beberapa batang pohon hingga
tercabut sampai ke akar-akarnya. Tempat itu seperti baru saja diamuk badai
hebat. Panji kemudian berdiri tegak sambil mengatur na-
pas. Pemuda itu tampak lelah sekali. Ia masih me-
nunggu kemunculan dua tokoh yang bersembunyi itu.
Panji memang tidak perlu menunggu lama. Bebera-
pa saat kemudian, tampak dua sosok tubuh keluar da-


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ri semak-semak. Keduanya memiliki perbedaan yang
cukup menyolok. Satu bertubuh tinggi besar dengan
wajah dipenuhi cambang bauk tak terurus. Sepasang
alis mata lebat melindungi mata setajam burung elang.
Sedang sosok yang satunya lagi bertubuh lebih
pendek, hanya setinggi pinggang kawannya. Wajah le-
laki kerdil itu pun dihiasi cambang bauk lebat Keduanya berusia sekitar lima
puluh lima tahun.
Panji memperhatikan kedua sosok tubuh itu dengan
penuh selidik. Yang menarik perhatiannya adalah se-
buah lingkaran pada kepala mereka, yang berupa ikat kepala berwarna hitam.
Sedangkan lingkaran di kening berwarna putih menyolok. Dalam lingkaran putih itu
Panji melihat gambar seekor binatang dengan taring
dan moncong runcing. Kini, tahulah Panji siapa kedua tokoh berpenampilan ganjil
itu. "Kepandaianmu benar-benar hebat, Pendekar Naga
Putih! Tapi jangan sombong dulu. Kami berdua belum
mengaku kalah. Permainan tadi baru pemanasan sa-
ja...!" terdengar suara parau dan berat mengusik telinga Panji. Panji merasa
heran karena suara parau dan berat itu justru datang dari sosok lelaki kerdil.
Bukannya sosok tinggi besar yang menyeramkan. Tampak-
nya, hal itu merupakan ciri lain dari keanehan mereka.
'Tentu saja kita belum kalah...!" lelaki tinggi besar yang menyeramkan itu
menimpali. Suaranya terdengar
melengking seperti suara perempuan. Sungguh jauh
berbeda dengan penampilannya yang sanggup mem-
buat anak kecil pingsan bila berjumpa dengannya.
Panji mengerutkan kening, heran.
"Maaf, saat ini aku tidak bisa meladeni kalian...,"
Panji segera berkata. Ia tidak ingin bertarung dengan kedua tokoh itu tanpa
alasan yang jelas. Apalagi, saat itu Panji masih mempunyai urusan lain.
"Siapa bertanding melawan siapa" Jangan dulu
berkata begitu, Pendekar Naga Putih! Kami berdua belum mengambil keputusan untuk
bertarung dengan-
mu...," kilah sosok kerdil yang kini sudah berada satu tombak di hadapan Panji.
. "Kami pun tahu apa yang tengah kau lakukan di
desa ini, Pendekar Naga Putih. Kunasihatkan agar kau lupakan saja persoalan itu.
Kau tidak akan pernah
bertemu dengannya di desa ini atau pun disekitarnya.
Kecuali tentu saja di Bukit Ular Emas...," sosok tinggi besar berwajah
menyeramkan menimpali dengan suaranya yang melengking kecil.
Kening Panji berkerut ketika mendengar ucapan ke-
dua tokoh aneh itu. Ia tahu kedua orang itu adalah tokoh-tokoh puncak Partai
Serigala Hitam. Yang tidak
dimengerti Panji, dari mana kedua tokoh itu mengetahui kepentingannya berada di
Desa Eretan" Selain itu, mengapa mereka tega membunuh tujuh orang anggo-tanya"
Tentu ada sesuatu yang tersembunyi dan hen-
dak ditutupi. Namun, Panji tidak mengutarakan apa
yang ada dalam pikirannya. Karena semua itu masih
samar. Kalau sudah mendapatkan bukti yang jelas,
Panji tidak akan segan-segan lagi untuk menggempur
kedua tokoh itu.
'Terima kasih atas nasihat kalian. Kalau memang
tidak ada keperluan denganku, aku hendak pamit..,"
ujar Panji terpaksa mengalah. Padahal, ia merasa curiga dengan kedua tokoh
puncak Partai Serigala Hitam
itu. Tapi karena tidak ada bukti-bukti yang menunjuk-
kan mereka bersalah, Panji tidak bisa berbuat banyak.
Bahkan, berniat untuk meninggalkan tempat itu. Panji hendak melihat tanggapan
mereka atas kepergiannya.
'Tunggu dulu, Pendekar Naga Putih...!"
Panji yang sudah berbalik dan hendak meninggal-
kan tempat itu terpaksa menahan langkah.
Suara berat dan parau yang mencegah kepergian-
nya membuat Panji kembali berpaling. Pandangannya
tertuju kepada sosok kerdil.
"Kau memanggilku, Datuk Serigala Hitam...?" Panji
langsung menegur tanpa basa-basi.
Lelaki kerdil yang kulit tubuhnya tampak pucat itu
terkekeh parau. Sehingga, tubuhnya terguncang- gun-
cang. Kelihatannya ia sangat senang mendengar Panji menyebut julukannya.
"Hm.... Kupikir kau tidak tahu sedang berhadapan
dengan siapa, Pendekar Naga Putih. Ternyata, matamu cukup awas untuk mengenali
kami berdua...," ujar Datuk Serigala Hitam bangga.
'Tentu saja aku mengenali kalian. Aku pun sudah
dapat menduga apa yang memaksa kalian meninggal-
kan perguruan. Kiranya, makhluk yang bernama Rase
Perak itu benar-benar luar biasa. Sampai dapat me-
maksa kalian keluar dari sarang. Nah, Datuk Serigala Putih dan Datuk Serigala
Hitam, aku mohon pamit...,"
usai berkata, Panji membalikkan tubuh. Ketika kedua tokoh itu tidak didengarnya
mencegah, Panji melesat pergi meninggalkan tempat itu.
Dua tokoh aneh yang menjadi dedengkot Partai Se-
rigala Hitam hanya menatap kepergian Pendekar Naga
Putih. Tawa mereka terdengar perlahan mengiringi kepergian pemuda tampan itu.
Dan, mereka baru beran-
jak pergi setelah sosok Pendekar Naga Putih benar-
benar lenyap dari pandangan.
"Hm.... Bukit Ular Emas pasti akan ramai sekali...,"
gumam lelaki berkulit pucat yang mengenakan pa-
kaian serba hitam sambil melangkah perlahan.
"Itu justru membuatku semakin tertarik, Kakang...,"
timpal lelaki berperawakan tinggi besar yang berkulit gelap bagai arang. Mungkin
inilah sebabnya yang
membuat dirinya dijuluki Datuk Serigala Hitam.
Setelah itu mereka terdiam. Hanya tiupan angin
lembut yang terdengar mengiringi langkah mereka berdua. Sebentar kemudian, kedua
tokoh mengiriskan da-
ri Partai Serigala Hitam itu lenyap di kejauhan.
*** Pagi-pagi sekali Panji sudah meninggalkan rumah
penginapan. Langkahnya terayun lambat menyusuri
jalan utama Desa Eretan. Pemuda itu baru mengerah-
kan ilmu lari cepatnya setelah melewati batas desa.
Sebentar saja, sosoknya telah jauh meninggalkan Desa Eretan.
Kali ini Panji berniat langsung menuju ke Bukit Ular Emas. Pertemuannya dengan
dua tokoh Partai Serigala Hitam membuatnya terpaksa harus merubah rencana.
Kalau semula ia hendak menyelidiki pembunuh miste-
rius itu, kini rencananya berubah. Munculnya kedua
tokoh yang ia tahu memiliki kepandaian mengiriskan
itu membuat hati Panji diliputi kekhawatiran.
Niat Panji yang semula hanya ingin mengamankan
Bukit Ular Emas dari pertumpahan darah nyaris tak
terpikirkan lagi. Sekarang yang lebih penting baginya adalah menyelamatkan
binatang langka yang bernama
Rase Perak. Sebab, kalau binatang itu sampai jatuh ke tangan tokoh-tokoh sesat,
hancurlah dunia persilatan.
Khasiat binatang langka itu pasti akan membuat tokoh sesat yang mendapatkannya
bagai harimau yang tum-buh sayap. Sudah pasti rimba persilatan akan geger
dengan ulah tokoh itu. Inilah yang sekarang menjadi
beban pikiran Panji. Dan hal itu pula yang membuat-
nya harus melupakan pembunuh misterius untuk se-
mentara waktu. Rasa khawatir akan keselamatan orang banyak
membuat Panji menempuh perjalanan tanpa mengenal
lelah. Pemuda itu ingin secepatnya tiba di Bukit Ular Emas. Ia berharap bisa
tiba lebih dulu di sana, sebelum tokoh-tokoh persilatan. Kegelapan malam yang
hanya diterangi sinar bulan sabit tidak menjadi halangan baginya. Walau
perjalanannya agak terhambat,
Panji tidak merasa perlu untuk beristirahat. Dan terus bergerak dengan
menggunakan ketajaman pengliha-tannya agar tidak kehilangan arah.
Saat menjelang fajar, Panji tiba di sebuah sungai
yang membentang lebar. Melihat arusnya yang tenang, Panji dapat menduga dasar
sungai itu lebih dari dua tombak dalamnya. Sedangkan lebarnya kurang lebih
tiga sampai empat tombak. Hingga, tidak mungkin da-
pat dijangkaunya dengan loncatan. Untuk menyebe-
ranginya, Panji memerlukan dua kali lompatan. Itu berarti ia harus menggunakan
landasan untuk tiba di
seberang sungai.
Sementara itu, di kaki langit sebelah timur tampak
cahaya kemerahan menyemburat. Sebentar lagi mata-
hari akan menampakkan kekuasaannya. Pagi akan da-
tang menggantikan tugas sang Malam.
Setelah memperhatikan keadaan di sekelilingnya,
Panji melemparkan pandangan lurus ke depan. Tam-
paklah sebuah gundukan tanah yang menjadi tempat
tujuannya. Bukit Ular Emas sudah terbentang di ha-
dapan Panji. Untuk bisa tiba di tempat itu ia harus menyeberangi sungai yang
mengalir di depannya.
Setelah berpikir sesaat, Panji mematahkan dahan
pohon. Kemudian melemparkannya ke tengah sungai.
Tapi, baru saja tubuhnya siap melesat, tiba-tiba telin-
ganya menangkap suara-suara orang bertempur. Panji
segera menunda gerakannya.
"Hm.... Kedengarannya suara itu berasal dari sebe-
lah timur. Kemungkinan besar bukan dari seberang...,"
gumam Panji mengedarkan pandangan seraya menge-
rahkan indera pendengarannya untuk mencari sumber
suara itu. Setelah termenung sesaat, Panji melesat ke sebelah
kiri. Ia merasa pasti suara pertempuran itu berasal da-ri kiri tempatnya
berdiri. Tubuhnya pun melayang
dengan kecepatan tinggi.
Sebentar kemudian, tibalah Panji di tempat itu.
Sayang, kedatangannya agak terlambat Panji melihat
sesosok tubuh tinggi besar tengah menghabisi sisa lawannya. Pertempuran telah
usai. Dan sosok tubuh
tinggi besar yang memenangkan pertarungan siap me-
ninggalkan tempat itu.
"Hei, tunggu...!"
Panji segera melesat dengan kecepatan tinggi. Tu-
buhnya melayang cepat di udara. Setelah berjumpali-
tan beberapa kali, Panji meluncur turun di tempat bekas terjadinya pertempuran.
Tapi, sosok tinggi besar itu telah melayang pergi.
"Hei...!"
Sekali lagi Panji berseru mencegah kepergian sosok
tinggi besar. Tapi, orang misterius itu tetap tidak peduli. Ia terus melesat
pergi tanpa menghiraukan teriakan Panji.
Kembali Panji melayang dengan kecepatan bagai
sambaran kilat. Saat itu sebuah pikiran tentang pembunuh yang melibatkannya
melintas dalam benak.
Dan pikiran itu membuat Panji bersikeras tidak akan membiarkan orang itu pergi.
"Haiiit...!"
Dengan bentakan keras tubuh Panji melayang dan
berputaran di udara. Lalu, meluncur turun satu tom-
bak dari tubuh buruannya.
"Harap berhenti sebentar, Kisanak...!" pinta Panji
sedikit keras, dan berdiri menghadang jalan sosok
tinggi besar. Bukannya mematuhi permintaan Panji, sosok tinggi
besar itu malah melesat maju mengirimkan pukulan
deras ke tubuh Panji. Tentu saja pemuda itu terkejut bukan main! Apalagi, dari
sambaran angin pukulannya terdengar suara mencicit tajam. Jelas, pukulan itu
bisa mengakibatkan kematian!
Syuttt...! Sadar bahwa sosok tinggi besar bermaksud mem-
bunuhnya, Panji pun tidak tinggal diam. Disertai geraman lirih tenaga dalamnya
dikerahkan untuk me-
nyambut pukulan lawan. Dengan menggeser tubuhnya
ke samping kanan, Panji melepaskan tangkisan den-
gan lengan. Dukkk! Kekuatan pukulan lawan ternyata jauh lebih hebat
dari perkiraannya. Ketika sepasang lengan mereka bertemu, Panji merasakan
tubuhnya bergetar! Bahkan
kedua kakinya terseret mundur empat langkah! Pa-
dahal sewaktu menangkis, ia telah mengerahkan tiga
perempat bagian dari tenaga dalamnya. Kenyataan itu tentu sangat mengejutkan!
Demikian pula dengan sosok tinggi besar, ia menge-
luarkan seruan kaget. Dalam keremangan cuaca, se-
pasang matanya berkilat tajam seperti hendak menge-
nali siapa orang yang telah menghadangnya. Terlihat jelas pancaran kegeraman
dalam bola mata itu.
Panji yang telah menguasai kuda-kudanya berdiri
tegak menatap sosok tinggi besar dalam jarak hampir dua tombak. Pemuda itu pun
berusaha menembus keremangan untuk mengenali siapa sosok tinggi besar
yang memiliki kepandaian hebat itu. Sehingga, sesaat keduanya saling meneliti
untuk mengenali lawan masing-masing.
*** 8 "Kisanak, harap kau jelaskan mengapa mereka kau
bunuh" Apa kesalahan mereka kepadamu...?" tanya
Panji yang belum juga bisa melihat jelas raut wajah sosok tinggi besar.
Sehingga, ia belum bisa memastikan siapa orang itu.
"Hm.... Mereka adalah orang-orang tamak yang pan-
tas mampus!" jawab sosok tinggi besar menyiratkan
kebencian yang dalam. Dan begitu ucapannya selesai, tubuhnya melayang ke arah
Panji dengan serangan
dahsyat! "Haaat..!"
Whusss...! Serangkum angin pukulan berdesingan datang
mengancam tubuh Panji. Diam-diam pemuda itu terke-
jut. Serangan yang mengandalkan bacokan sisi telapak tangan itu dapat
menimbulkan suara seperti ayunan
pedang. Itu jelas membuktikan bahwa tenaga dalam
yang dipergunakan lawan benar-benar berbahaya! Dan
serangan itu pasti dapat mematikan!
Berpikir demikian, Panji bergegas mengerahkan 'Te-
naga Sakti Gerhana Bulan'. Sebentar saja, terciptalah lapisan kabut bersinar
putih keperakan membungkus
sekujur tubuhnya. Seiring dengan munculnya lapisan
kabut, hawa dingin menggigit pun menyebar memenu-
hi arena. Bwettt..! Satu sambaran sisi telapak tangan sosok tinggi be-
sar datang mengancam batang leher Pendekar Naga
Putih. Pemuda itu bergegas menggeser tubuhnya ke ki-ri. Kemudian, membalas
dengan sebuah cengkeraman
ke arah tenggorokan lawan.


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hebat...!"
Terdengar sosok tinggi besar memuji tindakan la-
wannya. Ia menarik mundur tubuhnya dengan kaki
depan menekuk lutut ke dalam. Cengkeraman cakar
naga Panji hanya mengenai angin kosong. Dan, saat
itu kaki depan sosok tinggi besar melesat naik men-
gancam dagu. Plakkk! Cepat bukan main Panji memutar tangannya dan
langsung menekan tendangan itu dengan telapak tan-
gan. Benturan keras pun tak dapat dihindarkan. Ke-
duanya terdorong mundur, membuktikan bahwa 'ke-
kuatan mereka seimbang.
"Yeaaah...!"
Sosok tinggi besar yang terdorong mundur kembali
melesat ke depan dengan serangkaian serangan maut.
Tindakan itu membuat Panji semakin kagum. Pemuda
itu bertambah yakin lawannya memang bukan orang
sembarangan. Sehingga, Panji merasa ragu kalau ia
dapat merobohkan lawan dalam seratus jurus. Karena
tingkat kepandaian lawan memang sulit diukur.
"Hmmm...!"
Sadar kalau ia tidak boleh main-main dalam meng-
hadapi serangan lawan, Panji mempersiapkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'. Kemudian
menerjang maju menyambut
serangan lawan.
"Heaaat..!"
Sebentar kemudian, kedua tokoh itu kembali terli-
bat perkelahian sengit. Dan Panji semakin kagum keti-ka mendapat kenyataan
kepandaian lawan memang
benar-benar hebat! Selain itu, ia pun merasa heran.
Ilmu silat lawan tidak memiliki banyak unsur-unsur
sesat! Bahkan, lebih condong mengarah pada ilmu pu-
tih. Itu terbukti dari cara lawan melancarkan serangan. Kenyataan itu membuat
Panji menduga kalau la-
wannya bukanlah seorang tokoh sesat Kendati demi-
kian, terselip pertanyaan dalam benak Panji. Mengapa tokoh tinggi besar itu
melakukan pembunuhan dengan
cara yang kejam"
Tapi, Panji tidak bisa berpikir terus sambil menghadapi gempuran lawan yang
semakin lama kian bertam-
bah hebat dan berbahaya. Untuk itu, ia harus lebih
memusatkan pikiran. Kalau tidak, bukan mustahil la-
wan dapat menciderainya.
"Yeaaat..!"
Namun, sebelum Panji sempat memusatkan piki-
rannya, sosok tinggi besar itu tiba-tiba memekik nyaring. Seiring dengan itu,
sebuah tusukan jari-jari tangan datang dan menerobos pertahanan Panji. Sehing-
ga.... Tuggg! "Aaakh...!"
Panji terpekik kesakitan. Tusukan jari-jari tangan
yang telak itu menghempaskan tubuhnya ke belakang.
Dada kanannya yang menjadi sasaran pukulan jari-jari tangan sekeras besi itu
terasa nyeri dan panas. Untung, ia memiliki tenaga mukjizat yang selalu melapisi
sekujur tubuhnya. Sehingga, meskipun tusukan jari-jari tangan lawan telak
mengena hal itu tidak akan
sampai membuatnya menderita luka dalam yang pa-
rah. Tapi sosok tinggi besar tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan emas yang terbentang di depan matanya.
Maka, saat tubuh Panji melayang di udara sosok tinggi besar melesat menyusuli
lawan. Sepasang tangannya
bergerak cepat dengan sambaran angin keras berkesi-
utan. Panji yang saat itu belum sempat menyiapkan diri
kelihatan terkejut. Sadar bahwa serangan lawan kali ini dapat membunuhnya, maka
begitu kedua kakinya
menyentuh tanah sepasang tangannya bergerak cepat
melindungi tubuh.
Plakkk! Plakkk!
Dua kali tusukan jari tangan lawan berhasil dipa-
paki. Tapi, kedudukannya yang tidak begitu kuat
membuat tubuh pemuda itu terjajar mundur. Dan saat
itulah lawan mempergunakannya....
Desss, blaggg! "Huaaakh...!"
Dua buah pukulan hebat tidak sempat lagi dihin-
darkan Panji. Tubuhnya tersentak ke udara dengan
keras. Darah segar menyembur keluar dari mulut pe-
muda itu. Pukulan hebat itu telah mengguncangkan
bagian dalam dadanya!
Telak dan kerasnya pukulan lawan membuat Panji
tidak mampu menguasai keseimbangan tubuh. Pemu-
da itu terbanting jatuh ke tanah. Tapi, Panji bergegas bangkit secepatnya.
Kendati pandangannya masih na-nar. Dan....
"Heiii..."!"
Sosok tinggi besar yang semula siap melepaskan
pukulan susulannya terpekik kaget. Tubuh lawan
tampak berpijar bagai diselimuti kobaran api. Hawa
panas pun menyebar membuat sosok tinggi besar ber-
gerak mundur beberapa langkah. Sepasang matanya
membelalak tak percaya dengan pemandangan yang
terpampang di depan matanya!
Apa yang disaksikan sosok tinggi besar memang
bukan khayalan. Pukulan-pukulan telak yang meng-
guncang bagian dalam tubuh Panji telah membuat 'Te-
naga Sakti Inti Panas Bumi' bangkit dan menyebar ke seluruh anggota tubuhnya.
Dan langsung membakar
musnah pengaruh pukulan yang melukai bagian da-
lam tubuh pemuda itu.
Sebagaimana diketahui, 'Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi' yang merupakan jelmaan Pedang Naga Langit
demikian banyak khasiatnya. Selain mampu menolak
dan memusnahkan segala macam jenis racun, tenaga
mukjizat itu pun akan langsung bereaksi bila ada sesuatu yang tidak beres dalam
tubuh majikannya. Ka-
rena itu, tenaga mukjizat itu langsung bangkit untuk membakar semua pengaruh
pukulan yang telak mengenai tubuh Panji. Sehingga, untuk beberapa saat, 'Tenaga
Sakti Gerhana Bulan' tertindih dan membuat se-
kujur tubuh Panji bagai terjilat kobaran api. Pemandangan itulah yang disaksikan
sosok tinggi besar.
"Luar biasa"! Kabar tentang kesaktian Pendekar
Naga Putih ternyata bukan hanya omong kosong bela-
ka! Entah ilmu macam apa yang kali ini dipertunjuk-
kannya kepadaku..."!" gumam sosok tinggi besar me-
mandang takjub. Kalau saja tidak melihat sendiri, ia mungkin tidak akan
mempercayainya. Tapi, semua itu
terpampang jelas di depan matanya. Dan sulit untuk
diingkari lagi.
Beberapa saat kemudian, kobaran api yang menye-
limuti sekujur tubuh Panji mulai mengecil, sampai akhirnya lenyap sama sekali.
Dan digantikan oleh lapisan kabut bersinar putih keperakan. Wajah Panji yang
semula pucat telah kembali bersinar cerah. Itu merupakan pertanda kalau luka
dalam di tubuhnya telah
musnah terbakar kekuatan mukjizat 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
Merasakan tubuhnya kembali ringan tanpa rasa
nyeri yang mengganggu, Panji kembali menatap sosok
tinggi besar di depannya. Sepasang mata pemuda itu
mencorong tajam bagai mata naga di kegelapan. Per-
bawa yang kuat terpancar mengiriskan, membuat la-
wannya tergetar mundur beberapa langkah. Tampak
jelas sosok tinggi besar itu sangat terkejut melihat tatapan tajam Panji yang
menggetarkan jantung!
*** Saat itu, matahari mulai berpijar menampakkan
kekuasaannya. Suasana yang semula remang-remang
perlahan sirna tersaput kecerahan sinar matahari pagi.
Keadaan itu membuat sosok tinggi besar tersentak kaget dan bergerak menjauh. Ia
berusaha menyembunyi-
kan wajahnya agar tidak sampai dikenali lawan.
Panji sendiri kelihatan lega menyambut kehangatan
matahari pagi. Karena dengan begitu ia dapat melihat wajah lawannya. Tapi, untuk
itu ternyata tidak mudah.
Sosok tinggi besar menjauh dan menutupi wajahnya
dengan punggung tangan. Sehingga, yang terlihat
hanya sorot mata setajam mata elang.
"Hei, tunggu..."!"
Panji tampak terkejut ketika ia mendekat dengan
langkah perlahan, sosok tinggi besar itu malah melesat pergi meninggalkan tempat
itu. Tentu saja hal itu tidak dibiarkannya. Cepat Panji melesat melakukan
pengejaran. Sadar kalau kepandaian ilmu lari cepat tokoh itu
setingkat dengannya, Panji menggunakan cara lain untuk mencegah kepergiannya.
Satu-satunya jalan ia harus menghalangi dengan melepaskan pukulan jarak
jauh. Dan berharap pukulan itu akan membuat la-
wannya sibuk. "Haiiit...!"
Disertai bentakan nyaring, Panji mendorongkan te-
lapak tangan kanan.
Whuttt...! Serangkum angin dingin berhembus keras ke arah
sosok tinggi besar yang berada hampir dua tombak di
depan. Hembusan angin dingin itu sudah pasti diketahui lawan yang tentunya tidak
akan membiarkan di-
rinya cidera. Tapi....
Sebelum sosok tinggi besar memutar tubuh mema-
paki pukulan jarak jauh Panji, tiba-tiba terdengar
lengkingan panjang yang menggetarkan dada. Belum
lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan berkelebat dan melepaskan pukulan
dahsyat memapaki puku-
lan jarak jauh Pendekar Naga Putih. Akibatnya....
Blarrr...! Ledakan keras yang menggetarkan tanah di sekitar
tempat itu terdengar ketika dua kekuatan hebat saling berbenturan. Bahkan,
dedaunan berguguran karena
hebatnya getaran benturan dua gelombang tenaga ma-
ha dahsyat itu.
"Heaaah"!"
Pengaruh benturan keras itu ternyata mendorong
balik tubuh Panji. Pemuda itu berseru keras dan me-
mutar tubuhnya tiga kali. Kemudian, meluncur turun
dengan kedua kaki lebih dulu.
Hal serupa juga dilakukan sosok tinggi kurus yang
menyambut pukulan jarak jauh pemuda tampan itu.
Dengan sebuah putaran manis, sosok tinggi kurus tu-
run dengan selamat di atas tanah.
Panji menatap tajam seraut wajah lelaki tua yang
memiliki sorot mata tajam menggetarkan jantung. Wa-
jah itu tampak kelam seperti menyimpan rasa penasa-
ran yang dalam. Dan Panji menjadi terkejut ketika
mengenali siapa lelaki tua berperawakan tinggi kurus itu. "Pendekar Bangau
Sakti..."!" desis Panji berusaha menekan debaran dalam dadanya.
Kehadiran pendekar besar yang kosen itu membuat
ingatan Panji melayang kepada delapan orang murid
Perguruan Bangau Putih yang ditemukannya tewas di
pinggir sebuah hutan. Dan sikap pendekar tua itu kelihatan memusuhi Panji.
Sehingga, Panji menduga-
duga kemungkinan tokoh itu telah mendengar kabar
tentang kematian murid-muridnya.
"Ah, kiranya Pendekar Bangau Sakti yang datang.
Maaf, kalau sambutanku kurang hormat..," ujar Panji menyapa sosok tinggi kurus.
Pemuda itu membungkuk
penuh hormat. Pendekar Bangau Sakti adalah salah
satu dari sekian banyak tokoh tua golongan putih yang patut dihormati.
"Hm.... Jangan berpura-pura sopan di hadapanku,
Pendekar Naga Putih! Aku sudah mendengar tentang
kematian murid-muridku. Dan kedatanganku adalah
untuk meminta tanggung jawab darimu sebagai pelaku
kekejian itu!" tukas lelaki tua itu ketus.
Jawaban Pendekar Bangau Sakti benar-benar men-
gejutkan Panji. Diam-diam pemuda itu menyesali sikap Tiga Harimau Besi yang
tidak memikirkan akibat dari pengaduannya. Hal itu bisa menimbulkan pertikaian
di antara sesama golongan. Dan kenyataan itu sama sekali tidak diinginkan Panji.
"Pendekar Bangau Sakti," ujar Panji berusaha ber-
sikap setenang mungkin. "Semua itu hanyalah kesa-
lahpahaman belaka. Sejujurnya kukatakan aku bu-
kanlah pembunuh seperti yang kau tuduhkan itu,"
lanjut Panji menjelaskan.
"Kau masih ingin membantah, Pendekar Naga Putih!
Bukti sudah jelas kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Rupanya, kebesaran dan
kepandaian yang kau
miliki membuatmu menjadi takabur dan tidak mau
memandangku sebagai tokoh yang lebih tua. Sekarang
tidak usah banyak cakap lagi. Menyerah untuk diadili di hadapan anggota-anggota
Perguruan Bangau Putih,
atau terpaksa aku menggunakan kekerasan untuk
menyeretmu!" tegas Pendekar Bangau Sakti tidak
mempedulikan sanggahan Panji.
"Apa maksudmu dengan bukti yang kau lihat den-
gan mata kepalamu, Pendekar Bangau Sakti?" tanya
Panji tidak mengerti. Pemuda itu merasa perlu untuk mengetahuinya.
"Hm.... Tahukah kau siapa orang yang hendak kau
bunuh tadi?" Pendekar Bangau Sakti balik bertanya
dengan nada menyakitkan.
'Aku..., tidak melihat wajahnya dengan jelas. Sosok tinggi besar itu seperti
tidak ingin dikenali...," ujar Panji yang memang belum bisa menebak siapa
lawannya barusan.
"Hm.... Kau hendak berbohong kepadaku, Pendekar
Naga Putih?" tukas Pendekar Bangau Sakti menggeram
menyimpan kemarahan yang siap meledak.
"Pendekar Bangau Sakti! Seumur hidupku sebisa
mungkin kebohongan ku hindari. Lagi pula tidak ada untungnya hal itu kulakukan!"
Panji mulai tersinggung oleh ucapan-ucapan lelaki tua itu.
"Baik! Anggaplah kau tidak berdusta. Sekarang
dengarlah baik-baik! Orang yang barusan hendak kau
binasakan itu adalah.... Pendekar Rase Perak...!"
"Tidak mungkin!"
"Nah, kau masih ingin menyangkal juga!" tukas
Pendekar Bangau Sakti dengan wajah terbakar. Ban-
tahan Panji semakin menambah amarah tokoh tua itu.


Pendekar Naga Putih 73 Rase Perak di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kesungguhan Pendekar Bangau Sakti membuat tu-
buh Panji terjajar mundur beberapa langkah. Hatinya benar-benar terpukul
mendengar bahwa sosok tinggi
besar yang baru saja bertempur mati-matian dengan-
nya ternyata seorang tokoh besar rimba persilatan,
yang telah lama menghilang dari dunia ramai. Panji
hampir tidak mempercayainya. Namun, ucapan itu ke-
luar dari mulut seorang tokoh besar yang tidak mungkin berdusta!
"Tapi..., lelaki tinggi besar itu baru saja melakukan perbuatan keji dengan
membunuh orang-orang tak
berdosa. Aku menyaksikannya dengan mata kepalaku
sendiri!" bantah Panji membela diri.
"Hm.... Tidak perlu membela diri, Pendekar Naga
Putih! Rupanya, kau hendak berpaling dari jalan ke-
baikan. Perlu kau tahu bahwa orang-orang yang ter-
bunuh itu adalah tokoh-tokoh golongan sesat! Aku ta-hu pasti akan hal itu!"
tegas Pendekar Bangau Sakti membuat Panji semakin terkejut.
"Mereka orang-orang golongan sesat.."!" desis Panji bagai tengah mengalami mimpi
buruk. Kenyataan itu
membuat jiwa Panji semakin terguncang.
"Tapi..., bukankah Pendekar Rase Perak telah lama
tidak menampakkan diri?" cerita yang didengarnya da-ri Pertapa Goa Kelelawar
mengingatkan Panji tentang tokoh itu.
"Memang benar! Dan kalau sekarang ia menampak-
kan diri, itu karena tidak ingin binatang peliharaannya dimiliki orang-orang
yang tidak bertanggung jawab!
Contohnya tokoh-tokoh sesat yang baru saja dibunuh-
nya itu!" Bantahan Pendekar Bangau Sakti membuat Panji
kehabisan kata-kata. Untuk beberapa saat pemuda itu terdiam. Semua peristiwa
yang terjadi belakangan ini oleh Panji dirasakan sebagai ujian terberat selama
pe-tualangannya dalam rimba persilatan.
"Hm.... Rasanya, aku belum percaya dengan semua
yang telah ku alami belakangan ini" Tapi, biar bagaimanapun aku harus
menyelesaikan tugas- tugasku
sebagaimana pesan mendiang guruku. Dan untuk
mengungkapkan semua kejadian aneh ini, aku harus
menghindar dari Pendekar Bangau Sakti. Sebab, kalau sampai aku bertarung
dengannya, golongan putih pasti akan terpecah. Sedangkan hal itu sama sekali
tidak kuinginkan...," desah Panji dalam hati memikirkan
tindakan apa yang harus diambilnya.
"Menyerahlah secara baik-baik, Pendekar Naga Pu-
tih! Kami akan mengadili mu dengan jujur. Sebagai
orang gagah kau harus berani mempertanggungjawab-
kan perbuatanmu!" ujar Pendekar Bangau Sakti mem-
buat Panji tersentak dari lamunannya.
"Maaf, Pendekar Bangau Sakti. Aku merasa semua
ini banyak keanehan dan kejanggalan. Sayang, saat ini aku belum bisa
mengungkapkannya. Berikanlah kepadaku sedikit waktu. Kelak aku akan datang
kepadamu dengan bukti-bukti yang dapat melenyapkan tuduhan
itu terhadap diriku...," Panji berusaha meminta kebi-jaksanaan Pendekar Bangau
Sakti. Karena pemuda itu
merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dan, ia harus
dapat mengungkapkan ketidakberesan itu.
"Apa lagi yang hendak kau buktikan, Pendekar Naga
Putih! Semuanya sudah jelas. Aku akan membawamu
ke Perguruan Bangau Putih untuk diadili...," usai berkata, Pendekar Bangau Sakti
bertepuk tangan tiga kali.
Panji bergerak mundur ketika dari sekeliling tempat itu berloncatan sosok-sosok
berpakaian serba putih.
Mereka adalah murid-murid orang tua itu. Panji tidak tampak terkejut. Tapi...,
ada satu sosok tubuh yang belakangan muncul dan membuat dada pemuda itu
berdebar keras. Sosok itu adalah....
"Pendekar Rase Perak..."!" desis Panji kaget bukan
main. Sosok tinggi besar itu hanya terkekeh perlahan. Dia memang Pendekar Rase Perak.
Rupanya, tokoh tua
yang telah lama menghilang itu bersahabat dengan
Pendekar Bangau Sakti.
Melihat keadaan itu, sadarlah Panji kalau dirinya
sangat sulit untuk memperoleh kemenangan. Apalagi,
ketika ia melihat munculnya Tiga Harimau Besi di
tempat itu. Jelas ia tengah terancam bahaya besar.
Karena tidak ingin bertarung dengan sesama golon-
gan, Panji mengambil keputusan untuk secepatnya
meninggalkan tempat itu. Sesaat kemudian, Panji
mengerahkan dua tenaga mukjizat yang ada dalam tu-
buhnya. Lalu....
"Eaaarkh...!"
Dengan tenaga gabungan yang maha dahsyat, Panji
mengeluarkan 'Pekikan Naga Marah'! Dan, hasilnya
luar biasa sekali!
Tempat itu bagai dilanda angin topan dahsyat. Pe-
pohonan berderak ribut seiring dengan hembusan an-
gin keras yang membuat beberapa pohon sebesar paha
bertumbangan tercabut dari akarnya. Beberapa orang
yang mengurungnya terlempar bagai ditiup mulut-
mulut raksasa. Pendekar Rase Perak, Pendekar Bangau Sakti, dan
Tiga Harimau Besi menancapkan kuda-kudanya hing-
ga kedua kaki mereka terbenam ke tanah sampai mata
kaki. Mereka harus mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh 'Pekikan Naga Marah' itu. Karena
lengking panjang yang diperdengarkan Panji telah
mengguncangkan bagian dalam dada mereka.
Saat kesibukan itu terjadi, Panji melesat pergi dengan mengerahkan seluruh ilmu
lari cepatnya. Agaknya, itu adalah satu-satunya jalan terbaik yang harus diambil
Panji. Pemuda itu merasa masih banyak tugas
yang menanti dirinya. Ia tidak ingin menyerah begitu saja sebelum dapat
membuktikan kalau dirinya benar-benar tidak bersalah.
"Hm.... Pemuda itu benar-benar hebat! Tapi, biar
bagaimanapun kita harus dapat membekuknya. Kura-
sa ia pasti pergi ke Bukit Ular Emas...," ujar Pendekar Bangau Sakti yang hanya
bisa menyumpah ketika tidak mendapatkan sosok Pendekar Naga Putih di tem-
pat itu. 'Tapi, kita harus berhati-hati menghadapinya. Se-
lain itu, kita pun harus memperhitungkan campur
tangan tokoh lain yang kemungkinan besar berpihak
pada Pendekar Naga Putih...," timpal Pendekar Rase
Perak mengingatkan.
Pendekar Bangau Sakti hanya bergumam tak jelas.
Kemudian, memberikan isyarat kepada murid- murid-
nya untuk meninggalkan tempat itu. Sebentar saja
keadaan yang semula ramai kembali dicekam kesu-
nyian. Sementara, tiupan angin yang mempermainkan
pucuk-pucuk dedaunan menimbulkan gemerisik lem-
but di telinga.
*** Bagaimana nasib Pendekar Naga Putih selanjutnya"
Sanggupkah ia menghadapi tokoh-tokoh tingkat tinggi yang menuduhnya sebagai
pembunuh" Dapatkah Pendekar Naga Putih membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah" Siapa sebenarnya yang membunuh delapan
orang murid utusan Perguruan Bangau Putih" Benar-
kah Pendekar Rase Perak yang melakukannya"
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan
di atas, ikuti episode Pendekar Naga Putih selanjutnya yang merupakan lanjutan
dari: Rase Perak. Semuanya
akan terjawab dalam episode: "Misteri di Bukit Ular
Emas". SELESAI Scan by Clickers
Edited by Culan Ode
PDF by Abu keisel
Document Outline
1 *** 2 *** *** 3 *** *** 4 *** *** 5 *** *** *** 6 7 *** *** 8 *** *** SELESAI Pendekar Cacad 13 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Cinta Bernoda Darah 1
^